BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis terbesar di seluruh

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis terbesar di seluruh"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis terbesar di seluruh dunia. Jawa Pos National Network, Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan survei mengenai jumlah etnis di Indonesia. Menurut hasil sensus penduduk, terakhir diketahui bahwa Indonesia terdiri dari etnis (Afiz, 2010). 1 Dengan etnis sebanyak ini tentu tidak mudah mengelola perbedaan antar etnis, apalagi perbedaan tersebut juga didasari oleh motif masalah yang berakar pada politik, ekonomi, bahkan hegemoni suatu lembaga/institusi politik. 2 Kekerasan antar etnis di seluruh Indonesia terjadi sangat cepat beberapa tahun pasca reformasi. 3 Terutama menguatnya isu identitas yang sangat berkembang menjadi ambisi ratusan bahkan ribuan etnis yang tersebar di seluruh tanah air, akhirnya kecenderungan tersebut mampu menimbulkan konflik etnis, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun sosial budaya. Kurangnya keterlibatan setiap etnis dalam pembauran, ketimpangan pembangunan dan pengekangan militer yang berlebihan pada masa orde baru menjadi problem utama ketika demokrasi liberal 1 Afiz. (2010). Indonesia Miliki Suku Bangsa (online). Didownload 12 Maret van Klinken, Gerry. (2007). Communal violence democratization in indonesia : small town wars. New York: Routledge. 3 Trajano. (2010: hal 13). Ethnic nationalism and separatism in west papua, indonesia. Journal of Peace, Conflict and Development. 1

2 diterapkan di indonesia melalui reformasi, meski permainan politik tokoh-tokoh lokal juga diperhitungkan dalam kontestasi yang dimaksud. 4 Sehingga konflik dan kekerasan antar etnis besar kemungkinan dapat terjadi di setiap wilayah di Indonesia. Tabel 1.1 Data Konflik Sosial di Indonesia Sumber data: Taddjoedin A, Zulfan; 2012:33. 5 Kekerasan sosial secara umum meningkat drastis setelah turunya Soeharto dengan pemerintahan tangan besinya. Kekuatan otoritarianisme yang memberikan cela bagi 4 Bertrand, J. (2012). Naionalisme dan konflik etnis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor; Lihat juga Chauvel, Richard dalam Coppel A, C. (2006: hal ). Violent conflict in indonesia: analysis, representation and resolution. USA: Routledge. Canada. 5 Taddjoedin A, Z. (2002). Anatomi kekerasan social dalam konteks transisi: kasus di Indonesia Jakarta: UNSFIR; Lihat juga Faucher, C (Eds). (2005). Regionalism in post-suharto Indonesia. Canada, USA: Routledge. 2

3 ketimpangan dan distribusi kebijakan yang tidak tepat menyebabkan arus tuntutan semakin banyak. Data dari UNSFIR yang diolah oleh Zulfan Taddjoedin; 2012 menunjukan bahwa konflik dan kekerasan social lebih meningkat pasca reformasi. Ini karena pada masa orde baru tidak semua golongan menikmati kebijakan secara merata (inequality of values distribution). 6 Kekerasan sosial yang paling terparah adalah kekerasan komunal, etnis, agama, suku dan kelompok-kelompok kepentingan. Meski dalam lanjutan laporan tersebut daerah seperti Papua disebutkan hanya satu insiden dan tidak ada korban jiwa. Namun sebenarnya justru konflik dan kekerasan komunal di Papualah yang menyebabkan banyak kematian dan korban lainya berjatuhan. Kekerasan komunal di Papua antar pendatang dari luar Papua dan penduduk asli di Papua 7 menyebabkan jatuhnya korban sangat banyak dari kedua belah pihak. Meski kekerasan seperti ini cenderung tertutupi oleh berita-berita dan informasi mengenai konflik seputar isu separatisme yang sengaja oleh alat Negara dan media dalam sosialisasi dihidupkan seperti isu PKI pada tahun Mas oed Mochtar. (2008). Ekonomi politik internasional dan pembangunan. Yogyakarta: Pustaka pelajar; Lihat juga: Mas oed Mochtar. (2003). Negara, capital dan demokrasi. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 7 Orang asli Papua yaitu orang Papua yang lahir besar di Papua dan memiliki hubungan darah serta keturunan dari penduduk ras Melanesia bukan orang Papua berdasarkan UU 32/2004. Mereka berkulit hitam, adapula yang sawo matang bagi penduduk pesisir pantai utara Papua, Biak, serui, Wasior. 3

4 Tabel 1.2 Kekerasan social menurut kategori Sumber data: Taddjoedin A, Zulfan; 2012: Memang mendekati masa runtuhnya Soeharto bahkan sesudahnya, konflik dan kekerasan social terus terjadi termasuk kekerasan etnik marak terjadi secara berturutturut pada tahun 1999 di Maluku Tenggara (Ambon) dan di Maluku Utara (Ternate dan Halmahera) disusul dengan kekerasan antar etnis Dayak dan Madura di Kalimantan tepatnya Sanggau dan Sampit juga di Pontianak. Begitupun di Poso, 8 Ibid 4

5 Sulawesi dan di beberapa daerah lainya seperti suku Dani dan Amume-Kamoro di Timika, juga suku Bugis-Buton-Makassar dan para migran lokal di Papua seperti Biak, Serui, dan Wasior yang ada di Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Tidak hanya itu di Wamena dan di Nabire juga terjadi kerusuhan antar warga pendatang dari Sulawesi Selatan dan penduduk lokal di Nabire. Seperti kata Sidney Jones, Penasihat Senior Crisis Group bahwa "Potensi konflik komunal tinggi di Papua karena kedua belah pihak menganggap dirinya dirugikan", meski dalam penyampaian ini mengarah pada radikalisme konteks agama tetapi perlu diketahui bahwa dominasi etnis Papua yang mayoritas beragama Kristen dan begitu pula mayoritas pendatang campuran yang beragama muslim dengan pengelompokan pekerjaan yang juga cenderung bersifat kesukuan dan agamis ini menimbulkan kerawanan, bagaikan sekam yang kering dan siap dibakar. 9 Terlihat jelas bahwa Konflik di Papua hampir sebagian besar terjadi antara Orang Makasar dan Orang Papua. Kerusuhan seperti di Manokwari memiliki persamaan dengan kerusuhan antar suku-suku pribumi di Papua dengan suku pendatang Buton, Bugis, Makasar (BBM). Misalnya di Sorong, terjadi antara Suku dari Serui dengan Makassar tahun 2014, pada tahun 1999 masuk 2000 terjadi juga pembunuhan secara brutal oleh masyarakat Maybrat (Aifat) terhadap masyarakat Makassar akibat pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang pemuda dari Aifat dengan menggunakan senjata khas mereka yaitu 9 releases/2008/asia/indonesiacommunaltensions-in-papua.aspx.didownload, Senin 09 Juni

6 Badik 10. Pada tahun 1990-an juga terjadi kerusuhan antar suku-suku di Jayapura dengan Suku Makassar sehingga sebagai bentuk kekecewaan suku Jayapura terhadap dominasi pendatang Makassar di Jayapura, mereka membakar Pasar Abepura pada saat itu dengan tujuan mematikan perekonomian orang-orang Makasar di Jayapura yang sebagian besar bermata pencaharian pedagang. Total kematian dari konflik dan kekerasan di Indonesia (tidak termasuk di Papua) yang dilaporkan sebanyak 4,869, luka-luka/kerugian 9,832 dan kerusakan material Rp 771 milyar (Am.) ($ 91.4 juta). 11 Sedangkan data lain yang mengungkapkan beberapa kerusuhan antar etnis di Kalimantan seperti Sangau Ledo pada 1997 dan Tari Samba pada 1999 (Propinsi Kalimantan barat), dan lagi di Sampit pada 2001 (Propinsi Kalimantan pusat) dan Maluku (Ambon) 19 Januari 1999 dan puncaknya 2001 memperlihatkan bahwa korban meninggal dari konflik ini berjumlah 8000 orang dan yang mengungsi orang. Selain itu pula yang terjadi di Poso disebutkan bahwa korban meninggal berjumlah 250 orang dan beberapa korban lainya. Dalam banyak kasus memang kekerasan perlu dipetakan dalam variasi spasial dan temporal mengingat terdapat dua fenomena, baik secara sporadik maupun terpolarisasi karena cenderung berasal dari kepentingan penguasa. Pemerintah, swasta dan juga militer/tni dan polri yang memiliki kewenangan wajib menjaga stabilitas keamanan warga negara, penegakan hukum, dan pencegahan kekerasan terutama pemahaman pluralisme dalam bingkai nasionalisme harus menjadi landasan utama 10 Secara familiar orang Papua sering menyebut dengan badi-badi. 11 The World Bank. (2004). Local conflict in Indonesia: incidence and patterns. Social development notes, conflict prevention & reconstruction. 6

7 semua etnik-etnik yang ada. Mengingat ketiga lembaga ini juga cenderung menimbulkan dinamika (meminjam istilah Max Lane unfinished nation) dan disintegrasi dari keutuhan Bhineka Tunggal Ika di Indonesia akibat kebijakan yang mengandung isu diskriminasi dan marginalisasi. Di belahan dunia manapun isu etnisitas dan retorikanya selalu penuh dengan pergulatan nasionalisme kesukuan dengan alasan ketidakpuasan atas monopoli suatu kelompok suku lain. 12 Sebenarnya negaralah yang bertugas mengamankan ketakutan minoritas terhadap mayoritas dalam konteks etnis yang dibayangi oleh greavance dan greedy. Termasuk kekerasan di Indonesia yang tergolong beberapa tipe kekerasan, seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya yang terbagi pula dalam kekerasan struktural dan kultural. Pengelompokan kekerasan oleh Galtung tersebut sangat mempengaruhi konflik etnis di Indonesia. Terkadang kebijakan pemerintah menimbulkan situasi rumit yang tidak bisa diimbangi oleh warga negara sehingga monopoli pasar, ketimpangan ekonomi dan upaya penguasaan sumber-sumber pendapatan bagi masyarakat lokal sangat terbatas. Kumpulan individu yang cenderung memiliki kesadaran akan persamaan dalam memahami nasib dan kekecewaan ini akan cenderung menuai kesadaran individu yang kemudian mengangkat isu lokalisme, putra-putri daerah, dan kesamaan etnis sehingga membentuk nasionalisme kesukuan sebagai bagian dari pengertian etnisitas. Nasionalisme kesukuan ini dalam banyak kasus seperti yang terjadi di Maluku, 12 Baiq, W. (2011). Nasionalisme dan etnisitas di eropa kontemporer. Global & Strategic. 7

8 Sulawesi dan Kalimantan memiliki pengaruh terhadap munculnya kecemburuan sosial, sifat agresif dalam persaingan dan perasaan tidak menerima yang akhirnya dilampiaskan dengan kekerasan baik individu dan kelompok. Dalam penelitian yang dilakukan sebelumnya di beberapa daerah konflik yang disebutkan sebelumnya seperti Kalimantan, Maluku dan Sulawesi (Poso), terlihat jelas persamaan dan perbedaan konteks dan ideologi yang mempengaruhi. Dapat dengan jelas digambarkan dengan kerusuhan yang terjadi di Manokwari, demikian pula kasus kekerasan antar etnis lainya di Papua. Hal ini dapat terlihat dari beberapa hal. Pertama, kerusuhan antar kelompok di Manokwari terjadi juga di daerah lain seperti, Sorong, Jayapura, dan daerah Papua lainya yang melibatkan suku-suku di Papua dengan pendatang Buton-Bugis-Makassar. Kedua, Suku Biak di Manokwari memiliki pemahaman terhadap permasalahan yang sama dengan suku-suku di daerah Papua lainya yang juga pernah saling rusuh dengan pendatang Makassar. Ketiga, setiap kerusuhan di Papua yang melibatkan salah satu suku pribumi di Papua, misalnya Suku Biak, pasti mendapat simpati dari suku-suku Papua lainya dengan alasan agama Kristen, sama-sama Papua, dan derita konflik yang serupa pernah dialami. Keempat, alasan obyektif yang mempengaruhi kerusuhan terjadi adalah ekonomi dan politik baik secara structural maupun cultural. Kelima, kerusuhan ini disebakan karena dominasi pendatang yang bermula dari transmigrasi dan puncaknya pada saat migrasi besar-besaran para pendatang dari Sulawesi ke Papua. Meski demikian pemicu setiap kerusuhan ini berbeda-beda sehingga dapat dikatakan bahwa 8

9 hubungan pendatang BBM dengan suku-suku asli di Papua cenderung variatif tetapi juga semakin tidak membaik. Di Manokwari dominasi pendatang dari luar Papua memang sangat signifikan sebagai mayoritas dalam jumlah dan berkecenderungan menguasai sektor-sektor publik yang merupakan kebutuhan investasi kesejahteraan masyarakat pribumi (orang Papua Asli). Misalnya dalam wujud deprivation, yaitu ketidaksesuaian antara value expectation dan value capability. 13 Memiliki kausalitas dengan kekerasan yang terjadi seringkali karena grievance dan greedy yakni ketimpangan karena kerakusan dan kekecewaan dari kelompok lain yang merasa kehilangan kesejahteraan karena sumber dayanya dimonopoli sehingga menimbulkan konflik yang berujung pada kekerasan sebagai tempat pelampiasan amarah dan kekecewaan itu. Seperti yang telah diketahui bahwa di akhir tahun 2013 dan awal tahun 2014 telah terjadi dua kerusuhan yang sempat merisaukan warga masyarakat. Kerusuhan ini terjadi antar kelompok suku BBM dan suku Biak. Pada tanggal 28 sampai 31 desember 2013 terjadi di Kelurahan Sanggeng, Kecamatan Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari. Maka penelitian ini akan difokuskan pada studi kasus kekerasan tersebut RUMUSAN MASALAH 13 Mas oed, Mohtar. (Eds). (2000). Kekerasan Kolektif: Kondisi dan pemicu. Yogyakarta: P3PK, UGM. 9

10 Penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: a) Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab kerusuhan antar etnis Biak dan Makassar di Manokwari? b) Bagaimana mendeskripsikan faktor-faktor tersebut dengan konsep intersected dan consolidated cleavages? c) Bagaimana menggambarkan kepentingan masing-masing pihak di balik insiden kekerasan di Manokwari? I.3. KERANGKA KONSEPTUAL A. Etnisitas Hal ihwal mengenai etnisitas bisa dijelaskan dengan menitikberatkan berbagi konten definisi etnisitas pada beberapa hal, pertama etnisitas (kesukuan), genealogi (pertalian darah), dan teritorialitas (kewilayahan). Tetapi yang menjadi dasar dari segala upaya mencapai tujuan kelompok dalam wacana tersebut dengan segala upaya menggunakan kecanggihan teknologi, jangkauan globalnya, mandat radikalnya hanya terletak pada isu blut und boden (darah dan tanah). 14 Jadi setiap orang yang menjadi anggota atau bagian dari suatu kelompok etnis tertentu harus ditentukan oleh apa yang disebut oleh Niessen kebetulan kelahiran: paling kuat adalah darah dan tempat asal-usul kelahiran 14 Davidson. S, James. (Eds). (2010: Hal 37-42). Adat dalam politik Indonesia. Jakarta: KITLV. 10

11 yang menjadi penentu keanggotaan. 15 Pada masyarakat yang mendiami suatu wilayah di mana mereka ada dan hidup, di situlah berlangsung segala aktifitas dalam hal imanijasi dan kreatifitas di dalam menghasilkan demi menjadi dan memiliki segala sesuatu. Menjadi dan memiliki sesuatu ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, berlangsung di dalam hubungan interaksi, baik yang berlangsung secara destruktif (violent), termasuk perang dan perbudakan di dalamnya maupun interaksi (non-violent) yang kemudian menjadi suatu nilai (values) yang diakui sebagai yang ditaati dan yang dilakukan, di samping nilai (values) yang ditakuti dan menjadi larangan. Tetapi values ini masih berlaku pada suatu kalangan yang saling mengakui di dalam ikatan kekeluargaan (silsilah) keturunan setiap anggota kelompok tersebut. Inilah wujud konstruksi sosial masyarakat yang paling dasar dan awal mula lahirnya entitas yang dinamakan marga, suku, dan etnis. Kelompok yang memiliki alur jelas mengenai silsilah keturunan dan batas-batas kepemilikan wilayah, tidak lain dan tidak bukan adalah kelompok marga, trah, atau fam. Mengapa? Karena marga atau trah ini diyakini baik dalam mitologi maupun secara filsafatis memiliki asal usul yang bukan hanya dipercaya sebagai suatu benda dengan kekuatan magis, tetapi memiliki pengaruh besar dalam perkembangan keberadaan kelompok marga/trah/fam yang diyakini menghidupi bahkan dihidupi dalam kehidupan mereka. Dongeng-dongeng dan cerita rakyat tentang asal usul yang menjadi pusat penciptaan manusia pertama mereka dan yang menghidupi 15 Ibid 11

12 mereka dan melindungi mereka dari segala kehidupan dunia dipercaya berasal dari sebuah kehidupan awal manusia ketika manusia ada. Penyelamatan dan bantuan-bantuan dalam cerita rakyat (mitologi) ini bukan hal yang tidak benar, melainkan suatu mitologi filsafatis yang mempertemukan antara keberadaan manusia dan sang pencipta yang menciptakan mereka dan menghidupi mereka dengan segala energi dan sumber daya yang dimiliki manusia itu ketika manusia itu diciptakan. 16 Jadi itu yang menyebabkan etnisitas pada dasarnya cenderung disikapi oleh publik sebagai hal-hal yang lahiriah atau ciri-ciri fisik atau dapat disebut ethnicity is biological. Berdasarkan prinsip-prinsip alamiah dan tidak bisa diganggu gugat sama sekali perubahanya, kecuali mengalami suatu perubahan melalui interaksi dan komunikasi yang mendorong manusia itu pada keadaan asimilasi. Dengan pengertian bahwa, manusia cenderung melihat etnis dari ciri-ciri fisik, dan sifat secara biologis. Sederhananya ini merupakan anggapan umum mengenai gestur tubuh, wajah, kulit dan rambut yang menunjukan keberadaan, asal usul dan kedaerahan. Dalam hal lain GEN bisa jadi sebuah turunan yang lahiriah mempengaruhi sifat dan watak manusia dalam berperilaku ditambah dengan dominasi kehidupan dalam lingkungan keluarga. Meski dalam banyak hal ciri-ciri fisik secara biologis ini menjadi ciri khas tetapi bukan sifat dasar 16 Huntington, P. Samuel. (1996: hal 8-9). Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia. Yogyakarta: Qalam. 12

13 manusia dan fleksibel dalam dinamika sisi sosial manusia. Sehingga hal ini seringkali lebih sedikit atau hanya secara simbolisme membuat orang sesama etnis bersatu. Tetapi pada umumnya wadah resmi dari etnis yang memiliki aturan tertulis, hokum (law) dan aturan main secara teknis maupun petunjuk lisan itu didasarkan atas dasar desakan primordial (historis) dan isu bersama. Pertama, secara historis pengalaman pahit bersama (perasaan senasib sepenanggungan), musuh bersama menjadi relevansi dari rasionalitas berfikir sebuah kelompok untuk bersaing. Kedua, cita-cita atau tujuan yang ingin diperjuangkan, misalnya isu politik bersama merupakan isu penting yang dapat dijadikan alasan perjuangan sebuah kelompok. Lebih konkrit misalnya kita melihat AMAN (Anliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia yang mulai menebarkan kesatuan dan persatuan sebagai kelompok yang berjuang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, kepribumian yang sebelumnya (orde baru) tidak terperhatikan dengan baik. Meski dalam banyak hal gejala timbul, muncul, maupun lahirnya etnis di dunia ini mirip dengan nasionalisme (ideologi kebangsaan). Asal usul bangsa memiliki indikator yang sama hanya perbedaan signifikan terletak pada primordialisme dan isu yang diperjuangkan lebih besar dibanding etnis. 17 Dua isu penting yang memang perlu kita lihat adalah perasaan senasib sepenanggungan dan cita-cita atau dalam konteks isu politik dan ekonomi yang 17 Tambunan, M.B. Edwin. (2004: Hal 1-10). Nasionalisme-etnik: Kashmir dan quebec. Semarang: Intra Pustaka Utama. 13

14 ingin diperjuangkan. Bobot dua nilai ini terbentuk ketika struktur biologis masyarakat secara langsung ikut mempengaruhi setiap individu untuk mengintegrasikan identitas diri mereka dengan individu lain yang memiliki kesamaan ciri biologis dalam satu wacana politik atau ekonomi di balik maksud dan tujuan mereka. Maka kemudian bentukan ini tidak lagi mengindikasikan individual yang menyangkut asal usul keturunan, kepemilikan wilayah adat (tanah), dan kelompok marga saja, namun mengarahkan mereka pada satu pemikiran bersama untuk berjuang memperoleh kepentingan mereka baik secara politik maupun ekonomi. Perjuangan melawan kondisi seperti inilah yang mempengaruhi orang atau suatu kelompok masyarakat ingin berada di dalam suatu komunitas yang membantu mereka mengakses kepentingan mereka. Maka itu munculah etnisitas yang juga cenderung dilihat sebagai sebuah wadah yang terdiri dari kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama. Secara familiar konsep ini sangat kontekstual dengan kondisi masyarakat yang menganggap bahwa etnis berkaitan dengan identitas fisik, ras, dan kultur dalam kelompok masyarakat, dan yang menjadi pengikat tali persatuan etnis adalah perasaan senasibsepenanggungan dan tujuan bersama. Barangkali pendapat ini sinkron dengan kondisi kemajemukan masyarakat yang ada di Indonesia dalam proses asimilasi dan akulturasi. Senasib-sepenanggungan tidak hanya terjadi pada kelompok-kelompok pribumi yang mengalami ketimpangan dan dehumanisasi selama sebuah rezim 14

15 otoritarianisme negara tersebut masih kuat. Katakanlah orde baru yang sampai hari ini kita akan terus mengingat strukturisasi etnis yang dekat dengan nepotisme birokrasi ala jawasentris. Sehingga etnis lain selain Jawa menjadi semakin jauh dari rasa bernegara (memiliki negara atau nasionalisme). Pada kondisi tertentu, datang dan keluarnya migrasi dan transmigrasi ala pemerintah sangat berpengaruh terhadap munculnya perasaan senasibsepenanggungan di tanah rantau. Perasaan bahwa sama-sama berasal dari satu pulau dan sama-sama memiliki tujuan ingin memperbaiki hidup di tanah rantau merupakan perasaan umum yang dimiliki setiap etnis perantau di manapun, terutama Indonesia. Maka konsep identitas memiliki arti penting dalam berbicara etnisitas di Indonesia, bahkan di Negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa sekalipun seperti yang digambarkan oleh Anderson, 1995; Frantz Fanon; dan juga Bertrand, J, 2012, dan juga van Klinken. Etnisitas dekat dengan identitas dan merupakan satu kesatuan konsep kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia yang memiliki identitas pasti memiliki komunitas. Identitas yang dimiliki oleh setiap orang terdiri dari dua struktur, personal dan komunal. Namun baik personal dan komunal sama-sama didasarkan pada konsep dasar kehidupan manusia sebagai mahkluk yang berakal budi. Etnisitas ini dalam perkembanganya digunakan sebagai ideology pemersatu untuk memperjuangkan cita-cita bersama. Cita-cita yang sejak awal dibangun untuk ikut merasakan hak sebagai warga negara dan sebelumnya pada suatu rezim pemerintahan 15

16 atau sebuah tirani tidak terwujudkan. Maka kemudian cita-cita dan pengalaman pahit bersama inilah yang menjadi pemersatu tekad suatu kelompok. 18 Sifat manusia, GEN dan juga ciri-ciri fisik secara lahiriah (biologis) disinyalir sebagai sifat alamiah dan tidak berubah. Lain halnya fleksibilitas dari konstruksi sosial manusia yang dapat menghasilkan nilai tetapi juga bisa memusnahkannya. Ini semua menjadi pegangan setiap manusia di dalam kelompok sosial terkecil yang mendiami suatu wilayah. Akan tetapi pengalaman mereka di dalam suatu institusi politik yang didirikan oleh founding fathers melalui kontrak sosial seperti sumpah pemuda di Indonesia sangat rentan terhadap kesenjangan dan ketimpangan. Penindasan dan kekerasan juga mengikuti dua hal tadi, sehingga sistem yang dibangun di dalamnya memungkinkan setiap keturunan yang memiliki persamaan budaya dan nasib tadi cenderung mengusahakan persatuan dan kesatuan di antara mereka. Kontrak sosial tersebut dibangun atas dasar indikator biologis dan juga situasi dan konteks dalam pengalaman mereka bersama. Ikatan persatuan dan kesatuan yang didirikan ini kemudian dimodivikasi dengan berbagai usulan dan kesepakatan nama, bentuk tetapi juga keanggotaan yang disahkan melalui aturan-aturan pokok dan tata cara pelaksaan di dalam komunitas bentukan mereka. Mereka lantas menyebutnya organisasi. 18 Rachman, F. N dan Siscawati, Mia. (2014). Masyarakat hokum adat: Adalah penyandang hak, subjek hokum, dan pemilik wilayah adatnya.yogyakarta: Insist Press (pp. Hal 29-58). Dalam pembentukan identitas kolektif yang disinyalir sebagai bagian dari perasaan sama-sama merasakan penderitaan dan sama-sama memiliki tujuan bersama ini kemudian digunakan sebagai landasan dan berupa kontrak sosial yang membentuk kesatuan masyarakat di balik keanekaragaman masing-masing ke dalam satu entitas politik yang memperjuangakan nasib warga Negara yang dinamakan masyarakat adat. Meski masyarakat adat sendiri mengandung unsure kepribumian yang tidak tahu asalnya dari mana, dan tidak memiliki sangkut paut dengan asal usul keturunan dan kepemilikan wilayah di dalam komunitas etnis yang paling dasar yakni marga, klan atau trah. 16

17 Maka organisasi ini digunakan sebagai sebuah perahu yang akan didayung oleh anggota kelompok, dipimpin oleh pemimpin kelompok yang ditunjuk dan juga tidak lupa mereka menjaga integritas dan kesepakatan awal yang dibangun sembari memasang strategi dan taktik dalam persaingan sebagai instrument dalam kehidupan politik sebuah demokrasi nasion-state (negara-bangsa). Institutions are as et of rules, compliance procedures, and moral and ethical behavioral norm sembeddedin those rules and compliance procedures designed to constrain the behavior of individuals in the interests of maximizing wealth, social order, and the well-being of a society. Institutions establish the cooperative and competitive incentives in society by virtue of their norms, rules,and procedures. Artinya lembaga merupakan kumpulan aturan, prosedur pelengkap, dan moral dan etika berperilaku yang ditimbulkan dari aturan tersebut serta prosedur pelengkap yang disusun berlawanan dengan perilaku individu dalam kepentingan kelompok, kepentingan sosial dan kesejahteraan lembaga masyarakat. 19 Lembaga inilah yang menampung semua aspirasi dan kepentingan setiap denominasi kelompok yang menjadi anggota dalam lembaga tersebut. Setiap marga, setiap trah atau klan yang memiliki kemiripan dan mengalami nasib penderitaan yang sama cenderung saling melibatkan diri dan saling mempengaruhi di dalam setiap perjuangan mereka. Secara otomatis mereka menjadikan organisasi bentukan mereka sebagai sarana atau wadah yang membawahi kepentingan mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa terbentuknya organisasi seperti ini cenderung 19 Douglas C.North. (2012). in Structureand Changein Economic History. 17

18 didasari oleh aspek-aspek fundamental yang ada di dalam diri manusia maupun melalui relasi sosial manusia di dalam setiap interaksi, komunikasi sebagai mahkluk sosial. Jadi mereka menggunakan identitas kolektif mereka yang terbatas sebelumnya di dalam ikatan-ikatan emosional secara biologis dan berdasarkan aspek kepemilikan wilayah ke dalam ide penggabungan identitas kolektif yang tidak terbatas dan tidak juga jauh dari nilai-nilai yang ada pada mereka dan di dalam pengakuan terhadap identitas mereka. Inilah dalil-dalil terbentuknya organisasi etnis yang didasarkan pada kolektivisme kebudayaan dan kolektivisme yang dibangun dalam imajinasi masyarakat komunal. There are two fundamental aspects to identity. First, it is egoistic since it consciously and deliberately locates the self in the world. Second, It is relational, in as much as it must exist in contrast to others who hold the same identity, as well as to one or more other identities. 20 Observes one scholar, People reflexively graspat ethnic or national identifications or what passes for them. An alternative formulation, which falls back on socio biology, argues that theur geto define and reject the other goes back to our remotest human ancestors, and in deed beyond them to our animal predecessors. 21 Kita secara langsung bisa memahami bahwa ini tentunya yang diperjuangkan adalah identitas, dan yang menjadi isu pokok dalam setiap spekulasi juga adalah identitas, baik secara personal maupun secara komunal 20 Beverly, crawfor dan Ronnie D. lipschutz. (1998). The Myth of ethnic conflict : politics, economics, and cultural violence. USA: California at Berkeley. 21 Penjelasan mengenai identitas dan dinamika perkembanganya termasuk penggunaanya bisa dilihat di dalam penjelasan Anderson, Benedict. (1999: Hal 11-15). Komunitas-komunitas imajiner: renungan tentang asal usul dan penyebaran nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Huntington, P. Samuel. (1996: hal 7-12). Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia. Yogyakarta: Qalam. 18

19 (kolektif). Maka sebenarnya identitas merupakan ciri khas pokok yang membentuk etnisitas. Identitaslah yang menjadi pemersatu dan penentu perjuangan dalam bentuk yang lebih sederhana. Sedikitnya ada dua aspek fundamental dari identitas. Pertama, adalah egoisme karena manusia secara sadar dan sengaja mampu menempatkan diri di dunia. Kedua, relasional, dalam sebanyak itu harus berbeda dengan orang lain yang memegang identitas yang sama, serta satu atau lebih identitas lain. Persoalanya adalah identitas yang satu terkadang menjadi cair ke dalam beberapa identitas yang abstrak dan berasal dari imajinasi setiap anggota kelompok yang mengalami penderitaan dalam situasi konteks yang sama dan memiliki imajinasi dan harapan menggapai tujuan yang sama. Inilah alasan mengapa etnisitas menjadi sesuatu yang sangat fleksibel, tidak statis dan dinamis, bisa muncul di mana saja, kapan saja. Snow, Soule, dan Kriesi, (2004b:11) menjelaskan bahwa: kolektivitas-kolektivitas yang dengan orgnanisasi dan kontinuitas tertentu bertindak di luar saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan menggugat atau mempertahankan otoritas, entah yang didasarkan secara institusional atau cultural dan berlaku dalam kelompok, organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia di mana mereka merupakan salah satu bagianya. 22 Pada tahap akhirnya kita dibawa pada apa yang menjadi milik kita dan milik mereka, kita adalah kita dan kita bukan mereka, sehingga pendatang (amberi) dari 22 Van Klinken Gerry. (2007: hal 11). Perang kota kecil: kekerasan komunal dan demokratisasi di Indonesia. Jakarta: KITLV. 19

20 luar Papua seperti Jawa, Bugis-Buton-Makassar, Toraja, Batak, Ambon, NTT, dan lain-lain dianggap bukan Papua. Dalam perkembanganya lagi setelah otsus dan pemekaran orang Papua sendiri di dalam heterogenitasnya, masing-masing suku saling menerapkan sense of community di dalam kelompok sukunya sendirisendiri, sehingga orang Biak memang orang Papua tetapi bukan orang Manokwari, atau orang Dani adalah orang Papua tetapi bukan orang Maybrat. Paham-paham ini kemudian berkembang bukan untuk mempersatukan suku-suku ini ke dalam satu suku bangsa Papua tetapi menjadi etnis-etnis yang terpisah dan saling bersaing mengusahakan kepentinganya masing-masing, di dalam suku, marga, klan dan wilayah adat masing-masing yang sekarang telah diinovasi menjadi wilayah administratit (pemerintahan). B. Konflik dan kekerasan Konflik sosial adalah hubungan antara dua atau beberapa orang atau kelompok yang memiliki tujuan berbeda, Social conflict is a relationship between two or more parties who (or whose spokesmen) believe they have incompatible goals. Terdapat sejumlah pengertian dasar yang dapat kita gunakan untuk memahami apa konflik itu. Konflik terjadi kalau ada dua atau lebih pihak yang memandang dan yakin bahwa mereka memiliki tujuan yang tidak selaras (Kriesberg, 1982). Konflik adalah sebuah persaingan antar pihak yang menyadari bahwa, pertama, mereka memiliki potensi untuk tak selaras dalam posisi masing-masing di masa depan, dan kedua, masing-masing menginginkan untuk menguasai atau merebut 20

21 posisi yang tak selaras dengan keinginan pihak lain (Boulding, 1962). Konflik adalah perbedaan kepentingan atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt & Rubin, 1986). Selain definisi di atas, konflik juga dapat dipahami sebagai memiliki kaitan dengan tiga hal yang sering kita namakan sebagai segi tiga konflik. Pertama, situasi yaitu ketakselarasan tujuan, kebutuhan, dan kepentingan berbagai pihak. Sumber-sumber situasi konflik antara lain berupa struktur sosial, nilai sosial, kelangkaan, kompetisi, perubahan. Kedua, sikap, yaitu aspek-aspek kognisi (seperti konstruksi musuh) dan emosi (seperti rasa benci dan bermusuhan) yang dialami pihak-pihak yang terlibat konfik. Sumber konflik, sikap konflik antara lain berupa naluri agresif, ketegangan pribadi, dan frustasi kelompok. Ketiga, perilaku, yaitu kegiatan, perkataan, dan perilaku actual yang terpolarisasi dan merusak dari pihak-pihak yang bertikai. 23 Namun dalam membahas kasus penelitian ini kita hanya diarahkan untuk menggunakan pendekatan kekerasan secara konsep untuk memahami seperti apa kondisi yang mempengaruhi munculnya kerusuhan antar etnis, dan pada kondisi obyektifnya benar-benar menerangkan akan adanya kecenderungan munculya hal ini atau tidak. Dalam hal ini Johan Galtung memiliki pandangan terhadap kekerasan dalam segi tiga kekerasan yang ditulisnya bahwa kekerasan meliputi tiga hal: (1) kekerasan langsung, (2) kekerasan struktural, dan (3) kekerasan budaya. 23 Kriesberg, Louis. (1973). The sociology of social conflicts. New Jersey: Englewood Cliffs. Lihat juga dalam Riza Noer Arfani. Pengelolaan Konflik 21

22 Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan seorang atau suatu kelompok terhadap orang atau kelompok lainnya. Contohnya adalah menempeleng, memukul, menikam, dan menyerang dengan menggunakan senjata baiksenjata lama (parang, tombak, panah) maupunsenjata moderen (senapan, bom, peluru kendali). Kekerasan struktural ialah kekerasan yang bersumber dari interaksi sosial yang terpolakan yang disebut dengan struktur sosial, baik di tingkat lokal, negara, maupun global. Contohnya adalah kemiskinan, kelaparan, pengangguran, diskriminasi (ras, agama, gender), militerisme, dan patriarki. Kekerasan budaya adalah kekerasan yang tertanam dalam aspek-aspek tertentu kebudayaan suatu masyarakat. Kekerasan budaya ini terutama memiliki fungsi legitimasi, bukan fungsi fisik. Kekerasan budaya melegitimasi dan membenarkan kekerasan langsung atau kekerasan struktural. Agama dan ideology moderen sering dijadikan sebagai pembenar terhadap kekerasan baik langsung maupun struktural. Menurut Galtung, kajian-kajian mengenai kekerasan berhubungan dengan dua masalah, yaitu penggunaan kekerasan dan legitimasi penggunaan kekerasan tersebut. 24 Galtung memiliki dua pandangan universal yang sering dipelajari maupun digunakan sebagai alat analisis persoalan dalam kasus-kasus kekerasan kolektif (komunal). Dalam hal ini dikususkan pada kasus kekerasan structural dan cultural. Bilamana yang berkembang adalah kekerasan berbasis kebijakan yang mengarahkan masyarakat pada satu titik yang sama sedangkan masyarakat sendiri memiliki 24 Panggabean, Rizal. (1997). Manajemen konflik untuk polisi. The Asian Foundation, MPRK-UGM, Yogyakarta: Yayasan Paramadina. 22

23 perbedaan pandangan, simbol-simbol identitas dan berbagai macam kondisi subyektif yang telah dibangun sejak lama dalam kelompok masing-masing secara regionalistik maka itu akan memperparah situasi. Segregasi social misalnya, dalam banyak kasus seperti Ambon, lebih banyak disebabkan karena transmigrasi dan selebihnya membudayakan kebiasaan migrasi spontan yang masuk secara berkelompok, tinggal berkelompok, hingga berusaha secara berkelompok pula yang hasilnya menimbulkan pengkotak-kotakan masyarakat ini secara langsung oleh mereka sendiri di pasar, kantor, ruang publik bahkan dalam suatu tim olah raga. C. Consolidated Cleavages dan Intersected Kedua pola ini pertama, sebagai suatu akibat dari kebijakan negara yang tidak memihak kepada atau tidak merepresentasikan unsur-unsur etnik ke dalam kebijakan tersebut, sehingga menimbulkan kekecewaan yang mendalam terlebih membuat perasaan jengkel muncul. Kedua, kebiasaaan dan pola hidup yang dibawa dalam komunitas masing-masing dan perasaan senasib sepenanggunang di suatu tempat di mana mereka hidup. Sebenarnya secara umum kita bisa mengenal konsep sosiologi ini dengan segregasi social atau pengkotak-kotakan masyarakat mirip dengan Consolidated Cleavages baik karena kebijakan suatu rezim atau karena memang masyarakat menginginkanya terjadi atau setidaknya memiliki kepentingan untuk membentuk kelompok-kelompok social, ataupun asimilasi sebagai yang memiliki kemiripan dengan Intersected. Meski dua konsep sosiologi ini secara khusus memiliki pandangan secara structural dan historis berbeda dengan konsep asimilasi 23

24 dan segregasi social. Terlepas dari perbedaan tersebut kecenderungan kesamaan konsep ini bisa dilihat dari perilaku masyarakat secara langsung dalam pengamatan sehari-hari atau terlibat langsung dengan mereka. Masyarakat diasumsikan bisa mengembangkan konfigurasi pemilahan sosial yang bersifat consolidated atau intersected. Keadaan consolidated cleavages dikatakan muncul apabila terdapat beberapa individu saling bertikai dan dari kesemuanya memiliki identitas kolektif yang jamak. Konfigurasi ini disebut consolidated manakala pemilahan sosial yang terjadi membuat warga masyarakat dari suku A umumnya memeluk agama X dan memperoleh nafkah dari dari mata pencaharian perdagangan, dan warga dari suku B umumnya beribadat menurut agama Y tidak atau susah memiliki pekerjaan dan warga dari suku C umumnya beragama Z dan banyak menduduki jabatan politik maupun administrasi pemerintahan. Konfigurasi itu bersifat intersected manakala pemilahan sosial itu memungkinkan warga masyarakat dari berbagai suku memeluk agama yang berbeda dan aktif mencari nafkah dalam berbagai bidang mata pencaharian, lebihnya memiliki hubungan komunikasi dan interaksi dengan berbagai suku, agama dan profesi kerja itu. Dalam konfigurasi pertama, pemilahan sosial yang ekslusif membuat hubungan antar suku berubah menjadi antar agama dan antar kelas. Sedangkan dalam konfigurasi kedua pemilahan sosial itu memungkinkan pembauran warga masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan: suku, agama, dan kelas sosial Mas oed, Mohtar (Eds). (2000: 13-26). Kekerasan kolektif kondisi dan pemicu. Yogyakarta: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan Universitas Gadjah Mada. 24

25 Siapapun yang memilih untuk masuk ke dalam kelompok etnis tertentu cenderung memegang kuat aturan dan prinsip-prinsip kelembagaan sehingga doktrinasi kelembagaan menimbulkan persamaan persepsi dalam satu kelembagaan namun prinsip radikal dan pragmatis cenderung berbeda dengan pandangan populis oleh kelompok lain. Jika ini semakin ekstrim maka kecenderungan terjadinya konflik etnis akan terjadi. Namun akan berbeda ketika beberapa kelompok etnis diikuti oleh orang yang sama akan berpotensi positif bagi hubungan antar etnis tersebut, artinya dalam satu kelompok etnis juga diikuti oleh etnis-etnis yang lain. Hal ini biasanya cenderung terjadi karena perkawinan silang antar dua atau lebih etnis (kawin keluar). Seperti penjelasan berikut; When members of one ethnic group start engaging in more ethnic activity, attention is drawn to society s ethnic divisions. Members of other group sare thus reminded of their out sider status vis-à- vis the group that initiated the process. Motivated to ensure that some group accepts them, they feel pressured to make more public display soft heir identity. 26 Ketika salah seorang dari kelompok etnis mencoba bergabung pada beberapa kegiatan etnis lain, maka perhatian yang ditunjukan pada kelompok masarakat tersebut cenderung terbagi. Anggota dari kelompok lain yang berpegang teguh pada proses memotivasi kelompok lain untuk menyepakati hal tersebut, mereka ingin menunjukan identitas mereka pada publik. Bisa menjadi ikatan yang terdiri dari etnis-etnis yang berbeda apabila orang yang melakukan hal tersebut memiliki 26 Timur, Kuran. (1995). Ethnic Dissimilation and Its Global Transmission. Los Angeles: Unpublished manuscript. 25

26 sifat ketokohan pada etnis yang diikutinya. Satu hal penentu adalah interaksi dan komunikasi intens yang bisa mempersatukan individu dalam identitas subyektif maupun kolektif dan dapat pula membagi individu dalam dua identitas ini menjadi sangat loyal terhadap kelompok etnisnya dan cenderung agresif terhadap kelompok lain dengan anggapan berupa stereotip dan juga prasangka terhadap kelompok tersebut DEFINISI KONSEP Etnisitas adalah setiap tindakan dari individu yang membentuk kelompok berdasarkan ciri-ciri fisik, perasaan senasib sepenanggungan dengan menganggap kelompok tersebut berbeda dengan kelompok lainya. Kelompok ini dibentuk untuk memenuhi dan menjawab segala kepentingan baik tokoh politik, masyarakat ekonomi, maupun pengakuan terhadap kebudayaan kelompok tertentu yang didasari dengan pelibatan tuntutan akan darah dan tanah. Menguatnya nasionalisme etnik ini cenderung dimotori oleh aspek-aspek biologis, seperti warna kulit, rambut, dan cirri-ciri fisik tubuh. Atau bahkan menurut tempat kelahiran. Namun secara khusus radikalisme konsep paradigma kelompok etnik ini menjadi semakin universal di kalangan masyarakat itu karena memiliki sebuah visi dan tujuan bersama sekaligus dimotori oleh pengalaman bersama (memoria passionis) atau ingatan penderitaan yang diimajinasikan. Bahkan dalam banyak hal kelompokkelompok atau kumpulan individu ini pernah mengalami penindasan, ketimpangan, dan ketidakberpihakan bahkan menderita di bawah sebuah rezim kekuasaan yang 26

27 sama. Sehingga puncaknya niat memperjuangkan etnik ini didasarkan atas kepentingan balas dendam (ketidakadilan, ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik). Di sinilah letak munculnya kekerasan sosial yang dimotori oleh setiap tindakan perkelahian, kerusuhan, pertikaian antar masyarakat yang memiliki perbedaan kepentingan hingga memakan korban fisik dan non fisik atau psikis. Meski dalam hal senderhana kecenderungan untuk terjadinya kekerasan kolektif bisa disebabkan karena segregasi social tetapi bisa juga karena asimilasi social termasuk pembauran dalam organisasi. Misalnya dalam pandangan sosiologi disebut sebagai Intersected dan consolidated cleavages yang merupakan konfigurasi pemilahan sosial menurut indicator subyektif dan obyektif yang bisa memobilisasi kelompok etnik ke dalam satu etnik maupun dapat memisahkan kelompok tersebut dan meleburkan menjadi semakin representatif (saling keterkaitan dan mewakili berbagai kelompok) sehingga kecenderungan kerusuhan sangat kecil. I.5. HIPOTESIS Kekerasan antar etnis di Manokwari memiliki pola-pola kekerasan yang kompleks. Dilihat dari lawan dan kawan, termasuk isu masalah yang diperdebatkan. Kekerasan antar etnis di Papua dari Sorong hingga Merauke menjadi contoh konkrit bagi kita. Insiden kekerasan antar suku-suku asli di Papua atas dasar masalah pembagian hasil penjualan tanah, konflik kepemilikan wilayah, silsilah keturunan menjadi bagian dari kekerasan horizontal yang sangat memuncak pasca reformasi. Selain itu pula kekerasan antar etnis asli (indigenous) di Papua dengan para pendatang dari luar 27

28 Papua, seperti Jawa, BBM, Toraja, Batak merupakan contoh kenflik kedua yang menjadi bagian dari kekerasan horizontal yang disebabkan karena greavance dan greedy. Penduduk-penduduk asli di Papua ini merasa dikuasai, didominasi, diterlantarkan dan dibiarkan begitu saja tanpa ada pengertian setidaknya memberikan sedikit kesempatan bagi mereka agar menikmati milik kepunyaan mereka. Alhasil ini menjadi kekecewaan hampir setiap penduduk asli Papua di berbagai daerah. Dominasi pendatang di Papua terakumulasi melalui transmigrasi dan migrasi spontan, selanjutnya kedua hal ini menimbulkan ketimpangan demografi yang cukup mencolok antara pribumi pendatang. Ketimpangan ini secara langsung telah menggambarkan bagaimana monopoli dimainkan dalam hal ekonomi, politik dan social budaya yang sangat tersegmentasi ke dalam fragmen-fragmen konstruksi social yang dibangun atas dasar kepentingan. Kekerasan yang terjadi di Manokwari pada tanggal 28 Desember 2013 merupakan kekerasan yang disebabkan karena sentiment primordial terutama isu politik yang berkaitan dengan genosida etnis Papua akibat dari kecenderungan dominasi pendatang terhadap masyarakat Papua secara keseluruhan sehingga menimbulkan ketidakpuasan etnik-etnik yang ada di Papua terhadap suku-suku pendatang terutama Bugis, Buton, Makassar (BBM) atau pendatang yang berasal dari Sulawesi, meski Suku Toraja masih tergolong Suku yang mendapat toleransi karena kesamaan dan fanatisme sesama penganut agama Kristen Protestan. Terlihat jelas dominasi pendatang seperti Bugis, Buton dan Makassar sangat tersebar meluas di seluruh sendi-sendi kehidupan, misalnya perekonomian, para 28

29 pendatang Buton banyak menguasai sector penjualan ikan laut, karena kebanyakan dari mereka adalah nelayan tradisional yang saat ini telah masuk dengan menggunakan sarana penangkapan ikan secara modern. Di bagian pasar, penjualan pangan, bahan sayur-sayuran dan bumbu-bumbu, berbagai macam penjualan sandang, dan perkakas dapur serta penjualan barang elektronik lebih banyak di dominasi oleh kelompok Bugis dan Makassar hingga pada saham-saham yang menangani proyekproyek pemerintah baik APBD maupun APBN melalui CV/PT yang dimiliki secara pribadi maupun komunal. Di lain pihak pendatang jawa banyak memasuki sektor penjualan tanaman jangka panjang, terutama buah-buahan dan sayur mayur. Sedangkan para migrant yang berasal dari tanah toraja lebih dominan berada di dalam birokrasi dan bekerja sebagai guru atau PNS. Konflik ini sangat terselubung dengan pengaruh sejarah politik Papua, pelanggaran HAM dan kebijakan pemerintah orde baru tentang transmigrasi yang menyengsarakan. Secara kultur juga hal ini dipengaruhi oleh adanya kecenderungan kedua suku ini memiliki budaya kekerasan yang sama. Makassar memiliki budaya investasi dagangnya dengan sebuatan telung pocco e) tiga ujung, yakni ujung lidah, ujung penis, dan ujung badik. Masing-masing memiliki pengertian sangat strategis, mulai dari ujung lidah yang berarti kemampuan mereka dengan menggunakan lidah sebagai alat negosiasi. Ujung penis di mana banyak suku-suku pendatang bugis dan Makassar yang menikah dengan suku-suku biak terutama laki-laki bugis dan Makassar. Ujung badik yang berarti untuk melindungi diri dari ancaman, para pendatang ini dapat menggunakan badik sebagai senjata untuk menjaga diri. Hal ini 29

30 sangat ditakuti oleh mayoritas masyarakat Papua karena senjata pusaka milik orang Makassar dan bugis ini cenderung mematikan dengan sekali tusukan. 27 Selain itu masih banyak segregasi sosial yang sangat eksklusif, bahkan karena hal inilah stereotip lama antara pendatang pribumi terutama BBM dan suku Biak terus beredar di masyarakat. Kondisi obyektif ini membuat mayoritas masyarakat Biak di Manokwari sebagai suku yang membuka dan membangun Kabupaten Manokwari sejak 1965 itu merasa terpinggirkan. Dominasi pendatang dan system politik pemerintahan yang patrimonialistik menyebabkan suku Biak hanya berada dominan di Pasar, di Laut dan di atas truk-truk pengangkut bahan bangunan. Suku yang telah berada di Manokwari pada masa perang Koreri di mana mereka mencari manarmakeri (tuhan) menjadi petualangan yang membawa mereka meninggalkan kampong halaman mereka dan menetap di hampir seantero wilayah pesisir bagian utara pulau Papua: Serui, Nabire, Wasior, Ransiki, Manokwari, Mansinam, Saukorem, Yenbekaki (Sorong), hingga Raja Ampat. Mereka menajdi suku yang besar dan mempengaruhi perubahan kultur setiap masyarakat yang mereka singgahi. Mereka lebih banyak berdagang dan hidup di laut sebagai bagian dari kebiasaan yang sudah membudaya sebelum mengenal birokrasi dan pemerintahan pada periode 1960an ketika Belanda masuk ke Papua. Di satu sisi, kebijakan pemerintah daerah tidak lepas dari kesimpangsiuran yang lebih banyak mengurus kepentingan uang pemekaran dan bagi-bagi saham bisnis 27 Aditjondro, G.J dalam Akhmad. (2000). Amber dan komin: studi perubahan ekonomi di Papua. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Yogyakarta. 30

31 pembangunan infrastruktur dasar. Protes dan tuntutan masyarakat seringkali ditampik dengan menggunakan aparat kemanan. Aparat keamanan sendiri juga seringkali terlibat dalam pengelolaan konflik dan kekerasan sehingga banyak kejadian atau peristiwa konflik dan kekerasan yang bukan diselesaikan tetapi diperpanjang, bahkan intensitasnya makin tinggi. I.6. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif mengeksplorasi sikap, perilaku dan pengalaman melalui metode seperti wawancara atau fokus kelompok. Ia mencoba untuk mendapatkan pendapat yang mendalam dari partisipan. Perkembangan penelitian ini sangat dinamis, pertanyaan-pertanyaan terbuka, dengan berbagai metode pengumpulan data, baik data wawancara, data observasi, data dokumentasi, dan data audiovisual. Namun dalam penelitian ini, peneliti tidak menggunakan data audiovisual. Semua data ini dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan tema-tema yang berpola. Kelebihan penelitian ini dapat dilihat dari kedekatan antara peneliti dengan partisipan (informan) sangat terjaga dan selalu meninggalkan hubungan baik yang bertahan dalam waktu yang lama Creswell W. John. (2010: Hal 24). Research design. Yogyakarta: Pustaka pelajar; Dawson, Chaterine. (2002). A practice guide to research methods. United Kingdom: How to books. 31

32 B. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan beberapa metode yang logis dan sesuai dengan kebutuhan data. Agar data valid dan obyektif maka kumpulan data dari teknik penelitian meliputi observasi, wawancara, dokumentasi. Observasi Pengamatan langsung dengan mengamati kondisi tempat penelitian dan lokasi kejadian sangat membantu untuk melihat dan mengenal lokasi serta fenomena-fenomena baru yang cendrung dapat mempengaruhi situasi dalam waktu-waktu tertentu serta perilaku manusia dan berbagai persaingan yang dilakukan dalam berbagai ekspansi kedua etnik. Dokumentasi Dalam dokumentasi secara sederhana dipahami sebagai metode pengumpulan data berupa dokumen, arsip, surat-surat berharga yang digunakan atau memiliki hubungan erat dengan obyek penelitian. Selain itu dokumen berupa gambar, foto maupun video dapat dilakukan sebagai bukti langsung sehingga data yang disajikan bervariasi, menarik dan tentu saja obyektif. Wawancara Mewawancarai atau persisnya dialog dua arah. Sehingga peneliti mampu mengenal informen secara langsung. Dalam hal ini hubungan yang dibangun bersifat jangka panjang sehingga membantu untuk penelitian-penelitian selanjutnya apabila situasi konteks berubah. Dengan demikian maka pertanyaan penelitian akan digunakan pada tahap ini. 32

33 C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian tepatnya di Sanggeng yang merupakan tempat kejadian, namun untuk mewawancarai aktor/unit analisis maka lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari Kabupaten Manokwari, Papua Barat. D. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini terdiri dari: Saksi, Kepala Suku atau tokoh masyarakat, masyarakat dari kedua suku. Unit analisis inilah yang akan memberikan petunjuk bagi analisis permasalahan dalam kerusuhan antara suku Biak dan Bugis-Buton-Makassar di Manokwari. E. Sistematika penulisan BAB I Berisi tentang proposal penelitian dalam ulasan metodologi dan metode yang menjadi basis petunjuk bagi peneliti dalam melakukan penelitian. Beberapa struktur dalam bab i ini adalah latar belakang, rumusan masalah, kerangka teori, definisi konsep,hipotesis, dan metode penelitian. Struktur ini merupakan hal penting mengingat bab i merupakan petunjuk penelitian bagi setiap peneliti untuk mengetahui lebih lagi terhadap apa yang ingin kita tahu. BAB II Dalam bab ii ini akan mengisi sejarah konflik dan kerusuhan antar suku-suku di Papua dengan suku pendatang Bugis-Buton-Makassar (BBM). Sehingga hal ini 33

BAB V KESIMPULAN. isu maupun stereotip yang datang dari berbagai arah untuk mencoba membuat

BAB V KESIMPULAN. isu maupun stereotip yang datang dari berbagai arah untuk mencoba membuat BAB V KESIMPULAN Membicarakan kerusuhan antar etnis memiliki daya tarik unik yang mempengaruhi kita untuk terus mencari akar persoalanya. Di Manokwari kehidupan antara etnis sangat diwarnai dengan berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan memiliki banyak suku yang berada diseluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Aceh sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, tiga ratus lebih suku, budaya,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, tiga ratus lebih suku, budaya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, tiga ratus lebih suku, budaya, agama, serta aliran kepercayaan menempatkan Indonesia sebagai negara besar di dunia dengan

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian

Lebih terperinci

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH Pendahuluan ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH Konflik etnik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (Kalteng) terjadi pada Febuari 2001. Akhir dari konflik ini lebih merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam kehidupannya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada diri manusia juga terdapat

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari gambaran demografi bahwa terdapat 726 suku bangsa dengan 116 bahasa daerah dan terdapat 6 (enam) jenis agama.(koran Tempo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Thailand merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari permasalahan konflik dalam

Lebih terperinci

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI Rusuh Ambon 11 September lalu merupakan salah satu bukti gagalnya sistem sekuler kapitalisme melindungi umat Islam dan melakukan integrasi sosial. Lantas bila khilafah

Lebih terperinci

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA Sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, tujuan bangsa Indonesia adalah menciptakan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi etnis, bangsa yang kaya dengan keanekaragaman suku bangsa

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 Oleh Herry Darwanto 2 I. PERMASALAHAN Sebagai negara yang masyarakatnya heterogen, potensi konflik di Indonesia cenderung akan tetap

Lebih terperinci

VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL

VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL RETHINKING & RESHAPING VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL OLEH : DR. MUHADJIR EFFENDY, M.AP. Disampaikan dalam Acara Tanwir Muhammadiyah 2009 di Bandar Lampung, 5 8 Maret 2009 1 Lingkup

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Sentralisme pemerintahan yang telah lama berlangsung di negeri ini, cenderung dianggap sebagai penghambat pembangunan daerah. Dari sekian banyak tuntutan yang diperhadapkan

Lebih terperinci

Survei Opini Publik Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia

Survei Opini Publik Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia Survei Opini Publik Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia Jakarta, 7 Agustus 2006 METHODOLOGI Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang terdiri dari beranekaragam etnis, agama, dan kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak ternilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi keprihatinan bersama. Sampai dengan saat ini, tercatat beberapa kasus

BAB I PENDAHULUAN. menjadi keprihatinan bersama. Sampai dengan saat ini, tercatat beberapa kasus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Studi ini menjelaskan tentang Nasionalisme Papua dalam bendera Bintang Kejora, Burung Mambruk, dan lagu Hai Tanahku Papua. Berbagai polemik yang berkaitan dengan ideologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus dan juga ada yang kasar, ada yang berterus terang dan ada juga yang

Lebih terperinci

Mia Siscawati. *Program Studi Kajian Gender-Program Pascasarjana UI *Pusat Kajian Antropologi-FISIP UI

Mia Siscawati. *Program Studi Kajian Gender-Program Pascasarjana UI *Pusat Kajian Antropologi-FISIP UI Mia Siscawati *Program Studi Kajian Gender-Program Pascasarjana UI *Pusat Kajian Antropologi-FISIP UI Kampung tersebut memiliki tingkat kemiskinan cukup tinggi, tingkat pendidikan rendah, dan tingkat

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT 1 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Yang saya hormati: Tanggal, 19 Juni 2008 Pukul 08.30 W IB

Lebih terperinci

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA Diah Uswatun Nurhayati Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, suku, ras, agama, kebudayaan ataupun peradaban. Pemicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konflik menjadi fenomena yang seakan menjadi biasa dalam masyarakat Indonesia. Kondisi Negara Indonesia dengan segala macam kemajemukan dan heterogenitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan apabila ada interaksi sosial yang positif, diantara setiap etnik tersebut dengan syarat kesatuan

Lebih terperinci

MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL

MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL Seminar Dies ke-22 Fakultas Sastra Pergulatan Multikulturalisme di Yogyakarta dalam Perspektif Bahasa, Sastra, dan Sejarah MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL oleh Hilmar Farid Universitas

Lebih terperinci

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160906163356-21-156465/problem-papua-dan-rapuhnya-relasi-kebangsaan/ Arie Ruhyanto, CNN Indonesia Kamis, 15/09/2016 08:24

Lebih terperinci

MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN. by. EVY SOPHIA

MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN. by. EVY SOPHIA MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN by. EVY SOPHIA A. Hakikat Keragaman dan Kesetaraan Manusia. B. Kemajemukkan Dalam Dinamika Sosial Budaya. C. Keragaman & Kesetaraan sebagai kekayaan sosial budaya. D.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari gambaran demografi bahwa terdapat 726 suku bangsa dengan 116 bahasa daerah dan terdapat 6 (enam) jenis agama. (Koran Tempo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya

BAB I PENDAHULUAN. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang terbentang luas

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE MUTHMAINNAH 131211132004 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA hmadib2011@gmail.com1 a. Judul Toleransi yang tak akan pernah pupus antar umat beragama di dalam

Lebih terperinci

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia dalam interaksi berbangsa dan bernegara terbagi atas lapisanlapisan sosial tertentu. Lapisan-lapisan tersebut terbentuk dengan sendirinya sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 105 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran dari skripsi dengan judul GEJOLAK PATANI DALAM PEMERINTAHAN THAILAND (Kajian Historis Proses Integrasi Rakyat Patani

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat BAB V Kesimpulan A. Masalah Cina di Indonesia Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat melihat Masalah Cina, khususnya identitas Tionghoa, melalui kacamata kultur subjektif

Lebih terperinci

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL II. TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL A. Konflik Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Jadi, konflik dalam

Lebih terperinci

BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK DAYAK MADURA DI SAMALANTAN A. Alasan Budaya. berkelompok, memiliki rasa solidaritas tinggi di antara sesama etnisnya dan

BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK DAYAK MADURA DI SAMALANTAN A. Alasan Budaya. berkelompok, memiliki rasa solidaritas tinggi di antara sesama etnisnya dan BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK DAYAK MADURA DI SAMALANTAN A. Alasan Budaya Orang Madura juga dikenal sebagai suku yang senang hidup berkelompok, memiliki rasa solidaritas tinggi di antara sesama etnisnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai suatu negara multikultural merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai etnik yang menganut

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Kesimpulan penelitian meliputi sumber konflik serta keterkaitan jejaring sosial dan konflik di pedesaan Saparua, diikuti dengan kesimpulan teoritik. Kesimpulan kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah saat ini merupakan ruang otonom 1 dimana terdapat tarik-menarik antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB VII RAGAM SIMPUL

BAB VII RAGAM SIMPUL BAB VII RAGAM SIMPUL Komunitas India merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sejak awal abad Masehi. Mereka datang ke Indonesia melalui rute perdagangan India-Cina dengan tujuan untuk mencari kekayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseharian. Batas-batas teritorial sebuah negara seakan-akan tidak ada lagi. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. keseharian. Batas-batas teritorial sebuah negara seakan-akan tidak ada lagi. Setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Gelombang globalisasi kini menjadi fenomena dan realitas kehidupan keseharian. Batas-batas teritorial sebuah negara seakan-akan tidak ada lagi. Setiap hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang begitu unik. Keunikan negara ini tercermin pada setiap dimensi kehidupan masyarakatnya. Negara kepulauan yang terbentang dari

Lebih terperinci

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan 2016 2019 PUSKAMUDA Isu Strategis dalam Kerangka Strategi Kebijakan 1. Penyadaran Pemuda Nasionalisme Bina Mental Spiritual Pelestarian Budaya Partisipasi

Lebih terperinci

parameter nominal Dapat menyebabkan disintegrasi sosial/budaya

parameter nominal Dapat menyebabkan disintegrasi sosial/budaya KONFLIK ANTAR ETNIS INDONESIA Pluralisme sosial Heterogenitas diferensiasi sosial parameter nominal kesenjangan sosial parameter graduate SARA,Parpol & ormas ekonomi & jabatan Dapat menyebabkan disintegrasi

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan B. Implikasi C. Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA...

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan B. Implikasi C. Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA... DAFTAR ISI Daftar Isi Halaman LEMBARAN PENGESAHAN... i LEMBARAN PERSETUJUAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN... iv PERSEMBAHAN... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii KATA PENGANTAR... viii UCAPAN TERIMA KASIH...

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. A. Pengertian Identitas Nasional

BAB II PEMBAHASAN. A. Pengertian Identitas Nasional BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Identitas Nasional Istilah Identitas nasional secara terminologis Adalah suatu ciri yang dimiliki suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

UKDW BAB I. (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h

UKDW BAB I. (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bangsa Indonesia di tengah keberagamannya menganut falsafah Bhinneka Tunggal Ika. 1 Prinsip ini mengandung makna dan nilai yang sangat dalam serta luas bagi pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini telah dijumpai beberapa warga etnis seperti Arab, India, Melayu apalagi warga etnis Tionghoa, mereka sebagian besar telah menjadi warga Indonesia,

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2 PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN 2010 2014 1 Ignatius Mulyono 2 1. Misi mewujudkan Indonesia Aman dan Damai didasarkan pada permasalahan bahwa Indonesia masih rawan dengan konflik.

Lebih terperinci

BAB I. PENGANTAR. dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi

BAB I. PENGANTAR. dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi 1 BAB I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Tesis ini mendiskusikan komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang diwarnai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang diwarnai dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang diwarnai dengan masyarakat majemuk dimana terdapat beragam identitas etnis, suku, adat, ras, dan agama,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut, BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dari analisis yang telah dilakukan terkait resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang guna mengatasi konflik di Sampit,

Lebih terperinci

9 Penyebaran hate..., Gloria Truly Estrelita, FISIP UI, 2009

9 Penyebaran hate..., Gloria Truly Estrelita, FISIP UI, 2009 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah mengenai peristiwa G30S adalah tema yang sudah banyak digarap dan diangkat. Walau begitu, tema yang berkaitan dengan Lekra belumlah banyak. Padahal para anggota Lekra yang

Lebih terperinci

Indeks Keamanan Manusia Indonesia (IKMI) Dimensi, Variabel, dan Indikator

Indeks Keamanan Manusia Indonesia (IKMI) Dimensi, Variabel, dan Indikator Indeks Keamanan Manusia Indonesia (IKMI) Dimensi, Variabel, dan Indikator I. Dimensi Keamanan dari Bencana (Kebencanaan) Dalam UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Kemajukan ini di tandai oleh adanya suku-suku bangsa yang masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komperhensif tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik di Ambon.

BAB I PENDAHULUAN. komperhensif tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik di Ambon. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Studi mengenai konflik Ambon merupakan bahasan menarik yang perlu diteliti lebih lanjut khususnya mengenai akar-akar konflik dalam konteks perebutan kekuasaan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kerukunan umat beragama merupakan dambaan setiap umat, manusia. Sebagian besar umat beragama di dunia, ingin hidup rukun, damai dan tenteram dalam menjalankan

Lebih terperinci

Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang

Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang Momentum reformasi pada pertengahan tahun 1997 telah mendorong terjadinya perubahan sosial, politik dan ekonomi yang cukup mendasar di Indonesia pada tahun 1998. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makna bagi dunianya melalui adaptasi ataupun interaksi. Pola interaksi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. makna bagi dunianya melalui adaptasi ataupun interaksi. Pola interaksi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang mampu menciptakan makna bagi dunianya melalui adaptasi ataupun interaksi. Pola interaksi merupakan suatu cara, model, dan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI

PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI Antonio Prajasto Roichatul Aswidah Indonesia telah mengalami proses demokrasi lebih dari satu dekade terhitung sejak mundurnya Soeharto pada 1998. Kebebasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu isu utama dalam hubungan internasional. Persoalan ini menjadi sangat

BAB I PENDAHULUAN. salah satu isu utama dalam hubungan internasional. Persoalan ini menjadi sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persoalan peace building atau pembangunan damai pasca konflik menjadi salah satu isu utama dalam hubungan internasional. Persoalan ini menjadi sangat signifikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain karena mengangkat konsep multikulturalisme di dalam film anak. Sebuah konsep yang jarang dikaji dalam penelitian di media

Lebih terperinci

DEMOKRASI DAN RADIKALISME

DEMOKRASI DAN RADIKALISME l i m e m o k r a t i s EMOKRASI AN RAIKALISME i g i t a AGAMA m o k r a t i s. c o m l Rumadi Edisi 009, Agustus 2011 1 emokrasi dan Radikalisme Agama Prof. John O Voll, guru besar sejarah di Georgetown

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku bangsa, beranekaragam Agama, latar belakang sejarah dan kebudayaan daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merantau adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris atau bahasa asing manapun. Merantau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan ada di dalamnya. Hal

I. PENDAHULUAN. mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan ada di dalamnya. Hal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai sebuah negara yang besar berdiri dalam sebuah kemajemukan komunitas. Beranekaragam suku bangsa, ras, agama, dan budaya yang masingmasing mempunyai

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL Studi ini bertujuan meneliti penyebab dan dampak konflik antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang selalu membutuhkan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya manusia selalu berkomunikasi

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. telah disaksikan tata pola penguasa negara. Jika dilihat kembali awal berdirinya Orde

I.PENDAHULUAN. telah disaksikan tata pola penguasa negara. Jika dilihat kembali awal berdirinya Orde I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kurang lebih 32 tahun Orde Baru berdiri, dan selama pemerintahan itu berlangsung telah disaksikan tata pola penguasa negara. Jika dilihat kembali awal berdirinya

Lebih terperinci

Berkaitan dengam dua konsep di atas, maka keragaman diperlukan adanya kesetaraan atau kesederajatan. Artinya,meskipun individu maupun masyarakat

Berkaitan dengam dua konsep di atas, maka keragaman diperlukan adanya kesetaraan atau kesederajatan. Artinya,meskipun individu maupun masyarakat RANGKUMAN MATERI A. Hakikat Keragaman dan Kesetaraan Manusia 1. Makna keragaman manusia Berdasarkan KBBI, ragam berarti (1) sikap, tingkah laku, cara; (2) macam, jenis; (3) music, lagu, langgam; (4) warna,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara

BAB I PENDAHULUAN. memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu yang ada dan diciptakan di muka bumi ini selalu memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara utuh, bahkan meskipun

Lebih terperinci

ISLAM DAN KEBANGSAAN. Jajat Burhanudin. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)

ISLAM DAN KEBANGSAAN. Jajat Burhanudin. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) ISLAM DAN KEBANGSAAN Temuan Survey Nasional Jajat Burhanudin Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta 2007 METODOLOGI SURVEI Wilayah: Nasional Metode: multi-stage random sampling Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia, sesuatu yang sangat unik, yang tidak dimiliki oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia, sesuatu yang sangat unik, yang tidak dimiliki oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia yang di bangun di atas keberagaman/kemajemukan etnis, budaya, agama, bahasa, adat istiadat.kemajemukan merupakan kekayaan bangsa Indonesia, sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

Bangsa (nation), apa itu? Charles Tilly: istilah yang paling menimbulkan teka-teki dan tendensius dalam kamus politik (The Formation Of National

Bangsa (nation), apa itu? Charles Tilly: istilah yang paling menimbulkan teka-teki dan tendensius dalam kamus politik (The Formation Of National Bangsa (nation), apa itu? Charles Tilly: istilah yang paling menimbulkan teka-teki dan tendensius dalam kamus politik (The Formation Of National State in western Europe: 1975). Dari berbagai definisi tentang

Lebih terperinci

SISTEM EKONOMI PANCASILA:

SISTEM EKONOMI PANCASILA: BAB II SISTEM EKONOMI PANCASILA: RELEVANSI PLATFORM EKONOMI PANCASILA MENUJU PENGUATAN PERAN EKONOMI RAKYAT Oleh: Dewi Triwahyuni A. Landasan Sistem Ekonomi Indonesia Pancasila sebagai ideologi nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki sejumlah masalah perkotaan yang sangat kompleks. Salah satu ciri negara berkembang adalah pesatnya perkembangan

Lebih terperinci

KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA

KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA 1 KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA Pengantar Membanjirnya warga etnik Madura yang berasal dari Kalimantan ke pulau Madura hingga mencapai 128.919 orang (OCHA, 2003) menimbulkan sejumlah

Lebih terperinci

MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN

MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN PENDAHULUAN Bagaimana keragaman manusia yang merupakan kenyataan yang tidak perlu dipermasalahkan, sehingga kesetaraan antar manusia akan mengantarkan hidup manusia menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki makna sesuatu yang beragam, sesuatu yang memilik banyak perbedaan begitupun dengan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Lebih terperinci

MENGATASI KONFLIK, NEGOSIASI, PENDEKATAN KEAMANAN BERPERSPEKTIF HAM

MENGATASI KONFLIK, NEGOSIASI, PENDEKATAN KEAMANAN BERPERSPEKTIF HAM SEMINAR DAN WORKSHOP Proses Penanganan Kasus Perkara dengan Perspektif dan Prinsip Nilai HAM untuk Tenaga Pelatih Akademi Kepolisian Semarang Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 7-9 Desember 2016 MAKALAH

Lebih terperinci

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar. Tiga Gelombang Demokrasi Demokrasi modern ditandai dengan adanya perubahan pada bidang politik (perubahan dalam hubungan kekuasaan) dan bidang ekonomi (perubahan hubungan dalam perdagangan). Ciriciri utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu Etnisitas adalah isu yang sangat rentan menjadi komoditi politik pada setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja dimobilisasi dan dimanipulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan agama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),

Lebih terperinci

Bab Satu Pendahuluan. Ciptaan: NN.

Bab Satu Pendahuluan. Ciptaan: NN. Bab Satu Pendahuluan Hela Rotan 1 Hela hela rotan e rotan e tifa jawa, jawa e babunyi Reff, rotan, rotan sudah putus sudah putus ujung dua, dua bakudapa e. Ciptaan: NN. Syair lagu di atas mengingatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan suatu bentuk seni kreatif yang di dalamnya mengandung nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan suatu bentuk seni kreatif yang di dalamnya mengandung nilainilai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu bentuk seni kreatif yang di dalamnya mengandung nilainilai keindahan. Sebuah karya sastra bukan ada begitu saja atau seperti agak dibuat-buat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikiran negative yang dapat memicu lahir konflik(meteray, 2012:1).

BAB I PENDAHULUAN. pikiran negative yang dapat memicu lahir konflik(meteray, 2012:1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang multikultural. Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa besar dan kecil, banyak suku bangsa dengan bahasa dan identitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki struktur masyarakat majemuk dan multikultural terbesar di dunia. Keberagaman budaya tersebut memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat lebih dari 500 etnis di Indonesia (Suryadinata, 1999). Suku Batak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah provinsi kepulauan dengan ciri khas sekumpulan gugusan pulau-pulau kecil di bagian timur wilayah

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat). BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1 Identifikasi Masalah Manusia entah sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dalam lingkup kehidupannya. Manusia akan selalu berhadapan

Lebih terperinci