III. KERANGKA PEMIKIRAN. deforestasi dan degradasi hutan. Model yang dibangun diharapkan dapat menjelaskan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. KERANGKA PEMIKIRAN. deforestasi dan degradasi hutan. Model yang dibangun diharapkan dapat menjelaskan"

Transkripsi

1 III. KERANGKA PEMIKIRAN BAB III menjelaskan kerangka pemikiran membangun model ekonomi deforestasi dan degradasi hutan. Model yang dibangun diharapkan dapat menjelaskan pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Kerangka pemikirannya meliputi: (1) identifikasi deforestasi dan degradasi hutan, (2) identifikasi transmisi kebijakan dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan, dan (3) konstruksi model ekonomi deforestasi dan degradasi hutan Deforestasi Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori nonhutan (tidak berhutan). Nonhutan atau areal tidak berhutan didefinisikan sebagai bentuk penutupan lahan berupa: (1) semak/belukar, (2) belukar rawa, (3) savanna/padang rumput, (4) perkebunan, (5) pertanian lahan kering, (6) pertanian lahan kering campur semak, (7) transmigrasi, (8) sawah, (9) tambak, (10) tanah terbuka, (11) pertambangan, (12) pemukiman, (13) rawa, dan (14) pelabuhan udara/laut (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008). Dari ke 14 kategori deforestasi tersebut, savanna/padang rumput (3) dan (rawa (13) tidak dapat dikategorikan sebagai hasil konversi hutan primer (deforestasi) selama savanna/padang rumput dan rawa merupakan suatu ekosistem tersendiri yang berbeda dengan ekosistem hutan primer. Sebaliknya semak/belukar (1), belukar rawa (2) dan tanah terbuka (10) dapat dikategorikan sebagai deforestasi selama semak/belukar, belukar rawa dan tanah terbuka merupakan bekas pembalakan hutan berlebihan, yang menyebabkan hilangnya tutupan hutan namun alih fungsi lahan

2 42 belum jelas. Demikian pula dengan areal transmigrasi dapat dibedakan ke dalam lahan pertanian, perkebunan, hutan tanaman dan pemukiman, sehingga alih fungsi lahan areal transmigrasi juga belum struktur penggunaan yang jelas. Dengan demikian, areal deforestasi yang memiliki alih fungsi hutan secara jelas adalah: perkebunan (4), pertanian lahan kering (5), pertanian lahan kering campur semak (6), sawah (8), tambak (9), pertambangan (11), pemukiman (12), dan pelabuhan udara/laut (14). Delapan komponen nonhutan ini dapat disederhanakan ke dalam 6 komponen, yaitu: (1) perkebunan, (2) pertanian, yang mencakup pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, dan sawah, (3) perikanan (tambak), (4) pertambangan, (5) pemukiman, dan (6) pelabuhan (udara/laut). Dalam penelitian pengertian hutan merujuk pada hutan alam sehingga hutan tanaman industri (HTI) dimasukkan sebagai komponen deforestasi, karena merupakan hasil konversi hutan alam. Dengan memasukkan areal HTI, terdapat 7 komponen deforestasi yang memiliki pengertian alih fungsi hutan secara jelas. Dari tujuh komponen deforestasi tersebut, komponen yang paling sering didiskusikan adalah komponen pertanian, perkebunan, HTI, dan pertambangan. Komponen pertanian, khususnya tanaman pangan, dan komponen perkebunan, terutama karet dan sawit. Untuk penyederhanaan, areal deforestasi yang dianalisis meliputi: (1) tanaman pangan (padi), (2) tanaman karet, (3) tanaman sawit, dan (4) HTI (Gambar 14). Total luas keempat komponen deforestasi tersebut adalah 31.8 juta ha. Komponen terluas adalah areal tanaman padi (11.5 juta ha), kemudian disusul oleh HTI (9.0 juta ha), dan sawit (7.8 juta ha). Luas tanaman karet adalah 3.5 juta ha. Deforestasi yang terjadi pada dasarnya disebabkan oleh kebijakan pemerintah berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional, terutama pembangunan ekonomi. Dalam pengertian pemerintah bertindak sebagai agen yang

3 43 menetapkan luasan lahan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain melalui kebijakan alih fungsi hutan (pelepasan areal) atau pinjam pakai atau tukar menukar. Hal ini juga tercermin dalam kebijakan yang membagi kawasan hutan (70.5 % dari luas daratan Indonesia) di samping ditetapkan sebagai hutan konservasi, dan hutan produksi tetap dan terbatas, ditetapkan juga sebagai hutan produksi konversi. Pembalakan Hutan Alam Primer Reboisasi Degradasi Hutan Logged Over Area (LOA) Degradasi Hutan Deforestasi Tanaman Pangan Tanaman Karet Tanaman Sawit Hutan Tanaman Industri Gambar 14. Proses Degradasi dan Deforestasi pada Hutan Alam Penetapan hutan produksi konversi bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi pengembangan sektor-sektor lain yang membutuhkan areal pengembangan. Kebutuhan areal untuk mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan mendorong pemerintah perlu mencetak areal persawahan, kebijakan makroekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan mendorong pentingnya peningkatan produksi semua sektor, termasuk perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Dalam kasus konversi hutan untuk perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman Industri), hasil penelitian Kartodihardjo dan Supriono (2000) menemukan: (1)

4 44 kebijakan pembangunan HTI melegitimasi dan mendorong kerusakan hutan alam; (2) subsidi bagi pembangunan HTI sebenarnya tidak diperlukan; (3) pembangunan perkebunan telah mengkonversi lebih banyak lahan daripada yang dibutuhkan untuk mendapatkan tambahan keuntungan dari kayu hasil pembukaan lahan; (4) sistem klasifikasi penggunaan lahan hutan yang tumpang tindih dan tidak kunjung dapat diselesaikan telah menjadi sumber keuntungan bagi para pengembang melalui lepasnya hak-hak masyarakat dan semakin memburuknya kehidupan mereka yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan; dan (5) pemecahan masalah ini dihambat oleh kaku dan kuatnya pendekatan top-down serta tidak adanya pengakuan bagi hak-hak masyarakat adat terhadap lahan hutan. Sedjo (1992) dan Vincent (1990) dalam Soedomo (2003) menyimpulkan bahwa kinerja finansial yang inferior dalam pengelolaan hutan telah dipercayai menjadi penyebab utama deforestasi di daerah tropis. Kenyataan menunjukkan konversi hutan (deforestasi) awalnya dimungkinkan pada hutan primer (virgin forest) namun dalam perkembangannya hanya boleh pada logged over area (LOA). Dalam kasus konversi hutan dilakukan pada hutan primer, proses menuju areal penggunaan lain (deforestasi) selalu melalui kondisi LOA (Gambar 14), karena hutan harus ditebang agar dapat dimanfaatkan untuk penggunaan lain, meskipun tidak jarang terjadi setelah penebangan selesai kegiatan penggunaan lain tidak pernah direalisasikan dan areal LOA ditinggalkan tanpa pengelolaan. Berdasarkan izin yang diberikan oleh pemerintah, LOA dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) LOA akibat penebangan dengan tujuan komersial yang dilakukan oleh pemegang konsesi berdasarkan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH), dan (2) LOA akibat penebangan dengan tujuan alih fungsi hutan yang dilakukan oleh kontraktor penebangan

5 45 berdasarkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Penebangan dengan dasar IPK pada LOA dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) penebangan pada LOA untuk tujuan alih fungsi ke areal penggunaan lain, dan (2) penebangan atau pembalakan pada LOA untuk tujuan konversi menjadi hutan tanaman. Meskipun pemerintah bertindak sebagai agen yang menetapkan luasan lahan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain melalui kebijakan alih fungsi hutan (pelepasan areal) atau pinjam pakai atau tukar menukar, keputusan pemerintah untuk merespon tekanan pelepasan areal bergantung pada kinerja sektor-sektor ekonomi yang bersangkutan. Kinerja sektor-sektor ekonomi dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan pasar komoditas masing-masing sektor. Komoditas pangan lebih berorientasi pada permintaan dalam negeri dibanding ekspor, sementara komoditas karet, sawit dan pulp lebih berotientasi ekspor. Oleh karenanya peningkatan kebutuhan areal untuk meningkatkan produksi sebagai upaya memenuhi permintaan komoditas pangan lebih ditentukan oleh perkembangan permintaan dalam negeri, sementara untuk komoditas karet, sawit dan pulp lebih ditentukan oleh permintaan ekspor. Gambar 15 menjelaskan hubungan antara permintaan pasar komoditas pangan, karet, sawit dan pulp dengan deforestasi. Pada Gambar 15 terlihat bahwa peningkatan permintaan pasar akan mendorong peningkatan produksi dan peningkatan produksi akan meningkatkan kebutuhan lahan. Peningkatan kebutuhan lahan akhirnya akan meningkatkan deforestasi.

6 46 Logged Over Area (LOA) Degradasi Hutan Degradasi Hutan Deforestasi A TPN A TKR A TSW A HTI Q PN Q KR Q BSW Q KHTI Q MSWW Q WC Q WP D PN D KR D MSW D WP Keterangan: A = Luas Areal; Q = Produksi; D = Permintaan; TPN = Tanaman Pangan; PN=Pangan; TKR = Tanaman Karet; KR = Karet; TSW = Tanaman Sawit; BSW = Buah Sawit; MSW = Minyak Sawit; HTI = Hutan Tanaman Industri; KHTI = Kayu HTI; WC = Serpih Kayu; WP = Pulp. Gambar 15. Hubungan antara Permintaan Pasar Pangan, Karet, Minyak Sawit dan Pulp dengan Deforestasi Menurut Ferreira (2004) kebanyakan negara-negara berkembang memiliki kelemahan kelembagaan (institutional weakness), terutama hak kepemilikan (property rights), dan keterbatasan peraturan peundangan (rule of law). Bahkan dalam kondisi hutan sebagai hak milik, terdapat kelemahan penegakan hak kepemilikan, misalnya, dalam bentuk expropriation risk, yang diterjemahkan menjadi discount rates tinggi sehingga menekan investasi hutan, menekan petani meningkatkan intensitas pemeliharaan hutan dan meningkatkan frekuensi pemanenan hutan.

7 Degradasi Hutan Pada Gambar 14 terlihat bahwa deforestasi dimulai dari pembalakan hutan primer (virgin forest). Pembalakan hutan primer menyebabkan hutan tidak menjadi virgin lagi. Areal bekas tebangan dinamakan logged over area (LOA). Apakah areal LOA termasuk ke dalam hutan yang terdegradasi atau tidak bergantung pada definisi yang digunakan. Bagi kalangan yang hanya tertarik pada peranan hutan, khususnya hutan alam sebagai penyerap karbondioksida, LOA dapat dikategorikan sebagai hutan yang terdegradasi, karena berkurangnya jumlah pohon menyebabkan berkurangnya fungsi daya serap hutan terhadap CO 2. Jika hutannya dikelola secara berkelanjutan, maka fungsi penyerap CO 2 dapat stabil atau berkelanjutan, karena jumlah pohon yang ditebang tiap tahun selalu tergantikan. Intergovernmental Panel on Climate Changes (IPPC), termasuk kalangan yang lebih menekankan fungsi hutan sebagai pemroses CO 2. Intergovernmental Panel on Climate Changes (IPCC 2003a dalam Murdiyarso et al 2008) mendefinisikan degradasi hutan sebagai kehilangan setidaknya Y% stok karbon (dan nilai hutan) dalam jangka waktu lama (selama setdaknya X tahun) sejak waktu T yang disebabkan kegiatan manusia dan tidak dianggap sebagai deforestasi (IPCC 2003a dalam Murdiyarso et al 2008). Menurut GOFC-GOLD (2008) dalam Murdiyarso et al 2008, kegiatan yang biasa menjadi penyebab degradasi hutan di daerah tropis meliputi: (1) tebang pilih, (2) kebakaran hutan terbuka dan dalam skala luas, (3) pengumpulan hasil hutan nonkayu dan kayu bakar, dan (4) produksi arang, pengembalaan, kebakaran tegakan bawah dan perladangan berpindah. Namun dua dari 4 faktor tersebut, yaitu faktor penyebab (1) dan (3) kurang dapat diterima oleh kalangan yang tertarik dengan fungsi hutan sebagai penghasil barang dan jasa untuk kesejahteraan.

8 48 Definisi IPPC tersebut lebih menekankan peranan hutan sebagai penyerap karbondioksida. Terdapat definisi lain yang lebih mengartikan degradasi hutan dari sisi fungsi hutan sebagai pencegah erosi. Dengan menekankan pada aspek erosi, maka kondisi LOA yang menimbulkan erosi tinggi dapat dikategorikan sebagai hutan yang terdegradasi. Selain kedua definisi tersebut, terdapat definisi lain, yaitu yang lebih menekankan pada aspek kelayakan finansial usaha. Dengan menekankan pada aspek kelayakan usaha, LOA akan dikategorikan terdegradasi jika potensi hutannya dinilai terlalu rendah atau tidak memenuhi standar kelayakan finansial usaha. Terkait dengan definisi ini, terdapat pandangan yang menjelaskan bahwa hutan dikatakan terdegrasi jika struktur tegakan hutannya tidak dapat dipanen secara lestari. Pemanenan secara lestari membutuhkan managemen untuk menata struktur tegakannya agar kembali lestari. Mengacu pada beberapa definisi atau pengertian tersebut, definisi degradasi hutan di sini lebih membatasi pengertian degradasi hutan yang terjadi pada hutan alam produksi, bukan pada hutan tanaman, hutan lindung atau hutan konservasi. Degradasi hutan diartikan sebagai perubahan kondisi hutan primer akibat penebangan yang melebihi potensi lestari hutan. Dengan pengertian ini, areal bekas penebangan (LOA) dikategorikan sebagai hutan terdegradasi, karena kenyataan menunjukkan best practice pengelolaan hutan alam produksi belum terwujud di lapangan. Hasil penelitian Ismanto (2010) dengan pendekatan S-P-K (struktur-perilakukinerja) menunjukkan fenomena tersebut. Sebagian besar perusahaan tidak menempatkan praktek-praktek pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan; kurang dari 10 persen perusahaan penerima IUPPHHK (HPH) yang mempunyai komitmen terhadap pengelolaan hutan. Tingkat kerusakan tegakan tinggal tergolong cukup tinggi, yang disebabkan oleh perilaku dalam praktek produksi kayu yang tidak

9 49 sesuai dengan aturan dan rencana; 77.5% perusahaan mempunyai rentabilitas tidak baik, yang berarti sebagian besar perusahaan melaporkan perusahaannya mengalami kerugian. D KL D KG D WP Q KL Q KG Q WP D KHA D KHA D KHA Q KHA A HPH Reboisasi Degradasi Hutan Logged Over Area (LOA) Degradasi Hutan Deforestasi Keterangan: A = Luas Areal ; HPH = Hak Pengusahaan Hutan; Q = Produksi; D = Permintaan; KHA = Kayu Hutan Alam; KL = Kayu Lapis; KG = Kayu Gergajian; WP = Pulp Gambar 16. Hubungan antara Permintaan Pasar Kayu Lapis, Kayu Gergajian dan Pulp dengan Degradasi Hutan Gambar 16 menjelaskan hubungan antara permintaan pasar kayu lapis, kayu olahan dan pulp dengan degradasi hutan. Pada Gambar 16 terlihat bahwa peningkatan permintaan pasar akan mendorong peningkatan produksi kayu bulat dan peningkatan produksi kayu bulat akan meningkatkan luas tebangan hutan alam. Peningkatan luas tebangan hutan alam akhirnya akan meningkatkan LOA, yang berarti meningkatkan degradasi hutan.

10 Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan makroekonomi (fiskal dan moneter) mempengaruhi pertumbuhan sektor sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Pertumbuhan produksi dan perdagangan hasil tanaman pangan, perkebunan dan hasil hutan tanaman selanjutnya mempengaruhi deforestasi (Gambar 15) dan hasil hutan alam selanjutnya mempengaruhi degradasi hutan (Gambar 16). Konsekuensinya, sumberdaya hutan (primer) mendapatkan dua tekanan, yaitu: (1) tekanan permintaan pasar komoditas kehutanan (kayu lapis, kayu gergajian, pulp), dan tekanan permintaan pasar komoditas pangan dan perkebunan (karet, sawit), serta komoditas yang lain (pertambangan) (tidak tercantum dalam gambar) Pengaruh Kebijakan Fiskal Dari sisi fiskal, pemerintah mempengaruhi kinerja makroekonomi dengan instrumen kebijakan pengaturan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Kebijakan fiskal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan melalui pengaruhnya terhadap produksi dan perdagangan sektor-sektor ekonomi yang berkontribusi terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Untuk penyederhanaan analisis dilakukan untuk tanaman pangan: padi; perkebunan: karet dan sawit; dan kehutanan: HTI dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan Alam). Pengenaan pajak dan bukan pajak di satu sisi, dan pemberian subsidi di sisi lain, terhadap sektor-sektor ekonomi akan mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan. Kebijakan fiskal mempengaruhi harga input: suku bunga, harga BBM (bahan bakar minyak), harga pupuk, dan upah tenaga kerja, serta mempengaruhi harga output melalui pajak pada harga ekspor dan tarif impor pangan, karet, sawit, dan kayu.

11 Pengaruh Penerimaan Negara Struktur penerimaan negara disajikan pada Gambar 17. Pada Gambar 17 terlihat bahwa dari sisi penerimaan negara, pemerintah dapat mempengaruhi sektorsektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan melalui instrumen pajak dan bukan pajak. Instrumen pajak dan bukan pajak dapat dikenakan pada kegiatan produksi, konsumsi, dan perdagangan internasional (ekspor dan impor). Pengenaan pajak dan bukan pajak akan menekan kinerja sektor-sektor ekonomi, dan sebaliknya membebaskan pengenaan pajak dan bukan pajak akan merangsang kinerja sektor-sektor ekonomi, termasuk pangan, perkebunan, dan kehutanan. Pengaruh penerimaan negara terhadap deforestasi dan degradasi hutan adalah tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap kinerja sektor-sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan. Pengaruh penerimaan yang mungkin dapat diananalisis adalah pengaruh penerimaan pajak dalam negeri, yaitu: pajak perdagangan internasional, yang meliputi: pajak ekspor dan tarif impor, dan penerimaan bukan pajak, yang meliputi: PSDH (untuk hutan tanaman dan hutan alam) dan DR (Dana Reboisasi). Pengaruh penerimaannya dapat dianalisis melalui pengaruhnya terhadap kegiatan produksi dan perdagangan pangan, karet, sawit, kayu, dan produk-produk turunannya.

12 52 Penerimaan Negara Penerimaan Pajak Penerimaan Bukan Pajak Pajak Dalam Negeri PPh PBB PPN BPHTB Cukai Pajak Lain Pajak Perdagangan Internasional Bea Masuk Perikanan Pertambangan Umum Bea Masuk Nonmigas Panas Bumi PSDA Kehutanan Migas Bagian Laba BUMN Pendapatan BLU Migas PNBP Lain Gas Alam Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Gambar 17. Struktur dan Komponen Penerimaan Negara Pengaruh Pengeluaran Negara Struktur pengeluaran negara disajikan pada Gambar 18. Pada Gambar 18 terlihat bahwa dari sisi pengeluaran negara, pemerintah dapat mempengaruhi sektorsektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan melalui kebijakan pengeluaran negara. Pengeluaran yang lebih pada pembayaran hutang dapat menurunkan subsidi dan/atau belanja pemerintah. Demikian pula pengeluaran yang lebih pada subsidi dapat mengurangi pembayaran hutang dan/atau belanja pemerintah. Pengeluaran yang lebih pada belanja pemerintah akan mnurunkan kemampuan pembayaran hutang dan/atau subsidi. Pemerintah mengatur sedemikian

13 53 rupa sehingga dicapai sasaran-sasaran pembangunan, yaitu terdapat keseimbangan yang berarti bagi masing-masing pengeluaran sesuai tujuan pembangunan. Kebijakan pengeluaran negara secara tidak langsung mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam melalui pengaruhnya terhadap pemberian subsidi dan belanja pemerintah. Pemberian subsidi BBM berpengaruh pada harga BBM yang dibutuhkan untuk kegiatan produksi dan transportasi, sedangkan belanja modal antara lain untuk pembangunan infrastruktur transportasi yang dapat meningkatkan efisiensi kegiatan-kegiatan ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Dengan demikian pengaruh kebijakan fiskal dapat dianalisis melalui beragam instrumen, termasuk instrumen subsidi. Struktur dan komponen subsidi pemerintah disajikan pada Gambar 19. Pada Gambar 19 terlihat bahwa subsidi energi meliputi: (1) subsidi BBM dan (2) subsidi listrik. Subsidi nonenergi memiliki 9 komponen. Empat komponen yang pertama meliputi: (1) pangan, ( 2) pupuk, (3) benih, dan (4) kredit program. Lima komponen yang terakhir meliputi: (1) PSO (Public Service Obligation), (2) minyak goreng, (3) pajak, (4) kedelai, dan (5) subsidi lain. Subsidi pangan, kedelai, minyak goreng dan pajak akan menaikkan konsumsi, khususnya konsumsi pangan. Subsidi BBM dan listrik serta pupuk mempengaruhi produksi tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Sedangkan subsidi benih dan kredit program mempengaruhi produksi, khususnya produksi pangan dan perkebunan, karena keduanya yang menerima subsidi tersebut. Komponen subsidi yang sering mendapatkan perhatian publik adalah: (1) subsidi BBM, (3) harga pupuk, (3) suku bunga (kredit program), dan (4) HPP gabah kering giling.

14 54 Pengeluaran Negara Pembayaran Bunga Hutang Belanja Pegawai Hutang DN Hutang LN Subsidi Belanja Barang Belanja Modal Belanja Hibah Energi Nonenergi Bantuan Sosial Bencana Bantuan K/L Belanja Lain Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Gambar 18. Struktur dan Komponen Pengeluaran Negara Pengaruh Kebijakan Moneter Dari sisi moneter, otoritas moneter (Bank Sentral Indonesia) mempengaruhi kinerja makroekonomi melalui instrumen kebijakan pengendalian money supply (MS). Ketika uang yang beredar di masyarakat untuk bertransaksi (money demand) berlebihan, yang dikhawatirkan menyebabkan inflasi, Bank Sentral Indonesia (BI) mengabsorbsi uang beredar yang berlebihan, sehingga kembali sama dengan money supply dengan menaikkan suku bunga. Sebaliknya ketika masyarakat diperkirakan membutuhkan uang yang lebih untuk bertransaksi, BI menurunkan suku bunga dengan meningkatkan money supply.

15 55 Subsidi Energi Nonenergi Subsidi BBM Subsidi Listrik Pangan PSO Minyak Goreng Pupuk Pajak Benih Kdelai Kredit Program Lainnya Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Gambar 19. Struktur dan Komponen Subsidi Negara Menurut Bank Indonesia, tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian target inflasi. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi (Gambar 20). Guna memahami pengaruh kebijakan moneter terhadap deforestasi dan degradasi hutan, jalur suku bunga dan jalur nilai tukar yang lebih ditekankan, karena akan langsung mempengaruhi suku bunga sebagai harga kapital, dan harga ekspor dan impor pangan, karet, sawit, pulp dan kayu.

16 56 BI Rate Suku Bunga Deposito & Kredit Kredit yang Disalurkan Harga Aset (Obligasi & Saham Konsumsi Investasi PDB Nilai Tukar Ekspor Ekspekatasi Inflasi Feedback Sumber: Bank Indonesia Gambar 20. Saluran dan Mekanisme Pengaruh BI Rate terhadap Aktivitas Ekonomi Dampak kebijakan moneter terhadap deforestasi, khususnya untuk perluasan areal tanaman pangan, karet, dan sawit, melalui saluran suku bunga dihipotesiskan lebih kecil dibanding dampak kebijakan fiskal melalui subsidi kredit program; subsidi kredit program mengisolasi diri dari pengaruh kebijakan moneter. Namun dampaknya terhadap deforestasi oleh HTI, dan degradasi hutan mungkin lebih besar. Dampaknya melalui saluran nilai tukar bergantung pada pengaruhnya terhadap harga ekspor dan impor Pengaruh Faktor Eksternal Faktor eksternal yang dapat dianalisis meliputi: suku bunga dunia, dan harga minyak mentah dunia. Pengaruh harga minyak terhadap perekonomian dapat dianalisis dari dua sisi, yaitu: sisi supply, dan sisi demand. Dari sisi supply, hasil analisis antara lain Estrada dan de Cos (2009) menunjukkan bahwa kenaikan

17 57 (permanen) harga minyak dapat secara signifikan mengurangi output potensial. Dari sisi demand, antara lain Aliyu (2009) menunjukkan bahwa harga minyak dunia mempengaruhi PDB (Produk Domestik Bruto) riil di Nigeria. Dari sisi demand, kenaikan harga minyak dunia mempengaruhi kondisi makroekonomi melalui beberapa saluran antara lain neraca pembayaran, dan defisit anggaran. Bagi negara pengimpor, kenaikan harga minyak mentah dunia akan menyebabkan neraca pembayaran mengalami penurunan, yang pada gilirannya menyebabkan tekanan pada nilai tukar. Depresiasi nilai tukar akan menyebabkan impor menjadi lebih mahal, dan ekspor menjadi lebih murah. Penurunan impor di satu sisi dan kenaikan ekspor di sisi lain, pada akhirnya memperbaiki neraca pembayaran kembali jika negara yang bersangkutan mengadopsi sistem nilai tukar mengambang (floatimg exchange rate). Melalui saluran defisit anggaran, karena kenaikan harga minyak (BBM) akan menambah tambahan biaya subsidi BBM bagi negara yang mengadopsi kebijakan subsidi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Indonesia telah sebagai net importir minyak sejak tahun 2004 (Surjadi, 2006). Sebagai net importer Indonesia masih mengadopsi kebijakan subsidi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Pengaruh harga minyak dunia terhadap defisit anggaran dapat ditangkap dengan peubah subsidi BBM pada pengeluaran negara. Pemberian subsidi, termasuk BBM ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan keputusan politik berdasarkan kemampuan penerimaan negara dan aspirasi politik dalam masyarakat. Pengaruh harga minyak dunia melalui saluran ekspor dan impor dapat ditangkap dengan memasukkan harga minyak dunia ke dalam perilaku ekspor dan impor pada tingkat makro, dan pada tingkat mikro pada perilaku ekspor dan impor sektor deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan pengaruh suku bunga dunia dapat

18 58 ditangkap dengan memasukkan suku bunga dunia sebagai faktor eksogen yang mempengaruhi suku bunga pasar dan nilai tukar Konstruksi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Untuk menghindari kompleksitas permasalahan dan memudahkan pemahaman, maka model yang dibangun dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan Blok Makroekonomi Pendekatan makroekonomi yang digunakan adalah pendekatan sisi permintaan output agregat. Dari sisi pengeluaran, output agregat atau Produk Domestik Bruto (Y t ) 9 dituliskan: Y t = C t + I t + G t + NX t (1) di mana Y t = output agregat atau Produk Domestik Bruto (PDB) C t = Konsumsi rumah tangga I t = Investasi swasta G t = Pengeluaran pemerintah NX t = Ekspor bersih (ekspor minus impor) Merujuk teori, konsumsi dipengaruhi secara positif oleh pendapatan dibelanjakan (YD t ; YD t =Y t -T t ; T t =penerimaan pajak), dan negatif oleh suku bunga riel (R t ), serta positif konsumsi satu tahun sebelumnya (C t-1 ). Sedangkan investasi (I t ) 9 Melalui hubungan secara negatif antara pengeluaran (pendapatan) agregat (Y t ) dan suku bunga dapat diturunkan kurva IS, yang menggambarkan pasar barang. Pada tingkat pendapatan tertentu, suku bunga yang lebih tinggi menurunkan permintaan barang, dan dalam hampir semua formulasi model, menurut Romer (2000), suku bunga yang lebih tinggi menurunkan permintaan investasi, dan dalam banyak kasus juga menurunkan konsumsi, serta dalam perekonomian terbuka dengan nilai tukar mengambang menyebabkan apresiasi nilai tukar sehingga menurunkan ekspor bersih.

19 59 dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga riel (R t ), positif oleh PDB (Y t ), negatif oleh kondisi krisis (KRISIS t ) 10, dan positif oleh investasi satu tahun sebelumnya (I t-1 ). Fungsi konsumsi dan investasi dituliskan: C t = C(YD t, R t, C t-1 ) (2) I t = I(R t, Y t, KRISIS t, I t-1 ) (3) Merujuk Fisher equation, suku bunga riel adalah suku bunga nominal (r t ) dikurangi inflasi (π) dituliskan: R t = r t - π t. (4) Pengeluaran pemerintah (G t ) dipengaruhi secara positif oleh penerimaan pajak (T t ) dan pengeluaran pemerintah satu tahun sebelumnya (G t-1 ). Untuk menangkap pengaruh faktor eksternal, harga minyak dunia (oil P t), terhadap pengeluaran pemerintah, harga minyak dunia dihipotesiskan berpengaruh secara positif, karena kenaikannya membebani pengeluaran pemerintah. Sedangkan penerimaan pajak (T t ) dipengaruhi secara positif oleh PDB (Y t ), dan negatif oleh suku bunga riel (R t ), serta positif oleh penerimaan pajak satu tahun sebelumnya (T t-1 ). Fungsi G t dan T t dituliskan: G t = G(T t, oil P t, G t-1 )... (5) T t = T(Y t, R t, T t-1 ) (6) Blok makroekonomi bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam. Pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap degradasi dan deforestasi hutan alam dapat melalui beberapa saluran. Terdapat empat saluran transmisi yang umum dipahami, yaitu: (1) saluran suku bunga (interest rate channel), (2) saluran kredit (credit channels), (3) saluran harga asset (asset channel), dan (4) 10 Peubah dummy di mana 0=tahun-tahun tidak krisis, dan 1=tahun-tahun krisis.

20 60 saluran nilai tukar (exchange rate channels) (Norrbin, 2000; Ireland, 2006). Dalam penelitian ini, dua saluran yang dianalisis, yaitu saluran suku bunga, dan saluran nilai tukar. Suku bunga mempengaruhi secara langsung deforestasi dan degradasi hutan melalui pengaruhnya terhadap harga kapital, sedangkan nilai tukar secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap suku bunga, dan harga input dan output tradable. Dalam penelitian ini, pengaruh nilai tukar dianalisis dari pengaruhnya terhadap keseimbangan suku bunga. Perubahan nilai tukar mempengaruhi ekspor bersih, dan ekspor bersih mempengaruhi PDB, yang akhirnya mempengaruhi suku bunga. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu pengeluaran pemerintah. Pengaruh penawaran uang terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dianalisis berdasarkan persamaan suku bunga. Merujuk teori, keseimbangan suku bunga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan uang. Penawaran uang dikendalikan oleh ototritas moneter (Bank Indonesia), sehingga pada Gambar 21, penawaran uang digambarkan sebagai kurva tegak lurus 11. Sedangkan permintaan uang (untuk bertransaksi) dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga sehingga pada Gambar 21 digambarkan sebagai kurva yang downward sloping. Titik potong antara kurva penawaran dan permintaan uang menunjukkan suku bunga keseimbangan (Gambar 21). Pada Gambar 21, peningkatan penawaran uang ditunjukan oleh bergesernya kurva MS/P ke kanan dari MS 0 /P menjadi MS 1 /P. Jika permintaan uang tidak berubah, maka suku bunga (r) akan menurun dari r 0 ke r 1. Merujuk teori, selain 11 Dengan mengkaitkan dengan high-powered money (H), perilaku penawaran uang (MS) dapat diturunkan. Fungsi penawaran uang: MS = u(r;k,cr)h (McCallum, 1989) di mana r=suku bunga, k= faktor proporsi terhadap deposit (k*deposit= required reserve), dan cr=rasio currency terhadap checkable deposit. Dari fungsi tersebut, kurva MS adalah upward sloping terhadap r. Fungsi tersebut mendeskripsikan berapa besar uang akan dipasok untuk besaran tertentu H, R, k, dan cr (McCallum, 1989). Untuk menghindari kompleksitas model, dalam penelitian ini penawaran uang diasumsikan eksogen.

21 61 dipengaruhi oleh suku bunga, permintaan uang juga dipengaruhi oleh pendapatan atau PDB (Y t ). Pada Gambar 21, peningkatan PDB ditunjukkan oleh bergesernya kurva permintaan uang ke atas dari L(r 0, Y 0 ) menjadi L(r 0, Y 1 ). Ketika Y meningkat dari Y 0 [L(r 0, Y 0 )] ke Y 1 [L(r 0, Y 1 )], maka pada suku bunga r 0 akan terjadi excess money demand, karena MS/P tidak berubah. Keseimbangan suku bunga yang baru [MS/P = L(r 2, Y 1 )] akan terbentuk pada suku bunga yang lebih tinggi, r 2. Dengan kata lain, kenaikan PDB akan menaikkan suku bunga (dari r 0 ke r 2 ) 12. Dengan demikian, peningkatan MS/P menurunkan dan peningkatan Y t menaikkan suku bunga. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap deforestasi dan degradasi hutan dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap Y 13 t. Perilaku suku bunga nominal (r t ) dihipotesiskan dipengaruhi oleh penawaran uang (MS ), tingkat harga (IHK ), ekspektasi inflasi (π E ), kondisi krisis (KRISIS ), regim t t t t nilai tukar (FER t ) 14, suku bunga satu tahun sebelumnya (r t-1 ). Sedangkan tingkat harga umum (IHK ) dipengaruhi secara positif oleh produk domestik bruto(y ), dan t tingkat harga satu tahun sebelumnya (IHK ). t-1 Fungsi suku bunga dan tingkat harga dituliskan: r t = r(ms t,ihk t, π E t, r t-1 ) (7) IHK t = IHK (Y t, IHK t-1 ) (8) t 12 Melalui hubungan secara positif antara suku bunga dan pendapatan agregat (PDB) dapat diturunkan kurva LM, yang menggambarkan pasar uang (Romer, 2000). 13 Pengaruh pengeluaran pemerintah secara langsung tidak dianalisis. Pengaruh langsung G t dapat melalui beragam program pembangunan. Strand (2004) menyatakan bahwa pembangunan jalan di areal yang sebelumnya tidak dapat diakses (inaccessible areas) dapat menyebabkan tekanan lebih besar untuk mengekstraksi sumberdaya dan mengkonversi lahan menjadi penggunaan pertanian. 14 Peubah dummy di mana 0 = periode tahun dengan regim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan 1 = periode tahun dengan regim nilai tukar mengambang (floating exchange rate) atau mengambang terkendali.

22 62 r MS 0 /P MS 1 /P r 2 r 0 r 1 L(r 0,Y 0 ) L(r 2,Y 1 ) Nilai Riel Uang Sumber: Modifikasi dari Suranovic, 2008 Gambar 21. Pengaruh Penawaran Uang dan Pendapatan Agregat terhadap Suku Bunga Faktor eksternal yang dianalisis adalah harga minyak mentah dunia (oil P ), dan suku bunga riel rujukan Amerika Serikat, real Fedrate (Federal Fund Rate) (R US ). Pengaruh perubahan faktor eksternal harga MMD terhadap deforestasi dan degradasi hutan dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap ekspor dan impor. Nilai bersih ekspor (ekspor minus impor) mempengaruhi pertumbuhan eksonomi, dan pertumbuhan ekonomi kemudian mempengaruhi r t. Perubahan r t (atau R t ) selanjutnya mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam. Harga komoditas tradable, termasuk harga MMD (oil P t) mempengaruhi nilai ekspor bersih (NX t ). Selain dipengaruhi oleh harga MMD, ekspor bersih juga dipengaruhi oleh nilai tukar (e t ). Sedangkan nilai tukar dipengaruhi oleh perbedaan suku bunga riel di dalam negeri (R t ) dan luar negeri (R US t) 15, serta ekspor bersih 16. Dengan demikian pengaruh secara tidak langsung perubahan faktor eksternal Fedrate 15 R US t = r US t π US t. 16 Huang dan Tseng (2010) menyatakan bahwa pengaruh harga minyak dunia terhadap nilai tukar belum banyak diinvestigasi. Hasil analisis keduanya menunjukkan terdapat indikasi bahwa harga minyak dunia mempengaruhi nilai tukar mata uang, terutama yang dikaitkan dengan mata uang USD (dolar Amerika Serikat). Dalam penelitian ini, pengaruh harga minyak dunia terhadap nilai tukar dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap ekspor bersih.

23 63 terhadap deforestasi dan degradasi hutan dapat ditangkap melalui saluran nilai tukar. Ekspor bersih dihipotesiskan dipengaruhi positif oleh nilai tukar riel (E t ) 17, negatif oleh Produk Domestik Bruto (Y t ),, dan negatif oleh harga MMD (oil P t) 18, serta positif oleh ekspor bersih satu tahun sebelumnya. Sedangkan nilai tukar (e t ) dihipotesiskan dipengaruhi negatif oleh uncovered interest rate parity (UIP t ), negatif oleh nilai ekspor bersih (NX t ), positif oleh kondisi krisis (KRISIS t ) dan penawaran uang (RMS t ), serta positif oleh nilai tukar satu tahun sebelumnya. Fungsi NX t dan e t, serta persamaan identitas UIP t dituliskan: NX t = NX (E t,y t, oil P t, NX t-1 ) (9) e t = e( UIP t, NX t, KRISIS t, MS t, e t-1 ) (10) UIP t = R t - R US t (11) Dengan model yang demikian, dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dapat dianalisis. Pengaruh kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal dapat diananlisis dengan memperhatikan pengaruhnya terhadap suku bunga dan nilai tukar. Peubah suku bunga mempengaruhi secara langsung tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan peubah makroekonomi yang lain, termasuk nilai tukar dan faktor eksternal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam secara tidak langsung. Pengaruh nilai tukar terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dapat melalui saluran suku bunga dan dapat juga melalui saluran harga input dan/atau output tradable yang dihasilkan oleh agen deforestasi dan degradasi hutan E t = e t *IHK t /USCPI t ; IHK t = Indeks Harga Konsumen; USCPI t = Indeks Harga Konsumen Amerika Serikat. 18 Sejak tahun 2004 Indonesia sebagai net impoter minyak. 19 Dalam penelitian ini, pengaruh nilai tukar hanya dianalisis berdasarkan pengaruhnya pada suku bunga; nilai tukar dalam blok deforestasi dan degradasi hutan diasumsikan eksogen dengan mengkonversi peubah harga komoditas dalam bentuk Rupiah. Pengaruh nilai tukar secara tidak langsung terhadap deforestasi dan degradasi hutan disisakan untuk penelitian lanjutan.

24 64 Dampak deforestasi dan degradasi hutan terhadap jumlah pengangguran tidak dianalisis dan disisakan untuk penelitian lanjutan namun dampak kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap jumlah pengangguran dianalisis melalui saluran output (Y t ). Penawaran tenaga kerja (LS t ) atau jumlah angkatan kerja secara empiris diasumsikan eksogen. Sedangkan permintaan tenaga kerja (LD t ) secara empiris dihipotesiskan dipengaruhi secara negatif oleh upah riel pekerja (W t ), dan positif oleh PDB (Y t ), serta permintaan tenaga kerja satu tahun sebelumnya (LD t-1 ). Kenaikan atau penurunan Y t akibat perubahan kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal akan menaikkan atau menurunkan jumlah pengangguran (UL t ). Fungsi LD t, dan hubungan identitas UL t dituliskan: LD t = LD (W t, Y t, LD t-1 ) (12) UL t = LS t LD t..... (13) Blok Deforestasi Pengertian hutan di sini adalah pengertian hutan alam bukan hutan buatan (hutan tanaman). Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori nonhutan (tidak berhutan) (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008). Namun batasan deforestasi di sini lebih spesifik, yaitu merujuk pada hutan alam, sehingga areal HTI (Hutan Tanaman Industri) digolongkan ke dalam areal deforestasi (hutan alam). Selain HTI, tiga komponen deforestasi lain juga dikaji, yaitu: (1) tanaman pangan (padi), (2) tanaman karet, (3) dan tanaman sawit. Dengan batasan tersebut dan teori permintaan input lahan, model permintaan lahan hutan alam dapat dibangun. Gambar 22 mengilustrasikan keseimbangan pasar lahan hutan alam. Pada Gambar 22 terlihat bahwa keseimbangan pasar dalam jangka

25 65 pendek terjadi di titik P dan dalam jangka panjang 20 di titik K. Dalam jangka pendek penawaran lahan hutan (S LH ) diasumsikan eksogen sehingga hanya faktor-faktor selain harganya yang menggeser kurva permintaan lahan (D LHPD ) ke kiri atau ke kanan menuju keseimbangan 21. Pergeseran kurva D LHPD ke kiri menunjukkan penurunan luas areal produksi suatu komoditas dan sebaliknya pergeseran kurva D LHPD ke kanan menunjukkan peningkatan deforestasi. Jika kegiatan produksi yang diusahakan adalah produksi kayu hutan alam (melalui HPH), maka pergeseran kurva D LHPD ke kiri menunjukan degradasi hutan 22. Dengan pemikiran tersebut spesifikasi model ekonomi deforestasi perubahan areal HTI, sawit, karet, dan padi, serta degradasi hutan alam areal HPH dibangun dan diestimasi. Jika luas penggunaan lahan (deforestasi dan degradasi hutan) dapat dipandang sebagai persoalan permintaan input produksi, maka persoalan deforestasi dan degradasi hutan dapat dianalisis menggunakan perilaku ekonomi. Permintaan input dapat diturunkan dari perilaku perusahaan yang memaksimalkan keuntungan. Silberberg dan Suen (2001) menjelaskan bahwa jika fungsi produksi (untuk penyederhanaan menggunakan dua input produksi) dituliskan: y = f( x 1, x 2 ) diinterpretasikan sebagai teknologi yang menghasilkan output maksimum dari penggunaan dua input produksi x 1 seharga w 1 dan x 2 seharga w 2, serta jika harga 20 Keseimbangan jangka panjang menunjukkan suatu kondisi di mana lahan telah dimanfaatkan seluruhnya untuk kegiatan produksi sehingga perluasan lahan untuk produksi tidak dimungkinkan. Dalam jangka panjang, penawaran lahan hutan alam (primer) tidak dipengaruhi oleh harga lahan atau konstan sehingga berbentuk kurva tegak lurus (kurva S LH (Gambar 2). Sebaliknya keseimbangan jangka pendek menunjukkan belum seluruh lahan hutan dimanfaatkan untuk kegiatan produksi sehingga perluasan areal untuk produksi masih dimungkinkan. Permintaan lahan (D LH ) merupakan permintaan input produksi suatu komoditas. 21 Harga atau sewa lahan hutan dicerminkan (diturunkan) berdasarkani harga output yang dihasilkan dari lahan yang diusahakan. Harga output di sini bergantung pada empirical evidence apakah harga output di tingkat farm gate (dalam kasus non-vertical integrated industry) atau di tingkat mill gate (dalam kasus vertical integrated industry). 22 Keseimbangan pasar kayu hutan alam lestari mensyaratkan dua asumsi: (1) property rights areal dan tegakan hutan alam ditegakkan, dan (2) harga kayu hutan alam mencerminkan kelangkaan sumberdaya yang digunakan.

26 66 output adalah p dan fungsi tujuannya adalah total penerimaan dikurangi total biaya, maka pemaksimalan fungsi tujuannya adalah: π = p f(x 1, x 2 ) w 1 x 1 w 2 x 2.. (a) First order condition (FOC): π 1 π/ x 1 = p f 1 w 1 = 0.. (b) π 2 = π/ x 2 = p f 2 w 2 = (c) Second order condition (SOC): f 11 < 0; f 22 < 0.. (d) f 11 f 22 f 2 12 > 0....(e) di mana π = Keuntungan f 1 = Turunan pertama fungsi keuntungan terhadap x 1 (marginal product x 1 ) f 11 = Turunan kedua fungsi keuntungan terhadap x 1 f 2 = Turunan pertama fungsi keuntungan terhadap x 2 (marginal product x 2 ) f 22 = Turunan kedua fungsi keuntungan terhadap x 2 f 12 = Turunan pertama dari f 1 terhadap x 2 (perubahan input x 1 mempengaruhi marginal product x 1 dan marginal product x 2 ) f 21 = Turunan pertama dari f 2 terhadap x 1 (perubahan input x 2 mempengaruhi marginal product x 2 dan marginal product x 1 )

27 67 P LH S LH P LHPJ K P LHPD P D LHPJ D LHPD A LHPD A LHPJ A LH Gambar 22. Keseimbangan Pasar Lahan Hutan Alam Kondisi (a dan b) menyatakan bahwa keuntungan maksimum akan diperoleh ketika penggunaan input produksi mencapai titik di mana nilai marginal product-nya (pf i ) sama dengan biaya untuk memperoleh tambahan unit input produksi yang digunakan (w i ). Kondisi (c) merupakan kondisi law of dimisnishing return, yang menyatakan marginal product penggunaan suatu input akan menurun jika jumlah input yang digunakan bertambah. Kondisi (d) diperlukan, karena kondisi (c) sendiri tidak cukup untuk menjamin pencapaian posisi keuntungan maksimal; pengaruh lintas input perlu dipertimbangkan. Secara lengkap FOC dapat dituliskan: p f 1 (x 1, x 2 ) w 1 = 0... (f) p f 2 (x 1, x 2 ) w 2 = (g) Persamaan (f) dan (g) merupakan dua persamaan implisit yang memiliki lima peubah yang tidak diketahui, yaitu: x 1, x 2, w 1, w 2, dan p. Berdasarkan kondisi tersebut, dua dari lima peubah dapat diselesaikan. Hasil penyelesaiannya dituliskan: x 1 = f 1 *(w 1, w 2, p) (h) x 2 = f 2 *(w 1, w 2, p) (i)

28 68 Persamaan (h) dan (i) menunjukkan persamaan permintaan input produksi, yang menyatakan bahwa permintaan input dipengaruhi oleh harganya, harga input lain dan harga outputnya. Berdasarkan teori permintaan input diturunkan permintaan lahan hutan yang dinyatakan sebagai tingkat (laju) deforestasi untuk areal HTI, sawit, karet, dan padi Tingkat Deforestasi Hutan Alam untuk Areal HTI Permintaan lahan untuk areal HTI lebih dari 50% digunakan untuk memproduksi pulp. Oleh karenanya fungsi permintaan input lahan yang digunakan adalah fungsi permintaan lahan oleh industri terintegrasi (integrated industry). Sebagai ouput adalah pulp, dan kayu HTI yang dihasilkan merupakan input bagi industri. Atas dasar fakta ini, tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI (DF HTI t) dihipotesiskan dipengaruhi secara positif oleh harga (ekspor) pulp (PPXPULP t ), dan secara negatif oleh harga kayu HTI (P KHTI t), suku bunga riel (R ), upah riel (W ), harga riel bahan bakar minyak (P BBM t ). Fakta lain menunjukkan bahwa lahan hutan alam diperebutkan, terutama untuk areal sawit, karet, dan areal konsesi hutan alam 23. Oleh karena itu tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI dihipotesiskan dipengaruhi juga oleh harga ekspor karet (P XKR t), harga ekspor minyak sawit (P XMSW t), dan harga ekspor kayu lapis (P XKL t). Harga ekspor minyak sawit dan kayu lapis dihipotesiskan berpengaruh dengan hubungan fungsional yang negatif, tetapi harga ekspor karet berhubungan t t 23 Areal hutan alam produksi dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan dapat dikonversi. Meskipun demikian, fakta di lapangan menunjukkan persaingan penggunaannya tidak hanya terjadi di masing-masing kategori, tapi juga antar kategori. Dalam areal hutan produksi tetap dapat ditemukan areal sawit dan/atau karet, yang seharusnya hanya berlokasi di areal hutan dapat dikonversi, dan sebaliknya areal HPH dapat berada di areal yang dapat dikonversi yang memiliki potensi kayu per ha yang tinggi. Informasi lahan hutan alam yang terbatas serta property rights dan penegakan hukum yang lemah merupakan pemicu terjadinya konflik lahan hutan alam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat persaingan penggunaan lahan hutan alam, terutama untuk areal HPH, HTI, sawit, dan karet di lapangan.

29 69 positif, karena sejak tahun 1990an, pemerintah mengembangkan HTI-karet. Kebijakan pemerintah mempercepat pembangunan HTI dari tahun (GP HTI t) juga dihipotesikan mempengaruhi secara positif tingkat deforestasi untuk areal HTI. Dihipotesiskan luas areal HTI satu tahun sebelumnya (A HTI t-1) akan mempengaruhi tingkat deforestasi secara negatif atau semakin luas areal HTI satu tahun sebelumnya semakin kecil tingkat deforestasi yang terjadi dan sebaliknya. Fungsi DF HTI t dituliskan: DF HTI t = DF (P XPULP t, P KHTI t, R t, W t, P BBM t, P XKR t, P XMSW t, P XKL t, GP HTI t, A HTI t-1) (14) Dalam penelitian ini, harga output yang dihasilkan lahan deforestasi (untuk areal HTI) dibatasi hanya sampai harga kayu HTI, yang diperlakukan sebagai peubah endogen. Harga output turunannya (pulp dan kertas) diasumsikan eksogen. Merujuk teori, harga kayu HTI dipengaruhi oleh penawaran dan permintaannya 24. Penawarannya (S KHTI t) dipengaruhi secara positif oleh harganya (PPKHTI t ), BBM negatif oleh suku bunga (R ), upah (W ) dan harga BBM (P t ), serta secara positif t t oleh produktivitas HTI (q HTI t), luas areal HTI (A HTI t), dan penawaran kayu HTI satu tahun sebelumnya (S KHTI t-1) 25. Fungsi penawaran kayu HTI (S KHTI t) dituliskan: S KHTI t = S(P KHTI t, R t, W t, P BBM t, q HTI t, A HTI t, Q KHTI t-1)..... (15) Sebagai derived demand, permintaan kayu HTI oleh industri pulp (D KHTI t) dihipotesiskan dipengaruhi oleh harganya, harga ekspor pulp (P XPULP t), suku bunga (R t ), upah (W t ), harga BBM (P BBM t), dan PDB (Y t ), serta permintaan satu tahun 24 Persamaan (h) dan (i) juga berlaku untuk permintaan input industri pengolahan (pulp, kayu lapis, kayu gergajian, minyak sawit, dan karet). Dengan memasukan permintaan input ke dalam fungsi produksi [y = f(x 1, x 2 ) ] dapat diturunkan fungsi penawaran output, yang menyatakan penawaran dipengaruhi oleh harga output, harga input, dan faktor-faktor lainnya). 25 Deforestasi berarti peningkatan produksi, sehingga pengaruh deforestasi sebenarnya dapat dideteksi dengan memasukkan atau menggantikan peubah produkstivitas dan luas areal dengan tingkat deforestasi, misalnya jika HTI akan ditebang setelah umur 5 tahun, maka dengan asumsi tiap tahun terjadi deforestasi, pengaruh deforestasi 5 tahun sebelumnya dapat dihipotesiskan akan berpengaruh secara positif terhadap penawaran kayu HTI. Untuk itu memerlukan data deret waktu yang cukup panjang.

30 70 sebelumnya (D KHTI t-1). Faktor-faktor kecuali harga ekspor pulp dan PDB berhubungan negatif dengan permintaan kayu HTI, sedangkan harga ekspor pulp dan PDB berhubungan positif. Fungsi permintaan kayu HTI dituliskan: D KHTI BBM t = D(PPKHTI t, R t, W t, P t, P XPULP KHTI t, Y t, D t-1 ).. (16) Harga kayu HTI dipengaruhi oleh harga ekspor pulp (P XPULP t), harga kayu hutan alam (P KHA t), dan penawaran kayu HTI (S KHTI t), serta harga kayu HTI satu tahun sebelumnya. Keseimbangan pasar kayu HTI (Gambar 23) dan fungsi harga kayu HTI dituliskan: S KHTI t = D KHTI t (17) PPKHTI t = P(P XPULP t, P KHA t, S KHTI t, P KHTI t-1). (18) P KHTI S KHTI P KHTI 0 D KHTI Q KHTI 0 Q KHTI Gambar 23. Keseimbangan Pasar Kayu HTI Tingkat Deforestasi untuk Areal Sawit Indonesia merupakan produsen sawit terbesar setelah Malaysia. Produksi sawit Indonesia berorientasi pada pasar ekspor, dan impor minyak sawit sangat kecil.

31 71 Seperti kasus pulp, permintaan lahan hutan alam untuk areal sawit diasumsikan merupakan permintaan industri terintegrasi minyak sawit 26. Dengan demikian tingkat deforestasi hutan alam untuk areal sawit (DF SW t) dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor minyak sawit (P XMSW t), dan negatif oleh harga buah sawit (P BSW t), suku bunga (R t ), upah (W t ), harga BBM (P BBM t) dan luas areal sawit satu tahun sebelumnya (A TSW t-1). Selain itu DF SW t juga dipengaruhi oleh harga kayu HTI (P KHTI t) dan harga kayu hutan alam (P KHA t). Harga kayu HTI mempengaruhi secara negatif, karena fakta persaingan permintaan lahan hutan alam, tetapi harga kayu hutan alam secara positif. Dalam kondisi property rights yang belum clear and clean serta penegakan hukum yang lemah, P KHA t yang lebih tinggi memberikan insentif terhadap rent seeker pengembangan areal sawit, yaitu: (1) windfall profit atas penebangan kayu, dan (2) pengurangan biaya landclearing karena penebangan kayu yang dilakukan. Fakta ini menyebabkan P KHA t berpengaruh positif terhadap tingkat deforestasi hutan alam untuk areal sawit 27. Fungsi DF SW t dituliskan: DF SW t = DF(P XMSW t, P BSW t, R t, W t, P BBM t, P KHTI t, P KHA t, A TSW t-1) (19) Seperti kayu HTI, harga output yang dihasilkan lahan deforestasi (untuk areal sawit) dibatasi hanya sampai harga buah sawit, yang diperlakukan sebagai peubah 26 Pada tahun 2008, luas areal sawit perkebunan besar adalah 60.9% dari total areal sawit 7.4 juta ha. 27 Manurung (2001) menyatakan konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit terus berlangsung sampai saat ini walaupun di Indonesia sesungguhnya sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas (sekitar 30 juta hektar). Para investor lebih suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena berpotensi mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari areal hutan alam yang dikonversi. Dalam praktiknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga merambah ke kawasan hutan produksi, bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi, sebagai contoh, di areal Taman Nasional Bukit Tigapuluh telah dibangun dua perkebunan kelapa sawit dengan luas masing-masing ha dan ha, juga pada kawasan hutan lindung Register 40 di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, paling sedikit 6000 ha telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 6.1 Kesimpulan Perubahan iklim diperkirakan memberikan dampak pada perekonomian dan sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan iklim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Oleh karena

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

V. EVALUASI MODEL. BAB V membahas hasil pendugaan, pengujian dan validasi model.

V. EVALUASI MODEL. BAB V membahas hasil pendugaan, pengujian dan validasi model. V. EVALUASI MODEL BAB V membahas hasil pendugaan, pengujian dan validasi model. Pembahasan dibedakan untuk masing-masing blok, yang terdiri dari: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok

Lebih terperinci

= Inflasi Pt = Indeks Harga Konsumen tahun-t Pt-1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)

= Inflasi Pt = Indeks Harga Konsumen tahun-t Pt-1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1) Inflasi adalah kecendrungan meningkatnya harga-harga barang secara umum dan terus menerus. Kenaikkan harga satu atau dua barang tidak bisa disebut sebagai inflasi, kecuali jika kenaikkan harga barang itu

Lebih terperinci

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 49 IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan estimasi yang telah dilakukan maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil uji Impulse Response Function menunjukkan variabel nilai

Lebih terperinci

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah)

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah) Tabel 1a 2004 dan -P 2004 Keterangan -P ( (3) (4) (5) A. Pendapatan Negara dan Hibah 349.933,7 17,5 403.769,6 20,3 I. Penerimaan Dalam Negeri 349.299,5 17,5 403.031,8 20,3 1. Penerimaan Perpajakan 272.175,1

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Teori Perdagangan Internasional Teori tentang perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat maju, yaitu dimulai dengan teori klasik tentang keunggulan

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik BAB V Kesimpulan dan Saran 5. 1 Kesimpulan 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Indonesia merupakan negara pengekspor energi seperti batu bara dan gas alam. Seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pasar Modal 2.2 Harga Minyak Mentah Dunia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pasar Modal 2.2 Harga Minyak Mentah Dunia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pasar Modal Pasar modal adalah pasar dari berbagai instrumen keuangan (sekuritas) jangka panjang yang dapat diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang (obligasi) maupun modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia menuntut berbagai prasyarat untuk mencapai keberhasilannya. Salah satunya adalah keterlibatan sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui permintaan agregat pada pasar barang, sedangkan kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat krisis keuangan global beberapa tahun belakan ini kurs, inflasi, suku bunga dan jumlah uang beredar seolah tidak lepas dari masalah perekonomian di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Moneter Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Sentral dari suatu Negara. Pada dasarnya kebijakan ini bertujuan untuk mengendalikan perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau nilai tukar (Miskhin, 2007:435). Bagi negara berkembang dengan

I. PENDAHULUAN. atau nilai tukar (Miskhin, 2007:435). Bagi negara berkembang dengan 0 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Harga mata uang suatu negara dalam harga mata uang negara lain disebut kurs atau nilai tukar (Miskhin, 2007:435). Bagi negara berkembang dengan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Pengaruh Tingkat Suku Bunga Deposito, Gross Domestic Product (GDP), Nilai Kurs, Tingkat Inflasi, dan Jumlah Uang Beredar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011 Mekanisme transmisi Angelina Ika Rahutami 2011 the transmission mechanism Seluruh model makroekonometrik mengandung penjelasan kuantitatif yang menunjukkan bagaimana perubahan variabel nominal membawa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Terdapat penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan topik dan perbedaan objek dalam penelitian. Ini membantu penulis

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh penghasilan saat ini, maka dia dihadapkan pada keputusan investasi.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh penghasilan saat ini, maka dia dihadapkan pada keputusan investasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang dihadapkan pada berbagai pilihan dalam menentukan proporsi dana atau sumber daya yang mereka miliki untuk konsumsi saat ini dan di masa mendatang. Kapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai perekonomian terbuka kecil, perkembangan nilai tukar merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan liberalisasi perdagangan barang dan jasa semakin tinggi intensitasnya sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. dan liberalisasi perdagangan barang dan jasa semakin tinggi intensitasnya sehingga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan perekonomian dalam perdagangan internasional tidak lepas dari negara yang menganut sistem perekonomian terbuka. Apalagi adanya keterbukaan dan liberalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter Bank Indonesia selaku otoritas moneter. BI Rate merupakan instrumen kebijakan utama untuk

Lebih terperinci

Diterima 3 Januari 2012, disetujui 7 Juni 2012 ABSTRACT. Keywords: Macroeconomic policy, external factor, natural forest, degradation, deforestation

Diterima 3 Januari 2012, disetujui 7 Juni 2012 ABSTRACT. Keywords: Macroeconomic policy, external factor, natural forest, degradation, deforestation DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL EKONOMI TERHADAP LAJU DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ALAM: STUDI KASUS DEFORESTASI UNTUK PERLUASAN AREAL TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN SERTA HUTAN TANAMAN

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 UMUM Anggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbuka. Hal ini mengakibatkan arus keluar masuk barang, jasa dan modal

BAB I PENDAHULUAN. terbuka. Hal ini mengakibatkan arus keluar masuk barang, jasa dan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keadaan perekonomian dunia pada era sekarang ini semakin bebas dan terbuka. Hal ini mengakibatkan arus keluar masuk barang, jasa dan modal menjadi semakin mudah menembus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih terbuka (openness). Perekonomian terbuka dalam arti dimana terdapat

BAB I PENDAHULUAN. lebih terbuka (openness). Perekonomian terbuka dalam arti dimana terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Globalisasi ekonomi mendorong perekonomian suatu negara ke arah yang lebih terbuka (openness). Perekonomian terbuka dalam arti dimana terdapat aktivitas perdagangan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 Â Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh Triwulan I - 2015 LAPORAN LIAISON Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas, tercermin dari penjualan domestik pada triwulan I-2015 yang menurun dibandingkan periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan tersebut sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut setiap manusia tidak dapat

Lebih terperinci

Andri Helmi M, SE., MM. Sistem Ekonomi Indonesia

Andri Helmi M, SE., MM. Sistem Ekonomi Indonesia Andri Helmi M, SE., MM Sistem Ekonomi Indonesia Pemerintah bertugas menjaga stabilitas ekonomi, politik, dan sosial budaya kesejahteraan seluruh masyarakat. Siapa itu pemerintah? Bagaimana stabilitas di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter Bank Indonesia selaku otoritas moneter. BI Rate merupakan instrumen kebijakan utama untuk

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian global yang terjadi saat ini sebenarnya merupakan perkembangan dari proses perdagangan internasional. Indonesia yang ikut serta dalam Perdagangan internasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Meningkatnya peran perdagangan internasional dibandingkan dengan. perdagangan domestik merupakan salah satu ciri yang menandai semakin

I.PENDAHULUAN. Meningkatnya peran perdagangan internasional dibandingkan dengan. perdagangan domestik merupakan salah satu ciri yang menandai semakin I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya peran perdagangan internasional dibandingkan dengan perdagangan domestik merupakan salah satu ciri yang menandai semakin berkembangnya globalisasi,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Makroekonomi Makroekonomi adalah teori dasar kedua dalam ilmu ekonomi, setelah mikroekonomi. Teori mikroekonomi menganalisis mengenai kegiatan di dalam perekonomian dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kurs (Nilai Tukar) a. Pengertian Kurs Beberapa pengertian kurs di kemukakan beberapa tokoh antara lain, menurut Krugman (1999) kurs atau exchange rate adalah

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. antar negara. Nilai tukar memainkan peran vital dalam tingkat perdagangan

I.PENDAHULUAN. antar negara. Nilai tukar memainkan peran vital dalam tingkat perdagangan I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nilai tukar atau kurs merupakan indikator ekonomi yang sangat penting karena pergerakan nilai tukar berpengaruh luas terhadap aspek perekonomian suatu negara. Saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara pada dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan negara lain

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang aktif

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang aktif 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang aktif melaksanakan pembangunan. Dalam melaksanakan pembangunan sudah tentu membutuhkan dana yang

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung 27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Nasional Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung besarnya pendapatan nasional atau produksi nasional setiap tahunnya, yang

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P DAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : dan.......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan, 1994/1995.........

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur perekonomian bercorak agraris yang rentan terhadap goncangan kestabilan kegiatan perekonomian.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 No. 06/08/62/Th. V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah triwulan I-II 2011 (cum to cum) sebesar 6,22%. Pertumbuhan tertinggi pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut beberapa pakar ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi merupakan istilah bagi negara yang telah maju untuk menyebut keberhasilannya, sedangkan untuk

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN

DATA POKOK APBN DATA POKOK - DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan...... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995...... 2 Tabel 3 : Penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional (Wikipedia, 2014). Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional (Wikipedia, 2014). Pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu.

Lebih terperinci

Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi Perekonomian Indonesia KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA Kondisi Perekonomian Indonesia Tim Ekonomi Kadin Indonesia 1. Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7,

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fokus utama dari kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, tujuan Bank Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat diperlukan terutama untuk negara-negara yang memiliki bentuk perekonomian terbuka.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penggerak perekonomian dunia saat ini adalah minyak mentah. Kinerja dari harga minyak mentah dunia menjadi tolok ukur bagi kinerja perekonomian dunia

Lebih terperinci

Perekonomian Indonesia

Perekonomian Indonesia MODUL PERKULIAHAN Perekonomian Indonesia Sistem Moneter Indonesia Fakultas Program Studi Pertemuan Kode MK Disusun Oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Akuntansi 13 84041 Abstraksi Modul ini membahas tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses pertukaran barang dan jasa serta untuk pembayaran utang. Pada umumnya setiap

BAB I PENDAHULUAN. proses pertukaran barang dan jasa serta untuk pembayaran utang. Pada umumnya setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Uang memegang peranan yang sangat penting di sepanjang kehidupan manusia. Uang digunakan sebagai alat tukar yang dapat diterima secara umum, yang dimana alat tukarnya

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 I. UMUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Uang merupakan suatu alat tukar yang memiliki peranan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Uang merupakan suatu alat tukar yang memiliki peranan penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Uang merupakan suatu alat tukar yang memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Uang mempermudah manusia untuk saling memenuhi kebutuhan hidup dengan cara melakukan

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik BAB I PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan moneter di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik maupun global.

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN KANTOR MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) DIREKTORAT PERENCANAAN MAKRO FEBRUARI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

PROYEKSI MAKROEKONOMI INDONESIA

PROYEKSI MAKROEKONOMI INDONESIA PROYEKSI MAKROEKONOMI INDONESIA 2009-2013 Biro Riset LMFEUI Gejolak makroekonomi mulai terjadi sejalan dengan fluktuasi harga energi dan komoditas sejak semester kedua 2007. Fluktuasi tersebut disusul

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

INFLATION TARGETING FRAMEWORK SEBAGAI KERANGKA KERJA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

INFLATION TARGETING FRAMEWORK SEBAGAI KERANGKA KERJA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA Pengantar Ekonomi Makro INFLATION TARGETING FRAMEWORK SEBAGAI KERANGKA KERJA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA NAMA : Hendro Dalfi BP : 0910532068 2013 BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

Suku Bunga dan Inflasi

Suku Bunga dan Inflasi Suku Bunga dan Inflasi Pengertian Suku Bunga Harga dari uang Bunga dalam konteks perbankan dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah

Lebih terperinci

Analisis fundamental. Daftar isi. [sunting] Analisis fundamental perusahaan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Analisis fundamental. Daftar isi. [sunting] Analisis fundamental perusahaan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Analisis fundamental Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Analisis fundamental adalah metode analisis yang didasarkan pada fundamental ekonomi suatu perusahaan. Teknis ini menitik beratkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

ekonomi K-13 INFLASI K e l a s A. INFLASI DAN GEJALA INFLASI Tujuan Pembelajaran

ekonomi K-13 INFLASI K e l a s A. INFLASI DAN GEJALA INFLASI Tujuan Pembelajaran K-13 ekonomi K e l a s XI INFLASI Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan menjelaskan penyebab inflasi dan dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat. A. INFLASI

Lebih terperinci