POTENSI, PELUANG, DAN STRATEGI PENGEMBANGAN VAKSIN HEWAN DI INDONESIA. Sjamsul Bahri dan A. Kusumaningsih

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POTENSI, PELUANG, DAN STRATEGI PENGEMBANGAN VAKSIN HEWAN DI INDONESIA. Sjamsul Bahri dan A. Kusumaningsih"

Transkripsi

1 POTENSI, PELUANG, DAN STRATEGI PENGEMBANGAN VAKSIN HEWAN DI INDONESIA Sjamsul Bahri dan A. Kusumaningsih Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor ABSTRAK Pembangunan peternakan perlu ditunjang oleh program peningkatan kesehatan hewan, karena dampak yang diakibatkannya dapat bersifat fatal dan sangat merugikan. Sampai saat ini kebutuhan obat hewan, terutama vaksin masih belum mencukupi baik jenis maupun jumlahnya. Sekitar 76,34% kebutuhan vaksin masih dipenuhi dari impor, sehingga dikhawatirkan akan muncul wabah penyakit karena pengendalian penyakit menjadi kurang efektif serta membuka peluang masuknya penyakit dari luar negeri. Sekitar 80% kebutuhan vaksin hewan di Indonesia berupa vaksin unggas (ayam). Dari delapan jenis vaksin ayam yang umum dipergunakan, yaitu newcastle disease (ND), infectious bronchitis (IB), infectious bursal disease (IBD), snot (coryza), pox, swallon head syndrome (SHS), egg drop syndrome (EDS), dan infectious laryngotracheitis (ILT), 93,36% merupakan vaksin ND, IB, dan IBD dan sekitar 80% dipenuhi dari impor. Berdasarkan hasil kajian, Indonesia memiliki potensi dan peluang untuk mengembangkan vaksin hewan karena telah tersedia teknologi pembuatan vaksin, sumber daya manusia, produsen vaksin, serta sumber daya plasma nutfah berupa mikroorganisme lokal yang sesuai untuk mengatasi penyakit. Strategi yang perlu dilakukan untuk pengembangan vaksin hewan di dalam negeri adalah: 1) melakukan penelitian dan pengembangan vaksin hewan yang berorientasi pasar (terutama vaksin unggas), 2) memanfaatkan sumber daya secara terpadu antarinstitusi, 3) optimalisasi peningkatan kapasitas produksi vaksin yang telah dikuasai, dan 4) membentuk unit produksi vaksin pada perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Kata kunci: Vaksin hewan, potensi, peluang, strategi pengembangan, Indonesia ABSTRACT Potency, opportunity, and strategy of livestock vaccines development in Indonesia A program for animal health is needed in development of animal husbandry, because the impacts of animal diseases outbreaks were significant in economic loss. The demand for veterinary medicine, especially vaccine has not been covered. So far, 76.34% of the vaccine supply is imported, so it is concerned to cause an outbreak of animal diseases due to ineffectiveness in disease control program and open chances to import of animal disease agents. The demand for livestock vaccines in Indonesia is more than 80% for poultry vaccine, consisting of eight poultry vaccines: vaccines for newcastle disease (ND), infectious bronchitis (IB), infectious bursal disease (IBD), snot (coryza), pox, swallon head syndrome (SHS), egg drop syndrome (EDS), and infectious laryngotracheitis (ILT). Out of 93.36% of the total poultry vaccines in Indonesia are vaccines for ND, IB, and IBD and 80% of them are imported. A field study showed that Indonesia has potency and opportunity to develop livestock vaccines for a better animal health program since it has technologies for vaccine production, human resources and local microorganisms as natural resources. The strategies in developing livestock vaccine program cover: 1) doing the research and development of livestock vaccines based on consumer needs (mainly poultry vaccine), 2) integrating the use of natural resources among institutions, 3) optimising the vaccine production, and 4) setting up vaccine production units in universities and research institutes. Keywords: Livestock vaccines, opportunity, development strategy, Indonesia Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan, permintaan akan produk peternakan (telur, daging, dan susu) terus meningkat (Delgado et al. 1999). Sampai saat ini permintaan protein hewani atau produk ternak terutama daging dan susu belum seimbang dengan pertumbuhan atau peningkatan produksi di dalam negeri. Untuk mengisi kekurangan tersebut dilakukan impor daging segar, ternak bakalan, dan susu yang jumlahnya terus meningkat. Impor daging beku dan jeroan dari Australia terus meningkat jumlahnya dengan perbandingan impor sapi hidup : daging : jeroan mendekati angka 1 : 1 : 1 (Hadi et al. 2002). Pada tahun 2002, impor sapi bakalan dan siap potong telah mencapai lebih dari ekor (Suharto 2004). Data tahun 2002 menunjukkan, kontribusi perunggasan nasional terhadap PDB tahun mencapai 46% dari Jurnal Litbang Pertanian, 24(3),

2 total PDB peternakan, namun demikian tingkat ketergantungan pada komponen impor masih sangat tinggi, sekitar 70 80%. Hal ini terlihat dari nilai impor pakan ternak (feedstuff) yang mencapai sekitar US$ 575 juta, complete feed US$ 14 juta, feed supplement US$ 121 juta, serta bahan baku obat hewan US$ 75 juta, dan obat hewan sekitar US$ 11 juta (Infovet 2002). Konsumsi daging nasional meningkat dari 311,40 ribu ton tahun 1969 menjadi 1,624 juta ton tahun 2002 atau tumbuh ratarata 13%/tahun. Konsumsi daging ayam dalam kurun waktu yang sama tumbuh rata-rata di atas 30% (dari 39,20 ribu ton pada 1969 menjadi 964,10 ribu ton pada 2002). Dengan kata lain, kontribusi konsumsi daging ayam pada tahun 1969 yang hanya 13% meningkat menjadi 60% terhadap konsumsi daging total pada Lebih separuh konsumsi daging nasional berasal dari daging unggas, terutama ayam (Sudardjat 2003). Dengan demikian, revolusi peternakan di Indonesia terjadi karena pesatnya perkembangan industri peternakan ayam ras (Simatupang et al. 2004). Pada tahun 2002 konsumsi daging ayam per kapita/tahun mencapai 4,55 kg padahal tahun 1996 hanya 0,40 kg. Pada tahun 2005 Direktorat Jenderal Peternakan menargetkan konsumsi daging ayam per kapita/tahun sebesar 8 kg, sehingga populasi ayam yang pada 2002 sekitar 900 juta ekor harus meningkat menjadi sekitar 1,80 miliar ekor pada 2005 (Sudardjat 2003). Hal ini berimplikasi terhadap kebutuhan vaksin unggas yang akan meningkat menjadi dua kali lipat dari kebutuhan tahun Karena sebagian besar vaksin unggas masih diimpor, upaya untuk mengembangkan vaksin produk dalam negeri menjadi sangat strategis sebagai substitusi vaksin impor serta mengisi potensi pasar dalam negeri yang cukup besar. Sampai saat ini kebutuhan obat hewan di Indonesia terutama vaksin masih belum mencukupi, baik jenis maupun jumlahnya. Diperkirakan lebih dari 65% kebutuhan vaksin dan bahan biologis lain masih dipenuhi dari impor, sehingga selain ikut mengurangi cadangan devisa negara, juga dapat menimbulkan kemungkinan masuknya penyakit hewan ke dalam wilayah Indonesia melalui kontaminasi agen penyakit pada vaksin yang diimpor. Dapat juga penyakit hewan masuk melalui vaksin aktif impor yang kemudian mengalami mutasi yang akhirnya menyebarkan penyakit baru. Kelemahan lain dari vaksin impor adalah kemungkinan kurang protektifnya vaksin tersebut terhadap kuman patogen atau agen penyakit yang ada di Indonesia. Hal seperti ini telah terjadi pada penyakit gumboro (IBD) yang mewabah di Indonesia pada awal tahun 1990-an, di mana vaksin impor banyak yang tidak mampu memberikan perlindungan terhadap wabah tersebut. Hasil penelitian membuktikan bahwa virus penyakit gumboro lokal yang menyebabkan wabah tersebut berbeda dengan virus yang digunakan pada vaksin impor (Parede et al. 1994; Parede 1996; Rudd et al. 2002). Keadaan demikian semakin memperkuat perlunya mengembangkan vaksin lokal di dalam negeri. Makalah ini mengulas potensi, peluang, dan strategi pengembangan vaksin hewan di Indonesia terutama vaksin ayam yang sangat dominan (lebih dari 80%) kebutuhannya di dalam negeri. PERMINTAAN DAN KETERSEDIAAN VAKSIN HEWAN DI INDONESIA Permintaan Vaksin Ayam Kebutuhan (permintaan) berbagai vaksin hewan khususnya vaksin ayam di Indonesia dapat diketahui dengan cara mengalikan jumlah vaksinasi yang dilakukan dalam satu periode pemeliharaan ayam dengan populasi ayam dan cakupan vaksinasi dari masing-masing vaksin (Kusumaningsih et al. 2001). Dengan demikian diperoleh formula sebagai berikut: Y = X x P x Z x 1 dosis di mana: Y = jumlah vaksin yang dibutuhkan X = total vaksinasi P = populasi ternak Z = persentase (cakupan) ternak yang divaksinasi oleh setiap jenis vaksin. Untuk menggambarkan kebutuhan vaksin ayam di Indonesia dipergunakan data series populasi ayam dan data ketersediaan vaksin hewan tahun yang diolah dari data Direktorat Kesehatan Hewan dan Buku Statistik Peternakan Indonesia tahun 2000 dan Keadaan tahun 1994 hingga 1997 memperlihatkan situasi perkembangan ternak yang membaik, sedangkan data tahun menggambarkan perkembangan pada masa krisis, dan data menunjukkan pertumbuhan peternakan ayam yang kembali normal. Penggunaan data pada periode ini masih relevan untuk menggambarkan situasi kebutuhan vaksin hewan saat ini. Kusumaningsih et al. (2001) melaporkan terdapat delapan jenis vaksin yang sering digunakan pada ayam petelur selama masa produksinya, yaitu vaksin newcastle disease (ND), infectious bronchitis (IB), infectious bursal disease (IBD), snot (coryza), pox, infectious laryngotracheitis (ILT), egg drop syndrome (EDS), dan swallon head syndrome (SHS). Pada peternakan ayam petelur, rata-rata banyaknya vaksinasi (ulangan) untuk setiap jenis vaksin dalam satu periode pemeliharaan adalah 12 kali untuk ND, 9,80 kali untuk IB, 2,60 kali untuk IBD, 2 kali untuk snot, serta masingmasing satu kali untuk pox, ILT, EDS, dan SHS. Untuk peternakan ayam potong, program vaksinasi selama masa pemeliharaan hanya dilakukan terhadap ND dua kali dan masing-masing satu kali untuk IB dan IBD. Untuk ayam buras, vaksinasi hanya dilakukan terhadap ND sebanyak 3 kali/ekor/tahun (Partadiredja 1999). Penggunaan vaksin marek tidak dimasukkan dalam perhitungan karena pelaksanaannya langsung diberikan oleh perusahaan pembibitan. Dari perhitungan tersebut Kusumaningsih et al. (2001) melaporkan bahwa kebutuhan (permintaan) vaksin ayam relatif sangat besar, baik jenis vaksin maupun dosis yang dibutuhkan setiap tahun (Tabel 1). Tingginya kebutuhan vaksin terutama karena berkembangnya usaha peternakan ayam komersial (petelur dan potong) sehingga peternak tidak mau mengambil risiko kegagalan akibat wabah penyakit. Selain itu pada pola usaha kemitraan dan usaha mandiri, vaksinasi merupakan paket dari usaha ayam petelur maupun potong sehingga merupakan bagian dari biaya produksi (Bahri et al. 1993; Kusumaningsih et al. 2001). Data pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa 82,67% kebutuhan vaksin adalah untuk ayam ras yang meliputi 42,33% untuk ayam petelur dan 40,34% untuk ayam potong, sedangkan untuk ayam buras hanya 17,33%. Hal ini disebabkan pemeliharaan ayam buras umumnya bersifat ekstensif dan vaksinasi hanya 114 Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005

3 Tabel 1. Kebutuhan vaksin ayam (dalam satuan dosis) di Indonesia, Tahun Ayam petelur Ayam potong Ayam buras Total Rata-rata % 42,33 40,34 17,33 dari total vaksin dipergunakan untuk ayam. Dengan kata lain 93,36% dari total kebutuhan vaksin ayam di Indonesia (sekitar 4,24 miliar dosis) adalah untuk vaksin ND, IB, dan IBD. Sisanya 6,64% adalah vaksin snot (2,60%), pox (1,08 %), ILT (1,42%), EDS (1,46%), dan SHS (0,06%). Tingginya kebutuhan vaksin ND disebabkan vaksin ini mutlak diperlukan, baik untuk ayam petelur, potong maupun ayam buras. Hal ini dipertegas oleh berbagai laporan yang menyatakan bahwa vaksinasi ND pada ayam buras menjadi syarat mutlak untuk mencegah kematian (Darminto 1992; Tatang 1999). Para peneliti lain juga menyatakan bahwa vaksinasi ND pada ayam harus dilakukan karena Indonesia merupakan daerah endemis ND ganas. dilakukan terhadap ND rata-rata tiga kali setahun (Partadiredja 1999). Data Tabel 1 memperlihatkan bahwa kebutuhan vaksin ayam pada tahun 1997 menurun karena terjadi krisis moneter sejak Juli Penurunan ini semakin mencolok pada 1998 serta meningkat kembali pada Sejak tahun tersebut kebutuhan vaksin ayam terus meningkat secara signifikan sesuai dengan peningkatan populasi ayam di Indonesia. Ayam buras tidak terlalu terpengaruh oleh krisis pada pertengahan 1997 hingga 1998, sehingga kebutuhan vaksin hanya sedikit menurun pada Bila dilihat dari jenis vaksin, vaksin yang paling banyak dibutuhkan adalah vaksin ND yang rata-rata mencapai 63,15% (setara dengan 2,87 miliar dosis) per tahun dari keseluruhan vaksin ayam (Tabel 2). Vaksin IBD menempati posisi kedua dengan kebutuhan rata-rata mencapai 15,90% (sekitar 722,23 juta dosis) diikuti IB 14,31% (sekitar 649,81 juta dosis). Apabila kebutuhan ketiga jenis vaksin tersebut dijumlahkan maka 93,36% Ketersediaan Vaksin Ayam Data ketersediaan vaksin ayam di Indonesia tahun diperoleh dari Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) berdasarkan pasokan yang ada (Akoso 1999; 2000; Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan 2004). Data ketersediaan vaksin ayam dipenuhi dari produksi dalam negeri dan impor (Tabel 3). Data tahun 1998 yang tidak tersedia di Direktorat Kesehatan Tabel 2. Rata-rata kebutuhan vaksin (dalam satuan ribu dosis) di Indonesia, Vaksin Rata-rata ND (63,15) IBD (15,90) IB (14,31) Snot (2,60) Pox (1,08) ILT (1,42) EDS (1,46) SHS (0,06) 1 ND = newcastle disease, IBD = infectious bursal disease, IB = infectious bronchitis, ILT = infectious laryngotracheitis, EDS = egg drop syndrome, SHS = swallon head syndrome. 2 Angka dalam kurung adalah persentase. Jurnal Litbang Pertanian, 24(3),

4 Tabel 3. Ketersediaan vaksin ayam (dalam satuan ribu dosis) produksi dalam negeri dan impor, Tahun Impor Dalam negeri Total Rata-rata % 76,34 23, Sumber: Akoso (1999; 2000); Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2004). Hewan diprediksi berdasarkan survei ASOHI yang menyatakan bahwa impor obat hewan tahun 1998 menurun 30 60%, begitu pula produksi dalam negeri juga terjadi penurunan yang sama dibanding tahun 1996 (Poultry Indonesia 2000). Data pada Tabel 3 juga memperlihatkan bahwa 76,34% ketersediaan vaksin berasal dari impor dan hanya 23,66% diproduksi di dalam negeri. Angka ini lebih rendah dari yang diperkirakan Partadiredja (1999) yang menyatakan bahwa sekitar 35% kebutuhan vaksin ayam di Indonesia berasal dari produksi dalam negeri dan 65% dari impor. Bila dibandingkan antara kebutuhan dan ketersediaan maka ketersediaan vaksin ayam di Indonesia masih belum mencukupi atau terdapat kekurangan suplai vaksin sekitar 20% atau 1 miliar dosis per tahun (Gambar 1). Apabila dilihat dari kebutuhan dan ketersediaan masing-masing jenis vaksin ayam, maka akan diketahui kekurangan atau kelebihan dari masing-masing vaksin pada tahun tertentu. Pada kurun waktu 10 tahun ( ), kekurangan pasokan vaksin tertinggi terjadi pada tahun 2000 sebanyak 2,87 miliar dosis (67,04%). Pada tahun berikutnya kekurangan vaksin terus menurun dan mencapai angka terendah pada tahun 2003 yaitu hanya 406,50 juta dosis (6,85%). Diharapkan pada tahuntahun selanjutnya jumlah kebutuhan dan ketersediaan vaksin ayam dapat seimbang, sehingga kerugian ekonomi akibat serangan penyakit pada ayam dapat ditekan. Pasokan dan permintaan masingmasing jenis vaksin ayam pada tahun 1999 disajikan pada Tabel 4. Data tersebut menunjukkan terdapat kekurangan vaksin ND sebanyak 36,26% (sekitar 775,70 juta dosis), vaksin IB 15,82% (71,70 juta dosis), IBD 31,38%, sedangkan untuk vaksin snot (coryza), pox, dan SHS terjadi kelebihan pasokan. Apabila dilihat dari sumber atau asal penyediaannya (dalam negeri atau impor), 85,10% vaksin ND (1,16 miliar dosis), 84,92% vaksin IB (sekitar 324 juta dosis), dan 94,29% vaksin IBD (sekitar 271 juta dosis) berasal dari impor, atau baru sebagian kecil saja yang dipenuhi dari Miliar dosis dalam negeri. Dengan demikian ketiga jenis vaksin tersebut berpotensi besar untuk diproduksi di dalam negeri karena selain permintaannya besar, teknologi produksinya telah dikuasai. Keadaan Vaksin Nonunggas Vaksin ternak nonunggas meliputi vaksin ternak besar (sapi potong, sapi perah, kerbau, domba, kambing, dan babi) dan vaksin untuk hewan kecil atau hewan kesayangan (anjing dan kucing). Kebutuhan vaksin untuk ternak besar diprioritaskan untuk pengendalian penyakit strategis seperti SE (septicaemia epizootica), antraks, brucellosis, dan hog kholera (Akoso 2000). Kusumaningsih et al (2001) melaporkan kebutuhan vaksin SE mencapai 7,50 juta dosis, vaksin antraks 9,40 juta dosis, vaksin brucellosis 3,70 juta dosis, dan vaksin hog kholera untuk babi sekitar 3 juta dosis. Ketersediaan vaksin SE sekitar 3,50 juta dosis, vaksin antraks 1,40 juta dosis, vaksin brucellosis 198 ribu dosis, dan vaksin hog kholera 372 ribu dosis. Berdasarkan data tersebut terdapat kekurangan vaksin untuk hewan besar dalam jumlah yang cukup besar. Namun demikian mengingat sebagian besar peternakan ternak besar ini merupakan peternakan rakyat sehingga program vaksinasi dan kebutuhan vaksinnya masih disubsidi oleh pemerintah, bisnis vaksin untuk ternak besar belum menarik minat pihak swasta. Selain itu = kebutuhan = ketersediaan = kekurangan Tahun Gambar 1. Kebutuhan, ketersediaan, dan kekurangan vaksin ayam, Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005

5 Tabel 4. Kebutuhan dan ketersediaan masing-masing jenis vaksin ayam (dalam satuan ribu dosis) tahun Jenis 1 Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan/ vaksin Impor Dalam negeri Total kelebihan ND (66,83) (36,26) IB (14,16) (15,82) IBD (13,09) (31,38) Coryza (2,33) (49,84) Pox (0,97) (1008,22) ILT 40, (1,26) (23,97) EDS (1,31) (17,40) SHS (0,05) (1,85) Total Angka dalam kurung adalah persentase. Sumber: Akoso (2000). volume kebutuhan vaksin tersebut masih jauh lebih kecil daripada vaksin ayam. Vaksin hewan kesayangan umumnya berupa vaksin rabies, canine parvovirus, canine distemper, canine hepatitis, canine leptospirosis, dan feline panleucopenia. Kusumaningsih et al. (2001) melaporkan bahwa kebutuhan vaksin rabies berkisar 4,90 juta dosis serta vaksin canine parvovirus, canine distemper, canine hepatitis, dan canine leptospirosis masing-masing sekitar 2,10 juta dosis, sedangkan vaksin feline panleucopenia untuk kucing sekitar 2,80 juta dosis. Kebutuhan tersebut baru terpenuhi sekitar 12% dan sekitar 50% berasal dari impor. Baru vaksin rabies yang dapat diproduksi di Indonesia (Akoso 1999; 2000; Kusumaningsih et al. 2001). Walaupun kebutuhan vaksin untuk hewan kesayangan lebih kecil dibanding vaksin ayam, vaksin tersebut berpeluang dikembangkan di dalam negeri. POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN VAKSIN HEWAN Penelitian Vaksin Hewan Penelitian vaksin hewan di Indonesia telah banyak dilakukan oleh perguruan tinggi, lembaga penelitian departemen dan nondepartemen, serta produsen vaksin hewan baik milik pemerintah maupun swasta (Akoso 1999; Bahri 1999; Partadiredja 1999). Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) sebagai lembaga penelitian penyakit hewan tertua di Indonesia telah banyak menghasilkan vaksin hewan, antara lain vaksin ETEC Tabel 5. multivalen dan vaksin E. coli polivalen untuk babi dan sapi, serta vaksin enterotoksemia dan blackleg bivalen untuk sapi, kerbau, domba, kambing, dan babi (Natalia 1996; Natalia et al. 1996; Supar et al. 1998, 1999). Ramdani et al. (1997) dan Chancellor et al. (1999) juga telah menghasilkan vaksin SE bivalen dan polivalen dari isolat lokal terpilih yang dapat melindungi sapi dan kerbau secara lebih baik dibanding vaksin yang biasa dipergunakan. Vaksin unggas juga telah banyak dihasilkan oleh Balitvet, yaitu vaksin ND inaktif, vaksin IB inaktif, vaksin ND aktif tahan panas RIVS2, vaksin IBD aktif intermediate dari isolat lokal, dan vaksin kholera unggas (Darminto 1992; Parede et al. 1994; Darminto dan Ronohardjo 1996; Parede 1996; Darminto 1999; Indriani dan Darminto 2001; Supar et al. 2001a; 2001b; Infovet 2003). Beberapa hasil penelitian tersebut telah mendapatkan paten (Tabel 5). Beberapa vaksin lokal mempunyai efektivitas yang lebih baik, antara lain vaksin IBD aktif intermediate isolat lokal. Vaksin ini dikembangkan dari isolat virus IBD lokal yang ganas yang mewabah di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Galur virus lokal ini mempunyai karakteristik molekuler yang berbeda dengan virus vaksin IBD yang diimpor (Rudd et al. 2002), di mana vaksin impor tersebut tidak dapat melindungi wabah IBD di Indonesia (Parede 1996). Vaksin IBD lokal dikembangkan oleh Parede (1996) melalui Hasil penelitian Balai Penelitian Veteriner yang telah mendapat paten. Produk teknologi No. Paten Penemu Vaksin infectious bronchitis (IB) S Dr. Darminto isolat lokal Vaksin enterotoksigenik E. coli multi- S Dr. Supar, MS valen untuk babi Antigen berwarna pullorum polivalen S J. Sri Poernomo, BSc untuk unggas Vaksin tetelo inaktif isolat lokal P Dr. Darminto dan Dr. Purnomo Ronohardjo Vaksin tetelo aktif galur Balai P Dr. Purnomo Ronohardjo Penelitian Veteriner 2 (RIVS2) dan Dr. Darminto Vaksin verotoksigenik E. coli untuk sapi P Dr. Supar, MS Vaksin snot trivalen isolat lokal P J. Sri Poernomo, BSc. untuk unggas Sumber: Balai Penelitian Veteriner (2004). Jurnal Litbang Pertanian, 24(3),

6 berbagai uji coba dan dapat melindungi serangan wabah IBD di Indonesia. Darminto (1999) juga telah mengembangkan vaksin IB inaktif untuk ayam yang mempunyai keunggulan komparatif dibanding vaksin IB inaktif impor, karena berasal dari isolat virus lokal yang berbeda dengan virus vaksin. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) juga telah berhasil meneliti vaksin ayam coccidia melalui proses radiasi. Beberapa perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga mempunyai pengalaman dalam meneliti dan memproduksi vaksin hewan dalam skala terbatas terutama vaksin ND (Bahri et al. 2001a). Perguruan tinggi sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk berperan sebagai produsen vaksin, tetapi dibatasi oleh masalah dana, sarana dan prasarana serta peraturan perundangan. Partadiredja (1999) mengemukakan bahwa status otonomi beberapa perguruan tinggi berdasarkan PP No.16 tahun 1999 membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk mendirikan badan usaha yang bergerak dalam bidang produksi vaksin dan bahan biologis veteriner lainnya, seperti yang telah dilakukan oleh FKH- IPB dengan membentuk perusahaan terbatas yang memproduksi vaksin avian influenza (AI) (Infovet 2005). Produsen Vaksin Hewan di Indonesia Produsen vaksin dalam negeri milik pemerintah adalah Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA) yang merupakan UPT dari Direktorat Jenderal Peternakan di bidang produksi vaksin, antisera, diagnostika, dan bahan biologik lain. UPT tersebut telah banyak meneliti dan menghasilkan vaksin hewan seperti brucellosis, SE, antraks, rabies, IBD, dan berbagai vaksin ND (Bahri et al. 2001a). Menurut Siregar (1999), PUSVETMA telah memproduksi sekitar 14 jenis vaksin hewan yang meliputi 7 vaksin ayam (5 vaksin ND dan 2 vaksin IB), 4 vaksin hewan besar (brucellosis, SE, antraks, dan hog kholera), satu vaksin rabies, dan 2 vaksin ikan dan udang. Beberapa produsen vaksin hewan swasta telah banyak pula memproduksi berbagai jenis vaksin terutama vaksin unggas. Perusahaan ini merupakan pionir swasta di bidang produksi vaksin dan bahan biologis untuk hewan di Indonesia yang berdiri pada awal 1980-an. Perusahaan ini memiliki fasilitas produksi yang memadai dan SDM yang potensial dalam pengembangan vaksin di laboratorium dan pemasaran produk. Efisiensi dalam bekerja dan berproduksi diterapkan sehingga produk yang dihasilkan kompetitif. Kapasitas produksi belum optimal sehingga masih berpeluang untuk ditingkatkan bila diperlukan. Rumawas (1999) melaporkan salah satu perusahaan vaksin hewan terkemuka di Indonesia mampu memproduksi 15 jenis vaksin ayam (7 vaksin ND, 4 vaksin IB, dan 4 vaksin IBD), 3 jenis vaksin hewan besar (SE, antraks, dan brucellosis), dan satu jenis vaksin rabies. Produk vaksin Indonesia tidak terbatas dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke Myanmar, Filipina, Thailand, dan Pakistan (Bahri et al. 2001a). Selain perusahaan tersebut, terdapat perusahaan swasta lain (berlokasi di Bandung) di bidang obat hewan, terutama bahan biologis berupa vaksin untuk hewan. Perusahaan memiliki fasilitas dan SDM yang memadai baik untuk pengembangan dan produksi vaksin maupun pemasarannya. Kapasitas produksinya cukup tinggi tetapi saat ini produksinya masih sekitar 50% dari kapasitas yang ada sehingga masih memiliki potensi untuk ditingkatkan. Vaksin yang diproduksi terutama adalah vaksin unggas karena vaksin ini banyak dibutuhkan konsumen (pasar) serta vaksin untuk hewan besar dan hewan kesayangan seperti vaksin distemper, hepatitis dan parvovirus. Saat ini vaksin unggas yang diproduksi adalah 13 jenis vaksin ayam (3 jenis vaksin gumboro, 7 vaksin ND, 3 vaksin IB) serta vaksin pox dan coryza. Produk vaksin tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke beberapa negara Asia seperti Nepal, Vietnam, Filipina, dan Myanmar (Bahri et al. 2001a). Keadaan ini menggambarkan bahwa produsen dalam negeri mempunyai potensi untuk mengisi kebutuhan vaksin di dalam negeri. Ketersediaan dan Potensi Isolat Lokal dan Sumber Daya Lainnya Potensi untuk mengembangkan vaksin hewan di dalam negeri didukung oleh ketersediaan isolat lokal baik virus, bakteri maupun parasit yang telah diisolasi dan disimpan antara lain dalam bentuk kering beku di Balitvet Culture Collection (BCC) maupun di lembaga penelitian lainnya. Selain itu SDM yang berpengalaman dan terkait dengan teknologi produksi vaksin juga telah tersedia baik di lembaga penelitian seperti Balitvet, BATAN, dan perguruan tinggi maupun pada produsen vaksin. SDM maupun sumber daya lainnya sangat potensial untuk pengembangan vaksin hewan di dalam negeri (Bahri et al. 2001a; 2001b). Balitvet Culture Collection sejak tahun 1982 telah menjadi anggota World Federation of Culture Collection (WFCC) dan juga terdaftar dalam World Data Centre (WDC). Saat ini BCC memiliki koleksi isolat bakteri, 273 isolat cendawan, 3 isolat protozoa, dan 11 isolat virus hewan yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan vaksin dan bahan biologis lain. Sebagian dari isolat-isolat tersebut telah diidentifikasi dan dikarakterisasi sehingga pembuatan vaksin menjadi lebih terarah. Beberapa isolat lokal asal bakteri yang telah dikembangkan di Indonesia adalah Pasteurella multocida untuk vaksin kolera unggas (Supar et al. 2001a; 2001b), P. multocida tipe B2 untuk vaksin SE (Ramdani et al. 1997; Chancellor et al. 1999), Clostridium perfringens untuk vaksin enterotoksemia dan C. chavoei untuk vaksin black leg pada hewan besar (Natalia 1996; Natalia et al. 1996). Isolat bakteri lokal lain yang dikembangkan sebagai vaksin adalah enterotoksigenik dan verotoksigenik E. coli untuk vaksin kolibasilosis pada sapi (Supar et al. 1998; 1999). Beberapa isolat virus lokal yang telah dikembangkan menjadi vaksin hewan adalah virus newcastle disease velogenik galur ITA sebagai vaksin ND inaktif isolat lokal (Darminto 1992, Darminto dan Ronohardjo 1996) dan virus IB isolat lokal I-37, I-269, dan PTS-3 sebagai vaksin IB (Darminto 1999; Indriani dan Darminto 2001). Virus IBD isolat lokal yang berbeda dengan virus vaksin IBD impor telah dikembangkan sebagai vaksin IBD (Parede et al. 1994; Parede 1996). Vaksin-vaksin lokal lainnya adalah kombinasi dari virus ND, IB, dan IBD. FKH-IPB juga telah mengembangkan vaksin ND isolat lokal dan vaksin IBD isolat lokal terpilih, serta vaksin coccidiosis untuk ayam (Partadiredja 1999). Semua ini menunjukkan bahwa sumber daya plasma nutfah mikroorganisme veteriner lokal mempunyai potensi besar sebagai vaksin hewan yang 118 Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005

7 mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan vaksin impor. Peluang Pengembangan Vaksin di Dalam Negeri Pengembangan vaksin hewan di dalam negeri mempunyai peluang yang cukup baik karena permintaan akan vaksin hewan terutama vaksin unggas relatif tinggi dan belum terpenuhi. Untuk mencukupi kebutuhan (target) vaksinasi ayam tahun 2005 sebanyak 1,80 miliar ekor diperlukan tambahan vaksin (antara lain vaksin ND, IBD, dan IB) hampir dua kali dari kebutuhan saat ini, sedangkan kebutuhan saat ini sebesar 85,10% vaksin ND, 84,90% vaksin IB, dan 94,30% vaksin IBD masih dipenuhi dari impor (Akoso 2000). Hal ini juga sesuai dengan harapan ASOHI dalam mengembangkan vaksin hewan di dalam negeri (Pronohartono 1999; 2000). Selain itu produsen vaksin dalam negeri telah mempunyai kemampuan memproduksi vaksin ayam terutama ND, IBD, dan IB (Rumawas 1999; Siregar 1999). Pengembangan vaksin hewan di dalam negeri juga ditunjang oleh fasilitas yang memadai, baik yang dimiliki oleh produsen vaksin milik pemerintah maupun swasta. Sampai saat ini kapasitas produksi masih jauh dari optimal sehingga vaksin yang diproduksi kurang dari 50% kapasi-tas terpasang (Bahri et al. 2001a). Keada-an ini juga menggambarkan bahwa peluang untuk mengisi kebutuhan vaksin ayam di dalam negeri sangat terbuka. STRATEGI PENGEMBANGAN Upaya mengoptimalkan sumber daya lokal dalam pengembangan vaksin hewan di dalam negeri dilakukan dengan analisis SWOT dari lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang potensial mengembangkan dan memproduksi vaksin hewan, sehingga dihasilkan suatu formulasi strategis. Reorientasi Penelitian dan Pengembangan Vaksin Kegiatan penelitian dan pengembangan vaksin hewan yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi masih belum berorientasi pasar. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan sehingga hasil penelitian dan pengembangan mempunyai prospek komersial dan dibutuhkan pasar baik domestik maupun ekspor (Akoso 1999; Bahri et al. 2001b). Teknik produksi vaksin yang dihasilkan juga harus efisien sehingga mempunyai daya saing tinggi serta mutu terjamin. Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan isolat lokal mengingat isolat tersebut umumnya memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dalam mengatasi penyakit hewan di dalam negeri, terutama vaksin ND, IB, dan IBD. Kemungkinan pengembangan vaksin kombinasi (cocktail) dari ketiga agen penyebab tersebut perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan hasil kajian yang telah dilakukan Bahri et al. (2001b) dan Kusumaningsih et al. (2001). Inventarisasi berbagai hasil penelitian yang lalu untuk pengembangan vaksin yang mempunyai keunggulan tersendiri dengan memperhatikan permintaan pasar domestik dan ekspor perlu pula mendapat perhatian. Penjajagan peluang pengembangan vaksin hewan kesayangan maupun vaksin nonunggas lain yang dibutuhkan di dalam negeri dan mempunyai nilai ekonomis layak pula dilakukan. Pemanfaatan Sumber Daya Dalam Negeri Strategi lain yang perlu dilakukan adalah melakukan kerja sama operasional atau kemitraan antara lembaga penelitian dan perguruan tinggi dengan produsen vaksin pemerintah maupun swasta, terutama untuk vaksin yang teknologinya telah dikuasai atau dihasilkan oleh lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Kerja sama dapat melalui cara toll manufacturing seperti yang diatur SK Menteri Pertanian atau melalui perjanjian yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Kerja sama dapat pula dilakukan dalam pengembangan vaksin baru. Kerja sama dapat berupa penelitian kemitraan dengan dana sebagian dari pemerintah, atau kerja sama berupa kontrak tenaga ahli (SDM) atau kerja sama produksi yang teknologi pembuatan vaksin tersebut telah dihasilkan oleh perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Kerja sama ini dapat mengatasi biaya riset yang mahal dalam pengembangan vaksin baru. Melalui kerja sama, kedua belah pihak dapat saling melengkapi baik dalam SDM, fasilitas, dan dana (Bahri et al. 2001b). Meningkatkan Kapasitas Produksi Vaksin Dalam Negeri Produsen vaksin dalam negeri perlu meningkatkan efisiensi baik produksi maupun usaha, serta meningkatkan produksi vaksin yang berorientasi komersial terutama untuk produsen milik pemerintah, bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan pemerintah. Peningkatan produksi dilakukan dengan memanfaatkan peluang yang ada, yaitu permintaan pasar yang tinggi terhadap vaksin-vaksin tertentu seperti vaksin ND, IB, dan IBD dalam bentuk tunggal maupun kombinasinya. Produsen vaksin milik pemerintah yang umumnya lemah dalam pemasaran perlu memperbaikinya dengan meningkatkan manajemen pemasaran dan strategi bisnis yang profesional, serta memperhatikan kualitas produk dan pelayanan serta melakukan promosi yang intensif. Produk-produk vaksin yang dihasilkan harus efisien, memiliki daya saing tinggi, mutu terjamin dengan menerapkan cara pembuatan obat hewan yang baik (CPOHB). Dengan demikian diharapkan kapasitas produksi terpasang dapat tercapai. Produsen vaksin hewan milik swasta juga harus dapat memanfaatkan peluang pasar domestik yang tinggi dengan cara meningkatkan produksi vaksin yang telah dihasilkan, serta memperluas pangsa pasar dengan meningkatkan promosi dan pelayanan terutama untuk vaksin ND, IB, dan IBD. Efisiensi usaha perlu pula ditingkatkan agar produk dapat berkompetisi dengan produk impor sehingga kepercayaan masyarakat terhadap vaksin produksi dalam negeri makin meningkat. Untuk meningkatkan kapasitas produksi dapat dilakukan kerja sama toll manufacturing dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Membentuk Unit Produksi Vaksin pada Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi Strategi lain yang dapat dilakukan perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk mempercepat produksi vaksin hasil penelitiannya adalah dengan membentuk unit produksi vaksin hewan Jurnal Litbang Pertanian, 24(3),

8 dalam bentuk badan usaha yang bersifat komersial (Partadiredja 1999). Hal ini memungkinkan bagi perguruan tinggi yang telah berstatus BHMN (otonomi). Pada akhir tahun 2004, FKH-IPB telah membentuk unit produksi vaksin bekerja sama dengan investor dari Jepang dan pada awal 2005 telah mampu memproduksi vaksin AI untuk ayam (Infovet 2005). Pembentukan unit usaha (unit produksi) semacam ini dapat dikembangkan pada lembaga penelitian lain apabila UU No.18 tahun 2002 tentang sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek telah dilengkapi dengan peraturan pemerintah yang mendukung pendirian badan usaha tersebut. Hal demikian akan semakin memungkinkan apabila kebijakan pemerintah yang mendukung upaya tersebut dapat terwujud. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Industri Vaksin Hewan Untuk memacu pengembangan vaksin hewan di dalam negeri, dukungan pemerintah berupa kebijakan sangat diperlukan, terutama peninjauan ulang terhadap peraturan yang cenderung menghambat proses komersialisasi hasilhasil penelitian dari lembaga pemerintah. Pemberian izin produksi vaksin hewan bagi lembaga penelitian pemerintah dan perguruan tinggi diberikan dengan mengacu kepada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan persyaratan teknis. Keputusan Menteri Pertanian tentang pembuatan, pengemasan, dan peredaran obat hewan oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi pada tahun 2001 belum cukup untuk mempercepat pemasyarakatan vaksin hasil penelitian, karena peredarannya tidak diperbolehkan bersifat komersial. Oleh karena itu, adanya peraturan Menteri Pertanian tentang sistem toll manufacturing perlu dimanfaatkan agar hasil penelitian vaksin lokal dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Kebijakan pemerintah terutama untuk perguruan tinggi negeri yang berstatus BHMN cukup mendukung upaya mempercepat komersialisasi hasilhasil penelitian vaksin di dalam negeri. Dengan disahkannya Rancangan Peraturan Pemerintah menjadi Peraturan Pemerintah RI Nomor 20 tahun 2005 tentang alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil penelitian dan pengembangan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan, diharapkan pengembangan vaksin hewan di dalam negeri semakin intensif. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan aspek komersial dan nilai ekonomisnya, vaksin ayam perlu mendapat prioritas utama untuk dikembangkan di dalam negeri. Vaksin ND, IB, dan IBD merupakan vaksin ayam yang paling dibutuhkan pasar, mencapai 93,36% dari jumlah total vaksin yang dipergunakan pada ayam, masing-masing 63,15% vaksin ND, 15,90% vaksin IB, dan 14,31% vaksin IBD. Mengingat ketiga jenis vaksin ini sebagian besar (masing-masing 85,10%, 84,92%, dan 94,39%) masih diimpor, padahal ketiganya sudah dapat diproduksi di dalam negeri, terdapat peluang yang cukup besar untuk mengembangkannya. Vaksin IBD perlu mendapat prioritas utama karena agen virus penyebab penyakit di lapangan berbeda dengan virus IBD yang digunakan dalam vaksin impor. Dengan demikian vaksin dalam negeri yang menggunakan isolat lokal mempunyai keunggulan komparatif. Sumber daya di lembaga penelitian, perguruan tinggi dan produsen vaksin milik pemerintah maupun swasta masingmasing mempunyai keunggulan yang bila dipadukan bersifat komplementer. Sumber daya tersebut merupakan aset nasional yang sangat potensial untuk memacu produksi vaksin hewan dalam negeri. Dalam hal ini perlu diciptakan pola kerja sama yang saling menguntungkan. Arah kebijakan penelitian di lembaga penelitian dan perguruan tinggi harus berorientasi pasar dengan produk yang bernilai komersial serta merupakan substitusi impor. Pemerintah dan swasta perlu bekerja sama untuk: a) memperluas pemasaran dan meningkatkan promosi serta pelayanan kepada klien, b) meningkatkan produksi vaksin yang masih di bawah kapasitas terpasang dengan sistem toll manufacturing, c) meningkatkan produksi vaksin unggulan yang masih diimpor dalam jumlah besar seperti vaksin ND, IB, dan IBD, d) mengembangkan vaksin unggulan dalam bentuk kombinasi 2 4 jenis penyakit, e) mengembangkan vaksin baru dari isolat lokal terpilih; f) melakukan efisiensi usaha antara lain dengan menjalin kerja sama dalam memanfaatkan sumber daya, serta (g) meningkatkan mutu produk agar masyarakat semakin percaya terhadap produk lokal. DAFTAR PUSTAKA Akoso, B.T Kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan dalam memenuhi kebutuhan obat hewan (vaksin dan bahan biologis veteriner lainnya). Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan. Makalah Disajikan pada Workshop Veteriner 27 Juli 1999, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Akoso, B.T Kebutuhan bahan biologis untuk menunjang pengamanan ternak terhadap penyakit. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan. Makalah Disajikan pada Seminar dan Pameran Teknologi Peternakan dan Veteriner Maret 2000, di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Bahri, S., A. Nurhadi, T.D. Soedjana, T.B. Murdiati, R. Widiastuti, dan P. Zahari Sistem penyebaran dan pemasaran obat hewan di DKI Jakarta Raya dan Jawa Barat. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Bahri, S Potensi lembaga penelitian dalam mendukung pengadaan vaksin dan bahan biologis veteriner lainnya di Indonesia. Workshop terbatas upaya pengembangan vaksin dan bahan biologis veteriner lainnya di Indonesia, Bogor, 27 Juli Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Bahri, S., A. Nurhadi, E. Martindah, A. Kusumaningsih, dan E. Masbulan. 2001a. Studi potensi lembaga-lembaga pemerintah dan swasta dalam memproduksi vaksin dan bahan biologis veteriner lain di Indonesia. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Tahun 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005

9 Bahri, S., E. Masbulan, A. Nurhadi, A. Kusumaningsih, dan E. Martindah. 2001b. Studi kebijakan mengoptimalkan sumber daya dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan vaksin dan bahan biologis veteriner lain di Indonesia. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Tahun 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm Balai Penelitian Veteriner Vaksin hasilhasil penelitian Balai Penelitian Veteriner yang siap dikomersialkan. Laporan Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Chancellor, R., S. Bahri, Y. Setiadi, dan Supartono Vaksin septichaemia epizootica (SE) bivalen isolat lokal untuk sapi dan kerbau. Teknologi Unggulan Pemacu Pembangunan Pertanian 2: Darminto Efisiensi vaksinasi penyakit tetelo (newcastle disease) pada ayam broiler. Penyakit Hewan XXIV(43): 4 8. Darminto dan P. Ronohardjo Vaksin newcastle disease inaktif berasal dari virus isolat lokal galur velogenik. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(1): Darminto Pengembangan vaksin infectious bronchitis inaktif isolat lokal. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(2): Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfield, S. Ehui, and C. Courbies Livestock to 2020 The Next Food Revolution. IFPRI, FAO, and ILRI. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Buku Statistik Peternakan Tahun Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta. Hadi, P.U., N. Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent, and D. Quirke Improving Indonesia s Beef Industry. ACIAR, Canberra. Indriani, R. dan Darminto Respons antibodi dan proteksi vaksin inaktif infectious bronchitis isolat lokal pada ayam petelur.pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(2): Infovet Data Bank, diolah ASOHI Infovet 101: 62. Infovet Data Bank, American Soybean Association (ASA, 2002). Infovet 103: 54. Infovet IPB-Shigeta bangun pabrik vaksin terbesar di Indonesia. Infovet 127: 32. Kusumaningsih, A., S. Bahri, A. Nurhadi, E. Martindah, dan E. Masbulan Studi kebijakan penyediaan dan pengembangan vaksin dan bahan biologis veteriner untuk menunjang peningkatan mutu bibit ternak di Indonesia. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Pe- ternakan ARMP-II Tahun 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm Natalia, L Evaluasi respons antibodi sapi dan kerbau terhadap vaksin clostridium perfringens Tipe A dengan menggunakan ELISA. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1(3): Natalia, L., Sudarisman, dan M. Darodjat Pencegahan enterotoksemia pada sapi yang ditransportasikan antarpulau. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(1): Parede, L., P. Ronohardjo, H. Hamid, R. Indriani, N. Sudarisma, I. Solihin, dan Kusmaedi Isolasi dan karakterisasi virus IBD dari kejadian akut wabah penyakit gumboro. Penyakit Hewan XXVI(47): Parede, L Penelitian tentang pembuatan master seed vaksin hidup virus gumboro (infectious bursa disease) dari isolat lokal virus Gumboro. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Partadiredja, M Potensi, peluang dan prospek perguruan tinggi dalam memenuhi kebutuhan vaksin dan bahan biologis veteriner lain di Indonesia. Makalah disampaikan pada Workshop Veteriner 27 Juli Natalia, L Evaluasi respons antibodi sapi dan kerbau terhadap vaksin clostridium perfringens Tipe A dengan menggunakan ELISA. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1(3): Poultry Indonesia Industri Obat Hewan Tumbuh 21 30%. Poultry Indonesia, Edisi Mei hlm Pronohartono, T Peran, fungsi dan kebijakan ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) dalam menunjang pemenuhan kebutuhan vaksin dan bahan biologis lain di Indonesia. Makalah Disampaikan pada Workshop Veteriner 27 Juli Pronohartono, T Kebutuhan dan ketersediaan obat hewan di Indonesia. Makalah Dipresentasikan pada Seminar Nasional IPTEK Veteriner, di Maret Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Ramdani, W. Asmara, dan I. Mulyadi Analisis sifat antigenik lipopolysaccharide (LPS) dan protein dari Pasteurella multocida untuk pengembangan diagnosa yang akurat dan vaksin yang lebih efektif. Laporan Akhir RUT II. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Rudd, M.F., H.G. Heine, S.I. Sapats, L. Parede, and J. Ignjatovic Characterisation of an Indonesian very virulent strain of infectious bursal disease virus. Arch. Virol. 147: Rumawas, W PT VAKSINDO dan keberhasilannya. Makalah Disampaikan pada Workshop Terbatas Upaya Pengembangan Vaksin dan Bahan Biologis Veteriner Lainnya di Indonesia, 27 Juli Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Simatupang, P., N. Syafaat, S. Murdiyanto, S. Friyanto, M. Suryadi, M. Mardana, dan K. Kariyasa Kinerja Sektor Pertanian Tahun Departemen Pertanian, Jakarta. 57 hlm. Siregar, S.B Strategi, kontribusi dan prospek Pusvetma dalam memenuhi kebutuhan vaksin dan bahan biologis veteriner lain di Indonesia. Workshop terbatas Upaya Pengembangan Vaksin dan Bahan Biologis Veteriner Lainnya di Indonesia, 27 Juli Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sudardjat, S Tahun 2005 bisnis perunggasan tumbuh dua kali lipat. Infovet 102: Suharto, M Dukungan teknologi pakan dalam usaha sapi potong berbasis sumberdaya lokal. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong: Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan, Yogyakarta, 8 9 Oktober Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm Supar, Kusmiyati, dan M.B. Poerwadikarta Aplikasi vaksin enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) K99, F41 polivalen pada induk sapi perah bunting dalam upaya pengendalian kolibacillosis dan kematian pedet neonatal. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(1): Supar, B. Poerwadikarta, N. Kurniasih, dan Djaenuri Pengembangan vaksin Escherichia coli alfa hemolotik verotoksigenik: Respons antiverotoksik antibodi pada hewan percobaan mencit, kelinci, dan sapi perah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(1): Supar, Y. Setiadi, Djaenuri, N. Kurniasih, B. Poerwadikarta, dan Sjafei. 2001a. Pengembangan vaksin kolera unggas: I. Proteksi vaksin pasteurella multocida isolat lokal pada ayam terhadap uji tantang galur homolog dan heterolog. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(1): Supar, Y. Setiadi, Djaenuri, N. Kurniasih, B. Poewadikarta, dan Sjafei. 2001b. Pengembangan vaksin kholera unggas: II. Patogenitas dan daya proteksi vaksin pasteurella multocida isolat lokal pada itik percobaan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(2): Tatang, E.P Beternak ayam kampung agar untung (Bagian 2). Infovet (063) Agustus Jurnal Litbang Pertanian, 24(3),

STUDI KEBUTUHAN BERBAGAI MACAM OBAT HEWAN (TERUTAMA VAKSIN) DI INDONESIA

STUDI KEBUTUHAN BERBAGAI MACAM OBAT HEWAN (TERUTAMA VAKSIN) DI INDONESIA Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000 STUDI KEBUTUHAN BERBAGAI MACAM OBAT HEWAN (TERUTAMA VAKSIN) DI INDONESIA ANNI KUSUMANINGSIH I, SJAMSUL Bahri l, AGUs NURHADI l,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor

Lebih terperinci

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005 OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005 Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan PENDAHULUAN Produksi daging sapi dan kerbau tahun 2001 berjumlah 382,3 ribu ton atau porsinya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK... Error! Bookmark not defined. ABSTRACT... Error! Bookmark not defined. UCAPAN TERIMA KASIH... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sub sektor peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan sub sektor peternakan perlu untuk dilakukan karena sub

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyedia protein, energi, vitamin, dan mineral semakin meningkat seiring

BAB I PENDAHULUAN. penyedia protein, energi, vitamin, dan mineral semakin meningkat seiring BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan sektor yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan sebagai usaha di masa depan. Kebutuhan masyarakat akan produk produk peternakan akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor peternakan merupakan salah satu pilar dalam pembangunan agribisnis di Indonesia yang masih memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Komoditi peternakan mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup

Lebih terperinci

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA A. Pengertian Pangan Asal Ternak Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati

Lebih terperinci

JALUR PENGADAAN, PEREDARAN DAN PEMASARAN VAKSIN / OBAT HEWAN DI INDONESIA

JALUR PENGADAAN, PEREDARAN DAN PEMASARAN VAKSIN / OBAT HEWAN DI INDONESIA Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000 JALUR PENGADAAN, PEREDARAN DAN PEMASARAN VAKSIN / OBAT HEWAN DI INDONESIA AGUs NURHADIl, S. BAHR11, A. KUSUMANINGSIH', E. MASBULAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Peternakan adalah kegiatan membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen pada faktor-faktor produksi. Peternakan merupakan

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB II. PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Rencana Strategis atau yang disebut dengan RENSTRA merupakan suatu proses perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA 3.1. CAPAIAN KINERJA SKPD Pada sub bab ini disajikan capaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timnur untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis SKPD sesuai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, selain ikan dan telur, guna memenuhi kebutuhan akan protein.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perekonomian Indonesia pada tahun 213 mengalami pertumbuhan sebesar 5.78%. Total produk domestik bruto Indonesia atas dasar harga konstan 2 pada tahun 213 mencapai Rp. 277.3

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dikembangkan dan berperan sangat penting dalam penyediaan kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. dikembangkan dan berperan sangat penting dalam penyediaan kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan sektor yang berpeluang sangat besar untuk dikembangkan dan berperan sangat penting dalam penyediaan kebutuhan pangan khususnya protein hewani. Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus diimbangi dengan kesadaran masyarakat akan arti penting peningkatan gizi dalam kehidupan. Hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

Bab 4 P E T E R N A K A N

Bab 4 P E T E R N A K A N Bab 4 P E T E R N A K A N Ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Perkembangan populasi ternak utama

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Visi SKPD adalah gambaran arah pembangunan atau kondisi masa depan yang ingin dicapai SKPD melalui penyelenggaraan tugas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK Pada umumnya sumber pangan asal ternak dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu berupa daging (terdiri dari berbagai spesies hewan yang lazim dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA Oleh : I Wayan Rusast Abstrak Pertumbuhan ekonomi telah menggeser pola konsumsi dengan penyediaan produk pangan ternak yang lebih besar.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian dari pertumbuhan industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan yang

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi

Lebih terperinci

BAB II. PERJANJIAN KINERJA

BAB II. PERJANJIAN KINERJA BAB II. PERJANJIAN KINERJA 2.1. RENCANA STRATEGIS TAHUN 2009-2014 Rencana Stategis Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 2014 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB II. PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Rencana Strategis atau yang disebut dengan RENSTRA merupakan suatu proses perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu tertentu

Lebih terperinci

MATRIK RENSTRA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

MATRIK RENSTRA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN MATRIK RENSTRA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2009-2014 1. VISI : Terwujudnya peningkatan kontribusi subsektor peternakan terhadap perekonomian. 2. MISI : 1. Menjamin pemenuhan kebutuhan produk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kontribusi sektor peternakan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional antara tahun 2004-2008 rata-rata mencapai 2 persen. Data tersebut menunjukkan peternakan memiliki

Lebih terperinci

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016 DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016 Disampaikan pada: MUSRENBANGTANNAS 2015 Jakarta, 04 Juni 2015 1 TARGET PROGRAM

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Populasi ternak sapi di Sumatera Barat sebesar 252

PENDAHULUAN. Populasi ternak sapi di Sumatera Barat sebesar 252 PENDAHULUAN Usaha pengembangan produksi ternak sapi potong di Sumatera Barat selalu dihadapi dengan masalah produktivitas yang rendah. Menurut Laporan Dinas Peternakan bekerja sama dengan Team Institute

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Jakarta, 26 Januari 2017 Penyediaan pasokan air melalui irigasi dan waduk, pembangunan embung atau kantong air. Target 2017, sebesar 30 ribu embung Fokus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aktivitas ekonomi dalam agribisnis adalah bisnis peternakan. Agribisnis bidang ini utamanya dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kebutuhan masyarakat akan produk-produk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Menurut Xiaoyan dan Junwen (2007), serta Smith (2010), teknologi terkait erat dengan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN: Bahasa Indonesia

LAPORAN PENELITIAN: Bahasa Indonesia LAPORAN PENELITIAN: SOSIO-ECONOMIC IMPACT ASSESMENT OF THE AVIAN INFLUENZA CRISIS ON POULTRY PRODUCTION SYSTEM IN INDONESIA, WITH PARTICULAR FOCUS INDEPENDENT SMALLHOLDERS Bahasa Indonesia Kerjasama PUSAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koperasi dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi sosial negara sedang berkembang dengan membantu membangun struktur ekonomi dan sosial yang kuat (Partomo,

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA Akuntabilitas Kinerja dalam format Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur tidak terlepas dari rangkaian mekanisme

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Visi SKPD adalah gambaran arah pembangunan atau kondisi masa depan yang ingin dicapai SKPD melalui penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut (Muhammad Rasyaf. 2002).

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut (Muhammad Rasyaf. 2002). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peternakan merupakan salah satu dari lima subsektor pertanian. Peternakan adalah kegiatan memelihara hewan ternak untuk dibudidayakan dan mendapatkan keuntungan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN BISNIS AYAM RAS PEDAGING PERUSAHAAN KAWALI POULTRY SHOP KABUPATEN CIAMIS

STRATEGI PENGEMBANGAN BISNIS AYAM RAS PEDAGING PERUSAHAAN KAWALI POULTRY SHOP KABUPATEN CIAMIS STRATEGI PENGEMBANGAN BISNIS AYAM RAS PEDAGING PERUSAHAAN KAWALI POULTRY SHOP KABUPATEN CIAMIS Ajat 1) Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi iis.iisrina@gmail.com Dedi Sufyadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA. Achmad Syaichu *)

POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA. Achmad Syaichu *) POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA Achmad Syaichu *) ABSTRAK Komoditas unggas (lebih dari 90 persen adalah kontribusi dari ayam ras) menduduki komoditas pertama untuk konsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor petenakan merupakan salah satu sub sektor yang berperan serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan subsektor peternakan seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia memegang peran penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dibudidayakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu sub sektor pertanian yang mempunyai potensi yang sangat baik untuk menopang pembangunan pertanian di Indonesia adalah subsektor peternakan. Di Indonesia kebutuhan

Lebih terperinci

CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014

CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014 CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014 1 Peningkatan Produksi Ternak Dengan Pendayagunaan Sumber Daya Lokal a. Pengembangan Kawasan Sapi Potong (Kelompok) 378 335 88,62 b. Pengembangan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Pembangunan Peternakan Provinsi Jawa Timur selama ini pada dasarnya memegang peranan penting dan strategis dalam membangun

Lebih terperinci

BAB V. Kompetensi Inti Guru : Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran kesehatan hewan

BAB V. Kompetensi Inti Guru : Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran kesehatan hewan SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN KESEHATAN HEWAN BAB V KEKEBALAN DAN VAKSIN PADA HEWAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

PERMASALAHAN PENYAKIT SEBAGAI KENDALA USAHA PETERNAKAN ITIK (IMPORTANT DISEASES IN DUCK FARMING)

PERMASALAHAN PENYAKIT SEBAGAI KENDALA USAHA PETERNAKAN ITIK (IMPORTANT DISEASES IN DUCK FARMING) PERMASALAHAN PENYAKIT SEBAGAI KENDALA USAHA PETERNAKAN ITIK (IMPORTANT DISEASES IN DUCK FARMING) Darmono dan Darminto Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor ABSTRACT Among duck raising systems in

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja. 1.1. Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN Usaha perunggasan di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir. Perkembangan usaha tersebut memberikan

Lebih terperinci

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) antara lain dalam memperjuangkan terbitnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis yang sangat mendukung, usaha peternakan di Indonesia dapat berkembang pesat. Usaha

Lebih terperinci

DESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR

DESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR Sosial Ekonomi DESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR ST. Rohani 1 & Muhammad Erik Kurniawan 2 1 Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

BAB VI INDIKATOR KINERJA YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

BAB VI INDIKATOR KINERJA YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD BAB VI INDIKATOR KINERJA YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN P erencanaan Strategis Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan merupakan bagian dari implementasi pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat kearah protein hewani telah meningkatkan kebutuhan akan daging sapi. Program

Lebih terperinci

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC) BAB VI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC) Agung Hendriadi, Prabowo A, Nuraini, April H W, Wisri P dan Prima Luna ABSTRAK Ketersediaan daging

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS UNGGAS. Edisi Kedua

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS UNGGAS. Edisi Kedua PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS UNGGAS Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kemitraan merupakan hubungan kerjasama secara aktif yang dilakukan. luar komunitas (kelompok) akan memberikan dukungan, bantuan dan

PENDAHULUAN. Kemitraan merupakan hubungan kerjasama secara aktif yang dilakukan. luar komunitas (kelompok) akan memberikan dukungan, bantuan dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan mempunyai peranan yang cukup penting bagi kehidupan manusia agar dapat hidup sehat, karena manusia memerlukan protein. Pemenuhan kebutuhan protein dalam tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Influenza merupakan penyakit saluran pernafasan akut yang di sebabkan infeksi Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C. Penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Agribisnis peternakan memberikan banyak kontribusi bagi bangsa Indonesia yaitu sebagai penyedia lapangan pekerjaaan dan berperan dalam pembangunan. Berdasarkan data statistik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas kesadaran itu, Departemen Pertanian (2011) mengarahkan pengembangan subsektor peternakan sebagai bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN an sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat,

I. PENDAHULUAN an sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan usaha ternak ayam di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1970 an sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat, yang kemudian mendorong

Lebih terperinci

I. PROGRAM DAN KEGIATAN TAHUN 2016

I. PROGRAM DAN KEGIATAN TAHUN 2016 I. PROGRAM DAN KEGIATAN TAHUN 2016 A. Program. Sebagai upaya untuk mewujudkan sasaran pembangunan peternakan ditempuh melalui 1 (satu) program utama yaitu Program Pengembangan Agribisnis. Program ini bertujuan

Lebih terperinci

Suplemen Majalah SAINS Indonesia

Suplemen Majalah SAINS Indonesia Suplemen Majalah SAINS Indonesia ROYALTI: MAGNET UNTUK BERINOVASI Menyoal royalti, diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 72/2015 tentang imbalan yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan

Lebih terperinci

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA Indonesia sebagai negara tropis dengan curah hujan dan kelembaban udara yang tinggi merupakan lingkungan yang cocok untuk berkembangbiaknya berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas ayam broiler merupakan primadona dalam sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Komoditas ayam broiler merupakan primadona dalam sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas ayam broiler merupakan primadona dalam sektor peternakan di Indonesia jika dibandingkan dengan komoditas peternakan lainnya, karena sejak pertama kali diperkenalkan

Lebih terperinci

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA :

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : WORKSHOP PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA RABIES DINAS PETERNAKAN KAB/KOTA SE PROVINSI ACEH - DI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur :

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur : BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA 3.1. CAPAIAN KINERJA ORGANISASI 3.1.1. Capaian Kinerja Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur : Tujuan 1 Sasaran : Meningkatkan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENETAPAN KINERJA DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN ANGGARAN 2015

PENETAPAN KINERJA DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN ANGGARAN 2015 PENETAPAN KINERJA DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN ANGGARAN 2015 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel serta berorientasi pada hasil,

Lebih terperinci

Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu

Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu Penyusun:

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

ABSTRACT ABSTRAK PENDAHULUAN

ABSTRACT ABSTRAK PENDAHULUAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS UNGGAS AIR DI INDONESIA (POLICY ON WATERFOWL DEVELOPMENT IN INDONESIA) Drh.H. Sofyan Sudrajat, D. MS. Direktur Jendral Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak sapi sangat penting untuk dikembangkan di dalam negri karena kebutuhan protein berupa daging sangat dibutuhkan oleh masyarakat (Tjeppy D. Soedjana 2005, Ahmad zeki

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA Akuntabilitas Kinerja dalam format Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur tidak terlepas dari rangkaian mekanisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

Menakar Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di dalam Negeri Menuju Swasembada 2014

Menakar Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di dalam Negeri Menuju Swasembada 2014 Menakar Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di dalam Negeri Menuju Swasembada 2014 Menakar Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di dalam Negeri Menuju Swasembada 2014 Penyusun: Tjeppy D Soedjana Sjamsul Bahri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Biro Pusat Statistik (1997) dan Biro Analisis dan Pengembangan. Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein

I. PENDAHULUAN. Biro Pusat Statistik (1997) dan Biro Analisis dan Pengembangan. Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Biro Pusat Statistik (1997) dan Biro Analisis dan Pengembangan Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein hewani belum terpenuhi, dan status

Lebih terperinci

Outlook Bisnis Peternakan Menyambut Tahun Politik dan Tahun Bebas AGP

Outlook Bisnis Peternakan Menyambut Tahun Politik dan Tahun Bebas AGP Outlook Bisnis Peternakan 2018 1 Menyambut Tahun Politik dan Tahun Bebas AGP 2 DAFTAR ISI 1. Dinamika 2017...1 2. Perunggasan...3 3. Ternak Sapi...7 4. Ternak Babi...11 5. Pakan...14 6. Obat Hewan...19

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis menjadi salah satu faktor pendukung peternakan di Indonesia. Usaha peternakan yang berkembang

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAMBING-DOMBA. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAMBING-DOMBA. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAMBING-DOMBA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi

Lebih terperinci

Tenet Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006 Bakteriologi (9 uji) ; Patologi (4 uji) ; Toksikologi (2 uji) ; Mikologi (3 uji) dan Parasitolo

Tenet Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006 Bakteriologi (9 uji) ; Patologi (4 uji) ; Toksikologi (2 uji) ; Mikologi (3 uji) dan Parasitolo ANEKA SAMPEL UNTUK PEMERIKSAAN/PENGUJIAN BERBAGAI JENIS PENYAKIT HEWAN/MANUSIA DI BALAI BESAR PENELITIAN VETERINER BOGOR MULYADI DAN M. SOLEH Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor,J1. RE. Martadinata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih 220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per

Lebih terperinci

BAB l. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB l. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB l. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan merupakan Unit Pelaksana Teknis yang didirikan dibawah proyek ATA - 297 (Agriculture Technical Assistance - 297)

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Bursa Fabrisius, Infectious Bursal Disease (IBD), Ayam pedaging

ABSTRAK. Kata Kunci : Bursa Fabrisius, Infectious Bursal Disease (IBD), Ayam pedaging ABSTRAK Bursa Fabrisius merupakan target organ virus Infectious Bursal Disease (IBD) ketika terjadi infeksi, yang sering kali mengalami kerusakan setelah ayam divaksinasi IBD baik menggunakan vaksin aktif

Lebih terperinci

FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT

FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT LATAR BELAKANG FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT KESEHATAN KUNCI SUKSES USAHA BUDIDAYA PETERNAKAN MOTO KLASIK : PREVENTIF > KURATIF

Lebih terperinci

CAPAIAN KINERJA SKPD DALAM PENCAPAIAN 9 PRIORITAS PROGRAM PEMBANGUNAN RKPD 2014

CAPAIAN KINERJA SKPD DALAM PENCAPAIAN 9 PRIORITAS PROGRAM PEMBANGUNAN RKPD 2014 SKPD No Misi dan kebijakan : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malang Program yang direncanakan CAPAIAN KINERJA SKPD DALAM PENCAPAIAN 9 PRIORITAS PROGRAM PEMBANGUNAN RKPD 2014 Indikator Program

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PROSPEK KERJASAMA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PROSPEK KERJASAMA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PROSPEK KERJASAMA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU Oleh : Budiman Hutabarat Delima Hasri Azahari Mohamad Husein Sawit Saktyanu Kristyantoadi

Lebih terperinci

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh No. Indikator Kinerja sesuai Tugas dan Fungsi Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Aceh Target Indikator Lainnya Target Renstra ke- Realisasi Capaian Tahun ke- Rasio Capaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketetapan MPR Nomor: XV/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Lebih terperinci