IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

Transkripsi

1 IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA Indonesia sebagai negara tropis dengan curah hujan dan kelembaban udara yang tinggi merupakan lingkungan yang cocok untuk berkembangbiaknya berbagai agen penyakit hewan maupun manusia seperti mikroba patogen (a.l. Antraks, Salmonella spp.), virus (a.l. Newcastle Disease, Avian Influenzae), parasit (a.l. Cysticercosis, cacing pita), dan kapang (a.l. Aspergillus spp., dan Fusarium spp.). Berbagai agen penyakit ini sebagian besar akan menimbulkan permasalahan dalam keamanan pangan produk ternak pada proses praproduksi, yaitu ditingkat on farm atau budidaya. Permasalahan ini karena berbagai agen penyakit yang disebutkan di atas masih berada di Indonesia, bahkan beberapa daerah merupakan daerah endemis terhadap penyakit tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan antisipatif oleh para peternak yang akan melakukan usaha tersebut mulai dari pemilihan lokasi sampai kepada tindakan pencegahan melalui vaksinasi maupun pengobatan. Keberadaan berbagai residu (antiobiotika, sulphonamida, hormon, pestisida, logam berat dan mikotoksin) pada produk tenak di Indonesia menggambarkan bahwa permasalahannya lebih dominan pada proses praproduksi dan pascaproduksi, terutama pada pengawasan dan penerapan peraturan yang tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Permasalahan pada proses praproduksi merupakan yang paling utama sebagai penyebab keberadaan berbagai residu tersebut. Pada umumnya peternak kurang memahami bahaya terhadap residu, tidak memahami adanya waktu henti obat (withdrawal time), sehingga mereka mengabaikan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan. Tampaknya para peternak tidak cukup hanya diberikan peraturan-peraturan yang tertuang dalam Peraturan Dirjen maupun peraturan Menteri. Perlu sosialisasi yang terus-menerus terhadap peraturan-peraturan 112

2 Permasalahan Keamanan Pangan Asal Ternak yang dibuat lebih ringkas dan praktis sehingga mudah dipahami para peternak. Banyaknya macam dan jenis obat hewan yang beredar dan digunakan dalam bidang peternakan menimbulkan kesulitan tersendiri dalam memonitor residu yang mungkin terdapat pada produk ternak. Keadaan ini mempunyai kaitan dengan metode deteksi untuk setiap macam/jenis obat kemungkinan besar berlainan antara satu obat dengan obat lainnya, sehingga perlu dikembangkan dahulu metode deteksinya yang sudah barang tentu memerlukan waktu, biaya dan keterampilan tersendiri. Selain itu pengembangan dan atau pemantapan metode deteksi residu memerlukan laboratorium dengan peralatan yang cukup mahal, tenaga terampil dan biaya yang tidak sedikit. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa setiap obat hewan mempunyai aturan pemakaian tersendiri seperti dosis, cara aplikasi dan waktu henti obat, dan lain sebagainya sehingga perlu kerjasama antara produsen obat, pabrik pakan, peternak atau produsen pangan asal ternak, dan pemerintah (termasuk petugas lapang) agar pemakaian obat sesuai dengan aturan yang ada. Keadaan ini memerlukan adanya mekanisme kerjasama yang lebih padu. Upaya mengatasinya adalah dengan memperketat pengawasan pemakaian obat hewan dalam pakan baik pada produsen/pabrik pakan maupun penggunaannya di tingkat peternak/farm. Selain itu secara terus-menerus dilakukan upaya-upaya meningkatkan kesadaran peternak dalam menggunakan obat hewan agar sesuai dengan petunjuk yang ada serta memperhatikan sanitasi di lingkungan usahanya agar produk ternak yang dihasilkan memiliki daya saing yang tinggi. Berbagai residu yang dijumpai pada organ hati ternak, menggambarkan bahwa produk tersebut cukup riskan untuk dikonsumsi masyarakat luas, terutama masyarakat bawah yang umumnya masih kekurangan gizi, sehingga rentan terhadap reaksi berbagai senyawa toksik. Demikian juga terhadap bayi 113

3 Keamanan Pangan Asal Ternak atau anak berumur di bawah lima atau tiga tahun karena keberadaan senyawa toksik atau residu kimia dalam bahan makanan kemungkinan dapat mengganggu perkembangan selsel dari organ tubuh tertentu. Mungkin ada hubungannya antara kebiasaan ibu-ibu zaman dahulu dalam memberikan hati (terutama hati ayam kampung) kepada balita/batita dengan kondisi lima puluh atau enam puluh tahun yang lalu dimana ayam kampung pada waktu itu dilepas bebas mencari makan sendiri pada lingkungan yang masih alami, sehingga hampir seluruh pakannya terdiri dari berbagai bahan organik karena pada saat itu belum dikenal adanya pestisida atau penggunaan agrochemical. Namun dengan kondisi saat ini dimana lingkungan sudah banyak tercemar berbagai polutan dan tingginya intervensi manusia terhadap lingkungan seperti berkembangnya pabrik yang menggunakan senyawa B3, intensifnya penggunaan agrochemical, dan penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan, serta tingginya kontaminan alami seperti senyawa mikotoksin pada berbagai bahan pakan, telah menyebabkan keberadaan residu senyawa-senyawa toksik tersebut pada organ hati. Oleh karena itu kebiasaan masyarakat Indonesia untuk mengonsumsi hati, terutama yang akan diberikan kepada anak-anak Balita perlu ditinjau kembali agar kebiasaan tersebut tidak diteruskan. Hendaknya para pakar di bidang kesehatan seperti dokter dan ahli gizi membahas hal ini secara ilmiah dan apabila memang dianggap lebih banyak dampak negatifnya daripada dampak positifnya, segera lakukan himbauan agar para balita atau batita tidak diberi makan organ hati ternak. Hendaknya dalam menentukan Batas Maksimum Residu (BMR) untuk produk ternak pada kondisi masyarakat Indonesia perlu ditinjau kembali, tidak dapat disamakan dengan ketentuan yang berlaku bagi negara lain, karena terdapat perbedaan pola konsumsi dan derajat kesehatannya. Demikian juga dalam menentukan acceptable daily intake (ADI) terhadap residu perlu 114

4 Permasalahan Keamanan Pangan Asal Ternak ditinjau ulang perhitungannya, disesuaikan dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk ternak. Secara umum tubuh manusia dengan tingkat kesehatan dan gizi yang prima akan lebih siap dalam memberikan reaksi terhadap masuknya agen penyakit maupun senyawa kimia asing. Sebaliknya pada tubuh yang tingkat kesehatan dan gizi kurang mencukupi akan lebih rentan terhadap masuknya agen penyakit atau senyawa kimia asing, sehingga ada kecendrungan pada kondisi demikian penderita akan terganggu kesehatannya. Permasalahan lain yang dihadapi negara berkembang dalam menjamin keamanan pangan asal ternak yang beredar di Negaranya antara lain masalah penguasaan IPTEK, khususnya dalam mendeteksi berbagai senyawa yang dapat membahayakan kesehatan manusia yang terdapat dalam pangan yang diimpor dari berbagai negara. Hal ini dikarenakan semakin berkembang dan kompleksnya macam dan jenis senyawa berbahaya yang dapat ditemukan pada bahan pangan asal ternak. Sementara itu lalu lintas perdagangan global pangan asal ternak terus berkembang dengan pesat seolah-olah tidak ada batas antar negara lagi. Dikhawatirkan negara-negara yang tidak atau belum siap mengantisipasi hal tersebut akan dibanjiri oleh produk-produk pangan asal ternak yang berkualitas rendah apabila negara pengimpor tersebut tidak mampu mendeteksi berbagai senyawa toksik dalam produk tersebut. Perbedaan yang sangat mencolok antara negara maju dengan negara berkembang antara lain kemampuannya dalam mendeteksi berbagai senyawa berbahaya pada produk asal ternak. Dalam hal ini negara-negara maju dengan mudah mampu mendeteksi keberadaan berbagai senyawa/cemaran dalam produk tersebut, sedangkan kemampuan negara berkembang sebaliknya. Sementara itu, jenis dan macam cemaran dari negara maju cenderung lebih sulit untuk dideteksi seperti pada kasus BSE, dioksin, hormon dan produk-produk 115

5 Keamanan Pangan Asal Ternak hasil rekayasa genetika. Situasi demikian sudah mulai dirasakan oleh negara berkembang seperti Indonesia yang mendapatkan adanya kandungan hormon pada daging sapi yang diimpor dari Australia (Widiastuti et al. 1999). Demikian juga yang dikemukakan oleh Rasyid (Komunikasi Pribadi 2010) yang mengungkapkan keberadaan hormon pada daging impor asal Australia. Padahal pihak Australia telah mengklaim bahwa daging yang mereka ekspor ke Indonesia bebas dari hormon. Keadaan ini mengindikasikan bahwa ketidakmampuan negara pengimpor dalam menguasai IPTEK mendeteksi keberadaan berbagai senyawa atau residu kimia sehingga akan dibanjiri oleh produk-produk berkualitas rendah yang mengandung berbagai residu. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Spence (1993) yang mengungkapkan bahwa produk asal ternak di Australia juga banyak yang mengandung residu obat seperti antibiotika. Bahkan residu pestisida juga pernah diungkapkan keberadaannya pada produk asal ternak di Australia akibat mengonsumsi pakan yang tercemar pestisida. Pengujian residu pada produk ternak di Indonesia sesungguhnya masih belum banyak dilakukan baik oleh laboratorium yang berwenang maupun oleh laboratorium dari lembaga penelitian, maupun swasta terutama terhadap residu mikotoksin, pestisida dan hormon. Keadaan ini disebabkan karena keterbatasan dana dan kemampuan dari Institusi yang berwenang seperti Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP), terutama keterbatasan SDM, dana dan fasilitas yang dimiliki serta banyaknya macam residu yang perlu diuji. Apabila pengujian ini dilakukan secara regular tidak tertutup kemungkinan akan diperoleh kandungan residu yang melampaui batas maksimum yang diperbolehkan. Permasalahan demikian perlu diupayakan pemecahannya dengan meningkatkan kemampuan Institusi/Laboratorium penguji agar terakreditasi untuk berbagai macam senyawa residu atau memberdayakan laboratorium-laboratorium lain 116

6 Permasalahan Keamanan Pangan Asal Ternak yang kompetensinya sudah teruji/terakreditasi. Oleh karena itu, perlu dibuat semacam konsorsium penguji mutu produk peternakan dengan membagi tugas untuk menguji berbagai senyawa residu, sehingga berbagai senyawa toksik/residu pada produk asal ternak dapat dideteksi oleh laboratorium di Indonesia. Untuk itu hendaknya Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berwenang dalam hal ini melakukan inisiatif pembentukan konsorsium tersebut. Kemampuan mengembangkan berbagai metode pengujian terhadap berbagai residu merupakan kelemahan yang perlu segera diatasi, karena didalam era perdagangan bebas ini volume dan frekuensi keluar masuk (ekspor/impor) berbagai produk pangan asal ternak akan semakin meningkat, sehingga perlu pelayanan yang cepat. Ketidak mampuan dalam melakukan deteksi berbagai residu dikhawatirkan akan dijumpai beredarnya berbagai produk ternak asal impor maupun produk ternak lokal yang tidak terjamin kualitas dan keamanannya untuk konsumen. Bahkan dikhawatirkan berbagai produk ternak impor yang mengandung berbagai residu berbahaya dapat beredar di Indonesia tanpa mampu diawasi. Oleh karena itu, permasalahan ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah, terutama lembaga yang berwenang. 117