L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI"

Transkripsi

1 BIOLOGI Attacus atlas L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI (Ricinus communis L.) DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI LABORATORIUM NANEH MULYANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 28

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 28 Naneh Mulyani NRP 3563

3 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 28 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor

4 BIOLOGI Attacus atlas L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI (Ricinus communis L.) DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI LABORATORIUM NANEH MULYANI Tesis Sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Biologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 28

5 Judul : Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di laboratorium. Nama : Naneh Mulyani NRP : G 3563 Program Studi : Biologi Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 6 Agustus 28 Tanggal Lulus:

6 PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia serta ridho-nya sehingga tesis yang berjudul Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan dan arahannya dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Departemen Agama RI atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drs. H. Ramlin S, MM selaku Kepala Madrasah MAN Cikarang atas dukungan dan kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Penelitian ini didanai oleh Departemen Agama RI yang bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), untuk itu penulis mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Suami, Ibu dan Adikadik atas do a, perhatian dan dukungan yang diberikan. Demikian juga kepada teman-teman dan pengelola Laboratorium Biologi Molekuler, PPSHB IPB atas kerjasamanya selama penelitian ini dilaksanakan. Semoga tesis ini memberi manfaat. Bogor, Agustus 28 Naneh Mulyani

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 6 Mei 968 dari Ayah Moh. Senan (Alm) dan ibu Chaeroni. Penulis merupakan anak pertama dari 7 bersaudara. Tahun 994 penulis menyelesaikan program Strata pada Universitas Negeri Jakarta mengambil jurusan Pendidikan Biologi. Selanjutnya penulis mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, mulai tahun 995 hingga tahun 26. Pada tahun 27 hingga sekarang, penulis mengajar pada Madrasah Tsanawiyah Negeri Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat. Pada bulan Juli 26 penulis mendapatkan kesempatan mengikuti program beasiswa pendidikan Pascasarjana dari Departemen Agama RI dan mengambil Program Studi Biologi, Subprogram Ekologi pada Sekolah Pascasarjana IPB.

8 RINGKASAN NANEH MULYANI. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan DEDE SETIADI. Di Indonesia, beberapa jenis ulat sutera liar seperti Cricula trifenestrata, Antheraea rossieri dan A. atlas sedang dicoba untuk dibudidayakan. Keistimewaan ulat sutera ini adalah sutera yang dihasilkan lebih lembut, lebih sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas dan anti bakteri. Disamping itu benang suteranya tebal tetapi lembut dengan warna dan pola yang alami. Hal ini menjadikan sutera A. atlas sebagai bahan tekstil yang eksklusif. Ngengat A. atlas bersifat polifag dan polivoltin. Keunggulan kisaran pakan yang luas merupakan aspek lain yang menguntungkan dalam serikultur. Penggunaan pakan lain sebagai pengganti (alternatif) dicoba terhadap daun yang jumlahnya melimpah seperti daun jarak pagar (J. curcas L.) dan daun kaliki (R. communis L.). Sedangkan strain ulat sutera polivoltin menguntungkan karena berproduksi lebih dari sekali dalam setahunnya sehingga produksi serat suteranya lebih banyak. Hal ini tentunya menguntungkan bagi budidaya ulat sutera (sericulture). Karena itu, pemeliharaan sumber genetik ulat sutera polivoltin menjadi prioritas untuk memenuhi tujuan yang diharapakan para breeder dalam program breeding ulat sutera secara intensif. Keterbatasan perkembangan populasi serangga secara umum di alam ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya konsumsi makanan yang berpengaruh terhadap perbedaan lama siklus hidup suatu jenis serangga pada berbagai tanaman inang. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian untuk mendapatkan informasi pakan larva yang menghasilkan daur hidup terpendek ngengat A. atlas. Sementara itu, kehilangan populasi A. atlas yang besar (5-55%) di alam terbuka terjadi karena serangan parasitoid dan predator. Untuk menghindarinya maka pemeliharaan ulat sutera ini dilakukan di dalam ruangan (Laboratorium). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi pakan larva, pertumbuhan larva, daur hidup, kualitas kokon dan filamen pada ngengat A. atlas yang dipelihara di dalam ruangan. Di samping itu untuk mengetahui teknik pemeliharaan yang tepat di dalam kondisi ruangan sehingga dapat dihasilkan kokon dengan kualitas terbaik untuk aplikasi budidaya maupun untuk keperluan penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 27 sampai dengan Mei 28. Penelitian ini meliputi tahapan analisa proksimat daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas) yang dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, serta tahapan pemeliharaan ulat yang dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB. Tahap persiapan penelitian yaitu penanaman pohon jarak pagar dan kaliki; desinfeksi ruangan dan peralatan; pengumpulan dan pemilihan kokon dari lapang (sekitar kampus IPB darmaga) lalu ditempatkan dalam kandang. Selanjutnya imago jantan dan betina yang muncul dibiarkan melakukan kopulasi. Tahap pelaksanaan penelitian diawali dengan analisa proksimat terhadap daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas). Uji proksimat dilaksanakan

9 di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB; selanjuutnya pengamatan imago yaitu panjang dan lebar abdomen serta rentang sayapnya; lama hidup imago; fekunditas (keperidian), viabilitas, periode telur dan lama peletakan telur oleh imago; serta pemeliharaan larva. Larva instar I-III dipelihara dalam cawan petri berdiameter cm dengan tinggi.5 cm. Setiap cawan petri terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan menyobek daun dan meletakkan dalam cawan petri. Memasuki instar IV hingga mengokon, larva dipindahkan dalam toples gelas berdiameter 4.5 cm dengan tinggi 23 cm. Setiap toples terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan memasukkan daun utuh disertai tangkai ke dalam toples gelas. Parameter yang diamati terdiri dari: ) Konsumsi pakan, 2) Pertumbuhan larva, 3) Daur hidup ngengat A. atlas, 4) Kualitas kokon, 5) Kualitas Filamen. Sebelum dilakukan pengambilan data kualitas filamen, terlebih dahulu kulit kokon diproses dengan cara direbus dalam campuran: liter air + 2 gram soda kaustik (N a OH) + 2 cc teepol + 2 gram sabun netral, selama satu jam. Selanjutnya kokon-kokon tersebut dicuci secara bertahap dengan air panas, hangat dan dingin. Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan pakan yang berbeda (P= daun sirsak; P2= daun kaliki, dan P3= daun jarak pagar). Untuk pengamatan konsumsi pakan, satu perlakuan diulang 3 kali. Pada pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva, satu perlakuan diulang 2 kali. Sedangkan pengamatan kualitas kokon dan filamen, satu perlakuan diulang kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut dengan menggunakan program SAS dan MINITAB. Berdasarkan kandungan nutrisinya, tanaman pakan yang paling ideal adalah daun jarak pagar karena pada daun tua memiliki kandungan air lebih rendah dari daun muda. Sebaliknya daun tua memiliki protein yang lebih tinggi dari daun muda. Hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan pertumbuhan ulat sutera A. atlas untuk menghasilkan kokon dan serat sutera yang berkualitas. Panjang, lebar dan rentang sayap imago berturut-turut dengan rataan (3.22±.32), (2.53±.33), (952±.93) cm pada jantan dan (4.25±.42), (3.62±.78), (2.±.7) cm pada betina. Lama hidup imago kawin dan tidak kawin berturut-turut dengan rataan (4.8±.93), (7.7±.42) hari pada jantan dan (5.6±.84), (8.9±3.) hari pada betina. Jumlah telur infertil dan fertil berturut-turut dengan rataan (92±8.59) dan (256±92.4) butir. Viabilitas dengan rataan 8.75±5.48 %. Periode telur dan lama peletakan telur dengan rataan (8.38±.5) dan (3.5±.8) hari. Ulat besar mengkonsumsi pakan sekitar % per ekor, sedangkan ulat kecil sekitar 2-4 % per ekor dari keseluruhan total pakan selama stadia larva. Larva yang diberi pakan daun jarak pagar paling banyak mengkonsumsi pakan, sedangkan konsumsi terendah pada larva yang diberi pakan daun kaliki. Total konsumsi untuk masing-masing pakan tersebut adalah pakan daun jarak pagar sebanyak 55.9±.68 gram, daun sirsak sebanyak 83.±7.89 g dan daun kaliki sebanyak 47.82±.6 g. Rataan bobot larva A. atlas pada akhir instar keenam berkisar antara g. Sedangkan rataan panjang larva A. atlas pada akhir instar keenam

10 berkisar antara cm. Bobot dan panjang larva tiap akhir instar dibandingkan dengan bobot dan panjang awal larva saat menetas pertama kali. Kenaikan bobot larva instar keenam mencapai 6 kali. Sedangkan penambahan panjang larva mencapai 7 kali. Hasil uji Anova pada keseluruhan instar menunjukkan bahwa pertambahan bobot dan panjang larva tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan. Rataan periode larva terpanjang dengan pakan daun sirsak (36.6±3.83 hari) dan terpendek pakan kaliki (32.±4.35 hari). Lama periode pupa terpanjang dengan pakan daun sirsak (29.25±7.7 hari) dan terpendek pakan kaliki (24.45±4.88 hari). Dua stadia terlama yang dilalui oleh larva A. atlas untuk menyelesaikan satu kali daur hidupnya berturut-turut adalah periode larva (46-47%) dan periode pupa (35-37%). Sedangkan stadia tercepat adalah periode imago ( %). Daur hidup A. atlas berbeda nyata pada stadia larva, pupa dan keseluruhan daur hidupnya. Akan tetapi stadia imago tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan Penurunan bobot tubuh larva selama proses mengokon, bobot kokon dan bobot kulit kokon berbeda nyata. Sedangkan persentase kulit kokon tidak berbeda nyata. Sebagian besar bobot kokon adalah bobot pupa (8-83%), sedangkan floss hanya sebagian kecilnya saja. Panjang filamen kokon dan daya urai kokon berbeda nyata, sedangkan bobot filamen tidak berbeda nyata. Selama pemeliharaan berlangsung, suhu dan kelembaban ruangan laboratorium berkisar antara 25-28ºC dan 46-8%. Kisaran suhu tersebut sesuai untuk pemeliharaan ulat dan pengokonan. Daun jarak pagar dapat digunakan sebagai pakan alternatif untuk budidaya A. atlas. Daun jarak pagar memiliki kandungan air yang sesuai bagi pertumbuhan larva A. atlas. Kelas mutu kokon dan filamen berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga: Berdasakan jenis serangga, kelas mutu kokon dan filamen adalah C pada pakan daun sirsak dan D pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Berdasarkan jenis pakan, kelas mutu kokon adalah C pada pakan daun sirsak dan D pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan kelas mutu filamen adalah C pada ketiga jenis pakan. Pakan larva berupa daun sirsak (pakan kontrol) unggul dalam kualitas kokon dan filamen, daun kaliki unggul dalam daur hidup yang singkat dan daun jarak pagar unggul dalam konsumsi pakan larva. Berdasarkan mutu kokon dan filamen yang dihasilkan, maka pakan yang paling baik diberikan pada larva A. atlas adalah pakan kontrol (daun sirsak). Pemeliharaan dalam ruangan menguntungkan pada saat pemeliharaan ulat karena terhindar dari musuh alami serangga A. atlas. Perlunya domestikasi secara terus-menerus (breeding) agar diperoleh galur yang benar-benar murni dengan tujuan mendapatkan fitness yang baik dan pada akhirnya kualitas kokon dan filamen yang baik. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui suhu dan kelembaban ruangan yang sesuai pada pemeliharaan dalam ruangan. Sebaiknya ruangan untuk pemeliharaan ulat kecil dipisahkan dengan ulat besar.

11 ABSTRACT NANEH MULYANI. Biology of Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) feeding by castor (Ricinus communis L.) and purging nut (Jatropha curcas L.) leaves in Laboratory. Under the direction of DEDY DURYADI SOLIHIN and DEDE SETIADI. The wild silk moth A. atlas L. is being tried for sericulture in Indonesia. The objectives of this research to find out the feeding consumption, the larvae growth, life-cycle, cocoon and filament quality in A. atlas which is raised inside a room. This research was conducted from March 27 to May 28. The research comprises two steps: First, analytical proximate castor (R. communis L.) and purging nut (J. curcas L.) leaves; second, silk moth treatment which is done in the laboratory of Molecular Biology PPSHB IPB. The elements used in this research were: cocoon A. atlas and three types of leaves, which are, sirsak (A. muricata L.), castor and purging nut. The research uses Completely Randomize Design. The data resulted is analyzed by Analyze of Variance proceeded by Duncan Tes. The analyzed parameter is feeding consumption, life-cycle, larvae growth, cocoon and filament quality. The total largest food consumption on the larvae feeding on purging nut leaves is 55.9±.68 g. The increase of larvae s length and weight is not really present. The shortest life-cycle happen in larvae feeding on castor (6.8±8.37 days). The highest floss and weight decreasing along the cocoon process happens on larvae feeding on castor (66.22±5.85 %) and purging nut (64.53±4.8 %) leaves. The highest cocoon (9.46±.7 g) and cocoon skin (.74±.79 g) weight are on larvae feeding on sirsak leaves. The percentage of cocoon silk does not differ much. The highest cocoon filament length is on the larvae feeding on sirsak leaves (46.84±38.83 m). The cocoon filament weight does not significantly different much. The lowest cocoon distangling capacity is on larvae feeding on castor leaves (2.2±6.65 %). Sirsak leaves feeding on the larvae is superior in filament and cocoon quality, castor leaves feeding on larvae is superior in the fastest life-cycle, and purging nut feeding on the larvae is superior in the largest feeding consumption. Key Words: Attacus atlas L., biology, alternative food, sericulture in laboratory.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi PENDAHULUAN Latar Belakang... Rumusan Masalah... 3 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 4 Hipotesis... 4 Kerangka Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi A. atlas L Klasifikasi... 6 Morfologi... 6 Siklus Hidup... 8 Pertumbuhan Larva... Ekologi A. atlas L.... Sebaran... Lingkungan dan Habitat... Tanaman Inang... Faktor Penekan Pertumbuhan... 2 Kualitas Kokon... 3 Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon... 3 Bobot Kokon Segar... 3 Bobot Kulit Kokon... 4 Persentase Kulit Kokon... 4 Kualitas Filamen... 4 Panjang Filamen... 4 Bobot Filamen... 5 Daya Urai Kokon... 5 Tanaman Pakan Alternatif... 5 Jumlah Daun Banyak... 5 Kandungan Gizi Baik... 6 Tanaman Mudah Dibudidayakan dan Dikembangkan... 6 Sesuai Bagi Larva... 6 Contoh Tanaman Pakan Alternatif... 7 Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.)... 7 Kaliki (Ricinus communis Linn.)... 8 Budidaya dalam Ruangan... 2

13 ii METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi... 2 Bahan dan Alat... 2 Cara Kerja... 2 Persiapan... 2 Pelaksanaan Penelitian Rancangan Percobaan HASIL Analisis Daun Kaliki dan Jarak Pagar Konsumsi Pakan Larva Pertumbuhan Larva... 3 Daur Hidup Telur Karakteristik Morfologi Imago... 4 Lama Hidup Imago... 4 Kualitas Kokon... 4 Kualitas Filamen Suhu dan Kelembaban Ruangan PEMBAHASAN Kualitas Daun Daur Hidup A. atlas Stadia Larva Stadia Pupa Stadia Imago... 5 Stadia Telur Kualitas Kokon A. atlas Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon Bobot Kokon Segar Bobot Kulit Kokon Persentase Kulit Kokon Kualitas Filamen A. atlas Panjang Filamen Bobot Filamen... 6 Daya Urai Kokon (Reelability)... 6 Suhu dan Kelembaban Ruangan Budidaya dalam Ruangan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 72

14 iii DAFTAR TABEL Halaman Lama stadium perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben pada kondisi laboratorium... 2 Komposisi kokon pada ulat sutera B. mori Tabulasi data pengamatan konsumsi pakan Tabulasi data pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva Tabulasi data pengamatan kualitas kokon dan kualitas filamen Struktur analisis sidik ragam (ANOVA) Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun muda Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun tua Persentase rataan konsumsi pakan per ekor larva A. atlas Hasil uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas... 3 Pertambahan bobot dan panjang larva pada tiap akhir instar dibandingkan dengan awal instar I Hasil uji Anova pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas Hasil uji Anova bobot larva A. atlas tiap akhir instar Kisaran daur hidup A. atlas Hasil uji Anova daur hidup larva A. atlas Persentase rataan daur hidup A. atlas Hasil uji Anova daur hidup tiap instar larva A. atlas Jumlah telur fertil dan infertil serta persentase menetas pada telur ngengat A. atlas Periode telur dan lama peletakan telur pada A. atlas Ukuran abdomen dan sayap imago A. atlas Lama hidup imago A. atlas Hasil uji Anova kualitas kokon A. atlas Komposisi kokon pada ulat sutera A. atlas Klasifikasi kokon berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan Hasil uji Anova kualitas filamen A. atlas Klasifikasi filamen berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan... 43

15 iv 27 Klasifikasi kokon A. atlas Klasifikasi filamen A. atlas... 6

16 v DAFTAR GAMBAR Halaman Beberapa jenis ngengat yang membuat benang sutera... 2 Telur A. atlas Organ seksual dari pupa B. mori Daur hidup A. atlas Pohon Jarak pagar (J. curcas) Pohon Kaliki (R. communis) Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat kecil pada ketiga jenis pakan Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat bsar pada ketiga jenis Pakan Grafik rataan bobot larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B) instar Grafik rataan bobot larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B) instar Grafik rataan panjang larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B) instar Grafik rataan panjang larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B) instar Daur hidup A. atlas dengan pakan daun jarak pagar Telur A. atlas fertil dan infertil Peletakan telur A. atlas dalam kandang Grafik rataan suhu harian (minimum-maksimum) di dalam ruangan Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 27) Grafik rataan kelembaban di dalam ruangan Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 27) Imago A. atlas jantan dan betina Antena A. atlas jantan dan betina... 52

17 vi DAFTAR LAMPIRAN Halaman Peta penyebaran A. atlas (Peigler 9889) Tanaman inang larva A. atlas Hasil analisa proksimat Kehilangan air pada daun yang disobek (dalam cawan petri) Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang tertutup) Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang terbuka) Uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat kecil) Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat besar) Bobot larva A. atlas awal dan akhir instar Pertambahan bobot larva A. atlas terhadap bobot larva baru ditetaskan Uji Anova pertambahan bobot larva A. atlas Bobot larva A. atlas pada tiap akhir instar Panjang larva A. atlas awal dan akhir instar Pertambahan panjang larva A. atlas terhadap panjang larva baru ditetaskan Uji Anova pertambahan panjang larva A. atlas... 7 Uji Anova daur hidup A. atlas Jumlah telur fertil, menetas dan prosentase menetas pada A. atlas Periode telur A. atlas Lama peletakan telur dan penetasan A. atlas Ukuran abdomen dan sayap imago A. Atlas Hasil uji t panjang abdomen A. Atlas Hasil uji t lebar abdomen A. Atlas Hasil uji t rentang sayap A. Atlas Lama hidup imago jantan dan betina A. atlas Hasil uji t umur kawin A. atlas Hasil uji t umur tidak kawin A. atlas Uji Anova kualitas kokon A. atlas Uji Anova kualitas filamen A. atlas... 24

18 vii 3 Kisaran suhu dan kelembaban ruangan laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB (27) Alat-alat dalam penelitian... 27

19 PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia, beberapa jenis ulat sutera liar seperti Cricula trifenestrata, Antheraea rossieri dan Attacus atlas sedang dicoba untuk dibudidayakan (Atmosoedarjo et al. 2). Pengembangan ulat sutera liar baru terbatas di sejumlah daerah antara lain Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Purwakarta dan Garut. Ngengat-ngengat penghasil sutera dapat dilihat pada Gambar. Sumber: Atmosoedarjo et al. 2 Gambar Beberapa jenis ngengat yang membuat benang sutera. Sutera liar memiliki struktur serat kokon dan kelenjar sutera yang berbeda dengan sutera alam atau sutera murbei (Bombyx mori). Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron menunjukkan bahwa cairan sutera dan kelenjar suteranya mengandung banyak vakuola dan pada serat kokonnya banyak ditemukan saluran-saluran halus (Akai 997). Oleh karena itu, sutera yang dihasilkan lebih lembut, lebih sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas dan anti bakteri. Dari hasil pengamatan di lapangan (CIFOR/Central from International Forestry Research Bogor) tahun 26, banyak ditemukan A. atlas pada tanaman sirsak (Annona muricata L.). Di daerah Purwakarta, A. atlas banyak ditemukan

20 2 pada tanaman teh dan kokonnya dapat dipintal menjadi benang sutera yang tebal tetapi lembut dengan warna serta pola yang alami. Hal ini menjadikan sutera A. atlas sebagai bahan tekstil yang eksklusif. Ngengat A. atlas bersifat polifag dan polivoltin (Peigler 989). Keunggulan kisaran pakan yang luas merupakan aspek lain yang menguntungkan dalam serikultur. Sedangkan strain ulat sutera polivoltin menguntungkan karena berproduksi lebih dari sekali dalam setahunnya sehingga produksi serat suteranya lebih banyak. Hal ini tentunya menguntungkan bagi budidaya ulat sutera. Karena itu, pemeliharaan sumber genetik ulat sutera polivoltin menjadi prioritas untuk memenuhi tujuan yang diharapkan para breeder dalam pemanfaatan secara cepat atau jangka pendek, serta dalam jangka panjang pada program breeding ulat sutera secara intensif (Rao et al. 26). Pemanfaatan ulat sutera A. atlas dari alam (pengumpulan kokon dari berbagai tanaman) telah dilakukan di beberapa daerah, seperti di Yogyakarta dan di Purwakarta. Namun usaha ini memiliki kendala yaitu keberlangsungannya (kontinuitasnya) terbatas karena kokon dari alam tidak tersedia sepanjang tahun. Ada beberapa usaha yang telah dilakukan langsung di alam, namun terdapat kehilangan populasi yang besar (5-55%) dari larva instar awal karena serangan parasitoid dan predator (Ojha et al. 974). Beberapa penelitian mengenai budidaya A. atlas di dalam ruangan menggunakan pakan buatan dan berbagai pakan alami seperti daun keben (Baringtonia asiatica) (Partaya 23; Rachman 2; Wuliandari 2) dan daun dadap (Erythrina lithosperma) (Zebua et al. 997; Situmorang 996) juga telah dilakukan. Namun demikian belum pernah dicoba budidaya di dalam ruangan dengan menggunakan pakan lain yang jumlahnya melimpah seperti daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dan daun kaliki (Ricinus communis L.). Keterbatasan perkembangan populasi serangga secara umum di alam menurut Triplehorn & Johnson (25) ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya konsumsi makanan yang berpengaruh terhadap perbedaan lama siklus hidup suatu jenis serangga pada berbagai tanaman inang. Daur hidup A. atlas pada tanaman dadap (Erythrina lithosperma Miq), yaitu sejak menetasnya telur hingga membentuk imago berlangsung rata-rata 6.99 (±4.78) hari dengan kisaran 4-

21 3 hari untuk betina dan 6.5 (±5.2) hari dengan kisaran 36-5 hari untuk jantan (Zebua et al. 997), sedangkan pada tanaman kaliki dan jarak pagar belum banyak diketahui sehingga perlu diteliti. Keunikan lain larva A. atlas adalah dapat memakan daun tua meskipun dalam periode instar muda. Hal ini menjadi alasan lain yang menguntungkan bagi budidaya ulat sutera A. atlas karena dapat menghindari terjadinya penurunan produksi biji jarak pagar dan biji kaliki apabila daunnya digunakan sebagai pakan bagi larva A. atlas. Di samping itu, sejalan dengan program pemerintah mengenai biodiesel (biji jarak pagar) dan pelumas (biji kaliki) memberikan ketersediaan daunnya yang melimpah. Selain dapat dipanen bijinya untuk sumber energi alternatif (biji jarak pagar) serta pelumas (biji kaliki), maka tanaman ini dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan bagi larva A. atlas. Dengan demikian petani jarak pagar dan kaliki akan mendapatkan tambahan penghasilan yang sangat berarti bagi kehidupannya (income bertambah) dari hasil sutera A. atlas. Aspek biologi dari ulat sutera liar A. atlas sangat luas. Akan tetapi, penelitian ini dibatasi hanya pada pengamatan terhadap konsumsi pakan, pertumbuhan larva, daur hidup, kualitas kokon dan filamen. Rumusan Masalah Jenis pakan yang diujicobakan terdiri dari daun sirsak sebagai tanaman utama, daun kaliki dan jarak pagar sebagai perlakuan terhadap banyaknya konsumsi pakan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: a) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap banyaknya konsumsi pakan larva A. atlas? b) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan larva A. atlas? c) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap daur hidup A. atlas? d) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap kualitas kokon A. atlas? e) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap kualitas filamen A. atlas? Penelitian di atas dilakukan dalam kondisi ruangan laboratorium.

22 4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:. Memilih jenis pakan yang paling sesuai bagi produksi ulat sutera A. atlas. 2. Mengetahui konsumsi pakan larva, pertumbuhan larva, daur hidup, kualitas kokon dan filamen pada A. atlas yang dipelihara di dalam ruangan laboratorium. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah untuk:. Meningkatkan pendapatan bagi petani penanam jarak pagar dan kaliki yang bijinya digunakan sebagai biodiesel (jarak pagar) dan pelumas (kaliki) sedangkan daunnya untuk pakan ulat sutera. 2. Meningkatkan devisa negara dari bidang budidaya ulat sutera. Hipotesis Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah: H : Perlakuan pemberian jenis pakan tidak berpengaruh terhadap parameter yang diamati. H : Perlakuan pemberian jenis pakan berpengaruh terhadap parameter yang diamati.

23 5 Kerangka Penelitian Perkembangan A. atlas di alam mengalami kehilangan populasi yang besar, karena: - Musuh alami (predator & parasitoid) - Iklim Budidaya di dalam ruangan Pakan: - Pakan alami - Pakan alternatif Kondisi lingkungan optimum: - Kelembaban udara - Suhu Sumber bibit: - Breeding - Metode penetasan Teknik pemeliharaan yang tepat - Kontinuitas produksi - Siklus hidup yang pendek - Keberhasilan hidup yang tinggi - Kualitas benang yang baik

24 TINJAUAN PUSTAKA Biologi A. atlas L. Klasifikasi A. atlas digolongkan sebagai ngengat. Beberapa karakteristik seekor ngengat adalah sebagai berikut: sayap ngengat di saat istirahat berada dalam posisi horisontal terhadap tubuh, ngengat biasanya aktif pada malam hari, antena seekor ngengat tidak menggada, umumnya ngengat memiliki pupa yang dilindungi oleh kokon, serta ngengat tidak makan di saat fase dewasa. Sistematika ngengat A. atlas menurut Triplehorn & Johnson (25) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthopoda Sub Filum : Atelocerata Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Sub Ordo : Ditrysia Super Famili : Bombycoidea Famili : Saturniidae Sub Famili : Saturniinae Genus : Attacus (Linnaeus) Spesies : A. atlas (Linnaeus) Morfologi Imago A. atlas berukuran besar, mempunyai warna dasar sayap orange tua atau coklat. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk antena dan ukuran tubuhnya. Tubuh hewan jantan lebih kecil daripada yang betina dan warna lebih coklat kekuningan. Panjang sayap terentang hewan jantan 5-22 cm dan yang betina cm (Situmorang 996). Antena jantan lebih besar daripada yang betina dan warnanya coklat kekuningan. Panjang antena imago jantan adalah 2 mm dan lebar 9 mm, sedangkan yang betina panjangnya 2 mm dan lebar 4 mm (Peigler 989). Seekor ngengat betina menarik perhatian ngengat jantan dengan melepaskan feromon yang dikeluarkan dari bagian ujung abdomennya. Fungsi antena pada yang jantan untuk mengenali feromon sebagai isyarat kimia yang ditebarkan oleh imago

25 7 betina. Imago jantan mampu mendeteksi feromon dari jarak sekitar mil (.6 km), selanjutnya pejantan tersebut menghampiri untuk kemudian melakukan kopulasi (Passoa 999). Telur A. atlas menempel pada substrat dengan perekat (berupa gum) yang disekresikan oleh kelenjar betina (Passoa 999). Suhu dan faktor genetik dari induknya menjadi kunci untuk menentukan lamanya waktu inkubasi telur. Ratarata waktu inkubasi berlangsung selama 7 hingga 4 hari, meskipun pada beberapa spesies diperlukan waktu yang lebih lama yaitu hingga mencapai empat minggu (Passoa 999). Bentuk telur bulat pipih, dengan lebar sekitar 2.3 mm, panjang 2.7 mm dan tebal 2. mm (Peigler 989) (Gambar 2). Telur-telur itu saat dikeluarkan dari induk betina diletakkan secara berjajar/berbaris, berkelompok atau melingkar pada daun-daun atau cabang-cabang dari tanaman yang menjadi pakan dari serangga tersebut (Passoa 999). Menurut Chen (23b), jumlah telur yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh ngengat betina digunakan sebagai indeks fekunditas, sedangkan rata-rata telur yang berhasil menetas (% penetasan) digunakan sebagai kriteria kualitas telur. Gambar 2 Telur A. atlas (Foto: koleksi pribadi) Larva yang baru menetas mempunyai banyak seta di permukaan tubuhnya dengan kepala hitam. Warna tubuh pada umumnya putih pucat kehijau-hijauan (Dammerman 929). Larva instar I, II dan III seluruhnya berwarna putih kekuningan. Larva instar IV dengan kepala berwarna kuning kehijauan, sedangkan instar V dan VI dengan kepala berkilauan dan berwarna hijau kekuningan terang. Larva A. atlas ini dilengkapi skoli (mirip duri-duri sebagai tonjolan dari daging) dan tuberkel (struktur kutikula yang membentuk seta/rambut) yang menonjol. Pada setiap segmen toraks terdapat kaki beruas.

26 8 Proleg (kaki palsu) yang dilengkapi kait terdapat pada segmen abdomen ke-3 sampai ke-6 dan segmen abdomen ke-. Tubuh larva ditutup atau dilindungi oleh kutikula, yang dibentuk oleh epidermis. Kutikula mengalami pengerasan, oleh sebab itu kutikula tersebut perlu ditanggalkan secara periodik untuk mengikuti pertumbuhan larva (Peigler 989). Pupa berwarna coklat kehitaman. Umumnya kokon berbentuk ovoid dengan serat sutera penggantung yang menempel pada tulang daun atau helai daun. Pada umumnya kokon tersembunyi di balik daun. Ukuran kokon bervariasi berkisar antara 5-9 cm, tidak termasuk tangkainya. Warna bervariasi antara orange sampai coklat tua, dan umumnya berwarna coklat muda, tekstur permukaan luarnya kasar dan kadang keriput (Peigler 989). Jenis kelamin pada ngengat dapat dikenali melalui ciri-ciri karakter tertentu pada pupa (Passoa 999). Pada pupa B. mori betina ada garis vertikal yang memotong pusat dari bagian ventral segmen ke-8, sedangkan alat kelaminnya nampak di segmen ke-9. Sedangkan pada pupa jantan alat kelaminnya hanya ada di segmen ke-9 (Gambar 3). Selain itu pupa betina biasanya berukuran lebih besar daripada pupa jantan (Atmosoedarjo et al. 2). Sumber: Atmosoedarjo et al. (2) Gambar 3 Organ seksual pada pupa B. mori Siklus Hidup A. atlas adalah serangga holometabola, yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi melewati 4 stadia, yaitu telur, larva (yang lazim disebut ulat ), pupa dan imago, yang lazim dikenal dengan istilah ngengat (Triplehorn & Johnson 25). Stadia telur pada ngengat A. atlas berlangsung selama satu minggu, sedangkan stadia larvanya satu bulan dan stadia pupanya berlangsung selama dua puluh lima hari (Dammerman 929). Gambar 4 memperlihatkan daur hidup A. atlas.

27 9 Lama periode larva yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun keben berkisar antara hari dengan rataan 29.2 (±.5) hari untuk betina dan hari dengan rataan 27.5 (±.7) hari untuk jantan. Antara larva jantan dan betina tidak dapat dibedakan. Keseluruhan stadium larva memerlukan waktu 3-5 hari. Sedangkan masa pupasi berlangsung sekitar 8-58 hari (Situmorang 996). Tabel menunjukkan lama periode perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben pada kondisi laboratorium. Telur Larva instar Larva instar 2 Larva instar 3 Larva instar 4 Imago Pupa Larva instar 6 Larva instar 5 Sumber: dan Gambar 4 Daur hidup A. atlas Diapause dapat terjadi baik pada stadium telur, larva, maupun pupa. Diapause adalah tertundanya perkembangan yang muncul sebagai respon terhadap periode yang berulang secara teratur pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Chapman 998). Diapause pupa ditandai dengan penurunan laju metabolisme, penghentian differensiasi menuju ke kedewasaan dan resistensi terhadap kehilangan air melalui transpirasi (Beck 98). Proses diapause (masa istirahat) atau pengaturan voltinisme tidak terganggu dengan pemeliharan di dalam ruangan (Peigler 989).

28 Tabel Lama stadium perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben pada kondisi laboratorium Betina Jantan Tahap Perkembangan Interval (hari) Rataan (hari) Interval (hari) Rataan (hari) Masa inkubasi* Instar I Instar II Instar III Instar IV Instar V Instar VI Total periode larva Periode Pupa* ±. 2.7±. 3.7±.9 3.9±.9 4.4±.8 6.3±.2 7.± ± ±.8 2.7±. 3.6±.9 3.8±.9 4.2±.8 6.±.2 7.±.2 27.±.7 Sumber: Situmorang (996); * ) Belum terdiferensiasi Pertumbuhan Larva Istilah pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan ukuran dan bobot ulat sutera (Veda et al. 997). Serangga merupakan hewan yang memiliki rangka luar (eksoskeleton). Agar supaya ukuran tubuhnya menjadi lebih besar haruslah menanggalkan rangka luarnya dengan cara ganti kulit (ekdisis). Proses ganti kulit pada serangga diatur oleh dua hormon, satu dihasilkan oleh sel-sel neurosekretori dalam otak (hormon prothoracico tropic) dan lainnya oleh kelenjar prothoracic (ekdison). Tambahan lagi hormon juvenil (JH), yang disekresikan oleh corpora allata, di saat konsentrasinya tinggi, hormon ini menjamin bahwa larva tetap berkembang sesuai dengan kodratnya (stadia perkembangannya) (Nair et al. 25; Miranda 22; Gullan & Cranston 2). Berdasarkan hasil penelitian Chen (23a), Konsentrasi tinggi NaF (Natrium Fluorida) pada perlakuan untuk menunda ganti kulit pada B. mori ternyata telah menghasilkan toksisitas yang serius pada larva dan secara dramatis menurunkan vitalitas dan viabilitas. Berdasarkan hasil penelitian Miranda et al. (22), hormon juvenil (JH) seperti yang dicobakan pada B. mori telah berfungsi sebagai pengatur tumbuh serangga sehingga penggunaannya dapat meningkatkan produksi sutera. Hormon juvenil ini bila diberikan sedikit dan tepat (sesuai dengan kebutuhannya) maka akan meningkatkan lamanya periode larva, sehingga jumlah makanan yang dikonsumsinya lebih banyak dan produksi suteranya juga akan meningkat. Sementara menurut Faruki (25) vitamin B-kompleks, gula, protein, asam

29 amino, dan mineral penting tertentu, bertanggung jawab dalam pertumbuhan dan perkembangan yang tepat pada ulat sutera B. mori. Di dalam laporan Miranda et al. (22) juga dinyatakan bahwa setelah methoprene (sejenis JH) diberikan pada larva maka akan meningkatkan bobot larva. Hal ini sebagai efek fisiologis secara langsung akibat periode makan yang diperpanjang sehingga terjadi penambahan bobot larva. Cara pemberian hormon methoprene sebanyak ng melalui penyemprotan atau pencelupan daun pakan sebelum diberikan kepada larva. Ekologi A. atlas L. Sebaran Attacus atlas merupakan spesies yang paling luas penyebarannya dari genus Attacus, dan merupakan satu dari saturniid yang paling luas penyebarannya di dunia, pada bentangan dari barat laut ke tenggara lebih dari 7 km (Lampiran ). Hasil pencatatan sebaran serangga ini yaitu di ujung daerah barat laut adalah di daerah Simla (India), sedangkan di ujung daerah timur laut adalah di daerah Okinawa (Jepang). Bagian utama dari bentangan penyebaran serangga ini meliputi seluruh dataran Asia Tenggara di benua Asia (mainland), Taiwan, Pulau Sunda Besar, Maluku dan Papua Nugini (Peigler 989). Lingkungan dan Habitat Habitat, lingkungan atau ketetapan ekologi (ekotop) dalam sebuah organisme menggambarkan variabel bioma. Menurut Wolf, peta habitat penyebaran genus Attacus terdapat di lima tipe hutan yaitu hutan hujan tropis, hutan hujan paratrofis, hutan gugur Microphyllous broad, hutan gugur Notophyllous broad dan hutan konifer campuran. Habitat untuk A. atlas bertambah luas karena sifat polifagus dari serangga tersebut dan melimpahnya tanaman pakan yang disukai oleh larva serangga ini. Oleh karena itu, ngengat A. atlas adalah spesies dalam genus Attacus yang paling eurytopic (dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan dengan rentangan geografik yang luas) (Peigler 989). Tanaman Inang Pada lampiran 2 ditunjukkan bahwa larva A. atlas memakan 9 genus tanaman dari 48 familia (Peigler 989). Menurut Kalshoven (98) di Pulau Jawa terdapat 4 jenis tanaman inang yang menjadi makanan larva A. atlas,

30 2 diantaranya adalah teh, cinchona, dadap, mangga, jeruk, alpukat, dan lada. Di beberapa daerah seperti di Bogor, tanaman inang utama dari larva A. atlas adalah daun sirsak (A. muricata). Di daerah Purwakarta banyak ditemukan pada tanaman teh (Camellia sinensis), di daerah Yogyakarta dan Bantul banyak ditemukan pada tanaman keben (B. asiatica), sedangkan di Sumatera Barat ditemukan pada tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum). Holloway (987) mencatat bahwa beberapa genus lain berperan sebagai tanaman inang untuk A. atlas di Asia, yaitu Anacardium, Spondias (keduanya merupakan Anacardiaceae), Artabotrys (Annonaceae), Michelia (Magnoliaceae), Embelia (Myrsinaceae), dan Mussaenda (Rubiaceae). A. atlas adalah serangga berukuran besar. Lepidoptera yang berukuran besar cenderung mempunyai kisaran tanaman pakan yang lebih luas. Di daerah tropis yang keanekaragaman tanamannya sangat melimpah, ngengat betina dewasa mempunyai banyak tanaman alternatif untuk meletakkan telurnya (Peigler 989). Faktor Penekan Pertumbuhan Penekan pertumbuhan pada serangga A. atlas dapat berupa parasit dan predator. Parasit pada ngengat A. atlas dirangkum oleh Peigler (989), sebagai berikut: Exorista sorbillans (Tachinidae) mematikan pupa, satu kokon inang dapat berisi 6 individu parasit. Beberapa spesies Chalcidoidea (Hymenoptera) seperti Anastasus colemani, Agiommatus attaci dan Tetrastichus parasit pada telur. Apanteles (Braconidae) parasit pada larva muda. Telur Enicospilus plicatus dan E. americanus (Ichneumonidae) diletakkan pada larva inang dan memarasit inang tatkala inangnya dalam stadia kokon, sehingga hanya ada satu parasit per inang. Beberapa predator larva A. atlas seperti tawon, belalang sembah, capung, semut, lalat, laba-laba, tikus, kadal dan cicak mengancam keberadaan populasi tersebut. Sementara itu, kokon A. atlas dimakan oleh tikus. Memasuki stadia imago, predator berupa burung dan mamalia turut mengancam keberadaan populasi tersebut. Namun demikian karena ukuran ngengat A. atlas ini sangat besar maka predator tersebut akan mengurungkan niat untuk memangsa karena takut. Pola dan warna sayap dari A atlas bertindak sebagai bagian dari mekanisme pertahanan. Hal ini terlihat dari bentuk sayap depan ngengat yang menyerupai kepala ular. Tingkah laku ngengat yang

31 3 terganggu, akan mengepakkan sayapnya ke bawah dan hal tersebut telah memberi kesan mirip kepala ular (Peigler 989). Kualitas Kokon Penilaian kualitas kokon dilakukan secara kuantatif dan kualitatif. Penilaian kualitatif dapat dilakukan menurut hasil pengamatan secara langsung seperti persentasi kokon cacat, warna kokon, dan penampilan kokon. Sedangkan penilaian kuantitatif dapat dilakukan melalui hasil pengamatan terhadap uji visual dan uji laboratorium. Uji visual (kualitas kokon) yaitu: penurunan bobot tubuh saat mengokon, bobot kokon, bobot kulit kokon dan persentase kulit kokon. Sedangkan uji laboratorium (kualitas filamen) yaitu: bobot filamen, panjang filamen dan daya urai kokon. Penurunan Bobot Tubuh saat Mengokon Kokon diselimuti filamen sutera yang kusut, yang disebut cocoon floss (serabut serat). Floss dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan (misalnya membuat rangkaian bunga) serta hasil seni lainnya seperti lukisan. Di bawahnya terdapat lapisan sutera, atau cocoon shell (kulit kokon), yang terdiri dari lapisan filamen dan di dalamnya terdapat pupa dan kulit ulat sutera yang sudah lepas. Pada ulat sutera B. mori, komposisi kokon seperti terlihat pada Tabel 2. Persentase floss dan penurunan bobot tubuh saat mengokon pada B. mori yang diberi perlakuan alat pengokonan yang berbeda berkisar antara % (Yuanita 27). Tabel 2 Komposisi kokon pada ulat sutera B. mori Kokon segar Kokon kering Jenis A Jenis B Jenis A Jenis B Berat Berat Berat Berat Berat Ratio Ratio Ratio Ratio nyata nyata nyata nyata (%) (%) (%) (%) (g) (g) (g) (g) Kokon Kulit kokon Pupa Floss Ket. : A & B = Ras ulat sutera ; Floss = Lapisan luar kokon Sumber: Atmosoedarjo et al. (2)

32 4 Bobot Kokon Segar Kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutera pada fase metamorfosa (proses pembentukan pupa) yang terdiri dari kulit kokon dan pupa. Bobot kokon segar adalah bobot kokon yang tidak lagi mengandung floss. Bobot kokon terdiri dari bobot kulit kokon dan bobot pupa. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dipandang dari segi reeling kokon (kemampuan filamen di urai dari kokon). Kokon berisi pupa betina biasanya lebih berat daripada kokon berisi pupa jantan (Atmosoedarjo et al. 2). Hal ini terkait dengan ukuran ngengat betina yang lebih besar dibandingkan dengan ngengat jantan. Bobot Kulit Kokon Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri dari serisin dan fibroin yang berfungsi sebagai pembungkus pupa. Bobot kulit kokon, yaitu bobot kokon tanpa pupa. Jika bobot kulit kokon lebih besar, berarti banyak mengandung benang sehingga baik untuk bahan pemintalan karena benangnya lebih panjang dan lebih berat. Bobot kulit kokon ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah temperatur dan kelembaban selama pemeliharaan (Atmosoedarjo et al. 2). Persentase Kulit Kokon Persentase kulit kokon merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dan bobot kokon. Nilai ini erat hubungannya dengan persentase filamen kokon. Pada B. mori, persentase kulit kokon berkisar antara 8% sampai 22% (Atmosoedarjo et al. 2). Kualitas Filamen Kualitas filamen didasarkan kepada uji laboratorium yaitu: bobot filamen, panjang filamen dan daya urai kokon. Dalam penentuan kelas kokon hanya diperlukan dua parameter saja yaitu panjang filamen dan daya urai kokon. Hal ini didasarkan atas standar kelas kokon internasional, yang hanya memperhitungkan dua parameter dalam penentuan kelas (Atmosoedarjo et al. 2). Panjang Filamen Panjang filamen ditentukan dengan cara mengurai satu kokon tunggal. Penghitungan panjang filamen pada penelitian ini dilakukan dengan menggulung benang secara manual (dengan tangan) menggunakan kelos sebagai media

33 5 melilitkan benang sutera. Ukuran panjang benang dapat diketahui dari jumlah lilitan dikali dengan keliling kelos (2πr) tersebut atau mengukur langsung dengan meteran. Bobot Filamen Bobot filamen adalah bobot dari filamen yang diurai dari satu kokon tunggal. Bobotnya akan proporsional dengan bobot kulit kokon (kulit kokonnya lebih berat maka bobot filamennya juga akan tinggi). Pada sutera alam (B. mori), bobot filamennya berkisar antara 8-9% dari bobot kulit kokon (Atmosoedarjo et al. 2). Dari data bobot filamen dan panjang filamen maka akan diketahui ukuran filamen (denier) yaitu bobot filamen (gr)/[panjang filamen (m) x 9]. Daya Urai Kokon Daya urai kokon (reelability) adalah kemudahan mengurai filamen sutera dari kokon. Daya urai kokon ditentukan oleh jumlah berapa kali putus filamen sutera tersebut selama kokon diurai. Hal tersebut merupakan karakteristik yang penting dalam proses pemintalan (reeling). Daya urai sangat tergantung pada varietas ulat sutera, suhu dan kelembaban semasa pengokonan (Atmosoedarjo et al. 2). Tanaman Pakan Alternatif Dalam pemeliharaan ulat sutera, pemilihan pakan yang baik perlu diperhatikan. Sebelum pakan diberikan pada larva, dilakukan pemilihan daun berkualitas sebagai pakan bagi larva A. atlas. Apabila kualitas pakan kurang baik yaitu sebagai akibat dari daun tidak sehat atau kekurangan hara tertentu maka ulat tidak mau makan. Menurut Chen (23b) gejala fluorosis pada daun murbei dapat mempengaruhi akumulasi nutrisi pada larva B. mori. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah daun murbei yang dimakan oleh larva tersebut. Keadaan ini menjadi masalah serius pada serikultur karena dapat menurunkan produksi kokon. Kriteria tanaman inang alternatif yang dapat digunakan sebagai pakan sutera liar, diantaranya: jumlah daun banyak, kandungan gizi baik, tanaman mudah dibudidayakan dan dikembangkan serta sesuai bagi larva. Jumlah Daun Banyak Dalam industri serikultur, ketersediaan pakan menjadi salah satu faktor utama yang harus diperhatikan. Untuk menunjang keberhasilan usaha ini, harus

34 6 dipilih daun-daun yang ketersediaannya melimpah. Pohon-pohon perdu yang cepat tumbuh dan daunnya dapat segera dipanen menjadi prioritas utama untuk digunakan sebagai tanaman pakan alternatif. Kandungan Gizi Baik Tanaman yang daunnya digunakan sebagai pakan bagi ulat sutera, harus memiliki kandungan gizi yang baik (kualitas maupun kuantitasnya). Ulat sutera membutuhkan daun sebagai makanan terutama kandungan air dan protein yang tinggi. Air dalam daun sangat diperlukan oleh ulat sutera, karena ulat sutera tidak minum sehingga kebutuhan akan air didapat dari daun. Menurut Ekastuti (999) kadar air minimal pada daun yang baik dijadikan pakan untuk larva B. mori adalah 65-85%. Daun murbei yang biasa dijadikan pakan ulat sutera B. mori mengandung kadar air berkisar antara % (Wageansyah 27), sedangkan menurut Suriawiria (966) kandungan airnya berkisar antara %. Kadar air daun ditentukan oleh varietas tanaman, lokasi tumbuh, cara budidaya dan pertumbuhan tanaman. Sedangkan kadar protein yang baik bagi ulat sutera adalah 24-36%. Protein yang dibutuhkan oleh ulat sutera selain untuk pertumbuhan dan perkembangannya, juga digunakan untuk pembentukan serat sutera (Tazima 978). Tanaman Mudah Ditangani dan Dikembangkan Faktor lain yang menjadi salah satu syarat untuk pemilihan pakan bagi ulat sutera adalah tanaman mudah ditangani dan dikembangkan. Untuk memenuhi syarat tersebut, sebaiknya dipilih tanaman-tanaman yang mudah tumbuh di berbagai kondisi tanah seperti tanah kering atau tandus. Mudahnya tanamantanaman tersebut untuk tumbuh dan berkembangbiak mendukung bagi usaha budidaya karena dapat beternak ulat sutera di banyak tempat. Tanaman pakan ulat yang baik, jika dipangkas haruslah daunnya cepat tumbuh kembali dan jumlahnya bertambah banyak. Sesuai Bagi Larva Sebelum larva yang baru menetas mulai makan, larva muda ini membutuhkan stimuli khusus. Hal tersebut dideteksi oleh kemoreseptor yang terdapat pada antena dan bagian mulut dari larva serangga (Common 99).

35 7 Apabila pakan tersebut sesuai bagi larva, maka daun akan dimakan oleh ulat tersebut. Dalam hal ini, pakan yang sesuai bagi larva haruslah mengandung nutrisi lengkap karena hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera tersebut (Ahmad et al. 26). Contoh Tanaman Pakan Alternatif Dalam usaha budidaya ulat sutera, pemilihan tanaman pakan bagi ulat sutera berdasarkan kriteria di atas sangat diperlukan. Hal ini akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi terutama dalam pengeluaran biaya dan tenaga. Beberapa contoh tanaman pakan alternatif yang kemungkinan dapat dikembangkan bagi pakan ulat sutera A. atlas adalah sebagai berikut: Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) Sistematika tanaman jarak pagar (Heyne 987) termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Klas Dicotyledonae, Ordo Euphorbiales, Famili Euphorbiaceae, Genus Jatropha dan Spesies J. curcas. Tanaman ini berasal dari Meksiko, Amerika Tengah (Weiss 97). Gambar 5 Pohon Jarak Pagar (J. curcas) Tanaman jarak pagar termasuk dalam kelompok tanaman perdu (Gambar 5). Umur tanaman jarak pagar bisa mencapai 5 tahun (Nuralamsyah 26). Tanaman

36 8 ini sesuai dibudidayakan di daerah tropika dan subtropika dengan ketinggian antara -8 m dari permukaan laut (dpl) dengan suhu optimum antara 2-26 ºC serta toleran terhadap kondisi kering, sehingga tanaman ini tersebar pada areal bercurah hujan rendah antara 3-7 mm/tahun (Soenardi 2). Jarak pagar (J. curcas) adalah tanaman yang saat ini tengah banyak dibudidayakan oleh masyarakat dan merupakan tanaman yang secara agronomis dapat beradaptasi dengan lahan maupun agroklimat di Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kering (curah hujan < 5 mm per tahun) maupun pada lahan dengan kesuburan rendah (lahan marginal dan lahan kritis). Hal tersebut disebabkan tanaman ini tahan terhadap stress air. Strategi dari tanaman ini agar mampu bertahan terhadap stres air pada musim kemarau yaitu dengan menggugurkan daunnya, tetapi akarnya tetap mampu menahan air. Oleh karena itu, J. curcas dapat digolongkan sebagai tanaman pionir, tanaman penahan erosi, dan tanaman yang dapat mengurangi kecepatan angin (Prihandana & Hendroko 26). Keuntungan yang diperoleh pada budidaya tanaman jarak pagar di lahan kritis antara lain () menunjang usaha konservasi lahan, (2) memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meningkatkan penghasilan kepada petani, (3) memberikan solusi pengadaan minyak bakar (biofuel), dan (4) menyediakan pakan bagi budidaya ulat sutera liar. Pohon jarak pagar berumur satu tahun memiliki jumlah daun muda (empat lembar paling atas) per pohon berjumlah 5-7 helai dan jumlah daun tua (lembar kelima dan seterusnya) per pohon berjumlah helai. Sedangkan bobot ratarata satu daun muda antara 3-4 gram dan daun tua antara 7-8 gram. Dalam cara budidaya jarak pagar dilakukan pemangkasan hingga beberapa kali, hal ini akan merangsang tumbuhnya pucuk-pucuk baru sehinggga dapat memperbanyak panen biji. Sejak pemangkasan hingga tumbuh kembali daun yang dapat dipanen diperlukan waktu selama 3-4 bulan. Kaliki (Ricinus communis Linn.) Sistematika tanaman kaliki (Heyne 987) termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Klas Dicotyledonae, Ordo

37 9 Euphorbiales, Famili Euphorbiaceae, Genus Ricinus dan Spesies R. communis. Tanaman kaliki berasal dari Ethiopia (di Afrika) (Weiss 97). Tanaman kaliki termasuk dalam kelompok tanaman perdu (Gambar 6). Tanaman ini toleran terhadap kondisi kering dan tersebar pada areal bercurah hujan rendah antara 3-7 mm/tahun. Macam tanah tidak menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman kaliki. Pada tanah liat yang berat, kaliki dapat tumbuh baik sepanjang drainase dan aerasinya baik. Tetapi tanaman ini akan lebih sesuai pada tanah ringan, yaitu lempung berpasir dan tanah yang mempunyai aerasi yang baik. Tanaman ini juga ramah lingkungan dan dapat memperbaiki mikroklimat setempat (Soenardi 2). Daerah penyebaran pohon kaliki terletak antara 4 LU dan 4 LS, meskipun ada pula beberapa varietas hasil seleksi di Rusia dapat tumbuh dan berproduksi sampai 52 LU (Weiss 97). Jarak kaliki berakar tunggang yang dalam dan akar samping yang melebar dengan akar rambut yang banyak. Hal ini menandakan bahwa tanaman ini tahan terhadap angin dan kekeringan. Gambar 6 Pohon Kaliki (R. communis) Pohon kaliki berumur satu tahun memiliki jumlah daun muda (empat lembar paling atas) per pohon berjumlah 2-33 helai dan jumlah daun tua (lembar kelima dan seterusnya) per pohon berjumlah helai. Sedangkan bobot rata-rata satu daun muda antara 6-9 gram dan daun tua antara gram. Dalam cara budidaya kaliki dilakukan pemangkasan hingga beberapa kali, hal ini akan merangsang tumbuhnya pucuk-pucuk baru sehinggga dapat

38 2 memperbanyak panen biji. Sejak pemangkasan hingga tumbuh kembali daun yang dapat dipanen diperlukan waktu selama 2-3 bulan. Budidaya Dalam Ruangan Sutera A. atlas berpeluang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Namun demikian, perkembangan serangga ini di alam terkendala dengan serangan parasit yaitu sebesar 4-8% pada telur (Kalshoven 98). Pada larva serangan parasit maupun predator mengurangi 5-55% populasi (Ojha et al. 974). Oleh karena itu, pemeliharaan di dalam ruangan diharapkan dapat mengurangi kerugian ini serta produksi suteranya dapat ditingkatkan. Selain itu ruangan dan alat-alat untuk pemeliharaan harus dijaga kebersihannya. Alat yang telah selesai digunakan dicuci bersih dan dikeringkan lalu didesinfeksi dengan menyemprotkan larutan formalin 4% dan larutan kaporit (komposisi larutannya adalah 5 gram kaporit dalam satu liter air). Demikian juga kotoran dan bangkai larva harus segera dibuang dan dibersihkan. Faktor fisik lingkungan yaitu suhu dan kelembaban harus dikontrol dengan baik selama proses pemeliharaan. Menurut Samsijah & Kusumaputra (978), suhu dan kelembaban ruangan selama pemeliharaan B. mori ºC dengan kelembaban ±85% (untuk ulat kecil) dan ºC dengan kelembaban 7-75% (untuk ulat besar). Menurut Veda et al. (997) intensitas cahaya yang ideal untuk larva B. mori adalah sekitar 5-3 lux. Ulat sutera umumnya akan menghindari intensitas cahaya yang terlalu tinggi. Kondisi iklim juga berpengaruh selama pengokonan. Ulat sutera B. mori yang sedang mengokon memerlukan suhu ºC, kelembaban 6-75%, sirkulasi udara dengan kecepatan.2- m/s dan cahaya remang-remang dengan intensitas -2 lux (Atmosoedarjo et al. 2). Sedangkan menurut Kaomini & Andadari (24) periode pada saat larva mengokon sampai selesai membuat kokon yaitu 7 jam (pada 23 ºC), 6 jam (pada 25 ºC) dan 5 jam (pada 28 ºC).

39 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 27 sampai dengan Mei 28. Penelitian ini meliputi tahapan analisa proksimat daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas) yang dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, serta tahapan pemeliharaan ulat yang dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kokon A. atlas dan tiga jenis daun yaitu, A. muricata (P) sebagai kontrol, R. communis (P2) dan J. curcas (P3) sebagai tanaman alternatif. Untuk pemeliharaan digunakan kaporit (5 gram/liter), alkohol 7%, formalin 4%, label, tissue, kapas dan kapur anti semut. Sedangkan untuk perebusan kulit kokon digunakan NaOH, teepol dan sabun netral. Alat-alat yang digunakan antara lain: kandang ngengat, cawan petri, toples gelas, pisau, gunting, termometer, higrometer, timbangan digital AND HX- berskala. gram, mistar, kelos dengan keliling (2πr) sebesar 5 cm, pemanas listrik, panci, dan pinset. Cara Kerja Persiapan a. Penanaman pohon jarak pagar dan kaliki. Keduanya ditanam melalui biji. Pemupukan pohon-pohon tersebut menggunakan pupuk kandang. Penyiangan terhadap gulma dilakukan seminggu sekali. Setelah tinggi pohon mencapai meter, daun sudah dapat dipanen untuk pakan larva. Sedangkan tanaman sirsak telah tersedia di sekitar laboratorium. b. Kokon dari lapang (sekitar kampus IPB darmaga) dikumpulkan dan diseleksi (dengan memilih kokon yang sehat yaitu tidak basah dan berbau). Kokon yang telah diseleksi ditempatkan pada kandang berukuran 6 x 6 x 6 cm 3 dalam laboratorium PPSHB dengan luas ruangan 2 m 2 dan dibiarkan sampai muncul imago. Jika muncul imago maka imago jantan dan imago betina setiap satu pasang dipindahkan ke dalam kandang berukuran 4 x 4 x 4 cm 3 untuk

40 22 dibiarkan melakukan kopulasi. Setelah dekopulasi, telur yang diletakkan oleh imago betina dalam kandang tersebut dikumpulkan dan selanjutnya dipindahkan ke dalam cawan petri untuk ditetaskan. c. Desinfeksi ruangan dan peralatan. Peralatan yang digunakan dan ruangan laboratorium untuk pemeliharaan dibersihkan menggunakan larutan desinfektan berupa campuran 5 gram kaporit/liter air dan larutan formalin 4%. Pelaksanaan Penelitian a. Analisa proksimat Analisa proksimat dilakukan hanya terhadap daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas). Pengujian analisa proksimat (Lampiran 3) dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. b. Pengamatan morfologi imago Imago diamati morfologinya yaitu panjang dan lebar abdomen serta rentang sayapnya. Pengukuran dilakukan terhadap sepuluh ekor imago jantan dan sepuluh ekor imago betina sehingga total imago yang diamati sebanyak 2 ekor. c. Pengamatan lama hidup imago Pengamatan lama hidup imago dilakukan terhadap sepuluh ekor imago jantan dan betina. Imago yang diamati meliputi baik imago jantan dan betina yang melakukan kopulasi maupun yang tidak berkopulasi. d. Pengamatan telur Pengamatan fekunditas (keperidian) dilakukan terhadap sepuluh ekor imago betina yang dibuahi (fertil) maupun tidak dibuahi (infertil). Lama peletakan telur dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir terutama pada betina yang dibuahi. Selanjutnya pada telur yang dibuahi (fertil) dilakukan pengamatan jumlah telur yang menetas (viabilitas). Lama penetasan telur dihitung sejak penetasan telur hari pertama hingga hari terakhir. Lamanya waktu (periode) sejak telur diletakkan oleh imago betina hingga telur tersebut menetas dicatat sebagai lamanya masa telur atau periode telur.

41 23 e. Pemeliharaan larva Larva yang digunakan dalam pemeliharaan ini berasal dari telur yang menetas dengan masa telurnya sama yaitu 8 hari. Hal ini dipilih dengan tujuan keseragaman dari awal daur hidupnya. Larva yang dipakai dan dipilih secara acak adalah larva yang aktif dan sehat. Masing-masing perlakuan pakan diamati 2 ekor larva, sehingga diperlukan total untuk ketiga perlakuan tersebut adalah 6 ekor larva. Pemberian pakan dengan daun segar dilakukan tiga kali setiap hari yaitu jam 7., 3., dan 7. WIB. Sebelum daun diberikan pada larva, dilakukan dahulu pencucian dan perlakuan sterilisasi pada daun menggunakan alkohol teknis 7%. Penimbangan pakan dilakukan sebelum dan sesudah pakan diberikan. Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan bersamaan dengan pemberian pakan. Larva instar I-III, dipelihara dalam cawan petri berdiameter cm dengan tinggi.5 cm. Setiap cawan petri terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan menyobek daun muda dan meletakkan dalam cawan petri. Memasuki instar IV hingga mengokon, larva dipindahkan dalam toples gelas berdiameter 4.5 cm dengan tinggi 23 cm. Setiap toples terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan memasukkan daun tua secara utuh disertai tangkai ke dalam toples gelas. f. Parameter yang diamati (Atmosoedarjo et al. 2) terdiri dari:. Konsumsi pakan. Banyaknya pakan yang dikonsumsi per ekor larva dihitung menggunakan rumus: x = a-(b+c) n x = banyaknya pakan yang dikonsumsi per ekor (g) a = total pakan hari ke-i (i =, 2, 3, 4,...) b = pakan sisa c = pakan sisa dikali faktor koreksi* ) n = jumlah ulat yang berhasil hidup setiap akhir instar Ket: * ) lampiran 4, 5 dan 6 2. Pertumbuhan larva. Hal ini diamati dengan mengukur bobot dan panjang larva pada setiap awal dan akhir setiap instar.

42 24 3. Daur hidup. Parameter ini diamati dengan mencatat waktu yang dibutuhkan oleh ngengat A. atlas mulai periode telur, larva, pupa hingga imago. 4. Kualitas kokon. Pengujiannya meliputi: - Penurunan bobot kokon selama proses mengokon (g), yaitu bobot akhir instar VI dikurangi bobot kokon segar. - Bobot kokon segar (g), yaitu bobot kokon tanpa floss (kulit + pupa). - Bobot kulit kokon (g), yaitu bobot kokon setelah pupa keluar dari kokon. - Persentase kulit kokon, yaitu perbandingan antara bobot kulit kokon dengan bobot kokon dikali %. % Kulit kokon= Bobot kulit kokon Bobot kokon x % 5. Kualitas filamen. Pengujiannya meliputi: Sebelum dilakukan pengambilan data kualitas filamen, terlebih dahulu kulit kokon diproses dengan cara direbus dalam campuran: liter air + 2 gram soda kaustik (N a OH) + 2 cc teepol + 2 gram sabun netral, selama satu jam (Awan 27). Selanjutnya kokon-kokon tersebut dicuci secara bertahap dengan air panas, hangat dan dingin. - Panjang filamen (m), yaitu ditentukan dengan cara mengurai satu kokon tunggal dengan tangan (secara manual). - Bobot filamen (g), yaitu bobot filamen dari satu kokon tunggal. - Daya urai kokon/reelability (%), yaitu dihitung dari berapa jumlah kali putus filamen selama kokon tersebut diurai g. Klasifikasi kualitas kokon dan filamen Di Indonesia, belum ada standar untuk mengklasifikasikan kualitas kokon dan filamen sutera liar. Klasifikasi dibuat berdasarkan data keadaan kokon dan filamen dalam penelitian ini. Penghitungan dilakukan berdasarkan data rata-rata populasi dari jenis serangga (seluruh data) dan jenis pakan (data terbaik tiap parameter uji). Dengan mencari standar deviasi pada masingmasing parameter uji diperoleh rentangan klasifikasi dalam 4 tingkatan (A, B, C dan D).

43 25 Rancangan Percobaan Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan pakan yang berbeda (P= daun sirsak; P2= daun kaliki, dan P3= daun jarak pagar). Untuk pengamatan konsumsi pakan, satu perlakuan diulang 3 kali. Pada pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva, satu perlakuan diulang 2 kali. Sedangkan pengamatan kualitas kokon dan kualitas filamen, satu perlakuan diulang kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut dengan menggunakan program SAS dan MINITAB. Model linier dalam percobaan ini adalah sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2): Y ij = µ + τ i + ε ij Dengan: i =,2,3. dan j =,2,3; j =,2,3,... 2; j =,2,3,.... Y ij = Pengamatan pada perlakuan ke i dan ulangan ke j µ = Rataan umum τ i ε ij = Pengaruh perlakuan ke i = µ i - µ = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j Data dari setiap parameter yang diukur/diamati dapat dilihat pada Tabel 3, 4 dan 5. Sedangkan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 3 Tabulasi data pengamatan konsumsi pakan Perlakuan Ulangan P P2 P3 Total Y Y2 Y3 Keseluruhan 2 Y2 Y22 Y32 3 Y3 Y23 Y33 Total Perlakuan (Y) Y Y2 Y3 Y Ket.: P = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas.

44 26 Tabel 4 Tabulasi data pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva Ulangan Perlakuan P P2 P3 Y Y2 Y3 Total 2 Y2 Y22 Y32 Keseluruhan 3 Y3 Y23 Y33 2 Y2 Y22 Y32 Total Perlakuan (Y) Y Y2 Y3 Y Ket.: P = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas. Tabel 5 Tabulasi data pengamatan kualitas kokon dan filamen Ulangan Perlakuan P P2 P3 Y Y2 Y3 Total 2 Y2 Y22 Y32 Keseluruhan 3 Y3 Y23 Y33 Y Y2 Y3 Total Perlakuan (Y) Y Y2 Y3 Y Ket.: P = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas. Tabel 6 Struktur analisis sidik ragam (ANOVA) Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat F Hitung Keragaman (db) Kuadrat (JK) Tengah (KT) Ulangan sama r = r 2 = r 3 Perlakuan t - JKP KTP KTP/KTG Galat t (r ) JKG KTG Total Tr - JKT Ulangan tidak sama r r 2 r 3 Perlakuan t - JKP KTP KTP/KTG Galat (r - ) JKG KTG Total r - JKT Dari analisis sidik ragam di atas ada 3 hal yang dapat disimpulkan:. Perlakuan memberikan respon yang sama atau tidak dengan melihat nilai peluang pada tabel ANOVA, jika nilai peluang<α maka perlakuan memberikan respon yang berbeda. 2. Jika terdapat perbedaan, maka perlakuan yang sama atau berbeda dapat ditentukan dengan Uji Wilayah Duncan.

45 27 Nilai kritis Duncan dapat dihitung sebagai berikut: R p = rα ; p; dbg S y S y = KTG / r Dimana r α;p;dbg nilai tabel Duncan pada taraf nyata α, jarak peringkat dua perlakuan p dan derajat bebas galat sebesar dbg. 3. Perlakuan mana yang memberikan respon tertinggi dapat dilihat dari nilai rataan untuk setiap perlakuan atau kombinasi perlakuan.

46 HASIL Analisis Daun Kaliki dan Jarak Pagar Hasil analisis proksimat daun jarak pagar muda dibandingkan dengan daun jarak pagar tua adalah sebagai berikut: a) Kandungan air pada daun muda 82.74% dan daun tua 74.97%; b) Protein pada daun muda 8.6% dan daun tua 7.86%; c) Lemak pada daun muda 3.2% dan daun tua 5.65%; d) Serat pada daun muda 2.74% dan daun tua 8.36%. (Tabel 7 & 8). Daun jarak pagar muda lebih tinggi dalam kandungan air, protein dan serat, namun lebih rendah dalam kandungan lemaknya dibandingkan dengan daun jarak tua. Pada daun kaliki hasil analisis proksimatnya menunjukkan data sebagai berikut: a) Kandungan air pada daun muda 79.5% dan daun tua 8.5%; b) Protein pada daun muda 7.79% dan daun tua.4%; c) Lemak pada daun muda 5.34% dan daun tua 5.37%; d) Serat pada daun muda 29.5% dan daun tua.8%. (Tabel 7 & 8). Daun kaliki tua lebih tinggi dalam kandungan air dan protein, tetapi lebih rendah kandungan seratnya dibandingkan dengan daun kaliki muda. Hasil ini berlawanan dengan yang terjadi pada daun jarak pagar. Tabel 7 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun muda Parameter analisis Sirsak** Kaliki* Jarak Pagar* (%) Air Protein Lemak Serat Abu * ) Hasil penelitian ini; ** ) Awan (27) Tabel 8 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun tua Parameter analisis Sirsak** Kaliki* Jarak Pagar* (%) Air Protein Lemak Serat Abu..3.2 * ) Hasil penelitian ini; ** ) Awan (27) Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis proksimat pada daun sirsak secara langsung tetapi menggunakan data Awan (27) yang dilakukan pada laboratorium yang sama yaitu laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati

47 29 dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Uji proksimat terhadap daun sirsak menunjukkan hasil yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan daun kaliki dan daun jarak pagar dalam hal kadar air, protein, lemak dan seratnya (Tabel 7 & 8). Konsumsi Pakan Larva Ulat kecil (instar I-III) mengkonsumsi pakan g per ekor (pada daun sirsak),.52 g per ekor (pada daun kaliki), dan g per ekor (pada daun jarak pagar). Sedangkan ulat besar (instar IV-VI) mengkonsumsi pakan g per ekor (pada daun sirsak), g per ekor (pada daun kaliki), dan g per ekor (pada daun jarak pagar) (Tabel 9). Tabel 9 Persentase rataan konsumsi pakan per ekor larva A. atlas Sirsak (n=3) Kaliki (n=3) Jarak Pagar (n=3) Instar Rataan (g) Persentase (%)* Rataan (g) Persentase (%)* Rataan (g) Persentase (%)* Ulat kecil: Jumlah Ulat besar: Jumlah Total Konsumsi * ) Terhadap total konsumsi pakan selama instar I-VI Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan total konsumsi pakan setiap ekor larva A. atlas pada ulat kecil (Gambar 7) dan ulat besar (Gambar 8) Konsumsi pakan (g)/ekor Sirsak Kaliki Jarak Pagar 2 3 Instar Gambar 7 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat kecil pada ketiga jenis pakan

48 3 4 Konsumsi pakan (g)/ekor Sirsak Kaliki Jarak Pagar Instar Gambar 8 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat besar pada ketiga jenis pakan Total konsumsi pakan larva pada masing-masing instar per ekor yang terbesar adalah pakan daun jarak pagar (55.9 g) dan terkecil adalah daun kaliki (47.82 g). Hasil uji statistik konsumsi pakan larva setiap instar ditunjukkan pada Tabel berikut ini. Tabel Hasil uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas Larva Sirsak (A) (n=3) Kaliki (B) (n=3) Jarak Pagar (C) (n=3) gram Instar I - Mean.39a.2b.6b - STDev Instar II - Mean.8a.36b.22b - STDev Instar III - Mean 2.49a.95b 2.97a - STDev Instar IV - Mean.4a 2.88b 9.37a - STDev Instar V - Mean 8.35a 4.86a 27.59b - STDev Instar VI - Mean 6.b 38.59c 4.77a - STDev Total - Mean 83.7b 47.82c 55.9a - STDev Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%

49 3 Larva instar pertama yang diberi pakan daun sirsak (rataan konsumsi.39±.5 g) berbeda nyata terhadap larva yang diberi pakan daun kaliki (rataan konsumsi.2±.5 g) dan daun jarak pagar (rataan konsumsi.6±.3 g). Demikian halnya pada larva instar kedua dengan pakan daun sirsak (rataan konsumsi.8±.5 g) berbeda nyata terhadap larva dengan pakan daun kaliki (rataan konsumsi.36±.9 g) dan daun jarak pagar (rataan konsumsi.22±.6 g). Sedangkan larva instar ketiga menunjukkan bahwa konsumsi pakan larva berupa daun sirsak berbeda nyata hanya terhadap larva dengan pakan daun kaliki. Pada instar keempat, konsumsi pakan larva berupa daun sirsak (rataan.4±. g) dan daun jarak pagar (rataan 9.37±.22 g) berbeda nyata terhadap larva dengan pakan daun kaliki (rataan 2.88±.25 g), sedangkan konsumsi antara pakan daun sirsak dan jarak pagar tidak berbeda nyata. Pada instar kelima konsumsi pakan larva berupa daun sirsak (rataan 8.35±.75 g) dan daun kaliki (rataan 4.86±2.65 g) berbeda nyata terhadap larva yang memakan daun jarak pagar (rataan 27.59±.5 g) (Tabel ). Instar keenam, konsumsi pakan larva berupa daun sirsak (rataan 6.±.29 g) berbeda nyata terhadap pakan larva berupa daun jarak pagar (rataan 4.77±2.8 g) dan daun kaliki (rataan 38.59±9.66 g). Bahkan pada instar ini juga konsumsi di antara ketiga macam pakan tersebut berbeda nyata (Tabel ). Apabila pengelompokan berdasarkan stadia ulat besar dan ulat kecil diuji secara statistik maka ketiga macam perlakuan pakan tersebut tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Namun demikian pada signifikansi 9% didapatkan bahwa pada ulat kecil tidak berbeda nyata tetapi pada ulat besar berbeda nyata (Lampiran 9 & ). Berdasarkan total konsumsi pakan pada keseluruhan instar (I hingga VI) didapatkan bahwa ketiganya berbeda nyata secara statistik pada taraf uji 95%. Pertumbuhan Larva Rataan bobot larva A. atlas pada awal instar (setelah ganti kulit A ) dan akhir instar (sebelum ganti kulit B ) untuk ulat kecil ditunjukkan pada Gambar 9, sedangkan untuk ulat besar ditunjukkan pada gambar berikut ini.

50 Rataan pertambahan bobot (g) Sirsak Kaliki Jarak Pagar.2 - A B 2A 2B 3A 3B Instar Gambar 9 Grafik rataan bobot larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B) instar 25 2 Rataan pertambahan bobot (g) 5 5 Sirsak Kaliki Jarak Pagar 4A 4B 5A 5B 6A 6B Instar Gambar Grafik rataan bobot larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B) instar Pada awal instar pertama rataan bobot larva adalah.32 g. Sedangkan pada akhir instar keenam, bobot larva mencapai grafik tertinggi dengan bobot rataan berkisar antara g (Lampiran ). Rataan panjang larva A. atlas pada awal instar (setelah ganti kulit A ) dan akhir instar (sebelum ganti kulit B ) ditunjukkan pada Gambar dan 2 berikut ini. Rataan pertambahan panjang (cm A B 2A 2B 3A 3B Instar Sirsak Kaliki Jarak pagar Gambar Grafik rataan panjang larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B) instar

51 33 Rataan pertambahan panjang (cm A 4B 5A 5B 6A 6B Sirsak Kaliki Jarak pagar Instar Gambar 2 Grafik rataan panjang larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B) instar Rataan panjang larva pada awal instar pertama adalah.5 cm. Sedangkan pada akhir instar keenam, rataan panjang larva berkisar antara cm (Lampiran 4). Pada akhir stadia instar pertama hingga instar keenam, bobot dan panjangnya bertambah dibandingkan dengan bobot dan panjang awal saat menetas pertama kali. Pertambahan bobot dan panjang larva pada ketiga pakan tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut ini. Tabel Pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas pada tiap akhir instar Pakan dibandingkan dengan awal instar Instar I II III IV V VI Bobot (kali) Sirsak Kaliki Jarak Pagar Panjang (kali) Sirsak Kaliki Jarak Pagar Hasil uji Anova pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas dapat dilihat pada Tabel 2. Pertambahan bobot larva A. atlas selama pemeliharaan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada masing-masing instar (Instar I hingga instar V). Akan tetapi, instar keenam dan total stadium larva menunjukkan pertambahan bobot yang tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan. Pertambahan bobot larva pada instar kesatu dan kelima memperlihatkan perbedaan dengan pola yang sama yaitu larva yang diberi pakan daun sirsak lebih berat dari pada larva yang diberi pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sementara itu, bobot larva yang diberi pakan daun kaliki lebih rendah daripada bobot larva yang

52 34 diberi pakan daun jarak pagar. Uji Anova terhadap total pertambahan bobot larva instar I hingga V menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada ketiga perlakuan pakan (Lampiran 2). Tabel 2 Hasil uji Anova pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas Larva Sirsak (A) (n=2) Kaliki (B) (n=2) J. Pagar (C) (n=2) Sirsak (A) (n=2) Kaliki (B) (n=2) J. Pagar (C) (n=2) Bobot (g) Panjang (cm) Instar I - Mean.7a.5c.6b.34a.23c.29b - STDev Instar II - Mean.27a.2b.7b.97b.a.a,b - STDev Instar III - Mean.6b.47a.87c.4a.43a.4a - STDev Instar IV - Mean 2.27b 3.49a 3.45a.9c 2.6a.99b - STDev Instar V - Mean 2.47a.69c 2.9b 2.9a 2.82b 2.89a - STDev Instar VI - Mean 2.4a 2.53a 2.52a.98a.6a.6a - STDev Total - Mean 9.54a 2.43a 2.74a 8.4a 8.2a 8.2a - STDev Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95% Berdasarkan Tabel 2 di atas juga diketahui bahwa pertambahan panjang larva pada instar kesatu, kedua, keempat dan kelima berbeda nyata. Sedangkan instar ketiga, keenam dan total stadium larva menunjukkan pertambahan panjang yang tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan. Larva yang diberi pakan daun sirsak pada instar kesatu memperlihatkan pertambahan panjang tertinggi dibandingkan dengan larva yang diberi pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sementara itu, pertambahan panjang larva yang diberi pakan daun kaliki lebih rendah dibandingkan dengan larva yang diberi pakan daun jarak pagar. Tabel 3 berikut ini adalah hasil uji Anova bobot larva A. atlas pada tiap akhir instar. Instar pertama dan terakhir menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan instar II hingga V menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

53 35 Tabel 3 Hasil uji Anova bobot larva A. atlas tiap akhir intar Stadia Sirsak (A) (n=2) Kaliki (B) (n=2) Jarak Pagar (C) (n=2) g Instar I - Mean.743a.57a.627a - STDev Instar II - Mean.357c.729a.2627b - STDev Instar III - Mean.5432a.6657a.653b - STDev Instar IV - Mean a 5.8c b - STDev Instar V - Mean a b b - STDev Instar VI - Mean 9.542a a a - STDev Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95% Daur Hidup Kisaran daur hidup A. atlas selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Kisaran tersebut mencakup stadia larva, pupa dan imago. Tabel 4 Kisaran daur hidup A. atlas Sirsak (n=2) Kaliki (n=2) Jarak Pagar (n=2) Stadia Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan hari Instar I - Instar II - Instar III - Instar IV - Instar V - Instar VI Larva (total) ± ±.5 4.5± ± ± ± ± ± ± ± ± ±.9 9.5±.5 32.± ± ± ± ± ±.887.5± ±2.8 Pupa ± ± ±3.9 Imago ± ± ±.75 Total ± ± ±5.679 Periode larva terpanjang dengan rataan 36.6±3.83 hari (pakan daun sirsak), dan terpendek dengan rataan 34.35±2.8 hari (pakan daun kaliki). Panjang periode larva yang diberi makan daun sirsak berbeda nyata dengan yang diberi makan daun kaliki, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi pakan daun jarak pagar (Tabel 5).

54 36 Tabel 5 Hasil uji Anova daur hidup larva A. atlas Stadia Sirsak (A) Kaliki (B) Jarak Pagar (C) (n=2) (n=2) (n=2) hari Larva Instar (I-VI) - Mean 36.6a 32.b 34.35ab - STDev Pupa - Mean 29.25a 24.45b 26.35ab - STDev Imago - Mean 5.a 4.25a 4.7a - STDev Total - Mean 7.85a 6.8c 65.4b - STDev Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95% Lama periode pupa terpanjang dengan rataan 29.25±7.7 hari (pakan daun sirsak) dan terpendek dengan rataan 24.45±4.883 hari (pakan daun kaliki). Lamanya periode pupa pada larva yang diberi makan daun sirsak berbeda nyata dengan yang diberi makan daun kaliki, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi pakan daun jarak pagar (Tabel 5). Akan tetapi, periode imago nampak tidak berbeda nyata diantara ketiga macam pakan (Tabel 5). Periode imago terpanjang dengan rataan 5.±.257 hari (pakan daun sirsak) dan terpendek dengan rataan 4.25±.92 hari (pakan daun kaliki) (Tabel 4). Tabel 6 Persentase rataan daur hidup A. atlas Sirsak (n-2) Kaliki (n=2) Jarak Pagar (n=2) Stadia Rataan (hari) Persentase (%) Rataan (hari) Persentase (%) Rataan (hari) Persentase (%) - Telur Larva Pupa Imago Total Persentase rataan daur hidup A. atlas pada ketiga macam pakan (daun sirsak, kaliki dan jarak pagar) ditunjukkan pada Tabel 6. Dua stadia terlama yang dilalui oleh larva A. atlas untuk menyelesaikan satu kali daur hidupnya adalah periode larva dengan rataan % dan periode pupa dengan rataan

55 37 37.%. Sedangkan stadia tercepat adalah periode imago dengan rataan %. Gambar 3 berikut ini adalah daur hidup ngengat A. atlas dengan pakan daun jarak pagar. Imago 4.7 (±.75) hari Pupa (± 3.9) hari Telur 8. (±.) hari Larva (±2.8) hari Gambar 3 Daur hidup A. atlas dengan pakan daun jarak pagar (Foto: Koleksi pribadi) Hasil uji Anova tiap instar pada stadia larva ditunjukkan pada Tabel 7. Pada stadia larva instar kesatu, kedua dan keempat menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Sedangkan pada stadia larva instar ketiga, kelima dan keenam memperlihatkan bahwa periode yang dilalui oleh masing-masing larva menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Daur hidup larva instar pertama dan kedua menunjukkan pola yang sama yaitu larva yang diberi pakan daun sirsak lebih panjang daur hidupnya

56 38 dibandingkan dengan yang diberi pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan larva yang diberi pakan daun kaliki lebih pendek daur hidupnya dibandingkan dengan yang diberi daun jarak pagar (Tabel 7). Tabel 7 Hasil uji Anova daur hidup tiap instar larva A. atlas Stadia Sirsak (A) (n=2) Kaliki (B) (n=2) Jarak Pagar (C) (n=2) hari Instar I - Mean 5.8a 4.35c 4.75b - STDev Instar II - Mean 4.55a 3.5c 4.5b - STDev Instar III - Mean 4.5a 4.25a 4.25a - STDev Instar IV - Mean 5.2a 4.45b 4.6b - STDev Instar V - Mean 6.75a 6.5a 6.55a - STDev Instar VI - Mean 9.8a 9.5a.5a - STDev Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%; * ) Nyata pada taraf kepercayaan 95% Telur Telur A. atlas berbentuk oval, agak pipih dan hampir selalu ditutupi cairan agak kental berwarna merah kecoklatan yang disekresikan oleh ngengat betina agar telur melekat pada substrat. Bentuk telur lonjong dan berwarna coklat tua sampai coklat muda. Panjang telur 2 mm dengan lebar mm. Seekor ngengat betina meletakkan telur 8-38 butir (pada 2 ekor imago betina yang terdiri dari ekor betina fertil dan ekor betina infertil). Betina infertil didapat karena jumlah imago jantan terbatas sehingga tidak semua betina yang ada memiliki pasangan. Perbedaan antara telur fertil dengan telur infertil dapat dilihat pada Gambar 4. Telur yang dibuahi (fertil) berwarna coklat gelap, sedangkan telur yang tidak dibuahi (infertil) berwarna kuning pucat.

57 39 Telur fertil Telur infertil Gambar 4 Telur A. atlas fertil dan infertil Selama pemeliharaan, imago betina A. atlas yang dibuahi (fertil) menghasilkan telur dengan kisaran 26 hingga 38 butir dengan rataan 25.4±97.37 butir. Sedangkan imago betina yang tidak dibuahi (infertil) menghasilkan telur dengan kisaran 8 hingga 348 butir dengan rataan 92.±8.59 butir (Tabel 8). Tabel 8 Jumlah telur infertil dan fertil serta persentase menetas pada telur ngengat A. atlas Telur Kisaran Rataan Telur infertil (butir) (n=) ±8.59 Telur fertil (butir) (n=) ±92.37 Persentase telur yang menetas (%) (n=) ±5.483 Tabel 9 Periode telur dan lama peletakan telur pada A. atlas Telur Kisaran Rataan hari Periode telur (n=) ±.48 Lamanya peletakan telur (n=) ±.785 Ket: - Periode telur adalah sejak telur dikeluarkan oleh induknya hingga menetas - Lamanya peletakan telur adalah waktu yang dibutuhkan oleh induk betina untuk meletakkan seluruh telurnya Pada telur yang dibuahi (fertil), jumlah telur yang menetas berkisar antara antara % dengan rataan 8.75±5.483% (Tabel 8). Periode telur (Tabel 9) selama 6- hari dengan rataan 8.376±.48 hari. Telur-telur dengan waktu peletakan yang sama akan menetas secara tidak bersamaan tetapi diperlukan waktu 3 7 hari periode penetasannya, dengan rataan 4.8±.366 hari. Perilaku imago betina dalam meletakkan telur-telurnya yaitu dengan meletakkan secara berkelompok atau secara terpisah. Telur-telur tersebut diletakkan pada dasar dan dinding kandang. Telur-telur yang berkelompok

58 4 jumlahnya bervariasi. Jumlah telur dalam satu kelompok dapat mencapai lebih dari butir (Gambar 5). Terpisah Berkelompok Gambar 5 Peletakan telur A. atlas dalam kandang Karakteristik Morfologi Imago Ukuran rentang sayap dan panjang serta lebar abdomennya pada imago betina A. atlas dan imago jantan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Ukuran abdomen dan sayap imago A. atlas Imago Kisaran Rataan cm Jantan (n=) - Panjang abdomen - Lebar abdomen - Rentang sayap Betina (n=) - Panjang abdomen - Lebar abdomen - Rentang sayap ± ± ± ± ±.78 2.±.75 Hasil uji statistik panjang abdomen pada imago betina nyata lebih panjang dibandingkan dengan abdomen pada imago jantan (Lampiran 22). Demikian pula lebar abdomen pada imago betina nyata lebih lebar dibandingkan dengan abdomen pada imago jantan (Lampiran 23). Akan tetapi, rentang sayap imago tidak berbeda nyata (Lampiran 24). Lama Hidup Imago Lama hidup imago jantan dan betina A. atlas selama pemeliharaan ditampilkan pada Tabel 2. Hasil uji statistik umur imago yang melakukan kopulasi berbeda nyata, yaitu imago betina berumur lebih lama dibandingkan

59 4 dengan jantan (Lampiran 26). Sama halnya dengan umur imago yang tidak melakukan kopulasi, yaitu imago betina berumur lebih lama dibandingkan dengan jantan (Lampiran 27). Tabel 2 Lama hidup imago A. atlas Imago Kisaran umur Rataan hari Jantan - Kawin (n = ) - Tidak kawin (n = ) Betina - Kawin (n = ) - Tidak kawin (n = ) ± ± ± ±2.998 Kualitas Kokon Tabel 22 berikut ini merupakan hasil uji Anova kualitas kokon A. atlas. Penurunan bobot tubuh larva selama proses mengokon terbesar dengan rataan 3.96±.5 g (pakan daun kaliki) dan terkecil dengan rataan.96±.44 g (pakan daun sirsak). Tabel 22 Hasil uji Anova kualitas kokon A. atlas Kualitas kokon Sirsak (A) (n=) Kaliki (B) (n=) J Pagar (C) (n=) O (g) - Mean.96b 3.96a 3.76a - STDev P (g) - Mean 9.46a 7.32b 7.75b - STDev Q (g) - Mean.74a.7b.6b - STDev R (%) - Mean 9.35a 4.29a 5.55a - STDev Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%; (O = penurunan bobot tubuh selama proses mengokon [g]; P = Bobot kokon segar [g]; Q = Bobot kulit kokon dengan filamen [g]; R = Persentase kulit kokon [%]) Bobot kokon segar pada kokon yang berasal dari larva dengan pakan daun sirsak berbeda nyata dengan bobot kokon segar yang berasal dari larva dengan pakan daun kaliki dan daun jarak pagar. Demikian pula halnya dengan bobot kulit kokon dari larva dengan pakan daun sirsak berbeda nyata dengan bobot kulit

60 42 kokon dari larva dengan pakan daun kaliki dan daun jarak pagar. Akan tetapi, persentase kulit kokon tidak berbeda nyata pada ketiga macam pakan (Tabel 22). Sebagian besar bobot kokon adalah bobot pupa ( %), sedangkan floss hanya sebagian kecilnya saja (.6-.66%) dari total keseluruhan bobot kokon A atlas (Tabel 23). Tabel 23 Komposisi kokon ulat sutera A. atlas Pakan Bobot Sirsak Kaliki Jarak Pagar Bobot Ratio Bobot Ratio Bobot Ratio nyata g % nyata g % nyata g % Floss Kulit kokon pupa Kokon (tanpa floss) Kokon (dengan floss) Klasifikasi kokon berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan dapat dilihat pada tabel 24 berikut ini. Rentangan kelas mutu didapat dari penghitungan data kokon A. atlas dalam penelitian ini. Tabel 24 Klasifikasi kokon berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan Kelas mutu kokon Bobot kokon Bobot kulit kokon Persentase kulit kokon - Jenis serangga A >.99 >2.83 >37.82 B C D <7.6 <.5 < Jenis pakan A >.7 >2.37 >26.8 B C D <8.5 <.34 <6.8 Kualitas Filamen Tabel 25 berikut ini adalah hasil uji Anova kualitas filamen A. atlas. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa panjang filamen kokon dari larva dengan pakan daun sirsak berbeda nyata dengan panjang filamen kokon dari larva dengan pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan bobot filamen dari ketiga macam perlakuan pakan tidak berbeda nyata.

61 43 Tabel 25 Hasil uji Anova kualitas filamen A. atlas Kualitas filamen Sirsak (A) (n=) Kaliki (B) (n=) Jarak Pagar (C) (n=) Bobot filamen (g) - Mean.38a.44a.37a - STDev Panjang filamen (m) - Mean 46.84a 33.96b 34.53b - STDev Daya urai kokon - Mean 43.9a 2.2b 35.6a - STDev Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%; Hasil uji Anova daya urai kokon menunjukkan bahwa jumlah kali putus selama pemintalan pada kokon kaliki (2.2±6.65 %) berbeda nyata terhadap kokon sirsak dan jarak pagar berturut-turut dengan rataan 43.9±4.35 % dan 35.6±3.92 % (Tabel 25). Klasifikasi filamen berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan dapat dilihat pada tabel 26 berikut ini. Rentangan kelas mutu didapat dari penghitungan data kokon A. atlas dalam penelitian ini. Tabel 26 Klasifikasi filamen berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan Kelas mutu Bobot filamen filamen Panjang filamen Daya urai kokon - Jenis serangga A >.53 > <25.25 B C D <.2 <32.4 > Jenis pakan A >.5 >4.75 <3.75 B C D <.2 <32.35 >52.25 Suhu dan Kelembaban Ruangan Suhu maksimum bulan Mei, Juni dan Juli berada pada kisaran 27-28ºC. Sedangkan bulan Agustus dan September suhu maksimum sebesar 28ºC. Suhu minimum bulan Mei berkisar antara 25-26ºC, bulan Juni 24-26ºC dan bulan Juli 24-25ºC. Akan tetapi suhu minimum bulan Agustus dan September sebesar 25ºC (Lampiran 3).

62 44 Kelembaban relatif terendah sebesar 46% (siang hari pada bulan Juli) Sedangkan kelembaban relatif tertinggi sebesar 8% (sore hari pada bulan Juli). Akan tetapi rataan kelembaban relatif terendah 56.7±6.2% (siang hari pada bulan Juni), sedangkan rataan kelembaban relatif tertinggi 74.±2.4 (pagi hari pada bulan Mei) (Lampiran 3). Grafik rataan suhu maksimum-minimum dalam Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB ditunjukkan pada Gambar 6 berikut ini. Suhu (derajat Celcius) Mei Juni Juli Agustus September Min Max Bulan Gambar 6 Grafik rataan suhu harian (minimum-maksimum) di dalam ruangan Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 27) Intensitas cahaya dalam ruangan pemeliharaan sebesar Lux. Besarnya intensitas cahaya diperoleh karena penerangan dalam ruang pemeliharaan menggunakan 4 buah lampu tabung dengan daya masing-masing sebesar 2 Watt. Grafik rataan kelembaban dalam Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB ditunjukkan pada Gambar 7 berikut ini. Kelembaban (%) Mei Juni Juli Agustus September Bulan Gambar 7 Grafik rataan kelembaban di dalam ruangan Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 27)

63 45

64 PEMBAHASAN Kualitas Daun Kualitas daun merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasilnya suatu pemeliharaan ulat sutera dan kualitas kokon yang dihasilkan disamping faktor-faktor lain seperti bibit, teknik pemeliharaan dan sarana pemeliharaan (Samsijah & Kusumaputra 976). Kualitas daun berhubungan dengan susunan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya seperti air, protein, lemak, serat dan abu. Menurut Samsijah & Andadari (992), dikatakan bahwa ulat kecil pada B. mori (instar I-III) memerlukan daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera namun dengan kadar air yang lebih rendah. Oleh karena itu berdasarkan kandungan airnya, tanaman pakan yang paling ideal adalah daun jarak pagar karena pada daun tua memiliki kandungan air lebih rendah dari daun muda (Tabel 7 & 8). Sebaliknya berdasarkan kandungan proteinnya, tanaman pakan yang paling ideal adalah daun kaliki karena pada daun tua memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dari daun muda. Hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan pertumbuhan ulat sutera A. atlas untuk menghasilkan kokon dan serat sutera yang berkualitas. Pada B. mori, pakan dengan kadar air lebih rendah dari 65% berpengaruh kurang baik. Hal ini disebabkan karena larva membutuhkan usaha-usaha kompensasi meningkatkan suplai air dari metabolisme. Demikian pula apabila pakan mengandung kadar air lebih tinggi dari 85% juga berdampak kurang baik karena sedikit pakan yang masuk dan banyak energi yang hilang untuk homeostatis (Ekastuti 999). Kadar air daun sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan, kecernaan, pertumbuhan dan produksi kokon (Ekastuti 25). Waktu yang terbaik untuk pemeliharaan ulat sutera disesuaikan dengan hasil terbaik tanaman pakan. Hal ini disebabkan karena kualitas daun pakan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan larva ulat sutera (Atmosoedarjo et al. 2).

65 46 Daur Hidup A. atlas Dalam daur hidup A. atlas, periode terlama adalah stadia larva (Tabel 6). Selama stadia ini, terjadi lima kali ganti kulit (molting) sehingga terjadi enam periode instar. Moltinisme dipengaruhi oleh nutrisi. Nutrisi yang tidak baik pada stadia larva, sering mengakibatkan frekuensi ganti kulit bertambah (Atmosoedarjo et al. 2). Selama metamorfosa, stadia larva adalah satu-satunya masa dimana ulat makan daun (Chen 23b & Passoa 999), dan hal tersebut merupakan masa yang sangat penting untuk sintesis protein sutera dan pembentukan telur. Dengan demikian kualitas daun merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap biologi dan perkembangan ulat sutera (Ahmad et al. 26). Pada umumnya serangga-serangga polifagus mempunyai kemampuan detoksifikasi terhadap allelochemical yang lebih baik daripada serangga-serangga monofagus. Bahan-bahan seperti alkaloid, tanin dan terpenoid yang terdapat pada daun tumbuhan inang merupakan faktor seleksi bagi serangga. Dengan demikian kecocokan tanaman inang akan terkait dengan kemampuan adaptasinya terhadap kemampuan mentolelir bahan-bahan yang terdapat pada daun tersebut. Sifat polifagus ini juga dapat menyebabkan predator dan parasit berkurang kemampuannya dalam menemukan telur, larva dan kokon A. atlas yang tidak terbatas di tanaman tertentu saja (Peigler 989). Stadium Larva Larva A. atlas merupakan serangga yang aktif bergerak. Perilaku ini berlangsung selama periode makan hingga pada saatnya molting (pergantian kulit). Menjelang ganti kulit, ulat menghentikan keaktifan dengan posisi istirahat (berbentuk C atau J). Ciri-ciri ulat menjelang fase istirahat yaitu nafsu makan berkurang atau tidak mau makan, ulat lebih banyak diam dan kepalanya sedikit diangkat ke atas (Samsijah & Kusumaputra 975). Untuk mendapatkan pertumbuhan larva yang serempak, pemberian pakan dilakukan sedini mungkin disaat pakan terakhir sebelum ganti kulit. Sebaliknya pemberian pakan dilakukan selambat mungkin disaat pakan pertama sesudah ganti kulit (Atmosoedarjo et al. 2).

66 47 Kecepatan pertumbuhan larva tergantung dari temperatur dan kelembaban. Pada B. mori, batas temperatur untuk pertumbuhan lebih tinggi dari ºC dan lebih rendah dari 28ºC. Selama pemeliharaan berlangsung, suhu ruangan berkisar antara 24-28ºC (Lampiran 3). Pertumbuhan biasanya lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi (Atmosoedarjo et al. 2). Selain suhu, kelembaban dan kecocokan iklim mikro di tempat pemeliharaan ulat sutera juga ditentukan oleh kesegaran dan tingkat pergantian udara. Pada umumnya, larva yang baru menetas mencerna sebagian atau seluruh kulit telurnya sehingga kebutuhan makan pertama kali dipenuhi dari tepung yang terdapat dalam kulit telurnya (Passoa 999). Selanjutnya larva mulai makan daun yang cocok bagi kebutuhannya, terutama jenis dan ketersediaan bahan nutrisinya. Instar pertama dengan ciri-ciri yaitu kepala berwarna hitam dan tubuhnya berwarna kuning pucat. Serbuk putih (kapur) terdapat pada bagian punggungnya. Larva Attacus dan genera kerabatnya memiliki lilin putih berupa serbuk yang disekresikan oleh kutikula. Kandungan utama dari lilin tersebut adalah - triacontanol (Peigler 989). Larva instar kedua berwarna kehijauan ditutupi tepung berwarna putih. Bagian kepala berwarna coklat gelap. Terdapat bercak berwarna sangat orange dipinggir metatoraks dari segmen kedelapan hingga segmen kesepuluh. Bercak warna orange ini berlanjut pada instar ketiga dan keempat. Sebelum ganti kulit berikutnya, tuberkel yang terdapat sepanjang punggungnya makin lama akan semakin tebal terselubungi oleh serbuk putih. Memasuki instar ketiga, tubuh berwarna hijau dan ditutupi tepung berwarna putih. Sejak instar ketiga hingga terakhir, larva memakan seluruh bagian daun dan tulang daun. Larva instar keempat dengan warna kepala putih kehijauan cerah. Bercak orange tubuh bagian belakang mulai memudar. Larva lebih rakus dan aktif. Larva instar kelima dengan kepala berkilauan dan berwarna hijau kekuningan terang. Kaki di bagian dada biru kehijauan terang. Tubuh bagian dorsal lebih putih sedangkan tubuh bagian ventral lebih kuning. Larva semakin rakus. Ciri morfologi larva instar kelima relatif sama dengan larva instar keenam.

67 48 Kaki di bagian dada biru kehijauan terang. Pada awal instar keenam, larva makan sangat rakus dan akan berkurang menjelang akhir instar (menuju periode pupa). Pada ngengat berukuran besar seperti A. atlas, larva disebut juga sebagai mesin pemakan untuk meningkatkan berat badannya sampai beberapa ribu kali lipat (Tabel ). Setiap kali ganti kulit terbentuk kutikula baru yang semula lunak sehingga dapat terentang seiring dengan pertumbuhan larva (Kalthoff 996). Ketersediaan pakan sangat menentukan pertumbuhan larva. Konsumsi pakan selama periode ulat besar (instar III-VI) sangat tinggi (Tabel 9). Menurut Atmosoedarjo et al. (2), konsumsi daun murbei selama periode ulat besar mencapai 9% dari total pakan yang dikonsumsi. Konsumsi pakan yang terbanyak di saat larva instar keenam (Tabel 9). Hal tersebut berkaitan dengan pertumbuhan kelenjar sutera guna pembentukan filamen yang mencakup 4% dari total bobot tubuhnya dan simpanan energi yang dibutuhkan ketika memasuki fase pengokonan. Larva instar VI (Tabel 7) juga membutuhkan waktu paling panjang dibandingkan dengan instar lainnya. Keadaan tersebut disebabkan instar terakhir akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium larva. Perubahan stadium larva menjadi pupa dalam metamorfosis serangga membutuhkan waktu cukup lama karena: ) terjadi pertumbuhan dan perubahan dari organ tertentu, 2) terjadi proses pengumpulan dan penimbunan cadangan makanan sebagai sumber energi guna mendukung perubahan dari pupa menjadi imago, karena dalam stadium pupa terjadi aktifitas istirahat (Chapman 998). Pada periode larva dilakukan penyimpanan energi dalam bentuk lemak tubuh (Gullan & Cranston 2). Lemak tubuh berfungsi dalam banyak aspek penyimpanan serta sintesis protein, lemak dan karbohidrat. Sel-sel dasar lemak tubuh adalah trofosit, atau adifosit, dan pada kebanyakan ordo sel-sel tersebut merupakan satu-satunya sel yang ada (Chapman 998). Energi yang disimpan dalam bentuk lemak tubuh digunakan oleh ngengat untuk menyelesaikan stadia lain dalam daur hidupnya. Tanda-tanda larva akan mengokon dengan mengeluarkan feses yang lunak dan urin. Sebelum membuat serat-serat kokon, larva akan mengeluarkan sejenis

68 49 lendir serta tubuhnya berwarna hijau tua hingga hijau bersemu hitam. Gerakan larva relatif lamban. Posisi istirahat larva dengan mengangkat bagian tubuh depan, hanya tungkai bagian abdomen saja yang mencengkram ranting daun. Sedangkan menurut Passoa (999), pada saat instar terakhir larva akan diam untuk mempersiapkan pupasi. Setelah larva berhenti makan, tubuhnya menjadi memendek yang selanjutnya diikuti dengan peristiwa mengokon. Usus dikosongkan dari makanan (pengeluaran feces dan tidak makan/puasa), dan kadang terjadi perubahan warna. Seringkali sesudah bergerak mencari tempat yang nyaman (periode pengembaraan), ulat memintal kokon sutera dalam naungan warna coklat atau abu-abu pada tanaman yang menjadi makanannya. Serat yang dijalin beralur, menyilang dari pangkal ke ujung dan sebaliknya. Demikian seterusnya hingga seluruh tubuh tertutup serat sutera yang memakan waktu rata-rata jam. Kokon berbentuk lonjong (ovoid) dan berwarna coklat. Periode larva terpanjang adalah pada larva dengan pakan daun sirsak (Tabel 5). Lama periode larva sirsak sesuai dengan hasil penelitian Awan (27) yang menyatakan bahwa periode larva dengan pakan daun sirsak yaitu hari dengan rataan ±4.38 hari. Lamanya periode ini disebabkan karena kandungan air pada daun sirsak lebih rendah dibandingkan dengan kandungan air pada daun kaliki dan daun jarak pagar. Rendahnya kadar air pakan akan menunda proses ganti kulit (molting) bagi larva (Ekastuti 25). Sedangkan periode larva terpendek adalah pada larva dengan pakan daun kaliki (Tabel 5). Dalam usaha serikultur, semakin pendek daur hidup ulat sutera akan semakin baik. Hal ini dimaksudkan agar panen kokon menjadi lebih cepat. Stadium Pupa Periode pupa merupakan periode kedua terpanjang setelah periode larva (Tabel 6). Masa istirahat dan lamanya fase pupa menggambarkan sejumlah strategi evolusi. Pola kemunculan yang demikian paling tidak memiliki dua keuntungan evolusi: ) sedikitnya hasil silang dalam (inbreeding) karena menurunnya kemungkinan perkawinan sibling, dan 2) tingkat populasi tidak akan turun banyak jika kondisi buruk (kekeringan atau topan) yang dapat membunuh sebagian besar larva dari satu generasi pada suatu wilayah (Peigler 989).

69 5 Menurut Passoa (989), pada saat stadium pupa terjadi beberapa proses pembentukan organ-organ baru seperti sayap, antena, mata, bagian-bagian mulut, tungkai-tungkai. Selama perkembangan tersebut, hanya sistem saraf saja yang tetap bertahan mulai dari stadium larva sampai dewasa. Beragam faktor seperti suhu, cahaya, curah hujan dan fotoperiodisme akan mempengaruhi terhadap kemunculan ngengat. Saat waktu yang tepat, maka serangga ini akan memulai daur hidupnya kembali. Sebelum ngengat keluar menjadi imago dewasa, ngengat berlindung terlebih dahulu dalam kokon sutera. Tahapan perlindungan imago di dalam pupa menimbulkan permasalahan lain yaitu diperlukan usaha imago keluar dari kokonnya. Pada B. mori dan ngengat sutera liar dinding kokon dilembutkan dan dilarutkan dengan cairan yang mengandung enzim proteolitik yang disekresikan dari mulut ngengat pada fase dewasa (Falakali & Turgay 999). Sedangkan menurut Passoa (999) saat imago berada di dalam kokon, imago memperbesar dirinya sendiri melalui penambahan tekanan udara dan darah agar supaya dapat merobek tempat pupa. Selanjutnya ngengat melepaskan enzim yang disebut dengan coconase untuk merusak substansi yang ada pada kulit kokon dan filamen sutera. Enzim ini menghancurkan serisin yang mengikat filamen fibroin dari sutera. Begitu dinding kokon yang kuat mulai melemah, maka ngengat tersebut akan menambah tekanan dari dalam kokon agar dindingnya dapat robek (Passoa 999). Pupa mempunyai kontribusi yang besar bagi daya tahan hidup mereka, sebab pembentukan tempat pupasi oleh larva sangat menentukan probabilitas daya tahan pupa (Veldtman et al. 27). Menurut Danks (24), kokon pada banyak spesies berperan penting dalam meningkatkan daya tahan bagi serangga selama musim dingin. Disamping itu, umumnya kokon sutera anti jamur dan anti bakteri. Pupa dapat menjadi imago beberapa minggu atau bulan setelah pupasi, atau setahun kemudian, atau bahkan lebih dari dua tahun kemudian (Peigler 989). Fenomena ini menandakan bahwa terjadi diapause pada pupa A. atlas. Menurut Chapman (998), morfogenesis mengalami penghentian selama diapause pada telur dan pupa, yang tercermin pada konsumsi oksigen yang berkurang. Indikator yang paling dipercaya dan konsisten dalam peristiwa diapause adalah musim,

70 5 yaitu panjang hari (fotoperiodisme) dan ini merupakan hal paling penting pada diapause yang mengawali stimuli. Intensitas cahaya selama fotoperiodisme tidak penting asalkan melampaui nilai ambang batas yang sangat rendah. Hal ini bervariasi pada spesies, tetapi umumnya sekitar 7 lux atau kurang. Demikian pula, suhu berperan dalam induksi diapause. Umumnya, pada daerah sedang, suhu tinggi menekan dan suhu rendah mempertinggi kecenderungan untuk memasuki diapause (Chapman 998). Stadium Imago Imago keluar dari pangkal kokon, berwarna coklat kekuning-kuningan dengan gambaran berwarna coklat muda atau putih pada kedua pasang sayap. Rentang sayap A. atlas sangat besar (Tabel 2). Menurut Peigler (989) ngengat A. atlas mempunyai rentangan sayap terbesar diantara anggota Lepidoptera lainnya. Secara keseluruhan ukuran betina lebih besar dari jantan (Gambar 8). Gigantisme imago menurut Peigler (989), merupakan suatu strategi evolusi yang digunakan oleh Attacus dan genera kerabatnya. Jika ngengat diserang, di sini ada kemungkinan bahwa tubuh yang kecil akan terhindar dari bahaya karena dikelilingi oleh sayap yang lebar. Warna sayap dan pola sayap pada Attacus memberikan kesan suatu tatanan mekanisme pertahanan. Ketika ngengat diganggu, titik pada sayap menyerupai mata diekspos untuk mengejutkan atau menakuti predator (Passoa 999). Gambar 8 Imago A. atlas jantan dan betina (Foto: koleksi pribadi) Imago jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ciri-ciri antenanya, dimana antena jantan lebih besar daripada antena betina (Gambar 9). Antena berfungsi untuk mendeteksi feromon seks yang dikeluarkan oleh betina. Menurut

71 52 Rogerst et al. (997) fungsi antena adalah untuk mengenali bau feromon seks dan tumbuhan. Gambar 9 Antena A. atlas jantan dan betina (Foto: koleksi pribadi) Senyawa-senyawa dalam feromon seks B. mori yaitu bombikol dan bombikal, kedua senyawa tersebut dihasilkan oleh ngengat betina (Grater et al. 26; Syed et al. 26). Sedangkan Grater et al. (26) mengatakan bahwa feromon merupakan sarana komunikasi seksual yang terdapat pada serangga. Pada kebanyakan Lepidoptera betina, kelenjar yang memproduksi feromon daya tarik seks jantan terletak di bawah membran intersegmen pada segmen abdomen posterior, biasanya antara segmen delapan dan sembilan. Seringkali terletak di bagian ventral, tetapi pada beberapa spesies di bagian dorsal dan yang lainnya muncul sebagai cincin yang mengelilingi tubuh (Chapman 998). Hidrokarbon alifatik digunakan sebagai komponen feromon oleh banyak serangga. Feromon daya tarik seks pada banyak Lepidoptera betina adalah hidrokarbon rantai lurus, umumnya dengan panjang rantai 2, 4 dan 6 atom karbon. Kebanyakan feromon ngengat adalah asetat. Feromon hidrokarbon pada banyak Lepidoptera, disintesis dari asam lemak dalam beberapa tahapan (Chapman 998). Menurut Sinhsina et al. (995), imago jantan mampu merasakan bau feromon seks secara berulang. Dalam kondisi letih, reaksi penggerak akan berhenti selama 5 hingga 6 detik sesudah itu kembali mendapat stimulus. Sensitifitas bau feromon seks berlangsung dalam 2-5 menit. Komunikasi seksual melalui feromon ini menurut Grater et al. (26) dikembangkan dari sistem olfaktori pada serangga. Sedangkan menurut Rogers et al. (2), ngengat Antheraea polyphemus mendeteksi bau melalui ikatan molekul bau untuk protein reseptor yang diekspresikan dalam saraf reseptor olfaktori. Molekul bau dihantarkan ke reseptor bau oleh protein ikatan bau (OBPs = Odorant Binding Proteins). Saraf reseptor

72 53 dan OBPs terdapat dalam struktur kutikula seperti rambut yang disebut sensila. Sensila olfaktori ini tersusun di sepanjang antena, yang merupakan organ olfaktori pada serangga. Periode imago adalah periode terpendek dalam daur hidup ngengat A. atlas (Tabel 5). Selama periode ini, imago melakukan aktifitas kawin jika bertemu dengan pasangannya. Ngengat jantan dan betina yang melakukan kopulasi berumur 2-4 hari. Kopulasi antara ngengat jantan dan betina terjadi pada malam hari. Selama pemeliharaan diketahui kopulasi terjadi antara jam WIB dan selesai pada jam WIB malam berikutnya. Lama kopulasi berkisar dari 2 hingga 23 jam. Sedangkan menurut Passoa (999), lama kawin ngengat sutera antara hingga 24 jam. Seks rasio A. atlas sangat bervariasi, yaitu kadang-kadang banyak jantannya dan sedikit betina atau sebaliknya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya perkawinan menjadi sulit. Setelah kopulasi, ngengat betina mulai bertelur, sedangkan jantan mencari betina yang lain jika masih fit. Ngengat betina biasanya mulai meletakkan telur tiga hari sesudah keluar dari kokon, walaupun tidak dibuahi. Telur yang dibuahi (fertil) membutuhkan waktu 6- hari untuk menetas (Tabel 9), sedangkan telur-telur yang tidak dibuahi (infertil) tidak akan menetas. Stadium Telur Dalam industri sutera, fekunditas dan kesuburan betina adalah dua faktor utama karena keduanya berkorelasi secara langsung dengan produksi sutera yaitu menentukan jumlah keturunan yang ada serta produksi sutera mentah yang lebih banyak apabila keberhasilan hidup saat mencapai kokon tinggi (Faruki 25). Fekunditas (keperidian) ngengat A. atlas dalam pengamatan ini cukup tinggi (Tabel 8), hal ini sesuai dengan pernyataan Peigler (989) yaitu bahwa ngengat A. atlas memiliki fekunditas tinggi. Rataan persentase penetasan telur cukup tinggi (Tabel 8). Beberapa induk mengalami penetasan telur yang rendah. Hal ini disebabkan telur serangga dari imago pada awal dan akhir periode bermutu kurang baik, sehingga persentase penetasan relatif rendah dan kondisi larva yang menetas lemah, akibatnya mortalitas larvanya cenderung tinggi (Chapman 998).

73 54 Periode peletakan telur berlangsung kurang dari satu minggu (Tabel 9). Menurut Dash et al. (993), kecepatan peletakan telur pada Antheraea mylitta memperlihatkan perbedaan yang tidak signifikan dengan penambahan lama kawin. Daun jarak pagar merupakan daun yang paling banyak dikonsumsi oleh larva A. atlas. Kandungan air dan protein pada daun jarak pagar sesuai dengan kebutuhan larva. Akan tetapi, banyaknya konsumsi pakan berupa daun jarak pagar pada larva A. atlas tidak berbanding lurus dengan kualitas kokon dan filamen sutera yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pakan alternatif yang diberikan pada larva A. atlas masih dalam proses habituasi. Untuk mendapatkan produksi sutera yang maksimum, diperlukan upaya domestikasi secara terusmenerus (breeding) agar diperoleh galur yang benar-benar murni dengan tujuan mendapatkan fitness yang baik dan pada akhirnya kualitas kokon dan filamen yang baik. Daur hidup paling singkat pada larva A. atlas dengan pakan daun kaliki. Hal ini dikarenakan kandungan air pada daun kaliki tua lebih tinggi dibandingkan dengan daun kaliki muda. Padahal larva instar ke- sampai ke-3 memerlukan daun muda dengan kandungan air yang lebih tinggi dan sebaliknya larva instar ke- 4 sampai ke-6 memerlukan daun tua dengan kandungan air lebih rendah. Kondisi ini menjadi penyebab ganti kulit (molting) pada larva terjadi lebih cepat. Kualitas Kokon A. atlas Syarat kokon yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih, bagian dalam (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokonnya (lapisan serat suteranya) keras kalau ditekan dan sedikit berat (Samsijah & Andadari 992). Kokon yang berkualitas rendah adalah kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor pada bagian dalam, kokon kotor pada bagian luar, kokon kulit berlapis, kokon berlekuk, kokon berujung tipis dan kokon tergencet (Atmosoedarjo et al. 2). Panen kokon yang baik dilakukan pada hari ke-6 dan ke-7 dihitung sejak larva mulai mengokon. Hal ini dimaksudkan agar pupa telah terbentuk dengan sempurna yang dicirikan dengan perubahan badan menjadi coklat serta kulit menjadi keras (Atmosoedarjo et al. 2).

74 55 Masa yang paling penting selama pengokonan untuk mendapatkan filamen kokon terbaik mencakup waktu mulai larva mengokon sampai akhir berputarputar (Atmosoedarjo et al. 2). Selama larva berputar-putar membuat kokon, aerasi dan penurunan kelembaban penting agar kualitas filamen kokon meningkat terutama daya pintalnya. Hasil kokon yang baik juga dapat diperoleh dengan menggunakan hormon juvenil. Hal ini telah dilakukan oleh Mamatha et al. (26) yang menyatakan bahwa penggunaan hormon juvenil seperti methoprene dan fenoxycarb pada pemeliharaan ulat sutera selama musim panas akan membantu untuk memperbaiki hasil kokon. Kondisi kering berpengaruh selama pemintalan, pada akhirnya juga berpengaruh terhadap hasil kokon yang lebih baik. Selama pemeliharaan ulat berlangsung, suhu maksimum ruangan laboratorium berkisar antara ºC dan suhu minimum antara ºC. Kondisi ini cukup optimal untuk produktifitas maksimum dari kokon. Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon Penurunan bobot tubuh selama proses mengokon cukup tinggi (Tabel 22). Hal tersebut terjadi karena pada saat akan mengokon, ulat sutera akan berputarputar terlebih dahulu untuk mencari tempat mengokon yang baik kemudian menetap di tempat yang telah dipilihnya dan membuat lapisan kokon tipis-tipis untuk menyangga kokonnya (disebut floss) (Atmosoedarjo et al. 2). Penurunan bobot tubuh selama proses mengokon dapat dikurangi apabila tempat untuk mengokon baik sebab ulat tidak banyak berputar-putar untuk mencari tempat yang cocok untuk mengokon. Tempat untuk mengokon sangat mempengaruhi kenyamanan disaat larva akan mengokon, beberapa faktor diantaranya adalah bentuk dan kekakuan daun. Daun tua pada daun sirsak memiliki struktur yang lebih kaku dibandingkan dengan daun kaliki dan jarak pagar. Kesesuaian tempat mengokon akan mengurangi pengembaraan larva sehingga energi tidak banyak terbuang. Sebagian besar bobot kokon adalah bobot pupa, sedangkan floss hanya sebagian kecilnya saja dari total keseluruhan bobot kokon segar A. atlas (Tabel 23).

75 56 Bobot Kokon Segar Bobot kokon segar yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak cukup tinggi (Tabel 22). Nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan bobot kokon segar pada pakan yang sama hasil pengamatan Awan (27) yaitu 6.47±.8 g. Jika dibandingkan dengan pakan daun kaliki dan jarak pagar, bobot kokon segar dari larva dengan pakan daun sirsak lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena larva yang mengkonsumsi daun sirsak lebih efektif dan efisien pada saat pembuatan floss dan lebih sedikit mengalami penurunan bobot selama proses mengokon. Larva dengan pakan daun sirsak mungkin lebih nyaman pada saat mengokon sehingga efektif dalam penggunaan energi tubuhnya. Nilai simpangan baku yang tinggi, mengindikasikan bobot kokon segar yang bervariasi. Menurut Katsumata (964), bobot kokon yang kurang seragam akan menghasilkan panjang dan tebal benang yang berbeda dan akan menyulitkan proses pemintalan menjadi benang sutera. Dalam laporan Ullal & Narasimhanna (987) dikatakan bahwa pemeliharaan larva B. mori pada suhu tinggi disertai fluktuasi suhu yang cepat menyebabkan kualitas kokon menjadi rendah. Disamping itu, pemeliharaan ulat sutera Antheraea mylita pada musim hujan menghasilkan kokon berkualitas rendah. Hal tersebut sebagai akibat dari curah hujan yang tinggi telah mengganggu pemintalan serat suteranya (Dash et al. 992). Bobot Kulit Kokon Bobot kulit kokon yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak cukup tinggi (Tabel 22). Nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan bobot kulit kokon pada pakan yang sama hasil pengamatan Awan (27) yaitu.5±.3 g. Kulit kokon merupakan lapisan serat sutera yang terdiri dari serisin dan fibroin. Kulit kokon sangat menentukan jumlah serat sutera yang akan dihasilkan pada saat dipintal. Semakin berat kulit kokon yang dihasilkan, maka semakin banyak banyak pula benang yang diperoleh (Atmosoedarjo et al. 2). Tempat mengokon sangat berpengaruh terhadap jumlah serat-serat penyangga (floss) yang dikeluarkan ulat sutera pada saat akan mengokon. Tempat yang nyaman bagi ulat sutera untuk membuat kokon memudahkan ulat dan

76 57 memerlukan sedikit serat-serat sutera untuk menempelkan floss-nya pada daun, oleh sebab itu sisa serat sutera yang akan digunakan untuk membuat kokon masih cukup banyak sehingga bobot kulit kokon yang dihasilkan tinggi. Persentase Kulit Kokon Persentase kulit kokon yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak cukup tinggi (Tabel 22). Nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kulit kokon segar pada pakan yang sama hasil pengamatan Awan (27) yaitu 5.23±2.3 %. Nilai persentase kulit kokon memiliki hubungan yang sangat erat dengan persentase filamen dan merupakan salah satu faktor untuk menentukan kualitas kokon yang dihasilkan (Atmosoedarjo et al. 2). Persentase kulit kokon tidak dipengaruhi oleh perbedaan pakan pada larva akan tetapi sangat dipengaruhi oleh jenis ulat dan kondisi iklim tempat pemeliharaan yang meliputi suhu, kelembaban, dan sirkulasi udara selama proses pengokonan. Menurut Kaomini dan Andadari (24), jenis ulat B. mori yang baik mempunyai rasio kulit kokon %. Hasil yang didapat pada penelitian ini lebih rendah (Tabel 22). Hal tersebut disebabkan karena pengaruh lingkungan tempat pemeliharaan yang meliputi suhu dan kelembaban kurang sesuai untuk proses pengokonan. Klasifikasi mutu kokon berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga dan jenis pakan ditunjukkan pada Tabel 27 berikut ini. Tabel 27 Klasifikasi kokon A. atlas Kualitas kokon Sirsak Kaliki Jarak Pagar - Jenis serangga Bobot kokon B C C Bobot kulit kokon C D C Persen kulit kokon C D D - Jenis pakan Bobot kokon C D D Bobot kulit kokon C D D Persen kulit kokon C D D Berdasarkan Tabel 27 di atas, maka diketahui bahwa mutu kokon berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga dan jenis pakan adalah C pada kokon yang larvanya diberi pakan daun sirsak dan D pada kokon yang larvanya diberi daun kaliki dan jarak pagar.

77 58 Kualitas Filamen A. atlas Filamen (serat sutera) terdiri dari fibroin dan serisin (Sangwatanaroj et al. 27; Strobin 26; Ghosh 24; Atmosoedarjo et al. 2). Filamen tersebut dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera yang terdiri dari bagian depan (spinneret) sebagai saluran pengeluaran kelenjar, bagian tengah menghasilkan serisin (C 5 H 23 N 5 O 8 ) sebagai perekat dan bagian belakang menghasilkan fibroin (C 5 H 26 N 5 O 6 ) sebagai sutera cair (Sunanto 997; Samsijah & Andadari 992). Pada saat di dalam kelenjar sutera, serisin dan fibroin masih dalam bentuk cair (fluid) tetapi setelah dikeluarkan akan mengeras karena bersinggungan dengan udara luar. Serat sutera (filamen) dari sebutir kokon dapat digulung dengan tangan (cara manual) atau menggunakan mesin penggulung (tradisional maupun modern) setelah diproses terlebih dahulu. Menurut Sangwatanaroj et al. (27), sutera yang digulung dengan tangan memperlihatkan nilai rendah dalam hal whiteness (tingkatan warna putih), birefringence (ketegaran), crystallinity (kadar kristal) dan softening (kelembutannya) dibandingkan dengan filamen yang digulung menggunakan mesin penggulung. Namun demikian, sutera yang digulung dengan tangan menunjukkan denier (satuan kehalusan filamen benang sutera yang dinyatakan dalam gram per 9 m) dan fiksasi celupan lebih tinggi. Sutera yang digulung dengan mesin hasilnya lebih putih dibandingkan dengan yang digulung memakai tangan walaupun pada sutera yang sama. Menurut Strobin et al. (26), makromolekul pada fibroin dibangun dari asam amino utama yang terdiri dari asam amino glisin, alanin dan serin dengan perbandingan 3:2:. Sedangkan Ghosh (24) menyatakan bahwa fibroin tersusun atas polipeptida yang dibangun dari 4 asam amino: glisin (38-4%), alanin (3-33%), serin (2-6%) dan tirosin (-2%). Struktur molekul fibroin pada sutera memiliki sifat mekanis yang baik, permeabilitas yang baik terhadap oksigen dan air, serta biokompatibilitas yang tinggi. Gen fibroin tersusun atas susunan pengganti dari elemen kristalin dan nonkristalin. Elemen kristalin tersusun atas sekuen 8 basa yang terdiri dari pengulangan unit peptida gly-ala-gly-ala-gly-ser serta elemen nonkristalin terdiri dari sekuen 3bp (Zama 2).

78 59 Serisin adalah sebuah protein makromolekul. Protein serisin terbentuk dari 8 asam amino yang mempunyai kelompok sisi polar yang kuat seperti kelompok hidroksil, karboksil dan amino. Protein ini dapat dihilangkan, dengan materi makromolekul lainnya, seperti polimer sintesis untuk menghasilkan material dengan properti yang lebih bagus (Sarovart 23). Sebagian besar serisin harus dilepas selama produksi sutera kasar pada pabrik pemintalan dan tahap lain pada pemrosesan sutera (Sarovart 23). Penghilangan serisin dari sutera fibroin dilakukan dengan suatu proses yang disebut degumming. Bobot sutera akan berkurang setelah degumming, hal ini disebabkan karena hilangnya serisin sutera. Umumnya, bobot sutera berkurang sekitar 2% selama degumming. Berdasarkan laporan Sangwatanaroj et al. (27), filamen sutera berkurang % setelah degumming. Perbedaan berkurangnya bobot filamen atau serisin antar varietas sutera bervariasi tergantung pada kandungan serisin masing-masing filamen (perbedaan induk genetik, konsumsi makanan dan iklim). Meskipun metode penggulungan juga berpengaruh terhadap jumlah serisin pada tiap-tiap varietas ulat sutera, akan tetapi pengaruhnya hanya sedikit dibandingkan dengan pengaruh genetik, konsumsi makanan dan iklim. Pada penelitian ini, filamen sutera berkurang 2.84% (pakan daun sirsak), 4.2% (pakan daun kaliki) dan 3.9% (pakan daun jarak pagar). Panjang Filamen Panjang filamen yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak cukup tinggi (Tabel 23). Nilainya lebih tinggi jika dibandingkan dengan panjang filamen dengan pakan yang sama pada hasil pengamatan Awan (27) yaitu meter. Panjang filamen kokon memiliki hubungan yang sangat erat dengan bobot kulit kokon (Atmosoedarjo et al. 2). Panjang filamen kokon dengan pupa jantan cenderung lebih tinggi daripada betina, karena ukuran tubuh larva jantan lebih kecil dari betina sehingga lubang keluar sutera (spinneret) juga kecil. Semakin panjang serat yang dihasilkan dari sebutir kokon maka semakin baik kualitas filamennya. Perbedaan jenis pakan disaat larva, berpengaruh nyata terhadap panjang filamen (Tabel 23).

79 6 Cara menggulung filamen berpengaruh terhadap besarnya denier. Dalam laporan Sangwatanaroj et al. (27) diketahui bahwa filamen B. mori (pada varietas sutera yang sama) yang digulung dengan mesin (nilainya denier) lebih kecil ukuran deniernya bila dibandingkan dengan yang digulung dengan tangan (nilainya denier). Bobot Filamen Bobot filamen yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak sangat rendah (Tabel 24) jika dibandingkan dengan bobot filamen dengan pakan yang sama pada hasil pengamatan Awan (27) yaitu 4.84±.7 gram. Perbedaan jenis pakan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot filamen (Tabel 24). Menurut Atmosoedarjo et al. (2), bobot filamen proporsional dengan bobot kulit kokon, semakin besar bobot kulit kokon yang dihasilkan maka akan semakin besar pula bobot filamennya. Daya Urai Kokon (Reelability) Perbedaan jenis pakan yang diberikan di saat larva berpengaruh nyata terhadap daya urai kokon (Tabel 23). Filamen kokon yang berasal dari larva pakan daun kaliki mengalami lebih sedikit jumlah putus selama pemintalan dibandingkan dengan filamen kokon yang berasal dari larva pakan jarak pagar dan sirsak. Menurut Atmosoedarjo et al. (2) suhu, kelembaban dan arus udara berpengaruh terhadap daya urai kokon. Dua faktor diantaranya yaitu kelembaban dan arus udara mempunyai pengaruh yang paling kuat terhadap daya urai kokon. Kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah menyebabkan serat sutera banyak terputus. Kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan kokon menjadi keras, sedangkan kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kokon menjadi lunak dan dapat menyebabkan cacat pada benang suteranya. Klasifikasi mutu filamen berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga dan jenis pakan ditunjukkan pada Tabel 28 berikut ini. Berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga mutu filamen adalah C (pakan daun sirsak), dan D (pakan daun kaliki dan jarak pagar). Sedangkan berdasarkan rata-rata populasi dari jenis pakan mutu filamen adalah D (pakan daun sirsak, kaliki dan jarak

80 6 pagar). Berdasarkan mutu kokon dan filamen yang dihasilkan, maka pakan yang paling baik diberikan pada larva A. atlas adalah daun sirsak. Tabel 28 Klasifikasi filamen A. atlas Kualitas filamen Sirsak Kaliki Jarak Pagar - Jenis serangga Bobot filamen B B B Panjang filamen C D D Daya urai kokon B A B - Jenis pakan Bobot filamen B B B Panjang filamen A C C Daya urai kokon C A B Menurut Gosh (24), kokon sutera Tasar (salah satu sutera liar) tidak perlu dipanaskan atau dipanggang terlebih dahulu sebelum dilakukan reeling (pemintalan sutera). Hal ini disebabkan karena ngengat sutera liar hanya membuka dinding serisinnya tanpa menghancurkan filamen fibroin suteranya disaat ngengat keluar dari kokonnya. Filamen sutera terpanjang pada kokon yang berasal dari larva A. atlas yang diberi pakan daun sirsak (kontrol/pakan utama). Tingginya produksi sutera ini berkaitan dengan lamanya daur hidup larva. Semakin panjang daur hidup larva, maka akan semakin banyak pakan yang dikonsumsi oleh larva. Lamanya daur hidup juga disebabkan oleh faktor kandungan air dan protein pada pakan. Daun sirsak memiliki kandungan air paling rendah dibandingkan dengan daun kaliki dan jarak pagar. Hal ini dapat menyebabkan tertundanya peristiwa ganti kulit dan dengan demikian periode makan menjadi lebih lama. Namun demikian, larva yang diberi pakan daun jarak pagar menunjukkan kenyataan yang bertolak belakang. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan cairan sutera pada larva diantaranya kemampuan larva untuk mencerna pakan. Daya cerna pada larva yang diberi pakan daun jarak pagar masih rendah. Hal ini disebabkan karena larva masih dalam proses adaptasi dan habituasi terhadap pakan alternatif. Dibutuhkan waktu yang cukup lama agar larva mampu beradaptasi terhadap pakan baru melalui breeding secara berkelanjutan. Daun sirsak (tanaman inang utama) dan daun kaliki (tanaman inang) dapat dicerna oleh larva secara lebih efektif dan efisien. Hal ini dibuktikan dengan bobot larva akhir instar VI yang sama besarnya diantara ketiga perlakuan pakan.

81 62 Meskipun besarnya pakan yang dikonsumsi amat berbeda nyata diantara ketiga perlakuan. Sebagai pakan alami, kedua daun tersebut sudah terbiasa Kemampuan larva A. atlas untuk mengkonsumsi daun jarak pagar sebagai tanaman alternatif telah membuktikan sifat polifag pada larva. Sedangkan besarnya jumlah pakan yang dikonsumsi disebabkan karena kandungan air yang baik pada daun. Larva A. atlas sangat menyukai pakan dengan kadar air yang tinggi. Hal ini membuka peluang untuk melakukan budidaya ulat sutera berdampingan dengan program pemerintah mengenai biodiesel. Daun jarak pagar dapat digunakan sebagai pakan bagi ulat sutera, sedangkan bijinya digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Bobot filamen yang tinggi tidak berbanding lurus dengan panjang filamennya. Hal ini disebabkan karena panjang filamen berkaitan juga dengan kehalusan dari filamen tersebut. Jika suatu filamen dengan bobot yang rendah menghasilkan panjang filamen yang tinggi saat dipintal, maka filamen yang dihasilkan sangat halus. Pada dasarnya, antara sutera B. mori dengan sutera A. atlas memiliki perbedaan karakteristik daya urai. Filamen sutera A. atlas didapati terputus-putus meskipun dilakukan pencegahan kemunculan imago dari kokon. Hal ini disebabkan karena kokon A. atlas berlubang. Sedangkan pada sutera B. mori, untuk mendapatkan serat filamen yang tidak terputus maka dilakukan upaya untuk mencegah kemunculan imago dari kokon dengan cara mematikan kokon melalui pemanasan. Penyeratan atau penguraian filamen dari sebuah kokon dapat dilakukan menggunakan alat pemintal modern, alat pemintal sederhana (hand spun) dan secara manual. Dalam penelitian ini, penyeratan dilakukan secara manual. Alat pintal yang umum digunakan oleh para petani sutera di Indonesia adalah hand spun. Di Indonesia, saat ini belum memiliki alat pemintal modern. Dengan mesin gulung modern, panjang filamen dari sebuah kokon dapat diurai mencapai 25 m (dengan ketebalan tipis). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Awan (27), jika dipintal menggunakan hand spun panjang filamen sebuah kokon A. atlas mencapai 83.6 m (pada F3 dengan pakan daun teh) dan m (pada F3 dengan pakan daun sirsak). Dalam penelitian ini, penyeratan

82 63 dilakukan secara manual (tanpa alat pemintal). Hasilnya adalah m (pakan daun sirsak), m (pakan daun kaliki) dan m (pakan daun jarak pagar). Suhu dan Kelembaban Ruangan Suhu ruangan selama pemeliharaan berkisar antara 24-28ºC dengan kelembaban 46-78%. Pada ulat sutera B. mori, suhu untuk pemeliharaan ulat kecil antara 25-28ºC dengan kelembaban 8-9%, sedangkan ulat besar membutuhkan suhu 23-24ºC dengan kelembaban 65-75% (Atmosoedarjo et al. 2). Jika suhu lebih dari 3ºC menyebabkan pakan cepat layu dan tidak disukai oleh larva. Sebaliknya jika suhu lebih rendah dari 2ºC kelembaban menjadi tinggi dan dapat menimbulkan patogen penyakit meskipun pakan menjadi segar. Pertumbuhan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh iklim di lokasi pemeliharaan diantaranya yaitu suhu, kelembaban nisbi, kualitas udara, aliran udara dan cahaya. Keadaan cuaca di luar ruang pemeliharaan juga sangat berpengaruh tidak saja pada iklim mikro, akan tetapi juga kepada nilai gizi dari daun. Kondisi suhu yang terlalu rendah ( <2 ºC ), memerlukan pemanasan ruang pemeliharaan. Sebaliknya suhu yang terlalu tinggi sering melampaui batas ketahanan ulat, sehingga perlu adanya pendingin ruangan pemeliharaan. Suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stres pada larva. Larva yang stres tidak mau makan. Energi menjadi banyak keluar dan kecepatan respirasi akan bertambah disertai meningkatnya kontraksi pembuluh darah. Pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan proses metabolisme meningkat dan pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva menjadi terganggu. Selain suhu dan kelembaban nisbi, kecocokan iklim mikro di tempat pemeliharaan ulat sutera juga ditetapkan oleh kesegaran udara dan tingkat pergantian udara. Bila ventilasi baik, maka kisaran suhu dan kelembaban nisbi yang dapat ditahan menjadi lebih luas. Meskipun udara panas dan lembab, namun bila ventilasi tempat pemeliharaan baik maka kepadatan/kesesakan dapat dikurangi dan evaporasi dari tubuh ulat sutera dapat ditingkatkan sehingga ulat mendapat kesejukan. Bila cuaca dingin dan lembab, maka dengan pemanasan dan ventilasi yang baik kenaikan suhu dan penurunan kelembaban dapat tercapai sekaligus.

83 64 Atmosoedarjo et al. (2) menyatakan bahwa pada ulat sutera B. mori, instar I dapat dikatakan sebagai tingkat pengumpulan air. Sedangkan instar II sampai IV sebagai tingkat penahanan air dan instar V sebagai tingkat pelepasan. Oleh karena itu, pemeliharaan larva A. atlas pada instar I dilakukan pada lingkungan lembab dan diberi pakan daun dengan kandungan air tinggi. Sebaliknya, pemeliharaan pada instar VI dilakukan pada lingkungan relatif lebih kering dengan ventilasi baik. Ulat sutera adalah binatang berdarah dingin, maka secara alami suhu tubuhnya terpengaruh oleh suhu tempat pemeliharaannya. Kelembaban nisbi dan aliran udara lingkungan juga mempengaruhi suhu tubuhnya. Bila tidak ada aliran udara di atas tempat pemeliharaannya, suhu tubuh ulat akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan atau kelembaban nisbi. Budidaya dalam ruangan Pemeliharaan dalam ruangan menguntungkan pada saat pemeliharaan ulat karena terhindar dari musuh alami serangga A. atlas. Akan tetapi, pemeliharaan di dalam ruangan tidak sepenuhnya bebas dari serangan parasit atau patogen sutera liar. Hal tersebut telah dialami oleh Situmorang (996) pada saat memelihara larva A. atlas di dalam laboratorium dan menemukan bahwa daun keben sebagai pakan (B. asiatica) terkontaminasi oleh patogen-patogen yang mungkin berupa virus, bakteri dan protozoa sehingga dapat mengakibatkan kematian larva. Untuk menghindari kejadian tersebut maka setiap daun harus dicuci bersih dengan desinfektan agar pemeliharaan di laboratorium terhindar dari patogen-patogen tersebut. Ulat sutera dapat hidup normal pada suhu 2-3ºC bahkan dapat bertahan pada suhu 33-35ºC asalkan tidak berlangsung lama (Atmosoedarjo et al. 2). Suhu dan kelembaban dalam ruangan selama pemeliharaan larva A. atlas adalah 24-28ºC dan 46-78%. Kondisi tersebut sesuai untuk pemeliharaan maupun pengokonan.

84 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan. Daun jarak pagar dapat digunakan sebagai pakan alternatif untuk budidaya A. atlas. Daun jarak pagar memiliki kandungan air yang sesuai bagi pertumbuhan larva A. atlas. 2. Berdasakan jenis serangga, kelas mutu kokon dan filamen adalah C pada pakan daun sirsak dan D pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. 3. Berdasarkan jenis pakan, kelas mutu kokon adalah C pada pakan daun sirsak dan D pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan kelas mutu filamen adalah C pada ketiga jenis pakan. 4. Pakan larva berupa: - Daun sirsak (pakan kontrol) unggul dalam kualitas kokon dan filamen. - Daun kaliki unggul dalam daur hidup yang singkat. - Daun jarak pagar unggul dalam konsumsi pakan larva. 5. Berdasarkan mutu kokon dan filamen yang dihasilkan, maka pakan yang paling baik diberikan pada larva A. atlas adalah pakan kontrol (daun sirsak). Saran. Domestikasi secara terus-menerus (breeding) agar diperoleh galur yang benar-benar murni dengan tujuan mendapatkan fitness yang baik dan pada akhirnya kualitas kokon dan filamen yang baik. 2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui suhu dan kelembaban ruangan yang sesuai pada pemeliharaan dalam ruangan. 3. Perlunya ruangan yang terpisah untuk pemeliharaan ulat kecil dan ulat besar.

85 DAFTAR PUSTAKA Ahmad I, Ar-Rasyid MH, Salim S, Hosen MJ, Elora B. 26. Effect of feeding on the larval growth and development of silkworm, Bombyx mori L. Race: Nistari (M). Int J Sustain Agril Tech 2(2): Akai H Recent aspects of wild silkmoth and silk research. Makalah dalam Seminar Proyek Pengembangan Ulat Sutera Liar Indonesia dan Prospek Kerjasama Propinsi DIY-Kyoto. Pusat Studi Jepang, UGM. Yogyakarta. Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2. Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Awan A. 27. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional [disertasi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Beck SD. 98. Insect Photoperiodism. 2 nd Ed. New York: Academic Press. Chapman RF The Insects Structure and Function. 4 th Kingdom: Cambridge Universities Press. edition. United Chen Y (a). 23. Variable tolerance of the silkworm Bombyx mori to atmospheric fluoride pollution. Fluoride. 36(3): Chen Y (b). 23. Differences in fluoride effects on fecundity among variety of the silkworm Bombyx mori. Fluoride. 36(3): Common IFB. 99. Moth of Australia. Australia: Melbourne University Press Dammerman KW The Agricultural Zoology of The Malay Archipelago. Amsterdam: JH de Bussy Ltd. Danks HV. 24. The roles of insect cocoons in cold conditions. Eur J Entomol. : Dash AK, Mishra CSK, Nayak BK, Dash MC Effect of mating duration on oviposition rate and hatchability of the Indian Tasar Silk Moth Antheraea mylitta (Saturniidae) in different seasons. Journal of Research on the Lepidoptera. 32: Dash AK, Nayak BK, Dash MC The effect of different foodplants on cocoon crop performance in the Indian tasar silkworm Antheraea mylita Drury (Lepidoptera: Saturniidae). Journal of Research on the Lepidoptera. 3(-2):27-3.

86 67 Ekastuti DR. 25. Pengaruh kadar air pakan terhadap pertumbuhan dan produktifitas ulat sutera (Bombyx mori). Jurnal Medis Veteriner Indonesia. 9(2): Ekastuti DR Pengaruh kadar air pakan terhadap katabolisme nutrien, pertumbuhan dan kinerja produksi ulat sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae) [disertasi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Faruki SI. 25. Effect of pyridoxine on the reproduction of the mulberry silkworm, Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae). ISJ. 2:28-3. Falakali B, Turgay G Some morphological fatures of the rectal sac of the silkworm (Bombyx mori, Bombycidae). Tr J of Zoology. 23: Ghosh P. 24. Fibre Science and Technology. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. Grater F, Xu W, Leal W, Grubmuller H. 26. Pheromone discrimination by the pheromon-binding protein of Bombyx mori. Structure. 4: Gullan PJ, Cranston PS. 2. The Insects an Outline of Entomology. Second Edition. London: Blackwell Science Ltd. Heyne K Tumbuhan Berguna Indonesia (Terjemahan). Jilid II. Jakarta:Yayasan Sarana Wana Jaya. Holloway JD The moth of Borneo: superfamily Bombycoidea: families Lasiocampidae, Eupterotidae, Bombycidae, Brahmaeidae, Saturniidae, Sphingidae. Southdene Sdn. Bhd. Malaysia: Kuala Lumpur. Hui-peng Y, WU Xiao-feng, Gokulamma K. 26. Antiviral activity in the mulberry silkworm, Bombyx mori L. Journal of Zhejiang University Science A, 7(suppl.II): Kalshoven LGE. 98. Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Kalthoff K Analysis of Biological Development. New York: Mc Graw Hill Inc. Kaomini M, Andadari L. 24. Penanganan Kokon. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Katsumata F Petunjuk Sederhana Bagi Pemeliharaan Ulat Sutera. Tokyo Mamatha DM, Cohly, Raju AHH, Rao MR. 26. Studies on the quantitative and qualitative characters of cocoons and silk from methoprene and fenoxycarb

87 68 treated Bombyx mori (L) larvae: African Journal of Biotechnology. 5(5): Mattjik AA, Sumertajaya M. 2. Perancangan Percobaan. Dengan Aplikasi SAS Dan MINITAB. Jilid. Bogor: IPB Press. Miranda JE, Bortoli SA, Takahashi. 22. Development and silk production by silkworm larvae after tropical application of methoprene. Scientia Agricola, 59(3): Nair KS, Yun-Gen M, Komar SN. 25. Differential response of silkworm, Bombyx mori L. to phytoecdysteroid depending on the time of administration. J Appl Sci Environ. 9(3):8-86. Nazar A. 99. Beberapa aspek biologi ulat perusak daun (Attacus atlas Linn) pada tanaman cengkeh. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri. 6(): Nuralamsyah A. 2. Biodiesel Jarak Pagar. Bahan Bakar Alternatif yang Ramah Lingkungan. Jakarta: Agro Media Pustaka. Ojha NG, Sinha SS, Singh MK, Sharan SK Rearing and cocooning of tropical tasar silkworm, Antheraea mylitta, in indoor condition. Int of Wild Silkmoth & Silk. (2): Passoa VA Magnificent wild silk moths. Carolina Biological Supply Company. 62(4):5-8. Partaya, Bintari SH, Priyono B. 23. Pertumbuhan dan kualitas kokon ulat sutera atakas Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) pada beberapa jenis pakan alami dan buatan [tesis]. Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Peigler RS A Revision of The Indo-Australian Genus Attacus. California: The Lepidoptera Research Fondation, Inc. Prihandono R, Hendroko R. 26. Petunjuk Budidaya Jarak Pagar. Tangerang: PT Agromedia Pustaka. Rachman A. 2. Pengaruh fotoperioda pada perioda pupa Attacus atlas (L.) (Lepidoptera: Saturniidae)[tesis]. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. Rao CGP, Seshagiri SV, Ramesh C, Ibrahim BK, Nagaraju H, Shekaraiah C. 26. Evaluation of genetic potential of the polyvoltine silkworm (Bombyx mori L.) germplasm and identification of parents for breeding programme. Journal of Zhejiang University SCIENCE B. 7(3):23-22.

88 69 Rogers ME, Krieger J, Vogt RG. 2. Antennal SNMPs (Sensory Neuron Membrane Protein s) of Lepidoptera define a unique family of invertebrate CD36-like proteins. National Science Foundation Rogerst ME, Sun M, Lerner MR, Vogt RG Snmp-, a novel membrane protein of olfactory neurons of the silkmoth Antheraea polyphemus with homology to the CD 36 family of membrane proteins. The Journal of Biological Chemistry. 272(23): Samsijah, Andadari L Teknik Pengolahan Kokon dan Benang Sutera. Informasi Teknis No. 27. Bogor: Pusat Penelitian Pengembangan Hutan. Samsijah, Kusumaputra AS Pembibitan ulat sutera [Laporan Penelitian]. Bogor: lembaga Penelitian Hutan. Samsijah, Kusumaputra AS Pengaruh pemberian makan ulat kecil dan ulat besar dengan daun yang berbeda jenisnya terhadap rendemen pemeliharaan dan mutu kokon [Laporan Penelitian]. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan. Samsijah, Kusumaputra AS Pengaruh penggunaan pupuk tunggal dan majemuk terhadap produksi daun murbei dan efeknya untuk pemeliharaan ulat sutera [Laporan Penelitian). Bogor: Lembaga Penelitian Hutan Sangwatanaroj U, Puicharoen P, Kiatkamjornwong S. 27. Properties of industrial Thai silks reeled by hand and by machine. The Journal of the Royal Institute of Thailand. 32(): Sarovart S, Sudatis B, Meesilpa P, Grady BP, Magaraphan R. 23. The use of sericin as an antioxidant and antimicrobial for polluted air treatment Rev adv Mater Sci. 5: Sinhsina EE, Shumilova EV Peculiarities of olfactory analyzer response in Bombyx mori (L) under repeated action of sex pheromone odor. Pheromones. 5(3-4):9-3. Situmorang J An attempt to produce Attacus atlas L. using Baringtonia leaves as plant fooder. Int J of Wild Silkworm and Silk. 2: Soenardi. 2. Budidaya Tanaman Jarak. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang. Strobin G, et al. 26. Biomaterials containing chitosan and fibroin. Polish Chitin Society. Monograph XI. Sunanto H Budi Daya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Yogyakarta: Kanisius

89 7 Suriawiria U Pengantar dalam Memelihara Ulat Sutera. Ed ke-. Badan Pembina Bahan Baku Pertekstilan, Jawa Barat. Syed Z, Ishida Y, Taylor K, Kimbrell DA, Leal WS. 26. Pheromone reception fruit flies expressing a moth odorant receptor. The National Academy of Sciences of the USA. 3(44): Tazima, Y The Genetics of The Silkworm. Japan: Logos Press Academic Press. Tazima Y The Silkworm:An Important Laboratory Tool. Tokyo: Kodansha Ltd. Triplehorn CA, Johnson NF. 25. Borror and Delong s Introduction to the Study of Insect. Seventh Edition. USA: Tomson Brooks/Cole. Ullal SR, Narasimhanna MN Handbook of Practical Sericulture. 3 rd Ed. Bangalore: Central Silk Board. Veda K, I Nagai, M Horikomi Silkworm Rearing. Translated From Japanese. New Hampshire: Science Publisher Inc. Veldtman R, McGeoch MA, Scholtz CH. 27. Fine scale abundance and distribution of wild silkmoth pupae. Bulletin of Entomological Research. 97:5-27. Wageansyah DR. 27. Pengaruh pemberian berbagai jenis daun murbei (Morus spp.) terhadap pertumbuhan ulat sutera (Bombyx mori L.) dan kualitas kokon di Pusat Serikultur Sukamantri Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Wangsadimiarta, Wibowo A Pedoman Pemeliharaan Ulat Sutera Pengolahan Hasil Sutera. Bandung: Arena Tekstil. Weiss EA. 97. Castor, Sesame and Safflower. London: Lionard Hill. Wuliandari JR. 2. Pengaruh pakan dan tempat pemeliharaan di dalam dan di luar ruangan terhadap masa perkembangan dan pertumbuhan larva Attacus atlas (L.) (Lepidoptera: Saturniidae) [tesis]. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. Yuanita. 27. Daya tahan hidup larva dalam alat pengokonan, kualitas kokon dan filamen ulat sutera (Bombyx mori L.) pada alat pengokonan yang berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Zama M. 2. Discontinuous translation and mrna structure of the coding region. Nucleic Acid Symposium Series. 44:9-92

90 Zebua TU, Situmorang J, Jati WN Daur hidup (Attacus atlas L.) dengan pemberian pakan daun dadap (Erythrina lithosperma Miq.) di Laboratorium. Biota. II(2):

91 L A M P I R A N

92 72 Lampiran Peta penyebaran A. atlas (Peigler 989) Lampiran 2 Tanaman inang larva A. atlas No. Jenis No. Jenis No. Jenis. Ailanthus altissima 3. D. indica 6. P. pyriformis 2. Aleurites montana 32. Erythrina spp. 62. Piper sp. 3. Alstonia scholaris 33. E. subumbrana 63. Phylianthus emblica 4. Annona muricata 34. Euphorbia longana 64. Populus spp. 5. A. squamosa 35. Ficus variegate 65. Prunus spp. 6. Ardisia sp. 36. Fraximus spp. 66. Quercus spp. 7. Artemisia vulgaris 37. Glochidion velutinum 67. Quisqualis indica 8. Averrhoa carambola 38. Hibiscus spp. 68. Rhododendron spp. 9. Berberia vulgaris 39. Ilex sinensis 69. Ricinus communis. B. asiatica 4. Ipomoea batatas 7. Rosa spp.. B. thunbergii 4. Kalmia latifolia 7. Salix spp. 2. Betula platyphylla 42. Lagerstroemia indica 72. Sandoricum koetjape 3. Bischofia javonica 43. Lannea grandis 73. Sapium insigne 4. Bradleia ovata 44. Lantana camara 74. S. sebiferum 5. Camellia sinensis 45. Leucosceptrum canum 75. Sarcostemma brunonianum 6. Canangium odoratum 46. Ligustrum spp. 76. Sassafras albidum 7. Canarium indicum 47. Litchi sinensis 77. Schefflera octophylla 8. Carpinus betulus 48. Lonicera javonica 78. S. oleosa 9. Ceiba pentandra 49. Malus spp. 79. Seisbania grandifolia 2. Cinchona succirubra 5. Mangifera indica 8. Setaria viridis 2. Cinnamomum camphora 5. Melastoma malabatricum 8. Spathodea campanlata 22. C. iners 52. Meyna grisea 82. Stachytarpheta cayennensis 23. C. zeylanicum 53. Milnea roxburghiana 83. Swietenia mahagoni 24. Clerodendron serratum 54. Morus spp. 84. Symplocos paniculata 25. C. viscesum 55. Naucle rotundifolia 85. Syringa vulgaris 26. Clidemia hirta 56. Nephelium lappaceum 86. Syzygium aquaeum 27. Coffea arabica 57. Nerium oleander 87. S. malaccense 28. Cupuliferae 58. Nicolaia speciosa 88. Teucrium macrostachyum 29. Curcuma viridiflora 59. Parkia intermedia 89. Theobroma cacao 3. Dillenia pentagyna 6. Persea Americana 9. Uncaria gambir

93 Lampiran 3 Hasil analisa proksimat 73

94 74 Lampiran 4 Kehilangan air pada daun yang disobek (dalam cawan petri) Perlakuan Bobot air yang hilang (g) Faktor kadar air (%) Muda Tua Muda Tua A A A Lampiran 5 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang tertutup) Perlakuan Bobot air yang hilang (g) Faktor kadar air (%) Muda Tua Muda Tua A A A Lampiran 6 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang terbuka) Perlakuan Bobot air yang hilang (g) Faktor kadar air (%) Muda Tua Muda Tua A A A Keterangan: Faktor koreksi adalah banyaknya bobot air yang hilang untuk setiap gram. A = daun sirsak, A2 = daun kaliki, A3 = daun jarak pagar.

95 75 Lampiran 7 Uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas Larva instar (X) One-way ANOVA: X versus perlakuan NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total 8.75 S =.4356 R-Sq = 88.8% R-Sq(adj) = 85.8% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (-----*-----) (------*-----) (-----*-----) Pooled StDev =.4356 DUNCAN A 2 B 3 B Plots for X Plots for X Percent Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Fitted Value 4 Histogram of the s.5 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order 8 9

96 76 Larva instar 2 (X2) NYATA One-way ANOVA: X2 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.7 R-Sq = 89.% R-Sq(adj) = 85.33% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) Pooled StDev =.7 DUNCAN A 2 B 3 B Plots for X2 Plots for X2 99 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values 9. Percent Fitted Value.8 Histogram of the s s Versus the Order of the Data 3. Frequency Observation Order 8 9

97 77 Larva instar 3 (X3) NYATA One-way ANOVA: X3 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.5925 R-Sq = 76.3% R-Sq(adj) = 68.4% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.5925 DUNCAN 3 A A 2 B Plots for X3 Plots for X3 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 4.5 Frequency Observation Order 8 9

98 78 Larva instar 4 (X4) NYATA One-way ANOVA: X4 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.957 R-Sq = 94.47% R-Sq(adj) = 92.63% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (----*-----) (-----*----) (----*-----) Pooled StDev =.957 DUNCAN A 3 A 2 B Plots for X4 Plots for X4 Percent Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Fitted Value 8 3 Histogram of the s. s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order 8 9

99 79 Larva instar 5 (X5) One-way ANOVA: X5 versus perlakuan NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S = 6.87 R-Sq = 8.8% R-Sq(adj) = 73.57% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev = 6.87 DUNCAN 3 A B 2 B Plots for X5 Plots for X5 Percent Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Fitted Value 25 3 Histogram of the s 5 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order 7 8 9

100 8 Larva instar 6 (X6) NYATA One-way ANOVA: X6 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.73 R-Sq = 93.2% R-Sq(adj) = 9.69% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (----*----) (----*----) (----*----) Pooled StDev =.73 DUNCAN 3 A B 2 C Plots for X6 Plots for X6 99 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values 9 Percent Fitted Value 2 Histogram of the s s Versus the Order of the Data 2. Frequency Observation Order 7 8 9

101 8 Konsumsi pakan seluruh instar NYATA One-way ANOVA: konsumsi total versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S = 8.42 R-Sq = 97.83% R-Sq(adj) = 97.% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (---*--) (---*--) (--*---) Pooled StDev = 8.4 DUNCAN 3 A B 2 C Plots for konsumsi total Plots for konsumsi total 99 9 Normal Probability Plot of the s 5 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order 7 8 9

102 82 Lampiran 8 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat kecil) ULAT kecil The GLM Procedure Dependent Variable: konsumsi konsumsi pakan Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE konsumsi Mean Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F daun blok <. Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F daun blok <.

103 83 Lampiran 9 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat besar) ULAT Besar The GLM Procedure Dependent Variable: konsumsi konsumsi pakan Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <. Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE konsumsi Mean Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F daun blok <. Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F daun blok <.

104 84 Lampiran Bobot larva A. atlas awal dan akhir instar Instar Sirsak Kaliki Jarak Pagar Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan gram I - Awal - Akhir II - Awal - Akhir III - Awal - Akhir IV - Awal - Akhir V - Awal - Akhir VI - Awal - Akhir ±.2.743±.8.77±.8.357± ± ± ± ± ± ± ± ± ±.2.57± ± ±.95.97± ± ± ± ± ± ± ± ±.2.627± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±.823 Lampiran Pertambahan bobot larva A. atlas terhadap bobot larva baru ditetaskan Larva baru ditetaskan Sirsak Kaliki Jarak Pagar X Y X Y X Y Instar x x x Instar x x x Instar x x x Instar x x x Instar x x x Instar x x x Ket.: X = Bobot terberat sebelum ganti kulit pada setiap instar; Y = Penambahan bobot

105 85 Lampiran 2 Uji Anova pertambahan bobot larva A. atlas NYATA Instar One-way ANOVA: instar versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.953 R-Sq = 5.87% R-Sq(adj) = 5.8% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (---*---) (----*---) (----*---) Pooled StDev =.953 DUNCAN A 3 B 2 C Plots for instar Plots for instar Normal Probability Plot of the s.2 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data.2 Frequency Observation Order

106 86 Instar 2 One-way ANOVA: instar 2 versus perlakuan NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.8964 R-Sq = 35.27% R-Sq(adj) = 32.99% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (------*-----) (------*------) (-----*------) Pooled StDev =.8964 DUNCAN A 3 B 2 B Plots for instar 2 Plots for instar 2 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value.25 4 Histogram of the s s Versus the Order of the Data.2 Frequency Observation Order

107 87 Instar 3 NYATA One-way ANOVA: instar 3 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.2762 R-Sq = 45.9% R-Sq(adj) = 43.6% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (----*----) (----*----) (----*----) Pooled StDev =.2762 DUNCAN 2 A B 3 C Plots for instar 3 Plots for instar Normal Probability Plot of the s. s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value.4 2 Histogram of the s. s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

108 88 Instar 4 NYATA One-way ANOVA: instar 4 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.475 R-Sq = 59.99% R-Sq(adj) = 58.58% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (---*----) (---*---) (---*---) Pooled StDev =.475 DUNCAN 2 A 3 A B Plots for instar 4 Plots for instar Normal Probability Plot of the s. s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data. Frequency Observation Order

109 89 Instar 5 NYATA One-way ANOVA: instar 5 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.3925 R-Sq = 4.9% R-Sq(adj) = 39.2% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (----*-----) (-----*-----) (-----*----) Pooled StDev =.3925 DUNCAN A 3 B 2 C Plots for instar 5 Plots for instar 5 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values 99.9 Percent Fitted Value 2.4 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

110 9 Instar 6 TIDAK NYATA One-way ANOVA: instar 6 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.584 R-Sq = 2.3% R-Sq(adj) =.% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.584 DUNCAN 2 A 3 A A Plots for instar 6 Plots for instar 6 Percent Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Fitted Value 2 Histogram of the s 4 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

111 9 Total pertambahan bobot instar hingga instar 5 (g) One-way ANOVA: transform versus perlakuan NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.5258 R-Sq =.46% R-Sq(adj) = 7.32% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev J ( * ) K ( * ) S ( * ) Pooled StDev =.5258 DUNCAN A 2 A,B 3 B Plots for transform Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data.. Frequency Observation Order

112 92 Total pertambahan bobot seluruh instar (g) TIDAK NYATA One-way ANOVA: pertambahan bobot all versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S = 2.33 R-Sq = 5.67% R-Sq(adj) = 2.36% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev = 2.33 DUNCAN 3 A 2 A A Plots for pertambahan bobot all Plots for pertambahan bobot all Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s 5. s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

113 93 Lampiran 3 Bobot larva A. atlas pada tiap akhir instar Instar One-way ANOVA: transform versus perlakuan TIDAK NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S = R-Sq = 56.94% R-Sq(adj) = 55.43% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev J (---*----) K (---*---) S (---*---) Pooled StDev = DUNCAN 2 A 3 A A Plots for transform Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value 2 6 Histogram of the s 5. s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

114 94 Instar 2 One-way ANOVA: transform versus perlakuan NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S = R-Sq = 9.82% R-Sq(adj) = 9.52% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev J (-*-) K (-*-) S (-*-) Pooled StDev = DUNCAN 2 A 3 B C Plots for transform Percent Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Fitted Value 3 Histogram of the s s Versus the Order of the Data 2 6 Frequency Observation Order

115 95 Instar 3 One-way ANOVA: transform versus perlakuan NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.257 R-Sq = 36.25% R-Sq(adj) = 34.% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev J (------*-----) K (------*-----) S (-----*-----) Pooled StDev =.257 DUNCAN 2 A A 3 B Plots for transform Normal Probability Plot of the s.5 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value.4.5 Frequency Histogram of the s s Versus the Order of the Data Observation Order

116 96 Instar 4 One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total NYATA S =.328 R-Sq = 48.2% R-Sq(adj) = 46.39% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev J (----*---) K (----*---) S (----*---) Pooled StDev =.328 DUNCAN A 3 B 2 C Plots for transform Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value.5.52 Frequency Histogram of the s s Versus the Order of the Data Observation Order

117 97 Instar 5 One-way ANOVA: Transform versus perlakuan NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total 59.5 S =.2692 R-Sq = 9.3% R-Sq(adj) = 6.9% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev J ( * ) K ( * ) S ( * ) Pooled StDev =.2692 DUNCAN A 2 B 3 B Plots for Transform Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value.4. Histogram of the s.5 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

118 98 Instar 6 One-way ANOVA: respon versus perlakuan TIDAK NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total 59.5 S =.924 R-Sq = 7.4% R-Sq(adj) = 3.78% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev J ( * ) K ( * ) S ( * ) Pooled StDev =.924 DUNCAN A 2 A 3 A Plots for respon Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value.38 Histogram of the s s Versus the Order of the Data 6.2 Frequency Observation Order

119 99 Lampiran 4 Panjang larva A. atlas awal dan akhir instar Sirsak Kaliki Jarak Pagar Instar Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan sentimeter I - Awal - Akhir ±.84 ± ±.725 ± ±.785 ±.37 II - Awal - Akhir III - Awal - Akhir IV - Awal - Akhir V - Awal - Akhir VI - Awal - Akhir ±.5.92 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±.264 Tabel 5 Pertambahan panjang larva A. atlas terhadap panjang larva baru ditetaskan Sirsak Kaliki Jarak Pagar X Y X Y X Y Ulat baru ditetaskan Instar.84 2 x x x Instar x x.88 4 x Instar x x x Instar x x x Instar x x x Instar x x x Keterangan: X = Panjang badan (cm); Y = penambahan panjang

120 Lampiran 6 Uji Anova pertambahan panjang larva A. atlas NYATA Instar One-way ANOVA: instar versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan Error Total S =.443 R-Sq = 54.38% R-Sq(adj) = 52.78% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (----*----) (----*----) (----*----) Pooled StDev =.443 DUNCAN A B 3 C 2 Plots for instar Plots for instar Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values 99.9 Percent Fitted Value.35 Histogram of the s s Versus the Order of the Data 6.5 Frequency Observation Order

121 Instar 2 TIDAK NYATA One-way ANOVA: instar 2 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan Error Total S =.5453 R-Sq = 8.79% R-Sq(adj) = 5.59% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.545 DUNCAN 2 A 3 A B B Plots for instar 2 Plots for instar Normal Probability Plot of the s. s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value.. 3 Histogram of the s. s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

122 2 Instar 3 TIDAK NYATA One-way ANOVA: instar 3 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan Error Total S =.544 R-Sq = 5.84% R-Sq(adj) = 2.54% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.544 DUNCAN 2 A 3 A A Plots for instar 3 Plots for instar 3 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value.42 3 Histogram of the s. s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

123 3 Instar 4 NYATA One-way ANOVA: instar 4 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan Error Total S =.398 R-Sq = 73.47% R-Sq(adj) = 72.54% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (---*---) (---*---) (---*---) Pooled StDev =.392 DUNCAN 2 A 3 B C Plots for instar 4 Plots for instar 4 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s. s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

124 4 Instar 5 NYATA One-way ANOVA: instar 5 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan Error Total S =.562 R-Sq = 28.5% R-Sq(adj) = 25.63% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (------*------) (------*------) (------*------) Pooled StDev =.56 DUNCAN A 3 A 2 B Plots for instar 5 Plots for instar 5 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 3. Frequency Observation Order

125 5 Instar 6 TIDAK NYATA One-way ANOVA: instar 6 versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan Error Total S =.2585 R-Sq = 2.7% R-Sq(adj) =.% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.2585 DUNCAN 2 A 3 A A Plots for instar 6 Plots for instar 6 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data.5 Frequency Observation Order

126 6 Pertambahan panjang seluruh instar TIDAK NYATA One-way ANOVA: all instar versus perlakuan Source DF SS MS F P prlakuan Error Total S =.3244 R-Sq = 5.23% R-Sq(adj) =.9% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.3244 DUNCAN 3 A 2 A A Plots for all instar Plots for all instar Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s.8 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

127 7 Lampiran 7 Uji Anova daur hidup A. atlas NYATA Larva instar (X) One-way ANOVA: X versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.4492 R-Sq = 66.% R-Sq(adj) = 64.92% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (---*---) (---*---) (---*---) Pooled StDev =.4492 DUNCAN A 3 B 2 C Plots for X Plots for X Normal Probability Plot of the s.5 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 3.5 Frequency Observation Order

128 8 Larva instar 2 (X2) One-way ANOVA: X2 versus perlakuan NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.53 R-Sq = 42.54% R-Sq(adj) = 4.53% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (-----*----) (----*-----) (----*-----) Pooled StDev =.53 DUNCAN A 3 B 2 C Plots for X2 Plots for X2 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value 4.5 Histogram of the s s Versus the Order of the Data 2. Frequency Observation Order

129 9 Larva instar 3 (X3) TIDAK NYATA One-way ANOVA: X3 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.544 R-Sq = 5.43% R-Sq(adj) = 2.2% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.544 DUNCAN A 2 A 3 A Plots for X3 Plots for X3 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s. s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

130 Larva instar 4 (X4) NYATA One-way ANOVA: X4 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.783 R-Sq = 5.27% R-Sq(adj) = 2.3% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.783 DUNCAN A 3 B 2 B Plots for X4 Plots for X4 Percent Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Fitted Value 2 Histogram of the s 2 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

131 Larva instar 5 (X5) TIDAK NYATA One-way ANOVA: X5 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.52 R-Sq = 6.43% R-Sq(adj) = 3.5% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.52 DUNCAN A 3 A 2 A Plots for X5 Plots for X Normal Probability Plot of the s 2 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s 2 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

132 2 Larva instar 6 (X6) TIDAK NYATA One-way ANOVA: X6 versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.29 R-Sq = 4.76% R-Sq(adj) =.42% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.29 DUNCAN 3 A A 2 A Plots for X6 Plots for X6 Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value.5.2 Frequency Histogram of the s s Versus the Order of the Data Observation Order

133 3 Pupa (Y) NYATA One-way ANOVA: Pupa (Y) versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S = 5.45 R-Sq = 2.3% R-Sq(adj) = 9.5% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev = 5.45 DUNCAN A 3 A B 2 B Plots for Y Plots for Y Normal Probability Plot of the s 2 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s 2 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

134 4 Imago (Z) TIDAK NYATA One-way ANOVA: Z versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.665 R-Sq = 3.48% R-Sq(adj) =.% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.665 DUNCAN A 3 A 2 A Plots for Z Plots for Z Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s 3. s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

135 5 Daur hidup total (larva, pupa dan imago) NYATA One-way ANOVA: total versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S = R-Sq = 25.23% R-Sq(adj) = 22.6% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (------*-----) (------*-----) (------*-----) Pooled StDev = DUNCAN A 3 B 2 C Plots for total Plots for total Normal Probability Plot of the s 2 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value 7. 6 Histogram of the s s Versus the Order of the Data 2 Frequency Observation Order

136 6 Lampiran 8 Jumlah telur fertil, menetas dan prosentase menetas pada A. atlas Kode_sampel Jumlah telur Jumlah menetas Prosentase menetas (%) Lampiran 9 Periode telur A. atlas Kode_sampel Tersingkat Terlama hari Lampiran 2 Lama peletakan telur dan penetasan A. atlas Kode_sampel Peletakan telur Penetasan hari

137 7 Lampiran 2 Ukuran abdomen dan sayap imago A. atlas Kode_sampel Panjang abdomen Lebar abdomen Rentang sayap cm J J J J J J J J J J B B B B B B B B B B Lampiran 22 Hasil uji t panjang abdomen A. atlas t df Sig. (2- tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Lampiran 23 Hasil uji t lebar abdomen A. atlas t df Sig. (2- tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper

138 8 Lampiran 24 Hasil uji t rentang sayap A. atlas t df Sig. (2- tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Lampiran 25 Lama hidup imago jantan dan betina A. atlas Kode_sampel Kopulasi Tidak kopulasi Jantan Betina Jantan Betina hari Lampiran 26 Hasil uji t umur imago A. atlas kawin t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Lampiran 27 Hasil uji t umur imago A. atlas tidak kawin t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper

139 9 Lampiran 28 Uji Anova kualitas kokon A. atlas NYATA One-way ANOVA: Penurunan Bobot Saat Mengkokon versus Perlakuan (N) NYATA Source DF SS MS F P Perlakuan Error Total S =.5727 R-Sq = 86.39% R-Sq(adj) = 85.38% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev DUNCAN B 2 A 3 A J (---*--) K (---*--) S (---*--) Pooled StDev =.573 Plots for penurunan bobot saat mengokon (g) Plots for Penurunan bobot saat mengokon Normal Probability Plot of the s 99 s Versus the Fitted Values 9. Percent Fitted Value 4 8 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

140 2 One-way ANOVA: Bobot kokon dengan floss versus perlakuan (O) NYATA Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.3699 R-Sq = 25.7% R-Sq(adj) = 2.2% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev J ( * ) K ( * ) S ( * ) Pooled StDev =.3699 DUNCAN B 2 A 3 A Plots for bobot kokon dengan floss (g) Plots for Bobot kokon hasil transformasi 99 Normal Probability Plot of the s.8 s Versus the Fitted Values 9.4 Percent Fitted Value.37 8 Histogram of the s.8 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

141 2 Bobot kokon segar (P) NYATA One-way ANOVA: P (g) versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.777 R-Sq = 23.5% R-Sq(adj) = 7.46% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.777 DUNCAN A 3 B 2 B Plots for P (g) Plots for P(gr) 99 Normal Probability Plot of the s 4 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Frequency Histogram of the s s Versus the Order of the Data Observation Order

142 22 Bobot kulit kokon (Q) NYATA One-way ANOVA: Q (g) versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.624 R-Sq = 2.3% R-Sq(adj) = 4.4% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.624 DUNCAN A 3 B 2 B Plots for Q (g) Plots for Q(gr) Normal Probability Plot of the s 99 2 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value.6.8. Histogram of the s 2 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

143 23 Persentase bobot kulit kokon thdp bobot kokon segar (R) TIDAK NYATA One-way ANOVA: R (%) versus perlakuan - Transformasi akar kuadrat Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.937 R-Sq = 7.22% R-Sq(adj) =.34% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev = 8.37 DUNCAN A 3 A 2 A Plots for R (%) Plots for Trans R Normal Probability Plot of the s 99 3 s Versus the Fitted Values 9 2 Percent Fitted Value 4.2. Histogram of the s s Versus the Order of the Data 3 Frequency Observation Order

144 24 Lampiran 29 Uji Anova kualitas filamen A. atlas TIDAK NYATA Bobot filamen (S) One-way ANOVA: S (g) versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.955 R-Sq = 3.7% R-Sq(adj) =.% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev =.955 DUNCAN A 3 A 2 A Plots for S (g) Plots for S(g) 99 Normal Probability Plot of the s.4 s Versus the Fitted Values 9.2 Percent Fitted Value Histogram of the s.4 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

145 25 Panjang filamen (T) NYATA One-way ANOVA: T (m) versus perlakuan - dilakukan transformasi akar kuadrat Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S =.26 R-Sq = 52.25% R-Sq(adj) = 48.72% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev = 8.9 DUNCAN A 3 B 2 B Plots for T (m) Plots for Trans T5 Percent Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Fitted Value.6 8 Histogram of the s s Versus the Order of the Data.5 Frequency Observation Order 28 3

146 26 Daya urai kokon (U) NYATA One-way ANOVA: U versus perlakuan Source DF SS MS F P perlakuan Error Total S = 2.5 R-Sq = 33.24% R-Sq(adj) = 28.29% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ( * ) ( * ) ( * ) Pooled StDev = 2.5 DUNCAN A 3 A 2 B Plots for U Plots for U Normal Probability Plot of the s 99 6 s Versus the Fitted Values 9 4 Percent Fitted Value 4 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

147 27 Lampiran 3 Kisaran suhu dan kelembaban ruangan laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB (Tahun 27) Suhu ( ºC ) Kelembaban ( % ) Bulan Maksimum Minimum Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan. Mei - Pagi ± ± ,±2,4 - Siang ± ± ,7±5,69 - Sore ± ± ,29±5,62 2. Juni - Pagi - Siang - Sore 3. Juli - Pagi - Siang - Sore 4. Agustus - Pagi - Siang - Sore 5. September - Pagi - Siang - Sore ± ± ± ± ± ± ±. 28.±. 28.±. 28.±. 28.±. 28.± ± ± ± ± ± ± ±. 25.±. 25.±. 25.±. 25.±. 25.±. Ket: Pagi jam 7. WIB; Siang jam 3. WIB; Sore jam 7. WIB. Lampiran 3 Alat-alat dalam penelitian A. Kandang ngengat ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±2. Ket: terbuat dari kain kasa sebagai tempat kopulasi ngengatdewasa.

148 28 B. Cawan petri Ket: untuk pemeliharaan ulat kecil (instar -3) C. Toples gelas Ket: untuk pemeliharaan ulat besar (instar 4-6) dan pengokonan.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Filamen Sutera Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus Atlas) Ulat sutera liar Attacus atlas adalah serangga yang memiliki ukuran tubuh besar dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

Parameter yang Diamati:

Parameter yang Diamati: 3 Selanjutnya, telur dikumpulkan setiap hari dalam satu cawan petri kecil yang berbeda untuk setiap induk betina fertil. Oviposisi dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir bertelur.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei 10 Persentase Filamen Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2.

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus BAB VII PEMBAHASAN UMUM 7. 1. Polyvoltin Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah serangga polyvoltin yaitu dapat hidup lebih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi A.atlas

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi A.atlas TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi A.atlas Ngengat A. atlas mempunyai ukuran tubuh yang besar dan merupakan hewan asli Indonesia. Imago aktif di malam hari (nokturnal). Tubuh ditutupi oleh sisik dan bersifat polivoltin.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas Ulat sutera liar Attacus atlas adalah salah satu serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia (Peigler, 1989). A. atlas memiliki tahapan metamorfosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sutera ditemukan di Cina sekitar 2700 sebelum Masehi dan teknologi budidayanya masih sangat dirahasiakan pada masa itu. Perkembangan dan persebarannya dimulai dari benua

Lebih terperinci

DOMESTIKASI ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas L.) DENGAN PAKAN DAUN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DAN SIRSAK (Annona muricata L.

DOMESTIKASI ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas L.) DENGAN PAKAN DAUN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DAN SIRSAK (Annona muricata L. DOMESTIKASI ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas L.) DENGAN PAKAN DAUN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DAN SIRSAK (Annona muricata L.) RIRI DESIANDA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) TINJAUAN PUSTAKA Sutera Sutera yang telah diolah menjadi bahan tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya keistimewaan kain sutera antara

Lebih terperinci

PERFORMA ULAT SUTERA LIAR

PERFORMA ULAT SUTERA LIAR PERFORMA ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) INSTAR I-III DENGAN PEMBERIAN PAKAN DAUN SIRSAK (Annona muricata) DAUN NANGKA (Artocarpus heterophyllus) DAN DAUN KENARI (Canarium cummune L.) SKRIPSI MEGA SULISTYANINGRUM

Lebih terperinci

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2012 Vol. 14 (1) ISSN 1907-1760 Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory Y.C.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan

Lebih terperinci

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN SKRIPSI FITRI KARTIKA SARI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN LARVA DAN PRODUKTIVITAS KOKON Attacus atlas L. PADA JENIS PAKAN DAN KEPADATAN YANG BERBEDA SEPTI DEWI

PERTUMBUHAN LARVA DAN PRODUKTIVITAS KOKON Attacus atlas L. PADA JENIS PAKAN DAN KEPADATAN YANG BERBEDA SEPTI DEWI PERTUMBUHAN LARVA DAN PRODUKTIVITAS KOKON Attacus atlas L. PADA JENIS PAKAN DAN KEPADATAN YANG BERBEDA SEPTI DEWI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut : 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : Insekta :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB SKRIPSI NUNIEK SETIORINI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus

HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus Langkah awal yang harus dilakukan pada penangkaran kupu-kupu adalah penyiapan sarana pemeliharaan dari stadia telur sampai imago. Bahan, alat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat pemakan daun kelapa sawit yang terdiri dari ulat api, ulat kantung, ulat bulu merupakan hama yang paling sering menyerang kelapa sawit. Untuk beberapa daerah tertentu, ulat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA 2 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai bakteri yang bersifat sebagai flora normal atau berperan sebagai patogen yang terdapat pada saluran reproduksi imago betina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN SKRIPSI RADEN RUVITA DESIANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata

PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Tahapan hidup C. trifenestrata terdiri dari telur, larva, pupa, dan imago. Telur yang fertil akan menetas setelah hari kedelapan, sedang larva terdiri dari lima

Lebih terperinci

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2011 Vol. 13 (3) ISSN 1907-1760 Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta The Characteristics of Fresh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Tanaman Jagung berikut : Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun, TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Kantong (Metisa plana) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat Kantong (M. plana) merupakan salah satu hama pada perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Hama ini biasanya memakan bagian atas daun, sehingga

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kupu-kupu merupakan satwa liar yang menarik untuk diamati karena keindahan warna dan bentuk sayapnya. Sebagai serangga, kelangsungan hidup kupu-kupu sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996) TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Penyebaran Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata) Ulat sutera emas C. trifenestrata merupakan salah satu jenis ngengat nokturnal (aktif pada malam hari). C. trifenestrata diklasifikasikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur TINJAUAN PUSTAKA 1. Penggerek Batang Tebu Raksasa Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi penggerek batang tebu raksasa adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tanaman perkebunan yang sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik. Namun, untuk menghasilkan pertumbuhan yang sehat

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tembakau adalah: Menurut Murdiyanti dan Sembiring (2004) klasifikasi tanaman tembakau Kingdom Divisi Sub divisi Class Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep) HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek

Lebih terperinci

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM TIM SUTERA BALITBANGHUT KEBUTUHAN SUTERA ALAM NASIONAL BENANG SUTERA 900 TON/THN RENDEMEN 1:8 KOKON 7.200 TON/THN KONDISI 2012 PRODUKSI KOKON 163.119 TON PRODUKSI BENANG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum TINJAUAN PUSTAKA Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ulat kantong Mahasena Corbetti :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ulat kantong Mahasena Corbetti : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Ulat Kantong Klasifikasi ulat kantong Mahasena Corbetti : Kingdom : Animalia Subkingdom : Bilateria Phylum Subphylum Class Subclass Ordo Family Genus Species

Lebih terperinci

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Oleh : Umiati, SP dan Irfan Chammami,SP Gambaran Umum Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman perkebunan industry berupa pohon batang lurus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran TINJAUAN PUSTAKA Ulat kantong Metisa plana Walker Biologi Hama Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai berikut: Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Species : Animalia

Lebih terperinci

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TIM SUTERA BALITBANGHUT PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR 1 FAKTOR KEBERHASILAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI. Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya

PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI. Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi karena berbagai manfaat yang terdapat di dalam kubis. Kubis dikenal sebagai sumber vitamin A, B, dan

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian Hayati Di beberapa perkebunan kelapa sawit masalah UPDKS khususnya ulat kantong M. plana diatasi dengan menggunakan bahan kimia sintetik yang mampu menurunkan populasi hama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hama Symphilid Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, berwarna putih dan pergerakannya cepat. Dalam siklus hidupnya, symphylid bertelur dan telurnya

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu kupu adalah kelompok serangga yang termasuk ke dalam bangsa Lepidotera, yang berarti mempunyai sayap bersisik. Kupu-kupu merupakan bagian kecil dari 155.000 spesies

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging, I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Ras Pedaging Menurut Indro (2004), ayam ras pedaging merupakan hasil rekayasa genetik dihasilkan dengan cara menyilangkan sanak saudara. Kebanyakan induknya diambil dari Amerika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Dephut, 1998): Kingdom : Plantae Divisio : Spematophyta

Lebih terperinci

PENGARUH PAKAN DAN BAHAN PELURUH SERISIN TERHADAP FILAMEN TERURAI KOKON ULAT SUTERA EMAS Cricula trifenestrata Helf. TERRY M.

PENGARUH PAKAN DAN BAHAN PELURUH SERISIN TERHADAP FILAMEN TERURAI KOKON ULAT SUTERA EMAS Cricula trifenestrata Helf. TERRY M. PENGARUH PAKAN DAN BAHAN PELURUH SERISIN TERHADAP FILAMEN TERURAI KOKON ULAT SUTERA EMAS Cricula trifenestrata Helf. TERRY M. FRANS Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Caisim (Brassica juncea L.) Caisim merupakan jenis sayuran yang digemari setelah bayam dan kangkung (Haryanto dkk, 2003). Tanaman caisim termasuk dalam famili Cruciferae

Lebih terperinci

Pengorok Daun Manggis

Pengorok Daun Manggis Pengorok Daun Manggis Manggis (Garcinia mangostana Linn.) merupakan tanaman buah berpotensi ekspor yang termasuk famili Guttiferae. Tanaman manggis biasanya ditanam oleh masyarakat Indonesia di pertanaman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Jenis jenis Hama Pada Caisim Hasil pengamatan jenis hama pada semua perlakuan yang diamati diperoleh jenis - jenis hama yang sebagai berikut : 1. Belalang hijau Phylum :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Persuteraan Alam Budi daya ulat sutera jenis Bombyx mori (Lepidoptera, Bombycidae) sudah dikembangkan di negara China sejak 2500 tahun SM, yakni pada era Dinasti Han.

Lebih terperinci