BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygion yang berarti wing

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygion yang berarti wing"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pterigium Definisi dan Epidemiologi Istilah pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygion yang berarti wing atau sayap. Pterigium merupakan proliferasi jaringan fibrovaskular pada konjungtiva bulbi berbentuk segitiga atau menyerupai sayap yang dapat menginvasi kornea superfisial (American Academy of Ophthalmology and Staff, a). Kejadian pterigium tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi meningkat pada daerah ekuator antara 0,7% sampai 31% tergantung pada populasi dan tempat tinggal (Varssano, et al., 2002). Penduduk daerah tropis seperti Indonesia dengan paparan sinar matahari tinggi memiliki resiko pterigium lebih besar daripada penduduk non tropis. Hasil survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mendapatkan prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata sebesar 3,2% dan prevalensi pterigium satu mata sebesar 1,9%. Prevalensi pterigium kedua mata tertinggi di Provinsi Sumatera Barat yaitu sebesar 9,4% dan prevalensi pterigium satu mata tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 4,1%. Prevalensi pterigium satu mata di Bali didapatkan sebesar 2,2% dan pterigium kedua mata didapatkan sebesar 4,4% (Erry, et al., 2011). Prevalensi pterigium meningkat pada dekade ke-2 dan ke-3 kehidupan (Gazzard, et al., 2002). Prevalensi pterigium pada usia >40 tahun sebesar 16,8%. Laki-laki beresiko 4x

2 2 lebih besar daripada perempuan. Lokasi pterigium lebih sering ditemukan pada konjungtiva bulbi nasal daripada temporal (Varssano, et al., 2002) Patogenesis Patogenesis terjadinya pterigium belum diketahui dengan jelas. Beberapa penelitian menunjukkan korelasi pterigium dengan paparan sinar UV, inflamasi, paparan angin, debu dan iritasi kronis lainnya (American Academy of Ophthalmology and Staff, a). Pterigium ditemukan lebih sering terjadi pada daerah dengan paparan tinggi sinar UV khususnya pada ekuator. Selain itu, pterigium juga banyak ditemukan pada pekerja aktif diluar ruangan (Edward, et al., 2002). Teori lain yang menjelaskan terjadinya pterigium adalah abnormalitas lapisan air mata, iritasi kronis okular, inflamasi kronis dengan produksi faktor angiogenesis, mekanisme imunologik, faktor herediter, pembentukan jaringan elastis serta infeksi okular oleh virus Human Papilloma. Hampir setengah kasus pterigium menunjukkan ekspresi abnormal p53 tumor supresor gen, yaitu suatu marker neoplasia yang bertanggung jawab pada siklus sel, diferensiasi sel dan proses apoptosis (Rahman, et al., 2012; Bandyopadhyay, et al., 2010). Lapisan dan fungsi air mata yang abnormal pada pterigium merupakan faktor resiko perkembangan pterigium walaupun ada penelitian menunjukkan fungsi air mata tetap normal pada pterigium. Lapisan air mata adalah mekanisme pertahanan pertama akibat trauma lingkungan seperti paparan UV, debu, angin atau iritan lain. Beberapa penulis menemukan sebaliknya, bahwa adanya patologi

3 3 konjungtiva atau kornea seperti pterigium yang akan mengakibatkan gangguan fungsi air mata (Li, et al., 2007; XingMing, et al., 2012) Histopatologi Permukaan okular baik kornea dan konjungtiva normal terdiri dari 2-5 lapis sel epitel nonkeratinizing stratified, khususnya di konjungtiva disertai sel goblet yang berfungsi menghasilkan musin sebagai salah satu komponen lapisan air mata. Pterigium merupakan suatu gangguan degeneratif kronis yang terlihat pada gambaran histopatologi yaitu degenerasi elastosis pada stroma, jaringan fibrovaskular subepitel dan pembuluh darah tampak prominen. Epitel konjungtiva menunjukkan metaplasia skuamus ringan, penurunan jumlah sel goblet dan keratinisasi pada permukaannya (Chan, et al., 2002; Nam, et al., 1991). Histopatologi pterigium dikemukakan oleh Fuchs tahun 1890 yaitu terjadi peningkatan jumlah dan penebalan serat elastis, degenerasi hialin jaringan konjungtiva dan perubahan struktur epitel (Džunić, et al., 2010). Laporan lain menyatakan histopatologi pterigium berupa hialinisasi jaringan konektif subepitel substansia propia, timbunan material granular eosinofilik difus atau lobular yang berhubungan dengan peningkatan jumlah fibroblas atau sel lainnya, peningkatan dan penebalan jumlah serat elastis, concretion pada area granular dan hialinisasi yang menunjukkan sel eosinofil dan basofil. Material elastosis pada pterigium terbentuk dari degenerasi kolagen, pre-existing serat elastis dan aktivitas fibroblas yang abnormal. Perubahan histopatologi lain yang teridentifikasi pada epitel jaringan pterigium yaitu metaplasia sel skuamus, akantosis, diskeratosis,

4 4 penurunan kepadatan sel goblet (Chavda, et al., 2014; Doughty, et al., 2012; Kunert, et al., 2002). Pemeriksaan sitologi impresi pasien pterigium didapatkan terjadi metaplasia sel epitel skuamus konjungtiva yang signifikan. Hal tersebut menggambarkan transisi patologis epitel konjungtiva berupa peningkatan jumlah sel epitel stratified bersamaan dengan penurunan jumlah sel goblet. Sel epitel mengalami perubahan yaitu ukuran sel membesar, mendatar, piknosis pada nukleus dan perubahan rasio nukleus:sitoplasma (Chui, et al., 2011) Gambaran Klinis Pterigium umumnya berbentuk segitiga dengan bagian cap, head dan body. Cap terletak pada bagian tepi pterigium disusun oleh gray subepithelial corneal opacity yang disebut daerah abu-abu. Abnormalitas kronis pengumpulan air mata di bagian kepala (cap), menyebabkan terjadinya pengumpulan hemosiderin dari air mata sehingga terbentuk corneal epithelial iron line (stocker line). Bagian head pterigium adalah peninggian massa yang melekat kuat pada jaringan episklera di bawahnya. Bagian body pterigium merupakan jaringan fibrovaskular yang dibatasi oleh lipatan konjungtiva normal (Tradjutrisno, 2009; Edward, et al., 2002). Tipe pterigium dibagi menjadi tipe progresif dan regresif. Pterigium tipe progresif memiliki karakteristik tebal dengan vaskularisasi dan jaringan fibrovaskular yang banyak. Sedangkan tipe regresif memiliki karakteristik jaringan fibrovaskular atropi dengan sedikit pembuluh darah (Khurana, 2007).

5 5 Berdasarkan tampak atau tidaknya pembuluh darah episklera melalui pemeriksaan slit lamp biomikroskopi, derajat vaskularisasi pterigium dibagi menjadi 3. Gradasi 1 (atrophy) bila pembuluh darah episklera masih tampak jelas di bawah jaringan pterigium. Gradasi 2 (intermediate) bila pembuluh darah episklera tampak kurang jelas di bawah jaringan pterigium. Gradasi 3 (fleshy) bila pembuluh darah episklera tidak tampak di bawah jaringan pterigium (Tan, et al., 1997). Pterigium menimbulkan keluhan sensasi benda asing, rasa perih, berair akibat iritasi kronis dan reaksi inflamasi aktif dari pterigium. Keluhan penurunan visus sekunder terjadi akibat pertumbuhan pterigium menutupi aksis visual dan akibat astigmatisma kornea iregular (Jabbarvand, et al., 2007). Pterigium primer adalah pterigium yang belum dilakukan tindakan bedah eksisi. Gambaran klinis pterigium diklasifikasikan menjadi 4 gradasi berdasarkan perluasan ke kornea menurut klasifikasi Youngson. Gradasi 1 bila pertumbuhan pterigium terbatas pada limbus kornea. Gradasi 2 bila pertumbuhan pterigium melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Gradasi 3 bila pertumbuhan pterigium melebihi gradasi 2 tetapi tidak melewati tepi pupil dalam keadaan cahaya normal. Gradasi 4 bila pertumbuhan pterigium melewati tepi pupil dalam keadaan cahaya normal (Francisco J, 2010) Penatalaksanaan Penatalaksanaan pterigium secara umum adalah konservatif dan tindakan bedah. Konservatif dikerjakan pada pterigium ringan atau tanpa keluhan dengan menggunakan obat tetes mata lubrikasi atau steroid. Ada 5 indikasi dilakukan

6 6 tindakan bedah eksisi yaitu: (1) penurunan visus akibat pterigium menutupi aksis visual atau akibat pterigium menginduksi astigmat ireguler kornea; (2) deformitas bermakna secara kosmetik; (3) rasa tidak nyaman dan iritasi yang tidak membaik dengan terapi konservatif; (4) gerak bola mata terbatas akibat restriksi dan (5) terjadi pertumbuhan pterigium secara progresif ke arah aksis visual yang memungkinkan terjadinya penurunan visus (Bradley, et al., 2010). Tujuan bedah eksisi pterigium adalah untuk mendapatkan permukaan okular yang normal secara topografi. Pilihan tekniknya dengan bare sclera, simple closure, sliding flap, flap rotasional, conjunctival limbal graft, transplantasi membran amnion, keratoplasti lamelar atau penggunaan antimetabolit yang bertujuan mengurangi angka kekambuhan (Markovska, et al., 2011; Xiaoli, et al., 2010). Conjunctival limbal graft diperkenalkan oleh Kenyon et al pada tahun Graft diambil dari konjungtiva bulbi superior pada mata yang sama untuk menutup area bare sclera. Konjungtiva bulbi superior umumnya memiliki resiko paparan iritasi kronis paling kecil sehingga dipilih sebagai graft. Angka kekambuhan dilaporkan 5,3% pada 57 pasien (41 pterigium rekuren, 16 pterigium primer) dengan rerata follow up 24 bulan. Teknik transplantasi konjungtiva-limbus autograft yang sering digunakan adalah teknik jahitan dengan vicryl 8.0 atau dengan nylon 10.0 (Jha, 2008). Graft konjungtiva dapat menimbulkan komplikasi minor seperti edema graft, dellen korneosklera. Komplikasi berat berupa astigmat kornea, hematoma, granuloma kapsul tenon, nekrosis graft dan disinsersi muskulus ekstraokular. Kekurangan teknik ini berupa

7 7 waktu operasi relatif lebih lama dan rasa tidak nyaman setelah tindakan ( Abdalla, 2010; Seid, et al., 2000; Singh, et al., 2009). Prosedur conjunctival limbal graft adalah sebagai berikut. Pertama dilakukan eksisi pterigium seperti pada teknik bare sclera. Bola mata diposisikan lirik ke bawah sehingga terlihat konjungtiva bulbi superior. Blunt scissor Wescott digunakan untuk insisi konjungtiva bulbi superior, undermind dengan diseksi tumpul dan sisakan kapsul tenon. Donor graft dibuat setipis mungkin sehingga terjadi sedikit pengerutan pada saat penyembuhan. Konjungtiva donor dibiarkan terbuka. Pegang graft dengan forceps tumpul, tempatkan pada area resipien, jahit dengan vicryl 8.0 atau nylon Berikan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid selama 4-6 minggu untuk mengatasi inflamasi (Hirst, 2003; Massaoutis, et al., 2006). Gambar 2.1 Eksisi pterigium dengan conjunctival limbal graft (Singh, et al., 2009)

8 8 2.1 Air Mata Lapisan Air Mata Air mata berfungsi melindungi permukaan bola mata, menjaga tajam penglihatan, menyediakan nutrisi dan oksigen untuk kornea. Air mata terdiri dari tiga lapisan yaitu lipid, aqueous dan musin. Lipid merupakan lapisan superfisial dengan ketebalan sekitar 0,1-0,2 µm. Lapisan aqueous di bagian tengah dengan tebal 7-8 µm dan lapisan musin di bagian basal dengan tebal 1 µm. Lapisan lipid dihasilkan oleh kelenjar meibom yang berfungsi mencegah penguapan air mata dan mempertahankan stabilitas air mata. Lapisan aqueous dihasilkan oleh kelenjar lakrimal utama dan tambahan. Lapisan musin kaya akan glikoprotein kontak dengan permukaan epitel kornea. Musin diproduksi oleh sel goblet konjungtiva sebagai sumber utama dan kripte Henle di daerah forniks sebagai sumber tambahan. Musin penting untuk mempertahankan keseimbangan lapisan air mata prekornea. Setiap perubahan jumlah dan kualitas musin air mata dapat menyebabkan ketidakstabilan air mata yang dapat menimbulkan penyakit (Oh, et al., 2006; Rajiv, et al., 1991; Shintya, et al., 2010). Berbagai metoda pemeriksaan dry eye sindrom seperti tear break up time (TBUT), Schirmer s atau Ferning menunjukkan fungsi air mata. TBUT merupakan tes sederhana untuk menentukan kestabilan air mata dan menunjukkan jumlah serta kualitas normal musin. Penurunan TBUT juga ditemukan pada defisiensi lipid dan dry eye tipe aquoeus tear defisiensi. Ferning digunakan untuk menilai lapisan musin air mata secara kualitatif dengan menilai bentuk kristaloid

9 9 dan reaksi biokimiawi antara elektrolit dan glikoprotein dengan berat molekul yang besar. Perbedaan hasil TBUT yang bermakna dilaporkan terjadi pada orang normal dibandingkan mata dengan pterigium. Hal ini menunjukkan terjadi abnormalitas fungsi air mata pada mata dengan pterigium dan berhubungan dengan defisiensi musin (Hong, et al., 2010; Rajiv, et al., 1991; Shintya, et al., 2010). Kornea yang kering pada bagian depan dari kaput pterigium berperan merangsang pembentukan jaringan pterigium akibat perubahan kualitas dan kuantitas air mata. Suatu penelitian pterigium primer di Makasar mendapatkan terjadi abnormalitas lapisan musin air mata (hasil BUT yang singkat dan gradasi Ferning lebih tinggi) serta gradasi sitologi impresi lebih berat pada mata dengan pterigium dibandingkan mata normal (Shintya, et al., 2010). Proliferasi fibroblas pada epitel konjungtiva pterigium menyebabkan abnormalitas struktur dan sekresi sel goblet sehingga terjadi penurunan lapisan musin pada pterigium. Perubahan pola musin menginduksi pembentukan pterigium atau merupakan gambaran patologis sel-sel yang melapisi permukaan okular. Pemeriksaan Schirmer s tidak bisa digunakan untuk memprediksi perubahan morfologi konjungtiva walaupun Sood et al menemukan adanya korelasi kuat antara hasil Schirmer s dengan hasil sitologi impresi konjungtiva (Kumar, et al., 2014; Rahman, et al., 2012) Sel Goblet Sel goblet merupakan sel epitel kolumnar dengan sitoplasma jernih akibat sintesa dan akumulasi substansi glikosaminoglikan, terlihat cup atau dilatasi polus apikal yang tampak pada pewarnaan klasik. Sekitar 75% pasien yang epitelnya

10 10 teridentifikasi sebagai sel goblet ditemukan baik terisolir atau berkumpul membentuk intraepitel gland. Pewarnaan Periodic Acid Stiff (PAS)- Hematoxyllin Eosin (HE) memberi warna spesifik pada sel ini. Sel goblet hanya ditemukan secara normal pada epitel konjungtiva yang berfungsi menghasilkan musin. Perubahan fenotif sel, dari tipe sel keratinous menjadi sekreto musin terjadi progresif seperti yang tampak pada epitel sel kolumnar mengandung sedikit sekresi musin dengan PAS positif pada polus apikal. Peningkatan sekresi musin tanpa ekskresi menimbulkan ekspansi dari polus apikal sel sehingga terbentuk cup of champagne atau kalsiformi sel goblet (Anshu, et al., 2001; Golu, et al., 2011; Vujković, et al., 2002). A B Gambar 2.2 Sel goblet pada konjungtiva. (A) Sel goblet tersebar difus dan (B) sel goblet berkelompok membentuk intraepithelial gland (Golu, et al., 2011) Gangguan proliferasi dan diferensiasi sel goblet menyebabkan aglutinasi membentuk intraepithelial gland atau terjadi hiperplastik dan hipertropi menyerupai gland Henle. Morfologi ini diyakini sebagai hasil etiopatogenesis paparan iritan langsung khususnya partikel debu udara. Penulis lain meyakini hiperplasia sel goblet adalah respon stereotipikal dari mukosa konjungtiva tehadap

11 11 polusi udara. Lebih dari dua pertiga pasien pterigium memiliki sel goblet, baik tersebar difus atau berkelompok membentuk intraepitel gland. Jaringan kelenjar musin Henle juga menunjukkan positif pada pewarnaan PAS seperti sel goblet (Golu, et al., 2011; Shatos, et al., 2003). Kepadatan sel goblet pada konjungtiva bulbi normal ditemukan tidak berbeda secara signifikan pada tiap lokasi baik pada area konjungtiva bulbi nasal, temporal, superior dan inferior (Kim, et al., 1992). Kepadatan sel goblet sesuai dengan gradasi Nelson pada konjungtiva normal atau gradasi 0 yaitu >500 sel/mm 2 ; gradasi 1 yaitu sel/mm 2 ; gradasi 2 yaitu sel/mm 2 ; gradasi 3 yaitu <100 sel/mm 2 atau tidak tampak sel goblet. Namun penelitian lain menyatakan bahwa jumlah sel goblet sel/mm 2 masih dalam batas normal. Perbedaan kepadatan sel goblet pada kedalaman konjungtiva bulbi belum pernah dilaporkan. Pengaruh usia pada kepadatan sel goblet ditemukan tidak bermakna namun dikatakan masih perlu analisis lebih lanjut (Doughty, 2012; Gaton, et al., 2006). Populasi sel goblet menunjukkan derajat diferensiasi atau maturasi epitel konjungtiva yang menggambarkan kesehatan permukaan okular. Segala bentuk perubahan patologi pada konjungtiva bulbi berhubungan dengan penurunan kepadatan sel goblet kecuali bila terjadi hiperplasia sel goblet (Doughty, 2012). Penelitian pada 3 kelompok dry eye, yaitu kelompok simple dry eye, dry eye sindrom sjogren, dry eye connective tissue disease, menemukan tidak ada perbedaan signifikan pada jumlah musin dan kepadatan sel goblet (Haller- Schober, et al., 2006). Penelitian lain menemukan adanya perbedaan signifikan

12 12 yaitu rerata kepadatan sel goblet pada kasus dry eye sebesar 490±213 sel/mm 2 dibandingkan kelompok kontrol normal sebesar 1462±661 sel/mm 2 dengan nilai kepadatan sel goblet normal >500 sel/mm 2. Kepadatan sel goblet ditemukan menurun secara signifikan pada kasus dry eye. Selain itu didapatkan juga perbedaan jumlah sel goblet pada konjungtiva yang terpapar yaitu 427±376 sel/mm 2 dibandingkan pada konjungtiva yang tidak terpapar sebesar 973±789 sel/mm 2 (Kumar, et al., 2014). Suatu penelitian pada 70 kasus pterigium primer ditemukan rerata kepadatan sel goblet sebelum tindakan eksisi pterigium metoda bare sclera sebesar 41,82 ±18,29/10 lapang pandang. Rerata kepadatan sel goblet meningkat secara signifikan pada 1 bulan setelah bare sclera (t=6,37, p<0,001, paired samples t-test) menjadi 50,67±18,71/10 lapang pandang. Peningkatan kepadatan sel goblet ini diyakini meningkatkan sekresi musin setelah tindakan bare sclera (Li, et al., 2007). Penelitian lain pada 74 pasien pterigium primer ditemukan insiden dry eye menurun secara signifikan setelah eksisi pterigium, yaitu sebesar 8,3% pasien mengalami dry eye pada 3 bulan setelah eksisi dibandingkan sebelum eksisi yaitu sebesar 33,3% (Shintya, et al., 2010) Sitologi Impresi Sitologi impresi konjungtiva adalah metoda pemeriksaan sitologi konjungtiva dengan mengambil 1-3 lapis sel epitel permukaan. Teknik ini relatif mudah dikerjakan, invasif minimal, memberikan informasi sel pada area yang diperiksa,

13 13 kenyamanan pasien tidak terganggu walaupun cara ini bukan pemeriksaan first line pada dry eye (Kumar, et al., 2014). Sitologi impresi konjungtiva diperkenalkan oleh Egbert et al tahun 1977, menggunakan aplikasi kertas filter selulosa asetat atau filter nitroselulosa pada permukaan konjungtiva untuk mengangkat lapisan superfisial epitel konjungtiva. Hasil pemeriksaan dapat digradasikan sesuai gradasi Nelson atau gradasi Adam. Sitologi impresi dapat menunjukkan morfologi konjungtiva dibandingkan dengan cara smear yang dapat merusak susunan sel. Dasar dari sitologi konjungtiva adalah abnormalitas sel epitel skuamus dan sel goblet. Penilaian dilakukan pada perubahan morfologi sel epitel, rasio nukleus:sitoplasma (N:C) dan kepadatan sel goblet. Pada gradasi Nelson, dikatakan gradasi 0 (normal) bila sel epitel berukuran kecil dan bulat, rasio N:C sebesar 1:2, jumlah sel goblet banyak dan bila diwarnai dengan PAS menunjukkan positif yang baik. Gradasi 1 (slight abnormal) bila sel epitel sedikit memanjang dan poligonal, nukleus kecil dengan rasio N:C sebesar 1:3, jumlah sel goblet mulai berkurang. Gradasi 2 (abnormal) bila sel epitel memanjang dan poligonal dengan rasio N:C sebesar 1:4-1:5, sel goblet sedikit. Gradasi 3 (signifikan abnormal) bila sel epitel besar dan poligonal, nukleus kecil dan piknosis dengan rasio N:C sebesar 1:6, tidak dijumpai sel goblet. (Nelson, et al., 1984; Shrestha, et al., 2011). Sitologi impresi menggunakan kertas filter nitroselulosa berukuran pori 0,22 µm. Pasien ditetesi anestesi topikal pantocain 0,5%, tunggu hingga rasa perih hilang. Letakkan kertas filter di permukaan konjungtiva bulbi, fiksasi salah satu ujung dengan pinset konjungtiva dan tekan secara perlahan. Air mata diabsorpsi

14 14 dengan cotton bud atau gaas sebelum kertas filter dilepas. Lepaskan kertas filter dan pindahkan spesimen di atas gelas obyek. Fiksasi dengan alkohol 95% kemudian diwarnai. Pewarnaan bisa dengan Periodic Acid Schiff (PAS), Papaniculaou atau Haematoxylin-Eosin, diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 400x. Rata-rata kepadatan sel goblet dapat dihitung dari total jumlah sel goblet pada 10 lapang pandang kemudian dihitung reratanya atau jumlah sel total per 4 lapang pandang besar (Gillan, 2008; Li, et al., 2007). Gambar 2.3 Sel goblet (panah merah) pada sitologi impresi dengan pewarnaan PAS (Hong, et al., 2009) Hasil pemeriksaan sitologi impresi konjungtiva bulbi pada suatu penelitian terhadap 36 kasus pterigium primer ditemukan bahwa gradasi metaplasia skuamus lebih tinggi (gradasi 1-2) pada kelompok kasus daripada kelompok kontrol mata tanpa pterigium. Pada penelitian tersebut, fungsi air mata secara klinis dinilai dengan pemeriksaan BUT menunjukkan hasil abnormal sehingga disimpulkan bahwa gradasi sitologi impresi berkorelasi dengan fungsi air mata pada pasien pterigium primer (Rajiv, et al., 1991). Hasil sitologi impresi konjungtiva bulbi yang abnormal juga ditemukan pada suatu penelitian di Makasar tahun Dari 34 mata pterigium primer didapatkan gradasi 2 sebesar 32,4% dan gradasi 3

15 15 sebesar 67,6% dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu 34 mata tanpa pterigium didapatkan gradasi 0 sebesar 58,8% dan gradasi 1 sebesar 41,2% (Shintya, et al., 2010). Pterigium setelah dilakukan bedah eksisi dinyatakan sembuh secara histologi terlihat dari rasio normal nukleus:sitoplasma yaitu 1:1, kepadatan sel goblet normal, ukuran sel dan nukleus normal. Penelitian pada 60 mata pterigium primer menyatakan durasi penyembuhan epitel secara sitologi pada pasien pterigium pasca eksisi metoda conjunctival limbal graft yaitu 40 hari. Penyembuhan epitel secara sitologi pasca graft amnion yaitu 6 bulan dan pasca eksisi + MMC topikal yaitu 10 bulan (Salman, et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. pasien datang berobat ke dokter mata. Penyebab mata berair adalah gangguan

BAB I PENDAHULUAN. pasien datang berobat ke dokter mata. Penyebab mata berair adalah gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata berair merupakan salah satu gejala yang banyak dikeluhkan dan membuat pasien datang berobat ke dokter mata. Penyebab mata berair adalah gangguan stabilitas lapisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang

BAB I PENDAHULUAN. fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pterigium merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan pertumbuhan jaringan fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang menginvasi bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterygium tumbuh

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterygium tumbuh BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 KERANGKA TEORI 2.1.1 Definisi Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling efisien dan ekonomis untuk negara-negara berkembang seperti

BAB I PENDAHULUAN. yang paling efisien dan ekonomis untuk negara-negara berkembang seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Small Incision Cataract Surgery (SICS) merupakan teknik operasi katarak yang paling efisien dan ekonomis untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Insisi di

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pesatnya Perkembangan teknologi dan industri sejalan dengan meningkatnya

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pesatnya Perkembangan teknologi dan industri sejalan dengan meningkatnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya Perkembangan teknologi dan industri sejalan dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia. Pencemaran merupakan dampak yang tidak diharapkan dari pesatnya perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun medial dan pertumbuhannya mengarah ke kornea (Tan, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun medial dan pertumbuhannya mengarah ke kornea (Tan, 2002). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pterygium merupakan penyakit pada permukaan mata yang merupakan pertumbuhan berbentuk segitiga terdiri atas epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki efek yang kuat dalam menurunkan tekanan intraokular (TIO)

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki efek yang kuat dalam menurunkan tekanan intraokular (TIO) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latanoprost merupakan salah satu obat anti glaukoma terkait prostaglandin yang memiliki efek yang kuat dalam menurunkan tekanan intraokular (TIO) dengan meningkatkan

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN. : Pasien, Keluarga Pasien, Petugas/Pengunjung di Poli Mata RSUD Dr.Saiful Anwar-Malang

SATUAN ACARA PENYULUHAN. : Pasien, Keluarga Pasien, Petugas/Pengunjung di Poli Mata RSUD Dr.Saiful Anwar-Malang SATUAN ACARA PENYULUHAN Materi Penyuluhan Sasaran Tempat : Pterygium : Pasien, Keluarga Pasien, Petugas/Pengunjung di Poli Mata RSUD Dr.Saiful Anwar-Malang : Di Poliklinik Mata RSUD. Dr.Saiful Anwar Hari/Tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang bersih adalah kebutuhan dasar bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Namun, polusi udara masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan di seluruh dunia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Mata 2.1.1 Bola Mata Bola mata orang dewasa normal hampir mendekati bulat, dengan diameter anteroposterior sekitar 24,5 mm. 2.1.2 Konjungtiva Konjungtiva adalah membran

Lebih terperinci

Membran amnion terdiri dari satu lapisan sel epitel kuboid, membran basement tebal dan stroma matriks avascular, longgar melekat pada korion.

Membran amnion terdiri dari satu lapisan sel epitel kuboid, membran basement tebal dan stroma matriks avascular, longgar melekat pada korion. Transplantasi membran amnion dalam oftalmologi Membran amnion, amnion atau, terdiri dari lapisan paling dalam dari plasenta. Transplantasi membran amnion (AMT) telah digunakan dalam berbagai jenis surgery1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata Kering (MK) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan mata untuk mempertahankan jumlah air mata yang cukup pada permukaan bola mata. MK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluhan rasa tidak nyaman pada mata merupakan keluhan yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Keluhan rasa tidak nyaman pada mata merupakan keluhan yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluhan rasa tidak nyaman pada mata merupakan keluhan yang paling sering dirasakan karena keluhan tersebut sering mengganggu aktivitas sehari-hari. Disfungsi Kelenjar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konjungtiva 2.1.1. Anatomi Konjungtiva Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)

Lebih terperinci

kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan

kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan FAKTOR.FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEKAMBUHAN PASIEN PTERIGIUM POST OPERASI DI RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA lda Farida', Syamsul Hidayatb Nataniel Tandirogang' "Program Studi Kedokteran Fakultas

Lebih terperinci

PERUBAHAN TEAR FILM SETELAH PEMBERIAN SERUM AUTOLOGUS TETES MATA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 TESIS

PERUBAHAN TEAR FILM SETELAH PEMBERIAN SERUM AUTOLOGUS TETES MATA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 TESIS PERUBAHAN TEAR FILM SETELAH PEMBERIAN SERUM AUTOLOGUS TETES MATA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Dokter Spesialis Mata Oleh : LINDA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker serviks adalah keganasan yang berasal dari epitel pada serviks terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar kanker serviks adalah epidermoid

Lebih terperinci

JOI Vol. 7. No. 4 Desember 2010

JOI Vol. 7. No. 4 Desember 2010 139 Jurnal Oftalmologi Indonesia JOI Vol. 7. No. 4 Desember 2010 The Profile of Tear Mucin Layer and Impression Cytology in Pterygium Patients Djajakusli Shintya, Rukiah Syawal, Junaedi Sirajuddin, Noor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air mata merupakan salah satu alat proteksi mata. atau daya pertahanan mata selain alis dan bulu mata.

BAB I PENDAHULUAN. Air mata merupakan salah satu alat proteksi mata. atau daya pertahanan mata selain alis dan bulu mata. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permasalahan Air mata merupakan salah satu alat proteksi mata atau daya pertahanan mata selain alis dan bulu mata. Agar mata terasa nyaman dan penglihatan baik, sel-sel

Lebih terperinci

PENGARUH INJEKSI ANTI-VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (ANTI-VEGF) TERHADAP GRADE TRANSLUSENSI DAN PANJANG PTERIGIUM PRIMER

PENGARUH INJEKSI ANTI-VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (ANTI-VEGF) TERHADAP GRADE TRANSLUSENSI DAN PANJANG PTERIGIUM PRIMER PENGARUH INJEKSI ANTI-VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (ANTI-VEGF) TERHADAP GRADE TRANSLUSENSI DAN PANJANG PTERIGIUM PRIMER Tesis Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sebagai Salah Satu

Lebih terperinci

BAB I IDENTITAS PASIEN

BAB I IDENTITAS PASIEN Universitas Muhammadiyah Jakarta BAB I IDENTITAS PASIEN I. IDENTITAS Nama : Ny. Tarsiah Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 77 tahun Pekerjaan : IRT Alamat : Cintajaya Lakbok No. RM : 218801 Tanggal Pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Mata 2.1.1. Ukuran & Lokasi: Setiap bola mata berbentuk spheroid irregular, dengan diameter sekitar 24mm dan berat sekitar 8g. Didalam orbit (rongga untuk mata pada

Lebih terperinci

TESIS PENINGKATAN KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA BULBI PADA PASIEN PASCA EKSISI PTERIGIUM PRIMER DENGAN CONJUNCTIVAL LIMBAL GRAFT

TESIS PENINGKATAN KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA BULBI PADA PASIEN PASCA EKSISI PTERIGIUM PRIMER DENGAN CONJUNCTIVAL LIMBAL GRAFT TESIS PENINGKATAN KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA BULBI PADA PASIEN PASCA EKSISI PTERIGIUM PRIMER DENGAN CONJUNCTIVAL LIMBAL GRAFT NYOMAN NOVITA RISMAWATI NIM 1114128102 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik numerik

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik numerik BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik numerik (kategorik-numerik) tidak berpasangan dengan pendekatan cross sectional yang pengamatannya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tidak berpasangan dengan pendekatan cross sectional yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tidak berpasangan dengan pendekatan cross sectional yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini merupakan observasional analitik numerik (kategoriknumerik) tidak berpasangan dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Mei sampai bulan Agustus 2015 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. (66,6%), limfosit terdapat di 4 subyek (44,4%) dan monosit terdapat di 3 subyek

BAB V PEMBAHASAN. (66,6%), limfosit terdapat di 4 subyek (44,4%) dan monosit terdapat di 3 subyek BAB V PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan 9 pasien dengan derajat ringan dengan eosinofil terdapat di 3 subyek (33,3%), neutrofil terdapat di 6 subyek (66,6%), limfosit terdapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya mikroorganisme yang normal pada konjungtiva manusia telah diketahui keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan populasi mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan. telah terjadi katarak senile sebesar 42%, pada kelompok usia 65-74

BAB I PENDAHULUAN. penyakit. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan. telah terjadi katarak senile sebesar 42%, pada kelompok usia 65-74 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Katarak adalah kekeruhan lensa mata yang dapat menghambat cahaya masuk ke mata. Menurut WHO, kebanyakan katarak terkait dengan masalah penuaan, meskipun kadang-kadang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KERANGKA TEORI 2.1.1. Definisi dan Morfologi Pterigium Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif (Ilyas, 2011). Pterigium

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA PADA KORNEA DI RUANG MATA RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA. Trauma Mata Pada Kornea

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA PADA KORNEA DI RUANG MATA RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA. Trauma Mata Pada Kornea ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA PADA KORNEA DI RUANG MATA RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA I. Pengertian Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Sedang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non melanoma. Kelompok non melanoma dibedakan atas karsinoma sel basal (KSB), karsinoma sel skuamosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Katarak berasal dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Katarak adalah perubahan lensa mata yang semula jernih dan tembus cahaya menjadi keruh, sehingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan dengan usia rata-rata 55 tahun (Stoler, 2014). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diagnosis (Melrose dkk., 2007 sit. Avon dan Klieb, 2012). Biopsi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diagnosis (Melrose dkk., 2007 sit. Avon dan Klieb, 2012). Biopsi merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biopsi adalah pengambilan jaringan dari tubuh makhluk hidup untuk mendapatkan spesimen histopatologi dalam upaya membantu menegakkan diagnosis (Melrose dkk.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kornea merupakan jaringan transparan avaskular yang berada di dinding depan bola mata. Kornea mempunyai fungsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kornea merupakan jaringan transparan avaskular yang berada di dinding depan bola mata. Kornea mempunyai fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kornea merupakan jaringan transparan avaskular yang berada di dinding depan bola mata. Kornea mempunyai fungsi sebagai lapisan pelindung bola mata dan media refraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering dijumpai pada wanita dan penyebab kematian terbanyak. Pengobatannya sangat tergantung dari stadium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Pewarnaan Proses selanjutnya yaitu deparafinisasi dengan xylol III, II, I, alkohol absolut III, II, I, alkohol 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya seluruh preparat organ

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada tahap awal formulasi, dilakukan orientasi untuk mendapatkan formula krim yang baik. Orientasi diawali dengan mencari emulgator yang sesuai untuk membentuk krim air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dan menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dan menjadi penyebab BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dan menjadi penyebab kebutaan utama di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pembedahan masih merupakan satu-satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendalaman sulkus gingiva ini bisa terjadi oleh karena pergerakan margin gingiva

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendalaman sulkus gingiva ini bisa terjadi oleh karena pergerakan margin gingiva BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Poket periodontal didefinisikan sebagai pendalaman sulkus gingiva secara patologis, merupakan gejala klinis paling penting dari penyakit periodontal. Pendalaman sulkus

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri 78 BAB 6 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri stadium lanjut yaitu stadium IIB dan IIIB. Pada penelitian dijumpai penderita dengan stadium IIIB adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan perawatan dalam bidang kedokteran gigi dapat berisiko menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya sebagian dari jaringan tubuh.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan rusak atau hilangnya sebagian dari jaringan tubuh. Penyebab keadaan ini dapat terjadi karena adanya trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi ringan atau akut adalah respons awal dan cepat terhadap kerusakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi ringan atau akut adalah respons awal dan cepat terhadap kerusakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi ringan atau akut adalah respons awal dan cepat terhadap kerusakan sel yang bertujuan untuk mengeradikasi bahan atau mikroorganisme. Pada umumnya proses ini

Lebih terperinci

GLAUKOMA DEFINISI, KLASIFIKASI, EPIDEMIOLOGI, ETIOLOGI, DAN FAKTOR RISIKO

GLAUKOMA DEFINISI, KLASIFIKASI, EPIDEMIOLOGI, ETIOLOGI, DAN FAKTOR RISIKO GLAUKOMA DEFINISI, KLASIFIKASI, EPIDEMIOLOGI, ETIOLOGI, DAN FAKTOR RISIKO LTM Pemicu 2 Modul Penginderaan Komang Shary Karismaputri NPM 1206238633 Kelompok Diskusi 16 Outline Pendahuluan Definisi Kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan transfusi darah adalah upaya kesehatan berupa penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Sebelum dilakukan transfusi darah

Lebih terperinci

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA Oleh Kelompok 7 Vera Tri Astuti Hsb (071101030) Nova Winda Srgh (071101031) Hafizhoh Isneini P (071101032) Rini Sri Wanda (071101033) Dian P S (071101034) Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Mata Kering (MK) Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial air mata dan permukaan okular yang ditandai dengan penglihatan tidak nyaman, penglihatan kabur dan instabilitas

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT SUPRAVITAL EPITELIUM MUKOSA MULUT

LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT SUPRAVITAL EPITELIUM MUKOSA MULUT LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT SUPRAVITAL EPITELIUM MUKOSA MULUT Disusun Guna Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Praktikum Mikroteknik Tahun Ajaran 2014/2015 Disusun Oleh : Litayani Dafrosa Br

Lebih terperinci

PERAN PRESSURE GARMENT DALAM PENCEGAHAN JARINGAN PARUT HIPERTROFIK PASCA LUKA BAKAR

PERAN PRESSURE GARMENT DALAM PENCEGAHAN JARINGAN PARUT HIPERTROFIK PASCA LUKA BAKAR Tinjauan Kepustakaan I 5 th August 2016 PERAN PRESSURE GARMENT DALAM PENCEGAHAN JARINGAN PARUT HIPERTROFIK PASCA LUKA BAKAR Neidya Karla Pembimbing : dr. Tertianto Prabowo, SpKFR Penguji : dr. Marietta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul dari permukaan dinding lateral nasofaring (Zeng and Zeng, 2010; Tulalamba and Janvilisri,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Radiasi elektromagnetik merupakan salah satu bentuk energi. Setelah energi

I. PENDAHULUAN. Radiasi elektromagnetik merupakan salah satu bentuk energi. Setelah energi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang terletak di daerah tropis dengan paparan sinar matahari sepanjang musim. Sebagian penduduknya bekerja di luar ruangan sehingga mendapatkan

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

Glaukoma. 1. Apa itu Glaukoma?

Glaukoma. 1. Apa itu Glaukoma? Glaukoma Glaukoma dikenal sebagai "Pencuri Penglihatan" karena tidak ada gejala yang jelas pada tahap awal terjadinya penyakit ini. Penyakit ini mencuri penglihatan Anda secara diam-diam sebelum Anda menyadarinya.

Lebih terperinci

Jaringan Tubuh. 1. Jaringan Epitel. 2. Jaringan Otot. 3. Jaringan ikat/penghubung. 4. Jaringan Saraf

Jaringan Tubuh. 1. Jaringan Epitel. 2. Jaringan Otot. 3. Jaringan ikat/penghubung. 4. Jaringan Saraf Jaringan Tubuh 1. Jaringan Epitel 2. Jaringan Otot 3. Jaringan ikat/penghubung 4. Jaringan Saraf Jaringan Epitel Tersusun atas lapisan-lapisan sel yang menutup permukaan saluran pencernaan, saluran pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat khususnya rumah tangga dan ditemukan terbayak adalah luka bakar derajat II (Nurdiana dkk., 2008).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Permukaan mata terdiri dari kornea, konjungtiva dan lapisan air mata yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Permukaan mata terdiri dari kornea, konjungtiva dan lapisan air mata yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Permukaan Okular Permukaan mata terdiri dari kornea, konjungtiva dan lapisan air mata yang membentuk suatu unit fungsional. Konjungtiva adalah membran mukosa transparan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berkembang. Laser-Assisted insitu Keratomileusis (LASIK) adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berkembang. Laser-Assisted insitu Keratomileusis (LASIK) adalah salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bedah refraksi merupakan teknik manajemen miopia yang sangat berkembang. Laser-Assisted insitu Keratomileusis (LASIK) adalah salah satu teknik bedah yang lebih banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa kristalin mata merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak di indonesia maupun di dunia. Perkiraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit inflamasi saluran pencernaan dapat disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keratitis ulseratif atau ulkus kornea adalah suatu kondisi inflamasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Keratitis ulseratif atau ulkus kornea adalah suatu kondisi inflamasi yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keratitis ulseratif atau ulkus kornea adalah suatu kondisi inflamasi yang melibatkan disrupsi lapisan epitel dan stroma kornea. Karakteristik keratitis ulseratif adalah

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit (Schwartz et al.,

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit (Schwartz et al., 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka merupakan suatu keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Luka didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kacamata. Penggunaan lensa kontak makin diminati karena tidak mengubah

BAB I PENDAHULUAN. kacamata. Penggunaan lensa kontak makin diminati karena tidak mengubah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lensa kontak adalah salah satu terapi refraksi yang lazim digunakan selain kacamata. Penggunaan lensa kontak makin diminati karena tidak mengubah struktur wajah dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Katarak merupakan kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang menyebabkan gangguan penglihatan. Kebanyakan lensa mata menjadi agak keruh setelah berusia lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SWT seperti yang tercantum pada QS. An-Nahl (16:78) yang berbunyi :

BAB I PENDAHULUAN. SWT seperti yang tercantum pada QS. An-Nahl (16:78) yang berbunyi : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mata merupakan salah satu indera yang penting yang di ciptakan Allah SWT seperti yang tercantum pada QS. An-Nahl (16:78) yang berbunyi : Artinya : Dan Allah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katarak Asal kata katarak dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata yang biasanya bening

Lebih terperinci

Pengkajian Sistem Penglihatan Mula Tarigan, SKp. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pengkajian Sistem Penglihatan Mula Tarigan, SKp. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Pengkajian Sistem Penglihatan Mula Tarigan, SKp. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Apa yang dikaji? RIWAYAT KESEHATAN PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Sel Fibroblas dalam Kultur In Vitro Hasil pengamatan kultur sel otot fetus tikus menunjukkan secara morfologi adanya dua bentuk sel, yakni sel fibrosit, berbentuk spindel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kornea merupakan lapisan depan bola mata, transparan, merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kornea merupakan lapisan depan bola mata, transparan, merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kornea merupakan lapisan depan bola mata, transparan, merupakan jaringan yang tidak memiliki pembuluh darah (avaskular). Kornea berfungsi sebagai membran pelindung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama di dunia. Data

BAB I PENDAHULUAN. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama di dunia. Data BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama di dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2002 menyebutkan angka kebutaan diseluruh dunia sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk PENDAHULUAN Latar Belakang Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk mikroorganisme. Gangguan atau kerusakan pada struktur anatomi kulit dengan hilangnya fungsi yang berturut-turut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah wilayah dengan dataran rendah yaitu berupa sungai dan rawa yang di dalamnya banyak sekali spesies ikan yang berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam kandungan dan faktor keturunan(ilyas, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam kandungan dan faktor keturunan(ilyas, 2006). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Katarak adalah keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-duanya.

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit adalah organ terbesar dari tubuh, yang membentuk 16% dari berat badan (Amirlak, 2015). Kulit berhubungan langsung dengan lingkungan sekitar dan menutupi permukaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini disebabkan karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar, khususnya pada negara dengan

Lebih terperinci

PERBEDAAN KEKAMBUHAN PASCA EKSTIRPASI PTERYGIUM METODE BARE SCLERA DENGAN TRANSPLANTASI LIMBAL STEM SEL

PERBEDAAN KEKAMBUHAN PASCA EKSTIRPASI PTERYGIUM METODE BARE SCLERA DENGAN TRANSPLANTASI LIMBAL STEM SEL PERBEDAAN KEKAMBUHAN PASCA EKSTIRPASI PTERYGIUM METODE BARE SCLERA DENGAN TRANSPLANTASI LIMBAL STEM SEL ARTIKEL KARYA ILMIAH Diajukan untuk : Memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan dalam menempuh Program

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. DESAIN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain Randomized post test only control group design yang menggunakan binatang percobaan

Lebih terperinci

Erry, 1 Ully Adhie Mulyani 1 dan Dwi susilowati 1

Erry, 1 Ully Adhie Mulyani 1 dan Dwi susilowati 1 Distribusi dan Karakteristik di Indonesia Erry, 1 Ully Adhie Mulyani 1 dan Dwi susilowati 1 Abstract Background: Pterygium is an epithelial conjunctiva bulbi and connective tissue growth that could cause

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini tercakup dalam bidang kesehatan gigi dan mulut. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif kronik non inflamasi yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Penyakit ini bersifat progresif lambat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keganasan ini dapat menunjukkan pola folikular yang tidak jarang dikelirukan

BAB I PENDAHULUAN. Keganasan ini dapat menunjukkan pola folikular yang tidak jarang dikelirukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma tiroid merupakan keganasan tersering organ endokrin.sebagian besar neoplasma tersebut berasal dari sel epitel folikel dan merupakan tipe papiler. Keganasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sensibilitas Kornea 2.1.1 Kornea Kornea merupakan suatu jaringan yang tidak berwarna, transparan, dan avaskuler. Secara histologis kornea memiliki 5 lapisan, dari anterior

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperemia konjungtiva dan keluarnya discharge okular (Ilyas, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperemia konjungtiva dan keluarnya discharge okular (Ilyas, 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konjungtivitis adalah inflamasi pada konjungtiva yang ditandai dengan hiperemia konjungtiva dan keluarnya discharge okular (Ilyas, 2013). Penyakit ini dapat dialami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. periodontitis. Dalam kondisi kronis, periodontitis memiliki gambaran klinis berupa

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. periodontitis. Dalam kondisi kronis, periodontitis memiliki gambaran klinis berupa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia kedokteran gigi erat sekali kaitannya dengan penyakit yang dapat berujung pada kerusakan atau defek pada tulang alveolar, salah satunya adalah periodontitis. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyebabkan hilangnya perlekatan epitel gingiva, hilangnya tulang alveolar, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyebabkan hilangnya perlekatan epitel gingiva, hilangnya tulang alveolar, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Periodontitis adalah peradangan pada jaringan pendukung gigi yang dapat menyebabkan hilangnya perlekatan epitel gingiva, hilangnya tulang alveolar, dan ditandai dengan

Lebih terperinci

TATALAKSANA TRAUMA PADA MATA No.Dokumen No. Revisi 00

TATALAKSANA TRAUMA PADA MATA No.Dokumen No. Revisi 00 Puskesmas Buleleng II TATALAKSANA TRAUMA PADA MATA No.Dokumen No. Revisi 00 Halaman 1/6 SOP/Protap Trauma Mata Tgl. Terbit 10 Pebruari 2016 Ditetapkan dr. Ni Luh Sustemy NIP.197205042007012023 Pengertian

Lebih terperinci