KAWASAN KARST SUKOLILO JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAWASAN KARST SUKOLILO JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO 1"

Transkripsi

1 KAWASAN KARST SUKOLILO JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO 1 J. Susetyo Edy Yuwono & Gregorius D. Kuswanto (Arkeologi FIB UGM) A. PENDAHULUAN Kawasan karst merupakan sebuah aset dan sekaligus catatan panjang dari sebagian sejarah bumi di suatu wilayah. Sebagai suatu aset, kawasan ini memiliki berbagai keistimewaan. Bentangalamnya yang unik merupakan sisi luar (eksokarst) yang paling mudah dikenali, berbeda dengan bentangalam lainnya. Di bawah permukaannya (endokarst), keunikan-keunikan lain semakin banyak dijumpai. Ragam bentukan gua, lorong-lorong sungai bawahtanah, dan ornamen-ornamen batuan yang indah hanya dapat dijumpai di kawasan ini. Bahkan salah satu sumber kehidupan kita, yaitu air yang tersimpan di sungai-sungai dan telaga-telaga bawahtanah, memiliki tatanan yang spesifik di kawasan karst. Tidak terpungkiri pula, bahwa kawasan karst menjadi salah satu media penyimpan air yang sangat menentukan kehidupan di atasnya, baik di kawasan karst itu sendiri maupun untuk kawasan-kawasan lain di sekitarnya. Sejumlah keistimewaan di atas adalah hasil dari suatu proses alam yang sangat panjang. Menurut pembabakan waktu geologi, banyak diulas bahwa batuan penyusun karst di Jawa ini sebagian besar berumur Miosen (sekitar 23 juta tahun lalu). Melalui proses tektonis (pengangkatan), sedimen purba ini secara bertahap akhirnya muncul di atas muka laut. Ketika ketinggiannya sudah mencapai posisi tertentu, proses-proses eksogen terutama pelarutan yang dikendalikan oleh curah hujan, mengikis retakanretakan pada batuannya mulai dari permukaan hingga ke celah-celah yang lebih dalam. Pelarutan yang terjadi bersamaan dengan proses denudasi sepanjang waktu geologi akhirnya menghasilkan bukit-bukit kerucut sebagai bentukan sisa, serta lorong-lorong gua dan sungai-sungai bawahtanah lengkap dengan beragam ornamennya. Keunikan fisik yang terbentuk, sedikit banyak telah berimbas pada keunikan budayanya. Sebagai bentangalam tua, kawasan karst telah menjadi wadah bagi keberlangsungan kolonisasi manusia purba, terutama mendekati akhir kala Pleistosen hingga permulaan Holosen ( tahun lalu). Ketersediaan gua-gua karst dari fase pembentukan awal, yang kini sudah mengering menjadi gua-gua fosil di tebingtebing bukit dan lembah, serta sumber-sumber air di lorong-lorong gua aktif di bawah permukaan tanah, telah menopang keberlangsungan budaya karstik awal di kawasan ini. Gua-gua fosil menjadi pilihan untuk bermukim, sementara gua-gua aktif dan mataairmataair bawahtanah yang langsung dapat diakses atau harus memasuki lorong-lorong bawahtanah, menyediakan sumberdaya untuk hidup. Lingkungan sekitar gua menjadi activity area, di mana binatang-binatang dapat diburu untuk dikonsumsi dagingnya dan dimanfaatkan tulangnya sebagai perkakas hidup. Di wilayah Jawa Tengah, bukti-bukti hunian purba tersebut telah dijumpai di beberapa kawasan karst, di antaranya adalah Kawasan Karst Gunung Sewu di Pegunungan Selatan yang sebagian wilayahnya, yaitu Segmen Tengah (Segmen Wonogiri), masuk ke wilayah Jawa Tengah. Meskipun potensi arkeologi di Kabupaten 1 Diselenggarakan oleh PEKINDO dalam rangka Penetapan Zona Lindung Kawasan Karst Sukolilo, Kabupaten Pati (Jawa Tengah) dan sekitarnya, September 2008.

2 Wonogiri belum lama diungkap (Yuwono, 2004; Sutikno dan Tanudirjo, 2006), namun kandungan informasinya tidak berbeda jauh dengan segmen-segmen tetangganya di Kabupaten Gunung Kidul (Propinsi D.I. Yogyakarta) dan Kabupaten Pacitan (Propinsi Jawa Timur) yang sudah lebih lama diteliti. Di wilayah selatan Jawa Tengah, Kawasan Karst Gombong juga menyediakan potensi prasejarah serupa. Beberapa kali pengamatan di wilayah ini menemukan buktibukti artefak (sisa perkakas prasejarah) di beberapa gua. Belum adanya penggalian arkeologi (ekskavasi) di wilayah ini mengakibatkan kurangnya informasi untuk mengungkapkan aspek-aspek hunian prasejarah di bagian selatan Jawa Tengah. Kasus serupa juga dijumpai di Kawasan Karst Blora di ujung timur Jawa Tengah bagian utara. arkeologi di wilayah ini sudah dikenali melalui survei permukaan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta (Yuwono, 2005). Hasil-hasil penelitian Blora ternyata tidak dapat dipisahkan dari potensi arkeologi Kawasan Karst Tuban di sebelah timurnya, yang sedikitnya mengandung 20 situs gua arkeologi (Suhartono, 2000). Dua di antaranya, yaitu Gua Gede dan Gua Kandang di Kecamatan Semanding, bahkan sudah diteliti oleh W.J.A. Willems pada tahun Sebagai bagian dari Perbukitan Rembang, Kawasan Karst Sukolilo di Kabupaten Pati dan Grobogan, Jawa Tengah, diduga kuat juga memiliki nilai arkeologi seperti kawasan-kawasan karst lainnya. Bahkan jalur pegunungan lain yang membujur barattimur di sebelah selatannya (Punggungan Kendeng), telah terbukti mengandung situssitus yang lebih tua lagi (situs-situs kala Pleistosen). Di antaranya adalah Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngandong, Kedungbrubus, dan Jetis-Perning, yang terletak di sayap selatan Kendeng. Melalui dugaan ini maka survei awal untuk mengungkap potensi arkeologi Kawasan Karst Sukolilo dilakukan. B. TUJUAN SURVEI 1. Tujuan Akademis: a. Pada skala meso, survei ini ditujukan untuk menjajagi dan mengidentifikasi kemungkinan adanya situs-situs arkeologi (situs gua) di Kawasan Karst Sukolilo yang selama ini belum pernah diteliti. Penemuanpenemuan baru nantinya, jelas akan memperkaya khasanah sejarah budaya wilayah Jawa Tengah utara, yang selama ini masih terfokus di daerah Sangiran dan situs-situs lain di Punggungan Kendeng. b. Pada skala makro, penelitian ini juga bertujuan untuk menempatkan posisi Sukolilo dalam konteks penghunian/migrasi purba di Jawa, sehingga nilai tambah Kawasan Karst Sukolilo dapat diperoleh. 2. Tujuan Praktis: a. Mengangkat potensi arkeologi karstik Kawasan Karst Sukolilo, yang bersama-sama dengan potensi lainnya (hidrologi, speleologi, biologi, ekowisata, dan lain-lain), dapat memberikan penguatan untuk penetapannya sebagai Kawasan Lindung. b. Memberikan nilai tambah dalam pengemasan dan pengembangan ekowisata setempat untuk jangka panjang, yang berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan dampak kerusakan yang berarti. 2

3 C. PELAKSANAAN SURVEI Bentuk Kegiatan : Survei permukaan dengan melakukan pengamatan dan pengukuran terhadap beberapa kriteria, meliputi: a) kriteria morfologi dan genesa gua, b) kriteria lingkungan dan morfoasosiasi, c) kriteria kandungan. Melalui kriteria-kriteria tersebut akan diketahui berpotensi tidaknya suatu gua sebagai situs arkeologi. Waktu kegiatan : Tanggal 1 5 September 2008 Lokasi : Kawasan Karst Sukolilo di Pegunungan Kendeng Utara atau Perbukitan Rembang, meliputi Desa Jimbaran, Kedungmulyo, Kedungwinong, Sukolilo, Sumbersuko, Tompegunung (Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah); dan Desa Sedayu (Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Timur) (Lihat Peta). Pemilihan desa-desa di atas dilakukan secara purposif, dengan mempertimbangkan potensi hidrologi (gua dan mataair) yang sudah diinventarisasi sebelumnya, antara lain oleh Tim ASC Yogyakarta. Hasil inventarisasi sementara menunjukkan bahwa lokasi terpilih merupakan bagian inti karst yang paling kompleks potensi dan permasalahannya, paling strategis perannya, dan karenanya paling mendesak untuk diselamatkan. 3

4 4 D. DESKRIPSI HASIL SURVEI Kegiatan survei selama 5 hari telah mendata 19 gua. 11 gua di antaranya sudah dikunjungi sedangkan sisanya belum (Lihat Tabel). Delapan gua yang belum diprioritaskan untuk dikunjungi sebagian besar berupa gua-gua vertikal dan gua-gua air yang secara arkeologis tidak berpotensi sebagai situs hunian. Gua-gua yang dimaksud adalah Gua Gondang, Gua Banyu, Gua Tangis, Gua Ngancar, dan Gua Telo (Desa Sumbersuko); serta Gua Lowo (Desa Tompegunung). Sedangkan Gua Tapan (Desa Kedungmulyo) dan Gua Gogak (Desa Kedungwinong) merupakan gua-gua horisontal dan kering yang memungkinkan untuk dihuni, tetapi selama 5 hari di lapangan belum sempat dikunjungi. Pemerian di bawah ini adalah hasil pengamatan dan deskripsi terhadap 11 gua yang telah dikunjungi, terdiri atas 2 gua di Kabupaten Grobogan dan 9 gua di Kabupaten Pati (Lihat Peta). Tabel Gua Kawasan Karst Sukolilo NO NAMA JENIS DESA KEC. KAB. POTENSI ARKEOLOGI 1 G. Bandung Collapse doline Kedungwinong Sukolilo Pati Tidak potensial 2 G. Serut Horisontal, kering Kedungwinong Sukolilo Pati Tidak potensial 3 G. Kidang Ceruk Sukolilo Sukolilo Pati al kandungan 4 C. Watupayung Ceruk Sukolilo Sukolilo Pati al morfologi 5 G. Gogak Horisontal Sukolilo Sukolilo Pati Perlu dicek ulang 6 G. Pawon Ceruk Kedungwinong Sukolilo Pati al kandungan 7 G. Gondang Horisontal, berair Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial 8 G. Banyu Horisontal, berair Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial 9 G. Tangis Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial 10 G. Ngancar Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial 11 G. Telo Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial 12 G. Tapan Horisontal, kering Kedungmulyo Sukolilo Pati Perlu dicek ulang 13 G. Lowo Horisontal, berair Tompegunung Sukolilo Pati Tidak potensial 14 G. Wareh Horisontal, berair Kedungmulyo Sukolilo Pati Tidak potensial 15 G. Plemburan Horisontal, kering Kedungmulyo Sukolilo Pati Tidak potensial 16 G. Pancor A Horisontal, berair Jimbaran Sukolilo Pati Tidak potensial 17 G. Pancor B Horisontal, kering Jimbaran Sukolilo Pati al kandungan 18 G. Lawa Horisontal, kering Sedayu Grobogan Grobogan al morfologi 19 G. Macan Collapse doline Sedayu Grobogan Grobogan Tidak potensial Gregorius D.K (dimodifikasi)

5 5 KABUPATEN GROBOGAN Kecamatan Sedayu 1. Gua Lawa Letak Administratif : Desa Sedayu, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Grobogan. Letak Koordinat : UTM 49L Elevasi/lereng : 332 m.dpal/15 0 : Gua Lawa memiliki dua mulut, masing-masing menghadap ke arah tenggara dan barat. Mulut pertama memiliki bentangan 1,85 m, tinggi 2,5 m, dan melebar ke arah dalam. Tanah di bagian mulut lebih tinggi 1 m dibandingkan bagian lorong, dengan kemiringan sekitar 15. Mulut kedua memiliki bentangan sekitar 7 m, ketinggian tanah lebih tinggi 3 m dibandingkan dasar lorong. Lorong Gua Lawa secara keseluruhan memiliki panjang m, terbagi atas dua ruangan yang dipisahkan oleh timbunan bongkah runtuhan atap. Ruang pertama berada di sekitar mulut gua dengan pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik. Kondisi tanahnya kering dengan sedimen tebal dan permukaannya relatif datar. Ketinggian atap pada ruang pertama 2-3 m, kemudian naik 7-8 m di bagian barat laut. Speleothem di bagian ruang ini sudah tidak aktif. Ruang kedua terletak lebih ke dalam dan posisinya lebih rendah dibandingkan ruang pertama. Kondisi ruangannya lebih gelap dan lembab, dan tanahnya pun berlumpur. : Secara arkeologis gua ini cukup berpotensi, terutama diprediksi melalui morfologi dan dimensi ruangannya, sedangkan indikasi temuan arkeologinya tidak diperoleh karena tingkat gangguannya sudah tinggi. pariwisata sudah dikembangkan dengan membuat jalan setapak dari semen selebar 1 m hingga ke bagian dalam gua.

6 6 2. Gua Macan Letak Administratif : Desa Sedayu, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Grobogan, Koordinat : UTM 49L (sekitar 200 m sebelah barat Gua Lawa). Elevasi/lereng : 350 m.dpal/14 0 : Gua Macan terletak pada punggungan sebuah bukit dengan lorong memanjang ke arah barat. Mulut gua berupa collapse doline, dengan akses masuk menurun m, kemiringan Lorong gua memiliki lebar 5-7 m, tinggi 7-15 m, panjang sekitar 50 m dengan aven di bagian tengah dan ujung lorong. : Gua Macan sudah dikelola sebagai tempat wisata oleh pemerintah daerah setempat, dengan membuat jalan selebar 1 m hingga ke mulut gua. arkeologi tidak dijumpai di gua ini.

7 7 KABUPATEN PATI Kecamatan Sukolilo 3. Gua Pancor A Letak Administratif : Desa Jimbaran, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L (sekitar 200 m sebelah barat Gua Lawa). Elevasi/lereng : 46 m.dpal/3 0 : Gua Pancor A memiliki dua mulut menghadap ke barat yang salah satunya merupakan outlet dari aliran sungai bawahtanah. Panjang

8 8 lorong gua yang dapat dikenali sekitar 600 m. Menurut kepercayaan masyarakat, gua ini merupakan petilasan Mbah Saridin (Syeh Jangkung) yang dipercaya sebagai tokoh mitologis setempat. Petilasan tersebut berupa sumber air hangat dan sumuran yang terdapat di dalam gua. : Di samping sebagai sumber air yang vital bagi penduduk setempat, potensi lain yang paling menonjol di gua ini adalah kandungan etnografi dan wisata religinya. Hingga sekarang banyak peziarah yang datang untuk melakukan ritual-ritual yang didasari beberapa permohonan, di antaranya untuk penglarisan, memperoleh jodoh, dan ngalap berkah. Indikasi sebagai situs arkeologi tidak dijumpai, namun potensi airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi orientasi ekologis bagi para pemukim purba untuk memilih lokasi habitasinya. 4. Gua Pancor B Letak Administratif : Desa Jimbaran, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L (sekitar 400 m sebelah barat Gua Pancor A) Elevasi/lereng : 44 m.dpal/3 0 : Pancor B merupakan sebuah ceruk (rockshelter) yang menghadap ke barat, dengan bentangan mulut 20 m. Kedalaman horizontal ruangannya 8,6 m, dan tinggi atap di bagian dripline sekitar 8 m. Kondisi tanahnya kering dan tebal, dan terdapat bekas-bekas galian di beberapa bagian lantainya. Pada bekas galian tersebut banyak ditemukan ekofak organik berupa cangkang kerang, fragmen gigi, dan fragmen tulang yang menunjukkan ciri-ciri kekunoan. Di bagian dalam terdapat ruang pertama dengan tinggi langit-langit 1-1,5 m dari permukaan tanah. Ukuran ruangannya seluas 6,37 x 5,20 m, dan memiliki dua pintu masuk. Permukaan tanah pada

9 9 ruang pertama lebih tinggi 1-1,5 m dibandingkan bagian mulut gua. Kondisi tanahnya agak basah, sirkulasi udaranya baik dan cukup terang. Di sisi timur ruangan pertama terdapat dua lorong yang menghubungkannya dengan ruangan kedua. Langit-langitnya miring ke utara, dengan ketinggian 0,5 m (sisi utara) dan 2,5 m (sisi selatan). Permukaan tanahnya lebih tinggi 0,5 m dibandingkan ruangan pertama. Kondisi di dalam ruangan gelap dan lembab, tanahnya tebal tetapi basah karena ornamen di atasnya masih aktif meneteskan air. : arkeologinya tinggi, terbukti dengan kandungan ekofak organik yang ada di dalam sedimennya. Ekofak yang dimaksud berupa fragmen gigi dan fragmen tulang, serta cangkang kerang. Salah satu temuan gigi dikenali sebagai gigi molar hewan dari jenis Cervidae, sedangkan kerang lautnya berupa kerang bivalvia dari Famili Veneridae dan Mytilidae. Di samping itu juga ditemukan beberapa cangkang kerang air tawar (fresh water) bercampur dengan kerang laut. 5. Gua Wareh Letak Administratif : Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L Elevasi/lereng : 25 m.dpal/0 0 : Gua Wareh memiliki dua mulut/lorong masing-masing menghadap barat dan utara. Lorong yang menghadap ke barat merupakan gua kering, sedangkan lorong yang menghadap ke utara merupakan outlet sungai bawahtanah yang kemudian membentuk semacam kedung di mulut gua, sebelum airnya keluar sebagai sungai permukaan. Kedung tersebut dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci. Panjang lorong kering m, meninggi 5 m ke arah dalam dengan kemiringan sekitar 20º. Di ujung lorong terdapat aven yang

10 10 kemudian dibangun tangga dari semen sebagai jalan masuk. Kondisi tanahnya basah dan lengket, dengan ornamen dinding dan atap yang masih aktif. : Meliputi potensi hidrologi dan wisata religi. Menurut masyarakat setempat, Gua Wareh merupakan petilasan semar, gareng, petruk, yang masih dikeramatkan hingga sekarang. Sisa-sisa sesaji berupa bunga setaman dan kemenyan masih dijumpai di sekitar mulut gua. arkeologinya sejauh ini tidak dijumpai. 6. Gua Plemburan Letak Administratif : Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L (sekitar 400 m sebelah barat Gua Pancor A) Elevasi/lereng : 25 m.dpal/0 0 : Gua ini menghadap ke arah baratlaut (230 ), memiliki sebuah ruangan berupa lorong selebar 10 m, panjang 15 m, dan tinggi langit-langit 6-7 m. Lantai gua berupa flowstone dan tidak memiliki sedimen tanah. Ketinggian lantai di bagian dalam hampir sejajar dengan lantai di bagian depan gua. Kondisi gua kering, sisa ornamen berupa stalaktit di bagian mulut juga sudah tidak aktif. : Saat ini ruangan gua dimanfaatkan penduduk setempat untuk menyimpan peralatan pertanian. etnografi dapat dijumpai, berupa kepercayaan lokal bahwa gua ini masih memiliki kaitan dengan Gua Wareh, yaitu sebagai petilasan Punokawan sehingga tetap dikeramatkan. Tidak ada indikasi arkeologi yang dijumpai.

11 11 7. Gua Pawon Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L Elevasi/lereng : 59 m.dpal/19 0 : Gua Pawon terletak di lereng atas tebing dengan beda tinggi dari dasar lembah m, kemiringan lereng 35-40, dengan arah hadap mulut ke barat (240 ). Vegetasi di depan gua jarang sehingga tanahnya mudah longsor. Pada endapan koluvial di depan gua ditemukan beberapa ekofak organik berupa fragmen cangkang kerang laut, fragmen tulang, dan fragmen gigi Bovidae. Sisa-sisa runtuhan atap banyak dijumpai di sepanjang tebing hingga dasar lembah. Ada kemungkinan gua ini dahulunya memiliki atap yang panjang, yang kemudian runtuh hingga tinggal menyisakan lorong yang pendek. Bentangan mulut gua selebar 5 m dengan kedalaman sisi horisontalnya 7,5 m, dan ketinggian sisa atap dari lantai gua 2,8 m. Kondisi lantai rata, terbentuk oleh endapan tanah yang kering dan tidak begitu tebal. Beberapa speleothem yang dijumpai sudah tidak aktif lagi. : Gua ini memiliki potensi arkeologi sebagai bekas situs hunian, meskipun morfologinya sudah banyak mengalamami degradasi.

12 12 8. Gua Bandung Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L Elevasi/lereng : 100 m.dpal/ Gua Serut : Gua Bandung berupa collapse doline dengan dua lorong di bagian bawah yang saling berhadapan, masing-masing menghadap tenggara (155 ) dan timurlaut (30 ). Lorong timurlaut berukuran kecil karena sebagian besar tertutup runtuhan atap, sedangkan lorong satunya berukuran lebih besar. Kondisi di dalamnya lembab dengan lapisan tanah yang basah dan berlumpur, disebabkan oleh masuknya limpasan air pada saat hujan. : arkeologi tidak dijumpai di gua ini. Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L Elevasi/lereng : 150 m.dpal/21 0 : Gua Serut berada di lereng tengah sebuah tebing dengan pintu menghadap ke timur, yaitu ke sebuah lembah dengan beda tinggi terhadap dasar lembah sebesar m. Bentangan mulut gua 8 m,

13 13 tinggi 6 m, permukaan tanah di dalam lorong gua lebih rendah dibandingkan bagian mulut, dengan kemiringan sekitar 15. Pada kedalaman horisontal 15 m, lorong ini bertemu dengan lorong lain yang membujur utara-selatan. Kondisi lantai di sekitar mulut gua bergelombang, diakibatkan oleh adanya beberapa bekas galian dan timbunan tanah. Di bagian sekitar mulut kondisi lantainya kering, semakin ke dalam semakin lembab. Di bagian dalam lorong masih dapat dijumpai speleothem yang aktif. : Tidak ditemukan indikasi arkeologi. 10. Gua Kidang Letak Administratif : Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L Elevasi/lereng : 52 m.dpal/24 0 : Gua Kidang merupakan ceruk di bagian lereng atas tebing, dengan ketinggian sekitar 80 m dari dataran di bawahnya. Mulut ceruk menghadap ke utara (330 ), yaitu ke dataran aluvial yang luas. Di lokasi ini terdapat dua ceruk yang berjajar timur-barat. Ceruk timur memiliki bentangan mulut 19,5 m, kedalaman horisontal 8 m, tinggi atap 4-7 m. Sebagian atap bagian depan ceruk telah runtuh, sehingga tanah di bagian depan mulut banyak tererosi dan longsor oleh air hujan. Kondisi lantai ceruk kering, tersusun oleh sedimen tanah yang tebal, dan banyak terkandung fragmen cangkang kerang laut dan fragmen tulang fauna.. Di bagian dalam ceruk terdapat ruang kedua seluas 3,6 x 8,5 m, terhubung dengan ruang pertama melalui semacam lorong dengan lebar 1,7 m dan tinggi 2,15 m. Ketinggian tanah di ruang ini lebih tinggi 0,5 m dibandingkan ruang pertama. Kondisi tanahnya juga kering, tebal, dan banyak terdapat bongkah runtuhan atap.

14 14 Ceruk barat berada pada jarak 6 m dari ceruk timur, dengan bentangan mulut 6,5 m, kedalaman horizontal ruangannya 7,5 m, dan tinggi langit-langit 4 m. Kondisi tanahnya datar, kering, dengan sedimen tebal. Pada permukaannya banyak dijumpai ekofak organik berupa fragmen cangkang kerang laut dan fragmen tulang. : Dimensi, morfologi, dan indikasi temuan ekofak di gua ini menunjukkan bahwa potensinya sebagai situs arkeologi sangat tinggi. 11. Ceruk Watupayung Letak Administratif : Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L Elevasi/lereng : 75 m.dpal/0 0 : Ceruk Watupayung berada di lembah yang memanjang barat-timur, dengan arah hadap selatan. Bentangan ceruk sekitar 52 m, atap yang menggantung selebar 7 m dengan tinggi 18 m dari permukaan tanah. Terdapat sisa-sisa runtuhan atap di sebelah timur. Kondisi permukaan tanah umumnya kering dan miring ke sisi timur dengan sedimen tanah yang tebal. : yang dijumpai di gua ini berupa potensi wisata religi, karena gua ini masih dikeramatkan dan sering digunakan untuk bertapa. Bahkan sudah dibuatkan beberapa fasilitas untuk kepentingan tersebut, berupa bangunan tempat semedi dan lantai yang sudah di semen. arkeologi berupa temuan permukaan tidak diperoleh, tetapi morfologi dan dimensi ceruk memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai tempat hunian sementara.

15 15 E. PEMBAHASAN 1. Kawasan Arkeologis Sukolilo Hasil survei pada tahap awal ini membuktikan bahwa Kawasan Karst Sukolilo, seperti halnya kawasan karst lain yang sudah banyak diteliti, merupakan kawasan yang mengandung nilai kultural penting. Hal ini tampak dari beberapa gua dan ceruk yang memiliki potensi arkeologi tinggi, baik dikaji melalui aspek morfologi, lingkungan, maupun indikasi temuan permukaannya. Indikasi yang dimaksud berupa data ekofak organik yang terdiri atas fragmen tulang, gigi, dan cangkang kerang baik yang berasal dari lingkungan marin maupun non-marin (darat dan air tawar). Di dalam kajian arkeologi dikenal sedikitnya tiga bentuk data, yaitu artefak (artifact), ekofak (ecofact), dan fitur (feature) (Sharer & Ashmore, 1992). Artefak adalah data yang berupa perkakas atau sisa perkakas buatan manusia. Adanya ciri-ciri tertentu yang menunjukkan bahwa suatu benda pernah diubah atau dibuat oleh manusia, baik untuk fungsi praktis, fungsi seni dan religi, maupun fungsi sosial, merupakan kriteria penting untuk menyebut sebuah temuan sebagai artefak. Berbeda dengan artefak yang mengandung makna teknologis, ideologis, dan sosiologis, maka ekofak lebih bermakna ekologis. Data yang dikategorikan sebagai ekofak tidak memiliki ciri-ciri ubahan secara sengaja untuk menciptakan perkakas, tapi dapat berupa limbah atau sisa aktivitas. Bahkan objek-objek yang tidak pernah berhubungan dengan aktivitas manusia, tetapi dapat dipakai sebagai bahan untuk menjelaskan kondisi suatu budaya atau lingkungan masa lalu, dapat dikategorikan sebagai ekofak. Adapun yang dimaksud dengan fitur adalah gejala-gejala di permukaan atau di dalam tanah yang menunjukkan anomali tertentu, dan dapat digunakan sebagai referensi untuk mengungkapkan kondisi suatu budaya atau lingkungan masa lalu, termasuk di dalamnya untuk menjelaskan bagaimana deposit budaya terbentuk di dalam lapisan sedimen..pada umumnya, temuan yang dijumpai pada survei permukaan di situs-situs gua berupa ekofak, khususnya ekofak organik, meskipun tidak tertutup kemungkinan ditemukannya pula data artefak. Pada beberapa kasus, sisa-sisa tulang hewan atau cangkang kerang yang ditemukan di suatu situs bukan lagi berupa data ekofak, namun sudah dapat dikategorikan sebagai artefak karena sudah ada unsur-unsur pengerjaan oleh manusia. Sebagai contoh adalah fragmen cangkang kerang yang dipertajam untuk membuat serut, atau fragmen tulang yang dipertajam untuk lancipan, mata panah, pisau, atau benda-benda seni. Namun karena kondisi permukaannya umumnya sudah tersementasi oleh endapan karbonat, maka ciri-ciri yang dimaksud sulit dikenali. Dengan kata lain, masih diperlukan analisis lebih lanjut untuk menggolongkan suatu temuan dari situs gua sebagai artefak, baik secara magaskopis ataupun mikroskopis. Uraian di atas dimaksudkan untuk memberikan penekanan, bahwa ditemukannya data ekofak di suatu gua dapat dipakai sebagai petunjuk awal bahwa gua tersebut pantas diduga sebagai situs arkeologi. Apalagi jika ekofak organik tersebut berupa sisa fauna yang habitatnya bukan dari lingkungan gua, tetapi dari lingkungan ekologis yang berbeda. Contoh paling jelas mengenai hal ini adalah ditemukannya cangkang-cangkang kerang laut di suatu gua yang lokasinya relatif di pedalaman. Asumsi bahwa cangkang kerang tersebut diambil oleh manusia dari habitatnya dan dibawa ke dalam lokasi huniannya untuk dikonsumsi dagingnya, atau untuk membuat perkakas tertentu, dapat

16 menguatkan anggapan bahwa gua-gua yang mengandung temuan ekofak tersebut adalah bekas lokasi hunian manusia. Data di atas tentunya bukan satu-satunya indikator bahwa suatu gua adalah situs arkeologi. Kriteria lain perlu dipertimbangkan, misalnya layak dan tidaknya gua-gua tersebut dijadikan lokasi hunian. Oleh karena itu, kriteria morfologi dan dimensi gua juga perlu dipertimbangkan. Demikian pula kondisi atau dayadukung lingkungan sekitar gua yang menjadikan para penghuninya dapat eksis untuk tinggal dan hidup di lingkungan tersebut. Sebagai contoh adalah kedekatannya dengan sumberair, baik itu mataair, sungai, atau telaga; ketersediaan fauna untuk diburu, atau kondisi lahan yang memungkinkan untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas di tempat terbuka. Berdasarkan kriteris-kriteria di atas, yaitu morfologi gua, kondisi lingkungan, dan adanya indikasi permukaan berupa artefak, ekofak, ataupun fitur, maka beberapa gua kering (dry caves) di Kawasan Karst Sukolilo merupakan situs arkeologi, yaitu sebagai bekas gua hunian manusia. Gua-gua yang dimaksud ada lima buah, yaitu (Lihat Peta): a. Gua Kidang : Desa Sukolilo, Kec. Sukolilo, Kab. Pati b. Gua Watupayung : Desa Sukolilo, Kec. Sukolilo, Kab. Pati c. Gua Pawon : Desa Kedungwinong, Kec. Sukolilo, Kab. Pati d. Gua Pancor B : Desa Jimbaran, Kec. Sukolilo, Kab. Pati e. Gua Lawa : Desa Jimbaran, Kec. Grobogan, Kab. Gobogan Berdasarkan kualitas sampel dari lima gua di atas, maka Kawasan Karst Sukolilo dapat disebut sebagai salah satu kawasan arkeologis penting di bagian utara Jawa Tengah yang perlu dilindungi, diselamatkan dari berbagai tindakan degradatif, dan dikaji lebih mendalam untuk kepentingan ilmiah dan kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam skala meso, Kawasan Karst Sukolilo adalah sebuah kawasan yang ikut merekam buktibukti kehadiran manusia prasejarah di wilayah utara Jawa Tengah. Kehadiran mereka tentunya didukung sumberdaya setempat yang memungkinkan mereka untuk hidup. Sumberdaya terpenting yang juga teramati melalui hasil survei ini terutama sumberdaya air, flora, dan fauna. Hingga kini, ketiga sumberdaya lahan ini tetap memiliki arti penting bagi masyarakat setempat, yaitu masyarakat Samin yang tinggal di daerah Pati, Grobogan, dan sekitarnya. Kedekatan mereka dengan lingkungan karst Sukolilo telah mampu menghasilkan suatu kearifan lokal dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya lingkungan secara arif dan tidak berlebihan. Bersamaan dengan upaya pemanfaatan tersebut, berkembang pula pemaknaan lokal untuk melindungi aset lingkungan mereka melalui bentuk-bentuk mitos dan pantangan/tabu sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan sumberdayanya. Beberapa dari gua-gua yang dikeramatkan ternyata berupa gua-gua sumberair yang telah menghidupi mereka. Gua-gua tersebut adalah Gua Pancor A di Desa Jimbaran dan Gua Wareh di Desa Kedungmulyo. Meskipun keduanya bukan situs arkeologi, namun secara kontekstual atau morfoasosiasi telah menjadi panduan bagi para pemukim purba untuk menentukan lokasi-lokasi hunian di sekitarnya. 2. Kawasan Arkeologis Sukolilo dalam Kajian Makro Bagian utara Jawa Tengah sebagian besar tersusun atas bentangalam tua yang dicirikan oleh tinggian-tinggian dan depresi dengan konfigurasi yang khas. Di bagian selatan terdapat Punggungan Kendeng membujur barat timur mulai daerah Ungaran hingga ujung timur Jawa. Di sebelah barat Ungaran, Pegunungan Serayu Utara membujur 16

17 ke barat seolah meneruskan jalur Kendeng di sebelah timurnya. Di sebelah utara Kendeng dijumpai dataran aluvial dengan Sungai Lusi mengalir di bagian tengahnya. Secara genetis dataran ini adalah sebuah depresi antar pegunungan yang dikenal sebagai Randublatung, yang memisahkan Punggungan Kendeng di selatan dengan Perbukitan Rembang di utaranya. Di utara Perbukitan Rembang, terdapat dataran aluvial berikutnya yang langsung berbatasan dengan pesisir Laut Jawa dan Kompleks Muria di bagian barat. Sekilas gambaran di atas, menegaskan bahwa bagian wilayah Jawa Tengah ini memiliki peran penting dalam proses migrasi purba di Jawa. Bahkan dapat disimpulkan bahwa Jalur Utama kolonisasi Homo erectus di Jawa telah mengikuti Pegunungan Serayu Utara dan Punggungan Kendeng, dari arah barat ke timur. Jejak-jejak mereka antara lain terekam di situs-situs manusia purba Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngandong, Kedungbrubus, dan Jetis-Perning, yang terletak di sayap selatan Kendeng (Yuwono, 2005a). Temuan fosil-fosil di daerah Mranggen (Demak), pada bukit-bukit terisolasi di sebelah utara Kendeng (Bukit Dieng dan Bukit Rowosari) (Yuwono, 2004a, 2005b), Situs Semedo di jalur Pegunungan Serayu Utara daerah Tegal, dan Bukit Patiayam, semakin menguatkan hipotesis ini. Permasalahannya adalah, dari manakah para penghuni situs-situs gua di kawasan karst Gunung Sewu dan Tuban berasal? Jawaban sementara adalah, bahwa telah terjadi percabangan ke dua arah dari jalur utama Kendeng. Ke selatan melalui Gunung Wilis Tua masuk ke Gunung Sewu, dan ke utara memasuki Perbukitan Rembang yang sebagian besar bertopografi karst. Jalur utara ini sementara telah terlacak di Kawasan Karst Tuban dan Blora dengan situs-situs gua karstnya (Yuwono, 2005). Meskipun pengujian secara kronometrik belum dilakukan, dan lebih banyak mempertimbangkan aspek fisiografi, distribusi situs, serta pertanggalan relatif, namun sejauh ini belum pernah ada koreksi terhadap hipotesis di atas. Ditemukannya potensi arkeologi di Kawasan Karst Sukolilo, justru merupakan peluang untuk memperkaya hipotesis di atas, sehingga dinamika pergerakan Homo sapiens setelah keluar dari jalur Kendeng dapat digambarkan. Tentu saja dibutuhkan data pertanggalan terukur dan pemahaman konteks temuan situs melalui ekskavasi di beberapa gua kawasan Sukolilo. Periode penghunian gua di beberapa kawasan karst memang merupakan fenomena kultural yang sangat khas, berbeda dengan periode-periode hunian sebelum dan sesudahnya. Ciri menonjol mengenai hal ini adalah adanya perubahan dari kehidupan open site -- cave site open site. Pada kasus Jawa Tengah bagian utara, pergeseran tersebut berlangsung dari Punggunggan Kendeng Perbukitan Rembang Datarandataran Aluvial. Dengan demikian, hunian di kawasan karst merupakan salah satu mata rantai untuk merunut sejarah panjang okupasi manusia terhadap lingkungannya. Periode ini berlangsung kira-kira pada Pleistosen Akhir hingga Holosen Awal dan Pertengahan. Sebagai perbandingan, di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Thailand, penghunian gua telah berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama, pada BP (Pleistosen), gua-gua digunakan secara sporadis dan hanya dihuni sementara (temporary campsites). Para penghuni gua mulai menggunakan api, mengenal bendabenda seni, dan mengkonsumsi makanan dari hewan atau tumbuhan; Tahap kedua, BP (Holosen Awal), beberapa gua mulai diokupasi dalam jangka waktu lebih lama, sehingga memungkinkan terbentuknya timbunan-timbunan sampah dan sisasisa aktivitas, termasuk deposit penguburan pada tempat-tempat tertentu di dalam gua; 17

18 Tahap ketiga, BP (Holosen Tengah), fungsi gua telah bergeser dari lokasi hunian menjadi tempat penguburan. Sejak pertengahan Holosen pula, pemanfaatan dinding gua sebagai media pengekspresian seni mulai berkembang (Anderson, 2005). Apakah tahap-tahap di atas juga berlangsung di tempat-tempat lain, termasuk di gua-gua kawasan Sukolilo? Hal ini memerlukan kajian lebih mendalam. F. PENUTUP Kawasan Karst Sukolilo merupakan kawasan karst yang relatif baru dikenal. Namun demikian, data arkeologi permukaan yang baru teramati dalam waktu singkat, sudah menunjukkan bahwa kandungan temuan di dalam tanah cukup besar. Apalagi beberapa gua memiliki morfologi dan lingkungan yang sangat mendukung suatu bentuk hunian purba. Oleh karena itu, survei lanjutan dan ekskavasi di kawasan ini sangat diperlukan untuk menggali informasi lebih dalam tentang posisi arkeologis dan strategis kawasan ini, bagi kepentingan ilmiah maupun kemanusiaan. 18 Ucapan Terima Kasih: PEKINDO dan Bapak Hanang Samodra, atas kesempatan yang telah diberikan untuk mengenal dan menyelami Kawasan Karst Sukolilo. G. DAFTAR BACAAN Anderson, D., 2005, The Use of Caves in Peninsular Thailand in the Late Pleistocene and Early and Middle Holocene, Asian Perspectives 44 (1), The University of Hawai i Press, Spring, p Sharer, R.J. and W. Ashmore, 1992, Archaeology: Discovering Our Past, 2 nd edition, Mayfield Publishing Co., California. Suhartono, D., 2000, Site Catchment Analysis pada Penghunian Gua di Kawasan Tuban, Skripsi, Jurusan Arkeologi UGM, Yogyakarta. Sutikno, D.A. Tanudirjo, 2006, Kajian Geoarkeologi Kawasan Gunungsewu sebagai Dasar Pengembangan Model Pelestarian Lingkungan Karst, Laporan Hasil Penelitian - Hibah Penelitian Tim Pascasarjana HPTP Tahun 2006, Dirjendikti, Depdiknas - UGM, Yogyakarta. Yuwono, J.S.E, 2004, Arkeologi Karstik dan Metode Penelusuran Kawasam: Introduksi tentang Model Penerapannya di Gunung Sewu, Pendidikan dan Pelatihan Scientific Karst Exploration Tingkat Nasional, Rasamala KPA Sylvalestari dan Lawalata IPB, Bogor, April , 2004a, Posisi Geoarkeologis Temuan Artefak dan Fosil di Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah, Seminar Hasil Penelitian dengan Dana Masyarakat 2004, Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM, Yogyakarta, 23 Oktober , 2005, Kawasan Karst Perbukitan Rembang dan Arkeologisnya, Makalah untuk laporan penelitian tentang Pola Okupasi Gua-gua Hunian Prasejarah Kawasan Pegunungan Kendeng di Kab. Blora dan Rembang, Balai Arkeologi, Yogyakarta.

19 , 2005a, Paleogeografi Pegunungan Selatan Jawa dan Implikasinya terhadap Penyusunan Hipotesis tentang Migrasi Lokal Komunitas Prasejarah di Jawa Bagian Timur, dalam Sumijati As dan Sumarsono (ed), 2005, Potret Transformasi Budaya di Era Global, Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM, Yogyakarta, hlm , 2005b, Fosil di Wilayah Jawa Tengah: Nilai Penting dan Tantangannya, Lokakarya Permuseuman: Peranan Museum dalam Pembentukan Jati Diri Masyarakat, Ungaran, Museum Jawa Tengah Ronggowarsito, Juli

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005.

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA 2014 Indah Asikin Nurani Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. A. Hasil Penelitian Sampai Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang menarik, karena kawasan karst menjadi bukti berlangsungnya kehidupan pada jaman prasejarah.

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA A. Hasil Penelitian Selama Enam Tahap Indah Asikin Nurani Hasil penelitian sampai pada tahap keenam (2012), dapat disimpulkan beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya merupakan hubungan yang sangat erat dan saling berakibat sejak awal kemunculan manusia. Kehidupan

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia BAB V PENUTUP Manusia prasejarah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini makanan, telah mengembangkan teknologi pembuatan alat batu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mereka untuk dapat bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Gunungsewu merupakan bagian dari deretan pegunungan yang memanjang di sisi selatan Pulau Jawa. Kawasan ini memiliki luas sekitar 126.000 Ha yang terbentang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan

Lebih terperinci

Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan)

Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan) Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan) Taufiqurrahman Setiawan The prehistoric hunter and gatherers have two type of cave

Lebih terperinci

BAB V PENDEKATAN & KONSEP. Pendekatan konsep didasarkan kepada karakteristik baik gua maupun kondisi lingkungan kawasan karst.

BAB V PENDEKATAN & KONSEP. Pendekatan konsep didasarkan kepada karakteristik baik gua maupun kondisi lingkungan kawasan karst. BAB V PENDEKATAN & KONSEP 5.1 Pendekatan Konsep Pendekatan konsep didasarkan kepada karakteristik baik gua maupun kondisi lingkungan kawasan karst. 5.1.1 Pendekatan Karakteristik Tapak Karakteristik kawasan

Lebih terperinci

Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, Juni

Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, Juni 1 MELACAK BUKTI-BUKTI OKUPASI KOMUNITAS PRASEJARAH DI LINGKUNGAN KARST JAWA TIMUR BAGIAN SELATAN (upload: geoarkeologi.blog.ugm.ac.id, tanggal 22 Maret 2015) Oleh: J. Susetyo Edy Yuwono Jurusan Arkeologi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.640, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN ESDM. Kawasan Bentang Alam Karst. Penetapan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN

Lebih terperinci

C. Batas Wilayah Secara administratif area pendataan berada di Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.

C. Batas Wilayah Secara administratif area pendataan berada di Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Laporan Pendataan Gua, Mata Air dan Telaga di Karst Malang Selatan Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening Kecamatan Bantur Kabupaten Malang 19-20 September 2015 A. Latar Belakang Karst adalah bentukan

Lebih terperinci

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani http://pelatihan-osn.blogspot.com Lembaga Pelatihan OSN BENTANG ALAM KARST By : Asri Oktaviani Pengertian tentang topografi kars yaitu : suatu topografi yang terbentuk pada daerah dengan litologi berupa

Lebih terperinci

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract LOYANG 1 MENDALI SITUS HUNIAN PRASEJARAH DI PEDALAMAN ACEH Asumsi Awal Terhadap Hasil Penelitian Gua-gua di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah baik sumber daya alam hayati maupun non-hayati. Salah satu dari sekian banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat tulang digunakan sebagai alat bantu dalam suatu pekerjaan. Alat tulang telah dikenal manusia sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN MUSEUM PALEONTOLOGI PATIAYAM

BAB I PENDAHULUAN MUSEUM PALEONTOLOGI PATIAYAM BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sejarah panjang peradaban dan kebudayaan manusia. Jejak jejak manusia purba dan peradabannya yang ditemukan dari lapisan pleistosen terdapat di berbagai

Lebih terperinci

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gua Pawon dengan segala bentuk temuan prasejarah yang terkandung di dalamnya, begitu juga dengan lingkungannya bila di kaitkan dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. 1. Letak. timur adalah 51 Km dan dari utara ke selatan adalah 34 Km (dalam Peta Rupa

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. 1. Letak. timur adalah 51 Km dan dari utara ke selatan adalah 34 Km (dalam Peta Rupa digilib.uns.ac.id 53 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Letak a. Letak Astronomis Kabupaten Rembang terletak diantara 111 o 00 BT - 111 o 30 BT dan 6 o 30 LS - 7 o 00 LS atau dalam

Lebih terperinci

PENEMU 1. P.E.C. SCHEMULLING TAHUN 1864 FOSIL VERTEBRATA DARI KALIOSO 2. EUGENE DUBOIS, KURANG TERTARIK

PENEMU 1. P.E.C. SCHEMULLING TAHUN 1864 FOSIL VERTEBRATA DARI KALIOSO 2. EUGENE DUBOIS, KURANG TERTARIK PENEMU 1. P.E.C. SCHEMULLING TAHUN 1864 FOSIL VERTEBRATA DARI KALIOSO 2. EUGENE DUBOIS, KURANG TERTARIK 3. 1934, G.H.R. VON KOENINGSWALD MENEMUKAN ARTEFAK DI BARAT LAUT KUBAH SANGIRAN FOSIL MANUSIA SANGIRAN

Lebih terperinci

Karakteristik dan Pemanfaatan Mataair di Daerah Tangkapan Sistem Goa Pindul, Karangmojo, Gunungkidul

Karakteristik dan Pemanfaatan Mataair di Daerah Tangkapan Sistem Goa Pindul, Karangmojo, Gunungkidul Karakteristik dan Pemanfaatan Mataair di Daerah Tangkapan Sistem Goa Pindul, Karangmojo, Gunungkidul Romza Fauzan Agniy, Eko Haryono, Ahmad Cahyadi Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sumberdaya air bawah tanah merupakan sumberdaya yang vital dan strategis, karena menyangkut kebutuhan pokok hajat hidup orang banyak dalam berbagai aktivitas masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Pengertian Judul Pengertian Pusat Studi

PENDAHULUAN BAB I Pengertian Judul Pengertian Pusat Studi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul 1.1.1 Pengertian Pusat Studi Pusat: pokok pangkal atau yang menjadi pumpunan (berbagai-bagai urusan, hal, dsb). Studi: penelitian ilmiah; kajian; telaahan. Pokok

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 31 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Bio-Fisik Kawasan Karst Citatah Kawasan Karst Citatah masuk dalam wilayah Kecamatan Cipatat. Secara geografis, Kecamatan Cipatat merupakan pintu gerbang Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan potensi pariwisata. Ribuan pulau dengan berbagai macam suku dan kebudayaan serta alamnya yang elok menjadi obyek

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT 1 BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN SITUS GUA PAWON DAN LINGKUNGANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentukan alam khas geologi beserta warisannya kini, tersebar di

BAB I PENDAHULUAN. Bentukan alam khas geologi beserta warisannya kini, tersebar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentukan alam khas geologi beserta warisannya kini, tersebar di permukaan bumi tanpa harus diminta atau dibeli dengan biaya yang mahal. Ini merupakan bukti dari Maha

Lebih terperinci

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN SEJARAH PENEMUAN SITUS Keberadaan temuan arkeologis di kawasan Cindai Alus pertama diketahui dari informasi

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

PRASEJARAH INDONESIA

PRASEJARAH INDONESIA Tradisi Penguburan Jaman Prasejarah Di Liang Bua dan Gua Harimau E. Wahyu Saptomo Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta PRASEJARAH INDONESIA Prasejarah Indonesia dapat dibagi dua yaitu: - Prasejarah

Lebih terperinci

HUNIAN BERULANG DI DOLINA KIDANG, BLORA KALA HOLOSEN DWELLING RECURRING IN DOLINA KIDANG, BLORA HOLOCENE PERIOD. Indah Asikin Nurani PENDAHULUAN

HUNIAN BERULANG DI DOLINA KIDANG, BLORA KALA HOLOSEN DWELLING RECURRING IN DOLINA KIDANG, BLORA HOLOCENE PERIOD. Indah Asikin Nurani PENDAHULUAN HUNIAN BERULANG DI DOLINA KIDANG, BLORA KALA HOLOSEN DWELLING RECURRING IN DOLINA KIDANG, BLORA HOLOCENE PERIOD Indah Asikin Nurani Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jalan Gedong Kuning No. 174,

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR : 1518 K/20/MPE/1999 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI,

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR : 1518 K/20/MPE/1999 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI, KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR : 1518 K/20/MPE/1999 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI, Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang pertambangan harus memperhatikan

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu pariwisata perlu dikelola dan dikembangkan agar. itu sendiri maupun bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat 1.

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu pariwisata perlu dikelola dan dikembangkan agar. itu sendiri maupun bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Di Indonesia pariwisata merupakan sektor andalan penerimaan devisa negara bagi kegiatan ekonomi dan kegiatan sektor lain yang terkait. Oleh karena itu pariwisata perlu

Lebih terperinci

Studi Hidrogeologi dan Identifikasi Intrusi Air asin pada Airtanah di Daerah Samas, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Studi Hidrogeologi dan Identifikasi Intrusi Air asin pada Airtanah di Daerah Samas, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ketika kesetimbangan neraca air suatu daerah terganggu, maka terjadi pergeseran pada siklus hidrologi yang terdapat di daerah tersebut. Pergeseran tersebut dapat terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. palinomorf lainnya, baik yang masih hidup (actuopalinology) ataupun yang sudah

I. PENDAHULUAN. palinomorf lainnya, baik yang masih hidup (actuopalinology) ataupun yang sudah 1 I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Palinologi adalah ilmu yang mempelajari tentang polen, spora dan palinomorf lainnya, baik yang masih hidup (actuopalinology) ataupun yang sudah memfosil (paleopalinology).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan manusia, air tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik saja, yaitu digunakan untuk

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG, JELAJAH RUANG DAN WAKTU: Suatu Hipotesis. OCCUPATIONAL PATTERN OF KIDANG CAVE, EXPLORATION OF SPACE AND TIME: A Hypothesis

POLA OKUPASI GUA KIDANG, JELAJAH RUANG DAN WAKTU: Suatu Hipotesis. OCCUPATIONAL PATTERN OF KIDANG CAVE, EXPLORATION OF SPACE AND TIME: A Hypothesis POLA OKUPASI GUA KIDANG, JELAJAH RUANG DAN WAKTU: Suatu Hipotesis OCCUPATIONAL PATTERN OF KIDANG CAVE, EXPLORATION OF SPACE AND TIME: A Hypothesis Indah Asikin Nurani 1 & Agus Tri Hascaryo 2 1 Balai Arkeologi

Lebih terperinci

LETAK GEOGRAFIS DAN KEADAAN ALAM

LETAK GEOGRAFIS DAN KEADAAN ALAM LETAK GEOGRAFIS DAN KEADAAN ALAM PETA WILAYAH KABUPATEN TEMANGGUNG Temanggung Dalam Angka Tahun 2011 1 LETAK GEOGRAFI Kabupaten Temanggung terletak antara : 110 o 23' - 110 o 46'30" Bujur Timur 7 o 14'

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak dan rahang bawah oleh von

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak dan rahang bawah oleh von BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Daerah Sangiran merupakan daerah yang cukup terkenal penting karena ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak rahang bawah oleh von Koeningswald (1940). Salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 %

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan wilayah dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % dari luas wilayah Provinsi

Lebih terperinci

KARAKTER BUDAYA GUA KIDANG HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST PEGUNUNGAN UTARA JAWA

KARAKTER BUDAYA GUA KIDANG HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST PEGUNUNGAN UTARA JAWA KARAKTER BUDAYA GUA KIDANG HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST PEGUNUNGAN UTARA JAWA THE CULTURAL CHARACTER OF GUA KIDANG (KIDANG CAVE), A PREHISTORIC HABITATION SITE ON THE KARST OF THE NORTH MOUNTAINS OF

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR S A R I Oleh : Sjaiful Ruchiyat, Arismunandar, Wahyudin Direktorat Geologi Tata Lingkungan Daerah penyelidikan hidrogeologi Cekungan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH

JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH Klementin Fairyo (Balai Arkeologi Jayapura) Abstrack Humans and the environment are interrelated and inseparable. Environment provides everything and

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Timur. Fenomena permukaan meliputi bentukan positif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Timur. Fenomena permukaan meliputi bentukan positif, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan Karst Gunung Sewu mempunyai bentang alam yang sangat khas, dengan luas area + 1730 km 2 berupa puluhan ribu bukit batu gamping dengan ketinggian antara 20-50

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai

I. PENDAHULUAN. yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karst adalah bentang alam di permukaan dan di bawah permukaan tanah yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai akibat proses pelarutan air.

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kab. Gunungkidul terdiri atas 3 (tiga) satuan fisiografis atau ekosistem bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi pembagian satuan

Lebih terperinci

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b Tema 7 Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir & Daerah Aliran Sungai ke-1 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 9 April 2015 Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai Muhammad Rijal

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Kendeng Utara terbentang mulai dari Kabupaten Kudus, sampai dengan Kabupaten Tuban, termasuk di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Kendeng Utara terbentang mulai dari Kabupaten Kudus, sampai dengan Kabupaten Tuban, termasuk di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Kendeng Utara terbentang mulai dari Kabupaten Kudus, sampai dengan Kabupaten Tuban, termasuk di antaranya adalah Kabupaten Grobogan, Blora, Pati dan Rembang.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karst berasal dari bahasa daerah Yugoslavia yang merupakan nama suatu kawasan diperbatasan Italia Utara dan Yugoslavia sekitar kota Trieste. Istilah Karst ini

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Abstact...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Abstact... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Intisari... Abstact... i ii ii iv x xi xvi xviii xix BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata Pada dasarnya pengembangan pariwisata adalah suatu proses yang berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Kondisi Umum Pegunungan Menoreh Kulonprogo 3.1.1. Tinjauan Kondisi Geografis dan Geologi Pegunungan Menoreh Pegunungan Menoreh yang terdapat pada Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota. GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota. GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang mempunyai keindahan alam yang pantas untuk diperhitungkan.

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang luas lautan yang merupakan pesisir utara pulau Jawa. Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. membentang luas lautan yang merupakan pesisir utara pulau Jawa. Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Tuban provinsi Jawa Timur merupakan wilayah yang berada di Jalur Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa. Sebelah utara Kabupaten Tuban membentang luas lautan

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB III ZAMAN PRASEJARAH

BAB III ZAMAN PRASEJARAH 79 BAB III ZAMAN PRASEJARAH Berdasarkan geologi, terjadinya bumi sampai sekarang dibagi ke dalam empat zaman. Zaman-zaman tersebut merupakan periodisasi atau pembabakan prasejarah yang terdiri dari: A.

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA PULAU BALI 1. Letak Geografis, Batas Administrasi, dan Luas Wilayah Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8 3'40" - 8 50'48" Lintang Selatan dan 114 25'53" -

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia termasuk Negara Kepulauan yang memiliki rangkaian pegunungan dengan jumlah gunung berapi yang cukup tinggi, yaitu sekitar 240 gunung. Diantaranya, sekitar 70

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. menjadi pusat pengembangan dan pelayanan pariwisata. Objek dan daya tarik

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. menjadi pusat pengembangan dan pelayanan pariwisata. Objek dan daya tarik I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah tujuan wisata kedua di Indonesia setelah Bali. DIY juga menjadi salah satu propinsi yang menjadi pusat pengembangan

Lebih terperinci

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. merupakan salah satu pendekatan dalam perancangan arsitektur yang

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. merupakan salah satu pendekatan dalam perancangan arsitektur yang BAB 5 KONSEP PERANCANGAN Konsep perancangan pada redesain kawasan wisata Gua Lowo di Kabupaten Trenggalek menggunakan tema Organik yang merupakan salah satu pendekatan dalam perancangan arsitektur yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata.

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka percepatan pembangunan daerah, salah satu sektor yang menjadi andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. Pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup sangat tergantung pada lingkungan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup sangat tergantung pada lingkungan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup sangat tergantung pada lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Manusia perlu suplai udara, makanan, minuman, tempat untuk bernaung, tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia. Manfaat air sangat luas bagi kehidupan manusia, misalnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, irigasi, industri,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci