BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teori tentang konseling dari dulu telah berkembang dan mengalami banyak kemajuan. Beberapa teori tentang konseling berkembang dengan pesat. Salah satu teori yang dikenal oleh masyarakat luas antara lain adalah teori Rasional Emotif Terapi yang dikembangkan oleh Albert Ellis. Adapun pemaparan konsep, akan dibahas di Bab berikutnya. Keberagaman teori tentang konseling mengakibatkan terjadi banyak cara dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh konseli. Tentunya bukan begitu saja menyelesaikan masalah tersebut dengan teori tertentu tapi tergantung kategori masalah yang dihadapi oleh konseli. Setiap individu memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing yang mungkin tidak dimiliki oleh individu lain. Begitu juga dengan masalah yang dihadapi konseli. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan menguraikan salah satu dari teori konseling individual yaitu mengenai teori RET (Rational Emotive Therapy) yang dikemukakan oleh Albert Ellis dan kami pun membahas tentang teknik konseling yang mungkin bisa di terapkan oleh konselor terhadap konseli dalam proses konseling dengan berpegangan pada teori Ellis. 1.2 Tujuan Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan keilmuan kita dan kita bisa mempraktekkan teknik-teknik yang ada dalam RET, dan apa yang akan dilakukan dalam penanganan konseli ketika melakukan proses konseling, dengan berpedoman pada teori RET yang telah di ajukan Ellis. (1)

2 1.3 Metode Penulisan Metode yang kami lakukan dalam penulisan makalah ini adalah dengan studi literatur yang berhubungan dengan teori pokok yang dikemukakan oleh Albert Ellis dan implementasi yang mungkin bisa di lakukan. Sumber utama dalam penulisan makalah ini adalah buku-buku yang berhubungan dengan RET, sedangkan artikel dan tulisan yang ada dalam internet di jadikan sebagai tambahan wawasan dalam memahami teori dari Elis ini. 1.4 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Metode Penulisan 1.4 Sistematika Penulisan BAB II PEMBAHASAN 2.1 Latar belakang munculnya teori Rational Emotive Therapy 2.2 Pandangan Rational Emotive Therapy tentang manusia 2.3 Konsep utama Rational Emotive Therapy 2.4 Tujuan konseling Rational Emotive Therapy 2.5 Konseli dalam Rational Emotive Therapy 2.6 Peran konselor dalam konseling Rational Emotive Therapy 2.7 Teknik yang digunakan dalam konseling Rational Emotive Therapy 2.8 Keterbatasan Rational Emotive Therapy 2.9 Implementasi praktis Konseling RET BAB III SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA (2)

3 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Latar Belakang Munculnya Teori Rational Emotive Therapy Biografi ini dikutipkan dari Sketch of AIbert Ellis, karangan Gary Gregg. Ellis lahir di Pittsburgh pada tahun 1913 dan besar di New York City. Sewaktu SMA, Ellis ingin menjadi pengarang novel Amerika terbesar. Untuk cita-cita ini dia merencanakan belajar akuntansi di sekolah menengah dan di perguruan tiuggi, kemudian bekerja sebagai akuntan yang sukses dan pensiun di usia 30. Badai depresi tahun 20-an di Amerika memupuskan cita-citanya ini, tapi dia tetap berhasil menamatkan kuliahnya tahun 1934 di bidang administrasi bisnis pada City University of New York. Kiprahnya di dunia bisnis dimulai bersama saudaranya dengan usaha duplikasi celana. Perusahan-perusahaan garmen di New York merasa tidak senang dengan usahanya ini, karena dianggap membajak. Tahun 1938, dia diterima sebagai salah seorang manajer di sebuah perusahaan baru yang sedang naik daun. Ellis biasanya menghabiskan waktu senggangnya dengan menulis cerita pendek, naskah drama, novel, puisi komedi, esai dan buku-buku non-fiksi. Saat itu usianya baru 28 tahun dan telah menghasilkan dua lusin manuskrip karangan, tapi tidak mampu menerbitkannya. Karena sadar bahwa masa depannya bukanlah menjadi seorang penulis fiksi, dia memutuskan beralih ke bidang non-fiksi, dengan memperkenalkan apa yang dia sebut sebagai "Revolusi Seks Keluarga". Selama dia mengumpulkan bahan-bahan untuk sebuah risalah yang diberi judul "The Case for Sexual Liberty", teman-temannya lambat laun mulai menganggap dia memiliki keahlian yang cukup di bidang ini. Pada tahun 1942, dia kembali sekolah, masuk program psikologi-klinis di Universitas Columbia. Dia mulai (3)

4 melakukan praktik pribadi dari pintu ke pintu dan setelah itu membuka konseling seks setelah menerima gelar master tahun Ketika Universitas Columbia menganugerahinya gelar Doktor tahun 1947, Ellis mulai yakin bahwa psikoanalisis adalah bentuk terapi yang paling efektif dan mendalam. Dia memutuskan melakukan pelatihan analisis, dan menjadi psikoanalis yang cukup berpengaruh selama beberapa tahun. Institut psikoanalisis saat itu tidak menerima analis kalau tidak bergelar M.D.s, namun dia berkenalan dengan kelompok analis yaitu Karen Horney yang mau bekerja sama dengannya. Ellis berhasil menyelesaikan analisisnya dan mulai membuka praktik psikoanalisis klasik di bawah bimbingan gurunya. Di akhir tahun 40-an, dia mengajar di Rutgers dan New York University, dan menjadi psikolog senior di Northern New Jersey Mental Hygiene Clinic. Dia juga menjadi psikolog utama di New Jersey Diagnostic Center dan kemudian di New Jersey Departement of Institutions and Agencies. Keyakinan Ellis terhadap psikoanalisis akhirnya pudar. Ketika dia bertemu dengan konselinya sekali seminggu, kemajuan yang dialami konselinya sama dengan kalau mereka bertemu sekali sehari. Dia kemudian memutuskan untuk berperan lebih aktif lagi memberikan nasihat yang konkret dan tafsiran langsung terhadap persoalan keluarga atau persoalan seksual yang dikonsultasikan konseli kepadanya. Dengan prosedur seperti ini, konselinya mengalami kemajuan yang lebih pesat dibanding dengan prosedur pasif psikoanalisis yang selama ini diterapkan. Karena sebelum menjalankan analisis kepada para koselinya, Ellis telah menghadapi berbagai pertanyaan yang dia temukan ketika membaca dan mempraktikkan filsafat Epictetus, Marcus Aurelius, Spinoza dan Bertrand Russell, maka dia pun mengajarkan prinsip-prinsip yang dia dapat dari bacaannya dan terbukti berhasil untuk dirinya dan para konselinya. Pada tahun 1955, Ellis menghentikan praktik psikoanalisisnya dan berkonsentrasi pada bagaimana mengubah perilaku orang yang dilandaskan pada keyakinan irasional dan memengaruhinya agar mau menerima pertimbangan-pertimbangan (4)

5 yang lebih rasional. Gaya seperti ini agaknya memang sangat cocok dengan sosok Ellis, karena dia bisa jujur pada dirinya sendiri. "Ketika saya memiliki perasaan yang rasional", katanya, "proses kepribadian saya benar-benar mulai menggeliat". 2.2 Pandangan Rational Emotive Therapy Tentang Manusia Ellis memandang bahwa manusia itu mempunyai sifat rasional dan irasional. Biasanya individu berperilaku dengan cara-cara tertentu karena ia percaya bahwa ia harus bertindak dengan cara itu. Masalah-masalah emosional terletak dalam berpikir yang tidak logis, jika individu dapat mengoptimalkan kekuatan intelektualnya maka ia dapat membebaskan dirinya dari gangguan emosional. Para penganut teori RET percaya bahwa tidak ada orang yang disalahkan dalam segala sesuatu yang dilakukannya, tetapi setiap orang bertanggung jawab akan tingkah lakunya. 2.3 Konsep Utama Rational Emotive Therapy Unsur pokok terapi rasional-emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah. Menurut Ellis, pikiran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan di prasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik. Pikiranpikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengarulu pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran. (5)

6 RET dimulai dengan ABC: A adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu, seperti kesulitan-kesulitan keluarga, kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal lain yang kita anggap sebagai penyebab ketidak bahagiaan. B adalah beliefs, yaitu keyakinan-keyakinan, terutama yang bersifat irasional dan merusak diri sendiri yang merupakan sumber ketidakbahagiaan kita. C adalah consequence, yaitu konsekuensi-konsekuensi berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti panik, dendam dan amarah karena depresi yang bersumber dari keyakinan-keyakinan kita yang keliru. Ellis menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus melawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar konselinya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional. Sebagai contoh, "orang depresi merasa sedih dan kesepian karena dia keliru berpikir bahwa dirinya tidak pantas dan merasa tersingkir". Padahal, penampilan orang depresi sama saja dengan orang yang tidak mengalami depresi. Jadi, Tugas seorang terapis bukanlah menyerang perasaan sedih dan kesepian yang dialami orang depresi, melainkan menyerang keyakinan mereka yang negatif terhadap diri sendiri. Walaupun tidak terlalu penting bagi seorang terapis mengetahui titik utama keyakinan-keyakinan irasional tadi, namun dia harus mengerti bahwa keyakinan tersebut adalah hasil "pengkondisian filosofis", yaitu kebiasaan-kebiasaan yang muncul secara otomatis, persis seperti kebiasaan kita yang langsung mengangkat dan menjawab telepon setelah mendengarnya berdering. Ellis juga menambahkan bahwa secara biologis manusia memang "di program" untuk selalu menanggapi "pengkondisian-pengkondisian" semacam ini. (6)

7 Keyakinan-keyakinan irasional tadi biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan absolut. Ada beberapa jenis "pikiran-pikiran yang keliru" yang biasanya diterapkan orang, di antaranya: a. Mengabaikan hal-hal yang positif, b. Terpaku pada yang negatif, c. Terlalu cepat menggeneralisasi. Dua Belas Ide Irasional yang Menyebabkan dan Memperparah Neurosis: No Ide Irasional Ide Seharusnya 1. Ide bahwa setiap orang dewasa pasti merasa ingin dicintai orang lain atas segala yang dia lakukan. Memfokuskan perhatian gagasan untuk mencintai orang lain ketimbang selalu menuntut cinta dari orang lain. 2. Ide bahwa ada tindakan-tindakan tertentu yang jelek dan merusak, dan pelakunya mesti dikecam karena tidak tahu malu. 3. Ide bahwa "dunia akan kiamat" kalau segala sesuatunya tidak berjalan sesuai dengan rencana. 4. Ide bahwa hal-hal yang membuat manusia menderita pasti datang dari luar dan ditimpakan pada diri kita oleh orang lain. 5. Ide kalau satu hal sangat menakutkan atau berbahaya, maka kita seharusnya sangat terobsesi dengan hal itu. 6. Ide bahwa lebih mudah menghindar dari kesulitan hidup dan tanggung Buruknya tindakan seseorang belum tentu menyebabkannya menjadi individu yang tidak berguna. Kalaupun kemungkinan itu tidak ada, kita pun lebih baik bersabar menerima kenyataan dan tetap berusaha mencari jalan keluar. Gagasan bahwa sikap neurotik itu disebabkan oleh pandangan kita sendiri akibat kondisi yang tidak menguntungkan di sekeliling kita. Kita seharusnya dengan tabah menghadapi keadaan itu dan memandangnya sebagai bukan akhir dari segala-galanya. Bukannya berpegang pada gagasan bahwa jalan yang mudah pada (7)

8 jawab ketimbang berusaha akhirnya akan menyusahkan diri menghadapi dan menaklukannya. sendiri. 7 Ide bahwa kita membutuhkan Lebih baik berpikir dan bertindak sesuatu yang lebih kuat atau lebih besar dari diri kita sendiri yang sesuai kehendak sendiri dengan apa pun risikonya. dapat dijadikan pegangan. 8. Ide bahwa kita harus selalu punya. kemampuan dan kecerdasan serta Lebih baik bertindak sesuai dengan. kemampuan ketimbang hanya punya selalu berhasil mengelolanya keinginan melakukan hal terbaik dan dengan baik. tidak mau menerima kenyataan. 9 Ide bahwa ketika satu peristiwa besar terjadi, peristiwa tersebut pasti Gagasan bahwa apa yang terjadi di masa lalu mesti dijadikan konselian berbekas dan memengaruhi buat hari ini dan masa yang akan kehidupan kita selamanya. dating. 10 Ide bahwa kita harus mampu Kita tetap bisa menjalani kehidupan mengatur sesuatu dengan baik. dengan segala kemungkinan ini. 11 Ide bahwa kebahagiaan bisa dicapai dengan bakat alami yang ada dalam diri seseorang sejak lahir. Gagasan bahwa keinginan kita untuk bahagia ditentukan oleh kemauan kita mencapai tujuan secara kreatif. 12 Ide bahwa kita pada akhirnya tidak dapat menguasai perasaan sendiri Kita sebenarnya mampu mengontrol perasaan buruk jika kita mau mengubah dan perasaan kecewa terhadap pengandaian yang menyebabkan sesuatu pasti tidak bisa dielakkan. perasaan-perasaan buruk itu. (Diambil dari The Essence of Rational Emotive Behavior Therapy, karangan Albert Ellis, Ph.D,1994.) Secara ringkas, Ellis mengatakan bahwa ada tiga keyakinan irasional: a. "Saya harus punya kemampuan sempurna, atau saya akan jadi orang yang tidak berguna": b. "Orang lain harus memahami dan mempertimbangkan saya, atau mereka akan menderita". c. "Kenyataan harus memberi kebahagiaan pada saya, atau saya akan binasa". (8)

9 2.4 Tujuan Konseling Rational Emotive Therapy Tujuan utama konseling rasional-emotif adalah sebagai berikut: a. Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan konseli yang irasional menjadi rasional dan logis agar konseli dapat mengembangkan diri, meningkatkan self actualization-nya seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif. b. Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti: rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, rasa was-was, rasa marah, sebagai konseling dari cara berpikir dan sistem keyakinan yang keliru dengan jalan melatih dan mengajar konseli untuk meghadapi kenyataankenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan, nilai-nilai dan kemampuan diri sendiri. Sebagai suatu bentuk hubungan yang bersifat membantu (helping relationship), terapi rasional-emotif mempunyai karakteristik sebagai berikut a. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling atau terapeutik, terapis/ konselor lebih aktif membantu mengarahkan konseli dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya. b. Kognitif-eksperiensiai, artinya bahwa hubungan yang dibentuk harus berfokus pada aspek kognitif dari konseli dan berintikan pemecahan masalah yang rasional. c. Emotif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk juga harus melihat aspek emotif konseli dengan memkonseli sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut. d. Behavioristik, artinya bahwa hubungan yang dibentuk harus menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan perilaku dalam diri konseli. e. Kondisional, artinya bahwa hubungan dalam terapi rasional-emotif dilakukan dengan membuat kondisi-kondisi tertentu terhadap konseli melalui berbagai teknik kondisioning untuk mencapai tujuan terapi konseling. (9)

10 2.5 Konseli dalam Rational Emotive Therapy Pandangan yang penting dari teori rasional-emotif adalah konsep bahwa banyak perilaku emosional individu yang berpangkal pada "self-talk" atau "omong diri" atau internalisasi kalimat-kalimat yaitu orang yang menyatakan kepada dirinya sendiri tentang pikiran dan emosi yang bersifat negatif. Adanya orang-orang yang seperti itu, menurut Eilis adalah karena: (1) terlalu bodoh untuk berpikir secara jelas, (2) orangnya cerdas tetapi tidak tahu bagaimana berpikir secara jelas dalam hubungannya dengan keadaan emosi, (3) orangnya cerdas dan cukup berpengetahuan tetapi terlalu neurotik untuk menggunakan kecerdasan dan pengetahuan secara memadai. Jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa konseling rasional-emotif akan cocok digunakan dalam menangani konseli yang mempunyai pemikiran irasional (negatif) tentang dirinya dan mempunyai gangguan emosional yang merusak dirinya. 2.6 Peran Konselor dalam Konseling Rational Emotive Therapy Tugas kanselor menurut Ellis ialah membantu individu yang tidak bahagia dan menghadapi hambatan, untuk menunjukkan bahwa: (a) kesulitannya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak logis, dan (b) usaha memperbaikinya adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan. Konselor yang efekif akan membantu konseli untuk mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak logis. Tujuan utama terapi rasional-emotif adalah menunjukkan kepada konseli bahwa verbalisasi diri mereka merupakan sumber gangguan emosionalnya. Kemudian membantu konseli agar memperbaiki cara berpikir, merasa, dan berperilaku, sehingga ia tidak lagi mengalami gangguan emosional di masa yang akan datang. (10)

11 2.7 Teknik yang di Gunakan dalam Konseling Rational Emotive Therapy Terapi rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi konseli. berikut ini akan dikemukakan beberapa macam teknik. 1. Teknik-teknik emotif (afektif): 1.1 Teknik Assertive Training, yaitu teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan konseli untuk secara terus menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien. 1.2 Teknik sosiodrama, yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang didramatisasikan sedemikian rupa sehingga konseli dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan ataupun melalui gerakan-gerakan dramatis. 1.3 Teknik self modeling" atau "diri sebagai model", yakni teknik yang digunakan untuk meminta konseli agar "berjanji" atau mengadakan "komitmen" dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu. Dalam self modeling ini, konseli diminta untuk tetap setia pada janjinya dan secara terus menerus menghindarkan dirinya dari perilaku negatif. 1.4 Teknik imitasi, yakni teknik yang digunakan dimana konseli diminta untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif. 2. Teknik-teknik Behavioristik Dalam banyak hal, konseling rasional-emotif banyak menggunakan teknik terapi behavioral terutama dalam upaya memodifikasi perilaku-perilaku negatif (11)

12 dari konseli dengan mengubah akar-akar keyakinannya yang tidak rasional dan tidak logis. Beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah: 2.1 Teknik Reinforcement (penguatan), yakni teknik yang digunakan untuk mendorong konseli ke arah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun punishment (hukuman). Bila perilaku konseli mengalami kemajuan dalam arti positif, maka ia dipuji "baik" bila mundur dalam arti masih negatif, maka dikatakan "tidak baik". Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irasional pada konseli dan menggantinya dengan sistem nilai yang posistif. Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka konseli akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya. 2.2 Teknik sosial modeling (pemodelan sosial), yakni teknik yang digunakan untuk memberikan perilaku-perilaku baru pada konseli Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (peniruan), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dengan model sosial yang dibuat itu. Dalam teknik ini, konselor mencoba mengamati bagaimana proses konseli mempersepsi, menyesuaikan dirinya dan menginternalisasi normanorma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor atau terapis. 2.3 Teknik Live models (model dari kehidupan nyata), yang digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu, khususnya situasisituasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan sosial, interaksi dengan memecahkan masalah-masalah. 3. Teknik-teknik kognitif Teknik-teknik konseling atau terapi berdasarkan pendekatan kognitif memegang peranan utama dalam konseling rasional-emotif. Teknik-teknik ini digunakan dengan maksud untuk mengubah sistem keyakinan yang irasional konseli serta perilaku-perilakunya yang negatif. Dengan teknik ini (12)

13 konseli didorong dan dimodifikasi aspek kognitifnya agar dapat berpikir dengan cara yang rasional dan logis sehingga konseli dapat bertindak atau berperilaku sesuai sistem nilai yang diharapkan baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungannya. Beberapa teknik kognitif yang cukup dikenal adalah: 3.1 Home Work Assigments (Pemberian tugas rumah). Dalam teknik ini, konseli diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan konseli diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide serta perasaan-perasaan yang irasional dalam situsasi-situasi tertentu, mempraktekkan respons-respons tertentu, berkonfrontasi dengan verbalisasi dari yang mendahului, mencari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikam Selanjutnya, pelaksanaan Home Work Assigments yang diberikan konselor dilaporkan oleh konseli dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor di kantor, di sekolah, atau di tempat lain. Teknik ini sebenarnya dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikapsikap bertanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri konseli serta mengurangi ketergantungannya kepada konselor atau terapis. 3.2 Teknik Assertive. Teknik ini digunakan untuk melatih keberanian konseli dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui; role playing atau bermain peran, latihan, dan social modeling atau meniru model-model sosial John L. Shelton (1977) mengemukakan bahwa maksud utama teknik Assertive Training adalah untuk (a) mendorong kemampuan konseli mengekpresikan seluruh hal yang herhubungan dengan emosinya, (b) membangkitkan kemampuan konseli dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau (13)

14 memusuhi hak asasi orang lain, (c) mendorong kepercayaan pada kemampuan diri sendiri, (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku asertif yang cocok untuk dirinya sendiri. Dalam mengaplikasi berbagai teknik konseling rasional-emotif, Albert Ellis menganjurkan untuk menggunakan dan menggabungkan beberapa teknik tertentu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi konseli. Hanya Ellis menyarankan agar teknik Home Work Assigment perlu digunakan sebagai syarat utama untuk sesuatu terapi atau konseling yang tuntas. 2.8 Keterbatasan Rational Emotive Therapy a. RET dianggap terlalu menyederhanakan masalah yang dimiliki oleh individu. b. Konselor dalam RET mengajarkan kepada konseli tentang nilai-nilai kebenaran, tetapi bisa jadi nilai-nilai kebenaran yang disampaikan oleh konselor terhadap konseli bersifat subjektif. c. RET menganggap bahwa menyalahkan diri sendiri itu buruk, padahal bisa jadi perasaan bersalah itu bisa menjadi ajang evaluasi diri untuk berubah menjadi lebih baik. 2.9 Implementasi Praktis Konseling RET Dalam pelaksanaan RET ini, ada beberapa langkah yang perlu diambil. Mengenal pasti kecenderungan dan cara berpikir konseli tersebut. (Contoh: Saya bukan seorang yang menarik karena orang selalu mencemooh saya. Saya malu dan saya mesti bersembunyi dari mereka). Kemudian mengetahui secara pasti bahwa kecenderungan dan cara berpikir itu dapat diubah. Jika kecenderungan dan cara berpikir konseli tersebut dapat diubah, maka konselor dapat melanjutkan pada tahap selanjutnya. (14)

15 Konselor hendaknya menyuruh konseli tersebut berhenti berpikir seperti itu, karena hal tersebut tidak menguntungkan. Konselor perlu menekankan masalah yang dihadapi konseli itu adalah disebabkan cara berpikir yang salah karena dia menilai keseluruhan dirinya dari perspektif orang atau kawannya. Dengan penekanan itu diharapkan akan menimbulkan pikiran baru dalam dirinya. (Contoh: kenapa saya menilai diri saya dari perspektif mereka? saya mesti berpikiran yang baik tentang diri saya, sebab saya tidak nyaman dengan cara berpikiran saya sebelumnya). Seandainya terlihat perubahan pada diri konseli tersebut, maka konselor melanjutkan pada tahap berikutnya. Konselor hendaknya berusaha mengubah pikiran konseli tersebut dengan cara berpikir yang baru dan lebih rasional serta logis yang dapat diterima oleh konseli tersebut. Konselor dapat mengemukakan bukti untuk menguatkan argumennya tersebut untuk membuat satu pemikiran baru dalam dirinya. (Contoh: Saya tidaklah terlalu buruk karena dalam kehidupan saya tidak sendiri, sebenarnya masih ada orang yang suka dan menghargai diri saya). Perubahan diri konseli tersebut akan terlihat dari tingkah laku, raut wajah dan cara dia membalas ejekan tersebut. Jika positif maka konselor terus membimbing konseli itu supaya konseli tersebut dapat bertindak dan mengimplementasikan perbuatan berdasarkan pemikiran barunya tersebut. (Contoh: Saya tidak akan bersembunyi lagi. Saya akan berusaha bergaul dengan orang lain. setidaknya saya sudah berusaha. Saya percaya manusia itu berbedabeda, pasti ada yang bisa menerima diri saya apa adanya). Kemudian, konselor harus dapat meyakinkan konseli tersebut bahwa ia akan menjalani kehidupan yang lebih baik jika dia terus mengamalkan dan mempraktikkan cara berpikirnya yang baru tersebut. (15)

16 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Albert Ellis pada terapinya lebih menekankan pada pendekatan aspek kognitif, karena melalui aspek kognitif lebih mudah menyentuh dasar kesadaran seseorang. Unsur pokok terapi rasional-emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah Menurut Ellis, pikiran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Teknik-teknik konseling atau terapi berdasarkan pendekatan kognitif memegang peranan utama dalam konseling rasional-emotif. Teknik-teknik ini digunakan dengan maksud untuk mengubah sistem keyakinan yang irasional konseli serta perilaku-perilakunya yang negatif. Dengan teknik ini konseli didorong dan dimodifikasi aspek kognitifnya agar dapat berpikir dengan cara yang rasional dan logis sehingga klien dapat bertindak atau berperilaku sesuai sistem nilai yang diharapkan baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungannya. Pendekatan ini jika diterapkan pada praktik yang benar akan dapat banyak membantu dalam menangani masalah konseli yang bertitik tolak dari cara mereka berpikir. Banyak masalah yang dihadapi oleh konseli sebenarnya timbul hanya karena cara mereka berpikir yang tidak logis atau irasional. Akibatnya emosi dan perilaku mereka juga terpengaruh dengan cara berpikir tersebut. Dalam arus kehidupan mereka yang mencoba mengenal dan mencari jadi diri, konseli berhadapan dengan berbagai rintangan yang mengundang dan mengajak mereka berpikir mandiri. Dalam proses penyelesaian masalah inilah mereka akan sampai kepada satu kesimpulan apakah ia berpikiran rasional atau irasional. Apabila mereka salah membuat kesimpulan, maka ini akan menjadi satu tekanan dan akan menghantui perjalanan hidup mereka. Dengan demikian, pendekatan ini berusaha (16)

17 meluruskan dan mengubah cara berpikir yang tidak rasional yang menyebabkan gangguan pada diri konseli tersebut dengan membimbing dan memandu cara berpikir konseli tersebut kepada cara berpikir yang lebih rasional yang dapat menyenangkan hidup mereka. Dengan demikian mereka akan dapat berkonsentrasi dengan pelajaran dan tugas mereka sebagai pelajar. (17)

18 DAFTAR PUSTAKA Boerre, George Personality Theories. Yogyakarta: Prisma Sophie Corey, Gerald Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama Surya, Mohammad Dasar-dasar Konseling Pendidikan. Bandung: Bakti Winata, Teori-teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy www. Pelita Bruney.com (18)

BAB I PENDAHULUAN. fenomena---teori adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena.

BAB I PENDAHULUAN. fenomena---teori adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai suatu kegiatan profesional dan ilmiah, pelaksaan konseling bertitik tolak dari teori-teori yang dijadikan sebagai acuannya. Pada umumnya teori diartikan

Lebih terperinci

A. Konsep Dasar. B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

A. Konsep Dasar. B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah A. Konsep Dasar Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten.

Lebih terperinci

KONSEP DASAR. Manusia padasarnya adalah unik memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional

KONSEP DASAR. Manusia padasarnya adalah unik memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional KONSEP DASAR Manusia padasarnya adalah unik memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN RATIONAL EMOTIVE THERAPY DALAM KELUARGA

BAB II PENDEKATAN RATIONAL EMOTIVE THERAPY DALAM KELUARGA BAB II PENDEKATAN RATIONAL EMOTIVE THERAPY DALAM KELUARGA 2.1. Konsep Dasar Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem Modul ke: Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem Fakultas Psikologi Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konseling Berbasis Problem Konseling berbasis problem:

Lebih terperinci

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran)

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran) A. Identitas Nama Umur Jenis kelamin Agama Pekerjaan Asal Sekolah Kelas : Nissa (Nama Samaran) : 18 tahun : Perempuan : Islam : Siswa : SMA Negeri 1 Sanden : XII Semester : 1 Alamat B. Deskripsi Kasus

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 09 61033 Agustini, M.Psi., Psikolog Abstract Dalam perkuliahan ini akan

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy)

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy) Modul ke: Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy) Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pendekatan Kognitif Terapi kognitif: Terapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Laar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Laar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Laar Belakang Masalah Dengan berasumsi bahwa remaja adalah makhluk yang sangat perlu dipahami oleh orang-orang di sekitarnya, maka timbul berbagai macam cara dari beberapa sumber yang

Lebih terperinci

The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand?

The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand? The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand? Rational Emotive Behavior Therapy Nanang Erma Gunawan nanang_eg@uny.ac.id Albert Ellis Lahir di Pittsburgh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia perlu berkomunikasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERAPI RASIONAL EMOTIF DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONFRONTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK KORBAN BULLYING

BAB IV ANALISIS TERAPI RASIONAL EMOTIF DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONFRONTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK KORBAN BULLYING BAB IV ANALISIS TERAPI RASIONAL EMOTIF DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONFRONTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK KORBAN BULLYING Setelah menyajikan data hasil lapangan maka peneliti melakukan analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan Belajar Siswa, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011), 2

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan Belajar Siswa, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011), 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sikap pasif siswa sering ditunjukan dalam sebuah proses belajar, hal ini terlihat dari perilaku siswa dalam sebuah proses belajar yang cenderung hanya berperan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan

TINJAUAN PUSTAKA. yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan TINJAUAN PUSTAKA A. Fobia 1. Definisi Fobia Marks (dalam Morris dkk, 1987) mengatakan bahwa fobia merupakan bentuk yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas.

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas. 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam Bab berikut dipaparkan mengenai latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan dan pertanyaan penelitian, tujuan peneltian dan manfaat penelitian. A. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Mengompol merupakan suatu kondisi yang biasanya terjadi pada anakanak yang berusia di bawah lima tahun. Hal ini dikarenakan anak-anak belum mampu melakukan pengendalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempunyai karakter yang baik sesuai dengan harapan pemerintah. Salah

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempunyai karakter yang baik sesuai dengan harapan pemerintah. Salah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah saat ini menuntut siswa untuk mempunyai karakter yang baik sesuai dengan harapan pemerintah. Salah satu karakter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Guru dihadapkan pada karakterisktik siswa yang beraneka ragam dalam kegiatan pembelajaran. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajar secara lancar dan

Lebih terperinci

A. Analisis Proses Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Islam dengan. Terapi Rasional Emotif dalam Menangani Trauma Seorang Remaja

A. Analisis Proses Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Islam dengan. Terapi Rasional Emotif dalam Menangani Trauma Seorang Remaja BAB IV ANALISIS (BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN TERAPI RASIONAL EMOTIF DALAM MENANGANI TRAUMA SEORANG REMAJA KORBAN PENCULIKAN DI KELURAHAN KEBRAON KARANG PILANG SURABAYA Pada bab ke empat ini peneliti

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. yang diperoleh dari penyajian data adalah sebagai berikut:

BAB IV ANALISIS DATA. yang diperoleh dari penyajian data adalah sebagai berikut: BAB IV ANALISIS DATA Setelah menyajikan data hasil lapangan maka peneliti melakukan analisis data, analisis data ini dilakukan peneliti untuk memperoleh suatu hasil penemuan dari lapangan berdasarkan fokus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bimbingan konseling adalah suatu hal yang sangat erat hubungannya dengan pendidikan. Pendidikan yang merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka merubah

Lebih terperinci

TERAPI RASIONAL EMOTIF Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog*

TERAPI RASIONAL EMOTIF Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog* TERAPI RASIONAL EMOTIF Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog* Ide Dasar Terapi Rasional Emotif merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam psikoterapi. Terapi Rasional

Lebih terperinci

A. Konsep Dasar Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku

A. Konsep Dasar Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku A. Konsep Dasar Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten.

Lebih terperinci

Rational-Emotive Therapy. Albert Ellis. ALBERT ELLIS (lahir 1913) lahir di Pittsburgh tetapi melarikan diri ke

Rational-Emotive Therapy. Albert Ellis. ALBERT ELLIS (lahir 1913) lahir di Pittsburgh tetapi melarikan diri ke Rational-Emotive Therapy Albert Ellis 1. Latar Belakang Sejarah ALBERT ELLIS (lahir 1913) lahir di Pittsburgh tetapi melarikan diri ke belantara New York pada usia 4 tahun dan selanjutnya tinggal di sana

Lebih terperinci

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK www.mercubuana.ac.id MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK Aaron Beck adalah psikiater Amerika yang merintis penelitian pada psikoterapi dan mengembangkan terapi kognitif. Ia dianggap sebagai bapak cognitive

Lebih terperinci

Oleh Nandang Rusmana, M.Pd

Oleh Nandang Rusmana, M.Pd APLIKASI COGNITIVE-BEHAVIOR THERAPY DALAM KONSELING TRAUMATIK Oleh Nandang Rusmana, M.Pd Ciri-ciri Individu yang Mengalami Trauma (1) Fisik : Sesak napas, gangguan pencernaan, mudah sakit, dan mudah lelah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan berkembang pertama kalinya. Menurut Reiss (dalam Lestari, 2012;4), keluarga adalah suatu kelompok

Lebih terperinci

Reality Therapy. William Glasser

Reality Therapy. William Glasser Reality Therapy William Glasser 1. Latar Belakang Sejarah William Glasser lahir tahun 1925, mendapatkan pendidikan di Cleveland dan menyelesaikan sekolah dokter di Case Western Reserve University pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

PANDUAN REFLEKSI/PENGAMATAN PRAKTIK PENDEKATAN KONSELING BEHAVIORAL FASE PROSES KONSELING

PANDUAN REFLEKSI/PENGAMATAN PRAKTIK PENDEKATAN KONSELING BEHAVIORAL FASE PROSES KONSELING PANDUAN REFLEKSI/PENGAMATAN PRAKTIK PENDEKATAN KONSELING BEHAVIORAL FASE-FASE PROSES KONSELING Konselor Klien Pengamat Petunjuk : Berilah tanda silang pada jenjang skala yang disediakan sesuai dengan keadaan

Lebih terperinci

TUGAS INSTRUMEN EVALUASI PROSES KONSELING MODEL STAKE

TUGAS INSTRUMEN EVALUASI PROSES KONSELING MODEL STAKE TUGAS INSTRUMEN EVALUASI PROSES KONSELING MODEL STAKE Mata Kuliah Pengembangan Instrumen dan MediaBimbingan dan Konseling Dosen Pengampu Prof.Edi Purwanta, M.Pd & Dr.Ali Muhtadi Oleh: Liza Lestari (16713251041)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, oleh karena itu setiap manusia tidak lepas dari kontak sosialnya dengan masyarakat, dalam pergaulannya

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF MENGGUNAKAN PENDEKATAN BEHAVIORAL DENGAN LATIHAN ASERTIF PADA SISWA KELAS IX SMP NEGERI 2 SALATIGA

MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF MENGGUNAKAN PENDEKATAN BEHAVIORAL DENGAN LATIHAN ASERTIF PADA SISWA KELAS IX SMP NEGERI 2 SALATIGA MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF MENGGUNAKAN PENDEKATAN BEHAVIORAL DENGAN LATIHAN ASERTIF PADA SISWA KELAS IX SMP NEGERI 2 SALATIGA Ertik Indrawati, Setyorini dan Sumardjono Padmomartono Program Studi S1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh menjadi dewasa. Menurut Hurlock (2002:108) bahwa remaja. mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh menjadi dewasa. Menurut Hurlock (2002:108) bahwa remaja. mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Remaja seringkali diartikan sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun

Lebih terperinci

BAB IV BKI DENGAN TERAPI RASIONAL EMOTIF ANAK YANG TIDAK MENERIMA AYAH TIRINYA

BAB IV BKI DENGAN TERAPI RASIONAL EMOTIF ANAK YANG TIDAK MENERIMA AYAH TIRINYA 79 BAB IV BKI DENGAN TERAPI RASIONAL EMOTIF ANAK YANG TIDAK MENERIMA AYAH TIRINYA A. Analisis Proses Konseling dalam Menangani Depresi Seorang Anak yang Tidak Menerima Ayah Tirinya Dalam proses pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB IV PENERAPAN LATIHAN ASERTIF DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI SISWA YANG MEMILIKI ORANG TUA TUNGGAL (SINGLE PARENT)

BAB IV PENERAPAN LATIHAN ASERTIF DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI SISWA YANG MEMILIKI ORANG TUA TUNGGAL (SINGLE PARENT) BAB IV PENERAPAN LATIHAN ASERTIF DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI SISWA YANG MEMILIKI ORANG TUA TUNGGAL (SINGLE PARENT) A. Teknik Latihan Asertif Latihan asertif atau sering dikenal dengan latihan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian anak, baik di luar dan di dalam sekolah yang berlangsung seumur hidup. Proses

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS BAB II KAJIAN TEORITIS A. Sejarah dan Pengertian Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) Albert Ellis lahir pada 1913 di Pittsburgh, Pennsylvania, dan dibesarkan di New York. Ia memiliki adik laki-laki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 12 61033 Agustini, M.Psi., Psikolog Abstract Dalam perkuliahan ini akan

Lebih terperinci

Sigit Sanyata

Sigit Sanyata Sigit Sanyata sanyatasigit@uny.ac.id Pelatihan REBT-MGBK SMK Kabupaten Sleman Rabu, 8 Januari 2014 Sejarah Albert Ellis pendiri dan pengembang REBT Lahir di Pittsburgh tahun 1913 Meninggal tahun 2007 pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan proses belajar mengajar, diantaranya siswa, tujuan, dan. antara siswa dan guru dalam rangka mencapai tujuannya.

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan proses belajar mengajar, diantaranya siswa, tujuan, dan. antara siswa dan guru dalam rangka mencapai tujuannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

Assalamualaikum wr.wb

Assalamualaikum wr.wb Assalamualaikum wr.wb FENOMENA PIERCING DI KALANGAN SISWA SMA Ana Murtaqiyah 054849 Arini Herdiana 054749 Dina Noor A 054516 Hesti Mardiah 054479 Indriani Sugiarto 055220 Putri Qurrota A 054385 Fenomena

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY DALAM MENGATASI KESENJANGAN KOMUNIKASI SEORANG ADIK TERHADAP

BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY DALAM MENGATASI KESENJANGAN KOMUNIKASI SEORANG ADIK TERHADAP BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY DALAM MENGATASI KESENJANGAN KOMUNIKASI SEORANG ADIK TERHADAP KAKAKNYA DI DESA KEMAMANG BALEN BOJONEGORO Setelah menyajikan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Proses Bimbingan Konseling Islam dengan Terapi Rasional. TNI di Desa Sambibulu Taman Sidoarjo

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Proses Bimbingan Konseling Islam dengan Terapi Rasional. TNI di Desa Sambibulu Taman Sidoarjo BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Proses Bimbingan Konseling Islam dengan Terapi Rasional Emotif dalam Menangani Kecemasan pada Pemuda yang Gagal Tes TNI di Desa Sambibulu Taman Sidoarjo Proses pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan. untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam

BAB I PENDAHULUAN. adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan. untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia telah menerima Pancasila sebagai ideologinya. Ideologi yang bersumberkan pandangan hidup merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diterima

Lebih terperinci

Upaya Mengurangi Kecemasan Menghadapi Ujian Melalui Konseling Rasional Emotif Teknik Relaksasi Pada Siswa

Upaya Mengurangi Kecemasan Menghadapi Ujian Melalui Konseling Rasional Emotif Teknik Relaksasi Pada Siswa Upaya Mengurangi Kecemasan Menghadapi Ujian Melalui Konseling Rasional Emotif Teknik Relaksasi Pada Siswa Nasiatul Aisiyah (09220104) Mahasiswa Pendidikan Bimbingan dan Konseliing IKIP Veteran Semarang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Kebermaknaan hidup merupakan tujuan yang harus dicapai oleh setiap individu. Ketidakmampuan manusia dalam mencapai makna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mana anggapan salah mengenai khalayak menjadi hantu yang menakutkan

BAB I PENDAHULUAN. yang mana anggapan salah mengenai khalayak menjadi hantu yang menakutkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Sejak manusia dilahirkan, manusia membutuhkan pergaulan dengan manusia lainnya. Hal ini berarti bahwa manusia tidak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. dan dokumentasi maka konselor/peneliti melakukan analisis data. Analisis data

BAB IV ANALISIS DATA. dan dokumentasi maka konselor/peneliti melakukan analisis data. Analisis data 94 BAB IV ANALISIS DATA Setelah menyajikan data hasil lapangan dengan cara wawancara, observasi dan dokumentasi maka konselor/peneliti melakukan analisis data. Analisis data ini dilakukan untuk memperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi

I. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah dan Masalah 1. Latar Belakang Pada hakekatnya manusia merupakan mahkluk sosial, sehingga tidak mungkin manusia mampu menjalani kehidupan sendiri tanpa melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan layanan bimbingan dan konseling dalam pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan layanan bimbingan dan konseling dalam pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan layanan bimbingan dan konseling dalam pendidikan berkaitan erat dengan hakekat makna dan fungsi pendidikan dalam keseluruhan aspek kehidupan. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang ada dikalangan remaja yang berada pada lingkungan sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang ada dikalangan remaja yang berada pada lingkungan sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan yang ada dikalangan remaja yang berada pada lingkungan sekolah khususnya SMA sangatlah kompleks. Hal ini disebabkan karena kondisi remaja itu sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa, salah satu dari tugas perkembangan kehidupan sosial remaja ialah kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS 5 2.1 Pengertian Perilaku BAB II KAJIAN TEORITIS Perilaku adalah respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus dari luar oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya interaksi antara individu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. didapatkan 10 siswa termasuk dalam kategori sangat rendah dan rendah yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. didapatkan 10 siswa termasuk dalam kategori sangat rendah dan rendah yang BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Salatiga. Subjek dalam penelitian ini adalah kelas IX A dan Kelas IX B yang berjumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tatang, Ilmu Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm.13. Ibid., hlm.15.

BAB I PENDAHULUAN. Tatang, Ilmu Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm.13. Ibid., hlm.15. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam diri manusia dalam rangka menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan zaman yang semakin modern dan

Lebih terperinci

KONSEP DASAR. Manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan.

KONSEP DASAR. Manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. KONSEP DASAR Manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari bagianbagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya dilihat dari sejauh mana proses pengajarannya saja, tetapi ada tiga bidang. yang harus diperhatikan, diantaranya 1

BAB I PENDAHULUAN. hanya dilihat dari sejauh mana proses pengajarannya saja, tetapi ada tiga bidang. yang harus diperhatikan, diantaranya 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sebuah aset yang penting didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena bagaimanapun tidak ada bangsa yang maju tanpa diiringi pendidikan

Lebih terperinci

UKDW. Bab 1 Pendahuluan. 1. Latar Belakang

UKDW. Bab 1 Pendahuluan. 1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh setiap individu sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Menurut Erik

Lebih terperinci

PENGARUH RATIONAL-EMOTIVE BEHAVIORAL THERAPY TERHADAP PENINGKATAN STRATEGI COPING MENGATASI KECEMASAN MENGHADAPI PERKULIAHAN

PENGARUH RATIONAL-EMOTIVE BEHAVIORAL THERAPY TERHADAP PENINGKATAN STRATEGI COPING MENGATASI KECEMASAN MENGHADAPI PERKULIAHAN 14 Pengaruh Rational-emotive Behavioral Therapy Terhadap Peningkatan Strategi Coping Mengatasi... PENGARUH RATIONAL-EMOTIVE BEHAVIORAL THERAPY TERHADAP PENINGKATAN STRATEGI COPING MENGATASI KECEMASAN MENGHADAPI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. merupakan sebentuk komunikasi. Sedangkan Rogers bersama Kuncaid

II. TINJAUAN PUSTAKA. merupakan sebentuk komunikasi. Sedangkan Rogers bersama Kuncaid II. TINJAUAN PUSTAKA A. Komunikasi Interpersonal 1. Pengertian Komunikasi Komunikasi mencakup pengertian yang luas dari sekedar wawancara. Setiap bentuk tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga

Lebih terperinci

KONFLIK ITRAPSIKIS TOKOH UTAMA DALAM NOVEL KERUMUNAN TERAKHIR KARYA OKKY MADASARI (Kajian Psikoanalisis Sosial Karen Horney)

KONFLIK ITRAPSIKIS TOKOH UTAMA DALAM NOVEL KERUMUNAN TERAKHIR KARYA OKKY MADASARI (Kajian Psikoanalisis Sosial Karen Horney) KONFLIK ITRAPSIKIS TOKOH UTAMA DALAM NOVEL KERUMUNAN TERAKHIR KARYA OKKY MADASARI (Kajian Psikoanalisis Sosial Karen Horney) Disusun Oleh: NURUL INTAN MAULUDIYAH - 13010113130106 FAKULTAS ILMU BUDAYA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Fenomena remaja yang terjadi di Indonesia khususnya belakangan ini terjadi penurunan atau degredasi moral. Dalam segala aspek moral, mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengajaran di perguruan tinggi maupun akademi. Tidak hanya sekedar gelar,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengajaran di perguruan tinggi maupun akademi. Tidak hanya sekedar gelar, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan sebutan bagi individu yang belajar atau mengikuti pengajaran di perguruan tinggi maupun akademi. Tidak hanya sekedar gelar,

Lebih terperinci

BAB I PEMBAHASAN. dapat berjalan dengan lancar, hal ini dikarenakan banyak dijumpai permasalahan

BAB I PEMBAHASAN. dapat berjalan dengan lancar, hal ini dikarenakan banyak dijumpai permasalahan 1 BAB I PEMBAHASAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah adalah tempat bagi terselenggaranya proses pendidikan formal. Namun, pada kenyataannya dalam proses pendidikan tersebut tidak selamanya dapat berjalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari pelaporan penelitian yang membahas tentang latar belakang penelitian yang dilakukan, adapun yang menjadi fokus garapan dalam penelitian ini adalah masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada siswa Sekolah Menengah Pertama berusia 12 tahun sampai 15 tahun, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan dari pihak keluarga dan sekolah agar mereka dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari segi fisik maupun psikologis. Manusia mengalami perkembangan sejak bayi, masa kanak- kanak,

Lebih terperinci

Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi

Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 05 61033 Abstract Dalam perkuliahan ini akan didiskusikan mengenai Ketrampilan Dasar Konseling:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pendidikan nasional tidak terlepas dari proses pembelajaran di

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pendidikan nasional tidak terlepas dari proses pembelajaran di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pendidikan nasional tidak terlepas dari proses pembelajaran di sekolah. Sekolah merupakan salah satu unsur yang dominan dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada masa ini anak belum memiliki kemampuan berpikir yang baik. Hal ini membuat mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perkembangan merupakan perubahan ke arah kemajuan menuju terwujudnya hakekat manusia yang bermartabat atau berkualitas. Usia lahir sampai dengan pra sekolah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepercayaan Diri 2.1.1 Pengertian Percaya Diri Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang berfungsi pentingnya kehidupan manusia, karena dengan kepercayaan diri

Lebih terperinci

EMOSI DAN SUASANA HATI

EMOSI DAN SUASANA HATI EMOSI DAN SUASANA HATI P E R I L A K U O R G A N I S A S I B A H A N 4 M.Kurniawan.DP AFEK, EMOSI DAN SUASANA HATI Afek adalah sebuah istilah yang mencakup beragam perasaan yang dialami seseorang. Emosi

Lebih terperinci

Mempersiapkan Diri Sebelum Berkomunikasi Dengan Anak, (2)

Mempersiapkan Diri Sebelum Berkomunikasi Dengan Anak, (2) Mempersiapkan Diri Sebelum Berkomunikasi Dengan Anak, (2) Berdasarkan pengalaman klinik dalam menangani masalah anak-anak, hampir sebagian besar kasus berasal dari masalah komunikasi antara orang tua dengan

Lebih terperinci

Psikologi Konseling MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10

Psikologi Konseling MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10 MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Problem Solving Counseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 10 MK 61033 Muhammad Ramadhan, M.Psi, Psikolog Abstract Modul

Lebih terperinci

2. Faktor pendidikan dan sekolah

2. Faktor pendidikan dan sekolah BAB IV ANALISIS APLIKASI TERAPI LIFE MAPPING DENGAN PENDEKATAN COGNITIVE BEHAVIOR DALAM MENANGANI SISWI YANG MEMBOLOS DI SMA AL-ISLAM KRIAN SIDOARJO A. Faktor yang menyebabkan siswi sering membolos di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu

BAB II LANDASAN TEORI. Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penerimaan diri 2.1.1 Definisi Penerimaan Diri Ellis (dalam Richard et al., 201) konsep penerimaan diri disebut Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Kedua aspek ini terbagi lagi atas sejumlah sub aspek dengan ciri- ciri

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Kedua aspek ini terbagi lagi atas sejumlah sub aspek dengan ciri- ciri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara garis besar manusia terdiri atas dua aspek, yaitu jasmani dan rohani. Kedua aspek ini terbagi lagi atas sejumlah sub aspek dengan ciri- ciri tertentu.

Lebih terperinci

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya)

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya) Nama : No HP : Alamat : Pendidikan Terakhir : 1. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya) Pemikiran dan perhatian ditujukan ke dalam,

Lebih terperinci

BAB II TEKNIK KONSELING DALAM TEORI GESTALT

BAB II TEKNIK KONSELING DALAM TEORI GESTALT BAB I PENDAHULUAN Konseling atau Terapi Gestalt dikembangkan dari sumber dan pengaruh tiga disiplin ilmu yang sangat berbeda, yaitu Psikoanalisis yang dikembangkan oleh Wilhelm Reih, Fenomenologi Eksistensialisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu modal yang harus dimiliki untuk hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari tingkat TK sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini, kita sedang memasuki suatu abad baru yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini, kita sedang memasuki suatu abad baru yang banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi ini, kita sedang memasuki suatu abad baru yang banyak menimbulkan perubahan dan perkembangan, sekaligus menjadi tantangan. Tantangan akibat

Lebih terperinci

Siti Zahara Nasution, S.Kp, MNS 22/04/09

Siti Zahara Nasution, S.Kp, MNS 22/04/09 Siti Zahara Nasution, S.Kp, MNS 22/04/09 landasan filosofis landasan psikologis landasan sosial-budaya landasan ilmu pengetahuan dan teknologi Landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia kognitif anak-anak ialah kreatif, bebas dan penuh imajinasi. Imajinasi anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang paling penting pada seseorang. Kepercayaan diri merupakan atribut yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 16 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Tentang Teknik Cognitive Restructuring 1. Pengertian Teknik Cognitive Restructuring Beck mengatakan bahwa terapi kognitif meliputi usaha memberikan bantuan kepada konseli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komunikasi merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan manusia, tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

Intervensi Kelompok (pengantar II) Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi

Intervensi Kelompok (pengantar II) Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi Intervensi Kelompok (pengantar II) Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi Konseling Kelompok Salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberi umpan balik dan pengalaman belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak diantara anak didik kita yang menghadapi masalah dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak diantara anak didik kita yang menghadapi masalah dan dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak diantara anak didik kita yang menghadapi masalah dan dapat memecahkannya. Ada pula yang dapat menghadapi masalah dan tidak dapat memecahkannya sendiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir

Lebih terperinci