BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hak yang dimiliki seorang warga negara Indonesia. adalah hak untuk mendapatkan pendidikan.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hak yang dimiliki seorang warga negara Indonesia. adalah hak untuk mendapatkan pendidikan."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Salah satu hak yang dimiliki seorang warga negara Indonesia adalah hak untuk mendapatkan pendidikan. Hak warga negara untuk memperoleh pendidikan ini tertuang dalam Amandemen UUD 1945 Pasal 31 ayat (1). Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan, menyediakan, dan menyelenggarakan pendidikan. Kewajiban pemerintah untuk menyediakan pendidikan tersebut diperkuat dengan Amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Posisi pemerintah dalam untuk memenuhi hak pendidikan bagi rakyatnya setidaknya mengacu kewajibannya menyediakan sarana dan fasilitas pendidikan untuk rakyatnya, serta menjamin rakyat mendapat kemudahan mengakses pendidikan. 1 Negara harus menyadari sepenuhnya bahwa 1 Pendidikan adalah Tanggung Jawab Pemerintah dalam: diakses pada Kamis, 1 Oktober 2015, pukul WIB.

2 kesempatan mengenyam pendidikan merupakan hak asasi manusia dan pemerintah kolonial berkewajiban untuk menyediakannya. Salah satu aspek penting dalam pengembangan pendidikan di sekolah adalah tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang jalannya proses pembelajaran. Menurut Dimiyati dan Mudjiono, pelaksanaan proses belajar-mengajar akan berjalan dengan baik apabila sistem pendanaan dan distribusi sarana belajar-mengajar juga berjalan dengan teratur dan sistematis. Sarana dan prasarana ini meliputi beberapa hal, seperti gedung sekolah, ruang belajar, buku pelajaran, alat sekolah, laboratorium, fasilitas olahraga serta alat penunjang pembelajaran lainnya. 2 Pada konteks kolonial, masalah tanggung jawab negara dalam menyediakan sarana dan fasilitas pendidikan duduk perkaranya menjadi lebih kompleks daripada sekarang. Pendidikan pada masa tersebut tidak menyentuh semua lapisan masyarakat, terutama kalangan bumiputera. Pemerintah Kolonial menerapkan sistem pendidikan dualisme di Hindia Belanda. Hal ini membuat adanya jurang antara pendidikan untuk anakanak Eropa dengan pendidikan untuk anak-anak pribumi. 2 Dimiyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm

3 Kebutuhan pendidikan untuk kalangan Eropa sangat diperhatikan oleh pemerintah kolonial, sementara kebutuhan pendidikan untuk kalangan bumiputera hanya diselenggarakan secara sederhana. Selain itu, tidak semua kalangan bumiputera dapat mengenyam pendidikan. Hanya anak-anak bumiputera kalangan atas saja yang mendapat kemudahan dalam mengakses pendidikan Eropa. 3 Penelitian ini hendak mengkaji kebijakan pemerintah tentang desentralisasi pendidikan dan pemberian subsidi di sekolah-sekolah rendah di Yogyakarta dari tahun 1907 sampai Desentralisasi pendidikan dimaknai sebagai upaya untuk mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang di bidang manajemen pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat atau pemerintah pusat kepada pejabat atau pemerintah di daerah. 4 Dalam konteks kebijakan kolonial, hal ini berarti bahwa pemerintah daerah atau pengelola sekolah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan dan mengatur kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan proses belajar- 3 H.A.R. Tilaar, Lima Puluh Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional : Suatu Analisis Kebijakan, (Jakarta: Grasindo, 1995), hlm Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan; Konsep, Teori dan Model. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm

4 mengajar, salah satunya menyangkut pada aspek pendanaan sekolah. Sementara itu, subsidi yang dimaksud dalam pembahasan ini merupakan bantuan yang diberikan pemerintah baik berupa barang maupun dana, terutama berkaitan dengan keberlangsungan operasional kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Desentralisasi pendidikan kolonial di abad keduapuluh, bermula dari kebijakan pemerintah kolonial yang menerapkan kebijakan politik Etis dengan menekankan tiga program penting untuk dijalankan, yakni pendidikan, irigasi, dan imigrasi. 5 Pada awal 1900an pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah yang berorientasi Barat di wilayah Hindia Belanda, tidak terkecuali di wilayah Yogyakarta. Pendidikan Barat pada masa tersebut menjadi tumpuan masyarakat bumiputera untuk mendapatkan status dan kehidupan yang lebih baik, yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat bumiputera. 5 Politik Etis digagas oleh Van Deventer melalui artikelnya berjudul Hutang Kehormatan yang dimuat dalam majala De Gids pada tahun Dalam artikel tersebut Van Deventer menonjolkan kewajiban moral bangsa yang mempunyai kebudayaan tinggi terhadap bangsa yang tertindas. Namun dalam prakteknya kebijakan perluasan pendidikan untuk bumiputera merupakan cara untuk melanggengkan kekuasaan di Hindia Belanda. Lihat S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional, (Bandung: Jemmars, 1983), hlm 15. 4

5 Sejak awal abad XX, ketika pemerintah kolonial memberikan pendidikan untuk kalangan pribumi secara luas, telah terdapat gagasan agar pengelolaan sekolah-sekolah berada di bawah wewenang pemerintah daerah. Pemerintah kolonial pun telah mulai menerapkan sistem otonomi pemerintahan pada tahun 1903 dengan mengeluarkan Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet). Berdasarkan undang-undang tersebut, di wilayah yang langsung berada di bawah pemerintahan Belanda dibentuk desa-desa otonom (Inlandsche gemeente), sementara daerah yang berstatus Zelfbesturende Landschappen merupakan daerah otonom yang tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah kolonial. Sebagai contoh adalah Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman serta beberapa kerajaan di Nusantara. Daerah-daerah otonom ini oleh pemerintah kolonial diberi hak untuk mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri. 6 Sejalan dengan kebijakan otonomi pemerintahan, pemerintah kolonial juga memulai usaha desentralisasi pendidikan pada jenjang sekolah-sekolah rendah. Salah satu cara yang digunakan oleh pemerintah kolonial adalah dengan 6 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara republik Indonesia (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm

6 memberikan subsidi pendidikan kepada sekolah-sekolah rendah. Pada tahun 1907, Gubernur Jenderal Van Heutz menginstruksikan kepada para pejabat di bawahnya untuk membangun Volksschool atau Sekolah Desa dengan masa belajar tiga tahun yang bertujuan untuk mengajarkan membaca, menulis dan berhitung kepada golongan bumi putera. Sekolah desa diharapkan menjadi titik awal kebijakan desentralisasi pendidikan rendah, sebab pendiriannya menggunakan prinsip swasembada dan swadaya. Sebagian besar pembiayaan dan pemeliharaan sekolah desa berasal dari kas desa dan partisipasi masyarakat desa. 7 Selama ini, sebagian besar studi dan penelitian sejarah mengenai pendidikan di Jawa hanya memfokuskan pada perkembangan pendidikan secara umum atau dampak perkembangan pendidikan itu sendiri. Misalnya S. Nasution 8 membahas perkembangan pendidikan di Hindia Belanda secara umum pada periode I.J. Brugmans juga membahas mengenai pendidikan di Indonesia secara umum dari masa 7 H.A.R. Tilaar, op. cit., hlm. 28. S.L. van Der Wal, Pendidikan di Hindia Belanda , (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia. (Bandung: Jemmars, 1983). 6

7 Hindu, Islam, VOC hingga periode Hindia Belanda. 9 Kemudian H.A.R. Tilaar menganalisis kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia 10, serta Abdurrahman Surjomiharjo 11 mengulas pendidikan di wilayah Yogyakarta pada kurun waktu , ketika banyak sekolah partikelir berdiri di Yogyakarta di antaranya sekolah Taman Siswa dan Muhammadiyah. Akan tetapi, studi-studi ini belum mengkaji perihal pembiayaan sebagai bagian dari otonomi sekolah. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengkaji dampak desentralisasi pendidikan rendah dan kebijakan subsidi pendidikan rendah di Yogyakarta pada kurun waktu b. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji kebijakan desentralisasi pendidikan kolonial, diantaranya terkait dengan kebijakan pemerintah dalam hal pendirian volksschool (Sekolah Desa) serta pemberian subsidi di sekolah-sekolah rendah di Yogyakarta dari I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch- Indië, (Groningen-Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Mij, 1938). 10 H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional : Suatu Analisis Kebijakan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995). 11 Abdurrahman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe; Sejarah Sosial , (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). 7

8 hingga Pokok permasalahan tersebut dirumuskan sebagai berikut: sejauh mana kebijakan desentralisasi pendidikan dan kebijakan subsidi sekolah rendah mempengaruhi pendidikan di Yogyakarta pada kurun waktu Pokok permasalahan ini akan diuraikan dalam pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Mengapa pemerintah kolonial mengambil kebijakan desentralisasi pada sektor pendidikan dasar di Jawa? 2. Bagaimana wujud dan dinamika pelaksanaan desentralisasi pendidikan dasar di Yogyakarta serta pemberian subsidi di sekolah-sekolah rendah di Jogjakarta? 3. Seperti apa dampak yang timbul di Yogyakarta sebagai akibat dari kebijakan pemerintah kolonial mengenai subsidi dan desentralisasi pendidikan? Ruang lingkup spasial dari penelitian ini adalah wilayah Yogyakarta, yang pada masa penjajahan Belanda dikenal sebagai bagian dari Vorstenlanden. Yogyakarta sebagai wilayah swapraja (vorstenlanden) memiliki kewenangan dalam hal pemerintahan yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lain di sekitarnya. Kewenangan ini diantaranya mencakup pengaturan di bidang pendidikan dan kebijakan mengenai subsidi pendidikan. Tahun diambil sebagai batas 8

9 temporal penelitian ini. Tahun 1907 menjadi batas awal penelitian ini dengan mengacu pada instruksi Gubernur Jenderal Van Heutz untuk mendirikan volksschool atau sekolah desa sebagai usaha untuk memperluas pendidikan untuk masyarakat bumiputera. Tahun 1939 merujuk pada rencana besar pemerintah kolonial untuk melakukan reorganisasi pendidikan rendah bumiputera atau dikenal dengan doorbrekings-plan. Doorbrekings-Plan adalah rencana perluasan sekolah Bumiputera secara besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Gagasan ini dikemukakan dalam surat Direktur Pendidikan dan Agama (Dr. P.J.A. Idenburg) kepada Gubernur Jenderal (Tjarda van Strakenborgh Stachouwer) pada tahun Ide perluasan sekolah bumiputera ini dilaksanakan terutama untuk memberantas buta huruf di kalangan bumiputera. Selain itu, kebijakan doorbrekings-plan ini dijalankan untuk merealisasikan janji pemerintah kolonial melaksanakan tanggung jawab untuk menyediakan pendidikan yang memadai Perang Dunia II yang pecah pada 1940an mengakibatkan Doorbrekings-plan tidak sempat direalisasikan oleh pemerintah kolonial. Surat Direktur Pedidikan dan Agama (Dr. P.J.A. Idenburg) kepada Gubernur Jenderal (Tjarda van Starkenborgh Stachouwer), tanggal 8 Maret dalam S.L. van Der Wal, Pendidikan di Indonesia jilid II, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm

10 c. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulisan tesis ini bertujuan untuk mengungkap perkembangan sekolah rendah di wilayah Yogyakarta berkaitan dengan adanya kebijakan desentralisasi pendidikan untuk tingkat sekolah rendah, serta melihat sejauh mana respon masyarakat terhadap pendidikan akibat adanya kebijakan untuk subsidi pendidikan. Tulisan ini juga bermaksud menganalisis politik pendidikan pemerintah kolonial melalui kebijakan pendidikan yang diterapkannya di Hindia-Belanda, serta mengungkap sejauh mana tanggung jawab negara dalam hal menyediakan layanan pendidikan bagi warganya. d. Tinjauan Pustaka Beberapa pustaka membantu memberi pemahaman tentang kebijakan pendidikan pada masa kolonial di Hindia Belanda secara umum dan Jawa secara khusus. Salah satu pustaka yang membahas tentang dinamika pendidikan di Indonesia adalah 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional : Suatu Analisis Kebijakan karya H.A.R. Tilaar. 13 Sesuai 13 H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional : Suatu Analisis Kebijakan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995) 10

11 judulnya, buku ini mengulas kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia. Ary H. Gunawan dalam buku yang berjudul Kebijakan-kebijakan Pendidikan di Indonesia 14 juga mengulas mengenai kebijakan di Indonesia. Walaupun sebagian besar pembahasan dalam kedua buku ini mengulas mengenai pendidikan di Indonesia pasca 1945, namun H.A.R. Tilaar dan Ary H. Gunawan juga mengulas kebijakan pendidikan yang diterapkan Belanda dan Jepang pada masa penjajahan. Pendidikan pada kedua masa tersebut turut berpengaruh dalam membentuk sistem pendidikan nasional di Indonesia, terutama pendidikan pasca proklamasi Sementara itu, buku yang secara khusus mengkaji pendidikan di Yogyakarta adalah Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta 15. Secara garis besar, buku ini memberikan gambaran mengenai perkembangan pendidikan di Yogyakarta dari masa pendidikan di Jaman Hindu-Budha dan Islam hingga pendidikan pasca kemerdekaan. 14 Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1986). 15 Dra. Sri Sutjianingsih dan Sutrisno Kutoyo (ed.), Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981). 11

12 Pustaka lainnya adalah Sejarah Pendidikan Nasional 16 dari S. Nasution. Buku ini menguraikan perkembangan pendidikan di Hindia-Belanda pada periode 1892 hingga Tahun 1892 disebutkan oleh pengarang buku ini sebagai awal berdirinya Sekolah Kelas I dan Sekolah Kelas II. Dibukanya sekolah tersebut membuka kesempatan bagi warga pribumi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Buku ini memaparkan mengenai jenis-jenis sekolah di Hindia-Belanda dari jenjang rendah hingga pendidikan tinggi. Dalam buku ini, pembahasan mengenai jenis sekolah terbatas pada sekolah umum saja, dan tidak mencakup sekolah kejuruan. Sementara itu, buku Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie 17 karya I.J. Brugmans membahas perkembangan pendidikan di Indonesia dari masa ke masa. Buku ini membahas perkembangan pendidikan secara umum dari masa Hindu, Islam, VOC hingga masa Hindia Belanda. Selain itu, Brugmans juga menguraikan peranan sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan bumiputera. 16 S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia. (Bandung: Jemmars, 1983). 17 I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie, (Groningen-Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Mij, 1938). 12

13 Karya Abdurrahman Surjomihardjo yang berjudul Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial menjadi salah satu acuan dalam menjelaskan bagaimana perkembangan sosial di Yogyakarta. Sebagai sebuah kota kerajaan yang bersinggungan dengan kekuasaan kolonial, Yogyakarta mengalami beberapa penyesuaian dengan kebudayaan kolonial pada akhir abad XIX hingga awal abad XX. Dengan menggunakan konsep sejarah sosial, buku ini mengkaji hubungan lembaga pendidikan, pergerakan nasional dan pers di wilayah Yogyakarta. Ketiga unsur tersebut menjadi hal yang berpengaruh dalam perkembangan kota Yogyakarta. Referensi lain yang dapat memberi gambaran mengenai keadaan sosial masyarakat di Yogyakarta adalah buku karangan Selo Soemardjan yang berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta. 19 Dalam buku ini disebutkan tentang keadaan sosial masyarakat Yogyakarta sejak jaman penjajahan Belanda hingga masa setelah Indonesia merdeka. Buku ini juga menceritakan tentang keadaan pemerintahan sejak jaman 18 Abdurrahman Surjomuhardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe; Sejarah Sosial , (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). 19 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta. (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1986). 13

14 kemerdekaan dan juga mengenai pendidikan yang ada di Yogyakarta. Tulisan dari Agus Suwignyo The Great Depression and the Changing Trajcetory of Public Education Policy in Indonesia, salah satu karya yang cukup membantu memberi gambaran bagaimana kebijakan pendidikan pada kurun waktu Tulisan ini secara khusus membahas mengenai perkembangan pendidikan di Hindia Belanda mengalami kemajuan yang cukup signifikan pada kurun waktu Namun perkembangan pendidikan tersebut mengalami penurunan ketika depresi ekonomi melanda Hindia Belanda pada 1930an. Salah satu dampak yang cukup terasa dari Depresi Ekonomi tersebut adalah dipangkasnya pos anggaran pendidikan oleh pemerintah kolonial. Dampak lain yang cukup terasa dari Depresi Ekonomi adalah membuat Pemerintah Kolonial mengurangi sejumlah sekolah berbahasa Belanda dan menggantinya menjadi pendidikan berbasis pribumi. e. Kerangka Pemikiran Penelitian tesis ini termasuk kajian politik pendidikan. Dinamika pendidikan tidak dapat dilepaskan dari 20 Agus Suwignyo, The Great Depression and the changing trajectory of public education policy in Indonesia, Journal of Southeast Asian Studies, 44. (2013), pp , via journal.cambridge.org. 14

15 perkembangan aspek-aspek politik, ekonomi, dan sosial, sebab pendidikan menjadi salah satu alat pemerintah untuk mencapai tujuan kebijakannya. Pendidikan memiliki arti sebagai usaha untuk menuntun segala kekuatan yang ada pada diri anak, agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Dengan adanya pendidikan, manusia diharapkan dapat tumbuh menjadi seseorang yang beradab dan dapat mengendalikan diri. 21 Pendidikan juga dipandang sebagai human investment yang diharapkan dapat mencetak sumber daya manusia yang dapat menjadi penggerak roda perekonomian apabila dipandang dari aspek ekonomi. 22 Dalam konteks kehidupan bernegara, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengusahakan, menyediakan dan menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Di negara Indonesia yang merdeka, kewajiban pemerintah untuk menyediakan pendidikan tersebut diperkuat dengan Amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat (2) yang menyatakan 21 Kumpulan Buklet Hari Bersejarah I, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), hlm Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan: Konsep, Teori dan Model, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm

16 bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Sementara itu, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan ini tertuang dalam Amandemen UUD 1945 Pasal 31 ayat (1). Kewajiban pemerintah dalam memenuhi hak pendidikan bagi rakyatnya setidaknya mencakup penyediaan sarana dan fasilitas pendidikan untuk rakyatnya, serta menjamin rakyat mendapat kemudahan mengakses pendidikan. 23 Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk serta berkembangnya peradaban masyarakat, bertambah pula tanggung jawab pemerintah pusat untuk menjamin kesejahteraan warga negaranya. Oleh karena itu, diperlukan pengalihan wewenang terhadap pengaturan dan pengawasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini kemudian direalisasikan dengan pembentukan daerah-daerah otonom yang diberi kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur kegiatan pemerintahan di tingkat daerah atau disebut dengan desentralisasi pemerintahan. Sebagaimana 23 Pendidikan adalah Tanggung Jawab Pemerintah dalam: diakses pada Kamis, 1 Oktober 2015, pukul WIB. 16

17 dikutip oleh Ahmad Khairuddin, Rondinelli menyatakan bahwa desentralisasi adalah upaya pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada level bawah dalam suatu organisasi atau lembaga pemerintahan. 24 Rondinelli secara lebih rinci membagi desentralisasi menjadi dua bentuk, yakni desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi fungsional adalah pemberian wewenang kepada lembaga atau organisasi untuk menjalankan fungsi atau tugas tertentu. Sementara itu, desentralisasi teritorial adalah memindahkan kewenangan kepada wilayah kerja lembaga yang lebih sempit. 25 Pada penelitian ini, konsep desentralisasi pemerintahan merupakan payung besar yang menaungi berbagai macam bidang dalam konteks negara kolonial. Salah satunya adalah desentralisasi pada bidang pendidikan. Desentralisasi pendidikan pada masa kolonial diawali dengan diberlakukannya UU Desentralisasi pada tahun 1903 atau 24 Ahmad Khairuddin, Fenomena Keadilan dalam Otonomi Daerah dalam Bungaran Antonius, et.al. (eds.), Otonomi Daerah, Etnonasionalisme dan Masa Depan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm Rondineli, D. A., Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory and Practice in Developing Countries. International Review of Administrative Science, Volume 47, pp

18 dikenal dengan Decentralisatie-wet. Sistem pemerintahan yang menerapkan otonomi di daerah, kemudian mendorong terjadinya desentralisasi pada bidang pendidikan. Adanya desentralisasi pendidikan, diharapkan mendorong partisipasi masyarakat untuk mengembangkan pendidikan. Akan tetapi jika ditinjau dengan perspektif saat, desentralisasi pendidikan pada masa kolonial memiliki tujuan yang cukup kompleks. Hal ini karena desentralisasi pendidikan yang diterapkan di Hindia-Belanda kental dengan tujuan politik yang ingin dicapai oleh pemerintah kolonial. Paulo Freire menyatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. 26 Mengacu pada konsep yang dikemukakan Paulo Freire, pendidikan merupakan salah satu faktor terjadinya perubahan sosial pada masyarakat. Pada konteks pendidikan kolonial, pendidikan Eropa yang diberikan kepada kalangan bumiputera mampu mengubah tatanan sosial masyarakat, terutama pada masyarakat Jawa yang ditandai dengan lahirnya golongan baru yang dikenal sebagai kalangan intelektual bumiputera. Pendidikan pada masa kolonial juga tidak dapat dilepaskan dari kepentingan 26 Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm

19 politik Pemerintah Hindia Belanda. Segala kebijakan pendidikan yang diterapkan mengandung tujuan politik yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi pemerintah kolonial. Pendidikan yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia-Belanda tidak hanya sekedar untuk meningkatkan kemampuan intelektual masyarakat bumiputera, namun memiliki tujuan untuk menciptakan tenaga kerja murah dari kalangan bumiputera. 27 Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, kebijakan pendidikan berkaitan erat dengan kebijakan politik pemerintah kolonial. Hal ini mengakibatkan kebijakan pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai tanggung jawab negara (pemerintah kolonial), namun juga diterapkan untuk mencapai tujuan politik pemerintah kolonial. Pada masa kolonial, pemerintah Hindia-Belanda sebagai penyelenggara negara terkesan bersikap setengah hati dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan menyelenggarakan pendidikan, terutama pendidikan untuk bumiputera. Pemerintah justru mengalihkan tanggung jawab menyelenggarakan pendidikan kepada pihak lain dengan menerapkan desentralisasi pendidikan serta subsidi pendidikan. Kedua kebijakan ini, 27 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme jilid 2 (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), hlm

20 desentralisasi pendidikan dan subsidi pendidikan, merupakan rangkaian dari kebijakan politik Etis yang diterapkan pada awal abad XX. Politik Etis yang digagas oleh Van Deventer, memiliki tiga program utama, yakni edukasi, imigrasi, dan irigasi. Politik Etis tidak hanya dianggap sebagai politik moral atau politik balas budi, namun juga dimaknai sebagai politik perwalian. Sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Loche-Scholten, Kuyper sebagai salah satu tokoh yang mengemukakan gagasan politik perwalian menyatakan bahwa konsep yang juga dikenal dengan pemerintahan Hindia demi Hindia merupakan pemisahan urusan keuangan Hindia dengan pemerintah kerajaan Hindia. Kebijakan politik etis yang diterapkan pada tahun 1900 kemudian meluas pada beberapa bentuk kebijakan, seperti perluasan pendidikan bumiputera dan desentralisasi pemerintahan. Kebijakan-kebijakan ini mengacu pada tujuan politik etis untuk mensejahterakan masyarakat Hindia- Belanda Elsbeth Locher Scholten, Etika yang Berkeping-keping; Lima Telaah Kajian Aliran Etis dalam Politik Kolonial , Jakarta: Djambatan, 1996, hlm

21 Dalam penelitian ini, desentralisasi pendidikan diartikan pengalihan tanggung jawab pengadaan dan penyelenggaraan sekolah untuk bumiputera dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini ditandai dengan kebijakan yang diterapkan pada tahun Pada tahun tersebut, Gubernur Jenderal J.B. Van Heutz mendirikan volksschool (sekolah desa). Volksschool merupakan lembaga pendidikan sederhana bagi masyarakat bumiputera yang penyelenggaraan dan kegiatan operasionalnya dibebankan kepada pemerintah dan masyarakat desa. Pendirian volksschool ini merupakan rangkaian dari kebijakan desentralisasi pemerintahan yang diterapkan pemerintah kolonial mulai tahun 1903 (Decentralisatiewet). 29 Pendirian volksschool (Sekolah Desa) tidak hanya dimaknai sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi pendidikan pada 29 Keberadaan volksschool sendiri selama ini hanya dilihat sebagai bagian dari keberhasilan pemerintah kolonial (Gubernur Jenderal Van Heutz) dalam memenuhi ketersediaan sekolah bagi masyarakat bumiputera. Namun jika dicermati secara seksama, keberadaan volksschool merupakan bagian dari politik pendidikan pemerintah kolonial untuk melimpahkan kewajiban menyelenggarakan pendidikan kepada pemerintah daerah dan masyarakat desa. Surat Sekretaris Pemerintah kelas I kepada Pj. Direktur Pendidikan, Agama dan Kerajinan (J.G. Pott) tanggal 27 Oktober 1905 no dalam S.L. van Der Wal, Pendidikan di Indonesia (jilid I), (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm

22 masa kolonial, namun juga bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk turut mengembangkan pendidikan. Hal ini merupakan strategi politik dari pemerintah kolonial agar tanggung jawab pendidikan tidak hanya dipikul sendiri oleh pemerintah kolonial (pemerintah pusat), namun dapat dipikul oleh pemerintah daerah dan juga masyarakat desa. Salah satu bagian dari kebijakan desentralisasi pendidikan adalah penerapan subsidi pendidikan terhadap sekolah-sekolah rendah. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, subsidi diartikan sebagai tunjangan berupa uang dan sebagainya. 30 Menurut M. Suparmoko, dalam teori ekonomi subsidi dapat diberikan dengan dengan dua cara. Pertama dengan memberikannya secara langsung dalam bentuk uang, sebagai tambahan penghasilan kepada konsumen untuk meningkatkan daya belinya. Kedua, subsidi diberikan dalam bentuk penurunan harga barang dan jasa sehingga konsumen dapat mengaksesnya. 31 Dalam penelitian ini, subsidi pendidikan mengacu pada pemberian bantuan dari pemerintah pusat kolonial di Batavia kepada pemerintah daerah yang diberi 30 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), hlm M. Suparmoko, Asas-Asas Ilmu Keuangan Negara, (Yogyakarta:BPFE, 1980), hlm

23 kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan serta kepada pihak swasta yang mengusahakan pendidikan dalam rangka meluaskan akses pendidikan, terutama pendidikan untuk kalangan pribumi. Subsidi pendidikan juga merupakan bagian dari kebijakan pemerintah kolonial untuk melakukan pemerataan akses pendidikan bumiputera. Baik kebijakan desentralisasi pendidikan maupun subsidi pendidikan, merupakan bentuk pelayanan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial sebagai pemerintah kepada rakyatnya, walaupun pemerintah kolonial memiliki tujuan politik terhadap kebijakan yang diterapkannya tersebut. f. Metode Penelitian Metode penelitian sejarah merupakan sebuah rangkaian prosedur penelitian yang meliputi empat tahapan yaitu, heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Keempat tahapan ini merupakan upaya untuk merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah dan menghadirkannya dalam bentuk yang objektif, serta dalam rangka menghasilkan karya sejarah yang deskriptif dan analitis Metode sejarah adalah sekumpulan prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang sistematis, dalam usaha untuk mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis, kemudian menjelaskan dalam sebuah sintesis, Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, 23

24 Sumber yang digunakan dalam penelitian sejarah ini berupa sumber arsip, dan juga literature atau sumber sekunder. Sumber arsip yang dimaksud merupakan dokumen sejarah atau arsip yang sejaman dengan penelitian ini. Sumber-sumber arsip atau sumber primer untuk penulisan ini mencakup datadata berupa kumpulan arsip mengenai pendidikan di Hindia Belanda yang dibukukan oleh S.L. Van Der Wal, Staatsblad, Rijksblad, Algemeen Verslag, Kolonial Verslag dan Onderwijs Statistiek. Data-data ini dapat diakses di Kantor Arsip Widya Budaya Pura Pakualaman, Perpustakaan Sonobudoyo, Koleksi Langka BPAD DIY, Hatta Corner Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) serta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Sumber-sumber primer tersebut dilengkapi dengan sumber sekunder berupa jurnal, artikel, maupun buku-buku yang memiliki keterkaitan dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini. Sumber sekunder berupa buku-buku dan literature pendukung dapat diakses di perpustakaan FIB UGM, perpustakaan pusat UGM, perpustakaan Pusat Studi Asia Tenggara UGM, Jogja Library Center, serta Perpustakaan Balai Pelestarian Nilai dan Budaya (BPNB) DIY. (Jakarta:Inti Idayu, 1978), hlm Teuku Ibrahim Alfian (ed.), Tentang Metodologi Sejarah dari Babat sampai Sejarah Kritis, (Yogyakarta: UGM Press, 1992), hlm

25 g. Sistematika Penulisan Mengacu pada rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah disebutkan pada sub-bab sebelumnya, tulisan ini akan diawali dengan paparan mengenai kondisi pendidikan di Jawa sebelum pemerintah kolonial menerapkan kebijakan desentralisasi pendidikan atau sebelum tahun Tulisan ini kemudian menjelaskan Yogyakarta sebagai daerah otonom yang ditinjau dari segi sosial, budaya dan demografi penduduknya (BAB II). Pembahasan selanjutnya mengenai sistem desentralisasi pemerintahan dan pendidikan di Jawa. Kebijakan desentralisasi pendidikan rendah di Jawa dimulai pada tahun 1907, yakni dengan berdirinya volksschool (sekolah desa) sebagai lembaga pendidikan milik desa. Kebijakan Desentralisasi pendidikan merupakan rangkaian dari UU Desentralisasi Pemerintahan (Decentraliesatiewet) yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada tahun Baik kebijakan desentralisasi pemerintahan maupun desentralisasi pendidikan, keduanya merupakan kebijakan turunan dari Politik Etis yang mulai diterapkan oleh pemerintah kolonial pada tahun Pembahasan mengenai desentralisasi pada bab ini mengerucut pada sistem desentralisasi pendidikan yang 25

26 diterapkan di Yogyakarta(BAB III). Pembahasan selanjutnya adalah mengenai kebijakan dan praktik desentralisasi pendidikan di Yogyakarta, terutama mengenai subsidi untuk sekolah rendah di Yogyakarta. Pembahasan kemudian juga meluas pada dampak kebijakan desentralisasi pendidikan terhadap perkembangan pendidikan di Yogyakarta (BAB IV). Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan atas pembahasanpembahasan pada bab-bab sebelumnya (BAB V). 26

27 27

BAB V KESIMPULAN. Perkembangan pendidikan rendah di Yogyakarta pada kurun. waktu dipengaruhi oleh berbagai kebijakan, terutama

BAB V KESIMPULAN. Perkembangan pendidikan rendah di Yogyakarta pada kurun. waktu dipengaruhi oleh berbagai kebijakan, terutama BAB V KESIMPULAN Perkembangan pendidikan rendah di Yogyakarta pada kurun waktu 1907-1939 dipengaruhi oleh berbagai kebijakan, terutama kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga kebijaksanaan mengenai Pribumi (Inlandsch Politiek) sangat. besar artinya dalam menjamin kelestarian kekuasaan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga kebijaksanaan mengenai Pribumi (Inlandsch Politiek) sangat. besar artinya dalam menjamin kelestarian kekuasaan tersebut. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah Indonesia mencatat bahwa negara kita ini telah mengalami masa kolonialisasi selama tiga setengah abad yaitu baik oleh kolonial Belanda maupun kolonial

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Politik Etis membuka era baru dalam perpolitikan kolonial di. Hindia Belanda sejak tahun Pada masa ini diterapkan suatu

BAB I PENGANTAR. Politik Etis membuka era baru dalam perpolitikan kolonial di. Hindia Belanda sejak tahun Pada masa ini diterapkan suatu BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Politik Etis membuka era baru dalam perpolitikan kolonial di Hindia Belanda sejak tahun 1900. Pada masa ini diterapkan suatu politik yang bertujuan untuk melunasi hutang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Dokter-Djawa diadakan di Dokter-Djawa School yang berdiri

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Dokter-Djawa diadakan di Dokter-Djawa School yang berdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Dokter-Djawa diadakan di Dokter-Djawa School yang berdiri pada 1849 di Weltevreden, Batavia. Sekolah ini selanjutnya mengalami berbagai perubahan kurikulum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jajahan Belanda agar untuk turut diberikan kesejahteraan. lain Van Deventer, P. Brooshooft, dan Van Limburg Stirum.

BAB I PENDAHULUAN. jajahan Belanda agar untuk turut diberikan kesejahteraan. lain Van Deventer, P. Brooshooft, dan Van Limburg Stirum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan politik negeri Belanda terhadap negeri jajahan pada awal abad ke- 20 mengalami perubahan. Berkuasanya kaum liberal di parlemen Belanda turut menentukan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. tertentu dapat tercapai. Dengan pendidikan itu pula mereka dapat mempergunakan

BAB I Pendahuluan. tertentu dapat tercapai. Dengan pendidikan itu pula mereka dapat mempergunakan BAB I Pendahuluan I. 1. Latar belakang Pendidikan merupakan suatu hal yang penting di dalam perkembangan sebuah masyarakat. Melalui pendidikan kemajuan individu bahkan komunitas masyarakat tertentu dapat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Mangkubumi, yang terdiri dari Pangeran Mangkubumi, Pangeran Wijil, Pangeran

BAB V KESIMPULAN. Mangkubumi, yang terdiri dari Pangeran Mangkubumi, Pangeran Wijil, Pangeran BAB V KESIMPULAN Pakualaman terbentuk dari adanya perjanjian Giyanti antara pihak Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III dengan kelompok Pangeran Mangkubumi, yang terdiri dari Pangeran Mangkubumi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan juga dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan juga dipandang sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Pendidikan sangat penting peranannya dalam kehidupan manusia, karena pendidikan merupakan sarana ataupun alat untuk mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu Melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu Melindungi segenap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban yang. diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah untuk mengurus,

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban yang. diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah untuk mengurus, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah untuk mengurus, mengatur, mengembangkan, dan menyelesaikan urusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut mengantarkan orang untuk terbuka terhadap kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut mengantarkan orang untuk terbuka terhadap kebutuhan-kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pendidikan akan membawa perubahan sikap, perilaku, nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Politik kolonial Belanda berkembang menuju gagasan yang menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Politik kolonial Belanda berkembang menuju gagasan yang menyatakan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada akhir abad ke-19, mulai muncul perhatian terhadap orang pribumi. Politik kolonial Belanda berkembang menuju gagasan yang menyatakan bahwa politik kolonial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu atau kegagalan suatu bangsa oleh sebab itu sejarawan perlu untuk

BAB I PENDAHULUAN. individu atau kegagalan suatu bangsa oleh sebab itu sejarawan perlu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang penting bagi manusia. Pendidikan juga diperlukan jika ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. mencapai tujuan, maka langkah-langkah yang ditempuh harus sesuai dengan

III. METODE PENELITIAN. mencapai tujuan, maka langkah-langkah yang ditempuh harus sesuai dengan 25 III. METODE PENELITIAN Untuk memecahkan suatu masalah diperlukan suatu cara atau yang sering disebut dengan metode. Metode pada dasarnya berarti cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, maka langkah-langkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1970-an, Yogyakarta mendapat predikat sebagai kota. sepeda. Predikat ini mempunyai sejarah jauh ke belakang, yakni

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1970-an, Yogyakarta mendapat predikat sebagai kota. sepeda. Predikat ini mempunyai sejarah jauh ke belakang, yakni BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tahun 1970-an, Yogyakarta mendapat predikat sebagai kota sepeda. Predikat ini mempunyai sejarah jauh ke belakang, yakni sejak awal abad XX. Ini artinya keberadaan sepeda

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN A. Sejarah Keistimewaan Yogyakarta Sebagaimana yang telah menjadi pengetahuan bersama bahwa pemerintahan di Yogyakarta sudah ada jauh sebelum lahirnya Republik Indonesia.

Lebih terperinci

MODUL POLA KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL HINGGA KEMERDEKAAN MATERI : HUBUNGAN POLITIK ETIS DENGAN PERGERAKAN NASIONAL

MODUL POLA KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL HINGGA KEMERDEKAAN MATERI : HUBUNGAN POLITIK ETIS DENGAN PERGERAKAN NASIONAL MODUL POLA KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL HINGGA KEMERDEKAAN MATERI : HUBUNGAN POLITIK ETIS DENGAN PERGERAKAN NASIONAL Fredy Hermanto, S. Pd., M.Pd. PPG DALAM JABATAN Kementerian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpengaruh dalam bidang pendidikan khususnya di Sumatera Timur. perkembangan sehingga kekuasan wilayahnya semakin luas, disamping

BAB I PENDAHULUAN. berpengaruh dalam bidang pendidikan khususnya di Sumatera Timur. perkembangan sehingga kekuasan wilayahnya semakin luas, disamping BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu upaya bagi manusia untuk mencapai suatu tingkat kemajuan, sebagai sarana untuk membebaskan dirinya dari keterbelakangan, dan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Arsip merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia, tanpa disadari

BAB I PENDAHULUAN. Arsip merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia, tanpa disadari BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang dan Permasalahan Arsip merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia, tanpa disadari kegiatan yang dilakukan manusia tidak lepas dari terciptanya arsip. Arsip mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Deklarasi terhadap pembentukan sebuah negara yang merdeka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pembentukan struktur atau perangkatperangkat pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Politik etis adalah politik balas budi atau politik kehormatan, namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Politik etis adalah politik balas budi atau politik kehormatan, namun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Politik etis adalah politik balas budi atau politik kehormatan, namun tidak lepas dari intrik-intrik politik dan memiliki tujuan didalamnya, hal yang pada awalnya

Lebih terperinci

STRATEGI PENDIDIKAN BELANDA PADA MASA KOLONIAL DI INDONESIA

STRATEGI PENDIDIKAN BELANDA PADA MASA KOLONIAL DI INDONESIA STRATEGI PENDIDIKAN BELANDA PADA MASA KOLONIAL DI INDONESIA Sangkot Nasution Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN SumateraUtara Abstrak: Tujuan dari sekolah yang didirikan oleh Zending adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi, hambatan dan keterbatasan komunikasi dapat mulai diatasi.

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi, hambatan dan keterbatasan komunikasi dapat mulai diatasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran media komunikasi sangat berjasa dalam menumbuhkan kesadaran kebangsaan, perasaan senasib sepenanggungan, dan pada akhirnya rasa nasionalisme yang mengantar bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 ISSN 0216-8537 9 7 7 0 2 1 6 8 5 3 7 2 1 11 1 Hal. 1-102 Tabanan Maret 2014 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 PENYERAHAN WEWENANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abad XX merupakan sebuah zaman baru dalam politik kolonial yang dengan diberlakukannya politik etis. Politik etis merupakan politis balas budi Kolonial dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan ruang adanya otonomi oleh masing-masing daerah untuk. adanya pemerintahan daerah yang menjalankan pemerintahan daerah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan ruang adanya otonomi oleh masing-masing daerah untuk. adanya pemerintahan daerah yang menjalankan pemerintahan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan ruang adanya otonomi oleh masing-masing daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak masa orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang ini, pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna meningkatkan taraf hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru yang mengajarkan bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru yang mengajarkan bagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru yang mengajarkan bagaimana manusia dapat

Lebih terperinci

Adela Siahaan dan Siti Jubaedah Pendidikan Sejarah, FKIP-UNRIKA

Adela Siahaan dan Siti Jubaedah Pendidikan Sejarah, FKIP-UNRIKA REFLEKSI POSISI PENDIDIKAN SEJARAH DALAM KEBIJAKAN KURIKULUM KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) Adela Siahaan dan Siti Jubaedah Pendidikan Sejarah, FKIP-UNRIKA Email: delaningrat@gmail.com A. Abstrak

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIKUM.

PEDOMAN PRAKTIKUM. PEDOMAN PRAKTIKUM 1 PENGEMBANGAN SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN SEJARAH Oleh : SUPARDI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pokok permasalahan utama. Instruksi Gubernur tersebut pada

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pokok permasalahan utama. Instruksi Gubernur tersebut pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terbitnya Instruksi Gubernur DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 yang berisikan larangan kepemilikan bagi WNI nonpribumi / WNI keturunan menjadi pokok permasalahan utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang 1945, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, serta menjamin semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan memiliki fungsi perlindungan kepada masyarakat (protective function).

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan memiliki fungsi perlindungan kepada masyarakat (protective function). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pemerintahan memiliki fungsi perlindungan kepada masyarakat (protective function). Fungsi dari perlindungan kepada masyarakat yaitu upaya pemerintah daerah

Lebih terperinci

PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH (Suatu Studi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro)

PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH (Suatu Studi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro) PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH (Suatu Studi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro) Oleh MELANI DWIYANTI SELAMAT Abstraksi Berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia, agama Kristen dapat dikatakan sebagai agama yang paling luas tersebar

BAB I PENDAHULUAN. manusia, agama Kristen dapat dikatakan sebagai agama yang paling luas tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Ada banyak agama di dunia ini, dari semua agama yang dianut oleh manusia, agama Kristen dapat dikatakan sebagai agama yang paling luas tersebar di muka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai wilayah yang sangat luas dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa, etnis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nasionalisme adalah suatu konsep dimana suatu bangsa merasa memiliki suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes (Chavan,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. A. Kesimpulan Historis. Boedi Oetomo didirikan pada 20 Mei 1908, dinamika

BAB V KESIMPULAN. A. Kesimpulan Historis. Boedi Oetomo didirikan pada 20 Mei 1908, dinamika BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Historis Boedi Oetomo didirikan pada 20 Mei 1908, dinamika perkembangan Boedi Oetomo sampai akhir sejarah perjalanannya pada tahun 1935 umumnya memperlihatkan kecenderungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanda bukti kepemilikan. Tanah adat tersebut hanya ditandai dengan ciri-ciri fisik

I. PENDAHULUAN. tanda bukti kepemilikan. Tanah adat tersebut hanya ditandai dengan ciri-ciri fisik I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak zaman manusia Indonesia hidup bertani dan menetap, dimulai pola penguasaan tanah secara adat dan berlangsung turun temurun tanpa memiliki tanda bukti kepemilikan.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. tersebut dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek studi.

METODOLOGI PENELITIAN. tersebut dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek studi. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengertian Metodologi Dalam melakukan suatu penelitian, dapat digunakan berbagai macam metode, dimana metode tersebut dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS BAB II KAJIAN TEORITIS Pada bab ini, peneliti akan memaparkan dan menjelaskan tentang teoriteori yang ditemukan dalam literatur untuk menjelaskan tentang permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pers cetak atau surat kabar merupakan media komunikasi massa yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pers cetak atau surat kabar merupakan media komunikasi massa yang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pers cetak atau surat kabar merupakan media komunikasi massa yang cukup efektif dalam penyebaran paham, pemikiran, gagasan, dan nilai-nilai suatu gerakan. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN 35 BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Metode Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam mengkaji skripsi yang berjudul Peranan Oda Nobunaga dalam proses Unifikasi Jepang ini, yaitu metode historis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari organisasi tingkat atas kepada tingkat bawahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas, tujuan filosofis

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas, tujuan filosofis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas, tujuan filosofis pendirian Yayasan adalah tidak bersifat komersial atau tidak mencari keuntungan, maksudnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama masa penjajahan Belanda, terjadi berbagai macam eksploitasi di

BAB I PENDAHULUAN. Selama masa penjajahan Belanda, terjadi berbagai macam eksploitasi di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama masa penjajahan Belanda, terjadi berbagai macam eksploitasi di Indonesia. Keadaan sosial dan ekonomi di Indonesia begitu buruk terutama untuk pendidikan pribumi

Lebih terperinci

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) 66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PENERAPAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PENERAPAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH (Suatu Studi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro) Oleh MELANI DWIYANTI SELAMAT Abstraksi Berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diundangkannya PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan. Daerah yang didalamnya memuat pasal-pasal yang mengatur tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diundangkannya PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan. Daerah yang didalamnya memuat pasal-pasal yang mengatur tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak diundangkannya PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya memuat pasal-pasal yang mengatur tentang pemerintahan desa (Bab XI Pasal 200 s.d

Lebih terperinci

menyatakan bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah pada perang Asia

menyatakan bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah pada perang Asia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehadiran uang 1 di suatu daerah merupakan hal yang menarik untuk dikaji, terutama di suatu negara yang baru memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Uang

Lebih terperinci

RESUME BUKU. : Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional Dari. Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 2)

RESUME BUKU. : Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional Dari. Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 2) RESUME BUKU Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 2) Penulis : Sartono Kartodirdjo Judul : Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri yang dinamakan dengan daerah otonom. 1

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri yang dinamakan dengan daerah otonom. 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 telah banyak membawa perubahan bagi bangsa Indonesia terhadap beberapa hal. Salah

Lebih terperinci

SKRIPSI. Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari

SKRIPSI. Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari SKRIPSI Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari Di Nagari III Koto Aur Malintang Timur,Kecamatan IV Koto Aur Malintang Kabupaten

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. Metode merupakan cara berpikir dan berbuat yang dipersiapkan sebaik-baiknya

III METODE PENELITIAN. Metode merupakan cara berpikir dan berbuat yang dipersiapkan sebaik-baiknya 21 III METODE PENELITIAN A. Metode Yang Digunakan Metode merupakan cara berpikir dan berbuat yang dipersiapkan sebaik-baiknya untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai suatu tujuan berdasarkan kebenaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dapat diartikan. dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dapat diartikan. dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Awal mula masuknya peseroan terbatas dalam tatanan hukum Indonesia adalah melalui asas konkordasi, yaitu asas yang menyatakan bahwa peraturan yang berlaku di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20, kota-kota kolonial mulai memiliki makna penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20, kota-kota kolonial mulai memiliki makna penting bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20, kota-kota kolonial mulai memiliki makna penting bagi perkembangan kota-kota di Indonesia. Menurut Roosmalen setidaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi itu telah mewujudkan Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

DESKRIPSI MATAKULIAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI

DESKRIPSI MATAKULIAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI DESKRIPSI MATAKULIAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI Matakuliah : Agama (Islam, Kristen, Khatolik)* Deskripsi :Matakuliah ini mengkaji tentang

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA

PERKEMBANGAN PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA PERKEMBANGAN PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA A. LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERGERAKAN KEBANGSAAN Politik DRAINAGE Belanda mengeruk kekayaan dari negara Indonesia untuk kepentingan dan kesejahteraan negara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. pengetahuan yang teratur dan runtut pada umumnya merupakan manifestasi

III. METODE PENELITIAN. pengetahuan yang teratur dan runtut pada umumnya merupakan manifestasi 16 III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode yang Digunakan Dalam setiap penelitian, metode merupakan faktor yang penting untuk memecahkan suatu masalah yang turut menentukan keberhasilan penelitian. Sumadi Suryabrata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian pemilihan kepala daerah (pilkada) berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerima baik bangsa asing yang datang ke Indonesia. Belanda

BAB I PENDAHULUAN. menerima baik bangsa asing yang datang ke Indonesia. Belanda BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awalnya Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang dan hal itu dapat membantu perekonomian masyarakat Indonesia dari segi perdagangan. Masyarakat Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan. hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan. hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan dijadikan milik diri manusia dengan belajar. 1

Lebih terperinci

PERAN BIRO HUKUM DALAM HARMONISASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH (STUDI DI BIRO HUKUM SETDA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH)

PERAN BIRO HUKUM DALAM HARMONISASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH (STUDI DI BIRO HUKUM SETDA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH) PERAN BIRO HUKUM DALAM HARMONISASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH (STUDI DI BIRO HUKUM SETDA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH) Sri Magdalena Hutabalian ABSTRAK Harmonisasi Rancangan peraturan daerah merupakan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar di Negara Republik Indonesia. Seiring perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia di jajah oleh bangsa Eropa kurang lebih 350 tahun atau 3.5 abad, hal ini di hitung dari awal masuk sampai berakhir kekuasaannya pada tahun 1942. Negara eropa

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENAMBAHAN SEKOLAH MENENGAH NEGERI BARU DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2004

ANALISIS KEBIJAKAN PENAMBAHAN SEKOLAH MENENGAH NEGERI BARU DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2004 ANALISIS KEBIJAKAN PENAMBAHAN SEKOLAH MENENGAH NEGERI BARU DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2004 (Penelitian Naturalistis Fenomenologis di SMK Negeri 1 Ambal) TESIS Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Surakarta

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. 1. Peralihan Hak Guna Bangunan (karena jual beli) untuk rumah tinggal telah

BAB III PENUTUP. 1. Peralihan Hak Guna Bangunan (karena jual beli) untuk rumah tinggal telah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Peralihan Hak Guna Bangunan (karena jual beli) untuk rumah tinggal telah mewujudkan kepastian hukum di Kota Yogyakarta dengan melakukan pendaftaran peralihan Hak Guna Bangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia pada umumnya sudah mengenal siapa itu konsumen. 2

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia pada umumnya sudah mengenal siapa itu konsumen. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia pada umumnya sudah mengenal siapa itu konsumen. 2 Konsumen sebagaimana yang dikenal dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa asing,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia antara Tahun 1910-1942. Bab ini berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat diketahui dari sejarah masa lampau. Itu sebabnya kita perlu mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat diketahui dari sejarah masa lampau. Itu sebabnya kita perlu mengetahui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia selalu mengalami yang namanya perubahan. Perubahan tersebut dapat diketahui dari sejarah masa lampau. Itu sebabnya kita perlu mengetahui peristiwa

Lebih terperinci

Daftar Isi PENDIRIAN MUSEUM MUHAMMADIYAH PROPOSAL 5 ASAS-ASAS 13 RENCANA 24 TAHAPAN PENDIRIAN 1 LATAR BELAKANG SEJARAH PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

Daftar Isi PENDIRIAN MUSEUM MUHAMMADIYAH PROPOSAL 5 ASAS-ASAS 13 RENCANA 24 TAHAPAN PENDIRIAN 1 LATAR BELAKANG SEJARAH PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH PIMPINAN PUSAT PROPOSAL PENDIRIAN MUSEUM Daftar Isi 1 LATAR BELAKANG SEJARAH 5 ASAS-ASAS 13 RENCANA 24 TAHAPAN PENDIRIAN MUSEUM LATAR BELAKANG SEJARAH 2 Latar Belakang Kolonialisme Belanda yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PE DAHULUA. sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Negara baik di bidang. kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak

BAB I PE DAHULUA. sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Negara baik di bidang. kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak 1 BAB I PE DAHULUA A. Latar Belakang Masalah Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengawasan majelis..., Yanti Jacline Jennifer Tobing, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengawasan majelis..., Yanti Jacline Jennifer Tobing, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Notaris bertindak sebagai pelayan masyarakat sebagai pejabat yang diangkat oleh pemerintah yang memperoleh kewenangan secara atributif dari Negara untuk melayani

Lebih terperinci

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH : Sistem Pemerintahan Desa

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH : Sistem Pemerintahan Desa HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH : Sistem Pemerintahan Riana Susmayanti, SH.MH. Faculty of Law, Universitas Brawijaya Email : rerezain@yahoo.co.id, r.susmayanti@ub.ac.id Pertemuan 12-14 1. PENDAHULUAN [Pertemuan

Lebih terperinci

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. 13. Mata Pelajaran Sejarah Untuk Paket C Program IPS A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. organisasi-organisasi pergerakan yang lain. Budi Utomo, disamping dikenal

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. organisasi-organisasi pergerakan yang lain. Budi Utomo, disamping dikenal BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Munculnya berbagai perkumpulan atau organisasi berlandaskan pendidikan dan politik bertugas untuk mensejahterakan bangsa Indonesia terutama di bidang pendidikan agar

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ISLAM DAN SISDIKNAS

PENDIDIKAN ISLAM DAN SISDIKNAS PENDIDIKAN ISLAM DAN SISDIKNAS Oleh: Dr. Marzuki UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Rabu, 13 Mei 2015 1 PENDAHULUAN Indonesia juga memiliki concern yang tinggi terhadap sektor pendidikan, di samping sektorsektor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih dipandang sebelah mata dan arsip masih disebut dengan tumpukan kertas.

BAB I PENDAHULUAN. masih dipandang sebelah mata dan arsip masih disebut dengan tumpukan kertas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Permasalahan Setiap instansi atau lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya memiliki struktur organisasi yang berjalan aktif setiap hari untuk kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal - usul, dan/atau

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal - usul, dan/atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pada saat ini, bangsa Indonesia dilanda dan masih berada di tengah-tengah krisis yang menyeluruh, krisis multidimensi. Kita dilanda oleh krisis politik,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 26 TAHUN 1985 SERI D =========================================================== PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOYAKARTA (PERDA DIY)

Lebih terperinci

SUMBANGAN RETRIBUSI PASAR TRADISIONAL KEPADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA

SUMBANGAN RETRIBUSI PASAR TRADISIONAL KEPADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA SUMBANGAN RETRIBUSI PASAR TRADISIONAL KEPADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (Studi Kasus di Pasar Gawok, Desa Geneng, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo Periode Tahun 2009-2010) SKRIPSI Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi kewenangan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam pengelolaan keuangan daerah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gerakan sosial lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. Gerakan sosial lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat karena adanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gerakan sosial lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan kata lain, gerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Alwisol, Psikologi Kepribadian, Malang: Universitas Muhammadiyah. Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976.

DAFTAR PUSTAKA. Alwisol, Psikologi Kepribadian, Malang: Universitas Muhammadiyah. Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976. DAFTAR PUSTAKA Alwisol, Psikologi Kepribadian, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press, 2004. Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENGARUH POLITIK ETIS TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA TAHUN SKRIPSI. Oleh: Melinda Vikasari NIM

PENGARUH POLITIK ETIS TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA TAHUN SKRIPSI. Oleh: Melinda Vikasari NIM PENGARUH POLITIK ETIS TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA TAHUN 1901-1942 SKRIPSI Oleh: Melinda Vikasari NIM 060210302106 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mega Destatriyana, 2015 Batavia baru di Weltevreden Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Mega Destatriyana, 2015 Batavia baru di Weltevreden Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. a.implementasi Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI Tahun 1945), Negara Indonesia ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai

Lebih terperinci