BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Rhizophora mucronata Lamk Klasifikasi Klasifikasi tumbuhan bakau (Rhizophora mucronata) menurut Duke (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Kelas : Magnoliopsida Ordo : Mytales Famili : Rhizophoraceae Genus : Rizhophora Spesies : Rizhophora mucronata Lamk. Gambar 1. Daun Rhizophora mucronata Lamk (Sumber: Dokumen Pribadi) Gambar 1 merupakan contoh sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. yang berasal dari Kawasan Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk, Jakarta Utara. Identifikasi mangrove ini berdasarkan pada buku Flora of Java (1963) dan buku Panduan Mangrove di Indonesia (2003) Karakteristik Biologi Nama daerah Rhizophora mucronata adalah bakau, bakau gundul, bakau, genjah dan bangko. Tanaman ini termasuk ke dalam Famili Rhizophoraceae dan banyak ditemukan pada daerah berpasir serta daerah pasang surut air laut. 6

2 7 Tanaman bakau dapat tumbuh hingga ketinggian m. Tanaman bakau memiliki batang silindris, kulit luar berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam, pada bagian luar kulit terlihat retak-retak. Bentuk akar tanaman ini menyerupai akar tunjang (akar tongkat). Akar tunjang digunakan sebagai alat pernapasan karena memiliki lentisel pada permukaannya. Akar tanaman tersebut tumbuh menggantung dari batang atau cabang yang rendah dan dilapisi semacam sel lilin yang dapat dilewati oksigen tetapi tidak tembus air (Murdiyanto 2003). Tanaman bakau memiliki daun melonjong, berwarna hijau dan mengkilap dengan panjang tangkai mm. Tanaman ini umumnya memiliki bunga berwarna kuning yang dikelilingi kelopak berwarna kuning-kecoklatan sampai kemerahan. Proses penyerbukan dibantu oleh serangga dan terjadi pada April sampai dengan Oktober. Penyerbukan menghasilkan buah berwarna hijau yang umumnya memiliki panjang cm dan diameter 2 cm (Kusmana et al., 2003) Tinjauan Umum Udang Windu (Penaeus monodon) Klasifikasi dan Ciri Morfologi Secara internasional, udang windu dikenal sebagai black tiger, tiger shrimp, atau tiger prawn. Istilah tiger ini muncul karena corak tubuhnya berupa garis-garis loreng mirip harimau, tetapi warnanya hijau kebiruan. Udang windu menyandang nama ilmiah Penaeus monodon. Udang ini termasuk golongan crustaceae (udang-udangan) dan dikelompokkan sebagai udang laut atau udang penaeidae. Penggolongan udang windu secara lengkap berdasarkan ilmu taksonomi hewan menurut Amri (2003) dipaparkan sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Famili : Penaeidae Genus : Penaeus Spesies : Penaeus monodon Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala hingga dada dan abdomen yang meliputi bagian perut dan ekor. Bagian kepala hingga dada disebut cephalothorax, dibungkus kulit kitin yang tebal atau carapace. Bagian ini terdiri dari kepala dengan 5 segmen dan dada

3 8 dengan 8 segmen. Bagian abdomen terdiri atas 6 segmen dan 1 ekor (telson) (Murtidjo 2003). Bagian depan kepala yang menjorok merupakan kelopak kepala yang memanjang dengan bagian pinggir bergerigi atau disebut juga dengan cucuk (rostrum). Cucuk di kepala memiliki 7 buah gerigi di bagian atas dan 3 buah gerigi di bagian bawah. Sementara itu, di bawah pangkal kepala terdapat sepasang mata. Bagian cephalothorax memiliki beberapa anggota tubuh yang berpasangan, yakni sungut mini (antenulla), sirip kepala (skopocherit), sungut besar (antenna), rahang (mandibulla), dan alat pembantu rahang (maxilla) (Amri 2003). Bagian dada Penaeus monodon memiliki tiga pasang maxilliped yang berfungsi untuk berenang serta membantu mengonsumsi makanan. Bagian badan memiliki lima pasang kaki renang yang berguna untuk berenang serta sepasang uropoda untuk membantu melakukan gerakan melompat dan naik turun (Murtidjo 2003). Bagian tubuh udang windu dapat dilihat pada gambar 6. Gambar 2. Bagian Tubuh Udang Windu (Penaeus monodon) (Sumber: Amri 2003) Jenis kelamin udang windu mudah dibedakan dengan melihat ciri luarnya. Alat kelamin udang windu betina disebut dengan thelcum. Letak thelcum di antara kaki jalan (periopoda) keempat dan kelima. Thelcum ini membentuk garis tipis dan akan melebar setelah terjadi fertilisasi (perkawinan). Sementara itu, alat kelamin jantan disebut dengan petasma. Alat kelamin ini berupa tonjolan di antara kaki renang pertama. Udang betina lebih cepat tumbuh daripada udang jantan sehingga pada umur yang sama, tubuh udang betina lebih besar daripada udang

4 9 jantan. Panjang dan berat udang windu hasil tangkapan dari laut bisa mencapai 35 cm dan 260 gram/ekor. Jika dipelihara di tambak, panjang tubuh maksimum udang windu bisa mencapai cm dan berat rata-rata 140 gram/ekor (Amri 2003). Warna udang windu alam sangat bervariasi, mulai dari merah sampai hijau kecokelatan. Udang yang dipelihara dan dibesarkan dalam tambak memiliki warna lebih cerah, yaitu hijau kebiruan. Warna tersebut berhubungan erat dengan kandungan pigmen dalam makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pigmen karotenoid atau axantin dalam makanannya, warna kulit udang akan semakin gelap (Murtidjo 2003) Habitat dan Daerah Penyebaran Habitat udang windu muda adalah air payau, misalnya muara sungai dan pantai. Semakin dewasa, udang semakin menyukai hidup dasar laut. Udang windu digolongkan jenis binatang euryhaline atau binatang air yang dapat hidup dalam kisaran garam 3% - 45% (pertumbuhan optimal pada salinitas 15% - 30%). Binatang ini aktif pada malam hari, sementara pada siang hari lebih suka membenamkan diri di tempat teduh atau lumpur (Murtidjo 2003). Faktor pembatas pertumbuhan udang windu adalah suhu dan oksigen terlarut. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan udang windu adalah 26-32º C, sementara kandungan oksigen terlarutnya sebanyak 4-7 ppm. Jika dipelihara di tambak dari ukuran benih, udang windu akan mencapai ukuran panen setelah dipelihara 4-6 bulan (Amri 2003) Sifat Biologis Setelah udang windu dewasa, dalam waktu 1-2 tahun kemudian akan mati. Sifat umum udang windu sama dengan udang jenis lainnya, yakni pada periode tertentu mengalami pergantian kulit (molting). Hal ini terjadi karena kulit udang tidak elastis sehingga setiap terjadi perkembangan tubuh (bertambah ukuran), udang harus mengganti kulit (carapace) atau cangkangnya yang sudah sempit (Amri 2003).

5 10 Secara alami, pergantian kulit pada udang windu merupakan petunjuk adanya pertumbuhan. Setelah kulit lama terlepas dari tubuh, udang dalam keadaan lemah karena kulit baru belum mengeras (Murtidjo 2003). Udang windu bersifat nocturnal, artinya aktif mencari makan dan beraktivitas pada malam hari atau pada suasana gelap. Sebaliknya, pada siang hari aktivitasnya menurun dan lebih banyak membenamkan dirinya dalam lumpur atau pasir. Makanan udang windu bervariasi, baik jenis maupun komposisinya, tergantung umurnya. Namun, umumnya udang bersifat karnivora (pemakan hewan) (Amri 2003) Perkembangbiakan Pemijahan terjadi tatkala udang jantan mengeluarkan spermatozoa dari alat kelamin jantan (petasma) kemudian memasukkannya ke dalam alat kelamin betina (telichum) udang betina. Setelah terjadi kontak langsung, induk betina akan mengeluarkan sel telur sehingga terjadilah pembuahan. Telur yang sudah menetas akan menjadi larva yang bersifat planktonik (melayang) dan akan naik ke permukaan air. Dalam satu kali musim pemijahan, seekor induk betina menghasilkan telur sebanyak butir (Amri 2003). Siklus udang windu dapat dilihat pada gambar 3. Gambar 3. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) (Sumber: Amri 2003)

6 11 Menurut (Amri 2003), setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali seperti berikut ini: 1. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit. 2. Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit. 3. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali. 4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai substadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas dengan temperatur 25ºC - 29ºC. 5. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas Pada usia 1,5 tahun di habitatnya, udang windu sudah dewasa kelamin. Apabila musim kawin tiba, udang dewasa hijrah ke tengah laut yang dalam untuk melakukan perkawinan pada malam hari. Saat bulan purnama merupakan waktu terjadinya perkawinan massal (Murtidjo 2003) Kualitas Air Dalam budidaya udang, kualitas maupun kuantitas air memegang peranan yang sangat penting. Untuk mempertahankan agar kualitas air tetap baik, air harus selalu diganti dengan sistem pengaliran, aerasi, pemberian makanan yang tidak berlebihan, serta pembersihan kotoran dengan penyifonan (Murtidjo 2003). Beberapa parameter kualitas air yang perlu diperhatikan antara lain oksigen terlarut, salinitas, ph dan suhu (Amri 2003).

7 12 a. Oksigen Terlarut Oksigen dibutuhkan udang untuk bernapas. Ketersediaan oksigen di dalam air sangat menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang. Oksigen yang bisa dimanfaatkan udang adalah oksigen terlarut dalam air. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk kehidupan udang adalah 4-8 ppm. Pengukuran menggunakan DO meter (Dissolved Oxygen Meter) (Amri 2003). b. Salinitas Secara sederhana, salinitas disebut juga dengan kadar garam atau tingkat keasinan air. Sementara itu, secara ilmiah, salinitas didefinisikan dengan total padatan dalam air setelah semua karbonat dan senyawa organik dioksidasi, dan bromida serta iodida dianggap sebagai klorida. Besarnya salinitas dinyatakan dalam permill ( ) atau ada juga yang menyebutnya dengan gram per kilogram. Untuk mengukur salinitas air tambak secara praktis dapat digunakan salinometer atau refraktometer (Amri 2003). Udang windu menyukai air bersalinitas Salinitas ini lebih rendah daripada salinitas yang dikehendaki udang jenis lain. Salinitas untuk pertumbuhan udang windu yang baik diperoleh pada kisaran Penurunan salinitas air tambak di bawah 10 sebaiknya dihindari karena kondisi udang menjadi lemah, warna tubuhnya lebih biru, dan peka terhadap serangan penyakit (Amri 2003). c. Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman disebut juga dengan ph. Nilai ph normal untuk tambak udang windu adalah 6-9. Nilai ph di atas 10 dapat membunuh udang, sementara nilai ph di bawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat. Pengukuran ph umumnya dilakukan dengan ph meter. Selain sulit diaplikasikan di lapangan dan harga ph meter juga relatif mahal. Namun, jika tersedia dana dan tenaga terlatih, penggunaan ph meter disarankan karena hasilnya cukup baik dan akurat (Amri 2003).

8 13 d. Suhu Suhu atau temperatur merupakan salah satu faktor penentu kehidupan udang windu. Kisaran suhu air tambak yang baik bagi kehidupan udang windu adalah 25-30º C. Perubahan suhu yang bisa ditoleransi tidak lebih dari 2º C. Karena itu, harus dihindari perubahan suhu secara mendadak karena akan berpengaruh langsung terhadap kehidupan udang (Amri 2003). Jika suhu air tambak turun hingga di bawah 25º C, daya cerna udang windu terhadap makanan yang dikonsumsi berkurang. Sebaliknya, jika suhu naik hingga lebih dari 30º C, udang windu akan mengalami stres karena kebutuhan oksigennya semakin tinggi. Sementara itu, jika suhu air berada di bawah 14º C, udang windu bisa mengalami kematian. Biasanya, suhu air tambak diukur dengan thermometer (Amri 2003) Tinjauan Umum Bakteri Vibrio harveyi Klasifikasi Dalam Bergey s Manual edisi ke-9 (Holt et al., 1994), klasifikasi bakteri Vibrio harveyi adalah sebagai berikut : Kingdom : Prokaryota Divisi : Bacteria Ordo : Eubacteriales Family : Vibrionaceae Genus : Vibrio Spesies : Vibrio harveyi Gambar 4. Vibrio harveyi (Sumber:

9 Karakteristik Biologi Ciri bakteri Vibrio adalah bentuknya seperti batang pendek, tidak membentuk spora, sumbu melengkung atau lurus, ukurannya 0,51 mm x 1-2 mm, bersifat gram negatif, tumbuh baik pada kadar NaCl 1-1,5 %, terdapat tunggal atau kadang-kadang bersatu dalam bentuk s atau spiral. Vibrio harveyi umumnya hidup di air laut dan payau, terutama air dangkal serta musim dimana temperatur air menjadi tinggi (Kabata 1985 dalam Prajitno 2005), ditemukan di habitathabitat akuatik, sebagian pada air laut, lingkungan estuarin dan berasosiasi dengan hewan laut. Bakteri Vibrio spp termasuk jenis bakteri halofit. Dapat tumbuh secara optimum pada salinitas ppt, dan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi alkali, yaitu ph optimum berkisar antara 7,5-8,5 (Prajitno 2005). Bakteri Vibrio spp termasuk bakteri kemoorganotropik dan berbiak dengan cara aseksual. Bakteri dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang pada batasbatas suhu tertentu. Suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri Vibrio spp berkisar antara 30-35ºC. sedangkan pada suhu 4ºC dan 45ºC bakteri tidak dapat tumbuh dan pada suhu 55ºC akan mati (Prajitno 2005). Bakteri Vibrio sp. merupakan bakteri patogen yang berbahaya bagi udang windu. Bakteri patogen dapat dibedakan atas dua tipe yaitu patogen obligate dan patogen non obligate. Patogen obligate yaitu patogen yang dapat menimbulkan penyakit setiap kali kontak dengan inangnya atau dengan kata lain bakteri ini dapat hidup dan berkembang jika mendapatkan inang, sedangkan pathogen non obligate yaitu patogen yang dapat hidup dan berkembang biak di dalam inang maupun bebas di luar inang, seperti Vibrio sp. Menurut Sukenda dan Wakabayashi (2001), permukaan tubuh adalah tempat media masuknya bakteri ke dalam tubuh inang dan daerah ini dapat menjadi gerbang utama untuk menyebabkan infeksi. Pada saat kondisi kulit inang (kutikula) atau permukaan tubuh lainnya mengalami luka, maka sangat memungkinkan bakteri patogen untuk masuk (Naiborhu 2002).

10 Vibriosis pada Udang Windu (Penaeus monodon) Penyakit udang berpendar yang disebabkan oleh Vibrio harveyi disebut vibriosis. Vibriosis sering pula dikatakan sebagai penyakit udang menyala, karena udang yang terinfeksi terlihat bercahaya pada malam hari (Seng 1994), dan merupakan penyakit yang umum dijumpai dan merupakan masalah yang serius di seluruh usaha budidaya ikan di laut dan air payau di dunia (Prajitno 2005). Gambar 5. Post Larva Udang Penaeus yang Menderita Penyakit Vibriosis (Sumber: Hidayat 2011) Vibriosis bersifat akut dan ganas, karena dapat memusnahkan populasi udang dalam tempo 1-3 hari sejak gejala awal tampak. Udang yang terserang sangat sulit untuk diselamatkan sehingga seluruh udang yang ada terpaksa dibuang atau dimusnahkan. Penularannya dapat langsung melalui air atau kontak langsung antar udang dan menyebar sangat cepat pada udang yang dipelihara pada kepadatan tinggi (Prajitno 2005). Widanarni (2000) menemukan bahwa pada tempat pembenihan udang, spesies Vibrio telah mengkolonisasi larva udang hingga pasca larva, bahkan sejak fase telur. Penyakit vibriosis pada stadia larva terdiri dari penyakit udang berpendar dan udang bengkok. Udang yang terserang penyakit ini menunjukkan perubahan pada fase post larva tubuh udang yang transparan menjadi putih pucat. Kematian tertinggi biasanya terjadi pada saat stadia post larva dan juvenil.

11 16 A. Udang tampak normal B. Udang berpendar pada cahaya gelap Gambar 6. Vibriosis pada Udang Windu (Sumber: Hidayat 2011) Ciri-ciri lain udang yang terserang vibriosis antara lain kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merahmerah pada pleopoda dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala (Al Rozi 2008) Kandungan Metabolit Sekunder Sebagai Antibakteri Metabolit sekunder didefinisikan sebagai senyawa non nutrisi yang dihasilkan oleh suatu jenis organisme yang dapat memberikan dampak pada pertumbuhan, kesehatan maupun perilaku pada organisme lain. Metabolit sekunder mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, berfungsi melindungi untuk meningkatkan kemampuan organisme bersaing dengan organisme lain dalam suatu habitat atau berperan sebagai sarana untuk melindungi diri (Efni 1991 dalam Tania 2011). Bakterisida alami juga merupakan produk metabolit sekunder yang dapat berupa senyawa-senyawa kimia tunggal atau campuran senyawa kimia dalam bentuk ekstrak atau fraksi ekstrak yang diperoleh dari tumbuhan dan atau mikroorganisme yang bersifat toksik terhadap herbivora, mikroba atau bakteri patogen (Yulian 2011). Suatu senyawa antimikrobial yang terdapat pada tumbuhan mangrove dapat bersifat bakteristatik dan bakterisidal, tergantung kepada mekanisme dan konsentrasi obat. Obat dapat bersifat bakteristatik pada konsentrasi minimum

12 17 tertentu dan jika bahan antimikrobial dihilangkan, perkembangbiakan bakteri akan berjalan kembali seperti semula (hanya berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri). Akan tetapi obat yang bersifat bakterisidal akan mempunyai kemampuan untuk membunuh bakteri (Naiborhu 2002). Beberapa bahan aktif yang berfungsi sebagai bahan antimikroba yang terdapat dalam tumbuhan mangrove, seperti flavonoid, saponin, diterpenoid, triterpenoid, fenolik, tanin. Mekanisme kerja bahan aktif dalam mematikan bakteri dilakukan dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri dengan cara melarutkan lemak yang terdapat pada dinding sel. Senyawa ini mampu melakukan migrasi dari fase cair ke fase lemak. Kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme dan kondisi ini pada akhirnya menyebabkan kematian pada bakteri (Naiborhu 2002) Alkaloid Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Umumnya, alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne 1984 dalam Priyanto 2012). Menurut Achmad (1985), hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit kayu. Suatu cara untuk mengklasifikasikan alkaloid ialah cara yang didasarkan pada jenis cincin heterosiklik nitrogen yang merupakan bagian dari struktur molekul. Menurut klasifikasi ini, alkaloid dapat dibedakan atas beberapa jenis, seperti alkaloid pirolidin, alkaloid piperidin, alkaloid isokuinolin, alkaloid indol, alkaloid kuinolin dan sebagainya (Gambar 7).

13 18 Gambar 7. Struktur Senyawa-senyawa Alkaloid (Sumber: Achmad 1985) Flavonoid Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenolik di samping fenol sederhana, fenilpropanoid dan kuinonfenolik (Harborne 1987). Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid terdapat dalam berbagai bentuk dan struktur. Semuanya mengandung 15 atom C dalam inti dasarnya yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatic yang dihubungkan oleh tiga macam bentuk struktur yaitu isoflavonoid, neoflavonoid dan flavonoid (Marpaung 2004). Berikut struktur umum flavonoid dapat dilihat pada gambar 8. Gambar 8. Struktur Umum Flavonoid (Sumber: intermediary-blog.blogspot.com) Flavonoid dalam tumbuhan terdapat sebagai campuran, seringkali terdiri atas flavonoid yang berbeda golongan. Penggolongan jenis flavonoid didasarkan pada sifat kelarutan dan reaksi warna. Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubtitusi. Pelarut polar seperti etanol, metanol, etil asetat, atau campuran dari pelarut tersebut dapat digunakan untuk mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan (Akbar 2010).

14 Steroid/Triterpenoid Steroid/Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang disusun dari 6 unit isoprena dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C 30 hidrokarbon asiklik. Triterpenoid mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks, terdiri atas alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa ini umumnya berbentuk kristalin dan mempunyai titik lebur tinggi. Steroid yang dites dengan menggunakan reaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidridat - H 2 SO 4 pekat), akan membentuk warna biru hijau untuk sebagian besar triterpen dan sterolnya (Sirait 2007). Gambar 9 merupakan struktur steroidnya. Gambar 9. Struktur Umum Steroid (Sumber: endiferrysblog.blogspot.com) Saponin Saponin merupakan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi, diantaranya glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta asam galakturonat dan glukoronat (Priyanto 2012). Gambar struktur saponin disajikan pada Gambar 10. Gambar 10. Struktur Saponin (Sumber: Markham 1982)

15 Tanin Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan. Senyawa tanin merupakan turunan polifenol dengan karakteristiknya yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan makromolekul lainnya. Umumnya senyawa tanin larut dalam air (polar). Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi tersebar luas pada tumbuhan paku-pakuan dan tumbuhan berkayu. Tanin terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping dua (Harborne 1984). Sumber tanin di Indonesia salah satunya diperoleh dari beberapa jenis bakau. Senyawa tanin seringkali menyebabkan beberapa tumbuhan memiliki rasa sepat sehingga dihindari oleh banyak hewan pemangsanya. Adanya senyawa tanin di dalam rumen sapi menyebabkan populasi bakteri proteolitik Lotus corniculatus mengalami penurunan. Senyawa tanin akan berikatan langsung dengan dinding sel, membran dan protein ekstrakseluler pada bakteri (Priyanto 2012). Gambar 11 merupakan struktur dari senyawa tanin. Gambar 11. Struktur Tanin (Sumber: Oladoja et al. 2010) 2.6. Metode Isolasi Metabolit Sekunder Ekstraksi Tumbuhan sudah dikenal sejak lama mengandung komponen metabolit sekunder yang umumnya terdapat dalam daun, bunga, akar, buah dan biji. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan komponen metabolit sekunder, salah satunya dengan menggunakan ekstraksi. Menurut Harborne (1987), ekstraksi

16 21 merupakan proses penarikan komponen atau zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Pembagian jenis ekstraksi dapat juga dilakukan menurut pelarut yang digunakan. Pada pembagian ini, ekstraksi dibagi menjadi ekstraksi tunggal dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal adalah teknik ekstraksi pada bahan secara langsung menggunakan satu jenis pelarut, sedangkan ekstraksi bertingkat adalah ekstraksi dengan beberapa pelarut organik yang tingkat kepolarannya berbeda-beda (Malthaputri 2007). Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak dikontakkan dengan pelarut selama selang waktu tertentu, sehingga komponen yang akan diekstrak akan terlarut dalam pelarut. Kelebihan dari ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah mendapatkan senyawa yang lebih terkonsentrasi dan memiliki aroma yang hampir sama dengan bahan alami awal (Malthaputri 2007). Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi ke dalam material padat dan berdifusi kepada komponen yang memiliki kepolaran yang sama. Hal yang perlu dilakukan dalam menentukan pelarut yang akan digunakan dalam proses ekstrasi antara lain: pelarut memiliki toksisitas rendah, mudah untuk dievaporasi dalam suhu rendah, serta cepat dalam menyerap ekstrak (Priyanto 2012). Pemilihan metode ekstraksi yang digunakan akan mempengaruhi jumlah rendemen yang didapatkan dari suatu bahan. Metode ekstraksi menurut Harborne (1984) salah satunya adalah maserasi. Maserasi adalah metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut dengan atau tanpa pengadukan. Pada penelitian ini ekstraksi dilakukan secara berturut-turut menggunakan pelarut n-heksan sebagai pelarut non polar, etil asetat sebagai pelarut semi polar dan butanol sebagai pelarut polar. Ekstraksi dengan kepolaran berbeda biasanya menggunakan sampel yang telah dikeringkan. Pengeringan merupakan metode pengawetan yang penting untuk bahan baku tumbuhan karena dapat menghambat degradasi enzimatik dan limit pertumbuhan mikroba saat ekstraksi (Harborne et al dalam Rumiantin 2011).

17 Uji Sensitivitas Bakteri (In Vitro) Uji aktivitas antibakteri diukur secara in vitro untuk menentukan (1) potensi zat antibakteri dalam larutan, (2) konsentrasinya dalam cairan tubuh dan jaringan dan (3) kepekaan mikroorganisme terhadap obat atau antibiotik pada konsentrasi tertentu. Pengukuran aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi agar (Tania 2011). Metode yang paling banyak direkomendasikan dan digunakan secara luas dalam praktek di laboratorium ialah metode Kirby-Bauer. Dalam metode ini, bakteri uji diinokulasikan secara keseluruhan ke dalam sebuah media agar dan sebuah kertas cakram (paper disk) berukuran 4-6 mm yang mengandung konsentrasi tertentu dari antibiotik yang akan diujikan dan ditempatkan di permukaan agar cawan kemudian diinkubasi. Setelah inkubasi pada suhu dan waktu tertentu, tergantung pada jenis mikroba uji diamati adanya zona hambat. Diameter penghambatan diukur dan jika cukup lebar berarti bakteri cukup sensitif terhadap senyawa antibakteri tersebut. Apabila antibakteri pada kadar rendah dapat memberikan diameter zona hambatan yang lebar dan bening di sekitar bahan antibakteri, maka hal ini menunjukkan bahwa senyawa antibakteri tersebut potensial untuk menghambat pertumbuhan bakteri uji yang digunakan (Yulian 2011). Paper disk Zona hambat Biakan bakteri uji Cawan Petri Gambar 12. Bentuk Zona Hambat (Sumber: Modul Mikrobiologi)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Udang windu merupakan komoditas perikanan laut yang memiliki peluang usaha cukup baik karena sangat digemari konsumen lokal (domestik) dan konsumen luar negeri. Hal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kandungan Metabolit Sekunder Daun Rhizophora mucronata Lamk. Kandungan metabolit sekunder pada daun Rhizophora mucronata Lamk. diidentifikasi melalui uji fitokimia. Uji

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon) 2.1.1 Klasifikasi Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke dalam Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli perairan Amerika Latin. Udang ini dibudidayakan mulai dari pantai barat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan mangrove Rhizophora stylosa 2.1.1 Klasifikasi Rhizophora stylosa Menurut Cronquist (1981), taksonomi tumbuhan mangrove Rhizophora stylosa sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mangrove Excoecaria agallocha 2.1.1 Klasifikasi Excoecaria agallocha Klasifikasi tumbuhan mangrove Excoecaria agallocha menurut Cronquist (1981) adalah sebagai berikut

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstraksi terhadap 3 jenis sampel daun pidada menghasilkan ekstrak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstraksi terhadap 3 jenis sampel daun pidada menghasilkan ekstrak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Ekstraksi Senyawa Aktif Ekstraksi terhadap 3 jenis sampel daun pidada menghasilkan ekstrak metanol, etil asetat, dan heksana dengan bobot yang berbeda. Hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L.) sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Ikan air tawar yang bernilai ekonomis cukup penting ini sudah sangat dikenal luas oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan Sampel Ascidian Didemnum molle Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan Maret 2013 di perairan Kepulauan Seribu meliputi wilayah Pulau Pramuka, Pulau Panggang

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang sangat potensial, karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pepaya Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko dan Amerika Selatan, kemudian menyebar ke berbagai negara tropis, termasuk Indonesia sekitar

Lebih terperinci

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,-

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,- Anggaran Tabel 2. Rencana Anggaran No. Komponen Biaya Rp 1. Bahan habis pakai ( pemesanan 2.500.000,- daun gambir, dan bahan-bahan kimia) 2. Sewa alat instrument (analisa) 1.000.000,- J. Gaji dan upah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06 6 HASIL Kadar Air dan Rendemen Hasil pengukuran kadar air dari simplisia kulit petai dan nilai rendemen ekstrak dengan metode maserasi dan ultrasonikasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Hasil perhitungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari gabungan antara bahasa Portugis mangue dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari gabungan antara bahasa Portugis mangue dan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mangrove Kata mangrove berasal dari gabungan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Kata mangrove dalam bahasa Portugis digunakan untuk menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan budidaya pada air tawar adalah penyakit Motil Aeromonas Septicemia (MAS)

BAB I PENDAHULUAN. ikan budidaya pada air tawar adalah penyakit Motil Aeromonas Septicemia (MAS) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hambatan yang seringkali dihadapi oleh pembudidaya ikan adalah kondisi kesehatan ikan. Kesehatan ikan menurun disebabkan lingkungan yang buruk akan menimbulkan penyakit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon TINJAUAN PUSTAKA Jabon (Anthocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal Indonesia yang berpotensi baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai Desember 2013. Tahapan pelaksanaan penelitian meliputi : 1. Pengambilan sampel daun Rhizophora

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi keamanan pangan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus dalam penyediaan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) merupakan tumbuhan sejati yang hidup di kawasan mangrove. Morfologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan masalah yang paling banyak dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Kasus infeksi disebabkan oleh bakteri atau mikroorganisme patogen yang masuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan Standar Nasional Indonesia Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal 6 dari 1 maka volume bakteri yang diinokulasikan sebanyak 50 µl. Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Sebanyak 0.1 gram serbuk hasil ekstraksi flaonoid dilarutkan dengan 3 ml kloroform dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Uji Identifikasi Fitokimia Uji identifikasi fitokimia hasil ekstraksi lidah buaya dengan berbagai metode yang berbeda dilakukan untuk mengetahui secara kualitatif kandungan senyawa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium

Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Kandungan Metabolit Sekunder Sargassum crassifolium Sampel kering Sargassum crassifolium yang telah dihaluskan ditimbang 0,5 gram dengan menggunakan timbangan analitik untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kerang hijau (Perna viridis) merupakan salah satu komoditas sumber daya laut yang memiliki nilai ekonomis. Kerang ini tergolong dalam filum Mollusca makanan laut yang

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

Larutan bening. Larutab bening. Endapan hijau lumut. Larutan hijau muda

Larutan bening. Larutab bening. Endapan hijau lumut. Larutan hijau muda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Analisis Fitokimia Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) Sampel buah mengkudu kering dan basah diuji dengan metoda fitokimia untuk mengetahui ada atau tidaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bakteri merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan di dunia, terutama di negara tropis. Di daerah tropis seperti Indonesia, penyakit yang disebabkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang berkualitas tinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2006 sampai Juli 2007, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan tumbuhan berkhasiat, sehingga banyak dimanfaatkan dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan tumbuhan berkhasiat, sehingga banyak dimanfaatkan dalam bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan tumbuhan berkhasiat, sehingga banyak dimanfaatkan dalam bidang pertanian, kesehatan, dan industri. Umumnya pengetahuan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN II. METODE PENELITIAN I. PENDAHULUAN Bambu merupakan tanaman serbaguna. Bagian tanaman yang dimanfaatkan adalah batang. Pemanfaatan bagian daun belum maksimal, hanya sebagai pembungkus makana tradisional. Di Cina (1998), daun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove berasal dari kata mangue dan grove berdasarkan gabungan antara. menyusun komunitas tersebut (Sosia et al., 2014).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove berasal dari kata mangue dan grove berdasarkan gabungan antara. menyusun komunitas tersebut (Sosia et al., 2014). 6 2.1 Deskripsi Mangrove BAB II TINJAUAN PUSTAKA Mangrove berasal dari kata mangue dan grove berdasarkan gabungan antara bahasa portugis dan inggris. Dalam bahasa portugis kata mangrove digunakan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terdiri atas penyakit bakterial dan mikotik. Contoh penyakit bakterial yaitu

PENDAHULUAN. terdiri atas penyakit bakterial dan mikotik. Contoh penyakit bakterial yaitu PENDAHULUAN Latar Belakang Indikator keberhasilan dalam usaha budidaya ikan adalah kondisi kesehatan ikan. Oleh karena itu masalah penyakit merupakan masalah yang sangat penting untuk ditangani secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman mentimun berasal dari kaki pegunungan Himalaya. Domestikasi dari tanaman liar ini berasal dari India utara dan mencapai Mediterania pada 600 SM. Tanaman ini dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) 2.1.1. Klasifikasi Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, yaitu lebih mudah dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bunga Rosella 1. Klasifikasi Dalam sistematika tumbuhan, kelopak bunga rosella diklasifikasikan sebagai berikut : Gambar 1. Kelopak bunga rosella Kingdom : Plantae Divisio :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Diaphanosoma sp. adalah sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Diaphanosoma sp. adalah sebagai berikut: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diaphanosoma sp. 1. Klasifikasi Klasifikasi Diaphanosoma sp. adalah sebagai berikut: Fillum Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Arthropoda : Crustacea : Branchiopoda : Cladocera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang merupakan salah satu hasil laut komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan 10 komoditas unggulan budidaya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tumbuhan sebagai salah satu sumber kekayaan yang luar biasa. Banyak tanaman yang tumbuh subur dan penuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi saluran pencernaan disebabkan karena tertelannya mikroorganisme patogen yang dapat menimbulkan infeksi dan intoksikasi pada manusia dan menimbulkan penyakit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG III. KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pikiran Salah satu permasalahan yang menyebabkan rendemen gula rendah di pabrik-pabrik gula di Indonesia adalah masalah downtime pabrik yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri ekstrak etanol daun ciplukan (Physalis angulata L.) dalam bentuk sediaan obat kumur terhadap bakteri

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. dari Kawasan Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara.

Lampiran 1. Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. dari Kawasan Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara. Lampiran 1. Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. dari Kawasan Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara. a. Stasiun Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. No Stasiun Plot Kualitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Variabel Hama 1. Mortalitas Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai fase dan konsentrasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas hama

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Uji Identifikasi Fitokimia Hasil uji identifikasi fitokimia yang tersaji pada tabel 5.1 membuktikan bahwa dalam ekstrak maserasi n-heksan dan etil asetat lidah buaya campur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. (1965). Hasil determinasi tanaman. Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. (1965). Hasil determinasi tanaman. Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Determinasi Tanaman Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga PENDAHULUAN Latar Belakang Udang windu merupakan salah satu komoditas ekspor non migas dalam sektor perikanan. Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestifikasi dan pemuliaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terdapat sekitar 2500 jenis senyawa bioaktif dari laut yang telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi, dan 93 % diantaranya diperoleh dari rumput laut (Kardono, 2004).

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit ikan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit ikan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ikan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh para pembudidaya karena berpotensi menimbulkan kerugian yang sangat besar. Kerugian yang terjadi

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Menurut Fachruddin (2000) tanaman kacang panjang termasuk famili leguminoceae. Klasifikasi tanaman kacang panjang

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) Kelompok Macrura (lanjutan) Bangsa Udang Penaeid Pada stadium post larva, anakan udang hidup merayap atau melekat pada benda2 di dasar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Larva Rajungan Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva Tingkat perkembangan rajungan pada umumnya tidak berbeda dengan kepiting bakau. Perbedaannya hanya pada fase

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang, akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang, serta akar cabang yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu bagian tanaman pepaya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu bagian tanaman pepaya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bagian tanaman pepaya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah biji buah pepaya (Carica papaya L.). Secara tradisional biji pepaya dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme utama penyebab penyakit infeksi (Jawetz et al., 2001). Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit infeksi antara lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya dan menduduki peringkat lima besar di dunia dalam hal keanekaragaman tumbuhan, dengan 38.000 spesies

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. positif yang hampir semua strainnya bersifat patogen dan merupakan bagian dari

BAB 1 PENDAHULUAN. positif yang hampir semua strainnya bersifat patogen dan merupakan bagian dari 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Staphylococcus aureus merupakan salah satu kelompok bakteri gram positif yang hampir semua strainnya bersifat patogen dan merupakan bagian dari flora normal kulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah kesehatan. Hal ini cukup menguntungkan karena bahan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah kesehatan. Hal ini cukup menguntungkan karena bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan bahan alam yang berasal dari tumbuhan sebagai obat tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk menangani berbagai masalah kesehatan.

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Antraknosa Cabai Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici (Direktorat

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1.

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1. BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada awal penelitian dilakukan determinasi tanaman yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas botani dari tanaman yang digunakan. Hasil determinasi menyatakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) LOBSTER LAUT Salah satu jenis komoditas yang biasa ditemukan di kawasan terumbu karang adalah udang barong atau udang karang (lobster).

Lebih terperinci

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Sidang TUGAS AKHIR, 28 Januari 2010 Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Nama : Vivid Chalista NRP : 1505 100 018 Program

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ekstrak Etil Asetat dari Didemnum sp. Langkah awal dalam penelitian ini adalah membuat sediaan ekstrak etil asetat. Disebut ekstrak etil asetat karena pelarut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo merupakan ikan hasil perkawinan silang antara induk betina lele Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitin dan Bakteri Kitinolitik Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain

BAB I PENDAHULUAN. Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu. Umumnya telur yang dikonsumsi berasal dari jenis-jenis unggas, seperti ayam,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan yang memiliki bunga banyak, serta daun dari bunga bakung ini memilki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan yang memiliki bunga banyak, serta daun dari bunga bakung ini memilki BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tumbuhan Bunga Bakung Tumbuhan bunga bakung mempunyai ketinggian antara 0,5-1,25 m, merupakan tumbuhan yang memiliki daun dan bunga. Bunga bakung termasuk tumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bentuk jeruk purut bulat dengan tonjolan-tonjolan, permukaan kulitnya kasar

I. PENDAHULUAN. Bentuk jeruk purut bulat dengan tonjolan-tonjolan, permukaan kulitnya kasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jeruk purut (Citrus hystrix D. C.) merupakan tanaman buah yang banyak ditanam oleh masyarakat Indonesia di pekarangan atau di kebun. Bentuk jeruk purut bulat dengan tonjolan-tonjolan,

Lebih terperinci