BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan Sampel Ascidian Didemnum molle Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan Maret 2013 di perairan Kepulauan Seribu meliputi wilayah Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau Semak Daun. Ketiga perairan tersebut memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dilihat dari parameter fisika dan kimia yang diukur (Lampiran 3) sehingga tidak menyebabkan perbedaan kandungan metabolit sekunder. Karena menurut Murniasih pada tahun 2005 lingkungan laut sangat mempengaruhi keaktifan dari metabolit sekunder yang dihasilkan biotanya. Ascidian Didemnum molle ditemukan pada kedalaman 2 meter hingga 10 meter, hidup pada substrat yang keras seperti karang massive dan tiang pancang dermaga. Pada kedalaman 2 meter ukuran ascidian Didemnum molle yang ditemukan berkisar 1 cm hingga 5 cm sedangkan pada kedalaman 10 meter ukurannya berkisar antara 10 cm hingga 15 cm. Sehingga untuk pengambilan sampel sebaiknya dilakukan pada kedalaman 10 meter. Sampel yang diperoleh dari ketiga lokasi memiliki kisaran ukuran 5 cm hingga 15 cm. Sampel dikumpulkan sebanyak 3,5 kg dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Ascidian Didemnum molle akan terus menerus mengeluarkan lendir ketika dikeluarkan dari dalam air laut, hal ini merupakan bentuk pertahanan diri dari ascidian Didemnum molle. Ascidian Didemnum molle segera dimasukkan ke dalam coolbox berisi es batu untuk meminimalisir aktivitas mikroba yang akan menyebabkan pembusukan sehingga sampel tetap segar hingga penanganan selanjutnya. Sampel dibuat ke dalam bentuk sediaan kering (simplisia), tujuannya untuk mengurangi kadar air dan terjadinya pertumbuhan mikroba selama masa penyimpanan sehingga sampel bisa bertahan dalam waktu yang lama. Ascidian Didemnum molle yang sudah kering berbentuk tipis berwarna coklat (Gambar 16). Serbuk dari Didemnum molle berwarna coklat dengan berat 247 gram. 34

2 35 Gambar 16. Bentuk dan Warna Ascidian Didemnum molle sebelum dikeringkan (kiri) dan setelah dikeringkan (kanan) 4.2. Identifikasi Metabolit Sekunder Ascidian Didemnum molle Identifikasi metabolit sekunder dengan metode uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder dalam suatu bahan secara kualitatif. Dilakukan lima uji metabolit sekunder diantaranya uji alkaloid, uji flavonoid, uji triterpenoid, uji steroid dan uji saponin. Hasilnya, ascidian Didemnum molle positif mengandung alkaloid, steroid dan saponin (Tabel 4). Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Didemnum molle Metabolit Sekunder Hasil Keterangan Alkaloid Positif Endapan putih Flavonoid Negatif Warna kuning Triterpenoid Negatif Warna hijau kebiruan Steroid Positif Warna hijau kebiruan Saponin Positif Terbentuk busa Dari Tabel 4, hasil positif alkaloid ditunjukkan dengan adanya endapan putih pada uji alkaloid dengan menggunakan pereaksi Mayer (HgCl 2 + KI). Warna larutan berubah dari bening menjadi keruh dan terbentuk endapan putih (Gambar 17a). Diperkirakan bahwa endapan putih tersebut merupakan kompleks kaliumalkaloid. Alkaloid mengandung atom nitrogen dan bersifat basa sehingga untuk mengekstraknya dibutuhkan penambahan asam sulfat. Atom nitrogen pada

3 36 alkaloid mempunyai pasangan elektron bebas dan akan bereaksi dengan ion logam K + dari pereaksi Mayer (McMurry 2004). Alkaloid pada umumnya berbentuk kristal yang disebut dengan garam-garam alkaloid. Pada uji alkaloid dengan pereaksi Wagner ditandai dengan terbentuknya endapan cokelat muda hingga kekuningan (Gambar 17b). Perekasi Wagner terdiri dari kalium iodida (KI) dan iodin (I 2 ) sehingga ketika iodine bereaksi dengan I - dari kalium iodide menghasilkan I - 3 yang berwarna cokelat. Pada uji Wagner, ion logam K + akan membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid dan membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Gambar 17a. Ascidian Didemnum molle Positif Mengandung Alkaloid dengan Pereaksi Meyer Gambar 17b. Ascian Didemnum molle Positif Mengandung Alkaloid dengan Pereaksi Wagner Hasil positif steroid ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna menjadi hijau biru sesuai dengan pernyataan Harborne tahun Pereaksi Lieberman Burchard asam asetat anhidrida dan asam sulfat pekat bereaksi dan menghasilkan warna hijau biru (Gambar 18). Reaksi yang terjadi antara steroid

4 37 dengan asam asetat anhidrat adalah reaksi asetilasi gugus OH pada steroid yang akan menghasilkan kompleks asetil steroid. Penambahan asam sulfat pekat bertujuan untuk mendestruksi kompleks asetil steroid. Gambar 18. Ascidian Didemnum molle Positif Mengandung Steroid Hasil positif saponin ditunjukkan dengan terbentuknya busa. Saponin merupakan suatu glikosida dengan gugus hidroksil pada molekulnya. Saponin mempunyai sifat seperti sabun ketika dilarutkan ke dalam air yaitu akan membentuk busa. Gugus hidrofil dan hidrofob bertindak sebagai permukaan aktif dalam pembentukan busa. Saponin bersifat polar dan dapat larut dalam air karena adanya gugus hidrofil (OH) yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air. Busa yang dihasilkan diuji kestabilannya dengan penambahan HCl. Hasilnya busa tetap stabil selama 10 menit ketika ditambahkan HCl (Gambar 19). Hal ini menandakan bahwa di dalam ascidian Didemnum molle terkandung senyawa saponin. Gambar 19. Ascidian Didemnum molle Positif Mengandung Saponin

5 38 Berdasarkan penelitian Arlyza pada tahun 2008 dan Aulia pada tahun 2011 tahun ditemukan kesamaan metabolit sekunder pada sampel ascidian Didemnum molle yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu yaitu alkaloid. Alkaloid merupakan salah satu senyawa yang khas dari ascidian. Kurang lebih sebanyak 300 struktur senyawa alkaloid telah berhasil diisolasi (Menna 2011). Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ascidian Didemnum molle seperti saponin dan alkaloid masuk ke dalam golongan senyawa polar. Menurut Arlyza tahun 2008 golongan senyawa polar yang diekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol memiliki kemampuan sebagai antibakteri. 4.3 Ekstraksi Ascidian Didemnum molle Ekstraksi simplisia ascidian Didemnum molle dilakukan dengan metode maserasi atau perendaman. Simplisia direndam dengan pelarut metanol. Metanol merupakan pelarut organik yang mampu mengekstrak total senyawa metabolit sekunder. Proses perendaman dilakukan selama 1x24 jam dengan perbandingan antara sampel dan pelarut 1:5 dalam penelitian ini digunakan 247 gram serbuk ascidian Didemnum molle. Untuk mengekstrak seluruh senyawa metabolit yang terkandung dalam ascidian Didemnum molle dibutuhkan pengulangan perendaman atau penggantian pelarut. Pada perendaman pertama, pelarut kemungkinan sudah jenuh sehingga tidak mampu untuk mengekstrak senyawa metabolit sekunder yang diharapkan. Pengulangan perendaman dihentikan ketika filtrat menunjukkan warna asli pelarut metanol yaitu bening (Lampiran 4). Pada ascidian Didemnum molle dibutuhkan pengulangan hingga 5 kali agar seluruh metabolit sekunder yang ada dalam simplisia dapat terekstrak. Warna pada pelarut menandakan adanya kandungan metabolit sekunder pada simplisia. Hasil dari perendaman pertama diperoleh larutan atau filtrat berwarna hijau tua yang sangat pekat kemudian pada perendaman berikutnya warna filtrat berangsur-angsur berkurang kepekatannya hingga berwarna kuning bening (Lampiran 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa senyawa metabolit sekunder dalam simplisia sudah terekstrak dalam metanol. Warna hijau yang didapat merupakan warna dari mikroalga yang bersimbiosis dalam jaringan

6 39 ascidian Didemnum molle yaitu Prochloron. Menurut Hirose pada tahun 2004 Prochloron merupakan alga hijau biru atau cyanophyta yang memiliki klorofil a dan b. Filtrat yang telah diperoleh kemudian diuapkan dengan menggunakan alat rotary vacuum evaporator hingga terbentuk esktrak padat. Suhu yang digunakan untuk menguapkan pelarut metanol adalah 43 C. Hal ini untuk menjaga senyawa metabolit sekunder agar tidak rusak. Karena senyawa metabolit sekunder pada umumnya dapat rusak dalam suhu tinggi. Pada saat proses pemekatan ekstrak, filtrat akan berbuih atau berbusa ketika keadaan vakum. Busa tersebut disebakan oleh saponin yang terkandung didalamnya. Sesuai dengan pernyataan Harborne pada tahun 1987 bahwa dalam memekatkan ekstrak yang mengandung saponin akan terjadi pembentukan busa sehingga sangat sukar untuk memekatkan ekstrak yang mengandung saponin. Ekstrak yang dihasilkan berbentuk pasta berwarna hijau pekat dan berbau agak amis (Lampiran 4). Ekstrak yang terbentuk sebanyak 26,5 gram dengan rendemen sebesar 10,37%. Ekstrak yang berbentuk pasta ini selanjutnya dilarutkan menggunakan akuades untuk membuat konsentrasi yang akan digunakan pada uji aktivitas antibakteri dengan konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 1000 ppm, ppm dan ppm (Lampiran 5). 4.4 Uji In Vitro Zona Daya Hambat Ekstrak Ascidian Didemnum molle Uji in vitro ekstrak ascidian Didemnum molle terhadap bakteri Vibrio harveyi memperlihatkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Adanya aktivitas antibakteri tersebut ditunjukkan dengan terbentuknya zona daya hambat disekitar paper disc (Lampiran 6). Ekstrak ascidian Didemnum molle mampu menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi. Pada Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata diameter zona hambat berkisar antara 8 11,3 mm. Mengacu pada Davis dan Stout (1971), aktivitas senyawa antibakteri yang terkandung dalam Didemnum molle memiliki aktivitas yang sedang hingga kuat karena berada pada kisaran diameter zona hambat sebesar 5-

7 40 10 mm dan mm. Aktivitas antibakteri dari ekstrak Didemnum molle tidak lebih besar dibandingkan dengan kontrol positifnya yaitu antibiotik kloramfenikol sebesar 30 ppm. Hal tersebut dikarenakan kloramfenikol merupakan senyawa murni. Tabel 5. Diameter Zona Daya Hambat Ekstrak Ascidian Didemnum molle terhadap Bakteri Vibrio harveyi dalam Waktu Inkubasi 24 jam Konsentrasi (ppm) Diameter Zona Hambat (mm) Rata-Rata (mm) I II III *Kontrol *Kontrol + 17,1 15,6 15, ,7 8,4 8,1 8, ,5 7,5 8,6 8, ,1 10,1 13,1 11, ,1 10,3 12,6 11, ,8 11,8 11,4 11,3 *Keterangan : Ukuran paper disc 7 mm, (-) akuades, (+) kloramfenikol Berdasarkan hasil pengamatan, ekstrak dari Didemnum molle diameter zona daya hambat terbesar ditunjukan oleh konsentrasi ppm yaitu 11,3 mm dan terendah adalah 10 ppm yaitu 8 mm. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan diameter zona hambat yang signifikan antara konsentrasi 1000 ppm, ppm dan ppm (Gambar 20). Secara visual zona hambat yang terbentuk pada konsentrasi 10 ppm hingga ppm tidak jernih atau masih terdapat beberapa koloni bakteri. Zona hambat terlihat sangat jelas pada konsentrasi ppm dimana tidak terlihat koloni bakteri tumbuh di dalamnya (Lampiran 6). Pada perlakuan kontrol positif zona hambat yang terbentuk sangat jernih. Zona hambat yang terlihat bersih disebut dengan zona hambat radikal dimana sama sekali tidak terdapat adanya pertumbuhan bakteri sedangkan zona hambat yang ditumbuhi bakteri disebut dengan zona hambat iradikal karena pada daerah tersebut pertumbuhan bakteri dihambat namun tidak sampai mati (Sulistyawati 2009).

8 Diameter Zona Hambat (mm) ,5 11, ,3 Konsentrasi Ekstrak (ppm) Gambar 20. Grafik Rata-rata Diameter Zona Hambat Ekstrak Ascidian Didemnum molle terhadap Bakteri Vibrio harveyi Antibakteri dapat diklasifikasikan menjadi bakteriostatik dan bakteriosidal. Bakteriostatik yaitu kemampuan antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi tidak sampai membunuh bakteri. Bakterisidal yaitu antibakteri memiliki kemapuan untuk membunuh bakteri (Brooks et al. 2005). Cara kerja antibakteri secara umum yaitu menyebabkan kerusakan dinding sel, mengubah permeabilitas sel, mengubah molekul protein dan asam nukleat, menghambat kerja enzim serta menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Pelczar dan Chan 2005). Aktivitas antibakteri dari Didemnum molle bersifat bakteriostatik karena zona daya hambat yang terbentuk pada hampir seluruh perlakuan masih terlihat adanya koloni bakteri yang tumbuh. Ekstrak yang dibuat dalam penelitian merupakan ekstrak kasar dimana masih banyak terdapat beberapa komponen kimia yang tidak dibutuhkan seperti lipid dan pigmen yang terekstrak oleh pelarut metanol. Hal tersebut menurunkan kemurnian dari senyawa antibakteri. Aktivitas antibakteri disebabkan oleh kandungan bahan alam yang ada di dalam ekstrak. Hasil uji fitokimia, ascidian Didemnum molle mengandung senyawa metabolit sekunder alkaloid, steroid dan saponin. Keberadaan metabolit sekunder digunakan hewan atau tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan

9 42 hidupnya, contoh : toksin, antibiotik, antijamur, antivirus, antibodi dan lainnya (Sunarminingsih 2002). Sifat bioaktif yang paling banyak ditemukan pada metabolit sekunder adalah antibiotik. Alkaloid dapat menghambat pertumbuhan mikroba karena kemampuannya dalam menghambat sisntesis dinding sel dan DNA. Saponin bekerja sebagai antibakteri dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakteri lisis dan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel seperti protein, asam nukleat dan nukleotida (Ganiswarna 1995). Aktivitas senyawa antibakteri juga dipengaruhi oleh respon dari bakteri. Respon setiap bakteri terhadap senyawa antibakteri berbeda-beda. Menurut Morin et al. pada tahun 1982 dalam Trianto pada tahun 2004, bakteri Vibrio merupakan bakteri gram negatif yang mempunyai kandungan peptidoglikan yang dapat menentukan bentuk sel serta memberikan kekakuan yang dibutuhkan untuk melindungi sel dari perobekan osmotik. Sementara itu, dengan adanya senyawa metabolit sekunder dalam ekstrak maka pembentukan dinding sel bakteri menjadi terganggu. Akibatnya Vibrio tidak mampu mereplikasi diri dan tumbuh dalam media agar. 4.5 Uji LC 50 Ekstrak Didemnum molle terhadap Udang Windu Salah satu ciri-ciri antibakteri yang baik menurut Pelczar dan Chan tahun 2005 adalah tidak bersifat racun bagi manusia maupun hewan. Maka, uji LC 50 bertujuan untuk mengetahui batas toleransi udang windu terhadap ekstrak ascidian Didemnum molle dan untuk melihat sejauh mana toksisitasnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi taraf toksisitas adalah besar konsentrasi dari bahan yang akan diuji. Berdasarkan hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak ascidian Didemnum molle konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 1000 ppm, ppm dan ppm menunjukkan potensi sebagai antibakteri. Pembuatan konsentrasi ekstrak yang digunakan dalam uji LC 50 disajikan dalam Lampiran 7. Hasil pengamatan uji LC 50 yang dilakukan selama 48 jam memberikan hasil kelangsungan hidup dan mortalitas larva udang windu yang berbeda-beda (Lampiran 8). Jumlah udang windu tiap perlakuan sebanyak 6 ekor. Pada

10 43 konsentrasi ppm seluruh udang windu mati dengan lama perendaman 6 jam. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya bahan aktif yang bersifat toksik salah satunya saponin yang bersifat racun bagi hewan berdarah dingin. Saponin ditandai dengan terbentuknya busa ketika diberi aerasi (Gambar 21). Pada konsentrasi ppm mortalitas udang cukup tinggi yaitu sebanyak 4 ekor pada pengulangan pertama,pada pengulangan kedua seluruh udang windu mati. Sementara itu, kelangsungan hidup larva udang windu yang tinggi terlihat pada konsentrasi 10 ppm dan 100 ppm. Pada konsentrasi 10 ppm tidak ada udang windu yang mati, pada konsentrasi 100 ppm hanya 1 udang yang mati yaitu pada pengulangan kedua. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle, tingkat mortalitas udang pun semakin tinggi. Gambar 21. Tingginya Kandungan Saponin yang Ditandai dengan Terbentuknya Busa pada Konsentrasi ppm Hasil analisis uji LC 50 dengan program EPA Probit 1.5 memberikan nilai konsentrasi sebesar 387 ppm dengan konsentrasi ambang bawah sebesar 180,124 ppm dan konsentrasi ambang atas sebesar 810,578 ppm (Lampiran 9). Hal ini menandakan bahwa dengan konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle sebesar 387 ppm dapat menyebabkan kematian larva udang windu sebanyak 50% dalam waktu 48 jam. Untuk itu, konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle yang aman digunakan untuk udang windu berada di bawah konsentrasi 387 ppm.

11 Hasil Uji In Vivo Udang Windu yang Terinfeksi Bakteri Vibrio harveyi Hasil Pengamatan Gejala Klinis Udang Windu Pengamatan gejala klinis pada uji in vivo dilakukan setelah penginfeksian hingga pengobatan menggunakan ekstrak. Tujuannya untuk melihat pengaruh ekstrak ascidian Didemnum molle terhadap pengobatan udang windu. Pengamatan yang dilakukan meliputi perubahan morfologi udang (pengamatan warna tubuh, hepatopankreas, nekrosis) dan tingkah laku (pergerakan dan respon terhadap pakan). Gejala klinis udang windu terinfeksi bakteri Vibrio harveyi terlihat 1 jam setelah perendaman dalam larutan bakteri kepadatan 10 6 CFU/mL. Gejala klinis awal yang terlihat adalah udang terlihat stres dan gerakan renang tidak normal. Gerakan udang melemah dan diam di dasar akuarium. Pada tubuh udang terjadi perubahan warna tubuh dari berwarna putih menjadi kemerahan. Perubahan hepatopankreas dari coklat kekuningan menjadi coklat kehitaman terlihat 24 jam setelah diinfeksi (Gambar 22). Gambar 22. Hepatopankreas Larva Udang yang Normal (a) dan Hepatopankreas Larva Udang yang Terinfeksi (b) Gejala klinis yang terlihat dalam uji in vivo sesuai dengan pernyataan Maryani (2003) bahwa udang yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi menunjukan perubahan morfologi dan tingkah laku. Perubahan yang terlihat diantaranya gerakan renang tidak normal, udang diam di dasar, bentuk badan melengkung

12 45 melebihi normal, aktivitas makan menurun, ekor berwarna kemerahan dan hepatopankreas berwarna cokelat kehitaman. Setelah penginfeksian, gejala klinis yang terlihat pada tiap perlakuan hampir sama. Namun terjadi perubahan gejala klinis ketika udang windu yang terinfeksi diberi perlakuan perendaman ekstrak. Pengamatan gejala klinis udang windu setelah diberi perlakuan perendaman ekstrak dilakukan selama 7 hari. Pengamatan terhadap pergerakan udang disajikan dalam Tabel 6 dan respon udang terhadap pakan disajikan dalam Tabel 7. Tabel 6. Pengamatan Pergerakan Larva Udang Windu pada Uji In Vivo Ekstrak Ascidian Didemnum molle Hari Ke- A Kontrol Konsentrasi Ekstrak Ascidian Didemnum molle B 96,75 ppm C 193,50 ppm D 290,25 ppm E 387,00 ppm Keterangan : + : abnormal ++ : diam di dasar +++ : aktif berenang Tabel 7. Pengamatan Respon Larva Udang Windu terhadap Pemberian Pakan pada Uji In Vivo Ekstrak Ascidian Didemnum molle Hari Ke- A Kontrol Konsentrasi Ekstrak Ascidian Didemnum molle B 96,75 ppm C 193,50 ppm D 290,25 ppm E 387,00 ppm Keterangan : + : tidak responsif ++ : kurang responsif +++ : responsif

13 Hasil Pengamatan Mortalitas dan Tingkat Kelangsungan Larva Udang Windu Setelah gejala klinis terlihat, udang windu direndam dalam ekstrak sesuai dengan perlakuan yaitu, perlakuan A (tanpa ekstrak), B 96,75 ppm (25% dari LC 50 ), C 193,5 % (50% dari LC 50 ), D 290,25 ppm (75% dari LC 50 ) dan E 387 ppm (100% dari LC 50 ) selama 15 menit untuk dilakukan pengobatan. Udang yang sudah diberi perlakuan dikembalikan ke dalam akuarium pemeliharaan kemudian dilakukan pengamatan terhadap mortalitas dan tingkat kelangsungan hidup udang windu selama 7 hari untuk melihat efektivitas dari pengobatan menggunakan ekstrak ascidian Didemnum molle. Hasil pengamatan mortalitas dan tingkat kelangsungan hidup disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Mortalitas Tingkat dan Kelangsungan Hidup Larva Udang Windu Setelah Pengobatan dengan Ekstrak Ascidian Didemnum molle Perlakuan Jumlah Udang Di Awal Mortalitas Udang Windu Hari Ke- (ekor) Jumlah Udang Di Akhir Kelangsungan Hidup (%) A ,7 A ,7 B ,7 B C ,3 C D ,7 D ,7 E ,7 E ,3 Rata- Rata (%) 21,7 33,4 41,7 51,7 35 Pada Tabel 8, terlihat bahwa mortalitas larva udang windu pada seluruh perlakuan mulai terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-4 dan pada hari ke-5 sudah tidak terjadi mortalitas. Mortalitas tertinggi terjadi di hari ke-2 masa pengamatan pada seluruh perlakuan. Perlakuan D (290,25 ppm) memberikan tingkat kelangsungan hidup tertinggi, sedangkan perlakuan A (tanpa ekstrak) memberikan tingkat kelangsungan hidup terendah.

14 Tingkat Kelangsungan Hidup (%) 47 Pada Tabel 8 terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup larva udang windu yang diberi perlakuan lebih tinggi dibandingkan larva udang windu tanpa pemberian ekstrak (kontrol). Hal tersebut memperlihatkan bahwa antibakteri yang terkandung dalam ekstrak ascidian Didemnum molle berperan dalam pengobatan udang windu yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi walaupun berada pada kategori sedang. Berdasarkan uji diameter zona daya hambat, ekstrak ascidian Didemnum molle pada konsentrasi 100 ppm menghasilkan diameter 8,5 mm, menurut Davis dan Stout (1971) aktivitas antibakteri dikategorikan sedang bila diameter zona daya hambat yang terbentuk berada pada kisaran 5-10 mm. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle memberikan tingkat kelangsungan hidup yang semakin tinggi sampai batas perlakuan D (290,25 ppm). Diatas konsentrasi 290,25 ppm yaitu pada perlakuan E (387 ppm), kelangsungan hidup larva udang windu mengalami penurunan (Gambar 23). Terjadinya hal tersebut dikarenakan ekstrak pada konsentrasi 387 ppm justru bersifat toksik bagi hewan uji. Sifat toksik pada ekstrak disebabkan kandungan bahan aktif yang tinggi ,4 41,7 51, , ,75 193,5 290, Perlakuan (ppm) Gambar 23. Grafik Rata-Rata Tingkat Kelangsungan Hidup Udang Windu Setelah Pengobatan dengan Ekstrak Ascidian Didemnum molle

15 48 Pada perlakuan A (kontrol) atau tanpa perendaman ekstrak, tingkat kelangsungan hidupnya sangat rendah yaitu sebesar 21,7%. Pergerakan udang windu pada perlakuan kontrol cenderung pasif dengan gerakan renang yang tidak normal. Hari ke-6 dan ke-7 masa pengamatan pada Tabel 6, udang mulai aktif bergerak namun 70% udang masih diam didasar. Respon udang terhadap pakan sangat rendah, terlihat dari banyaknya sisa pakan pada perlakuan A (Tabel 7). Vibrio harveyi diketahui menyerang saluran pencernaan udang, hal inilah yang menyebabkan respon udang terhadap pakan menjadi rendah. Akibatnya metabolisme udang windu terganggu dan daya tahan tubuh udang menurun. Morfologi udang yang terlihat pada perlakuan A (kontrol) adalah warna tubuh terlihat merah pada pengamatan hari ke-1 hingga hari ke-4, warna tubuh kembali normal di hari ke-5. Hepatopankreas udang terlihat berwarna coklat kehitaman pasca penginfeksian, perubahan menuju normal terjadi di hari ke-6 yaitu berwarna coklat kekuningan. Selain itu, pada perlakuan kontrol terlihat adaya nekrosis di ujung ekor udang (Gambar 24). Gambar 24. Ekor Udang Normal (kiri) dan Nekrosis pada Ekor Udang Windu (kanan) Pada perlakuan kontrol udang windu masih mampu bertahan hidup walaupun tingkat kelangsungan hidupnya rendah. Udang windu kembali pada keadaan normal di hari ke-6 masa pengamatan. Sejalan dengan pernyataan Maftuch tahun 2009, udang yang terserang penyakit pada kenyataannya masih

16 49 mampu untuk bertahan hidup dan tumbuh normal. Udang windu secara alami memiliki sistem pertahanan tubuh non spesifik yang dijalankan oleh hemosit, namun sistem pertahanan tubuh udang perlu diaktifkan dengan imunostimulan agar dapat melawan patogen. Selain itu, kekebalan tubuh udang windu dalam stadia larva masih lemah. Hal tersebutlah yang menyebabkan proses pemulihan pada udang cukup lama dan menyebabkan kematian yang tinggi pada larva. Pemberian ekstrak ascidian Didemnum molle dapat memberikan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi bagi larva udang windu dan terjadi pemulihan yang lebih cepat dibandingkan dengan tanpa pemberian ekstrak. Perlakuan B (96,75 ppm) dan C (193,5 ppm) menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan A (tanpa ekstrak) yaitu berturut-turut sebesar 33,4% dan 41,7% (Gambar 23). Rata-rata udang mulai memperlihatkan perubahan gejala klinis menuju normal pada pengamatan hari ke-6. Sebagian besar udang mulai aktif bergerak di kolom air dan terlihat responsif terhadap pakan yang diberikan (Tabel 6). Udang pada perlakuan B (96,75 ppm) dan C (193,5 ppm) menunjukan perubahan morfologi menuju normal pada pengamatan hari ke-4 yaitu 75% warna tubuh udang windu dari kemerahan menjadi putih. Hepatopankreas udang berangsur-angsur menjadi coklat kekuningan. Perubahan gejala klinis udang windu menuju normal pada perlakuan B dan C lebih cepat dibandingkan perlakuan kontrol, namun mortalitasnya masih cukup tinggi bila dibandingkan perlakuan D. Hal ini menandakan bahwa ekstrak ascidian Didemnum molle pada konsentrasi 96,75 ppm dan 193,5 ppm berperan terhadap pengobatan udang windu namun masih belum optimal. Pada ekstrak konsentrasi 96,75 ppm dan 193,5 ppm diduga kandungan bahan aktifnya masih rendah sehingga kurang efektif untuk menghambat infeksi dari bakteri Vibrio harveyi pada udang windu. Perlakuan D (290,25 ppm) merupakan perlakuan yang menunjukkan hasil terbaik. Pada perlakuan D udang windu memiliki tingkat kelangsungan hidup tertinggi yaitu sebesar 51,7% (Gambar 23). Perubahan gejala klinis udang windu menuju normal terlihat lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Hal tersebut

17 50 terlihat di hari pengamatan ke-3. Pergerakan udang windu terlihat aktif dan responsif ketika diberi pakan. Pada hari ke-4, 85% udang aktif berenang di kolom air. Perubahan morfologi menuju kondisi normal sudah terlihat pada pengamatan hari ke-3. Perubahan tersebut meliputi warna tubuh udang dari kemerahan menjadi putih, hepatopankreas dari coklat kehitaman menjadi coklat kekuningan. Selain itu, pada hari ke-3 mortalitas udang windu sangat rendah dibandingkan perlakuan lainnya hanya 1 ekor yang mati (Tabel 8). Hal tersebut menunjukan bahwa ekstrak ascidian Didemnum molle pada konsentrasi 290,25 ppm, relatif efektif dan aman digunakan untuk mengobati udang windu yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi. Perlakuan E (387 ppm) menunjukan tingkat kelangsungan hidup lebih rendah dibandingkan perlakuan C (193,5 ppm) dan D (290,25 ppm) yaitu sebesar 35%. Mortalitas udang windu cukup tinggi selama masa pengamatan hari ke-1 hingga hari ke-4, hampir sama dengan perlakuan A (kontrol). Namun gejala klinis udang windu sudah hilang pada pengamatan hari ke-4, lebih cepat dibandingkan udang pada perlakuan kontrol. Pada perlakuan E (387 ppm) ekstrak dapat mengobati infeksi bakteri Vibrio harveyi, namun pada konsentrasi tersebut diduga bahan aktif yang terkandung terlalu tinggi sehingga bersifat toksik bagi udang windu. Konsentrasi ekstrak yang tinggi mengakibatkan kandungan bahan aktif yang bersifat racun juga tinggi, salah satunya adalah saponin. Saponin dalam ekstrak ditunjukkan dengan terbentuknya busa pada konsentrasi 387 ppm dan menurut Harborne (1987), adanya saponin dalam ekstrak ditunjukan dengan terbentuknya busa. Kandungan saponin yang tinggi bersifat racun bagi hewan berdarah dingin. Selain akibat infeksi bakteri Vibrio harveyi, tingginya mortalitas larva udang windu pada perlakuan E juga disebabkan oleh konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle yang tinggi. Keefektivan ekstrak ascidian Didemnum molle dalam mengobati udang windu yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi ekstrak. Karena besarnya konsentrasi berhubungan dengan kuantitas

18 51 kandungan metabolit sekunder yang menjadi bahan aktif antibakteri dalam ekstrak. Semakin rendah konsentrasi ekstrak menyebabkan proses pengobatan kurang efektif, namun bila konsentrasi ekstrak terlalu tinggi, metabolit sekunder yang terkandung bersifat toksik bagi biota uji. Metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak ascidian Didemnum molle berperan secara langsung terhadap bakteri Vibrio harvereyi. Menurut Robinson tahun 1995 senyawa alkaloid dan saponin merupakan senyawa yang berkhasiat sebagai antibakteri. Alkaloid diketahui keaktifan biologisnya yang disebabkan gugus basa (nitrogen). Gugus basa bila mengalami kontak dengan bakteri akan bereaksi dengan senyawa-senyawa asam amino yang menyusun dinding sel dan DNA bakteri. Akibatnya terjadi perubahan komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk sempurna. Kerusakan pada DNA bakteri mengakibatkan terganggunya metabolisme bakteri. Menurut Rheinheimer tahun 1985 dalam Hidayat tahun 2011 salah satu akibat infeksi dari Vibrio harveyi yaitu rusaknya lapisan kutikula yang mengandung kitin akibat enzim kitinase. Vibrio diketahui memiliki enzim kitinase, lipase dan protease. Ekstrak ascidian Didemnum molle berperan dalam mengganggu proses metabolisme pada bakteri. Bila metabolisme sel bakteri terganggu maka dapat menghambat proses sintesis enzim. Akibatnya, bakteri tidak dapat menginfeksi udang windu lebih lanjut. Saponin dalam ekstrak dapat mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga membran sel bakteri rusak. Bila membran sel rusak, sel bakteri dapat mengalami lisis (Ganiswarna 1995). Semakin banyak sel bakteri yang mengalami lisis akan mengurangi kepadatan sel bakteri dalam tubuh udang. Akibatnya, patogenitas bakteri berkurang. Keberhasilan dari pemeliharaan udang windu selain bebas dari penyakit ditentukan juga oleh keadaan lingkungannya. Keadaan lingkungan diusahakan sesuai dengan habitat alami dari udang windu. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan pengamatan dan kontrol terhadap kualitas air yang meliputi salinitas, suhu, kandungan oksigen terlarut dan ph. Kondisi media pemeliharaan selama

19 52 penelitian berada dalam keadaan terkontrol. Pengukuran dilakukan pada awal, tengah dan akhir percobaan. Data kualitas air yang meliputi suhu, salinitas, kandungan oksigen terlarut (DO) dan tingkat keasaman (ph) dalam penelitian disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Parameter Kualitas Air Selama Uji In Vivo Parameter Fisik Perlakuan Suhu ( C) Salinitas ( 0 / 00 ) DO (mg/l) ph I II III I II III I II III I II III A ,4 6,9 7,0 6,5 7,1 7,6 A ,8 5,5 6,9 6,4 7,3 7,6 B ,9 6,5 7,6 6,5 7,1 7,5 B ,7 6,6 7,7 6,4 7,1 7,6 C ,7 6,8 7,5 6,5 7,2 7,6 C ,3 6,5 7,2 6,5 7,3 7,6 D ,8 6,8 7,8 6,3 7,2 7,6 D ,1 6,6 7,6 6,9 7,3 7,6 E ,9 5,9 7,8 6,8 7,3 7,5 E ,5 6,6 7,5 6,9 7,3 7,6 Kualitas air selama masa pengamatan yaitu dengan kisaran suhu C, salinitas 30 ppm 34 ppm, oksigen terlarut (DO) 6,4 mg/l 8,9 mg/l dan ph 6,3 7,6. Menurut Amri 2003 untuk pertumbuhan yang optimum udang windu memerlukan suhu C, DO 4 8 mg/l, salinitas 15 0 / / 00 dan ph 6-9. Bila dibandingkan, parameter kualitas air selama masa penelitian masih berada dalam keadaan terkontrol dan masih memenuhi persyaratan optimum untuk budidaya udang windu. Dengan demikian, parameter kualitas air pada saat penelitian secara umum tidak berpengaruh terhadap kematian udang windu sehingga kematian udang windu disebabkan oleh faktor perlakuan saja.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kandungan Metabolit Sekunder Daun Rhizophora mucronata Lamk. Kandungan metabolit sekunder pada daun Rhizophora mucronata Lamk. diidentifikasi melalui uji fitokimia. Uji

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September hingga Desember 2013. Pengambilan ascidian Didemnum molle dilakukan di Kepulauan Seribu. Identifikasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium

Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Kandungan Metabolit Sekunder Sargassum crassifolium Sampel kering Sargassum crassifolium yang telah dihaluskan ditimbang 0,5 gram dengan menggunakan timbangan analitik untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Nilem yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila 4.1.1 Kerusakan Tubuh Berdasarkan hasil pengamatan, gejala klinis yang pertama kali terlihat setelah ikan diinfeksikan

Lebih terperinci

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal 6 dari 1 maka volume bakteri yang diinokulasikan sebanyak 50 µl. Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Sebanyak 0.1 gram serbuk hasil ekstraksi flaonoid dilarutkan dengan 3 ml kloroform dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan 4.1 Ekstraksi dan Fraksinasi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol, maserasi dilakukan 3 24 jam. Tujuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ekstrak Etil Asetat dari Didemnum sp. Langkah awal dalam penelitian ini adalah membuat sediaan ekstrak etil asetat. Disebut ekstrak etil asetat karena pelarut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang merupakan salah satu hasil laut komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan 10 komoditas unggulan budidaya,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2006 sampai Juli 2007, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. negatif Escherichia coli ATCC 25922, bakteri gram positif Staphylococcus aureus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. negatif Escherichia coli ATCC 25922, bakteri gram positif Staphylococcus aureus BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat Dumortiera hirsuta pada berbagai konsentrasi terhadap bakteri gram negatif

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pembuatan Media Natrium Agar

Lampiran 1. Pembuatan Media Natrium Agar 59 Lampiran 1. Pembuatan Media Natrium Agar Pembuatan Media Agar Natrium Agar (150 ml) 1. Siapkan gelas Erlenmeyer volume 250 ml dan air laut steril 150 ml. 2. Timbang natrium agar sebanyak 4,2 gram 3.

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Udang windu merupakan komoditas perikanan laut yang memiliki peluang usaha cukup baik karena sangat digemari konsumen lokal (domestik) dan konsumen luar negeri. Hal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Latar dan Waktu Penelitian Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun dari tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian. Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus

3. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian. Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 2010 di Area Perlindungan Laut Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada

Lebih terperinci

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06 6 HASIL Kadar Air dan Rendemen Hasil pengukuran kadar air dari simplisia kulit petai dan nilai rendemen ekstrak dengan metode maserasi dan ultrasonikasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Hasil perhitungan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Mas yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis pada ikan mas yang diinfeksi Aeromonas hydrophila meliputi kerusakan jaringan tubuh dan perubahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Tanin Analisis Statistik Uji Minyak Atsiri Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)

Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Tanin Analisis Statistik Uji Minyak Atsiri  Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) terbentuknya warna merah karena penambahan H 2 SO 4. Uji Saponin. Sebanyak.1 gram ekstrak jawer kotok ditambahkan 5 ml akuades lalu dipanaskan selama 5 menit. Kemudian dikocok selama 5 menit. Uji saponin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri ekstrak etanol daun ciplukan (Physalis angulata L.) dalam bentuk sediaan obat kumur terhadap bakteri

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta

3. METODOLOGI. Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini diawali dengan melakukan koleksi contoh lamun segar di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 5). Gambar 5 Lokasi koleksi contoh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstraksi terhadap 3 jenis sampel daun pidada menghasilkan ekstrak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstraksi terhadap 3 jenis sampel daun pidada menghasilkan ekstrak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Ekstraksi Senyawa Aktif Ekstraksi terhadap 3 jenis sampel daun pidada menghasilkan ekstrak metanol, etil asetat, dan heksana dengan bobot yang berbeda. Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit 8 s n i1 n 1 x x i 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit s RSD (%) 100% x Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit Pengujian Alkaloid Satu gram contoh dimasukkan ke dalam

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat-alat - Beaker glass 1000 ml Pyrex - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex - Maserator - Labu didih 1000 ml Buchi - Labu rotap 1000 ml Buchi - Rotaryevaporator Buchi R 210 - Kain

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai Desember 2013. Tahapan pelaksanaan penelitian meliputi : 1. Pengambilan sampel daun Rhizophora

Lebih terperinci

Larutan bening. Larutab bening. Endapan hijau lumut. Larutan hijau muda

Larutan bening. Larutab bening. Endapan hijau lumut. Larutan hijau muda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Analisis Fitokimia Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) Sampel buah mengkudu kering dan basah diuji dengan metoda fitokimia untuk mengetahui ada atau tidaknya

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.2 ; November 2015 OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) MARIATI Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Politeknik Negeri Tanah Laut, Jl. A. Yani, Km

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini telah dilaksanakan pada percobaan uji mikrobiologi dengan menggunakan ekstrak etanol daun sirih merah. Sebanyak 2,75 Kg daun sirih merah dipetik di

Lebih terperinci

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat 47 LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat Biji Alpukat - Dicuci dibersihkan dari kotoran - Di potong menjadi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) merupakan tumbuhan sejati yang hidup di kawasan mangrove. Morfologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada bulan Juli sampai Oktober 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Sawit

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Garut, Jawa Barat serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati 6 konsentrasi yang digunakan. Nilai x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan yang menyebabkan kematian terhadap 50% larva udang. Ekstrak dinyatakan aktif apabila nilai LC50 lebih kecil dai 1000 μg/ml.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati Hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi yang terbanyak diperoleh dari biji S. mahagoni, diikuti daun T. vogelii, biji A.

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Pemisahan senyawa total flavanon 4.1.1.1 Senyawa GR-8 a) Senyawa yang diperoleh berupa padatan yang berwama kekuningan sebanyak 87,7 mg b) Titik leleh: 198-200

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang volatil (mudah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Januari 2010. Daun gamal diperoleh dari Kebun Percobaan Natar, Lampung Selatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Jawa Barat. Identifikasi dari sampel

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Juli 2012. Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel yang dilakukan di persawahan daerah Cilegon,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan November 2015. Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. dilakukan di daerah

Lebih terperinci

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Sidang TUGAS AKHIR, 28 Januari 2010 Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Nama : Vivid Chalista NRP : 1505 100 018 Program

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- Cihideung. Sampel yang diambil adalah CAF. Penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian 9 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Sebanyak 5 kg buah segar tanaman andaliman asal Medan diperoleh dari Pasar Senen, Jakarta. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Lebih terperinci

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK KERING DAUN Ocimum americanum L. SEBAGAI ANTIFUNGI Candida albicans

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK KERING DAUN Ocimum americanum L. SEBAGAI ANTIFUNGI Candida albicans 1 UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK KERING DAUN Ocimum americanum L. SEBAGAI ANTIFUNGI Candida albicans Effectivity Test of Dry Extract from Leaves Ocimum americanum L. as Antifungal Candida albicans Niar Abdillah

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juli 2013 di Bintan Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 4). Dimana penelitian ini meliputi persiapan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ini berlangsung selama 4 bulan, mulai bulan Maret-Juni 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. ini berlangsung selama 4 bulan, mulai bulan Maret-Juni 2013. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika dan IPA, Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang diperoleh dari perkebunan murbei di Kampung Cibeureum, Cisurupan

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 2 dalam menurunkan kadar glukosa dalam darah, selain itu daun anggrek merpati juga memiliki kandungan flavonoid yang tinggi, kandungan flavonoid yang tinggi ini selain bermanfaat sebagai antidiabetes juga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pertumbuhan Candida albicans Pada Plat Resin Akrilik telah dilakukan bulan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pertumbuhan Candida albicans Pada Plat Resin Akrilik telah dilakukan bulan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Penelitian berjudul Efektivitas Ekstrak Buah Salak Pondoh Terhadap Pertumbuhan Candida albicans Pada Plat Resin Akrilik telah dilakukan bulan Desember 2016

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Metabolit sekunder Alkaloid Terpenoid Steroid Fenolik Flavonoid Saponin

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Metabolit sekunder Alkaloid Terpenoid Steroid Fenolik Flavonoid Saponin BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Uji fitokimia Golongan senyawa kimia dari berbagai bimga tanaman dahlia pada umumnya sama yaitu mengandung golongan senyawa terpenoid, fenolik dan flavonoid.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Setelah diadaptasi selama tujuh hari mencit kelompok 1, 2 dan 3 diinfeksi dengan bakteri Shigella dysenteriae 0,5 ml secara oral pada hari kedelapan dan hari kedua

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) yang diperoleh dari Kampung Pamahan, Jati Asih, Bekasi Determinasi

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Uji Identifikasi Fitokimia Uji identifikasi fitokimia hasil ekstraksi lidah buaya dengan berbagai metode yang berbeda dilakukan untuk mengetahui secara kualitatif kandungan senyawa

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. dari Kawasan Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara.

Lampiran 1. Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. dari Kawasan Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara. Lampiran 1. Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. dari Kawasan Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara. a. Stasiun Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. No Stasiun Plot Kualitas

Lebih terperinci

Lampiran 1. Surat Keterangan Identifikasi Spons

Lampiran 1. Surat Keterangan Identifikasi Spons Lampiran 1. Surat Keterangan Identifikasi Spons 96 97 98 Lampiran 2. Pembuatan Larutan untuk Uji Toksisitas terhadap Larva Artemia salina Leach A. Membuat Larutan Stok Diambil 20 mg sampel kemudian dilarutkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Fraksi Etil Asetat Ekstrak Ampas Teh Hijau Metode Difusi Agar Hasil pengujian aktivitas antibakteri ampas teh hijau (kadar air 78,65 %

Lebih terperinci

Lampiran 1. Bagan Alir Uji Fitokimia. a. Uji Alkaloid

Lampiran 1. Bagan Alir Uji Fitokimia. a. Uji Alkaloid LAMPIRAN 58 59 Lampiran 1. Bagan Alir Uji Fitokimia a. Uji Alkaloid Sampel Daun Enhalus acoroides - Ditimbang sebanyak 1 gram - Dilarutkan dengan amonia (NH₄OH 10%) sampai terendam kemudian ditambahkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan 4.1.1 Kultur Bakteri Vibrio harveyi Isolat bakteri Vibrio harveyi murni diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara (BBPBAP

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Penyiapan Bahan Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun alpukat dan biji alpukat (Persea americana Mill). Determinasi dilakukan di Herbarium Bandung Sekolah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya dan menduduki peringkat lima besar di dunia dalam hal keanekaragaman tumbuhan, dengan 38.000 spesies

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Lampung Selatan, analisis aktivitas antioksidan dilakukan di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2010 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daun salam (Syzygium polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan melalui 3 kali pengulangan perlakuan

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Pembiakkan Mikroorganisme Koloni tunggal Actinomycetes dalam media LB padat tampak sebagai bulatan berwarna putih kekuningan. Koloni tunggal dihasilkan setelah inkubasi semalam.

Lebih terperinci

IV. HasildanPembahasan

IV. HasildanPembahasan IV. HasildanPembahasan A. Kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis Hasil penelitian tentang kelimpahan di stasiun satu berkisar 34-40 individu/m 2. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas. Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas. Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh daya antibakteri ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis secara in vitro dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Identifikasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Identifikasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Identifikasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana) Diketahui ciri-ciri dari tanaman manggis (Garcinia mangostana yaitu, Buah berwarna merah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit, mikroorganisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan jenis tumbuhan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan jenis tumbuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan jenis tumbuhan yang harus dilestarikan dan dimanfaatkan dengan baik. Sebagian besar tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis

I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai: latar belakang, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, tempat dan waktu penelitian.

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL PEMBAHASAN 5.1. Sukrosa Perubahan kualitas yang langsung berkaitan dengan kerusakan nira tebu adalah penurunan kadar sukrosa. Sukrosa merupakan komponen utama dalam nira tebu yang dijadikan bahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Desikator. H 2 SO 4 p.a. pekat Tanur pengabuan

3 METODOLOGI. Desikator. H 2 SO 4 p.a. pekat Tanur pengabuan 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2011 sampai dengan Juni 2011. Sampel anemon laut (Stichodactyla gigantea) diambil disekitar kawasan Pulau Pramuka, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Uji Identifikasi Fitokimia Hasil uji identifikasi fitokimia yang tersaji pada tabel 5.1 membuktikan bahwa dalam ekstrak maserasi n-heksan dan etil asetat lidah buaya campur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian obat kumur ekstrak etanol tanaman sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus acidophilus secara in vitro merupakan

Lebih terperinci