HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum KPSBU Lembang
|
|
- Harjanti Gunawan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum KPSBU Lembang Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung yang berjarak sekitar 22 km di sebelah utara Kota Bandung dan 4 km dari ibu kota Kecamatan Lembang. Wilayah kerja KPSBU memiliki ketinggian rata-rata m diatas permukaan laut dengan jenis tanah mayoritas andosol. Berdasarkan kondisi geografis dan topografinya, wilayah tersebut merupakan dataran tinggi. Data klimatologis rata-rata wilayah KPSBU Lembang adalah temperatur maksimal 24.6 o C, temparatur minimal 13.8 o C, kelembaban rata-rata 80.5%, curah hujan rata-rata mm/tahun, evaporasi 3.4 mm/hari, dan radiasi 285 cal/cm (BMKG 2009). KPSBU Lembang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1971 dengan jumlah anggota pada saat pendirian sebanyak 35 orang. Produksi susu KPSBU Lembang pada awal pendiriannya adalah sebesar 650 liter/hari. Saat ini kegiatan usaha yang dilakukan oleh KPSBU Lembang meliputi penerimaan susu dari peternak sampai dengan penyetoran ke industri pengolahan susu (IPS), pelayanan kesehatan hewan, penyediaan hijauan pakan ternak (kerjasama dengan Perum Perhutani melakukan penanaman rumput gajah, kaliandra, dan jagung seluas 500 Ha), fermentasi jerami, pendirian warung serba ada (waserda), kredit lunak, dan pelayanan kesehatan anggota. Pelayanan kredit sapi bergulir mandiri (tanpa bunga) telah dilaksanakan sejak tahun 2006 sebanyak 40 ekor, tahun 2007 sebanyak 39 ekor, dan tahun 2008 sebanyak 40 ekor. Selain pemasaran ke IPS, koperasi juga melakukan pengolahan dan memasarkan olahan susu secara langsung ke konsumen dalam skala kecil, misalnya yoghurt dan susu pasteurisasi. Pelayanan keuangan dan perkreditan juga dilakukan dengan proses yang mudah dan cepat. Pelayanan kesehatan bagi anggota dan keluarganya dilakukan dengan pemberian kartu sehat sebanyak lima kartu untuk satu tahun. Pelayanan kepada ternak sapi yang diberikan oleh KPSBU Lembang meliputi pelayanan teknis, seperti pelayanan kesehatan hewan, dan inseminasi buatan (keswan-ib), pelayanan potong kuku, dan pelayanan penyuluhan kepada
2 18 para anggota. Penyuluhan dilaksanakan dari kandang ke kandang, melalui siaran radio, melalui alat peraga, dan dengan mengadakan pendidikan dasar-dasar perkoperasian. KPSBU Lembang juga telah melaksanakan pembibitan sapi yang hasilnya dijual kepada anggota dengan harga terjangkau untuk menanggulangi kekurangan bibit sapi perah berkualitas. Jumlah anggota KPSBU Lembang sampai akhir tahun 2009 adalah sebanyak orang dengan produksi susu rata-rata kg/hari. Populasi sapi perah pada tahun 2007 mencapai ekor, kemudian mengalami penurunan sehingga pada tahun 2008 tercatat sebanyak ekor, dan populasi sapi pada tahun 2009 meningkat kembali menjadi ekor. Hubungan Retensio Sekundinae dengan Endometritis Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 2a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus, sedangkan kejadian endometritis (Gambar 2b) pada bulan n+2, yaitu bulan Februari 2008 sebanyak 134 kasus. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan Juli sebanyak 189 kasus. Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155, 154, dan 177 kasus. Sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan Oktober, November, dan Desember adalah sebanyak 179, 198, dan 184 kasus. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan kejadian endometritis pada bulan n+2 yaitu bulan April adalah sebanyak 188 kasus. Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172, 211, dan 181 kasus. Pada bulan n+2, yaitu bulan November dan Desember angka kejadian endometritis yaitu 297 dan 277 kasus. Penurunan kejadian retensio sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus,
3 19 sedangkan pada bulan n+2, yaitu bulan Mei dan Juni kejadian endometritis sebanyak 246 dan 303 kasus. Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae berkorelasi terhadap kejadian endometritis dengan koefisien korelasi (r) sebesar (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r 2 %) dapat dijelaskan bahwa retensio sekundinae menyebabkan 0.017% kejadian endometritis. Gambar 2 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPSBU Lembang selama tahun Pada dasarnya retensio plasenta adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal (Manan 2002). Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensi plasenta, pemisahan dan
4 20 pelepasan vili fetalis dari kripta maternal terganggu sehingga masih terjadi pertautan. Sebanyak 0.3% kasus kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh gangguan mekanis, 1-2% kasus disebabkan karena induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan sekundinae setelah melahirkan, dan 98% kasus karena gangguan pelepasan sekundinae dari karankula induknya (Hardjopranjoto 1995). Sebanyak 16.55% retensio sekundinae disebabkan oleh faktor pakan. Pada periode postpartus dengan defisiensi vitamin A, D, dan E serta defisiensi mineral selenium, iodin, zink, dan kalsium dapat menyebabkan retensio sekundinae (Alsic et al. 2008). Sekitar 75-80% penderita retensio sekundinae tidak menunjukkan tandatanda sakit, sedangkan sekitar 20-25% memperlihatkan gejala metritis dan metritis septik seperti anoreksia, depresi, suhu badan meninggi, pulsus meningkat, produksi susu dan berat badan menurun (Manan 2002). Presentase tingginya kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya sistem manajemen kandang yang kurang baik, kurangnya exercise (latihan) pada sapi yang sedang bunting, dan kualitas pakan yang rendah (Ilham 2004). Retensio sekundinae merupakan salah satu predisposisi terjadinya endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada uterus postpartus dapat mengakibatkan peradangan (Hardjopranoto 1995). Hal ini bisa disebabkan karena penanganan yang tidak aseptis dan adanya infeksi bakteri dari luar yang mengakibatkan peradangan. Saat penanganan kelahiran apabila karankula terputus maka terjadi perlukaan dan dengan adanya infeksi mikroorganisme maka dapat mengakibatkan terjadinya endometritis. Pada kasus yang berat retensio sekundinae dapat disertai dengan metritis, metritis septik, perimetritis, peritonitis, vagina nekrotik, paresis puerpuralis, dan asetonemia. Berdasarkan analisis korelasi dapat diketahui bahwa kejadian retensio sekundinae hanya menyebabkan sekitar 0.017% kejadian endometritis di KPSBU Lembang. Kejadian endometritis tidak hanya disebabkan oleh retensio sekundinae, masih banyak faktor-faktor penyebab kejadian endometritis. Beberapa penyebab endometritis meliputi infeksi mikroorganisme pada endometrium akibat penanganan postpartus yang tidak benar, perkawinan alam,
5 21 inseminasi buatan intrauterin, dan semen pejantan yang mungkin membawa mikroorganisme patogen (Hardjopranjoto 1995). Hubungan Retensio Sekundinae dengan Efisiensi Reproduksi Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 3a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 3b) dan S/C (Gambar 3c) pada bulan n+2, yaitu bulan Februari 2008 yaitu CR (52.30%) dan S/C (1.95). Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan Juli yaitu CR (28%) dan S/C (3). Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155, 154, dan 177 kasus. Sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan Oktober, November, dan Desember adalah CR (60.76%, 59.69%, dan 59.04%) dan S/C (1.62, 1.7, dan 1.69). Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2 yaitu bulan April adalah CR (52.85%) dan S/C (1.86). Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172, 211, dan 181 kasus. Pada bulan n+2, yaitu bulan November dan Desember nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (56.66% dan 58.47%) dan S/C (1.75 dan 1.72). Penurunan kejadian retensio sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan n+2, yaitu bulan Mei dan Juni yaitu CR (50.39% dan 50.73%) dan S/C (1.94 dan 1,99). Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae berkorelasi terhadap CR (r = 0.279) dan S/C (r = ) (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r 2 %) dapat dijelaskan bahwa retensio sekundinae mempengaruhi 7.78% CR dan 1.42 S/C.
6 22 Tingginya kejadian retensio sekundinae dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi (Hardjopranoto 1995). Hal ini dapat terjadi akibat dari retensio sekundinae yang tidak segera sembuh dan berlanjut menjadi infeksi uterus sehingga mengganggu tingkat fertilitas sapi betina. Penurunan fertilitas betina akibat terjadinya gangguan pada uterus dapat dilihat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Akibat dalam jangka pendek adalah dapat menurunkan kesuburan, yaitu memperpanjang calving interval (CI), menurunkan nilai conception rate (CR), meningkatkan service per conception (S/C), dan kegagalan perkawinan (Santosa 2002). Oleh karena itu dapat dikatakan efisiensi reproduksi menurun. Akibat dalam jangka panjang adalah dapat menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan pada saluran reproduksi. Penurunan fertilitas mempengaruhi tingkat keberhasilan IB menjadi menurun, sehingga jumlah kebuntingan menurun, dan jumlah anakan yang dihasilkan juga menurun. Gambar 3 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun Pada grafik bulan Agustus nilai CR sangat rendah dan nilai S/C sangat tinggi. Hal ini diduga pada KPSBU Lembang nilai CR sangat rendah karena pada
7 23 saat itu banyak IB yang gagal, ketrampilan petugas IB yang kurang, dan deteksi estrus yang kurang tepat. Sehingga banyak terjadi kegagalan perkawinan yang dapat menurunkan nilai efisiensi reproduksi (Peters & Ball 1986, Jainudeen & Hafez 2000a). Hubungan Retensio Sekundinae dengan Curah Hujan Kejadian retensio sekundinae di KPSBU Lembang selama tahun berjalan relatif fluktuatif. Kejadian retensio sekundinae (Gambar 4a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Desember yaitu sebanyak 151 kasus, sedangkan jumlah curah hujan (Gambar 4b) pada bulan tersebut sebanyak 361/mm/bulan. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 114 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan tersebut sebanyak 72/mm/bulan. Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian retensio sekundinae terjadi peningkatan pada bulan Agustus, September, dan Oktober yaitu sebanyak 155, 154, dan 177 kasus. Sedangkan curah hujan pada bulan-bulan tersebut adalah sebanyak 54, 54, dan 176/mm/bulan. Kejadian retensio sekundinae terjadi penurunan pada bulan Februari yaitu sebanyak 104 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan tersebut sebanyak 129/mm/bulan. Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus retensio sekundinae selama bulan September, Oktober, dan November yaitu masing-masing sebanyak 172, 211, dan 181 kasus. Pada bulan-bulan tersebut jumlah curah hujan yaitu 11, 154, dan 301/mm/bulan. Penurunan kejadian retensio sekundinae terjadi pada bulan Maret dan April yaitu sebanyak 95 dan 91 kasus, sedangkan pada bulan-bulan tersebut jumlah curah hujan sebanyak 418 dan 196/mm/bulan. Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian retensio sekundinae berkorelasi terhadap curah hujan dengan koefisien korelasi (r) sebesar (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r 2 %) dapat dijelaskan bahwa 0.72% retensio sekundinae dipengaruhi oleh curah hujan. Hubungan retensio sekundinae dengan curah hujan terkait dengan sanitasi lingkungan. Lingkungan yang buruk dengan sanitasi kandang yang buruk dapat
8 24 meningkatkan kejadian retensio sekundinae. Pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi, kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi mendukung mikroorganisme untuk berkembang baik. Sehingga infeksi mikroorganisme dapat menyerang sapi khususnya pada saluran reproduksi (Hardjopranjoto 1995). Kondisi lingkungan yang buruk dapat menurunkan ketahanan tubuh ternak. Meskipun pakan tercukupi namun ketahanan tubuh menurun dapat meningkatkan tingkat kesakitan. Sementara itu, pada musim kemarau dengan curah hujan yang rendah, banyak rumput yang tua, berkualitas buruk, dan dalam jumlah yang kurang. Hal ini bisa membuat ternak kekurangan pakan, menimbulkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun dan dapat meningkatkan kesakitan. Gambar 4 Frekuensi kejadian retensio sekundinae dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun Hubungan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi Kejadian endometritis di KPSBU Lembang selama tahun berjalan relatif fluktuatif. Kejadian endometritis (Gambar 5a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Juli yaitu sebanyak 189 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 5b) dan S/C (Gambar 5c) pada bulan
9 25 tersebut yaitu CR (28%) dan S/C (3). Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 117 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan tersebut yaitu CR (40%) dan S/C (2.1). Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian endometritis terjadi peningkatan pada bulan Agustus yaitu sebanyak 201 kasus. Sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan tersebut adalah CR (60.04%) dan S/C (1.65). Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Januari dan Februari yaitu sebanyak 138 dan 134 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan-bulan tersebut adalah CR (47.59% dan 52.30%) dan S/C (1.94 dan 1.95). Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus endometritis selama bulan Juni, Juli, dan Agustus yaitu masing-masing sebanyak 303, 301, dan 307 kasus. Pada bulan-bulan tersebut nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (50.73%, 55.29%, dan 60.57%) dan S/C (1.99, 1.8, dan 1.68). Penurunan kejadian endometritis terjadi pada bulan Februari, Maret dan April yaitu sebanyak 151, 165, dan 167 kasus, sedangkan nilai efisiensi reproduksi pada bulan-bulan tersebut yaitu CR (50.45%, 52.18%, dan 51.85%) dan S/C (2.02, 1.92, dan 1.92). Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian endometritis berkorelasi terhadap CR (r = 0.264) dan S/C (r = ) (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r 2 %) dapat dijelaskan bahwa endometritis mempengaruhi 6.97% CR dan 2.53% S/C. Endometritis merupakan peradangan pada endometrium (Ratnawati et al. 2007). Salah satu penyebab terjadinya endometritis adalah jumlah mikroorganisme yang tinggi, seperti bakteri, virus, fungi dan protozoa (dapat dilihat dari pengamatan mikroskopik kultur uteri). Organisme yang paling sering menginfeksi adalah bakteri dan fungi yang mengkontaminasi saat partus atau periode postpartus (Hardjopranjoto 1995). Kontaminasi bakteri lebih sering ditemukan pada periode postpartus, terjadi ketidakseimbangan antara infeksi bakteri asenden dengan antimikrobial dari dalam tubuh. Hal ini bisa mengakibatkan metritis purpural, endometritis subkilinis dan klinis, serta piometra (Foldi et al. 2006).
10 26 Gambar 5 Frekuensi kejadian endometritis dan nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) di KPSBU Lembang selama tahun Patogenesa terjadinya endometritis atau peradangan pada endometrium bisa disebabkan oleh penularan dari berbagai mikroorganisme atau karena peradangan sekunder dari bagian tubuh yang lain. Endometritis juga bisa terjadi karena kelanjutan kelahiran yang tidak normal, seperti abortus, retensio sekundinae, prematur, distokia, dan penanganan kelahiran yang tidak lege artis. Selain itu juga bisa terjadi karena infeksi yang diakibatkan karena perkawinan alam, betina terinfeksi dari pejantan yang menderita brucelosis, trichomoniasis, dan vibriosis. Pelaksanaan inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko terjadinya endometritis, karena mungkin saja bakteri terbawa oleh alat inseminasi atau semen pejantan. Adanya infestasi mikroorganisme tersebut mengakibatkan terjadinya peradangan (Hardjopranjoto 1995). Gejalanya klinis penderita endometritis meliputi leleran lendir berwarna jernih keputihan sampai purulen (kekuningan) yang berlebihan, dan dengan palpasi uterus mengalami pembesaran (peningkatan ukuran). Penderita bisa tampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam uterusnya tertimbun cairan.
11 27 Endometritis dapat mempengaruhi fertilitas sapi perah. Infertilitas yang terjadi dapat berbentuk matinya embrio karena pengaruh mikroorganisme atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (kegagalan implantasi). Pada endometritis ringan sapi masih menunjukkan gejala birahi, namun apabila dikawinkan sering terjadi kegagalan, sapi tidak bunting, atau terjadi abortus. Pengaruh endometritis dalam jangka pendek dapat menurunkan kesuburan, memperpanjang CI, menurunkan nilai CR, meningkatkan jumlah S/C, dan kegagalan perkawinan (Santosa 2002). Sedangkan pengaruh endometritis dalam jangka panjang menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan saluran reproduksi. Hubungan Endometritis dengan Curah Hujan Kejadian endometritis di KPSBU Lembang selama tahun berjalan relatif fluktuatif. Kejadian endometritis (Gambar 6a) selama tahun 2007 terjadi peningkatan pada bulan Juli yaitu sebanyak 189 kasus, sedangkan jumlah curah hujan (Gambar 6c) pada bulan tersebut yaitu 2/mm/bulan. Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Mei yaitu sebanyak 117 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan tersebut yaitu 72/mm/bulan. Selanjutnya pada tahun 2008 kejadian endometritis terjadi peningkatan pada bulan Agustus yaitu sebanyak 201 kasus. Sedangkan curah hujan pada bulan tersebut adalah 54/mm/bulan. Kejadian endometritis terjadi penurunan pada bulan Januari dan Februari yaitu sebanyak 138 dan 134 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan-bulan tersebut adalah 230 dan 129/mm/bulan. Selama tahun 2009 terjadi peningkatan kasus endometritis selama bulan Juni, Juli, dan Agustus yaitu masing-masing sebanyak 303, 301, dan 307 kasus. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan yaitu 55, 31, dan 1/mm/bulan. Penurunan kejadian endometritis terjadi pada bulan Februari, Maret, dan April yaitu sebanyak 151, 165, dan 167 kasus, sedangkan curah hujan pada bulan-bulan tersebut yaitu 205, 418, dan 196/mm/bulan. Analisis statistika menunjukkan bahwa kejadian endometritis berkorelasi terhadap curah hujan dengan koefisien korelasi (r) sebesar (Tabel 2).
12 28 Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r 2 %) dapat dijelaskan bahwa 3.92% endometritis dipengaruhi oleh curah hujan. Hubungan endometritis terhadap curah hujan terkait dengan manajemen pemeliharaan khususnya terhadap keberadaan pakan (Manan 2002). Pada musim penghujan banyak rumput yang berkualitas baik, ketersediaan pakan terpenuhi dengan baik. Namun, keadaan lingkungan pada musim penghujan yang buruk, kandang tergenang air, dan sanitasi kandang yang buruk mengakibatkan banyak rumput yang menjadi kotor dan basah. Selain itu, adanya parasit pada rumput dapat menginfeksi ternak. Apabila daya tahan tubuh ternak turun maka akan menimbulkan kesakitan pada ternak. Retensio sekundinae sebagai predisposisi terjadinya endometritis juga berkontribusi terhadap terjadinya endometritis pada musim penghujan. Penanganan postpartus yang kurang baik dan tidak lege artis didukung dengan kondisi lingkungan pada musim penghujan yang buruk dapat meningkatkan terjadinya endometritis sebagai kelanjutan dari retensio sekundinae. Gambar 6 Frekuensi kejadian endometritis dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun
13 29 Pada musim kemarau ketersediaan rumput menjadi berkurang atau rumput menjadi tua atau kering dan dalam kualitas yang buruk (Manan 2002). Kekurangan pakan dalam waktu yang lama menyebabkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun, pertumbuhan lambat, dan fertilitas menurun. Penurunan fertilitas dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi. Hubungan Efisiensi Reproduksi dengan Curah Hujan Nilai efisiensi reproduksi yaitu CR (Gambar 7a) dan S/C (Gambar 7b) di KPSBU Lembang selama tahun berjalan relatif fluktuatif. Pada bulan November dan Desember nilai CR adalah 46.41% dan 47.84%, sedangkan nilai S/C adalah 2.06 dan Pada bulan-bulan tersebut curah hujan tinggi yaitu 456 dan 361/mm/bulan (Gambar 7c). Pada bulan Juli, Agustus, dan September nilai CR adalah 28%, 10%, dan 48.92%, sedangkan nilai S/C adalah 3, 9.9 dan Pada bulan-bulan tersebut curah hujan rendah yaitu 2, 4, dan 16/mm/bulan. Selanjutnya pada tahun 2008, pada bulan Maret dan April nilai CR adalah 54.22% dan 52.85%, sedangkan nilai S/C adalah 1.85 dan Pada bulan-bulan tersebut curah hujan tinggi yaitu 310 dan 278/mm/bulan. Pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September nilai CR adalah 61.41%, 61.41%, 60.04%, dan 58.95%, sedangkan nilai S/C adalah 1.64, 1.64, 1.65, dan Pada bulan-bulan tersebut curah hujan rendah yaitu 25, 0, 54, dan 54/mm/bulan. Selama tahun 2009, pada bulan Februari, Maret, dan April nilai CR adalah 50.45%, 52.18%, dan 51.85%, sedangkan nilai S/C adalah 2.02, 1.92, dan Pada bulan-bulan tersebut curah hujan tinggi yaitu 205, 418, dan 196/mm/bulan. Pada bulan Juli, Agustus, September 2009 nilai CR adalah 55.29%, 60.57%, dan 55.99%, sedangkan nilai adalah S/C 1.8, 1.68, dan Pada bulan-bulan tersebut curah hujan rendah yaitu 31, 1, dan 11/mm/bulan. Analisis statistika menunjukkan bahwa curah hujan berkorelasi ringan terhadap CR (r = 0.103) dan S/C (r = ) (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan penghitungan koefisien determinan (r 2 %) dapat dijelaskan bahwa 1.06% CR dan 4.93% S/C dipengaruhi oleh curah hujan. Hubungan gangguan reproduksi terhadap curah hujan terkait dengan manajemen pemeliharaan khususnya terhadap keberadaan pakan (Manan 2002).
14 30 Pada musim kemarau dengan curah hujan yang rendah ketersediaan rumput menjadi berkurang, rumput tua, dan dalam kualitas yang buruk. Kekurangan pakan dalam waktu yang lama menyebabkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun, dan pertumbuhan lambat. Mekanisme kerja kekurangan pakan mengakibatkan fungsi semua kelenjar tubuh menurun, hipofungsi kelenjar hipofisa anterior, sekresi hormon gonadotropin (FSH, LH) menurun, aktivitas ovarium rendah, mengakibatkan terjadinya gangguan reproduksi. Gambar 7 Nilai efisiensi reproduksi (CR dan S/C) dan jumlah curah hujan di KPSBU Lembang selama tahun Pada musim penghujan dengan curah hujan yang tinggi mempengaruhi pertumbuhan rumput yang tinggi dan kualitas yang baik (Manan 2002). Pada musim penghujan banyak rumput yang berkualitas baik, ketersediaan pakan terpenuhi dengan baik. Namun, keadaan lingkungan pada musim penghujan yang buruk, kandang tergenang air, dan sanitasi kandang yang buruk mengakibatkan banyak rumput yang menjadi kotor dan basah. Selain itu, adanya parasit pada rumput dapat menginfeksi ternak. Apabila daya tahan tubuh ternak turun maka akan menimbulkan kesakitan pada ternak. Ternak yang sakit mengurangi tingkat
15 31 produktivitas termasuk kemampuan untuk kawin, bunting, dan melahirkan anak, sehingga dapat menurunkan nilai efisiensi reproduksi. Tabel 2 Nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinan (r 2 %) antara retensio sekundinae, endometritis, CR, S/C, dan curah hujan di KPSBU Lembang. Retensio sekundinae r (r 2 %) Endometritis r (r 2 %) CR r (r 2 %) S/C r (r 2 %) Retensio sekundinae Endometritis (0.017) CR (7.78) (6.97) S/C (1.42) (2.53) Curah hujan (0.72) (3.92) (1.06) (4.93) Curah hujan r (r 2 %)
HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN ENDOMETRITIS DENGAN EFISIENSI REPRODUKSI PADA SAPI PERAH
HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN ENDOMETRITIS DENGAN EFISIENSI REPRODUKSI PADA SAPI PERAH : Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat RISTA PRIHATINI FAKULTAS KEDOKTERAN
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Sapi Perah
4 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Sapi Perah Taksonomi sapi perah adalah kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, subfamili Bovinae, genus Bos, spesies B. taurus,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH)
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
Lebih terperincimenghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat
UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA A.
3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu pengetahuan mendorong meningkatnya taraf hidup masyarakat yang ditandai dengan peningkatan
Lebih terperinciSCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017
SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI Bogor, 8-9 Agustus 2017 Latar Belakang Pertambahan populasi lambat Penurunan performa
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden berada pada wilayah yang meliputi 3 (tiga) area, yaitu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi North Holland dan West Friesland negeri Belanda yang memiliki temperatur lingkungan kurang
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki
Lebih terperinciMAKALAH EFISIENSI REPRODUKSI PADA TERNAK BETINA (SAPI) DISUSUN OLEH DILLA YUSPITA LAODE KIKI MURDIASYAH MAUREN WIRA NUGRAHA
MAKALAH EFISIENSI REPRODUKSI PADA TERNAK BETINA (SAPI) DISUSUN OLEH DILLA YUSPITA LAODE KIKI MURDIASYAH MAUREN WIRA NUGRAHA PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum PT. UPBS Pangalengan 4.1.1. Kondisi Lingkungan Perusahaan PT. UPBS (Ultra Peternakan Bandung Selatan) berlokasi di Desa Marga Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Lebih terperinciPUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33
PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80--90 % dari seluruh sapi perah yang berada di sana. Sapi ini
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Padang Mengatas didirikan pada zaman Hindia Belanda yaitu pada tahun 1916. BPTU-HPT Padang Mengatas
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembibitan Sapi Perah Dalam kerangka budidaya sapi perah, pembibitan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari ketiga pilar bidang peternakan yaitu, pakan, bibit dan manajemen.
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi dapat menimbulkan berbagai kerugian pada usaha peterkan sapi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung
18 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung Gambar 3. Foto Udara PT.Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung (Sumber: arsip PT.Widodo Makmur Perkasa) PT. Widodo Makmur
Lebih terperinciPENDAHULUAN faktor genetik lingkungan (alam sekitarnya faktor manusia sangat berperan penanganan reproduksi, pencatatan reproduksi
PENDAHULUAN Pada hewan liar kegagalan reproduksi dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan (alam sekitarnya), tetapi setelah didomestikasi (dipelihara secara intensif), maka faktor lingkungan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat serta kesadaran tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada peningkatan
Lebih terperinciPERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK
PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK ABSTRAK Tinggi rendahnya status reproduksi sekelompok ternak, dipengaruhi oleh lima hal sebagai berikut:
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Pusat Pembibitan dan Penggemukan Ternak Wonggahu pada tahun 2002 dikelola oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
8 Tabel 1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001) No. Parameter Nilai Interpretasi 1. Kekuatan Korelasi (r) 2. Nilai p 3. Arah korelasi
Lebih terperinciPENDAHULUAN faktor genetik lingkungan (alam sekitarnya faktor manusia sangat berperan penanganan reproduksi, pencatatan reproduksi
PENDAHULUAN Pada hewan liar kegagalan reproduksi dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan (alam sekitarnya), tetapi setelah didomestikasi (dipelihara secara intensif), maka faktor lingkungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai
Lebih terperinciBAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret
BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang evaluasi keberhasilan inseminasi buatan sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2014 sampai 4 Mei 2014.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi saudara tiri dan regresi anak-induk berturut turut 0,60±0,54 dan 0,28±0,52. Nilai estimasi heritabilitas
Lebih terperinciPERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR
PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR Disajikan oleh: Dessy Ratnasari E 10013168, dibawah bimbingan: Ir. Darmawan 1) dan Ir. Iskandar 2) Jurusan Peternakan, Fakultas peternakan
Lebih terperincipenampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat
Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Saat ini, produksi susu di Indonesia masih sangat rendah baru
PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini, produksi susu di Indonesia masih sangat rendah baru mencapai 30% dari kebutuhan permintaan efektif. Produksi susu segar dari tahun ketahun mengalami kenaikan. Walaupun
Lebih terperinciCARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).
CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya
Lebih terperinciBAB II FAAL KELAHIRAN
BAB II FAAL KELAHIRAN A. PENDAHULUAN Pokok bahasan kuliah Faal kelahiran ini meliputi kelahiran seperti terjadinya inisiasi partus, tahapan partus, adaptasi perinatal dan puerpurium. Pokok bahasan ini
Lebih terperinciPengaruh Manajemen Peternak Terhadap Efesiensi Reproduksi Sapi Bali Di Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung
Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 16 (1): 61 67 http://www.jptonline.or.id ISSN 1410-5020 eissn Online 2047-1781 Pengaruh Manajemen Peternak Terhadap Efesiensi Reproduksi Sapi Bali Di Kabupaten
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Jenis sapi potong dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan Eropa, dan Bos sondaicus
Lebih terperinciFAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016
Naskah Publikasi KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG SIMMENTAL PERANAKAN ONGOLE (SIMPO) DI KECAMATAN EROMOKO KABUPATEN WONOGIRI Oleh: Muzakky Wikantoto H0508067 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging Bangsa sapi pedaging di dunia dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bangsa Sapi Kontinental Eropa, Sapi Inggris dan Sapi Persilangan Brahman (India). Bangsa sapi keturunan
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangannya dan kebijakan pemerintah sejak zaman Hindia Belanda. Usaha
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Asal-usul, Karakteristik dan Penampilan Reproduksi Kambing Kacang
4 TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul, Karakteristik dan Penampilan Reproduksi Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Malaysia dan Indonesia. Dari berbagai bangsa kambing yang terdapat di wilayah
Lebih terperinciHUBUNGAN BODY CONDITION SCORE TERHADAP SERVICE PER CONCEPTION DAN CALVING INTERVAL SAPI POTONG PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN
HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE TERHADAP SERVICE PER CONCEPTION DAN CALVING INTERVAL SAPI POTONG PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN Aditya Budiawan, M. Nur Ihsan, Sri Wahjuningsih Bagian
Lebih terperincidisusun oleh: Willyan Djaja
disusun oleh: Willyan Djaja 28 I PENDAHULUAN Salah satu bagian dari lingkungan adalah tatalaksana pemeliharaan. Peternak sebaiknya memperhatikan cara pemeliharaan agar memperoleh hasil yang diinginkan.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak lokal berperan penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa sifat unggul dibandingkan
Lebih terperinciContak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility
REPRODUCTION PERFORMANCE OF BEEF CATTLE FILIAL LIMOUSIN AND FILIAL ONGOLE UNDERDISTRICT PALANG DISTRICT TUBAN Suprayitno, M. Nur Ihsan dan Sri Wahyuningsih ¹) Undergraduate Student of Animal Husbandry,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi susu sangat menentukan bagi perkembangan industri susu sapi perah nasional. Susu segar yang dihasilkan oleh sapi perah di dalam negeri sampai saat ini baru memenuhi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.
Lebih terperinciPENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan bagian penting dari sektor pertanian dalam sistem pangan nasional. Industri peternakan memiliki peran sebagai penyedia komoditas pangan hewani. Sapi
Lebih terperinciIII OBJEK DAN METODE PENELITIAN. yang tergabung pada TPK Cibodas yang berada di Desa Cibodas, Kecamatan
19 III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Dalam penelitian ini yang dijadikan objek adalah peternak sapi perah yang tergabung pada TPK Cibodas yang berada di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini masih mengandalkan pemasukan ternak
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki empat, tanduk berongga, memamah biak. Sapi juga termasuk dalam
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di
Lebih terperinciKEGAGALAN REPRODUKSI PADA TERNAK KELINCI
Tema Teknis Fangsional :`'on PenelHt 2002 KEGAGALAN REPRODUKSI PADA TERNAK KELINCI LWAYAN PASEK SUMADIA DAN R.DENNY PURNAMA Balai Penelitian Ternak,Po.Box 221 Bogor 16002 Usaha Pemerintah dalam memenuhi
Lebih terperinciCONCEPTION RATE PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH
CONCEPTION RATE PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH CONCEPTION RATE AT LACTATING DAIRY CATTLE IN BALAI BESAR PEMBIBITAN
Lebih terperinciV. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar
V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan anakan ternak sapi dengan jumlah kepemilikan sapi betina minimal 2 ekor.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah Menurut Yusdja (2005), usaha sapi perah sudah berkembang sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha-usaha swasta dalam peternakan sapi perah
Lebih terperinciKAJIAN KAWIN BERULANG PADA SAPI PERAH DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PENDAHULUAN. Latar Belakang
KAJIAN KAWIN BERULANG PADA SAPI PERAH DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu pada awalnya sebagian besar dipenuhi dari impor. Volume impor susu pada akhir pelita I sebesar
Lebih terperinciLampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......
LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak
Lebih terperinciHUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),
HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS), ph DAN KEKENTALAN SEKRESI ESTRUS TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI PERANAKAN FRIES HOLLAND Arisqi Furqon Program
Lebih terperinciV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Geografi Wilayah Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) Cibedug, yang terdiri dari Kampung Nyalindung, Babakan dan Cibedug, merupakan bagian dari wilayah Desa Cikole.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi dan Tata Letak PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten merupakan salah satu peternakan sapi potong yang bergerak di bidang breeding, fattening
Lebih terperinciCONCEPTION RATE PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN JATI AGUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
CONCEPTION RATE PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN JATI AGUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN Fajar Fitraldi Dirgahayu a, Madi Hartono b, dan Purnama Edy Santosa b a The Student of Department of Animal Husbandry
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha
Lebih terperinciKONSENTRASI PROGESTERON PLASMA PASCA TERAPI ANTIBIOTIK DAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN PADA SAPI PYOMETRA
KONSENTRASI PROGESTERON PLASMA PASCA TERAPI ANTIBIOTIK DAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN PADA SAPI PYOMETRA Plasma Progesterone Concentration Post Therapy of Antibiotics and Prostaglandin Healing
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Induk Sapi SimPO Sapi Simmental Peranakan Ongole (SimPO) merupakan hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi Peranakan Ongole (PO). Karakteristik
Lebih terperinciPERFORMAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN SAPI PERANAKAN LIMOUSINE DI KECAMATAN BERBEK KABUPATEN NGANJUK
PERFORMAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN SAPI PERANAKAN LIMOUSINE DI KECAMATAN BERBEK KABUPATEN NGANJUK Fendi Candra Prasetyo Wibowo 1, Nurul Isnaini 2) dan Sri Wahjuningsih 2) 1. Mahasiswa Fakultas
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)
TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Usaha peternakan sapi perah di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan skala usahanya yaitu perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah rakyat (Sudono,
Lebih terperinciEFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*
EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO Oleh : Donny Wahyu, SPt* Kinerja reproduksi sapi betina adalah semua aspek yang berkaitan dengan reproduksi ternak. Estrus pertama setelah beranak
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi perah Fries Holland (FH) merupakan bangsa sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia. Bangsa sapi ini bisa berwarna putih dan hitam ataupun merah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni 9.798.899,43 (BPS, 2014 a ). Konsumsi protein hewani asal daging tahun 2011 2,75
Lebih terperinciCALVING INTERVAL SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TENAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH
CALVING INTERVAL SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH CALVING INTERVAL AT LACTATING DAIRY CATTLE IN BALAI BESAR
Lebih terperinciSalmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho
PERBANDINGAN TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH (UPTD) PENGEMBANGAN TERNAK WONGGAHU By Salmiyati Paune, Fahrul Ilham, S.
Lebih terperinciUMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG
UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG Dalam industri sapi potong, manajemen pemeliharaan pedet merupakan salahsatu bagian dari proses penciptaan bibit sapi yang bermutu. Diperlukan penanganan yang tepat
Lebih terperinciPENGARUH VAKSINASI BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH DENGAN BERBAGAI PARITAS TERHADAP EFISIENSI REPRODUKSI
PENGARUH VAKSINASI BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH DENGAN BERBAGAI PARITAS TERHADAP EFISIENSI REPRODUKSI Utami Kurniawati 1), Pratiwi Trisunuwati 2), dan Sri Wahyuningsih 2) 1) Dinas Pertanian dan Kehutanan
Lebih terperinciKONTRAK KULIAH DAN PRAKTIKUM
KONTRAK KULIAH DAN PRAKTIKUM 1. Identitas Mata Kuliah a. Nama mata Kuliah : Ilmu Kebian Kemajiran b. Kode Mata kuliah/sks : KRP332/ 3(2-1) c. Dosen : drh. Amrozi, PhD (K) Prof. Dr. drh. Bambang Purwantara
Lebih terperinciPENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah di Indonesia, 90% merupakan peternakan sapi perah rakyat dengan kepemilikan kecil dan pengelolaan usaha yang masih tradisional. Pemeliharaan yang
Lebih terperinciPENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR
PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur Jl. P. M. Noor, Sempaja, Samarinda
Lebih terperinciMATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2007 sampai dengan bulan Juli 2007. Lokasi penelitian berada pada dua kenagarian yaitu Kenagarian Sungai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Sapi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ternak Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. susu. Diantara ternak perah, sapi perah merupakan penghasil susu yang sangat. memenuhi kebutuhan konsumsi bagi manusia.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai prinsip sebagai penghasil susu. Diantara ternak perah, sapi perah merupakan penghasil susu yang sangat dominan dibanding
Lebih terperinciLEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL
LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN BONGOMEME KABUPATEN GORONTALO SRI SURYANINGSIH SURIYATI NIM. 621409027 TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI Pembimbing
Lebih terperinciMATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor pada Bulan Maret sampai Agustus. Pemilihan daerah Desa Cibeureum sebagai tempat penelitian
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. KUNAK didirikan berdasarkan keputusan presiden
Lebih terperinciLampiran 1. Kuesioner karakteristik peternak I. KARAKTERISTIK PETERNAK 1. Umur (ke ulang tahun terdekat) : tahun 2. Jenis kelamin (pilih salah satu) :
LAMPIRAN 46 47 Lampiran 1. Kuesioner karakteristik peternak I. KARAKTERISTIK PETERNAK 1. Umur (ke ulang tahun terdekat) : tahun 2. Jenis kelamin (pilih salah satu) : Laki-laki Perempuan 3. Pendidikan formal
Lebih terperinciSERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR
SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR Vivi Dwi Siagarini 1), Nurul Isnaini 2), Sri Wahjuningsing
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973)
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973) menyatakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan
Lebih terperinci