BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Sapi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Sapi"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ternak Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Kindersley (2010), sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Kingdom Phylum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Mamalia : Artiodactyla : Bovidae : Bos : Bos sp. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus), dan sapi Eropa (Bos taurus). Bangsa-bangsa sapi yang ada saat ini berasal dari ketiga kelompok sapi tersebut dan terdapat bangsa-bangsa sapi baru hasil persilangan antar bangsa yang merupakan bangsa ketiga sapi tersebut. Menurut Sudarmono dan Sugeng (2008), ciri-ciri bangsa sapi yang berasal dari wilayah tropis yaitu memiliki gelambir, kepala panjang, dahi sempit, ujung telinga runcing, bahu pendek, garis punggung berbentuk cekung, kaki panjang, tubuh relatif kecil, dengan bobot badan kg, tahan terhadap suhu tinggi, dan tahan terhadap caplak. Sapi yang berasal dari wilayah subtropis memiliki bentuk kepala pendek, ujung 4

2 5 telinga tumpul, garis punggung lurus, kaki pendek, bulu panjang dan kasar, tidak tahan terhadap suhu tinggi, banyak minum dan kotorannya basah, cepat dewasa kelamin, dan bentuk tubuh besar. Sapi Peranakan Ongole (PO) Pada tahun 1906, sapi ongole didatangkan langsung dari Madras di India ke Pulau Sumba. Selanjutnya, tahun 1916 sapi ongole yang sudah berkembang biak di sumba mulai menyebar ke tempat-tempat lain di Indonesia dengan sebutan Sumba Ongole (SO). Pada tahun 1930-an, pemerintah Hindia-Belanda dengan kebijakan di bidang pertenakan yang disebut ongolisasi mengawinsilangkan sapi SO dengan sapi Jawa, untuk memperbaiki ukuran dan bobot badan sehingga lahirlah sapi Peranakan Ongole (PO) (Murtidjo, 2012). Gambar 1. Sapi Peranakan Ongole Sapi Peranakan Ongole memiliki bulu berwarna putih atau kelabu, bentuk kepala pendek melengkung, telinga panjang menggantung, dan perut agak besar. Pada sapi PO jantan, kadang dijumpai bercak-bercak berwarna hitam pada

3 6 lututnya, mata besar terang, dan dilingkari kulit berjarak sekitar 1 cm dari mata berwarna hitam. Ciri khas yang membedakan sapi PO dengan sapi-sapi lainnya adalah ponok di atas gumba, kaki panjang berurat kuat, serta ada gelambir menggelantung dari bawah kepala, leher sampai perut. Saat dewasa, jantan PO bisa mencapai bobot sekitar 600 kg dan yang betina rata-rata 450 kg. Pertambahan bobot sapi PO berkisar antara 0,4-0,8Kg/hari. Sapi PO murni mulai sulit ditemukan karena telah banyak disilangkan dengan sapi brahman. Sesuai induk persilangannya, sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi pada perbedaan kondisi lingkungan, tenaga yang kuat, serta aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak. Persilangan Sapi Ongole dengan sapi lokal Indonesia, tipe sapi pedaging dan sapi pekerja, mampu berdaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan, cepat bereproduksi, Berat badan 600 kg dengan pertambahan bobot harian 0,75 kg/ekor/hari (Murtidjo, 2012). Sapi Simpo ( Sapi Simmental Ongole ) Sapi Simmental murni sulit ditemukan di Indonesia. Kebanyakan sapi Simmental yang ada di Indonesia merupakan sapi Simmental cross atau telah disilangkan dengan sapi lain. Salah satunya adalah hasil persilangan dengan sapi ongole yang dikenal dengan sapi Simmental Ongole (Simpo). Sapi Simpo sudah tidak memiliki gelambir dengan bulu berwarna merah bata, merah tua, hingga coklat muda.

4 7 Ciri khas sapi Simpo adalah adanya warna putih berbentuk segitiga diantara kedua tanduknya. Para peternak bisanya sangat menyukai sapi ini dibandingkan dengan sapi PO, karena sapi Simpo adalah sapi unggulan dimana saat memiliharanya pertumbuhan bobot harinya bisa mencapai 2kg/hari. Sapi Simpo hasil Inseminasi Buatan telah mewariskan 50% sifat dari kedua sapi ini, jika kita bandingkan sapi PO lebih tahan akan panas dibandingkan dengan sapi Simmental, sedangkan pertumbuhan bobot harian Simmental lebih tinggi dibandingkan dengan sapi Ongole (Murtidjo, 2012). Gambar 2. Sapi Peranakan Simmental Ongole (Simpo) Sapi Limpo ( Sapi Limousin Ongole ) Persilangan sapi limousin dengan sapi ongole dikenal dengan nama sapi limousin ongole (Limpo). Sapi limpo memiliki ciri tidak berpunuk dan tidak bergelambir, serta warna bulunya hanya cokelat tua kehitaman dan cokelat muda. Sapi Limpo merupakan sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Limousin dengan induk sapi PO, kebanyakan sapi-sapi ini merupakan hasil perkawinan IB,

5 8 sapi Limpo sebagai turunan sapi tipe besar sehingga secara genetic mempunyai laju pertumbuhan yang lebih besar dan lebih cepat dibanding sapi PO. Hastuti (2007) menyatakan bahwa karakteristik eksterior sapi Limpo adalah warna sekitar mata bervariasi coklat sampai hitam, moncong warna hitam dengan sebagian kecil berwarna merah. Peternak lebih menyukai sapi jenis ini dibanding sapi lokal (sapi PO) karena berat lahir yang lebih besar, pertumbuhan lebih cepat, adaptasi baik pada lingkungan serta pakan yang sederhana, ukuran tubuh dewasa lebih besar dan penampilan yang eksotik (Anonimus, 2015). Gambar 3. Sapi Peranakan Limousin Ongole (Limpo) Usaha ternak sapi potong di Indonesia Salah satu faktor yang menyebabkan belum terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan daging adalah karena masih rendahnya populasi ternak sapi potong di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan masih diimpornya daging beku, bakalan atau indukan dari manca negara. Faktor penyebab lainnya adalah masih

6 9 rendahnya kualitas maupun kuantitas pakan ternak dan masih tingginya angka pemotongan ternak betina produktif. Sartono (2008) menyatakan bahwa semua kelemahan diatas dapat diatasi dengan berbagai cara diantaranya: 1) aspek pembibitan ternak sapi yakni dengan identifikasi plasma nutfah potensial yang prospektif untuk pengembangan ke depan dengan memperhatikan program pembibitan di daerah sumber, 2) perhatian yang intensif pada sapi utamanya sapi betina produktif. Secara umum beberapa faktor yang mempengaruhi 8 keberhasilan usaha ternak potong adalah penentuan bibit ternak potong yang baik, penyediaan dan pemberian makanan hijauan yang baik, pembuatan kandang yang memenuhi persyaratan kesehatan, pemeliharaan yang baik, sistem perkawinan yang baik dan pengawasan terhadap penyakit ternak (Kuswaryan dkk. 2003). Pemeliharaan dan perawatan sapi potong yang baik harus dilakukan sebaik-baiknya agar sapi potong sehat dengan pertumbuhan yang baik. Keberhasilan pada tahap pemeliharaan diawal pemeliharaan merupakan pangkal keberhasilan pemeliharaan berikutnya. Oleh karena itu, usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan dengan fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda, dan sapi dewasa (finishing). Sistem pemeliharaan ternak dapat dibedakan menjadi 3 yakni sistem pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif (Sudarmono dan Sugeng, 2008). Secara geografis, letak astronomis Indonesia berada pada 6 LU-11 LS- 95 BT- 141 BT. Indonesia memiliki dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan. Umumnya, suhu udara diatas 22 pada musim kemarau di daerah panas

7 10 sedangkan daerah sedang suhunya berkisar 15 sampai 22 sementara itu di daerah dingin suhunya berkisar 11 ke bawah (Anonimus, 2013). Faktor iklim setempat tidak bisa dipisahkan dengan usaha pengembangan ternak sapi. Sebab iklim yang meliputi keadaan suhu, curah hujan, kelembapan, tekanan, dan gerakan udara, serta cahaya yang tidak sesuai bagi kehidupan sapi merupakan beban berat bagi hewan. Misalnya iklim yang terlalu kering menyebabkan rumput tidak bisa tumbuh subur, energi ternak terlalu banyak terbuang, kulit terbakar, dan sebagainya. Akibatnya konfersi pakannya rendah dan tidak efisien. Adanya suhu udara yang tinggi akan memperlambat metabolisme (Sudarmono dan Sugeng, 2008). Suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan dan sebaliknya akan menaikkan konsumsi air minum. Apabila kondisi tersebut terus berlangsung maka akan mempengaruhi produktivitas yang diukur dari pertumbuhan dan produksi ususnya serta dapat langsung mempengaruhi reproduksi dari sapi (Williamson and Payne, 1993). Skor Kondisi Tubuh (SKT) Sapi Potong Cadangan energi tubuh dapat dinilai dengan metode penilaian visual yang dikenal sebagai Body Condition Score (BCS) atau Skor Kondisi Tubuh (SKT). Skor relatif yang didapatkan dari metode BCS membantu peternak dalam memperoleh gambaran mengenai level cadangan otot dan lemak tubuh dari setiap ekor ternak sapi. Susilorini, Sawitri dan Muharlien (2007) yang disitasi oleh Budiawan dkk. (2015) mengemukakan bahwa Body Condition Score (BCS) adalah metode untuk memberi nilai kondisi tubuh ternak baik secara visual maupun dengan perabaan

8 11 pada timbunan lemak tubuh dibawah kulit sekitar pangkal ekor, tulang punggung dan pinggul. BCS digunakan untuk mengevaluasi manajemen pemberian pakan, menilai status kesehatan individu ternak dan membangun kondisi ternak pada waktu manajemen ternak yang rutin. BCS telah terbukti menjadi alat praktis yang penting dalam menilai kondisi tubuh ternak karena BCS adalah indikator sederhana terbaik dari cadangan lemak yang tersedia yang dapat digunakan oleh ternak dalam periode apapun. Pendugaan Skor Kondisi Tubuh (SKT) Menurut Santosa (2006) pendugaan kondisi tubuh ternak sapi dengan cara perabaan tulang belakang adalah berdasarkan perabaan dan penekanan daerah pinggang, yakni di bagian tulang belakang setelah rusuk terakhir dan diperkuat dengan penampakan tonjolan tulang belakang tersebut. Tabel 1. Tampilan skor kondisi tubuh (Kellog, 2008) Skor Kondisi Deskripsi Tampilan 1 Sangat kurus Pangkal ekor tidak berlemak. Bagian coxae tak berlemak. Tulang belakang terlihat jelas. 2 Kurus Pangkal ekor sedikit berlemak. Tulang belakng sedikit berlemak.

9 12 3 Optimum Pangkal ekor berlemak. Bagian tulang belakang sampai bagian coxae berlemak. 4 Gemuk Pangkal ekor tertutup lemak. Tulang Pelvis dan coxae tertutup lemak. Tulang belakang hampir tidak terlihat. 5 Sangat gemuk Pangkal ekor sangat tertutup lemak. Tulang pelvis tidak terlihat. Menurut Kellog (2008) sapi dengan BCS 1 tampak tubuh sangat kurus dengan tulang hook dan pin yang sangat menonjol, thurl terlihat sangat dalam, tulang belakang tajam tanpa lemak, tulang rusuk juga terlihat sebagai tulang yang berdiri sendiri, dan pada pangkal ekor cekung dan berongga dengan vulva yang menonjol. Sapi dengan BCS 2 terlihat dengan kondisi tubuh kurus, tulang punggung yang masih mudah terlihat tapi sudah tidak terlalu menonjol sebagai tulang yang berdiri sendiri, tulang hook dan pin masih sangat menonjol dengan thurl yang sangat cekung karena tidak terdapat bentalan lemak, rusuk sudah tidak berdiri sendiri tetapi masih terdapat cekungan yang cukup dalam, pangkal ekor masih

10 13 berongga dan belum terisi oleh lemak tetapi lebih baik dari BCS 1. Sapi dengan BCS 3 terlihat sedang dan lebih gemuk dari sapi BCS 2, tulang belakang terlihat mulai membulat karena mulai tertutup oleh bantalan lemak. Tulang rusuk juga mulai tertutup sehingga tidak terlihat sebagai tulang yang berdiri sendiri, hook dan pin sudah tidak bersudut meski masih teraba jika dilakukan tekanan pada saat palpasi, thurl sedikit cekung tetapi lebih baik apabila dibandingkan dengan sapi BCS 1 dan BCS 2, pangkal ekor terlihat tidak terlalu cekung dan sudah terisi oleh bantalan lemak. Sapi dengan BCS 4 terlihat gemuk dengan tulang punggung sudah tertutup oleh otot yang mencukupi dan tulang tidak terlihat sebagai tulang yang berdiri sendiri, tulang hook dan pin sudah membulat dan memiliki bantalan lemak yang jelas sehingga jika dilakukan palpasi tulang sudah tidak dapat teraba lagi, daerah pangkal ekor sudah tertutup oleh bantalan lemak sehingga sudah terlihat rata jika dibandingkan dengan BCS 3. Sapi dengan BCS 5 adalah sapi dengan kondisi tubuh sangat gemuk, sapi ini terlihat dengan keadaan tulang belakang dan tulang rusuk tidak terlihat karena sudah penuh tertutup oleh bantalan lemak dan tulang rusuk sudah tertutup penuh oleh otot, thurl sudah datar tanpa membentuk cekungan, hook dan pin berisi timbunan lemak sehingga apabila dilakukan palpasi pada kedua tulang tersebut sudah tidak dapat teraba. Pangkal ekor terisi penuh oleh lemak sehingga tampak menonjol (Kellog, 2008). Diagram sistem BCS menggunakan angka skala 1 sampai 5 (1= sangat kurus, 2= kurus, 3= sedang, 4= gemuk, 5= sangat gemuk), dengan nilai 0,25 atau 0,50 angka diantara selang itu. Penilaian BCS berdasarkan pada pendugaan baik

11 14 secara visual maupun dengan perabaan terhadap 8 bagian tubuh ternak. Bagian tubuh tersebut antara lain pada bagian processus spinosus, processus spinosus ke processus transversus, legok lapar, tuber coxae (hooks), antara tuber coxae dan tuber ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan kiri, pangkal ekor tuber 6 ischiadicus (Edmonson dkk. 1989). Penilaian titik orientasi BCS sapi disajikan dalam Gambar 4. Gambar 4. Penilaian skor kondisi tubuh (Edmonson dkk. 1989) Reproduksi Ternak Sapi Body Condition Score memiliki hubungan dengan reproduksi ternak, seperti kesuburan, kebuntingan, proses kelahiran, laktasi, semua akan mempengaruhi sistem reproduksi. Berbagai kelompok hewan bentuk tubuh (ukuran), usia, jenis kelamin dan keturunan juga akan memiliki pengaruh yang kuat pada sistem reproduksi, apabila ternak mempunyai bobot badan yang melebihi bobot badan ideal, ternak tersebut akan mengalami gangguan reproduksi dan

12 15 penyakit metabolisme, sebaliknya apabila ternak memiliki bobot badan kurang dari ideal akan berdampak pada sistem reproduksi (Budiawan dkk. 2015). Tabel 2. Karakteristik reproduksi sapi potong (Ismaya, 2014) Reproduksi Sapi Potong Parameter Karakteristik Umur pubertas (bulan) 18 (12-30) Siklus estrus (hari) 15 (10-24) Lama estrus (jam) 21 (14-29) Tipe ovulasi Polyestrous Waktu ovulasi (jam) 30 (18-48) Jumlah telur diovulasikan 1 Korpus luteum bertahan (hari) 16 Lama hidup ovum (jam) Lama bunting (hari) 280 ( ) Umur beranak pertama (bulan) 30 (24-36) Masa involusi uterus (hari) 45 (32-50) Estrus sesudah beranak (hari) 30 (10-110) Jarak beranak (bulan) 13 (12-14) Siklus Birahi (Estrus) Lama siklus estrus pada sapi sekitar 21 hari (Hunter, 1995). Siklus estrus dapat dibagi menjadi rangkaian tahapan yang khas. Tahap-tahap ini mencerminkan apa yang terjadi pada ovari pada saat folikel berkembang, matang, robek, dan kemudian digantikan oleh korpus luteum. Tahap-tahap siklus estrus pada hewan betina yang bersiklus dan tidak bunting meliputi empat tahap: proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Arman, 2014). Proestrus adalah periode perkembangan folikel pada ovari. Selama tahap ini, folikel mulai berkembang dan tumbuh. Ketika ukuran folikel meningkat, produk yang dihasilkannya berupa estrogen juga meningkat kira-kira pada hari ke- 18 sampai ke-20 dari siklus estrus, sehingga menimbulkan banyak perubahan-

13 16 perubahan fisik dalam upaya mempersiapkan saluran reproduksi lainnya untuk ovulasi dan perkawinan (Arman, 2014). Estrus adalah periode birahi atau periode penerimaan seksual pada betina. Ini terjadi ketika kadar estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel yang matang mencapai puncaknya. Kadar estrogen yang tinggi ini menyebabkan perubahanperubahan fisik dan perilaku, pertanda bahwa hewan betina ingin dan siap dikawini oleh hewan jantan (Arman, 2014). Menurut Feradis (2010) berahi pada sapi betina ditandai dengan gelisah, sering berteriak, suka menaiki dan dinaiki sesamanya, vulva bengkak, berwarna merah, bila diraba terasa hangat (3A: Abang, Abuh, Anget), dari vulva keluar lendir yang bening dan tidak berwarna, dan nafsu makan berkurang. Lama estrus pada sapi jam, waktu ovulasi jam sesudah akhir estrus, dan anjuran untuk dikawinkan 4-8 jam sebelum akhir estrus (Arman 2014). Metestrus adalah periode sesudah ovulasi ketika korpus luteum berkembang dan mulai menghasilkan progesteron, kira-kira hari kedua sampai kelima pada sapi (Arman, 2014). Setelah kawin, saluran reproduksi secara khusus dipersiapkan di bawah pengaruh progesteron ovarium, agar dapat memberi makan dan menunjang embrio yang sedang berkembang. Sel-sel granulosa yang tertinggal dalam folikel yang kini kosong mulai memperbanyak diri di bawah rangsangan terus menerus LH. Sel-sel tersebut dengan segera menghasilkan struktur yang padat, korpus luteum (badan kuning) yang ukurannya kira-kira sebesar folikel matang terdahulu (Arman, 2014).

14 17 Diestrus adalah tahap ketika korpus luteum telah mencapai ukuran maksimum dan sangat aktif memproduksi progesteron. Jika hewan kawin dan berhasil bunting maka estrus berikutnya dihambat, dan korpus luteum menerima sinyal endokrin dari embrio yang sedang berkembang agar terus mempertahankan keberadaanya dengan baik selama kebuntingan (Arman, 2014). Deteksi Berahi Untuk mengetahui gejala-gejala berahi ternak betina sapi potong, peternak harus melakukan deteksi berahi dua sampai tiga kali sehari, yaitu pada pagi, siang, dan sore hari, selam 30 sampai 60 menit tergantung jumlah ternak yang dipelihara. Bila deteksi berahi dilakukan 2, 3, dan 4 kali sehari, maka tingkat ketelitian dengan deteksi 3 dan 4 kali sehari meningkat 10% dan 20% dibanding bila deteksi berahi hanya dilakukan 2 kali sehari (Ismaya, 2014). Menurut Feradis (2010) keadaan yang panas selama siang hari cenderung menekan tanda-tanda berahi, hasil yang baik didapatkan apabila sapi betina diamati pada udara yang sejuk, sepanjang pagi atau malam. Masalah Reproduksi Sapi Potong Berahi Tanpa Ovulasi atau Berahi Tenang Pemisahan antara berahi perilaku dan terjadinya proses ovulasi mungkin terjadi dalam keadaan tertentu, yang mengakibatkan terjadinya berahi tanpa ovulasi atau sebaliknya berahi diam. Ambang yang berbeda dari umpan balik estrogen yang berasal dari folikel graff yang menjadi masak tampaknya diperlukan untuk memicu perilaku berahi di satu pihak dan pelonjakan praovulasi dari gonadotrofin di lain pihak. Masalah berahi diam lebih umum terjadi dan dirujuk dalam bagian

15 18 mengenai anestrus musiman. Tidak adanya pengaruh progesteron dari korpus luteum yang beregresi pada pusat perilaku di hipotalamus sebagian dapat menjelaskan kegagalan menunjukkan tanda berahi (Hunter, 1995). Kawin Berulang Kawin berulang adalah induk hewan yang mempunyai siklus birahi yang normal dan gejala birahi yang jelas, tetapi bila dikawinkan dengan pejantan yang subur atau di inseminasi buatan dengan air mani yang bermutu tinggi berulangulang, tidak pernah menjadi bunting. Kondisi tubuh induk normal dan kesehatannya juga baik tanpa gejala klinis penyakit yang terlihat. Induk yang demikian digolongkan menderita gangguan reproduksi karena mengakibatkan penurunan efisiensi reproduksi dan merugikan pemilik ternak. Hunter (1995) melaporkan bahwa sapi yang menderita kawin berulang, kebuntingan hanya mencapai 26,4% pada sapi dara dan 22,2% pada sapi induk. Menurut peneliti ini, kegagalan bunting dapat disebabkan oleh kelainan alat kelamin. Pada sapi dara kelainan itu mencapai 13,5% dan pada sapi induk mencapai 39,5%. Sementara itu, sapi yang menderita kawin berulang, angka pembuahan bervariasi antara 50-72%. Kawin berulang dapat terjadi pada ternak betina yang masih dara atau induk yang sudah beberapa kali melahirkan. Kawin berulang juga dapat terjadi pada hewan betina yang mempunyai alat kelamin yang normal atau alat kelamin yang tidak normal (Hardjopranjoto, 1995). Hipofungsi Ovarium Terjadinya penurunan kadar FSH dan LH di dalam darah, mengakibatkan tidak bekembangnya folikel pada ovarium. Penurunan kadar LH saja, tanpa diikuti

16 19 oleh penurunan kadar FSH dalam darah dapat diikuti oleh pertumbuhan folikel yang tidak sempurna dan cenderung berubah menjadi kista. Ovarium yang pada permukaannya terdapat kista disebut kista ovarium. Kadar hormon FSH dan LH yang rendah dalam darah menyebabkan terjadinya hipofungsi ovarium, yaitu ovarium yang permukaannya licin karena tidak terjadinya pertumbuhan folikel dan korpus luteum, walaupun besarnya tidak berubah (artinya ovarium ukurannya normal). Kasus hipofungsi ovarium mencapai 48,5% dari seluruh kasus gangguan reproduksi yang ada di Indonesia (Hardjopranjoto, 1995). Inseminasi Buatan (IB) Inseminasi Buatan (IB) adalah usaha manusia memasukan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan peralatan khusus. IB berbeda dengan kawin alam dalam pengertian bahwa ejakulasi semen pejentan tidak didepositkan langsung dalam vagina betina, tetapi ke dalam vagina buatan. Semen diproses dan dikemas dalam bentuk straw serta pada akhirnya dimasukan ke sejumlah betina. Setelah semen masuk ke saluran reproduksi betina, proses biologis, perkembangan embrio, dan kelahiran ternak sama seperti pada kawin alam (Feradis, 2010). Tujuan IB dikemukakan oleh Feradis (2010) yaitu: 1) memperbaiki mutu ternak; 2) meningkatkan angka kelahiran pada ternak; 3) mengurangi biaya untuk perkawinan sapi; 4) mencegah terjadinya serta tersebarluasnya penyakit kemajiran. Dibandingkan dengan kawin alam, IB memiliki keuntungan dalam hal penggunaan pejantan unggul, menghemat tenaga, menghemat biaya, mencegah penyakit menular, dan memperpendek calving interval (Toelihere, 1993).

17 20 Pada waktu diinseminasi, ternak harus dalam keadaan berahi, karena pada saat itu liang leher rahim (cervix) pada posisi terbuka. Sapi betina yang sudah birahi biasanya akan diam apabila dinaiki oleh betina yang lain (standing heat). Menandakan bahwa sapi betina tersebut sudah siap untuk dikawinkan. Pada umumnya waktu IB yang baik adalah jam setelah standing heat dimulai, untuk itu diperlukan pengalaman dalam menentukan waktu standing heat dimulai. Berikut adalah tabel patokan pelaksanaan IB menurut Feradis (2010). Tabel 3. Patokan pelaksanaan IB Pertama kali terlihat tanda-tanda birahi Harus diinseminasi pada Terlambat Pagi Hari yang sama Hari berikutnya Sore Hari berikutnya (pagi dan paling lambat siang hari) Penilaian Hasil Inseminasi Buatan (IB) Sesudah jam besoknya Keberhasilan usaha perkembangbiakan sangat terkait dengan tingkat produktifitas dan reproduksi. Banyak faktor yang mempengaruhi reproduksi diantaranya adalah angka kawin per kebuntingan atau Service per Conception (S/C), jarak beranak atau Calving Interval (CI) dan penilaian kondisi tubuh atau Body Condition Score (BCS) (Budiono dkk. 2015). Mempertahankan tingkatan fertilitas yang tinggi adalah dasar dan tujuan setiap program peternakan, kapan dan dimanapun. Makin banyak hewan betina yang kawin berulang (repeat breeders) akan sangat merugikan bagi pelaksana IB dan terutama bagi peternak. Ukuran yang pasti mengenai keberhasilan inseminasi hanyalah kelahiran anak yang sehat. Akan tetapi untuk menunggu sampai terjadinya kelahiran akan memakan waktu yang cukup lama. Untuk memperoleh informasi

18 21 secepat mungkin perlu digunakan teknik-teknik penentuan fertilitas yang walaupun kurang sempurna, tetapi telah terbukti dapat memberi gambaran umum untuk penilaian pelaksanaan IB (Feradis, 2010). Angka perkawinan (Service/Conception) Jumlah inseminasi per kebuntingan atau service per conception (S/C) adalah untuk membandingkan efisiensi reletif dari proses reproduksi di antara individuindividu sapi betina yang subur, sering dipakai penilaian atau penghitungan jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi (Feradis, 2010). Menurut Ismaya (2014) angka perkawinan (service per conception, S/C), yaitu jumlah perkawinan yang diperlukan oleh seluruh induk dibagi dengan jumlah induk yang bunting. Angka perkawinan sebaiknya 1 sampai 2. Kalau sudah 3 atau lebih, induk harus diperiksa kesehatan reproduksinya. Persentase kelahiran dari 1 kali IB (Calving Rate) Calving Rate (CR) adalah persentase jumlah anak yang lahir dari hasil satu kali inseminasi. Nilai reproduksi yang mutlak dari seekor betina baru dapat ditentukan setelah kelahiran anaknya yang hidup dan normal kemudian dibuat analisa inseminasi-inseminasi berturut-turut yang menghasilkan kelahiran dalam satu populasi ternak. Dalam populasi besar dari sapi betina fertil dan diinseminasi dengan semen yang fertil pula maka calving rate dapat mencapai 62% untuk satu kali inseminasi, bertambah 20% dengan dua kali inseminasi, dan seterusnya. Besarnya nilai calving rate tergantung pada efisiensi kerja inseminator, kesuburan jantan, kesuburan betina

19 22 waktu inseminasi dan kesangupan menerima anak dalam kandungan sampai lahir (Feradis, 2010). Jarak beranak (Calving Interval) Jarak beranak (calving interval, CI), yaitu lama waktu yang diperlukan dari sejumlah induk sejak beranak pertama hingga beranak berikutnya dibagi jumlah induk. Pada sapi jarak beranak diharapkan 12 bulan, jadi seharusnya didapatkan satu anak/satu induk sapi/tahun (one calf per cow per year). Ada dua komponen yang mempengaruhi jarak beranak: (1) waktu kosong (days open), yaitu periode waktu sejak induk beranak sampai terjadi kebuntingan lagi, sekitar hari sejak beranak, hari (Peters dan Ball, 1995), dan (2) lama waktu bunting (gestration period), yaitu waktu yang diperlukan sejak terjadi fertilisasi (bunting) sampai induk melahirkan, biasanya diperlukan waktu hari atau rata-rata 280 hari, hari (Peter dan Ball, 1995). Oleh karena itu, untuk membuat jarak beranak maksimal 12 bulan, jika lama bunting 9 bulan 10 hari (280 hari), maka maksimal 85 hari sejak beranak induk harus sudah bunting lagi (Ismaya, 2014). Pengaruh SKT terhadap Kinerja Reproduksi pada Keberhasilan IB Dikemukakan oleh Budiawan dkk. (2015) bahwa Body Codition Score (BCS) / Skor Kondisi Tubuh (SKT) memiliki hubungan dengan reproduksi ternak, seperti kesuburan, kebuntingan, proses kelahiran, laktasi, semua akan mempengaruhi sistem reproduksi. Berbagai kelompok hewan bentuk tubuh (ukuran), usia, jenis kelamin, dan keturunan juga akan memiliki pengaruh yang kuat pada sistem reproduksi, apabila ternak memiliki bobot badan yang melebihi bobot badan ideal, ternak tersebut akan mengalami gangguan reproduksi dan penyakit

20 23 metabolisme, sebaliknya apabila ternak memiliki bobot badan kurang dari ideal akan berdampak pada sistem reproduksi. Putro (2005) yang disitasi oleh Santosa dkk. (2012) menyatakan bahwa performan reproduksi sapi dipengaruhi oleh skor kondisi badan, berat badan, serta perubahan-perubahan berat badan. Penurunan berat badan akan diikuti dengan gejala anestrus. Pulihnya kembali siklus estrus pasca beranak ada hubungannya dengan perubahan berat badan pada akhir kebuntingan dan kondisi badan saat melahirkan. Sapi dengan kondisi badan bagus (sekitar 3,00) akan kembali estrus dalam waktu minimal, kurang dari skor itu akan membutuhkan waktu pulihnya siklus lebuh lama. Skor kondisi tubuh terlalu rendah (< 2,00) cenderung akan menimbulkan keadaan yang menyebabkan hipofungsi ovaria, dimana ovaria akan mengecil, permukaan halus (tanpa folikel / corpus luteum) serta uterus tidak bertonus dengan konsistensi lembek. Dikemukakan oleh Jamaludin dkk. (2016) bahwa Body Condition Score (BCS) dapat digunakan sebagai penduga angka kebuntingan (Conception Rate) dimana hasil penelitian menunjukan bahwa kenaikan 1 nilai BCS akan diikuti peningkatan angka kebuntingan sebesar 4,623%. Hal itu terjadi karena nilai BCS memegang peranan penting dalam pendeteksian birahi. Nilai BCS yang ideal untuk keberhasilan IB yaitu 3 dan 4. Sedangkan nilai BCS yang kurang baik saat melakukan IB adalah nilai 1,2 dan 5. Dengan melihat Skor Kondisi maka dapat diketahui baik buruknya manajemen pemeliharaan yang telah dilakukan peternak. BCS yang terlalu rendah atau terlalu gemuk dapat mempengaruhi pendeteksian birahi pada sapi potong.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Jenis sapi potong dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan Eropa, dan Bos sondaicus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan bangsa kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil persilangan pejantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009). II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Potong Sapi potong merupakan jenis sapi yang diarahkan untuk memproduksi daging, oleh karena itu penggemukan yang dilakukan bertujuan untuk mencapai bobot badan secara maksimal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sapi potong merupakan salah

TINJAUAN PUSTAKA. dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sapi potong merupakan salah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangsa Sapi Potong Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactile (berkuku atau berteracak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak sapi di suatu wilayah perlu diketahui untuk menjaga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Potong Tropis Bangsa sapi potong tropis adalah merupakan bangsa sapi potong yang berasal

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Potong Tropis Bangsa sapi potong tropis adalah merupakan bangsa sapi potong yang berasal II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Bangsa Sapi Potong Tropis Bangsa sapi potong tropis adalah merupakan bangsa sapi potong yang berasal dari wilayah dunia yang memiliki iklim tropis. Salah satu bangsa sapi yang

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di Peternakan rakyat masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama induk sapi PO)

Lebih terperinci

dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal

dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Zoologis Sapi Menurut blakely dan bade, (1998) Secara umum klasifikasi Zoologis ternak sapi adalah sebagai berikut Kingdom Phylum Sub Pylum Class Sub Class Ordo Sub

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang dipelihara manusia sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor

Lebih terperinci

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*) PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*) I. PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) dalam bidang peternakan, maka pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi dapat menimbulkan berbagai kerugian pada usaha peterkan sapi

Lebih terperinci

PERBANDINGAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS YANG DIINSEMINASI TAHUN **** DAN TAHUN *** DI KECAMATAN (X) KABUPATEN (Y) PROPINSI (Z)

PERBANDINGAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS YANG DIINSEMINASI TAHUN **** DAN TAHUN *** DI KECAMATAN (X) KABUPATEN (Y) PROPINSI (Z) PROPOSAL PENELITIAN PERBANDINGAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS YANG DIINSEMINASI TAHUN **** DAN TAHUN *** DI KECAMATAN (X) KABUPATEN (Y) PROPINSI (Z) I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Friesien Holstein Sapi perah adalah jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu (Blakely dan Bade, 1992) ditambahkan pula oleh Sindoredjo (1960) bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki empat, tanduk berongga, memamah biak. Sapi juga termasuk dalam

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tertentu tersebut, mereka dapat dibedakan dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden berada pada wilayah yang meliputi 3 (tiga) area, yaitu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging Bangsa sapi pedaging di dunia dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bangsa Sapi Kontinental Eropa, Sapi Inggris dan Sapi Persilangan Brahman (India). Bangsa sapi keturunan

Lebih terperinci

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt* EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO Oleh : Donny Wahyu, SPt* Kinerja reproduksi sapi betina adalah semua aspek yang berkaitan dengan reproduksi ternak. Estrus pertama setelah beranak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat serta kesadaran tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada peningkatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Sapi Brahman Cross (BX)

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Sapi Brahman Cross (BX) TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, sapi dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun

Lebih terperinci

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

PERHITUNGAN BODY SCORING CONDITION (BCS) PADA SAPI PERAH

PERHITUNGAN BODY SCORING CONDITION (BCS) PADA SAPI PERAH PERHITUNGAN BODY SCORING CONDITION (BCS) PADA SAPI PERAH Oleh : MEDIK VETERINER MUDA Drh.RINA PUJIASTUTI., MSi Body Scoring Condition atau BCS adalah metode perhitungan semikuantitatif dengan menggunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi North Holland dan West Friesland negeri Belanda yang memiliki temperatur lingkungan kurang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma nutfah nasional Indonesia, hasil domestikasi dari banteng liar beratus-ratus tahun yang lalu.

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tinjauan Umum Kerbau Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Potong Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa sapi peranakan ongole

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80--90 % dari seluruh sapi perah yang berada di sana. Sapi ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Lebih terperinci

EKTERIOR, PENENTUAN UMUR, PENANDAAN, PENDUGAAN BOBOT BADAN DAN EVALUASI TERNAK POTONG. Oleh: Suhardi, S.Pt.,MP

EKTERIOR, PENENTUAN UMUR, PENANDAAN, PENDUGAAN BOBOT BADAN DAN EVALUASI TERNAK POTONG. Oleh: Suhardi, S.Pt.,MP EKTERIOR, PENENTUAN UMUR, PENANDAAN, PENDUGAAN BOBOT BADAN DAN EVALUASI TERNAK POTONG Oleh: Suhardi, S.Pt.,MP Silabus: Membahas tentang metode penilaian ternak potong dan evaluasinya baik secara teori

Lebih terperinci

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL?

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL? PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL? Trinil Susilawati (email : Trinil_susilawati@yahoo.com) Dosen dan Peneliti Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya-

Lebih terperinci

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE TERHADAP SERVICE PER CONCEPTION DAN CALVING INTERVAL SAPI POTONG PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE TERHADAP SERVICE PER CONCEPTION DAN CALVING INTERVAL SAPI POTONG PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE TERHADAP SERVICE PER CONCEPTION DAN CALVING INTERVAL SAPI POTONG PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN Aditya Budiawan, M. Nur Ihsan, Sri Wahjuningsih Bagian

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR Vivi Dwi Siagarini 1), Nurul Isnaini 2), Sri Wahjuningsing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum PT. UPBS Pangalengan 4.1.1. Kondisi Lingkungan Perusahaan PT. UPBS (Ultra Peternakan Bandung Selatan) berlokasi di Desa Marga Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang cukup banyak dan tersebar luas di wilayah pedesaan. Menurut Murtidjo (1993), kambing Kacang memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIS. Petunjuk Praktis Pengukuran Ternak Sapi

PETUNJUK PRAKTIS. Petunjuk Praktis Pengukuran Ternak Sapi PETUNJUK PRAKTIS i PENGUKURAN TERNAK SAPI POTONG Penyusun : Awaluddin Tanda Panjaitan Penyunting : Tanda Panjaitan Ahmad Muzani KEMENTERIAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BALAI BESAR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Kambing Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah dikenal secara luas di Indonesia. Ternak kambing memiliki potensi produktivitas yang cukup

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 I. BENIH PERSYARATAN TEKNIS MINIMAL BENIH DAN BIBIT TERNAK YANG AKAN DIKELUARKAN A. Semen Beku Sapi

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang evaluasi keberhasilan inseminasi buatan sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2014 sampai 4 Mei 2014.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973) 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973) menyatakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas 13 TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama 17 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama (F1) dan Generasi Kedua (F2) Sapi Hasil Persilangan SimPO ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ternak sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ternak sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Ternak sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus (zebu sapi berponok), Bos taurus yaitu bangsa sapi yang menurunan bangsabangsa sapi potong dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Sapi Bali Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar 1.519 ekor (Unit Pelaksana Teknis Daerah, 2012). Sistem pemeliharaan sapi bali di Kecamatan Benai

Lebih terperinci

BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA

BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) Kambing PE pada awalnya dibudidayakan di wilayah pegunungan Menoreh seperti Girimulyo, Samigaluh, Kokap dan sebagian Pengasih (Rasminati,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Induk Sapi SimPO Sapi Simmental Peranakan Ongole (SimPO) merupakan hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi Peranakan Ongole (PO). Karakteristik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi Bali asli Indonesia yang diduga sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Swasembada Daging Sapi Swasembada daging sapi adalah kemampuan penyediaan daging produksi lokal sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor sapi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Sapi Pasundan Sapi Pasundan sebagai sapi lokal Jawa Barat sering disebut sebagai sapi kacang. Istilah sapi kacang merupakan predikat atas karakter kuantitatif yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban TINJAUAN PUSTAKA Kurban Menurut istilah, kurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Anis, 1972). Kurban hukumnya sunnah,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak lokal berperan penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa sifat unggul dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. Walaupun demikian semuanya termasuk dalam genus Bos dari famili Bovidae (Murwanto, 2008).

Lebih terperinci

Identifikasi Fenotipik Sapi Hitam- Peranakan Angus di Kabupaten Sragen

Identifikasi Fenotipik Sapi Hitam- Peranakan Angus di Kabupaten Sragen Identifikasi Fenotipik Sapi Hitam- Peranakan Angus di Kabupaten Sragen PENDAHULUAN Indonesia sudah mengenal teknologi Inseminasi Buatan (IB) sejak tahun 1952, aplikasi di peternak rakyat dimulai tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci