KONSENTRASI PROGESTERON PLASMA PASCA TERAPI ANTIBIOTIK DAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN PADA SAPI PYOMETRA

Transkripsi

1 KONSENTRASI PROGESTERON PLASMA PASCA TERAPI ANTIBIOTIK DAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN PADA SAPI PYOMETRA Plasma Progesterone Concentration Post Therapy of Antibiotics and Prostaglandin Healing Process in Cow with Pyometra Juli Melia 1, Tongku Nizwan Siregar 1, Arman Sayuti 2 1 Laboratorium Reproduksi, 2 Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Jl. Krueng Hasan Kalee Dasussalam, Banda Aceh julimelia@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil hormon progesteron sapi yang terinfeksi pyometra setelah di-treatment dengan antibiotik dan Prostaglandin. Penelitian ini menggunakan enam ekor sapi betina yang didiagnosa menderita pyometra. Hewan percobaan tersebut dibagi kedalam 2 kelompok perlakuan, masingmasing kelompok terdiri dari 3 (tiga) ekor sapi. Kelompok I (n=3) di-treatment dengan menggunakan 5 ml antibiotik (Gentamicine, Flumequine) ditambah 15 ml NaCl fisiologis dan PGF 2α (Luprostiol) 12,5 mg secara intrauterin, sedangkan Kelompok II (n=3) di-treatment dengan menggunakan antibiotik saja. Data hasil pengukuran kosentrasi plasma progesteron dilaporkan secara deskriptif. Hasil penelitian terhadap analisa hormonal menggunakan teknik ELISA menunjukkan sebelum di-treatment sapi-sapi pyometra memiliki kadar progesteron yang tinggi yaitu 6.88±0.23 ng/ml, dan setelah di-treatment terjadi penurunan kadar progesteron plasma pada kelompok sapi yang di-treatment menggunakan kombinasi antibiotik+pgf 2 α dengan rata-rata kecepatan penurunan sebesar 1.37±0.13 ng/ml dan pada saat estrus kadar progeteron sekitar 0.37±0.15 ng/ml. Kata kunci: Sapi, pyometra, uterus, ovarium, antibiotik, PGF 2α. ABSTRACT The aim of this research was to determine profile of progesterone in pyometra cow treated with antibiotics and Prostaglandin. Six pyometra cows (N=6) devided into 2 groups (each N=3). First group treated with 5 ml antibiotics (combination of Gentamicine and Flumequine) and 12.5 mg PGF 2α (Luprostiol) and the other group treated with antibiotics alone. Data of measurement of progesterone plasma concentration are reported descriptively. The results on hormonal analisis using ELISA showed that before treatment has higher level of progesterone ( 6.88±0.23 ng/ml), compares to after treatment in group treated with antibiotics+pgf 2α with an average speed reduction of 1.37±0.13 ng/ml and at oestrus, progesterone level around 0.37±0.15 ng/ml. Keywords: Cows, pyometra, ultrasonography, uterine, ovary, antibiotic and PGF 2α.

2 PENDAHULUAN Salah satu sumber protein hewani yang sangat besar manfaatnya bagi kebutuhan gizi dan mempunyai potensi besar untuk dikembangkan adalah ternak sapi. Permintaan pasar akan daging sapi masih terbuka cukup luas, ini disebabkan karena kebutuhan akan daging sapi secara nasional masih tinggi (Dirjennak 2008), baik untuk keperluan konsumsi masyarakat maupun keperluan industri pengolahan produk hasil-hasil peternakan. Karena itu perlu adanya peningkatan populasi ternak. Ada beberapa faktor untuk meningkatkan populasi ternak, antara lain perbaikan sistem manajemen reproduksi dan meminimalkan adanya gangguan reproduksi yang diikuti kemajiran pada ternak sehingga dapat meningkatkan efisiensi reproduksi. Salah satu gangguan reproduksi karena patologi uterus adalah pyometra, dapat terjadi pada semua hewan ternak termasuk sapi. Pyometra merupakan kelanjutan dari endometritis. Endometritis adalah peradangan pada endometrium uterus. Biasanya terjadi sebagai suatu hasil dari infeksi bakteri terutama terjadi melalui vagina selama partus, sehingga involusi uterus tertunda dan performa reproduksi memburuk. Radang pada endometrium uterus ini dapat disebabkan oleh penularan dari berbagai mikroorganisme atau karena peradangan sekunder yang berasal dari bagian lain tubuh sehingga dapat menyebabkan gangguan reproduksi pada hewan betina. Penyebab lain adalah karena kelanjutan dari abnormalitas partus seperti abortus, retensio sekundinarium, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia serta perlukaan pada saat membantu kelahiran (Ball dan Peters 2004). Pyometra adalah peradangan yang kronis dari mukosa uterus yang ditandai dengan adanya pengumpulan nanah dalam uterus, dapat menyebabkan gangguan reproduksi yang bersifat sementara (infertil) atau permanen (majir). Pyometra dapat disebabkan karena kontaminasi uterus, retensio sekundinarium atau kontaminasi selama proses kelahiran. Penyakit kelamin menular seperti brucellosis, trichomoniasis dan vibriosis atau kuman non spesifik seperti golongan kokus, coli, dan piogenes juga dapat menyebabkan terjadinya pyometra. Pada beberapa kasus sapi-sapi dapat bunting dan kemudian fetus mati dan terjadi proses maserasi (Cuneo et al. 2006). Uterus mengalami kegagalan dalam proses involusi uteri, dan pada ovarium akan terbentuk korpus luteum (CL) persisten (Gustafsson et al. 2004). Sapi pyometra akan mengalami infeksi/peradangan uterus. Uterus berada di bawah pengaruh hormon progesteron yang menekan aktivitas fagositosis oleh sel-sel leukosit (Garverick dan Youngquist. 1993), serviks tertutup membuat akumulasi nanah dan menghambat pengeluaran nanah (Cuneo et al. 2006). Gejala pada hewan betina penderita pyometra adalah tidak munculnya berahi dalam waktu yang lama atau anestrus, siklus berahi hilang karena adanya CL persisten, tetapi dapat juga tidak dipengaruhi (Hardjopranjoto 1995), cairan nanah mengisi penuh uterus dapat ditemukan dengan palpasi rektal, leleran bisa dilihat disekitar ekor dan vulva (Cuneo et al. 2006). Pengobatan pyometra dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik untuk membunuh mikroorganisme penyebab penyakit ini dan dengan pemberian preparat hormonal (prostaglandin) untuk mendorong terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan serviks. Infeksi uterus persisten mengakibatkan pengurangan performa

3 reproduksi oleh suatu pengaruh langsung pada uterus dan gangguan fungsi normal ovarium (Sheldon et al. 2000). Oleh karena itu treatment yang sesuai adalah suatu komponen penting dari suksesnya program manjemen reproduksi. Pengobatan awal ditujukan kepada upaya membuka serviks dan kontraksi uterus sehingga nanah dapat dipaksa mengalir keluar, diikuti dengan mengadakan irigasi dengan obat antiseptik dengan maksud untuk membersihkan sisa-sisa nanah dalam uterus, kemudian diobati dengan antibiotika dengan maksud untuk membunuh mikroorganisme penyebabnya (Hardjopranjoto 1995). Pengaliran prostaglandin (PGF 2α ) kedalam uterus serta pemijatan secara manual juga merupakan treatment yang baik untuk pyometra (Cuneo et al. 2006). METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Assay Hormone Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Bagian Repoduksi dan Kebidanan Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan sapi-sapi betina yang telah didiagnosa terkena pyometra, hewan percobaan tersebut dibagi kedalam 2 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 3 (tiga) ekor sapi. Kelompok I (n=3) di-treatment dengan menggunakan 5 ml antibiotik (Gentamicine, Flumequine) ditambah 15 ml NaCl fisiologis dan PGF 2α (Luprostiol) 12,5 mg secara intrauterin, sedangkan Kelompok II (n=3) di-treatment dengan menggunakan antibiotik saja secara intrauterin. Untuk langkah awal dilakukan diagnosa pada sapi, kemudian dilakukan pengambilan darah dari vena jugularis untuk dilakukan pemeriksaan hormonal dengan teknik ELISA untuk mengukur kadar progesteron yang ada di dalam darah (Cerri et al. 2009). Pegambilan sampel darah dilakukan sejak hari pertama sebelum treatment, kemudian pada hari ke 2 saat treatment diberikan dan terus dilanjutkan sampai dengan hari ke 26. HASIL Hasil penelitian terhadap analisa hormonal menunjukkan sebelum ditreatment sapi-sapi pyometra memiliki kadar progesteron yang tinggi yaitu 6.88±0.23 ng/ml, dan setelah di-treatment terjadi penurunan kadar progesteron plasma pada kelompok sapi yang di-treatment menggunakan kombinasi antibiotik+pgf 2α dengan rata-rata kecepatan penurunan sebesar 1.37±0.13 ng/ml dan pada saat estrus kadar progeteron sekitar 0.37±0.15 ng/ml. PEMBAHASAN Akibat penambahan PGF 2α untuk treatment pyometra pada sapi-sapi kelompok I menyebabkan terjadinya regresi korpus luteum yang berakibat penurunan tiba-tiba kadar progesteron dalam plasma darah, karena penghilangan umpan balik negatif dari hormon progesteron pada hipotalamus, sehingga menyebabkan pembebasan FSH dan LH dari hipofisa, yang kemudian memacu perkembangan folikel dominan yang akhirnya terjadilah estrus dan kemudian ovulasi (Rasby 2005).

4 Sementara itu pada kelompok sapi yang hanya di-treatment dengan kombinasi antibiotik saja tidak menunjukkan adanya penurunan, kadar progesteron tetap tinggi sampai penelitian ini selesai dilakukan 7,50±0,23 ng/ml. Ini mengindikasikan bahwa sapi-sapi yang di-treatment dengan kombinasi antibiotik+pgf 2 α sudah kembali normal kembali kesiklus alaminya, tetapi tidak pada sapi-sapi yang di-treatment hanya dengan kombinasi antibiotik saja, sapi-sapi tersebut mengalami perpanjangan siklus estrus atau bahkan anestrus. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengamatan sebelum dan pasca treatment pada sapi-sapi pyometra dapat disimpulkan bahwa treatment pada sapi pyometra menggunakan antibiotik+pgf 2α membuat terjadinya penurunan level progesteron plasma dalam darah, karena itulah sebaiknya sapi-sapi yang menderita pyometra di-treatment dengan menggunakan antibiotik+pgf 2α sehingga uterus menjadi bersih dari kuman penyebab infeksi. UCAPAN TERIMAKSIH Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian tentang Pyometra pada Sapi: Efek Pasca Terapi dengan Antibiotik dan Prostaglandin Terhadap Pengamatan Proses Penyembuhan Melalui Gambaran Ultrasonografi (USG) Organ Reproduksi dan Profil Hormon Progesteron yang dibiayai dari Hibah Bersaing Batch II DIKTI Segenap penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada Dr. drh Amrozi selaku penanggung jawab di Laboratorium Lapangan Unit Rehabilitasi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor atas segala bantuannya selama penelitian ini berlangsung. DAFTAR PUSTAKA Ball PJH, Peters AR Reproduction in Cattle. Oxford USA. Ed ke-3. Blackwell Publising. Hal Cuneo SP, Card CS, Bicknell EJ Disease of Beef Cattle Associated with Postcalving and Breeding. Cattle Producer s Library 661.Ed 8 Reprint. Direktorat Jendral Peternakan Statistika Peternakan. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. Garverick HA, Youngquist RS Getting Problem Cows Pregnant. Agricultural Publication G3030. Gustafsson H, Kornmatitsuk B, Konigsson K, Kindahl H Peripartum and early post partum in the cow- physiology and phatology. Publised in IVIS with the permission of the WBC. Rusby R Synchonizing estrus in beef cattle. Beef Cattle Prod 2:1-6.

5 Sheldon IM, Noakes DE, Dobson H The influence of ovarian activity and uterine involution determined by ultrasonography on subsequent reproductive performance of dairy cows. Theriogenology 54: