PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI DALAM MENINGKATKAN PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU DISERTASI IZAAC TONNY MATITAPUTTY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI DALAM MENINGKATKAN PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU DISERTASI IZAAC TONNY MATITAPUTTY"

Transkripsi

1 PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI DALAM MENINGKATKAN PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU DISERTASI IZAAC TONNY MATITAPUTTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Pengembangan Kawasan Sentra Produksi dalam Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kepulauan di Provinsi Maluku adalah merupakan karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Izaac Tonny Matitaputty NRP. A

3 ABSTRACT IZAAC TONNY MATITAPUTTY. Development of Production Centers Area in Improving Archipelago Region Economy in the Province of Maluku. (KUNTJORO as Chairman, HARIANTO and D.S. PRIYARSONO as Members of the Advisory Committee). Province of Maluku is the lagerst archipelago in Indonesia with the heterogen and large local spesific in the marine sector this region should be able to develop marine/maritim based key sectors. The region which is consisting of the islands requires the ability of service facilities in the centers of development as prime mover to develop the marine based key sectors in this archipelago. The objectives of the research are to: (1) identify the region key sectors on the basis analyze of partial criteria local spesific marine/maritim province of Maluku, (2) analyze the key sectors based on criteria analysis of connectivity in the province of Maluku, (3) analyze of the final demand impact sectors of the economy of the region to other economic sectors and the total output in the province of Maluku, ( 4) analyze the role of development centers based on the ability of the service facilities in the province of Maluku and, (5) analyze to the develop level of the hierarchy of central regional in the province of Maluku as an archipelago.this research the conducted by two approaches, sectoral and regional approach. Sectoral approach studied by the method of Input-Output (I-O) and regional approach studied by the method of scolagram. Input-Output analysis to determine the key sectors, while the ability to analyze scalogram likes sevice facilities in the center development as a prime mover the development of key sectors on spesific local area of islands.the results of analysis showed key sectors in the province of Maluku has not been well developed as yet supported by the ability of the service facilities at the development of production centers area. Keywords: Development centers, input-output, scalogram, key sectors, final demand Impact, service fascilities.

4 ABSTRAK IZAAC TONNY MATITAPUTTY. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi dalam Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kepulauan di Provinsi Maluku. (KUNTJORO sebagai Ketua, HARIANTO dan D.S. Priyarsono sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Provinsi Maluku merupakan wilayah kepulauan terbesar di Indonesia, dengan local spesific yang sangat besar di sektor bahari maka seharusnya wilayah ini mampu mengembangkan sektor-sektor unggulan berbasis bahari/maritim. Wilayah yang terdiri dari pulau-pulau memerlukan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan sehingga mampu menggerakkan sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah kepulauan yang berbasis bahari/maritim tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasikan sektor-sektor unggulan berdasarkan kriteria analisis parsial yang berbasis local spesific bahari/maritim di wilayah kepulauan Provinsi Maluku, (2) menganalisis sektorsektor unggulan wilayah berdasarkan kriteria analisis konektivitas di wilayah kepulauan Provinsi Maluku, (3) menganalisis dampak output permintaan akhir sektor-sektor ekonomi wilayah kepulauan terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya dan total output Provinsi Maluku, (4) menganalisis peran fungsi pelayanan pusatpusat pengembangan wilayah berdasarkan kemampuan fasilitas pelayanan di wilayah kepulauan Provinsi Maluku dan, (5) menganalisis hirarki tingkat perkembangan pusat-pisat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan. Penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral dikaji dengan metode Input-Output sedangkan regional menggunakan metode Skalogram. Analisis I-O untuk mengetahui sektor-sektor unggulan wilayah dan Skalogram menganalisis kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan sebagai penggerak utama pengembangan sektor-sektor unggulan berbasis wilayah kepulauan dengan local spesific bahari/maritim. Hasil analisis memperlihatkan sektor unggulan di Provinsi Maluku belum didukung oleh kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan Kawasan Sentra Produksi. Kata Kunci: Pusat pengembangan, input-output, skalogram, sektor unggulan, dampak permintaan akhir, fasilitas pelayanan.

5 RINGKASAN IZAAC TONNY MATITAPUTTY. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Dalam Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kepulauan di Provinsi Maluku, (KUNTJORO sebagai Ketua, HARIANTO dan PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Pengembangan sektor-sektor unggulan ekonomi wilayah kepulauan Provinsi Maluku sudah merupakan aspek yang sangat mendesak, sehingga arah dan strategi kebijakan pembangunan ekonomi wilayah harus berorientasi pada keunggulan spasial dan potensi lokal (local spesific). Aspek ini akan memberikan manfaat pada wilayah kabupaten/kota di Provinsi Maluku untuk menggerakkan sektor-sektor unggulannya sebagai penggerak utama (prime mover) bagi sektor lain dalam mendorong atau menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) dan tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan (growth pole) wilayah saja. Dengan mengidentifikasi/menemukenali serta menentukan sektorsektor unggulan wilayah serta didukung oleh kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah yang berbasis wilayah kepulauan maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi sektor-sektor unggulan (key sectors) berdasarkan kriteria analisis parsial yang berbasis local spesific bahari/maritim di wilayah kepulauan Provinsi Maluku, (2) menganalisis sektor-sektor unggulan (key sectors) berdasarkan kriteria analisis konektivitas di wilayah kepulauan Provinsi Maluku, (3) menganalisis dampak peningkatan permintaan akhir (output final demand impact) sektor-sektor ekonomi berbasis wilayah kepulauan terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya dan total output Provinsi Maluku, (4) menganalisis peran pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku berdasarkan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan sehingga mampu mendorong pengembangan sektor-sektor unggulan berbasis local spesific wilayah kepulauan dan, (5) menganalisis hirarki tingkat perkembangan pusat-pusat pengembangan wilayah berdasarkan kelompok dan kemampuan fasilitas pelayanan yang tersedia di pusat pengembangan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder dengan dua pendekatan analisis yaitu pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral menggunakan metode analisis Input-Output (I-O) sedangkan pendekatan regional menggunakan metode analisis skalogram. Analisis sektor-sektor unggulan ekonomi Provinsi Maluku dilakukan berdasarkan klasifikasikan 60 sektor ekonomi tabel I-O Maluku. Dengan analisis ini diharapkan dapat melihat struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effek dan keterkaitannya (linkages) diantara sektor-sektor wilayah. Sedangkan salah satu analisis yang berhubungan dengan dukungan terhadap perkembangan sektor-sektor unggulan wilayah adalah kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan wilayah. Dengan mengetahui kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dan hirarki pusat-pusat pengembangan wilayah maka dapat diketahui apakah sektor-sektor unggulan di Provinsi Maluku mendapat dukungan fasilitas pelayanan yang sesuai dengan ketersediaan fasilitas di pusat-pusat pengembangan tersebut.

6 Arah dan strategi kebijakan perekonomian pemerintah daerah dapat dilihat dari hasil analsis I-O seperti, melihat konektivitas antara kriteria analisis sektor-sektor unggulan pada struktur output dengan nilai tambah bruto, struktur output, nilai tambah bruto dengan multiplier effek atau struktur output,nilai tambah bruto, multiplier effect dengan intersectoral linkages. Konektivitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah sektor-sektor unggulan sesuai dengan arah dan strategi kebijakan perekonomian pemerintah yang berbasis potensi lokal (local spesific) wilayahnya. Analisis untuk simulasi dilakukan dengan shock output permintaan akhir pada sektor-sektor yang relevan dengan karakteristik wilayah kepulauan seperti angkutan, air (laut), udara, darat dan perikanan. Hasil analisis skalogram terhadap kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusatpusat pengembangan (kabupaten/kota) memperlihatkan bahwa Kota Ambon masih merupakan satu-satunya pusat pengembangan utama/pusat pertumbuhan di Provinsi Maluku diikuti pusat pengembangan lainnya seperti, Kabupaten Maluku Tengah, Buru, Maluku Tenggara, Seram Bagian Barat, Maluku Tenggara Barat Daya, Seram Bagian Timur dan terakhir Kabupaten Kepulauan Aru. Hirarki pusat pengembangan menunjukkan masih rendahnya ketersediaan fasilitas pelayanan wilayah di Provinsi Maluku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah Provinsi Maluku belum mampu mengembangkan sektor-sektor unggulan wilayah berbasis potensi lokal (local spesific) bahari/maritim. Hal ini dapat di lihat dari hasil analisis konektivitas yang tidak memperlihatkan keterkaitan sektor-sektor ekonomi dari konektivitas struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages. Hasil simulasi final demand impacts menunjukkan sektor perikanan dan beberapa sektor yang berbasis wilayah kepulauan (archipelago) belum mampu menjadi sektor unggulan sedangkan sektor perdagangan besar dan eceran merupakan sektor terunggul. Ketidakmampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah seperti belum memiliki fasilitas pelayan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya sehingga memiliki kapasitas pendukung yang rendah bagi pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah berbasis local spesific. Dengan demikian hasil analsis menunjukkan bahwa belum ada sektor-sektor unggulan Provinsi Maluku berbasis potensi lokal (local spesific) wilayah yang mampu menciptakan keunggulan sektoral dari sisi konektivitas struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect, intersectoral linkages dan final demand impact. Sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan Provinsi Maluku belum mampu menjadi sektor unggulan karena rendahnya kemampuan fasilitas pelayanan yang tersedia di pusat-pusat pengembangan wilayah. Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa implikasi kebijakan sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah perlu menentukan sektor-sektor unggulan wilayah yang berbasis spasial dan potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan sehingga mampu meningkatkan perekonomian berdasarkan kemampuan dan potensi lokal wilayah yang tersedia di wilayah ini. 2. Pada wilayah periphery kabupaten lainnya perlu dikembangkan sektor-sektor kawasan-kawasan sentra produksi yang berbasis potensi lokal wilayah dengan dukungan fasilitas pelayanan wilayah sehingga semakin cepat terciptanya

7 pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) dan berkembangnya sektorsektor unggulan wilayah. 3. Kuatnya daya tarik aglomerasi dan lemahnya polarisasi dari pusat pertumbuhan (growth pole) Kota Ambon terhadap wilayah lainnya (periphery) seperti kemampuan penyediaan fasilitas pelayan di sektor jasa dan pengangkutan dan komunikasi yang terpusat menjadikannya sebagai satusatunya pusat pertumbuhan di Provinsi Maluku. Untuk itu kebijakan pembangunan daerah lebih diarahkan pada penciptaan dan penyediaan fasilitas pelayanan di setiap wilayah pengembangan sehingga mampu mempercepat penciptaan pusat-pusat pengembangan utama yang baru selain Kota Ambon. 4. Perlu dilakukan perubahan arah dan strategi kebijakan pembangunan ekonomi dari basis daratan (continental) ke arah dan strategi wilayah yang berbasis spasial dan potensi lokal wilayah kepulauan yakni bahari/maritim sehingga mampu menciptakan keunggulan sektoral baik dari sisi struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages dan dukungan ketersediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah. Dengan demikinan seluruh pusat-pusat pengembangan akan saling membutuhkan baik antarwilayah maupun antarsektor (interregional linkages dan intersectoral linkages) di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Sesuai dengan hasil analisis pada penelitian ini maka diusulkan penelitian selanjutnya sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih terperinci pada komoditikomoditi sektor ekonomi yang berbasis spasial dan potensi lokal (local spesific) wilayah seperti penelitian RCA antarwilayah di wilayah kepulauan. 2. Penelitian ini tidak dilakukan pada wilayah-wilayah pemekaran baru diatas tahun 2002 sehingga penentuan sektor unggulan pada level kabupaten/kota belum semua dapat diketahui secara spesifik terhadap wilayah-wilayah tersebut sesuai karakteristik Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan (archipelago).

8

9 Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan penididikan, p[enelitian, penulisn karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, dan tinauan suatu masalah ; b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bbentuk apa pun tanpa izin IPB.

10 PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI DALAM MENINGKATKAN PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU IZAAC TONNY MATITAPUTTY DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

11 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 2. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, MEc Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Prof (R). Dr. Ir. Dewa Sadra Swastika, MSc Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

12 Judul Disertasi : Pengembangan Kawasan Sentra Produksi dalam Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kepulauan di Provinsi Maluku Nama Mahasiswa : Izaac Tonny Matitaputty Nomor Pokok : A Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Ketua Dr. Ir. Harianto, MS Anggota Ir. D. S. Priyarsono, Ph. D Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: 30 Januari 2012 Tanggal Lulus:

13 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala karunianya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan peneletian ini. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul Pengembangan Kawasan Sentra Produksi dalam Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kepulauan di Provinsi Maluku.. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro, sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Harianto dan Ir. D. S. Priyarsono, Ph. D sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya dalam penyusunan disertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas dorongan dan bimbingannya selama penulis kuliah di program studi sampai penulisan disertasi ini. 3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Rektor Universitas Pattimura yang telah memberikan izin belajar kepada penulis untuk melanjutkan studi program Doktor di Institut Pertanian Bogor. 5. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura yang telah mendukung penulis untuk melanjutkan studi program Doktor di Institut Pertanian Bogor.

14 6. Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M.Ec dan Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka Prof (R). Dr. Ir. Dewa Sadra Swastika, Dr. Ir. Anna fariyanti, M.Si 7. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS). 8. Ibunda Anatje dan Ayahanda (Alm) Ledrick Hendrick, Cindy, Putri, Syaloom beserta seluruh keluarga besar Matitaputty, Yohannis, Yohanna, Ferdinand, Matheus, Aleksander, Leonard, Rudllof, Abraham, Yuliana dan Bill. 9. Prof. Dr. J. Syauta, MEc (Alm), Drs. D. I. Sihasalle (Alm), Drs. F. Bahasoan, (Alm), Ibu Non Syauta, Ibu Hawa Syarluf, Ibu Thea Sihasalle, dan seluruh staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Pattimua atas dukungannya. 10. Teman sejawat, Mas Arif Dirgantoro, Bayu, Ridwan, Asri Djauhar, Yusuf, Didiek, Mbak Beatrixia, Hapsa, Wiwiek, Naidah dan Perhimpunan Alumni SMP-SMA Angkasa Lanud Pattimura (PRASSASTI), atas dorongan dan bantuannya kepada penulis. 11. Teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 12. Pegawai sekretariat EPN, mbak Rubby, Yanni, Kokom, mas Husein dan Erwin yang selalu memberi semangat kepada penulis. Semoga segala bantuan yang telah diberikan selama pendidikan ini mendapat balasan Berkat dari Tuhan Yang Maha Kasih. harapan penulis semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Januari 2012 Penulis

15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon-Laha, Komplek TNI-AU Lanud Pattimura tanggal 1 April 1964 dan diberi nama, Izaac Tonny Matitaputty dari pasangan Ledrick Hendrick Matitaputty (Alm) dengan Anatje Silooy. Penulis dibesarkan dalam lingkungan keluarga besar TNI-AU Lanud Pattimura. Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas semuanya dilalui oleh penulis di lingkungan pendidikan yayasan Ardhya Garini (Angkasa) Lanud Pattimura-Laha. Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh di Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura dan lulus Tahun Tahun ajaran 1996 penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang S2 (Magister) Program Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (PPW) Universitas Hassanudin Makassar, lulus Tahun Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang S3 (Doktor) di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mulai bekerja dari Tahun 1993 hingga sekarang sebagai staf pengajar di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Pattimura Ambon.

16 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xx xiii xxiv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup Keterbatasan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis Perwilayahan Pembangunan dan Pembangunan Wilayah Penataan Ruang Wilayah Konsep Pusat Pengembangan Wilayah Wilayah Negara Daratan Versus Wilayah Negara Kepulauan Peran dan Fungsi Wilayah di Era Otonomi Pembangunan Ekonomi Wilayah Sektor-Sektor Strategis Pembangunan Wilayah Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah... 60

17 Teori Harrod Domar (H D) Teori Pertumbuhan Solow Teori Lokasi Teori Perroux Teori Losch Teori Hirschman Teori Leontief (Model I-O) Analisis Model Input-Output (I-O) Tinjauan Empiris Kebijakan Pembangunan Wilayah Atas Dasar Geografi Ekonomi Dinamika Antarsektor dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Sektoral Wilayah Perubahan Struktur Ekonomi dan Kebijakan Strategi Pembangunan Ekonomi Antarwilayah Berbasis Potensi Lokal Wilayah III. KERANGKA PEMIKIRAN IV. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Analisis Pendekatan Regional Analisis Skalogram Analisis Pendekatan Sektoral Analisis Input-Output (I-O) xv

18 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PROVINSI MALUKU Kondisi Fisik Wilayah Letak Geografis Wilayah Topografi dan Iklim Kondisi Sumberdaya Alam Wilayah dan Pemanfaatannya Kawasan Wilayah Daratan Kawasan Wilayah Lautan Komposisi Penduduk Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat Kondisi Sarana dan Prasarana Transportasi Transportasi Darat Transportasi Udara Transportasi Air (Laut) Kondisi Perekonomian Wilayah VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Struktur Perekonomian Provinsi Maluku Dalam Kajian Analisis Input-Output (I-O) Strukutur Permintaan dan Penawaran Struktur Output dan Nilai Tambah Bruto Struktur Permintaan Akhir Analisis Pengganda Angka Pengganda Output Pengganda Pendapatan xvi

19 Pengganda Tenaga Kerja Sektoral Keterkaitan Antarsektor Keterkaitan ke Depan dan Penyebaran ke Depan Keterkaitan ke Belakang dan Penyebaran ke Belakang VII. KONEKTIVITAS SEKTOR-SEKTOR EKONOMI UNGGULAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Potensi Lokal Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output dengan Nilai Tambah Bruto Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Multiplier Effect Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Keterkaitan Antarsektor Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Multiplier Effect. Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Intersectoral Linkages. Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Multiplier Effect dan Intersectoral Linkages Kebijakan Final Demand Impacts Terhadap Sektor-Sektor Perekonomian Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Udara (SIM 1) Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Darat (SIM 2) Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Air (SIM 3) Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Perikanan (SIM 4) Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Udara, Darat, Air dan Perikanan (SIM 5) xvii

20 7.3. Penetuan Sektor Unggulan Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Arah dan Strategi Kebijakan Pengembangan Sektor Unggulan di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Berbasis Sektor Unggulan Bahari/Maritim dan Prospeknya di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Kemampuan Fasilitas Pelayanan Pusat Pengembangan Analisis Kemampuan Fasilitas Pelayanan dan Hirarki Pusat Pengembangan Wilayah Penilaian Kemampuan Fasilitas Pelayanan Dengan Metode Skalogram Guttman Kota Ambon Kabupaten Maluku Tengah Kabupaten Buru Kabupaten Maluku Tenggara Kabupaten Seram Bagian Barat Kabupaten Maluku Tenggara Barat Kabupaten Seram Bagian Timur Kabupaten Kepulauan Aru Penilaian Kemampuan Fasilitas Pelayanan Provinsi Maluku Sebagai Wilayah Kepulauan Berbasis Bahari / Maritim IX. SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Simpulan xviii

21 9.2 Saran Implikasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xix

22 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Perbedaan Karakteristik Wilayah Daratan dan Kepulauan Perbedaan Pengembangan Wilayah Daratan dengan kepulauan Kerangka/Model Baku Tabel Input-Output Matriks Pendekatan Penelitian Informasi dan Data Untuk Analisis Skalogram Skalogram Pada Pusat Pengembangan Wilayah di Provinsi X Tabel Transaksi Input-Output Sederhana Ketinggian dan Derajat Kemiringan Rata-rata Wilayah Produksi dan Nilai Produksi Ikan Hasil Budidaya Tambak dan Kolam Menurut Jenis Ikan di Provinsi Maluku, Tahun Produksi dan Nilai Produksi Ikan Menurut Jenis Ikan di Provinsi Maluku, Tahun Jumlah dan Kepadatan Penduduk Provinsi Maluku, Tahun PDRB Provinsi Maluku Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan, Tahun 2000/ Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Maluku, Tahun Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Maluku, Tahun Sepuluh Sektor Terbesar Menurut Peringkat Output Provinsi Maluku, Tahun Sepuluh Sektor Terbesar Menurut Peringkat Nilai Tambah Bruto Provinsi Maluku, Tahun Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen Pendapatan Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen Pengeluaran xx

23 19. Sepuluh Sektor Pengganda Output Terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun Sepuluh Sektor Pengganda Pendapatan Terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun Sepuluh Sektor Pengganda Tenaga Kerja Sektoral Terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun Sepuluh Sektor Tingkat Keterkaitan ke Depan Tertinggi dengan Tingkat Penyebarannya Sepuluh Sektor Tingkat Penyebaran ke Depan Tertinggi dengan Tingkat Keterkaitan ke Depannya Sepuluh Sektor Tingkat Keterkaitan ke Belakang Tertinggi dengan Tingkat Penyebarannya Sepuluh Sektor Tingkat Penyebaran ke Belakang Tertinggi dengan Tingkat Keterkaitan ke Belakangnya Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Analisis Struktur Output dan Nilai Tambah Bruto di Provinsi Maluku Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output dengan Nilai Tambah Bruto Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Analisis Angka Pengganda, Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Angka Pengganda, Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Keterkaitan Antarsektor di Provinsi Maluku Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Keterkaitan Antarsektor Sepuluh Sektor Terbesar dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Angka Pengganda Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dan Angka Pengganda Sepuluh Sektor Terbesar dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Keterkaitan Antarsektor xxi

24 35. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Keterkaitan Antarsektor Sepuluh Sektor Terbesar dari Angka Pengganda dengan Keterkaitan Antarsektor Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Angka Pengganda dengan Keterkaitan Antarsektor Keunggulan Sektoral dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Pengganda, Keterkaitan Antarsektor Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Angka Pengganda dan Keterkaitan Antarsektor Sepuluh Sektor Penerima Terbesar Dampak Permintaan Akhir Terhadap Perekonomian Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Penilaian Fungsi / Pusat Pelayanan Dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun Penilaian Kemampuan Pelayanan Dengan Skalogram Guttman di Pusat Pengembangan, Tahun Pengelompokkan Pusat-Pusat Pengembangan Wilayah Berdasarkan Metode Skalogram di Provinsi Maluku, Tahun Penilaian Fungsi/Pusat Pelayanan dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun Penilaian Kemampuan Pelayanan dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun Pengelompokkan Pusat-Pusat Pengembangan Wilayah Berdasarkan Metode Skalogram di Provinsi Maluku, Tahun xxii

25

26 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Enam Pilar Penopang Pembangunan Wilayah Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) Pada Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Peta Provinsi Maluku

27

28 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Kode Sektor Sektor Ekonomi Total Output Multipliers Provinsi Maluku Update Total Income Multipliers Provinsi Maluku Update Total Employment Multipliers Provinsi Maluku Update Analisis Keterkaitan Antarsektor Output Final Demand Impact Sektor Angkutan Udara Output Final Demand Impact Sektor Angkutan Darat Output Final Demand Impact Sektor Angkutan Air Output Final Demand Impact Sektor Perikanan Output Final Demand Impact Sektor Perikanan, Udara, Darat dan Air Peta Batas Administrasi Peta Lereng Peta Tanah Peta Kawasan Lindung Peta Potensi Perikanan Peta Kepadatan Penduduk Kawasan Sentra Produksi Provinsi Maluku Peta Perhubungan Laut Peta Perhubungan Udara Peta Konsep Gugus Pulau Peta Pola Interaksi Ruang

29 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan bagian dari wilayah di permukaan bumi, memiliki rona wilayah yang heterogen terdiri dari pulau-pulau. Menurut Yakub (2004), bentuk-bentuk rona suatu wilayah dikatakan sebagai negara atau wilayah kepulauan (archipelagic state/archipelago), dari aspek fisiografinya merupakan wilayah yang tidak kompak/seragam (non contigous shape). Non contigous shape yaitu, suatu wilayah yang berbentuk fragmental (kepulauan), terpecah (broken shape), tersebar (scattered shape) dan lingkar laut (sircum marine). Sitaniapessy (2002), menyatakan wilayah kepulauan terbentuk karena adanya perbedaan karakteristik yang disebabkan oleh perbedaan aspek geografis, fisik, iklim, sosial budaya dan etnis serta adanya perbedaan pada tahap perkembangan pembangunan ekonomi wilayah. Sedangkan Monk et al. (2000), berpendapat bahwa wilayah kepulauan merupakan kumpulan pulau-pulau yang mengelompok secara bersama sebagai suatu masa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh laut. Aspek fisiografi di atas menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) letak geografisnya bagaikan untaian zamrud di khatulistiwa. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut terluas mencapai 3.1 juta Km 2 dan panjang pantai km atau sekitar mil terpanjang kedua setelah Kanada. Gugusan kepulauan mencapai an buah pulau, terbentang dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Rote. Dengan belasan ribu buah pulau memberikan akses pada sumberdaya alam

30 2 wilayah yang beraneka ragam dan berlimpah untuk segera dikelola yang berbasis local spesific di bidang kelautan atau bahari/maritim (Azis, 2004). Kusumaatmaja (2005), mengatakan bahwa keunggulan sumberdaya alam dan letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) merupakan keunggulan potensi lokal (local spesific) wilayah yang strategis. Keunggulan potensi lokal sumberdaya kelautan atau bahari perlu menjadi pertimbangan di dalam mengelola kegiatan ekonomi. Oleh karena itu secara geopolitik dan geoekonomi sumberdaya tersebut seharusnya menjadikan Indonesia sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) bagi negara-negara disekitarnya. Paradigma pembangunan selama ini berorientasi pada pembangunan wilayah daratan (continental) adanya kekeliruan tentang paradigma pembangunan yang tidak berorientasi pada konsep wilayah kepulauan (archipelago/archipelagic state) oleh Lukman (2004), dikatakan sebagai gagalnya pembangunan wilayah yang pengembangan perekonomian wilayah belum berbasis pada sektor perikanan diantaranya belum tercapainya swasembada ikan dan gagalnya kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di sektor angkutan air (laut). Menurut Lukman sektor angkutan air (laut) merupakan salah satu sektor yang sangat berpengaruh untuk pengembangan ekonomi wilayah kepulauan sehingga harus menjadi perhatian pemerintah pusat maupun daerah. Konsep pembangunan selama ini masih dibentuk dengan paradigma pembangunan wilayah daratan (continental/landlock state) tanpa memperhatikan aspek kapasitas atau potensi lokal wilayah. Paradigma pembangunan yang berorientasi wilayah daratan ternyata menimbulkan eksploitasi (backwash effect)

31 3 secara besar-besaran dari wilayah pusat (core) terhadap wilayah pinggiran (periphery). Pemahaman pola pembangunan yang demikian ternyata menciptakan ketimpangan pembangunan (regional disparity) yaitu, tidak semua wilayah dapat merasakan hasil pembangunan yang sama dengan wilayah lain. Sehingga aspek kapasitas atau potensi lokal tidak tergarap secara optimal. Selanjutnya pemerintah daerah belum mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) karena belum mampu mengidentifikasi/ menemukenali dan menentukan sektor-sektor unggulan mana yang berbasis local spesific. Selain itu seluruh aktivitas perekonomian baik barang dan jasa (infrastruktur, keuangan, transportasi dan komunikasi) dan seluruh investasi terpusat pada satu pusat pertumbuhan yaitu di ibukota provinsi. Hal ini mengakibatkan munculnya persepsi investor yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan kemudahan yang diperoleh bila berinvestasi di pusat pertumbuhan. Dengan demikian wilayah di luar pusat pertumbuhan (periphery) akan semakin tertinggal dan menimbulkan regional disparity. Oleh sebab itu kebijakan-kebijakan ekonomi wilayah kepulauan (archipelagic state/archipelago) seharusnya berbasis pada kapasitas atau potensi lokal wilayah kepulauan yaitu maritim/bahari. Kebijakan ekonomi yang tidak didasari keunggulan wilayah sering mengakibatkan ketertinggalan pada wilayahwilayah lain. Sebagai contoh majunya wilayah-wilayah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) khususnya pulau Jawa menimbulkan ketimpangan antar Jawa dengan wilayah di luar Jawa. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah kota/kabupaten tertinggal di Indonesia sebanyak 183 kota/kabupaten dimana 123 kota/kabupaten

32 4 berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) selain itu 62 persen luas wilayah Indonesia berada di KTI. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) pembuat atau pengambil kebijakan harus merubah paradigma pembangunan wilayah dari berbagai kebijakan dan strategi pembangunan yang berorientasi pada konsep wilayah daratan (landlock state/continental) menjadi wilayah kepulauan (archipelago /archipelagic state). Konsep-konsep pembangunan yang tidak didasarkan pada kapasitas atau potensi lokal wilayah dan berorientasi maritim /bahari sebagai sektor unggulan atau pada konsep wilayah kepulauan akan menjadikan wilayah di luar pulau Jawa semakin tertinggal dan menimbulkan ketimpangan antarwilayah bahkan disintegrasi bangsa. Menurut World Bank (2009), selama bertahun-tahun unsur spasial belum menjadi perhatian utama sehingga diperlukan konsep pemahaman implementasi pada satu konsep pendekatan terhadap geografi ekonomi. Dengan demikian perubahan-perubahan terhadap pergeseran struktural ekonomi wilayah dapat disesuaikan dengan potensi lokal (local spesific) wilayah setempat sesuai sektorsektor unggulannya. Berlakunya UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004 (sebagai revisi dari UU No.22 dan No.25 Tahun 1999) maka pemerintah daerah dituntut untuk semakin mandiri dan mampu dalam mengelola berbagai potensi sumberdaya yang ada dengan tetap memperhatikan sustainable development dari daerah tersebut. Namun seringkali kebijakan-kebijakan pemerintah pusat di era otonomi lebih memperhatikan kebijakan politis dan kurang memperhatikan karakteristik dan infrastruktur yang ada di daerah. Di sisi lain pemerintah daerah

33 5 setelah otonomi belum mampu mendorong atau mengupayakan peningkatan sektor-sektor berbasis kapasitas dan potensi (local spesific) wilayahnya. Sjafrizal (2008), menyatakan perubahan sistem pemerintahan dan pengelolaan pembangunan daerah dan terjadinya globalisasi ekonomi akan menimbulkan perubahan yang cukup dratis dalam pembangunan ekonomi daerah. Kebijakan pembangunan yang selama ini hanya merupakan pendukung kebijakan nasional mulai mengalami pergeseran sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. Kartasasmita (1996), menyatakan pelaksanaan pembangunan wilayah harus merupakan bagian integral dari proses pembangunan nasional dan menempati posisi strategis dalam kebijakan pembangunan nasional. Sedangkan pembangunan daerah bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat di daerah melalui perencanaan pembangunan yang serasi, selaras dan terpadu baik antarsektor dengan perencanaan daerah. Untuk itu sudah sepatutnya daerah-daerah pada era otonomi dan memiliki kewenangan atau kebebasan dalam menjalankan berbagai kebijakan pembangunan, lebih di arahkan pada pengembangan sektorsektor ekonomi yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal wilayah. Berdasarkan kajian-kajian atau pendapat para pakar ekonomi yang di dasarkan pada perubahan selama kebijakan otonomisasi dilakukan, maka penelitian ini diarahkan untuk menganalisis bagaimana seharusnya pembangunan ekonomi wilayah dilakukan. Kajian yang lebih mendalam mengenai berbagai potensi lokal wilayah dan tingkat perkembangan ekonomi wilayah, sudah menjadi keharusan bagi pemerintah daerah maupun pusat untuk mendorong atau memajukan wilayah-wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku dengan

34 6 menciptakan pusat pengembangan atau pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) sesuai dengan kapasitas atau potensi lokal wilayah berbasis maritim/bahari harus menjadi political will pemerintah daerah. Oleh sebab itu pemerintah yang berkuasa harus mereorentasi konsep pengembangan wilayah kepulauan berbasis maritim/bahari sesuai karakteristik/kearifan lokal dengan meningkatkan kemampuan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah. Provinsi Maluku dikenal sebagai daerah seribu pulau yang juga dikenal pada masa lampau dengan sebutan The Spice Island memiliki luas wilayah seluas km 2. Provinsi ini dengan luas wilayahnya 90 persen merupakan lautan seluas km 2 dan 10 persen daratan sekitar km 2 (Bappeda Provinsi Maluku, 1999). Sebagai wilayah kepulauan yang memiliki bentuk wilayah atau rona wilayah (non contigous shape). Dengan rona wilayah kepulauan (fragmental), broken shape, scattered shape dan sicrum marine maka Maluku memiliki berbagai karakteristik dan potensi lokal wilayah yang beragam (heterogen) baik dari sisi geografi, ekonomi dan sosial budaya. Pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang terdiri dari pulau-pulau dan dipisahkan oleh lautan masih terfokus pada satu pusat pertumbuhan wilayah saja yaitu Kota Ambon. Lemahnya peran di sektor infrastruktur seperti sektor jasa, angkutan dan komunikasi membuat beberapa wilayah di daerah ini, hampir-hampir tidak memiliki akses keluar-masuk (exit and entry) antarwilayah bahkan di dalam wilayah administrasinya sendiri. Hal ini mengakibatkatkan wilayah di luar pusat pertumbuhan provinsi ini belum mampu mengembangkan wilayahnya sesuai kapasitas atau potensi lokal wilayahnya.

35 7 Kapasitas atau potensi lokal wilayah yang beraneka ragam dan memiliki kemampuan sumberdaya alam bahari melimpah, seharusnya Provinsi Maluku mampu untuk memacu atau mendorong keunggulan potensi sumberdaya alamnya. Keunggulan wilayah pada sumberdaya alam bahari/maritim merupakan potensi lokal seharusnya menjadi sektor unggulan dan pendorong utama (prime mover) terhadap seluruh aktivitas sektor-sektor ekonomi wilayah kepulauan ini. Sesuai kondisi wilayah Provinsi Maluku, maka kebijakan-kebijakan perencanaan pembangunan wilayah yang berbeda dengan kondisi wilayahnya dalam jangka panjang akan mengalami kegagalan. Kurang mendukungnya infrastruktur (sektor jasa, angkutan dan komunikasi) antarwilayah, antara wilayah pinggiran (periphery) dengan pusat (core) tentunya menimbulkan ketimpangan atau kesenjangan (disparity) pembangunan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Pada pelaksanaannya pembangunan di wilayah Maluku harus benar-benar secara agresif dan integratif dapat memberikan manfaat bagi wilayah-wilayah belakangnya (periphery). Hal ini berhubungan dengan penetapan lokasi investasi sehingga dapat meminimalisasi ketimpangan (disparity) antarwilayah dalam pemanfaatan ruang (spatial) dan potensi lokal sehingga memacu atau mendorong sektor-sektor unggulan setiap wilayah yang ada di Provinsi Maluku. Pembangunan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang berorientasi pada pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) sektor unggulan wilayah berbasis local spesific merupakan bagian dari arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah berkarakteristik kepulauan. Oleh sebab itu pembangunan di wilayah ini merupakan suatu ekuilibrium matriks lokasi yang meliputi beberapa pusat

36 8 pertumbuhan pembangunan (growth poles development) dan memiliki daerah penyangga (hinterland) sehingga mampu mendorong atau mempercepat proses pengembangan wilayah. Dengan demikian kekuatan kekuatan agglomerasi dapat menciptakan dukungan ke depan (spread effect) maupun dukungan ke belakang (backwash effect). Sehingga pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth pole) mampu mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah secara keseluruhan dan memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang (forward and backward linkages) antarwilayah (interregional) maupun antarsektor (intersectoral). Pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku berhubungan erat dengan bagaimana daerah mampu mengidentifikasi/menemukan dan menentukan serta mengelola potensi lokal wilayah yang ada. Sebagai wilayah kepulauan dengan potensi maritim/bahari mengharuskan pembangunan daerah secara tepat, efektif dan efisien serta mampu mengembangkan sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah kepulauan di Provinsi Maluku. Dengan demikian penelitian tentang pengembangan (KSP) pada wilayah kepulauan berdasarkan kapasitas dan potensi lokal dalam meningkatkan perekonomian wilayah kepulauan Provinsi Maluku sangat perlu untuk dilakukan Perumusan Masalah Provinsi Maluku dikenal dengan sebutan daerah seribu pulau, atau The Spice Islands memiliki kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah berbasis maritim/bahari melimpah dan beraneka ragam. Kekayaan sumberdaya ini terdapat di berbagai sektor perekonomian, baik yang telah dikelola maupun yang belum dikelola secara ekonomi. Selain itu secara geografis, ekonomi wilayah kepulauan berbasis maritim/bahari ini belum menjadi perhatian serius

37 9 sebagai modal dasar penggerak utama (prime mover) pembangunan terhadap sektor pendukung lainnya. Sumberdaya alam yang melimpah dan beraneka ragam hayati serta didukung dengan jumlah penduduk yang cukup beragam kepadatannya, membuat potensi wilayah di provinsi ini belum mampu tergarap secara optimal. Kota Ambon sebagai pusat pemerintahan ibukota Provinsi Maluku memiliki jumlah penduduk yang cukup padat, berbagai aktivitas ekonomi yang cukup besar menjadikannya sebagai pusat pemasaran, perbankan, pendidikan dan lainnya. Dengan berbagai aktivitas ekonomi tersebut menjadikan Kota Ambon sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) atau daerah inti (core region) satusatunya di Provinsi Maluku. Bila dilihat dari sisi daya pemancaran (spread effect) maupun daya dorong (backwash effect) maka kondisi seperti di atas membuat teraglomerasinya kegiatan ekonomi di Kota Ambon. Sebagai wilayah pusat pertumbuhan (growth pole) daya dorong (polarisasi) aktivitas ekonomi wilayah, Kota Ambon belum mampu atau lambat dalam memacu percepatan pembangunan ekonomi wilayah di sekitarnya (periphery) yakni kabupaten lainnya. Walaupun UU otonomi memberikan kewenangan pada setiap daerah untuk mengatur wilayahnya sendiri-sendiri tidak menjadikan kabupaten lainnya sebagai pusat pertumbuhan yang sama dengan Kota Ambon. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh Kota Ambon sebagai ibukota provinsi dan besarnya aktivitas ekonomi yang terpusat di kota ini. Oleh karena itu Kota Ambon harus berperan menjadi pusat pertumbuhan wilayah (growth pole) atau daerah inti (core region) bagi wilayah lainnya. Dengan mendorong atau memacu percepatan pembangunan

38 10 ekonomi wilayah disekitarnya maka akan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan wilayah baru (new growth poles) selain Kota Ambon dan satu-satunya pusat pertumbuhan (growth pole) di Provinsi Maluku (saluran distribusi). Pengaruh lain yang cukup mempengaruhi terlambatnya pembangunan di wilayah kabupaten lain adalah adanya pengertian yang salah dari masing-masing wilayah setelah otonomi. Dimana setiap wilayah mengembangkan konsep pengembangan sektor ekonomi yang sama dengan wilayah lainnya tanpa mengidentifikasi/menentukan sektor unggulan wilayahnya. Selain itu keegoisan masing-masing wilayah masih sering diperlihatkan tanpa memperhatikan kebutuhan (needs) atau keterkaiatan (linkages) antarsektor maupun antarwilayah. Dengan demikian pembangunan di era otonomi menjadi tidak terkendali atau ketidak terpaduan pembangunan antarwilayah bahkan secara nasional. Masingmasing daerah atau wilayah lebih mengutamakan kepentingan wilayahnya sendirisendiri. Semua faktor-faktor di atas mengakibatkan rendahnya pengelolaan perekonomian wilayah yang berdampak pada pertumbuhan atau kegiatan ekonomi yang tidak optimal dan menurunnya penerimaan Produk Domestik Regional Bruto, lambatnya produktivitas sektor-sektor strategis, rendahnya fungsi dan peran infrastruktur, tingkat pengangguran tinggi sehingga pendapatan perkapita masyarakat menjadi rendah dan berpengaruh buruk terhadap berbagai kegiatan ekonomi masyarakat di daerah. Hal ini juga turut mempengaruhi peringkat daya saing Provinsi Maluku secara nasional yang berada pada posisi lima terbawah dari kondisi neraca daya saing antar provinsi di Indonesia.(Bank Indonesia, 2002)

39 11 Sebagai wilayah kepulauan Provinsi Maluku perlu memperbaiki peringkat daya saing wilayahnya. Lemahnya daya saing dari provinsi ini sering disebabkan oleh belum mampunya mengidentifikasi/menentukan sektor-sektor unggulan (key sectors) dari wilayahnya. Hal ini terbukti sejak Tahun 1999 persentase investasi domestik (% terhadap PDRB) Provinsi Maluku menduduki peringkat ke-26 sebelum pemekaran provinsi dan berada pada peringkat ke-30 setelah adanya penambahan provinsi baru yaitu sebesar 2.17 persen. Laju pertumbuhan PDRB hanya sekitar 0.20 persen, laju pertumbuhan PMA sekitar 0.39 persen. Sebagai wilayah kepulauan penggunaan angkutan laut untuk barang (arus bongkar-muat) berada pada peringkat 23 dari 33 provinsi yakni hanya sekitar juta ton/tahun. Laju pertumbuhan produktivitas sektor jasa dari Tahun 1999 berada di peringkat 28 yaitu sebesar persen dari total laju pertumbuhan sektor jasa di seluruh provinsi di Indonesia (Bank Indonesia, 2002). Kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi (agglomerasi) di Kota Ambon menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) yang tidak mampu mendorong/memacu/menciptakan pusat pertumbuhan baru di wilayah lain. Dengan demikian hal ini menciptakan ketimpangan (disparitas) pembangunan ekonomi wilayah, sehingga menimbulkan keinginan pengembangan wilayah (outer island) seperti pemekaran wilayah-wilayah baru lainnya. Adanya proses pembangunan yang bersifat eksploitasi dimasa lalu dan lebih menitikberatkan pada pengembangan wilayah daratan (continental) daripada wilayah kepulauan (archipelago) lebih didasarkan pada kepentingan politis dari pemerintahan pusat yang mempercepat pemekaran wilayah.

40 12 Guna percepatan pembangunan wilayah dan pertumbuhan sektor-sektor unggulan ekonomi wilayah kepulauan diperlukan penciptaan pusat-pusat pengembangan atau pertumbuhan baru (new growth poles) di Provinsi Maluku. Hal ini dapat dilihat dari lemahnya daya pemancaran (spread effect) dan daya dorong (backwash effect) baik dari pusat pertumbuhan Kota Ambon ke wilayah lainnya hal ini terlihat dari kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang berbeda dari pusat-pusat pengembangan di Provinsi Maluku. Berdasarkan latar belakang penelitian memperlihatkan Provinsi Maluku belum mampu memberdayakan keunggulan sektoralnya yang berbasis maritim/bahari sesuai kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayahnya. Salah satu lemahnya daya saing sektor unggulan wilayah di Provinsi Maluku disebabkan juga karena lemah atau kurang tersedianya fasilitas pelayanan pusat pengembangan. Kurangnya kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah di Maluku dengan provinsi lain di Indonesia seharusnya menjadi rangsangan di dalam mempercepat arah dan strategi kebijakan daerah. Dengan kemampuan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah yang baik dan di dukung dengan kemampuan potensi lokal bahari/maritim akan mempercepat peningkatan pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah di masa depan. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu menentukan arah dan strategi kebijakan pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah yang terpadu antarwilayah, sesuai dengan pengembangan kawasan sentra produksi secara keseluruhan dan menyentuh aspek potensi lokal wilayah serta aspek ekonomi kerakyatan yang melibatkan masyarakat wilayah setempat.

41 13 Berdasarkan latar belakang, maka pokok permasalahan dari penelitian ini adalah : 1. Sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor unggulan (key sector) berdasarkan kriteria analisis struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages terhadap pengembangan ekonomi wilayah kepulauan berbasis local spesific di Provinsi Maluku? 2. Bagaimana konektivitas sektor-sektor ekonomi yang merupakan sektor unggulan (key sector) dan sektor pendukung (leading sector) dalam pengembangan kegiatan ekonomi wilayah kepulauan di Provinsi Maluku? 3. Bagaimana dampak peningkatan permintaan akhir output (output final demand impacts) dari sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan terhadap sektor lainnya dan total output Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan (archipelago)? 4. Apakah pusat-pusat pengembangan wilayah telah berperan atau berfungsi sesuai dengan kemampuan fasilitas pelayanan wilayahnya terhadap peningkatan sektor-sektor unggulan (key sector) yang berbasis local spesific wilayah kepulauan di Provinsi Maluku? 5. Apakah terjadi pergeseran pusat-pusat pengembangan wilayah sesuai dengan hirarki tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Maluku? 6. Bagaimana arah dan strategi kebijakan pembangunan struktur ekonomi wilayah kepulauan terhadap pengembangan sektor-sektor ekonomi unggulan kawasan sentra produksi dalam suatu aktivitas perekonomian wilayah kepulauan di Provinsi Maluku?

42 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi sektor-sektor unggulan (key sectors) berdasarkan kriteria analisis struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages yang berbasis local spesific di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. 2. Menganalisis sektor-sektor unggulan (key sector) berdasarkan kriteria analisis konektivitas struktur output dengan nilai tambah bruto, struktur output, nilai tambah bruto dengan multiplier effect, struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dengan intersectoral linkages di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. 3. Menganalisis dampak peningkatan permintaan akhir output (output final demand impact) sektor-sektor ekonomi wilayah kepulauan terhadap sektorsektor ekonomi berbasis wilayah kepulauan bahari/maritim dan total output Provinsi Maluku, sehingga pemerintah daerah mampu menentukan sektorsektor unggulannya yang berbasis wilayah kepulauan (archipelago). 4. Menganalisis peran atau fungsi pusat-pusat pengembangan wilayah berdasarkan kemampuan fasilitas pelayanan terhadap pengembangan sektorsektor unggulan (key sector) yang berbasis local spesific wilayah kepulauan. 5. Menganalisis hirarki tingkat perkembangan pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku. 6. Merekomendasikan arah dan strategi kebijakan pengembangan wilayah Kawasan Sentra Produksi (KSP) sesuai dengan potensi atau kapasitas lokal (local spesific) wilayah kepulauan Provinsi Maluku.

43 Kegunaan Penelitian Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menjawab berbagai permasalahan pengembangan wilayah di Indonesia, khususnya wilayah kepulauan dalam meningkatkan perekonomian wilayahnya. Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan ada tidak adanya keterkaitan antarwilayah dalam proses pengembangan perekonomian wilayah dan ketergantungan wilayah terhadap potensi lokal yang dimilikinya khususnya wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Kegunaan lain dari penelitian ini yaitu, memberikan kontribusi terhadap pola kebijakan yang secara efektif dapat meningkatkan perekonomian wilayah kepulauan Maluku. Kontribusi dari hasil penelitian diharapkan akan merubah paradigma pemahaman pembagunan wilayah kepuluan di era otonomi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terlebih penting dari semua yang telah diuraikan diatas yaitu, pembangunan wilayah kepulauan harus didasari pada pola kebijakan pembangunan yang berorientasi pada potensi atau kapasitas lokal sumberdaya kepulauan (local spesific/wisdom) Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Maluku dengan fokus penelitian pada pengembangan ekonomi wilayah berbasis karakteristik wilayah sebagai wilayah kepulauan (archipelago) dengan kekuatan kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah. Selanjutnya penelitian ini diarahkan untuk mengetahui atau menemukenali dan menganalisis sektor-sektor unggulan (key sectors) apa saja yang berbasis local spesific. Selain menemukenali dan menganalisis sektorsektor unggulan wilayah dengan pendekatan sektoral, penelitian ini juga melakukan pendekatan regional untuk menganalisis struktur atau hirarki pusat-

44 16 pusat pengembangan (kabupaten/kota) dengan kemampuan fasilitas pelayanannya sebagai pusat pengembangan wilayah yang dapat mendorong percepatan sektorsektor unggulan berbasis wilayah kepulauan di Provinsi Maluku. Berdasarkan analisis penelitian ini diharapkan mampu memberikan arah dan strategi kebijakan pengembangan ekonomi wilayah kepulauan sesuai lokasi kawasan sentra produksi. Dengan mengidentifikasi dan menentukan sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah dan aktivitas ekonomi lainnya yang didukung ketersediaan fungsi pelayanan wilayah dari berbagai keragaman pelayanan yang terdapat di pusat-pusat pelayanan dengan berbagai tingkatannya di Provinsi Maluku maka ruang lingkup penelitian ini hanya dilakukan pada sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan dan ketersediaan fasilitas pelayanan yang ada dan tersedia di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data makroekonomi yang bersifat sekunder. Dengan menganalisis sektor-sektor atau kegiatan ekonomi yang dikategorikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan berkontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Untuk analisis penelitian disesuaikan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian dengan meng-update berbagai data Input-Output (I-O) Provinsi Maluku sehingga dapat menjawab permasalahan yang selama ini dialami wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Hasil pengolahan data (I-O) akan didukung dengan analisis skalogram dalam menciptakan keterkaitan fungsional antar satuan pusat pengembangan. Keterkaitan fungsional pusat pengembangan dikembangkan berdasarkan keunggulan fasilitas pelayanan yang dimiliki oleh setiap pusat pengembangan

45 17 sehingga keunggulan yang dimiliki oleh satu pusat pengembangan mampu mempengaruhi wilayah disekitarnya Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan adalah tidak semua wilayah kabupaten di wilayah ini yang diteliti karena, pada beberapa wilayah administrasi yang baru dimekarkan pada tahun 2003 tidak dilakukan pengkajian terhadap wilayah/daerah tersebut. Hanya pada beberapa kabupaten/kota yang telah dimekarkan sejak tahun 2000 sampai tahun 2002 saja yang dilakukan pada penelitian ini. Hal ini berkaitan dengan kesulitan memperoleh data pada wilayah-wilayah pemekaran baru diatas tahun Keterbatasan penelitian ini dapat diatasi bila ada peneliti yang ingin melakukan penelitian seperti yang dilakukan oleh peneliti terdahulu, karena bagi peneliti berikutnya mengenai permasalahan keterbatasan data di daerah-daerah yang baru dimekarkan diatas tahun 2002 sudah dapat diperoleh untuk penelitian berikutnya.

46 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis Perwilayahan Pembangunan dan Pembangunan Wilayah Tinjauan pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pendekatan secara komprehensif, mendalam dan terperinci, sehingga dapat menghasilkan suatu rangkuman penelitian yang terukur dan terarah. Kemudian dikembangkan menjadi proposisi-proposisi untuk mengarahkan penelitian ini menjawab permasalahan penelitian dimaksud. Bertolak dari maksud tersebut, tinjauan pustaka diarahkan pada beberapa tinjauan yaitu: pertama) tinjauan terhadap pandangan-pandangan pemikiran teoritis yang digunakan sebagai landasan teori pada penelitian ini. kedua) mengemukakan beberapa studi atau penelitian sejenis yang dapat menunjukkan berbagai fenomena dan rujukan analisis terhadap pengembangan kawasan sentra produksi pada wilayah kepulauan. Dengan demikian pembangunan yang seimbang atas dasar kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah dalam bingkai negara kepulauan (archipelagic state) dapat mewujudkan azas pemerataan berdasarkan kekuatan potensi ekonomi lokal yang berbasis local spesific wilayah. Pembangunan adalah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan dapat memenuhi taraf kesejahteraan masyarakat, dimana pembangunan itu sendiri tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok saja tetapi juga mempunyai kebutuhan lainnya yang sangat banyak jumlahnya (Adisasmita, 2005). Sementara pembangunan wilayah muncul atau berkembang karena adanya ketidakpuasan dari pakar

47 20 ilmu sosial ekonomi terhadap rendahnya perhatian dan analisis ekonomi yang berdimensi spasial. Menurut Misra (1977), pembangunan wilayah merupakan ilmu pengatahuan yang bukan hanya merupakan pendisagregasian pembangunan nasional tetapi pembangunan wilayah terletak pada perlakuan terhadap dimensi spasial. Perlakuan tersebut menyebabkan keterbelakangan suatu wilayah yang dipengaruhi oleh rendahnya tingkat aktivitas perekonomian wilayah, misalnya daya tarik wilayah, kondisi sumberdaya alam maupun manusia serta rendahnya insentif yang ditawarkan. Insentif dapat bervariasi dari infrastruktur sampai pada persoalan kenyamanan dan keamanan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan menurut Abustan (1998), pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan usaha yang luas cakupannya serta tidak terbatas pada pengembangan daerah pusat (growth) saja tetapi pengembangan tersebut harus meliputi daerah belakangnya (hinterland). Di sisi lain menurut Azis (1994), daya tarik suatu wilayah dapat dilihat dari berbagai keuntungan yang bersumber dari gejala spasial (spatialjuxtaposition), seperti sejauh mana suatu kebijakan dapat mempengaruhi atau menciptakan berbagai kebijakan serta insentif yang ditawarkan untuk mengembangkan wilayah-wilayah terbelakang. Jenis insentif yang paling tepat untuk suatu wilayah ditentukan oleh sifat kegiatan ekonomi yang ingin dibuatnya. Meskipun kadang-kadang kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan kadang-kadang insentif tersebut tidak diciptakan tetapi insentif tersebut sangat perlu untuk diciptakan dan infrastruktur harus diusahakan menjadi semakin memadai, karena berhubungan dengan adanya

48 21 unsur keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) dan pengembangan sektor unggulan (key sector) wilayah tersebut. Bila ditinjau dari aspek lokasi (location) maka pembangunan yang tidak didasarkan pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah serta keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) akan sulit untuk memacu atau mendorong setiap wilayah meningkatkan perekonomian atau aktivitas produktivitas ekonomi wilayahnya. Keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) maupun potensi lokal (local spesific) wilayah merupakan faktor positif, baik ditinjau secara politis maupun dari segi kepentingan integrasi ekonomi wilayah (daerah) maupun nasional serta turut mempengaruhi wilayah (periphery) di sekitar wilayah pusat pertumbuhan (growth pole) yang lambat perkembangan perekonomiannya. Menurut Budiharsono (2001), pembangunan wilayah tidak hanya terletak pada perlakuan dimensi spatial, tetapi setidaknya perlu ditopang oleh enam pilar analisis yaitu: analisis biogeofisik, sosiobudaya, kelembagaan, Lingkungan, lokasi, dan ekonomi seperti Gambar 1. Sumber: Budiharsono, 2001 Gambar.1 Enam Pilar Penopang Pembangunan Wilayah

49 22 Analisis ekonomi merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi wilayah sehingga perlu dilakukan sebagai upaya pemanfaatan tata ruang wilayah yang berbasis pada potensi lokal (local spesific). Bila dianalisis secara mendalam sebenarnya pertimbangan-pertimbangan dalam membuat konsep perwilayahan seperti yang dikemukakan oleh Nijkamp (1979), yaitu dengan menggabungkan konsep perwilayahan seperti: 1. Homogenous Region, yaitu pengelompokan wilayah yang didasarkan pada unsur kedekatan dengan karakteristik yang sama atau hampir bersamaan seperti pertanian, peternakan dan perikanan sehingga didalam pembangunan wilayah dapat dirumuskan dengan kebijakan atau pola program yang sesuai dengan potensi wilayah-wilayah yang bersangkutan. 2. Konsep Nodal Region atau Kosep Polarized Region, yaitu konsep yang lebih banyak menekankan pada aspek distribusi dan transportasi atau lebih tegasnya konsep ini lebih banyak diterapkan dengan memperhatikan tingkat keterkaitan antar masing-masing sub wilayah. 3. Administration Region, yaitu konsep perwilyahan yang lebih difokuskan pada wilayah administrasi. Pada saat wilayah yang telah didasarkan sesuai pada otonomisasi daerah. McCann (2001), mengartikan wilayah sesuai dengan konsep poles de croisance atau konsep Growth Poles seperti yang dikemukakan oleh Perroux (1950), yaitu wilayah sebagai kutub pertumbuhan atau pusat pertumbuhan. Penekanan wilayah oleh McCann lebih pada pengertian kutub pertumbuhan dalam ruang ekonomi. Dimana ruang ekonomi sebagai unit yang paling dominan atau yang memegang peran utama pada pengembangan wilayah.

50 23 Adanya kecenderungan terkonsentrasinya aktivitas pembangunan karena fasilitas pelayanan yang lebih lengkap pada wilayah tertentu untuk sektor-sektor tertentu seperti perdagangan, perindustrian, jasa, transportasi dan komunikasi di wilayah pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan antarwilayah (regional disparity) yang semakin melebar di wilayah tersebut. Bila perwilayahan pembangunan didasarkan pada prinsip pemusatan (agglomerasi) maka pusat perekonomian wilayah atau aktivitas ekonomi seluruhnya terkonsentrasi di pusat wilayahnya sendiri. Sedangkan wilayah pinggiran (periphery) aktivitas ekonomi wilayahnya akan berada pada wilayah yang lebih kecil dengan aktivitas ekonomi yang sangat rendah di wilayahnya juga. Menurut Christaller (1933), dan Reksohadiprodjo (2001), perwilayahan pembangunan pada wilayah pusat (kota/growth centres) lebih cepat mengalami kemajuan karena didukung oleh ketersediaan tanah yang produktif. Dengan demikian apa yang disebut dengan tempat sentral (central palace) pada hakikatnya adalah pusat wilayah (kota). Sehingga muncul berberapa anggapan yang disampaikan oleh Christaller dan Losch (1940), seperti: 1. Hanya ada dua kegiatan yaitu kegiatan di wilayah central/pusat/kota dan di wilayah pheryperi/pinggiran/desa. 2. Kegiatan di wilayah pinggiran yaitu pemakaian ekstensif tanah untuk pertanian serta tidak ada ekonomi aglomerasi 3. Kegiatan tempat central/pusat merupakan pemakaian intensif tanah dan sifatnya ekonomi aglomerasi 4. Masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut saling membutuhkan hasil kegiatan masing-masing

51 24 5. Kualitas tanah sama dan ongkos transport proposional dengan jarak 6. Kegiatan pada wilayah pinggiran dan permintaan terhadap hasil pusat/kota berdistribusi yang sama Berbagai aktivitas kegiatan pembangunan suatu wilayah seperti di atas harus didasarkan pada berbagai perencanaan pembangunan wilayah. Menurut Sukirno (1976), perlu dilakukan beberapa pendekatan yang lebih dikenal dengan pendekatan perwilayahan berdasarkan administrasi seperti: 1. Perencanaan dan pembangunan ekonomi wilayah lebih mudah dilaksanakan karena berbagai kebijakan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari suatu wilayah administrasi tersebut. 2. Wilayah yang batasnya ditentukan dengan berdasarkan pada satuan administrasi lebih mudah untuk diamati atau dianalisis, hal ini berkaitan dengan berbagai data yang telah lama dilakukan. Berkaitan dengan Sukirno maka dalam era globalisasi dewasa ini, prinsip efisiensi dalam alokasi sumberdaya (resources alocation) yang optimal akan berkembang menjadi berbagai alokasi produk (product alocation) yang menjangkau pasar secara luas seperti yang dikemukakan oleh Porter (1990), sebagai berikut: 1. Memasuki pasar global maka tidak ada lagi pembatas dalam alokasi sumberdaya dan alokasi pasar 2. Kegiatan ekonomi menjadi Stateless, tidak ada batas negara artinya yang menggunakan tidak harus yang menghasilkan. 3. Adanya pemahaman tentang Resources Basedless artinya perencanaan dan pembangunan wilayah sudah tidak bergantung pada asal faktor produksi.

52 25 Menurut Hidayat (2000), ada beberapa alasan pokok mengapa pembagunan daerah atau wilayah pada era otonomi perlu dilakukan yaitu : 1. Political equlity 2. local accountability 3. local responsiveness Ketiga unsur di atas sangat penting bagi upaya peningkatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial di daerah. Namun dari ke tiga alasan pokok diatas sering yang menjadi perhatian utama adalah political equity karena ingin menyenangkan masyarakat setempat tanpa memperhatikan alasan pokok lainnya. Pembangunan wilayah pada era otonomi daerah seharusnya dapat mengembangkan dan mempercepat daya serta laju pertumbuhan yang kuat dalam lingkungan wilayahnya dan dapat mendorong perkembangan wilayah disekitar yang relatif lebih terbelakang (Adisasmita, 2005). Sedangkan menurut Ariani dan Saliem (2002), dalam era globalisasi dan perdagangan bebas yang sangat kompetitif, Indonesia akan menghadapi tantangan berat dalam merumuskan kebijakan pangan yang mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Untuk itu dalam kondisi demikian, ketersediaan pangan ditingkat wilayah baik nasional maupun regional harus dapat dipacu serta lebih berorientasi pada pasar internasional dengan mendahulukan kepentingan nasional melalui percepatan pembangunan wilayah dengan local spesific yang dimiliki wilayah tersebut. Wacana-wacana tentang konsep pembangunan wilayah atau pengembangan wilayah bukan merupakan hal baru, namun implementasi model pembangunan wilayah yang lebih berorientasi pada otonomi relatif masih terbatas

53 26 di Indonesia. Secara umum konsep dasar pembangunan ini telah diperkenalkan oleh Tiebout (1956), Isard (1960), dan Rusastra (2004), dimana konsep dasar paradigmanya sebagai berikut: 1. Sinergisme hubungan antar wilayah pusat maupun wilayah belakang (hinterland), membutuhkan dukungan kelembagaan (pemerintah daerah) sehingga terjadi re-distribusi sumberdaya dan komoditas berdasarkan prinsip ekonomi. 2. Akumulasi modal dapat diatasi melalui mekanisme pasar sehingga terjadi realokasi modal dengan sasaran manfaat sosial yang lebih optimal. 3. Terjadinya kemunduran (diminishing return) di pusat pertumbuhan (growth pole) pada suatu waktu tertentu akan menjadi kenyataan, sebagai akibat dari berkembangnya wilayah-wilayah terbelakang (hinterland). Harun (2005), mengemukakan bahwa pembangunan wilayah sebaiknya tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan wilayah yang didasarkan atau dipengaruhi oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi oleh economic of scale dan economic of scope dari kawasan pengembangan yang dirancang. Pengembangan wilayah yang diharapkan adalah dengan memperhatikan karakteristik, realitas dan eksistensi perkembangan kawasan pengembangan di daerah tersebut. Ohlin (1933), dan Sjafrizal (1998), mengatakan bahwa pembangunan wilayah bila didasarkan pada sudut pandang Teori Lokasi (Export-Base Models) maka pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (region) akan lebih banyak ditentukan oleh keuntungan lokasi yang selanjutnya dapat digunakan oleh wilayah tersebut sebagai kekuatan ekspor.

54 27 Menurut Hikam (1997), wilayah yang memiliki keuntungan lokasi dapat menentukan wilayahnya sebagai kawasan produksi yang didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti: 1. Wilayah tersebut merupakan pusat kegiatan industri dan perdagangan. 2. Wilayah tersebut memiliki kekuatan dalam mendorong (push) kegiatan ekonomi daerah belakangnya (hinterland). 3. Wilayah tersebut memiliki kualitas infrastruktur yang memadai untuk mendukung kegiatan ekonomi. Adam (1994), mengemukakan secara konseptual masalah-masalah yang dihadapi setiap wilayah bersumber dari perbedaan karakteristik ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah. Dengan membiarkan setiap wilayah membangun wilayahnya sendiri-sendiri maka keseimbangan pembangunan yang diharapkan akan sangat mengandung resiko yang cukup besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Untuk itu pembangunan wilayah memerlukan intervensi dengan menyusun pola pembangunan terpadu baik ditingkat daerah maupun pusat. Menurut Ursula (1957), bahwa pembangunan ekonomi wilayah sangat berkaitan dengan kemampuan atau kapasitas potensi lokal yang dimiliki oleh wilayah tersebut baik di wilayah pusat (pole/core) maupun wilayah belakangnya (periphery). Sedangkan Jhingan (1975), menyatakan perkembangan ekonomi wilayah sebagai suatu perubahan yang terjadi pada faktor-faktor ekonomi yang menentukan pertumbuhan wilayah. Faktor-faktor ekonomi tersebut dapat mendorong dan mempercepat perubahan perkembangan ekonomi wilayahnya.

55 28 Harmon dan Mayer (1986), Mustopadidjaja (1996), berpendapat bahwa pembangunan wilayah harus berpatokan pada beberapa hal yaitu: 1. Prakarsa dan pengambilan keputusan harus dilakukan secara bertahap dan memenuhi kebutuhan yang diletakkan pada masyarakat itu sendiri (partisipatoris). 2. Adanya kemampuan dari masyarkat wilayah itu untuk mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang ada (local spesific). 3. Karakteristik wilayah. 4. Penekanan pada social learning antara birokrat dengan masyarakat. 5. Adanya jaringan (networking) antara birokrat dengan masyarakat atau dengan lembaga swadaya masyarakat. Menurut Lincolin (1999), perbedaan karakteristik atau kondisi wilayah membawa implikasi pada corak pembangunan yang diterapkan berbeda pada wilayah-wilayah tersebut. Peniruan pola kebijakan yang diadopsi mentah-mentah dari keberhasilan pembangunan wilayah lain belum tentu berhasil pada wilayah lainnya. Pola kebijakan seperti ini biasanya tidak berhasil bila diterapkan pada wilayah kepulauan seperti Indonesia (archipelagic state/archipelago). Oleh sebab itu kebijakan pembangunan yang diterapkan pada suatu wilayah harus sesuai dengan kondisi potensi, kebutuhan dan masalah wilayah yang bersangkutan. Untuk itu berbagai penelitian yang mendalam tentang potensi atau kapasitas wilayah harus dilakukan sesegera mungkin sehingga berguna dalam menentukan pola kebijakan perencanaan pembangunan wilayah tersebut khususnya wilayah kepulauan (archipelago) yang berbeda dengan wilayah daratan (continental).

56 29 Sampai saat ini belum banyak penelitian tentang proses perkembangan pembangunan ekonomi wilayah ditinjau dari aspek kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah sehingga sulit memberikan gambaran tentang pola perkembangan pembangunan wilayah di suatu negara. Namun secara global dapat dikatakan bahwa regionalisasi kegiatan ekonomi suatu wilayah berhubungan erat dengan pola perkembangan peranan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat dalam keseluruhan kegiatan ekonomi disetiap wilayahnya. Menurut Streeten (1981), kurangnya perhatian masyarakat dan bahkan mungkin tidak mau menerima perubahan kegiatan ekonomi yang dianjurkan pemerintah, seolah-olah mereka menolak niat baik pemerintah untuk meningkat taraf hidup mereka. Streeten melihat penolakan masyarakat terhadap perubahan yang diingini pemerintah karena masyarakat memandang dari sisi lain. Hal ini menurutnya berkaitan dengan modal yang harus dikeluarkan oleh masyarakat yang bila pada suatu waktu pada kenyataannya hasil yang diperoleh tidak dapat diharapkan sehingga pada akhirnya masyarakat harus mengorbankan harga diri mereka dengan terpaksa harus menjual harta benda mereka, karena adanya kesalahan mengidentifikasi masalah oleh pemerintah atau pembuat kebijakan. Dengan demikian pembangunan wilayah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi bagaimana keikutsertaan masyarakat dalam penentuan proses pelaksanaan pembangunan di wilayahnya sehingga apa yang masih menjadi keraguan di kalangan masyarakat menjadi suatu kepastian dapat dapat meningkatkan taraf hidup serta tidak mengkuatirkan kelangsungan hidup mereka sehari-hari.

57 Penataan Ruang Wilayah Menurut Asyiawati (2002), bentuk-bentuk penataan ruang wilayah dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. 2. Penataan ruang berdasarkan aspek administrasi tata ruang administrasi meliputi rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan tata ruang kabupaten/ kota. 3. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu seperti kegiatan pembangunan skala besar untuk kegiatan industri, pariwisata beserta sarana dan prasarananya. Sementara Misra (1981), mengatakan pengembangan spatial meliputi dua faktor utama yaitu: 1. Adanya pola pemukiman di dalam wilayah. 2. Adanya tata guna lahan yang dikelola secara optimal dan eksploitasi sumberdaya yang terkendali. Menurut Wikantiyoso (1996), tantangan pembangunan wilayah pusat terletak pada penciptaan keseimbangan wilayah sehingga diperlukan keterpaduan pembangunan ekonomi dengan kebijakan pengembangan tata ruang (spatial) wilayah dalam skala regional. Parlindungan (1993), menjelaskan Undang-undang No.24 tahun 1992 tentang penataan ruang meliputi:

58 31 1. Pencapaian tata ruang kawasan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang dalam pembangunan. 2. Meningkatkan fungsi kawasan antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat. 3. Menata atau mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif dari pengelolaan lingkungan alam, lingkungan alam buatan dan lingkungan sosial. Undang-undang penataan ruang wilayah nasional maupun provinsi secara makro sudah mulai diperdebatkan sejak Desember tahun 1977 di kota Ambon. Dalam perkembangannya kerangka teoretis penataan ruang wilayah didasarkan pada sejumlah sistem yang telah berkembang sampai dewasa ini. Dalam undang-undang penataan ruang wilayah yang dimaksudkan dengan: 1. Ruang adalah: wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah. Tempat dimana manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. 2. Tata Ruang adalah: wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. 3. Penataan ruang adalah: proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 4. Rencana Tata Ruang adalah: hasil perencanaan tata ruang. 5. Wilayah adalah: ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur-unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. 6. Kawasan adalah: wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.

59 32 7. Kawasan Sentra Produksi adalah: wilayah yang kegiatan ekonominya terkonsentrasi pada suatu aktivitas ekonomi tertentu dengan pemanfaatan ruang serta unsur yang terkait padanya sesuai aspek fungsional dan potensi lokal wilayahnya. Sistematika undang-undang penataan ruang wilayah diatur berdasarkan: 1. Tata Ruang Administratif yakni, tata ruang nasional, tata ruang daerah (provinsi, kabupaten dan kota). 2. Fungsi Kawasan yakni, fungsi yang didasarkan pada aspek kegiatan kawasan yang meliputi, fungsi perdesaan, perkotaan dan fungsi kawasan tertentu dengan memperhatikan aspek keserasian, keselarasan, keseimbangan fungsi budi daya, pengelolaan secara terpadu dan fungsi lindung (Parlindungan, 1993) Wilayah kepulauan Provinsi Maluku adalah salah satu wilayah yang penataan ruangnya harus berorientasi pada aspek ruang kelautan (bahari/maritim). Hal ini disebabkan karena laut adalah matra ruang dari pola dasar pembangunan daerah serta menjadi acuan untuk penyusunan berbagai kebijakan pembangunan tentang pemanfaatan ruang wilayahnya. Untuk mewujudkan keterkaitan, keselarasan dan keseimbangan perkembangan wilayah maka salah satu pengembangan kawasan di daerah ini di arahkan pada pengembangan kawasan sentara produksi yang berorientasi pada pemanfaatan kawasan yang disesuaikan dengan aspek sosial budaya, ekonomi dan aspek keuntungan lokasi (locational) berbasis kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayahnya.

60 33 Provinsi Maluku di era otonomi memiliki beberapa wilayah otonomnya (kabupaten/kota) dengan otonomi yang luas maka sesegera mungkin melakukan berbagai model perubahan arah dan strategi kebijakan dalam pengembangan wilayahnya. Berkaitan dengan hal tersebut Provinsi Maluku secara makro memiliki kemampuan untuk mengembangkan wilayahnya dengan memanfaatkan peluang-peluang yang bersifat lokal, nasional maupun global. Peluang wilayah lokal tersebut seperti kapasitas dan potensi lokal wilayah (local spesific) dengan berbasis pada keunggulan sektoral wilayahnya seperti sektor bahari/maritim. Pada umumnya penataan ruang wilayah diarahkan untuk dapat: 1. Menyusun arahan pengembangan wilayah. 2. Memanfaatkan pedoman pemanfaatan ruang secara terpadu dan menjadi acuan pembangunan. 3. Memadukan keserasian penataan ruang kabupaten, kota dan provinsi. 4. Melakukan revisi terhadap rencana-rencana tata ruang wilayah atau arah dan strategi kebijakan pembangunan ekonomi wilayah yang tidak sesuai dengan kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah. Sasaran yang dicapai dalam penataan ruang wilayah berfungsi untuk: 1. Merumuskan arahan pengelolaan kawasan seperti, kawasan lindung, budidaya/sentra produksi. 2. Merumuskan arahan pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan dan kawasan tertentu. 3. Merumuskan arahan pengembangan kawasan-kawasan yang menjadi prioritas pengembangan selama jangka waktu yang diperlukan.

61 34 4. Merumuskan arahan kebijakan penatagunaan lahan/tanah, air, udara, hutan, mineral dan sumber daya alam lainnya. Keberhasilan pengembangan kawasan sentra produksi akan memfasilitasi pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota untuk memacu dan menerapkan prinsip-prinsip otonomi yang didasarkan pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific). Orientasi wilayah dengan menerapkan prinsip otonomi haruslah didasarkan pada keunggulan spasial dan potensi lokal wilayah tersebut. Prinsip seperti ini didukung oleh karakteristik setiap wilayah yang heterogen dan memiliki potensi atau keunggulan yang besar antarwilayah (interregional linkages) dengan wilayah lainnya serta intersectoral linkages. Keunggulan potensi local (local spesific) tersebut seharusnya mampu menjadi modal dasar sebagai penggerak utama (prime mover) pembangunan ekonomi wilayah. Penetapan 21 Kawasan Strategis Nasional (KSN) oleh Direktur Penataan Ruang Wilayah dari sudut kepentingan ekonomi nasional belum memperlihatkan peran yang menonjol dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kawasan Strategis Nasional dimaksud hanya memperhatikan berbagai kebijakan pengembangan wilayah pada Kawasan Barat Indonesia dengan penetapan kawasan andalan darat dan laut di Kawasan ini. Dengan penetapan kawasan strategis tanpa memperhatikan potensi jangka panjang wilayah maka sudah tentu akan menimbulkan kecemburuan di antara wilayah khususnya Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia. Kawasan Strategis Nasional sebaiknya tidak diarahkan hanya pada salah satu wilayah tetapi harus didasarkan pada kapasitas atau potensi wilayah yang saling berkaitan antara potensi wilayah andalan laut dengan wilayah darat, antara

62 35 wilayah timur dengan laut sebagai andalannya dan wilayah barat dengan potensi daratnya. Sehingga wilayah-wilayah ini akan berada pada suatu kawasan yang saling membutuhkan dengan tidak merugikan wilayah lain atau saling menguntungkan. Pengembangan seperti hal di atas biasanya lebih dikenal dengan istilah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) namun sampai saat ini konsep-konsep yang bagus belum dan tidak mendapat respon karena banyak pengambil kebijakan di pusat maupun di daerah tidak memahami betapa pentingnya suatu konsep dalam mengembangkan wilayahnya maupun wilayah di sekitarnya dengan lebih dulu menemukenali atau mengidentifikasi dan menentukan potensi lokal wilayah (local spesific) berbasis karakteristik wilayah itu sendiri Konsep Pusat Pengembangan Wilayah Richardson (1978), mengemukakan bahwa pusat pengembangan wilayah meliputi empat unsur yaitu : 1. Harus ada sekumpulan kegiatan atau industri pada suatu tempat atau lokasi tertentu. 2. Mampu menggerakkan atau merangsang pertumbuhan ekonomi yang dinamis. 3. Industri yang berada dalam satu kawasan dan saling terkait antara satu dengan lainnya. 4. Harus ada industri induk. Lokasi geografis seperti wilayah kepulauan dapat memberikan manfaat dan keuntungan antarwilayah (interregional) bila terjadi keuntungan agglomerasi yang diperoleh dari lokasi sumberdaya, tenaga kerja dan fasilitas prasarana

63 36 lainnya. Menurut Perroux (1955), pusat pengembangan wilayah melalui pemanfaatan Agglomeration Economic yaitu : 1. Scale Economies 2. Localization Economies 3. Urbanization Economies Scale Economies dimaksudkan semacam keuntungan yang dapat timbul dari pusat pengembangan dimana industri yang bergabung di dalamnya dapat menjalankan kegiatan produksi dengan skala besar, karena terjaminnya kebutuhan terhadap bahan baku, maupun pemasaran hasil produksi. Localization Economies yaitu adanya penekanan ongkos produksi, karena adanya saling keterkaitan antar industri, sehingga kebutuhan akan bahan baku dengan ongkos transportasi yang minimum dapat diwujudkan. Sedangkan Urbanization Economies timbul karena adanya fasilitas-fasilitas pelayanan sosial, ekonomi dan lainnya yang dapat dipergunakan secara bersama-sama sehingga ongkos dapat ditekankan. Menurut Wibisono (2005), pusat pengembangan wilayah (regional) di Indonesia menjadi sangat penting karena beberapa alasan yaitu: 1. Alasan politik maksudnya dengan keragaman etnik yang begitu pural, tidak ada isu yang lebih sensitif selain isu kedaerahan. 2. Alasan disparitas pendapatan regional maksudnya pembagian pendapatan yang bersumber dari distribusi pendapatan sumber daya alam yang sangat tidak merata. 3. Alasan dinamika spasial maksudnya daerah harus memegang peran penting dalam kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan masyarakat daerah tersebut.

64 37 4. Alasan desentralisasi maksudnya bagaimana hubungan antar daerah dapat dilakukan, seberapa besar desentralisasi harus diberikan kepada daerah agar desentralisasi tetap dapat dilaksanakan secara konsisten dengan tujuan kesatuan dan persatuan nasional. Sedangkan menurut Weber (1979), Hoover (1948), Mills (1972), dan Juoro (1989), dikatakan bahwa konsep pusat pengembangan ditujukan untuk menjadikan suatu wilayah lebih terkonsentrasi (agglomerasi) dari seluruh aktivitas ekonomi, hal seperti ini terjadi karena: 1. Pendekatan keberagaman (diversity) sumberdaya, skala ekonomi (scale of economies) produksi dan aglomerasi konsumen. 2. Faktor-faktor unik yang dimiliki oleh wilayah tersebut. 3. Adanya kegiatan ekonomi berskala besar (large-scale economies). 4. Adanya ekonomi lokalisasi (localization economies). Model pusat pengembangan wilayah oleh Dixit (1977), lebih ditekankan pada pengertian kota sebagai pusat aktivitas dan lebih bersifat umum. Tema utama dari penulisannya adalah ukuran pusat pengembangan (optimum size), yang ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi (economies of scale in production), dan disekonomi (diseconomies) transportasi. Fujita dan Jacques (2002), melihat pusat pengembangan wilayah dari sisi eksternal terhadap suatu industri dimana ekonomi urbanisasi (urbanization economies) sangat dipengaruhi oleh adanya ekonomi lokalisasi yaitu lokalisasi ini merupakan faktor eksternal terhadap aktivitas ekonomi (perusahaan) pada suatu lokasi tertentu tetapi internal terhadap industrinya. Di sisi lain Warpani (1984), menyatakan bahwa ada tiga hubungan yang dapat diklasifikasikan dalam hal

65 38 keterkaitan atau ketergantungan antara suatu aktivitas ekonomi disuatu wilayah dengan aktivitas ekonomi lainnya dan wilayah diluar wilayah tersebut. Ketiga macam hubungan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hubungan langsung yaitu; pengaruh yang secara langsung dirasakan oleh sektor yang menggunakan input dari output sektor yang bersangkutan. 2. Hubungan tidak langsung yaitu; pengaruh terhadap suatu sektor yang outputnya tidak digunakan sebagai input bagi output sektor yang bersangkutan. 3. Hubungan sampingan yaitu; pengaruh tidak langsung yang jangkauannya lebih panjang daripada pengaruh langsung tersebut diatas. Menurut Chen dan Mattoo (2004), mengatakan perkembangan perdagangan yang sangat cepat dan lebih bervariasi memberikan dampaknya bagi pengembangan pembangunan perwilayahan. Pembangunan perwilayahan sudah tidak dibatasi lagi antara wilayah perbatasan atau wilayah pinggiran (periphery) dengan wilayah pusat pengembangan(growth center). Hal inilah yang menurut Chen dampak dari adanya perdagangan antarwilayah baik dari dan ke pusat wilayah maupun wilayah pinggiran secara signifikan memberikan dampak yang positif bagi perdagangan yang dilakukan oleh satu wilayah dengan wilayah lain bahkan lebih dari beberapa wilayah disekitarnya. Untuk itu apa yang menjadi harapan Sun dan Cheol (2006), dikatakan bahwa antara pemerintah pusat dan daerah dapat saling memperkuat daya saing antar daerah. Selanjutnya untuk menciptakan daya saing antar daerah diperlukan peran pemerintah dalam melakukan intervensi dengan membuat reformasi kebijakan untuk meningkatkan efisiensi setidaknya untuk menciptakan iklim

66 39 investasi di daerah tersebut. Hubungan pemerintah pusat dan daerah berhubungan seperti saudara kembar yakni kebijakan yang dibuat akan dilakukan dengan satu tujuan memperbaiki kehidupan masyarakat, sementara koordinasi antar lembaga pemerintah semuanya harus berjalan dalam satu koordinasi dan setiap lembaga memiliki tujuan yang sama sehingga tidak perlu khawatir akan terjadi ego diantara lembaga pemerintah itu sendiri. Alonso (1964), Mills (1972), Muth (1969), dan McCann (2001), melihat adanya peran wilayah penyangga (sub wilayah) dengan pusat wilayah (wilayah utama/kota) dimana dengan adanya wilayah penyangga maka dapat merangsang atau mempengaruhi perdagangan antarwilayah (interregional) disekitarnya. Atas dasar kemampuan atau kapasitas yang sesuai dengan ruang wilayahnya semua aktivitas perdagangan dapat dikelola atau dipusatkan pada suatu wilayah spesifik seperti yang dikenal dengan pengembangan Kawasan Industri Makassar (KIM) di Makassar, Bekasi, Tangerang. Alonso (1966), menyebutnya dengan Central Business District (CBD) yaitu aktivitas perdagangan yang dilakukan terpusat pada suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah seperti ini semua unsur diasumsi homogen kecuali jarak. Konsep seperti ini oleh Thunen hanya terfokus pada satu dimensi saja yakni pada CBD dimana CBD berperan sebagai pengganti kota yaitu sebagai pusat pasar atau pusat perdagangan sebab suatu wilayah akan terbatas pada lahan yang tersedia karena akan digunakan untuk berbagai aktivitas lain selain aktivitas produksi atau perdagangan. Pemahaman pusat pengembangan wilayah seperti diatas sudah sangat sulit diterima, karena perencanaan pembangunan wilayah atas dasar Growth pole tidak dibatasi lagi oleh ruang wilayah pusat wilayah tersebut. Oleh sebab itu

67 40 menurut Stamer-Meyer (2003), dikatakan pemahaman tentang pengembangan pusat wilayah atas dasar ekonomi lokal dengan pembangunan wilayah itu sendiri (regional) memiliki perbedaan yang sulit ditentukan. Perbedaan pembangunan ekonomi wilayah lokal dengan pembangunan wilayah (regional) cenderung dipahami oleh beberapa orang dengan pembangunan ekonomi regional. Pengembangan pusat wilayah tidak saja pada aspek ekonomi wilayah lokal namun didasarkan juga pada aspek pemberdayaan wilayah regional. Sehingga konsep pemahaman ekonomi lokal atau regional tidak dibatasi lagi oleh tempat dan ruang wilayah. Pemahaman lokal maupun regional diarahkan pada setiap wilayah yang mengembangkan keunggulan sektoralnya sebagai potensi lokal wilayah dan didukung kelengkapan fasilitas pelayanan sehingga mampu mendorong atau memacu perkembangan wilayahnya yang lebih baik. Adisasmita, R. (1997), (2008), Rondinelli (1985), Hadjisarosa (1976), Boudenville (1966), dan Tarigan (2004), mengemukakan beberapa kebijakan pengembangan wilayah yang pernah diterapkan di beberapa negara berdasarkan asumsi karakteristik wilayah daratan dimana rona wilayahnya dianggap sama (homogen) seperti: 1. India dengan sistem perencanaan pembangunan wilayah yang di dasarkan pada perencanaan tingkat blok. Perencanaan ini memperlihatkan bahwa suatu wilayah yang dipusatkan pada suatu area akan meningkatkan aktivitas pada wilayah tersebut. Dengan demikian akan menciptakan pusat pengembangan wilayah terhadap wilayah pendukung lainnya (sistem zoning). Biasanya kebijakan seperti ini di dasarkan pada keingginan meningkatkan ekonomi perkotaan (konsep pembangunan ekonomi wilayah daratan).

68 41 2. Peru, Equador, Kenya dan beberapa negara Afrika lainnya lebih menitik beratkan sistem pengembangan wilayah melalui penciptaan pusat-pusat pasar di setiap wilayahnya yang saling berdekatan. Kebijakan di negara-negara ini juga memperlihatkan penerapan pembangunan yang di dasarkan pada sistem zoning. Dengan sistem ini maka aspek jarak dan ongkos transporatsi dianggap sama (membuktikan bahwa sistem ini menganut sistem kebijakan pembangunan ekonomi wilayah daratan). 3. Malawi dan Thailand pada sistem jenjang penciptaan pusat pertumbuhan melalui kapasitas atau potensi lokal di wilayahnya. Kebijakan pengembangan wilayah di negara-negara ini lebih ditujukan pada penentuan sektor unggulan wilayah (berbasis potensi lokal wilayah). Bila di lihat dari konsep kebijakan seperti yang di lakukan oleh ke dua negara ini maka keterhubungan dan ketergantungan wilayah menetapkan balancing growth seperti pada teori lokasi model Von Thunen. Dengan demikian konsep ini merupakan sistem zoning yang berlaku pada kebijakan pembangunan wilayah daratan. 4. Bolivia, Philipina dan Malaysia lebih menekankan pentingnya sistem pengembangan wilayah melalui peningkatan fungsi-fungsi pelayanan perkotaan dengan daerah perdesaan. Negara-negara ini jelas menggunakan kebijakan pengembangan ekonomi perkotaan dengan asumsi setiap wilayah akan berkembang bila fungsi pelayanan ditingkatkan. Konsep ini merupakan konsep pembangunan wilayah daratan dan kepulauan. Hal ini berhubungan dengan asumsi semua rona wilayah adalah sama (homogen) tetapi di sisi lain setiap wilayah membutuhkan peningkatan fasilitas pelayanan termasuk pada wilayah kepulauan.

69 42 5. Indonesia sebagi negara kepulauan terbesar dalam menunjang pengembangan ekonomi wilayah lebih menekankan pentingnya sistem permukiman. Sistem pengembangan wilayah seperti ini lebih mengutamakan pada usaha untuk menyebar luaskan jumlah penduduk dari wilayah yang padat penduduknya ke wilayah yang jarang penduduknya. Aspek atau kebijakan pembangunan yang dilakukan selama ini masih berorientasi pada konsep wilayah daratan dengan sistem zoning yaitu menyebar luaskan penduduk ke wilayah lain maka secara otomatis wilayah tersebut akan terpacu pembangunan ekonomi wilayah setempat. Sistem ini akhirnya belum memperlihatkan kemajuan dalam menciptakan keunggulan wilayah yang ditempatinya. Aspek ini cenderung mengabaikan ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat sehingga sering menimbulkan kecemburuan antara pendatang dengan penduduk setempat. Kebijakan ini menganut asumsi semua wilayah dianggap sama (homogen). Dengan demikian konsep pembangunan seperti ini tidak didasarkan pada usaha untuk mencari/menemukan/ mengidentifikasi dan menentukan sektor-sektor unggulan berbasis pada keunggulan local spesific spasial sebagai wilayah kepulauan yang heterogen Wilayah/Negara Daratan (Continental/Landlock State) versus Wilayah/Negara Kepulauan (Archipelago/Archipelagic State) Pemahaman wilayah/negara daratan (continental/landlock state) dengan wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) mulai diperbedatkan sejak tahun Indonesia mulai diakui sebagai salah satu negara kepulauan (archipelagic state) pada saat dilakukannya konvensi hukum laut PBB

70 43 (UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea) ke tiga pada tanggal 30 April 1982 di New York (Arsana, 2007). Sebagai negara kepulauan, Indonesia dikenal sebagai negara maritim atau bahari karena wilayah laut Indonesia mencakup 75 persen dari luas wilayahnya dan 25 persen wilayah daratan. Syaeful (2008), menyatakan sebutan negara kepulauan (archipelgic state) kepada suatu negara bila negara tersebut memiliki zona ekonomi ekslusif (ZEE) sehingga negara tersebut memiliki wewenang sebagai hak kedaulatan untuk mengelola, mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam baik di laut maupun di bawah dasar laut baik hayati maupun non hayati. Menurut Yakub (2004), dan Syaeful (2008), menggambarkan ciri-ciri atau karakteristik wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) adalah sebagai berikut: 1. Memiliki bentuk yang tidak kompak atau rona wilayah yang tidak seragam (non-contigous shape) 2. Terdiri dari bentuk fragmental (kepulauan) 3. Terpecah (broken shape) 4. Tersebar (scattered shape) 5. Dikelilingi laut atau lingkar laut (sircum marine) Berdasarkan ciri atau karakteristik diatas dan hasil konsesus konvensi UNCLOS di New York, Indonesia disebut sebagai negara kepulauan (archipelagic state) karena bentuk wilayahnya (rona wilayah) tidak kompak (noncontigous shape) dipisahkan oleh laut atau perairan. Dengan demikian ciri wilayah/negara daratan (continental/landlock state) merupakan kebalikan dari ciri

71 44 negara kepulauan. Hasil konvensi UNCLOS di New York lebih dipertegas bahwa suatu wilayah/negara yang tidak memiliki ZEE maka negara tersebut merupakan wilayah/negara daratan (continental/landlock state). Hal ini berkaitan dengan negara daratan tidak memiliki batas laut teritorial, batas landas kontinen, ZEE dan bentuk wilayahnya yang kompak atau seragam (contigous shape). Sebagai gambaran adanya perbedaan karakteristik antara wilayah/negara daratan (continental/landlock state) dengan wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel. 1. Perbedaan Karakteristik Wilayah/Negara Daratan dengan Wilayah/ Negara Kepulauan Wilayah Daratan Wilayah Kepulauan Kepustakaan Karakteristik Geografis Rona wilayah sama/ bentuk Rona wilayah tidak sama/ bentuk kompak (homogen/contigous shape) tidak kompak (heterogen/non Berbentuk wilayah daratan yang contigous shape) luas (pulau besar/benua) Berbentuk kepulauan (fragmental)/(pulau kecil) Terpecah (broken shape) Tersebar (scattered shape) Lingkar laut (sircum marine) Karakteristik Geologi Jenis sedimen, metamorfik Jenis sedimen, metamorfik dan beku Memiliki keseragaman geologi (berkarang) Tidak semua wilayah memiliki keragaman geologi. Iklim tropik basah (Indonesia) 1. Hadi, B.S (2008) 2. Adisasmita, R. (2005) 3. Yakub, R. (2004) 4. Monk, Dkk (2000) 5. Sitaniapessy. (2002) 1. Dirjen Cipta Karya Dep PU. (1992) 2. Unpatti (2000) 3. Hadi, B. S (2008) Karakteristik Sumberdaya Alam (Flora dan Fauna) Tidak dibatasi garis Wallace, Weber Dibatasi garis Wallace, Weber dan dan Lydeker Lydeker Hampir semua wilayah memiliki Garis Weber wilayah bagian barat keseragaman flora dan fauna Indonesia Garis Wallace wilayah bagian timur Indonesia Garis Lydeker bagian Maluku dan Halmahera (fauna Asiatis dan Australia) Sumberdaya alam/potensi lokal beragam dan besar Karakteristik Sosial Budaya dan Kependudukan Penduduk tersebar merata Penduduk tersebar tidak merata Memiliki keterkaitan budaya yang Penduduk terpusat pada pusat sangat dekat aktivitas pelayanan masyarakat Laju urbanisasi dari wilayah Memiliki budaya yang tidak pinggiran ke pusat pertumbuhan seragam mengecil/rendah Laju urbanisasi meningkat seiring terpusatnya aktivitas di pusat 1. Hadi, B. S (2008) 2. Unpatti (2000) 3. Parlindungan, A. P. (1993) 4. Sitanipessy. (2002) 1. World Bank (2009) 2. Hadi, B. S (2008) 3. Adisasmita, R. (2008)

72 45 pertumbuhan. Karakteristik Aktivitas Ekonomi Terdapat banyak pusat pertumbuhan Terdapat satu atau beberapa pusat dan sistem zone industri pertumbuhan Konsentrasi aktivitas ekonomi Investasi dan industri terpusat di meningkat di setiap pusat pusat pertumbuhan pertumbuhan dan wilayah pinggiran Konsentrasi aktivitas ekonomi Investasi dan industri berada hanya pada pusat pertumbuhan dihampir setiap wilayah Terjadi disparitas kesejahteraan pengembangan Pasar jauh Disparitas kesejahteraan antara pusat Jarak wilayah pusat pertumbuhan pertumbuhan dengan zone wilayah dengan wilayah pinggiran jauh pinggiran semakin kecil Kemampuan penyediaan fasilitas Pasar dekat pelayanan yang rendah di pusat Jarak wilayah pusat pertumbuhan pengembangan dengan wilayah pinggiran dekat Sumber: Dari Berbagai Kepustakaan dan Dikembangkan oleh Peneliti 1. Adisasmita, R. (1997), (2005), (2008). 2. Tarigan, R. (2004) 3. Reksohadiprodjo, S. dan Karseno, A. R. (2001) 4. Budiharsono, S. (2001) Adapun perbedaan pengembangan wilayah/negara daratan dengan wilayah/ negara kepulauan berdasarkan konsep pengembangan spasial yang di dasarkan pada konsep pengembangan wilayah dari pusat pertumbuhan, desentralisasi dan integrasi memperlihatkan adanya perbedaan konsep pengembangan wilayah daratan dengan kepulauan. Perbedaan pengembangan wilayah antara wilayah daratan dengan kepulauan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel. 2. Perbedaan Pengembangan Wilayah/Negara Daratan dengan Wilayah/Negara Kepulauan Berdasarkan Konsep Pengembangan Spasial (Growth Pole, Desentralisasi Teritorial dan Integrasi) Konsep Pengembangan Spasial I. Konsep Kutub Pertumbuhan (Growth Pole) Daratan (Continental) Pengembangan Wilayah Kepulauan (Archipelago) Kepustakaan (1) (2) (3) (4) Investasi dan industri Investasi dan industri 1. Adisasmita, R. (aktivitas ekonomi) terpusat (aktivitas ekonomi) (2005) di pusat pertumbuhan seharusnya tidak terpusat di Otomatis terjadi spread effect pusat pertumbuhan tetapi di 2. Tarigan, R. (2004) ke wilayah ping-girannya beberapa pusat pertumbuhan. (periphery) Belum tentu terjadi spread 3. Richardson, H.W. Wilayah pinggiran effect tetapi sebaliknya (1978) (periphery) cepat berkembang cenderung terjadi backwash menjadi pusat pertumbuhan effect 4. Rondinelli. D. A. baru sebagai wilayah Wilayah pinggiran (periphery) (1985) penyangga terhadap pusat sulit berkembang menjadi pertumbuhan utama pusat pertumbuhan baru 5. World Bank Prasarana dan sarana sebagai wilayah penyangga (2009) (infrastruktur) tersedia pusat pertumbuhan dengan baik Prasarana dan sarana 6. Daryanto, A. (infrastruktur) belum baik (2003) Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan bahkan cenderung sulit diperoleh wilayah belakangnya sebagai 7. Porter, M. E. (1990) kota generatif Pusat pertumbuhan (kota) Jarak dan infrastruktur memiliki hubungan dengan 8. Okali, D. Okpana, dianggap sama untuk seluruh wilayah belakangnya sebagai E. dan Olawoye, J. wilayah kota parasitif bahkan ada (2001)

73 46 II. Konsep Desentralisasi Teritorial III. Konsep Integrasi (Fungsi- Fungsi Spasial) Wilayah terseleksi berdasarkan zone Muncul istilah kota Megapolitan terdiri dari beberapa kota yang berdekatan (kasus kota Jakarta dengan istilah Jababodetabek) Kota menengah dan kecil saling membutuhkan (generatif) terhadap kota besar/utama begitupun sebaliknya. Investasi dan industri terpencar (spread effect) ke wilayah pinggiran/kota kecil lainnya Migrasi penduduk hampir merata di seluruh wilayah kota besar, menengah dan kecil Distribusi pelayanan dan fasilitas sosial, infrastruktur ekonomi tersedia dengan baik Wilayah pinggiran berpotensi menjadi wilayah yang kuat meningkatkan produktivitas ekonomi secara nasional Semua wilayah dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan Adanya keseimbangan dan kesinambungan yang baik diantara wilayah disekitarnya (jenjang hirarki) bergerak secara alami Sistem pengembangan wilayah seperti infrastruktur saling terpadu antara satu wilayah (keterpaduan pusat pelayanan) dengan wilayah disekitarnya Pusat-pusat pertumbuhan yang berebeda ukuran (kota besar, menengah dan kecil) tetapi saling membutuhkan Wilayah penyangga mampu menjadi pendukung bagi wilayah pusat Karakteristik fungsional bermacam-macam atau bervariasi Wilayah pusat menjadi elemen yang memiliki keterkaitan sebagai wilayah produksi dan wilayah konsumsi yang mampu menyediakan berbagai yang enclave Jarak dan infrastruktur tidak sama di semua wilayah Wilayah sulit terseleksi Tidak ada kota megapolitan Wilayah pinggiran selalu bergantung (parasitis) terhadap wilayah pusat Investasi dan industri sulit terpencar (spread effect) dari wilayah pusat ke wilayah pinggiran Penduduk tidak merata di wilayah masing-masing. Terjadi migrasi ke wilayah pusat pertumbuhan Distribusi pelayanan sosial, infrastruktur ekonomi tidak cukup tersedia dengan baik Jaringan/hubungan (networking) antar wilayah di dalam wilayah itu sendiri sangat lemah Wilayah pinggiran sulit bertumbuh menjadi pusat pertumbuhan dan pelayanan ekonomi, sosial, administrasi serta jasa lainnya. Wilayah pinggiran sulit berpotensi menjadi wilayah yang kuat untuk meningkatkan produktivitas ekonomi secara nasional. Tidak semua wilayah dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan Belum ada keseimbangan dan kesinambungan yang baik diantara wilayah disekitarnya (jenjang hirarki) tidak bergerak secara alami, harus ada political will dari penguasa. Lemahnya sistem pengembangan wilayah seperti infrastruktur yang saling terpadu antara satu wilayah (keterpaduan pusat pelayanan) dengan wilayah disekitarnya Hanya ada satu pusat pertumbuhan (ibu kota provinsi) wilayah lain disekitarnya dianggap sebagai wilayah penyangga pusat pertumbuhan Karakteristik fungsional belum dapat diidentifikasi Wilayah pusat menjadi elemen yang memiliki pengaruh kuat sebagai wilayah produksi dan konsumsi tetapi belum mampu menyediakan berbagai 9. Uphoff. N. (1999) 10. Douglas, M. (1998)

74 47 interaksi fungsional di wilayah sekitarnya. Terdapat hubungan tarik menarik (hubungan timbal balik) antara wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya interaksi fungsional bagi wilayah sekitarnya Lemahnya hubungan tarik menarik (hubungan timbal balik) antara wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota parasitif bahkan ada yang enclave Sumber: Dari Berbagai Kepustakaan dan Dikembangkan oleh Peneliti Berdasarkan perbedaan karakteristik dan konsep pengembangan spasial wilayah daratan dan kepulauan dapat dikatakan Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) bukan negara daratan. Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki salah satu provinsi kepulauan terbesar yaitu Provinsi Maluku. Karakteristik dan pengembangan spasial memperlihatkan Provinsi Maluku adalah wilayah kepulauan (archipelago). Konsep pengembangan spasial wilayah kepulauan seperti yang terlihat pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa Provinsi Maluku identik dengan konsep pengembangan pusat pertumbuhan (growth pole), desentralisasi teritorial (otonomi daerah) dan konsep integrasi berdasarkan fungsi-fungsi spasialnya. Pengembangan wilayah kepulauan seperti terlihat pada karakteristik dan tujuan pengembangan spasial maka sebagai wilayah kepulauan Provinsi Maluku perlu menentukan sektor-sektor apa saja yang berbasis pada potensi lokal (local spesific). Menurut Daryanto (2003), potensi lokal (local spesific) merupakan potensi wilayah yang perlu dikembangkan tidak hanya pada aspek keunggulan komparatif tetapi harus memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi. Dengan demikian setiap wilayah harus tetap mengacu pada wilayah itu sendiri (inward looking) sehingga wilayah tersebut mampu menyesuaikan arah pembangunan wilayahnya sesuai dengan karakteristik lokal (local spesific).

75 48 Porter (1990), mengemukakan bahwa pengembangan ekonomi atau daya saing suatu wilayah biasanya ditentukan oleh faktor produksi, kondisi permintaan pasar dan peranan pemerintah (role of goverment) sebagai faktor penunjang. Menurutnya peran pemerintah diperlukan karena dapat menciptakan kompetensi inti sehingga suatu wilayah dapat dibedakan dari wilayah lainnya melalui daya saing wilayah yang tercipta. Menurut Douglas (1998), dikatakan bahwa pertumbuhan di beberapa wilayah inti (core) mampu mendatangkan atau memberikan keuntungan kepada perkembangan wilayah lainnya (periphery). Pembangunan wilayah menurut Okali (2001), lebih ditujukan pada penerapan konsep pembangunan wilayah daratan. Okali dkk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi antara wilayah kota dengan perdesaan adalah arus spasial seperti tenaga kerja, produksi, komoditi, modal dan informasi. Aktivitas yang terciptanya antara kota dengan perdesaan akan menciptakan dinamika pembangunan wilayahnya. Selanjutnya menurut Okali perlunya peran atau intervesi pemerintah dalam meningkatkan aktivitas sektoral di wilayah perdesaan. Menurut Uphoff (1990), sektor yang berbasis potensi lokal seperti pertanian mampu mengatasi masalah krisisis pembangunan ekonomi di Indonesia. Uphoff melihat kinerja sektor pertanian di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia mampu menjadi negara yang berhasil mengimplementasi model pembangunan pertanian sebagai sektor yang berbasis potensi lokal wilayahnya.

76 Peran dan Fungsi Wilayah di Era Otonomi Berbagai permasalahan otonomi daerah muncul dalam bingkai pembangunan wilayah. Adanya distorsi hubungan antara pusat dengan daerah dimana pusat terlalu mendominasi berbagai kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam, ekonomi, hukum maupun politik. Sehingga muncul penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang dikenal dengan istilah otonomi (Widjaja, 2002). Otonomi daerah sebenarnya bukanlah hal yang baru, secara praktis pemerintahan Orde Baru sudah mengembangkan sistem ini dengan mengurangi wewenangnya, namun kerangka yang diharapkan dapat memacu perubahan pembangunan di daerah tidak sepenuhnya dilaksanakan bagi kepentingan daerah. Selama hampir 18 tahun berbagai diskusi tentang pelaksanaan Otonomi Daerah telah diteliti dan didiskusikan dalam berbagai seminar, undang-undang otonomi yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, diharapkan dapat mengembangkan prinsip-prinsip pembangunan di daerah berdasarkan pada kemampuan atau kapasitas atau potensi lokal suatu daerah untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerahnya. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa dilepas pisahkan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan proses pembangunan atas kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan,

77 50 partisipasi masyarakat (partisipatoris). Dengan demikian upaya-upaya untuk melaksanakan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan seksama dan kerelaan pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini berhubungan dengan tujuan otonomi yang hendak dicapai yakni, pencapaian efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat (Abe, 2001). Menumbuh kembangkan daerah otonom dalam berbagai bidang seperti, kemandirian dan meningkatkan daya saing daerah adalah proses pembangunan untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan pemerataan demi kemandirian wilayah tersebut. Sejalan dengan kemandirian daerah atau wilayah dalam berbagai kesempatan perencanaan pembangunan maka secara terbuka daerah dapat membangun kemitraan dengan publik seperti pihak swasta daerah, pusat atau pihak asing dalam berbagai bidang sosial, ekonomi dan budaya terkecuali keamanan (militer) dengan negara asing. Sesuai dengan kemajemukan sumberdaya manusia (pluralis) dan perbedaan kondisi kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah maka akan terdapat variasi (keragaman) fungsi yang diemban oleh kabupaten/kota bahkan provinsi. Perbedaan kapasitas atau potensi lokal wilayah merupakan nilai tambah (value added) yang belum tentu dimiliki oleh negara lain. Kapasitas atau potensi lokal (local spesific) dan di dukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan wilayah seharusnya menjadi penggerak utama (prime mover) atau faktor pendorong setiap wilayah untuk memacu aktivitas masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Untuk itu perbedaan atau keberagaman kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah dengan dukungan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan wilayah diharapkan akan mempercepat penciptaan

78 51 pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) dengan merangsang sektorsektor ekonomi potensial baik yang sudah maupun yang belum dikelola. Wirawan (2001), menyatakan dalam era otonomi, ekonomi kerakyatan saling berkaitan dengan otonomi yang dimiliki suatu daerah dimana daerah harus berlomba membangun basis ekonomi kerakyatan yang berbasis local spesific. Pengembangan sektor-sektor unggulan yang berbasis local spesific menjadi hal penting bila di dukung dengan ketersedian kemampuan fasilitas pelayanan pusatpusat pengembangan. Kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan pusat-pusat pengembangan menjadi salah satu indikator penentuan maju tidaknya suatu aktivitas ekonomi wilayah guna percepatan pengembangan sektor unggulan yang berbasis pada local spesific wilayahnya. Beberapa kasus yang dapat diuraikan dalam membangun ekonomi kerakyatan di era otonomi seperti: pengembangan ekonomi wilayah di Lampung, Sawahlunto, Bantul dan Malang. Masing-masing wilayah mengembangkan ekonomi kerakyatannya berdasarkan spesific local wilayahnya. Lampung mengembangkan potensi lokal wilayahnya seperti, sektor perikanan (pertambakan) dan sektor perkebunan, Sawahlunto dengan pertambangan batu bara, Bantul dengan ekonomi kerakyatan yang berbasis potensi lokal lebih menonjolkan industri kerajinan gerabah, batik, perak dan penganan kecilnya seperti; gaplek. Kota Malang dengan keuntungan geografis dan keindahan alam penggunungannya mampu memanfaatkan keuntungan potensi lokal (local spesific) di sektor pertanian yang dipadukan dengan keindahan alamnya, sehingga sektor agrowisata menjadi pilihan sebagai sektor yang berbasis potensi lokal wilayah. Sektor agrowisata dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di

79 52 Malang mampu meningkatkan sektor pertanian (hortikultura), pariwisata dan menjadi pusat pasar buah dan kerajinan cendera mata terbesar di Jawa Timur dan Indonesia Pembangunan Ekonomi Wilayah Pembangunan ekonomi wilayah memiliki berbagai aspek yang terus berubah secara dinamis, terencana dan terkoordinasi bila dilihat dari kerangka perencanaan pembangunan ekonomi wilayah, baik secara regional, nasional maupun internasional. Pembangunan ekonomi wilayah ditujukkan pada pencapaian sasaransasaran sub sistem pembangunan nasional yang terorganisir secara teritorial atau tata ruang (spatial). Meskipun dalam prateknya pembangunan ekonomi wilayah perlu memberlakukan penjelasan-penjelasan dasar bersifat teori yang memiliki keeratan hubungan antara pembangunan ekonomi wilayah dengan tata ruang. Dengan kata lain proses pembangunan ekonomi wilayah harus memperhatikan pendekatan aspek dimensi tata ruang (spatial) seperti karakteristik wilayah, geografis, sumberdaya manusia, interaksi antarwilayah. Todaro (2000), mengatakan pembangunan ekonomi wilayah merupakan proses multidimensial yang menyangkut reorganisasi dan reorientasi sistem ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Pembangunan disamping untuk meningkatkan pendapatan dan output, pembangunan harus melihat perubahan dalam perubahan sikap masyarakat, struktur sosial, adat dan kepercayaan masyarakatnya (kearifan lokal/local wisdom). Menurut Kartasasmita (1996), pembangunan adalah usaha meningkatkan harkat dan martabat masyarakat melalui kemampuan dan kemandirian lokal

80 53 wilayahnya. Kemandirian yang dimaksud adalah proses pembangunan yang berpijak pada pembangunan masyarakat dan diharapkan dapat memacu peran serta masyarakat (partisipatoris) dalam proses pembangunan itu sendiri. Proses pembangunan tersebut diharapkan akan mampu melepaskan kondisi masyarakat dari kemiskinan dan keterbelakangan. Selain hal-hal diatas pembangunan ekonomi wilayah tidak dapat dilepas begitu saja dari proses pembangunan yang sudah ada pada saat itu. Peran serta (partisipatoris) masyarakat sebagai pelaku atau pencipta (aktor) kegiatan ekonomi wilayah adalah seluruh masyarakat pada wilayah tersebut dan pihak investor dari luar yang ingin melakukan kegiatan ekonominya di wilayah itu. Namun pada kenyataannya banyak wilayah di KTI khususnya provinsi Maluku sering mengalami kendala sebagai akibat dari tidak sinergisnya perencanaan pembangunan yang non spatial dengan tataruang wilayah. Akibat ketidak sinergisnya perencanaan pembangunan yang demikian menimbulkan berbagai pertentangan antara pusat dengan daerah. Dengan adanya otonomi daerah, maka daerah lebih melihat wilayah dari sudut pandang mereka yaitu dari sudut pendekatan regional. Pertentangan perencanaan pembangunan yang selalu berbasis pada non spatial versus spatial menimbulkan wilayah (daerah) hanya menjadi pusat eksploitasi sebagai lokasi proyek sektoral, akibatnya pembangunan yang diharapkan memberi manfaat pada masyarakat di daerah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pembangunan ekonomi wilayah harus menjadi primadona proses pembangunan dewasa ini di era otonomi. Dengan demikian pemerintah (pusat, daerah, kabupaten/kota), perlu memperhatikan apa yang ingin atau akan dilakukan

81 54 oleh pihak di luar pemerintah (swasta/investor) termasuk masyarakat. Hal tersebut berkaitan dengan fungsi pemerintah yang memiliki peran cukup penting dalam proses pembangunan sebagai pengatur atau pengendali (regulator). Walaupun demikian pemerintah tidak dapat bertindak semena-mena dalam mengendalikan pembangunan di wilayahnya. Oleh sebab itu pemerintah dapat mengarahkan pembangunan ekonomi wilayah ke arah mana dan bagaimana setiap kegiatan ekonomi wilayah dapat berkembang dan bermanfaat bila tidak ada campur tangan pemerintah. Hal ini disebabkan karena adanya fungsi pemerintah selain sebagai regulator, pemerintah juga berfungsi sebagai stimulator. Dalam kondisi seperti ini proses pembangunan ekonomi wilayah dapat menunjukkan arah perkembangan seperti diharapkan pada kondisi atau sasaran yang ingin dicapai oleh setiap wilayah sehingga setiap wilayah mampu memacu pembangunan di berbagai sektor andalannya. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral adalah pendekatan pembangunan ekonomi dengan memfokuskan perhatiannya pada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang ada di wilayah tersebut kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan (less spatial). Sedangkan pendekatan regional adalah pendekatan pembangunan ekonomi yang memfokuskan perhatiannya pada pemanfaatan ruang (spatial) yang satu dengan ruang lainnya dan dapat memanfaatkan perencanaan pembangunan dengan rencana tataruang wilayah. Dengan demikian pada pendekatan regional, pendekatan pembangunan ekonomi wilayah lebih ditekankan pada pemanfaatan ruang wilayah yang berbeda antara

82 55 satu wilayah dengan wilayah lainnya dan dapat menghubungkan berbagai interaksi yang terjadi dalam setiap aktivitas atau kegiatan pembangunan di wilayah tersebut. Pengelompokkan sektor-sektor baik pada pendekatan sektoral sering dibedakan berdasarkan kelompok kegiatan pembangunan ekonominya dan berdasarkan pada administrasi pemerintahan wilayah yang menangani sektorsektor tersebut. Dalam hal pembangunan wilayah banyak pengelompokkan didasarkan pada keseragaman kegiatan dan secara administrasi pemerintahan sering berjalan bersamaan atau sejalan. Pada pendekatan regional pengelompokkan wilayah dilakukan berdasarkan batas administrasi pemerintahan wilayah atau didasarkan atas dasar wilayah pengaruh dari suatu pusat pertumbuhan (growth centre). Biasanya pembagian ke dua pendekatan ini berbeda antara satu dengan lainnya. Menurut pendekatan regional perencanaan pembangunan sejalan dengan pembagian wilayah menurut administrasi pemerintahan dan pembagian menurut pusat pertumbuhan wilayah tersebut. Namun ada kalanya ada bagian dari suatu wilayah yang secara sosial ekonomi berhubungan antara wilayahnya dengan pusat pertumbuhan yang berada diwilayah lain. Hadjisarosa (1976), mengatakan suatu wilayah dapat berkembang selain karena ada pengaruh wilayah pusat atau pusat pertumbuhan wilayahnya maupun pengaruh pusat pertumbuhan wilayah lainnya, hal tersebut disebabkan karena adanya pusat-pusat pengembangan wilayah yang dipengaruhi oleh adanya simpulsimpul jasa distribusi. Pendekatan sepertii inilah yang disebut Hadjisarosa dengan istilah pendekatan regional (networking distribution).

83 56 Pendekatan sektoral maupun pendekatan regional perlu dilakukan dalam suatu analisis pembangunan ekonomi wilayah. Dalam pendekatan sektoral seluruh kegiatan ekonomi wilayah dikelompokkan atas sektor-sektor atau kegiatan ekonomi. Sektor-sektor tersebut akan di analisis persektor sehingga dapat dilihat potensi dan peluang dari setiap sektor ekonomi yang ada di wilayah yang bersangkutan. Pendekatan regional perlu dilakukan dalam suatu analisis pembangunan wilayah hal ini disebabkan karena, pendekatan regional berbeda dengan pendekatan sektoral walaupun tujuan akhir yang diharapkan memperoleh kesamaan. Analisis regional dilakukan karena berhubungan dengan analisis atas penggunanaan ruang (space) pada saat itu. Biasanya analisis tersebut dilakukan berdasarkan aktivitas atau kegiatan pembangunan ekonomi dengan pemanfaatan atau penggunaan lahan/ruang serta pengaruhnya di masa yang akan datang. Analisis regional berusaha untuk meramalkan adanya daya tarik (attractiveness), suatu wilayah yang kuat (growth pole) terhadap wilayah lainnya (periphery). Pada dasarnya pendekatan regional didasarkan pada anggapan bahwa pendekatan ini memandang wilayah sebagai kumpulan atau bagian-bagian wilayah yang memiliki potensi/kapasitas/kemampuan dan daya tarik yang berbeda diantara wilayah masing-masing. Dengan melakukan pendekatan-pendekatan ini maka diharapkan adanya perubahan-perubahan besar yang terjadi dan dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi wilayah. Pengaruh positif diharapkan tidak hanya pada wilayah pusat maupun wilayah pinggiran ataupun terhadap wilayah lainnya yang dipisahkan

84 57 karena adanya batasan administrasi wilayah, tetapi juga mempengaruhi perekonomian regional, nasional maupun global. Pembangunan ekonomi wilayah sudah sepantasnya tidak hanya berdasarkan batas wilayah secara administrasi, pusat (centre/pole) dan pinggiran (periphery) tetapi berdasarkan pada kebutuhan masyarakat. Perkembangan pemikiran dan pendekatan pertumbuhan dengan stabilitas (growth with stability) wilayah pada hakikatnya menghendaki pembangunan yang berkeadilan dengan menempatkan sumberdaya manusia, alam dan ketersediaan fasilitas pelayanan pada posisi utama sebagai penggerak utama (prime mover) dalam pengembangan wilayah. Peningkatan kualitas sumberdaya alam (resource approach) akan menjadikan output bernilai tambah (added value) dan dapat memberikan kontribusi besar bagi laju pertumbuhan pembangunan ekonomi wilayah sehingga menjadi indikator berhasilnya pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi wilayah dan kestabilan kehidupan masyarakat setempat. Hal seperti ini memperlihatkan bahwa wilayah-wilayah terbelakang atau tertinggal akan mempunyai ketergantungan yang kuat pada wilayah-wilayah lain yang lebih maju didalam pengelolaan sumberdaya alamnya. Untuk itu diperlukan berbagai kegiatan pembangunan ekonomi wilayah, sehingga dapat menghilangkan keterbelakangan (backwardness) yang berarti mengurangi ketergantungan (dependency). Prinsipnya pengelolaan pembangunan ekonomi wilayah, harus berpijak pada sistem pengelolaan sumberdaya alam wilayahnya dengan melibatkan peran serta masyarakat (participatory), pemberdayaan (empowerment) dan

85 58 berkelanjutan (sustainable) sehingga pembangunan wilayah tidak hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok semata (basic needs approach) melainkan juga bagaimana kegiatan pembangunan tersebut dapat dimanfaatkan oleh kegiatan-kegiatan ekonomi wilayah lainnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi wilayah meningkatkan pembangunan ekonomi lokal berdasarkan kapasitas atau kemampuan lokal wilayah yang bersangkutan. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi lokal dalam sistem ekonomi pasar, harus dapat memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya pembangunan lokal untuk mencapai keuntungan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) sebagai upaya, untuk mendorong berkembangnya pembangunan ekonomi lokal yang ada pada saat ini, serta mempertahankan basis ekonomi yang dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan Sektor-Sektor Strategis Pembangunan Wilayah Pertumbuhan sektoral merupakan hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan pertumbuhan pendapatan, dimana pendapatan suatu wilayah merupakan penjumlahan dari setiap sektor yang ada di wilayah tersebut. LIPI (2003), mengklasifikasikan secara sederhana sektor atas beberapa tingkatan yaitu: 1. Sektor primer terdiri dari pertanian dan pertambangan 2. Sektor sekunder terdiri dari manufaktur kadang-kadang memasukan sektor kontruksi/bangunan. 3. Sektor tersier terdiri dari jasa-jasa, perbankan dan lainnya.

86 59 BPS (2005), secara umum sektor disebut juga lapangan usaha dan diklasifikasikan atas sembilan sektor yaitu: sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor industri, sektor listrik, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor pengangkutan, sektor keuangan, sektor jasa-jasa Kesembilan sektor diatas dapat dipecah kedalam beberapa sub sektor seperti sektor pertanian dipecahkan atas empat sub sektor demikian juga bagi sektor keuangan. Bila sektor atau lapangan usaha didasarkan pada sub sektor maka akan meliputi 31 lapangan usaha. Untuk daerah tertentu jasa kereta api berdiri sendiri dalam sektor pengangkutan. Adisasmita (1994), menyatakan sektor-sektor strategis harus dapat memenuhi empat kriteria yakni: 1. Sektor-sektor yang menghasilkan produksi dan mempunyai kontribusi besar bagi PDRB. 2. Sektor-sektor yang diinterpretasikan dapat memberikan lapangan kerja yang besar. 3. Sektor-sektor yang memiliki tingkat keterkaitan yang kuat terhadap pengembangan sektor lainnya. 4. Sektor-sektor yang berpotensi meningkatkan ekspor non migas walaupun sumbangan atau kontribusinya terhadap PDRB relatif kecil namun sektor tersebut memiliki prospek untuk dikembangkan dimasa akan datang. Namun di sisi lain pembangunan sektor ekonomi wilayah masih berorientasi pada sektor-sektor yang proses kegiatan ekonominya memanfaatkan sumberdaya alam kedaratan (landward orientation) sedangkan aspek kelautan (seaward development) dianggap sebagai penunjang atau penyangga saja.

87 60 Wilayah kepulauan (archipelago) dimasa depan sebaiknya lebih berorientasi pada pengembangan sektor-sektor strategis dengan memanfaakan sumberdaya kelautan baik di permukaan, di dalam dan yang berada di dasar laut (aspek bahari/maritim). Dengan wilayah laut yang cukup luas dan kaya sumberdayanya maka pengembangan wilayah laut berpotensi dan prospektif mempunyai peluang untuk dimanfaatkan sebagai salah satu sektor strategis yang menentukan kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Peluang ini harus didukung dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di wilayah tersebut sehingga mampu meningkatkan sektor-sektor yang dianggap sebagai sektor strategis Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Selama satu dasawarsa atau setelah 10 tahun reformasi dilaksanakan, banyak hal yang telah menarik perhatian para ahli, khususnya dikalangan ekonom. Akibat dari munculnya permasalahan di bidang ekonomi yang sulit diprediksi sering menimbulkan gejolak ekonomi yang sulit diperkirakan sebelumnya, maka hal tersebut telah menarik perhatian dari kalangan masyarakat perekonomian di tingkat nasional maupun dunia yang hanya tertuju pada bagaimana mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Konsep pertumbuhan ekonomi yang dipakai saat ini sebagai tolok ukur penilaian pertumbuhan ekonomi setiap negara maupun daerah (wilayah) perlu mengetahui faktor-faktor atau sumber-sumber pertumbuhan ekonomi wilayah. Sehubungan dengan itu konsep dasar yang berkaitan erat dengan teori-teori pertumbuhan ekonomi perlu mendapat perhatian seperti, perubahan yang mendasar atas struktur kelembagaan ekonomi, sosial, budaya dan administrasi.

88 61 Berbagai pandangan tentang konsep pertumbuhan ekonomi wilayah sering mendapat kritik dari berbagai pihak, tetapi sampai sekarang konsep ini secara umum masih digunakan. Dimana konsep pertumbuhan ekonomi belum secara jelas membicarakan distribusi pendapatan, hal ini dapat dikatakan karena bila suatu wilayah mempunyai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, belum tentu diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan di masyarakat dan ternyata pertumbuhan ekonomi yang tinggi sering diikuti dengan semakin timpangnya distribusi pendapatan masyarakat pada wilayah tersebut. Dilain sisi ada beberapa pandangan yang menggambarkan kemampuan atau kapasitas dari suatu perekonomian wilayah untuk menghasilkan barang dan jasa, dimana kedua unsur tersebut mempunyai peran penting untuk mencapai tujuan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Samuelson dan Nordhaus (1983), memperkenalkan teori pertumbuhan jalur cepat yaitu, setiap wilayah perlu melihat sektor atau komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi sumberdaya alamnya maupun karena sektor atau komiditi tersebut memiliki competitive advantage. Secara umum ada beberapa pandangan atau sisi yang menentukan atau mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu: 1. Pandangan dari sisi permintaan (demand side) yaitu, pandangan yang melihat pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan atau dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah (goverment expenditure), jumlah uang yang beredar (money supply) serta investasi swasta (private invesment).

89 62 2. Pandangan dari sisi penawaran (supply side) yaitu, pandangan yang melihat pertumbuhan ekonomi dari sisi sumberdaya manusia (human resourcess), sumberdaya alam (natural resourcess), stock kapital (capital stock) dan teknologi (technoloy shock), dimana faktor-faktor tersebut sangat menentukan adanya kemajuan atau mundurnya suatu pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah dengan berbagai kebijakan ekonominya. Pemahaman seperti diatas menunjukkan pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan kemampuan atau kapasitas dari suatu perekonomian wilayah untuk menghasilkan barang dan jasa yang menjadi tujuan utama dalam pembangunan ekonomi wilayah tersebut. Untuk itu berbagai teori tentang pertumbuhan ekonomi akan dibahas pada sub-sub bab berikutnya Teori Harrod Domar (H D) Dalam teori Harrod-Domar (H-D) berusaha untuk memadukan pandangan kaum Klasik yang dinilai terlalu menekankan pada sisi penawaran (supply side) dan pandangan Keynesian lebih menekankan pada sisi permintaan (demand side). Harrod-Domar (kaum Klasik) dalam kaitan dengan pandangannya diatas mengatakan bahwa faktor investasi memainkan peran ganda (dual role) yakni disatu sisi, investasi akan meningkatkan kemampuan produktif (productive capacity) dan perekonomian Keynesian di sisi lainnya menyatakan investasi akan meningkatkan permintaan (demand creating) didalam perekonomian (Romer, 2001). Pandangan Harrod Domar menyatakan bahwa, tabungan dan investasi merupakan faktor penentu atau kekuatan sentral (saving and invesment is forces

90 63 behind economic growth) terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Seandainya tabungan (S) adalah bagian dari jumlah tertentu atau s dari pendapatan nasional (Y). Dengan demikian dapat ditulis hubungan tersebut dalam bentuk persamaan sederhana sebagai berikut: S = sy...(1) Selanjutnya investasi (I) didefenisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat diawali oleh ΔK, dengan demikian dapat kita tulis persamaan kedua yang sederhana sebagai berikut: I = ΔK...(2) Persamaan di atas seperti jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y seperti yang diperlihatkan oleh rasio modal output k maka persamaan ketiga adalah sebagai berikut: K/Y = k atau ΔK/ΔY = k ΔK = kδy...(3) Akhirnya hubungan jumlah dari keseluruhan tabungan nasional (S) harus sama dengan keseluruhan investasi (I). Dengan demikian akan diperoleh persamaan keempat sebagai berikut: S = I...(4) Bila dilihat dari persamaan (1) di atas diketahui bahwa S = sy, persamaan (2), I = ΔK dan persamaan (3), ΔK = kδy, dimana kita ketahui bahwa persamaan dari I = ΔK = kδy maka dengan demikian identitas tabungan yang merupakan persamaan modal seperti yang terlihat pada persamaan (4), dengan demikian persamaan berikut selanjutnya dapat dilihat sebagai berikut:

91 64 S = sy = kδy = Δk = I...(5) Bila diringkas maka diperoleh persamaan sebagai berikut: SY = kδy...(6) Selanjutnya bila kedua sisi persamaan (6) dibagi dengan Y kemudian dengan k, maka dapat diperoleh persamaan sebagai berikut: ΔY/Y = s/k...(7) dimana : (ΔY/Y) = Pertumbuhan ekonomi S = Tingkat tabungan nasional K = ICOR (incremental capital output rasio, ΔK/ΔY atau I/ΔY) Y = Output nasional atau GNP, K = Stok kapital, I = Investasi Dari persamaan-persamaan tersebut dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (ΔY/Y) ditentukan bersama-sama oleh rasio tabungan nasional (s) dan rasio modal output nasional (k), dimana secara ekonomi hal ini mengandung makna bahwa, suatu perekonomian dapat bertumbuh bila perekonomian harus disertai dengan tabungan investasi yang proposional dari GNP-nya. Perkins et al. (2001), dikatakan bila semakin banyak yang menabung dan melakukan investasi maka semakin cepat / pesat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan demikian hal tersebut dapat diperlihatkan pada persamaanpersamaan seperti di atas. Bagi wilayah-wilayah terbelakang (periphery), teori Harrod-Domar perlu menjadi acuan. Mengapa perlu menjadi acuan, karena biasanya wilayah periphery memiliki infrastruktur yang rendah, hubungan keluar-masuk dari

92 65 wilayah yang bersangkutan sangat sulit. Pada kondisi yang demikian biasanya barang modal sangat langka sehingga sulit untuk melakukan konversi antara barang modal dengan tenaga kerja. Kondisi wilayah seperti itu, bagi sektor yang hasil produksinya tidak layak atau kurang menguntungkan untuk diekspor (karena biaya angkut tinggi atau produk tidak tahan lama) maka peningkatan produksi mengakibatkan produk tidak terserap di pasar lokal dan mengakibatkan tingkat harga turun drastis sehingga merugikan produsen. Dengan demikian setiap wilayah periphery harus dapat mengatur atau meningkatkan pertumbuhan berbagai sektor secara seimbang karena pertambahan produksi di satu sektor harus dapat diserap oleh sektor lainnya yang tumbuh secara seimbang Teori Pertumbuhan Solow Hossain dan Chowdhury (2001), selain teori Harrod Domar (HD), teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu teori ekonomi yang membahas tentang pertumbuhan ekonomi Neoklasik (Neoclasical Growth Theory) banyak yang menyebutnya dengan Teori Pertumbuhan Solow (Solow Growth Theory). Bila teori pertumbuhan model Harrod Domar lebih mengutamakan pada faktor tabungan dan investasi maka dalam teori pertumbuhan model Solow lebih banyak menekankan modelnya pada faktor kapital serta pentingnya faktor-faktor lain seperti tenaga kerja dan pengaruh teknologi. Model pertumbuhan Solow merupakan salah satu model yang sering digunakan oleh para ekonom untuk analisisnya. Hal ini dikarenakan teori Solow merupakan model pertumbuhan yang secara mendasar cukup berbeda dengan teori-teori pertumbuhan terdahulunya dan lebih mudah untuk dipahami untuk analisis-analisis yang digunakan.

93 66 Asumsi-asumsi dalam model Solow lebih memusatkan perhatiannya pada beberapa variabel. Ada empat variabel yang menjadi perhatiannya antara lain. Satu). Variabel Output (Y), dua). Variabel Modal (K), tiga). Variabel tenaga kerja (L) dan empat). Variabel Pengatahuan atau efektivitas tenaga kerja (A). Dimana model pertumbuhan Solow mengatakan bahwa pada waktu kondisi tertentu suatu perekonomian harus memiliki sejumlah modal (K), tenaga kerja (L), dan ilmu pengatahuan (A) dimana kombinasi dari faktor-faktor tersebut akan mengahasilkan output (Y). Fungsi produksi model pertumbuhan Solow akan berbentuk sebagai berikut: Y(t) = F (K(t), A(t)L(t)...(1) dimana: (t) = waktu. Beberapa pandangan (fetures) dari fungsi produksi ini yang perlu menjadi perhatian adalah: Pertama). Waktu (t) tidak masuk dalam fungsi produksi secara langsung tetapi hanya melalui K, L dan A, dimana output (Y) akan berubah terhadap waktu bila input produksinya berubah. Output yang berubah atau diperoleh dari jumlah modal dan tenaga kerja tertentu akan meningkat terhadap waktu dengan kemajuan teknologi bila adanya kemajuan atau peningkatan dibidang pengatahuan. Kedua). Tenaga kerja (L) dan ilmu pengatahuan (A). AL menunjukkan tenaga kerja yang efektif dan perkembangan teknologi yang dikenal dengan labour augmenting atau Harrod-neutral. Asumsi utama dari model pertumbuhan Solow adalah, difokuskannya pada fungsi produksi dan perubahan ketiga input produksi (Capital, Labour dan Knowledge) terhadap waktu (t).

94 67 Asumsi penting yang terkait model Solow dengan fungsi produksi adalah, constan return to scale yang dapat dijelaskan kedalam dua input modal (capital) dan tenaga kerja efektif (effective labour). Dengan menggandakan jumlah modal (C) dan tenaga kerja efektif (L), maka diharapkan akan menggandakan jumlah produksinya. Secara umum dengan mengalikan kedua penjelas dengan constanta c non negatif akan menyebabkan output berubah dengan faktor yang sama, seperti persamaan berikut ini. F(cK, cal) = cf(k, AL) untuk semua c 0...(2) Pada teori pertumbuhan baru (new growth theory), salah satu hal yang paling ditekan adalah pentingnya peran pemerintah. Menurut model ini kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terutama dalam penyediaan atau meningkatkan infrastruktur, membangun serta meningkatkan modal manusia (human capital) dan mendorong faktor penelitian dan pengembangan (research and development). Faktor-faktor tersebut sangat penting perannya dalam meningkatkan produktivitas masyarakat suatu wilayah, karena pertumbuhan produktivitas dari masyarakat pada gilirannya akan menjadi motor penggerak (prime mover/engine of growth) terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut Model Solow secara mendasar tidak mengidentifikasikan apa yang dimaksudkan dengan efektivitas kerja. Model ini hanya mengatakan bahwa selain faktor tenaga kerja dan faktor modal yang mempengaruhi pertumbuhan maka faktor efektivitas turut berperan dalam proses tersebut, hal ini berkaitan dengan pengatahuan yang abstrak. Dengan demikian faktor pengatahuan merupakan sisi yang harus menjadi perhatian utama di dalam memberdayakan sumberdaya

95 68 manusia wilayah kepulauan bila ingin mempercepat proses pembangunan selain potensi sumberdaya manusia yang murah dan sumberdaya alam yang melimpah. Schumpeter (1961), menyatakan pertumbuhan ekonomi wilayah sering diartikan sebagai perkembangan ekonomi atau kemajuan ekonomi., dimana perkembangan ekonomi adalah suatu perubahan yang spontan dan terputus-putus. Sementara pertumbuhan ekonomi adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan jumlah penduduk. Lebih lanjut Schumpeter mengatakan kemajuan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh jiwa usaha (enterpreneurship) masyarakat. Wijaya (2003), mengatakan pertumbuhan ekonomi biasanya tidak menjelaskan secara jelas tentang distribusi pendapatan. Menurutnya dapat saja suatu wilayah mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi ternyata dibarengi dengan semakin timpangnya distribusi pendapatan. Dengan demikian walaupun konsep pertumbuhan ekonomi masih mendapat kritik dari berbagai pihak, konsep ini secara umum masih digunakan Teori Lokasi Permasalahan lokasi yang diperuntukkan bagi setiap aktvitas atau kegiatan pembangunan ekonomi wilayah baik secara nasional maupun regional, harus mempertimbangkan secara cermat agar aktivitas pembangunan tersebut dapat berlangsung secara efisien, efektif dan berkelanjutan (efficiency, effectivity and sustainable). Teori-teori lokasi telah lama diperkenalkan terutama pada wilayah Eropa Tengah, dimana pada saat itu secara teoretik berimplikasi pada analisis ekonomi

96 69 yang berhubungan dengan faktor tata ruang (space) dan faktor jarak (distance). Teori-teori lokasi pada saat ini lebih banyak memusatkan perhatiannya pada perencanaan wilayah, dimana dimensi tata ruang atau dimensi geografis dan landskap ekonomi (economic landscape) dimasukkan sebagai salah satu variabel penting dalam analisis aktivitas ekonomi atau pembangunan. Banyak ahli ekonomi yang melakukan berbagai analisisnya yang ditujukkan terhadap perusahan-perusahan individu dengan memasukkan asumsi faktor lokasi terisolasi tanpa melihat faktor adanya persaingan dalam harga atau output. Smith (1776), hanya membahas masalah lokasi secara terbatas. William (1971), membahas adanya perbedaan sewa tanah yang disebabkan karena adanya perbedaan lokasi. Sedangkan Cantillon (1755), dan Chinitz (1970), tidak hanya membahas masalah lokasi tetapi juga membahas pentingnya pasar untuk wilayahwilayah berkembang sebagai akibat dari adanya kemajuan ekonomi. Dari beberapa ahli tersebut di atas dapat dikatakan bahwa para ahli tersebut tidak menulis atau mengemukakan pendapatnya secara jelas dan hanya memberikan pendapatnya secara terbatas. Dengan berkembangnya teori lokasi, aspek tata ruang (spatial) dan lokasi (location) kegiatan aktivitas ekonomi dapat dimasukkan ke dalam analisa ekonomi secara lebih kongkrit. Hal ini mendorong beberapa ahli untuk melakukan kombinasi antara teori lokasi dengan teori ekonomi baik mikro maupun makro. Perkembangan ini selanjutnya mendorong berbagai analisis ekonomi tata ruang (spatial) yang kemudian menjadi dasar utama bagi munculnya teori ekonomi regional dengan dasar kajian pada aspek lokasi dan tata ruang terhadap pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintah daerah sesuai dengan karakteristik geografis, kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayahnya.

97 70 Provinsi Maluku adalah cermin kecil negara Indonesia, dimana luas lautan wilayah ini lebih luas dari wilayah daratannya. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan/maritim (archipelagic state/archipelago) terbesar di dunia. Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah dengan luas lautan terluas di Indonesia. Untuk itu pengembangan wilayah seperti ini diperlukan berbagai konsep/kebijakan yang bertujuan: 1. Mewujudkan saling ketergantungan antar wilayah yang menghendaki adanya keseimbangan diantara pusat wilayah (core region) dengan wilayah lainnya. Hal ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya spesialisasi wilayah berdasarkan kapasitas dan potensi lokalnya. 2. Terwujudnya keseimbangan pengembangan pembangunan wilayah kepulauan dengan mengokohkan pentingnya laut sebagai bagian dari proses pembangunan yang sama besar manfaatnya dengan wilayah daratan. Rahardjo (1988), mengatakan pembangunan atau pertumbuhan di setiap wilayah tidak terjadi di segala ruang (spatial) akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat atau wilayah tertentu. Dimana setiap wilayah akan memiliki wilayah kutub (pole) yang daya tarik kekuatannya terdapat di kutub-kutub atau pusat-pusat wilayah berbeda antara satu wilayah dengan lainnya Teori Perroux Pengembangan teori Perroux (1955), sangat berpengaruh terhadap teoriteori lokasi pertumbuhan lainnya seperti teori Schumpeter yang menitikberatkan pertumbuhan pada pentingnya inovasi-inovasi baru bagi industri besar. Sedangkan Perroux melihat inovasi-inovasi baru sangat diperlukan terhadap

98 71 berbagai kegiatan kewiraswastaan karena akan mempengaruhi atau mendominasi kegiatan-kegiatan ekonomi wilayah lainnya. Perroux memperlihatkan adanya kaitan erat antara, skala, dominasi, dan dorongan-dorongan untuk melakukan penemuan-penemuan baru yang akan menimbulkan indutri pendorong/penggerak (industrie motrice/propulsive industry). Pemikiran dasar dari teori ini adalah adanya konsep titik pertumbuhan atau kutub pertumbuhan (pole de croissance/growth poles). Teori Perroux menunjukkan faktor utama pengembangan wilayah (regional) karena adanya interaksi antara industri pendorong yang merupakan urat nadi dari kutub pertumbuhan. Industri pendorong yang merupakan urat nadi dari kutub pertumbuhan menurut Perroux memilki ciri-ciri seperti: 1. Tingkat konsentrasi atau pengaruh yang tinggi. 2. Pengaruh polarisasi lokal yang sangat besar. 3. Teknologi yang sudah maju. 4. Tingkat manajerial yang modern. Jadi industri yang dimaksud merupakan industri yang relatif besar, berkembang dengan pesat dan memiliki kedudukan oligopolistik serta mempunyai pengaruh dalam menentukan pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung. Di sisi lain teori Perroux mengatakan bahwa kutub pertumbuhan yang ada, tidak hanya merupakan petunjuk bahwa adanya industri-industri pendorong akan tetapi kutub pertumbuhan diharapkan dapat mempengaruhi wilayahwilayah lain disekitarnya. Oleh karena itu pengaruh polarisasi dari industri tersebut memiliki ketergantungan diantara industri-industri lainnya.

99 72 Perroux dengan teori kutub pertumbuhannya (growth pole) menjelaskan bahwa, perlunya interaksi antara kutub-kutub pertumbuhan dengan wilayah pengaruh. Dengan demikian menurutnya ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dari interaksi-interaksi tersebut yaitu: 1. Dapat menimbulkan ketidak-seimbangan struktural di wilayahnya, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kemakmuran antara kutub pertumbuhan dengan wilayah-wilayah yang terletak disekitarnya (new industrial complex). 2. Adanya pemusatan (agglomerasi) industri pendorong (propulsive industries) dan industri-industri kunci (key industries) sedangkan tenaga kerja, bahan mentah dan jasa-jasa lainnya terpencar (polarisasi) keseluruh wilayah pengaruh. 3. Fungsi tempat sentral dari kutub pertumbuhan (growth pole) dapat memperjelas hubungan antara kutub pertumbuhan dengan wilayah pengaruhnya. Untuk itu secara konsepsional tempat sentral tidak identik dengan dengan kutub pertumbuhan. Tempat sentral banyak sekali jumlahnya dan tersusun dalam suatu hirarkhi sedangkan kutub pertumbuhan hanya sedikit dan terbatas jumlahnya dalam suatu wilayah. Perbedaan yang cukup menonjol antara kutub pertumbuhan dengan tempat sentral adalah, yang menopang pertumbuhan suatu tempat sentral adalah wilayah komplementernya sedangkan yang menopang pertumbuhan wilayah pengaruh adalah kutub pertumbuhan. Beberapa kontribusi dari teori kutub pertumbuhan Perroux (growth pole) dalam bidang pengembangan wilayah seperti, matarantai dari interaksi antar industri (inter industries linkages) dan teori ketergantungan antar industri yang

100 73 berasal dari industri pendorong. Walaupun teori ini mempunyai pengaruh yang cukup besar dilain sisi teori kutub pertumbuhan belum dapat dikategorikan sebagai teori tanpa tata ruang (spaceless), karena teori kutub pertumbuhan belum dapat menjelaskan secara rinci tentang pemilihan lokasi optimum suatu industri atau kegiatan ekonomi lainnya. Dengan demikian teori Perroux sering kali di tafsirkan scara berlebihan terutama dalam pernyataannya tentang peran industri pendorong di suatu wilayah Teori Losch Suatu model keseimbangan tata ruang wilayah (regional spatial), pertama kali dikembangkan oleh Christaller dan diperluas lagi oleh Losch (1940) dengan membahas atau menguraikan prinsip-prinsip dasar analisa spatial serta menginterpretasikannya kedalam ekonomi spatial dalam bentuk pasar persaingan monopolistik. Losch dalam mengembangkan modelnya, menggunakan beberapa asumsi sebagai kerangka pemikiran yang menunjukkan bahwa teorinya berbeda dengan teori-teori regional yang telah dikembangkan terlebih dahulu. Perbedaan seperti, tidak adanya perbedaan-perbedaan spatial baik untuk sumberdaya alam, tenaga kerja dan modal. Seluruh wilayah dianggap sama (homogen), yang berarti bahwa lokasi usaha/kegiatan ekonomi wilayah dapat ditempatkan dimana saja. Penduduk tersebar merata, kepadatan penduduk uniform, sosial budaya dan ekonomi masyarakat dianggap konstan dan perbedaan pendapatan diabaikan. Selanjutnya menurut Losch, wilayah pasar (market region) dan permintaan (demand) terhadap hasil produksi wilayah yang bersangkutan tidak dipengaruhi oleh lokasi dari kegiatan ekonomi lainnya.

101 74 Menurut Losch, ada tiga jenis wilayah ekonomi yaitu: 1. Wilayah pasar sederhana 2. Jaringan wilayah pasar 3. Sistem jaringan wilayah pasar Teori Losch (1940), ingin memperlihatkan bahwa suatu wilayah harus melakukan/melihat tahapan-tahapan paling menguntungkan bagi wilayah yang melakukan kegiatan ekonomi berdasar wilayah pasar tersebut. Wilayah pasar sederhana biasanya sangat bergantung pada perdagangan yang dilakukan, sedangkan jaringan maupun sistemnya sangat kompleks, walaupun hal tersebut ideal akan tetapi masih sulit dijumpai pada suatu kenyataan, bila wilayah-wilayah tersebut tidak mencerminkan keunggulan dari setiap wilayah pasar. Salah satu aspek dari analisis Losch adalah mengabaikan aspek agglomerasi pada beberapa kegiatan ekonomi dengan tidak memperdulikan adanya titik nodal dalam ekonomi spatial. Pengabaian ini karena Losch beranggapan bahwa bahan mentah sama atau seragam (uniform) dan terdapat dimana-mana di semua wilayah. Richardson (1970), menyatakan teori umum Losch ternyata masih membutuhkan beberapa pengujian lagi sebagai akibat dari beberapa asumsiasumsi dasar yang dipakainya. Ia beranggapan bahwa Losch, memberikan kebebasan setiap wilayah dapat melakukan berbagai kegiatan produksi/ekonomi secara terpisah tanpa memperhatikan kebutuhan antar wilayah sehingga digambarkan kegiatan ekonomi wilayah secara tidak utuh atau memiliki satu kesatuan yang saling melengkapi.

102 75 Teori Losch yang dikenal dengan teori kerucut permintaan (demand cone) lebih mengutamakan model keseimbangan regional spatial. Losch melihat jika sebuah aktivitas atau kegiatan ekonomi semuanya sama di suatu wilayah maka aktivitas atau kegiatan ekonomi di wilayah tersebut sama dan dapat dilakukan di wilayah lain sehingga satu wilayah dianggap dapat mewakili wilayah lain. Dalam beberapa segi teori Losch belum memuaskan tetapi Losch telah berhasil menjelaskan timbulnya kecenderungan kuat dari setiap wilayah untuk melakukan aktivitas atau kegiatan ekonomi yang cenderung melakukan agglomerasi karena adanya penghematan dan ketergantungan antarwilayah dimana unsur spatial menjadi bagian analisis tata ruang wilayah Teori Hirschman Konsep teori Hirschman (1958), lebih mengutamakan perhatiannya pada pertumbuhan wilayah tidak seimbang. Dimana secara geografis pertumbuhan ekonomi wilayah akan dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan disuatu wilayah pada satu titik tempat yang menimbulkan dorongan ke arah perkembangan titik-titik atau tempat-tempat wilayah berikutnya. Teori Hirschman melihat fungsi-fungsi ekonomi suatu wilayah, berbeda tingkat intensitasnya untuk setiap tempat yang berbeda pula. Perkembangan suatu wilayah dimulai dari titik originalnya sebelum tersebar (polarisasi) ke berbagai wilayah lainnya. Titik original Hischman dikenal dengan istilah growing point atau growing centre bukan growth pole seperti yang dikemukakan oleh Perroux. Menurut Djojodipuro (1992), teori Hirschman melihat tingkat pembangunan di suatu wilayah cenderung tercapai pada beberapa titik

103 76 pertumbuhan. Dimana kegiatan atau aktivitas ekonomi lebih berkelompok di tempat-tempat tersebut, karena memiliki berbagai manfaat dalam bentuk penghematan dan kemudahan-kemudahan yang diperolehnya yaitu tersedianya berbagai fasilitas pelayanan yang lebih lengkap dari wilayah lain. Dampak pemusatan (agglomerasi) dapat dilihat juga dari besarnya migrasi penduduk ke pusat titik suatu wilayah sehingga terlihat dari tingkat komplementaritas antara dua tempat wilayah yang saling bergantung tersebut. Dengan demikian tingkat pembangunan yang dicapai pada saat itu cenderung mengalami tingkat perbedaan, namun dalam jangka panjang akan mengalami penurunan tingkat perbedaan pada wilayah-wilayah disekitarnya. Komplementaritas yang kuat akan mengakibatkan terjadinya proses penyebaran pembangunan ke wilayah-wilayah belakang (trickling down), namun sebaliknya jika komplementaritas lemah maka akan menimbulkan atau mengakibatkan terjadinya polarisasi. Jika polarisasi lebih kuat dari pengaruh aglomerasi pembangunan maka akan menimbulkan ciri-ciri wilayah perkotaan yang modern tetapi juga menimbulkan ciri-ciri wilayah perdesaan yang terbelakang. Walaupun pengaruh aglomerasi yang cukup kuat, Hirschman masih optimis bahwa pada akhirnya pengaruh trickling down akan dapat mengatasi pengaruh polarisasi yang terjadi pada wilayah-wilayah terbelakang. Trickling down yang terjadi pada wilayah terbelakang harus mampu mendorong percepatan pembangunan wilayah perdesaan. Dengan demikian dalam jangka panjang komplementaritas antar wilayah-wilayah pusat dengan wilayah perdesaan akan menjamin polarisasi pembangunan wilayah keseluruh wilayah disekitarnya. Di sisi lain teori Hirschman menurut Myrdal (1968), masih bersifat

104 77 konseptual yang memperkenalkan struktur titik-titik pertumbuhan dan wilayah terbelakang. Myrdal mempergunakan istilah backwash effect dan spread effect, yang pengertiannya hampir sama dengan istilah polarisasi dan trickling down. Penekanan perbedaan yang terjadi antara Hirschman dan Myrdal pada analisis Myrdal lebih menekankan pemahaman tentang pengaruh agglomerasi yang lebih kuat dari polarisasi pembangunan. Pesimistis tersebut terjadi karena Myrdal tidak melihat teori Hirschman yang menyatakan bahwa, timbulnya titik-titik pertumbuhan wilayah adalah suatu hal yang merupakan syarat bagi perkembangan pembangunan selanjutnya serta syarat bagi penyebaran pembangunan terhadap wilayah di sekitarnya. Di sisi lain timbulnya kekuatan yang menyebabkan titik balik apabila perkembangan ke arah polarisasi di suatu wilayah sudah terjadi atau berlangsung untuk waktu yang telah lama. Perbedaan antara Hirscman dan Myrdal, teori Hirschman menekankan pendapatnya untuk membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan sehingga dapat menciptakan pengaruh penyebaran pembangunan yang lebih efektif. Sedangkan Myrdal menyatakan pada langkah-langkah kebijakan untuk memperlemah backwash effect dan mempercepat spread effect agar proses memperkecil ketimpangan regional (disparity regional) antarwilayah dapat diperkecil Teori Leontief (Model I-O) Upaya untuk memahami berbagai permasalahan atau kompleksitas suatu aktivitas ekonomi suatu wilayah dan kondisi untuk mempertahankan keseimbangan antara permintaan dan penawaran oleh Leontief dikenal dengan istilah analisis antarindustri. Analisis antarindustri merupakan salah satu teknik

105 78 baru yang diperkenalkan dengan istilah teknik input-output (I-O). Dasar utama model (I-O) sebenarnya pertama kali dikembangkan oleh Francois Quesnay dalam teori distribusinya yang dikenal dengan Tableu Eqonomique. Budiharsono (2001), mengemukakan konsep dasar yang dikembangkan oleh Leontief dalam model (I-O) sebagai berikut: 1. Struktur perekonomian terdiri dari berbagai sektor dan ada transaksi. 2. Output suatu sektor diperlukan sektor lainnya untuk memenuhi permintaan akhir. 3. Input suatu sektor dibeli oleh sektor lainnya, rumah tangga, pemerintah, surplus usaha dan impor. 4. Adanya hubungan secara linear antara input dengan output. 5. Dalam kurun waktu analisis biasanya 1 tahun total input sama dengan total output. 6. Suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan dan output tersebut diproduksikan oleh satu teknologi (Richardson, 1978 dan Isard, 1975). Keuntungan dari penggunaan teknik (I-O) merupakan salah satu teknik yang dipergunakan untuk menganalisis perekonomian suatu wilayah. Perekonomian wilayah dimaksud adalah keterkaitan antarsektoral dimana input suatu sektor (industri) merupakan ouput sektor (industri) lainnya atau sebaliknya. Teknik ini sering diartikan bahwa dalam keadaan keseimbangan jumlah nilai output agregat dari suatu aktivitas atau kegiatan ekonomi harus sama dengan jumlah nilai input antarindustri dan jumlah nilai output antarindustri.

106 79 Menurut Arsyad (1999), model (I-O) dapat memberikan informasi yang diperlukan mengenai koefisien struktural berbagai sektor perekonomian selama suatu jangka waktu tertentu dan dapat dipergunakan seoptimal mungkin dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi wilayah. Analisis perekonomian wilayah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan ekonomi wilayah yang menjadi tujuan utama pembangunan. Oleh sebab itu pengembangan seluruh sektor perekonomian secara komprehensif dan terkait perlu dianalisis bagaimana keterkaitan antarsektor di wilayah tersebut karena tidak semua sektor dalam suatu wilayah memiliki nilai keterkaitan yang sama. Selain analisis keterkaitan antarsektor menurut Kadariah (1978), menyatakan peningkatan aktivitas sektor utama (leading sector) ekonomi suatu wilayah sangat berpengaruh pada peningkatan arus pendapatan ke wilayah tersebut pada masa depan. Dimana dengan meningkatnya pendapatan masyarakat maka akan meningkatkan tingkat konsumsi, barang dan jasa yang pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas atau kegiatan ekonomi lainnya di wilayah tersebut. Analisis (I-O) yang dilakukan didasarkan pada teori keseimbangan umum (general equilibrium) karena mengintegrasikan permintaan dan penawaran (demand and supply). Analisis ini mampu memberikan gambaran rinci mengenai perekonomian suatu wilayah dengan mengkuantifikasikan ketergantungan (interdependency) antarsektor. Selain itu analisis (I-O) dapat digunakan untuk memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya terhadap keluaran berbagai sektor produksi, nilai tambah (added value) dan sebagainya. Dalam analisis (I-O) teknik ini mampu menjawab bagian di atas dengan memproyeksi peubah-peubah ekonomi dan dapat memberi petunjuk mengenai sektor-sektor

107 80 yang memiliki pengaruh kuat terhadap pertumbuhan ekonomi serta sektor-sektor peka terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah baik secara regional, nasional maupun internasional. Model (I-O) masih memiliki keterbatasan dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam penyusunan tabel (I-O). Sehingga tabel (I-O) harus dapat memenuhi unsur-unsur asumsi dasar analisis (I-O) tersebut. Asumsi-asumsi dasar dalam analisis (I-O) menurut Bulmer-Thomas (1982), Budiharsono (2001), dan Tarigan (2004), yaitu: 1. Homogenitas (homogenity) atau keseragaman. Asumsi ini digunakan untuk menyatakan bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis barang atau jasa yang sama dengan struktur input tunggal. Dengan demikian suatu sektor hanya menghasilkan barang atau jasa melalui satu cara dengan satu susunan input. 2. Proposionalitas (proportionality/linearity) atau kesebandingan. Asumsi ini menyatakan setiap kenaikan penggunaan input selalu berbanding lurus (proposional) dengan kenaikan outputnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap ada perubahan suatu output pada suatu tingkat akan selalu didahului oleh adanya perubahan penggunaan input yang seimbang. Jadi asumsi ini menggambarkan bahwa fungsi produksi Leontief mencerminkan tidak adanya subtitusi antar faktor produksi (elastisitas subtitusi σ adalah nol sehingga koefisien input a ij 2 selalu tetap). 3. Additivitas (additivity) atau penjumlahan. Asumsi ini menyatakan bahwa efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari

108 81 efek masing-masing kegiatan atau akibat dari pelaksanaan produksi di berbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, tabel input-output sebagai model kuantitatif memiliki keterbatasan seperti koefisien input atau koefisien teknis diasumsikan tetap (konstan) selama periode analisis. Keterbatasan lain dalam analisis (I-O) adalah banyaknya agregasi yang dilakukan terhadap sektor-sektor yang ada di wilayah tersebut. Hal ini membuat semakin besarnya pelanggaran terhadap asumsi keseragaman atau homogenitas sehingga dapat menyebabkan informasi-informasi ekonomi lainnya tidak terungkap dalam analisis yang dilakukan. Model umum Input-Output menurut Miler and Blair (1985), menyatakan bahwa model Input-Output yang dikembangkan Leontief saat ini memiliki tiga struktur dasar yaitu: 1. Tabel transaksi antarsektor (kuadran I). 2. Sejumlah kolom tambahan permintaan akhir (kuadran II). 3. Sejumlah baris tambahan untuk nilai tambah (kuadran III). Dengan demikian tabel transaksi antarsektor menggambarkan distribusi output yang diproduksi pada sisi baris dan menggambarkan distribusi input bagi tiap sektor produksi pada sisi kolom. Oleh karena itu tabel transaksi antar industri hanya menggambarkan sektor-sektor yang saling berhubungan dalam masalah produksi untuk kurun waktu tertentu. Sedangkan barang-barang yang dikelompokkan kedalam permintaan akhir bersifat eksogen bagi sektor industri. Barang-barang tersebut diminta oleh konsumen akhir yang dikenal dengan, rumah tangga (H), pemerintah (G) dan pihak luar negeri (X-M).

109 82 Permintaan atas barang tidak ditentukan oleh jumlah barang yang diproduksi dan bukan merupakan input dalam proses industri. Bagian baris tambahan dalam model Input-Output dikenal sebagai nilai tambah (added value) merupakan input yang tidak diproduksi oleh sektor-sektor ekonomi dan yang termasuk dalam nilai tambah adalah jasa faktor produksi yaitu, upah, sewa, bunga dan keuntungan pemilik modal. Bulmer-Thomas (1982), seluruh data Input-Output harus dicatat berdasarkan satuan moneter dan merupakan nilai tambah dari masing-masing sektor. Selanjutnya dikatakan bahwa formulasi Leontief pada mulanya lebih menggambarkan tentang keseluruhan keterkaitan produksi dalam model Input-Output dalam besaran fisik. Untuk itu digunakan ukuran satuan moneter sebagai perbandingan antar sektor dibandingkan dengan ukuran fisik yang pertama kali diformulasikan oleh Leontief. Kerangka tabel Input-Output sederhana Leontief seperti yang disajikan pada Tabel 3. menerangkan X 12 sebagai output sektor 1 dan digunakan oleh sektor 2 sebagai input antara dan F 1 adalah output sektor 1 merupakan bagian dari permintaan akhir untuk sektor rumah tangga (H), pemerintah (G) serta ekspor (X). Dengan demikian baris 1 menggambarkan distribusi total output sektor 1 sebesar X 1 ke sektor-sektor produksi dan permintaan akhir sebesar F 1. Angka- angka sepanjang kolom menggambarkan susunan input dari masing-masing sektor produksi. Susunan input J terdiri dari X 1i (i = 1, 2, 3...) dan yang merupakan input primer adalah V 1. Secara umum persamaan yang menyatakan distribusi output adalah: 3 X i = X ij + F i j = 1

110 83 Persamaan susunan input untuk sektor sebagai berikut: Tabel 3. 3 X i = X ij + V i j = 1 Secara umum kerangka tabel Input-Output sederhana dapat dilihat pada Tabel 3. Kerangka/Model Baku Tabel Input-Output I N P U T A N T A R A S E K T O R P R O D U K S I Upah & gaji RT Nilai Tambah Lain Input Antara Sektor Produksi i j N Kon. RT Permintaan Akhir Kon. Pemerintah Pembtk Modal Tetap Stok Ekspor Total Output i X ii X ij X in R hi K pi I i S i E i X i.... j X ji X jj X jn R hj K pj I j S j E j X j.. n X ni X nj X nn R hn K pn I n S n E n X n L i L j L n V i V j V n Impor M i M j M n Total Input X i X j X n Sumber: Budiharsono (2001) dan Kuncoro (2004) Analisis Model Input-Output (I-O) Analisis perekonomian suatu wilayah dapat dilakukan melalui model analisis Input-Output (Model I-O). Melalui analisis ini dapat diketahui mekanisme perhitungan sesuai dengan aspek kepentingan penelitian yang dilakukan. Biasanya tabel Input-output digunakan untuk mengetahui berbagai aktivitas perekonomian suatu wilayah (Kuncoro, 2004).

111 84 Mekanisme perhitungan yang dilakukan melalui model (I-O) memiliki berbagai aspek pendekatan. Aspek-aspek tersebut memiliki fungsi dan keeratan analisis perekonomian wilayah tersebut. Fungsi dan keeratan analisis perekonomian suatu wilayah meliputi: struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages. 1. Struktur Output Output adalah nilai produksi dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas kegiatan perekonomian suatu wilayah/daerah. Dengan mengetahui besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing sektor maka akan diketahui sektor-sektor mana yang mampu memberikan penerimaan terbesar dalam pembentukan output secara keseluruhan di wilayah atau daerah itu. 2. Struktur Nilai Tambah Bruto Nilai tambah bruto merupakan balas jasa dari faktor produksi yang tercipta karena adanya aktivitas atau kegiatan produksi. Besarnya nilai tambah bruto dari tiap-tiap sektor biasanya ditentukan dari besarnya nilai produksi (output) yang dihasilkan serta jumlah biaya yang dikeluarkan selama proses produksi dilakukan. Setiap sektor yang memiliki output yang besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar pula. Nilai tambah yang besar dari suatu sektor biasanya bergantung pada besarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh sektor tersebut.

112 85 3. Analisis Angka Pengganda (MultiplierEffect) Analisis pengganda (multiplier) dipergunakan untuk menilai dampak dari perubahan permintaan akhir suatu sektor terhadap penciptaan output, pendapatan dan kesempatan kerja. Analisis pengganda (multiplier) meliputi: A. Pengganda Output (Output Multiplier). Analisis pengganda output (output multiplier) bertujuan untuk melihat dampak dari perubahan permintaan akhir suatu sektor terhadap semua sektor yang ada pada setiap satuan perubahan jenis pengganda. Peningkatan output sektor lain tercipta sebagai akibat dari adanya efek tidak langsung dari peningkatan permintaan akhir sektor (Miller and Blair, 1985). B. Pengganda Pendapatan (Income Multiplier) Analisis pengganda pendapatan (income multiplier) merupakan suatu alat analisis untuk melihat pengaruh dari perubahan-perubahan permintaan akhir oleh suatu sektor terhadap pendapatan disektor tersebut dalam suatu aktivitas atau kegiatan perekonomian yang dilakukan. C. Pengganda Tenaga Kerja (Employment Multiplier) Analisis pengganda tenaga kerja (employment multiplier) memperlihatkan efek total dari perubahan lapangan pekerjaan sebagai akibat adanya satu unit uang mempengaruhi perubahan permintaan akhir dari suatu sektor tertentu. Biasanya analisis pengganda tenaga kerja digunakan untuk melihat peran dari suatu sektor perekonomian wilayah atau daerah dalam meningkatkan besarnya jumlah tenaga kerja yang terserap dalam aktivitas perekonomian yang sedang dilakukan.

113 86 4. Analisis Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages) Analisis keterkaitan antarsektor (intersectoral linkages) digunakan dalam suatu analisis input-output untuk melihat keterkaitan antarsektor terutama untuk menentukan strategi kebijakan pembangunan. Analisis keterkaitan antarsektor dikenal dengan dua jenis keterkaitan yaitu: A. Keterkaitan ke Depan (forward linkages) B. Keterkaitan ke Belakang (backward linkages) Keterkaitan ke depan merupakan keterkaitan dari penjualan barang jadi dan dihitung menurut baris. Sedangkan keterkaitan ke belakang merupakan keterkaitan dengan bahan mentah dan dihitung menurut kolom (Kuncoro, 2004, dan Rasmussen, 1956) Tinjauan Empiris Kebijakan Pembangunan Wilayah Atas Dasar Geografi Ekonomi Kajian empiris yang dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan atau pengembangan wilayah, mulai dilakukan setelah adanya ketergantungan perkembangan ekonomi terhadap ruang wilayah tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi suatu wilayah terutama di negara berkembang sangat mempengaruhi perkembangan aktivitas atau kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Kajian tentang pertumbuhan ekonomi wilayah sudah banyak dilakukan oleh para ekonom. Berikut ini disajikan beberapa hasil penelitian atau kajiankajian tentang studi yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu tentang peran serta aktivitas ekonomi dalam mempengaruhi pengembangan

114 87 ekonomi wilayah di beberapa negara, baik di negara sedang berkembang maupun di negara industri baru. Rona wilayah yang heterogen membuat berbagai kebijakan pembangunan wilayah di setiap daerah atau negara berbeda satu dengan lainnya. Dengan adanya perbedaan kebijakan pembangunan wilayah, menimbulkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi terjadi lebih cepat atau lebih lambat di beberapa wilayah. Sedangkan pada wilayah lainnya belum tentu mencapai hasil pembangunan dan pertumbuhan seperti yang diharapkan. Biasanya rona wilayah yang heterogen sering menimbulkan ketimpangan (disparity) antarwilayah walaupun dalam suatu wilayah administrasi. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai kebijakan yang dibuat tidak didasarkan pada kapasitas atau potensi lokal wilayah terutama pada wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku. World Bank (2009), dengan pendekatan topografi menyatakan bahwa dunia ini tidak datar sehingga pada skala spasial kekuatan-kekuatan ekonomi tidak tidak bekerja pada suatu tempat yang hampa secara geografis. Kekuatan ekonomi seperti ini berhubungan dengan kosentrasi penduduk dan produksi. Konsentrasi penduduk berhubungan dengan migrasi sedangkan produksi berhubungan dengan spasial. Sedangkan kebijakan pembangunan wilayah merupakan intervensi pemerintah untuk menyebarkan manfaat-manfaat pertumbuhan ekonomi wilayah secara merata ke setiap wilayah (daerah). Oleh sebab itu pembuat kebijakan sering berkompromi karena adanya kesalahankesalahan di dalam mengenali pentingnya geografi ekonomi sehingga akan sangat sulit bagi investor (produsen) untuk membuat suatu keputusan mengenai dimana mereka harus melakukan aktivitas ekonomi secara tepat.

115 88 Kondisi alam atau karakteristik serta geografis yang berbeda antar wilayah akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan wilayah. Oleh sebab itu perbedaan seperti diatas, pada skala wilayah (daerah/provinsi) sering mengakibatkan adanya percepatan agglomerasi atau menimbulkan perlambatan polarisasi bahkan sebaliknya. Namun kondisi perbedaan wilayah sering menimbulkan percepatan pembangunan yang bersifat aglomerasi dengan melakukan eksploitasi wilayah pinggiran (periphery) sering memperlambat polarisasi pembangunan ekonomi wilayah lainnya. Meyer-Stamer (2003), mengatakan pembangunan ekonomi wilayah lokal berbeda dengan pembangunan lokal atau wilayah (regional). Ada kecenderungan dari sebagian masyarakat melihat pembangunan lokal berhubungan dengan wilayah administrasi seperti pembangunan kota, kabupaten atau kecamatan. Sedangkan pembangunan wilayah (regional) berkaitan dengan sekumpulan kota-kota yang batasan tertinggi sampai pada jenjang provinsi. Dengan demikian antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan wilayah perlu dilakukan batasan pengertiannya sehingga pengertian lokal pada pembahasan ini hanya pada batasan wilayah geografis yang lebih kecil cakupannya dari pengertian region. Banyaknya istilah-istilah yang sering dipakai dalam ekonomi regional berhubungan dengan skala spasial membuat pembuat kebijakan perlu memahami wilayah pengamatannya. Istilah daerah biasanya berhubungan dengan kata teritori (teritorial) sedangkan istilah regional berhubungan dengan kawasan sehingga kawasan dapat dijelaskan sebagai kumpulan atau sekelompok negara tetapi bila diartikan kedalam negara kepulauan kawasan mengandung

116 89 pengertian sebagai kumpulan atau sekelompok pulau-pulau dalam wilayah tersebut, seperti Provinsi Maluku yang dikenal sebagai kawasan seribu pulau tentunya memiliki kawasan sentra produksi yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah dengan keunggulan sektoralnya. Berbagai studi tipologi wilayah telah dilakukan di beberapa negara maupun di Indonesia antara lain tipologi kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, beberapa kecamatan dan kabupaten di Provinsi Jawa Barat serta beberapa wilayah lainnya di Indonesia. David et al. (1990), menyatakan suatu wilayah memiliki keterkaitan dengan wilayah luar tetapi tidak semua wilayah akan mengalami shock makroekonomi, tetapi bagaimana shock tersebut dapat berguna bagi pembuatan kebijakan yang lebih baik terhadap wilayah tersebut dalam jangka pendek maupun jangka panjang. David dkk, memperkirakan dampak ketidakseimbangan makroekonomi terhadap hasil yang dicapai oleh suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan demikian perlu didorong (push) berbagai pendekatan baik dari bawah (bottom-up) seperti: faktor pasar, produk pasar dan berbagai agen ekonomi yang spesifik dan ketersediaan fasilitas pelayanan dari wilayahnya sendiri. Hay (1979), berdasarkan hasil penelitiannya di Brazil, mengatakan bahwa setiap wilayah (region) memiliki keuntungan lokasi yang berbeda-beda dan hal ini sangat tergantung pada keadaan geografi wilayah setempat. Dengan demikian setiap wilayah dapat meningkatkan pembangunan wilayahnya sesuai strategi-strategi yang disesuaikan dengan keuntungan lokasi (advantage location) yang dimiliki dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan yang dibuat

117 90 oleh pemerintah pusat. Dengan demikian model ini lebih banyak melihat pembangunan wilayah pada aspek comparative advantage. Otmazgin (2005), menyatakan kedudukan wilayah dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh aspek politik serta ekonomi dari suatu negara. Sebelum dan setelah perang dingin antara Amerika Serikat dengan sekutunya melawan Uni Soviet ternyata perwilayahan (regionalization) selalu difokuskan pada cultural commodities, khususnya pada negara-negara di Asia Timur. Dasar dari perwilayahan ini adalah, budaya dari masyarakat, pendekatan karakteristik wilayah, pasar serta perhatian dari pemerintah seperti besarnya peran lembagalembaga formal dalam mendukung peran serta masyarakat. Sedangkan sejauh ini pemerintah hanya memperhatikan infrastruktur dan insetif bagi sektor industri pada suatu wilayah., tetapi dalam waktu yang sama pemerintah melakukan intervensi dalam proses cultural commodities dengan mempergunakan kekuatan politik. Menurut Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (1992), tipologi wilayah ditentukan berdasarkan potensi sumberdaya alam utama wilayah yang bersangkutan. Dengan demikian berbagai kebijakan wilayah biasanya dipengaruhi oleh keadaan kondisi atau potensi lokal wilayah tersebut dan hal ini berlaku pula bagi wilayah-wilayah lainnya sebab masing-masing wilayah memiliki karakteristik dan potensi lokal (local spesific) yang berbeda satu dengan lainnya. Walaupun kadangkala ada beberapa wilayah yang memiliki keseragaman (homogen) karakteristik tertentu, tetapi secara umum setiap wilayah memiliki perbedaan (heterogen) karakteristik dalam hal tertentu pula. Tipologi harus

118 91 didasarkan pada pola keterkaitan parameter yang di ukur dengan ruang (space) wilayah. Wilayah merupakan tempat berbagai aktivitas dilakukan baik untuk berproduksi maupun untuk memperoleh hasil atau pendapatan dari aktivitas yang dilakukan. Oleh karena sifat ruang yang terbatas maka pola penggunaannya perlu menjadi perhatian dalam pembuatan kebijakan wilayah. Banyaknya kebijakan yang dibuat dan tidak sesuai dengan pola penggunaan ruang (spatial) akan menimbulkan kesalahan dalam pengambilan kebijakan. Hal seperti ini sering terjadi karena tidak memperhatikan aspek karakteristik wilayah yang berbeda tersebut seperti, banyaknya kebijakankebijakan yang hanya berpatokan pada asumsi semua wilayah homogen baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Berbagai kebijakan yang keliru masih tercermin dari salahnya pengambilan kebijakan dengan mengasumsikan Indonesia sebagai negara daratan (landlock state) padahal sudah jelas seperti tertuang dalam UUD Negara Indonesia bahwa negara kesatuan republik Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state). Sebagai wilayah kepulauan tentunya memiliki karakteristik kapasitas atau kemampuan serta potensi lokal (local spesific) wilayah yang berbeda (growth potensial/local spesific/wisdom). Potensi lokal wilayah ini perlu dimanfaatkan atau dikelola sehingga menjadi daya tarik (attractiveness) dalam mempercepat dan meningkatkan daya saing antarwilayah yang saling menguntungkan Dinamika Antarsektor dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Sektoral Wilayah Verner dan Fiess (2001), dalam studi atau kajian yang dilakukannya dikatakan peran sektor maupun antarsektor sangat berpengaruh dalam

119 92 meningkatkan perekonomian wilayah melalui peningkatan Gross Domestic Product (GDP). Hasil temuannya memperlihatkan adanya peran antarsektor, khususnya peran sektor pertanian dimana menurutnya untuk jangka panjang sektor pertanian masih merupakan sektor dominan atau sektor pendorong (prime mover sector) terhadap sektor-sektor lainnya sebagai intermediate goods terlebih sektor industri yang beraktivitas pada suatu wilayah. Berdasarkan hasil studi atau kajian yang mereka lakukan dikatakan bahwa, peran negara harus lebih besar atau kuat untuk tetap mempertahankan sektor-sektor unggulan khususnya sektor pertanian sebagai sektor yang harus ditingkatkan nilai tambahnya (value added) sehingga mampu bersaing atau meningkatkan perekonomian atau pertumbuhan negara tersebut. Hasil kajian ini menunjukkan besarnya perkembangan sektor industri perminyakan dan sektor ini sendiri merupakan sektor yang banyak terserap dalam mendorong perkembangan sektor lainnya. Sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan dapat ditemui pada kajian analisisnya dengan melihat dinamika antarsektor, dimana sektor pertanian masih sangat bergantung dari sektor-sektor lainnya seperti sektor industri namun sektor industri itu sendiri masih sangat bergantung pada besarnya sumbangan atau peran serta dari sektor industri perminyakan yang lebih banyak menyumbangkan devisa bagi negara ini. Peran sektor industri perminyakan masih diharapkan sebagai penggerak utama bagi sektor-sektor lainnya, sehingga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tetap terjaga atau meningkat. Studi-studi lain yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu seperti yang dilakukan oleh Steven dan kawan-kawan, lebih banyak menyoroti

120 93 kajiannya pada pertumbuhan ekonomi yang terjadi di belahan dunia ketiga. Kajian mereka kali ini melihat tentang besarnya pertumbuhan ekonomi yang meningkat dengan cukup tinggi dan sangat cepat pergerakkannya di belahan benua Asia. Menurut Steven (2001), kunci keberhasilan dari pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat atau besar, diperoleh dari adanya konsep pembagunan yang diprioritaskan sesuai dengan kapasitas atau kemampuan negara. Keuntungan geografis dan karakteristik struktural perekonomian yang begitu besar serta sedikitnya pengangguran yang terjadi akibat dari adanya perubahan perekonomian ke arah yang lebih baik, sehingga laju pertumbuhan ekonomi dapat bertumbuh dengan baik. Disamping itu adanya berbagai strategi kebijakan ekonomi yang ada di negara-negara Asia yang memperlihatkan suasana investasi yang lebih kondusif dari beberapa waktu yang lampau. Selain memperhatikan aspek potensi, karakteristik dan kapasitas wilayah kajian ini di arahkan dengan menyimpulkan besarnya, peranan sektor potensial untuk dikembangkan dengan cepat tanpa mengabaikan peran kebijakan-kebijakan di bidang keunggulan sektoralnya untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah pada masa-masa yang akan datang. Studi yang dilakukan Gaurav dan Marthin (2002), tentang estimasi tingkat kemiskinan menunjukkan adanya penurunan angka kemiskinan rata-rata 1 persen per tahun. Kajian yang dilakukan memperlihatkan bahwa, perlu adanya penekanan pada faktor keseimbangan dari berbagai aspek yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Tentang besarnya peran sektor pertanian yang sangat penting

121 94 digunakan sebagai salah satu ukuran untuk mengukur keberhasilan mengatasi tingkat kemiskinan yang terjadi selain pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Bila dilihat dari letak atau kedudukan geografis atau ruang wilayahnya (spatial) dan perkembangan dari sektor-sektor unggulan atau potensial maka ada ketidakseimbangan yang terjadi diantara sektor-sektor tersebut. Studi ini menunjukkan sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian mengalami ketimpangan yang cukup mendasar. Bila diperkirakan berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi secara umum meningkat namun berdasarkan tingkat kemiskinan tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah cukup mempengaruhi terhadap tingkat kemiskinan yang tetap tinggi. Hasil kajian selanjutnya menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang terjadi bersumber dari sektor-sektor yang bukan pertanian, studi ini juga memperlihatkan bahwa, tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan karena besarnya tingkat kemiskinan yang ada akibat dari timpangnya pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian. Kajian ini memperlihatkan sektor pertanian masih memegang peran penting disamping berperannya faktor spatial atau geografis wilayah dan sebagai faktor yang cukup besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi adalah lemahnya pemberdayaan dan peran sumberdaya manusia di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Dengan demikian sektor pertanian yang merupakan leading sector masih berperan atau berpengaruh dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi India walaupun tidak setinggi seperti yang diharapkan yakni diatas laju pertumbuhan tingkat kemiskinan. Oleh karena itu Gaurav dan Martin merekomendasikan bahwa, sektor pertanian masih tetap merupakan sektor yang

122 95 berpengaruh besar dalam mengurangi tingkat kemiskinan yang semakin membengkak dan sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah. Sehingga sektor pertanian tidak dipandang lagi sebagai sektor inferior tetapi sebagai sektor yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan sektor lainnya. Belajar dari krisis pangan saat ini yang dialami hampir semua negara, menjadikan Indonesia perlu memacu atau mendorong perkembangan ekonomi wilayah berbasis kapasitas dan potensi lokal wilayah dengan mengedepankan keunggulan sektoralnya Perubahan Struktur Ekonomi dan Kebijakan Strategi Pembangunan Ekonomi Antarwilayah Berbasis Potensi Lokal Wilayah Review yang dilakukan oleh Lardy (1999), pada laju pertumbuhan ekonomi China, sejak tahun 1970 memperlihatkan sistem ekonomi pasarnya dari era komunis sampai era reformasi menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan dalam pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik. Perubahan ini menurut Lardy diakibatkan adanya sistem ekonomi pasar yang terus mengalami perubahan Hasil survey yang diambil dari rata-rata pertumbuhan aktual dan sumber-sumber pertumbuhan dengan beberapa spekulasi yang dilakukan menunjukkan pemerintah ingin tetap mempertahankan laju pertumbuhan yang semakin tinnggi menuju pada tingkat overheating. Perkiraan perubahan kebijakan yang dilakukan oleh negara tersebut pada awalnya hanya dengan memperkirakan pengaruh dari meningkatnya pertumbuhan output industri baru. Jefferson (1992), dalam kajian tentang berkembangnya industri-industri baru dengan cepat dan memperluas daerah pemasarannya. Perkembangan industriindustri tersebut sangat mendukung percepatan laju pertumbuhan di sektor

123 96 elektronik, komunikasi sekitar 1.4 persen sampai 7.6 persen. Di sisi lain oleh Lardy (1999), dikatakan selain industri baru di sektor industri elektronik menurutnya, sektor pertanian yang dikembangkan berdasarkan keunggulankeunggulan wilayah (local spesific) mampu meningkatkan produksi komoditinya dengan kualitas yang semakin baik. Dengan demikian oleh Jefferson dikatakan bahwa sektor pertanian dengan spesifikasi yang semakin baik mulai menguasai pasar impor negara lain karena adanya inovasi di sektor tersebut. Selain itu pengembangan sektor pertanian yang dikembangkan disesuaikan dengan kapasitas atau kondisi kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dari wilayah-wilayah tersebut. Hasil kajian yang di lakukan akhirnya memperlihatkan peran inovasi dan ketergantungan pada wilayah pengembangan sesuai dengan kapasitasnya sehingga turut mempengaruhi laju pertumbuhan negara tersebut, selain tabungan masyarakat yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi dari ketiga sektor ini yaitu sektor pertanian, industri baru dan angkutan pada akhirnya diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sektor-sektor ekonomi lain yang masih perlu dipacu atau di dorong perkembangannya. Kajian lain yang dilakukan Akita dan Kataoka (2002), memperlihatkan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Perubahan dalam kebijakan pemerintah ini yang menjadi fokus utama terhadap penciptaan kondisi yang lebih kondusif untuk menghasilkan pusat pertumbuhan di masing-masing wilayah. Studi yang dilakukan Akita dan Kataoka memakai tiga wilayah untuk proses pengembangan analisisnya. Hasil studi dari ketiga wilayah kajian tersebut memperlihatkan hasil

124 97 seperti banyaknya kebijakan pengembangan wilayah khususnya untuk ketiga wilayah kajian didasarkan pada beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini peran pemerintah pusat lebih dominan di dalam membuat berbagai kebijakan wilayah dengan menyediakan berbagai fasilitas pelayanan di ketiga wilayah tersebut. Kebijakan pemerintah tersebut sangat mempengaruhi masing-masing wilayah dengan karakteristik atau potensi wilayah yang heterogen. Ada empat faktor yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yaitu: 1. Terjadinya perubahan permintaaan akhir (final demands) seperti, pengeluaran konsumsi pribadi maupun publik di ketiga wilayah kajian karena adanya fasilitas pelayanan yang semakin baik dari ketiga wilayah yang diteliti. 2. Adanya perubahan pada koofisient Input-Output 3. Adanya perubahan ekspor diantara ketiga wilayah kajian yakni secara regional, maupun internasional 4. Impor hanya sebagai bagian substitusi atau pengganti komoditi yang belum dapat dipenuhi oleh ketiga wilayah tersebut. Secara nyata studi atau kajian yang dilakukan oleh Akita dan Kataoka menunjukkan bahwa, keterhubungan antarwilayah yakni wilayah Kyushu, Kanto dan wilayah peristirahatan di dekat wilayah Kyushu (interregional) sangat mempengaruhi industrial linkages dengan banyak faktor yang dipengaruhinya seperti meningkatnya volume perdagangan, kunjungan wisatawan domestik maupun luar negeri sehingga secara signifikan turut meningkatkan permintaan

125 98 akan penginapan sektor perdagangan, hotel dan restoran di wilayah-wilayah tersebut. Di sisi lain adanya perubahan kebijakan pemerintah dengan menyediakan fasilitas pelayanan sehingga turut mempengaruhi aliran hasil produksi dari dan ke wilayah lainnya. Setiap wilayah masih memerlukan sumberdaya manusia, pengembangan dan penelitian serta pemasaran yang didukung dengan kemampuan ketersediaan pusat pengembangan dengan fasilitasnya sehingga dapat mempercepat pengembangan industri baru dan sektor-sektor pendukung lainnya. Sektor-sektor pendukung lainnya diluar SDM, R&D serta pemasaran diharapkan mampu bersaing diantara sektor-sektor itu sendiri sehingga mampu bersaing dengan wilayah lain untuk menghasilkan komoditi yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh Amir dan Nazara (2005), bertujuan untuk menganalisis sektor-sektor unggulan (key sector) terhadap aktivitas perekonomian wilayah di Provinsi Jawa Timur. Kajian-kajian yang dilakukannya untuk mengidentifikasi perubahan struktur perekonomian pada periode yang sama dengan mempergunakan analisis input-output. Kajian Amir dan Nazara mau memperlihatkan apakah terjadi keterkaitan (linkages) antara satu sektor dengan sektor lainnya (intersectoral) perekonomian dan angka penggandanya (multiplier effect). Provinsi Jawa Timur dipilih sebagai daerah kajian karena dianggap dapat mewakili beberapa wilayah yang ada di pulau Jawa. Berbagai macam indikator dipilih untuk kajian di Jawa Timur. Indikator di daerah ini memiliki beberapa kelebihan seperti penduduknya merupakan ketiga terbesar di Indonesia, tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, terdiri dari 29 kabupaten, 8 kota dan 2 kota administratif.

126 99 Hasil kajian yang dilakukan memperlihatkan bahwa, telah terjadi pergeseran struktur perekonomian terhadap beberapa sektor unggulan dan angka pengganda sektoral. Sumbangan atau peran sektor industri terutama industri makanan, minuman dan tembakau sangat dominan dari sisi besaran outputnya serta memiliki angka pengganda yang cukup tinggi dari sektor lainnya terutama sektor pertanian non tembakau yang selama ini menjadi sektor unggulan Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Amir dan Nazara (2005), menunujukkan bahwa dalam kurun waktu telah terjadi perubahan sektor ekonomi wilayah yang mengindikasi adanya pengaruh perubahan sektoral terhadap perekonomian atau perubahan peranan sektor-sektor penting bagi perekonomian Jawa Timur sejak Tahun Namun disisi lain pengaruh perubahan struktur perekonomiannya masih terlalu kecil tetapi hal tersebut turut mempengaruhi kontribusi output sektor ekonomi, perubahan sektor unggulan dan keterkaitan antarsektor wilayahnya. Selain terjadi perubahan struktur perekonomian, diharapkan titik berat perhatian pemerintah tidak mengabaikan begitu saja peran dari sektor-sektor unggulan wilayah seperti sektor pertanian. Kajian yang dilakukan memperlihatkan sektor perdagangan dan pertanian merupakan sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dengan sangat besar. Untuk itu kedua sektor tersebut harus menjadi acuan atau kajian dengan memanfaatkan ketersediaan fasilitas pelayanan di wilayah Jawa Timur karena kemampuan fasilitas pelayanan semakin lengkap atau tersedia di wilayahnya.

127 BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran berdasarkan teori yang digunakan dapat menjelaskan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Berbagai kajian atau teoriteori pengembangan wilayah secara umum menggambarkan adanya perbedaan kebijakan pembangunan antara wilayah/negara daratan (continental/landlock state) dengan wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipegic state). Pendekatan analisis pengembangan wilayah kepulauan seperti yang ingin diperlihatkan dalam penelitian ini adalah, untuk mengidentifikasi sektor-sektor unggulan wilayah yang didukung dengan pengembangan kemampuan fasilitas pendukung pada pusat-pusat pengembangan (kabupaten/kota). Arah pemikiran penelitian akan melihat sektor-sektor unggulan wilayah di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan berbasis bahari/maritim dapat menjadikan pusat-pusat pengembangan wilayahnya dalam menyediakan fasilitas pendukung sehingga dapat berperan sebagai pusat-pusat pengembangan antarwilayah di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Kebijakan pembangunan selama ini belum memperlihatkan arah dan strategi kebijakan pembangunan yang berbasis pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan. Penerapan teori pembangunan wilayah kepulauan seharusnya terpusat pada penentuan sektor-sektor unggulan yang berbasis potensi lokal (local spesific) wilayahnya. Untuk itu tujuan utama dari penelitian ini bagi pemerintah daerah yaitu, bila ingin mengembangkan wilayah kepulauan pemerintah daerah perlu mengidentifikasi dan menentukan sektorsektor apa saja yang merupakan sektor unggulan dari wilayahnya.

128 102 Kebijakan atau arah dan strategi pembangunan wilayah Provinsi Maluku selama ini sebaiknya diarahkan guna menemukenali serta menentukan sektorsektor unggulan (key sector) yang menciptakan keunggulan sektoral wilayah dan menciptakan pusat pertumbuhan baru (new growth pole) berbasis pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah. Keunggulan sektor berbasis potensi lokal harus memiliki konektivitas atau keterkaitan antarsektor baik dari sisi output, nilai tambah bruto, multiplier effek dan linkages intersectoral diantara sektor-sektor yang diamati dan fasilitas pendukung wilayahnya. Berdasarkan pemahaman di atas maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengembangan ekonomi wilayah kepulauan melalui pendekatan multisektoral berbasis potensi lokal (local spesific) wilayah. Sesuai dengan pendekatan tersebut perkembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku perlu mengidentifikasi dan menentukan sektor-sektor unggulan (key sector) berbasis bahari atau maritim dengan potensi lokalnya dan sektor-sektor yang dapat dipacu perkembangannnya sebagai sektor pendorong (prime/leading sector) terhadap sektor lainnya. Pemikiran penelitian ini didasari dari suatu pemahaman dengan melihat pengembangan wilayah di Indonesia yang lebih didasarkan pada paradigma pembangunan wilayah daratan (continental) hal ini dapat di lihat dari rendahnya peran sektor angkutan air dan jasa serta sektor berbasis bahari/maritim di hampir seluruh wilayah kepulauan. Dengan demikian arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah yang tidak berbasis pada kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah akan memperlemah dan memperlambat pusat-pusat pengembangan wilayah.

129 103 Oleh sebab itu arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah yang berbasis pada potensi lokal (local spesific) akan menciptakan kekuatan ekonomi melalui sektor-sektor unggulan (key sector) dan ketersediaaan kemampuan fasilitas pelayanan di pusat pengembangan. Kekuatan ekonomi wilayah akhirnya mampu mendorong, mempercepat penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) yang tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan atau satu pusat pengembangan saja. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran didalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa pendekatan yang dapat dilihat pada Gambar 2. Kerangka pemikiran yang terbentuk dalam penelitian ini adalah : 1. Adanya perubahan paradigma pembangunan wilayah dari konsep wilayah/negara daratan (continental/landlockstate) ke konsep wilayah/negara kepulauan (archipelagoarchipelagicstate) dengan karakteristik wilayah kepuluan yang berbasis pada local spesific bahari/maritim. 2. Pengembangan sektor-sektor unggulan (key sector) wilayah kepulauan (archipelago) dengan keunggulan potensi lokal (local spesific) bahari/maritim diharapkan mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) atau pusat-pusat pengembangan dengan memanfaatkan kemampuan fasilitas pelayanan di pusat pengembangan sehingga ketergantungan antarwilayah pada wilayah kepulauan akan saling menguntungkan (wilayah generatif). Untuk itu perlu dilakukan dua model pendekatan pembangunan secara bersamaan yaitu melalui pendekatan sektoral (I-O) dan pendekatan regional (Skalogram).

130 Analisis skalogram merupakan salah satu analisis yang digunakan untuk menilai kemampuan pusat-pusat pengembangan wilayah dalam rangka mendukung aktivitas ekonomi dan pelayanan sosial di wilayahnya. Pendekatan regional perlu dilakukan sebagai bagian dari analisis arah dan strategi kebijakan pembangunan pengembangan fasilitas kemampuan pelayanan wilayah melalui analisis hirarki pusat-pusat pengembangan. Identifikasi dan menentukan sektor-sektor unggulan (key sectors) dalam struktur ekonomi wilayah perlu didukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan pusat pengembangan sehingga sektor-sektor unggulan wilayah yang berbasis karakteristik atau potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan bahari/maritim dapat memanfaatkan ketersediaan fasilitas di pusat-pusat pengembangan tersebut. 4. Analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu analisis pendekatan sektoral dan digunakan untuk menganalisis sektor-sektor unggulan wilayah baik dari sisi struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effek dan intersectoral linkages serta arah dan strategi kebijakan pengembangan perekonomian wilayah. Dengan kata lain analisis (I-O) mampu memberikan gambaran secara rinci mengenai suatu perekonomian wilayah dengan mengkuantifisikan kebijakan ekonomi wilayah yang diperlihatkan melalui peningkatan struktur output, nilai tambah bruto, multiplier efek (multiplier effect) dan ketergantungan/keterkaitan antarsektor (interdependency/linkages intersector). Selanjutnya dari analisis ini dapat dijelaskan sektor-sektor yang memiliki keunggulan sektoral terhadap perekonomian wilayah khususnya wilayah kepulauan yang berbasis bahari/maritim.

131 Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Undang Undang Ottonomi Daerah Kapasitas dan Potensi lokal Wilayah Kepulauan Pemanfaatan Spasial Wilayah Analisis Ekonomi Wilayah Pendekatan Regional Pendekatan Sektoral Analisis Skalogram Analisis Input Output (I-O) Fasilitas Pendukung Sektor Ekonomi Fasilitas Pendukung Sektor Transportasi dan Komunikasi Fasilitas Pendukung Sektor Jasa Analisis Struktur Output dan NTB Analisis Multiplier Effect Analisis Intersectoral Linkages Terintegrasinya Pusat Pengembangan Wilayah dalam Menyediakan Fasilitas Pendukung Pengembangan Wilayah dengan Sektor unggulan Wilayah Analisis Parsial Sektor Unggulan Simulasi Output Final Demand Impact Analisis Konektivitas Penentuan Sektor Unggulan Arah dan Strategi Kebijakan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kepulauan Berbasis Local Spesific Bahari/Maritim Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) Pada Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku 105

132 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi mengenai arah dan strategi kebijakan pengembangan pembangunan perekonomian wilayah kepulauan di Provinsi Maluku yang berbasis local spesific bahari/maritim. Di sisi lain penelitian ini mau menunjukkan peran wilayah di pusat-pusat pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku dalam menyediakan fasilitas pelayanan yang lebih lengkap bila ingin mengembangkan peran pusat-pusat pengembangan wilayahnya yang berkarakteristik wilayah kepulauan (archipelago).

133 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Maluku karena lokasi penelitian menggambarkan tentang wilayah kepulauan dengan kapasitas atau potensi lokal wilayah (local spesific) yang berbeda satu dengan lainnya (heterogen). Penetapan lokasi penelitian di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan membutuhkan pemahaman dari pembuat atau pengambil kebijakan bahwa konsep pengembangan wilayah kepulauan seharusnya menjadi skala prioritas dalam penentuan sektor-sektor unggulan/keunggulan sektoral sesuai dengan kapasitas atau potensi lokal wilayahnya (local spesific/wisdom). Provinsi Maluku terdiri dari kabupaten/kota sehingga perlu untuk melakukan analisis terhadap wilayah penelitian dengan analisis (I-O), sebagai pusat-pusat pengembangan di Provinsi Maluku maka dilakukan analisis skalogram terhadap kabupaten/kota. Bagi lokasi kabupaten/kota dilakukan penelitian terhadap kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan pada semua kabupaten/kota termasuk kabupaten yang baru dimekarkan setelah otonomi daerah sejak Tahun dan wilayah pemekaran baru di atas Tahun 2003 tidak dilakukan penelitian, hal ini berkaitan dengan ketersediaan data pada wilayah yang baru dimekarkan di atas Tahun Waktu penelitian dilakukan sejak Tahun 2006 sampai akhir Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua data yang berupa data sekunder yaitu, Tabel Input-Output Provinsi Maluku Tahun 2007, PDRB Provinsi Maluku, PDRB kabupaten/kota, penyediaan fasilitas yang ada di

134 108 kabupaten/kota dan beberapa data yang dianggap berkaitan dengan penelitian ini. Data-data yang dikumpulkan diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) provinsi Maluku dan kabupaten/kota serta instansi terkait lainnya yang ada kaitan dengan penelitian ini. Tabel Input-Output Provinsi Maluku Tahun 2007 yang diterbitkan oleh BPS Provinsi Maluku, jenis transaksi dalam model Input-Output Provinsi Maluku Tahun 2007 adalah transaksi atas dasar harga produsen dan tersusun dalam klasifikasi 60 sektor. Untuk analisis Skalogram model Guttman digunakan data kemampuan fasilitas pelayanan sebanyak 30 fasilitas pelayanan di kabupaten/kota sebagai pusat pengembangan wilayah seperti: fasilitas pelayanan/pendukung wilayah di sektor ekonomi, sektor transportasi dan komunikasi serta fasilitas pelayanan di sektor jasa (pendidikan dan pelayanan sosial lainnya) Metode Analisis Data Permasalahan dari penelitian ini dianalisis dengan pendekatan multisektoral, dimana intinya semua wilayah memeiliki kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya. Pendekatan multisektoral dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: analisis dari sudut pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral lebih menitikberatkan pembangunan ekonomi pada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang ada di wilayah tersebut dan kurang memperhatikan aspek spatial secara keseluruhan (less spatial). Pendekatan regional lebih menitikberatkan pendekatan pembangunan ekonominya pada pemanfaatan spatial antar ruang wilayah yang berbeda dan dapat menghubungkan berbagai interaksi yang terjadi didalam setiap aktivitas atau kegiatan ekonomi di

135 109 wilayah tersebut. Di sisi lain pendekatan sektoral dalam penentuan keunggulan sektoral memiliki integrasi yang cukup kuat dengan kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan fasilitas pelayanan diwilayahnya (pusat pengembangan). Dengan demikian penelitian ini berusaha untuk menjawab berbagai kegiatan ekonomi wilayah tidak hanya pada keseragaman wilayah dengan aktivitasnya tetapi juga pada keberanekaragaman wilayah dengan berbagai pendekatan ekonomi yang dilakukan pada wilayah yang diteliti. Adapun pendekatan penelitian yang ingin dicapai dalam metode analisis meliputi tujuan, teknik analisis, informasi dan output serta berbagai sumber data seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Matriks Pendekatan Penelitian No Tujuan Teknik Analisis Informasi dan Output Sumber I Pendekatan Regional 1. Menganalisis hirarki pusat-pusat fasilitas pendukung pengembangan wilayah pada pusat-pusat pengembangan di wilayah kepulauan Provinsi Maluku 1. Analisis Skalogram adalah sebuah teknik analisis deskriptif yang dapat dijadikan sebagai analisis kuantitatif dan kualitatift untuk melihat adanya peningkatan peran pusat pengembangan wilayah sebagai wilayah dominan yang dapat di jadikan pusat pengembangan sektor unggulan wilayah 1. Fasilitas Pendukung Sektor Ekonomi di kabupaten/kota yaitu: Bank Pembangunan Daerah Bank Swasta Money Changger Pusat Perbelanjaan (Supermarket/Plaz a) Pasar Induk Pasar Tradisional 2. Fasilitas Pendukung Transportasi dan Komunikasi di kabupaten/kota yaitu: Bandara Kls,1/2 Pelabuhan Bongkar Muat/Pelra, Dermaga Ferry Tempat Pelabuhan Ikan Terminal Bus, Angkot Stasiun RRI, swasta Stasiun Televisi, 1.BPS 2.Pemda 3.Instansi terkait 4.Data survey

136 110 Pemnacar Televisi Swasta 3. Fasilitas Pendidikan dan Pelayanan Sosial lainnya yaitu: Hotel Berbintang, non Bintang Bioskop Tempat Hiburan Malam, Rekreasi Indoor dan Outdoor. PTN, PTS RSU PDAM Penerbit Surat Kabar Jasa Telekomunikasi II Mengidentifikasi sektor-sektor unggulan pada tingkat struktur perekonomian wilayah provinsi Maluku Menganalisis sektorsektor unggulan pada tingkat struktur perekonomian wilayah provinsi Maluku Pendekatan Sektoral 1. Updating Tabel Input- Output (I-O) tahun Analisis tabel Input- Output (I-O) 1.BPS 2.Pemda 3.Instansi terkait 4.Data survey III Penentuan Keunggulan Sektoral, Arah dan Strategi Kebijakan Pengembangan Keunggulan Sektoral Wilayah Provinsi Peningkatan peran I. Hasil analisis Skalogram 1.Data wilayah tentang penilaian analisis kabupaten/kota sebagai kemampuan fasilitas Skalogram pusat pengembangan pelayanan pusat dan antarwilayah di pusat pengembangan Inputwilayah kepulauan wilayah di Provinsi Output Provinsi Maluku. Maluku Merumuskan pilihan model arah dan strategi kebijakan pengembangan keunggulan sektoral wilayah sesuai potensi lokal (local spesific) 1. Analsis Deskriptif, terdiri dari hasil analisis Skalogram dan Input-Output sebagai arah dan strategi pilihan yang ingin dicapai oleh pemerintah daerah dalam mengembangkan keunggulan sektoral dengan kemampuan fasilitas pelayanan yang tersedia di pusat pengembangan wilayah. I. Hasil analisis Input- Output provinsi Maluku Sumber: BPS Provinsi Maluku ( ), BPS Kabupaten/Kota ( ), Instansi Terkait dan Dirjen Cipta Karya (1992).

137 Analisis Pendekatan Regional Pendekatan regional merupakan salah satu alat analisis penelitian yang dilakukan di dalam studi pengembangan ekonomi wilayah. Pendekatan regional yang dipakai untuk menjawab beberapa pertanyaan atau permasalahan dalam penelitian ini adalah analisis penilaian kemampuan fasilitas pelayanan yang tersedia di pusat pengembangan wilayah dengan mempergunakan landasan teori dan teknik analisis skalogram Analisis Skalogram Analisis skalogram merupakan salah satu teknik analisis yang mengacu pada azas kemampuan fasilitas pelayanan suatu wilayah (pusat pertumbuhan/ pengembangan) wilayah tertentu. Analisis ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan tentang hirarki pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku seperti kemampuan fasilitas pelayanan di kabupaten/kota (pusat-pusat pengembangan). Kemampuan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah merupakan salah satu indikator bahwa suatu pusat pengembangan mampu mengembangkan atau meningkatkan sektor-sektor unggulan wilayah sehingga pada gilirannya akan mampu meningkatkan daya saing sektor unggulan maupun wilayah itu sendiri. Untuk mendapatkan gambaran keterkaitan antara sektor unggulan wilayah dengan pengaruh ketersediaan atau kemampuan fasilitas pelayanan wilayah maka analisis yang diperlukan atau perlu ditambahkan dalam penelitian ini adalah metode analisis skalogram. Informasi dan data yang dibutuhkan untuk analisis skalogram dapat dilihat pada Tabel 5.

138 112 Tabel 5. Informasi dan Data Untuk Analisis Skalogram INFORMASI METODE ANALISIS Bagaimana struktur atau hirarki pusat-pusat pengembangan di wilayah kepulauan Provinsi Skalogram Maluku Fungsi-fungsi fasilitas pelayanan apa saja yang seharusnya ada tetapi tidak terdapat di Skalogram pusat-pusat pengembangan Sumber: BPS Provinsi Maluku ( ), BPS Kabupaten/Kota ( ), Instansi Terkait dan Dirjen Cipta Karya PU (1992). Metode analisis skalogram biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar sebagai metode pendukung tentang bagaimana pola atau fungsi fasilitas pelayanan yang terdapat pada berbagai hiraki atau tingkat pusat pengembangan wilayah dan bagaimana pola atau fungsi fasilitas pelayanan tersebut dapat dan mampu melayani atau memenuhi kebutuhan aktivitas produksi atau sosial ekonomi yang dilakukan di pusat-pusat pengembangan wilayah. Penyusunan skalogram dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut: 1. Membuat sebuah tabel berdasarkan jumlah satuan pusat pengembangan (kabupaten/kota) pada kolom baris dan jumlah fasilitas pelayanan berdasarkan informasi yang dibutuhkan yang terdapat di wilayah atau pusat pengembangan yang diteliti. 2. Setiap sel di isi dengan tanda (+) atau (X) bila sel tersebut mewakili fungsi fasilitas pelayanan yang ada di wilayah tersebut atau tanda (-) untuk sel yang mewakili fungsi fasilitas yang tidak ada di wilayah tersebut. 3. Atur kembali letak setiap fungsi pelayanan dan wilayah atau pusat pengembangan berdasarkan fungsi pelayanan yang paling banyak terdapat di pusat-pusat pengembangan dan letakkan pada kolom paling kiri.

139 113 sebagai berikut: Contoh pembuatan tabel skalogram yang mewakili suatu wilayah tertentu Tabel 6. Skalogram Pada Pusat Pengembangan Wilayah di Provinsi X FASILITAS PELAYANAN WILAYAH SATUAN WILAYAH Kabupaten A Kabupaten B Kabupaten C Kabupaten D Kabupaten E Kabupaten F Kabupaten G Kabupaten H Sumber: Glasson (1978), Dirjen Cipta Karya PU (1992), dan disusun kembali oleh Peneliti Sebagai gambaran untuk menyusun skalogram perlu menyiapkan datadata yang berhubungan dengan kemampuan fasilitas pelayanan di wilayah pengamatan. Hal ini berhubungan dengan jumlah fungsi pelayanan yang bervariasi antarwilayah serta tergantung justifikasi fungsi pelayanan apa yang paling penting mendukung penelitian yang ingin di capai oleh peneliti. Selanjutnya hasil skalogram harus memenuhi standar koefisien reprodusibilitas (Kr) dan koefisien skalabilitas (Ks). Skalogram dapat dipakai sebagai bahan analisis bila (Kr) > 0,90 dan (Ks) > 0,65 dengan demikian skalogram dapat tersebut dapat diterima (Dirjen Cipta Karya PU, 1992) Analisis Pendekatan Sektoral Pendekatan sektoral sering dibedakan berdasarkan kelompok kegiatan pembangunan ekonomi dan berdasarkan administrasi wilayah yang menangani

140 114 sektor-sektor ekonomi wilayah yang diteliti. Dalam pengelompokkan sektor ekonomi tersebut keseragaman kegiatan ekonomi serta administrasi pemerintahan sering berjalan bersamaan. Untuk itu dalam penelitian ini model pendekatan analisis sektoral sebagai salah satu model dengan mempergunakan metode analisis Input-Output (I-O) diharapkan dapat menjawab permasalahan pada penelitian ini Analisis Input-Output (I-O) Analisis (I-O) merupakan salah satu model analisis perkembangan perekonomian wilayah. Dengan demikian berbagai permasalahan perekonomian wilayah dapat dilakukan dengan mempergunakan model analisis ini. Permasalahan perkembangan perekonomian wilayah yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun dapat dilihat dari adanya interaksi antarsektor sehingga perlu dilakukan pendekatan secara general equilibrium seperti model input-ouput (I-O) (Miller and Blair, 1985). Proses penyusunan tabel (I-O) dan berbagai analisis ekonomi yang menggunakan model (I-O) meliputi beberapa variabel seperti: 1. Variabel output 2. Variabel input antara 3. Variabel input primer 4. Variabel permintaan akhir 5. Variabel impor Perumusan konsep dan defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis Input-Output (I-O) dengan mempergunakan program GRIMP seperti:

141 115 I. Nilai Tambah Bruto Dari aspek nilai tambah bruto (NTB) ini dapat diketahui kondisi perekonomian Provinsi Maluku yang meliputi: a. Besarnya masing-masing komponen yang terkandung di dalam NTB tersebut yaitu upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung. b. Tingkat efisiensi ekonomi daerah, baik terhadap penggunaan faktor produksi yang tersedia dalam menghasilkan output total daerah maupun terhadap kemampuan dalam menciptakan besarnya nilai tambah bruto itu sendiri. II. Tingkat Ketergantungan Faktor Input Tingkat ketergantungan faktor input (TKFI) dimaksudkan sebagai kapasitas penggunaan faktor input suatu sektor untuk menghasilkan output. Semakin tinggi nilai TKFI suatu sektor, maka hal demikian menunjukkan semakin tinggi ketergantungan pada faktor input oleh sektor tersebut untuk menghasilkan output. Di dalam Tabel Input-Output terdapat dua jenis Input, yaitu Input Antara dan Input Primer. Input Antara diartikan sebagai segenap faktor input atau biaya, baik antara lain bentuk barang maupun jasa bagi segenap sektor perekenomian yang penggunaannya adalah secara langsung pakai dan langsung habis. Input Primer diartikan sebagai input atau biaya yang timbul sebagai akibat penggunaan faktor produksi dalam suatu kegiatan ekonomi. Faktor produksi di sini terdiri dari tenaga kerja, lahan, modal dan kewirausahaan. Wujud dari input primer adalah upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan barang modal, dan pajak tak langsung. Dimana kedua input tersebut tidak dapat dipisahkan, maka nilai-nilai koefisien input keduanya dapat digunakan untuk menganalisis tingkat efisiensi teknis

142 116 produksi daerah. Asumsi ini didasarkan pada dalil bahwa jumlah koefisien Input Antara dan koefisien Input Primer adalah -1 (Rauf. 2002). Jika nilai kofisien Input Antara lebih besar dari 0.5 maka hal demikian menunjukkan bahwa sektor yang bersangkutan masih mengutamakan ketergantungan pada penggunaan faktor produksi (faktor input produksi) daripada mengutamakan penciptaan NTB atau balas jasa yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Kondisi demikian menunjukkan bahwa kemampuan teknis sektor yang bersangkutan belum efisien. NTB, PA dan TKFI secara simultan dapat dijelaskan melalui analisis Tabel Input-Output, yaitu dengan menganalisis hubungan antara angka transaksi dalam Tabel 3. Pada dasarnya penyusunan tabel Inpul-Oulpul adalah untuk memperlihatkan bagaimana output suatu sektor yang dialokasikan ke sektorsektor lain atau sebaliknya. Untuk itu dalam tabel Input-Output secara horizontal atau menurut baris ditempatkan alokasi output masing-masing sektor ke sektor komponen lainnya dalam Tabel tersebut. Secara vertikal atau menurut koloni ditempatkan susunan input yang memperlihatkan perincian susunan input masingmasing sektor yang berasal dari sektor komponen lainnya. Tabel Transaksi Input- Output sederhana dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Tabel Transaksi Input-Output Sederhana Alokasi Output Susunan Input Permintaan Antar Sektor Perminiaan Akhir I... J n Sektor i XM... Xij... Xm Fi Xi Sektor j Xfi... Xs Xjn Fi Xi Sektor n Xni Xni X-nn Fn Xn Input Primer Vj V - V Total Input Xi Xi xn F X Sumber: Richardson, 1978 Total Output

143 117 Isian angka menurut koloni menunjukkan Input Antara maupun Input Primer yang disediakan oleh sektor-sektor lain untuk kegiatan produksi sehingga dihasilkan output. Dari Tabel 7 terlihat bahwa sektor i akan menghasilkan output sebesar Xi dan kemudian dialokasikan secara baris sebesar Xi1, Xn dan Xn berturut-turut kepada sektor i, j dan n sebagai permintaan antara serta sebesar Fi untuk memenuhi permintaan akhir. Secara aljabar maka alokasi Output secara keseluruhan sektor dapat dirumuskan sebagai berikut: X n 11 X X 1 F1 X 1 X 21 X X 2n Fi X 2 X 1... X 22 X 2n F i X n... (1) Rumusan aljabar di atas dapat disimbolkan lebih lanjut menjadi: n i 1 X ij F i X i ;untuk i 1,2,3 dan seterusnya... (2) dimana: X ij F i = Besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input produksi sektor j = Permintaan akhir (PA) sektor i Dengan mengikuti cara membaca sepcrti demikian maka persamaan aljabar secara kolom dapat dirumuskan clalam bentuk persaniaan aljabar sebagai berikut: X n 11 X X 1 V1 X 1 X 21 X... X 22 nj V i X j X X... X V X 1 n 2n nn n n...(3)

144 118 Rumusan aljabar di atas dapat disimbolkan lebih lanjut menjadi: n j 1 X ij V j X j ;untuk j 1,2,3 dan seterusnya... (4) dimana: X ij V j = Besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input produksi sektor j = Input primer (NTB) sektor j Dari Tabel 7 dapat dianalisis mengenai koefisien input antara dan koefisien input primer. Koefisien input menggambarkan jumlah unit input dari masing-masing sektor menurut kolom yang dibutuhkan oleh sektor tersebut untuk menghasilkan produksi sebesar satu unit. Koefisien input dibedakan atas koefisien input antara (a,j) dan koefisien input primer (Vj). Untuk memperoleh kedua koefisien input tersebut digunakan rumus sebagai berikut: a ij x X ij i untuk i dan j = 1,2,, n,... (5) v ij V X ij j untuk i dan j = 1,2,, n,... (6) dimana : x ij = Jumlah output sektor i yang digunkan sebagai input oleh sektor j untuk menghasilkan output sebesar X i X j = Total input sektor j yang sebsarnya adalah sama dengan total output (Xi) V j = Total input primer (NTB) untuk menghasilkan total input (Xj ) a ij = Jumlah unit putput sektor i yang digunakan sebagai input antara sektor j untuk menghasilkan output sektor i

145 119 v ij = Jumlah unit input primer yang dibutuhkan oleh sektor j untuk menghasilkan output sendiri sebesar satu unit menghasilkan output sendiri sebesar satu unit. III. Keterkaitan ke Depan dan Keterkaitan ke Belakang A. Keterkaitan Langsung ke Depan dan Keterkaitan Langsung ke Belakang Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan akibat suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke depan, digunakan rumus sebagai berikut: F i n j 1 X X i ij n j 1 a ij... (7) dimana: F j x ij X i a ij = Keterkaitan langsung ke depan (direct forward linkage) = Banyaknya output sektor i yang digunakan oleh sektor j = Total output sektor i = Unsur matriks koefisien teknis Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian input antara bagi sektor tersebut secara langsung perunit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke belakang, digunakan rumus sebagai berikut: B j n i 1 X X j ij n i 1 a ij... (8) dimana: B j = Keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage)

146 120 x ij = Banyaknya output sektor i yang digunakan oleh scktor j X j = Total input sektor j a ij = Unsur matriks koefisien teknis B. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung kedepan Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merupakan alat untuk mengukur akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan.-output bagi sektor tersebut baik secara langsung maupun tak langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengukur besarnya. Kelerkaitan iangsung dan tak hngsung ke depan digunakan rumus sebagai berikut (Langham dan Retzlaff, 1982). n FLTL i b ij j 1... (9) dimana: FLTL i = Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan b ij = Unsur matriks kebalikan Leontief terbuka i) Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang menyatakan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input amtara bagi sektor tersebut baik secara langsung maupun tak langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengukur besarnya keterkaitan langsung dan tak langsung ke belakang digunakan rumus sebagai berikut (Langham dan Retzlaff, 1982). dimana: n BLTL j b ij i 1... (10)

147 121 BLTL j b ij = Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang = Unsur matriks kebalikan Leontief terbuka IV. Koefisien Dampak Pengganda A. Pengganda Pendapatan Menurut Miller dan Blair (1985), terdapat empat jenis pengganda pendapatan yaitu: 1. Pengganda pendapatan sederhana 2. Penggandaan pendapatan total 3. Pengganda pendapatan tipe I 4. Pengganda pendapatan tipe II. 1) Pengganda Pendapatan Sederhana dan Total Pengganda pendapatan sederhana (MS) merupakan penjumlahan pengaruh langsung dan tak langsung secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: MS j n i 1 a n 1, i. bij... (11) dimana: MS j = Pengganda pendapatan sederhana sektor ke j b ij a n+1,i = Unsur matriks kebalikan Lcontief terbuka = (I - A)-1 = Koefisien input gaji / upah rumah tangga Pengganda pendapatan total (Ml) merupakan penjumlahan antara pengaruh langsung ditambah pengaruh tak langsung dan pengaruh induksi/imbasan (induce). Selanjutnya untuk menghitung pengganda pendapatan total, terlebih dahulu memasukkan vektor baris upah dan gaji rumah tangga dan vektor kolom konsunisi rumah tangga ke dalam matriks permintaan antara

148 122 sehingga terdapat matriks baru yang disebut matriks Leontief tertutup. Setelah itu dicari matriks kebalikan Leontief tersebut. yaitu (I - D-1). Secara matematis pengganda pendapatan total dapat dirumuskan sebagai berikut: dimana: j n MT a. D i 1 n 1, i ij... (12) MT j an +1,j D ij = Penggandaan pendapatan total sektor ke j = Koefisien input gaji / upah rumah tangga = Unsur matriks kebalikan Leontif tertutup 2) Pengganda Pendapatan Tipe I Pengganda Pendapatan Tipe 1 adalah besarnya peningkatan pendapatan pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut sebesar satu unit. Artinya apabila permintaan akhir terhadap output sektor tertentu meningkat sebesar satu rupiah. maka akan meningkatkan pendapatan rurnah tangga yang bekerja pada sektor tersebut sebesar nilai pengganda sektor yang bersangkutan. Pengganda pendapatan tipe I merupakan penjumlahan pengaruh langsang dan tidak langsung dibagi dengan pengaruh langsung yang dapat dirumuskan sebagai berikut: MI pengaruh langsung pengaruh tidak langsung pengaruh langsung atau secara rnatematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

149 123 MI j n i 1 a n 1, j. a n 1, j b ij... (13) dimana: MI j b ij a n+i,j = Pengganda pendapatan tipe I sektor ke j = Unsur matriks kebalikan Leontief terbuka = (I - A)-1 = Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j 3) Pengganda Pendapatan Tipe II Pengganda Pendapatan Tipe II ini selain menghitung pengaruh langsung dan tak langsung juga menghitung pengaruh induksi (induce effects). MI pengaruh langsung pengaruh tidak langsung pengaruh induksi pengaruh langsung atau secara rnatematis dapat dirumuskan sebagai berikut: MII j n i 1 a n 1, j. a n 1, j D ij... (14) dimana: MII j = Pengganda pendapatan tipe II sektor ke j D ij a n+i,j = Unsur matriks kebalikan Leontief tertutup = (I - D)-1 = Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j B. Pengganda Tenaga Kerja Pengganda tenaga kerja adalah besarnya kesempatan kerja tersedia pada sektor tersebut sebagai akibat penambahan permintaan akhir dari sektor yang bersangkutan sebesar satu satuan rupiah. 1) Pengganda Tenaga Kerja Tipe I

150 124 sebagai berikut: Untuk menghitung pengganda tenaga kerja tipe I digunakan rumus MLI j n i 1 w w n 1, i n 1, j. b ij. w n 1, i L X i i... (15) dimana: MLI j = Pengganda tenaga kerja tipe i sektor j W = Vektor baris koefisien tenaga kerja (orang/satuan rupiah) W = [wn+1,1, wn+1,2,..., wn+1,n] W n+i,j = Koefisien tenaga kerja sektor ke i (orang/satuan rupiah) W n+1,j = Koefisien tenaga kerja sektor ke j (orang/satuan rupiah) X j L i Bjj = Total output (satuan rupiah) = Komponen tenaga kerja sektor ke i = Unsur matriks kebalikan leontief terbuka 2) Pengganda Tenaga Kerja Tipe II sebagai benkut: Untuk menghitung pengganda tenaga kerja tipe II digunakan rumus MLII j n i 1 w w n 1, i. n 1, j D ij... (16) dimana: MLII j W n+_1,i W n+1,j d ij = Pengganda tenaga kerja sektor j = Koefisien tenaga kerja sektor ke i (orang/satuan rupiah) = Koefisicn tenaga kerja sektor ke j (orang/satuan rupiah) = Unsur matriks kebalikan Leontief tertutup C. Pengganda Output 1) Pengganda Output Sederhana

151 125 Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sampai berapa jauh pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor di dalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menghitung pengganda output sederhana digunakan rumus sebagai berikut: n MXS j b ij i 1...(17) dimana: MXSj = Pengganda Output Sederhana sektor. bij = Unsur matriks kebalikan Leontief terbuka. 2) Pengganda Output Total Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sampai berapa jauh kenaikan permintaan akhir suatu sektor di dalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor yang lain baik secara langsung atau tidak langsung maupun induksi. Untuk mengetahui pcngganda output total digunakan rumus sebagai berikut: n MXT j D ij i 1...(18) dimana: MXT j = Pengganda output sederhana sektor j. D ij = Unsur matriks kebalikan Leontief tertutup. V. Dampak Permintaan Akhir (Final Demand Impacts) Melalui permintaan akhir (PA) dapat diketahui masing-masing komponen yang terkandung didalamnya yang meliputi: permintaan konsumsi rumah tangga, permintaan konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok dan ekspor netto. Disamping itu dapat diketahui interaksi antar

152 126 komponen itu sendiri baik terhadap masing-masing sektor maupun keseluruhan total sektor perekonomian daerah. Berkaitan dengan ekspor netto maka dapat diketahui kemampuan perekonomian daerah dalarn menciptakan nilai surplus ekonomi kegiatan ekspor masing-masing sektor. Nilai yang ditunjukkan oleh komponen ekspor ini, apabila menunjukkan nilai positif berarti sektor tersebut mampu melakukan kegiatan ekspor. Sebaliknya, apabila nilai tersebut menunjukkan nilai negatif maka sektor tersebut belum mampu melakukan kegiatan ekspor atau dengan kata lain bahwa sektor tersebut masih bergantung pada kegiatan impor.

153 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PROVINSI MALUKU 5.1. Kondisi Fisik Wilayah Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah kepulauan di Indonesia. Karakteristik wilayah yang heterogen dengan ratusan buah pulau menjadikan provinsi ini berbeda (unik) dari wilayah-wilayah lain. Kondisi alam yang di dominasi lautan seharusnya merupakan kekuatan atau potensi lokal (local spesific) bagi pengembangan wilayah yang berbasis pada kearifan lokalnya Letak Geografis Wilayah Sumber: Bappeda Provinsi Maluku Tahun 2008 Gambar 3. Peta Provinsi Maluku Posisi koordinat wilayah Provinsi Maluku terletak pada: Lintang Selatan Bujur Timur

154 128 Berbatasan dengan laut Seram pada bagian Utara, laut Indonesia dan laut Arafuru pada bagian Selatan, bagian Timur berbatasan dengan Provinsi Papua Barat dan bagian Barat berbatasan dengan pulau Sulawesi (Utrecht, 1998). Secara keseluruhan luas wilayahnya adalah seluas km 2, dengan luas wilayahnya 90 persen merupakan lautan seluas km 2 dan 10 persen daratan km 2. Dengan kondisi lautan yang demikian luasnya maka Provinsi Maluku berpeluang untuk dapat berinteraksi dengan wilayah diluarnya. Titaley (2006) berdasarkan identifikasi citra satelit LAPAN, jumlah keseluruhan pulau-pulau di Provinsi Maluku adalah buah pulau. Luas pulau-pulau di provinsi ini, bervariasi antara 761 km 2 sampai km 2. Pulau dengan luas kurang dari 1 juta ha dikategorikan sebagai pulau kecil menurut Monk et al. (2000). Dengan kategori pulau seperti itu, maka hanya pulau Seram yang memiliki luas diatas 1 86 juta ha dan tidak termasuk pulau kecil sedangkan sisanya sebanyak buah pulau termasuk kategori pulau-pulau kecil (Nanere, 2006). Secara spesifik pulau-pulau yang ada di wilayah Maluku merupakan pulau-pulau yang mengelompok secara bersama dan memiliki karateristik yang heterogen. Karakter yang saling berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya disebabkan oleh perbedaan aspek geografis, fisik, iklim, sosial, budaya dan etnis serta tahapan perkembangan ekonomi wilayahnya (Sitaniapessy, 2002). Secara administrasi Provinsi Maluku terdiri dari 9 Kabupaten dan 1 Kota yaitu: 1. Kota Ambon 2. Kabupaten Maluku Tengah (Masohi)

155 Kabupaten Seram Bagian Barat (Piru) 4. Kabupaten Seram Bagian Timur (Geser) 5. Kabupaten Maluku Tenggara (Tual) 6. Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Saumlaki) 7. Kabupeten Pulau Aru (Dobo) 8. Kabupaten Buru (Namlea) 9. Kabupaten Maluku Tenggara Bagian Selatan (Wetar) 10. Kabupaten Buru Selatan (Leksula) Masing-masing wilayah diatas merupakan bagian dari gugus pulau yang tersebar dari utara sampai ke selatan dengan luas wilayah yang berbeda baik dalam kondisi, karateristik geografis serta alamnya yang heterogen dengan kata lain potensi atau kapasitas antarwilayah berbeda diantara wilayah-wilayah tersebut. Karakter wilayah yang berbeda-beda inilah yang mengakibatkan perkembangan pembangunan di beberapa wilayah di Provinsi Maluku melakukan pemusatan kegiatan ekonomi, sosial budaya dan administrasi pada pulau-pulau besar saja. Hal inilah yang mengakibatkan sumber-sumber pertumbuhan, pola persebaran (distribusi) kegiatan ekonomi, serta adanya gejala aglomerasi kegiatan ekonomi hanya pada wilayah-wilayah tertentu saja. Dengan karakteristik wilayah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau maka wilayah Provinsi Maluku dijuluki sebagai wilayah atau Provinsi Seribu Pulau Topografi dan Iklim Provinsi Maluku adalah wilayah kepulauan terbesar di Indonesia yakni kondisi satu wilayah dengan wilayah lainnya dipisahkan dengan laut yang terbagi dalam beberapa gugusan pulau-pulau besar maupun kecil. Keadaan topografi di

156 130 Provinsi Maluku secara umum berbukit-bukit sepanjang garis pantai menuju dataran tinggi, karateristik wilayah ini dipengaruhi oleh adanya pertemuan dua buah lempeng bumi yang disebut dengan Sirkum Pasifik dan Mediterania. Karakteristik tersebut menjadikan wilayah ini hampir 70 persen terdiri dari dataran tinggi dengan ketinggian yang bervariasi. Umumnya penduduk di Provinsi Maluku bertempat tinggal di dataran yang ketinggiannya dibawah 100 mdp l atau pada dataran rendah. Sedangkan pada dataran menengah sekitar mdp l dan dataran tinggi sekitar diatas 500 mdp l digunakan oleh penduduk di Maluku sebagai aktivitas atau kegiatan pertanian, perkebunan dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kehutanan. Kondisi lahan secara makro di wilayah Maluku berbukit (hilly), bergunung (mountaineous) dan sedikit dataran (plain). Sekitar 0 3 persen berupa datar, 4 8 persen berombak, 8 15 persen bergelombang, persen curam bahkan sangat curam. Tabel 8. Kondisi atau karakteristik wilayah di Provinsi Maluku dapat dilihat pada Tabel 8. Ketinggian dan Derajat Kemiringan Rata-rata Wilayah Derajat Kemiringan No Kabupaten/Kota Ketinggian (mdpl) (1) (2) (3) (1) (2) (3) (4) (5) (6) Ambon Maluku Tengah Maluku Tenggara Maluku Tenggara Barat Pulau Buru Sumber : Departemen PU Provinsi Maluku Tahun Keterangan : Derajat Kemiringan (1) (2) (3)

157 Kondisi Sumberdaya Alam Wilayah dan Pemanfaatannya Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah kepulauan terbesar dengan memiliki lahan yang penggunaannya lebih didominasi sektor perkebunan, padang rumput ilalang, semak, hutan belukar hutan sejenis maupun tanah kosong yang lebih banyak ditemui pada wilayah pesisir pulau. Umumnya struktur tanah yang ditemui cenderung berbeda satu wilayah dengan wilayah lainnya. Secara fungsional penggunaan lahan sering dibedakan menjadi dua bagian yaitu, kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung dapat dibedakan atas beberapa kawasan antara lain : 1. Kawasan yang memberikan perlindungan setempat 2. Kawasan perlindungan setempat. 3. Kawasan suaka alam dan cagar alam 4. Kawasan rawan bencana Kawasan budidaya didasarkan pada kondisi fisik dan potensi sumberdaya alamnya yang dimanfaatkan bagi kepentingan produksi maupun kebutuhan permukiman. Secara teori kawasan budidaya dapat terdiri dari : 1. Kawasan budidaya pertanian 2. Kawasan budidaya non pertanian Provinsi Maluku dengan kondisi alamnya yang sebagian besar dikelilingi lautan memiliki kondisi wilayah kelautan berdasarkan fisiknya bila dilihat dari suhu sekitar C, hal ini dipengaruhi lamanya penyinaran matahari dan berfungsinya hutan lindung pantai. Selain suhu, faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi kondisi wilayah laut di Provinsi Maluku antara lain, salinitas, densitas, arus, pasang surut, ph, dan sifat kimia air laut lainnya.

158 132 Selain potensi pertanian, Maluku memiliki potensi yang sangat besar dari sektor perikanan laut. Dengan memiliki kekhasannya yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia. Provinsi Maluku memiliki kekayaan sumberdaya alam yang tidak atau jarang dimilki oleh provinsi lainnya. Namun dengan sistem pengelolaan (koordinasi) yang belum optimal dari pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota maka hasil yang diharapkan belum dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat di daerah ini Kawasan Wilayah Daratan Wilayah daratan di kawasan ini terdiri dari sejumlah pulau besar maupun kecil sebanyak 632 buah pulau dengan 10 persen daratan seluas km 2. Kedudukan pulau-pulau yang berjauhan satu dengan lainnya menjadikan Provinsi Maluku sangat terbuka untuk melakukan interaksi dengan kepulauan lain dari Provinsi diluar Maluku. Tingkat kesuburan tanah yang berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya menimbulkan keanekaragaman tanaman serta sumberdaya lainnya. Luasnya wilayah yang terdiri dari pulau-pulau dan terbentang dari Utara sampai Selatan, menjadikannya sebagai wilayah dengan memiliki kondisi/karakteristik beragam (heterogen) sehingga masing-masing pulau memiliki kemampuan atau kapasitas lokal pengelolaan sumberdaya yang berbeda pula. Kawasan budidaya berdasarkan kondisi fisik dan berbagai potensi sumberdaya alam lainnya sangat mempengaruhi produksi dan pemanfaatannya bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat. Harapan pemanfaatan dari kawasan budidaya ini meliputi kawasan budidaya pertanian maupun kawasan budidaya non pertanian.

159 133 Kawasan budidaya pertanian di Provinsi Maluku meliputi: 1. Kawasan pertanian lahan basah, kawasan seperti ini biasanya diperuntukan bagi pertanian tanaman pangan lahan basah seperti, tanaman padi. Kawasan pertanian lahan basah dapat ditemui untuk beberapa pulau yakni, pulau Seram dan Buru. 2. Kawasan pertanian lahan kering, adalah kawasan yang dimanfaatkan bagi tanaman pangan lahan kering seperti palawija ataupun bagi tanaman seperti buah-buahan (hortikultura). Kondisi kawasan pertanian lahan kering banyak dijumpai di hampir seluruh pulau-pulau di Provinsi Maluku. 3. Kawasan pertanian tanaman perkebunan atau tanaman Tahunan, adalah kawasan yang diperuntukan bagi tanaman-tanaman yang berumur panjang (Tahunan) maupun perkebunan. Biasanya kawasan seperti ini dimanfaatkan bagi perkebunan yang menghasilkan bahan baku tanaman pangan dan telah dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan besar perkebunan. Beberapa pulau yang telah dimanfaatkan oleh perusahaan swasta nasional dengan memanfaatkan keunggulan dari kawasan pertanian ini terdapat di beberapa pulau antara lain: pulau Seram, Buru, Banda dan beberapa pulau lainnya. Disamping kawasan-kawasan tersebut, Provinsi Maluku memiliki hutan produksi yang sangat berpotensi ekonomi tinggi. Hutan produksi yang ada di daerah ini meliputi tiga jenis hutan produksi yaitu: 1. Hutan produksi konversi yaitu, kawasan hutan yang pemanfaatannya dapat dialihkan bagi kegiatan lain. Kegiatan-kegiatan lain yang dimaksud adalah kegiatan yang pemanfaatan arealnya dimanfaatkan bagi kegiatan non

160 134 kehutanan dan disesuaikan dengan ruang serta tataguna lahan hutan secara terpadu, serasi dan berkesinambungan. 2. Hutan produksi tetap yaitu, kawasan hutan yang eksploitasinya diarahkan terhadap kawasan produksi hasil hutannya. Eksploitasi hasil hutan dimaksud pada kayu yang dilakukan secara tebang pilih atau secara tebang habis. 3. Hutan produksi terbatas yaitu, kawasan hutan yang pemanfaatan hasil hutannya secara terbatas dan dilakukan dengan cara terbatas atau tebang pilih. Hasil hutan produksi cukup banyak tersebar di seluruh pulau sedangkan industri perkayuan yang memanfaatkan hasil hutan di daerah ini dalam skala besar maupun kecil dapat ditemui di beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Maluku. Bahkan beberapa jenis komoditas hasil hutan seperti kayu hitam, meranti dan jenis tanaman anggrek masih belum menjadi perhatian serius dari pemerintah setempat sebagai salah satu komoditas andalan. Berdasarkan data dan informasi sumberdaya lahan pada wilayah kepulauan Provinsi Maluku oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku (2006), membedakan beberapa komoditas pertanian unggulan provinsi dengan tingkat nasional. Komoditas di provinsi lebih di dominasi oleh tanaman pangan lokal seperti: sagu, kacang merah, ubi kayu, ubi jalar, buah-buahan lokal seperti: duku, cempedak, sukun, salak, durian, manggis, mangga, jeruk, tanaman perkebunan seperti: pala, cengkih, kayu manis, kelapa, kakao, peternakan lokal seperti: ruminansia besar yaitu, sapi dan ruminansia kecil yaitu, domba dan kambing.

161 Kawasan Wilayah Lautan Wilayah lautan merupakan kawasan terluas dan memiliki aneka ragam hayati laut serta kekhasannya yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Dengan luasnya lautan, banyaknya pulau-pulau besar dan kecil menjadikannya sebagai wilayah berpotensi di sektor perikanan, namun potensi tersebut belum dapat menjadikan penduduknya menjadikan sektor ini sebagai harapan penghidupan dimasa depan. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa potensi dari Provinsi Maluku di sektor perikanan sangat besar, bukan saja untuk komoditas ikan tetapi juga komoditas non ikan yang belum dikelola secara baik dan benar. Potensi wilayah laut yang terdapat di Provinsi Maluku memliki berbagai komoditas seperti, Ikan Pelagis Kecil, Ikan Tuna, Ikan Cakalang, Ikan Dasar, Ikan Karang, Udang, Rumput Laut, Cumi-cumi, Lobster. Komoditas-komoditas di atas merupakan komoditas potensial yang tersebar dihampir semua perairan laut Provinsi Maluku. Dengan memiliki potensi sekitar ton/tahun dan merupakan komoditas yang sangat ekonomis serta berpengaruh besar terhadap mata pencaharian masyarakat di Provinsi ini. Oleh sebab itu potensi laut yang ada di kawasan ini, berpeluang untuk dikelola secara intesif namun aksesibilitas pasar dan teknologi pasca panen belum tersedia atau dikelola secara high technology. Selain komoditas ikan pelagis kecil maupun pelagis besar, potensi kawasan laut Provinsi Maluku memiliki berbagai jenis kerang-kerangan. Diperkirakan potensi perikanan kerang-kerangan sekitar 969 jenis terdiri dari

162 jenis siput dan 274 jenis kerang. Secara ekonomis ada sekitar 13 jenis siput dan 21 jenis kerang yang sangat berpotensi dijadikan peluang ekspor. Banyaknya pulau menjadikan wilayah Maluku memiliki potensi pariwisata laut dengan pemandangan alam dasar laut seperti taman laut di Banda, indahnya teluk, selat dan lagoon yang sangat berpotensi untuk dijadikan tempat pengembang biakan budidaya laut seperti budidaya kerang mutiara maupun penangkaran ikan kerapu. Dengan kondisi alam, teluk dan selat yang mendukung menjadikannya sebagai tempat yang sangat baik untuk pengembangan budidaya laut karena cukup terlindungi dari berbagai pengaruh ombak dan gelombang besar pada saat-saat tertentu. Dengan demikian pengembangan budidaya kerang mutiara, lola, teripang, rumput laut dan ikan pelagis kecil berpotensi untuk dikembangkan dalam jumlah besar. Walaupun masih banyak jenis komoditas laut yang belum teridentifikasi pada wilayah-wilayah tertentu di Provinsi Maluku namun hal ini bukan menjadikannya sebagai wilayah terbelakang. Komoditas-komoditas yang belum tergarap atau diolah secara baik dan menjanjikan perkembangan di masa depan seperti penangkaran ikan hias air asin yang jenisnya tidak dapat diperoleh di wilayah lain di luar Provinsi Maluku. Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan pada Tahun 2008 berproduksi ikan dan nilai produksi perikanan hasil budidaya tambak dan kolam berdasarkan jenis ikan sesuai Tabel 9 dan 10. Tabel 9. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Hasil Budidaya Tambak dan Kolam Menurut Jenis Ikan di Provinsi Maluku, Tahun 2008 Jenis Ikan Produksi (Ton) Nilai (Ribuan Rp) 1. Tambak Bandeng Mujair Lain-lain

163 Kolam Mas Mujair Lain-lain Laut Total Produksi/Nilai Produksi Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, Tahun 2008 Tabel 10. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Menurut Jenis Ikan di Provinsi Maluku, Tahun 2008 Jenis Ikan Produksi (Ton) Nilai (ribuan rp) 1. Udang 2. Cakalang 3. Kembung 4. Julung 5. teri 6. Layang 7. Selar 8. Lain-lain 9. Tuna 10. Ikan Darat Total Produksi dan Nilai Produksi Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, Tahun Komposisi Penduduk Berdasarkan data registrasi kependudukan, jumlah penduduk Provinsi Maluku sampai Tahun 2007 berjumlah jiwa. Kepadatan rata-rata penduduk sekitar 26 jiwa/km 2, sedangkan persebarannya tidak merata karena adanya konsentrasi penduduk pada wilayah-wilayah tertentu terutama pada wilayah pusat kota dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu saja. Jumlah rata-rata penduduk per rumah tangga di Provinsi Maluku sekitar 5 6 jiwa/keluarga dan laju pertumbuhan penduduk dari Tahun sebesar 2.57 persen. Sesuai dengan data tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.

164 138 Tabel 11. Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Provinsi Maluku, Tahun Tahun Jumlah Jiwa Kepadatan/Km Sumber : BPS, Tahun 2008, data diolah Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat Masyarakat Provinsi Maluku terdiri dari berbagai suku dan agama. Beberapa suku di wilayah ini umumnya memiliki kekerabatan yang diikat dengan marga atau fam. Pengelompokkan masyarakat di Maluku biasanya didasarkan pada urutan dan asal tempatnya seperti dari pulau Seram, Banda dan sebagaian kepulauan Kei bagian Selatan dan Tenggara, Halmahera dan Tidore, bahkan ada sebagian masyarakat Maluku yang berasal dari daerah bagian Barat terutama dari pulau Jawa (Tuban). Ikatan tradisi kekeluargaan yang sampai saat ini masih tetap dilestarikan atau dipertahankan adalah ikatan Pela dan Gandong. Ikatan-ikatan tersebut menggambarkan tentang persekutuan yang terjalin dan terbina secara bersahabat antar desa, baik antar desa dalam satu pulau atau antar desa yang berlainan pulau. Ikatan ini telah dilakukan atau terbentuk sejak zaman nenek moyang orang Maluku dengan mengandung unsur-unsur budaya luhur dan religie magis. Ikatan-ikatan yang terjalin begitu lama berfungsi sebagai suatu tatanan untuk menjaga persaudaraan diantara sesama warga pela dan gandong serta kerukunan beragama diantara sesama warga masyarakat yang berbeda keyakinan atau agamanya.

165 139 Kondisi sosial dan budaya masyarakat Maluku dapat dilihat dari adanya ikatan emosional kerja sama Royong. Budaya ini bersifat yang dikenal dengan Masohi atau Gotong hubungan kerja sama yang dilakukan secara bersama-sama dalam menyelesaikan suatu kegiatan atau pekerjaan dengan membutuhkan dana, daya dan lain-lain sehingga perlu dilakukan antar desa maupun antar masyarakat walaupun berbeda ikatan pela dan gandong. Dengan demikian semua masyarakat Maluku wajib melaksanakan ikatan yang telah terbina dari zaman nenek moyangnya. Kondisi seperti ini yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) dengan potensi alam yang tersedia seharusnya menjadi arah dan strategi kebijakan pembangunan Provinsi Maluku. Kearifan lokal yang masih dipertahankan untuk menjaga kelestarian alam seperti tidak boleh memanen ikan, tanaman pada waktu-waktu tertentu dikenal dengan istilah daerah yakni Sasi. Di beberapa wilayah lebih dikenal dengan sasi di sektor perikanan. Dimana tidak boleh mengambil ikan sebelum berakhirnya masa sasi. Sasi ini telah berlangsung turun temurun, bila ada masyarakat yang melanggar aturan ini biasanya dikenai dengan sanksi adat Kondisi Sarana dan Prasarana Transportasi Transportasi Darat Sebagai wilayah kepulauan yang sebagian wilayahnya teridir dari lautan sehingga untuk sarana dan prasarana transportasi darat belum mendapat perhatian karena sektor angkutan darat ini cukup bermanfaat bagi wilayah-wilayah yang tidak dipisahkan oleh laut atau satu pulau dan bahkan antar pulau yang letak pulaunya cukup dekat satu dengan lainnya (Ambon Seram). Sarana dan

166 140 prasarana transporatsi di wilayah kepulauan Provinsi Maluku meliputi transportasi darat, udara dan air (laut). Transportasi darat meliputi jalan yang menghubungkan Kota Ambon dengan Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku Tengah dan dari Kabupaten Maluku Tengah terhubung ke Kabupaten Seram Bagian Timur. Jaringan jalan dari Kota Ambon menuju pusat-pusat pengembangan (kabupaten disekitarnya) disebut dengan jalan trans Seram. Dengan kata lain jaringan transportasi jalan yang paling panjang di Provinsi Maluku adalah jaringan jalan yang menghubungkan Kota Ambon dengan tiga kabupaten di Pulau Seram. Panjang jalan di Provinsi Maluku untuk jalan nasional dan provinsi sepanjang km yang terdiri dari jalan nasional sepanjang km dan provinsi km Tahun Tipe jalan umumnya berupa jalan di aspal, kerikil, tanah dan yang tidak dirinci Transportasi Udara Sarana dan prasarana transportasi udara di wilayah kepulauan Provinsi Maluku membagikan beberapa kelas untuk kapsitas lapangan udara yang di Maluku. Kota Ambon sebagai pusat pertumbuhan/pengembangan memiliki bandar udara tipe kls 1 dan Kabupaten Maluku Tengah Kls 3 sedangkan kabupaten lainnya hanya memiliki bandar udara bertipe Lapter (lapangan terbang). Bandar udara tipe kls 1 dapat didarati oleh pesawat dengan kapasitas/jenis Airbus (A-300) sejenis boing (B ) sedangkan kls 3 hanya dapat didarati pesawat dengan tipe Foker (F-27) di Banda (kabupaten Maluku Tengah). Lapter (lapangan terbang) yang berada di beberapa kabupaten lainnya

167 141 hanya dapat didarati oleh jenis pesawat Cassa (C-212). Dengan kondisi bandar udara seperti di atas maka masih sulit untuk pusat-pusat pengembangan di wilayah ini dapat mempercepat pengembangan wilayah dengan keunggulan sektoralnya. Perusahaan penerbangan yang telah beroperasi di Provinsi Maluku adalah perusahaan penerbangan Lion Air, Batavia, Sriwijaya, Garuda untuk tujuan Ambon sedangkan ke wilayah (kabupaten) lainnya perusahaan penerbangan yang beroperasi adalah PT. Trigana dan Merpati (jenis cassa dan twin otter). Rata-rata frekuensi penerbangan secara teratur ke Ambon satu kali per satu hari untuk semua jenis pesawat sedangkan ke kabupaten lainnya selain Ambon frekuensi penerbangan sering tergantung dari cuaca dan jumlah pesawat yang terbatas sehingga frekuensi penerbangan tergantung dari penumpang yang akan bepergian. Rata-rata penumpang pada Tahun 2008 yang melakukan perjalan dengan pesawat dari bandara Pattimura Ambon adalah sebanyak orang per bulan. Jumlah bagasi yang di muat Tahun 2008 seberat kg sedangkan bongkar seberat kg Transportasi Air (Laut) Sarana dan prasarana laut di wilayah kepulauan Provinsi Maluku merupakan salah satu sarana transportasi yang harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Dengan karakteristik sebagai wilayah kepulauan yang berbasis bahari/maritim harusnya didukung dengan sarana dan prasaran tarnsportasi laut yang memadai. Fasilitas pelabuhan laut di Maluku meliputi pelabuhan yang termasuk dalam pelabuhan bongkar muat kelas 2 dengan konstruksi dermaga adalah beton dan jenis pelabuhan seperti ini terdapat di Kota Ambon dan

168 142 Kabupaten Maluku Tengah sedangkan beberapa kabupaten lainnya masih berupa beton/kayu dengan kondisi pelabuhan sebagai pelabuhan rakyat (pelra). Ukuran pelabuhan terbesar berada di Kota Ambon yakni berukuran panjang 576 meter dan lebarnya 18 meter, fasilitas gudang yang tersedia di pelabuhan Ambon (Yos Sudarso) M 2. Pelabuhan Yos Sudarso dikelola oleh PT. Pelindo sedangkan pelabuhan di kabupaten lainnya di kelola oleh Dephub (ADPEL kelas 4). Arus barang dan penumpang transportasi laut dilayari dengan mempergunakan jenis kapal penumpang cepat antar provinsi yang dikelola oleh PT.Pelni seperti KM. Dobonsolo, KM. Bukit Siguntang, KM. Lambelu. Jumlah penumpang turun per Tahun rata-rata yang mempergunakan kapal cepat PT. Pelni sekitar orang sedangkan turun rata-ratanya sekitar orang. Kabupaten lainnya masih melakukan kegiatan bongkar muat di wilayahnya dengan mempergunakan sarana pelabuhan rakyat (pelra) termasuk pelabuhan kecil yang umumnya berada di kabupaten-kabupaten disekitar Kota Ambon. Angkutan sungai danau dan Penyeberangan (ASDP) Ferry beroperasi untuk menghubungi wilayah yang dekat dengan pusat pengembangan Kota Ambon seperti dari Ambon ke Pulau Seram (Kabupaten Seram Bagian Barat dan Maluku Tengah), Ambon Buru, Maluku Tenggara Maluku Tenggara Barat Kondisi Perekonomian Wilayah Sesuai dengan perspektif keruangan (tata ruang) wilayah Provinsi Maluku, maka sudah seharusnya sistem pengembangan perekonomian wilayahnya diarahkan pada konsep pembangunan yang didasarkan pada konsep kemampuan

169 143 atau kapasitas wilayah, sebagai salah satu indikator yang memperhatikan aspek ketataan ruang wilayah (space) dan potensinya. Selama ini sistem perekonomian yang dianut Provinsi Maluku masih bersifat tertutup dan tidak memperhatikan aspek tata ruang wilayahnya (spaceless), sehingga aktivitas perekonomian wilayah lebih bersifat pemenuhan kebutuhan lokal wilayah itu sendiri atau bersifat internal. Wilayah Maluku sebagai wilayah kepulauan memiliki struktur perekonomian yang tentu berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini dapat terlihat dengan jelas karena antara satu wilayah (kota dan kabupaten) dipisahkan oleh laut. Luas wilayah yang pada umumnya dipisahkan oleh laut tentunya memiliki lokasi pengembangan yang terpencar. Kondisi perekonomian wilayah Provinsi Maluku seperti yang digambarkan di atas memperlihatkan kondisi perekonomian wilayah ini mau berkembang maka model perekonomiannya harus bersifat terbuka. Oleh karena itu aspek keruangan (space) menjadi model ekonomi wilayah yang saling berinteraksi (linkages) atau memiliki berbagai macam simpul-simpul jasa distribusi diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Model perekonomian seperti ini akan menjadi salah satu model perekonomian yang berakarakteristik perekonomian wilayah kepulauan sehingga di harapkan mampu dalam meningkatkan mobilitas faktor-faktor produksi dan menjadi andalan (prime mover) untuk memacu perkembangan perekonomian wilayahnya. Dengan demikian sektor-sektor yang berpotensi atau dominan terhadap produksinya serta memiliki nilai tambah (value added) baik menurut lapangan usaha (sektor) maupun komponennya akan menjadi daya tarik dan daya kepekaan

170 144 yang tinggi (backward and forward linkages) dan memberi dampak multiplier effek dari sektor-sektor unggulan tersebut terhadap sektor lainnya. Secara umum Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Maluku menurut lapangan usaha menunujukkan kinerja perekonomiannya seperti pada Tabel 12.

171 Tabel 12. PDRB Provinsi Maluku Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan (dlm jutaan Rupiah), Tahun 2000/2008 URAIAN SEKTOR Pertanian Petambagan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Bank dan Lembaga Keuangan Jasa-Jasa Total PDRB Sumber: Maluku Dalam Angka Tahun 2008, data diolah 145

172 VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan, bila mampu menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi (economic growth) wilayah dari Tahun ke Tahun. Indikator makroekonomi biasanya mempergunakan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu alat ukur untuk mengukur kemajuan atau tingkat keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Dalam menganalis sektor-sektor ekonomi wilayah terhadap perubahan struktur ekonominya, diperlukan faktor-faktor yang menjadi sumber pertumbuhan sehingga dapat diketahui kondisi transformasi aktivitas ekonomi wilayah tersebut. Menurut kerangka pemikiran Rostow (1956) oleh Chenery et.al (1962), dan Sulistyaningsih (1997), dikatakan ada perbedaan di antara kedua ahli ekonomi ini. Rostow berupaya mendefinisikan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi sebagai perubahan absolut, sedangkan Chenery mendefinisikan sumbersumber pertumbuhan ekonomi sebagai nilai deviasi pertumbuhan proposional setiap sektor. Untuk analisis sektor-sektor ekonomi wilayah Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan digunakan indikator agregat makroekonomi dengan mempergunakan sumber data dari Biro Pusat Statistik (BPS) berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Data-data yang dianalisis dalam penelitian ini menggunakan data PDRB Provinsi Maluku, Kota dan Kabupaten sebagai pelengkap analisis sektor-sektor unggulan di Provinsi Maluku.

173 148 Analisis dan pembahasan pada sub bab penelitian ini, mengelompokkan PDRB Provinsi Maluku ke dalam 9 sektor, digunakan sebagai sumber data analisis dan pembahasan sektor-sektor unggulan Provinsi (I-O), untuk analisis Input-Output (I-O) pada sub berikutnya dipergunakan data pada tabel (I-O) updating Provinsi Maluku Tahun 2007 yang dikelompokkan kedalam 60 sektor ekonomi wilayah. Pada bagian ini analisis diarahkan untuk menguraikan mengenai struktur penawaran (supply) dan permintaan (demand) terhadap barang dan jasa yang dilakukan di Provinsi Maluku. Selanjutnya penelitian dari hasil analisis (I-O), berupa sektor-sektor dominan dalam permintaan output, struktur output dan struktur nilai tambah (added value) baik menurut lapangan usaha (sektor) maupun kompenen beserta struktur permintaan akhir. Dari hasil pengolahan data-data tersebut, akan dilakukan kajian tentang daya penyebaran dan derajat kepekaan (backward and forward linkage). Dengan demikian hasil analisis penelitian yang dilakukan akan mampu menjawab perkembangan perekonomian Provinsi Maluku (Kota/Kabupaten) terhadap sektorsektor unggulan yang mengalami perubahan selama periode pengukuran. Perkembangang perekonomian suatu daerah/wilayah biasanya dapat dilihat dari perubahan yang terjadi pada penemuan serta penetapan sektor-sektor unggulan dan mempengaruhi pergeseran struktur perekonomian wilayahnya. Dengan adanya perubahan struktur perekonomian tersebut, maka suatu wilayah mampu menunjukkan besarnya kontribusi dari setiap sektor unggulan yang mengidentifikasikan bahwa wilayah tersebut mengalami perkembangan sesuai arah kebijakan pembangunan untuk masa kini maupun dimasa datang. Oleh sebab itu indikator perkembangan perekonomian harus mampu menggambarkan

174 149 seberapa besar kekuatan ekonomi wilayah yang sesuai dengan potensi atau kapasitas wilayahnya sehingga setiap perubahan struktur ekonomi mampu memperlihatkan adanya kemajuan didalam pengambilan kebijakan pembangunan. 6.2 Struktur Perekonomian Provinsi Maluku Dalam Kajian Analisis Input-Output (I-O) Analisis Input-Output (I-O) dilakukan dengan menggunakan Tabel (I-O) Provinsi Maluku Data-data pada tabel tersebut merupakan sumber data yang bersifat lengkap dan komprehensif sehingga dapat dilihat seberapa besar ketergantungan antarsektor dan beberapa analisis lainnya pada suatu sistem perekonomian wilayah. Hasil analisis berikutnya dapat diketahui melalui kajian analisis secara umum keadaan perekonomian Provinsi Maluku yang diuraikan pada sub bab berikutnya Strukutur Permintaan dan Penawaran Tabel Input-output seperti yang telah dijelaskan pada sub bab terdahulu merupakan salah satu instrumen sumber data yang digunakan sebagai bahan analisis ekonomi. Dengan demikian tabel Input-Output dapat digunakan untuk mengkaji struktur permintaan dan penawaran barang dan jasa di Provinsi Maluku. Terminologi tabel (I-O) biasanya membedakan permintaan menurut permintaan antara (intermediate demand) dan permintaan akhir (final demand). Permintaan antara merupakan permintaan sektor produksi guna memenuhi kebutuhan produksi sedangkan permintaan akhir merupakan permintaan akan barang yang digunakan sebagai konsumsi akhir domestik dan konsumen diluar wilayah Provinsi Maluku. Sedangkan penawaran terhadap barang dan jasa

175 150 terdiri dari produksi domestik (output domestic) dan impor yang berasal dari wilayah lain maupun luar negeri. BPS Provinsi Maluku (2007) menunjukkan permintaan terhadap barang dan jasa Provinsi Maluku sebesar Rp triliun. Sebagian besar dari nilai total permintaan sebesar persen merupakan permintaan oleh konsumen akhir domestik sedangkan persen atau sekitar Rp triliun digunakan untuk memenuhi permintaan konsumen diluar wilayah Provinsi Maluku atau di ekspor. Sedangkan permintaan sektor-sektor produksi untuk memenuhi kegiatan produksi di Provinsi Maluku sebesar persen atau sebesar Rp triliun. Untuk memenuhi permintaan barang dan jasa diperoleh dari produksi domestik sebesar persen atau sebesar Rp. 7.3 triliun dan sebesar persen harus diimpor dari luar wilayah Provinsi Maluku. Sebagai gambaran terhadap struktur permintaan dan penawaran Provinsi Maluku dapat ditampilkan sektor-sektor ekonomi yang diklasifikasikan kedalam 60 sektor ekonomi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13.

176 Tabel 13. Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Maluku, Tahun 2007 (Juta Rupiah) Kode Uraian Sektor Antara Permintaan Akhir Domestik Ekspor Jumlah Permintaan Output Domestik Penawaran Impor Jumlah Penawaran 1 Padi Jagung Ubi Kayu Ubi-Ubian Lainnya Kacang-kacangan Sayuran Dataran Tinggi Sayuran Dataran Rendah Jeruk Pisang Buah-buahan Lainnya Pertanian tanaman pangan lainnya Kelapa Cengkih Kakao Pala Kopi Perkebunan lainnya Peternakan Kayu Gelondongan Hasil hutan lainnya Perikanan Pertambangan

177 Penggalian Industri Pengilangan minyak bumi Industri Penggilingan padi Industri tepung terigu Industri minyak hewan dan nabati Industri biskuit roti dan sejenisnya Industri Gula Industri makanan dan minuman lainnya Industri kain tenun Industri tekstil bahan dari kulit dan alas kaki Industri kayu lapis Industri penggergajinan kayu Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri Kerang-kerangan Industri kertas dan barang cetakan Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri semen dan bahan galian bukan logam Industri lainnya Listrik Air bersih Bangunan Pedagang besar eceran Hotel Restoran dan rumah makan

178 Angkutan darat Angkutan Air Angkutan udara Jasa penunggang angkutan Komunikasi Bank Lembaga keuangan non-bank Sewa bangunan Jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan keamanan Jasa sosial kemanusiaan Jasa hiburan dan rekreasi Jasa perorangan dan rumah tangga Lainnya yang tidak jelas batasanya Jumlah Sumber : Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah 153

179 154 Tabel 14. Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Maluku, Tahun 2007 (Persen) Permintaan Penawaran Jumlah Persen Jumlah No Uraian Sektor Akhir Output Antara Ekspor Permintaan Permintaan Impor Penawaran Domestik Domestik Persen Penawaran Padi Jagung Ubi Kayu Ubi-Ubian Lainnya Kacang-kacangan Sayuran Dataran Tinggi Sayuran Dataran Rendah Jeruk Pisang Buah-buahan Lainnya Pertanian tanaman pangan lainnya Kelapa Cengkih Kakao Pala Kopi Perkebunan lainnya Peternakan Kayu Gelondongan Hasil hutan lainnya Perikanan

180 Pertambangan Penggalian Industri Pengilangan minyak bumi Industri Penggilingan padi Industri tepung terigu Industri minyak hewan dan nabati Industri biskuit roti dan sejenisnya Industri Gula Industri makanan dan minuman lainnya Industri kain tenun Industri tekstil bahan dari kulit dan alas kaki Industri kayu lapis Industri penggergajinan kayu Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri Kerang-kerangan Industri kertas dan barang cetakan Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri semen dan bahan galian bukan logam Industri lainnya Listrik Air bersih

181 Bangunan Pedagang besar eceran Hotel Restoran dan rumah makan Angkutan darat Angkutan Air Angkutan udara Jasa penunggang angkutan Komunikasi Bank Lembaga keuangan non-bank Sewa bangunan Jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan keamanan Jasa sosial kemanusiaan Jasa hiburan dan rekreasi Jasa perorangan dan rumah tangga Lainnya yang tidak jelas batasanya Jumlah Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah

182 157 Berdasarkan gambaran struktur di atas dari sisi penawaran terlihat kelompok sektor pertanian mampu berperan cukup besar dengan menawarkan dari produksi domestiknya sebesar 96.8 persen yaitu sebesar Rp.2.36 triliun sedangkan 3.1 persen merupakan produksi yang mampu disediakan dari luar Provinsi Maluku. Untuk memenuhi permintaan antara dari jumlah penawaran dialokasikan sebesar 14.9 persen terhadap konsumsi domestik dialokasikan sebesar 43.7 persen dan 41.8 persen merupakan sisa dari alokasi yang disediakan bagi kegiatan ekspor. Ketergantungan Provinsi Maluku terhadap produk-produk pertanian dengan wilayah luar lainnya bila dilihat dari sisi komposisi penawaran masih sangat rendah, hal ini dimungkinkan karena pemenuhan permintaan di dalam wilayahnya sebagian besar dapat dipenuhi/dihasilkan sendiri. Bila dilihat dari sisi komposisi permintaan produk-produk pertanian umumnya secara merata dapat memenuhi konsumsi domestik dan ekspor serta memenuhi permintaan terhadap proses kelanjutan kegiatan produksi selanjutnya. Sektor pertanian sub sektor perikanan merupakan sektor terunggul atau unggulan mengingat sektor ini merupakan sektor yang paling dominan karena mampu memenuhi sebagian besar permintaan/memenuhi kebutuhan permintaan domestik dan sebagian kecil digunakan sebagai input industri bahan makanan. Dengan demikian dapat dilihat dari ketergantungan Provinsi Maluku terhadap berbagai kegiatan ekonomi wilayah, teridentifikasi bahwa kegiatan produksi yang dilakukan dengan mempergunakan bahan baku dari sektor pertanian hanya sekitar 15 persen. Hal ini berarti kegiatan produksi menggunakan sedikit bahan baku yang berasal dari

183 158 wilayahnya sendiri dan sebagian besar untuk memenuhi permintaan di luar wilayah Provinsi Maluku. Sektor lainnya yang turut mempengaruhi perekonomian Provinsi Maluku selain sektor pertanian adalah sektor industri pengolahan. Sektor ini mampu menghasilkan barang-barang hasil industri dalam perekonomian wilayah sekitar 2.34 triliun rupiah. Sektor industri pengolahan mampu memenuhi kebutuhan permintaan konsumsi domestik sebesar Rp.1.21 triliun atau sekitar persen dan untuk memenuhi kebutuhan di sektor-sektor produksi sebesar 0.76 triliun rupiah atau sekitar persen sisanya sebesar 0.36 triliun rupiah atau sekitar persen guna memenuhi permintaan ekspor. Impor yang dilakukan guna memenuhi permintaan domestik berupa barang dan jasa sebesar Rp.1.59 triliun atau sekitar persen diperoleh dari luar wilayah Provinsi Maluku sedangkan sisanya sebesar Rp tiliun atau sekitar persen merupakan hasil produksi domestik. Bila diidentifikasi dari besarnya nilai impor diatas maka dapat dikatakan bahwa Provinsi Maluku diindikasikan masih menggantungkan kebutuhan domestiknya yang cukup besar terhadap sektor industri pengolahan dari wilayah lain di luar wilayah Provinsi Maluku. Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang cukup berperan dalam kegiatan perekonomian wilayah. Sektor ini berada di kegiatan ekonomi wilayah nomor tiga berdasarkan struktur permintaan dan penawaran, oleh sebab itu sektor perdagangan, hotel dan restoran dapat dikatakan merupakan salah satu sektor yang harus menjadi perhatian di Provinsi Maluku. Dengan jumlah permintaan sebesar Rp.1.68 triliun ternyata sektor ini mampu memenuhi kebutuhan permintaan domestik sebesar Rp triliun atau sekitar persen

184 159 sedangkan sisanya berupa permintaan dari luar wilayah ini sebesar Rp triliun atau sekitar 0.44 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa sektor ini mampu memenuhi permintaan domestik. Namun bila dilihat dari sisi struktur penawaran sektor perdagangan, hotel dan restoran sama dengan sektor lainnya seperti: sektor listrik,gas dan air, pertambangan dan penggalian, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, bank dan lembaga keuangan serta sektor jasa-jasa masih merupakan sektor-sektor yang memiliki kesamaan distribusi yang sebagian besar penawarannya berasal dari aktivitas kegiatan ekonomi domestik. Bila diidentifikasi selanjutnya maka dapat dikatakan bahwa baik dari sisi struktur permintaan maupun penawaran sektor-sektor ini sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan produksi dan konsumsi domestik Struktur Output dan Nilai Tambah Bruto Output sering diartikan sebagai nilai produksi barang ataupun jasa yang dihasilkan dari sektor-sektor ekonomi suatu wilayah (daerah). Dengan menelaah besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing sektor maka dapat diketahui sektor-sektor mana saja yang mampu memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan output secara keseluruhan di Provinsi Maluku. Nilai tambah bruto merupakan balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi. Nilai tambah bruto di setiap sektor biasanya ditentukan oleh besarnya output (nilai produksi) yang dihasilkan serta jumlah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Dengan demikian suatu sektor yang memiliki output besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar dan tergantung dari seberapa besar biaya produksi yang dikeluarkan oleh sektor tersebut.

185 160 Berdasarkan pengertiannya diatas maka output sektor ekonomi tabel I-O Provinsi Maluku yang diklasifikasikan kedalam 60 sektor ekonomi diperoleh 10 sektor output terbesar seperti pada Tabel 15. Tabel 15. Sepuluh Sektor Terbesar Menurut Peringkat Output Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor Nilai (Juta Rp) Kontribusi ( % ) 1 44 Perdagangan besar dan eceran Perikanan Pemerintahan Umum dan Pertahanan Bangunan Angkutan Air Industri Penggergajian Kayu Angkutan Udara Cengkih Angkutan Darat Sewa Bangunan Lainnya Jumlah Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating Data Diolah Berdasarkan Tabel 15 terlihat beberapa sektor ekonomi yang cukup dominan dalam penciptaan output di Provinsi Maluku. Sektor-sektor ekonomi dominan tersebut meliputi 3 sektor seperti terlihat pada besarnya kontribusi sektor-sektor tersebut antara lain: (1) Sektor perdagangan besar dan eceran dengan output sebesar Rp.1.58 triliun atau sekitar persen. (2) Sektor perikanan dengan output sebesar Rp triliun atau sekitar peresen. (3) Sektor pemerintahan umum dan pertahanan sebesar Rp triliun atau sekitar persen. Bila dilihat dari kontribusi ketiga sektor dominan tersebut, sektorsektor ini mampu menciptakan output sebesar persen dari struktur output sektor lainnya. Dengan demikian dapat diidentifikasikan bahwa ketiga sektor

186 161 (sektor perdagangan dan eceran, perikanan, pemerintahan umum dan pertahanan) merupakan leading sector dalam struktur perekonomian Provinsi Maluku. Beberapa sektor ekonomi yang memiliki peringkat output dalam kelompok 10 sektor dominan dengan kontribusinya kurang dari 10 persen antara lain: (1) Sektor bangunan dengan output 3.42 persen (2) Sektor angkutan air 3.24 persen (3) Sektor industri penggergajian kayu 3.11 persen (4) Sektor angkutan udara 2.99 persen (5) Sektor perkebunan (cengkih) 2.92 persen (6) Sektor angkutan darat 2.80 persen dan (7) Sektor sewa bangunan sekitar 2.79 persen. Bila dilihat dari besarnya kontribusi ketujuh sektor dominan dengan kontribusi kurang dari 10 persen dalam struktur output Provinsi Maluku, dapat dikatakan bahwa sektor angkutan air, angkutan udara, perkebunan (cengkih), angkutan darat, belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah daerah. Untuk itu sudah selayaknya sektor-sektor tersebut dijadikan sebagai basis pengembangan sektor unggulan wilayah kepulauan yang heterogen baik dari sisi geografis, ekonomi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sosial budaya dalam rangka pengembangan ekonomi kawasan yang berbasis potensi lokal wilayah di Provinsi Maluku. Berdasarkan Tabel 16 nilai tambah bruto sebagai balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi maka nilai tambah di tiap-tiap sektor tentunya ditentukan oleh besarnya output (nilai produksi) yang dihasilkan. Ketiga sektor ekonomi dominan berdasarkan penciptaan nilai tambah bruto antara lain: (1) Sektor perdagangan besar dan eceran sebesar Rp.1.24 triliun atau sekitar persen (2) Sektor perikanan sebesar Rp. 0.9 triliun atau sekitar persen (3) Sektor pemerintahan umum

187 162 dan pertahanan sebesar Rp. 0.8 triliun atau sekitar persen. Bila dilihat dari penciptaan peringkat output dan nilai tambah maka terlihat ketiga sektor ini berperan sangat dominan sebagai pencipta output terbesar dan nilai tambah terbesar di Provinsi Maluku. Tabel 16. Sepuluh Sektor Terbesar Menurut Peringkat Nilai Tambah Bruto Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor Nilai (Juta Rp) Kontribusi ( % ) 1 44 Perdagangan besar dan eceran Perikanan Pemerintahan umum dan pertahanan Ubi kayu Cengkih Sewa bangunan Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Kelapa Lainnya Jumlah Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Sesuai dengan Tabel 16 dapat dirinci nilai tambah bruto berdasarkan 10 sektor terbesar dalam penciptaan nilai tambah bruto di Provinsi Maluku. Dari kesepuluh sektor terbesar tersebut teridentifikasi 3 sektor paling dominan dalam penciptaan nilai tambah bruto mampu menciptakan perannya sekitar persen atau sebesar Rp triliun terhadap seluruh nilai tambah bruto yang terbentuk di Provinsi Maluku. Selain ketiga sektor dominan diatas terdapat 7 sektor lainnya yang termasuk kedalam sektor dominan yaitu: (1) Sektor tanaman pangan (ubi kayu) 3.30 persen (2) Sektor perkebunan 3.10 persen (cengkih) (3) Sektor sewa bangunan 2.93 persen (4) Sektor angkutan darat 2.78 persen (5) Sektor angkutan air 2.60 persen (6) Sektor angkutan udara 2.57 persen (7) Sektor

188 163 perkebunan (kelapa) 2.50 persen, ketujuh sektor ini menciptakan kontribusi/perannya secara keseluruhan sekitar 27.9 persen dari nilai tambah bruto Provinsi Maluku. Secara umum dapat digambarkan struktur nilai tambah bruto dalam Tabel I-O Provinsi Maluku Tahun 2007 dengan 3 pendekatan yaitu: (1) Menurut produksi (sektor ekonomi) (2) Pendapatan dan (3) Pengeluaran (konsumsi). Berdasarkan struktur perekonomian Provinsi Maluku Tahun 2007 terlihat 9 sektor ekonomi yang berpengaruh terhadap perekonomian wilayah. Dari kesembilan sektor ekonomi wilayah ini terlihat adanya beberapa sektor yang sangat dominan dalam struktur perekonomian Provinsi Maluku. Sektor-sektor dominan tersebut antara lain: sektor pertanian dengan kontribusi sebesar Rp triliun atau sekitar persen, diikuti oleh sektor sektor jasa-jasa sebesar Rp triliun sekitar persen dan sebesar perdagangan besar dan eceran Rp triliun sekitar persen. Perkembangan yang cukup menonjol karena sektor-sektor tersebut berkontribusi terhadap struktur perekonomian Provinsi Maluku dibawah 10 persen. Bila melihat grafik struktur PDRB menurut sektor Ekonomi (persen) terlihat bahwa sektor pertambangan, listrik, gas dan air bersih kontribusinya sekitar persen. Dengan demikian dapat dikatakan kedua sektor tersebut merupakan sektor yang kontribusinya paling rendah dari ketujuh sektor lainnya. Untuk itu diperlukan berbagai kebijakan pemerintah daerah didalam mengembangkan atau mempercepat peningkatan sektor-sektor tersebut sesuai kebutuhan dan potensi yang ada guna percepatan pembangunan wilayah.

189 164 Komponen pendapatan berdasarkan nilai tambah bruto (PDRB) menunjukkan sebagian besar nilai tambah tersebut bersumber dari komponen surplus usaha. Dimana nilai surplus usaha dalam perekonomian Provinsi Maluku Tahun 2007 mencapai Rp triliun atau sekitar 59.0 persen. Sedangkan komponen upah dan gaji termasuk komponen yang cukup besar sekitar Rp triliun atau 30.0 persen dari keseluruhan nilai tambah dihasilkan di Provinsi Maluku. Komponen lainnya seperti penyusutan dan pajak tak langsung masingmasing memberikan nilai tambah yang tidak terlalu besar hanya sekitar 4 7 persen saja dari keseluruhan nilai tambah di wilayah ini. Tabel 17. Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen Pendapatan (juta rupiah) Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Komponen Nilai (Rp) Persen (%) Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak tak langsung PDRB Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Sesuai Tabel 17 dapat dikatakan bahwa, komponen upah dan gaji relatif masih rendah bila dibandingkan dengan surplus usaha. Ukuran masih rendah terhadap komponen upah dan gaji karena komponen ini merupakan salahsatu ukuran yang memperlihatkan komponen nilai tambah yang diterima secara langsung dan dibawa pulang oleh pekerja serta dapat dinikmati oleh masyarakat. Walaupun demikian dapat dikatakan surplus usaha merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penerimaan pengusaha untuk digunakan sebagai modal usaha atau disimpan dalam bentuk laba yang ditahan di dalam perusahaan tersebut.

190 165 Sehingga bila upah dan gaji merupakan komponen yang menjadi perhatian pemerintah daerah maka kebijakan penetapan UMP perlu memperhatikan komponen-komponen yang mempengaruhi nilai tambah struktur ekonomi Provinsi Maluku. Dengan demikian komponen upah dan gaji serta surplus usaha bagi pekerja dan pengusaha dapat memberikan nilai tambah secara langsung yang dapat dinikmati baik oleh pekerja dan laba bagi pengusaha demi pengembangan ekonomi wilayah kedepan Struktur Permintaan Akhir Pada tabel Input-Output permintaan akhir atau pendapatan suatu wilayah ditentukan oleh beberapa komponen. Komponen-komponen tersebut pada dasarnya memenuhi persamaan Y = C + I + G + ( X M ), komponen Y adalah pendapatan (dalam konteks tabel I-O sama dengan PDRB dari sisi penggunaan atau total nilai tambah), C adalah konsumsi rumah tangga, G adalah konsumsi pemerintah sedangkan ( X - M ) adalah ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa, jumlah komponen permintaan akhir dikurangi dengan impor akan sama dengan jumlah penggunaan akhir barang dan jasa yang bersumber dari kegiatan faktor produksi domestik atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut penggunaannya. Pentingnya komponen permintaan akhir maka perkembangan komponen ekspor dan pembentukan modal tetap bruto harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Hal ini menjadi penting karena komponen ekspor merupakan salah satu sumber devisa dan komponen pembentukan modal tetap bruto merupakan salah satu komponen yang berkaitan langsung dengan peningkatan kapasitas produksi atau pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.

191 166 Komponen-komponen ini harus menjadi tujuan utama pemerintah daerah bila ingin meningkatkan kemampuan sektor-sektor unggulannya dan pengusaha di daerah mau mengkonsolidasi surplus usahanya terhadap potensi dari sektor-sektor unggulan daerah. Peningkatan permintaan terhadap ekspor dan penciptaan pembentukan modal tetap akibat dari surplus usaha yang tidak ditransfer keluar wilayah ini akan semakin meningkatkan dan memacu perkembangan wilayah serta meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat dan pendapatan regional Provinsi Maluku. Untuk melihat komposisi nilai tambah bruto menurut komponen pengeluaran dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen Pengeluaran Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Komponen Nilai Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stok Ekspor Jumlah Permintaan Impor PDRB Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Struktur nilai tambah bruto menurut komponen pengeluaran (konsumsi) Provinsi Maluku Tahun 2007 seperti terlihat pada Tabel 18 ternyata penyumbang terbesar dalam pembentukan aktivitas perekonomian di wilayah Provinsi Maluku adalah komponen konsumsi rumahtangga (301) yakni sebesar persen. Selain komponen konsumsi rumahtangga beberapa komponen lain yang berpengaruh dalam pembentukan perekonomian daerah antara lain: komponen

192 167 ekpor barang dan jasa sekitar persen, konsumsi pemerintah sebesar persen, pembentukkan modal tetap bruto sebesar 4.50 persen dan perubahan stok sekitar 2.45 persen. Dari komponen-komponen diatas Provinsi Maluku harus menutupi kekurangan dari persediaan domestik. Oleh sebab itu dibutuhkan besarnya impor sekitar persen, bila dilihat dari neraca perdagangan Tahun 2007 terlihat bahwa Provinsi Maluku mengalami surplus perdagangan sebesar miliar rupiah yaitu selisih dari nilai ekspor dan impor Analisis Pengganda Analisis angka pengganda (multiplier analysis) merupakan salah satu jenis analisis yang umum dilakukan untuk menilai perubahan terhadap varibelvariabel endogen tertentu apabila terjadi perubahan variabel-variabel eksogen seperti permintaan akhir dalam suatu struktur perekonomian. Perubahan variabel eksogen (permintaan akhir) suatu sektor dalam analisis angka pengganda meliputi tiga variabel yang menjadi perhatian utama antara lain: angka pengganda penciptaan output, pendapatan dan kesempatan kerja. Dalam analisis angka pengganda biasanya digunakan dua tipe pengganda seperti: pengganda tipe I (Type I) dan pengganda tipe II (Type II) Angka Pengganda Output Analisis angka pengganda output secara sederhana dapat dikatakan sebagai nilai total dari output atau produksi yang dihasilkan oleh sistem perekonomian suatu wilayah guna memenuhi atau akibat dari adanya perubahan satu unit permintaan akhir suatu sektor. Hasil perhitungan angka pengganda output untuk 60 sektor ekonomi maka ditentukan 10 sektor yang memiliki nilai

193 168 angka pengganda output terbesar dalam perekonomian wilayah Provinsi Maluku. Seperti terlihat pada Tabel 19 angka pengganda output dibawah ini memperlihatkan bahwa beberapa sektor yang memiliki nilai pengganda output tipe I terbesar. Tabel 19. Sepuluh Sektor Pengganda Output terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor Nilai 1 35 Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Bangunan Industri kayu lapis Industri penggergajian kayu Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri kain tenun Industri lainnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri kertas dan barang cetakan Industri penggilingan padi Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Sektor-sektor yang memiliki angka pengganda output terbesar di Provinsi Maluku sesuai Tabel 19 menunjukkan bahwa sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya (35) memiliki nilai pengganda output tertinggi yaitu sebesar berada pada peringkat pertama. Angka pengganda dari sektor ini menggambarkan bahwa jika terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya sebesar satu satuan maka akan meningkatkan output pada semua sektor ekonomi sebesar satuan Dapat dikatakan juga bahwa nilai pengganda output sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya sebesar mengandung arti bahwa jika terjadi kenaikan pada permintaan akhir terhadap sektor ini sebesar

194 169 satu juta rupiah maka akan meningkatkan output dari seluruh sektor dalam struktur perekonomian Provinsi Maluku sebesar Rp juta. Sektor lain yang berada pada peringkat sepuluh besar yang memiliki angka pengganda output terbesar yaitu: sektor bangunan (43), industri kayu lapis (33), industri penggergajian kayu (34), industri roti, biskuit dan sejenisnya (28), industri kain tenun (31), industri lainnya (40), industri makanan dan minuman lainnya (30), industri kertas dan barang cetakan (37) dan industri penggilingan padi (25). Nilai dari angka pengganda output pada sepuluh sektor ekonomi terbesar mengandung arti yang sama dengan sektor yang berada pada peringkat satu yaitu bila terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap sektor yang tersebut sebesar satu juta rupiah maka output seluruh sektor dalam perekonomian Provinsi Maluku hanya mampu meningkat sebesar nilai pengganda output dari sektor tersebut. Kebijakan pemerintah daerah biasanya menjadikan ukuran pertumbuhan ekonomi sebagai keberhasilan pembangunan dengan menggunakan kriteria angka pengganda output sebagai salah satu kriteria penilaian kebijakannya Pengganda Pendapatan Secara langsung efek yang dihitung dari koefisien input belum dapat menggambarkan suatu hasil dari angka pengganda sebagai dasar di dalam pembuatan suatu rencana atau keputusan perencanaan pengembangan sektoral. Hal ini berkaitan dengan koefisien input yang dihasilkan belum mampu memberikan gambaran pengaruh suatu sektor terhadap perekonomian wilayah secara keseluruhan. Dengan demikian pemotretan efek langsung yang dihitung

195 170 dari hasil analisis tabel Input-Output adalah hasil analisis pengganda (multiplier) yang diturunkan dari tabel matriks invers Leontief. Dari hasil perhitungan angka pengganda pendapatan seperti yang ditampilkan pada Tabel 20 terlihat beberapa sektor yang dapat memberikan efek langsung secara maksimal terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah Provinsi Maluku. Berikut ini dapat ditampilkan sepuluh sektor pengganda pendapatan terbesar menurut sektor ekonomi Provinsi Maluku Tahun 2007 seperti pada tabel dibawah ini: Tabel 20. Sepuluh Sektor Pengganda Pendapatan Terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor Nilai 1 43 Bangunan Industri barang lain dari kayu dan hasil lainnya Industri kayu lapis Industri Penggergajian kayu Industri penggilingan padi sewa bangunan Industri minyak hewan dan nabati Industri kain tenun Industri gula Industri makanan dan minuman lainnya Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Sektor-sektor yang memberikan efek maksimal terhadap pendapatan masyarakat berdasarkan perhitungan angka pengganda pendapatan terbesar adalah: sektor bangunan (43) sebesar nilai ini memberi arti bahwa bila nilai pengganda pendapatan sektor bangunan sebesar maka sektor tersebut akan menyebabkan pembentukan pendapatan masyarakat secara keseluruhan sebesar nilai pengganda pendapatan sektor bangunan tersebut. Begitupun terhadap kesembilan sektor lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 20. Sektor-sektor yang memiliki angka pengganda pendapatan terbesar mengindikasikan bahwa,

196 171 peningkatan pendapatan sebesar satu satuan pada orang yang bekerja di sektor tersebut akan menyebabkan pembentukkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan sebesar nilai pengganda pendapatan di sektor tersebut. Sesuai dengan hasil analisis yang dilakukan terhadap angka pengganda pendapatan menurut sektor ekonomi Provinsi Maluku terlihat beberapa sektor yang memiliki nilai pengganda pendapatan terbesar. Sektor-sektor yang termasuk sepuluh sektor terbesar adalah: sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya (35), industri kayu lapis (33), industri penggergajian kayu (34), industri penggilingan padi (25), sewa bangunan (54), industri kain tenun (31), industri makanan dan minuman lainnya (30), industri roti, biskuit dan sejenisnya (28) dan sektor industri minyak hewan dan nabati (27). Sektor-sektor ekonomi Provinsi Maluku yang memiliki nilai pengganda pendapatan terbesar menunjukkan bahwa bila terjadi peningkatan pendapatan sebesar satu satuan pada sektor-sektor tersebut akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat sebesar angka pengganda pendapatan pada sektor tersebut. Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan dengan berbagai kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah tentunya memiliki tujuan akhir dari proses pembangunan yang dilakukannya. Untuk itu bila pemerintah daerah ingin mencapai tujuan atau sasaran target yang ingin dicapai adalah peningkatan pendapatan masyarakat maka pemerintah daerah Provinsi Maluku harus mendorong peningkatan setiap sektor sesuai dengan nilai pengganda pendapatan seperti pada Tabel 20. Sebagai pelaku lapangan (stakeholder) masyarakat dapat mengalokasikan setiap satuan pendapatan yang diperoleh supaya dapat dibelanjakan kepada output sektor-sektor yang memiliki nilai pengganda

197 172 pendapatan terbesar. Dengan demikian bila pengganda pendapatan mejadi sasaran atau target maka pemerintah daerah harus mengoptimalkan peningkatan pendapatan terhadap perekonomian wilayah di Provinsi Maluku Pengganda Tenaga Kerja Sektoral Pengganda tenaga kerja sektoral merupakan analisis yang di gunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat kebutuhan tenaga kerja sektoral dalam perekonomian suatu wilayah. Berdasarkan angka pengganda tenaga kerja tipe I maka kebutuhan tenaga kerja Provinsi Maluku pada masing-masing sektor dapat di lihat pada Tabel 21. Tabel 21. Sepuluh Sektor Pengganda Tenaga Kerja Sektoral Terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor Nilai Perdagangan besar dan eceran Industri penggergajian kayu Sewa bangunan Industri kayu lapis Angkutan udara Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Jasa sosial kemanusiaan Industri penggilingan padi Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Tabel 21 di atas memperlihatkan bahwa kebutuhan tenaga kerja sektoral dari ke sepuluh sektor pengganda tenaga kerja sektoral terbesar di Provinsi Maluku masih di dominasi oleh sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sektor-sektor tersebut. Sektor perdagangan besar dan eceran merupakan sektor yang mempunyai nilai pengganda tenaga kerja terbesar yaitu sebesar yang mengandung arti sektor tersebut akan menciptakan lapangan kerja untuk orang (26 orang)

198 173 tenaga kerja di semua sektor ekonomi bila output sektor pedagang besar eceran meningkat sebesar satu juta rupiah. Sektor-sektor lain yang berperan besar dalam menciptakan tenaga kerja pada sektor ekonomi Provinsi Maluku seperti terlihat pada tabel di atas adalah sektor Industri penggergajian kayu mampu menciptakan kebutuhan tenaga kerja sebesar 17 orang, industri kayu lapis sebesar 16 orang, sewa bangunan sebesar 16 orang, angkutan udara sebesar 9 orang, industri roti, biskuit dan sejenisnya sebesar 6 orang, Industri makanan dan minuman lainnya sebesar 4 orang, Jasa sosial kemanusiaan sebesar 4 orang, industri penggilingan padi sebesar 4 orang dan sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya sebesar 3 orang. Sektor-sektor yang dipengaruhi oleh ke sepuluh sektor terbesar di atas pada dasarnya merupakan sektor yang sama dalam memperoleh efek penciptaan tenaga kerja. Oleh karena itu sektor-sektor yang menciptakan penambahan tenaga kerja atau peningkatan kesempatan kerja seluruh sektor ekonomi perlu menjadi perhatian pemerintah Provinsi Maluku dengan tidak meninggalkan tujuan menciptakan sektor-sektor unggulan yang berbasis potensi atau kapasitas wilayah kepulauan Keterkaitan Antarsektor Analisis keterkaitan antarsektor (intersectoral linkage analysis) merupakan salah satu analisis umum yang digunakan dengan model input-output. Analisis ini pada dasarnya melihat dampak terhadap output dari suatu kenyataan bahwa, pada dasarnya sektor-sektor dalam struktur perekonomian wilayah saling berpengaruh satu dengan lainnya (pengaruh-mempengaruhi). Keterkaitan antarsektor dapat berupa keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan

199 174 ke belakang (backward linkage). Keterkaitan ke depan merupakan hubungan sektor dengan penjualan barang jadi sedangkan keterkaitan ke belakang merupakan keterkaitan hubungan dengan bahan mentah atau bahan baku. Indeks keterkaitan ke depan (forward linkage) mengindikasikan bahwa sektor-sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran sektor lebih besar dari satu, mengindikasikan sektor tersebut memiliki daya penyebaran di atas rata-rata daya penyebaran secara keseluruhan. Begitu pula mengenai indeks keterkaitan ke belakang (backward linkage) mengandung pengertian yang sama dengan indeks keterkaitan ke depan yang mengindikasikan bahwa, bila indeks keterkaitan ke belakang memiliki nilai lebih besar satu mengindikasikan sektor tersebut memiliki derajat kepekaan di atas derajat kepekaan rata-rata secara keseluruhan. Daryanto (2010), mendefenisikan keterkaitan antarsektor merupakan hubungan saling ketergantungan antar sektor satu dengan lainnya, dimana output dari suatu sektor produksi merupakan input bagi sektor produksi lainnya begitu pula sebaliknya. Keterkaitan hubungan antar sektor ini mengakibatkan perubahan output suatu sektor produksi akan mempengaruhi pula output dari sektor produksi yang lain. Keterkaitan antarsektor dirinci sebagai berikut, (1) keterkaitan langsung ke depan (2) keterkaitan langsung ke belakang (3) daya sebar ke depan (4) daya sebar ke belakang. Dengan demikian menurut Jhingan (1993) dikatakan bahwa, pemerintah daerah (pembuat kebijakan) dapat menyusun dan menentukan suatu rencana yang sesuai dengan analisis keterkaitan antarsektor berdasarkan pengaruh dari suatu perubahan pada satu sektor terhadap sektor lainnya dalam struktur perekonomian wilayah.

200 Keterkaitan ke Depan dan Penyebaran ke Depan Berdasarkan klasifikasi 60 sektor ekonomi Provinsi Maluku, terlihat 10 sektor yang memiliki indeks keterkaitan ke depan (forward linkage) diatas ratarata sektor lainnya dan indeks penyebaran ke depannya seperti terlihat pada Tabel 22. Tabel 22. Sepuluh Sektor Tingkat Keterkaitan ke Depan Tertinggi dengan Tingkat Penyebarannya Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Sektor Kaitan ke Depan Perdagangan besar dan eceran Industri pengilangan minyak bumi Kayu gelondongan Industri semen dan bahan galian bukan logam Padi Industri kerang-kerangan Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri kertas dan barang cetakan Air bersih Industri kain tenun Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Penyebaran ke Depan Sektor-sektor yang termasuk dalam kategori 10 besar sektor yang memiliki indeks keterkaitan ke depan tertinggi adalah sektor perdagangan besar dan eceran (44) yaitu sebesar dengan indeks tingkat penyebaran ke depan sebesar , hal ini mengidikasikan bahwa sektor perdagangan besar dan eceran memperlihatkan adanya peningkatan output di sektornya. Dengan demikian dapat dikatakan peningkatan output dari sektor pedagang besar dan eceran dapat mencapai nilai sebesar kali lipat dibandingkan dengan ratarata peningkatan output di sektor lain apabila seluruh sektor ekonomi masingmasing mengalami kenaikan permintaan akhir sebesar 1 unit. Bila melihat indeks penyebaran ke depan dari sektor pedagang besar dan eceran yang menunjukkan nilai sebesar maka dapat diindikasikan bahwa sektor ini mempengaruhi

201 176 penciptaan terhadap output sektor-sektor ekonomi di Provinsi Maluku dimana penciptaan output sektor-sektor ekonomi tersebut tergantung secara merata pada sektor pedagang besar dan eceran. Sektor lain yang memiliki indeks keterkaitan ke depan tertinggi namun mempunyai nilai indeks penyebaran ke depan terendah antara lain, sektor industri pengilangan minyak bumi (24), industri kerang-kerangan (36), industri kertas dan barang cetakan (37), air bersih (42) dan industri kain tenun (31). Sektor-sektor yang memiliki indeks keterkaitan ke depan tertinggi dan indeks penyebaran ke depan terendah seperti sektor-sektor di atas menunjukkan bahwa, sektor-sektor tersebut mengalami peningkatan output sebesar indeks keterkaitan ke depan dibandingkan dengan rata-rata peningkatan output di sektor lain apabila seluruh sektor ekonomi masing-masing mengalami kenaikan permintaan akhir sebesar 1 unit. Namun dengan indeks penyebaran ke depan yang rendah sektor-sektor ini mengindikasikan bahwa penciptaan output dari sektor-sektor ekonomi lainnya di Provinsi Maluku secara merata tergantung pada sektor-sektor seperti, sektor industri pengilangan minyak bumi, industri kerang-kerangan, industri kertas dan barang cetakan, air bersih dan industri kain tenun. Sektor-sektor ekonomi lainnya yang memiliki indeks keterkaitan ke depan tertinggi maupun indeks penyebaran ke depan tertinggi diatas rata-rata yakni lebih besar dari satu seperti, sektor kayu gelondongan (19), industri semen dan bahan galian bukan logam (39), padi (1), industri pupuk kimia dan barang dari karet (38). Dengan demikian sektor-sektor yang memiliki indeks penyebaran ke depan tertinggi diatas rata-rata yakni lebih besar dari satu mengindikasikan bahwa

202 177 sektor-sektor tersebut cukup memiliki daya penyebaran secara keseluruhan terhadap sektor-sektor ekonomi Provinsi Maluku. Pada Tabel 23 terlihat 10 sektor tingkat penyebaran ke depan tertinggi dengan tingkat keterkaitan ke depannya sebagai berikut: Tabel 23. Sepuluh Sektor Tingkat Penyebaran ke Depan Tertinggi dengan Tingkat Keterkaitan ke Depannya Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Sektor Kaitan ke Depan Cengkih Padi Sayuran dataran rendah Perikanan Industri semen dan bahan galian bukan logam Kakao Industri makanan dan minuman lainnya Industri roti, biskuit dan sejenisnya Jeruk Jagung Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Penyebaran ke Depan Berdasarkan Tabel 23 terlihat ada 2 sektor yang memiliki tingkat penyebaran ke depan tertinggi atau indeks penyebaran ke depan tertinggi dan tingkat kaitan ke depan tertinggi yakni diatas rata-rata lebih besar dari satu. Ke dua sektor tersebut yaitu sektor padi (1), industri semen dan bahan galian bukan logam (39). Ke sepuluh sektor dengan tingkat penyebaran yang tinggi seperti pada Tabel 23 memperlihatkan bahwa sektor-sektor tersebut menunjukkan kebutuhan masukkan antara sektor-sektor tersebut dapak memberikan dampak peningkatan keluaran di atas rata-rata terhadap sektor lainnya. Dengan kata lain ke sepuluh sektor ini mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam mempengaruhi pertumbuhan perekonomian wilayah Provinsi Maluku secara keseluruhan. Sektor padi dan industri semen dan bahan galian bukan logam selain memiliki daya penyebaran yang cukup tinggi dan keterkaitan ke depan yang cukup besar maka

203 178 dapat dikatakan bahwa sektor-sektor ini mengindikasikan keluaran ke dua sektor ini mempunyai pengaruh yang lebih besar dari sektor-sektor lain yang menggunakan keluaran kedua sektor tersebut sebagai masukkan dibandingkan keluaran sektor lainnya Keterkaitan ke Belakang dan Penyebaran ke Belakang Indeks keterkaitan ke belakang (backward linkage) memiliki pengertian yang sama dengan indeks keterkaitan ke depan (forward linkage). Bila indeks keterkaitan ke belakang memiliki nilai lebih besar dari satu berarti derajat kepekaan sektor tersebut diatas derajat kepekaan rata-rata secara keseluruhan. Dengan mengukur indeks keterkaitan dan indeks penyebaran maka dapat diketahui keragaman ketergantungan antar sektor, indeks penyebaran yang tinggi pada suatu sektor berarti sektor tersebut hanya bergantung pada satu atau beberapa sektor saja. Tabel 24. Sepuluh Sektor Tingkat Keterkaitan ke Belakang Tertinggi dengan Tingkat Penyebarannya Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Sektor Kaitan ke Belakang Penyebaran ke Belakang Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri kayu lapis Industri penggergajian kayu Bangunan Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri kerang-kerangan Industri gula Industri kain tenun Industri minyak hewan dan nabati Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah

204 179 Sedangkan bila indeks penyebaran suatu sektor rendah maka hal ini mengindikasikan bahwa sektor tersebut tegantung secara merata terhadap seluruh sektor perekonomian wilayah yang bersangkutan. Sektor-sektor yang memiliki tingkat keterkaitan ke belakang tertinggi dapat dilihat pada Tabel 24 hasil analisis keterkaitan ke belakang ini memperlihatkan sektor-sektor yang memiliki indeks keterkaitan ke belakang tertinggi seperti, sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya (35), industri kayu lapis (33), industri penggergajian kayu (34), bangunan (43), industri roti, biskuit dan sejenisnya (28), industri makanan dan minuman lainnya (30) serta industri kerang-kerangan (36), industri gula (29) dan industri kain tenun (31) ke sembilan sektor tersebut merupakan sektor-sektor yang memiliki indeks keterkaitan ke belakang diatas rata-rata lebih besar dari satu yakni diatas dua. Dari kesepuluh sektor tersebut di atas yang memiliki nilai indeks penyebaran rendah yakni di bawah satu adalah, industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya (35), industri kayu lapis (33), bangunan (43), industri roti, biskuit dan sejenisnya (28), industri makanan dan minuman lainnya (30). Dengan memiliki nilai indeks penyebaran ke belakang yang rendah mengindikasikan bahwa ke lima sektor tersebut dengan indeks penyebaran rendah sekitar , tetapi memiliki nilai keterkaitan ke belakang yang tinggi yakni diatas rata-rata maka sektor-sektor tersebut mampu mendorong peningkatan output seluruh sektor perekonomian wilayah Provinsi Maluku di atas rata-rata sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan rata-rata kemampuan sektor ekonomi lainnya. Tetapi dengan indeks penyebaran ke belakang yang rendah dari ke lima sektor tersebut

205 180 menunjukkan bahwa sektor-sektor ini masih sangat tergantung secara merata terhadap seluruh sektor ekonomi dalam perekonomian wilayah Provinsi Maluku. Sektor lain yang memiliki nilai indeks keterkaitan ke belakang di atas rata-rata lebih besar dari satu adalah, sektor industri minyak hewan dan nabat (27), industri penggilingan padi (25), industri tekstil bahan dari kulit dan alas kaki (32) dan industri kertas dan barang cetakan (37). Keempat sektor ini termasuk sektor-sektor yang mampu mendorong peningkatan output seluruh sektor perekonomian wilayah. Sepuluh sektor ekonomi yang memiliki nilai keterkaitan ke belakang tertinggi ternyata ada lima sektor yang memiliki indeks penyebaran ke belakang diatas satu yakni, sektor industri penggergajian kayu (34), industri kerangkerangan (36), industri gula (29), industri kain tenun (31), industri minyak hewan dan nabati (27). Dengan memiliki nilai indeks penyebaran ke belakang dan indeks keterkaitan ke belakang yang tinggi dapat diartikan bahwa kenaikan permintaan pada ke lima sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap kenaikan output perekonomian wilayah di Provinsi Maluku. Untuk itu sektor-sektor ini perlu menjadi perhatian dari pemerintah daerah dalam meningkatkan perannya apalagi sektor yang merupakan sektor potensial di daerah Maluku. Sektor potensial itu antara lain sektor industri kerang-kerangan (36) dan industri kain tenun (31). Untuk melihat sektor-sektor ekonomi Provinsi Maluku yang memiliki tingkat penyebaran ke belakang tertinggi dengan tingkat keterkaitannya dapat ditampilkan pada Tabel 25.

206 181 Tabel 25. Sepuluh Sektor Tingkat Penyebaran ke Belakang Tertinggi dengan Tingkat Keterkaitan ke Belakangnya Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Sektor Kaitan ke Belakang Industri kerang-kerangan Industri minyak hewan dan nabati Buah-buahan lainnya Pisang Pala Industri penggilingan padi Kelapa Ubi kayu Kakao Kacang-kacangan Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Penyebaran ke Belakang Sesuai tabel diatas terlihat sepuluh sektor dengan tingkat penyebaran ke belakang tertinggi, tetapi ada tiga sektor yang memiliki tingkat penyebaran dan keterkaitan ke belakang yang tinggi berbeda dengan ke tujuh sektor lainnya sektor-sektor tersebut yaitu, sektor industri kerang-kerangan (36), industri minyak hewan dan nabati (27) dan industri penggilingan padi (25). Sektor-sektor yang memiliki tingkat penyebaran ke belakang tertinggi namun memiliki tingkat keterkaitan ke belakang yang rendah adalah, sektor buah-buahan (10), pisang (9), pala (15), kelapa (12), ubi kayu (3), kakao (14), dan kacang-kacangan (5). Sektorsektor yang memiliki tingkat penyebaran tertinggi tetapi memiliki nilai keterkaitan ke belakang yang rendah biasanya di indentifikasikan sebagai sektor yang kenaikan permintaannya kurang berpengaruh terhadap kenaikan output perekonomian wilayah Provinsi Maluku. Sebagai wilayah kepulauan dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah tentunya sektor-sektor yang memiliki tingkat penyebaran tertinggi ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah, apalagi sektor-sektor tersebut merupakan sektor-sektor local spesific. Kelima sektor dengan tingkat penyebaran ke belakang tertinggi ini sejak jaman penjajahan

207 182 merupakan sektor unggulan wilayah dengan demikian pemerintah daerah harus mampu mengelola sumberdaya alam potensial (local spesific) tersebut menjadi sektor unggulan di wilayah kepulauan Provinsi Maluku.

208 VII. KONEKTIVITAS SEKTOR-SEKTOR EKONOMI UNGGULAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 7.1. Potensi Lokal Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan memiliki potensi sumberdaya alam yang heterogen dan berlimpah namun dari sisi percepatan pembangunan wilayah ini masih jauh tertinggal dari wilayah-wilayah lain di Indonesia. Keterbatasan dalam mengidentifikasi/menentukan sektor-sektor unggulan wilayah ini sangat tergantung dari arah dan strategi kebijakan serta tujuan pembangunan dan pengembangan wilayah Provinsi Maluku. Tujuan pembangunan pengembangan wilayah yang tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan dan pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah kabupaten/kota belum menjadi prioritas utama dari tujuan pembangunan Provinsi Maluku. Dengan adanya tujuan pembangunan yang ingin dicapai dalam meningkatkan ekonomi wilayah dan menjadikan wilayah lain sebagai pusat pertumbuhan baru (new growth poles) maka pengembangan pembangunan wilayah sebaiknya di arahkan pada kapasitas wilayah yang berbasis bahari/maritim sebagai kekuatan potensi terbesar. Penentuan arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah yang berbasis pada kapasistas atau potensi lokal (local spesific) wilayah harus mampu mengidentifikasi/ menemukenali dan mengembangkan sektor-sektor unggulan selain memiliki nilai tambah dan mampu memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang (linkages) terhadap sektornya sendiri dan sektor-sektor lainnya. Percepatan dan pengembangan sektor-sektor unggulan menjadi dasar untuk meningkatkan PDRB.

209 184 Meningkatnya PDRB tidak dilihat dari sisi struktur output yang besar, nilai tambah bruto tetapi mampu meningkatkan nilai pengganda dari output, pendapatan, tenaga kerja dan memberikan keterkaitan (linkages) dengan sektor lainnya sebagai sektor pendorong utama (prime mover). Selain itu sektor unggulan tidak hanya didasarkan pada posisi relatifnya yang kuat karena hasil perhitungan mengindentifikasikan posisi unggul namun harus memperhatikan posisi relatif sektor yang lemah tetapi memiliki nilai strategis dengan mempertimbangkan kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah yang belum tergarap atau yang sudah tetapi belum dikelola secara optimal. Hasil indentifikasi sektor-sektor ekonomi Provinsi Maluku memperlihatkan beberapa sektor yang sangat berpengaruh dalam penentuan ekonomi wilayah. Sektor-sektor unggulan dimaksud dalam analisis penelitian dipahami sebagai sektor yang dapat berkembang serta mampu menggerakkan sistem perekonomian wilayah domestiknya maupun di luar wilayah tersebut. Dengan pemikiran di atas maka arah dan strategi kebijakan pembangunan Provinsi Maluku harus dikembangkan atas dasar kemampuan setiap wilayah atau pusat pengmebangan dalam mengembangkan sektor-sektor unggulan berbasis local spesific. Berkaitan dengan pemahaman tersebut pengembangan kawasan sentra produksi wilayah kepulauan Provinsi Maluku harus mampu memberi makna pada pengertian pengembangan kawasan itu sendiri. Bappeda Provinsi Maluku (1999) mendefenisikan kawasan sentra produksi sebagai wilayah yang dikembangkan atas dasar potensi wilayah tersebut yang secara geografis memiliki hubungan satu dengan lainnya sehingga secara keseluruhan dapat mempercepat akselerasi atau aksesbilitas pembangunan wilayahnya Pengembangan kawasan sentra produksi

210 185 yang di dasarkan pada potensi wilayah adalah bagian dari strategi kebijakan untuk menjawab berbagai tantangan seperti, letak geografis yang jauh atau relatif terpencil dan sulit dijangkau, potensi sumberdaya yang belum tergarap dan dikelola dengan baik, kualitas sumberdaya manusia yang relatif rendah, kegiatan investasi dan produksi yang rendah serta kondisi fasilitas pelayanan atau infrastruktur sosial ekonomi yang kurang memadai. Untuk itu dengan mengidentifikasi/menemukenali sektor-sektor unggulan berbasis potensi lokal (local spesific) akan mendorong percepatan pembangunan wilayah khususnya pada wilayah-wilayah yang karakteristik geografisnya adalah wilayah kepulauan (archipelago). Pemanfaatan kapasitas atau potensi lokal wilayah harus mampu dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan di Provinsi Maluku. Berdasarkan hasil analisis maka perlu adanya percepatan pengembangan sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan wilayah. Berdasarkan studi tipologi kabupaten/kota (1999), dikatakan bahwa sektor unggulan adalah sektor yang mampu menggambarkan posisi relatif sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah maupun nasional dengan kemampuannya sebagai sektor ungggulan dan mampu mendorong percepatan pembangunan wilayah. Untuk itu percepatan pengembangan sektor unggulan harus mampu menggerakkan roda perekonomian dan mempercepat proses penciptaan pusat pertumbuhan baru (new growth poles) diwilayahnya dan tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan (growth pole) saja. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penentuan sektor unggulan harus didasari pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah sehingga menjadi acuan didalam penentuan tujuan perencanaan pembangunan

211 186 dengan arah dan strategi kebijakan pemerintah selain hasil analisis yang telah dilakukan saat ini. Perencanaan pembangunan wilayah yang sesuai dengan kapasitas atau potensi lokal wilayah dan menemukenali sektor unggulannya akan mampu dalam pengembangan wilayah kawasan sentra produksi. Didalam menunjang proses pembangunan berdasarkan konteks wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku, kawasan sentra produksi akan meningkatkan interaksi atau keterkaitan satu wilayah dengan wilayah lain baik secara spasial maupun fungsional. Arah dan strategi kebijakan pengembangan sektor-sektor ekonomi wilayah melalui identifikasi/menemukan sektor unggulannya dan dapat meningkatkan kawasan sentra produksinya akan menciptakan fungsi pusat pengembangan atau pertumbuhan baru di wilayah kepulauan Provinsi Maluku Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output dengan Nilai Tambah Bruto Berdasarkan klasifikasi sepuluh sektor terbesar dari struktur output dengan nilai tambah bruto maka diperoleh sektor-sektor unggulan (key sector dan leading sector). Key sector merupakan sektor unggulan yang memiliki nilai struktur output maupun nilai tambah bruto tertinggi sedangkan leading sector adalah sektor pemimpin yang memiliki salah satu nilai tertinggi dari ke dua nilai tersebut yakni struktur output atau nilai tambah bruto dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah ini:

212 187 Tabel 26. Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Analisis Struktur Output dan Nilai Tambah Bruto di Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor Perdagangan besar dan eceran Nilai Struktur Output (Juta Rp) No Kode Uraian Sektor Perdagangan besar dan eceran Nilai Tambah Bruto (Juta Rp) Perikanan Perikanan Pemerintahan umum dan pertahanan Pemerintahan umum dan pertahanan Bangunan Ubi kayu Angkutan Air Cengkih Industri penggergajian kayu Sewa bangunan Angkutan udara Angkutan darat Cengkih Angkutan Air Angkutan darat Angkutan udara Sewa bangunan Kelapa Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Hasil konektivitas sepuluh sektor terbesar dari struktur output dan nilai tambah bruto terlihat hasil dari kedua nilai tersebut terdapat enam sektor unggulan (key sector) di Provinsi Maluku. Sektor-sektor yang termasuk dalam enam sektor unggulan tersebut antara lain: sektor perdagangan besar dan eceran (44), perikanan (21), pemerintahan umum dan pertahanan (56), angkutan air (48), angkutan darat (47) dan sewa bangunan (54). Dengan hasil konektivitas kedua kriteria analisis Input-Output yang dilakukan ternyata sektor-sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki sumbangan terbesar dalam pembentukan output secara keseluruhan dan memiliki nilai tambah bruto atau balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi yang dilakukan oleh sektor-sektor tersebut. Oleh sebab itu suatu sektor yang memiliki struktur output dan nilai tambah bruto yang besar menunjukkan bahwa sektor tersebut termasuk dalam sektor yang unggul bila dilihat dari konektivitas struktur output dan nilai tambah bruto. Hasil konektivitas untuk menentukan sektor-sektor unggulan (key

213 188 sector) dari analisis konektivitas yang dilakukan pada struktur output dan nilai tambah bruto dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output dengan Nilai Tambah Bruto, Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor Nilai Struktur Output (Juta Rp) No Kode Uraian Sektor Nilai Tambah Bruto (Juta Rp) 1. Perdagangan besar Perdagangan dan eceran besar dan eceran Perikanan Perikanan Pemerintahan umum dan pertahanan Pemerintahan umum dan pertahanan Angkutan Air Angkutan Air Angkutan darat Angkutan darat Sewa bangunan Sewa bangunan Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Multiplier Effect Berdasarkan klasifikasi sepuluh sektor terbesar dari analisis multiplier effect yakni pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja terlihat sektor-sektor unggulan (key sector dan leading sector). Key sector merupakan sektor unggulan yang memiliki nilai pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja tertinggi sedangkan leading sector adalah sektor pemimpin yang memiliki salah satu nilai tertinggi dari ke tiga nilai pengganda tersebut. Sepuluh sektor terbesar tersebut dapat dilihat pada Tabel 28. Sektor-sektor yang termasuk dalam kategori sektor unggulan dan memenuhi syarat sebagai sektor unggulan adalah sektor yang memilki nilai pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja tertinggi serta memiliki konektivitas diantara ke tiga nilai pengganda tersebut. Hasil analisis konektivitas pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja seperti terlihat pada Tabel 28. diperoleh sektor-sektor unggulan sebagai berikut: sektor industri kayu lapis (33),

214 Tabel 28. Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Analisis Pengganda (Multiplier Effect), Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja, Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor Nilai No Kode Uraian Sektor Nilai No Kode uraian sektor Nilai 1 35 Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya 2 43 Bangunan Bangunan Pedagang besar eceran Industri barang lain dari kayu dan hasil lainnya Industri penggergajian kayu Industri kayu lapis Industri kayu lapis Sewa bangunan Industri penggergajian kayu Industri Penggergajian kayu Industri kayu lapis Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri penggilingan padi Angkutan udara Industri kain tenun Sewa bangunan Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri lainnya Industri minyak hewan dan nabati Industri makanan dan minuman lainnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri kain tenun Jasa sosial kemanusiaan Industri kertas dan barang cetakan Industri gula Industri penggilingan padi Industri penggilingan padi Industri makanan dan minuman lainnya Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating,Tahun Data Diolah Tabel 29. Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Pengganda (Multiplier Effect), Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja, Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor Nilai Output No Kode Uraian Sektor Nilai Pendapatan no Kode uraian sektor Nilai TK 1 33 Industri kayu lapis Industri kayu lapis Industri kayu lapis Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri minyak hewan dan nabati Industri makanan dan minuman lainnya Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri penggilingan padi Industri penggilingan padi Industri penggilingan padi Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah 189

215 190 industri roti, biskuit dan sejenisnya (28), industri makanan dan minuman lainnya (30), serta industri penggilingan padi (25) Sektor-sektor yang termasuk dalam sektor unggulan berdasarkan hasil konektivitas berdasarkan kriteria pengganda memperlihatkan bahwa ke empat sektor tersebut memiliki nilai pengganda output, pendapatan maupun tenaga kerja terbesar baik dari sisi pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja. Sektorsektor unggulan dimaksud menujukkan bahwa jika terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap sektor-sektor tersebut akan memberikan dampak yang positif terhadap output seluruh sektor, pendapatan masyarakat serta memiliki kemampuan didalam menciptakan kesempatan kerja pada seluruh sektor unggulan wilayah kepulauan di Provinsi Maluku.

216 Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Keterkaitan Antarsektor Salah satu keunggulan dari analisis keterkaitan antarsektor (Intersectoral Linkages) yaitu dapat mengetahui seberapa besar tingkat hubungan atau keterkaitan antarsektor ekonomi. Keterkaitan antarsektor ekonomi dapat berupa keterkaitan ke belakang (backward linkages) maupun ke depan (forward linkages). Backward linkages merupakan hubungan dengan bahan mentah sedangkan forward linkages merupakan hubungan dengan penjualan barang jadi. Konektivitas sepuluh sektor terbesar dari kriteria backward linkages dan forward linkages menghasilkan beberapa sektor unggulan berdasarkan analisis dari kedua kriteria tersebut. Sektor-sektor unggulan berdasarkan konektivitas keriteria backward dan forward linkages seperti terlihat pada Tabel 30 dan Tabel 31 yaitu: sektor industri kerang-kerangan (36) dan industri kain tenun (31). Hasil analisis memperlihatkan bahwa ke tiga sektor tersebut secara konektivitas mampu memberikan nilai keterkaitan ke belakang dan ke depan yang tinggi. Dengan demikian ketiga sektor ini memiliki nilai penyebaran dan nilai kepekaan yang tinggi diatas derajat penyebaran maupun kepekaan rata-rata secara keseluruhan. Selain itu nilai penyebaran dan kepekaan dari ketiga sektor unggulan dimaksud dapat diartikan memiliki kemampuan untuk mendorong penciptaan dan peningkatan output secara merata pada seluruh sektor perekonomian wilayah kepualaun Provinsi Maluku. Tabel 31 memperlihatkan hasil konektivitas dari hasil analisis intersectoral linkages.

217 192 Tabel 30. Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Keterkaitan Antarsektor di Provinsi Maluku, Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri kayu lapis Industri penggergajian kayu Kaitan ke Belakang No Kode Uaraian Sektor Bangunan Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri kerangkerangan Pedagang besar dan eceran Industri pengilangan minyak bumi Kayu gelondongan Industri semen dan bahan galian bukan logam Kaitan ke Depan Padi Industri gula Industri kerangkerangan Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri kertas dan barang cetakan Industri kain tenun Air bersih Industri minyak hewan dan nabati Industri kain tenun Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Tabel 31. Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Keterkaitan Antarsektor (linkages) Tahun 2007 No Kode Uraian Sektor 1 36 Industri kerangkerangan Kaitan ke Belakang No Kode Uraian Sektor Industri kerangkerangan Kaitan ke Depan Industri kain tenun Industri kain tenun Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Multiplier Effect. Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Intersectoral Linkages. Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Multiplier Effect dan Intersectoral Linkages. Hasil konektivitas dari analisis Input-Output berdasarkan kriteria analisis struktur output, nilai tambah bruto, multiplier efek dan keterkaitan antar sektor seperti yang diperlihatkan pada Tabel 39 menunjukkan bahwa pemerintah daerah Provinsi Maluku belum mampu mengidentifikasi/menemukenali sektor-sektor

218 193 unggulan wilayahnya. Hal ini terlihat dari sektor-sektor unggulan yang diperoleh masih bersifat parsial yaitu hanya ditentukan berdasarkan pembuat atau pengambil kebijakan di daerah ini. Banyaknya sektor-sektor berbasis potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan yang belum dikembangkan dengan baik. Sektor berbasis potensi lokal wilayah kepulauan dapat dilihat pada Tabel 32 dimana sektor perikanan (27), angkutan air (48) merupakan sektor terbesar dalam struktur output maupun nilai tambah bruto di Provinsi Maluku. Bila dilihat dari konektivitas berdasarkan analisis kriteria multiplier effect dengan struktur output dan nilai tambah bruto maka sektor-sektor tersebut seperti sektor perikanan (27), angkutan air (48) tidak memperlihatkan adanya perubahan pengganda dari sektor-sektor tersebut (sektor unggulan berdasarkan kriteria struktur output, nilai tambah bruto) terhadap penciptaan output, pendapatan dan kesempatan kerja. Sektor-sektor unggulan wilayah berdasarkan kriteria multiplier effectpun tidak memperlihatkan konektivitas yang positif terhadap sektor-sektor terbesar dari struktur output dan nilai tambah bruto. Dengan demikian sektor unggulan dari analisis struktur output, nilai tambah bruto berbeda dengan sektor unggulan berdasarkan kriteria analisis multiplier effect. Bila melihat hasil penentuan sektor unggulan yang didasarkan pada kriteria di atas maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah Provinsi Maluku belum mampu menentukan arah dan strategi kebijakan pengembangan perekonomian wilayah yang berbasis pada potensi lokal wilayah. Hal ini dapat dilihat dari besarnya peran pemerintah daerah Provinsi Maluku yang lebih mengutamakan pencapaian pertumbuhan ekonomi dari sektor-sektor terbesar dalam analisis multiplier effect. Biasanya pemerintah daerah lebih menggunakan kriteria angka pengganda untuk

219 194 perencanaan pembangunan wilayah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Sektor-sektor terbesar berdasarkan kriteria multiplier effect tidak memperlihatkan sektor-sektor yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah. Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan dengan potensi lokalnya yang besar di sektor pertanian tidak memperlihatkan besarnya peran sektor-sektor ini. Umumnya sektor-sektor yang memiliki nilai pengganda terbesar adalah sektor-sektor yang bukan merupakan sektor yang berbasis potensi lokal wilayah hal ini dapat dilihat pada Tabel 28 dan 29. Dari hasil analisis multiplier effect tersebut terlihat bahwa pemerintah daerah lebih mengutamakan aspek pengganda pada output, pendapatan dan tenaga kerja sehingga diindikasikan pemerintah daerah lebih mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi dalam menentukan perencanaan pembangunan di Provinsi Maluku. Konektivitas sepuluh sektor terbesar berdasarkan kriteria analisis terhadap struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages memperlihatkan adanya keunggulan sektoral yang berbeda diantara kriteria-kriteria analisis tersebut. Perbedaan hasil analisis tersebut yang dilakukan berdasarkan hasil konektivitas diantara kriteria-kriteria analisis input- Output memperlihatkan bahwa pemerintah daerah Provinsi Maluku belum mampu mengidentifikasikan/menemukenali sektor-sektor unggulan wilayahnya yang berbasis potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan dan masih kuatnya daya tarik pusat pertumbuhan Kota Ambon dari wilayah lain di sekitarnya.

220 Tabel 32. Sepuluh Sektor Terbesar dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Angka Pengganda (Multiplier Effect), Tahun 2007 No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai 1 44 Perdaganga n besar dan eceran Perdagangan besar dan eceran Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya 2 21 Perikanan Perikanan Bangunan Pemerintaha n umum dan pertahanan Pemerintahan umum dan pertahanan Bangunan Ubi kayu Angkutan Air Industri penggergaji an kayu Angkutan udara Cengkih Sewa bangunan Angkutan darat Cengkih Angkutan Air Angkutan darat Sewa bangunan Angkutan udara Kelapa Industri kayu lapis Industri penggergajia n kayu Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri kain tenun Industri lainnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri kertas dan barang cetakan Industri penggilingan padi Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Bangunan Industri barang lain dari kayu dan hasil lainnya Industri kayu lapis Industri Penggergaji an kayu Industri penggilinga n padi Sewa bangunan Industri minyak hewan dan nabati Industri kain tenun Industri gula Industri makanan dan minuman lainnya Pedagang besar eceran Industri penggergajia n kayu Sewa bangunan Industri kayu lapis Angkutan udara Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Jasa sosial kemanusiaa n Industri penggilinga n padi Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya

221 196 Tabel 33. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dan Multiplier Effect, Tahun 2007 No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai Perdagangan besar dan eceran Perdagangan besar dan eceran Industri kayu lapis Industri kayu lapis Industri kayu lapis Perikanan Perikanan Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri minyak hewan dan nabati Industri roti, biskuit dan sejenisnya Pemerintahan umum dan pertahanan Pemerintahan umum dan pertahanan Industri makanan dan minuman lainnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri makanan dan minuman lainnya Angkutan Air Angkutan Air Industri penggilingan padi Industri penggilingan padi Industri penggilingan padi Angkutan darat Angkutan darat Sewa bangunan Sewa bangunan Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah

222 Tabel 34. Sepuluh Sektor Terbesar dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages), Tahun 2007 No Kode Sektor Nilai No Kode Perdagangan besar dan eceran Uraian Sektor Perdagangan besar dan eceran Nilai No Kode Sektor Perikanan Perikanan Pemerintahan umum dan pertahanan Pemerintahan umum dan pertahanan Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri kayu lapis Industri penggergajian kayu Kaitan ke Belakang No Kode Bangunan Ubi kayu Bangunan Angkutan Air Cengkih Industri penggergajian kayu Angkutan udara Sewa bangunan Angkutan darat Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri kerangkerangan Uaraian Sektor Pedagang besar dan eceran Industri pengila-ngan minyak bumi Kayu gelondongan Industri semen dan bahan galian bukan logam Kaitan ke Depan Padi Cengkih Angkutan Air Industri gula Angkutan darat Angkutan udara Sewa bangunan Kelapa Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Industri kain tenun Industri minyak hewan dan nabati Industri kerangkerangan Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri kertas dan barang cetakan Air bersih Industri kain tenun

223 198 Tabel 35. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages), Tahun 2007 No Kode Sektor Nilai No Kode Uraian Sektor Nilai No Kode Sektor Perdagangan besar dan eceran Perdagangan besar dan eceran Perikanan Perikanan Pemerintahan umum dan pertahanan Pemerintahan umum dan pertahanan Angkutan Air Angkutan Air Angkutan darat Angkutan darat Sewa Sewa bangunan bangunan Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Industri kerangkerangan Industri kain tenun Kaitan ke Belakang No Kode Uaraian Sektor Industri kerangkerangan Industri kain tenun Kaitan ke Depan

224 Tabel 36. Sepuluh Sektor Terbesar dari Pengganda (Multiplier Effect) dengan Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages), Tahun 2007 No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor 1 35 Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya 2 43 Bangunan Industri kayu lapis Industri penggergajia n kayu Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri kain tenun Industri lainnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri kertas dan barang cetakan Industri penggilingan padi Bangunan Industri barang lain dari kayu dan hasil lainnya Industri kayu lapis Industri Penggergajia n kayu Industri penggilingan padi Sewa bangunan Industri minyak hewan dan nabati Industri kain tenun Industri gula Industri makanan dan minuman lainnya Pedagang besar dan eceran Industri penggergajia n kayu Sewa bangunan Industri kayu lapis Angkutan udara Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Jasa sosial kemanusiaan Industri penggilingan padi Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri kayu lapis Industri penggergajia n kayu Kaitan ke Belakang No Kode Bangunan Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri kerangkerangan Uaraian Sektor Pedagang besar dan eceran Industri pengilangan minyak bumi Kayu gelondong an Industri semen dan bahan galian bukan logam Kaitan ke Depan Padi Industri gula Industri kain tenun Industri minyak hewan dan nabati Industri kerangkerangan Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri kertas dan barang cetakan Air bersih Industri kain tenun

225 200 Tabel 37. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Multiplier Effect dengan Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages), Tahun 2007 No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Industri kayu lapis Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri penggilingan padi Industri kayu lapis Industri minyak hewan dan nabati Industri makanan dan minuman lainnya Industri penggilingan padi Industri kayu lapis Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri penggilingan padi Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Industri kerangkerangan Industri kain tenun Kaitan ke Belakang No Kode Uaraian Sektor Industri kerangkerangan Industri kain tenun Kaitan ke Depan

226 Tabel 38. Keunggulan Sektoral dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Pengganda, Keterkaitan Antarsektor, Tahun 2007 No Kode Sektor Nilai NoKode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Kaitan ke belakang No Kode Sektor Kaita n ke depan Perdagan gan besar dan eceran Perdaganga n besar dan eceran Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Bangun an Pedagan g besar eceran Industri kayu lapis Pedaga ng besar dan eceran Perikanan Perikanan Bangunan Industri barang lain dari kayu dan hasil lainnya Industri pengger gajian kayu Bangun an Industri pengila -ngan minyak bumi Pemerinta han umum dan pertahana n Pemerintah an umum dan pertahanan Industri kayu lapis Industri kayu lapis Sewa banguna n Industri roti, biskuit dan sejenisn ya Kayu gelond ongan Bangunan Ubi kayu Industri penggergaji an kayu Industri Pengge rgajian kayu Industri kayu lapis Industri makana n dan minuma n lainnya Industri semen dan bahan galian bukan logam Angkutan Air Cengkih Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri penggil ingan padi Angkuta n udara Industri kerangkeranga n Padi Industri penggerga jian kayu Sewa bangunan Industri kain tenun Sewa bangun an Industri roti, biskuit dan sejenisn ya Industri kain tenun Industri kerangkerang an Angkutan udara Angkutan darat Industri lainnya Industri minyak hewan dan nabati Industri makanan dan minuma n lainnya Industri minyak hewan dan nabati Industri pupuk kimia dan barang dari karet Cengkih Angkutan Air Industri makanan dan minuman lainnya Industri kain tenun Jasa sosial kemanus iaan Industri penggili ngan padi Industri kertas dan barang cetakan

227 Angkutan darat Angkutan udara Industri kertas dan barang cetakan Industri gula Industri penggili ngan padi Industri tekstil bahan dari kulit dan alas kaki Air bersih Sewa bangunan Kelapa Industri penggilinga n padi Industri makana n dan minum an lainnya Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri kertas dan barang cetakan Industri kain tenun Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah

228 Tabel 39. Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Multiplier Effect dan Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages), Tahun 2007 No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Perdagang Industri Perdagang Industri Industri an besar Industri kayu Industri kerangkeranga an besar kayu kerangkerangan dan lapis kayu lapis dan eceran lapis eceran n 2 21 Perikanan Perikanan Pemerinta han umum dan pertahana n Angkutan Air Angkutan darat Sewa bangunan Pemerinta han umum dan pertahana n Angkutan Air Angkutan darat Sewa bangunan Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri penggilingan padi Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun Data Diolah Industri minyak hewan dan nabati Industri makana n dan minum an lainnya Industri penggil ingan padi Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri penggiling an padi Industri kain tenun Kaitan ke belakang NoKode Sektor Industri kain tenun Kaita n ke depan

229 Kebijakan Final Demand Impacts Terhadap Sektor-Sektor Perekonomian Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Berdasarkan penentuan sektor unggulan wilayah yang telah dilakukan terdahulu maka Provinsi Maluku sebagai wilayah berbasis bahari/maritim perlu menguji final demand impacts sebagai salah satu terapan analisis kompenen permintaan akhir dari sektor-sektor yang berpengaruh di wilayah kepulauan ini. Sebagai terapan pada salah satu komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor-sektor yang berhubungan dengan karakteristik wilayah maka diperoleh hasil output permintaan akhir dari beberapa sektor yang memiliki indikator ekonomi wilayah kepulauan. Sektor-sektor yang dianggap berbasis wilayah kepulauan seperti, sektor angkutan udara (49), darat (47), air (48), perikanan dan dilakukan kombinasi antarsektor sekaligus diperlihatkan pada Tabel 32. Cara simulasi pada final demand impacts dilakukan sebagai bagian dari simulasi perubahan output bila pemerintah daerah Provinsi Maluku ingin melihat dampak dari shock permintaan akhir sektorsektor yang berbasis wilayah kepulauan terhadap arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah kepulauan. Terlihat jelas beberapa sektor yang mengalami perubahan output dan dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah Provinsi Maluku dari dampak shock permintaan akhir yang dilakukan. Dampak perubahan output sektor-sektor tersebut dapat dilihat melalui simulasi yang di gambarkan sesuai pada Tabel 40.

230 Tabel 40. Sepuluh Sektor Penerima Terbesar Dampak Shock Output Final Demad Impacts Terhadap Perekonomian Wilayah Provinsi Maluku, Tahun 2007 Dampak Shock Output Final Demand Impacts SIM 1 (AU) SIM 2 (AD) SIM 3 (AA) SIM 4 (Prkn) SIM 5 (AU+AD+AA+Prkn) No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai No Kode Sektor Nilai Perdagang Perdagan Perdaganga Perdagangan an besar gan besar Penggilinga 1 44 n besar dan besar dan dan dan n padi eceran eceran eceran eceran Industri pengilangan minyak bumi Industri lainnya Industri pengilang an minyak bumi Industri lainnya Perikanan Perikanan Sewa bangunan Industri makanan dan minuman Angkutan air Angkutan darat Angkutan udara Sewa bangunan Industri makanan dan minuman Angkutan air Industri pengilang an minyak bumi Perikanan Industri lainnya Industri makanan dan minuman Sewa bangunan Angkutan udara Angkutan darat Perdagangan besar dan eceran Industri makanan dan minuman Industri pengilangan minyak bumi Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri lainnya Angkutan air Sewa bangunan Industri pengilangan minyak bumi Industri lainnya Industri makanan dan minuman Sewa bangunan Ubi kayu Kelapa Industri gula Ubi kayu Ubi kayu Ubi kayu Angkutan udara Jasa sosial kemanusiaan Komunikasi Kelapa Kelapa Ubi kayu Komunikasi Ket: SIM 1 = Shock Sektor Angkutan Udara (AU) SIM 2 = Shock Sektor Angkutan Darat (AD) SIM 3 = Shock Sektor Angkutan Air (AA) SIM 4 = Shock Sektor Perikanan (Prkn) SIM 5 = Shock Sektor AU + AD + AA + Prkn 205

231 Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Udara (SIM 1) Kebijakan peningkatan output dari shock permintaan akhir (final demand impacts) pada salah sektor ekonomi wilayah atau komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor angkutan udara (49) bila naik sebesar 1 juta rupiah. Dampak kebijakan shock permintaan akhir peningkatan output dari sektor angkutan udara cukup memberi dampaknya pada setiap sektor dan total perekonomian wilayah secara keseluruhan. Hasil shock permintaan akhir dari sektor angkutan udara (49) seperti terlihat pada tabel. 36 menunjukkan ada sepuluh sektor terbesar yang menerima dampak shock tersebut. Sepuluh sektor tersebut adalah: perdagangan besar dan eceran (44), industri pengilangan minyak bumi (24), industri lainnya (40), perikanan (21), sewa bangunan (54), industri makanan dan minuman (30), angkutan air (48), angkutan darat (47), ubi kayu (3) dan komunikasi (51). Sebagai wilayah kepulauan dengan keunggulan bahari/maritimnya maka sektor perikanan menerima dampak dari shock sektor angkutan udara berada pada posisi ke- 4. Sektor perikanan mengalami perubahan output sebesar Rp sedangkan secara keseluruhan dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah kepulauan Provinsi Maluku sebesar Rp Dampak shock permintaan akhir dari sektor angkutan udara lebih dirasakan perubahan outputnya oleh sektor diluar sektor perikanan seperti, sektor perdagangan besar dan eceran (44) disamping sektor-sektor industri, sektor angkutan dan komunikasi. Sedangkan sektor pertanian tanaman ubi-ubian seperti

232 207 ubi kayu merupakan salah satu sektor berpotensi pada urutan ke-9 mengalami perubahan output dari dampak shock permintaan akhir sektor angkutan udara Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Darat (SIM 2) Kebijakan peningkatan output dari shock permintaan akhir (final demand impacts) pada salah sektor ekonomi wilayah atau komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor angkutan darat (47) bila naik sebesar 1 juta rupiah. Dampak kebijakan shock permintaan akhir peningkatan output dari sektor angkutan darat memberi dampak perubahan output yang diterima oleh setiap sektor dan total perekonomian wilayah secara keseluruhan. Hasil shock permintaan akhir dari sektor angkutan darat (47) seperti terlihat pada tabel. 36 ada sepuluh sektor terbesar yang menerima dampak shock tersebut. Sepuluh sektor tersebut adalah: perdagangan besar dan eceran (44), industri pengilangan minyak bumi (24), industri lainnya (40), perikanan (21), angkutan udara (49), sewa bangunan (54), industri makanan dan minuman (30), angkutan air (48), ubi kayu (3), dan kelapa (12). Kebijakan peningkatan output permintaan akhir sektor angkutan darat (47) mampu merubah output dari sektor-sektor terbesar di atas. Terlihat dengan sangat jelas bahwa sektor yang paling besar menerima dampak dari shock permintaan akhir di sektor angkutan darat adalah sektor perdagangan besar dan eceran (44) yaitu sebesar Rp dan diikuti oleh sektor lainnya. Secara keseluruhan dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah Provinsi Maluku sebesar Rp

233 208 Sektor ubi kayu (3) dan kelapa (12) merupakan sektor pertanian tanaman pangan masih merupakan sektor yang mampu memenuhi kebutuhan pangan di wilayah ini. Kedua sektor tersebut sebenarnya mampu menjadi andalan ekspor ke wilayah lain karena memiliki nilai perubahan output yang positif. Dengan demikian sektor ubi kayu (3) dan kelapa (12) selain perikanan (21) sektor-sektor tersebut berpeluang menjadi komoditi ekspor Provinsi Maluku Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Air (SIM 3) Kebijakan peningkatan output dari shock permintaan akhir (final demand impacts) pada salah sektor ekonomi wilayah atau komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor angkutan air (48) bila naik sebesar 1 juta rupiah. Dampak kebijakan shock permintaan akhir peningkatan output dari sektor angkutan darat memberi dampak perubahan output yang diterima oleh setiap sektor dan total perekonomian wilayah secara keseluruhan. Dampak shock permintaan akhir dari sektor angkutan air (48) seperti terlihat pada Tabel. 32 ada sepuluh sektor terbesar yang menerima dampak shock tersebut. Sepuluh sektor tersebut adalah: perdagangan besar dan eceran (44), industri pengilangan minyak bumi (24), perikanan (21), industri lainnya (40), industri makanan dan minuman (30), sewa bangunan (54), angkutan udara (49), angkutan darat (47), ubi kayu (9), dan kelapa (12). Sepuluh sektor terbesar seperti pada tabel 36. terlihat sektor yang paling besar menerima dampak shock permintaan akhir sektor angkutan air (48) adalah sektor perdagangan besar dan eceran (44) yang berubah outputnya sebesar Rp Sedangkan sektor perikanan yang termasuk sepuluh sektor terbesar

234 209 menempati urutan/posisi ke-3 dengan perubahan output sebesar Rp artinya sektor perikanan mengalami perubahan output yang cukup besar dibandingkan shock dari sektor angkutan udara (49) maupun angkutan darat (47) terhadap sektor ini. Secara keseluruhan dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah Provinsi Maluku adalah sebesar Rp Bila dilihat dari dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah shock sektor angkutan air (48) masih lebih rendah dari shock sektor angkutan udara (49) Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Perikanan (SIM 4) Kebijakan peningkatan output dari shock permintaan akhir (final demand impacts) pada salah sektor ekonomi wilayah atau komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor perikanan (21) bila naik sebesar 1 juta rupiah. Dampak kebijakan shock permintaan akhir peningkatan output dari sektor angkutan darat memberi dampak perubahan output yang diterima oleh setiap sektor dan total perekonomian wilayah secara keseluruhan. Dampak shock permintaan akhir dari sektor perikanan (21) seperti terlihat pada tabel. 36 ada sepuluh sektor terbesar yang menerima dampak shock tersebut. Sepuluh sektor tersebut adalah: industri penggilingan padi (25), perdagangan besar dan eceran (44), industri makanan dan minuman (30), industri pengilangan minyak bumi (24), industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya (35), industri lainnya (40), angkutan air (48), sewa bangunan (54), angkutan udara (49) dan ubi kayu (9).

235 210 Sektor paling besar menerima dampak shock permintaan akhir adalah sektor industri penggilingan padi (25) dimana perubahan output dari shock sektor perikanan adalah sebesar Rp Sedangkan sektor perdagangan besar dan eceran yang termasuk sepuluh sektor terbesar dan selalu menempati posisi ke- 1 dari shock terdahulu menempati urutan/posisi ke-2. Shock sektor perikanan memberikan perubahan output pada sektor perdagangan besar dan eceran (44) sebanyak Rp Secara keseluruhan dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah Provinsi Maluku dari shock permintaan akhir sektor perikanan (21) adalah sebesar Rp Dilihat dari dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah maka shock sektor perikanan memberikan output perekonomian wilayah Provinsi Maluku lebih besar dari shock sektor angkutan udara (49), darat (47) dan udara (48). Dengan demikian dapat dikatakan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang berbasis bahari/maritim sangat bergantung pada shock yang berhubungan dengan sektor perikanan dibandingkan sektor lainnya Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Udara, Darat, Air dan Perikanan (SIM 5) Kebijakan peningkatan output dari shock permintaan akhir (final demand impacts) pada kombinasi beberapa sektor ekonomi wilayah secara bersamaan atau komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor angkutan udara (49), darat (47), air (48) dan sektor perikanan (21) bila sektor-sektor tersebut naik sebesar Rp. 1 juta. Dampak kebijakan shock permintaan akhir peningkatan output dari sektor-sektor tersebut memberi dampak perubahan output

236 211 yang diterima oleh setiap sektor dan total perekonomian wilayah secara keseluruhan. Hasil shock permintaan akhir dari sektor angkutan udara (49),darat (47), air (48) dan perikanan (21) seperti terlihat pada tabel. 36 ada sepuluh sektor terbesar yang menerima dampak shock tersebut. Sepuluh sektor tersebut adalah: perdagangan besar dan eceran (44), industri pengilangan minyak bumi (24), industri lainnya (40), industri makanan dan minuman (30), sewa bangunan (54), ubi kayu (3), dan kelapa (12), industri gula (29), jasa sosial kemanusiaan (57) dan komunikasi (51) Sektor paling besar menerima dampak shock permintaan akhir dari keempat sektor yang di shock secara bersamaan adalah sektor perdagangan besar dan eceran (44). Perubahan output dari shock ke empat sektor tersebut adalah sebesar Rp Secara keseluruhan dampak total yang diberikan terhadap output perekonomian wilayah Provinsi Maluku dari shock permintaan akhir sektor angkutan udara (49), darat (47), air (48) dan perikanan (21) adalah sebesar Rp Hal ini berarti Provinsi Maluku mengalami perubahan output perekonomian wilayahnya yang cukup besar dari shock yang dilakukan secara bersamaan. Simulasi kombinasi antarsektor secara bersamaan/sekaligus memberikan dampak peningkatan output pada sektor-sektor yang menerima shock permintaan akhir di sektor angkutan udara (49), darat (47), air (48) dan perikanan (21) Penentuan Sektor Unggulan Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Keunggulan suatu wilayah sangat berkaitan dengan kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayahnya. Dengan kapasitas atau potensi lokalnya

237 212 maka wilayah tersebut seharusnya mampu mengidentifikasi atau menemukenali sektor-sektor unggulan yang berbasis pada karakteristik wilayahnya. Untuk itu mengembangkan potensi-potensi yang ada di wilayah tersebut akan sangat menentukan dinamika pembangunan perekonomian wilayah. Dinamika perekonomian wilayah seperti wilayah kepulauan Provinsi Maluku dapat dipacu lebih tinggi lagi karena memiliki keunggulan-keunggulan seperti: 1. Keunggulan sumberdaya (potensi). 2. Keunggulan lokasi. Keunggulan sumberdaya (potensi) berhubungan dengan alokasi pemanfaatan sumberdaya wilayah (kawasan) sedangkan keunggulan lokasi berhubungan dengan struktur tata ruang kawasan yang bersangkutan. Keunggulan wilayah seperti sumberdaya dan lokasi harus didukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan di wilayah tersebut. Sesuai dengan pemahaman diatas maka sektor unggulan pada kawasan sentra produksi di wilayah kepulauan Provinsi Maluku harus: 1. Sesuai dengan karakteristik atau potensi lokal (local spesific) wilayah. 2. Mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayahnya. 3. Dapat berkembang dan harus didukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan pada pusat-pusat pengembangan. 4. Berkelanjutan (sustainable). Potensi sektor unggulan Provinsi Maluku dibangun atas kemampuan kapasitas dan potensi kemampuan wilayahnya dengan tidak terlepas dari konsep pengembangan wilayah kepulauan yang dianut. Berdasarkan hasil analisis Input- Output maka dapat dikatakan bahwa Provinsi Maluku belum mampu

238 213 mengidentifikasi/menemukenali serta menentukan sektor-sektor unggulannya. Hal ini dapat dilihat dari analisis yang dilakukan secara konektivitas di antara kriteria struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages. penentuan sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang dapat dilihat pada Tabel 39. Penentuan sektor unggulan melalui simulasi output final demand impacts merupakan salah satu skenario yang di harapkan dapat menjadi acuan penentuan arah dan strategi kebijakan Provinsi Maluku ke depan. Simulasi ini memberikan gambaran sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan mampu digerakan bila ada kebijakan shock permintaan akhir dari sektor-sektor potensi di wilayah ini. Hasil simulasi yang dilakukan pada sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan dan simulasi kombinasi antarsektor yang potensial secara sekaligus menunjukkan bahwa sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang mengalami perubahan output terbesar dari kebijakan shock permintaan akhir. Dampak shock ini secara keseluruhan memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang mengalami perubahan output belum semuanya sesuai dengan karakteristik Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan terbesar di Indonesia. Hasil simulasi shock permintaan akhir dapat dilihat pada Tabel 40. Secara menyeluruh dengan adanya kenaikan permintaan akhir pada sektor-sektor yang dianggap berbasis karakteristik wilayah kepulauan menunujukkan sektor perdagangan besar dan eceran merupakan sektor terbesar yang menerima perubahan output dari shock permintaan akhir dari simulasi yang dilakukan.

239 Arah dan Strategi Kebijakan Pengembangan Sektor Unggulan di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Arah pengembangan ekonomi wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku perlu diarahkan pada pengembangan sektor-sektor unggulan yang berbasis kapasitas atau potensi lokalnya. Dalam pelaksanaan pembangunan daerah khususnya wilayah kepulauan dengan potensi lokalnya yang cukup besar biasanya menemui berbagai kendala terutama didalam mengembangkan kawasan sentra produksi sektor unggulan. Dengan demikian seharusnya arah pengembangan sektor unggulan di wilayah kepulauan Provinsi Maluku lebih diarahkan untuk memacu atau mendorong sektor-sektor yang berbasis kapasitas atau potensi lokalnya. Selain itu berbagai program pembangunan lebih bersifat pendekatan proyek dan belum diarahkan pada upaya untuk menjadikan wilayah kepulauan sebagai sentra produksi yang berbasis potensi lokal. Terbatasnya infrastruktur di wilayah kepulauan juga menjadi kendala dalam mengembangkan wilayah-wilayah pinggiran (periphery) sehingga menimbulkan daya tarik pusat pertumbuhan (growth pole) terhadap wilayah lain disekitarnya. Strategi kebijakan pembangunan ekonomi wilayah kepulauan Provinsi Maluku didasarkan kepada berbagai komitmen yang dibangun diantara pembuat maupun pengambil kebijakan pembangunan wilayah. Berbagai komitmen perlu dibangun sebagai upaya memacu atau mendorong sektor-sektor yang berbasis potensi lokal wilayahnya. Adanya kebijakan pengembangan sektor unggulan yang berbasis potensi wilayah perlu diukur dari kemampuan mengidentifikasi/ menemukenali sektor unggulannya. Dengan kemampuan mengidentifikasi/ menemukenali sektor unggulan wilayah maka perlu adanya penguatan sektorsektor prime mover seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, jasa dan sektor

240 215 lainnya. Untuk itu bertolak dari kebijakan yang dibangun hendaknya memiliki kemampuan strategis pengembangan wilayah. Kebijakan strategis tersebut perlu diarahkan pada pengembangan semua sektor-sektor unggulan wilayah guna mendukung kawasan sentra produksi sektor unggulan dan menjadikan wilayahnya sebagai sentra pengembangan sektor unggulan dalam kerangka penciptaan pusatpusat pertumbuhan baru (new growth poles) serta menjadikan masyarakat setempat sebagai stake holder pelaku utama pembangunan diwilayahnya. Kebijakan strategis selanjutnya perlu berbasis kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah yang dimilikinya dan mampu menjamin keberlanjutan (sustainability) dari sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan wilayahnya. Oleh karena itu pengembangan sektor unggulan wilayah pada setiap wilayah kabupaten/kota di Provinsi Maluku harus mempertimbangkan aspek ketersediaan potensi sektor unggulan, aksesbilitas fasiitas pelayanan pusat-pusat pengembangan serta keberlanjutannya dalam jangka panjang. Untuk strategi kebijakan program pengembangan ekonomi wilayah kepulauan berbasis kapasitas atau potensi lokal (local spesific) bahari/maritim diarahkan untuk: 1. Mengidentifikasi/menemukenali serta menentukan sektor-sektor unggulan (key sectors) yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal wilayah (local spesific) Provinsi Maluku yaitu berbasis bahari/maritim. 2. Penyusunan rencana pemanfaatan potensi lokal (local spesific) wilayah di setiap wilayah pada level kabupaten/kota kepulauan Provinsi Maluku. 3. Pendayagunaan semua sektor pendukung utama (leading sectors) terhadap sektor-sektor yang berbasis potensi lokal wilayahnya menjadi sektor unggulan (key sectors).

241 Mendorong penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) pada wilayah kabupaten lainnya atau di wilayah sekitar pusat pertumbuhan dan tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan saja yaitu di Kota Ambon. 5. Terbentuknya kawasan sentra produksi (KSP) sektor unggulan wilayah yang dapat mendukung perkembangan ekonomi kawasan di wilayah Provinsi Maluku sehingga percepatan dan perluasan pengembangan ekonomi wilayah pinggiran (periphery) dapat dipacu sesuai dengan kapasitas atau potensi local wilayahnya (local specific). 6. Terbentuknya keterkaitan (konektivitas) diantara sektor-sektor terunggul yang menjadi sektor unggulan dengan sektor terlemah namun berpotensi berkembang sesuai potensi lokal wilayah dan saling menguntungkan. 7. Mempertahankan keberlanjutan (sustainability) sektor-sektor unggulan wilayah dalam jangka panjang. 8. Meningkatkan infrastruktur wilayah kepulauan untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna terutama dengan keterkaitannya dengan keunggulan sektoral dari tiap wilayah. 9. Meningkatkan sektor-sektor unggulan wilayah kepulauan terutama yang memiliki keterkaitannya dengan local spesific wilayah yakni bahari/maritim. 10. Sektor-sektor yang memiliki keterkaitan dengan local spesific bahari/maritim adalah sektor perikanan, jasa transportasi dan komunikasi.

242 Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Berbasis Sektor Unggulan Bahari/Maritim dan Prospeknya di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Pengembangan kawasan sentra produksi (KSP) berbasis sektor unggulan merupakan suatu keharusan dari upaya strategis pengembangan wilayah kepulauan. Karakteristik wilayah kepulauan (archipelago) yang berbeda (heterogen) dengan wilayah daratan (continental) yang (homogen) tentunya memiliki potensi atau kapasitas atau potensi lokal wilayah yang berbeda pula. Dengan demikian pengembangan kawasan sentra produksi wilayah kepulauan akan menciptakan prime mover bagi sektor-sektor ekonomi wilayah terunggul disekitarnya (periphery). Sehingga percepatan pembangunan di era otonomi dengan berbasis pada sektor unggulan wilayah mampu mendorong percepatan penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles). Atas dasar pemahaman diatas menurut Abe (2001), adanya pengakuan keberagaman atau pluralitas dan keunikan suatu wilayah (daerah) maka suatu kebijakan pembangunan tidak harus dibuat sama secara universal. Keberagaman suatu wilayah harus berpijak pada kapasitas atau potensi lokal (local spesific) dan lingkup tantangan yang berbeda antarwilayah. Oleh sebab itu atas dasar berbagai potensi dan tantangan yang berbeda maka dibutuhkan suatu kebijakan yang berbeda pada setiap wilayah pengembangan. Bank Indonesia (2001), menyimpulkan suatu daerah dapat meningkatkan daya saing sektor unggulannya bila mampu meningkatkan peran sumberdaya alam, memahami secara mendalam dimana letak sektor-sektor terunggulnya untuk dikembangkan secara berkelanjutan (sustainable) serta mampu membuat daerah mencapai tingkat perkembangan ekonomi yang lebih tinggi tidak terlena dengan

243 218 perkembangan yang telah dicapainya. Implikasi dari kemampuan suatu wilayah dapat mengidentifikasi/menemukenali dan menentukan sektor-sektor unggulannya mengindikasikan arah dan strategi kebijakan pengembangan wilayah perlu dilakukan sesegera mungkin oleh pemerintah daerah sehingga lebih fokus pada target-target pengembangan ekonomi wilayah yang menjadi prioritas untuk dikembangkan atau dipacu serta yang perlu diperbaiki guna penciptaan pusat pertumbuhan baru yang lebih banyak di setiap wilayah pengembangan. Penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru baik di tingkat kabupaten/kota merupakan salahsatu upaya memperkecil kesenjangan antarwilayah (regional disparity), dengan mengandalkan pengembangan sektorsektor unggulannya yang bernilai ekonomi tinggi dan mampu diserap pangsa pasar baik lokal (domestic) maupun nasional/internasional. Kawasan sentra produksi pada wilayah kepulauan Provinsi Maluku seharusnya sudah menjadi suatu perencanaan yang komprehensif dan terpadu tanpa adanya keegoisan wilayah (otonomi), sehingga mampu mengakomodasikan serta menciptakan sektor-sektor terunggulnya sebagai salah satu aspek kebutuhan atau tuntutan yang mendesak bagi pengembangan setiap wilayah di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) di Provinsi Maluku perlu dipercepat untuk dikembangkan, sehingga implementasi dari menemukenali dan menetapkan sektor-sektor unggulan wilayah dapat diterapkan pada wilayah-wilayah tersebut sesuai dengan kapasitas atau potensinya. Peran aktif pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) sangat berpengaruh didalam pelaksanaan pengembangan kawasan sentra produksi. Dengan demikian

244 219 pemerintah daerah perlu menetapkan skala prioritas yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi daerah atas dasar keunggulan dari sektor-sektor unggulan wilayahnya.

245 VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 8.1. Kemampuan Fasilitas Pelayanan Pusat Pengembangan Analisis kemampuan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah merupakan salah satu bagian analisis dengan pendekatan regional. Pendekatan ini mengkaji pusat-pusat pengembangan wilayah secara fungsional terhadap berbagai fasilitas yang ada di pusat pengembangan dan memiliki keterkaitan dengan pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah yang berbasis karakteristik wilayah kepulauan. Kemampuan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah meliputi kemampuan fasilitas di sektor ekonomi, transportasi dan komunikasi serta jasa (pendidikan dan pelayanan sosial lainnya). Kemampuan dan hirarki pusat pengembangan wilayah dilakukan dengan metode skalogram berdasarkan kedekatan hubungan spatial wilayah kepulauan antar kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Analisis dengan metode analisis skalogram digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan fasilitas pelayanan yang ada di pusat-pusat pengembangan mampu menunjang sektorsektor unggulan ekonomi wilayah yang berbasis bahari/maritim. Akita (2002), melalui kajian yang dilakukan di Jepang melihat peran pemerintah cukup besar untuk menyediakan fasilitas pelayanan di daerah kajiannya. Dengan demikian kemampuan fasilitas pelayanan tidak bisa diserahkan pada pemerintah setempat tetapi perlu intervensi dari pemerintah pusat bila ingin memajukan wilayahwilayah yang sulit dan jauh dari pusat pengembangan.

246 Analisis Kemampuan Fasilitas Pelayanan dan Hirarki Pusat Pengembangan Wilayah Berdasarkan karakteristik wilayah kepulauan yang terdiri dari pulaupulau sehingga pendekatan penilaian kemampuan fasilitas dan hirarki pusat pengembangan perlu dilakukan. Pendekatan analisis ini digunakan untuk: 1. Penilaian terhadap hirarki pusat-pusat pengembangan wilayah berdasarkan kemampuan fasilitas pelayanan yang terdapat di pusat-pusat pengembangan wilayah. Kelengkapan fasilitas pelayanan merupakan salah satu indikator bahwa pusat pengembangan wilayah tersebut lebih baik/maju atau lambat dalam penyediaan kelengkapan fasilitas pelayanan di wilayahnya. Ketidak mampuan penyediaan fasilitas pelayanan biasanya memperlambat laju perkembangan wilayah baik di tingkat hirarki kabupaten/kota maupun provinsi. Sebaliknya bila suatu pusat pengembangan wilayah mampu menyediakan berbagai fasiltas pelayanan maka menunjukkan bahwa hirarki pusat pengembangan wilayah tersebut sangat baik atau semakin tinggi sehingga mampu mempercepat laju perkembangan wilayah dengan basis sektor unggulannya. Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan dengan berbasis bahari atau maritim tentunya memiliki kemampuan dalam infrastruktur yang berkaitan dengan sektor-sektor berbasis karakteristik wilayah kepulauan. Dengan penilaian kemampuan fasilitas pelayanan di pusatpusat pengembangan dapat kita ketahui keterkaitan antara kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dengan perkembangan sektor unggulan wilayah (Glasson, 1978).

247 Penentuan pusat-pusat pengembangan yang kemudian akan menentukan pusat pengembangan utama/pusat pertumbuhan (growth pole) berdasarkan hasil penilaian kemampuan fasilitas pelayanan yang tersedia di Provinsi Maluku. Untuk pusat-pusat pengembangan yang dapat dijadikan sebagai pusat pengembangan utama/pusat pertumbuhan (growth pole) adalah pusat pengembangan wilayah yang memiliki orde/hirarki I dan II Penilaian Kemampuan Fasilitas Pelayanan Dengan Metode Skalogram Guttman Penilaian kemampuan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah berdasarkan metode skalogram Guttman pada dasarnya memperlihatkan kemampuan dari pusat-pusat pengembangan untuk menyediakan fasilitas pelayanan di wilayahnya. Berbagai fasilitas yang tersedia dengan kemampuannya akan menunjukkan keterbatasan atau maju tidaknya suatu wilayah dengan berbagai pertimbangan karakteristik wilayah tersebut (Rondinelli, 1985). Analisis skalogram pada dasarnya memberikan gambaran bahwa pada pusat-pusat pengembangan wilayah biasanya terjadi pengelompokkan pusat-pusat pengembangan. Pengelompokkan wilayah dilakukan berdasakan kelengkapan kemampuan fasilitas fungsi pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah tersebut. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada Tahun dan dapat di lihat terbentuknya sistem perwilayahan pengembngan berdasarkan fungsional. Perwilayahan fungsional disini dimaksudkan dengan berfungsinya setiap wilayah sebagai pusat pengembangan berdasarkan hirarki kelengkapan fasilitas yang mempunyai pengaruh pelayanan tertinggi dibandingkan dengan pusat pengembangan lainnya.

248 224 Hasil perhitungan analisis dengan metode skalogram Guttman di wilayah kepulauan Provinsi Maluku memperlihatkan terjadinya pengelompokkan wilayah atas 7 kelompok pusat pengembangan seperti terlihat pada Tabel 41. Secara spasial pengelompokkan wilayah pusat pengembangan di Provinsi Maluku terbentuk berdasarkan potensi kemampuan fasilitas pelayanan yang ada di wilayahnya. Berdasarkan hasil analisis skalogram Tahun maka pusatpusat pengembangan wilayah yang terbentuk di Provinsi Maluku adalah sebagai berikut: 1. Kota Ambon sebagai pusat pengembangan utama (I). 2. Kabupaten Maluku Tengah sebagai sub wilayah pengembangan (II). 3. Kabupaten Buru sebagai sub wilayah pengembangan (III). 4. Kabupaten Maluku Tenggara sebagai sub wilayah pengembanga (IV). 5. Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai sub wilayah pengembangan (V). 6. Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagai sub wilayah pengembangan (VI). 7. Kabupaten Seram Bagian Timur sebagai sub wilayah pengembangan (VII). 8. Kabupaten Kepulauan Aru sebagai sub wilayah pengembangan (VII) Kota Ambon Hasil analisis menunjukkan bahwa Kota Ambon sebagai pusat pengembangan wilayah utama karena berada pada hirarki (I) atau pusat pertumbuhan (growth pole) di Provinsi Maluku. Dengan memiliki kemampuan dalam penyediaan fasilitas pelayanan wilayah menunjukkan bahwa Kota Ambon mampu menjadi. pusat pengembangan utama atau pusat pertumbuhan (growth pole) di Provinsi Maluku. Sebagai pusat pengembangan utama yang memiliki

249 225 pengaruh pelayanan tertinggi dibandingkan pusat-puat pengembangan lainnya. Maka pengaruh pusat pengembangan utama atau pusat pertumbuhan Kota Ambon dapat dirasakan di hampir seluruh wilayah pusat-pusat pengembangan yang ada di Provinsi Maluku. pengaruh atau peran Kota Ambon yang cukup tinggi dibandingkan wilayah lainnya dapat dilihat dari tersedianya fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi. Fasilitas pelayanan di sektor transportasi yang dimiliki oleh Kota Ambon dan tidak dimilki wilayah lain seperti: Bandara Internasional, pelabuhan laut (beton) dan lembaga keuangan. Kota Ambon sebagai satu-satunya pusat pengembangan utama wilayah yang mampu menyediakan berbagai fasilitas pelayanan di Provinsi Maluku tentunya akan mempengaruhi aktivitas ekonomi wilayah lain. Apabila wilayah lain tidak segera menyediakan fasilitas pelayanan yang lengkap sama seperti yang ada di Kota Ambon (terjadi backwahs), maka hal ini akan mempengaruhi investor untuk melakukan investasi di pusat-pusat pengembangan wilayah lainnya. Dengan demikian bila sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah Provinsi Maluku hanya terpusat di Kota Ambon akan mengakibatkan lambatnya perkembangan sektorsektor ekonomi unggalan. Sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah tidak akan berkembang bila tidak didukung dengan penyediaan fasilitas pelayanan yang baik dan lengkap di setiap wilayah pengembangan. Untuk itu percepatan penciptaan pusat-pusat pengembangan utama atau pusat pertumbuhan yang baru (new growth poles) sangat perlu dipercepat sehingga kebutuhan akan fasilitas pelayanan dari sektorsektor unggulan mampu dipenuhi oleh pusat-pusat pengembangan atau pusat pertumbuhan baru (new growth poles) yang ada di Provinsi Maluku.

250 226 Ketidakmampuan penciptaan pusat-pusat pengembangan atau pusat pertumbuhan akan menimbulkan pula eksploitasi dari wilayah yang telah maju atau pusat pertumbuhan terhadap daerah hinterlandnya (sub wilayah pengembangan). Tersedianya fasilitas pelayanan yang lebih lengkap di kota Ambon dibandingkan wilayah lain dan disertai dengan pertumbuhan atau perkembangan fasilitas pelayanan yang lambat dari wilayah lain tentunya menimbulkan disparitas atau kesenjangan antarwilayah sehingga semakin lemah pengembangan sektorsektor unggulan berbasis wilayah kepulauan di Provinsi Maluku Kabupaten Maluku Tengah Kabupaten Maluku Tengah sebagai sub wilayah pengembangan (II) di Provinsi Maluku hanya mampu menyediakan fasilitas pelayanan sekitar persen dari seluruh kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang ada di Kota Ambon sebagai pusat pengebangan utama (I). Gambaran kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di Kabupaten Maluku Tengah menunjukkan bahwa Kabupaten Maluku Tengah masih lambat untuk mendorong aktivitas ekonomi wilayahnya karena kurang tersedianya fasilitas pelayanan baik dari aspek pelayanan di sektor ekonomi, transportasi dan komunikasi serta beberapa pelayanan sosial lainnya. Ketidakmampuan Kabupaten Maluku Tengah dalam menyediakan fasilitas pelayanan selama 9 Tahun belum mengalami peningkatan yakni hanya sekitar persen. Dengan demikian kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat pengembangan Kabupaten Maluku Tengah tetap tidak mengalami peningkatan. Ketidakmampuan penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi akan mempengaruhi kemampuan berkembangnya sektor-sektor unggulan wilayah

251 227 Kabupaten Maluku Tengah sebagai kawasan sentra produksi di sektor perikanan dan sektor perkebunan. Ketidakmampuan penyediaan fasilitas transportasi udara yang lebih baik dari kls 3 dan hanya mampu didarati oleh pesawat jenis Cassa 212 sedangkan fasilitas pelayanan transportasi laut (dermaga beton namun dengan ukuran yang belum memadai sebagai dermaga ekspor-impor), jalan darat yang sangat jauh dari pusat pengembangan utama dan rusak menjadi kendala untuk meningkatkan sektor-sektor unggulan wilayah ini. Potensi sumberdaya alam yang besar dari Kabupaten Maluku Tengah tidak dapat dikembangkan atau ditingkatkan apabila tidak didukung dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang baik dan lengkap. Dengan otonomi daerah, seharusnya Kabupaten Maluku Tengah mampu menyediakan berbagai fasilitas pelayanan yang selama ini belum dapat dikembangkan. Untuk dibutuhkan intervensi dari pemerintah daerah (kabupaten) di dalam menyediakan berbagai fasilitas pelayanan yang lebih memadai guna mendukung perkembangan sektor-sektor ekonomi yang menjadi unggulannya Kabupaten Buru Hasil analisis terhadap Kabupaten Buru memperlihatkan bahwa wilayah ini hanya berada pada posisi sebagai sub wilayah pengembangan (III) Tahun dan menjadi sub wilayah pengembangan IV Tahun Walaupun perkembangan penyediaan fasilitas pelayanan dari Tahun sampai menunjukkan adanya peningkatan yang cukup maju namun perkembangan fasilitas pelayanan yang ada belum mampu menjadikannya sebagai salah satu wilayah pengembangan utama atau pusat pertumbuhan baru (new growth pole) selain Kota Ambon.

252 228 Sebagai salah satu kawasan sentra produksi di sektor pertanian sub sektor perkebunan tingkat perkembangan penyediaan fasilitas pelayanan di Kabupaten Buru dari hanya persen menjadi 60 persen selama 9 Tahun mengindikasikan adanya percepatan dalam menyediakan fasilitas pelayanan di wilayah ini. Untuk itu kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dari Kabupaten Buru perlu ditingkatkan lagi sehingga mampu mendorong perkembangan sektor-sektor ekonomi unggulan di sektor perkebunan seperti kelapa, tanaman pangan lainnya. Kelemahan dari lambatnya perkembangan sub wilayah pengembangan Kabupaten Buru karena rendahnya peran sektor transportasi dan komunikasi. Hadjisarosa (1976), suatu wilayah tidak akan mampu berkembang dan mendorong perkembangan sektor-sektor ekonomi wilayahnya bila tidak di dukung dengan saluran distribusi yang baik (networking distribution). Networking distribution akan berkembang dengan baik bila sub wilayah pengembangan Kabupaten Buru mampu menyediakan fasilitas pelayanan di wilayahnya sehingga tidak terjadi backwash. Bila dilihat dari ketersediaan fasilitas pelayanan di sub wilayah Kabupaten Buru sebagai kawasan sentra produksi di sektor pertanian sub sektor perkebunan dan tanaman pangan, maka Kabupaten Buru harus mempercepat penyediaan fasilitas pelayanan pendukung sektor unggulan wilayahnya di sub sektor perkebunan dan tanaman pangan. Kalau diintegrasikan dengan hasil analisis Input-Output menunjukkan sektor unggulan Provinsi Maluku di sektor kelapa dan tanaman pangan lainnya belum menjadi sektor unggulan. Dengan demikian sub wilayah pengembangan Kabupaten Buru perlu meningkatkan

253 229 penyediaan fasilitas pelayanan pendukung yang berbasis karakteristik local spesific Kabupaten Maluku Tenggara Sebagai salah satu sub wilayah pengembangan (IV) di Provinsi Maluku, wilayah ini hanya mampu meningkatkan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dari Tahun sebesar persen menjadi persen. Dengan demikian selama 9 Tahun sub wilayah pengembangan Kabupaten Maluku Tenggara hanya mampu menyediakan fasilitas pelayanan sebesar 10 persen. Lambatnya perkembangan penyediaan fasilitas pelayanan di Kabupaten Maluku Tenggara karena lambatnya perkembangan pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi di wilayah ini. Sebagai wilayah kawasan sentra produksi di sektor perikanan tentunya fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi menjadi arah dan strategi kebijakan pembangunan di Kabupaten Maluku Tenggara. Lambatnya penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi akan memperlambat perkembangan sektor-sektor unggulan berbasis wilayah kepulauan seperti sektor perikanan. Oleh karena itu sektor perikanan sebagai sektor yang berbasis wilayah kepulauan seharusnya di dukung oleh ketersediaan fasilitas pelayanan dan mampu menunjang atau mendorong perkembangan sektor ini sebagai sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku khususnya sub wilayah pengembangan Maluku Tenggara. Kabupaten Maluku Tenggara dengan potensi perikanan yang besar tentunya memerlukan jasa transportasi baik udara, laut dan pelabuhan yang baik untuk aktivitas ekonomi yang lebih besar seperti aktivitas ekspor.

254 Kabupaten Seram Bagian Barat Hasil analisis terhadap Kabupaten Seram Bagian Barat menunjukkan bahwa sub wilayah pengembangan IV pada Tahun dan menjadi sub wilayah pengembangan V Tahun Perubahan posisi atau hirarki dari sub wilayah pengembangan Seram Bagian Barat memperlihatkan penurunan posisi dari kelengkapan fasilitas pelayanan di Provinsi Maluku. Namun penurunan peringkat sub wilayah pengembangan ini tidak berarti mengindikasikan bahwa penyediaan fasilitas pelayanan tidak atau belum tersedia. Penurunan posisi dari wilayah ini akibat dari cepatnya perkembangan fasilitas pelayanan di sub wilayah pengembangan lainnya seperti Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara. Sub wilayah pengembangan Seram Bagian Barat sejak Tahun memperlihatkan peningkatan ketersediaan fasilitas pelayanan sebesar 10 persen.. Hal ini berarti laju perkembangan sub wilayah pengembangan IV masih rendah dalam penyediaan fasilitas pelayanan di wilayahnya. Seram Bagian Barat yang terkenal sebagai kawasan sentra produksi pertanian seharusnya di dukung dengan ketersediaan fasilitas pelayanan yang dapat meningkatkan sektor-sektor unggulan wilayahnya seperti sektor tanaman pangan dan hasil hutan lainnya. Sektor-sektor unggulan dari sub wilayah pengembangan ini dari analisis Input- Output provinsi menunjukkan masih sumbangannya terhadap PDRB. Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai sub wilayah pengembangan V tentunya mampu menyediakan fasiltas pelayanan pendukung sektor unggulan wilayah bila arah dan strategi kebijakan pembangunan sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Karakteristik wilayah yang lebih di dominasi sektor pertanian tanaman pangan dan hasil hutan lainnya seharusnya di dukung dengan

255 231 penyediaan jasa transportasi laut atau darat. Ketidakmampuan dalam penyediaan fasilitas pelayan di sektor transportasi laut dan darat akan berdampak pada lambatnya perkembangan sektor-sektor unggulan di wilayah ini. Dengan demikian sub wilayah pengembangan V seperti Kabupaten Seram Bagian Barat perlu mempercepat penyediaan fasilitas-fasilitas pelayanan yang belum ada dan meningkatkan kemampuan fasilitas pelayanan yang sudah ada menjadi lebih baik lagi seperti fasilitas di sektor pelayanan di sektor transportasi darat dan laut Kabupaten Maluku Tenggara Barat Hasil analisis Kabupaten Maluku Tenggara Barat memperlihatkan bahwa wilayah ini berfungsi sebagai sub wilayah pengembangan V pada Tahun 2000 dan sebagai sub wilayah pengembangan VI Tahun Posisi sub wilayah pengembangan V menjadi VI karena adanya perkembangan fasilitas pelayanan yang berkembang di wilayah lain. Tahun 2000 kelengkapan fasilitas di sub wilayah pengembangan sekitar 20,0 persen dan Tahun 2009 sekitar persen. Hal ini mengidikasikan terjadi perubahan yang lebih baik didalam penyediaan fasilitas pelayanan di wilayan ini sekitar 6.0 persen. Kenaikan sebesar 6.0 persen menunjukkan bahwa proses perubahan di dalam penyediaan fasilitas masih bergerak lambat. Sebagai sub wilayah pengembangan daerah pemekaran baru maka dapat dikatakan bahwa Kabupaten Maluku Tenggara Barat perlu mempercepat penyediaan fasilitas pelayanan yang lebih baik bila tidak akan tertinggal dengan wilayah lain yang sama-sama merupakan daerah pemakaran baru seperti Kabupaten Seram Bagian Barat. Sebagai wilayah pemekaran baru yang berada pada posisi ke VI sub wilayah pengembangan di Provinsi Maluku, Kabupaten

256 232 Maluku Tenggara memiliki keunggulan di dalam penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi Ferry. Tarnsportasi ini menghubungkan antara sub wilayah pengembangan VI dengan IV yaitu Kabupaten Maluku Tenggara. Sub wilayah pengembangan Maluku Tenggara Barat merupakan kawasan sentra produksi perikanan di Provinsi Maluku yang dekat dengan negara Timor Leste. Kedekatan sub wilayah pengembangan Maluku Tenggara dengan Timor Leste seharusnya menjadikan wilayah ini untuk berkembang lebih cepat dari wilayah lainnya. Kabupaten Maluku Tenggara Barat akan dengan cepat berkembang bila kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi dapat berkembang dengan baik. Perkembangan sampai saat ini memperlihatkan jasa telekomunikasi masih merupakan kendala di dalam penyediaan fasilitas di sub wilayah pengembangan VI ini. Dengan demikian ketidakmampuan dalam menyediakan fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi akan memperlambat perkembangan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Sebagai wilayah yang berkarakteristik kepulauan dan memiliki sumberdaya laut yang besar sub wilayah pengembangan VI merupakan kawasan sentra produksi di sektor perikanan. Sebagai kawasan sentra produksi sektor perikanan memerlukan penyediaan fasilitas pelayanan yang mendukung perkembangan sektor unggulan wilayahnya. Untuk itu penyediaan fasilitas pelayanan yang berhubungan dengan sektor unggulan di sektor perikanan di butuhkan fasilitas pelayanan di sektor transportasi laut dan udara Kabupaten Seram Bagian Timur Hasil analisis terhadap Kabupaten Seram bagian Timur menunjukkan bahwa kabupaten ini berfungsi sebagai sub wilayah pengembangan VII bersama-

257 233 sama dengan Kabupaten Kepulauan Aru. Karakteristik ke dua wilayah ini memperlihatkan kesamaan dalam penyediaan fasilitas pelayanan walaupun karakteristik wilayahnya berbeda. Kabupaten Seram Bagian Timur lebih didominasi di sektor perikanan dan merupakan wilayah pemakaran dari Kabupaten Maluku Tengah. Sebelum pemekaran Kabupaten Seram Bagian Timur termasuk wilayah yang perkembangannya sangat lambat. Untuk itu seharusnya dengan di mekarkan wilayah ini menjadi wilayah otonom seharusnya dengan cepat dapat berkembang lebih maju lagi dari wilayah lainnya. Kendala yang dihadapi selama ini adalah masih rendahnya penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi di sub wilayah pengembangan VII ini. Kabupaten Seram Bagian Timur. Sebagai salah satu kawasan sentra produksi sektor perikanan sub wilayah pengembangan VII Kabupaten Seram Bagian Timur berpotensi untuk lebih maju dari wilayah lain di Provinsi Maluku. Hal ini berhubungan karena letak wilayahnya yang dekat dengan wilayah pengembangan utama Kota Ambon dan sub wilayah pengembangan II Kabupaten Maluku Tengah. Kedekatan wilayah antara ke dua wilayah ini dengan Kabuapten Seram Bagian Timur seharusnya dapat memacu perkembangan fasilitas pelayanan yang lebih baik. Perkembangan dari sub wilayah pengembangan VII berpotensi maju dari wilayah lainnya bila di dukung dengan dengan potensi pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi. Berdasarkan potensi inilah seharusnya Kabupaten Seram Bagian Timur melakukan arah dan strategi kebijakan sebagai wilayah kepulauan wilayah ini memerlukan strategi penyediaan fasilitas pelayanan yang

258 234 dapat mendukung perkembangan sektor-sektor unggulan wilayah yang berbasis wilayah kepulauan di sektor perikanan. Sektor perikanan memerlukan ketersediaan fasilitas pelayanan yang cepat dan tentunya baik sehingga menghasilkan kualitas komoditi yang berkualitas ekspor Kabupaten Kepulauan Aru Kabupaten Kepulauan Aru merupakan kabupaten pemekaran baru dari kabupaten sebelumnya yaitu Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil analisis menunjukkan bahwa kabupaten ini berfungsi sebagai sub wilayah pengembangan VII bersama dengan Kabupaten Seram Bagian Timur. Sebagai sub wilayah pengembangan VII karakteristik kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan Kabupaten Kepulauan Aru mirip dengan Kabupaten Seram Bagian Timur. Sub wilayah pengembangan VII Kepulauan Aru masih memerlukan percepatan penyediaan fasilitas pelayanan yang lebih cepat dan memadai bila ingin memeprcepat laju perkembangan wilayahnya. Sebelum dimekarkan menjadi kabupaten baru wilayah ini termasuk wilayah tertinggal di Provinsi Maluku. ketertinggalan di wilayah ini karena jauh dari wilayah pengembangan utama yakni Kota Ambon. Selain jauh dari Kota Ambon, wilayah Kabupaten Kepulauan Aru masih sangat sulit dijangkau karena sulitnya jasa transportasi dan komunikasi. Kelemahan atau kendala dari masih rendahnya peran pelayanan dari ketersediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi berdampak terhadap perkembangan sektor-sektor unggulan wilayah. sebagai wilayah kepulauan dengan luas laut yang cukup luas Kabupaten Kepulauan Aru terkenal sebagai kawasan sentra produksi di sektor perikanan dan penghasil mutiara terbesar dan terbaik di Provinsi Maluku. Dengan otonomi daerah seharusnya

259 235 pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru mempercepat penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi laut dan udara sehingga mampu bersaing dengan wilayah lain di Provinsi Maluku. Kekuatan potensi di sektor perikanan mampu mempercepat perkembangan sub wilayah pengembangan VII ini bila menjadi arah dan strategi kebijakan pembangunan di sektor transportasi dan komunikasi sebagai terobosan untuk meningkatkan sektor-sektor unggulan wilayahnya di sektor perikanan. Hasil analisis peringkat kabupaten/kota sebagai wilayah pengembangan utama dan sub wilayah pengembangan berdasarkan kelengkapan fasilitas pelayanan di Provinsi Maluku. Analisis kelengkapan fasilitas pelayanan sangat berpengaruh terhadap peningkatan sektor-sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 41 dan 42. Pengelompokkan wilayah atas dasar kelengkapan fasilitas pelayanan menunjukkan suatu wilayah berdasarkan potensi pusat pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi, ekonomi dan pelayanan sosial lainnya. Bila suatu wilayah dengan jumlah wilayah yang sedikit, seperti kasus ini dan memperlihatkan terjadi pengelompokkan yang menyebar sebanyak jumlah wilayah yang dikaji maka dapat dikatakan bahwa potensi perkembangan wilayah di Provinsi berdasarkan kelengkapan fasilitas pelayanan yang teredia masih sangat rendah. Hal ini terbukti dengan jumlah wilayah 8 kabupaten/kota terjadi pengelompokkan wilayah sebanyak 7 wilayah pengembangan terdiri dari 1 wilayah pengembangan utama/pusat pertumbuhan dan 6 sub wilayah pengembangan lainnya.

260 236 Berdasarkan pengelompokkan wilayah dari hasil analisis yang dilakukan maka sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku berbasis bahari/maritim belum atau kurang di dukung dengan kelengkapan fasilitas pelayanan dari seluruh kabupaten/kota khususnya di sektor transportsi dan komunikasi. Menurut Johnson (1975), dikatakan bahwa suatu wilayah akan semakin terbelakang atau tertinggal dari wilayah lainnya bila sistem kelengkapan fasilitas pelayanan wilayah tidak atau kurang berperan. Hal lain oleh Rondinelli (1978), dikatakan lebih dominannya pusat pengembangan utama dari sub wilayah pengembangan dan tidak memiliki integrasi yang kuat dari wilayah utama ke wilayah pinggiran lainnya akan mengakibatkan perkembangan perekonomian wilayah lainnya semakin tertinggal dan berkembang secara tidak seimbang. Dari hasil analisis pengelompokkan wilayah di wilayah kepulauan Provinsi Maluku mengindikasikan bahwa Provinsi Maluku memerlukan dukungan yang kuat dari wilayah-wilayahnya dengan kemampuan atau kelengkapan fasilitas pelayanan yang dapat mendukung perkembangan sektor-sektor unggulan wilayah ini. Seharusnya dengan megetahui pengelompokkan wilayah yang terjadi di Provinsi Maluku maka diperlukan cara yang relatif lebih efisien dengan membangun jaringan atau saluran distribusi (networking) antarwilayah tidak menonjolkan egoisme wilayah sehingga kemampuan wilayah tidak mudah dipengaruhi oleh berbagai gejolak ekonomi global. Kekuatan atau potensi suatu wilayah tidak akan mampu berkembang bila tidak di dukung dengan kemampuan dengan wilayah lainnya (antarwilayah). Bila keterkaitan yang terjadi atas dasar saling membutuhkan untuk meningkatkan

261 237 sektor-sektor ekonomi wilayahnya maka diperlukan dukungan kemampuan fasilitas pelayanan yang baik antarwilayah tersebut (Glasson, 1977) Penilaian Kemampuan Fasilitas Pelayanan Provinsi Maluku Sebagai Wilayah Kepulauan Berbasis Bahari/Maritim Penilaian kemampuan fasilitas pelayanan pada pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku mencerminkan bahwa Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan (archipelago) masih menganut sistem pengembangan wilayah dengan konsep wilayah daratan (continental). Beberapa teori lokasi dapat menunjukkan bahwa konsep pembangunan wilayah daratan masih diterapkan di Provinsi Maluku seperti teori Hirschman, Losch dan beberapa teori lokasi lainnya. Hirschman (1958), menunjukkan bahwa suatu wilayah akan berkembang di mulai dari titik originalnya (growing point) sebelum terpolarisasi ke wilayah lainnya. Losch (1940), lebih mengutamakan perkembangan wilayah dengan konsep daratan yakni suatu wilayah akan melakukan aktivitas ekonomi yang sama dan dapat dilakukan di wilayah lain maka tidak perlu mengembangkan wilayah satunya karena sudah di wakili oleh wilayah lain. Hasil analisis skalogram pada pusat-pusat pengembangan wilayah Provinsi Maluku memperlihatkan bahwa hanya ada satu pusat pengembangan utama yaitu Kota Ambon dan lambatnya ketersediaan fasilitas pelayanan yang memadai menunujukkan bahwa Provinsi Maluku masih menerapkan arah dan strategi kebijakan pembangunan yang tidak berbasis pada wilayah kepulauan. Analisis skalogram yang dilakukan pada dasarnya memperlihatkan adanya beberapa wilayah yang mengelompok berdasarkan kelengkapan fasilitas

262 238 pelayanan yang tersedia. Menurut Rondinelli (1985), hirarki pusat-pusat pengembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di wilayah-wilayah tersebut. Bila suatu wilayah tidak mampu menyediakan fasilitas pelayanan yang baik maka wilayah tersebut akan berada pada orde terbawah sebagai wilayah tertinggal. Provinsi Maluku dengan 8 kabupaten/kota mengindikasikan bahwa ketersediaan fasilitas pelayanan di wilayah ini belum tersebar secara merata karena dari 8 kabupaten/kota terbentuk hirarki atau peringkat kabupaten/kota sebanyak 7 hirarki/peringkat. Dengan demikian Provinsi Maluku lambat dalam menyediakan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah dan hanya terkonsentrasi pada satu pusat pertumbuhan utama saja. Untuk itu Kabupaten Maluku Tengah sebagai pusat pengembangan berpeluang menjadi pusat pengembangan utama selain Kota Ambon bila intervensi pemerintah daerah mampu meningkatkan kemampuan fasilitas pelayanan yang ada di wilayah ini. Oleh sebab itu diperlukan intervensi pemerintah daerah baik Provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyediakan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan di Provinsi Maluku.

263 Tabel 41. Penilaian Fungsi / Pusat Pelayanan Dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun NO NAMA WILAYAH (KABUPATEN / KOTA) JUMLAH PENDUDUK FASILITAS PELAYANAN Ambon Maluku Tengah Buru Maluku Tenggara Seram Bagian Barat Maluku Tenggara Barat Seram Bagian Timur Kepulauan Aru Keterangan Fasilitas Pelayanan : 1 Bank Pembangunan Daerah 6 Pasar Tradisionil 11 Dermaga Ferri 16 Stasiun Radio Swasta 21 Bioskop 26 Perguruan Tinggi Swasta 2 Bank Swasta 7 Bandara Kls 1 12 TPI (Tempat Pelabuhan Ikan) 17 Stasiun Televisi Pemerintah 22 Tempat Hibura Malam 27 Rumah Sakit Umum 3 Money Changer 8 Bandara Kls 3 13 Terminal Bus/AKAB 18 Pemancar Televisi Swasta 23 Tempat Rekreasi Indoor 28 PDAM 4 Pusat Perbelanjaan/ Plaza (Supermarket) 9 Pelabuhan Bongkar Muat 14 Terminal Angkot 19 Hotel Berbintang 24 Tempat Rekreasi Outdoor 29 Penerbit Surat Kabar Daerah 5 Pasar Induk 10 Pelabuhan Rakyat (Pelra) 15 Stasiun Radio/RRI 20 Hotel Non Bintang 25 Perguruan Tinggi Negeri 30 Jasa Telekomunikasi 239

264 240 Tabel 42. Penilaian Kemampuan Pelayanan Dengan Skalogram Guttman di Pusat Pengembangan, Tahun NO NAMA WILAYAH (KABUPATEN / KOTA) JUMLAH PENDUDUK FASILITAS PELAYANAN TOTAL Error 1 Ambon Maluku Tengah Buru Maluku Tenggara Seram Bagian Barat Maluku Tenggara Barat Seram Bagian Timur Kepulauan Aru Tn = Jumlah wilayah e = Error/Kesalahan COR/Kr = Koefisien Reprodusibilitas = 0,98 dan Ks = Koefisien Skalabilitas = 0,95 Berdasarkan Skalogram diatas maka dihitung: 1. Koefisien Reprodusibiltas (Kr) 2. Koefisien Skalabilitas (Ks). Hasil Perhitungan Coefficien of Reproducibility/Koefisien Reprodusibilitas (COR/Kr) = 0,98 Hasil Perhitungan Koefisien Skalabilitas (Ks) = 0,95 Persyaratan suatu Skalogram dapat diterima sebagai hasil analisis bila hasil perhitungan COR/Kr dan Ks yaitu: COR/Kr > 0,90 dan Ks > 0,65

265 Tabel. 43. Pengelompokkan Pusat-Pusat Pengembangan Wilayah Berdasarkan Metode Skalogram di Provinsi Maluku, Tahun Kelengkapan Fasilitas No Kabupaten/Kota Kelompok Jumlah (%) Jenis 1. Ambon I ,00 Bank swasta, money changer, supermarket, pelabuhan udara kls 1, stasiun radio, stasiun televisi, pemancar televisi swasta, hotel berbintang, tempat rekreasi indoor, penerbitan surat kabar, jasa telekomunikasi 2. Maluku Tengah II 19 63,33 Pelabuhan udara kls 3, pelabuhan bongkar muat, terminal bus, stasiun radio (RRI), bioskop 3. Buru III 14 46,66 Bank swasta 4. Maluku Tenggara III 14 46,66 Tempat pelabuhan ikan (TPI) 5. Seram Bagian Barat IV 7 23,33 Hotel non bintang, tempat hiburan malam 6. Maluku Tenggara Barat V 6 20,00 Bank pembangunan daerah 7. Seram Bagian Timur VI 3 10,00 8. Kepulauan Aru VI 3 10,00 Pasar tradisional, peabuhan rakyat, tempat rekreasi outdoor Pasar tradisional, peabuhan rakyat, tempat rekreasi outdoor Sumber : Hasil Analisis 241

266 242 Tabel 44. Penilaian Fungsi/Pusat Pelayanan dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun NO NAMA WILAYAH (KABUPATEN / KOTA) JUMLAH PENDUDUK FASILITAS PELAYANAN Ambon Maluku Tengah Buru Maluku Tenggara Seram Bagian Barat Maluku Tenggara Barat Seram Bagian Timur Kepulauan Aru Keterangan Fasilitas Pelayanan : 1 Bank Pembangunan Daerah 6 Pasar Tradisionil 11 Dermaga Ferri 16 Stasiun Radio Swasta 21 Bioskop 26 Perguruan Tinggi Swasta 2 Bank Swasta 7 Bandara Kls 1 12 TPI (Tempat Pelabuhan Ikan) 17 Stasiun Televisi Pemerintah 22 Tempat Hibura Malam 27 Rumah Sakit Umum 3 Money Changer 8 Bandara Kls 3 13 Terminal Bus/AKAB 18 Pemancar Televisi Swasta 23 Tempat Rekreasi Indoor 28 PDAM 4 Pusat Perbelanjaan/ Plaza (Supermarket) 9 Pelabuhan Bongkar Muat 14 Terminal Angkot 19 Hotel Berbintang 24 Tempat Rekreasi Outdoor 29 Penerbit Surat Kabar Daerah 5 Pasar Induk 10 Pelabuhan Rakyat (Pelra) 15 Stasiun Radio/RRI 20 Hotel Non Bintang 25 Perguruan Tinggi Negeri 30 Jasa Telekomunikasi

267 Tabel 45. Penilaian Kemampuan Pelayanan dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun FASILITAS PELAYANAN NO NAMA WILAYAH JUMLAH (KABUPATEN / KOTA) PENDUDUK TOTAL Error 1 Ambon Maluku Tengah Buru Maluku Tenggara Seram Bagian Barat Maluku Tenggara Barat Seram Bagian Timur Kepulauan Aru Tn = Jumlah wilayah e = Error/Kesalahan COR/K = Koefisien Reprodusibilitas = 0,97 dan Ks = Koefisien Skalabilitas = 0,89 Berdasarkan Skalogram diatas maka dihitung: 1. Koefisien Reprodusibiltas (Kr) 2. Koefisien Skalabilitas (Ks). Hasil Perhitungan Koefisien Reprodusibilitas COR/Kr = 0,97 Hasil Perhitungan Koefisien Skalabilitas Ks = 0,89 Persyaratan suatu Skalogram dapat diterima sebagai hasil analisis bila hasil perhitungan COR/Kr dan Ks yaitu: COR/Kr > 0,90 dan Ks > 0,65 243

268 244 Tabel 46. Pengelompokkan Pusat-Pusat Pengembangan Wilayah Berdasarkan Metode Skalogram di Provinsi Maluku, Tahun Kelengkapan Fasilitas No Kabupaten/Kota Kelompok Jumlah (%) Jenis 1. Ambon I ,00 Jasa telekomunikasi, bank swasta, stasiun radio (RRI), pemancar televisi, bioskop, penerbitan surat kabar, money changer, supermarket, pelabuhan udara kls 1, stasiun televisi pemerintah, hotel berbintang, tempat rekreasi indoor. 2. Maluku Tengah II 19 63,33 Tempat pelabuhan ikan (TPI), pelabuhan udara kls 2, pelabuhan bongkar muat, terminal bus, pemancar televisi swasta. 3. Buru III 18 60,00 Jasa telekomunikasi, stasiun radio (RRI), bioskop, penerbitan surat kabar, 4. Maluku Tenggara IV 17 56,66 Tempat pelabuhan ikan, bank swasta Seram Bagian Barat Maluku Tenggara Barat V 10 33,33 Jasa telekomunikasi VI 8 26,66 Dermaga ferry, PDAM 7. Seram Bagian Timur VII 6 20,00 8. Kepulauan Aru VII 6 20,00 Sumber : Hasil Analisis Bank pembangunan daerah, pasar tradisional, pelabuhan rakyat, terminal angkot, tempat rekreasi outdoor Bank pembangunan daerah, pasar tradisional, pelabuhan rakyat, terminal angkot, tempat rekreasi outdoor

269 IX. SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pengembangan kawasan sentra produksi dalam meningkatkan perekonomian wilayah kepulauan Provinsi Maluku, maka dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Sektor-sektor unggulan (key sectors) berdasarkan kriteria struktur output dan nilai tambah bruto adalah sama yaitu: sektor perdagangan besar dan eceran, dan sektor perikanan. Sektor-sektor unggulan berdasarkan kriteria multiplier effect berdasarkan pengganda output adalah: sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya, dan sektor bangunan; berdasarkan pengganda pendapatan adalah: sektor bangunan, dan sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya; sedangkan berdasarkan pengganda tenaga kerja sektoral adalah: sektor perdagangan besar dan eceran, dan sektor industri penggergajian kayu. Sektor-sektor unggulan berdasarkan kriteria intersectoral linkages keterkaitan ke depan adalah: sektor perdagangan besar dan eceran, dan sektor industri pengilangan minyak bumi; sedangkan keterkaitan ke belakang adalah: sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya, dan sektor kayu lapis. 2. Berdasarkan analisis konektivitas struktur output dan nilai tambah bruto diketahui ada enam sektor yang memiliki konektivitas yaitu: sektor perdagangan besar dan eceran, sektor perikanan, sektor pemerintahan umum dan pertahanan, sektor angkutan Air, sektor angkutan darat, dan sektor sewa bangunan. Berdasarkan konektivitas multiplier effect diketahui ada empat sektor yang memiliki konektivitas, yaitu: sektor industri kayu lapis, sektor

270 246 industri roti, biskuit dan sejenisnya, sektor industri makanan dan minuman lainnya, dan sektor industri penggilingan padi. Berdasarkan konektivitas intersectoral linkages diketahui ada dua sektor yang memiliki konektivitas yaitu: sektor industri kerang-kerangan dan sektor industri kain tenun. Berdasarkan kriteria analisis konektivitas secara keseluruhan (struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages) diketahui bahwa sektor-sektor unggulan belum menunjukkan konektivitas diantara kriteria analisis tersebut. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya sektor unggulan yang sama di semua kriteria analisis yang berbasis spasial dan potensi lokal (local spesific) wilayah. 3. Hasil simulasi output final demand impacts memperlihatkan sektor berbasis karakteristik wilayah kepulauan yang menerima perubahan output belum di rasakan pada sektor berbassis bahari/maritim. Sektor-sektor terbesar penerima perubahan output lebih di rasakan pada sektor perdagangan dan indusrti, sedangkan sektor perikanan berada pada posisi ketiga dan keempat. 4. Lambatnya penyediaan fasilitas pelayanan wilayah seperti, pelabuhan laut, bandar udara dan jalan raya di pusat-pusat pengembangan wilayah mengakibatkan rendahnya peran dan fungsi pusat-pusat pengembangan wilayah di daerah ini. Rendahnya peran dan fungsi pusat-pusat pengembangan wilayah dalam menyediakan fasilitas pelayanan mengakibatkan rendahnya peningkatan sektor-sektor unggulan berbasis local spesific pada kawasan sentra produksi di pusat-pusat pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku.

271 Masih terpusatnya pusat pengembangan wilayah utama di Kota Ambon berdasarkan peringkat atau hirarki pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku, diikuti pusat-pusat pengembangan lainnya seperti; Kabupaten Maluku Tengah peringkat kedua, Kabupaten Buru peringkat ketiga dan diikuti oleh kabupaten lainnya. 6. Kebijakan ekonomi wilayah kepulauan Provinsi Maluku masih bersifat jangka pendek karena lebih mengutamakan sektor-sektor yang tidak sesuai dengan spasial dan potensi lokal (local spesific) wilayah seperti; sektor perdagangan besar dan eceran, sektor industri pengilangan minyak bumi dan sektor industri lainnya. Konsep kebijakan pembangunan wilayah lebih berorientasi pada konsep wilayah daratan (continental) bukan kepulauan (archipelago) seperti masih rendah atau belum unggulnya sektor-sektor potensial yang berbasis wilayah kepulauan seperti sektor jasa, angkutan, komunikasi dan sektor perikanan Saran Sehubungan dengan simpulan di atas berikut ini disampaikan beberapa saran berkenan dengan arah dan strategi kebijakan pemerintah daerah Provinsi Maluku dan pengembangan penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut: 1. Sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku belum memperlihatkan konektivitas diantara kriteria-kriteria yang dibangun seperti sektor unggulan berdasarkan analisis kriteria struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages, sehingga diperlukan konektivitas diantara sektor-sektor unggulan dari berbagai kriteria yang dibangun untuk menjadi model bagi pemerintah daerah Provinsi Maluku guna menentukkan sektor-

272 248 sektor unggulannya. Dengan demikian Provinsi Maluku perlu meningkatkan sektor-sektor unggulan berbasis bahari/maritim seperti, sektor perikanan, sektor angkutan air (laut), sektor udara, sektor darat dan sektor turunan dari sektor perikanan seperti, sektor kerang-kerangan sebagai sektor unggulan wilayahnya pada semua kriteria analisis secara konektivitas. 2. Sektor-sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku berbasis potensi lokal wilayah (local spesific) memerlukan dukungan penyediaan atau peningkatan kemampuan fasilitas pelayanan pada level kabupaten/kota sebagai pusat-pusat pengembangan wilayah kepulauan, sehingga mampu memberi aspek dukungan ke depan (spread effect) dan ke belakang (backwash effect) terhadap sektor unggulan wilayahnya. Dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang lebih lengkap akan mampu menciptakan pusat-pusat pengembangan atau pusat pertumbuhan baru (new growth poles) sehingga aktivitas ekonomi wilayah di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan (growth pole) saja yaitu di Kota Ambon sebagai ibukota Provinsi Maluku. 3. Pada wilayah kabupaten/kota sebaiknya pembangunan sektor-sektor perekonomian wilayah didasarkan pada aspek kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah dengan mengutamakan sektor-sektor unggulan dan berkelanjutan di masing-masing wilayah kabupaten/kota serta didukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan yang baik dan memadai. 4. Sektor-sektor yang memperlihatkan perubahan output dari hasil permintaan akhir sebaiknya menjadi acuan untuk mengkaji lagi arah dan strategi kebijakan pembangunan yang berbasis wilayah kepulauan seperti sektor

273 249 angkutan air, darat dan tanaman pangan ubi-ubian sebagai sektor pendorong utama terhadap sektor lainnya. 5. Masih rendahnya sektor-sektor potensial seperti, sektor jasa, sektor angkutan dan komunikasi serta sektor perikanan yang berbasis spasial atau lokasi wilayah dan potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan, sehingga diperlukan integrasi dan regulasi kebijakan pada sektor-sektor potensial tersebut untuk meningkatkan efek ganda antarwilayah (interregional) dan antarsektor (intersectoral) di Provinsi Maluku. 6. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih terperinci pada sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah berbasis potensi lokal (local spesific) bahari/ maritim pada level kabupaten/kota setelah pemekaran wilayah (otonomi) di atas tahun Implikasi Kebijakan 1. Pengembangan ekonomi wilayah kepulauan berbasis spasial bahari/maritim dan potensi lokal (local spesific) wilayah harus mampu menentukan pengembangan sektor-sektor unggulan yang berkelanjutan dan mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) dan tidak tergantung pada satu pusat pertumbuhan saja. Sektor-sektor unggulan yang dimaksud yaitu, sektor perikanan, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor industri pengolahan dan didukung dengan ketersediaan fasilitas pelayanan lainnya. 2. Arah dan strategi kebijakan pengembangan ekonomi wilayah perlu menjadi perhatian serius khususnya pada sektor-sektor unggulan yang berbasis spasial dan potensi lokal wilayah. Kebijakan pengembangan seperti ini dinilai

274 250 mampu mengembangkan sektor-sektor ekonomi lainnya yang memiliki keterkaitan (linkages) dan efek pengganda (multiplier effect) terhadap pengembangan wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku yang memiliki potensi lokal (local spesific) di sektor perikanan bila pusat-pusat pengembangan mampu menyediakan fasilitas pelayanan yang dapat meningkatkan pengembangan sektor-sektor unggulan di Provinsi Maluku. 3. Sebagai wilayah kepulauan berbasis bahari/maririm dan memiliki potensi perikanan terbesar dari wilayah lain, membuat pengambil kebijakan di daerah ini harus memiliki visi dan misi untuk menciptakan atau mengembangkan ekonomi wilayah melalui intervensi pemerintah dalam menyediakan fasilitas pelayanan guna peningkatan investasi pada sektorsektor ekonomi yang menjadi sektor unggulan Provinsi Maluku. Peningkatan investasi pada sektor-sektor yang berpeluang menjadi komoditi ekspor dengan basis potensi lokal wilayah kepulauan melalui simulasi permintaan akhir memperlihatkan bahwa sektor perikanan sangat besar untuk dikembangkan menjadi sektor unggulan wilayah.

275 DAFTAR PUSTAKA Abe, A Perencanaan Daerah. Memperkuat Prakarsa Rakyat Dalam Otonomi Daerah. Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Abustan Peranan Sub-Wilayah Sebagai Pusat Pengembangan Pembangunan Daerah di Kabupaten Daerah Tingkat II Bone. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Adam, L Aplikasi Model Shift-Share Analysis di Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 2 (1): Adisasmita, R Perencanaan Spasial dan Pengembangan Wilayah. Materi Kuliah Program Magister Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Adisasmita, R Ekonomi Archipelago. Graha Ilmu, Yogyakarta Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu, Yogyakarta Pengkajian Teori Simpul Jasa Distribusi Melalui Jalur Perdagangan (Kasus Daerah Sulawesi Selatan). Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Akita, T. and M. Kataoka Interregional Interdependence and Regional Economic Growth: An Interregional Input-Output Analysis of The Kyushu Region. RURDS, 14 (1): Alonso, W Location and Land Use. MA: Havard University Press, Cambridge. Amir, H. dan S. Nazara Analisis Perubahan Struktur Ekonomi (Economic Landscape) dan Kebijakan Strategi Pembangunan Jawa Timur Tahun 1994 dan 2000; Analisis Input-Output. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 5 (2): Amenta. P Interpolative and Predictive Biplots applied to Generalized PLS Discriminant Analysis. MTISD% /abstracts/01c-Amenta.pdf Arsana, A. M. I Batas Maritim Indonesia-Singapura. Posted by Gohan.sck@na.its.ac.id Published in Maritim Indonesia Arsyad, L Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi. BPFE- UGM, Yogyakarta.

276 252 Asyawati, Y Pendekatan Sistem Dinamik dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor Aziz, I. J Ilmu Ekonomi Regional dengan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. LP FEM UI, Jakarta. Azis, N. A Laut Jadi Perekat Pulau-Pulau. Jakarta Bappeda Provinsi Maluku Master Plan and Action Plan Kawasan Andalan. Kerjasama Lembaga Peneliti Unpatti, Ambon Bank Indonesia Daya Saing Daerah; Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. BPFE, Yogyakarta. BPS Statistik Indonesia, Berbagai Publikasi, Jakarta Tabel Input-Output Provinsi Maluku. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku, Ambon BPTP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Data dan Informasi Sumberdaya lahan Untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Rumah Tiga, Ambon Boudenville, J. R Problem of Regional Economics Planning. Edinburg University Press, Edinburg Budiharsono, S Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Bulmer-Thomas, V Input-Output Analysis in Developing Countries: Sources, Methods and Applications. John Wiley & Sons LTD, New York. Cantillon, R Essay Sur la Nature du Commerce en General. Fletcher English Translation by H. Higgs. Reprinted A. M. Kelley, New York. Chen, X. M. and Mattoo, A Regionalism in Standards; Good or Bad for Trade. Development Research Group, World Bank 1816 H Street.NW.Washington.DC xiaoyang.chen@colorado.edu Amattoo@worldbank.org. Chinitz, B Contrasts in Agglomeration. New York and Pittsburg. American Economics Review Paper, 51:

277 253 Christaller, W Central Places in Southern Germany. Jena: fischer, Germany. Daryanto, A dan Y, Hafizrianda Analisis Input-Output & Social Accounting Matrix; Untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. IPB Press, Bogor. Daryanto, A Disparitas Pembangunan Perkotaan Perdesaan di Indonesia. Agrimedia 8 (2): 30 39, Bogor Davis, S., G. Thomas, and D. Orden Macroeconomic Imbalances; A Multiregional General Equilibrium Analysis. Cambridge University Press, Cambridge. Dirjen Cipta Karya PU Studi Tipologi Kabupaten, Proyek Penataan Ruang Wilayah Nasional. PSDAL. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Makassar. Dixit, A. and J. Stiglitz Monopolistic Competetion and Optimum Product Diversity. American Economic Review, 67 (2): Djojodipuro, M Teori Lokasi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Douglas, M. (1998). A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural Urban Linkages, Third World Planning Review 20 (1): Fujita, M. Thisse and F. Jacques Economics of Agglomeration. Published by The Press Syndicate of The University of Cambridge-United Kingdom, London. Fujita, M. and P. R. Krugman The Spatial Economy; Cities Region and International Trade. The MIT Press, Cambridge. Gaurav, D and R. Martin Is India s Economic Growth Leaving The Poor Behind. Economic Prospectives Journal, 16 (3): Glasson, J An Introduction to Regional Planning, Concepts, Theory, and Practice. Hutchinson & Co, London Green, F. B A Method of Scalogram Analysis Using Summary Statistics. Psychometrika 21 (1): Hadi, S. B Geografi Regional Indonesia. Fakultas Sosial dan Ekonomi. Jurusan Pendidikan Geografi. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

278 254 Harun, R.U. dan S. I. Anugrah Kerangka Teoritis Pendekatan Agropolitann Sebagai Konsep Pembangunan Pertanian Terpadu Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah Pedesaan, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 8 (1): Hadjisarosa, P. 1976a. Satuan Wilayah Pengembangan (SWP), Seri; Mekanisme Pengembangan Wilayah. Bagian I. Departemen Pekerjaan Umum (PU), Jakarta b. Penggunaan SPWTN Sebagai Variabel dalam Perencanaan Pengembangan Nasional, Seri; Mekanisme Pengembangan Wilayah. Bagian II. Departemen PU. RI, Jakarta. Hay, D. A The Location Industry in a Developing Country; The Case of Brazil. Oxford Economic Papers, 31 (1): Hidayat, S Refleksi Realitas Otonomi Daerah: Tantangan Kedepan. Pustaka Quantum, Jakarta. Hikam, A. S dan H. Susanto Kajian Pembangunan Kota di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 1 (1): Hirschman, A. O The Strategy of Development. CN: Yale University Press, New Haven. Hossain, A and A. Chowdhury Open Economy. Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publishing Inc, Massachusetts Hoover, E. M Location Theory of Economic Activity. McGraw-Hill, New York. Isard, W Methods of Regional Analysis-An Introduction to Regional Science. Massachusetts Institute of Technology and Wiley, New York. Isard, W Introduction to Regional Science. Prentice Hall, Inc. Englewood cliffs, New Jersey. Jhingan, M. L The Economics of Development and Planning. Vicas Publishing House, New Delhi. Jhingan, M. L Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Johnson A.R. and W. D. Wichern. (2002). Applied Multivariate Statistical Analysis. Person Education International. Prentice Hall. Inc, USA

279 255 Johnson, E. A. J The Organization of Space in Developing Countries. Havard University Press, Massachusetts. Juoro, U The Determinants of Aglomeration Economies in Indonesia. Jurnal Triwulan Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat. FE-UI, 37 (2): Kadariah Ekonomi Perencanaan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Kartasasmita, G Membangun Pertanian Abad 21; Menuju Pertanian Berbudaya Industri. Bappenas, Jakarta Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES, Jakarta. Kuncoro, M Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi Kedua. Unit Penerbitan dan Percetakan AMP YKPN, Yogyakarta. Kusumaatmaja, S Visi Maritim Indosnesia: Apa Masalahnya. Posted by Gohan Published in Maritim Indonesia, Jakarta. Langham, M. R. and R. H. Retzlaff Agriculture Sector Analysis in Asia. Singapore University Press, Singapore. Lardy, R. N China s Economics Growth in an International Context. The Pacific Review, 12 (2): LIPI Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Ekonomi, Jakarta. Lukman, A. H Perlunya Meretorasi Paradigma Pembangunan Kelautan. Posted by Gohan sck@na.its.ac.id Published in Maritim Indonesia. Jakarata Losch, A The Economic of Location. Jena Germany: Fischer, English Translation. Yale University Press, New Haven McCann, P Urban and Regional Economics. Oxford University Press Inc, New York. Meyer-Stemer, J The PACA Book of Concepts. Available at Misra, R. P Regional Development Planning : Search for Bearing. UNCRD, Nagoya.

280 Regional Planning and National Development. Vicas Publishing PVT Ltd, New Delhi. Miller, R. E. and P. D. Blair Input-Output Analysis. Foundation and Extensions. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs, New York. Mills, E. S Studies in the Structure of the Urban Economy. The Johns Hopkins Press, Baltimore. Mustopadidjaja, A. R Beberapa Dimensi Paradigma dan Model Pembangunan Abad 21. Studi Pembangunan Nasional, Ujung Pandang. Muth, R. F Cities and Housing. University of Chicago Press, Chicago. Monk, K. A., Reksodihardjo dan G. Uley Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Edisi Indonesia. Prenhalindo, Jakarta. Myrdal, G Asian Drama; An Inquiry into the Poverty of Nations. Pantheon, New York. Nanere, J. L Sagu dan Lingkungan di Maluku (dalam rangka revitalisasi pertanian di kepulauan Maluku). Makalah disampaikan pada Lokakarya Sagu. Tema Sagu didalam Revitalisasi Pertanian Maluku. Kerjasama Universitas Pattimura, Bappeda Maluku, Dinas Pertanian Provinsi Maluku dan BPTP Maluku, Ambon. Nicholas, R. L China s Economic Growth In an International Contex. The Pacific Review, 12 (2): Nijkamp, P Multidimensional Spatial Data and Decision Analysis. John Wiley and Son Ltd, New York. Ohlin, B Interregional and International Trade. Revised Version Published in 1968, MA: Havard University Press, Cambridge Okali, D., E. Okpana dan J. Olawoye The Case of Aba and its Region, Southerneast Nigeria. Working Paper. International Institute for Enviromental Development, London. Otmazgin, K. N Cultural Commodities and Regionalization in East Asia. Contemporary Southeast Asia, 27 (3): Parlindungan, A. P Komentar Atas Undang-Undang Penataan Ruang. CV Mandar Maju, Bandung Perkins, D. H., S. Radeler., D. R. Snodgrass., M. Gills, and M. Roemer Economic of Development. Fifth Edition. W.W. Norton and Company, New York.

281 257 Perroux, F Note Sur la Notion de Pole de Croissance. Economique Appliquee. Press Universitives de France, France. Porter, M. E The Competitive Advantage of Nation. The Macmillan Press, Ltd. London or The Free Press, New York. Priyarsono, D. S. dan E. Rustiadi Regional Development in Indonesia. Crestpent Press. IPB Baranangsiang, Bogor Rachman, H. P., M. Ariani, dan P. H. Saliem Ketahanan Pangan, Konsep, Pengukuran dan Strategi. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 20 (1): Rahardjo, A Teori-Teori Lokasi Dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Rasmussen, R Studied in Intersectoral Relations. North Holland Publishing Company, Amsterdam. Reksohadiprodjo, S. dan A. R. Karseno Ekonomi Perkotaan. PT BPFE. Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta. Richardson, H. W. 1978a. Regional Economic. University of Illionis Press, Illionis b. Growth Centres, Rural Development and National Urban Policy : A Defence International Regional Science Review, 3 (2) : Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Romer, D Advanced Macroeconomics. second edition. Mac Graw-Hill. Higher Education, Boston. Rondinelli, D. A Applied Methods of Regional Analysis, The Spatial Dimensions of Development policy. Westview Press Boulder, Colorado. Rusastra, I. W Kinerja dan Prospektif Pengembangan model Agropolitan Dalam Mendukung Pengembangan Ekonomi Wilayah Berbasis Agribisnis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian Deptan, Bogor. Samuelson, A. P. and D. W. Nordhaus Macroeconomics. (A Version of Economics). Thirteenth Edition. New York; Mac Graw-Hill Book Company Inc, Boston.

282 258 Sartono. B., F. M. Affendi., U. D. Syafitri., I. M. Sumertajaya dan Y. Angraeni Analisis Peubah Ganda. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor Schumpeter, J. A The Theory of Economic Development. Oxford University Press, New York. Sitaniapessy, P. M Problema Lingkungan Pulau Kecil di Provinsi Maluku. Jurnal Pertanian Kepulauan, 1 (2): Sjafrizal Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Jakarta. Smith, A An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Straham and Cadell. Fifth Edition Reprinted in The Modern Library, New York. Stamer-Meyer The PACA Book of Concepts. Available at Streeten, P. P The frontiers of Development studies. Johns willey and Son, New York. Steven, R., Jefrey. S and Jong. W. L The Determinants and Prospects of Economic growth in Asia. International Economic Journal, 15 (3): Sukirno, S Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Sukanto, R. dan A. R. Karseno Ekonomi Perkotaan. PT. BPFE UGM, Yogyakarta. Sun, S. K. and G. P. Cheol Regulatory and Reform Office of the Prime Minister Republic of Korea. Regulatory Reform Committee (RRC). Regulatory Reform Promotion (RRP), Seoul. Syaeful, H. B Geografi Regional Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Takahiro, A. and K. Mitsuhiko Interregional Interdepedence and Regional economic Growth; An Interregional Input Output Analysis of the Kyushu. International Regional Science Review, 14 (1): Tarigan, R. 2004a. Ekonomi Regional; Teori dan Aplikasi. PT Bumi Aksara, Jakarta b. Perencanaan Pembangunan Wilayah. PT Bumi Aksara, Jakarta.

283 259 Tiebout, C. M A Pure Theory of Local Public Expenditures. Journal of Political Economy, 64 (1): Tim Peneliti Unpatti Penyusunan Master Plan And Action Plan Kondisi dan Potensi Wilayah. Lembaga Penelitian Universitas Pattimura, Ambon. Titaley, P. A Kebijakan Revitalisasi Pertanian di Maluku. Makalah disampaikan pada Lokakarya Sagu. Tema Sagu didalam Revitalisasi Pertanian Maluku. Kerjasama Universitas Pattimura, Bappeda Maluku, Dinas Pertanian Provinsi Maluku dan BPTP Maluku, Ambon. Todaro, M Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta. Utrecht, LSEM Atlas Maluku. DSA, Ambon. Uphoff, N. (1999). Rural Development Strategy for Indonesian Recovery: Reconciling Contradictions and Tensions, Paper Presented at the International Seminar on Agricultural Sector During the Turbelence of Economic Crisis: Lessons and Future Directions. Center for Agro- Socioeconomic Research, February 1999, Bogor. Verner, D. and M. N. Fiess Intersectoral Dinamics and Economic Growth in Equador. World Bank, Washington DC. Warpani, S Analisis Kota Daerah. Penerbit ITB Bandung, Bandung. Webber, M. J Information Theory and Urban Spatial Structure. Croom Helm, London. Wibisono, Y Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Regional; Studi Empiris Antar Propinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 5 (2): Widodo, T. S Indikator Ekonomi; Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Widjaja, H. A. W Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Wijaya, A Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Ekonomi. Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia, Jakarta. William, O. P. (1971). Metropolitan Political Analysis: A Social Access Approach. The Free Press, New York.

284 260 Wirawan, I., B. Sukidin dan Basrowi Perencanaan dan strategi pembangunan. Jember University Press, Jember. World Bank Menata Ulang Geografi Ekonomi/World Bank. World Development Report, Jakarta. Yakub, R Menata Ruang Laut Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta

285 263 Lampiran 1. Kode Sektor Sektor Eknonomi Kode Nama Sektor 1 Padi 2 Jagung 3 Ubi Kayu 4 Ubi-Ubian Lainnya 5 Kacang-kacangan 6 Sayuran dataran ttinggi 7 Sayuran dataran rendah 8 Jeruk 9 Pisang 10 Buah-buahan lainnya 11 Pertanian tanaman pangan lainnya 12 Kelapa 13 Cengkih 14 Cokelat 15 Pala 16 Kopi 17 Perkebunan Lainnya 18 Peternakan 19 Kayu Gelondongan 20 Hasil hutan lainnya 21 Perikanan 22 Pertanmbangan 23 Penggalian 24 Industri pengilangan minyak bumi 25 Industri Pnggilingan padi 26 Industri tepung terigu 27 Industri minyak hewan dan nabati 28 Industri roti, biskuit dan sejenisnya 29 Industri gula 30 Industri makanan dan minuman lainnya 31 Industri kain tenun 32 Industri tekstil, bahan dari kulit dan alas kaki 33 Industri kayu lapis 34 Industri penggergajian kayu 35 Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya 36 Industri kerang-kerangan 37 Industri kertas dan barang cetakan 38 Industri pupuk kimia dan barang dari karet 39 Industri semen dan bahan galian bukan logam

286 264 Lampiran 1. Lanjutan Kode Nama Sektor 40 Industri lainnya 41 Listrik 42 Air bersih 43 Bangunan 44 Pedagang besar eceran 45 Hotel 46 Restoran dan rumah makan 47 Angkutan darat 48 Angkutan air 49 Angkutan udara 50 Jasa penunggang angkutan 51 Komunikasi 52 Bank 53 Lembaga keuangan non-bank 54 Sewa bangunan 55 Jasa Perusahaan 56 Pemerintahan umum dan pertahanan keamanan 57 Jasa sosial kemanusiaan 58 Jasa hiburan dan rekreasi 59 Jasa Perorangan dan rumah tangga 60 Lainnya yang tidak jelas batasannya 200 Impor 201 Upah dan gaji 202 Surplus usaha 203 Penyusutan 204 Pajak tak langsung 205 Subsidi 301 Konsumsi Rumah Tangga 302 Konsumsi Pemerintah 303 Pembentukan Modal Tetap Bruto 304 Perubahan Stok 305 Ekspor 309 Jumlah Permintaan 409 Impor

287 265 Lampiran 2. Total Output Multipliers Provinsi Maluku Update SECTOR INITIAL FIRST INDUST CONS'M TOTAL ELAST TYPE I TYPE II

288 266 Lampiran 2. Lanjutan SECTOR INITIAL FIRST INDUST CONS'M TOTAL ELAST TYPE I TYPE II

289 267 Lampiran 3. Total Income Multiplier Effect Provinsi Maluku Update KODE INITIAL FIRST INDUST CONS'M TOT ELAST TYPE I TYPE II

290 268 Lampiran 3. Lanjutan KODE INITIAL FIRST INDUST CONS'M TOT ELAST TYPE I TYPE II

291 269 Lampiran. 4. Total Employment Multiplier Effect Provinsi Maluku Update SECTOR INITIAL FIRST INDUST CONS'M TOTAL ELAST TYPE I TYPE II

292 270 Lampiran. 4. Lanjutan SECTOR INITIAL FIRST INDUST CONS'M TOTAL ELAST TYPE I TYPE II

293 271 Lampiran. 5 Total Backward dan Forward Multipliers Provinsi Maluku Update Kode Sektor Column Column Standard Coefficient Backward Backward Total Mean Deviation Variation Linkage Spread Padi Jagung Ubi Kayu Ubi-Ubian Lainnya Kacangkacangan Sayuran dataran ttinggi Sayuran dataran rendah Jeruk Pisang Buah-buahan lainnya Pertanian tanaman pangan lainnya Kelapa Cengkih Cokelat Pala Kopi Perkebunan Lainnya Peternakan Kayu Gelondongan Hasil hutan lainnya Perikanan Pertanmbangan Penggalian Industri pengilangan minyak bumi Industri Pnggilingan padi Industri tepung terigu Industri minyak hewan dan nabati

294 272 Lampiran 5. Lanjutan Kode Sektor Column Column Standard Coefficient Backward Backward Total Mean Deviation Variation Linkage Spread Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri gula Industri makanan dan 30 minuman lainnya Industri kain 31 tenun Industri tekstil, bahan dari 32 kulit dan alas kaki Industri kayu 33 lapis Industri 34 penggergajian kayu Industri barang lain dari kayu 35 dan hasil hutan lainnya Industri 36 kerangkerangan Industri kertas 37 dan barang cetakan Industri pupuk kimia dan 38 barang dari karet Industri semen dan bahan 39 galian bukan logam Industri 40 lainnya Listrik Air bersih Bangunan Pedagang besar eceran Hotel Restoran dan rumah makan Angkutan darat

295 273 Lampiran 5. Lanjutan Kode Sektor Column Column Standard Coefficient Backward Backward Total Mean Deviation Variation Linkage Spread Angkutan air Angkutan udara Jasa penunggang angkutan Komunikasi Bank Lembaga keuangan nonbank Sewa bangunan Jasa Perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan keamanan Jasa sosial kemanusiaan Jasa hiburan dan rekreasi Jasa Perorangan dan rumah tangga Lainnya yang tidak jelas batasannya Total Average

296 274 Lampiran 6. Output Final Demand Impact Sektor Angkutan udara Sektor Final Demand Indust Sup Consumption Total Percent Flow On Percent

297 275 Lampiran 6. Lanjutan Sektor Final Demand Indust Sup Consumption Total Percent Flow On Percent

298 276 Lampiran 7. Output Final Demand Impact Sektor Angkutan Darat Sektor Final Demand Indust Sup Consumption Total Percent Flow On Percent

299 277 Lampiran 7. Lanjutan Sektor Final Demand Indust Sup Consumption Total Percent Flow On Percent

300 278 Lampiran 8. Output Final Demand Impact Sektor Angkutan Air Sektor Final Demand Indust Sup Consumption Total Percent Flow On Percent

301 279 Lampiran 8. Lanjutan Sektor Final Demand Indust Sup Consumption Total Percent Flow On Percent

302 280 Lampiran 9. Output Final Demand Impact Sektor Perikanan Sektor Final Demand Indust Sup Consumption Total Percent Flow On Percent

303 281 Lampiran 9. Lanjutan Sektor Final Demand Indust Sup Consumption Total Percent Flow On Percent

304 282 Lampiran 10. Output Final Demand Impact Sektor Perikanan, Angkutan Darat, Udara dan Air Sektor Final Demand Indust Sup Consumption Total Percent Flow On Percent

305 283 Lampiran 10. Lanjutan Sektor Final Demand Indust Sup Consumption Total Percent Flow On Percent

306 284 Lampiran 11. Peta Batas Administrasi Gambar 1

307 Lampiran 12. Lereng Gambar 2 285

308 Lampiran 13. Tanah 286 Gambar 3

309 Lampiran 14. Kawasan Lindung saat ini Gambar 4 287

310 Lampiran 15. Peta Potensi Perikanan 288 Gambar 5

311 Lampiran 16. Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Gambar 6 289

312 Lampiran 17. Kawasan Sentra Produksi Propinsi Maluku 290 Gambar 7

313 Lampiran 18. Perhubungan Laut Trayek PELNI Gambar 8 291

314 292 Lampiran 19. Perhubungan Udara Gambar 9

315 Lampiran 20. Konsep Gugus Pulau Gambar

316 Lampiran 21. Pola Interaksi Ruang 294 Gambar 11

ABSTRACT. Development centers, input-output, scalogram, key sectors, final demand Impact, service fascilities.

ABSTRACT. Development centers, input-output, scalogram, key sectors, final demand Impact, service fascilities. ABSTRACT IZAAC TONNY MATITAPUTTY. Development of Production Centers Area in Improving Archipelago Region Economy in the Province of Maluku. (KUNTJORO as Chairman, HARIANTO and D.S. PRIYARSONO as Members

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rona wilayah yang heterogen terdiri dari pulau-pulau. Menurut Yakub (2004),

I. PENDAHULUAN. rona wilayah yang heterogen terdiri dari pulau-pulau. Menurut Yakub (2004), I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan bagian dari wilayah di permukaan bumi, memiliki rona wilayah yang heterogen terdiri dari pulau-pulau. Menurut Yakub (2004), bentuk-bentuk rona suatu

Lebih terperinci

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN. kebijakan pembangunan antara wilayah/negara daratan (continental/landlock

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN. kebijakan pembangunan antara wilayah/negara daratan (continental/landlock BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran berdasarkan teori yang digunakan dapat menjelaskan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Berbagai kajian atau teoriteori pengembangan wilayah secara umum

Lebih terperinci

IX. SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Maluku, maka dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut:

IX. SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Maluku, maka dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut: IX. SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pengembangan kawasan sentra produksi dalam meningkatkan perekonomian wilayah kepulauan Provinsi Maluku,

Lebih terperinci

7.1. Potensi Lokal Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan memiliki

7.1. Potensi Lokal Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan memiliki VII. KONEKTIVITAS SEKTOR-SEKTOR EKONOMI UNGGULAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 7.1. Potensi Lokal Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan memiliki potensi sumberdaya

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU

VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 8.1. Kemampuan Fasilitas Pelayanan Pusat Pengembangan Analisis kemampuan fasilitas

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan transportasi sangat diperlukan dalam pembangunan suatu negara ataupun daerah. Dikatakan bahwa transportasi sebagai urat nadi pembangunan kehidupan politik,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv PRAKATA... v DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii

Lebih terperinci

PERANAN SUB SEKTOR PENGGALIAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN LUMAJANG SKRIPSI. Oleh. Yoxzynanda Bella Rozarilyn Purnomo NIM

PERANAN SUB SEKTOR PENGGALIAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN LUMAJANG SKRIPSI. Oleh. Yoxzynanda Bella Rozarilyn Purnomo NIM PERANAN SUB SEKTOR PENGGALIAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN LUMAJANG SKRIPSI Oleh Yoxzynanda Bella Rozarilyn Purnomo NIM 090810101031 JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

mencerminkan tantangan sekaligus kesempatan. Meningkatnya persaingan antar negara tidak hanya berdampak pada perekonomian negara secara keseluruhan,

mencerminkan tantangan sekaligus kesempatan. Meningkatnya persaingan antar negara tidak hanya berdampak pada perekonomian negara secara keseluruhan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat persaingan antarnegara dari waktu ke waktu semakin tinggi sebagai dampak dari munculnya fenomena globalisasi ekonomi. Globalisasi mencerminkan tantangan sekaligus

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI DAN PERTUMBUHAN DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP JUMLAH TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN SKRIPSI MUHAMMAD ISMAIL MAHIR RANGKUTI A

PENGARUH INVESTASI DAN PERTUMBUHAN DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP JUMLAH TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN SKRIPSI MUHAMMAD ISMAIL MAHIR RANGKUTI A PENGARUH INVESTASI DAN PERTUMBUHAN DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP JUMLAH TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN SKRIPSI MUHAMMAD ISMAIL MAHIR RANGKUTI A14104585 PROGRAM EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H14102010 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN CITRA MULIANTY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya kelautan merupakan salah satu aset yang penting dan memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara fisik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim ABSTRAK Pembangunan Wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SITUBONDO SKRIPSI. Oleh. Nurul Qomaria NIM

ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SITUBONDO SKRIPSI. Oleh. Nurul Qomaria NIM ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SITUBONDO SKRIPSI Oleh Nurul Qomaria NIM 100810101016 ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS JEMBER 2014

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah (regional development) pada dasarnya adalah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah (regional development) pada dasarnya adalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah (regional development) pada dasarnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional pada suatu wilayah yang telah disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

MODEL PENGARUH PERSEPSI DAN MOTIVASI MUZAKKI TERHADAP KEPUTUSAN MEMBAYAR ZAKAT PROFESI (Studi Kasus: Karyawan PT PLN Region Jawa Barat) PEMI PIDIANTI

MODEL PENGARUH PERSEPSI DAN MOTIVASI MUZAKKI TERHADAP KEPUTUSAN MEMBAYAR ZAKAT PROFESI (Studi Kasus: Karyawan PT PLN Region Jawa Barat) PEMI PIDIANTI MODEL PENGARUH PERSEPSI DAN MOTIVASI MUZAKKI TERHADAP KEPUTUSAN MEMBAYAR ZAKAT PROFESI (Studi Kasus: Karyawan PT PLN Region Jawa Barat) PEMI PIDIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B.

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERANCANGAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

TIPOLOGI DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH : CORNELES BULOHLABNA H

TIPOLOGI DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH : CORNELES BULOHLABNA H TIPOLOGI DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH : CORNELES BULOHLABNA H14084023 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KETERKAITAN EKONOMI ANTARA KOTA GEMOLONG DENGAN WILAYAH BELAKANGNYA TUGAS AKHIR. Oleh:

KETERKAITAN EKONOMI ANTARA KOTA GEMOLONG DENGAN WILAYAH BELAKANGNYA TUGAS AKHIR. Oleh: KETERKAITAN EKONOMI ANTARA KOTA GEMOLONG DENGAN WILAYAH BELAKANGNYA TUGAS AKHIR Oleh: NANIK SETYOWATI L2D 000 441 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007

Lebih terperinci

Economics Development Analysis Journal

Economics Development Analysis Journal EDAJ 4 (3) (2015) Economics Development Analysis Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/edaj PERANAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN PENDEKATAN ANALISIS

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir merupakan suatu hal yang diperlukan dalam setiap penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK

PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK (Kasus pada : Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus) Oleh : HERRY SUMARDJITO PROGRAM

Lebih terperinci

KONTRIBUSI SUB SEKTOR PERIKANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU

KONTRIBUSI SUB SEKTOR PERIKANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU KONTRIBUSI SUB SEKTOR PERIKANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU THE CONTRIBUTION OF THE FISHERIES SUB-SECTOR REGIONAL GROSS DOMESTIC PRODUCT (GDP)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI. Oleh ARISA SANTRI H

ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI. Oleh ARISA SANTRI H ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI Oleh ARISA SANTRI H14050903 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H14094022 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengembangan sumber daya mineral yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan dapat mendukung bagi perekonomian

Lebih terperinci

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di 120 No. 1 2 3 4 Tabel 3.5 Kegiatan Pembangunan Infrastruktur dalam MP3EI di Kota Balikpapan Proyek MP3EI Pembangunan jembatan Pulau Balang bentang panjang 1.314 meter. Pengembangan pelabuhan Internasional

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama ekonomi, pengembangan konektivitas nasional, dan peningkatan. dalam menunjang kegiatan ekonomi di setiap koridor ekonomi.

I. PENDAHULUAN. utama ekonomi, pengembangan konektivitas nasional, dan peningkatan. dalam menunjang kegiatan ekonomi di setiap koridor ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan pembangunan ekonomi Indonesia telah dituangkan pada program jangka panjang yang disusun oleh pemerintah yaitu program Masterplan Percepatan Perluasan dan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI (PREPAID CARD) LOVITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT MULTIREGIONAL JAWA TIMUR, BALI, DAN NUSA TENGGARA BARAT

PERANAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT MULTIREGIONAL JAWA TIMUR, BALI, DAN NUSA TENGGARA BARAT PERANAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT MULTIREGIONAL JAWA TIMUR, BALI, DAN NUSA TENGGARA BARAT DISERTASI Oleh : I DEWA MADE DARMA SETIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini Indonesia sedang melakukan pembangunan wilayah yang bertujuan menyejahterakan rakyat atau menjadi lebih baik dari sebelumnya. Indonesia terdiri dari pulau-pulau

Lebih terperinci

ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN

ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN Yudithia SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini,

Lebih terperinci

KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN

KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN iii KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif.

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. A Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. Namun demikian, ada beberapa teori yang secara parsial

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Wilayah dan Pembangunan wilayah Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ruang atau kawasan sangat penting dalam pembangunan wilayah.

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 1-9 http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini ditujukkan melalui memperluas

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah kesatuan ekosistem sumber daya alam hayati beserta lingkungannya yang tidak terpisahkan. Hutan merupakan

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010-2014 TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 iii

Lebih terperinci