OPTIMASI PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMU PUTIH DAN TEMU LAWAK BERDASARKAN ANALISIS EKSERGI LAMHOT PARULIAN MANALU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMASI PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMU PUTIH DAN TEMU LAWAK BERDASARKAN ANALISIS EKSERGI LAMHOT PARULIAN MANALU"

Transkripsi

1 OPTIMASI PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMU PUTIH DAN TEMU LAWAK BERDASARKAN ANALISIS EKSERGI LAMHOT PARULIAN MANALU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Optimasi Pengeringan Lapisan Tipis Simplisia Temu Putih dan Temu Lawak Berdasarkan Analisis Eksergi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juni 2011 Lamhot P. Manalu NIM F

3 ABSTRACT LAMHOT PARULIAN MANALU. Optimization of Thin-Layer Drying of Temu Putih and Temu Lawak Based on Exergy Analysis. Supervised by ARMANSYAH H. TAMBUNAN, LEOPOLD O. NELWAN, and AGUS R. HOETMAN Temu putih or zedoary (Curcuma zedoaria Rosc.) and temu lawak or java turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) are two of some important medicinal plants in Indonesia. The dried slices of their rhizome are called simplicia and used as raw materials for jamu or traditional herbal medicine. The aim of this research were (a) to study the influence of drying process conditions on simplicia drying characteristics, quality and exergy eficiency during the drying, and (b) to determine the optimum process conditions to get the best quality. In the first study, the influence of drying air temperature, relative humidity (RH) and flow rate on the thin layer drying of temu putih and temu lawak slices were investigated. A laboratory air dryer was designed and used for drying experiments. The system was operated in an air temperature range of o C, relative humidity range of 20 80% and air flow rate m/s. Three mathematical models available in the literature were fitted to the experimental data. It was found that drying of temu putih and temu lawak took place in the falling rate period. Higher drying air temperature and flow rate and lower drying air relative humidity resulted in a lower final moisture content and shorter drying time. By statistical comparison of the three models, it was concluded that the Page model represents drying characteristics was better than the other equations for describing single layer drying of both temu putih and temu lawak. In the second part, the effects of drying conditions on shrinkage and quality of temu putih and temu lawak were studied. A thin-layer dryer with machine vision system and image analysis software were used. Temu putih and temu lawak slices were dried at temperatures of 50, 60 and 70 o C and relative humidities of 20%, 30% and 40%. Changes in area of the slice were measured continuously during the drying. Shrinkage showed almost linear relation with moisture content. It was found that air temperature and relative humidity had no significant effect on shrinkage. Slices dried in a higher temperature showed more bend than a lower one. Lower drying air temperature resulted higher quantity of curcumin of temulawak and worse visually performance of sample. The last part was concerned with the energy and exergy analysis of the thin layer drying process of temu putih and temu lawak at different air temperatures and humidities using a laboratory dryer. Using the first law of thermodynamics, energy analysis was carried to estimate the amounts of energy gained from air drying and the ratios of energy utilization. Exergy analysis was accomplished to determine exergy destroyed and exergy efficiencies during the drying process by applying the second law of thermodynamics. The optimum process conditions for temu putih drying were at a temperature of 50 o C 20% RH and air flow rate of m/s, while for temu lawak drying were at a temperature of 50 o C and 30% RH. Keywords: Drying, zedoary, java turmeric, Curcuma, herb, shrinkage, image analysis, curcumin, energy, exergy, optimization

4 RINGKASAN LAMHOT PARULIAN MANALU. Optimasi Pengeringan Lapisan Tipis Simplisia Temu Putih dan Temu Lawak Berdasarkan Analisis Eksergi. Dibimbing oleh ARMANSYAH H. TAMBUNAN, LEOPOLD O. NELWAN, dan AGUS R. HOETMAN Salah satu tahapan penanganan pascapanen hasil pertanian yang paling kritis adalah pengeringan. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode pengawetan bahan. Tujuan pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan (secara termal) sampai ke tingkat tertentu, dimana kerusakan akibat mikroba dan reaksi kimia dapat diminimalisasi, sehingga kualitas produk keringnya dapat dipertahankan. Pengeringan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan transfer massa dan panas secara simultan serta terjadinya perubahan yang tidak diinginkan terhadap kualitas produk keringnya. Proses ini memerlukan energi yang cukup besar. Indonesia adalah salah satu negara penghasil tanaman obat atau herbal dan permintaan akan produk ini terus mengalami peningkatan. Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) merupakan tanaman obat yang banyak tumbuh di Indonesia dan digunakan sebagai bahan baku obat tradisional atau jamu. Bagian tanaman yang digunakan adalah umbi akar (rhizome) yang diiris dan dikeringkan sebagai simplisia. Kadar air panen rimpang temu putih dan temu lawak berkisar 80-90%, angka ini cukup tinggi sehingga komoditas ini mudah rusak bila tidak segera diolah atau dikeringkan. Kadar air maksimum simplisia yang dikehendaki adalah 10%. Setiap jenis tanaman obat mengandung bahan aktif yang spesifik, kandungan zat ini mudah hilang atau berkurang pada proses pengeringan akibat penggunaan suhu yang cukup tinggi. Untuk dapat mempertahankan kualitas hasil pengeringan perlu dipelajari kondisi pengeringan yang dapat menjamin tercapainya kadar air yang dipersyaratkan dengan kehilangan bahan aktif seminimal mungkin. Di sisi lain tingginya harga energi pada saat ini membuat upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi pada suatu proses semakin dibutuhkan. Untuk mengetahui apakah energi yang digunakan untuk proses pengeringan sudah digunakan secara optimal dari sisi kualitas, digunakan metode berdasarkan hukum termodinamika kedua atau yang dikenal dengan metode analisis eksergi. Dalam beberapa tahun terakhir ini analisis eksergi telah menjadi metode penting yang komprehensif dan mutakhir dalam studi tentang desain, analisis dan optimasi suatu sistem termal. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengkaji karakteristik pengeringan lapisan tipis temu putih dan temu lawak, (2) mengkaji pengaruh pengeringan terhadap mutu dan penyusutan temu putih dan temu lawak, (3) menentukan efisiensi proses pengeringan lapisan tipis simplisia temu putih dan temu lawak dengan metode analisis eksergi, (4) menentukan kondisi proses yang optimum untuk pengeringan simplisia temu putih dan temu lawak. Alat pengering skala laboratorium dirancang dan dibuat memenuhi standar untuk percobaan lapisan pengeringan tipis dimana suhu dan kelembaban nisbi (RH) dapat dijaga konstan. Pengontrolan kondisi pengeringan dilakukan dengan kontrol PID dengan

5 akurasi suhu ± 1 o C dan RH ± 2% sesuai dengan standar yang ditetapkan ASABE. Kondisi pengeringan mencakup selang suhu o C dan RH 20-90%. Sensor suhu dan RH menggunakan jenis sensor SHT15 keluaran Sensirion. Kecepatan udara pengering yang melalui ruang pengering (drying chamber) yang berdimensi 35 cm x 35 cm x 35 cm dikontrol secara manual dan diukur dengan menggunakan anemometer digital Kanomax dengan akurasi ± 0.1 m/s. Secara keseluruhan alat pengering dikontrol oleh mikroprosesor AVR Atmel. Alat ini dilengkapi juga dengan sistim humidifier 2000 W, sistim pemanas 2000 W, kipas elektrik dan dehumidifier. Untuk studi penyusutan digunakan juga peralatan pengambil gambar digital (kamera) dan lampu penerang. Data pengukuran direkam dan disimpan (terakuisisi) dalam seperangkat alat pengolahan data. Bahan berupa rimpang temu putih dan temu lawak dibersihkan, dicuci dan diiris dengan menggunakan pisau. Sebelum dikeringkan, irisan temu putih dan temu lawak terlebih dulu direndam dalam air dengan suhu 95 o C selama 5 menit. Irisan sampel kemudian diletakkan pada wadah sedemikian rupa dalam bentuk lapisan tipis. Tebal irisan sampel rata-rata sekitar 3 mm dan berat sampel setiap pengeringan berkisar 150 gram. Sebelum percobaan dimulai alat pengering dihidupkan sekitar setengah sampai satu jam untuk menstabilkan ruangan pengering sesuai dengan kondisi percobaan yang diinginkan. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu putih yang dilakukan adalah pada suhu 40, 50, 60 dan 70 o C dengan RH 20%, 40%, 60%, dan 80% serta laju aliran udara pengering m/s dan m/s sedangkan untuk pengeringan temu lawak dilakukan pada suhu 50, 60 dan 70 o C serta RH 20%, 30% dan 40%. Berat dan suhu bahan serta suhu dan kelembaban udara pengering dipantau secara kontinu dan data direkam setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan berat sampel diukur langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan GF-3000 A&D dengan kapasitas g dan akurasi 0.01 g. Percobaan dihentikan setelah berat sampel konstan. Kadar air akhir percobaan ditentukan dengan mengeringkan sampel selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 o C dengan memakai oven. Untuk studi penyusutan, selama pengeringan berlangsung citra sampel direkam ke komputer dengan resolusi 640 x 480 piksel. Citra direkam setiap 5 menit dengan kamera yang ditempatkan pada bagian atas ruangan pengering dengan jarak 15 cm dari permukaan bahan. Analisis citra dilakukan dengan program pengolahan citra yang dibuat untuk kondisi percobaan ini. Hasil studi pengeringan lapisan tipis simplisia menunjukkan bahwa pengeringan temu putih dan temu lawak berlangsung pada laju periode menurun dimana difusi merupakan mekanisme pengontrol pergerakan air dalam bahan. Pada suhu pengeringan 40 o C kadar air akhir temu putih tidak dapat mencapai 10%. Untuk dapat mencapai kadar air tersebut temu putih dan temu lawak harus dikeringkan pada suhu 50 o C dengan RH 20 % dan 30% atau pada suhu 60 o C dan 70 o C. Model Page adalah model yang paling sesuai untuk mewakili karakteristik pengeringan temu putih dan temu lawak dengan nilai ratarata koefisien determinasi (R 2 ) dan standard error (SE) masing-masing sebesar dan untuk temu putih serta dan untuk temu lawak. Konstanta pengeringan temu putih dan temu lawak bervariasi menurut suhu pengeringan pada selang dan menit -1 serta dan menit -1. Penyusutan simplisia temu putih dan temu lawak dipengaruhi oleh kadar air bahan secara linier. Suhu dan RH udara pengeringan cenderung berpengaruh tidak nyata terhadap penyusutan simplisia temu putih dan temu lawak. Rata-rata penyusutan volume irisan temu putih dan temu lawak masing-masing sebesar 89.3% dan 79.9%. Penyusutan

6 mempengaruhi nilai difusivitas efektif temu putih dan temu lawak. Nilai difusivitas efektif temu putih dengan mempertimbangkan penyusutan berada pada kisaran m 2 /s lebih kecil daripada tanpa penyusutan yang berada pada kisaran m 2 /s. Untuk simplisia temu lawak nilainya sekitar m 2 /s dan m 2 /s. Nilai koefisien D 0 (Arhenius factor) dan energi aktivasi (Ea) temu putih masing-masing adalah 3.33x10-7 m2/s dan kj/mol, sedangkan untuk temu lawak nilainya masing-masing adalah 2.77x10-6 m2/s dan kj/mol. Dari studi ini juga ditemukan kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin rendah kadar kurkumin simplisia dan semakin rendah RH pengeringan maka semakin rendah kadar kurkumin simplisia temu lawak. Pada laju udara pengeringan yang lebih rendah terlihat bahwa kadar kurkumin simplisia temu putih cenderung lebih tinggi daripada kecepatan tinggi. Ditemukan adanya gradasi warna temulawak kering baik berdasarkan suhu maupun RH, semakin tinggi suhu dan RH pengeringan maka warna simplisia yang dihasilkan semakin pudar. Juga terdapat indikasi bahwa penjemuran langsung dibawah paparan sinar matahari membuat secara fisik-visual hasil pengeringan simplisia tidak lebih baik dibandingkan dengan pengeringan mekanis. Sistem termodinamika pengeringan dikategorikan sebagai control volume system. Persamaan yang disusun telah dapat digunakan untuk menghitung dan menganalisis energi dan eksergi pengeringan temu putih dan temu lawak. Eksergi kimia merupakan komponen eksergi udara yang dominan dibandingkan eksergi fisiknya, karena itu kelembaban udara pengeringan memegang peran penting dalam sistem termodinamika dari suatu proses yang bersifat psikrometris seperti pengeringan. Berdasarkan analisis yang dilakukan diketahui bahwa kondisi pengeringan mempengaruhi efisiensi eksergi pengeringan, semakin rendah suhu dan RH udara pengering maka efisiensi eksergi pengeringan semakin tinggi dan sebaliknya. Metode analisis eksergi berdasarkan hukum termodinamika kedua telah berhasil menentukan besaran eksergi yang musnah/rusak (exergy destroyed) sehingga efisiensi proses pengeringan dapat ditentukan secara lebih akurat. Efisiensi eksergi rata-rata pengeringan temu putih selama 6 jam pengeringan sebesar 6.20%, 0.93%, 0.27% dan 0.10% masing-masing untuk suhu 40, 50, 60 dan 70 o C pada RH 40% serta 3.40%, 2.24% dan 0.93% masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C. Efisiensi eksergi rata-rata pengeringan temu lawak selama 360 menit pengeringan sebesar 0.92%, 0.26% dan 0.10% masing-masing untuk suhu 50, 60 dan 70 o C pada RH 40% serta 3.36%, 2.17% dan 0.92% masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C. Untuk memaksimumkan mutu hasil pengeringan simplisia serta memenuhi standar kadar air akhir pengeringan dan untuk mencapai nilai efisiensi eksergi pengeringan yang optimum, maka kondisi proses yang optimum untuk pengeringan temu putih adalah pada suhu 50 o C dan RH 20% dengan laju udara pengering m/s. Kondisi proses yang optimum untuk pengeringan temu lawak adalah pada suhu 50 o C dan RH 30%. Kata kunci: temu putih, temu lawak, pengeringan, simplisia, penyusutan, pengolahan citra, mutu, kurkumin, energi, eksergi, efisiensi, optimasi

7 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Penulisan tidak merugikan kepentingan IPB yang wajar 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 OPTIMASI PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMU PUTIH DAN TEMU LAWAK BERDASARKAN ANALISIS EKSERGI LAMHOT PARULIAN MANALU Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

9 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. Dr. Dyah Wulandani, STP. MSi. Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Listyani Wijayanti, MSc. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi.

10 Judul Disertasi : Optimasi Pengeringan Lapisan Tipis Simplisia Temu Putih dan Temu Lawak Berdasarkan Analisis Eksergi Nama : Lamhot Parulian Manalu NIM : F Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, MSc. Ketua Dr. Leopold O. Nelwan, STP. MSi. Anggota Dr. Ir. Agus R. Hoetman, MT. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr. Tanggal Ujian: 17 Juni 2011 Tanggal Lulus:

11 PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas segala berkat dan penyertaannya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini, yang merupakan salah satu syarat dalam penyelesaian studi doktoral penulis di IPB. Penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada Prof. Dr. Armansyah Tambunan sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Agus R. Hoetman, MT. serta Dr. Leopold O. Nelwan, MSi sebagai anggota Komisi Pembimbing atas arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah atas dorongan kepada penulis untuk tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang tertinggi. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Bambang Haryanto dan Dr. Dyah Wulandani atas kesediaan sebagai penguji luar komisi pada saat Ujian Tertutup serta Dr. Ir. Listyani Wijayanti dan Dr. Rokhani Hasbullah pada saat Ujian Terbuka serta atas saran dan masukan bagi perbaikan disertasi ini. Terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Ketua Program Studi (S3) Ilmu Keteknikan Pertanian dan Ketua Jurusan Teknik Mesin dan Biosistem Fateta-IPB beserta seluruh Dosen dan Staf atas segala fasilitas dan bantuan dalam perkuliahan dan penelitian. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada sdr. Darma, Firman, Suharto, Mul dan Ibu Rusmawati yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian dan perkuliahan. Kepada teman-teman satu tim penelitian Sdri. Daragantina STP, Kezhia Chrysanty STP, dan Inge Tulliza MSi, penulis juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tinggi. Terimakasih juga kepada Sdr. Ceddy Caksana SSi dan Prof. Rekario di Bandung yang telah membantu penulis dalam mengkonstruksi alat penelitian lab dryer dengan sangat baik. Kepada Kepala BPPT dan segenap pimpinan di BPPT yang telah memungkinkan penulis melanjutkan studi S3 dengan beasiswa BPPT, Dr. Ir. Listyani Wijayanti (Deputi Kepala BPPT Bid. TAB), Prof. Dr. Wahono Sumaryono, Ir. Henky Henanto MSc, Ir. Priyo Atmaji MEng, Kepala Pusbindiklat BPPT beserta jajarannya, Ir. Suharto Ngudiwaluyo MEng, Ir. Wahyu Purwanto MSc, Dr. Dyan Vidiatmoko, Ir. Yusuf Samad MSc, Ir. Sarmidi APU, Ir. Suryatmi

12 MS, Ir. Wahyu Eko, Sofyan Nasori ST, sdr. Wawan Nurdiawan dan Manindi Tampubolon serta semua rekan-rekan kerja di BPPT yang telah memberikan bantuan moril dan materil. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Dr. Roy A Sparringa, Dr. M. Said Didu dan Ir. Irland Y. Muhammad, MM. Ucapan terimakasih dan simpati disampaikan kepada rekan-rekan satu laboratorium Dr. Soni S. Wirawan, Dr. Rizal Alamsyah, James J. Silip (Malaysia), Yaoi Hidetoshi (Jepang), Ibu Tuti Aris, Amar Maruf, Bayu, Kiman Siregar, Sulastri, Furqon, Rizky Rambe, Tetty, Daniel. Begitu juga kepada semua temanteman satu angkatan program doktoral Pak Suharsono, Dr. Berty Sompie, Alimuddin, Budi Harsono, Yanto Surdiyanto, Deddy W, M. Iqbal dan Sakti Muhammadyah serta rekan-rekan angkatan lainnya. Kepada semua pihak yang namanya belum disebutkan disini, penulis mohon maaf serta mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya. Penulis menyampaikan terimakasih kepada istri dr. Zeba dan anak-anak tercinta: Bella, Natan dan Hana, serta kepada seluruh keluarga besar atas doa, dorongan dan kasih sayang yang diberikan. Akhirnya izinkanlah penulis mempersembahkan disertasi ini seraya berterimakasih kepada kedua almarhum orangtua kami, ayahanda K. Rambe Manalu dan ibunda Martha Sihombing untuk segala cinta kasih dan nilai-nilai kehidupan yang telah diwariskan, yang menginspirasi penulis dalam menggapai gelar akademik tertinggi ini. Akhir kata, kiranya karya tulis ini bermanfaat. Bogor, Juni 2011 Lamhot P. Manalu

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 16 Oktober 1962 sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara dari almarhum ayahanda K. Rambe Manalu dan ibunda Martha Sihombing. Penulis menikah dengan dr. Zeba E. Silitonga dan dikarunai tiga orang anak yaitu Bella Carissa, Keisar Natanael dan Hana Permata. Penulis memulai pendidikan dasar dan menengah di SD, SMP dan SMA Yayasan Pendidikan Nasional Pertamina Plaju-Palembang sejak tahun 1969 hingga Pada tahun 1981 penulis melanjutkan Pendidikan Sarjana (S1) di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada jurusan Keteknikan Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian dan lulus pada tahun Selanjutnya penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Teknologi Agroindustri - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak tahun 1986 dengan jabatan saat ini sebagai Peneliti Madya/IV c. Pada tahun 1997 penulis mendapatkan beasiswa dari BPPT untuk melanjutkan studi S2 di IPB pada program studi Ilmu Keteknikan Pertanian dan lulus pada tahun Selanjutnya pada Agustus 2007 penulis kembali memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi doktoral (S3) di IPB pada program studi Ilmu Keteknikan Pertanian yang juga didanai oleh BPPT. Beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis telah dipublikasikan. Karya ilmiah berjudul The Thin Layer Drying of Temu Putih Herb dipresentasikan dan dipublikasikan dalam Proceeding of 6 th Asia-Pacific Drying Conference (ADC2009) di Bangkok, Thailand pada tanggal 19-21Oktober Karya ilmiah berjudul Analisis Energi dan Eksergi Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih dipublikasikan pada jurnal ilmiah Teknologi Energi Vol. 1 No. 9, Agustus Karya ilmiah berjudul Sistem Pengontrolan Kondisi Udara Pada Alat Pengering Terkendali dipublikasikan pada Majalah Dinamika Penelitian BIPA Vol. 21 No.38 Desember 2010 (No. 168/Akred-LIPI/P2MBI/ 07/2009). Sedangkan karya ilmiah berjudul Drying Characteristics of Zedoary Herb telah dipublikasikan pada Jurnal Enjiniring Pertanian Vol. 8 No. 2 Oktober 2010 (No. 140/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009).

14 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL. Halaman DAFTAR GAMBAR.... xxiii DAFTAR LAMPIRAN. xxvii DAFTAR SIMBOL xxix 1 PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang. 1 Perumusan Masalah... 3 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian.. 4 Kerangka Penelitian... 5 Ruang Lingkup STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA Pendahuluan 9 Tinjauan Pustaka. 10 Metode 18 Hasil dan Pembahasan. 22 Kesimpulan PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA Pendahuluan.. 47 Tinjauan Pustaka 50 Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PENGERINGAN SIMPLISIA.. 81 Pendahuluan 81 Tinjauan Pustaka 82 Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM Kadar Air Keseimbangan Simplisia Mutu Simplisia Efisiensi Eksergi Kondisi Pengeringan Optimum xxi

15 6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 131 LAMPIRAN xx

16 DAFTAR TABEL Halaman 2-1 Model-model persaman matematis pengeringan lapisan tipis Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu putih Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu lawak Kadar air keseimbangan (% bb.) temu putih Kadar air keseimbangan perhitungan dan pengukuran temu putih Evaluasi statistik model pengeringan simplisia temu putih Nilai konstanta model pengeringan simplisia temu putih Konstanta persamaan hubungan k dan suhu pengeringan Nilai k (1/menit) percobaan dan hasil perhitungan Kadar air keseimbangan (% bb.) temu lawak Nilai konstanta c dan n persamaan Henderson untuk temu lawak Evaluasi statistik model pengeringan simplisia temu lawak Nilai konstanta model pengeringan simplisia temu lawak Konstanta persamaan hubungan k dan suhu pengeringan temu lawak Nilai k (1/menit) temu lawak percobaan dan hasil perhitungan Standar mutu beberapa simplisia genus Curcuma Kondisi suhu & RH percobaan pada studi penyusutan temu putih dan temu lawak Penyusutan total temu putih selama pengeringan pada suhu 50, 60 & 70 o C Penyusutan total temu putih selama pengeringan pada RH 20%, 30% dan 40% Nilai a dan b persamaan (3.10) pada berbagai suhu pengeringan Nilai difusivitas efektif temu putih pada berbagai kondisi pengeringan Penyusutan total temu lawak selama pengeringan pada suhu 50, 60 & 70 o C Nilai a dan b persamaan penyusutan temu lawak Nilai difusivitas efektif temu lawak pada berbagai kondisi pengeringan Kadar proksimat simplisia temu putih Kadar kurkumin temu putih Kadar kurkumin temu lawak xxi

17 3-13 Hasil analisis proksimat simplisia temu lawak Eksergi udara pengeringan (kj/kg) Entalpi udara pengeringan (kj/kg) Jumlah energi dan eksergi penguapan pengeringan temu putih Efisiensi energi dan eksergi rata-rata pengeringan temu putih Total energi dan eksergi penguapan pengeringan temu lawak Efisiensi energi dan eksergi rata-rata pengeringan temu lawak Perbandingan beberapa kondisi proses dengan titik optimum. 127 xxii

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1-1 Skema kerangka pemikiran Kurva pengeringan (Hall 1957) Kurva karakteristik laju pengeringan Kurva pengeringan (Kemp et al. 2001) Skema fungsional (kiri) alat pengering laboratorium (kanan) Kurva pengeringan temu putih pada suhu 40, 50 dan 60 o C Kurva pengeringan temu putih pada RH 20%, 40% dan 60% Pengaruh suhu terhadap waktu pengeringan untuk mencapai Kadar air keseimbangan temu putih pada RH 40% & 60% Pengaruh RH terhadap waktu pengeringan untuk mencapai Kadar air keseimbangan temu putih pada suhu 50 & 60 o C Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut waktu pada RH 20%, 40% & 60% Pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut waktu pada Suhu 60, 50 dan 40 o C Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut MR pada RH 20%, 40% & 60% Pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut MR pada Suhu 60, 50 dan 40 o C Pengaruh laju udara pengeringan (v 1 dan v 2 ) terhadap waktu dan laju pengeringan menurut waktu pada Kurva sorpsi isotermis kadar air keseimbangan temu putih Kurva MR percobaan dan perhitungan dari Model Lewis Kurva MR percobaan dan perhitungan dari Model Henderson-Pabis Kurva MR percobaan dan perhitungan dari Model Page Kurva pengaruh suhu pengeringan terhadap konstanta pengeringan Kurva pengeringan temu lawak pada suhu 50 o C (atas kiri), 60 o C (atas kanan) dan 70 o C (bawah) Kurva pengeringan temu lawak pada RH 20% (atas kiri), 30% (atas kanan) dan 40% (bawah) Pengaruh suhu terhadap waktu pengeringan untuk mencapai Kadar air keseimbangan temu lawak Pengaruh RH terhadap waktu pengeringan untuk mencapai Kadar air keseimbangan temu lawak xxiii

19 2-23 Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan temu lawak menurut waktu pada RH 20%, 30% & 40% Pengaruh RH terhadap laju pengeringan temu lawak menurut MR pada Suhu 50, 60 dan 70 o C Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan temu lawak menurut MR pada RH 20%, 30% & 40% Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari Model Lewis Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari Model Henderson-Pabis Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari Model Page Pengaruh suhu pengeringan terhadap konstanta pengeringan Simplisia temu lawak Rasio volume air yang keluar terhadap penyusutan volume sampel wortel Rasio volume air yang keluar terhadap penyusutan volume sampel apel Variasi difusivitas terhadap kadar air (Karathanos et al. 1990) Struktur kimia kurkuminoid C. xanthorrhiza (Masuda et al. 1992) Ilustrasi proses pengolahan citra (Tulliza 2010) Penyusutan area terhadap waktu pengeringan Penyusutan area terhadap kadar air Penyusutan volume terhadap kadar air Penyusutan citra area terhadap waktu pengeringan pada berbagai suhu Penyusutan citra area terhadap waktu pengeringan pada berbagai RH Total penyusutan volume temu putih terhadap waktu pengeringan Total penyusutan volume temu putih terhadap rasio kadar air Kurva model penyusutan temu putih pada berbagai suhu Penyusutan area dan volume temu lawak terhadap waktu pengeringan Penyusutan area dan volume temu lawak terhadap kadar air Penyusutan citra area temu lawak pada berbagai suhu pengeringan Total penyusutan volume temu lawak terhadap waktu pengeringan dan rasio kadar air Kurva model penyusutan temu lawak dengan persamaan linier dan polinomial Gradasi warna simplisia temulawak yang dikeringkan pada suhu 50, 60 & 70 o C xxiv

20 3-20 Gradasi warna simplisia temulawak yang dikeringkan pada RH 20, 30 dan 40% Hasil pengeringan temulawak dengan lab dryer dan penjemuran Skema sistem termodinamika Proses dari keadaan 1 ke keadaan Diagram siklus termodinamika dengan 2 proses Skema sistem termal pindah panas Skema keseimbangan panas, entropi dan eksergi (steady-state) Eksergi udara lembab (kj/kg) (Liley 2002) Skema sistem pengeringan dengan control volume system Skema input-output proses pengeringan (Dincer & Sahin 2004) Kurva eksergi udara pada berbagai suhu Kurva eksergi udara pada berbagai RH Kurva entalpi udara pada berbagai suhu Kurva entalpi udara pada berbagai RH Kurva eksergi fisik dan kimia udara pengeringan pada RH 40% & 60% Kurva eksergi fisik dan kimia udara pengeringan pada RH 70% & 80% Kurva perubahan massa temu putih terhadap waktu Kurva suhu bahan temu putih selama pengeringan Kurva suhu dan RH keluar dari ruang pengering Energi dan eksergi yang masuk ke dalam sistem pengeringan simplisia tem putih Kurva penggunaan energi (energy utilization) untuk penguapan Eksergi penguapan pada suhu 50, 60 dan 70 o C Rasio penggunaan energi (EUR) sebagai fungsi waktu pengeringan Exergy outflow sebagai fungsi dari waktu pengeringan Exergy destruction sebagai fungsi dari waktu pengeringan Kurva efisiensi eksergi pada berbagai suhu dan RH Kurva perubahan massa temu lawak terhadap waktu Kurva suhu bahan temu lawak selama pengeringan Kurva suhu dan RH keluar dari ruang pengering Kurva penggunaan energi (energy utilization) untuk penguapan xxv

21 4-29 Eksergi penguapan pada suhu 50, 60 dan 70 o C Rasio penggunaan energi (EUR) sebagai fungsi waktu pengeringan Exergy outflow sebagai fungsi dari waktu pengeringan Exergy destruction sebagai fungsi dari waktu pengeringan Kurva efisiensi eksergi pada berbagai suhu dan RH Kadar air keseimbangan temu putih pada berbagai kondisi pengeringan Kadar air keseimbangan temu lawak pada berbagai suhu dan RH pengeringan Pengaruh kondisi pengeringan terhadap kadar kurkumin temu lawak Kadar kurkumin temu lawak rata-rata menurut RH dan suhu Pengaruh kondisi pengeringan terhadap kadar kurkumin temu putih Kadar kurkumin temu putih pada menurut RH pada suhu tetap dan laju udara m/s (kiri) dan m/s (kanan) Pengaruh kondisi pengeringan temu putih terhadap efisiensi eksergi Pengaruh kondisi pengeringan temu lawak terhadap efisiensi eksergi Hubungan kondisi pengeringan temu putih dengan beberapa parameter optimasi Hubungan kondisi pengeringan temu lawak dengan beberapa parameter optimasi Kondisi proses yang optimum untuk pengeringan temu putih Kondisi proses yang optimum untuk pengeringan temu lawak dengan tujuan memaksimumkan mutu (kadar kurkumin) Kondisi proses yang optimum untuk pengeringan temu lawak dengan tujuan memaksimumkan efisiensi eksergi Kurva permukaan kadar kurkumin dan efisiensi eksergi Kondisi optimum bila diasumsikan harga persatuan mutu dan energi adalah sama. 127 xxvi

22 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Alat pengering laboratorium (lab dryer) Psikrometri udara pengeringan Menentukan Entalpi dan Psikrometri udara keluar Menentukan panas penguapan dan eksergi penguapan Menentukan energi dan eksergi sistem Menentukan efisiensi energi dan eksergi pengeringan Program V-Basic psikrometri serta eksergi udara dan sampel Regresi non linier Good (Post Harvest) Process Practice Hasil analisis kadar air toluen dan kurkumin simplisia temu putih Hasil analisis proksimat simplisia temu putih Hasil analisis kadar kurkumin simplisia temu lawak Hasil analisis proksimat simplisia temu lawak xxvii

23 DAFTAR SIMBOL A Area, Luas permukaan (m 2 ) a, b, c Konstanta persamaan C p Panas jenis (kj/kg.k) D Difusivitas (m 2 /s) D 0 Arhenius factor (m 2 /s) e Eksergi spesifik (kj/kg) E Energi, eksergi (kj) Ex Eksergi (kj) E Exergy flow rate (kj/s) E a Energi aktivasi (kj/mol) EU Energy Utilization EUR Energy Utilization Ratio h Setengah ketebalan bahan (m) h Entalpi (kj/kg) K Koefisien pengeringan (menit -1 ) k Konstanta persamaan L Dimensi panjang (m) LP Laju pengeringan (kg air/kg bhn kering/s) M Kadar air (desimal, %) MR Rasio kadar air (-) m Laju aliran massa (kg/s) n Konstanta persamaan n Suku ke-n P Tekanan (Pa) Q Heat transfer rate (kj/s) q Heat transfer (kj) R Konstanta gas (kj/kg.k) R 2 Coefficient of Determination RH Relative Humidity (kelembaban nisbi) S Shrinkage (penyusutan) S Entropi (kj/k) s Entropi spesifik (kj/k.kg) SE Standard Error T Suhu (K) t Waktu (s, detik) u Internal energy (kj) V Volume (m 3 ) v Laju udara pengering (m/s) η Efisiensi xxviii

24 ρ Massa jenis (kg/m 3 ) ω humidity ratio (kg air /kg u.k.) µ i Chemical potential (kj/kmol) Subskrip 0 Waktu ke 0 0 Referensi (dead state) 1 kondisi 1 (lihat Gbr. 2) 2 kondisi 2 (lihat Gbr. 2) 3 kondisi 3 (lihat Gbr. 2) 4 kondisi 4 (lihat Gbr. 2) a Air (udara) abs Absolute (mutlak) d Destruction e Equilibrium (keseimbangan) Ef Efficiency (efisiensi) ef Efektif ev Penguapan ex Exergy exp Experiment (percobaan) fg Vaporization g Fase gas gen Generated i Suku ke-i i, in Masuk l Loss N Jumlah data n Jumlah parameter o, out Keluar p Produk pre Predicted (perhitungan) q Heat transfer related ref Reference t Waktu ke-t t+δt Waktu ke-t+δt v vapor/uap air w Water (air) xxix

25 BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Pengeringan adalah proses pengolahan pascapanen hasil pertanian yang paling kritis. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode pengawetan bahan. Tujuan dasar pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan secara termal sampai ke tingkat tertentu, di mana kerusakan akibat mikroba dan reaksi kimia dapat diminimalisasi, sehingga kualitas produk keringnya dapat dipertahankan (Rizvi 2005). Pengeringan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan perpindahan massa dan panas secara simultan serta terutama disebabkan oleh adanya perubahan yang tidak diinginkan atas kualitas produk keringnya (Mujumdar & Menon 1995). Salah satu produk pertanian yang memerlukan proses pengeringan adalah tanaman obat. Proses pengeringan tanaman obat perlu perhatian khusus karena setiap tanaman obat mengandung bahan aktif yang spesifik dimana senyawa ini dapat hilang atau berkurang selama proses pengeringan akibat pemakaian suhu yang relatif tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman obat dengan jumlah produksi sebesar 448 juta ton dengan ekspor sebanyak 4,8 juta ton atau senilai US $ 4,9 juta pada tahun 2006 (Anonim 2009). Akhir-akhir ini permintaan akan tanaman obat dan bahan alami mengalami peningkatan yang cukup signifikan seiring dengan meningkatnya tingkat konsumsi terhadap produkproduk bahan alam, juga karena bukti manfaatnya secara empiris bagi kesehatan. Pada tahun 2006 pasar jamu dan obat alami Indonesia mencapai Rp 5 triliun dan pada tahun 2010 diprediksi meningkat hingga Rp 10 triliun. Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang banyak tumbuh di Indonesia dan digunakan sebagai bahan baku obat tradisional atau jamu. Bagian tanaman yang digunakan adalah umbi akar (rhizome) yang diiris dan dikeringkan menjadi simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun berupa bahan yang dikeringkan (Depkes 2008). Secara empiris khasiat temu putih antara lain antimikroba, antidiare, kontraksi usus, imnostimulan, antioksidan dan juga antitumor, sedangkan temu

26 2 lawak banyak digunakan sebagai obat gangguan pencernaan, mencret, cacingan, radang, ginjal dan sembelit. Selain itu temu lawak banyak dipakai untuk penambah nafsu makan, bahan pangan dan minuman, pewarna dan kosmetika (Syukur 2003; Dalimartha 1999). Khasiat tanaman obat berhubungan erat dengan zat aktif yang terdapat di dalam tanaman obat tersebut, sehingga keberadaan zat aktif tersebut harus dipertahankan. Kadar air panen rimpang temu putih dan temu lawak berkisar 80-90%, angka ini cukup tinggi sehingga komoditas ini mudah rusak bila tidak segera diolah atau dikeringkan. Mengacu pada Farmakope Herbal Indonesia (Depkes 2008) dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional, maka standar kadar air maksimum simplisia adalah 10%. Pada umumnya petani dan pedagang pengumpul melakukan pengeringan dengan cara penjemuran yang rawan kontaminasi. Petani juga mengalami kesulitan dan membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai kadar air standar yang disyaratkan dengan cara ini. Untuk mempercepat pengeringan dan untuk dapat menjamin tercapainya kadar air yang diinginkan, simplisia temu putih dan temu lawak harus dikeringkan dengan cara mekanis yang lebih terjamin kebersihannya. Pengeringan dikenal sebagai suatu proses yang sangat intensif energi (Dincer & Sahin 2004). Tingginya harga energi pada saat ini membuat upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi pada suatu proses semakin dibutuhkan. Umumnya teori yang digunakan untuk menganalisis efisiensi energi adalah hukum termodinamika pertama yang menjelaskan tentang prinsip kekekalan energi. Akan tetapi teori ini mempunyai keterbatasan dalam mengukur penurunan kualitas energi akibat terbentuknya entropi selama berlangsungnya suatu proses (Graveland & Gisolf 1998). Hal ini dikarenakan dalam menentukan efisiensi proses pengeringan terutama lapisan tipis yang prosesnya diasumsikan bersifat adiabatis, nilai efisiensi yang dihitung bukanlah nilai sebenarnya melainkan nilai efisiensi dari alat pengering. Untuk mengetahui apakah energi yang digunakan untuk proses pengeringan sudah digunakan secara optimal dari sisi kualitas serta untuk menghitung efisiensi proses pengeringan itu sendiri digunakan metode analisis berdasarkan hukum

27 3 termodinamika kedua. Kaidah ini menyatakan bahwa selain memiliki kuantitas, energi juga memiliki kualitas. Besaran dari kualitas energi ini disebut eksergi (Ahern 1980). Pada beberapa tahun terakhir ini analisis eksergi telah menjadi metode penting yang komprehensif dan mutakhir dalam studi tentang desain, analisis dan optimasi suatu sistem termal. Walaupun demikian, pemakaian metode eksergi untuk menganalisis proses pengeringan produk pertanian masih belum banyak dilakukan (Dincer & Sahin 2004). Untuk meningkatkan kualitas hasil pengeringan maka perlu dipelajari kondisi proses yang dapat menjamin tercapainya kadar air yang dipersyaratkan. Secara teoritis kondisi tersebut adalah pada suhu udara pengering yang tinggi, kelembaban nisbi rendah dan laju udara yang tinggi pula. Akan tetapi kondisi tersebut dihadapkan pada masalah bagaimana mempertahankan kandungan zat aktif dalam bahan yang peka terhadap suhu tinggi. Selain itu, proses tersebut dituntut agar secara termodinamika tetap efisien karena suhu pengeringan yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan penurunan efisiensi serta biaya energi yang tinggi. Berdasarkan permasalahan tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengkaji kondisi proses yang optimum bagi pengeringan simplisia temu putih dan temu lawak dengan mempelajari pengaruh berbagai kondisi pengeringan terhadap karakteristik, kinetika, mutu dan efisiensi eksergi pengeringan lapisan tipis simplisia temu putih dan temu lawak. Studi tentang perilaku pengeringan tanaman obat dan kajian tentang analisis eksergi telah menjadi topik yang menarik bagi berbagai peneliti. Akan tetapi studi yang komprehensif tentang karakteristik pengeringan rimpang temu putih dan temu lawak dikaitkan dengan kualitas simplisia dan efisiensi eksergi proses pengeringan belum dilakukan. Perumusan Masalah Dari paparan di atas diketahui bahwa pengeringan simplisia merupakan permasalahan yang cukup rumit karena kondisi pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda bahkan berlawanan terhadap parameter kadar air akhir, mutu produk dan efisiensi pengeringan. Agar studi ini terstruktur dan dapat memberikan solusi dengan baik dan sistematis, maka permasalahan di atas dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut:

28 4 1. Bagaimana pengaruh kondisi pengeringan terhadap karakteristik pengeringan simplisia temu putih dan temu lawak? Pada kondisi mana saja kedua komoditas dapat mencapai kadar air akhir yang sesuai dengan persyaratan? 2. Bagaimana pengaruh kondisi pengeringan terhadap mutu atau kandungan zat aktif dan tampilan fisik simplisia temu putih dan temu lawak? 3. Apakah metode analisis eksergi dapat menentukan efisiensi proses pengeringan dan besaran kualitas energi yang hilang selama pengeringan? Bagaimana pengaruh kondisi pengeringan terhadap efisiensi pengeringan? 4. Pada kondisi proses manakah dapat diperoleh hasil pengeringan yang terbaik dimana standar kadar air akhir dapat dicapai, kandungan zat aktif bahan dapat dipertahankan tetapi proses pengeringannya tetap efisien? Tujuan Penelitian 1. Mengkaji karakteristik pengeringan lapisan tipis temu putih dan temu lawak. 2. Mengkaji pengaruh kondisi pengeringan terhadap penyusutan dan mutu temu putih dan temu lawak. 3. Melakukan analisis energi dan eksergi pengeringan lapisan tipis simplisia temu putih dan temu lawak. 4. Menentukan kondisi proses yang optimum untuk pengeringan temuputih dan temu lawak. Manfaat Penelitian Pengembangan suatu tanaman obat hingga menjadi obat atau makanan kesehatan yang diakui dan memenuhi syarat memerlukan dukungan riset dan teknologi yang konsisten dan kontinu. Prosesnya sudah dimulai sejak penyiapan bahan baku yaitu dari budidaya tanaman, panen, pascapanen hingga proses pengolahan lebih lanjut. Penelitian ini memberi kontribusi pada mata rantai pascapanen melalui perbaikan teknologi proses secara ilmiah dan modern. Penelitian ini menjadi dasar bagi pengembangan dan aplikasi pengeringan dalam skala yang lebih besar berupa informasi tentang kondisi proses pengeringan yang optimum untuk memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan. Hasil penelitian ini penting bagi pengembangan jamu dan obat herbal di Indonesia, terutama dalam hal saintifikasi dan standardisasi produk.

29 5 Penelitian ini juga memberi manfaat bagi masyarakat akademik dan peneliti dalam hal penerapan metode dan kajian ilmiah yang lebih mutakhir (state of the art) untuk menganalisis proses pengolahan produk-produk pertanian yang melibatkan sistem termal seperti pengeringan. Kerangka Pemikiran Pengeringan simplisia bukan hanya persoalan mencapai kadar air standar tetapi juga menyangkut mutu pengeringan dan pemanfaatan energi atau konsumsi eksergi. Untuk dapat menentukan kondisi proses pengeringan yang optimum maka hubungan parameter tersebut sebagai fungsi dari kondisi pengeringan harus diidentifikasi terlebih dahulu. Kerangka pemikiran yang dibangun merupakan sintesa dari hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori dalam literatur, yang selanjutnya dianalisis secara sistematis sehingga menghasilkan informasi tentang hubungan kondisi proses dengan respon parameter yang diteliti. Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini ditampilkan dalam bentuk diagram pada Gambar 1-1. Secara ringkas kerangka pemikiran dimulai dari pengolahan tanaman obat temu putih dan temu lawak menjadi simplisia yang memerlukan proses pengeringan. Simplisia yang dihasilkan harus memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan. Proses pengeringan membutuhkan energi yang besar untuk menguapkan kandungan air simplisia yang relatif banyak sehingga prosesnya dituntut untuk efisien. Untuk mengkaji efisiensi proses pengeringan digunakan metode analisis eksergi karena hukum termodinamika pertama tentang keseimbangan energi tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai tentang efisiensi proses. Ruang Lingkup Penelitian Agar studi ini dapat fokus pada tujuan, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada aspek-aspek berikut: 1. Studi karakteristik pengeringan temu putih dan temu lawak. Studi ini membahas pengaruh kondisi pengeringan (suhu, kelembaban relatif dan laju udara pengeringan) terhadap karakteristik pengeringan, laju pengeringan dan kadar air final yang dapat dicapai pada suatu kondisi tertentu. Pada bagian ini juga akan dikaji model matematis pengeringan baik teoritis

30 6 maupun empiris untuk merepresentasikan proses pengeringan simplisia berdasarkan data percobaan, serta mengkaji pengaruh kondisi pengeringan terhadap konstanta pengeringan lapisan tipis temu putih dan temu lawak. Gambar 1.1. Skema kerangka pemikiran 2. Studi pengaruh pengeringan terhadap penyusutan dan mutu temu putih dan temu lawak. Studi ini membahas pengaruh kondisi pengeringan terhadap mutu simplisia temu putih dan temu lawak yang ditinjau dari kadar zat aktif dan tampilan fisik produk keringnya. Juga dipelajari pengaruh kondisi pengeringan baik internal maupun eksternal terhadap penyusutan simplisia temu putih dan temu lawak selama proses pengeringan konvektif dengan menggunakan bantuan pengolahan citra. Selanjutnya akan dikaji model penyusutan serta pengaruh penyusutan yang terjadi terhadap difusivitas efektif simplisia. 3. Analisis energi dan eksergi pengeringan temu putih dan temu lawak. Bagian ini akan mengkaji model termodinamika pengeringan lapisan tipis serta melakukan analisis energi dan eksergi untuk menentukan efisiensi eksergi proses pengeringan lapisan tipis simplisia temu putih dan temu lawak pada berbagai kondisi pengeringan. Pada bab ini juga dilakukan analisis eksergi udara pengeringan sebagai media utama perpindahan massa dan energi pada

31 7 pengeringan konvektif dengan mengacu kepada kondisi lingkungan sebagai dead state. 4. Analisis kondisi proses pengeringan yang optimum. Analisis ini dilakukan untuk menentukan kondisi pengeringan yang optimum dari berbagai kondisi percobaan yang telah dilakukan. Kondisi optimum didefinisikan sebagai kondisi dimana mutu hasil pengeringan simplisia yang diperoleh berada pada level terbaik atau tertinggi, kadar air akhir pengeringan tidak lebih 10% dan efisiensi eksergi proses pengeringan mencapai nilai optimum.

32 BAB 2 STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA Pendahuluan Pengeringan merupakan proses pengeluaran air dari dalam bahan secara termal untuk menghasilkan produk kering. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode pengawetan produk bahan pertanian. Proses ini dipengaruhi oleh kondisi eksternal yaitu suhu, kelembaban, kecepatan dan tekanan udara pengering serta kondisi internal seperti kadar air, bentuk/geometri, luas permukaan dan keadaan fisik bahan. Setiap kondisi yang berpengaruh di atas dapat menjadi faktor pembatas laju pengeringan (Brooker et al. 1981). Pengeringan merupakan metode pengawetan produk yang cukup kompleks terutama disebabkan oleh adanya perubahan yang tidak diinginkan atas kualitas produk keringnya (Madamba et al. 1996; Mujumdar & Menon 1995). Tujuan dasar dalam pengeringan produk pertanian adalah pengurangan air dalam bahan sampai ke tingkat tertentu, di mana mikroba pembusuk dan kerusakan akibat reaksi kimia dapat diminimalisasi (Rizvi 2005), sehingga kualitas produk keringnya dapat dipertahankan. Salah satu produk pertanian yang memerlukan proses pengeringan adalah tanaman obat temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Rosc.) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang termasuk ke dalam suku Zingiberaceae. Bagian tanaman ini yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional atau lebih dikenal dengan jamu adalah umbi akar (rhizome) berupa irisan yang dikeringkan, disebut simplisia. Kadar air rimpang temu putih dan temu lawak pada saat dipanen berkisar 80-90%, angka ini cukup tinggi sehingga komoditas ini mudah rusak bila tidak segera diolah atau dikeringkan. Menurut Farmakope Herbal Indonesia (Depkes 2008) dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional, standar kadar air maksimum simplisia adalah 10%. Pada umumnya petani dan pedagang pengumpul melakukan pengeringan dengan cara penjemuran yang rawan kontaminasi. Selain itu tingkat suhu dan kelembaban penjemuran tidak cukup memadai sehingga sulit untuk mencapai standar kadar air yang disyaratkan. Untuk

33 10 meningkatkan kualitas hasil pengeringan maka cara pengeringan dengan penjemuran alami harus diganti dengan teknik pengeringan yang lebih modern. Untuk itu informasi tentang karakteristik pengeringan dan sifat-sifat termofisik setiap produk secara spesifik termasuk temu putih dan temu lawak harus diketahui, hal ini diperlukan dalam membuat desain rancangan proses dan peralatan pengeringannya. Studi tentang perilaku pengeringan tanaman obat dan herbal telah menjadi topik yang menarik bagi berbagai peneliti, antara lain jahe (Balladin et al. 1996), paprika hijau dan bawang (Kiranoudis et al. 1992), bawang (Shaarma et al. 2005), wortel (Doymaz 2004), teh hitam (Panchariya et al. 2002; Temple & Boxtel 1999), daun ketumbar (Ahmed et al. 2001), daun mint (Park et al. 2002), dan rosehip (Erenturk et al. 2004). Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh kondisi suhu, kelembaban relatif dan laju udara pengeringan terhadap karakteristik pengeringan, menentukan model matematis pengeringan serta mengkaji pengaruh kondisi pengeringan terhadap konstanta pengeringan lapisan tipis temu putih dan temu lawak. Tinjauan Pustaka Teori Pengeringan Pengeringan adalah proses penguapan air dari bahan yang dikeringkan dengan memberikan panas atau energi. Panas yang disuplai dapat melalui cara konveksi, konduksi dan radiasi. Lebih dari 85% pengering industri merupakan tipe konveksi dengan medium udara panas atau gas buang. Panas diberikan pada lapisan batas bahan yang dikeringkan dan selanjutnya terdifusi kedalam bahan secara konduktif. Air dalam bahan akan bergerak ke lapisan batas dan kemudian menguap dan dibawa oleh udara pengeringan (Mujumdar & Menon 1995). Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Laju penguapan air bebas sebanding dengan perbedaan tekanan uap pada permukaan air terhadap tekanan uap pengering (Henderson & Perry 1976). Bila konsentrasi air permukaan cukup besar, maka akan terjadi laju penguapan yang konstan.

34 11 Air bebas adalah bagian air yang terdapat pada permukaan bahan, dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya serta dijadikan sebagai media reaksi-reaksi kimia. Air bebas dapat dengan mudah diuapkan pada proses pengeringan. Untuk menguapkan air bebas diperlukan energi yang lebih kecil daripada menguapkan air terikat. Air terikat dibagi menjadi dua, yaitu air yang terikat secara fisik dan air yang terikat secara kimiawi. Air yang terikat secara fisik merupakan bagian air yang terdapat dalam jaringan matriks bahan karena adanya ikatan-ikatan fisik. Apabila kandungan ini diuapkan maka pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan (browning), hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi. Bila air permukaan telah habis, maka akan terjadi migrasi air dan uap dari bagian dalam ke permukaan secara difusi (Hall 1957; Henderson & Perry 1976). Difusi air atau uap air dalam bahan dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme berikut (Jangam & Mujumdar 2010): Difusi cair (liquid diffusion), jika suhu bahan berada di bawah suhu titik didih (boiling point) cairan Difusi uap air (vapor diffusion), jika air menguap di dalam bahan Difusi Knudsen, jika pengeringan terjadi pada suhu dan tekanan yang sangat rendah seperti pada proses pengeringan beku Difusi permukaan (surface diffusion), mungkin terjadi walaupun belum terbukti Perbedaan tekanan hidrostatis (hydrostatic pressure differences), terjadi ketika laju penguapan internal lebih besar daripada laju transfer uap air dari bahan ke lingkungan Kombinasi dari mekanisme di atas. Struktur fisik bahan yang dikeringkan mengalami perubahan sepanjang waktu pengeringan sehingga mekanisme penguapan juga dapat berubah. Pengeringan merupakan operasi yang kompleks yang melibatkan fenomena transfer panas dan massa secara simultan. Proses ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kimiawi bahan. Perubahan secara fisik meliputi penyusutan, puffing, kristalisasi dan transisi gelas, sedangkan secara kimia menyebabkan perubahan warna, tekstur, bau dan sifat-sifat bahan lainnya.

35 12 Pengeringan merupakan unit operasi dengan tingkat konsumsi energi tinggi dan bersaing dengan proses destilasi sebagai the most energy-intensive unit operation sehubungan dengan tingginya panas laten penguapan air dan ketidakefisienan (inherent inefficiency) dari penggunaan udara panas sebagai media pengeringan pada umumnya (Jangam & Mujumdar 2010). Pada proses pengeringan terdapat dua jenis laju pengeringan, yaitu laju pengeringan konstan (constant rate) dan laju pengeringan menurun (falling rate). Grafik laju pengeringan ini dapat dilihat pada Gambar 2-1. Menurut Brooker et al. (1981) laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan produk dengan kadar air lebih besar dari 70% bb. dan merupakan fungsi dari suhu, kelembaban udara, dan kecepatan udara pengering. Umumnya laju pengeringan konstan merupakan periode yang singkat sehingga dapat diabaikan dalam proses pengeringan (Henderson & Perry 1976). A B C M D E Gambar 2-1. Kurva pengeringan (Hall 1957) t Laju pengeringan menurun terjadi setelah akhir laju pengeringan konstan, dimana kadar air bahan pada perubahan laju pengeringan ini disebut kadar air kritis (critical moisture content) (Hall 1957; Henderson & Perry 1976). Laju pengeringan menurun sering dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap laju pengeringan menurun pertama dan tahap laju pengeringan menurun kedua. Tahap

36 13 laju pengeringan menurun pertama terjadi pada saat berkurangnya permukaan bahan yang basah karena kecepatan pergerakan air dari dalam lebih kecil dibandingkan kecepatan penguapan di permukaan (Heldman & Singh 1981). Sedangkan laju pengeringan menurun kedua terjadi pada saat bagian dalam bahan menguap dan uap air berdifusi ke permukaan. Gambar laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun dapat dilihat pada Gambar 2-2, dimana: A-B : periode pemanasan B-C : laju pengeringan konstan C : kadar air kritis C-D : periode penurunan laju pengeringan pertama D-E : periode penurunan laju pengeringan kedua dm/dt Laju pengeringan menurun Laju pengeringan tetap C B A LP D Me E M Gambar 2-2. Kurva karakteristik laju pengeringan (Hall 1957) Kadar air kritis adalah kadar air terendah dimana laju air bebas dari dalam bahan ke permukaan tidak terjadi lagi. Pada periode laju pengeringan menurun terjadi penurunan tekanan uap dari permukaan produk di bawah tekanan uap jenuh. Karena uap air secara terus menerus meninggalkan bahan, maka tekanan uap dalam bahan semakin kecil, yang berarti perbedaan tekanan uap antara bahan dengan udara disekitarnya semakin kecil. Kondisi tersebut akan menghasilkan penurunan pada laju pengeringan produk, sehingga disebut dengan laju pengeringan menurun.

37 14 Besarnya laju pengeringan berbeda-beda pada setiap bahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengeringan tersebut adalah: 1. Bentuk bahan, ukuran, volume dan luas permukaan. 2. Sifat termofisik bahan, seperti: panas laten, panas jenis spesifik, konduktifitas termal dan emisivitas termal. 3. Komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal 4. Keadaan diluar bahan, seperti suhu, kelembaban udara Pada Gambar 2-3 terlihat beberapa tipe kurva pengeringan yang umum digunakan dalam menggambarkan proses pengeringan (Kemp et al. 2001). Gambar 2-3. Kurva Pengeringan (Kemp et al. 2001) Kadar Air Keseimbangan Kadar air keseimbangan didefinisikan sebagai nilai kandungan air bahan pada saat tekanan uap air di permukaan bahan seimbang dengan tekanan uap air lingkungannya (Hall 1957). Konsep kadar air kesimbangan ini penting dalam mempelajari proses pengeringan karena akan menentukan kadar air minimum yang dapat dicapai pada kondisi pengeringan tertentu (Brooker et al. 1981). Jika tekanan uap air di permukaan bahan lebih besar dari udara sekitar akan terjadi pelepasan air dari bahan ke udara (proses desorspsi), sedangkan pada keadaan sebaliknya terjadi penyerapan air oleh bahan (proses adsorpsi). Brooker

38 et al. (1981) menyebutkan bahwa dalam kondisi seimbang laju desorpsi sama dengan adsorpsi. Kondisi keseimbangan ini spesifik untuk setiap jenis bahan pada kelembaban nisbi dan suhu tertentu. Henderson menggambarkan hubungan antara kadar air keseimbangan dengan kelembaban nisbi dan suhu adalah sebagai berikut (Brooker et al. 1981): 1 - RH = exp (- c T Me n ) (2.1) Kurva persamaan di atas ditampilkan dalam hubungan kadar air keseimbangan terhadap kelembaban nisbi pada suhu tertentu. Persamaan Henderson banyak dipakai termasuk dalam penelitian ini karena bentuknya sederhana walupun demikian persamaan tersebut cukup representatif. Model matematika pengeringan lapisan tipis Henderson & Perry (1976) menyatakan bahwa pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan dimana semua bahan yang terdapat dalam lapisan menerima secara langsung aliran udara dengan suhu dan kelembaban relatif yang konstan, dimana kadar air dan suhu bahan seragam. Pengeringan rimpang temu putih menggunakan metode lapisan tipis karena semua permukaan bahan menerima langsung panas yang berasal dari udara pengering. Untuk menduga perubahan kadar air bahan selama pengeringan lapisan tipis, dikembangkan model matematika baik secara teoritis, semi teoritis dan empiris. Luikov (1966) dalam Brooker et al. (1981) telah mengembangkan model matematik dalam bentuk persamaan diferensial untuk menggambarkan proses pengeringan dari produk hasil pertanian sebagai berikut: δm δt = 2 K 1.1 M + 2 K 1.2 T + 2 K 1.3 P δt δt = 2 K 2.1 M + 2 K 2.2 T + 2 K 2.3 P δp δt = 2 K 3.1 M + 2 K 3.2 T + 2 K 3.3 P (2.2) Mekanisme perpindahan massa dalam bahan pertanian adalah kompleks. Pengeringan bahan-bahan biologik pada umumnya mengikuti periode laju pengeringan menurun. Pada periode ini perpindahan air atau uap air dikendalikan secara difusi. Dengan menganggap bahwa resistensi perpindahan air tersebar 15

39 secara merata didalam bahan yang homogen, analogi hukum Newton untuk pendinginan pada persamaan (2.3) dipakai untuk analisis pengeringan. dm dt = k M M e (2.3) Dalam persamaan ini diasumsikan bahwa sampel cukup tipis dan kecepatan udara tinggi (minimum 0.3 m/s), suhu dan kelembaban udara yang melalui bahan dijaga tetap konstan. Pengeringan lapisan tipis didasarkan pada pengeringan bahan yang sepenuhnya terbuka terhadap hembusan udara yang menyebabkan semua bahan dalam lapisan tersebut mengalami pengeringan secara seragam (ASABE 2006). Persamaan (2.3) dapat diintegralkan menjadi (Palipane & Driscoll 1994; Pahlavanzadeh et al. 2001; Doymaz & Pala 2003): MR = M M e M 0 M e = a exp k t (2.4) Konstanta pengeringan merupakan karakteristik bahan dalam mempertahankan air yang terkandung didalamnya terhadap pengaruh udara panas. Konstanta pengeringan dinyatakan sebagai persatuan waktu (1/menit atau 1/jam). Makin tinggi nilai konstanta pengeringan makin cepat suatu bahan membebaskan airnya. Konstanta pengeringan (k) dalam sistem pengeringan lapis tipis tergantung pada kondisi bahan (kadar air, suhu dan geometri bahan) dan kondisi pengeringan (suhu, kelembaban dan laju aliran udara pengering). Model pengeringan lapisan tipis membedakan perilaku pengeringan bahanbahan biologik dalam tiga kategori, yaitu teoritis, semi-teoritis dan empiris. Model semi-teoritis pada umumnya diperoleh dari penyederhanaan deret umum dari solusi hukum Fick kedua atau modifikasi dari penyederhanaan model dan berlaku (valid) pada selang suhu, kelembaban nisbi dan kecepatan udara dimana model dibangun (Ozdemir & Derves 1999). Diantara model-model pengeringan lapisan tipis (Tabel 2-1), model Lewis, Henderson-Pabis, two-term dan model Page adalah yang paling sering digunakan (Akpinar et al. 2003; Madamba et al. 1996). Model-model semi teoritis dan empiris ini pada umumnya dapat menjelaskan proses pengeringan lapisan tipis secara memuaskan (Sarsavadia et al. 1999; Rizvi 2005). 16

40 17 Tabel 2-1. Model-model persaman matematis pengeringan lapisan tipis (Ertekin & Yaldiz 2004; Ceylan et al. 2007) No Model Persamaan 1 Lewis MR = exp( k t) 2 Henderson-Pabis MR = a exp( k t) 3 Page MR = exp( kt n ) 4 Modified Page MR = exp( k t ) n 5 Logarithmic MR = a exp( k t) + c 6 Two-term MR = a exp( k 1 t) + b exp(- k 2 t) 7 Wang and Singh MR = 1 + a t + b t 2 Pengeringan Simplisia Simplisia merupakan produk pertanian yang setelah melalui proses panen dan pasca panen menjadi produk sediaan kefarmasian untuk dipakai atau diproses lebih lanjut. Simplisia juga dibuat untuk pemenuhan stok dalam proses produksi. Proses pembuatan simplisia mempengaruhi mutu simplisia yang mencakup komposisi zat atau bahan aktif, kadar air akhir, kontaminasi dan keawetan. Secara teknis kegiatan pasca panen diawali dengan proses pengangkutan hasil panen, sortasi, pengupasan, pencucian, perajangan, pengeringan, pengepakan, penyimpanan. Pasca panen sebagai mata rantai proses untuk memperoleh jaminan mutu bagi simplisia, secara umum sangat dipengaruhi oleh (1) kandungan air bahan, (2) suhu (pemanasan) selama proses pengeringan, (3) sinar ultra violet dan (4) ph pada saat enzim di dalam jaringan bahan masih dalam kondisi aktif (Pantastico et al. 1975). Ketika tanaman dipanen, aktivitas metabolisme yang terjadi di dalam tanaman berhenti, tetapi komponen-komponen kimia seperti enzim (hidrolase, oksidase, polymerase) yang tertinggal pada jaringan bahan yang dipanen belum berhenti. Enzim memiliki sifat tidak tahan terhadap pemanasan. Aktifitas enzim dapat dihentikan dengan melakukan proses blansir (blanching) terlebih dahulu sebelum pengeringan (Ertekin & Yaldiz 2004). Kerusakan fisik dapat terjadi karena aktivitas air yang kurang terkontrol sehingga menimbulkan cemaran, khususnya mikroba. Proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari atau oven merupakan alternatif lain untuk menghentikan aktivitas enzim dan mencegah timbulnya cemaran mikroba. Tetapi beberapa bahan mudah rusak jika dikeringkan

41 18 langsung dibawah paparan sinar matahari yang mengandung sinar ultra violet, misalnya bahan yang mengandung minyak atsiri, pro-vitamin A dan zat antioksidan. Demikian juga dengan suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kandungan zat aktif dalam bahan berkurang bahkan hilang. Pengaturan suhu selama proses pengeringan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam menghasilkan simplisia yang baik, secara fisik maupun kimia. Untuk memperoleh kualitas optimal, Farmakope Herbal Indonesia menyatakan pengeringan sebaiknya dilakukan pada suhu tidak lebih dari 60 o C (Depkes 2008). Studi tentang perilaku pengeringan tanaman obat telah menjadi topik yang menarik bagi berbagai peneliti, antara lain jahe (Balladin et al. 1996), paprika hijau dan bawang (Kiranoudis et al. 1992), bawang (Shaarma et al. 2005), wortel (Doymaz 2004), teh hitam (Panchariya et al. 2002; Temple & Boxtel 1999), daun ketumbar (Ahmed 2001), daun mint (Park et al. 2002), dan rosehip (Erenturk et al. 2004). Izadifar & Baik (2007) melakukan studi tentang pengeringan akar tanaman obat Podophyllum peltatum. Studi yang komprehensif tentang karakteristik pengeringan lapisan tipis rimpang tanaman obat temu putih dan temu lawak belum dilakukan. METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB Bogor pada bulan Maret 2009 hingga Juni Bahan dan Alat Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rimpang temu putih dan temu lawak yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balittro Bogor. Alat-alat yang digunakan antara lain: pengering laboratorium terkendali-terakuisisi, timbangan digital model AQT 200 (kapasitas 200 gram dan ketelitian 0.01 gram), oven Ikeda Scientific SS204D, desikator, anemometer Kanomax A541 dan seperangkat pengolah data.

42 19 Pengering Laboratorium Alat pengering laboratorium didesain dan dibuat memenuhi standar untuk percobaan lapisan pengeringan tipis dimana suhu dan kelembaban nisbi (RH) dapat dijaga konstan (Lampiran 1). Pengontrolan kondisi pengeringan dilakukan dengan kontrol PID dengan akurasi suhu ± 1 o C dan RH ± 2% sesuai dengan standar (ASABE 2006). Kondisi pengeringan yang dapat dilakukan berada pada selang suhu o C dan RH 20-90%. Sensor suhu dan RH menggunakan SHT15 keluaran Sensirion. Secara keseluruhan alat pengering dikontrol oleh mikroprosesor AVR Atmel. Alat ini dilengkapi juga dengan sistim humidifier 2000 W, sistim pemanas 2000 W, kipas elektrik dan dehumidifier. Kecepatan udara pengering yang melalui ruang pengering (drying chamber) yang berdimensi 35 cm 35 cm 35 cm dikontrol secara manual dan diukur dengan menggunakan anemometer digital Kanomax dengan akurasi ± 0.1 m/s. Skema alat pengering terlihat pada Gambar Gambar 2-4. Skema fungsional (kiri) alat pengering laboratorium (kanan) Prosedur Percobaan Bahan berupa rimpang temu putih dan temu lawak dibersihkan, dicuci dan diiris melintang dengan menggunakan pisau. Sebelum dikeringkan, irisan temu putih dan temu lawak direndam dahulu dalam air dengan suhu 95 o C (diblansir) selama 5 menit (Ertekin & Yaldiz 2004). Sampel temu putih kemudian diletakkan

43 pada wadah sedemikian rupa dalam bentuk lapisan tipis. Tebal irisan sampel sekitar 3-4 mm dan berat sampel setiap pengeringan berkisar 150 gram. Pada setiap percobaan, alat pengering dihidupkan sekitar setengah sampai satu jam sebelum percobaan dimulai untuk menstabilkan ruangan pengering sesuai dengan kondisi percobaan yang diinginkan. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu putih yang dilakukan adalah pada suhu 40, 50, 60 dan 70 o C dengan RH 20%, 40%, 60%, dan 80% serta laju aliran udara pengering v 1 ( m/s) dan v 2 ( m/s) (Tabel 2.2) sedangkan untuk pengeringan temu lawak dilakukan pada suhu 50, 60 dan 70 o C serta RH 20%, 30% dan 40% (Tabel 2.3). Tabel 2-2. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu putih Suhu RH 20% 40% 60% 80% * 40 o C 50 o C 60 o C 70 o C Laju alira udara v 1 ( m/s) - v 2 ( m/s) * ) hanya v 1 Tabel 2-3. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu lawak Suhu RH 20% 30% 40% 50 o C 60 o C 70 o C Laju aliran udara m/s Berat dan suhu bahan serta suhu dan kelembaban udara pengering dimonitor secara kontinu dan direkam datanya setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan berat sampel diukur langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan GF-3000 A&D dengan kapasitas g dan akurasi 0.01 g. Percobaan dihentikan setelah berat sampel konstan. Kadar air akhir percobaan ditentukan dengan mengeringkan sampel selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 o C dengan memakai oven (Kashaninejad et al. 2003). 20

44 21 Model Matematika berikut: Besarnya laju pengeringan selama percobaan dihitung dengan persamaan Laju pengeringan = M t+dt M t dt (2.5) dimana M t dan M t+dt masing-masing adalah kadar air pada saat t dan kadar air pada saat t + dt (kg uap air/kg bahan kering), t adalah waktu pengeringan (menit) (Erenturk et al., 2004). Hubungan antara konstanta dari model matematik terbaik dengan variabel pengeringan yaitu suhu dan kelembaban juga akan ditentukan. Beberapa model akan dipakai untuk menjelaskan kesesuaian (fitted) model terhadap data pengeringan yang didapatkan, yaitu model Lewis, Henderson-Pabis dan Page (lihat Tabel 2.1). Untuk menentukan model persamaan terbaik dipakai kriteria coefficient of determination (COD atau R 2 ) (Lee et al. 2004) sedangkan untuk menghitung keragaman dalam kurva pengeringan digunakan standard error (SE) (Menges & Ertekin 2006). Nilai R 2 menunjukkan kemampuan model (the ability of the model) dengan nilai tertingginya adalah 1. Nilai SE menunjukkan deviasi antara hasil hitung terhadap data pengukuran, nilai yang diinginkan adalah mendekati nol. Kedua kriteria tersebut digunakan untuk menentukan ketepatan model (the goodness of the fit), semakin tinggi nilai R 2 dan semakin kecil nilai standard error (SE) maka model semakin tepat. Persamaan kriteria statistik tersebut adalah sebagai berikut: SE = N i=1 MR exp,i MR pre,i 2 N n (2.6) R 2 = 1 N i=1 N i=1 MR exp,i MR pre,i 2 MR exp,i MR exp 2 (2.7) dimana MR exp,i adalah rasio kadar air percobaan ke-i, MR pre,i adalah rasio kadar air hitung ke-i, N adalah jumlah pengamatan, n adalah jumlah konstanta dalam model pengeringan dan MR exp adalah nilai rata-rata dari rasio kadar air percobaan. Hubungan konstanta dan koefisien dari model yang terbaik dengan parameter

45 22 pengeringan, dalam hal ini suhu, ditentukan dengan menggunakan teknik regresi (Menges & Ertekin 2006; Midili & Kucuk 2003a). Model pengeringan yang dipilih adalah model dengan nilai R 2 tertinggi serta SE terkecil, persamaan tersebut merupakan model terbaik dalam mewakili data percobaan pengeringan lapisan tipis temu putih dan temu lawak. Penentuan Konstanta Pengeringan Konstanta pengeringan pada persamaan (2.4) ditentukan dengan metode regresi non-linier berdasarkan data percobaan pengeringan dengan bantuan program CurveExpert versi Program ini menggunakan metode Levenberg- Marquardt (LM) untuk pemecahan regresi non-linear. Metode LM merupakan kombinasi metode steepest-descent dengan metode ekspansi deret Taylor. Penjelasan tentang metode regresi non linier ini terdapat pada Lampiran 8. Kadar air keseimbangan (M e ) temu putih ditentukan dari kadar air akhir pengeringan (Kashaninejad et al. 2007). Nilai ini digunakan untuk menghitung rasio kadar air (MR) berdasarkan persamaan berikut: MR = M M e M 0 M e (2.8) HASIL DAN PEMBAHASAN Kinetika Pengeringan Temu Putih Plot data pengeringan lapisan tipis temu putih terlihat pada Gambar 2-5 yang menunjukkan pengaruh kelembaban terhadap kadar air pada suhu tetap, sedangkan Gambar 2-6 menunjukkan pengaruh suhu pengeringan pada RH tetap. Gambar 2-7 dan 2-8 memperlihatkan waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan pada berbagai suhu dan RH. Baik suhu dan RH berpengaruh terhadap waktu pengeringan, semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH, maka waktu untuk mencapai keseimbangan semakin cepat. Dari kurva pengeringan juga terlihat bahwa proses pengeringan berjalan cepat pada saat awal pengeringan yang ditandai dengan menurunnya kurva secara tajam dan kemudian semakin melambat di akhir pengeringan.

46 23 Gambar 2-9 menunjukkan pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut waktu pada RH tetap, sedangkan Gambar 2-10 menunjukkan pengaruh RH pengeringan terhadap laju pengeringan menurut waktu pada suhu tetap. Kurva laju pengeringan menurut waktu memperlihatkan bahwa pada saat awal proses pengeringan, laju pengeringan tinggi dan semakin melambat pada akhir pengeringan. Hal ini identik dengan umumnya kurva pengeringan yaitu akibat masih tingginya kadar air bahan pada saat awal pengeringan. Moisture Ratio C, 80% 40 C, 60% 40 C, 40% MR (Moisture Ratio) C, 60% 50 C, 40% 50 C, 20% Waktu (menit) Waktu (menit) MR (Moisture Ratio) C, 60% 60 C, 40% 60 C, 20% Waktu (menit) Gambar 2-5. Kurva pengeringan temu putih pada suhu 40 o C (atas kiri), 50 o C (atas kanan) dan 60 o C (bawah)

47 24 MR (Moisture Ratio) Time (min) C, 20% 50 C, 20% MR (Moisture Ratio) C, 40% 50 C, 40% 40 C, 40% Waktu (menit) Waktu (menit) MR (Moisture Ratio) C, 60% 50 C, 60% 40 C, 60% Waktu (menit) Gambar 2-6. Kurva pengeringan temu putih pada RH 20% (atas kiri), 40% (atas kanan) dan 60% (bawah) C 50 C 60 C % Relative humidity 60% Gambar 2-7. Pengaruh suhu terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar air keseimbangan temu putih pada RH 40% & 60%

48 Time (min) % 40% 60% C Temperature 60 C Gambar Pengaruh RH terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar air keseimbangan temu putih pada suhu 50 & 60 o C Laju pengeringan (g/mnt) C, 20% 50 C, 20% Waktu (menit) Laju pengeringan (g/mnt) C, 40% 50 C, 40% 40 C, 40% Waktu (menit) Laju pengeringan (g/mnt) C, 60% 50 C, 60% 40 C, 60% Waktu (menit) Gambar 2-9. Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut waktu pada RH 20% (atas kiri), 40% (atas kanan) dan 60% (bawah)

49 26 Laju pengeringan (g/mnt) Waktu (menit) Laju pengeringan (g/mnt) C, 60% 60 C, 40% 60 C, 20% Laju pengeringan (g/min) C, 80% 40 C, 60% 40 C, 40% Waktu (menit) Waktu (menit) 50 C, 60% 50 C, 40% 50 C, 20% Gambar Pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut waktu pada suhu 60 o C (atas kiri), 50 o C (atas kanan) dan 40 o C (bawah) Gambar 2-11 adalah grafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada RH tetap, sedangkan Gambar 2-12 pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada suhu tetap. Sebagaimana kurva laju pengeringan menurut waktu, baik suhu maupun RH mempunyai pengaruh terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar air, semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH maka laju pengeringan semakin tinggi. Pengaruh perbedaan RH terhadap laju pengeringan cenderung terlihat lebih besar daripada perbedaan suhu. Gambar 2-13 memperlihatkan pengaruh laju aliran udara pengeringan terhadap waktu pengeringan dan laju pengeringan. Laju aliran udara pengering yang tinggi v 1 ( m/s) cenderung membuat laju pengeringan yang tinggi pula sehingga proses pengeringan lebih cepat dibandingkan dengan laju aliran v 2 yang rendah ( m/s) dan sebaliknya.

50 27 Dari semua kurva laju pengeringan pada berbagai kondisi pengeringan tidak terlihat adanya laju pengeringan tetap atau konstan sehingga dapat dikatakan bahwa pengeringan temu putih berlangsung pada periode laju pengeringan menurun (the falling rate period). Pada fase ini difusi merupakan mekanisme pengontrol utama pergerakan air/uap air dalam bahan sebagaimana hal yang sama dilaporkan oleh Lee et al. (2004) untuk irisan rimpang chicory dan Ahmed et al. (2001) dalam studi pengeringan daun ketumbar (corriander leaves). Laju pengeringan (g/mnt) C, 20% 50 C, 20% Moisture Ratio Laju pengeringan (g/mnt) C, 60% 50 C, 60% 40 C, 60% Gambar Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut MR pada RH 20% (atas kiri), 40% (atas kanan) dan 60% (bawah) Laju Pengeringan (g/mnt) C, 40% 50 C, 40% 40 C, 40% Moisture Ratio Moisture Ratio

51 28 Laju pengeringan (g/mnt) C, 60% C, 40% 60 C, 20% Moisture Ratio Laju pengeringan (g/mnt) C, 60% C, 40% 50 C, 20% Moisture Ratio Laju pengeringan (g/mnt) C, 80% 40 C, 60% 40 C, 40% Moisture Ratio Gambar Pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut MR pada suhu 60 o C (atas kiri), 50 o C (atas kanan) dan 40 o C (bawah) MR suhu 50, RH 40%, v1 suhu 50, RH 40%, v Waktu (menit) Laju Pengeringan (%bk/menit) suhu 50, RH 40%, v1 suhu 50, RH 40%, v KA (%bk) Gambar Pengaruh laju aliran udara pengeringan (v 1 dan v 2 ) terhadap waktu pengeringan (kiri) dan laju pengeringan (kanan)

52 29 Kadar Air Keseimbangan Temu Putih Kadar air keseimbangan adalah tingkat keseimbangan dinamis kadar air bahan dengan lingkungan, dimana laju perpindahan uap air dari dan ke permukaan bahan sama besar. Nilai kadar air keseimbangan ditentukan dari kadar air akhir percobaan pada berbagai kondisi pengeringan, yaitu pada saat berat sampel sudah tidak lagi mengalami perubahan. Nilai kadar air keseimbangan pada berbagai nilai RH pada suhu yang sama akan membentuk satu garis yang dikenal sebagai kurva sorpsi isotermis (Gambar 2-14). Kelembaban nisbi pada suhu dan kadar air keseimbangan tertentu disebut dengan kelembaban nisbi keseimbangan (ERH) (Brooker et al. 1981). Pada Tabel 2-4 dicantumkan nilai kadar air keseimbangan temu putih pada berbagai suhu dan kelembaban nisbi udara pengeringan. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar air keseimbangan semakin rendah dan sebaliknya. Berlawanan dengan suhu, semakin tinggi kelembaban nisbi (RH) udara pengering maka kadar air keseimbangan akan semakin tinggi pula dan sebaliknya. Dengan kata lain untuk mendapatkan kadar air keseimbangan yang rendah diperlukan suhu udara pengeringan yang tinggi dan RH udara pengeringan yang rendah Kadar air (% bk.) C 50 C 60 C 70 C Kelembaban nisbi (%) Gambar Kurva sorpsi isotermis kadar air keseimbangan temu putih

53 Tabel 2-4. Kadar air keseimbangan (% bb.) temu putih Suhu 40 o C 50 o C 60 o C 70 o C RH 40% 60% 80% 20% 40% 60% 20% 40% 60% 20% 40% v 1 ( m/s) v 2 ( m/s) Model Henderson pada persamaan (2.1) ditentukan dengan menggunakan regresi non-linier berdasarkan data percobaan pada Tabel 2-4. Nilai konstanta c dan n persamaan tersebut masing-masing adalah dan dengan koefisien korelasi (R 2 ) dan standard error (SE) masing-masing sebesar 0.85 dan 3.5, sehingga model persamaan Henderson untuk kadar air keseimbangan temu putih dapat dituliskan sebagai berikut: 1 - RH = exp ( T Me ) (2.9) Pada Tabel 2-5 dapat dilihat nilai kadar air keseimbangan hasil perhitungan pada berbagai kondisi suhu dan RH pengeringan berdasarkan model Henderson dan model terbaik (best-fit) dengan menggunakan program CurveExpert Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih Model pengeringan lapisan tipis temu putih yang digunakan adalah model Lewis, Henderson-Pabis dan Page sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2-1. Model-model ini dipakai karena masing-masing dapat mewakli model teoritis, semi teoritis dan empiris. Dalam pemodelan, semua data kadar air percobaan digunakan dalam bentuk kadar air basis kering. Data kadar air pada berbagai kondisi pengeringan dikonversi menjadi nilai rasio kadar air (MR) dan dipaskan (fitted) dengan model sehingga didapatkan kurva nilai MR dugaan model (predicted MR) terhadap waktu pengeringan. model-model tersebut kemudian dibandingkan secara statistik dengan menggunakan kriteria koefisien korelasi dan standard error. Hasil pemodelan pengeringan lapisan tipis temu putih berdasarkan model Lewis, Henderson-Pabis dan Page dapat dilihat pada Gambar 2-15, 2-16 dan Dari gambar-gambar tersebut terlihat bahwa model Page adalah model persamaan yang paling baik dalam mewakili data percobaan pengeringan temu putih.

54 31 Tabel 2-5. Kadar air keseimbangan perhitungan dan pengukuran temu putih Suhu ( o C) RH (%) KA Keseimbangan (Me) Pengukuran Henderson Best fit (% bk.) (% bb.) (% bk.) (% bb.) (% bk.) (% bb.) Hal ini juga didukung secara statistik dimana model Page memiliki rata-rata koefisien determinasi yang paling tinggi serta standard error yang paling rendah (Tabel 2-6). Model Page adalah model dengan nilai rata-rata R 2 yang paling tinggi dan standard error paling rendah yaitu dan dibandingkan dengan dan untuk model Henderson-Pabis serta dan untuk model Lewis, sehingga model Page adalah persamaan yang paling mewakili karakteristik pengeringan temu putih. Model Page memiliki nilai R 2 dan SE masing-masing pada kisaran dan , model Henderson-Pabis kisaran nilainya masing-masing dan sedangkan Model Lewis kisaran nilainya adalah masing-masing dan Pada model Lewis dan Page curve fitting terbaik terjadi pada suhu dan RH pengeringan 60 o C dan 20%, sedangkan model Henderson-Pabis pada suhu 70 o C dan RH 20%.

55 32 MR (Moisture Ratio) C, 60% 50 C, 40% 50 C, 20% Model Lewis MR (Moisture Ratio) C, 60% 60 C, 40% 60 C, 20% Model Lewis Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Kurva MR percobaan dan perhitungan dari model Lewis MR (Moisture Ratio) C, 60% 50 C, 40% 50 C, 20% Model H&P MR (Moisture Ratio) C, 60% 60 C, 40% 60 C, 20% Model H&P Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Kurva MR percobaan dan perhitungan dari model Henderson-Pabis MR (Moisture Ratio) C, 60% 50 C, 40% 50 C, 20% Model Page MR (Moisture Ratio) C, 60% 60 C, 40% 60 C, 20% Model Page Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Kurva MR percobaan dan perhitungan dari model Page

56 33 Suhu ( o C) Tabel 2-6. Evaluasi statistik model pengeringan simplisia temu putih RH Model Lewis Model H&P Model Page (%) R 2 SE R 2 SE R 2 SE Rata-rata Nilai konstanta untuk model Lewis, Henderson-Pabis dan Page pada berbagai kondisi pengeringan dapat dilihat pada Tabel 2-7. Persamaan Lewis dan Henderson-Pabis mempunyai nilai konstanta k yang hampir sama, hal ini dibedakan oleh pendekatan pada suku pertama dari pemecahan analitis persamaan umum difusi (8/π 2 ) dimana model Lewis mengansumsikan suku tersebut sama dengan satu (unity) (Zogzas & Maroulis 1996), sedangkan model Henderson- Pabis mengganti dengan konstanta a yang nilainya juga mendekati satu. Adanya konstanta a membuat model Henderson-Pabis lebih baik daripada model Lewis. Tabel 2-7. Nilai konstanta model pengeringan simplisia temu putih Suhu ( o C) Model Model RH Model Page Lewis Henderson-Pabis (%) k k a k n

57 34 Konstanta Pengeringan Temu Putih Secara empiris nilai konstanta pengeringan (k) dalam satuan 1/menit didapatkan dengan menggunakan persamaan (2.4) atau dikenal juga dengan model Henderson-Pabis (Babalis dan Belessiotis, 2004; Lee et al., 2004), nilainya tertera pada Tabel 2.6. Besaran konstanta k dan a masing-masing bervariasi dari /menit, dan Konstanta pengeringan (k) merupakan koefisien yang berkaitan dengan nilai difusivitas bahan sehingga nilai konstanta pengeringan juga merupakan fungsi dari suhu udara pengeringan. Semakin tinggi suhu udara pengeringan maka semakin tinggi nilai konstanta pengeringan. Plot nilai konstanta pengeringan terhadap suhu ditampilkan pada Gambar Konstanta k (1/menit) RH 20% RH 40% RH 60% k Hitung Suhu ( o C) Gambar Kurva pengaruh suhu pengeringan terhadap konstanta pengeringan Untuk menyatakan hubungan antara konstanta pengeringan dan suhu pengeringan digunakan persamaan berikut: k = a exp (b T) (2.10) dimana a dan b merupakan konstanta persamaan dan T adalah suhu pengeringan. Gambar 2-18 memperlihatkan bahwa konstanta pengeringan meningkat secara eksponensial terhadap suhu pada setiap level RH udara pengeringan. Nilai konstanta a dan b diperoleh dengan regresi non-linier dan hasilnya tertera pada Tabel 2-8 bersama nilai koefisien determinasi dan standard error. Nilai R 2 bervariasi antara dan tertinggi pada tingkat RH 60%. Pada Tabel 2-9

58 dapat dilihat konstanta pengeringan hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan (2.10) dan konstanta pengeringan percobaan. Tabel 2-8. Nilai konstanta a dan b persamaan (2.15) RH a b R2 SE 20% % % Tabel 2-9. Nilai k (1/menit) percobaan dan hasil perhitungan Suhu RH 20% RH 40% RH 60% k k hitung k k hitung k k hitung 40 o C o C o C o C Kinetika Pengeringan Temu lawak Plot data pengeringan lapisan tipis temu lawak terlihat pada Gambar 2-19 yang menunjukkan pengaruh kelembaban terhadap kadar air pada suhu tetap, sedangkan Gambar 2-20 menunjukkan pengaruh suhu pengeringan pada RH tetap. Gambar 2-21 dan 2-22 memperlihatkan waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan pada berbagai suhu dan RH. Baik suhu dan RH berpengaruh terhadap waktu pengeringan, semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH, maka waktu untuk mencapai keseimbangan semakin cepat. Dari kurva pengeringan juga terlihat bahwa proses pengeringan temu lawak berjalan cepat pada saat awal pengeringan yang ditandai dengan menurunnya kurva secara tajam dan kemudian semakin melambat diakhir pengeringan. Gambar 2-23 menunjukkan pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut waktu pada RH tetap. Kurva laju pengeringan menurut waktu memperlihatkan bahwa pada saat awal proses pengeringan, laju pengeringan tinggi dan semakin melambat pada akhir pengeringan. Hal ini identik dengan kurva pengeringan temu putih, disebabkan masih tingginya kadar air bahan pada saat awal pengeringan.

59 36 Moisture Ratio C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Moisture Ratio C, 40% 60 C, 30% 60 C, 20% Waktu (menit) Moisture Ratio Waktu (menit) 70 C, 40% 70 C, 30% 70 C, 20% Waktu (menit) Gambar Kurva pengeringan temu lawak pada suhu 50 o C (atas kiri), 60 o C (atas kanan) dan 70 o C (bawah) Moisture Ratio C, 20% 60 C, 20% 70 C, 20% Moisture Ratio C, 30% 60 C, 30% 70 C, 30% Waktu (menit) Waktu (menit)

60 37 Moisture Ratio C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Waktu (menit) Gambar Kurva pengeringan temu lawak pada RH 20% (atas kiri), 30% (atas kanan) dan 40% (bawah) Waktu (menit) % 30% 40% 0 50 C 60 C 70 C Suhu Gambar Pengaruh suhu terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar air keseimbangan temu lawak Waktu (menit) C 60 C 70 C 0 20% 30% 40% RH Gambar Pengaruh RH terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar air keseimbangan temu lawak

61 38 Laju pengeringan (ΔMR/menit) C, 20% 60 C, 20% 70 C, 20% Waktu (menit) Laju pengeringan (ΔMR/menit) C, 30% 60 C, 30% 70 C, 30% Waktu (menit) Laju pengeringan (ΔMR/menit) C,40% 60 C, 40% 70 C, 40% Waktu (menit) Gambar Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan temu lawak menurut waktu pada RH 20% (atas kiri), 30% (atas kanan) dan 40% (bawah) Grafik pada Gambar 2-24 memperlihatkan pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada RH tetap, sedangkan Gambar 2-25 pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada suhu tetap. Sebagaimana kurva laju pengeringan menurut waktu, baik suhu maupun RH mempunyai pengaruh terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar air, semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH maka laju pengeringan semakin tinggi. Pengaruh perbedaan RH terhadap laju pengeringan cenderung terlihat lebih nyata daripada perbedaan suhu sedangkan pengaruh perbedaan suhu terhadap laju pengeringan terlihat bahwa suhu 50 dan 60 o C tidak terlalu berbeda. Dari semua kurva laju pengeringan pada berbagai kondisi pengeringan tidak terlihat adanya laju pengeringan tetap atau konstan sehingga dapat dikatakan bahwa pengeringan temu lawak berlangsung pada periode laju pengeringan menurun (the falling rate period). Pada fase ini difusi merupakan mekanisme

62 39 pengontrol utama pergerakan air dalam bahan, hal yang sama terjadi pada pengeringan temu putih Drying Rate (Δ MR/min) C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% Moisture Ratio Drying rate (ΔMR/min) Moisture Ratio 60 C, 20% 60 C, 30% 60 C, 40% Drying Rate (ΔMR/min) C, 20% 70 C, 30% 70 C, 40% Moisture Ratio Gambar Pengaruh RH terhadap laju pengeringan temu lawak menurut MR pada suhu 50 o C (atas), 60 o C (tengah) dan 70 o C (bawah)

63 40 Laju pengeringan (ΔMR/menit) C, 20% 60 C, 20% 70 C, 20% Moisture Ratio Laju pengeringan (ΔMR/menit) C, 30% 60 C, 30% 70 C, 30% Moisture Ratio Laju pengeringan (ΔMR/menit) C,40% 60 C, 40% 70 C, 40% Moisture Ratio Gambar Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan temu lawak menurut MR pada RH 20% (atas), 30% (tengah) dan 40% (bawah)

64 41 Kadar Air Keseimbangan Temu Lawak Pada Tabel 2-10 tercantum nilai kadar air keseimbangan temu lawak pada berbagai suhu dan kelembaban nisbi udara pengeringan. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar air keseimbangan semakin rendah dan sebaliknya. Berlawanan dengan suhu, semakin tinggi kelembaban nisbi (RH) udara pengering maka kadar air keseimbangan akan semakin tinggi pula dan sebaliknya. Dengan kata lain untuk mendapatkan kadar air keseimbangan yang rendah diperlukan suhu udara pengeringan yang tinggi dan RH udara pengeringan yang rendah. Berdasarkan tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa kadar air standar 10% (bb.) dapat dicapai pada semua kondisi percobaan pengeringan kecuali pada kondisi suhu 50 o C dan RH 40%. Tabel Kadar air keseimbangan (% bb.) temu lawak Kondisi pengeringan 20% 30% 40% 70 o C o C o C Model Henderson pada persamaan (2.1) ditentukan dengan menggunakan regresi non-linier berdasarkan data percobaan pada Tabel 2-10 pada setiap suhu. Nilai konstanta c dan n persamaan tersebut untuk setiap level suhu pengeringan dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai konstanta c dan n persamaan Henderson untuk temu lawak Suhu c n R 2 SE 70 o C o C o C Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Lawak Model pengeringan lapisan tipis temu lawak yang digunakan adalah model Lewis, Henderson-Pabis dan Page sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2-1. Model-model ini dipakai karena masing-masing dapat mewakli model teoritis, semi teoritis dan empiris. Dalam pemodelan, semua data kadar air percobaan

65 42 digunakan dalam bentuk kadar air basis kering. Data kadar air pada berbagai kondisi pengeringan dikonversi menjadi nilai rasio kadar air (MR) dan dipaskan (fitted) dengan model sehingga mendapatkan kurva nilai MR dugaan model (predicted MR) terhadap waktu pengeringan. Model-model tersebut kemudian dibandingkan secara statistik dengan menggunakan kriteria koefisien korelasi dan standard error. Hasil pemodelan pengeringan lapisan tipis temu lawak berdasarkan model Lewis, Henderson-Pabis dan Page dapat dilihat pada Gambar 2-26, 2-27 dan Dari gambar-gambar tersebut terlihat bahwa model Page adalah model persamaan yang paling mewakili data percobaan pengeringan lapisan tipis temu lawak. Hal ini juga didukung secara statistik dimana model Page memiliki rata-rata koefisien determinasi yang paling tinggi serta standard error yang paling rendah (Tabel 2-12). Model Page adalah model dengan nilai rata-rata R 2 yang paling tinggi dan standard error paling rendah yaitu dan dibandingkan dengan dan untuk model Henderson-Pabis serta dan untuk model Lewis, sehingga model Page adalah persamaan yang paling mewakili karakteristik pengeringan temu lawak. Model Page memiliki nilai R 2 dan SE masing-masing pada kisaran dan , model Henderson-Pabis kisaran nilainya dan sedangkan Model Lewis kisaran nilainya adalah dan Pada model Lewis dan Henderson-Pabis curve fitting terbaik terjadi pada suhu dan RH pengeringan 70 o C dan 30%, sedangkan model Page pada suhu 60 o C dan RH 30%. Nilai-nilai konstanta dari persamaan model Lewis, Henderson-Pabis dan Page pada berbagai kondisi pengeringan dapat dilihat pada Tabel 2-13.

66 43 Moisture Ratio C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Model Lewis Moisture Ratio C, 40% 60 C, 30% 60 C, 20% Model Lewis Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari model Lewis Moisture Ratio C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Model H-P Moisture Ratio C, 40% 60 C, 30% 60 C, 20% Model H-P Waktu (menit) Gambar Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari model Henderson-Pabis Waktu (menit) Moisture Ratio C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Model Page Moisture Ratio C, 40% 60 C, 30% 60 C, 20% Model Page Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari model Page

67 44 Suhu ( o C) Tabel Evaluasi statistik model pengeringan simplisia temu lawak RH Model Lewis Model H&P Model Page (%) R 2 SE R 2 SE R 2 SE Rata-rata Tabel Nilai konstanta model pengeringan simplisia temu lawak Suhu ( o C) Model Model RH Model Page Lewis Henderson-Pabis (%) k k a k n Konstanta Pengeringan Temu Lawak Secara empiris nilai konstanta pengeringan (k) temu lawak dalam satuan 1/menit didapatkan dengan menggunakan persamaan (2.4). Besaran konstanta k dan a masing-masing bervariasi dari /menit, dan Konstanta pengeringan merupakan koefisien yang berkaitan dengan nilai difusivitas bahan sehingga nilai konstanta pengeringan juga merupakan fungsi dari suhu udara pengeringan. Semakin tinggi suhu udara pengeringan maka semakin tinggi nilai konstanta pengeringan. Plot antara nilai k rata-rata temu lawak terhadap suhu pengeringan ditampilkan pada Gambar Berdasarkan

68 gambar tersebut terlihat bahwa konstanta pengeringan meningkat secara eksponensial terhadap suhu pada setiap level RH udara pengeringan. 45 Konstanta k (1/menit) RH 20% RH 30% RH 40% k hitung Suhu ( o C) Gambar Pengaruh suhu pengeringan terhadap konstanta pengeringan Simplisia temu lawak Untuk menyatakan hubungan antara konstanta pengeringan dan suhu pengeringan digunakan persamaan (2.10). Nilai konstanta a dan b diperoleh dengan regresi non-linier dan hasilnya tertera pada Tabel 2-14 bersama-sama nilai koefisien determinasi dan standard error. Nilai R 2 bervariasi antara dan tertinggi pada tingkat RH 40%. Pada Tabel 2-15 dicantumkan nilai konstanta hasil perhitungan berdasarkan Tabel Tabel Konstanta persamaan hubungan k dan suhu pengeringan temu lawak RH a b R2 SE 20% % % Tabel Nilai k (1/menit) temu lawak percobaan dan hasil perhitungan RH 20% RH 30% RH 40% Suhu k k hitung k k hitung k k hitung 50 o C o C o C

69 46 Kesimpulan 1. Pengeringan temu putih dan temu lawak berlangsung pada laju periode menurun dimana difusi merupakan mekanisme pengontrol pergerakan air di dalam bahan. 2. Pada suhu pengeringan 40 o C kadar air akhir temu putih tidak dapat mencapai standar 10% (bb.). Untuk dapat mencapai kadar air tersebut temu putih dan temu lawak harus dikeringkan pada suhu 50 o C dengan RH dibawah 30% atau pada suhu 60 o C dan 70 o C. 3. Model Page adalah model yang paling sesuai untuk mewakili karakteristik pengeringan temu putih dan temu lawak dengan nilai rata-rata koefisien determinasi (R 2 ) dan standard error (SE) masing-masing sebesar dan untuk temu putih serta dan untuk temu lawak. 4. Konstanta pengeringan temu putih dan temu lawak bervariasi menurut suhu pengeringan pada selang dan menit -1 serta dan menit -1. Semakin tinggi suhu pengeringan maka nilai konstanta pengeringan temu putih dan temu lawak semakin tinggi pula.

70 BAB 3 PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA Pendahuluan Pengeringan merupakan cara yang paling umum digunakan untuk meningkatkan stabilitas bahan dengan mengurangi kandungan air bahan sehingga aktivitas airnya menurun. Pengeringan juga mengurangi aktivitas mikroba serta meminimalkan perubahan fisik dan kimiawi selama bahan kering disimpan (Mayor & Sereno 2004). Perubahan kadar air selama pengeringan bahan-bahan yang mengandung air tinggi akan menyebabkan perubahan bentuk, densitas dan porositas bahan. Perubahan bentuk dan ukuran ini mempengaruhi sifat-sifat fisik dan akhirnya juga berdampak pada berubahnya tekstur dan sifat transport (transport properties) produk yang dihasilkan (Yan et al. 2008). Salah satu perubahan fisik yang penting selama pengeringan adalah pengurangan volume eksternal bahan. Kehilangan air dan pemanasan menyebabkan tekanan terhadap struktur sel bahan diikuti dengan perubahan bentuk dan pengecilan ukuran. Penyusutan bahan yang dikeringkan mempunyai akibat negatif pada kualitas produk keringnya. Perubahan bentuk, pengurangan volume dan peningkatan kekenyalan atau kekerasan bahan adalah hal-hal yang kurang disukai konsumen. Keretakan bahan yang dikeringkan adalah fenomena lain yang dapat terjadi selama proses pengeringan. Hal ini dapat terjadi bila penyusutan yang terjadi tidak seragam dan laju pengeringan terlalu tinggi. Penyusutan telah dipelajari dengan cara pengukuran secara langsung menggunakan mistar atau mikrometer atau secara tak langsung dengan mengukur parameter yang terkait dengan penyusutan seperti porositas dan massa jenis (Yadollahinia & Jahangiri 2009). Penyusutan bahan yang mengalami pengurangan kandungan air yang tinggi disarankan tidak diabaikan dan dimasukkan dalam perhitungan pendugaan profil kadar air bahan selama pengeringan. Untuk keperluan ini sudah ada berbagai tipe model untuk memprediksi perubahan volume yang dapat digunakan. Beberapa penulis telah berhasil mengkaji proses penyusutan beberapa produk pertanian baik secara eksprimen maupun teori.

71 48 Temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang memiliki kadar air cukup tinggi saat dipanen yaitu berkisar 80-90%, sedangkan kadar air akhir yang diinginkan adalah 10%. Dengan demikian perubahan volume irisan temu putih dan temu lawak yang dikeringkan cukup besar dan tidak dapat diabaikan. Salah satu faktor yang dipengaruhi oleh penyusutan bahan adalah difusivitas. Efektifitas difusi merupakan kombinasi berbagai mekanisme perpindahan massa seperti kapilaritas, difusivitas gas dan cairan serta perbedaan tekanan. Difusivitas efektif adalah proses utama yang mengontrol pengeringan temu putih dan temu lawak yang terjadi pada periode laju menurun. Crank (1975) telah mengembangkan model matematika untuk menentukan difusivitas efektif berdasarkan hukum Fick kedua yang dipengaruhi oleh bentuk atau geometri bahan. Persamaan matematika yang dikembangkan oleh Crank kemudian diselesaikan oleh beberapa peneliti yang pada umumnya hanya mempertimbangkan suku pertama dari ruas kanan persamaan tersebut. Persamaan pengeringan yang diturunkan kemudian didapatkan melalui metode pendekatan empiris, teoritis maupun semi-teoritis. Model-model teoritis dan semi teoritis pengeringan yang sudah dikenal seperti model Lewis dan Henderson-Pabis disusun berdasarkan asumsi tidak terjadi penyusutan selama proses pengeringan berlangsung. Penggunaan model teoritis menyebabkan kesalahan dalam menentukan profil pengeringan, hal ini dapat dilihat dari lebih baiknya model empiris dalam mewakili data pengeringan dibandingkan model teoritis. Jayas et al. (1991) menyatakan walaupun model empiris dapat lebih baik menggambarkan data pengeringan tetapi sulit untuk memaknai parameter-parameternya dibandingkan variabel(-variabel) dari model pengeringan teoritis. Pada penelitian ini sebelumnya baik model semi teoritis Lewis dan Henderson-Pabis maupun yang empiris yaitu model Page telah digunakan dalam menduga profil pengeringan. Model Page memiliki koefisien korelasi yang tinggi dan dapat mewakili data empiris lebih baik daripada model teoritis. Walaupun demikian, mengingat bahwa temu putih dan temu lawak mengalami penyusutan yang cukup besar maka pada studi ini faktor penyusutan akan dipertimbangkan dalam penyusunan model teoritisnya.

72 49 Untuk mengetahui seberapa besar penyusutan irisan simplisia temu putih dan temu lawak selama pengeringan digunakan bantuan pengolahan citra (image processing) dengan menggunakan kamera digital. Pengolahan citra merupakan proses pengolahan piksel-piksel dalam citra digital untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa alasan dilakukannya pengolahan citra antara lain untuk memperoleh citra dengan karakteristik tertentu dan cocok secara visual yang dibutuhkan untuk tahap pemrosesan analisis citra, yang kemudian akan ditransformasikan dalam suatu representasi numerik. Hasil pengamatan penyusutan bahan yang diperoleh dengan bantuan pengolahan citra sebagai suatu parameter dapat digunakan untuk mempelajari fenomena penyusutan selama pengeringan. Perubahan lain yang terjadi selama pengeringan adalah berkurangnya kandungan bahan lainnya seperti vitamin, protein, enzim dan zat aktif. Selain itu pengeringan juga mengakibatkan perubahan tampilan fisik produk seperti warna, tekstur dan aroma. Suhu, kadar air dan aktivitas air merupakan faktor yang mempengaruhi sifat kimia dan biokimia bahan selama pengeringan dan penyimpanan. Air bukan hanya media transfer panas dan penyimpanan energi tetapi juga berperan dalam berbagai reaksi biokimia di dalam produk. Molekul air menyediakan proton (H + ), ion hidroksida (OH - ), atom hidrogen (H), oksigen (O) dan radikal (H, OH). Oleh karena itu, air dapat bertindak sebagai pelarut, pereaksi atau pendispersi di dalam bahan (Ong & Law 2010) Simplisia temu putih dan temu lawak mengandung senyawa aktif yang harus dipertahankan keberadaannya selama produk ini diproses hingga menjadi bahan baku obat tradisional atau jamu. Salah satu tahapan proses tersebut adalah pengeringan. Proses pengeringan harus dilakukan secara benar karena penggunaan suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan hilang atau berkurangnya zat aktif bahan. Proses pengeringan tentunya tidak dapat meningkatkan mutu simplisia (kuantitas zat aktifnya) karena hal itu tergantung pada aspek budidaya tanaman tersebut. Akan tetapi hubungan kondisi pengeringan dengan kadar zat aktif produk keringnya perlu dipelajari agar diketahui kondisi proses pengeringan yang terbaik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh berbagai kondisi pengeringan terhadap penyusutan dan mutu simplisia temu putih dan temu lawak

73 50 selama proses pengeringan konvektif dengan menggunakan bantuan program pengolahan citra. Tinjauan Pustaka Mekanisme Penyusutan Penyusutan bahan pada saat pengeringan tidak dapat dihindari karena adanya proses pemanasan dan keluarnya air dari bahan. Pada saat air keluar dari bahan terjadi ketidakseimbangan antara tekanan di dalam bahan dengan di luar bahan yang menimbulkan kontraksi dan memicu terjadinya penyusutan, perubahan bentuk dan kadang-kadang terjadi pecah atau keretakan bahan (Mayor & Sereno 2004). Penyusutan meningkat dengan semakin banyaknya air yang keluar dari dalam bahan. Pada beberapa kasus keseimbangan terjadi ketika penyusutan bahan sama dengan volume air yang keluar seperti pada pengeringan wortel yang dilaporkan oleh Krokida & Maroulis (1997) dan Lozano et al. (1983) (Gambar 3-1). Pada kasus yang lain volume air yang keluar lebih besar daripada penyusutan bahan seperti pada pengeringan kentang dan ubi jalar (Wang & Brennan 1995) serta apel (Krokida & Maroulis 1997; Figueiredo & Sereno 2000) (Gambar 3-2). Hal ini disebabkan adanya penurunan mobilitas (kelenturan) material padat bahan pada kondisi kadar air rendah. Gambar 3-1. Rasio volume air yang keluar terhadap penyusutan volume sampel wortel selama pengeringan

74 51 Gambar 3-2. Rasio volume air yang keluar terhadap penyusutan volume sampel apel selama pengeringan Mobilitas bahan padat sangat terkait dengan keadaan fisik yaitu sifat viskoelastik, dimana kelenturan yang tinggi berhubungan dengan rubbery state sedangkan yang rendah dengan glassy state. Levi & Karel (1995) menemukan bahwa mobilitas bahan padat merupakan suatu proses dinamis yang lajunya tergantung pada selisih suhu pengeringan dengan suhu transisi gelas. Pada kadar air tinggi dan bahan dalam kondisi rubbery, hampir seluruh penyusutan merupakan kompensasi dari hilangnya air dari dalam bahan, dan pada saat itu penyusutan bahan terjadi secara linier mengikuti penurunan kadar air. Pada kadar air rendah suhu transisi gelas meningkat dan kondisi bahan berubah dari rubbery ke glassy dan laju serta besarnya penyusutan berkurang secara signifikan. Ketika pengeringan berlangsung pada selang kadar air rendah terjadi transisi fase dari rubbery ke glassy, maka kekakuan (rigidity) bahan akan menghentikan penyusutan dan akan terbentuk pori-pori bahan (Mayor & Sereno 2004). Laju pengeringan yang tinggi akan membuat adanya gradien kandungan air pada seluruh bahan, sehingga permukaan luar yang berkadar air rendah akan berada pada fase transisi dan membentuk lapisan permukaan yang keras dan berpori sehingga volume bahan tidak berubah lagi walaupun dibagian dalam masih berada pada fase ruberry. Fenomena ini dikenal juga sebagai efek pengerasan lapisan permukaan (case hardening effect). Pengerasan lapisan tidak

75 terjadi jika kondisi pengeringan di lapisan luar bahan tidak melewati fase transisi walaupun laju pengeringannya tinggi. Bila digunakan laju pengeringan rendah, difusi air dari dalam keluar bahan akan terjadi dengan laju yang sama dengan penguapan air di permukaan bahan dan penyusutan terjadi secara seragam hingga tahap akhir pengeringan. Beberapa peneliti sudah mempelajari pengaruh dari kondisi pengeringan yang berbeda terhadap perubahan volume bahan selama pengeringan. 52 Pada umumnya analisis tersebut dilakukan untuk mempelajari pengaruh setiap satu kondisi proses seperti suhu (Mcminn & Magee 1997 dengan komoditas kentang), kecepatan udara (Ratti 1994 dengan komoditas kentang, apel dan wortel) ataupun kelembaban nisbi (Ratti 1994 dengan komoditas kentang, apel dan wortel). Hasil studi tersebut tidak secara jelas menyatakan bagaimana pengaruh kondisi ini terhadap penyusutan. Pada beberapa kasus kenaikan suhu pengeringan menyebabkan penyusutan yang lebih sedikit. Pada kasus lain kenaikan laju udara pengeringan juga berpengaruh lebih kecil pada penyusutan yang besarannya tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan (Mayor & Sereno 1995). Perbedaan konsentrasi secara kimiawi merupakan tenaga penggerak bagi terjadinya transfer massa yang diekspresikan melalui bilangan Biot untuk pindah massa sebagai berikut (Ratti 1994): Bi = k gl 0 P 1 ρ s D ef (3.1) koefisien k g umumnya independen dari kelembaban nisbi udara (Treybal 1980) dan karena variabel ini memiliki pengaruh yang kecil terhadap P, pada rentang kelembaban nisbi menengah (dari untuk sebagian besar bahan makanan), maka bilangan Bi yang didefinisikan dalam persamaan (3.1) tidak berubah secara signifikan dalam kisaran kelembaban udara yang disebutkan. Oleh karena itu efek kelembaban relatif pada penyusutan dapat diabaikan, kecuali pada nilai-nilai yang sangat rendah. Pada saat pengeringan berada pada kondisi kelembaban yang sangat rendah dimana bilangan Bi meningkat tajam, terjadi fenomena pengerasan permukaan (case hardening) untuk membatasi susut. Suhu hanya berpengaruh sedikit pada k g dan P 1 sehingga pengaruhnya pada penyusutan juga kecil. Efek kecil suhu terhadap penyusutan yang teramati dalam praktek dapat dikaitkan

76 53 dengan pengaruh suhu terhadap sifat elastisitas dan mekanikal bahan (Kowalski 1996). Difusivitas Efektif Difusivitas sangat tergantung pada suhu pengeringan dan kadar air bahan. Untuk bahan berpori (porous material) fraksi void juga sangat mempengaruhi difusivitas demikian pula dengan kondisi struktur dan sebaran porinya. Ketergantungan difusivitas terhadap suhu secara umum dapat digambarkan oleh persamaan Arhenius (Marinos-Kouris & Maroulis 1995; Madamba et al. 1996) berikut: D = D 0 exp E a R T abs (3.2) dimana D 0 adalah koefisien yang berhubungan dengan kondisi pengeringan atau disebut juga Arhenius factor (m 2 /detik), E a adalah energi aktivasi untuk difusi (kj/mol), R adalah konstanta gas ideal (kj/mol K) dan T adalah suhu mutlak (K). Ketergantungan difusivitas terhadap kadar air dapat dinyatakan dalam persamaan Arhenius dengan memasukkan energi aktivasi ataupun Arhenius factor sebagai fungsi dari kadar air. Hubungan kadar air dan difusivitas bahan juga dapat menggunakan persamaan empiris lainnya, seperti yang digunakan Kiranoudis et al. (1992b) untuk komoditas kentang dan wortel berikut, D = D 0 exp M 0 M exp T 0 T (3.3) Migrasi air selama proses pengeringan merupakan hal kompleks yang melibatkan satu atau lebih mekanisme transport seperti difusi cair, difusi uap, difusi Knudsen, difusi permukaan dan perbedaan tekanan hidrostatik (Mujumdar & Devahastin 2008). Difusi efektif (D ef ) didefinisikan untuk menggambarkan laju perpindahan air di dalam bahan tanpa memandang mekanisme transport yang terjadi. Persamaan difusi diturunkan dari hukum Fick kedua, M l t = D M l (3.4)

77 Dengan mengansumsikan koefisien difusivitas konstan untuk seluruh proses pengeringan, kadar air bahan seragam dan tidak terjadi perubahan volume (shrinkage) maka persamaan (3.4) dapat ditulis menjadi: M t = D ef 2 M (3.5) D ef adalah difusivitas efektif (m 2 /detik). Pemecahan persamaan 3.5 dilakukan untuk berbagai bentuk standard (datar, silinder dan bola) dengan kondisi batas sesuai bentuk masing-masing (Crank 1975). pemecahan persamaan tersebut berupa deret persamaan berikut, 54 Untuk bentuk datar (slab) MR = M M e = 8 1 M 0 M e π 2 2n exp (2n + 1)2 π 2 D t 4 2 n=0 (3.6) Dalam banyak kasus, difusivitas efektif dihitung hanya berdasarkan suku pertama dari penyelesaian umumnya, sehingga persamaan (3.6) menjadi: MR = 8 π 2 exp π2 D t 4 2 (3.7) Karathanos et al. (1990) membuat tahapan untuk menghitung difusivitas efektif bahan secara terinci. Pada kebanyakan kasus, difusivitas total merupakan penjumlahan dari difusivitas fase uap dan fase cair sebagaimana Gambar 3-3. Pada kadar air tinggi difusivitas cairan lebih dominan sebagai mekanisme transport dibandingkan difusivitas uap dan sebaliknya. Pada umumnya koefisien difusivitas berada pada selang dan 10-6 m 2 /detik dimana mayoritas (sekitar 92%) berada pada selang dan 10-8 m 2 /detik (Zogzas & Maroulis 1996). Dari berbagai studi yang telah dilakukan diketahui bahwa difusivitas efektif meningkat dengan meningkatnya suhu tetapi dengan kecenderungan yang bervariasi sesuai kadar air bahan. Pada suhu tinggi ikatan molekul air dengan zat lain di dalam bahan lebih mudah terlepas sehingga diperlukan energi yang lebih sedikit untuk mengeluarkan air dibandingkan pada suhu rendah.

78 55 Gambar 3-3. Variasi difusivitas terhadap kadar air (Karathanos et al. 1990) Hal sebaliknya, kemudahan pergerakan air dalam bahan sangat tergantung pada struktur bahan. Selain itu fraksi void juga diketahui sangat mempengaruhi difusivitas, dimana bahan dengan porositas rendah cenderung mengalami difusi cair sedangkan untuk biji-bijian/butiran dan produk yang banyak mengandung pori cenderung mengalami difusi uap melalui rongga kosong (void space) (Karathanos et al. 1990). Model Penyusutan Berbagai studi telah dilakukan untuk mendapatkan model pendugaan yang menjelaskan perilaku penyusutan buah-buahan dan sayuran. Lozano et al. (1983) mendapatkan hubungan untuk menduga penyusutan pada buah-buahan dan sayuran berdasarkan perubahan kadar air. Al-Muhtaseb et al. (2004) dan Hernandez et al. (2000) menyatakan bahwa penyusutan dan perubahan kadar air berbanding lurus. Hatamipour & Mowla (2002) melaporkan bahwa perubahan volume wortel juga berbanding lurus dengan penyusutan arah sumbu selama pengeringan, sedangkan Yang et al. (2001) melaporkan bahwa penyusutan kentang tidak berpola (non-isotropic or irregular). Teknik pengolahan citra adalah cara yang mudah diterapkan untuk melihat perubahan bentuk bahan. Yan et al. (2008) menggunakan pengolahan citra untuk menganalisis perubahan dimensi nenas, mangga dan pisang selama pengeringan. Perubahan parameter seperti luas, perimeter, diameter dan bentuk bahan diukur

79 56 dengan analisis citra dan dihubungkan dengan perubahan kadar air memakai persamaan polinomial ordo dua. Fernandez (2005) menggunakan pengolahan citra untuk menganalisis pengaruh pengeringan terhadap penyusutan, warna dan tekstur irisan apel. Semua parameter tersebut turun secara landai menurut waktu pengeringan dan nilainya berubah cepat pada 6 jam pertama pengeringan dan setelah itu relatif stabil. Ada dua substansi pendekatan yang berbeda dalam membuat model penyusutan bahan pangan selama pengeringan. Yang pertama disusun berdasarkan model empiris dari data penyusutan sebagai fungsi kadar air. Pendekatan kedua yang lebih fundamental didasarkan pada interpretasi fisik dari sistem pangan yang kemudian digunakan untuk menduga perubahan bentuk bahan berdasarkan hukum kekekalan massa dan volume. Pada kedua pendekatan tersebut dihasilkan baik model linier maupun non-linier untuk menjelaskan perilaku penyusutan terhadap kadar air (Mayor & Sereno 2004) Perubahan dimensi dan bentuk bahan terjadi secara simultan dan difusi air mempengaruhi laju kehilangan air pada saat pengeringan. Para peneliti telah menunjukkan bahwa proses perubahan volume adalah salah satu unsur pokok sumber kesalahan dalam simulasi model pengeringan produk biologis (Lang & Sokhansanj 1993). Sebagian besar model matematika yang digunakan untuk simulasi pengeringan proses produk pertanian telah mengabaikan perubahan volume pada saat proses pengeringan (Brooker et al. 1981). Namun, modelmodel tersebut dapat diperbaiki dengan memasukkan fenomena penyusutan (Lang et al. 1994). Pada umumnya model penyusutan didasarkan pada geometri standar yaitu bentuk bola, silinder, kubus dan datar (slab). Sedangkan dimensi yang dikaitkan dengan perubahan kadar air bahan adalah ketebalan, diameter, area atau volume bahan. Pengolahan Citra Pengolahan citra adalah suatu metode yang digunakan untuk memproses atau memanipulasi gambar dalam bentuk 2 dimensi. Pengolahan citra juga dikatakan sebagai operasi untuk memperbaiki, menganalisa, atau mengubah suatu gambar. Pada umumnya, tujuan dari pengolahan citra adalah mentransformasikan

80 57 atau menganalisis suatu gambar sehingga informasi baru tentang gambar dibuat lebih jelas. Terdapat empat klasifikasi dasar dalam pengolahan citra yaitu point, area, geometri, dan frame (Niblack 1986). Pada operasi point, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai dan posisi dari piksel tersebut. Termasuk di dalam operasi point ini adalah pengaturan brightness, kontras, color balance, negatif, gray scaling serta sephia. Pada operasi area, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai piksel tersebut beserta nilai piksel sekelilingnya. Termasuk di dalam operasi area ini adalah sharpening dan smoothing. Operasi geometri digunakan untuk mengubah posisi dari sebuah piksel menjadi posisi lain yang dikehendaki. Termasuk di dalam operasi geometri ini adalah translasi, scaling, rotasi dan flip. Proses pengolahan citra mempunyai ciri data masukan dan informasi keluaran yang berbentuk citra. Istilah pengolahan citra digital secara umum didefinisikan sebagai pemrosesan citra dua dimensi dengan komputer. Dalam definisi yang lebih luas, pengolahan citra digital juga mencakup semua data dua dimensi. Citra digital adalah barisan bilangan nyata maupun kompleks yang diwakili oleh bit-bit tertentu. Umumnya citra digital berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar (pada beberapa sistem pencitraan ada pula yang berbentuk segi enam) yang memiliki lebar dan tinggi tertentu. Ukuran ini biasanya dinyatakan dalam banyaknya titik atau piksel sehingga ukuran citra selalu bernilai bulat. Setiap titik memiliki koordinat sesuai posisinya dalam citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan dalam bilangan bulat positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1 tergantung pada sistem yang digunakan. Setiap titik juga memiliki nilai berupa angka digital yang merepresentasikan informasi yang diwakili oleh titik tersebut (Putra 2010). Satuan atau bagian terkecil dari suatu citra disebut piksel (pixel atau picture element). Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar piksel adalah sama pada seluruh bagian citra (Ahmad 2005). Kebanyakan kamera menangkap citra dalam bentuk gelombang analog yang kemudian dilakukan pengambilan sampel dan dikuantisasi untuk mengkonversinya ke dalam bentuk citra digital. Pada proses selanjutnya representasi tersebutlah yang akan diolah secara digital oleh

81 58 komputer. Pengolahan citra pada umumnya sangat erat kaitannya dengan computer aided analysis yang umumnya bertujuan untuk mengolah suatu objek citra dengan cara mengekstraksi informasi penting yang terdapat di dalamnya. Dari informasi tersebut dapat dilakukan proses analisis dan klasifikasi secara cepat memanfaatkan algoritma perhitungan komputer. Pengolahan citra sangat berhubungan dengan teknologi komputer dan algoritma matematik untuk mengenali, membedakan serta menghitung gambar. Perolehan citra dan segmentasi sistem pengambilan citra (gambar) terdiri dari empat komponen dasar yaitu : illuminasi, kamera, hardware dan software. Format data citra digital berhubungan erat dengan warna. Pada kebanyakan kasus, terutama untuk keperluan penampilan secara visual, nilai data digital merepresentasikan warna dari citra yang diolah. Format citra digital yang banyak dipakai adalah citra biner (monokrom), citra skala keabuan (gray scale), citra warna (true color), dan citra warna berindeks. Proses segmentasi suatu objek citra dilakukan dengan menerapkan threshold dan mengurangi latar belakang untuk memperoleh citra biner. Thresholding atau binerisasi yaitu pengelompokan piksel-piksel dalam citra berdasarkan batas nilai intensitas tertentu. Pada operasi ini hasil proses suatu titik atau piksel tidak tergantung pada kondisi piksel-piksel disekitarnya. Dalam operasi binerisasi, satu piksel pada citra asal akan dipetakan menjadi piksel objek atau latar belakang. Operasi thresholding dapat dilakukan dengan hanya melihat nilai-nilai intensitas sinyal merah, sinyal hijau, atau sinyal biru, ataupun dengan citra grayscale yang dihasilkan dengan merata-ratakan nilai intensitas ketiga sinyal diatas. Keempat cara thresholding ini di gunakan untuk memberi keleluasaan kepada pengguna untuk menghasilkan citra terbaik berdasarkan kondisi citra warna yang akan diproses. Cahaya di dalam ruangan harus datang dari segala arah agar tidak menimbulkan bayangan, dan tidak terlalu kuat agar tidak menimbulkan efek pantulan pada permukaan obyek, terutama untuk obyek-obyek yang mempunyai permukaan licin dan berkilap (Ahmad 2005). Komposisi Kimia dan Mutu Simplisia Temu Putih dan Temu Lawak Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga berupa bahan yang dikeringkan.

82 59 Simplisia dapat berasal dari tanaman utuh atau bagian dari tanaman, hewan, bahan mineral yang diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Depkes 2008, 1978). Simplisia dari tanaman harus bebas dari serangga, fragmen hewan atau kotoran, tidak boleh menyimpang bau dan warnanya, tidak mengandung lendir, jamur/cendawan dan bahan lain yang beracun atau berbahaya. Temu putih merupakan tanaman semak dengan tinggi sekitar 2 m dan memiliki batang semu, batang di dalam tanah membentuk rimpang berwarna kuning-hijau. Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah umbi akar yang diiris dan dikeringkan. Rimpang temu putih mengandung zat warna kuning yaitu kurkuminoid (diarilheptanoid) dan senyawa kimia lain, seperti: minyak atsiri, zingiberen, sineol, polisakarida, dan golongan lain. Kurkuminoid yang telah diketahui meliputi kurkumin, desmektosikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin (Gambar 3-4). Selain itu, bagian minyak temu putih yang mudah menguap (1-1.5%) juga mengandung epikurzerenon, kurdion, dan zedoaron (BPOM, 2007). Chen et al. (2011) menyatakan bahwa komponen yang dominan di dalam Curcuma zedoaria adalah minyak atsiri. Beberapa penelitian melaporkan bahan aktif temu putih bersifat anti kanker (Chen et al. 2011; Seo et al. 2005) dan sudah diuji menjadi anti oksidan (Mau et al. 2003). Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia yang tumbuh liar di hutan-hutan di dataran rendah hingga 1500 m di atas permukaan laut (Syukur 2003). Rimpang temu lawak segar terdiri atas minyak atsiri, lemak, zat warna, protein, resin, selulosa, pati, mineral dan air. Rimpang keringnya mengandung 7-30% minyak atsiri, 30-40% pati dan % kurkuminoid yang terdiri atas 58-71% kurkumin (C 21 H 20 O 6 ) dan 29-42% desmetoksikurkumin (C 20 H 18 O 5 ) (Yasni et al. 1993; Purseglove et al. 1981). Minyak atsiri memberi bau dan rasa yang khas sedangkan kurkuminoid memberi warna kuning pada rimpang temu lawak yang bersifat antibakteria, anti-kanker, anti-tumor dan anti-radang. Selain itu rimpang temu lawak mengandung antioksidan dan hypokolesteromik (Masuda et al. 1992; Hwang et al. 2000; Choi et al. 2005).

83 60 Gambar 3-4. Struktur kimia kurkuminoid C. xanthorrhiza (Masuda et al. 1992) Standar mutu simplisia didasarkan pada Farmakope Herbal Indonesia (FHI) dan Materia Medika Indonesia (MMI) (Depkes 2008, 1979). Standar simplisia temu putih masih belum tercantum dalam FHI dan MMI sehingga didekati dengan spesies lain dari genus yang sama. Pada Tabel 3-1 ditampilkan standar mutu beberapa genus Curcuma yaitu kunyit (C. domestica), temu mangga (C. mangga) dan temu lawak (C. xanthorrhiza). Tabel 3-1. Standar mutu beberapa simplisia genus Curcuma 1) Parameter Kunyit Temu mangga Temu lawak Kadar air 2) < 10% < 10% < 10% Kadar abu < 8.2% < 6.1% < 4.8% Kadar abu tidak larut dalam asam < 0.9% < 2.4% < 0.7% Kadar sari larut dalam air > 11.5% > 19.6% > 9.1% Kadar sari larut dalam alkohol > 11.4% > 2.4% < 3.6% Kadar kurkumin > 6.6% - > 4.0% Bahan organik asing 3) < 2% < 2% < 2% Sumber : 1) Depkes (2008); 2) Kepmenkes 661/1994; 3) Depkes (1979) Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari Nopember 2010 di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Bagian Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB.

84 61 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah irisan rimpang temu putih dan temu lawak dengan umur panen 9 bulan yang diperoleh dari Kebun Petak Pamer Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Cimanggu-Bogor. Alat yang digunakan antara lain: pengering laboratorium terkendaliterakuisisi, timbangan digital model AQT 200 (kapasitas 200 gram dan ketelitian 0.01 gram), oven Ikeda Scientific SS204D, desikator, anemometer Kanomax A541, seperangkat kamera dan pengolah data. Prosedur Percobaan Kegiatan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan bahan, persiapan peralatan, dan pengambilan data perubahan massa dan citra. Sampel temu putih dan temu lawak yang sebelumnya telah dicuci dan dipotong-potong dengan ketebalan 3 mm dikeringkan dengan alat pengering lab terkendali. Pengontrolan kondisi pengeringan dilakukan dengan kontrol PID dengan akurasi suhu ± 1 o C dan RH ± 2% sesuai dengan standar (ASABE 2006). Sensor suhu dan RH menggunakan SHT15 keluaran Sensirion. Secara keseluruhan alat pengering dikontrol oleh mikroprosesor AVR Atmel. Alat ini dilengkapi juga dengan sistim humidifier 2000 W, sistim pemanas 2000 W, kipas elektrik dan dehumidifier. Kecepatan udara pengering yang melalui ruang pengering (drying chamber) yang berdimensi 35 cm 35 cm 35 cm dikontrol secara manual dan diukur dengan menggunakan anemometer digital Kanomax dengan akurasi ± 0.1 m/s. Laju aliran udara m/detik. Skema alat pengering terlihat pada Gambar 1-1. Pada setiap percobaan, alat pengering dihidupkan sekitar satu jam sebelum dimulai untuk menstabilkan ruangan pengering sesuai dengan kondisi percobaan yang diinginkan. Percobaan dihentikan setelah berat sampel konstan. Berat dan suhu bahan serta suhu dan kelembaban udara pengering dimonitor secara kontinu dan direkam datanya setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan berat sampel diukur langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan GF-3000 A&D (kapasitas 3000 g dan akurasi 0.01 g). Demikian juga perekaman citra diukur dan dicatat hingga pengeringan berakhir. Semua data yang diambil langsung direkam oleh perangkat komputer. Analisis citra disimpan dalam format digital yang akan diolah kemudian.

85 62 Kondisi pengeringan yang dilakukan pada studi ini adalah pada suhu 50, 60 dan 70 o C dengan RH 20%, 30% dan 40%. Luas permukaan sampel simplisia bervariasi antara 276 hingga 496 mm 2. Sampel hasil pengeringan pada berbagai kondisi percobaan pengeringan kemudian dianalisis kandungan zat aktif kurkuminoidnya dan juga dilakukan analisis proksimat. Pada Tabel 3-2 dapat dilihat kondisi pengeringan untuk studi penyusutan temu putih dan temu lawak. Tabel 3-2. Kondisi suhu & RH percobaan pada studi penyusutan temu putih dan temu lawak Temu putih Temu lawak Suhu/RH 20% 30% 40% 40% 50 o C 60 o C 70 o C Perekaman Citra Selama pengeringan berlangsung citra sampel direkam ke komputer dengan resolusi 640 x 480 piksel. Citra direkam setiap 5 menit dengan kamera yang ditempatkan pada bagian atas alat pengering dengan jarak 15 cm dari permukaan bahan. Citra irisan temu putih yang telah direkam, kemudian disimpan dalam sebuah arsip (file). Citra tersebut kemudian dianalisis dengan program pengolahan citra yang dibuat untuk kondisi percobaan ini. Analisis penyusutan dilakukan terhadap area (luasan) penampang bahan. Data hasil analisis citra kemudian dihitung untuk mendapatkan rasio penyusutan area atau luas permukaan bahan yang terjadi selama proses pengeringan berlangsung (Tulliza 2010). Obyek yang direkam terdiri atas banyak sekali piksel yang saling terkoneksi. Dalam citra digital yang dipresentasikan dalam bentuk rangkaian kotak persegi-empat, sebuah piksel mempunyai empat piksel tetangga yang bersentuhan sisi dan empat piksel tetangga lainnya yang bersentuhan di sudut. Operasi morfologi diterapkan pada citra adalah metode biner, dimana suatu citra hanya mengandung dua macam informasi intensitas, yaitu piksel-piksel obyek (warna putih) dan piksel-piksel latar belakang (warna hitam). pengolahan citra dapat dilihat pada Gambar 3-5. Skema proses

86 63 Simplisia TP & TL Gambar 3-5. Ilustrasi proses pengolahan citra (Tulliza 2010) Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan Anova untuk mengevaluasi keragaman dan regresi linier dan non linier untuk mendapatkan model yang sesuai. Program yang digunakan untuk analisis data adalah MS Excell dan CurveExpert Kriteria yang digunakan untuk memilih model yang sesuai adalah R 2 (coefficient of determination) dan SE (standard of error). Analisis Penyusutan Penyusutan menggambarkan pengurangan atau pengecilan ukuran atau dimensi volume, area (luas permukaan) ataupun ketebalan bahan. Penyusutan volume bahan yang dikeringkan dirumuskan sebagai berikut: S = V V 0 (3.8) Pada analisis ini penyusutan diasumsikan seragam (isotropic) sehingga penyusutan ketebalan sebanding dengan pengurangan dimensi permukaan bahan yang berbentuk slab sehingga ratio penyusutan ketebalan dan volume adalah: L L 0 = A A 0 1/2 (3.9)

87 64 V V 0 = A A 0 3/2 (3.10) Secara teoritis pengurangan volume bahan yang dikeringkan sebanding dengan volume air yang keluar sehingga model penyusutan volume menggunakan persamaan linier sebagai berikut, V V 0 = a M M 0 + b (3.11) Analisis Mutu Simplisia Analisis mutu simplisia temu putih dan temu lawak dilakukan untuk melihat kadar proksimat dan bahan aktifnya dalam hal ini kadar kurkumioid. Analisis sampel dilakukan di laboratorium yang telah disertifikasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) yaitu Laboratorium Analisis Mutu Balittro Bogor dan Pusat Studi Biofarmaka Bogor. Hasil analisis dibandingkan dengan standar simplisia yang mengacu pada standar Materia Medika Indonesia. Hasil dan Pembahasan Penyusutan Temu Putih Pengamatan terhadap penyusutan luas permukaan irisan temu putih dan temu lawak diplot menjadi kurva rasio area (A/A 0 ) terhadap waktu (Gambar 3-6) dan rasio kadar air (M/M 0 ) (Gambar 3-7). Dari gambar tersebut terlihat luas permukaan simplisia berkurang cepat pada awal pengeringan dan kemudian perlahan dan stabil pada akhir pengeringan. Dari grafik pada berbagai suhu terlihat semakin tinggi suhu pengeringan semakin tinggi linieritas penyusutan terhadap rasio kadar air, sedangkan untuk RH tingkat linieritasnya lebih rendah dan tidak memperlihatkan suatu pola. Dengan menggunakan persamaan (3.10) maka penyusutan volume simplisia dapat ditentukan dan kurvanya (V/V 0 )terhadap rasio kadar air diplot pada Gambar 3-8. Penyusutan volume temu putih terlihat berbanding lurus dengan pengurangan kadar air. Hasil uji anova menunjukkan bahwa suhu dan RH berpengaruh tidak nyata terhadap penyusutan (P-value 0.89 dan 0.61).

88 65 A/Ao C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% A/Ao C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar 3-6. Penyusutan area sampel temu putih terhadap waktu pengeringan A/Ao C, 40% C, 40% C, 40% M/Mo A/Ao C, 20% C, 30% 50 C, 40% M/Mo Gambar 3-7. Penyusutan area sampel temu putih terhadap kadar air V/Vo C, 40% C, 40% 70 C, 40% M/Mo V/Vo C, 20% C, 30% 50 C, 40% M/Mo Gambar 3-8. Penyusutan volume sampel temu putih terhadap kadar air

89 66 Hasil perekaman citra dengan menggunakan kamera ditampilkan pada Gambar 3-9 dan Gambar ini memperlihatkan degradasi dimensi permukaan irisan temu putih selama pengeringan sebagaimana grafik rasio area yang sudah ditampilkan di atas. Pada suhu 70 o C terjadi pembengkokan (bending) pada sampel temu putih yang diamati, demikian juga pada RH 30%. Gambar 3-9. Penyusutan citra area terhadap waktu pengeringan pada berbagai suhu Gambar Penyusutan citra area terhadap waktu pengeringan pada berbagai RH Pada Tabel 3-3 dapat dilihat besarnya penyusutan pada setiap suhu pengeringan dan banyaknya air yang diuapkan selama pengeringan. Dari tabel

90 tersebut dapat dilihat bahwa persentase pengurangan kandungan air bahan lebih besar daripada penyusutan volume bahan pada semua tingkatan suhu pengeringan. Hal yang sama dilaporkan oleh Wang & Brennan (1995) 67 pada pengeringan kentang dan ubi jalar serta apel oleh Krokida & Maroulis (1997). Penyusutan volume dan area irisan temu putih berdasarkan suhu pengeringan berkisar 81.2%- 93.9% dan 67.1%-84.6% dengan rata-rata (89.3±7.1)% dan (78.1±9.6)%, sedangkan penyusutan kadar air bervariasi %. Pada Tabel 3-4 tertera besarnya penyusutan pada setiap RH pengeringan dan banyaknya air yang diuapkan selama pengeringan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa persentase pengurangan kandungan air bahan juga lebih besar daripada penyusutan volume bahan pada semua tingkatan RH pengeringan. Penyusutan volume dan area irisan temu putih berdasarkan RH pengeringan berkisar 71.3%-81.2% dan % dengan rata-rata (74.6±5.6)% dan (60.1±6.1)%, sedangkan penyusutan kadar air bervariasi %. Tabel 3-3. Penyusutan total temu putih selama pengeringan pada suhu 50, 60 dan 70 o C Suhu RH Area (mm 2 ) Volume (mm 3 ) susut waktu awal akhir susut awal akhir susut air (menit) 70 o C 40% % % 99.6% o C 40% % % 99.2% o C 40% % % 98.7% 360 Tabel 3-4. Penyusutan total temu putih selama pengeringan pada RH 20%, 30% dan 40% Suhu RH Area (mm 2 ) Volume (mm 3 ) susut waktu awal akhir susut awal akhir susut air (menit) 50 o C 40% % % 98.7% o C 30% % % 98.5% o C 20% % % 98.6% 445 Model Penyusutan Temu Putih Pada Gambar 3-11 terlihat total penyusutan volume temu putih menurut waktu. Pada sekitar 90 menit pertama pengeringan, penyusutan volume pada berbagai tingkat suhu juga hampir berupa garis lurus dan semakin landai menuju

91 68 akhir pengeringan, sedangkan pada berbagai tingkat RH hanya linier pada sekitar 60 menit pertama. Gambar 3-12 memperlihatkan kurva total penyusutan volume temu putih menurut rasio kadar air. Kurva total penyusutan terhadap rasio kadar air pada berbagai tingkat suhu terlihat lebih linier daripada pada berbagai tingkat RH dengan demikian untuk menyusun model penyusutan temu putih yang didasarkan pada persamaan (3.11) digunakan data pengeringan pada berbagai tingkat suhu. 100% 80% 100% 80% Penyusutan 60% 40% 20% 0% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Waktu (menit) 60% 40% 20% Gambar Total penyusutan volume ((V 0 -V)/V 0 ) temu putih terhadap waktu pengeringan Penyusutan 0% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% Waktu (menit) Penyusutan 100% 80% 60% 40% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Penyusutan 100% 80% 60% 40% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% 20% 20% 0% 0% M/Mo M/Mo Gambar Total penyusutan ((V 0 -V)/V 0 ) temu putih terhadap rasio kadar air Nilai parameter a dan b pada persamaan (3.11) tersebut dapat ditentukan pada setiap suhu dengan regresi linier, hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 3-5. Berdasarkan uji anova diketahui bahwa perbedaan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap penyusutan irisan temu putih sehingga nilai a dan b dari seluruh

92 V/Vo data percobaan pada suhu 50, 60 dan 70 o C digunakan sebagai parameter untuk model penyusutan temu putih. Dari perhitungan seluruh data percobaan diperoleh nilai koefisien a dan b masing-masing adalah dan dengan nilai R 2 sebesar dengan standard error , sehingga model persamaan penyusutan temu putih dapat ditulis sebagai berikut: V V 0 = M M (3.12) Plot grafik persamaan (3.12) tertera pada Gambar Tabel 3-5. Nilai a dan b persamaan (3.10) pada berbagai suhu pengeringan Suhu a b R 2 SE 70 o C o C o C Data Model Penyusutan M/Mo Gambar Kurva model penyusutan temu putih pada berbagai suhu Difusivitas Efektif Temu Putih Dengan menggunakan persamaan (3.7) maka nilai difusivitas efektif dengan penyusutan dan tanpa penyusutan pada setiap kondisi pengeringan dapat ditentukan (Tabel 3-6). Nilai difusivitas efektif dengan mempertimbangkan

93 penyusutan berada pada kisaran m2/s lebih kecil daripada tanpa penyusutan yang berada pada kisaran m2/s. Hal yang sama dilaporkan oleh Zielinska & Markowski (2010) untuk produk irisan rimpang lainnya (wortel) yaitu antara m2/s dan antara m2/s masing-masing untuk dengan penyusutan dan tanpa penyusutan. Tabel 3-6. Nilai difusivitas efektif temu putih pada berbagai kondisi pengeringan Suhu, RH Model D-ef (m 2 /s) R 2 SE 70 C, 40% Shrinkage 5.68E No-Shrinkage 1.17E C, 40% Shrinkage 5.04E No-Shrinkage 1.06E C, 40% Shrinkage 4.74E No-Shrinkage 9.51E C, 30% Shrinkage 5.81E No-Shrinkage 1.13E C, 20% Shrinkage 6.19E No-Shrinkage 1.16E Nilai koefisien determinasi dan standard error rata-rata dari model shrinkage adalah 99.5% dan sedangkan untuk model no-shrinkage adalah 99.5% dan 0.018, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor penyusutan tidak membuat perbaikan pada model. Dengan demikian terbuka kemungkinan bahwa penyusutan temu putih tidak bersifat isotropik. Dari data pada tabel di atas disusun persamaan difusivitas sebagai fungsi suhu pengeringan. Dengan menggunakan metode regresi non-linier didapatkan koefisien D 0 (Arhenius factor) dan energi aktivasi (Ea) masing-masing adalah 3.33x10-7 m 2 /detik dan kj/mol dengan R 2 dan standard error masing-masing sebesar 1.00 dan 2.1x Persamaannya ditulis sebagai: D = exp R T abs (3.13) Dengan mempertimbangkan faktor penyusutan maka didapatkan koefisien D 0 dan Ea masing-masing adalah 1.05x10-7 m 2 /detik dan kj/mol dengan R 2 dan standard error masing-masing sebesar 0.96 dan 1.3x10-10 dan ditulis sebagai:

94 71 D = exp R T abs (3.14) Penyusutan Temu Lawak Pengamatan terhadap penyusutan luas permukaan irisan temu lawak diplot menjadi kurva rasio area (A/A 0 ) dan rasio volume terhadap waktu (Gambar 3-14). Dari gambar tersebut terlihat luas permukaan irisan temu lawak menyusut cepat pada awal pengeringan dan kemudian perlahan dan stabil pada akhir pengeringan. Penyusutan volume temu lawak menurut waktu terlihat identik dengan kurva pengeringan, hal ini sejalan dengan grafik penyusutan terhadap kadar air (M/M 0 ) (Gambar 3-15) yang menunjukkan kecenderungan hubungan yang linier terutama pada saat awal pengeringan. Hasil uji anova menunjukkan bahwa suhu berpengaruh tidak nyata (α = 0.01) terhadap penyusutan temu lawak dengan P- value sebesar Hasil perekaman citra dengan menggunakan kamera ditampilkan pada Gambar Gambar ini memperlihatkan degradasi dimensi permukaan irisan temu lawak selama pengeringan sebagaimana grafik rasio area yang sudah ditampilkan di atas. Pada suhu 60 o C terlihat sampel temu lawak mengalami pembengkokan C 60 C 70 C C 60 C 70 C A/Ao V/Vo Waktu (menit) Gambar Penyusutan area (kiri) dan volume (kanan) temu lawak terhadap waktu pengeringan Waktu (menit)

95 A/Ao C 60 C 70 C M/Mo Gambar Penyusutan area (kiri) dan volume (kanan) temu lawak terhadap kadar air V/Vo C 60 C 70 C M/Mo Gambar Penyusutan citra area temu lawak pada berbagai suhu pengeringan Pada Tabel 3-7 dapat dilihat besarnya penyusutan pada setiap suhu pengeringan dan banyaknya air yang diuapkan selama pengeringan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa persentase pengurangan kandungan air temu lawak lebih besar daripada penyusutan volume bahan pada semua tingkatan suhu pengeringan, hal yang sama juga terjadi pada temu putih. Penyusutan volume dan area irisan temu lawak berdasarkan suhu pengeringan berkisar 73.3%-88.5% dan 58.6%-74.4% dengan rata-rata (79.9±7.8)% dan (66.2±9.2)%, sedangkan penyusutan kadar air bervariasi % dengan rata-rata (98.9±0.3)%.

96 73 Tabel 3-7. Penyusutan total temu lawak selama pengeringan pada suhu 50, 60 dan 70 o C Suhu RH Area (mm 2 ) Volume (mm 3 ) susut waktu awal akhir susut awal akhir susut air (menit) 70 o C 40% % % 98.9% o C 40% % % 99.2% o C 40% % % 98.7% 480 Pada Gambar 3-17 terlihat total penyusutan volume temu lawak menurut waktu dan kadar air. Pada sekitar 120 menit pertama pengeringan, penyusutan volume pada berbagai tingkat suhu meningkat secara linier dan kemudian stabil sampai akhir pengeringan. Kurva total penyusutan menurut kadar air memperlihatkan bahwa pada saat awal pengeringan nilai rasio kadar air sekitar pertambahan penyusutan cenderung linier dan cenderung stabil setelah selang tersebut. Penyusutan 100% 80% 60% 40% 20% 0% 50 C 60 C 70 C Waktu (menit) Gambar Total penyusutan volume ((V 0 -V)/V 0 ) temu lawak terhadap waktu pengeringan (kiri) dan rasio kadar air (kanan) Penyusutan 100% 80% 60% 40% 20% 0% 50 C 60 C 70 C M/Mo Nilai parameter a dan b pada persamaan (3.10) dapat ditentukan pada setiap suhu dengan regresi linier, hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 3-8. Berdasarkan uji anova diketahui bahwa perbedaan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap penyusutan irisan temu lawak. Dari perhitungan seluruh data percobaan diperoleh nilai koefisien a dan b masing-masing adalah dan dengan nilai R 2 sebesar 90% dan standard error , sehingga model persamaan penyusutan temu lawak dapat ditulis sebagai berikut:

97 V V 0 = M M (3.14) 74 Tabel 3-8. Nilai a dan b persamaan penyusutan temu lawak Suhu a b R 2 SE 70 o C o C o C Dengan mengunakan program CurveExpert didapatkan bahwa curve fitting terbaik berupa persamaan polinomial yang dalam hal ini diambil persamaan polinomial pangkat tiga. Persamaannya adalah sebagai berikut: V V 0 = M M M M M M0 3 (3.15) dengan R 2 sebesar 93% dan standard error Nilai koefisien determinasi model polinomal tidak terlalu berbeda dari model linier, dengan demikian persamaan linier sudah memadai untuk digunakan sebagai model penyusutan temu lawak. Plot grafik model persamaan penyusutan temu lawak tertera pada Gambar Dengan menggunakan persamaan (3.7) maka nilai difusivitas efektif dengan penyusutan dan tanpa penyusutan dapat ditentukan berdasarkan data pengeringan pada setiap kondisi pengeringan (Tabel 3-9). Nilai difusivitas efektif temu lawak dengan mempertimbangkan penyusutan berada pada kisaran m2/s lebih kecil daripada tanpa memertimbangkan penyusutan yang berada pada kisaran m2/s. Hal yang sama juga terjadi pada produk irisan rimpang temu putih yaitu antara kisaran m2/s dan m2/s masing-masing untuk dengan penyusutan dan tanpa penyusutan.

98 V/Vo V/Vo r = Data Model Penyusutan 0.2 Data Model Penyusutan M/Mo M/Mo Gambar Kurva model penyusutan temu lawak dengan persamaan linier (kiri) dan polinomial (kanan) Tabel 3-9. Nilai difusivitas efektif temu lawak pada berbagai suhu pengeringan Suhu, RH Model D-ef (m 2 /s) R 2 SE 70 C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% Shrinkage 7.18E No-Shrinkage 1.44E Shrinkage 4.95E No-Shrinkage 1.18E Shrinkage 4.93E No-Shrinkage 1.04E Nilai koefisien determinasi dan standard error rata-rata dari model shrinkage adalah 99.1% dan sedangkan untuk model no-shrinkage adalah 99.6% dan 0.016, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor penyusutan tidak membuat perbaikan pada model. Dengan demikian penyusutan temu lawak diduga tidak bersifat isotropik. Dari data pada Tabel 3-9 disusun persamaan difusivitas efektif sebagai fungsi suhu pengeringan dengan menggunakan metode regresi non-linier. Nilai koefisien D 0 (Arhenius factor) dan energi aktivasi (Ea) temu lawak masing-masing adalah 2.77x10-6 m 2 /detik dan kj/mol dengan R 2 dan standard error masing-masing sebesar dan 2.01x ditulis sebagai berikut: Persamaannya D = 2.77x10 6 exp R T abs (3.16)

99 76 Analisis Mutu Simplisia Tabel 3-10 memperlihatkan hasil analisis proksimat simplisia temu putih pada berbagai suhu. Nilai kadar proksimat semua parameter pada seluruh kondisi suhu pengeringan telah sesuai dengan standar untuk simplisia kunyit dan temu mangga kecuali untuk suhu 60 o C-RH 40% pada parameter kadar abu tidak larut asam memiliki nilai 3.31% yang cenderung berbeda dengan nilai pada parameter yang sama suhu yang berbeda. Kadar kurkumin simplisia temu putih ditampilkan pada Tabel 3-11 yang berkisar antara %. Dari tabel tersebut nilai-nilai kadar akhir kurkumin tidak memiliki pola yang signifikan berdasarkan suhu dan RH, tetapi berdasarkan laju udara pengeringan terlihat bahwa kadar kurkumin pada kecepatan rendah cenderung lebih tinggi daripada kecepatan tinggi, angkanya 0.08±0.02% berbanding 0.13±0.02%. Nilai kadar kurkumin pada sampel basah temu putih tidak dapat terdeteksi. Tidak terdeteksinya kadar kurkumin sampel segar dan tidak adanya pola kadar kurkumin temu putih berdasarkan level suhu dan RH diduga disebabkan oleh kecilnya kandungan kurkumin pada simplisia temu putih yang lebih banyak mengandung bahan aktif zingiberen dan zederon (BPOM 2007). Tabel Kadar proksimat simplisia temu putih Parameter Suhu 40 o C 50 o C 60 o C 70 o C Kadar abu (%) Kadar abu tidak larut dalam asam (%) Kadar sari larut dalam air (%) Kadar sari larut dalam alkohol (%) Tabel Kadar kurkumin simplisia temu putih Suhu 40 o C 50 o C 60 o C 70 o C RH 40% 60% 20% 40% 60% 20% 40% 60% 20% 40% % Kadar v kurkumin v Analisis kadar kurkumin simplisia temu lawak pada Tabel 3-12 memperlihatkan kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin rendah kadar kurkuminnya. Pada kondisi suhu 50 dan 60 o C juga terdapat

100 kecenderungan bahwa semakin rendah RH maka semakin rendah kadar kurkumin simplisia temu lawak. Suhu Tabel Kadar kurkumin temu lawak RH 20% 30% 40% Rata-rata menurut suhu 70 o C 2.26% 3.58% 2.14% 2.66% 60 o C 3.07% 4.67% 5.18% 4.31% 50 o C 7.56% 7.60% 7.99% 7.72% Kadar kurkumin (dengan penjemuran) 5.62% Hasil analisa proksimat simplisia temu lawak pada Tabel 3-13 menunjukkan bahwa semua nilai parameter sudah sesuai dengan standar Farmakope Herbal Indonesia (FHI) (Depkes 2008) kecuali parameter kadar abu. Tabel Hasil analisis proksimat simplisia temu lawak Parameter Simplisia Temulawak Standar FHI Sampel Kadar abu < 4.8% 5.44% Kadar abu tdk larut dlm asam < 0.7% 0.47% Kadar sari larut dalam air > 9.1% 16.67% Kadar sari larut dalam alkohol > 3.6% 4.57% 77 Pada Gambar 3-19 dan Gambar 3-20 terlihat simplisia temulawak hasil pengeringan pada berbagai kondisi suhu dan RH pengeringan. Secara visual terlihat adanya gradasi warna temulawak kering baik berdasarkan suhu maupun RH dengan kecenderungan yang sama, semakin tinggi suhu dan RH pengeringan maka warna simplisia yang dihasilkan semakin pudar. Gambar 3-21 memperlihatkan hasil pengeringan irisan rimpang temulawak dengan menggunakan pengering lab (sebelah kiri) dan dengan penjemuran. Warna temulawak hasil penjemuran terlihat lebih gelap dan pucat dibandingkan dengan hasil pengeringan mekanis (lab dryer). Hal ini mengindikasikan bahwa penjemuran langsung dibawah paparan sinar matahari membuat secara fisik-visual hasil pengeringan simplisia tidak begitu baik, demikian juga kadar kurkuminnya masih dibawah kadar pengeringan mekanis pada suhu 50 o C.

101 78 Gambar Gradasi warna simplisia temulawak yang dikeringkan pada suhu 50, 60 dan 70 o C Gambar Gradasi warna simplisia temulawak yang dikeringkan pada RH 20, 30 dan 40% Gambar Hasil pengeringan temulawak dengan lab dryer (kiri) dan penjemuran (kanan)

102 79 Kesimpulan 1. Penyusutan simplisia dipengaruhi oleh kadar air bahan secara linier, sedangkan suhu dan RH udara pengeringan berpengaruh tidak nyata (α =0.01) terhadap penyusutan simplisia temu putih dan temu lawak. 2. Rata-rata penyusutan volume irisan temu putih sebesar 89.3±7.1% sedangkan rata-rata penyusutan volume temu lawak sebesar 79.9±7.8%. Pada suhu 70 o C dan 60 o C irisan temu putih dan temu lawak terlihat mengalami pembengkokan. 3. Model persamaan penyusutan sebagai fungsi kadar air dengan menggunakan persamaan linier mempunyai koefisien determinasi 99% dan 90% masingmasing untuk temu putih dan temu lawak. 4. Penyusutan berpengaruh terhadap nilai difusivitas efektif temu putih dan temu lawak. Nilai difusivitas efektif temu putih dengan mempertimbangkan penyusutan berada pada kisaran m2/s lebih kecil daripada tanpa penyusutan yang berada pada kisaran m2/s. Untuk simplisia temu lawak nilainya sekitar m2/s dan m2/s. 5. Nilai koefisien D 0 (Arhenius factor) dan energi aktivasi (Ea) temu putih masing-masing adalah 3.33x10-7 m 2 /s dan kj/mol. Untuk temu lawak nilainya masing-masing adalah 2.77x10-6 m 2 /s dan kj/mol. 6. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH pengeringan maka semakin rendah kadar kurkumin simplisia. Pada pengeringan temu putih terlihat bahwa kadar kurkumin simplisia cenderung lebih tinggi pada laju udara pengering yang rendah. 7. Ditemukan adanya gradasi warna temulawak kering baik berdasarkan suhu maupun RH, semakin tinggi suhu dan RH pengeringan maka warna simplisia yang dihasilkan semakin pudar. Juga terdapat indikasi bahwa penjemuran langsung dibawah paparan sinar matahari membuat secara fisik-visual hasil pengeringan simplisia tidak begitu baik dibandingkan dengan pengeringan mekanis.

103 BAB 4 ANALISIS ENERGI & EKSERGI PENGERINGAN SIMPLISIA Pendahuluan Pengeringan adalah proses pengolahan hasil pertanian yang paling kritis, kegiatan ini diketahui sebagai proses yang memerlukan banyak energi (Dincer & Sahin 2004). Tingginya harga energi pada saat ini membuat upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi dari suatu proses semakin dibutuhkan. Umumnya teori yang digunakan untuk menganalisis efisiensi energi adalah hukum termodinamika pertama yang menjelaskan konsep kekekalan energi. Akan tetapi teori ini mempunyai keterbatasan dalam mengukur penurunan kualitas energi akibat pembentukan entropi selama proses (Graveland & Gisolf 1998). Dalam menentukan efisiensi proses pengeringan utamanya lapisan tipis yang prosesnya diasumsikan bersifat adiabatis, nilai efisiensi yang dihitung bukanlah nilai sebenarnya melainkan nilai efisiensi dari alat pengering. Untuk mengetahui apakah energi yang masuk ke dalam suatu sistem pengering sudah digunakan secara optimal dari sisi kualitas, digunakan metode analisis berdasarkan hukum termodinamika kedua. Kaidah ini menyatakan bahwa selain memiliki kuantitas, energi juga memiliki kualitas. Besaran dari kualitas energi ini disebut eksergi (Ahern 1980). Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Rosc.) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan dua komoditas tanaman obat yang memerlukan proses pengeringan yang baik dalam pembuatan simplisianya. Simplisia adalah bahan baku untuk pembuatan jamu atau obat tradisional. Bagian tanaman yang digunakan adalah umbi akar atau rimpang yang diiris dan dikeringkan. Kadar air rimpang temu putih dan temu lawak saat dipanen berkisar 80-90%, angka ini cukup tinggi sehingga dibutuhkan banyak energi untuk proses pengeringannya mengingat kadar air final yang diinginkan adalah 10%. Untuk itu pengeringan simplisia temu putih dan temu lawak perlu dipelajari agar didapatkan proses yang efisien. Metode analisis eksergi digunakan dalam menghitung eksergi yang musnah (exergy destruction) dan mengkaji efisiensi proses. Pada beberapa tahun terakhir ini analisis eksergi telah menjadi metode penting yang komprehensif dan mutakhir dalam studi tentang desain, analisis dan

104 82 optimasi suatu sistem termal. Walaupun demikian, pemakaian metode eksergi untuk menganalisis proses pengeringan produk pertanian masih belum banyak dilakukan (Dincer & Sahin 2004). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sistem termodinamika pengeringan lapisan tipis, melakukan analisis energi dan eksergi pengeringan serta menentukan efisiensi proses pengeringan lapisan tipis simplisia temu putih dan temu lawak. Tinjauan Pustaka Sistem Termodinamika Termodinamika didefinisikan sebagai ilmu dasar mengenai energi. Energi sendiri dapat dipandang sebagai kemampuan melakukan perubahan. Termodinamika berasal dari bahasa Yunani therme (berarti panas) dan dynamis (berarti tenaga), secara deskriptif diartikan sebagai usaha untuk mengubah panas menjadi tenaga (Cengel & Boles 2002). Sistem termodinamika didefinisikan sebagai besaran atau ukuran sesuatu atau suatu area yang dipilih untuk dianalisis. Permukaan yang riil ataupun bersifat khayal yang memisahkan sistem dengan lingkungannya disebut dengan batas (boundary) seperti terlihat pada Gambar 4-1. Dalam aplikasinya batas sistem maupun lingkungannya merupakan bagian dari sistem, dan dapat tetap atau berubah posisi (bergerak). lingkungan sistem batas (boundary) Gambar 4-1. Skema sistem termodinamika Suatu sistem termodinamika dapat dibedakan menjadi sistem tertutup (closed system) atau terbuka (open system), tergantung pada apakah sistem tersebut mengacu kepada kaidah massa-tetap (fixed mass) atau volume-tetap (fixed volume). Dalam sistem tertutup jumlah massa dari sistem yang dianalisis tetap

105 83 (tidak ada massa keluar dari atau masuk kedalam sistem), tetapi volumenya bisa berubah. Pada sistem tertutup, yang dapat keluar-masuk adalah energi dalam bentuk panas atau kerja. Pada sistem terbuka yang dikenal juga sebagai volume terkontrol (control volume system), energi dan massa dapat keluar atau masuk kedalam sistem melewati batas sistem. Sistem terbuka biasanya berhubungan erat dengan peralatan atau proses yang mempunyai aliran massa. Sebagian besar mesin-mesin konversi energi adalah sistem terbuka. Sistem aliran pada alat atau proses ini dapat dikaji dengan baik dengan memilih batas yang memenuhi prinsip volume terkontrol (Cengel & Boles 2002). Karakteristik yang menentukan sifat dari sistem disebut properti (property) sistem, seperti tekanan P, temperatur T, volume V, massa m. Selain itu ada juga properti yang diturunkan dari properti sebelumnya seperti, berat jenis, volume spesifik, panas jenis, dan lain-lain. Suatu sistem dapat berada pada suatu kondisi yang tidak berubah, apabila masing-masing jenis properti sistem tersebut dapat diukur pada semua bagiannya dan tidak berbeda nilainya. Kondisi tersebut disebut sebagai keadaan (state) tertentu dari sistem, dimana sistem mempunyai nilai properti yang tetap. Apabila propertinya berubah, maka keadaan sistem tersebut disebut mengalami perubahan keadaan. Suatu sistem yang tidak mengalami perubahan keadaan disebut dalam keadaan seimbang (equilibrium). Perubahan sistem termodinamika dari keadaan seimbang satu menjadi keadaan seimbang lain disebut proses, dan rangkaian keadaan diantara keadaan awal dan akhir disebut lintasan proses (Gambar 4-2). Suatu sistem disebut menjalani suatu siklus, apabila sistem tersebut menjalani rangkaian beberapa proses, dengan keadaan akhir sistem kembali ke keadaan awalnya (Gambar 4-3). keadaan 1 lintasan proses keadaan 2 Gambar 4-2. Proses dari keadaan 1 ke keadaan 2

106 84 P 1 2 Gambar 4-3. Diagram siklus termodinamika dengan 2 proses V Keseimbangan Massa Persoalan keteknikan pada umumnya akan melibatkan aliran massa yang masuk dan keluar sistem, kondisi demikian sering dimodelkan sebagai sistem terbuka atau kontrol volume. Pemanas air, radiator mobil, turbin dan kompresor. semuanya melibatkan aliran massa dan dianalisis dengan kontrol volume (sistem terbuka) sebagai pengganti kontrol massa pada sistem tertutup. Batas dari sebuah volume atur disebut dengan permukaan atur (control surface) yang dapat berupa batas riil maupun imajiner. Kasus pada nosel misalnya, bagian dalam nosel merupakan batas riil sedangkan bagian masuk dan keluar nosel merupakan batas imajiner, karena pada bagian ini tidak ada batas secara fisik. Untuk sistem tertutup, prinsip konservasi massa telah jelas karena tidak ada perubahan massa dalam sistem. Tetapi untuk volume atur, karena aliran massa dapat melintasi batas sistem, maka jumlah massa yang masuk dan keluar sistem harus diperhitungkan. Jumlah massa yang mengalir melintasi satu unit bagian atau subsistem per satuan waktu disebut mass flow rate yang dinotasikan dengan m. m in m out = dm dt (4.1) Jika zat cair atau gas mengalir masuk dan keluar kedalam suatu sistem volume atur melalui pipa atau saluran, maka jumlah massanya adalah proporsional terhadap luas permukaan A, densitas dan kecepatan alir fluida. dm = ρv n (da) (4.2) dimana v n adalah komponen kecepatan normal terhadap da.

107 85 Keseimbangan Energi (Energy Balance) Hukum termodinamika pertama adalah salah satu kaidah alam yang paling mendasar yakni prinsip kekekalan energi (energy conservation principle). Kaidah tersebut menyatakan bahwa energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya, tetapi jumlah total energinya tetap sama. Hukum pertama termodinamika juga menyatakan bahwa energi merupakan suatu properti termodinamika (thermodynamic property) (Cengel & Boles 2002). Keseimbangan energi diartikan sebagai perubahan total energi yang terjadi dalam suatu sistem proses adalah setara dengan selisih antara jumlah energi yang masuk dengan jumlah energi yang keluar sistem sepanjang proses tersebut. Pengertian ini sering juga didefinisikan sebagai selisih antara transfer panas bersih dengan kerja bersih yang dihasilkan. E in E out = E system atau Q W = E (4.3) Prinsip keseimbangan energi dapat diterapkan pada semua sistem pada semua jenis proses. Perhitungan besarnya perubahan energi suatu sistem pada satu proses tertentu melibatkan evaluasi besaran energi pada saat awal dan akhir proses tersebut. Perubahan energi dalam suatu sistem selama satu proses adalah jumlah dari perubahan energi dalam (internal energy), energi kinetik dan potensial, E = U + KE + PE (4.4) Enegi yang dapat melintasi batas dari suatu sistem tertutup hanya dalam dua bentuk yaitu panas (heat) dan kerja (work), yang umumnya tidak melibatkan perubahan kecepatan dan ketinggian selama proses. Untuk sistem ini perubahan energi kinetik dan energi potensial dapat diabaikan sehingga hukum termodinamika pertama dapat direduksi menjadi: Q W = U (4.5) Q W = de dt (4.6) Dalam sistem terbuka keseimbangan energi mengikuti prinsip berikut (Bejan et al. 1996), laju akumulasi energi adalah sama dengan selisih laju energi masuk dengan yang keluar. Energi dapat ditransfer ke atau dari suatu sistem

108 86 terbuka dalam tiga bentuk: panas, kerja dan massa (mass flow), hal ini dikenali ketika mereka melewati batas sistem berupa energi yang masuk atau yang keluar. Persamaan umum keseimbangan energi untuk sistem terbuka adalah: de dt = Q W + m i i i + V 2 i 2 + gz i m o o + V o 2 o 2 + gz o (4.7) Keseimbangan Entropi (Entropy Balance) Entropi adalah ukuran atau tingkat ketidakteraturan suatu zat dalam tinjauan molekuler. Entropi merupakan sifat dari zat karena itu tidak tergantung proses. Properti entropi ditemukan oleh Clausius pada tahun 1865 yang diberi simbol S dan didefinisikan sebagai (Cengel & Boles 2002) : ds = δq T int rev (kj/k) (4.8) Perubahan entropi dari suatu sistem proses dapat ditentukan dengan mengintegralkan persamaan (4.8) diatas pada selang batas keadaan awal dan akhir proses. S = S 2 S 1 = 1 2 δq T int rev (4.9) ds = δq T int rev (4.10) TdS = dq (4.11) Persamaan 4.11 di atas dikenal sebagai persamaan Tds, dengan menggunakan persamaan keseimbangan energi (panas dan kerja) maka persamaan Tds dapat diturunkan menjadi dua persamaan dasar berikut, Tds = du + pdv (4.12) Tds = d vdp (4.13) Untuk gas ideal berlaku du = c v (T)dT, dh=c p (T)dT dan pv = RT, sehingga berdasarkan relasi ini persamaan 4.12 dan 4.13 dapat ditulis menjadi : ds = c v T dt T + R dv v (4.14)

109 ds = c p T dt T R dp p 87 (4.15) Bejan et al. (1996) menyatakan bahwa entropi -sebagaimana massa dan energi- adalah suatu properti ekstensif sehingga dapat ditransfer oleh aliran massa kedalam atau keluar sistem terbuka. Persamaan umum keseimbangan entropi pada sistem terbuka adalah sebagai berikut, ds dt = j Q j T j + i m i s i o m o s o + sgen (4.16) dimana ds/dt adalah laju perubahan entropi dalam sistem terbuka, m is i dan m os o adalah laju transfer entropi kedalam dan keluar volume atur akibat adanya laju aliran massa. Q j dan T j adalah laju pindah panas pada batas sistem dan suhu pada saat terjadi pindah panas. Rasio Q j /T j menunjukkan jumlah laju pindah panas dalam hubungannya dengan laju transfer entropi, sedangkan sgen adalah laju pembentukan entropi akibat adanya irreversibilitas. Kesimbangan Eksergi (Exergy Balance) Hukum termodinamika kedua menyatakan bahwa selain memiliki kuantitas, energi juga memiliki kualitas, dan suatu proses yang riil akan berlangsung pada arah kualitas energi yang semakin menurun. Jadi walaupun tidak ada kuantitas energi yang hilang, kualitas energi selalu berkurang selama proses. Besaran dari kualitas energi ini disebut eksergi. Bentuk persamaan umum eksergi atau disebut juga energi yang tersedia (available energy) pada suhu T dan suhu lingkungan T 0 (Ahern 1980) adalah: Ex T Q T0 s (4.17) Ahern (1980) mendefinisikan eksergi sebagai kerja yang tersedia dalam gas, fluida ataupun massa sebagai suatu akibat dari keadaan ketidakseimbangannya relatif terhadap kondisi acuan (reference condition). Permukaan laut dan kondisi lingkungan adalah ultimate sink yang umum dipakai sebagai kondisi acuan. Eksergi merupakan suatu properti pada kondisi mantap (steady-state) yang nilainya dapat dihitung pada setiap titik dalam suatu sistem termal dari nilai properti lainnya yang ditentukan berdasarkan persamaan

110 keseimbangan energi. Persamaan umum untuk menghitung besaran eksergi pada suatu sistem relatif terhadap kondisi acuannya adalah, Eksergi = (u u 0 ) T 0 (s s 0 ) + P 0 (v v 0 ) + V2 2 + g(z z 0) energi internal entropi kerja momentum gravitasi + μ c μ 0 N c + E i A i F i (3T 4 T 0 4 4T 0 T 3 ) + c 88 kimia emisi radiasi (4.18) dimana subskrip 0 menunjukkan kondisi acuan. Karena eksergi adalah kerja yang tersedia dari berbagai sumber, suku-suku persamaan tersebut dapat dikembangkan dengan menambahkan aliran arus listrik, medan magnit dan aliran difusi. Persamaan eksergi secara umum yang sering digunakan pada kondisi pengaruh gravitasi dan momentum diabaikan adalah sebagai berikut, Ex = ( 0 ) T 0 (s s 0 ) (4.19) Secara alami sifat eksergi bertolak belakang dengan entropi dimana eksergi dapat dimusnahkan tetapi tidak dapat diciptakan. Dengan demikian perubahan eksergi dalam suatu sistem lebih kecil daripada transfer eksergi dikarenakan adanya sejumlah eksergi yang musnah (destroyed exergy), sehingga persamaan keseimbangan eksergi dapat ditulis sebagai berikut (Cengel & Boles 2002) : Ex system = Ex in Ex out Ex destroyed (4.20) dalam bentuk laju aliran persamaan diatas ditulis sebagai berikut, Ex system = Ex in Ex out Ex destroyed (4.21) rate of exergy rate of exergy rate of exergy cange transfer destruction Persamaan umum keseimbangan eksergi dalam sistem terbuka (Bejan et al. 1996) adalah : dex dt = 1 T 0 j T j Q j W P 0 dv dt + m ie i i o m oe o E D (4.22)

111 89 Termodinamika Pindah Panas Apabila pada suatu sistem terbuka transfer energi yang terjadi hanya berupa aliran panas (Gambar 4-4) maka analisis termodinamikanya hanya melibatkan suku pertama dari persamaan (4.7). Analisis berikut ini dapat membantu dalam memahami prinsip analisis termodinamika kedua karena lebih sederhana. T H q H T w mc p q L T L Gambar 4-4. Pindah panas suatu sistem termal Keseimbangan termodinamika sistem ini dapat ditentukan dengan terlebih dahulu menyusun persamaan keseimbangan energi sistem ini sebagai, mc p dt w dt = q H q L (4.23) Persamaan keseimbangan entropi didapatkan dengan membagi semua suku pada semua ruas dengan suhu mutlaknya masing-masing. Selanjutnya persamaan keseimbangan eksergi didapatkan dengan prinsip persamaan 4.17 yaitu mengurangkan energi dengan perkalian entropi dengan suhu acuan (T 0 ). mc p T W dt w dt = q H T H q L T L + S (4.24) mc p dt w dt 1 T 0 T W = q H 1 T 0 T H q L 1 T 0 T L T 0 S (4.25) Dalam keadaan mantap (steady-state) sebagaimana pada Gambar 4-5 maka ruas kiri persamaan diatas sama dengan nol. Dari gambar tersebut terlihat bahwa aliran panas besarannya tetap, sedangkan entropi semakin bertambah dan akibat adanya pembentukan entropi maka eksergi (available energy) menjadi berkurang.

112 90 Gambar 4-5. Skema sistem termal pindah panas (steady-state) Eksergi Udara Pengeringan Studi tentang eksergi udara (moist air) penting dipelajari sebelum melakukan analisis eksergi pengeringan, karena udara pengeringan merupakan sarana utama dalam pengangkutan (transfer) baik energi maupun massa uap air pada sistem pengeringan konvektif. Liley (2002) menyatakan bahwa sangat sedikit informasi yang tersedia dalam literatur mengenai kuantitas numerik eksergi fluida. Jika fluida dapat diasumsikan sebagai gas ideal, maka perhitungan ekserginya tidak terlalu sulit. Burghardt & Harbach (1993) menyatakan bahwa untuk suatu sistem proses yang berlangsung secara psikrometris volume kontrol (control-volume pyschrometric process), nilai eksergi udara pengeringan merupakan jumlah dari eksergi fisik (thermo-mechanical exergy) dan kimia (chemical exergy), dimana menurut Qureshi & Zubair (2003) komponen utama dari eksergi kimia adalah

113 91 eksergi campuran (mixture) dari udara dengan uap air pada berbagai suhu dan kelembaban. Shukuya & Hammache (2002) menyatakan bahwa eksergi fisik dan kimia memiliki peran penting dalam pengkajian sistem termodinamika sesungguhnya dari suatu proses psikrometrik. Sedangkan Bejan et al. (1996) menyatakan bahwa eksergi kimia merupakan komponen utama dari eksergi total dalam suatu campuran zat pada berbagai tingkat suhu dan komposisi. Pada kondisi mantap (steady state) dengan mengabaikan pengaruh energi kinetik dan potensial, persamaan eksergi udara pengeringan dapat ditulis sebagai berikut, e a = 0 T 0 s s 0 + X k μ k,0 μ k n k=1 (4.18) dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa dua suku pertama diruas kanan adalah komponen eksergi fisik dan suku terakhir adalah komponen eksergi kimia. Nilai eksergi spesifik untuk udara lembab yang dianggap sebagai campuran gas ideal yang terdiri dari udara kering dan uap air adalah (Shukuya & Hammache 2002) : e a = C pa + ωc pv T T 0 T 0 ln T T ω R a T 0 ln P P 0 + R a T ω ln ω ω ωln ω ω 0 (4.19) pada persamaan di atas komponen eksergi kimia adalah dua suku terakhir di ruas kanan sedangkan eksergi fisiknya adalah dua suku pertama. Pada suatu sistem dimana perbedaan tekanan dianggap tidak ada (P=P 0 ) maka persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi, E a = m C pa + ωc pv T T 0 T 0 ln T T 0 + R a T ω ln ω ω ωln ω ω 0 (4.20)

114 92 Pada Gambar 4-6 terlihat kurva eksergi udara (kj/kg) yang berbentuk seperti grafik psikrometrik, nilainya dihitung berdasarkan tabel uap, nilai properti udara dan uap air serta psikrometrik standar pada kondisi acuan (T 0 ) 273 K (Liley 2002). Gambar 4-6. Kurva eksergi udara pada berbagai suhu dan RH (Liley 2002) Analisis Eksergi Pengeringan Analisis dengan metode eksergi memiliki dua kelebihan dibandingkan dengan metode keseimbangan panas dalam analisis desain dan kinerja suatu sistem yang berhubungan dengan energi (energy-related system). Pertama, adalah memberikan pengukuran yang lebih akurat dari ketidakefisienan aktual suatu sistem serta lokasi terjadinya ketidakefisienan tersebut. Hal ini berlaku baik untuk sistem yang sederhana maupun rumit. Analisis eksergi juga memberikan ukuran efisiensi sistem sebenarnya untuk suatu sistem siklus kombinasi yang rumit atau sistem terbuka dimana metode keseimbangan panas memberikan nilai efisiensi yang tidak akurat (Ahern 1980). Analisis dengan kaidah termodinamika, khususnya analisis eksergi pada satu dekade ini telah menjadi alat pokok dalam studi tentang desain, analisis dan optimasi suatu sistem termal (Dincer & Sahin 2004). Eksergi diartikan sebagai

115 93 kerja maksimum yang diperoleh atau kerja minimum yang dibutuhkan oleh sistem yang didapatkan dari adanya aliran (stream) massa, panas atau kerja (matter, heat or work). Sebagian dari eksergi yang memasuki sistem termal akan hilang oleh adanya irreversibilitas dari sistem tersebut (Tambunan et al. 2010; Dincer 2002). Konservasi energi dalam proses pengeringan adalah memakai energi seminimum mungkin untuk memindahkan uap air secara maksimum sampai kepada kondisi akhir yang diinginkan dengan tetap memperhatikan kualitas. Secara umum, keseimbangan energi tidak memberikan informasi mengenai kualitas energi yang masuk atau keluar dari suatu sistem. Untuk analisis sistem termal, dalam hukum termodinamika II dikenal konsep eksergi yang merupakan suatu ukuran mutu atau nilai energi. (Mustofa et al. 2007). Demikian juga untuk menganalisis proses pengeringan yang dikenal sebagai sarat energi, kaidah-kaidah termodinamika mulai banyak diterapkan. Beberapa studi mengenai aspek termodinamika dari sistem pengeringan telah dilakukan. Syahrul et al. (2002) mempelajari analisis eksergi pengeringan fluidized bed dari partikel basah (moist particles), Midilli & Kucuk (2003b) melakukan analisis energi dan eksergi proses pengeringan dari biji kenari (pistachio) dengan menggunakan lemari pengering bertenaga surya. Dincer & Sahin (2004) mengembangkan model baru untuk analisis eksergi pada proses pengeringan. Akpinar (2004) melakukan analisis energi dan eksergi proses pengeringan dari irisan paprika merah dalam pengering tipe konveksi. Akpinar et al. (2005, 2006) menyajikan analisis energi dan eksergi proses pengeringan kentang dan labu dengan pengering tipe siklon (cyclone type dryer). Colak & Hepbasli (2007) menyajikan analisis eksergi proses pengeringan lapisan tipis buah zaitun (green olive) dengan pengering rak. Corzo et al. (2008a) mempelajari analisis eksergi dan optimasi pengeringan lapisan tipis irisan buah coroba. Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB Bogor pada bulan Maret 2009 hingga Juni 2010.

116 94 Bahan dan Alat Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah irisan rimpang temu putih dan dikeringkan pada kombinasi suhu 40, 50, 60 dan 70 o C dengan RH 20%, 40%, dan 60%. Sampel dengan tebal irisan sampel sekitar 3-4 mm diletakkan pada wadah sedemikian rupa dalam bentuk lapisan tipis. Sebelum dikeringkan, irisan temu putih terlebih dulu dirandam dalam air dengan suhu 95 o C (diblansir) selama 5 menit (Ertekin & Yaldiz 2004). Pada setiap percobaan, alat pengering dihidupkan sekitar satu jam sebelum dimulai untuk menstabilkan ruangan pengering sesuai dengan kondisi percobaan yang diinginkan. Berat dan suhu bahan serta suhu dan kelembaban udara pengering dimonitor secara kontinu dan direkam datanya setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan berat sampel diukur langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan GF-3000 A&D dengan kapasitas g dan akurasi 0.01 g. Percobaan dihentikan setelah berat sampel konstan. Kadar air akhir percobaan ditentukan dengan mengeringkan sampel selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 o C dengan memakai oven (Kashaninejad et al. 2003). Penelitian pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering terkontrol-terakuisisi. Alat pengering ini dapat diatur pada kondisi suhu dan kelembaban nisbi (RH) yang diinginkan yaitu pada selang suhu o C dan RH 20-90%. Pengontrolan kondisi pengeringan dilakukan dengan kontrol PID dengan akurasi suhu ± 1 o C dan RH ± 2% sesuai dengan standar (ASABE, 2006). Sensor suhu dan RH menggunakan SHT15 keluaran Sensirion. Secara keseluruhan alat pengering dikontrol oleh mikroprosesor AVR Atmel. Alat ini dilengkapi juga dengan sistim humidifier 2000 W, sistim pemanas 2000 W, kipas elektrik dan dehumidifier. Kecepatan udara pengering yang melalui ruang pengering (drying chamber) yang berdimensi 35 cm 35 cm 35 cm dikontrol secara manual dan diukur dengan menggunakan anemometer digital Kanomax dengan akurasi ± 0.1 m/s. Skema alat pengering dapat dilihat pada Gambar 2.1. Metode Analisis Energi dan Eksergi Pengeringan Untuk menelaah persamaan keseimbangan eksergi suatu proses pengeringan perlu digambarkan dahulu diagram atau skema sistem pengeringannya sehingga

117 95 sistem termodinamikanya dapat ditentukan. Proses pengeringan sampel temu putih sebagai bahan padat lembab (moist solid) pada penelitian ini (Gambar 4-7) dapat dikategorikan sebagai sistem terbuka (open system) atau disebut juga control volume system (Dincer & Sahin 2004), pada sistem ini baik massa maupun energi dapat melewati batas sistem tersebut (Cengel & Boles 2002). Gambar 4-7. Skema sistem pengeringan dengan control volume system Sistem pengeringan pada Gambar 4.7 dapat diuraikan dan dijelaskan dalam empat kondisi berikut (Gambar 4.8): Kondisi 1, berhubungan dengan masukan (input) udara pengering ke dalam sistem untuk mengeringkan sampel/produk pada waktu t. Kondisi 2, berhubungan dengan produk yang dikeringkan dan air di dalam produk pada waktu t. Kondisi 3, berhubungan dengan luaran (output) udara lembab yang keluar dari sistem pada waktu t+ t. Kondisi 4, berhubungan dengan produk yang dikeringkan dan air di dalam produk pada waktu t+ t. Sistem termodinamika pengeringan ini dianilisis dengan menggunakan prinsip keseimbangan massa, energi dan eksergi. Selain itu karena proses ini berlangsung secara psikrometrik volume kontrol (Burghardt & Harbach 1993), maka persamaan-persamaan psikrometrik juga digunakan dalam perhitungan sifat-sifat udara (pengeringan).

118 96 Gambar 4.8. Skema input-output proses pengeringan (Dincer & Sahin 2004) Persamaan Keseimbangan Massa Persamaan keseimbangan massa dalam ruang pengering sebagai suatu sistem volume terkontrol (control volume system) mencakup tiga komponen berikut yaitu produk yang dikeringkan, udara dan air/uap air yang ada di dalam fluida pengering dan produk. Selanjutnya, persamaan keseimbangan massa dari tiga komponen tersebut adalah (Dincer & Sahin 2004): Produk :. 2 ) 4 ( ) ( p p p m m m (4.21) Udara :. 1 ) 3 ( ) ( a a a m m m (4.22) Air : ) ( ) ( w a w a m m m m (4.23) Persamaan Keseimbangan Energi Persamaan keseimbangan energi untuk seluruh sistem dirumuskan berdasarkan kaidah energi yang masuk sama dengan energi yang keluar: l w w p p a w w p p a Q h m h m h m h m h m h m ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( (4.24) dimana ) ( ) ( ) ( ) ( g a v a h h h h h (4.25) ) ( ) ( g h a h h (4.26)

119 Entalpi udara pengering dihitung dengan persamaan berikut (Heldman & Singh, 1981): 97 h h a a c pa ( T T ref ) h ( )( T T fg ref ) h fg (4.27) Laju pindah panas karena penguapan mengikuti persamaan (Syahrul et al. 2002) berikut: Q ev mv h fg (4.28) Besarnya laju aliran masa penguapan air simplisia ( m v ) selama selang waktu Δt dihitung dengan membagi selisih bobot dengan selang waktu tersebut. Pada sistem pengeringan lapisan tipis ini, besaran penggunaan energi (energy utilization, EU) adalah sama dengan energi penguapan: EU = Q ev (4.29) Rasio penggunaan energi (energy utilization ratio, EUR) dihitung berdasarkan rasio energi penguapan terhadap energi pemanasan sebagai berikut: Q ev EUR = m a ai a0 (4.30) Persamaan Keseimbangan Eksergi Eksergi masuk, keluar dan yang hilang ke/dari ruang pengering dianalisis berdasarkan hukum kedua termodinamika. Dasar perhitungan untuk analisis eksergi ruang pengering adalah menghitung nilai eksergi dalam keadaan mantap (steady state) (Akpinar et al. 2006; Corzo et al. 2008; Midili & Kucuk 2003b). Dincer & Sahin (2004) menyusun persamaan keseimbangan eksergi sebagaimana persamaan input-output untuk energy balance sebagai berikut: ma e1 m p ( e p ) 2 ( m ) ew ma e m p e p mw e w 2 ( ) 2 3 ( ) 4 ( ) 4 ( w) 4 E q E (4.31) Analogi dengan persamaan 4.19 dan 4.20 maka ekesergi spesifik pada kondisi 1 dari sistem pengeringan temu putih (lihat Gambar 4-8) dapat ditulis sebagai berikut, d

120 98 e 1 = C pa + ω 1 C pv T 1 T 0 T 0 ln T 1 T 0 + R a T ω 1 ln ω ω ω 1 ln ω 1 ω 0 (4.32) Sedangkan eksergi spesifik pada kondisi 3 adalah, e 3 = C pa + ω 3 C pv T 3 T 0 T 0 ln T 3 T 0 + R a T ω 3 ln ω ω ω 3 ln ω 3 ω 0 (4.33) Eksergi spesifik untuk produk dan air di dalam produk dihitung dengan mengacu pada persamaan berikut: e = C p 1 T 0 T (4.34) Eksergi spesifik penguapan: e ev = Q ev 1 T 0 T ev (4.35) Efisiensi eksergi (Burghardt & Harbach 1993): availability of system ex (4.36) availabilty of resources η ex = Exergy inflow Exergy outflow Exergy inflow (4.37) Hasil dan Pembahasan Eksergi Udara Pengeringan Dengan mengabaikan energi kinetik dan potensial maka besaran eksergi udara lembab dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Plot persamaan tersebut pada suhu referensi 303 K (30 o C) dan kelembaban nisbi 70% (kecuali disebutkan lain) dapat dilihat pada Gambar 4-9 dan Sebagai

121 99 perbandingan pada Gambar 4-11 dan 4-12 dapat dilihat plot energi (entalpi) udara pada kondisi yang sama, sedangkan nilainya tertera pada Tabel 4-1 dan 4-2. Dari gambar tersebut terlihat nilai eksergi dan entalpi udara semakin tinggi dengan meningkatnya suhu dan kelembaban nisbi (RH). Terlihat juga bahwa besaran eksergi udara pada kisaran suhu pengeringan o C besarnya sekitar 0-10% dari entalpi yang dikandung oleh udara. Eksergi (kj) % T % RH 70% RH 60% RH 40% RH 20% RH 20% T Suhu (C) Gambar 4-9. Kurva eksergi udara pada berbagai suhu (T 0 = 303 K, RH 0 =70%) Eksergi (kj/kg) C 70 C 60 C 50 C 40 C 30 C RH (%) Gambar Kurva eksergi udara pada berbagai RH (T 0 = 303 K, RH 0 =70%)

122 100 Suhu ( o C) Tabel 4-1. Eksergi udara pengeringan (kj/kg) * Kelembaban Nisbi 20% 40% 60% 70% 80% *Pada kondisi acuan T 0 = 303 K, RH 0 =70% Suhu ( o C) Tabel 4-2. Entalpi udara pengeringan (kj/kg) Kelembaban Nisbi 20% 40% 60% 70% 80% Eksergi udara pengeringan semakin tinggi dengan meningkatnya suhu dan RH pengeringan. Meningkatnya suhu dan RH udara pengeringan mempunyai dampak berlawanan terhadap kecepatan pengeringan, dimana kenaikan suhu berpengaruh positif sedangkan kenaikan RH sebaliknya. Keadaan lingkungan sebagai kondisi acuan mempunyai pengaruh terhadap eksergi udara pengeringan. Penurunan suhu dan RH lingkungan juga akan meningkatkan eksergi udara pengeringan, dan sebaliknya. Udara sebagai suatu campuran yang terdiri dari udara kering dan uap air memiliki nilai eksergi yang merupakan penjumlahan dari eksergi fisik dan kimia. Gambar 4-13 dan 4-14 memperlihatkan komposisi eksergi fisik dan kimia pada berbagai suhu dan RH (pada T 0 = 303 K, RH 0 =70%). Berdasarkan gambargambar tersebut terlihat bahwa eksergi kimia merupakan komponen eksergi yang dominan dibandingkan eksergi fisik. Karena itu kelembaban udara pengeringan memegang peran penting dalam sistem termodinamika dari suatu proses psikrometrik seperti pengeringan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan

123 101 oleh Shukuya & Hammache (2002) serta Bejan et al. (1996). Hal inilah yang membedakan penelitian ini dengan analisis yang dilakukan oleh Corzo et al. (2008a) yang tidak mempertimbangkan rasio kelembaban didalam studi tentang analisis energi dan eksergi pengeringan lapisan tipis irisan buah coroba. Entalpi (kj) % RH 70% RH 60% RH 40% RH 20% RH Suhu (C) Gambar Kurva entalpi udara pada berbagai suhu Entalpi (kj/kg) C 70 C 60 C 50 C 40 C 30 C RH (%) Gambar Kurva entalpi udara pada berbagai RH

124 102 Eksergi (kj/kg) RH 40% Eks. kimia Eks. Fisik Eksergi (kj/kg) RH 60% Eks. kimia Eks. fisik Suhu ( o C) Suhu ( o C) Gambar Kurva eksergi fisik dan kimia udara pengering pada RH 40% & 60% Eksergi (kj/kg) RH 70% Eks. kimia Eks. fisik Eksergi (kj/kg) RH 80% Eks. kimia Eks. fisik Suhu ( o C) Suhu ( o C) Gambar Kurva eksergi fisik dan kimia udara pengering pada RH 70% & 80% Analisis Energi dan Eksergi Pengeringan Temu Putih Analisis termodinamika pengeringan temu putih didasarkan pada data proses pengeringan yang diperoleh dari percobaan dengan mengacu pada keadaan lingkungan T 0 = 30 o C dan RH 0 70% sebagai kondisi referensi (dead state). Kurva pengeringan temu putih pada berbagai suhu dan RH diplot pada Gambar Gambar 4-16 memperlihatkan kurva suhu bahan selama pengeringan sedangkan Gambar 4-17 adalah data pengukuran suhu dan RH udara yang meninggalkan sistem pengeringan. Gambar 4-18 memperlihatkan besaran energi dan eksergi yang masuk ke dalam sistem pengeringan, besarnya bervariasi menurut kombinasi suhu dan RH udara pengering. Semakin tinggi suhu dan RH udara pengering, maka semakin tinggi energi dan ekserginya.

125 103 Massa temu putih (g) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% 40 C, 40% Massa temu putih (g) C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Kurva perubahan massa temu putih terhadap waktu Suhu bahan (C) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% 40 C, 40% Waktu (menit) Suhu bahan (C) Gambar Kurva suhu bahan temu putih selama pengeringan C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit) Suhu keluar (C) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% 40 C, 40% Waktu (menit) RH keluar 100% Gambar Kurva suhu (kiri) dan RH keluar (kanan) dari ruang pengeringan 80% 60% 40% 20% 0% 50 C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit)

126 Entalpi Eksergi Entalpi (kj/s) Eksergi (kj/s) C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Entalpi Eksergi Entalpi (kj/s) Eksergi (kj/s) C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% 0.0 Gambar Energi dan eksergi udara masuk ke dalam sistem pengeringan simplisia pada berbagai suhu & RH Eksergi yang masuk ke dalam sistem besarnya konstan karena suhu dan RH udara pengeringan dijaga konstan selama pengeringan yaitu 68.1, dan J/s masing-masing untuk suhu 50, 60, 70 o C pada RH 40% serta 40.7, 43.0 dan 68.1 J/s masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C. Sedangkan eksergi keluar bervariasi antara , dan J/s masing-masing untuk suhu 50, 60 dan 70 o C pada RH konstan 40% serta , dan J/s masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C. Gambar 4-19 menunujukkan penggunaan energi (energy utilization) untuk penguapan selama pengeringan, yaitu berkisar antara ,

127 , dan kj/s masing-masing untuk suhu 40, 50, 60 dan 70 o C pada RH 40% serta , dan kj/s masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C. Dari gambar tersebut terlihat bahwa penggunaan energi cukup tinggi pada awal pengeringan dan semakin menurun hingga akhir pengeringan. Hal ini dapat dimengerti mengingat pada awal pengeringan kadar air bahan masih tinggi sehingga diperlukan banyak energi untuk penguapan air bahan. Gambar 4-20 menunjukkan kurva eksergi penguapan pada berbagai kondisi percobaan, sedangkan Tabel 4-3 menunjukkan nilai total energi dan eksergi untuk penguapan selama 4 dan 6 jam pengeringan simplisia temu putih. Evaporation Heat (kj/s) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% 40 C, 40% Evaporation Heat (kj/s) C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Kurva penggunaan energi (energy utilization) untuk penguapan Exergy Evaporation (kj/s) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% 40 C, 40% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Eksergi penguapan pada berbagai kondisi pengeringan temu putih Exergy evaporation (kj/s) 50 C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20%

128 106 Tabel 4-3. Jumlah energi dan eksergi penguapan pengeringan temu putih Selama 4 jam pengeringan Selama 6 jam pengeringan Suhu, RH Evap. heat (kj) Evap. exergy (kj) Evap. heat (kj) Evap. exergy (kj) 70 o C, 40% o C, 40% o C, 40% o C, 30% o C, 20% o C, 40% Kurva rasio penggunaan energi (EUR) pada Gambar 4-21 mempertegas bahwa efisiensi penggunaan energi lebih tinggi pada awal proses pengeringan dan semakin rendah pada akhir pengeringan. Gambar tersebut juga memperlihatkan bahwa semakin rendah suhu dan RH pengeringan, maka rasio penggunaan energi semakin tinggi dan sebaliknya, atau dapat dikatakan bahwa EUR berbanding terbalik dengan tingkat suhu dan RH pengeringan. Hal yang sama dilaporkan oleh Akpinar (2004) pada pengeringan irisan paprika merah (red pepper) dan Akpinar et al. (2005) pada pengeringan apel. Energy Utilization Ratio 20% 16% 12% 8% 4% 40 C, 40% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Energy Utilization Ratio 20% 16% 12% 8% 4% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% 0% 0% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Rasio penggunaan energi (EUR) sebagai fungsi waktu pengeringan Eksergi yang meninggalkan sistem (exergy outflow) dapat dilihat pada Gambar Kurva eksergi keluar semakin tinggi dengan meningkatnya waktu pengeringan, nilainya mendekati besarnya eksergi masuk. Hal ini menunjukkan bahwa beban pengeringan dalam sistem semakin kecil. Eksergi yang keluar dari sistem masih cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan, hal ini dapat diaplikasikan pada pengeringan lapisan tebal atau tumpukan rak.

129 107 Selisih antara eksergi masuk dengan keluar adalah merupakan besaran dari eksergi yang musnah atau rusak (exergy destruction), kurvanya diplotkan pada Gambar 4-23, Shukuya & Hammache (2002) menyebutkan exergy destruction sebagai exergy consumed. Pada gambar tersebut terlihat bahwa eksergi yang dikonsumsi selama proses tinggi pada awal pengeringan dan semakin turun dengan bertambahnya waktu pengeringan, kecenderungan ini sejalan dengan penggunaan energi (energy utilization). Exergy outflow (kj/s) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% 40 C, 40% Exergy outflow (kj/s) C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Exergy outflow sebagai fungsi dari waktu pengeringan Exergy destruction (kj/s) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% 40 c, 40% Waktu (menit) Exergy destruction (kj/s) C, 20% 50 C, 30% C, 40% Waktu (menit) Gambar Exergy destruction sebagai fungsi dari waktu pengeringan Efisiensi eksergi pengeringan menurut waktu berdasarkan persamaan 4.37 disajikan pada Gambar Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa efisiensi eksergi semakin tinggi pada suhu dan RH yang lebih rendah, hal yang sama terjadi pada rasio penggunaan energi (EUR). Sedangkan dari bentuknya, kurva

130 108 efisiensi eksergi agak berbeda dengan kurva rasio penggunaan energi (EUR) dimana kurva EUR mengalami penurunan sejak awal pengeringan sedangkan kurva efisiensi eksergi cenderung naik/ tinggi pada awal pengeringan terutama pada suhu yang lebih rendah, baru kemudian semakin menurun dengan bertambahnya waktu pengeringan. Kecenderungan yang sama dilaporkan oleh Akpinar (2004) pada penelitian pngeringan irisan paprika merah. Efisiensi eksergi pengeringan bervariasi antara %, %, % dan % masing-masing untuk suhu 40, 50, 60 dan 70 o C pada RH 40% serta %, % dan % masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C. Pada Tabel 4-4 disajikan nilai efisiensi eksergi rata-rata selama 4 dan 6 jam pengeringan dan pada berbagai kondisi percobaan yang dilakukan. Efisiensi eksergi 30% 25% 20% 15% 10% 40 C, 40% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Efisiensi eksergi 30% 25% 20% 15% 10% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% 5% 5% 0% Waktu (menit) Gambar Kurva efisiensi eksergi pada berbagai suhu (kiri) dan RH (kanan) Tabel 4-4. Efisiensi energi dan eksergi rata-rata pengeringan temu putih Suhu, RH Selama 4 jam pengeringan Selama 6 jam pengeringan Ef. energi Ef. eksergi Ef. energi Ef. eksergi 70 o C, 40% 0.19% 0.15% 0.13% 0.10% 60 o C, 40% 0.33% 0.40% 0.22% 0.27% 50 o C, 40% 0.68% 1.38% 0.46% 0.93% 50 o C, 30% 1.12% 3.33% 0.75% 2.24% 50 o C, 20% 2.96% 5.09% 1.98% 3.40% 40 o C, 40% 3.54% 9.02% 2.43% 6.20% 0% Waktu (menit)

131 109 Analisis Energi dan Eksergi Pengeringan Temu Lawak Analisis termodinamika pengeringan temu lawak sebagaimana pada pengeringan temu putih juga didasarkan pada data pengeringan yang diperoleh dari percobaan dengan mengacu pada keadaan lingkungan T 0 = 303 K dan RH 0 70% sebagai kondisi referensi (dead state). Kurva pengeringan temu lawak pada berbagai suhu dan RH dapat dilihat pada Gambar 2-19 dan Untuk menghitung persamaan keseimbangan massa dan energi pada sistem termodinamika percobaan pengeringan ini perlu diketahui perubahan massa dan suhu bahan serta suhu dan RH udara yang keluar dari sistem. Gambar 4-25 dan 4-26 memperlihatkan kurva perubahan massa dan suhu bahan selama pengeringan C, 40% C, 40% Massa temu lawak (g) C, 40% 50 C, 40% Massa temu lawak (g) C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Kurva perubahan massa temu lawak terhadap waktu Suhu bahan (C) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% Waktu (menit) Suhu bahan (C) Gambar Kurva suhu bahan temu lawak selama pengeringan C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit)

132 110 Gambar 4-27 adalah data pengukuran suhu dan RH udara yang meninggalkan sistem pengeringan. Berdasarkan data tersebut perubahan besaran energi dan eksergi di dalam sistem dapat dihitung. Eksergi yang masuk ke dalam sistem besarnya konstan karena suhu dan RH udara pengeringan yang masuk dijaga konstan selama pengeringan seperti yang terlihat pada Gambar Suhu keluar (C) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% Waktu (menit) RH keluar 100% Gambar Kurva suhu (kiri) dan RH keluar (kanan) dari ruang pengeringan 80% 60% 40% 20% 0% 50 C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit) Gambar 4-28 menunujukkan penggunaan energi untuk penguapan air selama pengeringan temu lawak. Dari gambar tersebut terlihat bahwa penggunaan energi cukup tinggi pada awal pengeringan dan semakin menurun hingga akhir pengeringan. Hal ini dikarenakan pada awal pengeringan kadar air bahan masih tinggi sehingga diperlukan banyak energi untuk penguapan air bahan. Evaporation Heat (kj/s) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% Evaporation Heat (kj/s) C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Kurva penggunaan energi (energy utilization) untuk penguapan

133 111 Gambar 4-29 menunjukkan kurva eksergi penguapan pada berbagai kondisi percobaan, sedangkan Tabel 4-5 menunjukkan nilai total energi dan eksergi untuk penguapan selama 4 dan 6 jam pengeringan. Exergy Evaporation (kj/s) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% Waktu (menit) C, 40% C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit) Gambar Eksergi penguapan pada suhu 50, 60 dan 70 o C Exergy evaporation (kj/s) Tabel 4-5. Total energi dan eksergi penguapan pada pengeringan temu lawak Selama 4 jam pengeringan Selama 6 jam pengeringan Suhu, RH Evap. heat (kj) Evap. exergy (kj) Evap. heat (kj) Evap. exergy (kj) 70 o C, 40% o C, 40% o C, 40% o C, 30% o C, 20% Kurva rasio penggunaan energi (EUR) pada Gambar 4-30 mempertegas bahwa efisiensi penggunaan energi lebih tinggi pada awal proses pengeringan dan semakin rendah pada akhir pengeringan. Gambar tersebut juga memperlihatkan bahwa semakin rendah suhu dan RH pengeringan, maka rasio penggunaan energi semakin tinggi dan sebaliknya, atau dapat dikatakan bahwa EUR berbanding terbalik dengan tingkat suhu dan RH pengeringan. Hal yang sama terjadi pada pengeringan temu putih. Eksergi yang meninggalkan sistem (exergy outflow) dapat dilihat pada Gambar Kurva eksergi keluar semakin tinggi dengan meningkatnya waktu pengeringan, nilainya mendekati besarnya eksergi masuk. Hal ini menunjukkan bahwa beban pengeringan dalam sistem semakin kecil. Eksergi yang keluar dari

134 sistem masih cukup tinggi sehingga masih dapat dimanfaatkan, hal ini dapat diaplikasikan untuk pengeringan rak yang terdiri dari beberapa lapisan. 112 Energy Utilization Ratio 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Energy Utilization Ratio 12% 10% 8% 6% 4% 2% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% 0.0% 0% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Rasio penggunaan energi (EUR) sebagai fungsi waktu pengeringan Selisih antara eksergi masuk dengan keluar adalah merupakan besaran exergy destruction, kurvanya diplotkan pada Gambar 4-32, Shukuya & Hammache (2002) menyebutkan exergy destruction sebagai exergy consumed. Pada gambar tersebut terlihat bahwa konsumsi eksergi tinggi pada awal pengeringan dan semakin turun dengan bertambahnya waktu pengeringan, kecenderungan ini sejalan dengan penggunaan energi. Efisiensi eksergi pengeringan temu lawak yang dihitung berdasarkan persamaan 4.37 disajikan pada Gambar Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa efisiensi eksergi semakin tinggi pada suhu dan RH yang lebih rendah, hal yang sama terjadi pada rasio penggunaan energi (EUR). Sedangkan dari bentuknya, kurva efisiensi eksergi agak berbeda dengan kurva rasio penggunaan energi (EUR) dimana kurva EUR mengalami penurunan sejak awal pengeringan sedangkan kurva efisiensi eksergi cenderung naik/ tinggi pada awal pengeringan terutama pada suhu yang lebih rendah, baru kemudian semakin menurun dengan bertambahnya waktu pengeringan. Kecenderungan yang sama pada penelitian pngeringan irisan temu putih. Efisiensi eksergi pengeringan temu lawak bervariasi antara %, % dan % masing-masing untuk suhu 50, 60 dan 70 o C pada RH 40% serta %, % dan % masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C.

135 Exergy outflow (kj/s) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% Waktu (menit) Exergy outflow (kj/s) C, 40% 50 C, 30% 50 C, 20% Waktu (menit) Gambar Exergy outflow sebagai fungsi dari waktu pengeringan Exergy destruction (kj/s) C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% Exergy destruction (kj/s) C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Exergy destruction sebagai fungsi dari waktu pengeringan Efisiensi eksergi 5% 4% 3% 2% 1% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Efisiensi eksergi 20% 16% 12% 8% 4% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% 0% 0% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar Kurva efisiensi eksergi pada berbagai suhu (kiri) dan RH (kanan)

136 114 Pada Tabel 4-6 berikut disajikan nilai efisiensi eksergi rata-rata selama 4 dan 6 jam pengeringan pada berbagai kondisi percobaan yang dilakukan. Tabel 4-6. Efisiensi energi dan eksergi rata-rata pengeringan temu lawak Suhu, RH Selama 4 jam pengeringan Selama 6 jam pengeringan Ef. energi Ef. eksergi Ef. energi Ef. eksergi 70 o C, 40% 0.18% 0.14% 0.12% 0.10% 60 o C, 40% 0.31% 0.38% 0.21% 0.26% 50 o C, 40% 0.63% 1.31% 0.45% 0.92% 50 o C, 30% 1.03% 3.14% 0.71% 2.17% 50 o C, 20% 2.83% 4.94% 1.93% 3.36% Kesimpulan 1. Sistem termodinamika pengeringan dikategorikan dalam control volume system atau open system. Persamaan yang disusun telah dapat digunakan untuk menghitung dan menganalisis energi dan eksergi pengeringan temu putih dan temu lawak. 2. Eksergi kimia merupakan komponen eksergi udara yang dominan dibandingkan eksergi fisiknya. Karena itu kelembaban udara pengeringan memegang peran penting dalam sistem termodinamika dari suatu proses yang bersifat psikrometris seperti pengeringan. 3. Metode analisis eksergi berdasarkan hukum termodinamika kedua telah berhasil menentukan besaran eksergi yang habis/rusak (destroyed exergy) pada proses pengeringan simplisia sehingga efisiensi proses pengeringan dapat ditentukan secara lebih akurat. 4. Kondisi pengeringan mempengaruhi efisiensi eksergi pengeringan, semakin rendah suhu, RH dan laju udara pengering maka efisiensi eksergi proses pengeringan semakin tinggi pula dan sebaliknya. 5. Efisiensi eksergi pengeringan temu putih bervariasi antara %, %, % dan % masing-masing untuk suhu 40, 50, 60 dan 70 o C pada RH 40% serta %, % dan % masingmasing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C. 6. Efisiensi eksergi pengeringan temu lawak bervariasi antara %, % dan % masing-masing untuk suhu 50, 60 dan 70 o C pada RH

137 115 40% serta %, % dan % masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C. 7. Efisiensi eksergi rata-rata pengeringan temu putih (selama 6 jam pengeringan) sebesar 6.20%, 0.93%, 0.27% dan 0.10% masing-masing untuk suhu 40, 50, 60 dan 70 o C pada RH 40% serta 3.40%, 2.24% dan 0.93% masing-masing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C. 8. Efisiensi eksergi rata-rata pengeringan temu lawak (selama 6 jam pengeringan) sebesar 0.92%, 0.26% dan 0.10% masing-masing untuk suhu 50, 60 dan 70 o C pada RH 40% serta 3.36%, 2.17% dan 0.92% masingmasing untuk RH 20%, 30% dan 40% pada suhu 50 o C.

138 BAB 5 PEMBAHASAN UMUM Pengeringan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan perpindahan massa dan panas secara simultan serta terutama disebabkan oleh adanya perubahan yang tidak diinginkan atas kualitas produk keringnya (Mujumdar & Menon 1995). Pengeringan sendiri dikenal sebagai suatu proses yang sangat intensif energi (Dincer & Sahin 2004). Tingginya harga energi pada saat ini membuat upaya untuk meningkatan efisiensi penggunaan energi pada suatu proses semakin dibutuhkan. Pengeringan simplisia bukan hanya persoalan mencapai kadar air standar tetapi juga menyangkut pada mutu pengeringan dan pemanfaatan atau konsumsi eksergi. Untuk dapat menentukan kondisi proses pengeringan yang optimum maka hubungan parameter tersebut sebagai fungsi dari kondisi pengeringan harus diidentifikasi terlebih dahulu. Untuk mendapatkan kondisi yang optimum pada proses pengeringan simplisia digunakan metode optimisasi dimana yang menjadi tujuan optimisasi adalah mendapatkan mutu simplisia terbaik yang memenuhi nilai kadar air maksimum dengan efisiensi eksergi pengeringan yang optimum. Kadar Air Akhir Pengeringan Simplisia Studi yang telah dilakukan tentang karakteristik pengeringan menunjukkan bahwa kondisi eksternal seperti suhu, RH dan laju udara pengering berpengaruh terhadap kadar air akhir pengeringan atau kadar air keseimbangan temu putih dan temu lawak. Semakin tinggi suhu, semakin rendah RH dan semakin besar kecepatan udara pengering maka laju dan waktu pengeringan semakin cepat serta kadar air akhir yang dapat dicapai semakin rendah, hal yang sama berlaku sebaliknya. Hasil percobaan menyimpulkan bahwa untuk dapat mencapai kadar air standar 10% temu putih harus dikeringkan pada suhu 50 o C dengan RH 20% atau suhu o C dengan RH 20%-40% dan laju udara m/s sedangkan temu lawak harus dikeringkan pada suhu 50 o C dengan RH 30% atau suhu o C dengan RH 20%-40% (Gambar 5-1 dan 5-2).

139 118 v1 ( m/s) v2 ( m/s) Kadar air final (% bb.) %* 40% 60% 20% 40% 60% 20% 40% 60% 20% 40% 40 o C 50 o C 60 o C 70 o C Gambar 5-1. Kadar air keseimbangan temu putih pada berbagai kondisi pengeringan Kadar air final (% bb) % 30% 40% 20% 30% 40% 20% 30% 40% 50 o C 60 o C 70 o C Gambar 5-2. Kadar air keseimbangan temu lawak pada berbagai suhu dan RH pengeringan Mutu Simplisia Berdasarkan analisis kadar kurkumin simplisia temu lawak diketahui bahwa semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH pengeringan maka kandungan kurkumin bahan cenderung semakin rendah dan sebaliknya (Gambar 5-3 dan 5-4).

140 119 Pada analisis kadar kurkumin temu putih diketahui bahwa laju udara pengeringan yang tinggi cenderung menyebabkan kandungan kurkumin dalam bahan semakin rendah (Gambar 5-5 dan 5-6). Secara matematis dapat dikatakan bahwa pada rentang kondisi pengeringan yang dilakukan kandungan kurkumin bahan berbanding terbalik dengan suhu dan laju udara pengeringan dan berbanding lurus dengan RH pengeringan. 10 Kadar kurkumin TL (%) % 30% 40% 20% 30% 40% 20% 30% 40% 50 o C 60 o C 70 o C Gambar 5-3. Pengaruh kondisi pengeringan terhadap kadar kurkumin temu lawak Kadar kurkumin TL (%) Kadar kurkumin TL (%) % 30% 40% 50 C 60 C 70 C Gambar 5-4. Kadar kurkumin temu lawak rata-rata menurut RH dan suhu

141 120 Kadar kurkumin TP (%) v1 ( m/s) v2 ( m/s) % 60% 20% 40% 60% 20% 40% 60% 20% 40% 40 o C 50 o C 60 o C 70 o C Gambar 5-5. Pengaruh kondisi pengeringan terhadap kadar kurkumin temu putih Kadar kurkumin TP (%) C 50 C 60 C 70 C 0% 20% 40% 60% 80% RH Gambar 5-6. Kadar kurkumin temu putih menurut RH pada suhu tetap dan laju udara m/s (kiri) dan m/s (kanan) Kadar kurkumin TP (%) C 50 C 60 C 70 C 0% 20% 40% 60% 80% RH Suhu dan RH pengeringan berpengaruh tidak nyata terhadap penyusutan simplisia temu putih dan temu lawak, tetapi suhu yang tinggi dapat menyebabkan bahan menjadi bengkok (bending). Pembengkokan mempengaruhi penampilan fisik bahan tetapi hal ini tidak merupakan persyaratan mutu simplisia. Penyusutan bahan terjadi akibat keluarnya air dari dalam bahan dimana hubungan penyusutan dan rasio kadar air berupa persamaan linier. Dengan demikian laju pengeringan menjadi faktor yang dapat mempengaruhi penyusutan terutama pada saat awal pengeringan dimana laju penyusutan masih tinggi.

142 121 Berdasarkan pengamatan terhadap warna simplisia yang sudah dikeringkan ditemukan adanya gradasi warna temulawak kering baik berdasarkan suhu maupun RH, semakin tinggi suhu dan RH pengeringan maka warna simplisia yang dihasilkan semakin pudar. Efisiensi Eksergi Hasil analisis efisiensi eksergi pengeringan lapisan tipis simplisia temu putih menyimpulkan bahwa semakin rendah suhu dan RH udara pengering maka efisiensi eksergi pengeringan semakin tinggi (Gambar 5-7 dan 5-8). 10% 4 jam pengeringan 6 jam pengeringan 8% Efisiensi eksergi 6% 4% 2% 0% 40 C, 40% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Kondisi pengeringan 10% 4 jam pengeringan 6 jam pengeringan 8% Efisiensi eksergi 6% 4% 2% 0% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% Kondisi pengeringan Gambar 5-7. Pengaruh kondisi pengeringan temu putih terhadap efisiensi eksergi

143 % 4 jam pengeringan 6 jam pengeringan 1.2% Efisiensi eksergi 0.9% 0.6% 0.3% 0.0% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Kondisi pengeringan 4.0% 4 jam pengeringan 6 jam pengeringan Efisiensi eksergi 3.0% 2.0% 1.0% 0.0% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% Kondisi pengeringan Gambar 5-8. Pengaruh kondisi pengeringan temu lawak terhadap efisiensi eksergi Kondisi Pengeringan Optimum Kondisi pengeringan yang dianalisis dibatasi pada selang suhu dan RH yang digunakan dalam percobaan pengeringan lapisan tipis. Kondisi optimum didefinisikan sebagai kondisi dimana mutu hasil pengeringan simplisia yang diperoleh berada pada level terbaik atau tertinggi, kadar air akhir pengeringan tidak lebih 10% dan efisiensi eksergi proses pengeringan mencapai nilai optimum.

144 123 Berdasarkan ilustrasi pada Gambar 5-9 dapat dilihat hubungan antara kondisi pengeringan temu putih dengan parameter tujuan dan batasan optimisasi. Pada pengeringan temu putih variabel suhu dan RH berbanding terbalik dengan efisiensi eksergi, demikian juga laju udara pengering berbanding terbalik dengan kadar kurkumin. Berdasarkan Gambar 5-10 dapat dilihat bahwa pada pengeringan temu lawak variabel suhu udara pengeringan mempunyai relasi yang konsisten yaitu berbanding terbalik dengan parameter efisiensi eksergi, kadar kurkumin dan warna simplisia kering. Variabel RH pengeringan walaupun mempunyai relasi yang sama dengan variabel suhu udara pengeringan yaitu berbanding terbalik dengan efisiensi eksergi dan warna, tetapi mempunyai perbedaan dengan suhu yaitu berbanding lurus dengan kadar kurkumin. Dengan demikian penetapan tujuan optimisasi yang berbeda dapat mempengaruhi hasil penentuan kondisi proses pengeringan yang optimum untuk temu lawak. (-) v (+) (+) % kurkumin (-) (-) T, RH (+) (+) Ef. eksergi (-) (-) T (+) (?) % kurkumin (?) (-) RH (+) (?) % kurkumin (?) Gambar 5-9. Hubungan kondisi pengeringan temu putih dengan beberapa parameter optimasi (-) T, RH (+) (+) Ef. eksergi (-) (-) T (+) (+) % kurkumin (-) (-) T, RH (+) (+) warna (-) (-) RH (+) (-) % kurkumin (+) Gambar Hubungan kondisi pengeringan temu lawak dengan beberapa parameter optimasi

145 124 Berdasarkan fungsi tujuan memaksimumkan mutu hasil pengeringan simplisia serta faktor pembatas kadar air akhir pengeringan maksimal 10% dan efisiensi eksergi pengeringan mencapai nilai tertinggi, maka didapatkan bahwa kondisi proses yang optimum untuk pengeringan temu putih adalah pada suhu 50 o C dan RH 20% dengan kecepatan udara pengering m/s (Gambar 5-11). Untuk kasus temu putih karena pengaruh kondisi suhu dan RH pengeringan terhadap mutu (kadar kurkumin) tidak memperlihatkan pola yang jelas maka fungsi tujuan optimasi adalah memaksimumkan efisiensi eksergi pengeringan. Gambar Kondisi proses yang optimum untuk pengeringan temu putih Dengan fungsi tujuan yang sama didapatkan bahwa kondisi proses yang optimum untuk pengeringan simplisia temu lawak adalah pada suhu 50 o C dan RH 30% (Gambar 5-12). Sedangkan bila tujuan optimisasi yang diinginkan adalah untuk memaksimumkan efisiensi eksergi maka kondisi proses yang optimum adalah pada kondisi suhu 50 o C dan RH 20% (Gambar 5-13). Bila diasumsikan harga persatuan mutu dan energi adalah sama maka kondisi proses yang optimum untuk keadaan tersebut merupakan titik potong kurva mutu atau kadar kurkumin dan kurva efisiensi eksergi pada suhu 50 o C. Pada suhu tersebut baik kurva mutu maupun efisiensi memiliki nilai mutu dan efisiensi tertinggi dibandingkan suhu 60 atau 70 o C. Dengan perhitungan sederhana perpotongan kurva tersebut dapat diketahui yaitu pada RH 21%

146 125 sehingga titik optimum untuk tujuan optimasi memaksimumkan mutu dan efisiensi adalah pada kondisi suhu 50 o C dan RH 21%. Pada Gambar 5-14 dapat dilihat kurva permukaan (3 dimensi) normalisasi mutu dan efisiensi, sedangkan perpotongan kedua kurva tersebut secara lebih jelas dengan bentuk plot 2 dimensi terlihat pada Gambar Gambar Kondisi proses yang optimum untuk pengeringan temu lawak dengan tujuan memaksimumkan mutu (kadar kurkumin) Gambar Kondisi proses yang optimum untuk pengeringan temu lawak dengan tujuan memaksimumkan efisiensi eksergi

147 Ef & Kkm (Normalisasi) Ef & Kkm (Normalisasi) Suhu (C) RH (%) RH (%) Suhu (C) Gambar Kurva permukaan kadar kurkumin dan efisiensi eksergi

148 127 Gambar Kondisi optimum bila diasumsikan harga persatuan mutu dan energi adalah sama Pada Tabel 5-1 tercantum besarnya eksergi pengeringan simplisia temu lawak serta nilai normalisasi mutu (kurkumin) dan efisiensi proses pada berbagai kondisi dan kondisi optimum. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui apabila proses dilakukan pada kondisi-1 maka efisensi proses dapat ditingkatkan sekitar 36% atau sekitar 300 kj (0.083 kwh) dibandingkan dengan kondisi-2 dengan pengorbanan 1% mutu (kurkumin). Sebaliknya, bila proses dilakukan pada kondisi-2 (dibandingkan dengan kondisi-1) maka mutu produk dapat ditingkatkan 1% dengan pengorbanan efisensi 36%. Kondisi mana yang dipilih tergantung pada nilai (harga) persatuan (mutu) produk dan energi. Bila diasumsikan harga persatuan mutu dan energi adalah sama maka nilai yang maksimum atau biaya yang minimum terjadi pada kondisi proses yang optimum. Tabel 5-1. Perbandingan beberapa kondisi proses dengan titik optimum Kondisi Suhu, RH Eksergi (kj/s) Waktu (menit) Eksergi (kj) Kurkumin (normal) Efisiensi (normal) 1 50 o C, 20% Optimum 50 o C, 21% o C, 30% o C, 20% o C, 30%

149 128

150 129 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pengeringan temu putih dan temu lawak berlangsung pada laju periode menurun dimana difusi merupakan mekanisme pengontrol pergerakan air di dalam bahan. 2. Pada suhu pengeringan 40 o C kadar air akhir temu putih tidak dapat mencapai standar 10% (bb.). Untuk dapat mencapai kadar air tersebut temu putih dan temu lawak harus dikeringkan pada suhu 50 o C dengan RH dibawah 30% atau pada suhu 60 o C dan 70 o C. 3. Penyusutan simplisia dipengaruhi oleh kadar air bahan secara linier. Suhu dan RH udara pengeringan cenderung berpengaruh tidak nyata terhadap penyusutan simplisia temu putih dan temu lawak. 4. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH pengeringan maka semakin rendah kadar kurkumin simplisia. Pada pengeringan temu putih terlihat bahwa kadar kurkumin simplisianya cenderung lebih tinggi pada laju udara pengering yang rendah. 5. Eksergi kimia merupakan komponen eksergi udara yang dominan dibandingkan eksergi fisiknya. Karena itu kelembaban udara pengeringan memegang peran penting dalam sistem termodinamika dari suatu proses yang bersifat psikrometris seperti pengeringan. 6. Metode analisis eksergi telah berhasil menentukan besaran eksergi yang habis/rusak (exergy destruction) pada proses pengeringan simplisia sehingga dapat ditentukan efisiensi proses pengeringan secara akurat. 7. Kondisi pengeringan mempengaruhi efisiensi eksergi pengeringan, semakin rendah suhu, RH dan laju udara pengering maka efisiensi eksergi proses pengeringan semakin tinggi pula dan sebaliknya. 8. Kondisi proses pengeringan yang optimum untuk temu putih adalah pada suhu 50 o C dan RH 20% dengan laju udara pengering m/s, sedangkan kondisi proses pengeringan yang optimum untuk temu lawak dengan mutu terbaik adalah pada suhu 50 o C dan RH 30%.

151 130 Saran 1. Dalam membuat analisis dan optimasi sistem termodinamika pengeringan, faktor kelembaban udara pengeringan harus dilibatkan karena pengaruhnya yang dominan terhadap besaran eksergi udara. 2. Dari studi penyusutan yang telah dilakukan diketahui bahwa kurva pengeringan dari model persamaan yang mempertimbangkan faktor penyusutan ternyata tidak lebih baik daripada yang tidak mempertimbangkan faktor penyusutan. Dengan demikian penyusutan temu lawak diduga tidak bersifat isotropik (anisotropik). Untuk mengkonfirmasi hal tersebut maka pengamatan terhadap perubahan ketebalan sampel perlu dilakukan disamping perubahan area sampel simplisia.

152 DAFTAR PUSTAKA Ahern JE The Exergy Method of Energy Systems Analysis. New York : John Wiley & Sons. Ahmad U Pengolahan Citra Digital dan Teknik Pemogramannya. Yogyakarta : Graha Ilmu. Ahmed J, Shivhare US, Singh G Drying characteristics and product quality of coriander leaves. Trans IchemE. 79: Akpinar, E., Y. Bicer and C. Yildiz Thin layer drying of red pepper. Journal of Food Engineering 59(2003): Akpinar EK Energy and exergy analyses of drying of red pepper slices in a convective type dryer. International Communications in Heat and Mass Transfer 31(8): Akpinar EK, Midilli A, Bicer Y The first and second law analyses of thermodynamic of pumpkin drying process. Journal of Food Engineering 72(4): Akpinar EK Determination of suitable thin layer drying curve model for some vegetables and fruits. Journal of Food Engineering 73: Afonso PCJr, Correa PC, Pinto FAC, Sampaio CP Shrinkage evaluation of five different varieties of coffee berries during the drying process. Biosystems Engineering 86 (4): Al-Muhtaseb AH, McMinn WAM, Magee TRA Shrinkage, density and porosity variations during the convective drying of potato starch gel. Proceedings of the 14 th International Drying Symposium (IDS), São Paulo, Brazil, vol. C, hlm [Anonim] Center of Agricultural Data and Information, Agriculture Ministry of Indonesia. http: // option=com_content &task=view&id =134& Itemid= [20 April 2009]. Apaiah RK, Linnemann AR, Kooi H J van der. (2006). Exergy analysis: A tool to study the sustainability of food supply chains. Food Research International 39:1 11. [ASABE] American Society of Agricultural and Biological Engineers ASABE Standard: psychrometric data. St. Joseph, Michigan: ASABE. [ASABE] American Society of Agricultural and Biological Engineers ASABE Standard: thin-layer drying of agricultural crops. St. Joseph, Michigan: ASABE.

153 132 Babalis SJ, Belessiotis VG Influence of the drying conditions on the drying constants and moisture diffusivity during the thin-layer drying of figs. Journal of Food Engineering, 65: Balladin DA, Yen IC, McGaw DR, Headley O Solar drying of West Indian ginger rhizome using a wire basket dryer. Renewable Energy 7(4): Barrozo MAS, Sartori DJM, Freire JT A study of the statistical discrimination of the drying kinetics equations. Food and Bioproducts Processing 82(C3): Bejan A Entropy Generation Minimization. New York: CRC Press. Bejan A, Tsatsaronis G, Moran M Thermal Design and Optimization. New York: John Wiley & Sons. Bird RB, Stewart WE, Lightfoot EN Transport Phenomena. New York: John Wiley & Sons. Bolton W Control System. Elsevier Pub. Co. sciencedirect.com/ (diakses tanggal 14 Maret 2008). [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Temu Putih. Jakarta: BPOM. Brooker DB, Barker-Arkema FW, Hall CW Drying Cereal Grains. Westport, Connecticut: The AVI Pub. Brooker DB, Barker-Arkema FW, Hall CW Drying and Storage of Grains and Oilseeds. New York: van Nostrand Reinhold. [BSN] Badan Standar Nasional Simplisia Kencur SNI Jakarta: BSN. Burghardt MD, Harbach JA Engineering Thermodynamics. Ed ke-4. Centreville, Maryland: Cornell Maritime Press. Byler RK, Gerrish JB, Brook RC Data acquisition and control system for experimental thin-layer drying study. Computers and Electronics in Agriculture, 3(3): Cengel YA, Boles MA Thermodynamics: an Engineering Approach. Ed ke-4. Boston: Mc-Graw Hill. Ceylan I, Aktas M, Dogan H Mathematical modeling of drying characteristics of tropical fruits. Applied Thermal Engineering 27: Chen G, Mujumdar AS Drying of Herbal Medicines and Tea. Di dalam: Mujumdar AS, editor. Handbook of Industrial Drying. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker Inc.

154 133 Chen W et al Anti-angiogenesis effect of essential oil from Curcuma zedoaria in vitro and in vivo. Journal of Ethnopharmacology 133(1): Choi MA et al Xanthorrhizol, a natural sesquiterpenoid from Curcuma xanthorrhiza, has an anti-metastatic potential in experimental mouse lung metastasis model. Biochemical and Biophysical Research Communications 326: Colak N, Hepbasli A Performance analysis of drying of green olive in a tray dryer. Journal of Food Engineering 80: Corzo O, Bracho N, Vasquez A, Pereira A. 2008a. Energy and Exergy analyses of thin layer drying of coroba slices. Journal of Food Engineering 86: Corzo O, Bracho N, Vasquez A, Pereira A. 2008b. Optimization of a thin layer drying process for coroba slices. Journal of Food Engineering 85: Crank J The Mathematics of Diffusion, Ed ke-2. New York: Oxford University Press. Dalimartha S Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: PT. Niaga Swadaya. Davidson, VJ, Li X, Brown RB Forced-air drying of ginseng root: 1. Effects of air temperature on quality. Journal of Food Engineering 63: [Depkes] Departemen Kesehatan Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [Depkes] Departemen Kesehatan Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [Depkes] Departemen Kesehatan Materia Medika Indonesia. Jilid III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [Depkes] Departemen Kesehatan Materia Medika Indonesia. Jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [Depkes] Departemen Kesehatan Materia Medika Indonesia. Jilid I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dincer I On energetic, exergetic and environmental aspect of drying system. International Journal of Energy Research 26: Dincer I, Sahin AZ A new model for thermodynamic analysis of a drying process. International Journal of Heat and Mass Transfer 47(4): Doymaz I Convective air drying characteristics of thin layer carrots. Journal of Food Engineering 61:

155 134 Doymaz I Convective drying kinetics of strawberry. Chemical Engineering and Processing 47: Doymaz I, Pala M The thin-layer drying characteristics of corn. Journal of Food Engineering 60: Duryatmo S Aneka Ramuan Berkhasiat dari Temu-temuan. Jakarta: Puswa Swara. Erbay Z, Icier F Optimization of hot air drying of olive leaves using response surface methodology. Journal of Food Engineering 91: Erenturk S, Gulaboglu MS, Gultekin S The thin-layer drying characteristics of rosehip. Biosystems Engineering 89(2): Ertekin C, Yaldiz O Drying of eggplant and selection of a suitable thin layer drying model. Journal of Food Engineering 63: Fang Z, Larson DL, Fleischmen G Exergy analysis of a milk processing system. Trans. ASAE 38(6): Fatouh M, Metwally MN, Helali AB, Shedid MH Herbs drying using a heat pump dryer. Energy Conversion and Management 47: Fernandez L, Castillero C, Aguilera JM An application of image analysis to dehydration of apple discs. Journal of Food Engineering 67: Geankoplis, C.J Mass Transport Phenomena. New York: Holt, Rinehart and Winston Inc. Goyal RK, Kingsly ARP, Manikantan MR, Ilyas SM Mathematical modelling of thin layer drying kinetics of plum in a tunnel dryer. Journal of Food Engineering 79: Graveland AJGG, Gisolf E Exergy analysis: An efficient tool process optimization and understanding. Computers Chem. Engng. 22, Supl Hall CW Drying Farm Corps. East Lansing, Michigan: Agricultural Consulting Associates Inc. Hatamipour MS, Mowla D Shrinkage of carrots during drying in an inert medium fluidized bed. Journal of Food Engineering 55(3): Heldman DR, Singh RP Food Process Engineering. Ed ke-2. Westport Connecticut: The AVI Pub. Henderson SM, Perry RL Agricultural Process Engineering. Westport Connecticut: The AVI Pub.

156 135 Hepbasli A A key review on exergetic analysis and assessment of renewable energy resources for a sustainable future. Renewable and Sustainable Energy Reviews 12: Hernandez JA, Pavon G, Garcia MA Analytical solution of mass transfer equation considering shrinkage for modeling food drying kinetics. Journal of Food Engineering 45:1 10. Hossain MA, Bala BK Thin layer drying characteristics for green chilli. Drying Technology 20(2): Hwang JK, Shim JS, Pyun YR Antibacterial activity of xanthorrhizol from Curcuma xanthorrhiza against oral pathogens. Fitoterapia 71: Izadifar M, Baik OD Determination of thermal properties of the rhizome of Podophyllum peltatum for drying and ethanol extraction. Biosystems Engineering 97: Jangam SV, Mujumdar AS Basic concepts and definitions. Di dalam: Jangam SV, Law CL, Mujumdar AS, editor. Drying of Foods, Vegetables and Fruits Vol. ke- 1. ISBN Singapore. Jayas SD, Cenkowski S, Pabis S, Muir WE Review of thin-layer drying and wetting equations. Drying Technology 9(3): Karathanos VT, Villalobos G, Saravacos GD Comparison of two methods of estimation of the effective moisture diffusivity from drying data. Journal of Food Science 55(1): Karim MA, Hawlader MNA Mathematical modelling and experimental investigation of tropical fruits drying. Journal of Heat and Mass Transfer 48: Kashaninejad M, Tabil LG, Mortazavi A Safekordi A Effect of drying methods on quality of pistachio nuts. Drying Technology 21(5): Kashaninejad M, Mortazavi A, Safekordi A, Tabil LG Thin-layer drying characteristics and modeling of pistachio nuts. Journal of Food Engineering 78: Kiranoudis CT, Maroulis ZB, Marinos-Kouris D. 1992a. Drying kinetics of onion and green pepper. Drying Technology 10(4): Kiranoudis CT, Maroulis ZB, Marinos-Kouris D. 1992b. Model selection in air drying of foods. Drying Technology 10(4): Kowalski SJ Mathematical modelling of shrinkage during drying. Drying Technology 14(2): Kreith F, Black WZ Basic Heat Transfer. New York: Harper & Row Pub.

157 136 Krokida M K, Maroulis ZB Effect of drying method on shrinkage and porosity. Drying Technology 15(10): Lang W, Sokhansanj S Bulk volume shrinkage during drying of wheat and canola. Journal of Food Process Engineering 16: Lang W, Sokhansanj S, Rohani S Dynamic shrinkage and variable parameters in Bakker Arkema s mathematical simulation of wheat and canola drying. Drying Technology 12(7): Lee G, Kang WS Hsieh F Thin-layer drying characteristics of chicory root slices. Trans. ASAE 47(5): Leigh JR Applied Digital Control: Theory, Design and Implementation. New Jersey: Prentice-Hall. Levi G, Karel M Volumetric shrinkage (collapse) in freeze-dried carbohydrates above their glass transition temperature. Food Research International 28(2): Liley PE Flow exergy of moist air. Research letter. Exergy International Journal 2: Lin SXQ, Chen XD An effective laboratory air humidity generator for drying research. Journal of Food Engineering, 68(1): Lozano JE, Rotstein E, Urbicain MJ Total porosity and open-pore porosity in the drying of fruits. Journal of Food Science 45: Lozano JE, Rotstein E, Urbicain MJ Shrinkage, porosity and bulk density of foodstuffs at changing moisture contents. Journal of Food Science 48: Madamba PS, Driscoll RH, Buckle KA Shrinkage, density and porosity of garlic during drying. Journal of Food Engineering 23: Madamba PS, Driscoll RH, Buckle KA The thin-layer drying characteristic of garlic slices. Journal of Food Engineering 29: Manalu LP, Tambunan AH, Nelwan LO, Hoetman AR The thin layer drying of temu putih herb. Proceedings of the 6 th Asia-Pacific Drying Conference (ADC2009); Bangkok, Thailand, October 19-21, Marinos-Kouris D, Maroulis ZB Transport properties in the drying of solids. Di dalam: Mujumdar AS, editor. Handbook of Industrial Drying. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker Inc. Masuda T, Isobe J, Jitoe A, Nakatani N Antioxidative curcuminoids from rhizomes of Curcuma xanthorrhiza. Phytochemistry 13: Matz SA Water in Foods. Westport Connecticut: The AVI Pub.

158 137 Mau JL et al Composition and antioxidant activity of the essential oil from Curcuma zedoaria. Food Chemistry 82: Mayor L, Sereno AM Modelling shrinkage during convective drying of food materials: a review. Journal of Food Engineering 61: Menges HO, Ertekin C Mathematical modeling of thin layer drying of golden apples. Journal of Food Engineering 77: Midilli A, Kucuk H. 2003a. Mathematical modeling of thin layer drying of pistachio by using solar energy. Energy Conversion and Management 44(7): Midilli A, Kucuk H. 2003b. Energy and exergy analyses of solar drying process of pistachio. Energy 28(6): Mohsenin NN Thermal Properties of Food and Agricultural Products. New York: Gordon and Breach Pub. Moreira R, Figueiredo A, Sereno A Shrinkage of apple disks during drying by warm air convection and freeze drying. Drying Technology 18(1&2): Mujumdar AS, Menon AS Drying of solid : principles, classification, and selection of dryers. Di dalam: Mujumdar AS, editor. Handbook of Industrial Drying. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker Inc. Niblack W An Introduction to Digital Image Processing, London: Prentice-Hall International. Ong SP, Law CL Hygrothermal properties of various foods, vegetables and fruits. Di dalam: Jangam SV, Law CL, Mujumdar AS, editor. Drying of Foods, Vegetables and Fruits Vol. ke-1. ISBN Singapore. Ogata, K., Teknik Kontrol Automatik, edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Özdemir M, Derves O The thin-layer drying characteristics of hazelnuts during roasting. Journal of Food Engineering 42: Pahlavanzadeh H, Basiri A, Zarrabi M Determination of parameters and pretreatment solution for grape drying. Drying Technology 19(1): Pal US, Chakraverty A Thin layer convection drying of mushrooms. Energy Conversion and Management 38(2): Palipane KB, Driscoll RH The thin-layer drying characteristics of macadamia in-shell nuts and kernels. Journal of Food Engineering 23:

159 138 Panchariya PC, Popovic D, Sharma AL Thin layer modelling of black tea drying process. Journal of Food Engineering 52: Pantastico EB, Chattopadhyay TK, Subramanyam H Storage and commercial storage operation. Di dalam: Pantastico, editor. Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. Westport Connecticut: The AVI Pub. hlm Park KS, Vohnikova Z, Brod FPR Evaluation of drying parameters and desorption isotherms of garden mint leaves (Mentha crispa L.). Journal of Food Engineering 51: Porter HF, McCormick PY, Lucas RL, Wells DF Gas-solid drying. Di dalam: Perry RH, Chilton CH, editor. Chemical Engineers Handbook. Ed ke- 5. New York: McGraw Hill Book Co. Putra D Pengolahan Citra Digital. Yogyakarta: Penerbit Andi. Qureshi BA, Zubair SM Application of exergy analysis to various psychrometric processes. Int. J. Energy Res 27: Ratti C Shrinkage during drying of foodstuffs. Journal of Food Engineering 23: Rizvi SSH Thermodynamic properties of foods in dehydration. Di dalam: Rao MA, Rizvi SSH, Datta AK, editor. Engineering Properties of Foods. Ed ke-3. Singapore: CRC Press. hlm Rosen MA Clarifying thermodynamic efficiencies and losses via exergy. Exergy 2:3-5. Sandra E, Kemala S Tinjauan permintaan tumbuhan obat hutan tropika Indonesia. Di dalam: Zuhud EAM, Haryanto, editor. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Bogor: IPB dan Lembaga Alam Tropika Indonesia. Saravacos GD Mass transfer properties of foods. Di dalam: Rao MA, Rizvi SSH, Datta AK, editor. Engineering Properties of Foods. Ed ke-3. Singapore: CRC Press. hlm Sarsavadia P, Sawhney R, Pangavhane DR, Singh SP Drying behavior of brined onion slices. Journal of Food Engineering 40: Senadeera W The drying constant and its effect on the shrinkage constant of different-shaped food particulates. Journal of Food Engineering 4(8):Article 14. Seo WG et al Suppressive effect of Zedoariae rhizoma on pulmonary metastasis of B16 melanoma cells. Journal of Ethnopharmacology 101:

160 139 Sharma GP, Verma RC, Pathare PB Thin-layer infrared radiation drying of onion slices. Journal of Food Engineering 67: Shukuya M, Hammache A Introduction of the concept of exergy. Paper presented in The Low Exergy Systems For Heating And Cooling Of Buildings, Finland: IEA, Supl 37. hlm Sieniutycz S Thermodynamic optimization for work-assisted heating and drying operations. Energy Conversion & Management 41: Strumillo C, Jones PL, Zylla R Energy aspect in drying. Di dalam: Mujumdar AS, editor. Handbook of Industrial Drying. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker Inc. Susilowati E Optimalisasi senyawa kurumin dari rimpang temulawak dengan metode sonikasi [skripsi]. Bogor: Famipa, IPB. Syahrul S, Hamdullahpur F, Dincer I Exergy analysis of fluidized bed drying of moist particles. Exergy 2: Syukur C Temu Putih. Tanaman Obat Anti Kanker. Jakarta: Penebar Swadaya. Tambunan AH, Manalu LP, Abdullah K Exergy analysis on simultaneous charging and discharging of solar thermal storage for drying application. Drying Technology, 28(9): Temple SJ, Boxtel AJ Bvan Thin layer drying of black tea. J. Agric. Engng Res. 74: Togrul IT, Pehlivan D Modeling of drying kinetics of single apricot. Journal of Food Engineering 58(1): Topic R Mathematical model for exergy analysis for drying plants. Drying Technology, 13(1): Treybal RE Mass Transfer Operations. Ed ke-3. New York: McGraw Hill. Tsilingiris PT Thermophysical and transport properties of humid air at temperature range between 0 and 100 o C. Energy Conversion and Management, 49(5): Tulliza IS Pengaruh penyusutan terhadap karakteristik pengeringan lapisan tipis temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Vanderplaats GN Numerical Optimization Techniques for Engineering Design, edisi international. New York: McGraw-Hill.

161 140 Voronjec D, Antonijevic D Drying potensial of humid air a thermodynamical analysis. Drying Technology, 14(7&8): Wang N, Brennan JG Changes in structure, density and porosity of potato during dehydration. Journal of Food Engineering 24(1): Wang ZJS, Liao X, Chen F, Zhao G, Wu J, Hu X Mathematical modeling on hot air drying of thin layer apple pomace. Food Research International 40: Welty JR Engineering Heat Transfer. New York: John Wiley & Sons. Wilson B et al Antimicrobial activity of Curcuma zedoaria and Curcuma malabarica tubers. Journal of Ethnopharmacology 99: Xanthopoulos G, Oikonomou N, Lambrinos G Applicability of a singlelayer drying model to predict the drying rate of whole figs. Journal of Food Engineering 81: Yadollahinia A, Jahangiri M Shrinkage of potato slice during drying Journal of Food Engineering 94: Yaldiz O, Ertekin C, Uzun H Mathematical modeling of thin layer solar drying of sultana grapes. Energy 26: Yan Z, Sousa-Gallagher MJ, Oliveira FAR Shrinkage and porosity of banana, pineapple and mango slices during air-drying. Journal of Food Engineering 84: Yang H, Sakai N, Watanabe M Drying model with non-isotropic shrinkage deformation undergoing simultaneous heat and mass transfer. Drying Technology 19(7): Yasni S, Imaizumi K, Nakamura M, A1moto J, Sugan M Effects of Curcuma xanthorrhiza Roxb. and curcuminoids on the level of serum and liver lipids, serum apolipoprotein A-I and lipogenic enzymes in rats. Fd Chem. Toxic 31(3): Zielinska M, Markowski M Air drying characteristics and moisture diffusivity of carrots. Chemical Engineering and Processing 49: Ziemer RE, Tranter WH, Fanin DR Signal and System, Continous and Discreet, edisi ke-2. New York: McMillan Pub.Co. Zogzas N P, Maroulis Z B Effective moisture diffusivity estimation from drying data. A comparison between various methods of analysis. Drying Technology 14(7&8):

162 Lampiran 1. Alat Pengering Laboratorium (Lab Dryer) Pendahuluan Prinsip kerja proses pengeringan bahan pertanian adalah dengan memberikan energi dalam bentuk panas ke produk yang akan dikeringkan untuk menurunkan kandungan air di dalam produk. Sumber panas dapat diperoleh secara alami seperti dari sinar matahari atau dari sumber panas lainnya. Proses pengeringan (secara konvektif) bahan pertanian biasanya dilakukan dengan cara mengalirkan udara panas secara kontinyu ke bahan yang dikeringkan. Pada proses ini terjadi perpindahan massa dan panas secara simultan. Suhu, kelembaban dan laju udara pengering yang terkontrol diperlukan untuk melakukan proses pengeringan secara terkendali dan efisien agar kualitas bahan yang dikeringkan tetap terjaga. Suhu yang terkontrol pada kisaran tertentu berpengaruh pada laju perpindahan panas dari udara pengering ke bahan yang dikeringkan dan laju penguapan air dari bahan ke udara pengering. Brooker et al. (1991) mengemukakan bahwa pengeringan hasil pertanian pada umumnya menggunakan suhu udara pengering antara 40 o C sampai 75 o C. Pengeringan pada suhu di bawah 40 o C dikhawatirkan tidak dapat menghambat berkembangnya mikroba dan jamur sehingga merusak produk, sedangkan suhu di atas 75 o C dapat menyebabkan bahan mengalami kerusakan fisik dan kimia akibat panas berlebihan dan perpindahan massa air yang terlalu cepat. Untuk mencegah hal tersebut, karakteristik atau respon setiap produk terhadap suatu kondisi pengeringan harus diketahui. Untuk mempelajari karakteristik pengeringan, kadar air keseimbangan dan mengembangkan modelmodel persamaan pengeringan, diperlukan suatu peralatan yang dapat dikondisikan untuk melakukan percobaan-percobaan yang dibutuhkan. Suhu, kelembaban nisbi dan laju aliran udara pengering yang terkontrol diperlukan dalam melakukan percobaan-percobaan tersebut. Mengacu pada standar pengeringan lapisan tipis yang dipersyaratkan, toleransi untuk pengontrolan suhu udara pengering adalah ±1 o C sedangkan untuk kelembaban nisbi adalah ± 3% (ASABE 2006). Metode pengontrolan kelembaban dan suhu didasarkan pada teori psikrometri udara. Psikrometri adalah kajian tentang sifat-sifat campuran udara dan uap air yang memiliki manfaat penting dalam perhitungan pengkondisian udara pada

163 144 tekanan atmosfir. Psikrometri banyak digunakan dalam kajian pemanasan dan pendinginan udara, pengeringan, desain rumah kaca dan sebagainya.diagram psikrometrik memuat sifat-sifat dasar udara lemab yang dikembangkan dari persamaan-persamaan termodinamika yang cukup teliti dan umum digunakan dalam perhitungan-perhitungan keteknikan menyangkut pengkondisian udara(asabe 2005; Tsilingiris 2008). Ada banyak parameter dai dalam psikrometri, dua diantaranya adalah suhu dan kelembaban. Suhu didefinisikan sebagai ukuran secara kuantitatif dari tingkat kehangatan atau kedinginan yang merujuk kepada hukum termodinamika ke-nol (zeroth law of thermodynamics) (Cengel & Boles 2002). Kelembaban relatif adalah perbandingan fraksi molekul uap air, di dalam udara basah terhadap fraksi molekul uap air jenuh pada suhu dan tekanan yang sama. Rasio kelembaban (humidity ratio) adalah berat atau masa air yang terkandung dalam setiap kg udara kering (Brooker et al. 1991). Untuk menghitung rasio kelembaban dalam teknik pengkondisian udara dapat digunakan persamaan gas ideal dimana uap air dan udara dapat dianggap sebagai gas ideal. Deskripsi berikut ini menyajikan rancang bangun peralatan dan sistem kontrol suhu dan kelembaban udara yang digunakan untuk penelitian ini. Sistem kontrol ini bertujuan untuk mengendalikan kondisi pengeringan agar stabil pada setpoint yang diinginkan sesuai standar. Rancangan Fungsional Alat pengering lab terkendali dirancang untuk dapat mengkondisikan udara di dalam ruang pengering (drying chamber) stabil pada suhu dan kelembaban tertentu yang diinginkan. Diagram fungsionalnya terlihat pada Gambar 1 sedangkan profil alat ditampilkan pada Gambar 2. Kondisi yang dapat dicapai dalam ruangan pengering adalah pada rentang suhu o C dan kelembaban relatif 10-90%. Kecepatan aliran udara bervariasi dari 0,1 1 m/detik yang dikontrol secara manual dengan menggunakan katup (airflow regulator). Pengendali utama dari mesin ini menggunakan dua buah mikrokontroler AVR dari Atmel untuk merealisasikan fungsi yang ingin dicapai. Mesin memiliki beberapa sensor yaitu (1) suhu dan kelembaban, menggunakan SHT15 dari Sensirion dan (2) timbangan, memakai timbangan digital A&D seri GF-3000 dengan kapasitas maksimum 3 kg (termasuk wadah sampel) dengan ketelitian 0.01 gram.

164 145 Gambar 1. Skema sistem fungsional alat Gambar 2. Profil alat pengering lab terkendali Aktuator yang digunakan adalah (1) humidifier, berupa pembangkit uap (steam) dengan cara memanaskan air dalam tangki humidifier. Pemanasan air ini menggunakan heater listrik berkapasitas 2000 W yang dilindungi dengan thermoswitch untuk mencegah overheating, (2) dehumidifier, menggunakan sistem mekanik (sistem refrigerasi). Pendinginan di sisi evaporator akan mengembunkan uap air di udara sehingga menurunkan kelembaban. Dehumidifier ini juga memiliki efek mendinginkan udara, walaupun tidak terlalu signifikan, (3) air heater atau

165 146 pemanas udara, menggunakan elemen listrik berkapasitas 2000 W. Pemanas udara ini juga dilindungi dengan thermoswitch untuk mencegah terjadinya overheating jika aliran udara terhambat/berhenti. Selain itu terdapat juga aktuator penunjang berupa (1) damper dehumidifier sebanyak 2 unit yang digunakan untuk mengisolasi atau untuk menghubungkan sistem dehumidifier terhadap sistem. Damper ini dalam keadaan tertutup akan mengisolasi kedua sistem dengan tingkat efisiensi sekitar 95% serta (2) satu unit damper humidifier, digunakan untuk mengisolasi/menghubungkan pembangkit steam terhadap sistem. Damper ini mampu mengisolasi dengan efisiensi hampir 100% dan (3) bleed valve. Sistem Kontrol Ogata (1997) mengemukakan tahapan yang perlu dilakukan dalam perancangan suatu sistem kontrol sebagai berikut: (1) memahami cara kerja system, (2) mencari model sistem dinamik dalam persamaan differensial, (3) mendapatkan fungsi alih sistem dengan Transformasi Laplace, (4) memberikan aksi pengontrolan dengan menentukan konstanta Kp, Ki dan Kd, (5) menggabungkan fungsi alih yang sudah didapatkan dengan jenis aksi pengontrolan, (6) menguji sistem dengan sinyal masukan fungsi langkah, fungsi undak dan impuls ke dalam fungsi alih yang baru, (7) melakukan transformasi invers Laplace untuk mendapatkan fungsi dalam domain waktu, (8) menggambar tanggapan sistem dalam domain waktu. Untuk dapat merancang sistem kontrol yang baik diperlukan analisis untuk mendapatkan gambaran tanggapan sistem terhadap aksi pengontrolan. Sistem kontrol dibutuhkan untuk memperbaiki tanggapan sistem dinamik agar didapat sinyal keluaran seperti yang diinginkan. Sistem kontrol yang baik mempunyai tanggapan yang baik terhadap sinyal masukan yang beragam. Dalam perancangan sistem kontrol ini diperlukan gambaran tanggapan sistem dengan sinyal masukan dan aksi pengontrolan (Ziemer et al. 1990) yang meliputi : (1) tanggapan sistem terhadap masukan yang dapat berupa fungsi langkah, fungsi undak, fungsi impuls atau fungsi lainnya, (2) kestabilan sistem yang dirancang, (3) tanggapan sistem terhadap berbagai jenis aksi pengontrolan. 1. Algoritma Kontrol Untuk mencapai dan menjaga kondisi ruangan agar sesuai dengan setpoint, diimplemen-tasikan dua buah subsistem kontrol yang independen (walaupun

166 heater 147 hubungan suhu dan kelembaban nisbi (RH) udara tidak independen), yaitu kontrol suhu dan kontrol RH. Kontrol suhu menggunakan algoritma PID (proportionalintegral-derivative) yang dalam mengambil keputusan aksi kontrol mempertimbangkan (Bolton 1992) : P : Selisih antara kondisi aktual dan setpoint I : Jumlah selisih kondisi aktual dan setpoint D : Kecepatan perubahan kondisi Subsistem pengontrol suhu akan mengeluarkan perintah kepada pemanas (heater) untuk on/off sesuai perhitungan berdasarkan algoritma PID tersebut. Konstanta Kp, Ki dan Kd untuk perhitungan tersebut dapat diubah melalui menu SETTING. Default untuk konstanta-konstanta tersebut adalah: Kp=30, Ki=5 dan Kd=8. Kontrol RH menggunakan algoritma PD (proportional-derivative). Subsistem pengontrol RH akan mengeluarkan perintah kepada steamer untuk hidup atau mati sesuai dengan hasil formula PD tersebut. Sebagai catatan, karena sifat fisiknya kontrol RH memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk mendidihkan air di dalam water-tank sejak saat mesin baru menyala atau masih dalam keadaan dingin 2. Sistem Kontrol Suhu Kontrol suhu menggunakan kontrol PID dengan sistem closed-loop sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Setpoint adalah nilai yang diinginkan sedangkan sinyal kontrol adalah keluaran PID untuk menentukan rata-rata daya yang dihasilkan heater. Sinyal kontrol ini berupa PWM (pulse width modulation) yang menentukan proporsi waktu state On pada satu perioda tertentu pada heater. Sinyal kontrol hanya memiliki 2 state yaitu state On dan state Off (Gambar 4), sedangkan lebar siklus proses sekitar 1 detik. Gangguan / bocor set point PID sinyal kontrol Ruangan suhu Gambar 3. Diagram closed-loop kontrol suhu

167 heater 148 sinyal kontrol on level off level waktu (t) lebar 1 siklus lebar state on 50% duty cycle (%) = lebar state on lebar 1 siklus = 50% on level off level waktu (t) lebar 1 siklus lebar state on 75% lebar state on duty cycle (%) = = 75% lebar 1 siklus on level off level waktu (t) lebar 1 siklus lebar state on 25% duty cycle (%) = lebar state on lebar 1 siklus = 25% Gambar 4. Sinyal input kontrol PID ke heater 3. Sistem Kontrol Kelembaban Untuk pengontrol kelembaban, dikarenakan dinamika aktuator (penguapan air menggunakan heater) tidak terlalu dinamis dan respon time kontrol relatif lambat jika dibandingkan dengan respon time untuk pengontrol suhu, maka diimplementasikan sistem pengontrol PD yang dimodifikasi (modified PD) (Gambar 5). Sistem modified PD ini menggunakan perhitungan standar PD (proportional derivative) untuk menghitung sinyal kontrol analog (Lin & Chen 2005). Hasil perhitungan ini digunakan selayaknya kontrol On/Off, jika hasilnya positif maka sinyal kontrol pada state On, dan Off jika sinyal kontrol bernilai negatif. Hal ini kontras dengan pengontrol suhu, dimana selain pengaruh sinyal positif/ negatif, besar amplitudo perhitungan juga digunakan untuk membentuk PWM. Gangguan / bocor set point modified PD sinyal kontrol kontainer air Ruangan RH Gambar 5. Diagram closed-loop kontrol RH Penentuan duty cycle sinyal PWM adalah formula PID yang diimplementasikan dalam rutin program sebagai berikut (Byler et al. 1989) : err = (aktual - SP) PID_Error = Cp*err + Cd*(previous_err-err) + Ci*(sum(err))

168 149 dimana Cp, Cd, Ci adalah konstanta proportional, derivative, integral, SP adalah setpoint (nilai yang diinginkan), err adalah selisih antara nilai aktual dan setpoint, previous_err adalah error pada siklus sebelumnya dan sum(err) adalah jumlah dari error sebelumnya. PID_Error ini digunakan untuk menentukan besarnya duty cycle pada PWM untuk menyalakan heater. Semakin besar PID_Error semakin besar pula aksi kontrol yang dibutuhkan untuk mengejar setpoint. 4. Pengaturan Aliran Udara Kecepatan aliran udara yang melewati ruang pengering dapat diatur dengan suatu mekanisme manual berupa tuas pada bagian flow controller, yang mengatur besarnya bukaan valve. Semakin jauh tuas ditarik, semakin kecil kecepatan aliran udara, kecepatan aliran udara bervariasi dari 0,1 1 m/detik. Kinerja Alat Tampilan kondisi percobaan dan data pengukuran dapat dibaca pada layar display yang terdapat pada alat ataupun pada layar monitor (Gambar 6). Dari percobaan pendahuluan terlihat bahwa alat telah bekerja sesuai spesifikasi yang disyaratkan, hal ini dapat dilihat pada grafik pengukuran kondisi pengeringan pada Gambar 7 dimana kurva suhu dan kelembaban sudah stabil pada menit ke-6. Gambar 6. Tampilan kondisi percobaan pada display alat & layar monitor Dalam perancangan sistem kontrol PID yang perlu dilakukan adalah mengatur parameter P, I atau D agar tanggapan sinyal keluaran sistem terhadap sinyal

169 150 masukan tertentu sebagaimana yang diinginkan. Perancangan sistem kontrol PID pada umumnya dilakukan dengan metoda trial & error, hal ini disebabkan parameter Kp, Ki dan Kd tidak independen (Leigh 1985). Gambar 7. Profil grafik kondisi pengeringan yang stabil pada 50 o C dan RH 20% Akuisisi Data Alat pengering dapat dihubungkan dengan komputer personal (PC) untuk memonitor kondisi percobaan dan untuk mendownload data hasil pengukuran. Mesin berkomunikasi dengan PC melalui port serial. Komunikasi ini memiliki karakteristik komunikasi RS-232 dengan bitrate (default) bps 8N1 (8 bits per char, no parity, 1 bit stop). Alat pengering lab ini mempunyai 2 mode yang berhubungan dengan akuisisi data: Mode Setting dan Mode Percobaan. Pada Mode Setting (saat alat dinyalakan pertama kali) data (suhu, RH dan berat) tidak direkam. Hanya pada mode Percobaan data akan direkam secara periodik (default periodenya adalah setiap 3 menit). Data yang diambil disimpan dalam chip memory non-volatile sehingga tidak akan hilang walaupun listrik mati/ putus. Kapasitas memori yang digunakan adalah 128 KB yang dapat menampung data percobaan sebanyak 8000 sampel. Data ini dapat dilihat dari mode Setting ataupun mode Percobaan melalui menu Lihat Data.

170 151 Data percobaan yang telah diambil hanya akan hilang jika melakukan percobaan baru (dengan memilih menu Start lagi). Timbangan yang digunakan memiliki resolusi ketelitian 0.01 g (1/100 g), sehingga gangguan sedikit saja pada sistem akan mempengaruhi bacaan timbangan. Karena itu blower akan mati secara otomatis selama 15 detik (dapat diubah dari Setting T Blwr Off) untuk memungkinkan pembacaan timbangan dalam keadaan stabil. Setelah data timbangan dibaca, blower akan otomatis hidup kembali. Pengaturan Setting Pada saat sistem dinyalakan dengan meng-on-kan breaker switch, semua aktuator dalam keadaan off. Sistem kontrol suhu dan RH pun belum bekerja. Ini adalah saat yang tepat untuk meng-nol-kan timbangan karena blower belum bekerja sehingga tidak mengganggu bacaan timbangan. Peng-nol-an timbangan ini dilakukan dengan menekan tombol zero pada timbangan yang diletakkan dalam lubang timbangan. Selanjutnya untuk mengatur setpoint suhu dan RH, dilakukan melalui menu Setting Sp Suhu dan Setting Sp Rh. Setelah itu nyalakan sistem kontrol suhu & RH agar setpoint yang telah diset dapat tercapai. Untuk menyalakannya dilakukan melalui menu Setting Ctr Trh Onoff dan set ke nilai = 1. Pastikan blower menyala setelah kontrol di onkan (blower seharusnya menyala otomatis). Jika setelah kontrol dinyalakan ingin meng-nol-kan timbangan, maka agar blower mati dan tidak mengganggu bacaan timbangan, masuk ke menu Setting Ctr Trh Onoff kembali dan set ke nilai = 0. Jika diputuskan untuk melakukan percobaan dengan kondisi dehumidifier On, nyalakan melalui menu Setting Dehumidifier dan set ke nilai = 1. Kemudian atur sampling rate dari menu Setting Sampling Rate, untuk menentukan setiap berapa menit sekali data diambil. Default dari setting ini adalah setiap 3 menit. Jika waktu yang ditunjukkan mesin tidak tepat, set waktu dengan menu Setting Waktu Pengeringan Lapisan Tipis Pada percobaan sebelumnya kinerja alat diuji tanpa beban pengeringan. Untuk melihat apakah alat dapat bekerja sesuai spesifikasi yang diinginkan maka dilakukan percobaan dengan memakai sampel. Pengujian pengeringan dilakukan terhadap lapisan tipis irisan rimpang temu putih dengan berbagai kondisi percobaan (Gambar 8).

171 152 MR (Moisture Ratio) C, 40% 50 C, 40% 40 C, 40% MR (Moisture Ratio) C, 60% 50 C, 40% 50 C, 20% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar 8. Kurva pengeringan temu putih pada berbagai suhu (kiri) dan RH (kanan) Dari gambar tersebut diketahui bahwa alat pengering lab terkendali ini sudah dapat mengeringkan sampel hingga mencapai kadar air keseimbangannya. Hasil percobaan juga menunjukkan bahwa kondisi percobaan dalam hal ini parameter suhu dan RH terlihat stabil sepanjang percobaan berlangsung (Tabel 1). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa parameter suhu bervariasi dari nilai 49.5 hingga 50.3 o C atau tidak lebih dari ±1 o C dari setpoint 50 o C, sedangkan parameter RH bervariasi dari nilai 39.5% hingga 41.5% atau tidak lebih dari ±2% dari setpoint 40%. Simpangan suhu dan RH ini masih memenuhi persyaratan standar ASABE yaitu ±1 o C untuk suhu dan ±3% untuk RH. Tabel 1. Data pengujian pengeringan lapisan tipis temu putih (suhu 50 o C & RH 40%) Mnt Jam Suhu RH Berat Suhu RH Berat Suhu RH Berat Mnt Jam Mnt Jam (C) (%) (g) (C) (%) (g) (C) (%) (g) 0 7:50: :35: :15: :55: :40: :20: :00: :45: :25: :05: :50: :30: :10: :55: :35: :15: :00: :40: :20: :05: :45: :25: :10: :50: :30: :15: :55: :35: :20: :00: :40: :25: :05: :45: :30: :10: :50: :35: :15: :55: :40: :20: :00: :45: :25: :05: :50: :30: :10: :55: :35: :15: :00: :40: :20: :05: :45: :25: :10: :50: :30:

172 153 Penutup 1. Pengaturan dan penentuan parameter P, I atau D yang diperlukan agar tanggapan sinyal keluaran sistem terhadap sinyal masukan telah sesuai dengan yang diiginkan. 2. Dari beberapa kali uji kinerja terlihat bahwa alat telah bekerja sesuai spesifikasi yang disyaratkan, hal ini ditunjukkan oleh besaran amplitudo suhu dan RH yang tidak melebihi standar toleransi. 3. Sistem kontrol juga telah bekerja baik pada pengujian tanpa beban dan dengan beban pengeringan lapisan tipis temu putih.

173 154 Lampiran 2. Psikrometri udara pengeringan Data percobaan pengeringan lapisan tipis temu lawak (TL) adalah sebagai berikut: Kondisi 1 adalah posisi inlet (udara masuk, waktu t) Kondisi 3 adalah posisi outlet (udara keluar, waktu t+δt) Kondisi 2 adalah produk pada waktu t Kondisi 4 adalah produk pada waktu t+δt Kondisi lingkungan Suhu lingkungan : 30 o C RH lingkungan : 70% Volume ruang : (0.35 m)^3 = m 3 Kondisi 1 (inlet) Suhu udara : 50 o C RH udara : 40% Laju udara (v max ) : 0.9 m/s Kondisi pada titik 2 (t = 0) Massa awal TL : 150 g Kadar air (% bk) : 927.7% Suhu TL : 36.2 o C Massa bhn kering : g Kondisi titik 4 (t = 300 detik): Massa TL : g Suhu TL : 36.8 o C Kadar air (% bk) : 879.5%

174 155 Berdasarkan data di atas dan dengan menggunakan persamaan-persamaan psikrometri maka dapat ditentukan besaran-besaran psikrometri pada kondisi 1 sebagai berikut: 1. Suhu mutlak (Tabs) Tabs = T = = K 2. Tekanan Uap Jenuh (Ps) Ps = exp(mt) * R MT = (a + b * T + c * T ^ 2 + d * T ^ 3 + e * T ^ 4) / (f * T - g * T ^ 2) T = K a = ; b = c = ; d = e = ; f = g = R = # Ps = Pa 3. Tekanan Uap (Pvap) RH = Pvap / Ps Pvap = RH * Ps = 0.4 * = Pa 4. Humidity ratio (ω) ω = * Pvap / (Patm - Pvap) Patm = Pa ω = * / ( ) = kg uap air/kg udara kering 5. Volume spesifik (v) v = 287 * T / (Patm - Pvap) = 287 * / ( ) = m 3 /kg 6. Entalpi Cpda = ; Cpvap = Cpmix = Cpda + ω * Cpvap hda = T * Cpmix hfgt = * T hf = 4.18 * T hg = hfgt / hf Entalpi = hda + w * hg = kj/kg

175 156 Lampiran 3. Menentukan Entalpi dan Psikrometri udara keluar Entalpi udara yang keluar dari sistem (kondisi 3) dapat ditentukan dengan menghitung lebih dahulu suhu dan RH pada kondisi tersebut, sedangkan suhu keluar dapat ditentukan dengan menghitung entalpi udara pada kondisi 3 dengan menggunakan persamaan keseimbangan energi (persamaan 4.24). Dalam perhitungan ini panas yang hilang (Q l) dari dinding ruang pengeringan diabaikan karena sangat kecil (berkisar %) dibandingkan dengan panas yang masuk ke dalam sistem. Untuk menyelesaikan persamaan di atas perlu diketahui besaran-besaran berikut: 1. Mass airflow (m a) m a = 0.5 * v max * A / v = 0.5* 0.9 * (0.35)^2 / = kg/s 2. Mass product-flow (m p) pada kondisi 2 & 4 m p = massa bhn kering/δt = (14.60/1000) kg / 300 s = 4.87x10-5 kg/s 3. Mass moisture-flow (m w) pada kondisi 2 (m w) 2 = KA (bk) * massa bhn kering/ Δt = 927.7/100 * (14.60/1000) kg / 300 s = 4.51x10-4 kg/s 4. Mass moisture-flow (m w) pada kondisi 4 (m w) 4 = KA (bk) * massa bhn kering/ Δt = 879.5/100 * (14.60/1000) kg / 300 s = 4.28x10-4 kg/s 5. Entalpi udara masuk (h 1 ) h 1 = kj/kg 6. Entalpi produk (h p ) pada kondisi 2 (h p ) 2 = Cp * T 2 = * 36.2 = kj/kg 7. Entalpi produk (h p ) pada kondisi 4 (h p ) 4 = Cp * T 4 = * 36.8 = kj/kg 8. Entalpi air dalam produk (h w ) pada kondisi 2 (h w ) 2 = Cp * T 2 = 4.81 * 36.2 = kj/kg

176 Entalpi produk (h w ) pada kondisi 4 (h w ) 4 = Cp * T 4 = 4.81 * 36.8 = kj/kg 10. Q l = 0 Dari data di atas dapat dihitung entalpi udara yang keluar dari sistem dengan persamaan (4.24) berikut : ma h1 m p ( hp ) 2 ( m ) hw ma h m p hp mw h w 2 ( ) 2 3 ( ) 4 ( ) 4 ( w) 4 Q l sehingga, m a h 3 = kj/s h 3 = kj/kg Untuk menghitung suhu dan RH keluar maka ω 3 dihitung terlebih dahulu. ω 3 = ω 1 + (air menguap / Δt) * (v / vol ruang) = ( ) /1000/300 * ( / 0.043) = kg uap air/kg udara kering Menentukan suhu keluar T 3 : Cpda = Cpvap = Cpmix = Cpda + ω 3 * Cpvap T 3 = (h 3 - ω 3 * ) / (Cpmix - ω 3 * * ω 3 ) = 48.7 o C Selanjutnya RH 3 dapat ditentukan dengan terlebih dahulu menghitung Ps dan Pvap sebagai fungsi dari suhu keluar (T 3 ) dengan persamaan psikrometrik. Ps = Pa Pvap = Pa RH 3 = Pvap/Ps = / = 43.3% Entalpi udara keluar (h 3 ): Cpda = ; Cpvap = Cpmix = Cpda + ω 3 * Cpvap hda = T 3 * Cpmix hfgt = * T 3 hf = 4.18 * T 3 hg = hfgt / hf Entalpi = hda + ω 3 * hg = kj/kg

177 158 Lampiran 4. Menentukan panas penguapan dan eksergi penguapan Besarnya penguapan dari kondisi t = 0 ke t = 300 detik adalah ( ) g = 7.03 g atau kg. Menentukan panas laten penguapan (hfg): hfg = * T ev = * 36.8 = 2415 J/kg = kj/kg Panas penguapan (evaporation heat, Q ev ): Q ev = m ev * hfg = (0.007/300)*2.415 = kj/s atau 56.6 J/s Eksergi penguapan (E vap) : E ev = [1-(T 0 /T vap )] * Q ev = [1 ( ) / ( )] * 56.6 = 12.5 J/s

178 159 Lampiran 5. Menentukan energi dan eksergi sistem Menentukan energi yang terkandung dalam udara pengeringan. Pada kondisi 1 : m a * h 1 = kg/s * kj/kg = kj/s Pada kondisi 3 : m 3 * h 3 = kj/s Eksergi spesifik udara masuk dan keluar sistem dihitung berdasarkan persamaan (4.32) dan (4.33) dimana, Cpa = kj/kg.k Cpv = kj/kg.k ω 0 = kg uap air/kg udara kering ω 1 = kg uap air/kg udara kering ω 3 = kg uap air/kg udara kering T 0 = K T 1 = K T 3 = = K R a = kj/kg.k m 1 = m a = kg/s m 3 = m a + m vap = ( x10-5 ) = kg/s m a Hasil perhitungan berdasarkan persamaan (4.32) dan (4.33) diperoleh eksergi spesifik (e) pada kondisi 1 dan 3 adalah: e 1 = kj/kg = 1189 J/kg e 3 = kj/kg = 1147 J/kg Sehingga exergy rate dapat dihitung sebagai E x = m e. Eksergi udara masuk besarnya konstan sedangkan e 3 besarnya berubah menurut waktu. E x 1 = 68.1 J/s E x 3 = 57.3 J/s Menentukan energi yang terkandung dalam bahan kering. Pada kondisi 2 : m p * (h p ) 2 = 4.87x10-5 kg/s * kj/kg = kj/s = 5.0 J/s Pada kondisi 4 : m p * (h p ) 4 = 4.87x10-5 kg/s * kj/kg = kj/s = 5.1 J/s

179 160 Menentukan eksergi yang terkandung dalam bahan kering. Pada kondisi 2 : (E p) 2 = [1-(T 0 /T p2 )] * m p * (h p ) 2 = [1 ( ) / ( )] * 5.0 = 0.1 J/s Pada kondisi 4 : (E p) 4 = [1-(T 0 /T p4 )] * m p * (h p ) 4 = [1 ( ) / ( )] * 5.1 = 0.1 J/s Menentukan energi yang terkandung dalam air bahan. Pada kondisi 2 : (m w) 2 * (h w ) 2 = 4.51x10-4 kg/s * kj/kg = kj/s = 68.3 J/s Pada kondisi 4 : (m w) 4 * (h w ) 4 = 4.28x10-4 kg/s * kj/kg = kj/s = 65.9 J/s Menentukan eksergi yang terkandung dalam dalam air bahan. Pada kondisi 2 : (E w) 2 = [1-(T 0 /T p2 )] * (m w) 2 * (h w ) 2 = [1 ( ) / ( )] * 68.3 = 1.4 J/s Pada kondisi 4 : (E w) 4 = [1-(T 0 /T p4 )] * (m w) 4 * (h w ) 4 = [1 ( ) / ( )] * 65.9 = 1.5 J/s Berdasarkan persamaan (4.31) exergy destroyed adalah selisih eksergi masuk (kondisi 1 & 2) dengan keluar, (kondisi 3 & 4). Hasil perhitungan besarnya exergy destroyed yaitu: E d = 2.3 J/s.

180 161 Lampiran 6. Menentukan efisiensi energi dan eksergi pengeringan Apabila efisiensi energi didefinisikan sebagai ratio energi keluar terhadap energi yang masuk, maka efisiensi energi pengeringan adalah nol, karena sesuai dengan kaidah keseimbangan energi (persamaan (4.24) total energi masuk sama dengan energi keluar. Bila panas yang hilang dipertimbangkan dalam perhitungan efisiensi, maka nilai tersebut adalah nilai untuk efisiensi alat pengering. Untuk menggambarkan berapa banyak energi yang dipakai dalam proses pengeringan ini, maka efisiensi pengeringan didefinisikan sebagai rasio penggunaan energi (energy utilization ratio, EUR) yang merupakan nisbah antara energi penguapan terhadap energi pemanasan udara dari kondisi lingkungan sebagaimana ditulis dalam persamaan (4.30). Dengan menggunakan kondisi yang sama seperti pada Lampiran 2 5, maka ratio penggunaan energi pada kondisi tersebut adalah: Q ev EUR = m a ai a0 = ( ) 100% = 1.73% Efisiensi eksergi dapat memberikan gambaran yang akurat tentang eksergi udara pengeringan yang digunakan dalam proses pengeringan. Dengan metode analisis eksergi terlihat dengan jelas adanya eksergi yang hancur (exergy destroyed) akibat terbentuknya entropi selama berlangsungnya proses yang besarnya merupakan selisih antara eksergi masuk dengan keluar. Dengan kata lain efisiensi eksergi pengeringan merupakan gambaran dari efisiensi proses. η ex = Exergy inflow Exergy outflow Exergy inflow = 2.3 / 69.6 * 100% = 3.5%

181 162 Lampiran 7. Program V-Basic psikrometri serta eksergi udara dan sampel Sub Bacadata() Range("b5").Select T1 = Range("b5").Value 'T1 suhu pengeringan Range("b6").Select T0 = Range("b6").Value 'T0 suhu reference Range("c5").Select RH1 = Range("c5").Value 'RH1 rh pengeringan Range("c6").Select RH0 = Range("c6").Value 'RH0 rh reference p0 = 'Tekanan 1 atm dalam Pa End Sub Function Tabs(T) Tabs = T End Function 'Menentukan Tekanan uap jenuh (Ps) sebagai fungsi suhu mutlak Function Ps(T) 'T dalam C a = b = c = d = e = f = g = R = # T = Tabs(T) tt = (a + b * T + c * T ^ 2 + d * T ^ 3 + e * T ^ 4) / (f * T - g * T ^ 2) Ps = Exp(tt) * R End Function 'Menentukan Tekanan uap (Pvap) Function Pvap(T, RH) PsT = Ps(T) Pvap = RH * PsT End Function 'Menentukan panas laten (hfg) penguapan Function hfg(t) 'T dalam C hfg = * T End Function

182 163 'Menghitung w (Humidity Ratio) Function HumRatio(Pv) p0 = 'p 1 atm = kpa HumRatio = * Pv / (p0 - Pv) End Function Function Pvout(HR) 'HR adl hum. ratio (w) p0 = Pvout = p0 * HR / ( HR) End Function Function VolSpecific(T, Pv) T = Tabs(T) VolSpecific = 287 * T / (p0 - Pv) End Function 'Menentukan entalpi spesifik udara Function Enthalpy(T, w) Cpda = Cpvap = Cpmix = Cpda + w * Cpvap hda = T * Cpmix hfgt = hfg(t) hf = 4.18 * T hg = hfgt / hf En = hda + w * hg Enthalpy = En End Function 'Menentukan suhu keluar Function Tout(h, wout) 'h entalphi h3, wout=w'-out w = wout Cpda = Cpvap = Cpmix = Cpda + w * Cpvap Tout = (h - w * ) / (Cpmix - w * * w) End Function 'Menentukan eksergi spesifik udara sebagai fungsi suhu mutlak dan humidity ratio Function exergy(t1, w1) Range("b6").Select T0 = Range("b6").Value 'Membaca suhu referensi

183 164 T0abs = Tabs(T0) T1abs = Tabs(T1) Range("c6").Select RH0 = Range("c6").Value 'Membaca RH referensi Pv0 = RH0 * Ps(T0) w0 = HumRatio(Pv0) Cpda = Cpvap = Cpmix = Cpda + w1 * Cpvap Ra = Rv = Rmix = Ra + w1 * Rv Range("b6").Select T0 = Range("b6").Value ex1 = Cpmix * (T1abs - T0abs) ex2 = T0abs * Cpmix * Log(T1abs / T0abs) ex31 = Rmix * Log(( * w0) / ( * w1)) ex32 = * w1 * Ra * Log(w1 / w0) ex3 = T0abs * (ex31 + ex32) exergy = ex1 - ex2 + ex3 End Function 'Menentukan eksergi spesifik bahan kering Function exproduk(tp) 'Tp suhu bahan Range("b6").Select T0 = Range("b6").Value Cp = 'Cp produk TP(kJ/kg.C) T0abs = Tabs(T0) Tpabs = Tabs(Tp) exproduk = Cp * ((Tp - T0) - T0abs * Log(Tpabs / T0abs)) End Function 'Menentukan eksergi spesifik air di dalam produk Function exair(tp) 'Tp adalah suhu bahan Range("b6").Select T0 = Range("b6").Value Cpair = 4.18 'Cp air (kj/kg.c) T0abs = Tabs(T0) Tpabs = Tabs(Tp) exair = Cpair * ((Tp - T0) - T0abs * Log((Tpabs) / (T0abs))) End Function

184 'Menentukan eksergi penguapan Function exevapt(tp, Enevap) Range("b6").Select T0 = Range("b6").Value exevapt = Enevap * ((Tp - T0) - (T ) * Log((Tp ) / (T ))) End Function 165

185 166 Lampiran 8. Regresi non Linier Persamaan pengeringan dituliskan sebagai berikut: MR = a exp k t = f(a, k) (L8.1) Untuk menentukan konstanta a dan k, maka nilai a dan k diduga terlebih dahulu dimana nilai dugaan a* dan k* adalah: a * = a + Δa k * = k + Δk (L8.2) (L8.3) sehingga nilai MR dugaannya adalah: MR d = f(a+δa, k+δk) (L8.4) dengan menggunakan ekspansi deret Taylor maka persamaan di atas dapat diuraikan menjadi, MR d = f(a, k) + a f f + k a k f f 2 ( a)2 + 2 a k a2 a ( k)2 2 f k 2 + f k (L8.5) Suku-suku ruas kanan yang berupa turunan kedua dan seterusnya diabaikan karena nilainya tidak signifikan dan cenderung membuat algoritma regresi tidak stabil atau cenderung divergen. Hal ini tidak akan mempengaruhi nilai optimum yang dicapai tetapi hanya berpengaruh terhadap langkah untuk mencapai nilai optimum tersebut, sehingga, MR d = f(a, k) + a f f + k a k (L8.6) dimana, f a = exp( kt) (L8.7) f = at exp( kt) k (L8.8) Untuk mendapatkan persamaan yang terbaik (best curve fitting) maka digunakan metode least square dengan kaidah meminimumkan sum square error.

186 167 n i MR i MR i d 2 minimum (L8.9) Kriteria mencapai minimum: n d MR i MR 2 i i ( a) n = 2 MR i MR i d i MR d ( a) = 0 (L8.10) n d MR i MR 2 i i ( k) n = 2 MR i MR i d i MR d ( k) = 0 (L8.11) dimana MR d ( a) = f a ; MRd ( k) = f k sehingga persamaan (L8.10) dan (L8.11) dapat ditulis menjadi ; n i MR i f i (a, k) a f i a k f i k f i a = 0 (L8.12) n i MR i f i (a, k) a f i a k f i k f i k = 0 (L8.13) Persamaan (L8.12) dan (L8.13) kemudian disusun kembali menjadi dua persamaan simultan berikut. a n i f i a 2 k n f i f i i a k n = MR i f i (a, k) f i a i (L8.14) a n f i f i k i a k n i f i k 2 n = MR i f i (a, k) f i k i (L8.15) Berdasarkan dua persamaan simultan di atas, nilai Δa dan Δk dapat ditentukan dengan penyapuan Gauss untuk mendapatkan nilai a dan k dugaan yang baru. Demikian seterusnya hingga didapatkan delta kedua parameter tersebut mendekati nol, dan nilai a dan k adalah nilai yang optimum.

187 168 Program CurveExpert adalah piranti lunak untuk regresi non linier yang menggunakan metode Levenberg-Marquardt untuk mencari penyelesaian yang terbaik. Metode ini menggabungkan metode ekspansi deret Taylor dan metode steepest-descent untuk mendapatkan penyelesaian yang cepat dan andal tanpa khawatir nilai dugaan yang dimasukkan terlalu jauh dari nilai optimum karena metode steepest-descent baik digunakan saat iterasi perhitungan masih jauh dari optimum (error minimum), sedangkan metode ekspansi deret Taylor baik digunakan saat dekat dengan optimum. Algoritma Levenberg-Marquardt memungkinkan untuk terjadinya transisi di antara dua metode tersebut.

188 169 Lampiran 9. Good (Post Harvest) Process Practice Praktik Pengolahan Pascapanen Simplisia yang Baik Pengembangan suatu tanaman obat hingga menjadi obat atau makanan kesehatan yang diakui dan memenuhi syarat memerlukan dukungan riset dan teknologi yang konsisten dan kontinu. Prosesnya sudah dimulai sejak penyiapan bahan baku yaitu dari budidaya tanaman, panen, pascapanen dan proses pengolahan. Penelitian ini memberi kontribusi pada mata rantai pasca panennya melalui perbaikan teknologi proses secara ilmiah dan modern. Temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang banyak tumbuh di Indonesia dan digunakan sebagai bahan baku obat tradisional atau jamu. Rimpang kedua tanaman ini mengandung kurkuminoid yang berkhasiat sebagai antioksidan (Masuda et al. 1992; Mau et al. 2003), antimikroba (Wilson et al. 2005) dan antikanker (Chen et al. 2011; Seo et al. 2005). Irisan rimpang kedua genus Curcuma ini memiliki kadar air yang cukup tinggi sehingga harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan rajangan (simplisia) untuk diekstrak bahan aktifnya. Selama pengeringan kualitas simplisia temu putih dan temu lawak akan mengalami penurunan tergantung pada cara dan kondisi pengeringan yang diterapkan, sehingga pengeringan merupakan proses kritis dalam mata rantai pengolahan simplisia. Sejalan dengan perkembangan obat herbal di dunia, Pemerintah Indonesia melalui Badan POM menerbitkan keputusan berupa Peraturan No : HK dimana sejak tahun 2005 Indonesia menerapkan kebijakan pengembangan obat herbal yang berjenjang, mulai dari jamu, herbal terstandar dan fitofarmaka. Pada kelompok jamu dimasukkan semua produk obat asli Indonesia (OAI) yang didasarkan pada data empiris yang diperoleh secara turun temurun. Kebijakan pengembangan dan pengawasan produk obat alami merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjadikan OAI sebagai produk kesehatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan serta dapat terintegrasi dalam sistem pelayanan kesehatan formal. Dalam Surat Keputusan Kepala Badan POM tersebut selain kepastian khasiat dan keamanan, jaminan mutu produk juga merupakan hal penting yang tidak dapat diabaikan. Hal ini menyangkut dengan segala aspek proses produksi sediaan obat herbal

189 170 dari hulu hingga ke hilir, seperti jaminan mutu bahan baku tanaman yang meliputi aspek kejelasan jenis bibit dan aspek budidaya, jaminan mutu proses pascapanen dalam menghasilkan simplisia terstandar, jaminan mutu proses pembuatan ekstrak terstandar, jaminan mutu pembuatan sediaan dan pengemasan. Demi terjaminnya mutu produk, maka semua proses mulai dari industri hulu hingga hilir perlu menerapkan manajemen jaminan mutu. Kegiatan budidaya tanaman obat mulai dari produksi bibit tanaman hingga pemanenan harus dilakukan dengan kaidah good agricultural and collecting practice (GACP). Sedangkan industri proses yang menghasilkan ekstrak-ekstrak terstandar dan produk obat herbal harus menerapkan good manufacturing practice (GMP), dengan menerapkan teknologi pengendalian mutu (quality control) dengan realibitas yang teruji, sehingga diperoleh mutu produk yang tinggi dan stabil dari satu batch ke batch berikutnya. Mengingat faktor pengeringan sangat penting dan kritis karena pada proses ini resiko kehilangan zat aktif cukup tinggi, maka studi ini mengajukan proses pengolahan pascapanen simplisia menjadi satu mata rantai tambahan sebagai penghubung antara GACP dan GMP yaitu good (post harvest) process practice yang disingkat dengan GPP. Di dalam mata rantai ini termasuk juga kegiatan kegiatan pascapanen lain yang relevan seperti sortasi, pencucian, pengecilan ukuran, blanching, pengemasan dan penyimpanan.

190 Lampiran 10. Hasil analisis kadar air toluen dan kurkumin simplisia temu putih 171

191 172

192 Lampiran 11. Hasil analisis proksimat simplisia temu putih 173

193 Lampiran 12. Hasil analisis kadar kurkumin simplisia temu lawak 174

194 175 Lampiran 13. Hasil analisis proksimat simplisia temu lawak Keterangan No Label : sampel petani Label : sampel penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Pengeringan adalah proses pengolahan pascapanen hasil pertanian yang paling kritis. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode pengawetan bahan. Tujuan

Lebih terperinci

ANALISIS EKSERGI PENGERINGAN IRISAN TEMULAWAK

ANALISIS EKSERGI PENGERINGAN IRISAN TEMULAWAK ANALISIS EKSERGI PENGERINGAN IRISAN TEMULAWAK Curcuma xanthorrhiza Lamhot Parulian Manalu, Armansyah Halomoan Tambunan, ABSTRAK Curcuma xanthorrhiza exergy loss, o o o Kata kunci ABSTRACT Curcuma xanthorrhiza

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS Menurut Brooker et al. (1974) terdapat beberapa kombinasi waktu dan suhu udara pengering dimana komoditas hasil pertanian dengan kadar

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA. Pendahuluan

BAB 2 STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA. Pendahuluan BAB 2 STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA Pendahuluan Pengeringan merupakan proses pengeluaran air dari dalam bahan secara termal untuk menghasilkan produk kering. Pengeringan sudah dikenal sejak

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PENGERINGAN LAPISAN TIPIS TEMU PUTIH

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PENGERINGAN LAPISAN TIPIS TEMU PUTIH ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PENGERINGAN LAPISAN TIPIS TEMU PUTIH Lamhot P. Manalu 1, Armansyah H. Tambunan 2, Leopold O. Nelwan 2 & Agus R. Hoetman 3 1) Pusat Teknologi Agroindustri BPPT & Sekolah Pascasarjana

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ENERGI & EKSERGI PENGERINGAN SIMPLISIA. Pendahuluan

BAB 4 ANALISIS ENERGI & EKSERGI PENGERINGAN SIMPLISIA. Pendahuluan BAB 4 ANALISIS ENERGI & EKSERGI PENGERINGAN SIMPLISIA Pendahuluan Pengeringan adalah proses pengolahan hasil pertanian yang paling kritis, kegiatan ini diketahui sebagai proses yang memerlukan banyak energi

Lebih terperinci

KONDISI PROSES PENGERINGAN UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA TEMUPUTIH STANDAR

KONDISI PROSES PENGERINGAN UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA TEMUPUTIH STANDAR Kondisi Proses Pengeringan Untuk Menghasilkan Simplisia Temuputih Standar (Lamhot P. Manalu dan Himawan Adinegoro) KONDISI PROSES PENGERINGAN UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA TEMUPUTIH STANDAR Drying Process

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENYUSUTAN DENGAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) AMALIA SAGITA

HUBUNGAN PENYUSUTAN DENGAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) AMALIA SAGITA HUBUNGAN PENYUSUTAN DENGAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) AMALIA SAGITA DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENENTUAN KONDISI PROSES PENGERINGAN TEMU LAWAK UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA STANDAR

PENENTUAN KONDISI PROSES PENGERINGAN TEMU LAWAK UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA STANDAR Lamhot P. Manalu Armansyah H. Tambunan Leopold O. Nelwan Penggunaan Bahan Pengisi Nanokomposit PENENTUAN KONDISI PROSES PENGERINGAN TEMU LAWAK UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA STANDAR THE DETERMINATION FOR

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 sampai dengan Agustus 2011 di Laboratorium Pindah Panas serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Prinsip pengeringan lapisan tipis pada dasarnya adalah mengeringkan bahan sampai kadar air bahan mencapai kadar air keseimbangannya. Sesuai

Lebih terperinci

Pengaruh Penyusutan Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis

Pengaruh Penyusutan Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Technical Paper Pengaruh Penyusutan Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis The Effects of Shrinkage to Thin Layer Drying Characteristics of Temu Putih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KENTANG (SOLANUM TUBEROSUM L.) Tumbuhan kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas sayuran yang dapat dikembangkan dan bahkan dipasarkan di dalam negeri maupun di luar

Lebih terperinci

THESIS Submitted to The Faculty of Agricultural Technology in partial fulfillment of the requirements for obtaining the Bachelor Degree

THESIS Submitted to The Faculty of Agricultural Technology in partial fulfillment of the requirements for obtaining the Bachelor Degree EFFECT OF SOAKING PRETREATMENTS ON THE DRYING KINETICS AND REHYDRATION CHARACTERISTICS OF PETAI BEANS (Parkia speciosa) EFEK PERLAKUAN AWAL PERENDAMAN PADA LAJU PENGERINGAN DAN KARAKTERISTIK REHIDRASI

Lebih terperinci

PERMODELAN PERPINDAHAN MASSA PADA PROSES PENGERINGAN LIMBAH PADAT INDUSTRI TAPIOKA DI DALAM TRAY DRYER

PERMODELAN PERPINDAHAN MASSA PADA PROSES PENGERINGAN LIMBAH PADAT INDUSTRI TAPIOKA DI DALAM TRAY DRYER SKRIPSI RK 1583 PERMODELAN PERPINDAHAN MASSA PADA PROSES PENGERINGAN LIMBAH PADAT INDUSTRI TAPIOKA DI DALAM TRAY DRYER AULIA AGUS KURNIADY NRP 2303 109 016 NIDIA RACHMA SETIYAJAYANTRI NRP 2306 100 614

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama dalam penyimpanannya membuat salah satu produk seperti keripik buah digemari oleh masyarat. Mereka

Lebih terperinci

ANALISIS PERFORMANSI MODEL PENGERING GABAH POMPA KALOR

ANALISIS PERFORMANSI MODEL PENGERING GABAH POMPA KALOR ANALISIS PERFORMANSI MODEL PENGERING GABAH POMPA KALOR Budi Kristiawan 1, Wibowo 1, Rendy AR 1 Abstract : The aim of this research is to analyze of rice heat pump dryer model performance by determining

Lebih terperinci

BAB 3 PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA. Pendahuluan

BAB 3 PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA. Pendahuluan BAB 3 PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA Pendahuluan Pengeringan merupakan cara yang paling umum digunakan untuk meningkatkan stabilitas bahan dengan mengurangi kandungan air bahan

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI

PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI Oleh ILHAM AL FIKRI M 04 04 02 037 1 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR NOTASI... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

KAJIAN PERFORMANSI MESIN PENDINGIN ABSORPSI INTERMITTEN MENGGUNAKAN FLUIDA KERJA AMMONIA AIR MOCHAMMAD NURUDDIN

KAJIAN PERFORMANSI MESIN PENDINGIN ABSORPSI INTERMITTEN MENGGUNAKAN FLUIDA KERJA AMMONIA AIR MOCHAMMAD NURUDDIN KAJIAN PERFORMANSI MESIN PENDINGIN ABSORPSI INTERMITTEN MENGGUNAKAN FLUIDA KERJA AMMONIA AIR MOCHAMMAD NURUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan utama dalam pascapanen komoditi biji-bijian adalah susut panen dan turunnya kualitas, sehingga perlu diupayakan metode pengeringan dan penyimpanan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa 1. Perubahan Kadar Air terhadap Waktu Pengeringan buah mahkota dewa dimulai dari kadar air awal bahan sampai mendekati

Lebih terperinci

5/30/2014 PSIKROMETRI. Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB. Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab

5/30/2014 PSIKROMETRI. Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB. Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab PSIKROMETRI Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab 1 1. Atmospheric air Udara yang ada di atmosfir merupakan campuran dari udara kering dan uap air. Psikrometri

Lebih terperinci

Gambar 1. Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) (Ochse & Van Den Brink, 1977)

Gambar 1. Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) (Ochse & Van Den Brink, 1977) II. TINJAUAN PUSTAKA A. BOTANI TEMU PUTIH Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) cukup dikenal di kalangan masyarakat untuk bahan jamu. Kepopuleran tanaman obat ini digunakan untuk mengobati penyakit

Lebih terperinci

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) ) ISHAK (G4 9 274) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK Perbedaan pola penurunan kadar air pada pengeringan lapis tipis cengkeh

Lebih terperinci

Kinerja Pengeringan Chip Ubi Kayu

Kinerja Pengeringan Chip Ubi Kayu Technical Paper Kinerja Pengeringan Chip Ubi Kayu Performance of Cassava Chip Drying Sandi Asmara 1 dan Warji 2 Abstract Lampung Province is the largest producer of cassava in Indonesia. Cassava has a

Lebih terperinci

ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP. Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F

ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP. Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F14101107 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Temu Putih. Penyortiran Basah. Pencucian. Pengupasan. Timbang, ± 200 g. Pengeringan sesuai perlakuan

Temu Putih. Penyortiran Basah. Pencucian. Pengupasan. Timbang, ± 200 g. Pengeringan sesuai perlakuan Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian Temu Putih Penyortiran Basah Pencucian Pengupasan Tiriskan Simpan dalam lemari pendingin (5-10 o C) hingga digunakan Pengirisan, 3-5 mm Timbang, ± 200 g Pengukuran Kadar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Pengeringan adalah proses mengurangi kadar air dari suatu bahan [1]. Dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dibandingkan sesaat setelah panen. Salah satu tahapan proses pascapanen

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dibandingkan sesaat setelah panen. Salah satu tahapan proses pascapanen BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanganan pascapanen komoditas pertanian mejadi hal yang tidak kalah pentingnya dengan penanganan sebelum panen. Dengan penanganan yang tepat, bahan hasil pertanian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer.

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013, di Laboratorium Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung B. Alat dan Bahan Alat yang

Lebih terperinci

RANCANGBANGUN DAN UJI PERFORMANSI UNIT VHT (VAPOR HEAT TREATMENT) UNTUK PENANGANAN PASCAPANEN PEPAYA

RANCANGBANGUN DAN UJI PERFORMANSI UNIT VHT (VAPOR HEAT TREATMENT) UNTUK PENANGANAN PASCAPANEN PEPAYA RANCANGBANGUN DAN UJI PERFORMANSI UNIT VHT (VAPOR HEAT TREATMENT) UNTUK PENANGANAN PASCAPANEN PEPAYA Oleh : ARIS SETYAWAN F14104108 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RANCANGBANGUN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Df adalah driving force (kg/kg udara kering), Y s adalah kelembaban

TINJAUAN PUSTAKA. Df adalah driving force (kg/kg udara kering), Y s adalah kelembaban TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Pengeringan Udara panas dihembuskan pada permukaan bahan yang basah, panas akan berpindah ke permukaan bahan, dan panas laten penguapan akan menyebabkan kandungan air bahan teruapkan.

Lebih terperinci

UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) TIPE RAK DENGAN PEMANAS TAMBAHAN PADA PENGERINGAN KERUPUK UYEL

UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) TIPE RAK DENGAN PEMANAS TAMBAHAN PADA PENGERINGAN KERUPUK UYEL UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) TIPE RAK DENGAN PEMANAS TAMBAHAN PADA PENGERINGAN KERUPUK UYEL Oleh : DEWI RUBAEATUL ADAWIYAH F14103089 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KAJIAN POLA SEBARAN ALIRAN UDARA PANAS PADA MODEL PENGERING EFEK RUMAH KACA HIBRID TIPE RAK BERPUTAR MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS

KAJIAN POLA SEBARAN ALIRAN UDARA PANAS PADA MODEL PENGERING EFEK RUMAH KACA HIBRID TIPE RAK BERPUTAR MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS KAJIAN POLA SEBARAN ALIRAN UDARA PANAS PADA MODEL PENGERING EFEK RUMAH KACA HIBRID TIPE RAK BERPUTAR MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS PUJI WIDODO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

EKSPERIMEN PENGARUH UKURAN PARTIKEL PADA LAJU PENGERINGAN PUPUK ZA DALAM TRAY DRYER

EKSPERIMEN PENGARUH UKURAN PARTIKEL PADA LAJU PENGERINGAN PUPUK ZA DALAM TRAY DRYER EKSPERIMEN PENGARUH UKURAN PARTIKEL PADA LAJU PENGERINGAN PUPUK ZA DALAM TRAY DRYER Disusun oleh : Kristina Dwi yanti Nia Maulia 2308 100 537 2308 100 542 Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Susianto, DEA Prof.

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) ABSTRAK

MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) ABSTRAK MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) Dwi Santoso 1, Djunaedi Muhidong 2, dan Mursalim 2 1 Program Studi Agroteknologi,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan. Oleh: CAECILIA EKA PUTRI

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan. Oleh: CAECILIA EKA PUTRI PENGARUH PERLAKUAN PERENDAMAN DENGAN ASAM SITRAT DAN NATRIUM METABISULFIT TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) YANG DIKERINGKAN DENGAN SOLAR TUNNEL DRYER DAN TERHADAP

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANCANGAN DAN UJI ALAT PENUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER) TIPE COUNTER FLOW

SKRIPSI PERANCANGAN DAN UJI ALAT PENUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER) TIPE COUNTER FLOW SKRIPSI PERANCANGAN DAN UJI ALAT PENUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER) TIPE COUNTER FLOW Oleh : Ai Rukmini F14101071 2006 DEPATEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PERANCANGAN

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR. Analisa Performance Menara Pendingin Tipe Induced Draft Counterflow Tower With Fill Sebagai Pendingin Pengecoran Baja

LAPORAN TUGAS AKHIR. Analisa Performance Menara Pendingin Tipe Induced Draft Counterflow Tower With Fill Sebagai Pendingin Pengecoran Baja LAPORAN TUGAS AKHIR Analisa Performance Menara Pendingin Tipe Induced Draft Counterflow Tower With Fill Sebagai Pendingin Pengecoran Baja Diajukan Guna Memenuhi Syarat Kelulusan Mata Kuliah Tugas Akhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang perekonomian nasional dan menjadi

Lebih terperinci

PENGARUH COATING AGENT DAN LETAK SAMPEL PADA CHAMBER DI SOLAR TUNNEL DRYER TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA SERBUK BIT MERAH (Beta vulgaris L)

PENGARUH COATING AGENT DAN LETAK SAMPEL PADA CHAMBER DI SOLAR TUNNEL DRYER TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA SERBUK BIT MERAH (Beta vulgaris L) PENGARUH COATING AGENT DAN LETAK SAMPEL PADA CHAMBER DI SOLAR TUNNEL DRYER TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA SERBUK BIT MERAH (Beta vulgaris L) THE EFFECTS OF COATING AGENT AND LOCATION OF THE SAMPLE

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel.

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel. BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PRODUK 4.1.1 Fenomena dan penyebab terjadinya case hardening Pada proses pengeringan yang dilakukan oleh penulis khususnya pada pengambilan data

Lebih terperinci

PERANCANGAN DAN PENGUJIAN ALAT PENGERING KOPRA DENGAN TIPE CABINET DRYER UNTUK KAPASITAS 6 kg PER-SIKLUS

PERANCANGAN DAN PENGUJIAN ALAT PENGERING KOPRA DENGAN TIPE CABINET DRYER UNTUK KAPASITAS 6 kg PER-SIKLUS PERANCANGAN DAN PENGUJIAN ALAT PENGERING KOPRA DENGAN TIPE CABINET DRYER UNTUK KAPASITAS 6 kg PER-SIKLUS Tugas Akhir Yang Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik AHMAD QURTHUBI ASHSHIDDIEQY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses pengolahan simplisia di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar I-1

BAB I PENDAHULUAN. Proses pengolahan simplisia di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar I-1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan beberapa hal pokok mengenai penelitian ini, yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, asumsi,

Lebih terperinci

Studi Karakteristik Pengeringan Pupuk NPK (15:15:15) Menggunakan Tray Dryer

Studi Karakteristik Pengeringan Pupuk NPK (15:15:15) Menggunakan Tray Dryer Seminar Skripsi Studi Karakteristik Pengeringan Pupuk NPK (15:15:15) Menggunakan Tray Dryer LABORATORIUM PERPINDAHAN ` PANAS DAN MASSA Jurusan Teknik Kimia FTI - ITS Disusun oleh : Argatha Febriansyah

Lebih terperinci

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi Pengeringan Shinta Rosalia Dewi SILABUS Evaporasi Pengeringan Pendinginan Kristalisasi Presentasi (Tugas Kelompok) UAS Aplikasi Pengeringan merupakan proses pemindahan uap air karena transfer panas dan

Lebih terperinci

DINAMIKA PINDAH MASSA DAN WARNA SINGKONG (Manihot Esculenta) SELAMA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

DINAMIKA PINDAH MASSA DAN WARNA SINGKONG (Manihot Esculenta) SELAMA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN DINAMIKA PINDAH MASSA DAN WARNA SINGKONG (Manihot Esculenta) SELAMA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

Pada proses pengeringan terjadi pula proses transfer panas. Panas di transfer dari

Pada proses pengeringan terjadi pula proses transfer panas. Panas di transfer dari \ Menentukan koefisien transfer massa optimum aweiica BAB II LANDASAN TEORI 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Proses pengeringan adalah perpindahan masa dari suatu bahan yang terjadi karena perbedaan konsentrasi.

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan tepat untuk mengurangi terbawanya bahan atau tanah

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT PENGERING TIPE TRAY (Tinjauan Waktu Pengeringan terhadap Jumlah Energi untuk Menurunkan Kadar Air Chip Ubi Jalar Kuning)

RANCANG BANGUN ALAT PENGERING TIPE TRAY (Tinjauan Waktu Pengeringan terhadap Jumlah Energi untuk Menurunkan Kadar Air Chip Ubi Jalar Kuning) RANCANG BANGUN ALAT PENGERING TIPE TRAY (Tinjauan Waktu Pengeringan terhadap Jumlah Energi untuk Menurunkan Kadar Air Chip Ubi Jalar Kuning) Disusun untuk Memenuhi Syarat Menyelesaikan Pendidikan Ahli

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, KECEPATAN ALIRAN DAN TEMPERATUR ALIRAN TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN (DROPLET) LARUTAN AGAR AGAR SKRIPSI

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, KECEPATAN ALIRAN DAN TEMPERATUR ALIRAN TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN (DROPLET) LARUTAN AGAR AGAR SKRIPSI PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, KECEPATAN ALIRAN DAN TEMPERATUR ALIRAN TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN (DROPLET) LARUTAN AGAR AGAR SKRIPSI Oleh IRFAN DJUNAEDI 04 04 02 040 1 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

KAJI EKSPERIMENTAL UNJUK KERJA PENGERING DEHUMIDIFIKASI TERINTEGRASI DENGAN PEMANAS UDARA SURYA UNTUK MENGERINGKAN TEMULAWAK

KAJI EKSPERIMENTAL UNJUK KERJA PENGERING DEHUMIDIFIKASI TERINTEGRASI DENGAN PEMANAS UDARA SURYA UNTUK MENGERINGKAN TEMULAWAK KAJI EKSPERIMENTAL UNJUK KERJA PENGERING DEHUMIDIFIKASI TERINTEGRASI DENGAN PEMANAS UDARA SURYA UNTUK MENGERINGKAN TEMULAAK Oleh M. Yahya Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Padang, Sumatera Barat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Tanpa Beban Untuk mengetahui profil sebaran suhu dalam mesin pengering ERK hibrid tipe bak yang diuji dilakukan dua kali percobaan tanpa beban yang dilakukan pada

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIK PENGERINGAN LAPIS TIPIS WORTEL

MODEL MATEMATIK PENGERINGAN LAPIS TIPIS WORTEL Berkala Ilmiah Teknik Kimia Vol 1, No 1, April 01 MODEL MATEMATIK PENGERINGAN LAPIS TIPIS WORTEL Puguh Setyopratomo Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik - Universitas Surabaya Jalan Raya Kalirungkut,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas 1. Jumlah Air yang Harus Diuapkan = = = 180 = 72.4 Air yang harus diuapkan (w v ) = 180 72.4 = 107.6 kg Laju penguapan (Ẇ v ) = 107.6 / (32 x 3600) =

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIK PENGERINGAN LAPIS TIPIS WORTEL

MODEL MATEMATIK PENGERINGAN LAPIS TIPIS WORTEL Puguh Setyopratomo : Model Matematik Pengeringan Lapis Tipis Wortel 54 MODEL MATEMATIK PENGERINGAN LAPIS TIPIS WORTEL Puguh Setyopratomo Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik - Universitas Surabaya Jalan

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hardware Sistem Kendali Pada ISD Pada penelitian ini dibuat sistem pengendalian berbasis PC seperti skema yang terdapat pada Gambar 7 di atas. Pada sistem pengendalian ini

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGERINGAN COKLAT DENGAN MESIN PENGERING ENERGI SURYA METODE PENGERINGAN THIN LAYER

KARAKTERISTIK PENGERINGAN COKLAT DENGAN MESIN PENGERING ENERGI SURYA METODE PENGERINGAN THIN LAYER KARAKTERISTIK PENGERINGAN COKLAT DENGAN MESIN PENGERING ENERGI SURYA METODE PENGERINGAN THIN LAYER SKRIPSI Skripsi yang Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Oleh : DAVID TAMBUNAN

Lebih terperinci

HOTMARIA RAHAYU SITUMORANG PEMBUATAN DAN EVALUASI SIMPLISIA BAWANG TIWAI (ELEUTHERINE AMERICANA (AUBL.) MERR)

HOTMARIA RAHAYU SITUMORANG PEMBUATAN DAN EVALUASI SIMPLISIA BAWANG TIWAI (ELEUTHERINE AMERICANA (AUBL.) MERR) HOTMARIA RAHAYU SITUMORANG 10703056 PEMBUATAN DAN EVALUASI SIMPLISIA BAWANG TIWAI (ELEUTHERINE AMERICANA (AUBL.) MERR) PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT PENGERING TIPE TRAY DENGAN MEDIA UDARA PANAS DITINJAU DARI LAMA WAKTU PENGERINGAN TERHADAP EXERGI PADA ALAT HEAT EXCHANGER

RANCANG BANGUN ALAT PENGERING TIPE TRAY DENGAN MEDIA UDARA PANAS DITINJAU DARI LAMA WAKTU PENGERINGAN TERHADAP EXERGI PADA ALAT HEAT EXCHANGER RANCANG BANGUN ALAT PENGERING TIPE TRAY DENGAN MEDIA UDARA PANAS DITINJAU DARI LAMA WAKTU PENGERINGAN TERHADAP EXERGI PADA ALAT HEAT EXCHANGER Disusun untuk Memenuhi Syarat Menyelesaikan Pendidikan Sarjana

Lebih terperinci

PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING

PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING Bambang Setyoko, Seno Darmanto, Rahmat Program Studi Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik UNDIP Jl. Prof H. Sudharto, SH, Tembalang,

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae)

RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) Oleh : PERI PERMANA F14102083 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) Karakteristik termal menunjukkan pengaruh perlakuan suhu pada bahan (Welty,1950). Dengan mengetahui karakteristik termal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERSETUJUAN... iii SURAT PERNYATAAN... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL... xii

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di Laboratorium Daya dan Alat Mesin Pertanian Jurusan Teknik Pertanian,

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN RURIN WAHYU LISTRIANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PROSES PERPINDAHAN MASSA DAN PERUBAHAN WARNA AMPAS TAHU SELAMA PENGERINGAN MENGGUNAKAN PEMANAS HALOGEN

PROSES PERPINDAHAN MASSA DAN PERUBAHAN WARNA AMPAS TAHU SELAMA PENGERINGAN MENGGUNAKAN PEMANAS HALOGEN PROSES PERPINDAHAN MASSA DAN PERUBAHAN WARNA AMPAS TAHU SELAMA PENGERINGAN MENGGUNAKAN PEMANAS HALOGEN SKRIPSI Oleh Erlisa Nur Septia NIM 091710201013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

ANALISIS INDEKS KONSUMSI GAS DAN EFISIENSI GAS MESIN SPRAY DRYER PADA PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU KERAMIK

ANALISIS INDEKS KONSUMSI GAS DAN EFISIENSI GAS MESIN SPRAY DRYER PADA PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU KERAMIK ANALISIS INDEKS KONSUMSI GAS DAN EFISIENSI GAS MESIN SPRAY DRYER PADA PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU KERAMIK DEDY BOY PANGARIBUAN NIM: 41315110107 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MERCU

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Penyusutan Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) adalah

Lebih terperinci

ANALISIS PERFORMANSI MOTOR BAKAR DIESEL SWD 8FG PLTD AYANGAN TAKENGON ACEH TENGAH

ANALISIS PERFORMANSI MOTOR BAKAR DIESEL SWD 8FG PLTD AYANGAN TAKENGON ACEH TENGAH ANALISIS PERFORMANSI MOTOR BAKAR DIESEL SWD 8FG PLTD AYANGAN TAKENGON ACEH TENGAH LAPORAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III PROGRAM

Lebih terperinci

UJI KINERJA ALAT PENGERING LORONG BERBANTUAN POMPA KALOR UNTUK MENGERINGKAN BIJI KAKAO

UJI KINERJA ALAT PENGERING LORONG BERBANTUAN POMPA KALOR UNTUK MENGERINGKAN BIJI KAKAO UJI KINERJA ALAT PENGERING LORONG BERBANTUAN POMPA KALOR UNTUK MENGERINGKAN BIJI KAKAO Oleh M. Yahya Dosen Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Padang Abstrak Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERPINDAHAN MASSA PADA PENGERINGAN JAHE MENGGUNAKAN EFEK RUMAH KACA *

PERPINDAHAN MASSA PADA PENGERINGAN JAHE MENGGUNAKAN EFEK RUMAH KACA * ISBN 978-62-97387--4 PROSIDING Seminar Nasional Perteta 21 PERPINDAHAN MASSA PADA PENGERINGAN JAHE MENGGUNAKAN EFEK RUMAH KACA * Hanim Z. Amanah 1), Ana Andriani 2), Sri Rahayoe 1) 1) Staf Pengajar Jurusan

Lebih terperinci

TURBIN GAS. Berikut ini adalah perbandingan antara turbin gas dengan turbin uap. Berat turbin per daya kuda yang dihasilkan lebih besar.

TURBIN GAS. Berikut ini adalah perbandingan antara turbin gas dengan turbin uap. Berat turbin per daya kuda yang dihasilkan lebih besar. 5 TURBIN GAS Pada turbin gas, pertama-tama udara diperoleh dari udara dan di kompresi dengan menggunakan kompresor udara. Udara kompresi kemudian disalurkan ke ruang bakar, dimana udara dipanaskan. Udara

Lebih terperinci

ANALISA PEFORMANSI SISTEM PENGERING DALAM PROSES LAUNDRY DENGAN MEMVARIASIKAN TATA LETAK PAKAIAN

ANALISA PEFORMANSI SISTEM PENGERING DALAM PROSES LAUNDRY DENGAN MEMVARIASIKAN TATA LETAK PAKAIAN 1 ANALISA PEFORMANSI SISTEM PENGERING DALAM PROSES LAUNDRY DENGAN MEMVARIASIKAN TATA LETAK PAKAIAN Oleh : I Wayan Bayu Anggara Dosen Pembimbing : Ir. I Nengah Suarnadwipa. MT : Dr.Ir. I Wayan Bandem Adnyana,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ALAT PENGKONDISIAN UDARA Alat pengkondisian udara merupakan sebuah mesin yang secara termodinamika dapat memindahkan energi dari area bertemperatur rendah (media yang akan

Lebih terperinci

MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH. Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK

MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH. Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK 112 MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK Dalam bidang pertanian dan perkebunan selain persiapan lahan dan

Lebih terperinci

MODEL RADIASI SURYA DAN SUHU UDARA DI DALAM RUMAH PLASTIK YUSHARDI

MODEL RADIASI SURYA DAN SUHU UDARA DI DALAM RUMAH PLASTIK YUSHARDI MODEL RADIASI SURYA DAN SUHU UDARA DI DALAM RUMAH PLASTIK YUSHARDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan

I. PENDAHULUAN. Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan penting sebagai bahan pangan pokok. Revitalisasi di bidang pertanian yang telah dicanangkan Presiden

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Mesin Pembeku Eksergetik Pengujian pergerakan bahan pada proses pembekuan produk dengan kecepatan pergerakan bahan dari.95 cm/min mencapai 7.6 cm/min. Arah pergerakan produk adalah

Lebih terperinci

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENENTUAN ENERGI SPESIFIK PROTOTIPE EVAPORATOR TIPE FALLING FILM PADA PROSES PEMEKATAN LARUTAN GELATIN. Oleh MOHAMAD SUJAI F

PENENTUAN ENERGI SPESIFIK PROTOTIPE EVAPORATOR TIPE FALLING FILM PADA PROSES PEMEKATAN LARUTAN GELATIN. Oleh MOHAMAD SUJAI F PENENTUAN ENERGI SPESIFIK PROTOTIPE EVAPORATOR TIPE FALLING FILM PADA PROSES PEMEKATAN LARUTAN GELATIN Oleh MOHAMAD SUJAI F14103038 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Disusun untuk Memenuhi Syarat Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Terapan (D-IV)Teknik Energi pada Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya

Disusun untuk Memenuhi Syarat Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Terapan (D-IV)Teknik Energi pada Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya RANCANG BANGUN ALAT PENGERING SURYA TEKNOLOGI DUAL (Uji Kinerja Alat Pengering Surya Teknologi Fotovoltaik Termal Ditinjau Dari Konsumsi Energi Spesifik Pada Pengeringan Kerupuk) Disusun untuk Memenuhi

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

DESAIN PRODUK FILLET IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus Cuvier) KERING TIPIS TANPA GARAM. Oleh : BORIS F

DESAIN PRODUK FILLET IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus Cuvier) KERING TIPIS TANPA GARAM. Oleh : BORIS F DESAIN PRODUK FILLET IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus Cuvier) KERING TIPIS TANPA GARAM Oleh : BORIS F14104036 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Boris. F14104036. Desain Produk

Lebih terperinci

Judul PENGERINGAN BAHAN PANGAN. Kelompok B Pembimbing Dr. Danu Ariono

Judul PENGERINGAN BAHAN PANGAN. Kelompok B Pembimbing Dr. Danu Ariono TK-40Z2 PENELITIAN Semester II 2006/2007 Judul PENGERINGAN BAHAN PANGAN Kelompok Garry Nathaniel (13003031) Meiti Pratiwi (13003056) Pembimbing Dr. Danu Ariono PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISA TERMODINAMIKA LAJU PERPINDAHAN PANAS DAN PENGERINGAN PADA MESIN PENGERING BERBAHAN BAKAR GAS DENGAN VARIABEL TEMPERATUR LINGKUNGAN

ANALISA TERMODINAMIKA LAJU PERPINDAHAN PANAS DAN PENGERINGAN PADA MESIN PENGERING BERBAHAN BAKAR GAS DENGAN VARIABEL TEMPERATUR LINGKUNGAN Flywheel: Jurnal Teknik Mesin Untirta Vol. IV, No., April 208, hal. 34-38 FLYWHEEL: JURNAL TEKNIK MESIN UNTIRTA Homepagejurnal: http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jwl ANALISA TERMODINAMIKA LAJU PERPINDAHAN

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2011 hingga Agustus 2011 di Laboratorium Energi dan Listrik Pertanian serta Laboratorium Pindah Panas dan

Lebih terperinci