HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Mesin Pembeku Eksergetik Pengujian pergerakan bahan pada proses pembekuan produk dengan kecepatan pergerakan bahan dari.95 cm/min mencapai 7.6 cm/min. Arah pergerakan produk adalah dari proses pembekuan tahap I ke tahap III, atau dari kanan ke kiri seperti ditunjukkan pada Gambar 23. Gambar isometri hasil rancangan prototipe mesin pembeku eksergetik ditunjukkan pada Gambar 24. Pada rancangan awal terdapat fan yang terletak di atas lempeng pembeku yang digunakan untuk menghembuskan udara dingin (air blast), namun demikian pada pengujian awal, putaran kipas menimbulkan panas. Kerugian panas pada sistem udara hembus mengakibatkan proses pembekuan menjadi tidak efisien. Karena itu pada penelitian ini, sistem udara hembus tidak digunakan. Ruang Pembeku T mb T mf T ma Motor Wadah produk Plat pembeku Katup ekspansi Poros berulir Kompresor Kondensor Gambar 23 Sistem Alir Pergerakan Produk dalam Mesin Pembeku Suhu Bertahap Kontinyu.

2 44 Gambar 24 Gambar Teknik Mesin Pembeku Suhu Bertahap Hasil Rancangan. Uji Kinerja Pembeku Eksergetik Unjuk Kerja. Model prototipe mesin pembeku eksergetik diuji tanpa menggunakan beban (bahan yang dibekukan) untuk melihat unjuk kerja dari model sistem yang dirancang tersebut. Perhitungan unjuk kerja pada sistem refrigerasi ditunjukkan dengan nilai COP (Coefficient of Performance) atau koefisien performansi, yang diturunkan dari efisiensi siklus Carnot (Persamaan 67 69).

3 45 Perhitungan COP menggunakan persamaan 67 sampai dengan persamaan 69 dengan entalpi diperoleh dari diagram Tekanan Entalpi (P-h diagram) untuk R-12 (Lampiran 8). Suhu Evaporator I, II, dan III = C, C, dan C. Suhu Kondensor = 35.2 C. Dari suhu evaporator dan kondensor tersebut digunakan untuk menentukan entalpi refrigeran: Efek Refrigerasi tahap I = h 4c - h 1c = kj/kg Efek Refrigerasi tahap II = h 4b - h 1b = 18.5 kj/kg Efek Refrigerasi tahap III = h 4a - h 1a = 15.1 kj/kg Kerja Kompresor = h 2 - h 1 = 37.4 kj/kg COP = ( )/((3)(37.4)) = 2.89 Tabel 3 Perbandingan Kinerja Mesin Pembeku Suhu Tetap 1] dan Suhu Bertahap Parameter Suhu tetap 1] Dengan pentahapan suhu ( C) ( C) tahap I tahap II tahap III Suhu evaporator Suhu kondensor Suhu lempeng pembeku Bahan lempeng pembeku Alumunium Stainless steel Efek refrigerasi (kj/kg) COP ] Ruliyana, 24 Unjuk kerja dari model sistem yang dikembangkan tersebut lebih tinggi daripada sistem suhu tetap rancangan Ruliyana (24), hal ini terlihat dari COP yang sebelumnya 1.2 naik menjadi 2.89 (Tabel 3), atau mengalami kenaikan sebesar 141 %.. Dengan demikian, model sistem pembekuan suhu bertahap dapat meningkatkan unjuk kerja sistem refrigerasi. Perbedaan suhu antara lempeng dengan evaporator masing-masing tahap menjadi konstan setelah beberapa saat dimana aliran refrigeran menjadi tunak (steady) dan

4 46 ditunjukkan dengan tidak terjadinya penurunan suhu yang signifikan, baik pada lempeng maupun evaporator. Profil penurunan suhu evaporator dan lempeng pembeku tiap tahap pembekuan ditunjukkan pada Gambar 25, 26 dan 27. Perbedaan suhu antara evaporator dan lempeng berkisar antara 3 sampai 5 C. Perbedaan suhu tersebut terjadi karena wadah mempunyai ketebalan (1.2 mm) dan lempeng memiliki konduktivitas termal sebesar 15 W/mK. 5 Suhu (oc) Suhu Lempeng tahap I Suhu Kondensor Suhu evaporator tahap I Waktu (menit) Rata-rata beda suhu 3 C Gambar 25 Profil Suhu Evaporator dan Suhu Lempeng Tahap I. Pengujian tanpa bahan dilakukan untuk melihat profil penurunan suhu wadah produk. Profil penurunan suhunya terlihat seperti Gambar 28 dan 29 Pada saat wadah produk diletakkan bersamaan dengan bekerjanya mesin terlihat bahwa dalam waktu 3 menit, perbedaan suhu wadah dengan lempeng pembeku pada tahap I, II, III adalah 4.3 C, 4.8 C, dan 1.3 C. Kemudian, setelah mesin berkerja konstan, wadah diletakkan pada lempeng pembeku tersebut selama 32 menit, dan perbedaan suhu wadah dengan lempeng pembeku tahap I, II, III adalah 5 C, 3.7 C, dan 9.5 C (Tabel 4).

5 47 Su h u ( o C ) Suhu Lempeng tahap II Suhu Kondensor Suhu evaporator tahap II -2-3 Rata-rata beda suhu 5 C Waktu (menit) Gambar 26 Profil Suhu Evaporator dan Suhu Lempeng Tahap II. 5 4 Suhu (o C) Suhu Lempeng tahap III Suhu Kondensor Suhu evaporator tahap III Rata-rata beda suhu 3 C Waktu (menit) Gambar 27 Profil Suhu Evaporator dan Suhu Lempeng Tahap III.

6 suhu ( o C) waktu (menit) Tplat1 Tplat2 Tplat3 Tw adah1 Tw adah2 Tw adah3 Gambar 28 Profil penurunan suhu wadah produk bersamaan dengan suhu lempeng pembeku suhu ( o C) waktu (menit) 3 Tplat1 Tplat2 Tplat3 Tw adah1 Tw adah2 Tw adah3 Gambar 29 Profil penurunan suhu wadah produk daging setelah suhu lempeng pembeku konstan.

7 49 Tabel 4 Beda suhu antara wadah produk dengan lempeng sentuh Kondisi Suhu konstan Tlempeng Twadah Suhu Lempeng Suhu Wadah Pembeku (oc) produk (oc) I II III I II III Perbedaan suhu wadah dengan lempeng (oc) I II III Sejak awal pengoperasian mesin pembeku Setelah lempeng pembeku konstan Pembentukan kristal es (salju) Lempeng Pembeku Gambar 3 Pembentukan kristal es pada lempeng pembeku. Dari hasil pengamatan visual pada menit ke-5 pengoperasian mesin pembeku terjadi pembentukan kristal es (salju) pada permukaan lempeng pembeku seperti tampak pada Gambar 3. Hal tersebut menimbulkan dampak terhadap proses pembekuan pada tahap I, II dan III, yaitu terhambatnya proses penyerapan panas bahan di evaporator I, II dan III, karena adanya pembentukan salju dapat menimbulkan perbedaan suhu antara lempeng pembeku dan wadah produk.

8 5 Pada tahap I, pembentukan salju dapat memperlambat pelepasan panas sensibel bahan yang ditunjukkan dengan penurunan suhu produk yang lambat. Pada tahap II, pembentukan salju dapat memperlambat proses perubahan fase bahan, dan pada tahap III, pembentukan salju dapat memperlambat pelepasan panas sensibel bahan di bawah titik bekunya. Pergerakan Wadah Pembeku Gambar 31 menunjukkan profil suhu evaporator, lempeng, dan wadah produk pada saat wadah produk digerakkan dengan kecepatan 2 cm/min diatas lempeng pembeku. Suhu lempeng sentuh berkisar antara o C hingga o C untuk tahap I, II, dan III. Suhu wadah produk meningkat sebagai akibat dari gesekan antara dasar wadah dengan lempeng, serta akibat kontak faktor yang kurang baik.hal ini menimbulkan kerugian termal yang ditunjukkan oleh peningkatan suhu rata-rata sekitar 4 sampai 5 C antara wadah produk dengan lempeng. Suhu ( o C) Tplat Tahap I Tahap II Tahap III waktu (detik) Twadah Gambar 31 Profil suhu wadah pada kecepatan 2 cm/min di atas lempeng bersuhu tetap -24 C. Pada kecepatan wadah produk 2 cm/min, satu siklus pembekuan memerlukan waktu 6 detik atau masing-masing tahapan 2 detik. Suhu

9 51 wadah meningkat sepanjang pergerakan pada tahap I dan tahap II, lalu menurun kembali pada tahap III. Kecepatan wadah berpengaruh terhadap gesekan dan peningkatan suhu. Semakin cepat gerakan wadah, makin tinggi pula peningkatan suhunya, dan sebaliknya, semakin rendah kecepatan wadah, laju peningkatan suhu semakin kecil, seperti ditunjukkan pada Gambar 32, 33 dan 34. Beda suhu minimum dan maksimum antara wadah dengan lempeng pembeku ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Beda Suhu minimum dan maksimum antara wadah dengan lempeng pembeku Kecepatan Beda Suhu ( o C) Wadah (cm/min) Minimum Maksimum suhu (oc) T wadah T lempeng w aktu (detik) Gambar 32 Profil suhu lempeng sentuh dan wadah produk pada kecepatan wadah 3. cm/min.

10 suhu (oc) T lempeng T wadah w aktu (detik) Gambar 33 Profil suhu lempeng sentuh dan wadah produk pada kecepatan wadah 48. cm/min suhu (oc) T lempeng T wadah w aktu (detik) Gambar 34 Profil suhu lempeng sentuh dan wadah produk pada kecepatan wadah 7.6 cm/min. Pengujian pergerakan wadah pada sistem suhu bertahap dengan kecepatan wadah.95 cm/min, menunjukkan bahwa penurunan suhu wadah cukup baik dengan perbadaan suhu terhadap lempeng sekitar 5 1 C, seperti ditunjukkan pada Gambar 35.

11 53 Suhu (celcius) Waktu bisa diperpendek I II Suhu bisa ditingkatkan Twadah Medium pembeku waktu (menit) III Waktu bisa diperpendek dan Suhu bisa ditingkatkan Gambar 35 Profil penurunan suhu wadah pada pembekuan suhu bertahap kontinyu dengan kecepatan konstan 1.8 cm/menit. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, kecepatan gerakan wadah pada tahap I dapat dipercepat atau waktunya diperpendek. Selanjutnya, suhu media tahap II bisa ditingkatkan, sedangkan pada tahap III, waktunya bisa dipersingkat dan suhu media pembeku dapat ditingkatkan. Analisis Energi dan Eksergi Pada kajian ini akan dibahas tentang: (1) Karakteristik pembekuan konvensional daging sapi segar, (2) Karakteristik Pembekuan Suhu Bertahap sistem Batch dan Kontinyu, (3) Analisis Energi dan Eksergi Sistem Pembekuan, (4) Simulasi proses pembekuan eksergetik Karakteristik Pembekuan Konvensional Daging Sapi Segar Pembekuan konvensional adalah sistem pembekuan yang menggunakan suhu media pembeku tetap selama proses pembekuan. Pada

12 54 percobaan pertama pembekuan konvensional, suhu tetap yang digunakan adalah -1 C dan mengalami fluktuasi suhu dalam kisaran -9 C hingga -11 C. Sampel daging yang dibekukan adalah berat gram dan tebal 2. cm. Sebaran suhu bahan selama pembekuan ditunjukkan pada Gambar 36. Suhu (Celcius) Tb1 Tb3 suhu media pembeku waktu (menit) Gambar 36 Profil penurunan suhu daging sapi pada proses pembekuan suhu tetap dengan suhu media pembeku -1 C. Pada tahap I, suhu permukaan bawah (T b1 ) yaitu bagian bahan yang bersentuhan dengan media pembeku mengalami penurunan suhu paling cepat dibandingkan bagian lain. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu titik beku daging (-2.2 C) pada permukaan bawah daging adalah sekitar 51 menit. Titik ini merupakan awal daging mulai membeku. Total waktu pembekuan (waktu yang dibutuhkan dari T b1 = C menjadi T b3 = -3 C) adalah 166. menit. Laju pembekuan adalah perbandingan antara tebal bahan terhadap total waktu pembekuan, sehingga laju pembekuan pada percobaan ini adalah.72 cm/jam. Pada percobaan kedua, proses pembekuan dilakukan dengan suhu tetap -2 C dan mengalami fluktuasi suhu dalam kisaran C hingga -

13 C (Gambar 37a). Sampel daging sapi yang dibekukan adalah berat 5. gram dan tebal 1.6 cm. Pada tahap I, suhu permukaan bawah (T b1 ) yakni bagian bahan yang bersentuhan dengan media pembeku mengalami penurunan suhu paling cepat dibandingkan bagian lain. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu titik beku daging -2.2 C pada permukaan bawah daging adalah sekitar 35 menit yang merupakan awal pembekuan. Konduktivitas termal daging sapi pada kisaran suhu sampai 3 C adalah.45 W/mK, sedangkan pada suhu -5 C konduktivitasnya adalah 1.1 W/mK (Pham dan Willix, 1989). Hal ini menunjukkan bahwa pada saat bahan belum membeku, laju pelepasan panas daging ke lempeng lebih lambat daripada setelah membeku. Selanjutnya konduktivitas termal lempeng sentuh pada kondisi yang sama sebesar 15.2 W/mK. Resistensi termal daging sapi yang dibekukan dapat dinyatakan dengan bilangan Biot (Biot Number, Bi s = hd/k). Lambatnya laju penurunan suhu daging bagian dalam ditunjukkan oleh perbedaan kurva suhu T b1 dan T b2 yang lebih besar daripada perbedaan kurva T b2 dengan T b3, artinya T b2 lebih lambat turun karena dipengaruhi oleh konduktivitas di atas titik beku. Suhu permukaan atas (T b3 ) dipengaruhi oleh suhu udara di ruang pembeku. Jadi pada akhir tahap I, T b3 sekitar 4 C merupakan suhu permukaan luar daging yang dipengaruhi oleh udara ruang pembeku. Total waktu pembekuan (waktu yang dibutuhkan dari T b1 = C hingga T b3 = -5 C) adalah 73.8 menit, sehingga laju pembekuan pada percobaan ini adalah 1.3 cm/jam. Profil sebaran suhu daging sapi segar selama proses pembekuan menggunakan metode lempeng sentuh dengan suhu media pembeku tetap, ditunjukkan pada Gambar 37a.

14 56 suhu (C) Suhu Media Pembeku Tb3 Tb2 Tb waktu (menit) (a) S uhu (Celcius) Suhu media pembeku Tb1 Tb2 Tb waktu (menit) Gambar 37 Profil penurunan suhu pembekuan suhu tetap daging sapi segar, (a) pada suhu media pembeku -2 C; (b) pada suhu media pembeku -25 C (b)

15 57 Data pengujian sampel berikutnya (ketiga) ditunjukkan pada Gambar 37b. Proses pembekuan dilakukan dengan suhu media tetap, yaitu -25 C (berfluktuasi pada kisaran -23 C hingga C). Berat sampel daging yang dibekukan adalah 28. gram dan tebal 2.8 cm. Total waktu pembekuan (waktu yang dibutuhkan dari T b1 = C hingga T b3 = -5 C) adalah 13. menit, sehingga laju pembekuan pada percobaan ini adalah 1.29 cm/jam. Data hasil pengujian ketiga percobaan tersebut ditabulasikan dalam Tabel 6, dan sebagai perbandingan pada Tabel 7 ditunjukkan hasil pengujian pembekuan dari beberapa bahan pangan lain beserta laju pembekuannya. Laju pembekuan sangat dipengaruhi oleh suhu media pembeku. Semakin rendah suhu media pembeku maka semakin cepat laju pembekuannya, dan sebaliknya, semakin tinggi suhu media pembeku maka semakin lambat laju pembekuannya. Tabel 6 Perbandingan Karakteristik Pengujian Daging Sapi Pada Pembekuan Konvensional Suhu Tetap -1 C, -2 C dan -25 C Keterangan Suhu Media Pembeku ( C) Massa daging (g) Tebal daging (cm) Suhu Awal Daging (C) Suhu Akhir Pembekuan (C) Lama pembekuan (menit) Laju Pembekuan (cm/jam) Titik beku bahan dipengaruhi oleh konsentrasi zat terlarut pada air yang terkandung pada bahan yang disebut kadar air (Desrosier, 1998). Kadar air daging sapi yang tinggi menunjukkan konsentrasi zat terlarut yang tinggi pula (62 77 %, dari Heldmand dan Lund, 1992). Tingginya

16 58 konsentrasi zat terlarut akan menurunkan tekanan uap air bahan dan pada akhirnya akan menurunkan titik bekunya. Tabel 7 Perbandingan karakteristik beberapa bahan pangan dengan metode lempeng sentuh Bahan Pangan Suhu Media ( C) Tebal Bahan (cm) Lama pembekuan (menit) Laju Pembekuan (cm/jam) Kategori Pembekuan (Robinson, 1985) Daging Sapi 3] cepat lambat cepat Ikan Patin 1] lambat Ikan Patin 2] -4 (-42.6) cepat Ayam Broiler 2] (-41.4) cepat 1] Ruliyana, 24 2] Tambunan, 23 3] Pada penelitian ini Karakteristik Pembekuan Eksergetik Sistem Batch dan Kontinyu Tahap II dari proses pembekuan merupakan tahap paling kritis dimana pada tahap ini terjadi pembentukan kristal es. Untuk mempertahankan mutu produk, maka pembentukan kristal es harus kecil sehingga laju pembekuan harus cepat. Dari hasil pengujian pembekuan daging sapi dengan suhu media pembeku tetap -1 C, laju pembekuan yang dihasilkan adalah.72 cm/jam (di bawah 1 cm/jam). Laju pembekuan tersebut merupakan pembekuan lambat yang akan mengurangi mutu produk yang dibekukan. Oleh karena itu, suhu media pembeku tahap II adalah harus lebih rendah dari -1 C. Pada percobaan pertama, pengujian sistem pembeku eksergetik menggunakan suhu media pembeku -1, -25, dan -25 C masing-masing pada tahap I, II dan III dengan sistem batch. Berat sampel daging sapi yang dibekukan adalah 283. gram dan tebal 3. cm. Pada sistem batch sampel yang telah menyelesaikan proses tahap I digeser ke lempeng pembeku berikutnya untuk proses tahap II, dan demikian selanjutnya hingga menyelesaikan proses tahap III. Lama sampel berada di lempeng pembeku

17 59 masing-masing tahap disesuaikan dengan kebutuhan untuk menyelesaikan masing-masing tahap tersebut. Oleh sebab itu pengendalian otomatis perlu ditambahkan dalam sistem ini karena selain untuk membuat suhu yang terkontrol pada masing-masing tahap pembekuan juga untuk mengendalikan sistem proses pada masing-masing tahap. Suhu bertahap sistem batch ditunjukkan pada Gambar 38. Suhu (Celcius) I Suhu Media Pembeku Tb1 Tb2 Tb II III waktu (menit) Gambar 38 Profil sebaran suhu produk daging sapi suhu media pembeku tahap I, -1 o C, dan tahap II dan III masing-masing -25 o C. Gambar 38 memperlihatkan grafik sebaran suhu bahan dengan suhu media pembeku tahap I sebesar -1 o C, sedangkan tahap II dan III masingmasing -25 o C. Proses pembekuan pada percobaan ini menggunakan sistem batch, dimana bahan diletakkan pada tahap I hingga suhu bagian bawah bahan mencapai C, setelah itu wadah digeser ke tahap II hingga perubahan fase selesai, lalu wadah digeser ke tahap III untuk hingga suhu bagian atas bahan (pusat termal) mencapai suhu -5 C. Waktu keseluruhan yang dibutuhkan dari awal proses, dimana suhu bahan 3 C mencapai suhu akhir pusat termal bahan -5 C adalah 21 menit, sedangkan waktu

18 6 pembekuannya (dari T b1 = C hingga T b3 = -5 C) adalah 135. menit, dengan tebal bahan 3. cm, sehingga laju pembekuannya adalah 1.26 cm/jam. Selanjutnya, sampel daging sapi dengan berat 45. gram dan tebal 2.2 cm dibekukan dengan pembeku eksergetik sistem batch dengan suhu pada masing-masing tahap -3 o C, -15 o C, dan -21 o C. Profil penurunan suhu bahan pada bagian bawah (T b1 ), tengah (T b2 ), atas bahan (T b3 ) dan suhu media pembeku ditunjukkan pada Gambar 39. Waktu pembekuannya (dari T b1 = C hingga T b3 = -5 C) adalah 11. menit, dengan tebal bahan 2.2 cm, sehingga laju pembekuannya adalah 1.2 cm/jam. 4 suhu (C) Suhu media pembeku Tb3 Tb2 Tb waktu (menit) Gambar 39 Profil sebaran suhu produk daging sapi dengan suhu media pembeku tahap I, II, dan III adalah -3 o C, -15 o C, dan -21 o C. Pada Gambar 39 terlihat bahwa lamanya produk berada pada tahap I tidak sama dengan lamanya produk berada pada tahap lainnya (tahap II maupun tahap III), hal ini disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan suhu daging untuk mencapai C pada tahap I lebih cepat daripada daging tersebut berubah fase pada tahap II dan lebih cepat daripada lamanya

19 61 menurunkan suhu daging dibawah titik beku pada tahap III. Sedangkan lamanya produk berada pada tahap II bergantung dari lamanya produk terjadi perubahan fase dalam bahan. Sehingga waktu proses pembekuan pada model daging sapi pada tahap I, II, dan III tidak sama. Tabel 8 memperlihatkan hasil pengolahan data terhadap laju pembekuan daging sapi menggunakan sistem pembekuan dengan suhu tetap dan suhu bertahap. Sebagai perbandingan, pada Tabel 9 ditunjukkan laju pembekuan ikan patin dan ayam broiler dengan metode lempeng sentuh (Anggraheni, 23). Dari kedua tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin rendah suhu media pembeku maka laju pembekuannya semakin cepat, dan sebaliknya semakin tinggi suhu media pembeku akan memperlambat laju pembekuan. Tabel 8 Laju pembekuan daging sapi menggunakan sistem pembekuan dengan suhu tetap dan suhu bertahap Sistem Pembekuan : Suhu Bertahap Suhu Tetap Tebal bahan (cm) Suhu media pembeku ( o C) Laju pembekuan (cm/jam) Tabel 9 Laju pembekuan ikan Patin dan Ayam Broiler dengan metode lempeng sentuh Bahan Pangan : Ikan patin Ayam broiler Tebal bahan (cm) 2 1 Suhu media pembeku ( o C) Laju pembekuan (cm/jam) Sumber : Anggraheni, 23

20 62 Pengujian pembekuan daging sapi menggunakan sistem pembeku eksergetik kontinyu menghasilkan profil pembekuan daging sapi seperti ditunjukkan pada Gambar 4, 41, dan 42. Perbedaan profil pembekuan daging sapi sistem kontinyu dengan sistem batch adalah pada sistem kontinyu, suhu wadah produk cenderung berfluktuasi sekitar 2 derajat, hal ini disebabkan oleh tiga hal, yakni: (1) lendutan pada poros pembawa wadah produk yang mengakibatkan wadah bergerak zig-zag, (2), adanya gesekan antara wadah produk dengan lempeng pembeku yang mengakibatkan kerugian perpindahan panas produk dalam wadah yang bergeser, dan (3) lempeng pembeku yang tidak rata mengakibatkan perpindahan panas pada wadah bergerak menjadi sangat berfluktuasi. 4 Suhu (Celcius) Twadah Tb1 Tb3 Medium pembeku -5 C Waktu (menit) Gambar 4 Profil pembekuan daging tanpa kemasan dalam wadah produk yang dibekukan dengan sistem pembekuan eksergetik secara kontinyu (suhu media: -8, -18, -26 C) pada kecepatan wadah 2. cm/min.

21 Twadah Tb1 Tb3 Medium Pembeku Suhu (Celcius) C Gambar Waktu (menit) Profil pembekuan daging sapi dengan kemasan plastik dalam wadah produk dan dibekukan dengan sistem pembekuan eksergetik secara kontinyu (suhu media: -8, -2, -28 C) pada kecepatan wadah 1.5 cm/min. Suhu (celcius) Twadah waktu (menit) Tb1 Tb3 Medium pembeku -5 C Gambar 42 Profil Sampel daging dengan kemasan plastik dan styrofoam yang diletakkan terbalik dalam wadah produk, dan dibekukan dengan sistem pembekuan eksergetik secara kontinyu (suhu media: -5, -18, -3 C) pada kecepatan wadah 1.8 cm/min.

22 64 Pada Gambar 4, dengan kecepatan pergerakan wadah 2 cm/jam, waktu proses pembekuan untuk mencapai suhu pusat termal (-5 C) dibutuhkan waktu sekitar 97.6 menit. Jika kecepatan wadah diperlambat 25 % dari semula atau 1.5 cm/jam maka waktu proses pembekuan menjadi lebih lama yaitu menit (25 % lebih lama dari proses sebelumnya). Fluktuasi suhu wadah produk pada sistem eksergetik kontinyu disebabkan oleh faktor ketidak-rataan lempeng pembeku. Hal ini sangat berpengaruh terhadap laju penurunan suhu produk yang dibekukan. Berbeda dengan sistem batch yang tidak terjadi fluktuasi suhu wadah produk, sehingga laju penurunan suhu cenderung lebih stabil dan dapat terlihat dari laju pembekuannya. Laju pembekuan pada sistem batch lebih cepat daripada sistem kontinyu. Laju pembekuan sistem batch berkisar dari cm/jam, dan sistem kontinyu berkisar antara cm/jam. Analisis Energi dan Eksergi Sistem Pembekuan Setiap proses termal menghasilkan energi berguna dan energi yang tidak dapat digunakan dalam proses tersebut. Energi yang tidak dapat digunakan tersebut menjadi waste dan merupakan kerugian. Analisis energi digunakan untuk menghitung keseimbangan energi, bahwa energi yang diterima sama dengan yang dilepaskan, sedangkan analisis eksergi digunakan untuk menentukan kerja teoritis maksimum yang dapat digunakan sehingga meminimumkan energi yang tidak dapat digunakan tersebut. Energi yang tidak dapat digunakan disebabkan oleh adanya pertumbuhan entropi pada setiap proses selama proses tersebut berada di atas nol absolut. Semakin besar perubahan entropi selama proses berlangsung, semakin kecil ekserginya. Analisis eksergi dilakukan untuk memperbesar eksergi melalui minimisasi pertumbuhan entropi.

23 65 Sasaran yang ingin dicapai adalah proses pembekuan yang menghasilkan S minimum atau mendekati nol, atau dengan kata lain proses pembekuan reversibel. Reversibilitas proses pembekuan dapat dicapai jika suhu media pembeku dapat mengikuti perubahan suhu bahan yang dibekukan. Meskipun akan berpengaruh signifikan terhadap perubahan entropi sistem keseluruhan, penelitian ini hanya mengkaji perubahan entropi pada proses pembekuan, dan masih mengabaikan perubahan entropi pada mesin refrigerasi yang digunakan. Analisis energi dan eksergi didasarkan pada sifat termofisik sampel daging sapi yang digunakan dan suhu operasi pembekuan. Tabel 1 menunjukkan sifat termofisik sampel daging sapi yang digunakan. Tabel 1 Sifat-sifat termofisik sampel daging sapi yang digunakan Sistem pembekuan Suhu Tetap Suhu Bertahap Keterangan Pers. Sat Batch Kontinyu Massa produk Ukur kg Luas Ukur m Tebal Ukur m Cp (di atas titik beku): - kj/kgk Cp (di bwh titik beku) - kj/kgk Panas Laten Pembekuan air - kj/kg Panas Laten Produk - kj/kg Berat Molekul Air - kg/mol Titik Beku - C Massa jenis - kg/m Massa air 14 kg Kandungan air - % Massa bahan kering 15 kg Ratio y (water to dry) Kadar padatan 17 % Fraksi mol air pd T Fraksi mol air pd T fp Berat Molekul padatan produk 2 kg/mol %Unfrozen water 21 % %Frozen water 22 % Fraksi air bebas (γ) Konstanta Gas - kj/mol.k

24 66 Kebutuhan minimal energi untuk pembekuan yang dihitung berdasarkan data tersebut ditunjukkan pada Tabel 11. Energi yang dilepaskan oleh bahan dan diserap oleh lempeng pembeku pada proses pembekuan adalah energi dalam bentuk panas sensibel dan panas laten. Panas sensibel adalah panas yang menyebabkan terjadinya penurunan suhu, sedangkan panas laten menyebabkan perubahan fase bahan dari cair ke padat (kristal-kristal es). Tabel 11 Hasil perhitungan kebutuhan minimal energi pembekuan Suhu bertahap Pengujian Pers Suhu tetap Batch Kontinyu Massa produk (kg) Suhu awal ( C) Suhu akhir pembekuan ( C) Suhu media pembeku T ma ( C) Suhu media pembeku T mf ( C) Suhu media pembeku T mb ( C) Suhu lingkungan (T ) Entalpi tahap I (kj) Entalpi tahap II (kj) Entalpi tahap III (kj) Total Entalpi (kj/kg) Lama pembekuan (menit) Energi terpakai (kwh) ukur Energi terpakai (dalam kj) Keb. Energi pembekuan (kj) Kebutuhan minimum energi pembekuan dinyatakan dengan perubahan entalpi pembekuan dimana harganya hanya tergantung pada suhu awal dan suhu akhirnya untuk bahan tertentu. Tanda negatif pada nilai perubahan entalpi menunjukkan bahwa energi (panas) dilepas dari sistem (bahan yang dibekukan) dalam hal ini dari model daging sapi ke media pembekunya. Energi terpakai adalah energi yang secara nyata digunakan untuk proses pembekuan tersebut, dan diukur dengan menggunakan kwh-meter. Energi tersebut dipakai untuk menggerakkan kompresor sehingga terjadi

25 67 penurunan suhu media pembeku. Dengan demikian, energi terpakai dipengaruhi oleh suhu media pembeku yang diterapkan dan lamanya proses pembekuan berlangsung (laju pembekuan). Kajian eksergi dilakukan untuk melihat efektivitas penggunaan energi pada setiap tahap dalam proses pembekuan tersebut. Tabel 12 menunjukkan hasil perhitungan asupan, kehilangan, dan efisiensi eksergi pada berbagai skenario proses pembekuan daging sapi segar. Asupan eksergi pada tabel tersebut. Tabel 12 Hasil Perhitungan Asupan dan Efisiensi Eksergi Pembekuan Daging Sapi Pengujian Pers. Suhu tetap Perubahan entropi (kj/k) 34 suku-1 34 suku-2 34 suku-3 Batch Suhu bertahap Kontinyu Tahapan Suhu ( C) ,-25,-25-3,-15,-21-8,-18,-26-5,-18,-3-8,-21,-28-5,-18,-3 Total entropi (kj/kgk) Eksergi input (kj) Total eksergi input (kj/kg) Kehilangan eksergi (Tahap I) (kj) Kehilangan eksergi (Tahap II) (kj) Kehilangan eksergi (Tahap III) (kj) Kehilangan eksergi (total) (kj/kg) Efisiensi eksergi total (%) Rata-rata kehilangan eksergi selama proses pembekuan dengan suhu media pembeku tetap berkisar antara 29 hingga 33 kj/kg. Nilai ini jauh lebih besar jika dibandingkan rata-rata kehilangan eksergi selama proses pembekuan suhu bertahap yang hanya sebesar 15 kj/kg hingga 23 kj/kg.

26 68 Eksergi input suhu tetap berkisar antara kj/kg, dengan model sistem pembekuan suhu bertahap dapat menurunkan eksergi input menjadi kj/kg atau turun sekitar 8 15 kj/kg. Rata-rata efisensi eksergi pada sistem pembekuan suhu tetap berkisar antara 46 % hingga 5 %, sedangkan dengan sistem pembekuan suhu bertahap dapat meningkatkan efisiensi eksergi sekitar 1 13 % menjadi sekitar %, dimana efisensi eksergi pembekuan suhu bertahap sistem batch berkisar antara 51 % hingga 63 % dan efisiensi eksergi pembekuan suhu bertahap sistem kontinyu berkisar antara %. Besarnya total enthalpi atau panas total yang dipindahkan (Q fs atau H fs ) adalah kebutuhan minimum energi yang dibutuhkan untuk pembekuan daging sapi. Target dari analisis eksergi adalah menentukan besarnya kehilangan eksergi proses pembekuan untuk tahap I, II, dan III, sebagaimana dinyatakan oleh Bruttini et al (21) bahwa kehilangan eksergi terjadi pada tiap tahap proses pembekuan. Dalam pengujian pembekuan daging sapi ini, kehilangan eksergi yang terjadi disajikan pada Tabel 12. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa kehilangan eksergi terbesar terjadi pada tahap I sampai tahap II, yaitu saat penurunan suhu bahan dari suhu awal ke titik beku dan saat pembekuan air bebas dalam bahan. Dengan demikian, cara penghematan energi dapat dilakukan dengan pengendalian suhu media pembeku pada tahap I dan tahap II. Pengendalian suhu media pembeku dapat mengakibatkan perubahan asupan eksergi pada sistem pembeku eksergetik. Semakin tinggi suhu media pembeku, semakin kecil asupan ekserginya sehingga efisiensi ekserginya meningkat. Dengan demikian, sistem pembeku eksergetik mampu meningkatkan efisiensi eksergi pembekuan. Sebagai contoh, jika suhu media pembeku tahap I dinaikan, maka asupan energinya menjadi lebih rendah, sehingga efisiensi eksergi sistem meningkat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan antara suhu media pembeku dan suhu awal bahan yang kecil.

27 69 Sementara itu, jika suhu media pembeku sistem pembeku eksergetik pada tahap II dan III sama dengan sistem suhu tetap, maka asupan ekserginya tidak berubah, sehingga efisiensi ekserginya cenderung sama. Berkaitan dengan faktor mutu produk yang dibekukan, dimana pada tahap II merupakan tahap kritis dalam pembekuan, maka dengan suhu media pembeku yang rendah pada tahap ini akan dapat meningkatkan laju pembekuan, sehingga mutu produk dapat dipertahankan. Efisiensi eksergi merupakan perbandingan eksergi output dengan eksergi input. Sedangkan eksergi input dipengaruhi oleh perbedaan antara suhu media pembeku dan suhu bahan yang dibekukan. Jadi, jika input ekserginya tetap, tetapi output ekserginya ditingkatkan, maka efisiensi eksergi akan meningkat. Atau, jika proses pembekuan diperbaiki sehingga input energinya menjadi lebih kecil dan menghasilkan output yang sama, maka efisiensi ekserginya pun meningkat. Energi pada proses pembekuan ini terdiri dari energi listrik, energi mekanis, dan energi panas. Energi yang digunakan untuk menggerakkan kompresor diperoleh dari energi listrik yang diubah menjadi energi mekanis (kerja). Kerja tersebut digunakan untuk mengambil panas bahan di ruang pembeku dan melepaskannya ke lingkungan di kondensor. Proses pembekuan merupakan proses pengambilan panas bahan oleh suhu media pembeku. Pengambilan panas oleh suhu media pembeku mempengaruhi kerja kompresor. Semakin cepat pengambilan panas, maka semakin rendah suhu media pembeku sehingga kerja kompresor pun semakin besar. Dan sebaliknya, jika suhu media pembeku semakin tinggi, maka kerja kompresor semakin kecil. Setiap proses termal selalu memproduksi entropi yang sebanding dengan kehilangan eksergi. Tabel 13 menunjukkan bahwa hubungan suhu media pembeku tahap I, II, dan III dari hasil pengujian pembekuan daging sapi terhadap kehilangan eksergi proses pembekuan.

28 7 Tabel 13 Kehilangan eksergi pembekuan daging sapi dengan berbagai suhu media pembeku T ma ( C) T mf ( C) T mb ( C) Kehlgn eksergi (kj/kg) Jika selisih suhu media pembeku tahap I terhadap tahap II dibandingkan dengan selisih suhu media pembeku tahap I terhadap tahap III, maka suhu tak-berdimensi tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan 67 sebagai rasio beda suhu media pembeku antara tahap I dan II dengan antara tahap I dan III. Tma Tmf T =...67) T T ma mb Pada pengujian pembeku eksergetik, bilangan tak-berdimensi (T ) memberikan makna bahwa jika nilai T sama dengan satu artinya beda suhu antara tahap I ke II sama dengan beda suhu antara tahap I ke III, atau suhu tahap II sama dengan suhu tahap III (T mf = T mb ). Jika nilai T lebih besar dari dan lebih kecil dari satu, maka beda suhu antara tahap I ke II lebih kecil daripada beda suhu antara tahap I ke III. Gambar 43 menunjukkan bahwa semakin besar suhu tak-berdimensi (T ) berbanding lurus secara linier terhadap kehilangan eksergi. Pada suhu tak-berdimensi sama dengan menghasilkan kehilangan eksergi terkecil, dan sebaliknya pada nilai suhu tak-berdimensi sama dengan 1 menghasilkan kehilangan eksergi terbesar.

29 71 35 Kehilangan eksergi (kj/kg) y = e.7295x R 2 = (Tma-Tmf)/(Tma-Tmb) Gambar 43 Grafik hubungan kehilangan eksergi (kj/kg) terhadap nilai suhu tak-berdimensi T = (T ma -T mf )/(T ma -T mb ). 1 9 Kehilangan eksergi (kj/kg) Efisiensi eksergi (%) 8 7 y = -19.8x y = x T' = (Tma-Tmf)/(Tma-Tmb) Efisiensi eksergi (%) Kehilangan eksergi (kj/kg) Gambar 44 Grafik hubungan efisiensi eksergi (%) dan kehilangan eksergi (kj/kg) terhadap T = (T ma -T mf )/(T ma -T mb ).

30 72 Gambar 44 menunjukkan grafik hubungan suhu tak-berdimensi (T ) terhadap efisiensi eksergi dan kehilangan eksergi. Berdasarkan grafik tersebut diketahui bahwa suhu tak-berdimensi berbanding lurus secara linier dengan kehilangan eksergi dan berbanding terbalik secara linier dengan efisiensi eksergi. Dengan dimikian, pengendalian suhu media pembeku pada tahap I, dengan mempertahankan suhu media pada tahap II dan tahap III, dapat mengurangi kehilangan eksergi dan meningkatkan efisiensi eksergi. Gambar 44 ini dapat digunakan untuk penentuan suhu media pada tahap I (T ma ) jika suhu media tahap II (T mf ) dan suhu media tahap III (T mb ) diketahui. Suhu media tahap II ditentukan berdasarkan laju pembekuan yang diharapkan, sedangkan suhu media tahap III ditentukan berdasarkan suhu akhir bahan beku yang diharapkan (Tambunan et al, 27). 9. Energi terpakai (MJ) 8. y = -.336x Efisiensi Eksergi (%) Gambar 45 Grafik hubungan efisiensi eksergi (%) dengan energi terpakai (MJ) pada sistem pembekuan eksergetik untuk model daging sapi segar.

31 73 Jika model sistem pembekuan eksergetik baik sistem batch maupun kontinyu diterapkan pada pembekuan daging sapi maka kehilangan eksergi berkurang dan efisiensi eksergi meningkat. Dari hasil pengujian pembekuan daging sapi dengan pembeku eksergetik diperoleh bahwa semakin besar efisiensi ekserginya makin kecil energi terpakainya. Dan sebaliknya, semakin kecil efisiensi ekserginya semakin besar energi terpakainya (Gambar 45). Pengaruh Efisiensi Eksergi terhadap Laju Pembekuan Gambar 46 menunjukkan grafik hubungan antara efisiensi eksergi dengan laju pembekuan pada pengujian sistem pembekuan suhu bertahap untuk daging sapi. Efisiensi eksergi ditentukan dari analisis eksergi dan laju pembekuan ditentukan dari data pengujian pembekuan daging sapi. 1.4 Laju pem bekuan (cm /jam ) y = -.14x R 2 = Efisiensi eksergi (%) Gambar 46 Hubungan efisiensi eksergi dengan laju pembekuan pada pembekuan eksergetik untuk daging sapi.

32 74 Semakin tinggi efisiensi eksergi pembekuan, makin rendah laju pembekuannya, dan sebaliknya, semakin rendah efisiensi eksergi pembekuan, semakin tinggi laju pembekuannya. Laju pembekuan bahan merupakan tolok ukur mutu bahan yang dibekukan, jika laju pembekuannya kurang dari 1 cm/jam, maka tergolong dalam pembekuan lambat dan mutunya kurang baik. Oleh karenanya, pengawasan terhadap laju pembekuan perlu dilakukan agar mutu produk pangan yang dibekukan dapat tetap dipertahankan. Efisiensi eksergi sistem pembekuan konvensional lebih rendah daripada model sistem pembekuan eksergetik, sedangkan efisiensi eksergi berbanding lurus dengan energi spesifik, maka pembeku eksergetik dengan efisiensi eksergi yang tinggi mempunyai energi spesifik juga tinggi dan lebih tinggi jika dibandingkan pembeku konvensional. Pada penelitian ini, efisiensi eksergi tertinggi sebesar % untuk sistem pembekuan eksergetik kontinyu dengan energi terpakainya adalah 5.76 MJ. Simulasi Proses Pembekuan Eksergetik Simulasi hubungan suhu media pembeku dengan kehilangan eksergi ditunjukkan pada Gambar 47. Semakin tinggi suhu media pembeku, semakin kecil kehilangan ekserginya. Pengaruh suhu media pembeku terhadap laju pembekuan ditunjukkan pada Gambar 48, dimana semakin tinggi T mf (dari -4 C hingga -5 C), maka semakin lambat pula laju pembekuannya. Hal ini karena laju pembekuan merupakan fungsi dari suhu media pembeku tahap II (T mf ), dan laju pembekuan berbanding lurus dengan beda suhu antara bahan dan media pembeku. Semakin besar beda suhu antara bahan dan media maka laju pembekuannya semakin cepat. Grafik ini dapat digunakan untuk menentukan suhu media pembeku tahap II (T mf ) berdasarkan laju pembekuan yang diharapkan.

33 75 6 K eh ilang an eksergi (kj/kg) y = x R 2 = Suhu media pembeku tahap II (T mf, o C ) pada T ma = -5 dan T mb = -4 Gambar 47 Grafik hubungan suhu media pembeku T mf (T ma = -5 C dan T mb = -4 C) terhadap kehilangan eksergi L aju Pem b eku an (cm /jam) y = -.667x R 2 = Suhu Media Pembeku Thp II (Tmf) dalam Celcius Gambar 48 Hubungan suhu media pembeku (T mf ) dengan laju pembekuan pada T ma = -5 C; T mb =-4 C.

34 76 Hubungan laju pembekuan dengan efisiensi eksergi disajikan pada Gambar 49. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi T mf maka makin tinggi pula efisiensi ekserginya, tetapi laju pembekuannya menurun. Sebaliknya, jika T mf semakin rendah, maka laju pembekuan semakin cepat, namun efisiensi ekserginya semakin kecil. 8 7 Efisien si ekserg i (% ) y = Ln(x) R 2 = Laju Pembekuan (cm/jam) Gambar 49 Grafik hubungan laju pembekuan dengan efisiensi eksergi pada T ma = -5 C; T mb =-4 C. Jika suhu media pembeku tahap I (T ma ) diturunkan secara perlahan maka efisiensi ekserginya akan menurun sebagaimana disajikan pada Gambar 5. Pada kurva dex/dt dengan T ma -5 C (T mb = -4 C) berada di sebelah paling kiri atas, dan kurva dengan T ma sebesar -15 C (T mb = -4 C) berada di sebelah paling kanan bawah, sedangkan kurva dengan T ma sebesar -1 C (T mb = -4 C), berada diantara kurva T ma -5 dan T ma -15 C. Agar kualitas produk pangan yang dibekukan tetap terjaga maka T ma harus lebih tinggi atau sama dengan T mf untuk mencegah rekristalisasi bahan yang

35 77 dibekukan (Golden, et al. 1997). Sebaliknya pula T mf harus lebih rendah atau sama dengan T ma dan harus lebih tinggi atau sama dengan T mb y = e.269x R 2 = y = e.257x R 2 =.9961 dex/dt y = 1.499e.237x R 2 = Tma=-5 Tma=-1 Tma= Suhu Media Pembeku (Tmf) dalam derajat Celcius Gambar 5 Grafik hubungan suhu media pembeku terhadap perubahan eksergi dex/dt (T ma = -5 C;T mb = -4 C dan T ma = -1 C; T mb = -4 C, serta T ma = -15 C; T mb = -4 C).

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Eksergi Proses Pembekuan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Eksergi Proses Pembekuan TINJAUAN PUSTAKA Konsep Eksergi Proses Pembekuan Proses pembekuan merupakan kombinasi perpindahan panas, massa, dan momentum secara simultan antara bahan dan media pembekunya. Perpindahan panas tersebut

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan, mulai bulan Maret 2009 dan berakhir pada bulan Juli 2009 dan dilakukan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen

Lebih terperinci

SKRIPSI KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT

SKRIPSI KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT SKRIPSI KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT Oleh : SOLEH KURNIAWAN R.A.C F14050263 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi V. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi Mesin pendingin icyball beroperasi pada tekanan tinggi dan rawan korosi karena menggunakan ammonia sebagai fluida kerja. Penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN EKSERGI SISTEM PEMBEKUAN TEMULAWAK DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP PADA MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH TIARA ETIKA S.

KAJIAN EKSERGI SISTEM PEMBEKUAN TEMULAWAK DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP PADA MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH TIARA ETIKA S. KAJIAN EKSERGI SISTEM PEMBEKUAN TEMULAWAK DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP PADA MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH TIARA ETIKA S. DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Properti Termodinamika Refrigeran Untuk menduga sifat-sifat termofisik masing-masing refrigeran dibutuhkan data-data termodinamik yang diambil dari program REFPROP 6.. Sedangkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa, Bagian Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian IPB. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI4) 2008 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12

Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI4) 2008 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12 Suroso, I Wayan Sukania, dan Ian Mariano Jl. Let. Jend. S. Parman No. 1 Jakarta 11440 Telp. (021) 5672548

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Penyimpanan Energi Termal Es merupakan dasar dari sistem penyimpanan energi termal di mana telah menarik banyak perhatian selama beberapa dekade terakhir. Alasan terutama dari penggunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Pengeringan adalah proses mengurangi kadar air dari suatu bahan [1]. Dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan

Lebih terperinci

Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air

Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air Arif Kurniawan Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang E-mail : arifqyu@gmail.com Abstrak. Pada bagian mesin pendingin

Lebih terperinci

PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR

PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR Arif Kurniawan Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang; Jl.Raya Karanglo KM. 2 Malang 1 Jurusan Teknik Mesin, FTI-Teknik Mesin

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 1. Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2007 Mei 2008 di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Kampus IPB, Bogor. 2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR NOTASI... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP DENY FRAHMANA PUTRA SITUMORANG

RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP DENY FRAHMANA PUTRA SITUMORANG RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP DENY FRAHMANA PUTRA SITUMORANG DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

Pembekuan. Shinta Rosalia Dewi

Pembekuan. Shinta Rosalia Dewi Pembekuan Shinta Rosalia Dewi Pembekuan Pembekuan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut. Dengan membekunya sebagian kandungan

Lebih terperinci

Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin

Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin BELLA TANIA Program Pendidikan Fisika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surya May 9, 2013 Abstrak Mesin

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya BAB II DASAR TEORI 2.1 Hot and Cool Water Dispenser Hot and cool water dispenser merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengkondisikan temperatur air minum baik dingin maupun panas. Sumber airnya berasal

Lebih terperinci

KAJIAN ENERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERUBAH ANICA ROSALINA GIRSANG

KAJIAN ENERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERUBAH ANICA ROSALINA GIRSANG KAJIAN ENERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERUBAH ANICA ROSALINA GIRSANG DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem refrigerasi kompresi uap Sistem refrigerasi yang umum dan mudah dijumpai pada aplikasi sehari-hari, baik untuk keperluan rumah tangga, komersial dan industri adalah sistem

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 sistem Blast Chiller [PT.Wardscatering, 2012] BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 sistem Blast Chiller [PT.Wardscatering, 2012] BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Blast Chiller Blast Chiller adalah salah satu sistem refrigerasi yang berfungsi untuk mendinginkan suatu produk dengan cepat. Waktu pendinginan yang diperlukan untuk sistem Blast

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Df adalah driving force (kg/kg udara kering), Y s adalah kelembaban

TINJAUAN PUSTAKA. Df adalah driving force (kg/kg udara kering), Y s adalah kelembaban TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Pengeringan Udara panas dihembuskan pada permukaan bahan yang basah, panas akan berpindah ke permukaan bahan, dan panas laten penguapan akan menyebabkan kandungan air bahan teruapkan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Umum Mesin pendingin atau kondensor adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan panas dari dalam ruangan ke luar ruangan. Adapun sistem mesin pendingin yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI.1 Latar Belakang Pengkondisian udaraa pada kendaraan mengatur mengenai kelembaban, pemanasan dan pendinginan udara dalam ruangan. Pengkondisian ini bertujuan bukan saja sebagai penyejuk

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. P = Pc = P 3 = P 2 = Pg P 5 P 4. x 5. x 1 =x 2 x 3 x 2 1

LANDASAN TEORI. P = Pc = P 3 = P 2 = Pg P 5 P 4. x 5. x 1 =x 2 x 3 x 2 1 III. LANDASAN TEORI 3.1 Diagram suhu dan konsentrasi Hubungan antara suhu dan konsentrasi pada sistem pendinginan absorpsi dengan fluida kerja ammonia air ditunjukkan oleh Gambar 6 : t P = Pc = P 3 = P

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer.

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013, di Laboratorium Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung B. Alat dan Bahan Alat yang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi Pasteurisasi ialah proses pemanasan bahan makanan, biasanya berbentuk cairan dengan temperatur dan waktu tertentu dan kemudian langsung didinginkan secepatnya. Proses

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Vaksin Vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN UDARA PENDINGIN KONDENSOR TERHADAP KOEFISIEN PRESTASI AIR CONDITIONING

PENGARUH KECEPATAN UDARA PENDINGIN KONDENSOR TERHADAP KOEFISIEN PRESTASI AIR CONDITIONING Marwan Effendy, Pengaruh Kecepatan Udara Pendingin Kondensor Terhadap Kooefisien Prestasi PENGARUH KECEPATAN UDARA PENDINGIN KONDENSOR TERHADAP KOEFISIEN PRESTASI AIR CONDITIONING Marwan Effendy Jurusan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Refrigerasi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan saat ini terutama bagi masyarakat perkotaan. Refrigerasi dapat berupa lemari es pada rumah tangga, mesin

Lebih terperinci

Analisis Beban Thermal Rancangan Mesin Es Puter Dengan Kompresor ½ PK Untuk Skala Industri Rumah Tangga

Analisis Beban Thermal Rancangan Mesin Es Puter Dengan Kompresor ½ PK Untuk Skala Industri Rumah Tangga Analisis Beban Thermal Rancangan Mesin Es Puter Dengan Kompresor ½ PK Untuk Skala Industri Rumah Tangga IDG Agus Tri Putra (1) dan Sudirman (2) (2) Program Studi Teknik Pendingin dan Tata Udara, Jurusan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cooling Tunnel

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cooling Tunnel BAB II DASAR TEORI 2.1 Cooling Tunnel Cooling Tunnel atau terowongan pendingin merupakan sistem refrigerasi yang banyak digunakan di industri, baik industri pengolahan makanan, minuman dan farmasi. Cooling

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di Laboratorium Daya dan Alat Mesin Pertanian Jurusan Teknik Pertanian,

Lebih terperinci

Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika

Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika Oleh : Robbin Sanjaya 2106.030.060 Pembimbing : Ir. Denny M.E. Soedjono,M.T PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM. Disusun Oleh: MUHAMMAD NADJIB, S.T., M.Eng. TITO HADJI AGUNG S., S.T., M.T.

MODUL PRAKTIKUM. Disusun Oleh: MUHAMMAD NADJIB, S.T., M.Eng. TITO HADJI AGUNG S., S.T., M.T. MODUL PRAKTIKUM Disusun Oleh: MUHAMMAD NADJIB, S.T., M.Eng. TITO HADJI AGUNG S., S.T., M.T. PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016 i ii KATA PENGANTAR Assalaamu

Lebih terperinci

menurun dari tekanan kondensasi ( Pc ) ke tekanan penguapan ( Pe ). Pendinginan,

menurun dari tekanan kondensasi ( Pc ) ke tekanan penguapan ( Pe ). Pendinginan, menurun dari tekanan kondensasi ( Pc ) ke tekanan penguapan ( Pe ). Pendinginan, adsorpsi, dan penguapan (4 1) : Selama periode ini, sorber yang terus melepaskan panas ketika sedang terhubung ke evaporator,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Sistem Heat pump

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Sistem Heat pump BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Sistem Heat pump Heat pump adalah pengkondisi udara paket atau unit paket dengan katup pengubah arah (reversing valve) atau pengatur ubahan lainnya. Heat pump memiliki

Lebih terperinci

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage Sugiyono 1, Ir Sumpena, MM 2 1. Mahasiswa Elektro, 2. Dosen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 Mesin Refrigerasi Secara umum bidang refrigerasi mencakup kisaran temperatur sampai 123 K Sedangkan proses-proses dan aplikasi teknik yang beroperasi pada kisaran temperatur

Lebih terperinci

UNJUK KERJA PENGKONDISIAN UDARA MENGGUNAKAN HEAT PIPE PADA DUCTING DENGAN VARIASI LAJU ALIRAN MASSA UDARA

UNJUK KERJA PENGKONDISIAN UDARA MENGGUNAKAN HEAT PIPE PADA DUCTING DENGAN VARIASI LAJU ALIRAN MASSA UDARA UNJUK KERJA PENGKONDISIAN UDARA MENGGUNAKAN HEAT PIPE PADA DUCTING DENGAN VARIASI LAJU ALIRAN MASSA UDARA Sidra Ahmed Muntaha (0906605340) Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Lebih terperinci

Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin. Galuh Renggani Wilis, ST.,MT

Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin. Galuh Renggani Wilis, ST.,MT Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin Galuh Renggani Wilis, ST.,MT ABSTRAKSI Pengkondisian udara disebut juga system refrigerasi yang mengatur temperature & kelembaban udara. Dalam beroperasi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda BAB II DASAR TEORI 2.1 Benih Kedelai Penyimpanan benih dimaksudkan untuk mendapatkan benih berkualitas. Kualitas benih yang dapat mempengaruhi kualitas bibit yang dihubungkan dengan aspek penyimpanan adalah

Lebih terperinci

perubahan baik fisik maupun kimiawi yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki. Di samping itu, setelah melalui proses pengolahan, makanan tadi

perubahan baik fisik maupun kimiawi yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki. Di samping itu, setelah melalui proses pengolahan, makanan tadi i Tinjauan Mata Kuliah P roses pengolahan pangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak zaman dahulu kala, manusia mengenal makanan dan mengolahnya menjadi suatu bentuk

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Alat Penukar Panas Alat penukar panas yang dirancang merupakan tipe pipa ganda dengan arah aliran fluida berlawanan. Alat penukar panas difungsikan sebagai pengganti peran

Lebih terperinci

Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak. daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), 4) dan penguapan (4 ke 1), seperti pada

Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak. daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), 4) dan penguapan (4 ke 1), seperti pada Siklus Kompresi Uap Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak digunakan dalam daur refrigerasi, pada daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), pengembunan( 2 ke 3), ekspansi (3

Lebih terperinci

ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP. Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F

ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP. Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F14101107 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR Untuk mengenalkan aspek-aspek refrigerasi, pandanglah sebuah siklus refrigerasi uap Carnot. Siklus ini adalah kebalikan dari siklus daya uap Carnot. Gambar 1.

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Rangkaian Alat Uji Dan Cara Kerja Sistem Refrigerasi Tanpa CES (Full Sistem) Heri Kiswanto / Page 39

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Rangkaian Alat Uji Dan Cara Kerja Sistem Refrigerasi Tanpa CES (Full Sistem) Heri Kiswanto / Page 39 BAB IV PEMBAHASAN Pada pengujian ini dilakukan untuk membandingkan kerja sistem refrigerasi tanpa metode cooled energy storage dengan sistem refrigerasi yang menggunakan metode cooled energy storage. Pengujian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Refrigerasi merupakan suatu media pendingin yang dapat berfungsi untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Refrigerasi merupakan suatu media pendingin yang dapat berfungsi untuk BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Refrigerasi Refrigerasi merupakan suatu media pendingin yang dapat berfungsi untuk menyerap kalor dari lingkungan atau untuk melepaskan kalor ke lingkungan. Sifat-sifat fisik

Lebih terperinci

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Vol. 4 No.. April 00 (43-50) Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage

Lebih terperinci

SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP

SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP PADA UNIT PEMBEKUAN DI PT MITRATANI DUA TUJUH, JEMBER Oleh : KHAFID SUDRAJAT F14103081 Di bawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, M.Agr SISTEM REFRIGERASI

Lebih terperinci

Bab IV Analisa dan Pembahasan

Bab IV Analisa dan Pembahasan Bab IV Analisa dan Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui kinerja Ac split TCL 3/4 PK mengunakan refrigeran R-22 dan refrigeran MC-22. Pengujian kinerja Ac split

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.3 Prosedur Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.3 Prosedur Penelitian 17 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai dengan Juni 2011, bertempat di Laboratorium Surya, Bagian Teknik Energi Terbarukan, Departemen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ALAT PENGKONDISIAN UDARA Alat pengkondisian udara merupakan sebuah mesin yang secara termodinamika dapat memindahkan energi dari area bertemperatur rendah (media yang akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Refrigeran merupakan media pendingin yang bersirkulasi di dalam sistem refrigerasi kompresi uap. ASHRAE 2005 mendefinisikan refrigeran sebagai fluida kerja

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum di pabrik untuk produk minuman cup diproduksi hanya dua jenis produk yaitu jelly drink dan koko drink. Untuk produk jelly drink memiliki beberapa rasa yaitu apel, jambu,

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Perhitungan Daya Motor 4.1.1 Torsi pada poros (T 1 ) T3 T2 T1 Torsi pada poros dengan beban teh 10 kg Torsi pada poros tanpa beban - Massa poros; IV-1 Momen inersia pada poros;

Lebih terperinci

Gambar 5. Skematik Resindential Air Conditioning Hibrida dengan Thermal Energy Storage

Gambar 5. Skematik Resindential Air Conditioning Hibrida dengan Thermal Energy Storage BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Prinsip Kerja Instalasi Instalasi ini merupakan instalasi mesin pendingin kompresi uap hibrida yang berfungsi sebagai mesin pendingin pada lemari pendingin dan pompa kalor pada

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Untuk memperbaiki kualitas ikan, dibutuhkan suatu alat yaitu untuk menjaga kondisi ikan pada kondisi seharusnya dengan cara menyimpannya didalam sebuah freezer yang

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERANCANGAN MESIN PEMBUAT ES BALOK KAPASITAS 2 TON PERHARI UNTUK MENGAWETKAN IKAN NELAYAN DI PANTAI MEULABOH ACEH

TUGAS AKHIR PERANCANGAN MESIN PEMBUAT ES BALOK KAPASITAS 2 TON PERHARI UNTUK MENGAWETKAN IKAN NELAYAN DI PANTAI MEULABOH ACEH TUGAS AKHIR PERANCANGAN MESIN PEMBUAT ES BALOK KAPASITAS 2 TON PERHARI UNTUK MENGAWETKAN IKAN NELAYAN DI PANTAI MEULABOH ACEH Diajukan guna melengkapi sebagaian syarat dalam mencapai gelar Sarjana Strata

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Freezer Freezer merupakan salah satu mesin pendingin yang digunakan untuk penyimpanan suatu produk yang bertujuan untuk mendapatkan produk dengan kualitas yang

Lebih terperinci

Xpedia Fisika. Kapita Selekta Set Energi kinetik rata-rata dari molekul dalam sauatu bahan paling dekat berhubungan dengan

Xpedia Fisika. Kapita Selekta Set Energi kinetik rata-rata dari molekul dalam sauatu bahan paling dekat berhubungan dengan Xpedia Fisika Kapita Selekta Set 07 Doc. Name: XPFIS0107 Doc. Version : 2011-06 halaman 1 01. Energi kinetik rata-rata dari molekul dalam sauatu bahan paling dekat berhubungan dengan... (A) Panas (B) Suhu

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Beku

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Beku II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Beku Pengeringan beku telah dikenal dan diakui sebagai metode pengeringan yang dapat memberikan mutu hasil pengeringan paling baik dibandingkan metode pengeringan lainnya

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Vaksin

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Vaksin BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Vaksin Vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi

Lebih terperinci

HUBUNGAN TEGANGAN INPUT KOMPRESOR DAN TEKANAN REFRIGERAN TERHADAP COP MESIN PENDINGIN RUANGAN

HUBUNGAN TEGANGAN INPUT KOMPRESOR DAN TEKANAN REFRIGERAN TERHADAP COP MESIN PENDINGIN RUANGAN HUBUNGAN TEGANGAN INPUT KOMPRESOR DAN TEKANAN REFRIGERAN TERHADAP COP MESIN PENDINGIN RUANGAN Eko Budiyanto Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyan Metro Jl. KH. Dewantara No.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN ANALISIS

BAB V HASIL DAN ANALISIS BAB V HASIL DAN ANALISIS 5.1 HASIL PENGUJIAN KESTABILAN SISTEM CASCADE Dalam proses pengujian pada saat menyalakan sistem untuk pertama kali, diperlukan waktu oleh sistem supaya dapat bekerja dengan stabil.

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA.1 Teori Pengujian Sistem pengkondisian udara (Air Condition) pada mobil atau kendaraan secara umum adalah untuk mengatur kondisi suhu pada ruangan didalam mobil. Kondisi suhu yang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori. 2.1 AC Split

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori. 2.1 AC Split BAB II DASAR TEORI 2.1 AC Split Split Air Conditioner adalah seperangkat alat yang mampu mengkondisikan suhu ruangan sesuai dengan yang kita inginkan, terutama untuk mengkondisikan suhu ruangan agar lebih

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK SIMULASI SATU UNIT MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1,5 m 2

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK SIMULASI SATU UNIT MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1,5 m 2 PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK SIMULASI SATU UNIT MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1,5 m 2 SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

MULTIREFRIGERASI SISTEM. Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng

MULTIREFRIGERASI SISTEM. Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng MULTIREFRIGERASI SISTEM Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng SIKLUS REFRIGERASI Sistem refrigerasi dengan siklus kompresi uap Proses 1 2 : Kompresi isentropik Proses 2 2 : Desuperheating Proses 2 3 : Kondensasi

Lebih terperinci

ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN

ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN 1 Amrullah, 2 Zuryati Djafar, 3 Wahyu H. Piarah 1 Program Studi Perawatan dan Perbaikan Mesin, Politeknik Bosowa, Makassar 90245,Indonesia

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Air Conditioner Air Conditioner (AC) digunakan untuk mengatur temperatur, sirkulasi, kelembaban, dan kebersihan udara didalam ruangan. Selain itu, air conditioner juga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perancangan 4.1.1 Gambar Rakitan (Assembly) Dari perancangan yang dilakukan dengan menggunakan software Autodesk Inventor 2016, didapat sebuah prototipe alat praktikum

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN.

BAB III PERANCANGAN. BAB III PERANCANGAN 3.1 Beban Pendinginan (Cooling Load) Beban pendinginan pada peralatan mesin pendingin jarang diperoleh hanya dari salah satu sumber panas. Biasanya perhitungan sumber panas berkembang

Lebih terperinci

Pengaruh Debit Udara Kondenser terhadap Kinerja Mesin Tata Udara dengan Refrigeran R410a

Pengaruh Debit Udara Kondenser terhadap Kinerja Mesin Tata Udara dengan Refrigeran R410a Pengaruh Debit Udara Kondenser terhadap Kinerja Mesin Tata Udara dengan Refrigeran R410a Faldian 1, Pratikto 2, Andriyanto Setyawan 3, Daru Sugati 4 Politeknik Negeri Bandung 1,2,3 andriyanto@polban.ac.id

Lebih terperinci

Maka persamaan energi,

Maka persamaan energi, II. DASAR TEORI 2. 1. Hukum termodinamika dan sistem terbuka Termodinamika teknik dikaitkan dengan hal-hal tentang perpindahan energi dalam zat kerja pada suatu sistem. Sistem merupakan susunan seperangkat

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2012

BAB II DASAR TEORI 2012 BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Sistem Brine Sistem Brine adalah salah satu sistem refrigerasi kompresi uap sederhana dengan proses pendinginan tidak langsung. Dalam proses ini koil tidak langsung mengambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kompresor merupakan suatu komponen utama dalam sebuah instalasi turbin gas. Sistem utama sebuah instalasi turbin gas pembangkit tenaga listrik, terdiri dari empat komponen utama,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Energy balance 1 = Energy balance 2 EP 1 + EK 1 + U 1 + EF 1 + ΔQ = EP 2 + EK 2 + U 2 + EF 2 + ΔWnet ( 2.1)

BAB II DASAR TEORI. Energy balance 1 = Energy balance 2 EP 1 + EK 1 + U 1 + EF 1 + ΔQ = EP 2 + EK 2 + U 2 + EF 2 + ΔWnet ( 2.1) BAB II DASAR TEORI 2.1 HUKUM TERMODINAMIKA DAN SISTEM TERBUKA Hukum pertama termodinamika adalah hukum kekekalan energi. Hukum ini menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan. Energi

Lebih terperinci

ANALISA WAKTU SIMPAN AIR PADA TABUNG WATER HEATER TERHADAP KINERJA AC SPLIT 1 PK

ANALISA WAKTU SIMPAN AIR PADA TABUNG WATER HEATER TERHADAP KINERJA AC SPLIT 1 PK ANALISA WAKTU SIMPAN AIR PADA TABUNG WATER HEATER TERHADAP KINERJA AC SPLIT PK Imron Rosadi, Agus Wibowo, Ahmad Farid. Mahasiswa Teknik Mesin, Universitas Pancasakti, Tegal,. Dosen Teknik Mesin, Universitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Air Conditioner Split Air Conditioner (AC) split merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengkondikan udara didalam ruangan sesuai dengan yang diinginkan oleh penghuni.

Lebih terperinci

Kunci Jawaban Latihan Termodinamika Bab 5 & 6 Kamis, 12 April 2012 W NET

Kunci Jawaban Latihan Termodinamika Bab 5 & 6 Kamis, 12 April 2012 W NET Kunci Jawaban Latihan Termodinamika Bab 5 & 6 Kamis, 12 April 2012 1. Sebuah mesin mobil mampu menghasilkan daya keluaran sebesar 136 hp dengan efisiensi termal 30% bila dipasok dengan bahan bakar yang

Lebih terperinci

AZAS TEKNIK KIMIA (NERACA ENERGI) PRODI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

AZAS TEKNIK KIMIA (NERACA ENERGI) PRODI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG AZAS TEKNIK KIMIA (NERACA ENERGI) PRODI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG KESETIMBANGAN ENERGI Konsep dan Satuan Perhitungan Perubahan Entalpi Penerapan Kesetimbangan Energi Umum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Refrigerasi adalah suatu proses penyerapan panas dari suatu zat atau produk sehingga temperaturnya berada di bawah temperatur lingkungan. Mesin refrigerasi atau disebut juga mesin

Lebih terperinci

UNJUK KERJA MESIN PENDINGIN KOMPRESI UAP PADA BEBERAPA VARIASI SUPERHEATING DAN SUBCOOLING

UNJUK KERJA MESIN PENDINGIN KOMPRESI UAP PADA BEBERAPA VARIASI SUPERHEATING DAN SUBCOOLING UNJUK KERJA MESIN PENDINGIN KOMPRESI UAP PADA BEBERAPA VARIASI SUPERHEATING DAN SUBCOOLING Mega Nur Sasongko 1 Teknik Mesin Universitas Brawijaya Jalan M.T Haryono 167 Malang Telp. 0341-587710 E-mail:

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. perpindahan kalor dari produk ke material tersebut.

BAB II DASAR TEORI. perpindahan kalor dari produk ke material tersebut. BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Refrigerasi adalah suatu proses penarikan kalor dari suatu ruang/benda ke ruang/benda yang lain untuk menurunkan temperaturnya. Kalor adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) Karakteristik termal menunjukkan pengaruh perlakuan suhu pada bahan (Welty,1950). Dengan mengetahui karakteristik termal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA EKSPERIMEN DAN SIMULASI

BAB IV ANALISA EKSPERIMEN DAN SIMULASI BAB IV ANALISA EKSPERIMEN DAN SIMULASI Selama percobaan dilakukan beberapa modifikasi atau perbaikan dalam rangka usaha mendapatkan air kondensasi. Semenjak dari memperbaiki kebocoran sampai penggantian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara Sistem pengkondisian udara adalah suatu proses mendinginkan atau memanaskan udara sehingga dapat mencapai temperatur dan kelembaban yang sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Prinsip Kerja Mesin Refrigerasi Kompresi Uap

BAB II DASAR TEORI Prinsip Kerja Mesin Refrigerasi Kompresi Uap 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Pengkondisian Udara Pengkondisian udara adalah proses untuk mengkondisikan temperature dan kelembapan udara agar memenuhi persyaratan tertentu. Selain itu kebersihan udara,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISA

BAB IV HASIL DAN ANALISA BAB IV HASIL DAN ANALISA 4.1 HASIL PENGUJIAN STEADY SISTEM CASCADE Dalam proses pengujian pada saat menyalakan sistem untuk pertama kali, diperlukan waktu oleh sistem supaya dapat bekerja dengan stabil.

Lebih terperinci

Bab IV Analisa dan Pembahasan

Bab IV Analisa dan Pembahasan Bab IV Analisa dan Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Pengujian ini bertujuan untuk menentukan kinerja Ac split TCL 3/4 PK mengunakan refrigeran R-22 dan MC-22. Pengujian kinerja Ac split TCL mengunakan refrigeran

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeringan Rangkaian proses pengeringan secara garis besar merupakan metoda penguapan yang dapat dilakukan untuk melepas air dalam fasa uapnya dari dalam objek yang dikeringkan.

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR FISIKA ENERGI II PEMANFAATAN ENERGI PANAS TERBUANG PADA MESIN AC NPM : NPM :

LAPORAN AKHIR FISIKA ENERGI II PEMANFAATAN ENERGI PANAS TERBUANG PADA MESIN AC NPM : NPM : LAPORAN AKHIR FISIKA ENERGI II PEMANFAATAN ENERGI PANAS TERBUANG PADA MESIN AC Nama Praktikan : Utari Handayani NPM : 140310110032 Nama Partner : Gita Maya Luciana NPM : 140310110045 Hari/Tgl Percobaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Simulator Pengertian simulator adalah program yg berfungsi untuk menyimulasikan suatu peralatan, tetapi kerjanya agak lambat dari pada keadaan yg sebenarnya. Atau alat untuk melakukan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian serta di dalam rumah tanaman yang berada di laboratorium Lapangan Leuwikopo,

Lebih terperinci

KALOR. hogasaragih.wordpress.com

KALOR. hogasaragih.wordpress.com KALOR Ketika satu ketel air dingin diletakkan di atas kompor, temperatur air akan naik. Kita katakan bahwa kalor mengalir dari kompor ke air yang dingin. Ketika dua benda yang temperaturnya berbeda diletakkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

Kaji Eksperimental Pemanfaatan Panas Kondenser pada Sistem Vacuum Drying untuk Produk Kentang

Kaji Eksperimental Pemanfaatan Panas Kondenser pada Sistem Vacuum Drying untuk Produk Kentang Kaji Eksperimental Pemanfaatan Panas Kondenser pada Sistem Vacuum Drying untuk Produk Kentang Ade Suryatman Margana, Doni Oktaviana Refrigeration And Air Conditioning Department Politeknik Negeri Bandung

Lebih terperinci