II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah"

Transkripsi

1 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah Wilayah menurut UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan menurut Rustiadi et al., (2008), wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan dengan batas-batas yang spesifik (tertentu), dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat memiliki arti, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah). Sehingga istilah wilayah lebih menekankan pada interaksi antar manusia dengan sumberdayasumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/ pengelolaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen). Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artificial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim, dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Salah satu bentuk dari wilayah sistem/fungsional adalah wilayah nodal. Wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu sel hidup yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah

2 8 pusat-pusat pelayanan/permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang (periphery/hinterland) yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional Rustiadi et al., (2008). Pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman), (2) pasar bagi komoditikomoditi pertanian maupun industri, (3) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland, (4) lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai : (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku, (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi, (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma, (4) penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis. Secara filosofis suatu batas wilayah nodal memotong suatu daerah pada suatu garis yang memisahkan dua daerah karena memiliki orientasi terhadap pusat pelayanan yang berbeda. Dengan demikian batas fisik dari setiap daerah pelayanan bersifat sangat baur dan dinamis. Disamping itu, batas wilayah nodal sangat dipengaruhi oleh perkembangan sistem transportasi sebab kemampuan suatu pusat wilayah melayani hinterland-nya sangat ditentukan oleh sistem transportasi yang ada. Konsep wilayah berikutnya adalah wilayah perencanaan/pengelolaan, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun artificial dimana keterkaitannya sangat menentukan sehingga perlu perencanaan secara integral. Sebagai contoh, secara alamiah suatu daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan matrik dasar kesatuan hidrologis yang perlu direncanakan secara integral. Sedangkan secara artificial wilayah Jabotabek yang mempunyai keterkaitan faktor-faktor sosial ekonomi yang cukup signifikan juga perlu direncanakan secara integral. Namun cara klasifikasi konsep wilayah seperti tersebut di atas ternyata kurang mampu menjelaskan kompleksitas atau keragaman konsep-konsep wilayah yang ada. Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan perlu mengetahui

3 9 tipe/jenis wilayahnya. Menurut Tukiyat (2002) dalam Mirza (2006), secara umum terdapat lima tipe wilayah dalam suatu Negara, yaitu: (1) wilayah yang telah maju, (2) wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, (3) wilayah sedang, yang dicirikan adanya pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik, (4) wilayah yang kurang berkembang atau kurang maju, yang dicirikan adanya tingkat pertumbuhan yang jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pengembangan, dan (5) wilayah tidak berkembang. Salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah, sehingga konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhaan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah Hirarki Pusat Aktivitas Distribusi spasial dari berbagai aktivitas dengan treshold yang berbeda akan mengarah pada tumbuhnya berbagai tingkatan lokasi pusat pelayanan, dan selanjutnya distribusi pusat-pusat ini akan membentuk pola spasial sistem lokasi pusat-pusat pelayanan. Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan aspek lokasi dalam suatu ruang sudah mulai dipelajari sejak era Von Thunen yang menjelaskan tentang pola spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von Thunen yang menjelaskan tentang pola spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von Thunen berangkat dari suatu pemikiran sederhana, bahwa pola penggunaan lahan dalam suatu ruang merupakan fungsi dari perbedaan harga produk pertanian yang dihasilkan dan perbedaan biaya produksinya, dimana jarak dari pusat pasar merupakan faktor penentu besarnya biaya produksi. Pemikiran ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa: (1) biaya hanya ditentukan oleh jarak dari pasar, (2) karakteristik wilayah dianggap homogen, (3) harga di pusat pasar ditentukan oleh mekanisme supply dan demand yang normal, (4) tidak ada halangan untuk melakukan perdagangan (no barrier to trade) seperti biaya tarif, kebijakan harga, labor immobility, dan tidak dapat menggambarkan dengan cukup baik aktivitas ekonomi riil yang terjadi. Berkembangnya suatu lokasi menjadi pusat pelayanan, secara alamiah terjadi karena adanya proses aglomerasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan

4 10 economic of scale (biaya per satuan input menjadi lebih murah apabila skala aktivitasnya menjadi lebih besar) dan economic of scope (nilai tambah akan meningkat apabila berbagai aktivitas ekonomi yang berbeda digabungkan). Rustiadi et al., (2008) menyatakan bahwa timbulnya hirarki pusat-pusat pelayanan disebabkan oleh sarana dan prasarana penunjang tidak menyebar secara merata di dalam suatu sistem ruang, tetapi penyebarannya tergantung pada permintaan, sedangkan permintaan sangat tergantung pada konsentrasi penduduk. Dalam perencanaan tata ruang hirarki ditentukan dengan teknik skalogram. Oleh karena itu dalam penyusunan suatu hirarki dapat ditentukan jumlah jenis sarana. Hirarki dari pusat pelayanan yang lebih tinggi memiliki sarana pelayanan yang lebih banyak dan lebih beragam dari pusat pelayanan yang berhirarki lebih rendah. Hirarki ini tidak selalu sama dengan hirarki administratif. Adanya hirarki secara teoritis mencerminkan adanya perbedaan massa, dimana hirarki yang lebih tinggi mempunyai massa yang lebih besar daripada yang berhirarki lebih rendah. Oleh karena itu dalam hal alokasi sarana-sarana wilayah menimbulkan perbedaan pendapat apakah harus mendahulukan supply atau demand Teori Lokasi Menurut Gunawan (1977) tempat berlangsungnya suatu kegiatan disebut lokasi. Lokasi merupakan tempat yang dapat dikenali dan dibatasi dimana suatu kegiatan berlangsung atau dapat juga merupakan suatu tempat dimana suatu objek terletak. Pemikiran tentang penentuan lokasi objek-objek maupun tempat-tempat kegiatan berlangsung dimaksudkan untuk mencapai efisiensi dan optimasi (Harahap, 1999). Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumbersumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial. Lokasi berbagai kegiatan seperti rumah tangga, pertokoan, pabrik, pertanian, pertambangan, sekolah, dan tempat ibadah tidaklah asal saja/acak berada di lokasi tersebut, melainkan menunjukkan pola dan susunan (mekanisme) yang dapat diselidiki dan dapat dimengerti (Tarigan, 2005).

5 11 Menurut Tarigan (2005) dalam mempelajari lokasi berbagai kegiatan, terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang yang dianalisis datar dan kondisinya sama di semua arah. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana manusia mengatur kegiatannya dalam ruang, baru kemudian asumsi ini dilonggarkan secara bertahap sehingga ditemukan kondisi dalam dunia nyata. Dalam dunia nyata, kondisi dan potensi setiap wilayah adalah berbeda. Dampaknya menjadi lebih mudah dianalisis karena telah diketahui tingkah laku manusia dalam kondisi potensi ruang adalah sama. Salah satu unsur ruang adalah jarak. Jarak menciptakan gangguan ketika manusia berhubungan/bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Jarak menciptakan gangguan karena dibutuhkan waktu, tenaga dan biaya untuk mencapai lokasi yang satu dari lokasi lainnya. Selain itu jarak juga menciptakan gangguan informasi,sehingga makin jauh dari suatu lokasi makin kurang diketahui potensi/karakter yang terdapat pada lokasi tersebut. Makin jauh jarak yang ditempuh, makin menurun minat orang untuk bepergian dengan asumsi faktor lain semuanya sama. Terkait dengan lokasi, salah satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya. Tingkat aksesibilitas antara lain dipengaruhi jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tesebut. Di sisi lain, berbagai hal yang disebutkan di atas sangat terkait dengan aktivitas ekonomi yang terjalin antara dua lokasi. Artinya, frekuensi perhubungan sangat terkait dengan potensi ekonomi dari dua lokasi yang dihubungkannya. Dengan demikian, potensi mempengaruhi aksesibilitas, tetapi di sisi lain, aksesibilitas juga menaikkan potensi suatu wilayah. Menurut Hanafiah (1982), pemerintah sebagai penentu lokasi mempunyai kekuatan atau kewenangan yang dapat mempengaruhi penentuan lokasi berbagai kegiatan ekonomi rumah tangga dan perusahaan melalui kegiatan masyarakat yang tersebar secara spasial, dan bertujuan untuk memaksimumkan pelayanan kepada masyarakat melalui penyebaran fasilitas pelayanan secara merata.

6 Masalah Lokasi Menurut Rushton (1973) dalam banyak kasus, kasus lokasi merupakan salah satu variabel yang hampir selalu diabaikan. Padahal di dalam penetapan lokasi yang tepat dari suatu jenis kegiatan/aktivitas, pada dasarnya hendaknya tidak hanya sekedar menerapkan aktivitas/kegiatan tersebut sebagaimana adanya melainkan harus dibuat suatu putusan yang rasional bagaimana dan mengapa aktivitas/kegiatan tersebut berada di suatu tempat. Rushton (1973) menyebutkan bahwa dalam rangka penetapan lokasi suatu aktivitas agar optimum harus dilihat dari dua segi kepentingan yang berlainan, yaitu kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Untuk kepentingan pribadi, pemilihan lokasi ditentukan atas dasar perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dimana keuntungan tersebut diperoleh dengan mempertimbangkan biaya transportasi yang dikeluarkan, baik untuk pengangkutan bahan baku maupun pendistribusian hasil produksi pada para produsen, dan menekan biaya operasi semurah mungkin. Untuk kepentingan umum, penentuan lokasi memperhatikan lokasi sebagai fasilitas pelayanan umum sehingga tidak mempertimbangkan keuntungan semata. Dimana penetapan lokasi suatu fasilitas umum lebih sulit dioptimumkan karena memerlukan berbagai pertimbangan sebelum diputuskan. Hasil penetapan lokasi suatu fasilitas umum biasanya merupakan kompromi dari berbagai kepentingan, rasa dan pertimbangan politis. Bahkan banyak pada lokasi fasilitas umum harus dibuat melalui proses yang berbelit-belit dengan memperhatikan prioritas sektor-sektor lainnya. Dalam penetapan lokasi fasilitas umum juga perlu membedakan jenis pelayanan yang dapat diberikan oleh fasilitas umum tersebut ke dalam dua hal, yaitu pelayanan biasa dan pelayanan darurat. Pelayanan biasa tidak mensyaratkan ketentuan khusus dalam penetapannya. Sedangkan pelayanan darurat mensyaratkan bahwa dalam penempatannya harus memenuhi standar minimum agar dapat dijangkau secepat-cepatnya dan memerlukan fasilitas/peralatan yang memadai. Menurut Rushton (1973) penentapan lokasi suatu fasilitas umum di negara-negara sedang berkembang dihadapkan pada masalah-masalah nyata seperti berikut:

7 13 a) Belum berkembang/terbangunnya sistem transportasi sehingga pemecahan lokasi fasilitas umum sangat tergantung pada pembangunan sarana transportasi; b) Pola integrasi lokasi sebagai fasilitas umum, yaitu berbagai fasilitas umum harus diintegrasikan sedemikian rupa sehingga pengembangan pola yang optimal suatu fasilitas umum tertentu menjadi sulit dilakukan; c) Fungsi melayani ataukah menciptakan kebutuhan, yaitu apakah fasilitas umum yang akan ditempatkan tersebut dapat berperan melayani kebutuhan selain hanya menciptakan kebutuhan; d) Memperbaiki kesalahan lokasi sistem kolonial. Pada masa kolonialisasi pola fasilitas umum sangat dikaitkan dengan kepentingan penjajah yang memperlihatkan tujuan dan kebutuhan penguasa semata. Keadaan ini sangat berbeda setelah negara berkembang tersebut merdeka karena tujuan pembangunan pada umumnya adalah pemerataan fasilitas umum sehingga setelah negara tersebut merdeka pola fasilitas umum akan tersebar tidak seperti pada zaman kolonial yaitu mengelompok; e) Pemerataan tingkat kesejahteraan, penempatan suatu fasilitas umum sering dilihat sebagai salah satu alternatif pemerataan pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi penduduk daerah perkotaan umumnya tersebar tidak merata dan penduduk tetap harus mendapatkan pelayanan dari fasilitas-fasilitas yang dialokasikan di tempat yang berbeda-beda. Namun yang pasti semua penduduk berhasrat sama agar lokasi fasilitas-fasilitas itu benar-benar memiliki kemudahan untuk dicapai (most accessible) untuk melakukan berbagai kegiatan penduduk (Rushton, 1973). Oleh karena itu suatu fasilitas harus berlokasi pada tempattempat yang memiliki kemudahan untuk dicapai. Lokasi untuk pelayanan umum biasanya ditentukan oleh biaya yang dapat dijangkau masyarakat. Lokasi ini pun mempunyai banyak pilihan. Dari pilihan yang ada tersebut masyarakat akan memilih yang berada dalam posisi most accessible bagi mereka. Tidak hanya pada masalah lokasi umum namun pada masalah lain mereka juga akan tertarik pada fasilitas yang most accessible.

8 14 Pengertian most accessible sendiri menurut pendapat Rushton (1973) adalah: 1. Jumlah jarak (total) semua penduduk dari fasilitas yang terdekat adalah minimum. Kriteria ini disebut juga meminimalkan jarak rata-rata atau disebut dengan kriteria jarak rata-rata 2. Jarak terjauh dari penduduk ke fasilitas yang terdekat adalah minimum. Kriteria ini disebut meminimalkan jarak maksimum 3. Jumlah penduduk di sekitar masing-masing fasilitas yang terdekat kira-kira sama. Kriteria ini disebut kesamaan penetapan 4. Jumlah penduduk di sekitar fasilitas yang terdekat selalu lebih besar dari jumlah tertentu. Kriteria ini disebut kendala batas ambang 5. Jumlah penduduk di daerah sekitar fasilitas yang terdekat tidak pernah lebih besar dari jumlah tertentu. Kriteria ini disebut kendala kapasitas. Secara umum kita dapat mendefinisikan most accessible sebagai mudah tidaknya seseorang mencapai lokasi pusat pelayanan yang terdekat dalam hal ini adalah lokasi pasar Pemilihan Metode yang Sesuai Untuk mencari dasar pijakan yang kuat bagi pemilihan metode yang tepat perlu meninjau beberapa teori dan metode yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang seperti lokasi dan wilayah pelayanan. Dalam tinjauan ini yang dilihat adalah prinsip-prinsip dasar teori, anggapan dasar, kegunaan dan metode penerapannya. Von Thunen pada tahun mengeluarkan teori Isolated States, bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan bagi petani. Kegunaannya untuk menentukan jenis komoditas yang cocok untuk ditanam di wilayah pelayanan dari pusat kegiatan. Anggapan dasar yang digunakan adalah : a) wilayah pelayanan homogen dihuni petani yang ingin memaksimumkan keuntungan dan dapat menentukan jenis kegiatan yang sesuai dengan permintaan pasar, b) pusat (kota) hanya satu yang memiliki fungsi sebagai pasar untuk wilayah belakang (hinterland), c) hanya ada satu modus transportasi dan transportasi berbanding lurus dengan jarak (Alexander, 1977). Saat ini tidak ada lokasi yang benar-benar homogen dan modus transportasi yang tidak hanya satu.

9 15 Alfred Weber ( ) mengeluarkan teori lokasi industri. Teori ini bertujuan untuk memaksimumkan biaya masukan. Kegunaannya untuk menentukan lokasi yang optimal bagi usaha industri. Anggapan dasar yang digunakan dalam teori ini adalah : a) unit analisis terisolasi, iklim homogen, konsumen terpusat pada pusat-pusat tertentu, semua unit perusahaan dapat memasuki pasar sehingga terdapat persaingan yang sempurna, b) beberapa sumberdaya alam seperti air, pasir dan tanah terdapat dimana-mana, c) bahanbahan lainnya seperti bahan bakar, mineral adalah sporadik, tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat, d) tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang lokasinya sudah tetap dan ada yang mobilitasnya sudah tetap. (Rustiadi et al., 2008). Hoover (1948) menyebutkan bahwa keuntungan aglomerasi Weber tersebut terutama berkenaan dengan keuntungan lokasinya, yaitu keuntungan dari skala yang merupakan bagian eksternal pada perusahaan, namun internal pada industri. Dalam hal ini Weber hanya mempertimbangkan keuntungan dan biaya dari perusahaan yang berlokasi dekat perusahaan-perusahaan lain dalam industri yang sama akan tetapi tidak ada keuntungan dan biaya dari perusahaan yang berlokasi dekat dengan jenis aktivitas ekonomi yang berbeda. Selain itu Weber juga tidak mempertimbangkan perbedaan permintaan yang disebabkan oleh adanya distribusi penduduk, tingkat pendapatan, preferensi dan selera yang tidak merata dalam ruang. Dengan demikian pendekatan Weber hanya berdasarkan dari segi penawaran/penyediaan semata. Losch (1954) mengemukakan teori lokasi ekonomi yang mempunyai kegunaan untuk menentukan lokasi industri yang optimal. Anggapan dasar yang digunakan adalah : a) tidak ada perbedaan spasial dalam distribusi input faktor bahan baku, tenaga kerja dan modal pada dataran yang homogen, b) kepadatan penduduk yang seragam dan mempunyai selera yang konstan, c) tidak ada interdependensi lokasional antara perusahaan-perusahaan. Menurut Losch penentuan lokasi industri yang optimal harus didasarkan pada maksimasi keuntungan dengan mempertimbangkan baik biaya maupun pendapatan. Escap (1972) dalam Ashar (2002) menyebutkan bahwa lokasi optimal mungkin tidak

10 16 harus lokasi dimana biaya minimal atau pendapatan maksimal akan tetapi merupakan lokasi dimana perbedaan diantara keduanya adalah maksimal. Setelah mengetahui bahwa teori lokasi dari Weber dan Losch dinilai tidak memadai dalam menjelaskan pertumbuhan perkotaan dan wilayah maka Isard pada tahun 1956 mengemukakan bahwa tiap keputusan lokasi merupakan satu penyeimbang biaya-biaya yang dihadapi dan pendapatan pada keadaan ketidakpastian yang berbeda-beda. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi besarnya biaya tersebut maka faktor jarak dan aksesibilitas merupakan faktor yang terpenting dalam konteks tata ruang. Walaupun seluruh biaya bervariasi dengan waktu dan tempat, namun biaya transportasi merupakan fungsi dari jarak. Dalam hal ini Isard menekankan bahwa keputusan lokasi dari perusahaan ditentukan oleh faktor-faktor jarak, aksesibilitas dan keuntungan aglomerasi. (Ashar, 2002). Teori Isard mempertimbangkan faktor jarak, aksesibilitas dan aglomerasi namun penentuan titik optimal dapat berada diantara titik-titik yang dicalonkan. Sehingga muncul dalil Hakimi pada tahun 1964 yang menyebutkan titik optimum dari suatu jaringan yang dapat meminimumkan jumlah perkalian jarak-jarak terpendek dengan bobot dari semua simpul adalah titik yang berasal dari simpul pada jaringan (Rushton, 1979) Penempatan Fasilitas Publik dan Location-allocation Models Analisis lokasi dalam perencanaan wilayah sudah dikenal baik, salah satu alat analisis kuantitatif location-allocation modelling. Kerangka pikir yang digunakan berdasarkan pada masalah aksesibilitas dalam pengertian efesiensi dalam meningkatkan kualitas pelayanan, baik yang akan dibangun maupun yang sudah ada sebelumnya. Fotheringham (1995) dan Rushton (1979) dalam Ashar (2002) menyebutkan bahwa di negara-negara berkembang keputusan lokasi hanya diambil oleh beberapa orang saja dari pejabat pemerintah atau malah kadangkadang hanya oleh satu orang saja yaitu oleh pimpinan daerah yang dipilih lewat pemilihan yang sering kali mengabaikan hasil analisis formal dari alternatifalternatif yang ada, keputusan akhir bisa saja karena pertimbangan politis semata atau hanya karena pertimbangan yang asal saja. Bahkan hasil keputusan sering sekali sangat jauh dari optimal.

11 17 Location-allocation model adalah metoda untuk menentukan lokasi optimal untuk penempatan fasilitas. Metoda ini secara simultan memilih suatu lokasi yang demands-nya terdistribusi secara spasial untuk optimasi beberapa kriteria yang secara spesifik dapat diukur. Issu utama yang muncul dari masalah lokasi adalah menentukan kriteria yang cocok dan objektif. Penentuan lokasi untuk private sector facilities biasanya didasarkan pada pertimbangan yang objektif dan terukur seperti untuk meminimalkan cost atau memaksimalkan profit. Hakimi (1964) dan Swain (1970) dalam Ashar (2002) menyebutkan bahwa salah satu dari model yang paling populer untuk masalah lokasi fasilitas publik adalah metode P-Median. Masalah lokasi dapat disederhanakan dengan menghubungkan antara lokasi fasilitas dengan lokasi demands yang dapat meminimalkan bobot total jarak tempuh atau waktu tempuh sehingga dapat membantu pengguna untuk mendapatkan fasilitas terdekat. Anggapan dasar dari metode P-Median adalah : a) pelayanan diberikan oleh simpul-simpul pelayanan, b) heterogenitas wilayah ditunjukkan oleh adanya simpul-simpul dan panjang jarak antar simpul, dan c) biaya transportasi adalah fungsi dari bobot simpul dan jarak. Metode P-Median pertama kali dipelajari pada tahun 1964 oleh Hakimi dan kemudian pada tahun 1974 Shajamadas dan H. Benyamin Fisher menggunakan metode ini sebagai salah satu cara dalam menentukan hirarki lokasi untuk satuan wilayah perencanaan daerah pedesaan di India. Selain itu pada tahun 1974, E. Harvey, Ming Sing Hung dan I. Randal Brown menggunakan metode ini untuk mengidentifikasi dan mengaktifkan growth center bagi Sierra Leona (Ashar, 2002). Marianov dan Serra (2006) menggunakan metode P-Median ini untuk membangun model pembangunan suatu fasilitas darurat dan juga non darurat di Spanyol. Sedangkan Rahman dan Smith (2000) menggunakan metode P-Median untuk merencanakan pembangunan fasilitas kesehatan di negara berkembang. P-Median merupakan salah satu jenis model optimasi. Model ini pada dasarnya bertujuan untuk menentukan lokasi fasilitas pelayanan atau pusat pelayanan (supply center) agar tingkat pelayanan yang diberikan oleh fasilitas dan pusat tersebut kepada penduduk (demand point) yang tersebar secara tidak merata

12 dalam suatu area menjadi optimal. Dalam model ini, pusat pelayanan (supply center) merupakan titik yang akan ditentukan lokasinya, sedang titik permintaan (demand point) merupakan lokasi yang telah ditentukan terlebih dahulu. Dasar dari metoda P-Median adalah teori yang dikembangkan oleh Hakimi yang menyatakan bahwa titik optimum dari suatu jaringan yang dapat meminimumkan jumlah perkalian jarak terpendek dengan bobot dari semua simpul adalah titik yang berasal dari simpul pada jaringan (Rushton, 1979). Rumus yang digunakan untuk menyatakan dalil tersebut adalah sebagai berikut: Dimana: Z = total jarak tempuh (total travel) n = jumlah simpul yang dianalisis p = jumlah simpul yang dicalonkan sebagai pusat a ij = 1 jika simpul yang dilayani i lebih dekat ke simpul j daripada ke simpul pelayanan lainnya; jika tidak a ij = 0 w ij = bobot dari simpul yang dilayani (i) d ij = jarak terpendek antara simpul yang dilayani (i) ke simpul yang pelayanan (j) Rumus tersebut dapat ditafsirkan menjadi meminimumkan total jarak tempuh dari simpul yang dilayani (i) ke simpul pelayanan (j) untuk m simpul pelayanan yang dipilih dari sejumlah n simpul untuk melayani sejumlah (n-m) simpul. Berdasarkan perbandingan antara beberapa teori dan model tata ruang yang telah dibahas sebelumnya maka dipilih metode P-Median sebagai metode yang dianggap sesuai untuk menyelesaikan permasalahan penentuan lokasi pasar induk Kabupaten Bogor. Karena terdapat kesesuaian-kesesuaian dan pemenuhan terhadap anggapan dasar metoda P-Median, yaitu: 18...(2-1)

13 19 1. Penentuan lokasi pasar induk didasarkan atas simpul-simpul yang berada di dalam suatu jaringan yaitu jaringan jalan 2. Pelayanan diberikan oleh pasar induk. Dalam pengoperasiannya metoda P-Median tidak berdiri sendiri, akan tetapi ditunjang oleh program komputer/software Java Applets P-Median Solver. Model analisis ini sejak tahun 1998 mulai diperkenalkan sebagai salah satu mata ajaran pada mata kuliah Facilities Design and Logistics oleh Professor Phill Kaminsky dari University of Berkeley, informasi lebih rinci dapat diperoleh dari Software P-Median Solver ini disediakan secara gratis melalui situs internet yang untuk mengolah datanya harus dalam keadaan on line dengan situs tersebut. Program ini dapat digunakan untuk menganalisis suatu wilayah dengan jumlah simpul yang besar sampai dengan 99 simpul. Program tersebut digunakan untuk ketepatan penentuan jalur terpendek dan penentuan pusat-pusat yang dipilih dari sejumlah simpul tidak dapat dihitung secara manual. Karena jika jumlah node dan link mecapai puluhan bahkan ratusan akan sulit dan tidak efektif dengan perhitungan secara manual. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan mengingat banyaknya simpul yang akan dianalisis maka dipergunakan program GAMS. Kelebihan dari program GAMS adalah dapat digunakan untuk mengembangkan skenario yang dibangun dan sekaligus menguji simulasi-simulasi yang digunakan Pengertian Pasar Induk Pengertian pasar secara luas adalah suatu kondisi dimana pembeli dan penjual dapat berhubungan. Dengan demikian, pasar dapat berarti secara fisik dan non fisik. Pengertian pasar secara fisik adalah suatu tempat dimana penjual dan pembeli dapat saling bertemu dan berinteraksi. (Winardi, 1992). Sedangkan menurut Suganda et al., (2009) pasar merupakan sebuah fasilitas umum perkotaan yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari penduduk kota. Pasar adalah sarana perkotaan yang merupakan tempat terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Salah satunya yang ditransaksikan adalah sayuran dan buah-buahan.

14 20 Dewasa ini, hasil produksi sayuran dan buah-buahan dipasarkan di dalam negeri maupun untuk ekspor. Sayuran dan buah-buahan yang dipasarkan di dalam negeri dapat disalurkan ke berbagai pasar seperti pasar umum, pasar swalayan, pasar khusus dan pasar induk. Pasar induk merupakan pusat distribusi yang menampung hasil produksi petani dalam jumlah partai besar yang dibeli oleh para pedagang tingkat grosir. Komoditi pertanian tersebut kemudian dilelang atau dijual kepada para pedagang tingkat eceran untuk selanjutnya diperdagangkan di pasar-pasar eceran yang tersebar di berbagai tempat mendekati lokasi para konsumen. (Anonymous, 2008). Sedangkan menurut Anonymous (1998) pasar induk merupakan pusat penampungan dan pemasaran golongan komoditi tertentu dalam berbagai jenis. Biasanya dijual dalam skala tertentu pula. Di pasar ini pembeli umumnya adalah pedagang pengecer atau pedagang khusus. Contoh pasar induk antara lain adalah pasar induk sayuran dan buah-buahan, pasar induk beras, dan pasar induk bunga. Menurut Lilanda (1997) dalam Wahyudi dan Linawati (2007) pasar induk adalah pasar dimana terdapat permintaan dan penawaran dalam jumlah besar, merupakan tempat pengumpulan dan penyimpanan bahan-bahan pangan untuk disalurkan ke grosir-grosir dan pusat-pusat pembelian. Pasar induk ini memiliki tempat yang strategis dan luas, bangunan permanen, mempunyai kemampuan pelayanan meliputi seluruh wilayah kota dan barang-barang yang diperjualbelikan lengkap. Menurut Anonymous (2008) pasar induk diperlukan untuk melayani jumlah penduduk diatas tiga juta jiwa.

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan September Desember 2009 dengan wilayah studi yang dikaji untuk lokasi optimal pasar induk adalah Bogor yang terdiri

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Teknik Pengumpulan Data Metode Analisis Analisis Spasial

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Teknik Pengumpulan Data Metode Analisis Analisis Spasial METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah administratif Kabupaten Tulang yang terdiri dari 13 kecamatan. Waktu pelaksanaan penelitian selama kurang lebih 8 (delapan) bulan,

Lebih terperinci

MENENTUKAN LOKASI INDUSTRI

MENENTUKAN LOKASI INDUSTRI MENENTUKAN LOKASI INDUSTRI TEORI LOKASI INDUSTRI adalah suatu teori yang dikembangkan untuk memperhitungkan pola lokasi kegiatan ekonomi termasuk di dalamnya kegiatan industri dengan cara konsisten dan

Lebih terperinci

PENERAPAN TEORI LOKASI INDUSTRI PT PETROJAYA BORAL PLASTERBOARD, GRESIK

PENERAPAN TEORI LOKASI INDUSTRI PT PETROJAYA BORAL PLASTERBOARD, GRESIK PENERAPAN TEORI LOKASI INDUSTRI PT PETROJAYA BORAL PLASTERBOARD, GRESIK Oleh AGI SUGIHARTO ( 24 2014 048 ) JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNOLOGI SIPIL DAN PERENCANAAAN INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan wilayah merupakan sarana dalam proses pembangunan wilayah yang memerlukan pendekatan multidisiplin yang mempertimbangkan berbagai aspek sehingga menghasilkan

Lebih terperinci

IMPLIKASI TEORI WEBER, CHRISTALLER, DAN LOSCH SEBAGAI PENENTUAN LOKASI BANK DARAH DI KOTA MAKASSAR

IMPLIKASI TEORI WEBER, CHRISTALLER, DAN LOSCH SEBAGAI PENENTUAN LOKASI BANK DARAH DI KOTA MAKASSAR IMPLIKASI TEORI WEBER, CHRISTALLER, DAN LOSCH SEBAGAI PENENTUAN LOKASI BANK DARAH DI KOTA MAKASSAR BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Lokasi dan ketersediaan bank darah atau lebih dikenal blood bank

Lebih terperinci

Teori lokasi mempelajari pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis pengaruh jarak terhadap

Teori lokasi mempelajari pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis pengaruh jarak terhadap TEORI LOKASI (Tarigan, 2006:77) : Ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial serta hubungan-nya dengan

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN LITERATUR

BAB 2 KAJIAN LITERATUR BAB 2 KAJIAN LITERATUR Bab ini berisikan tentang teori yang terkait dengan pembahasan studi yakni teori mengenai perencanaan pengembangan wilayah, teori keterkaitan antar industri, dan teori pemilihan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Pemilihan lokasi usaha oleh suatu organisasi (perusahaan) akan mempengaruhi risiko (risk) dan keuntungan (profit) perusahaan tersebut secara keseluruhan. Kondisi ini

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMILIHAN LOKASI INDUSTRI PENGOLAHAN KARET DI KOTA PADANG

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMILIHAN LOKASI INDUSTRI PENGOLAHAN KARET DI KOTA PADANG ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMILIHAN LOKASI INDUSTRI PENGOLAHAN KARET DI KOTA PADANG Oleh MILL FADHILA 0910223072 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2013 DAFTAR ISI Halaman KATA

Lebih terperinci

TEORI CHRISTALLER DAN LOSCH dalam kaitannya dengan Central Place

TEORI CHRISTALLER DAN LOSCH dalam kaitannya dengan Central Place T E O R I K E R U A N G A N P e r t e m u a n k e - 5, 1 8 O k t o b e r 2017 TEORI CHRISTALLER DAN LOSCH dalam kaitannya dengan Central Place NI MAH MAHNUNAH U N I V E R S I T A S A M I K O M PERENCANAAN

Lebih terperinci

Redistribusi Lokasi Minimarket di Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya

Redistribusi Lokasi Minimarket di Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya Sidang Preview 4 Tugas Akhir Redistribusi Lokasi Minimarket di Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya Oleh RIANDITA DWI ARTIKASARI 3607 100 021 Dosen Pembimbing: Dr. Ing. Ir. Haryo Sulistyarso Tahun 2011 Program

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 25 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 26 Masterplan Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur Tahun 2015 2019

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Wilayah dan Pembangunan wilayah Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ruang atau kawasan sangat penting dalam pembangunan wilayah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah memberikan wewenang dan jaminan bagi masing-masing daerah untuk

BAB I PENDAHULUAN. daerah memberikan wewenang dan jaminan bagi masing-masing daerah untuk 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan wilayah dapat dipacu dengan pembangunan infrastruktur dan sistem jaringan yang memadai di wilayah tersebut. Dalam hal ini otonomi daerah memberikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. pendapat para ahli yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian. Geografi

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. pendapat para ahli yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian. Geografi II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Industri Sebagai dasar pada penelitian ini, maka perlu dikemukakan landasan teoritis dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatankegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis

Lebih terperinci

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR Oleh: DONY WARDONO L2D 098 426 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2003 iv

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tujuan yang sama. Menurutnya juga, Sistem Informasi adalah serangkaian

BAB II LANDASAN TEORI. tujuan yang sama. Menurutnya juga, Sistem Informasi adalah serangkaian BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Informasi Menurut Hall (2009), Sistem adalah kelompok dari dua atau lebih komponen atau subsistem yang saling berhubungan yang saling berfungsi dengan tujuan yang sama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Definisi industri dalam istilah ekonomi dikategorikan dalam lingkup mikro dan

I. PENDAHULUAN. Definisi industri dalam istilah ekonomi dikategorikan dalam lingkup mikro dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Definisi industri dalam istilah ekonomi dikategorikan dalam lingkup mikro dan makro. Pada lingkup mikro industri didefinisikan sebagai kumpulan dari perusahaanperusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pertumbuhan penduduk di negara berkembang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pertumbuhan penduduk di negara berkembang merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya pertumbuhan penduduk di negara berkembang merupakan suatu masalah yang sangat krusial. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami masalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era otonomi daerah, aparat pemerintah di daerah lebih dekat dan secara

BAB I PENDAHULUAN. Di era otonomi daerah, aparat pemerintah di daerah lebih dekat dan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di era otonomi daerah, aparat pemerintah di daerah lebih dekat dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat serta merupakan perwujudan dan perpanjangan tangan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Konsep Tataniaga Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN DAN AKTIVITAS PELAYANAN

IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN DAN AKTIVITAS PELAYANAN IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN DAN AKTIVITAS PELAYANAN Analisis Hierarki Pusat Wilayah Pusat pelayanan mempunyai peranan penting dalam pengembangan wilayah, yaitu sebagai kerangka untuk memahami struktur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Berdasarkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lokasi menjadi bagian paling fundamental dalam perencanaan wilayah dan kota (perencanaan). Seperti banyak dibahas di berbagai teori, perencanaan berkaitan dengan pengambilan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Ciwidey yang meliputi Kecamatan Pasirjambu, Kecamatan Ciwidey dan Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Penegertian Dan Klasifikasi Pasar 2.1.1 Pengertian Pasar Beberapa pengertian mengenai pasar, diantaranya; a. Pasar adalah tempat pertemuan antara permintaan dan penawaran suatu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dengan melihat karakteristik Kabupaten Garut bagian selatan dapat dilihat bagaimana sifat ketertinggalan memang melekat pada wilayah ini. Wilayah Garut bagian selatan sesuai

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH DENGAN PENDEKATAN AGROPOLITAN

PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH DENGAN PENDEKATAN AGROPOLITAN 147 PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH DENGAN PENDEKATAN AGROPOLITAN Pemerintah Kabupaten Banyumas pada tahun 2008 akan mencanangkan pengembangan wilayah dengan pendekatan agropolitan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan transportasi sangat diperlukan dalam pembangunan suatu negara ataupun daerah. Dikatakan bahwa transportasi sebagai urat nadi pembangunan kehidupan politik,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mengangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Sementara menurut Papacostas

TINJAUAN PUSTAKA. mengangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Sementara menurut Papacostas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Pengertian transportasi menurut Morlok (1981) adalah memindahkan atau mengangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Sementara menurut Papacostas (1987), transportasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Istilah pembangunan atau development menurut Siagian (1983) adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Umum Transportasi merupakan proses pergerakan atau perpindahan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan tertentu. Manusia selalu berusaha

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah 7 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah Wilayah menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI PENELITIAN Produksi bunga krisan yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun memberikan kontribusi yang positif kepada petani dalam peningkatan kesejahteraan mereka.

Lebih terperinci

Perencanaan Kota-2. Tetty Harahap, ST. M.Eng. Univ. Indo Global Mandiri 2016

Perencanaan Kota-2. Tetty Harahap, ST. M.Eng. Univ. Indo Global Mandiri 2016 Perencanaan Kota-2 Tetty Harahap, ST. M.Eng. Univ. Indo Global Mandiri 2016 Pengertian Wilayah, Daerah, Kota, Perkotaan, Perencanaan Wilayah : Suatu bagian dari permukaan bumi yang teritorialnya ditentukan

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Supply Chain Management (SCM) merupakan bagian penting dalam industri manufaktur. Dalam industri manufaktur, SCM memiliki kegiatan-kegiatan utama yaitu, merancang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Manajemen Operasi Serangkaian kegiatan yang menciptakan nilai dalam bentuk barang dan jasa dengan mengubah input menjadi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

1/22/2011 TEORI LOKASI

1/22/2011 TEORI LOKASI TEORI LOKASI (Tarigan, 2006:77) : Ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial serta hubungan-nya dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Agribisnis Sering ditemukan bahwa agribisnis diartikan secara sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih

Lebih terperinci

Ketergantungan Lokasi & Keseimbangan Spasial. Adipandang Yudono 2012

Ketergantungan Lokasi & Keseimbangan Spasial. Adipandang Yudono 2012 Ketergantungan Lokasi & Keseimbangan Spasial Adipandang Yudono 2012 Pemahaman Tentang Lokasi Teori lokasi adalah suatu teori yang dikembangkan untuk memperhitungkan pola lokasi kegiatankegiatan ekonomi

Lebih terperinci

POLA KERUANGAN DAN FAKTOR-FAKTOR LOKASI SENTRA INDUSTRI KECIL DI KABUPATEN KLATEN TUGAS AKHIR. Oleh: MUHAMMAD FAJAR NUGROHO L2D

POLA KERUANGAN DAN FAKTOR-FAKTOR LOKASI SENTRA INDUSTRI KECIL DI KABUPATEN KLATEN TUGAS AKHIR. Oleh: MUHAMMAD FAJAR NUGROHO L2D POLA KERUANGAN DAN FAKTOR-FAKTOR LOKASI SENTRA INDUSTRI KECIL DI KABUPATEN KLATEN TUGAS AKHIR Oleh: MUHAMMAD FAJAR NUGROHO L2D 097 460 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

POLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL

POLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL POLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL TUGAS INDIVIDU Oleh: MUHAMMAD HANIF IMAADUDDIN (3613100050) JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif.

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. A Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. Namun demikian, ada beberapa teori yang secara parsial

Lebih terperinci

Merancang Jaringan Supply Chain

Merancang Jaringan Supply Chain Merancang Jaringan Supply Chain Pendahuluan Perancangan jaringan supply chain juga merupakan satu kegiatan penting yang harus dilakukan pada supply chain management. Implementasi strategi supply chain

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Penyebab tsunami

TINJAUAN PUSTAKA Penyebab tsunami 6 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tsunami Tsunami merupakan kosa-kata yang berasal dari jepang, yaitu tsu berarti pelabuhan dan nami berarti gelombang/ombak. Kedua kata tersebut digabungkan dan dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

PAPER GEOGRAFI INDUSTRI Implementasi Range Concept Dalam Penentuan Lokasi Industri

PAPER GEOGRAFI INDUSTRI Implementasi Range Concept Dalam Penentuan Lokasi Industri PAPER GEOGRAFI INDUSTRI Implementasi Range Concept Dalam Penentuan Lokasi Industri Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Geografi Industri Dosen Pengampu : Singgih Prihadi, S.Pd., M.Pd Disusun Oleh :

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini begitu banyak perusahaan yang berdiri di tengah kehidupan masyarakat. Berdirinya suatu perusahaan di tengah-tengah kehidupan masyarakat mempunyai tujuan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Juni hingga September 2011.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan suatu daerah terkait dengan interaksi yang terjadi dengan daerah-daerah sekitarnya. Interaksi tersebut membentuk tatanan yang utuh dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

Nilai Sewa Lahan - Von Thunen dan Analisis Lokasi Industri berorientasi Bahan Baku - Weber

Nilai Sewa Lahan - Von Thunen dan Analisis Lokasi Industri berorientasi Bahan Baku - Weber Nilai Sewa Lahan - Von Thunen dan Analisis Lokasi Industri berorientasi Bahan Baku - Weber Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember http://www.adamjulian.net Wilayah Analisis Ekonomi Wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerahnya masing-masing. Oleh karena itu tiap daerah sudah lebih bebas dalam

TINJAUAN PUSTAKA. daerahnya masing-masing. Oleh karena itu tiap daerah sudah lebih bebas dalam TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang telah diterapkan sejak tahun 1999, masing-masing daerah harus bekerja keras untuk meningkatkan pendapatan daerahnya masing-masing.

Lebih terperinci

Pola Gunalahan Perkotaan dan Teori Lokasi Kegiatan Ekonomi. Adipandang Yudono 2013

Pola Gunalahan Perkotaan dan Teori Lokasi Kegiatan Ekonomi. Adipandang Yudono 2013 Pola Gunalahan Perkotaan dan Teori Lokasi Kegiatan Ekonomi Adipandang Yudono 2013 Sistem Perkotaan Merupakan aglomerasi kota dengan wilayah sekitarnya yang masih memiliki sifat kekotaan. Sekumpulan kota-kota

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN III. Power Point ini membahas mata kuliah Kewirausahaan III. Endang Duparman. Modul ke: Arissetyanto. Fakultas SISTIM INFORMASI

KEWIRAUSAHAAN III. Power Point ini membahas mata kuliah Kewirausahaan III. Endang Duparman. Modul ke: Arissetyanto. Fakultas SISTIM INFORMASI Modul ke: 05 KEWIRAUSAHAAN III Power Point ini membahas mata kuliah Kewirausahaan III Fakultas SISTIM INFORMASI Endang Duparman Program Studi INFORMATIKA www.mercubuana.a.cid EVALUASI RENCANA PRODUKSI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan oleh pelaku industri karena merupakan salah satu bahan pangan

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan oleh pelaku industri karena merupakan salah satu bahan pangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian mempunyai fungsi penting dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pangan pokok. Salah satu bahan tersebut adalah gula pasir.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling azasi, sehingga ketersedian pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha

Lebih terperinci

III METODOLOGI 3.1. Kerangka Penelitian

III METODOLOGI 3.1. Kerangka Penelitian III METODOLOGI 3.1. Kerangka Penelitian Sebuah manajemen rantai pasok yang baik memerlukan berbagai keputusan yang berhubungan dengan aliran informasi, produk dan dana. Rancang bangun rantai pasokan untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1, Tenaga Kerja adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1, Tenaga Kerja adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tenaga Kerja Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1, Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan

Lebih terperinci

Daerah dan Pusat, merupakan wujud komitmen dalam menjabarkan desentralisasi.

Daerah dan Pusat, merupakan wujud komitmen dalam menjabarkan desentralisasi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ditetapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Daerah dan Pusat, merupakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian Pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini sebagian telah menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP.

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP. KEBIJAKAN HARGA Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2 Julian Adam Ridjal, SP., MP. Disampaikan pada Kuliah Kebijakan dan Peraturan Bidang Pertanian EMPAT KOMPONEN KERANGKA

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini didasari oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep saluran dan

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu syarat penting menuju terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut melibatkan banyak sektor

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang subur dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Hal ini dikarenakan Indonesia berada di wilayah tropis. Sehingga berbagai jenis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN FRANSISCA RENI W / L2B

BAB I PENDAHULUAN FRANSISCA RENI W / L2B BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan hasil cipta, rasa, karsa dan karya manusia yang paling rumit sepanjang sejarah peradaban. Begitu banyak masalah bermunculan silih berganti, akibat pertarungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap perusahaan harus benar-benar berfokus pada pelanggan, serta

BAB I PENDAHULUAN. setiap perusahaan harus benar-benar berfokus pada pelanggan, serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingginya tingkat persaingan dalam dunia bisnis saat ini menuntut setiap perusahaan harus benar-benar berfokus pada pelanggan, serta memelihara hubungan baik

Lebih terperinci

KAJIAN KEBUTUHAN PELAYANAN KAWASAN PERINDUSTRIAN KALIJAMBE BERDASARKAN PREFERENSI PENGUSAHA MEBEL KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN SRAGEN

KAJIAN KEBUTUHAN PELAYANAN KAWASAN PERINDUSTRIAN KALIJAMBE BERDASARKAN PREFERENSI PENGUSAHA MEBEL KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN SRAGEN KAJIAN KEBUTUHAN PELAYANAN KAWASAN PERINDUSTRIAN KALIJAMBE BERDASARKAN PREFERENSI PENGUSAHA MEBEL KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN SRAGEN (Studi Kasus: Pembangunan Kawasan Sentra Industri Mebel Kecamatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi menurut Arsyad (1999) dalam Rustiadi et al (2003) dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 20 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Strategi Strategi merupakan cara-cara yang digunakan oleh organisasi untuk mencapai tujuannya melalui pengintegrasian segala keunggulan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. teoretik. Manajemen strategi didefinisikan sebagai ilmu tentang perumusan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. teoretik. Manajemen strategi didefinisikan sebagai ilmu tentang perumusan 22 BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Manajemen Strategi Penelitian ini menggunakan perencanaan strategi sebagai kerangka teoretik. Manajemen strategi didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan membahas mengenai temuan studi, kesimpulan dan rekomendasi yang merupakan sintesa dari hasil kajian indikator ekonomi dalam transportasi berkelanjutan yang

Lebih terperinci

Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR

Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR Oleh : Marsuki Disampaikan dalam Seminar Serial Kelompok TEMPO Media dan Bank Danamon dengan Tema : Peran Pemberdayaan dalam Pengembangan Ekonomi Daerah.

Lebih terperinci

This document has been created with TX Text Control Trial Version You can use this trial version for further 59 days.

This document has been created with TX Text Control Trial Version You can use this trial version for further 59 days. Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan industri, permintaan akan pemenuhan kebutuhan air bersih meningkat dengan pesat. Hingga saat ini, di Cekungan Airtanah

Lebih terperinci

Dosen Pembimbing : Ir. Sardjito, MT Selvi Purnama Dewi

Dosen Pembimbing : Ir. Sardjito, MT Selvi Purnama Dewi Penentuan Persebaran Lokasi Fasilitas Pendidikan SLTP Kota Banyuwangi Dosen Pembimbing : Ir. Sardjito, MT Selvi Purnama Dewi 3606.100.032 ABSTRAK Pelayanan fasilitas pendidikan masih terdapat anak usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam pengembangan suatu wilayah, terdapat beberapa konsep pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS), konsep pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Pengembangan atau pembangunan didefinisikan sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu keadaan dimana terdapat lebih banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk. mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk. mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori UKM Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pertanian merupakan hal yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pertanian merupakan hal yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pertanian merupakan hal yang sangat esensial dalam sebuah negara, Kehidupan pertanian yang kuat di negara-negara maju bukan merupakan

Lebih terperinci