Gambar 2 Keanekaragaman jenis kukang dan sebarannya di dunia (foto: Fitch-Snyder, Streicher, Wirdateti, & Winarti)
|
|
- Inge Widjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Kukang di dunia terdiri atas sekurang-kurangnya sembilan spesies yang kemudian digolongkan dalam satu spesies Nycticebus coucang pada tahun 1953 (Osman-Hill 1953, diacu dalam Nekaris & Jaffe 2007). Sekitar dua puluh tahun kemudian, subspesies N. coucang dianggap memiliki perbedaan karakteristik sehingga digolongkan sebagai spesies terpisah. Perbedaan tersebut antara lain terdapat pada morfologi tengkorak, variasi genetik, ukuran tubuh, pola wajah, gigi, dan warna garis punggung. Pada tahun 1994, kukang pygmy menjadi spesies terpisah dengan nama N. pygmaeus (Zhang et al. 1994, diacu dalam Pro Wildlife 2007; Groves 2001). Kukang bengalensis mulai dianggap spesies berbeda sejak tahun Pada tahun 2003, tiga kukang resmi terpisah menjadi spesies yaitu N. bengalensis, N. menagensis, dan N. javanicus (Grooves 2001; Roos 2003; Chen et al. 2006). Kini kukang di dunia digolongkan menjadi lima spesies (Gambar 2) yaitu N. bengalensis, N. pygmaeus, N. coucang, N. menagensis dan N. javanicus (Schulze & Groves 2004; Nekaris et al. 2008b; Nekaris & Nijman 2008). Gambar 2 Keanekaragaman jenis kukang dan sebarannya di dunia (foto: Fitch-Snyder, Streicher, Wirdateti, & Winarti)
2 6 Tiga di antara lima kukang hidup di Indonesia yaitu kukang malaya (Nycticebus coucang) di Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya, kukang borneo (N. menagensis) di Kalimantan, dan kukang jawa (N. javanicus) di Pulau Jawa. Analisis genetik berdasarkan mitokondria 12S rrna pada nukleotida kukang menunjukkan terdapat tiga haplotip pada populasi di Sumatera dan dua haplotip pada populasi di Jawa (Wirdateti et al & 2006). Pengukuran morfometrik kukang malaya dan kukang jawa menunjukkan terdapat masing-masing dua kelompok populasi (Nekaris & Jaffe 2007). Dua kelompok yang termasuk kukang malaya yaitu N. coucang dan N. hilleri, dan dua kelompok yang termasuk kukang jawa yaitu N. javanicus dan N. ornatus. N. hilleri pertama kali diajukan oleh Stone dan Rehn pada tahun 1902 sebagai N. c. hilleri (Nekaris & Jaffe 2007), sedangkan N. ornatus diajukan oleh Thomas pada tahun Beragam penelitian genetik dan morfologi kukang ini selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan dalam menangani penanganan satwa hasil sitaan ataupun penangkaran kukang baik secara in-situ maupun ex-situ. Klasifikasi kukang jawa (N. javanicus) (Gambar 3) berdasarkan Napier dan Napier (1967 & 1985) dan Rowe (1996) adalah sebagai berikut: Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Sub Kelas : Eutheria Ordo : Primata Sub Ordo : Prosimii/Strepsirrhini Infra Ordo : Lemuriformes Super Famili : Loroidea Famili : Loridae Genus : Nycticebus Spesies : Nycticebus javanicus (Geoffroy 1812) Nama lokal : kukang jawa (Indonesia), muka, oces, atau aeud (Sunda)
3 7 Gambar 3 Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) (foto: Tarniwan) Biogeografi dan Sebaran Biogeografi adalah studi distribusi geografik mahluk hidup yang mempengaruhi sebarannya saat ini. Prosimian diduga berawal dari perkembangan famili Adapidae (Napier & Napier 1985). Anggota famili Loridae mulai ada sejak masa Miosin di Afrika Timur sekitar tahun yang lalu. Genus Loris dan Nycticebus kemudian mencapai Asia karena daratan masih menyatu atau mungkin karena adanya suatu koridor habitat. Penyebaran kukang di seluruh Asia, mulai dari Asia bagian timur hingga Asia Tenggara (Nekaris 2007 & 2008; Schulze 2003c). Penyebaran yang luas ini berawal dari biogeografi kukang sejak jaman es (Schulze 2003c). Sekitar masa Pleistosin (lebih kurang tahun yang lalu) daratan Asia masih menyatu dengan pulau-pulau Indonesia bagian barat (Sumatera, Borneo, dan Jawa). Pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau yang berada di sebelah kiri garis Wallace. Garis Wallace dan juga garis Weber merupakan pembatas fauna yang menjadi pemisah antar daratan. Iklim pada masa itu diperkirakan lebih kering dari masa sekarang karena sebagian besar air masih menjadi es. Menurut Peltz (1999) diacu dalam Schulze (2003c) luasan hutan hujan tropis juga lebih sempit dibandingkan dengan masa sekarang (Gambar 4). Iklim di beberapa area diperkirakan lebih lembab sehingga menjadi indikasi bahwa daratan antara India dan Srilanka merupakan hutan deciduous atau bahkan hutan hujan tropis (Ripley 1969, diacu dalam Schulze 2003c). Penutupan daratan oleh hutan memungkinkan
4 8 adanya suatu migrasi fauna antara India dan Srilanka. Kukang hidup menyebar luas di dataran besar Asia. Hingga saat daratan besar tersebut terpisah-pisah, kukang dapat ditemui hidup di Asia bagian timur hingga Asia Tenggara (Schulze 2003c). Gambar 4 Biogeografi dan sebaran kukang di dunia (diadaptasi dari Schulze 2003c) Sebaran habitat kukang berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut (m dpl) berturut-turut adalah kukang malaya m dpl, kukang borneo m dpl, kukang bengalensis m, kukang jawa m dpl (Wiens 2002; Schulze 2003b; Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti 2005; Wirdateti et al. 2005; Wirdateti & Suparno 2006; Dahrudin & Wirdateti 2008; Pambudi 2008; Nandini et al. 2009; Pliosungnoen et al. 2008; Swapna et al. 2008). Data sebaran dan estimasi populasi kukang terutama kukang jawa masih belum banyak tersedia (IUCN & TRAFFIC; Nekaris et al. 2008). Data dan informasi keberadaan kukang di alam secara umum lebih banyak berupa laporan perjumpaan. Perjumpaan kukang di seluruh Asia Tenggara dan Asia bagian selatan pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti sejak tahun Data perjumpaan tahun dengan ketentuan minimal jarak survei 100 km telah dikalibrasi dengan satuan hasil akhir menjadi individu/km (Nekaris & Nijman
5 9 2008). Berturut turut rata-rata perjumpaan tersebut adalah N. coucang 0,66-0,74/km, N. bengalensis 0,10-0,13/km, N. pygmaeus 0,05-0,08/km dan N. menagensis 0,12/km. Studi komparatif oleh Nekaris et al. (2007) terhadap data perjumpaan seluruh spesies kukang di habitat alami dan tidak alami, menghasilkan transformasi nilai tengah perjumpaan individu/km. Nilai tengah perjumpaan N. coucang adalah 0,80/km, N. bengalensis 0,26/km, N. pygmaeus 0,13/km, N. menagensis 0,02/km, dan N. javanicus 0,11/km (Tabel 1). Tabel 1 Kompilasi data perjumpaan kukang di dunia (individu/km) Tipe N. N. N. bengalensis N. coucang Habitat pygmaeus menagensis N. javanicus Alami 0,02 a ; 0,05-0,22 (4,5) 0,4-1,16 (6,7) 0,02-0,36 (9,10) (12,13, c) 0,02 0,06-0,18 b ; 0,02-0,87 (1,2) ; Tidak 0,03-0,33 (3) - 0,01-1,63 (7,8) 0,01 (11) - Alami Keterangan: a = Swapna et al. (2008); b = Das (2009); c = Collins (2007); dan 1-13 merupakan data kompilasi oleh Nekaris et al diperoleh dengan pustaka sebagai berikut: 1 Duckworth (1998), 2 Evans et al. (2000), 3 Rhadakrishna & Singh (2004), 4 Fitch-Snyder & Vu (2002), 5 Wiens & Zitzmann (2003a), 6 Shepherd & Nijman (tidak dipublikasikan), 7 Johns (1983), 8 Barrett (1984), 9 Grieser-Johns (komunikasi pribadi) pendataan tahun , 10 Nekaris & Bearder (2007), 11 Haydon (1994), 12 Gursky & Arisona (komunikasi pribadi), 13 Arisona & Nekaris (tidak dipublikasikan). Nekaris et al. (2007) menyebutkan bahwa perjumpaan kukang lebih sedikit di habitat yang tidak alami atau terganggu daripada di habitat alami (Tabel 1). Kompilasi data pada tabel 1 menjadi indikasi bahwa perjumpaan kukang secara umum rendah. Namun di beberapa lokasi tertentu terdapat kelompok populasi yang tinggi dibandingkan dengan populasi di daerah sebaran kukang pada umumnya. Populasi ini diduga hanya bersifat sementara karena karakteristik habitat yang tidak stabil. Populasi Sejauh ini studi populasi kukang masih sangat sedikit dilakukan. Deteksi keberadaannya di alam sulit karena kukang yang nokturnal dan mampu untuk membaur dengan kondisi vegetasi. Data estimasi kepadatan dan populasi kukang yang ada sejauh ini dilakukan hanya pada lokasi yang diyakini menjadi area
6 10 sebaran kukang (IUCN & TRAFFIC 2007; Nekaris & Bearder 2007; Nekaris & Nijman 2008). Berdasarkan luas habitat, hanya 14% dari habitat kukang yang berada di kawasan lindung (MacKinnon & MacKinnon 1987). IUCN dan TRAFFIC (2007) memperkirakan populasi kukang bengalensis, kukang pygmy, dan kukang malaya berturut-turut sebesar individu, individu, dan individu. Beberapa penelitian populasi kukang yang pernah dilakukan antara lain terhadap kukang malaya, kukang bengalensis, dan kukang jawa. Kepadatan populasi kukang malaya di Semenanjung Malaya adalah 20 individu/km 2 (Barrett 1981, diacu dalam Wiens & Zitzman 2003a) dan di Cagar Alam Segari Melintang di Malaysia Barat adalah 80 individu/km 2 (Wiens & Zitzman 2003a). Kepadatan populasi kukang bengalensis di Khao Ang Rue Nai Wildlife Sanctuary Thailand pada lahan pertanian tua (15-18 tahun sejak awal tanam) cenderung sama dengan hutan primer yaitu 4,26 individu/km 2 dan 4 individu/km 2, serta lebih besar dari lahan pertanian muda (kurang dari 15 tahun sejak awal tanam) yaitu 1,27 individu/km 2 (Pliosungnoen et al. 2010). Sebaliknya, penelitian kukang jawa di hutan Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) menyebutkan bahwa kepadatan kukang jawa di hutan primer lebih rendah dibandingkan dengan kepadatan kukang jawa di hutan sekunder, yaitu 4,29 individu/km 2 dibandingkan dengan 15,29 individu/km 2 (Pambudi 2008). Populasi kukang jawa di alam diperkirakan mulai jarang (Nekaris et al. 2008). Data perdagangan satwa menunjukkan kukang jawa secara meningkat mulai digantikan oleh kukang malaya dan kukang borneo (IUCN & TRAFFIC 2007). Mengingat tingkat reproduksinya yang rendah (Nekaris & Bearder 2007), kukang jawa tidak dapat bertahan dengan penangkapan dalam skala besar (IUCN & TRAFFIC 2007). Indikasi penurunan kualitas dan luasan habitat kukang jawa dilaporkan terjadi di Sumedang (Winarti 2003). Di samping itu, beberapa peneliti melaporkan adanya indikasi penurunan populasi atau bahkan kepunahan lokal (Nekaris et al. 2008). Perkiraan empiris terhadap nilai Minimum Viable Population atau jumlah populasi minimum untuk melanjutkan populasi kukang di alam menunjukkan angka beberapa ribu individu (Harcourt 2002). Hal ini menjadi
7 11 indikasi bahwa bahwa kukang jawa akan berkembang biak di alam dengan baik jika populasi minimalnya sejumlah ribuan individu. Morfologi Kukang jawa (N. javanicus) merupakan satwa primata primitif yang tidak berekor, bersifat nokturnal (aktif di malam hari), dan arboreal (tinggal di atas pohon). Spesies ini merupakan anggota ordo primata dari sub ordo Strepsirhine atau Prosimian, yang artinya pra atau sebelum simian atau primata primitif. Ciri utama dari sub ordo ini adalah nokturnal dan soliter (Napier & Napier 1967 & 1985; Rowe 1996; Wiens & Zitzmann 2003a). Berikut ini adalah ciri morfologi kukang jawa berdasarkan taksonominya (Tabel 2). Tabel 2 Ciri morfologi kukang jawa Klasifikasi Ciri Kerajaan Animalia Hewan Filum Chordata Bertulang belakang Kelas Mammalia Menyusui, memiliki rambut hampir di seluruh tubuh Ordo Primata Mata binokuler dan streoskopis, kapasitas otak yang relatif besar, berkuku dan mampu menggenggam Sub Ordo Strepsirhine/ Prosimian Nokturnal dan memiliki tapetum lucidum, tooth coomb, toilet claw, dan rhinarium Famili Loridae Arboreal, memiliki ibu jari opposite atau berseberangan dengan keempat jari lainnya, bergerak lamban dengan lokomosi quadrupedal (bergerak berpindah dengan empat anggota gerak) tanpa leaping (meloncat), cantilevering (berpindah tempat dengan cara meregangkan tubuh), serta metabolisme basal yang rendah, masa bunting yang lama, infan lahir dengan berat yang ringan, masa menyusui yang lama, dan adanya perilaku infant parking Genus Nycticebus Memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada Loris sp. Spesies N. javanicus Memiliki pola garpu di wajah yang paling jelas dibandingkan dengan genus Nycticebus lainnya, dan memiliki frosting rambut warna putih pada bagian leher Sumber: Napier & Napier 1967, 1985; Rowe 1996; Schulze 2003d; Nekaris & Bearder 2007 Kukang berjalan dengan keempat anggota geraknya dengan perlahan kecuali pada saat merasa terancam. Kukang memiliki kemampuan cantilevering yakni berpindah tempat dengan cara bertumpu pada anggota gerak bagian belakang untuk menjangkau dahan atau substrat dengan anggota gerak bagian depan. Kukang juga memiliki pegangan yang kuat karena ibu jarinya terletak oposit atau berseberangan dengan keempat jari lainnya (Napier & Napier 1985; Rowe 1996).
8 12 Tapetum Lucidum dan Rhinarium Kukang memiliki tapetum lucidum, yaitu lapisan di bagian belakang retina yang sensitif terhadap cahaya. Lapisan ini membantu penglihatan mereka saat aktif di malam hari. Dalam kondisi gelap, mata kukang akan nampak bersinar oranye (Schulze 2003a) (Gambar 5). Kukang di alam berbagi habitat dengan satwa nokturnal lainnya antara lain dengan musang Paradoxurus hermaphroditus dan kucing Felis chaus (Schulze 2003a). Oleh karena itu paramater yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan kukang adalah deteksi sorot mata oranye yang terang, ukuran lingkar mata yang bulat besar, dan jarak bola matanya (Schulze 2003a). Gambar 5 Tapetum Lucidum, Rhinarium, Toilet Claw, dan ibu jari yang oposit (berseberangan) pada kukang jawa (foto: Tarniwan) Karakteristik lain dari mata kukang adalah kemampuan stereoskopis yang terbatas. Mata stereoskopis berperan untuk membedakan banyak warna dan memperoleh persepsi untuk mengukur jarak. Sel kerucut (short wave-sensitive cone opsins) pada retina kukang tidak mampu membedakan warna (Kawamura & Kubotera 2004). Keterbatasan penglihatan ini merupakan salah satu penyebab kukang tidak bisa meloncat dari dahan ke dahan seperti lutung atau monyet. Secara umum satwa primata dalam subfamili Lorisinae hanya mampu melompat tidak lebih dari jarak langkahnya (Sellers 1996).
9 13 Kukang memiliki moncong atau ujung hidung yang selalu lembab dan basah. Bagian ini disebut rhinarium (Gambar 5), yang berfungsi untuk membantu daya penciumannya dalam mengenali jejak bau yang ditinggalkan kukang lainnya (Napier & Napier 1985; Rowe 1996). Moncong kukang pendek dan membulat serta lebih besar jika dibandingkan dengan Loris sp. (Schulze 2003a). Rhinarium kukang tidak berambut serta memiliki papila yang kasar dan terlihat jelas. Jika dibandingkan dengan tupai, rhinarium kukang lebih kecil dan kurang sensitif (Loo & Kanagasuntheram 1973). Tooth Comb dan Toilet Claw Tooth comb atau gigi sisir adalah empat gigi seri pada rahang bawah yang arah tumbuhnya lebih horizontal. Fungsi gigi ini adalah sebagai alat untuk menyisir rambutnya saat meyelisik atau membersihkan diri. Sedangkan Toilet claw adalah cakar atau kuku yang panjang dan tajam pada telunjuk atau jari ke dua pada alat gerak bagian belakang (Gambar 5). Tooth comb dan toilet claw digunakan untuk menyelisik (Napier & Napier 1985; Rowe 1996). Pada Prosimian, perilaku menyelisik ini dilakukan dengan menjilati tubuh dan anggota tubuhnya dan menyisir rambutnya dengan tooth comb dan toilet claw. Kukang melakukan aktifitas menyelisik beberapa saat setelah bangun, yaitu sekitar lepas senja saat matahari sudah tenggelam dan sesaat sebelum tidur, yaitu saat menjelang matahari terbit (Wiens 2002; Pambudi 2008). Penelitian di kandang atau penangkaran, menunjukkan bahwa kukang memiliki kisaran masa bunting hari (Nekaris & Bearder 2007), hari (Zimmerman 1989), dan hari (Izard 1988). Satwa primata ini melahirkan satu kali setiap tahunnya dengan berat 43,5-75 g, dan menyusui selama 5-7 bulan atau menyapih pada umur anak hari (Izard 1988; Zimmermann 1989; Nekaris & Bearder 2007). Siklus estrus N. coucang adalah hari dengan kematangan seksual pada umur bulan pada betina dan 17 bulan pada jantan atau rata-rata sekitar umur 1,5-2 tahun.
10 14 Berat dan panjang tubuh kukang Kukang memiliki berat tubuh bervariasi dari yang terkecil hingga terbesar, yaitu g (Tabel 3). Kukang jawa merupakan spesies yang memiliki ukuran tubuh ke tiga terbesar di antara semua spesies kukang. Dibandingkan dengan dua kukang Indonesia lainnya, kukang jawa memiliki ukuran tubuh yang paling besar dan berat. Berturut-turut kisaran berat tubuh kukang dari yang 1675 g), N. javanicus ( g), N. pygmaeus ( g), dan N. menagensis ( g). Hal ini berbeda dengan Ravosa (1998) yang menyebutkan bahwa berdasarkan alometri kranial, urutan spesies kukang dari yang terbesar hingga terkecil adalah N. bengalensis, N. javanicus, N. coucang, N. menagensis, dan N. pygmaeus. Tabel 3 Perbedaan berat dan panjang tubuh lima spesies kukang Karakteris tik Berat Tubuh (gr)* Panjang Tubuh (kepalaujung tubuh) (mm)* N. bengalensis terbesar hingga terkecil adalah: N. bengalensis ( g), N. coucang (230- N. pygmaeus ,2, Max N. coucang / ,2+111, / / ,2+24, / / N. N. menagensis javanicus , / ,1+13,3 6 *yang disebut pertama kali merupakan berat atau panjang tubuh jantan, selanjutnya diikuti berat atau panjang tubuh betina 1 Nekaris & Bearder (2007), 2 Nekaris et al.(2008), 3 Schulze (2002a), 4 Streicher (2004), 5 Fitchsnyder et al. (2001), 6 Nekaris & Jaffe (2007), 7 Napier & Napier (1967), 8 Rowe (1996), 9 Wiens (2002), 10 Ravosa (1998), 11 Schulze & Groves (2004) Kukang jawa memiliki morfologi yang dapat dibedakan secara jelas dengan kukang lainnya, yaitu ukuran tubuh yang relatif lebih besar (Ravosa 1998; Nekaris & Jaffe 2007). Kisaran berat kukang jawa dewasa adalah g, dengan panjang tubuh dewasa berkisar antara mm (Tabel 3). Kukang jawa
11 15 memiliki warna rambut kuning keabuan dan coklat krem pada bagian leher, serta strip punggung dan pola garpu pada mukanya yang sangat jelas (Groves 2001). Kukang malaya dan kukang borneo memiliki pola garpu di dahi yang tidak jelas. Dalam proposal CITES tahun 2006, Schulze menyatakan adanya indikasi variasi warna pada rambut kukang secara lokal (CITES 2006). Terdapat tiga haplotip pada kelompok populasi kukang malaya dan dua haplotip pada kelompok kukang jawa (Wirdateti et al & 2006). Variasi dan morfometrik kukang menjadi indikasi adanya masing-masing dua kelompok populasi pada kukang malaya dan kukang jawa (Nekaris & Jaffe 2007). Kelas Umur Kukang Pembagian kelas umur kukang menurut Setchell dan Curtis (2003) serta Schulze (2002b) adalah dewasa, pradewasa, juvenil, infan, neonate, dan senile (tua). 1. Dewasa : sudah matang baik secara fisik maupun seksual dan gigi permanen sudah komplit. 2. Pradewasa : belum matang sempurna baik secara fisik maupun seksual namun secara jelas sudah dapat dibedakan dari anak yang masih bergantung pada induknya. 3. Juvenil : belum matang secara fisik maupun seksual dan masih bersama induk tetapi sudah bergerak sendiri. 4. Infan : belum disapih dan masih bergantung pada induk sehingga masih dibawa-bawa di pinggang induknya ataupun diparkir untuk sementara. 5. Neonate : infan yang terlihat baru dilahirkan dalam beberapa hari yang lalu. 6. Senile : menunjukkan tanda-tanda penuaan seperti uban pada rambut muka, pigmentasi kulit, perilakunya menunjukkan tanda-tanda penurunan daya penglihatan, katarak, kurus, rambut yang tipis, kehilangan gigi, dan lain-lain.
12 16 Perilaku Kukang Aktifitas Harian N. coucang pernah teramati melakukan aktifitas paling awal 2 menit sebelum matahari terbenam dan aktifitas terakhir 14 menit sebelum matahari terbit (Wiens 2002). Infan N. coucang teramati mulai aktif bergerak pada 0-53 menit setelah matahari terbenam. Kukang jawa di hutan Bodogol TNGGP mulai aktif segera setelah matahari terbenam, dengan puncak aktifitas pada pukul 20:00-21:00 WIB dan menurun pada pukul 22:00-00:00 WIB (Pambudi 2008). Kukang lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, atau dengan kata lain satwa primata ini bersifat soliter atau penyendiri (Wiens 2002; Wiens & Zitzmann 2003a; Napier & Napier 1985; Rowe 1996). Sekitar 93,3+5,4% waktu N. coucang dihabiskan dengan sendirian dengan 6,7% di antaranya berada minimal lebih dari 10 m dari individu lainnya. Perilaku soliter ini tidak berbeda secara signifikan antara jenis kelamin dan juga tidak berbeda pada individu dewasa ataupun pradewasa (Wiens 2002). Berdasarkan penelitian N. coucang di penangkaran, 90% dari waktu aktifnya dihabiskan untuk aktivitas yang baik langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan aktifitas makan (Glassman & Wells 1984). Kelompok Spasial dan Interaksi Sosial Meskipun hidup soliter, N. coucang membentuk suatu unit sosial yang stabil (kelompok spasial) yang masih mempunyai hubungan keluarga, yaitu terdiri atas satu jantan, satu betina, dan hingga tiga individu lainnya yang lebih muda (Wiens 2002). Kelompok spasial ini dapat diidentifikasi dalam suatu kelompok tidur. Interaksi N. coucang dengan individu lainnya antara lain allogroom (menyelisik individu lain), alternate click calls (suara cericit atau klik-klik yang tajam dan jelas baik rangkaian pendek maupun panjang), follow (mengikuti individu lain dengan jarak tidak jauh dari lima meter), pantgrowl (suara menggeram termasuk nafas mendengus secara berulang) dan contact sleep (tidur dengan berdampingan atau memeluk pinggang induk), ride/carry (menunggangi induk atau dibawa oleh induk), suckle (aktifitas menyusui) (Wiens 2002). Interaksi sosial kukang sangat sedikit, berkisar antara 0-7,7% (Wiens 2002). Aktifitas menyelisik individu lain dilakukan tidak lebih dari 6,7% dari masa
13 17 aktifnya. Infan N. coucang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berjagajaga atau mengamati individu lain (40,8%) dibandingkan dengan aktifitas lainnya (26,5% berjalan, 6,1% siaga, 4,2% menyelisik diri sendiri, 2% berdiri, 2% bergerak berpindah dengan cepat, dan 12,3% interaksi sosial termasuk click calling) (Wiens 2002). Infant Parking Infant parking adalah perilaku meninggalkan infan pada saat induk pergi mencari makan (Napier & Napier 1967; Nekaris & Bearder 2007). Infant parking pada N. coucang di penangkaran teramati pada hari ke dua setelah lahir (Zimmermann 1989). Indikasi infant parking di alam teramati dua kali oleh Wiens (2002) saat menjumpai infan, masing-masing dengan berat tubuh 105 g dan 119 g), sendirian di semak dan pohon pada saat tengah malam (pukul 00:35 dan 02:05). Ketinggian posisi infan dari permukaan tanah adalah 2,2 m di semak dan 3,5 m di pohon. Semak dan pohon tersebut merupakan vegetasi tidur pada siang hari. Daerah Jelajah dan Teritori Satu kelompok spasial atau kelompok keluarga N. coucang mendiami suatu luasan habitat atau daerah jelajah yang tumpang tindih (overlap), dimana individu jantan dewasa menjadi penguasa daerah yang mencakup seluruh daerah jelajah anggota-anggota keluarganya. Daerah jelajah (home range) merupakan wilayah yang dikunjungi satwa secara tetap karena dapat menyediakan makanan, minum serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin (Alikodra 2002). Luasan daerah jelajah dapat bervariasi dari tahun ke tahun karena perubahan cuaca, ketersediaan sumber pakan, kompetisi, atau aktifitas manusia seperti perburuan, penebangan pohon, ataupun pembukaan lahan pertanian (Rowe 1996). Daerah jelajah N. coucang berbedabeda tergantung tipe habitatnya, yaitu di hutan primer 0,4-3,8 ha, hutan yang terdapat penebangan 2,8-8,9 ha, dan padang savana 10,4-25 ha (Wiens 2002). Berdasarkan jenis kelaminnya, daerah jelajah N. coucang adalah sebagai berikut: 1) jantan dewasa 0,8 ha di hutan primer; 5,6-8,9 ha di hutan yang terdapat
14 18 penebangan; dan ha (padang savana), 2) betina dewasa 0,4-3,8 ha di hutan primer; 4,1-4,8 ha di hutan yang terdapat penebangan; dan 10,4 ha di padang savana. Daerah jelajah kukang N. coucang jantan dewasa lebih luas daripada individu betina, serta mencakup sebagian dari daerah jelajah betina dan infan (Wiens 2002). Daerah jelajah betina dewasa yang berada dalam daerah jelajah jantan dewasa di hutan primer sebesar 38,1%, di hutan yang terdapat penebangan 83,8%, dan di padang savana 39,4%. Daerah jelajah harian (daily range atau night range pada satwa nokturnal) kukang belum diketahui. N. coucang dilaporkan melakukan pergerakan hingga 400 m/jam setiap malam (Nekaris & Bearder 2007). Asumsi berdasar kisaran ukuran tubuh yang sama dengan anggota Prosimian lainnya seperti galago, menjadi indikasi bahwa kukang berpindah tempat hingga 10 m tiap malam. Jelajah harian kukang bisa lebih luas mengingat prosimian lainnya yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dan lebih kecil dapat memiliki jelajah harian yang bervariasi. Potto Potto potto edwardsii memiliki jelajah harian hingga 6 km tiap malam, sedangkan slender loris abu-abu Loris lydekkerianus dan slender loris merah Loris tardigradus memiliki jelajah harian ratusan meter hingga 1 km tiap malam (Nekaris & Bearder 2007). Pergerakan atau aktifitas jelajah di pengaruhi oleh intensitas cahaya (Nekaris & Bearder 2007). Kukang cenderung mengurangi aktifitas atau menghindari kondisi gelap total dan sangat sedikit cahaya (Kavanau 1979). Satwa primata ini cenderung bersifat lunar phobia. Pengamatan di penangkaran menunjukkan bahwa seiring dengan peningkatan cahaya bulan, N. coucang meningkatkan aktifitas istirahat dan menurunkan aktifititas lokomosi (Trent et al. 1977, diacu dalam Nash 2007). Aktifitas yang tidak dipengaruhi oleh intensitas cahaya bulan adalah makan dan menyelisik. Beberapa satwa primata nokturnal diketahui memiliki kecenderungan lebih aktif pada saat ada cahaya bulan (lunar philia) dan ada juga yang tidak (lunar phobia). Contoh satwa primata lunar philia adalah Galago sp. (Nekaris & Bearder 2007) dan satwa primata lunar phobia adalah Tarsius sp. (Gursky 2003) dan Loris sp. (Nekaris & Bearder 2007).
15 19 Habitat dan Sumber Pakan Habitat merupakan tempat bagi organisme itu tinggal dan hidup, atau tempat dimana seseorang harus pergi untuk menemukannya (Odum 1998). Di habitat hutan, Famili Lorisidae memiliki kecenderungan mendiami berbagai tipe strata dan substrata (Nekaris & Bearder 2007). Kukang menyukai habitat hutan hujan tropis dan subtropis di dataran rendah dan dataran tinggi, hutan primer, hutan sekunder, serta hutan bambu (Rowe 1996; Nekaris & Shekelle 2007). Kukang menyukai habitat perifer (tepi) karena di bagian inilah terdapat kelimpahan serangga dan faktor pendukung lainnya. Menurut MacKinnon dan MacKinnon (1987), pada tahun 1986 dari seluruh area yang mungkin menjadi habitat kukang, hanya 14% saja yang berada di dalam kawasan dilindungi. Berdasarkan analisis sistem informasi geografi, luasan habitat kukang jawa mengalami penurunan luas dan degradasi hingga 20%, dimana habitat kukang jawa yang masih ada hanya 17% saja yang berada di dalam daerah lindung (Nekaris et al. 2008b). Kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi penyebaran dan produktivitas suatu satwa. Habitat yang mempunyai kualitas yang tinggi nilainya, diharapkan akan menghasilkan kehidupan satwa yang lebih baik. Habitat yang rendah kualitasnya akan menghasilkan kondisi populasi satwa yang daya reproduksinya rendah (Alikodra 2002). Habitat talun memenuhi kriteria habitat bagi kukang jawa baik dalam hal pakan, tempat tidur, maupun tingkat keamanannya karena talun jarang dikunjungi oleh penduduk. Vegetasi pakan kukang jawa seperti pasang Quercus sp. dan aren Arenga pinnata Merr. serta vegetasi untuk tidur berupa bambu merupakan vegetasi yang umum dijumpai tumbuh di talun (Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti et al. 2005; Pambudi 2008). Talun sebagai Habitat Kukang Jawa Sejak tahun 1980-an sistem pertanian yang umum ditemui di Jawa Barat adalah pekarangan dan kebun talun (Soemarwoto et al. 1985; Christanty et al, 1986). Pada saat itu, luas pekarangan dan kebun-talun mencapai 20% dan 16% dari total wilayah Jawa Barat (Christanty et al. 1986). Kedua sistem pertanian tersebut merupakan hasil uji dan coba beratus-ratus tahun yang melibatkan faktor
16 20 adaptasi masyarakat terhadap lingkungan, sosial, budaya, serta kondisi ekonomi masyarakat pedesaan. 1. Pekarangan Pekarangan adalah sistem pertanian dengan kombinasi tanaman musiman atau palawija dan tanaman tahunan atau perenial, serta hewan peliharaan yang terletak di sekitar tempat tinggal. Pekarangan bernilai penting bagi pemiliknya, antara lain secara ekonomi, sosial budaya, dan pemulihan biofisik lahan. Sistem ini berkembang dari Jawa Tengah dan menyebar ke Jawa Barat (Christanty et al. 1986). 2. Talun atau Kebun-talun Talun merupakan habitat yang memiliki struktur vegetasi menyerupai kondisi hutan sekunder (Soemarwoto 1984; Soemarwoto et al. 1985; Christanty et al. 1986). Letak talun biasanya di lereng bukit (Soemarwoto 1984; Soemarwoto et al. 1985). Talun dengan sistem rotasi penanaman disebut juga sistem kebun-talun. Lahan dengan rotasi kebun-talun dikatakan berubah menjadi pekarangan jika di dalamnya dibangun sebuah rumah (Christanty et al. 1986). Siklus Rotasi Talun Talun dengan sistem rotasi penanaman memiliki kombinasi suksesi tiga fase, yaitu kebun, talun kebun atau kebun campuran, dan talun sempurna (Gambar 6). Siklus rotasi ini memerlukan waktu selama kurang lebih 6-8 tahun (Soemarwoto 1984; Christanty et al. 1986). Secara umum luas kepemilikan talun tidak luas atau hanya berkisar antara 400 m 2 hingga 1-2 ha (Soemarwoto 1984; Winarti 2003; Parikesit et al. 2004). Kebun merupakan bagian dari talun yang ditanami palawija dan tanaman tahunan. Pemanenan atau penebangan pohon dan bambu merupakan awal dari fase kebun yang mengakibatkan pembukaan area seluas m 2 untuk ditanami palawija berupa sayuran, tembakau, hingga singkong. Singkong biasanya ditanam di sepanjang tepi area kebun. Pembukaan ini masih menyisakan akar atau tunas dari rumpun bambu (Soemarwoto 1984). Fase I atau fase kebun ini memiliki nilai ekonomi tinggi karena hasilnya dapat dimanfaatkan atau dijual langsung. Setelah sekurang-kurangnya dua tahun, kebun sudah ditumbuhi tegakan
17 21 tanaman tahunan bercampur dengan tumbuhan perenial. Fase II ini disebut talun. Talun kebun merupakan fase peralihan menuju talun sempurna. 1. Kebun 2. Talun kebun 3. Talun sempurna (kebun campuran) Gambar 6 Siklus rotasi talun (foto: Winarti & Tarniwan) Fase talun kebun tidak lagi ditanami palawija sehingga nilai ekonomi fase ini tidak setinggi kebun. Fase ini lebih bernilai biofisik. Pada tahap ini berlangsung pemulihan tanah dan konservasi air. Ciri utama fase talun kebun adalah adanya tanaman singkong dengan jarak tanam 0,75 m dengan selingan tanaman bambu di dalamnya (Christanty et al. 1986) serta banyaknya anakan pohon yang mulai meninggi. Setelah pemanenan atau pengambilan hasil kebun campuran 2-3 kali, lahan dibiarkan selama lebih kurang tiga tahun. Vegetasi yang dominan pada fase ini adalah tumbuhan perenial. Fase ini disebut talun sempurna. Fase talun sempurna memiliki dua fungsi atau bernilai ganda, yaitu secara ekonomi dan biofisik. Struktur Vegetasi Talun Talun biasanya merupakan kombinasi beragam spesies tumbuhan perenial yang membentuk tiga strata vegetasi (Christanty et al. 1986). Talun dapat juga didominasi oleh satu spesies (Soemarwoto et al. 1985). Talun yang didominasi oleh satu spesies tumbuhan, penamaannya diikuti oleh nama spesies tersebut. Seperti talun bambu, merupakan talun dengan dominasi vegetasi bambu. Jenis dan jumlah jenis vegetasi yang tumbuh di dalam talun merupakan hasil keputusan pemilik talun yang dipengaruhi oleh alasan tertentu (Suharjito 2002).
18 22 Talun di Desa Buniwangi Sukabumi cenderung ditanami pohon yang hasil panennya banyak, aneka ragam jenis, perawatannya mudah, hasilnya mudah dijual, harga hasil panen yang stabil atau meningkat, warisan orangtua sebelumnya, dan cocok dengan kondisi tanah. Vegetasi talun terdiri atas beragam jenis, umur, dan tinggi, sehingga mirip dengan hutan. Talun memiliki perbedaan dengan hutan tropis dalam hal komposisinya. Komposisi vegetasi di talun sebagian asli dari daerah talun tersebut, sebagian lainnya dapat merupakan hasil introduksi oleh pemiliknya (Soemarwoto et al. 1985). Ketinggian dan kemiringan tempat merupakan faktor biofisik yang mempengaruhi penyebaran jenis tanaman di talun (Parikesit et al. 2004). Namun dalam perkembangannya jenis-jenis vegetasi yang tumbuh dengan baik di suatu talun merupakan hasil dari interaksi faktor berupa penyebaran oleh satwa liar, dengan faktor sedikitnya campur tangan manusia dalam penanganan talun (Parikesit 2001). Peran dan Fungsi Talun Talun memiliki peran dan fungsi penting, baik bagi pemilik maupun bagi kelestarian alam (Soemarwoto 1984; Soemarwoto et al. 1985). Bagi pemilik, talun berperan penting dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan memiliki fungsi ekonomi, misalnya untuk kayu bakar dan bahan bangunan, bambu, buah-buahan, dan tumbuhan obat (Soemarwoto et al. 1985; Christanty et al. 1986; Parikesit 2001). Bagi kelestarian alam, talun memiliki peran dan potensi sebagai sumber gen atau sumber kekayaan biodiversitas, dan mendukung konservasi tanah (Soemarwoto et al. 1985). Dengan komposisi jenis dan struktur vegetasi yang multistrata, talun berfungsi sebagai habitat terutama bagi satwa liar (Parikesit 2001; Parikesit et al. 2004). Sumber Pakan Secara umum genus Nycticebus sering disebutkan sebagai omnivor (pemakan segala) dengan palatabilitas atau tingkat kesukaan tertentu terhadap salah satu atau beberapa jenis pakan. Jenis pakan kukang antara lain buah-buahan,
19 23 bunga, nektar, getah, dan cairan bunga atau cairan tumbuhan, serangga, dan telur burung serta burung kecil (Rowe 1996; Nekaris & Bearder 2007). Kukang mendapatkan getah dengan cara mengguratkan gigi ke batang pohon hingga kulit pohon terkelupas atau hanya tergores dan mengeluarkan getah, selanjutnya kukang menjilatinya (Wiens 2002; Streicher 2004; Pambudi 2008; Swapna 2008). Kukang jawa juga dilaporkan menghisap sadapan nira pohon aren yang menetes secara alami maupun yang sedang disadap penduduk (Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti et al. 2005). Uji palatabilitas pakan terhadap kukang sumatera dan kukang jawa di kandang menunjukkan bahwa pakan yang disukai adalah buahbuahan yang lunak, manis, dan mengandung karbohidrat (Napier & Napier 1985; Wirdateti et al. 2001). Kukang juga memakan sumber pakan asal hewan, terutama serangga. Identifikasi jenis pakan asal hewan terutama serangga biasanya diperoleh berdasarkan pengamatan singkat, identifikasi contoh feses, atau hanya berdasarkan informasi penduduk. Berdasarkan identifikasi feses N. coucang dewasa dan pradewasa, kukang makan enam jenis serangga pakan yaitu kumbang (Coleopthera), semut (Hymenoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera), jangkrik (Formicidae), belalang (Orthoptera), dan kepik (Hemiptera) (Wiens 2002). Identifikasi feses pada infan umur 13 minggu memperlihatkan sisa kitin dari semut (Formicidae), kumbang (Coleoptera), dan jangkrik atau belalang (Orthoptera). Infan pertama kali dijumpai memakan ngengat (Lepidoptera) pada umur 4 minggu (Wiens & Zitzmann 2003b). Pengamatan N. praygmaeus memperlihatkan sedikitnya terdapat dua jenis pakan asal serangga yaitu semut (Hymenoptera) dan jangkrik (Formicidae) (Streicher 2004). N. bengalensis diketahui memakan kecoa (Blattaria), rayap (Isoptera), kumbang (Coleopthera), semut (Hymenoptera), dan ngengat (Lepidoptera) serta telur dan anak burung (Swapna 2008). Kukang jawa di TNGH diduga memakan semut atau serangga saat berada di pohon cengkeh Syzygium aromaticum (Wirdateti 2003). Kukang jawa terlihat menangkap beberapa ekor serangga di pohon kasungka Gnetum cuspidatum Bl. di awal aktifitas malamnya. Di TNGGP kukang jawa dilaporkan menangkap dan memakan serangga saat berada di kaliandra Caliandra calothrysus (Pambudi 2008). N. Menagensis pernah
20 24 dijumpai beraktifitas di pohon pempening Lithocarpus benettii selama lebih kurang satu jam untuk beberapa kali menyambar sesuatu yang terbang yang diperkirakan sebagai serangga (Wirdateti 2005). Vegetasi Pakan Secara umum proporsi pakan kukang adalah tumbuhan (50% buah-buahan dan 10% getah, 40% lainnya dari sumber pakan hewan). N. coucang lebih menyukai sumber pakan berupa getah atau cairan tumbuhan (34,9%) dan bagian dari bunga (31,7%) daripada buah-buahan (22,5%) dan arthopoda. N. bengalensis menyukai getah atau cairan tumbuhan (94,34% di musim dingin dan 67,3% di musim panas) dan memakan serangga pada musim panas (5,07%). N. pygmaeus menyukai getah & cairan tumbuhan (63%) daripada serangga (33%) dan sumber pakan lainnya (4%) (Wiens 2002; Streicher 2004; Swapna 2008). N. coucang di Kabupaten Manjung Malaysia Barat sekurang-kurangnya menggunakan 27 spesies tumbuhan dari 15 famili sebagai sumber pakan, N. bengalensis di Tripura India 15 spesies dari 10 famili dan di Gibbon Wildllife Sanctuary Assam India 18 spesies dari 12 famili, dan N. pygmaeus empat spesies dari empat famili (Wiens 2002; Streicher 2004; Swapna 2008; Swapna et al. 2008; Das 2009). Infan N. coucang diketahui memakan sumber pakan tumbuhan pertamanya pada umur 4 minggu untuk nektar, 17 minggu untuk sari bunga, dan 19 minggu untuk getah (Wiens & Zitzmann 2003b). Inventarisasi vegetasi pakan N. menagensis baik berdasarkan pengamatan langsung maupun informasi dari penduduk sekitar memperlihatkan sedikitnya 33 spesies tumbuhan dari 21 famili di hutan lindung pegunungan Merratus Kalimantan Selatan dan sedikitnya 44 spesies dari 17 famili di hutan produksi rakyat Pasir Panjang Kalimantan Tengah (Wirdateti 2005; Dahrudin & Wirdateti 2008). Inventarisasi jenis pakan kukang jawa memperlihatkan sedikitnya satu spesies tumbuhan di talun Sumedang Selatan, 13 spesies dari tujuh famili di hutan wilayah Resort Sampora Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) bagian selatan, 61 spesies dari 24 famili di hutan lindung perkampungan Baduy Rangkasbitung Banten Selatan, serta sedikitnya dua spesies dari dua famili di
21 25 hutan Bodogol TNGGP (Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti et al. 2005; Pambudi 2008). Perjumpaan langsung terhadap aktifitas makan kukang jawa jarang sekali ditemukan. Beberapa peneliti melaporkan perjumpaan langsung terhadap aktifitas makan kukang di alam. Kukang jawa memakan nira dari aren (Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti et al. 2005) dan memakan semut dari serangga atau cairan dari kulit cengkeh Syzygium aromaticum (Wirdateti 2003). Kukang jawa juga memakan bunga atau nektar kaliandra Caliandra calothrysus dan memakan serangga di pohon tersebut, serta menggigit batang pasang kayang Quercus lineatea untuk menghisap getahnya (Pambudi 2008). Penggunaan Vegetasi dan Tinggi Posisi Tidur Kukang tidur di dahan atau lubang pohon di strata yang tinggi. Tempat tidur yang dipilih yaitu dahan, ranting, pelepah palem, ataupun liana yang memungkinkan mereka bersembunyi dengan aman. Selain bagian vegetasi tersebut kukang tidak pernah menggunakan lubang pohon atau tempat tidur lainnya (Wiens 2002). Pemilihan tempat tidur (sleeping site) N. coucang di Manjung Malaysia Barat adalah 73,7% pohon; 19,2% palem-paleman; 5,9% semak; 1,2% liana dengan tinggi di atas permukaan tanah 1,8-35 m. Setiap sepuluh hari N. coucang yang diamati Wiens (2002) menggunakan 7,4 vegetasi untuk tidur yang berbeda. Kisaran area tidur N. pygmaeus adalah 0,1-3,1 ha. Kukang pygmy cenderung memilih vegetasi untuk tidur yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Jarak antarvegetasi untuk tidur tersebut berkisar 97,2-289,6 m (Streicher 2004). Vegetasi untuk tidur yang digunakan kukang di Indonesia adalah jenis pohon dan epifit dari 10 famili (Tabel 4). Kompilasi data ini sebagian besar berdasarkan informasi penduduk. Kisaran posisi tidur kukang dari atas permukaan tanah adalah m.
22 26 Tabel 4 Vegetasi untuk tidur kukang di Indonesia N Nama Lokal Nama latin Famili Habitus Ketinggian Kukang (m)* c Nasi-nasi 6 Garcinia parvifolia Guttiferae Pohon - c Isol-isol 6 Syzygium alembaticum Myrtaceae Pohon - c Menti 6 Calophyllum sp. - Pohon - c Sage 6 Ormosia sumatrana - Pohon - c, j Kadaka 1, 4,6 Asplenium nidus Linn. Polypodiaceae Epifit - j Kasungka 2 Gnetum cuspidatum Bl. Gnetaceae Pohon 10 j Kondang 4 Ficus variegata Bl. Moraceae Pohon j Beunying 4 Ficus septica Burm. F Moraceae Pohon j Kiara koneng 4 Ficus annulata Bl. Moraceae Pohon j Hamerang 4 Ficus fulva Reinw. Moraceae Pohon j Bambu tali 1,7 Gigantochloa apus Kurz. Poaceae Pohon ** j Bambu surat 1 G. pseudoarundinaceae (Steud.) Widjaja Poaceae Pohon > 15 1 ** j Puspa 2,4 Schima walichii (DC) Korth Theaceae Pohon 10 2, m Slangai 7 Swintonia glauca AnnacardiaceaePohon - m Akar gejuar 4 Cnestis platantha Griff. Connaraceae Pohon - m Pempening 4 Lithocarpus bennettii Fagaceae Pohon - m (Miq.) Rehd Paring Bambusa sp. (1) Poacaea Pohon - manis 7 m Buluh 7 Bambusa sp. (2) Poacaea Pohon - Keterangan: N = Nycticebus; c = coucang, j = javanicus, m = menagensis * = dari permukaan tanah, ** = pengamatan langsung, - = tidak diketahui/tidak ada data 1 = Winarti (2003); 2 = Wirdateti (2003); 3 = Wirdateti (2005), 4 = Wirdateti et al. (2005); 6 = Wirdateti & Suparno (2006); 7 = Dahrudin & Wirdateti (2008) Kukang tidur menyendiri maupun berkelompok dengan kisaran 1-3 individu (Wiens 2002). N. coucang dewasa, induk dengan infan, dan pradewasa tidur menyendiri atau bertiga dengan individu dewasa atau pradewasa lainnya yang masih dalam kelompok spasial selama 3 dari 10 hari. Kelompok tidur kukang di Manjung Malaysia Barat ini selalu terdiri atas satu infan. Infan tidur memeluk pinggang induknya. Infan akan tidur terpisah tetapi masih bersebelahan dengan induk pada umur sekitar enam bulan (Wiens 2002f). Status Konservasi Kukang Jawa Sejak tahun 1931 Pemerintah Indonesia melindungi satwa liar Indonesia termasuk kukang dalam Undang-Undang Perlindungan Binatang Liar. Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal
23 27 14 Pebruari 1973, no. 66/Kpts/Um/2/1973, dan kemudian diperkuat oleh Peraturan Perundang-undangan no. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Kukang yang disebutkan dalam undang-undang dan peraturan tersebut adalah N. coucang namun mengingat waktu pembuatan aturan hukum tersebut sebelum adanya pemisahan spesies kukang menjadi lima, maka perlindungan tersebut juga ditujukan terhadap seluruh jenis kukang di Indonesia. Kukang jawa termasuk dalam 25 satwa primata yang paling terancam selama kurun waktu (Mittermeier et al. 2009). Konvensi CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora dan Fauna) XIV di Den Haag Belanda pada tanggal 3-15 Juni 2007 meningkatkan status kukang jawa dari kategori Apendiks II menjadi Apendiks I (UNEP-WCMC 2007). Sebelum terdaftar dalam Apendiks I, kukang jawa telah dilindungi oleh undang-undang dan peraturan perlindungan satwa Indonesia. Peningkatan kategori Apendiks I semakin menguatkan perlindungan kukang jawa karena dengan termasuk dalam Apendiks I berarti kukang jawa diakui sebagai satwa terancam punah dan perdagangan Internasional untuk tujuan komersil tidak diperbolehkan sama sekali. Status konservasi kukang jawa menurut IUCN (International Union for the Conservation of Nature dan Natural Resources) (Nekaris & Shekelle 2008) telah berubah semakin terancam. Pada awalnya kukang jawa termasuk dalam status low risk atau kurang terancam. Pada tahun 2000 statusnya meningkat menjadi data defiecient atau kekurangan data, dan pada tahun 2008 menjadi endangered atau hampir punah. Kriteria kukang jawa menurut Redlist Categories and Crietria adalah En A2cd (Nekaris & Shekelle 2008). IUCN mengkategorikan kukang jawa sebagai En A2cd karena takson ini beresiko menghadapi tingkat kepunahan di alam yang sangat tinggi (Nekaris & Shekelle 2008). Kriteria A artinya penurunan jumlah populasi yang tajam. Kriteria 2 artinya penurunan populasi diperkirakan sedikitnya 50% selama lebih dari 10 tahun atau 3 generasi. Kriteria c artinya penurunan populasi terjadi akibat penurunan daerah yang ditempati, penurunan jumlah perjumpaan, dan atau penurunan kualitas habitat. Kriteria d artinya penurunan populasi terjadi akibat adanya potensi eksploitasi ataupun eksploitasi yang sebenarnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA. Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang penyebarannya di Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Osman-Hill 1953; Nekaris;
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi Kukang Sumatera (Nycticebus coucang Boddaert, 1785)
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Kukang Sumatera (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) Kukang (Nycticebus sp.) di dunia digolongkan dalam lima spesies, yaitu N. bengalensis, N. pygmaeus, N. coucang, N.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara
Lebih terperinciHABITAT, POPULASI, DAN SEBARAN KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) DI TALUN TASIKMALAYA DAN CIAMIS, JAWA BARAT INDAH WINARTI
HABITAT, POPULASI, DAN SEBARAN KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) DI TALUN TASIKMALAYA DAN CIAMIS, JAWA BARAT INDAH WINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang
Lebih terperinciSTUDI POPULASI DAN DISTRIBUSI KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus, E. Geoffroy, 1812) DI TALUN DESA SINDULANG KECAMATAN CIMANGGUNG SUMEDANG JAWA BARAT
STUDI POPULASI DAN DISTRIBUSI KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus, E. Geoffroy, 1812) DI TALUN DESA SINDULANG KECAMATAN CIMANGGUNG SUMEDANG JAWA BARAT Ana Widiana, Samsul Sulaeman, Ida Kinasih Jurusan Biologi,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sriyanto dan Haryono (1997), satwa liar membutuhkan makan, air dan
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Habitat Menurut Sriyanto dan Haryono (1997), satwa liar membutuhkan makan, air dan tempat berlindung dari teriknya panas matahari dan pemangsa serta tempat untuk bersarang, beristirahat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Kukang jawa (Nycticebus javanicus) menurut Napier dan Napier (1967 & 1985) dan Rowe (1996) dalam Winarti (2011) mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di
6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,
Lebih terperinciBUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU
BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali
Lebih terperinci2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian
2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk
Lebih terperinciIV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota
IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis
Lebih terperinciPEMBAHASAN. Habitat Kukang Jawa
PEMBAHASAN Habitat Kukang Jawa Spesifikasi Habitat Kukang Jawa 1. Jumlah jenis vegetasi Rerata jumlah spesies vegetasi pohon di talun habitat kukang jawa adalah 30 spesies dengan rentang 21-45 spesies.
Lebih terperinciTAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.
TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga
Lebih terperinciPERILAKU HARIAN KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) JAWA BARAT RISMA ANGELIZA
PERILAKU HARIAN KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) JAWA BARAT RISMA ANGELIZA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi lutung Jawa Klasifikasi lutung Jawa menurut Groves (2001) dalam Febriyanti (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom Class Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus : Animalia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812)
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) merupakan Primata kecil nokturnal yang memiliki status konservasi yang tak pasti dan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang
8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi
Lebih terperinciII.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun
II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan
Lebih terperinciDAERAH JELAJAH DAN PENGGUNAAN RUANG KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK, JAWA BARAT EKA ARISMAYANTI
i DAERAH JELAJAH DAN PENGGUNAAN RUANG KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK, JAWA BARAT EKA ARISMAYANTI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM INSTITUT
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta
Lebih terperinciDINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
UPAYA PELESTARIAN MENTILIN (TARSIUS BANCANUS) SEBAGAI SALAH SATU SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh HENDRI UTAMA.SH NIP. 19800330 199903 1 003 POLISI
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
Lebih terperinciTugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali
Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung
Lebih terperinciLutung. (Trachypithecus auratus cristatus)
Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat
Lebih terperinciSMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3
SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan
Lebih terperinciKondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk
122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai
Lebih terperinciMETODOLOGI Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat
METODOLOGI Waktu dan Tempat Lokasi penelitian meliputi empat desa di Kabupaten Tasikmalaya yaitu Desa Sukamaju, Raksajaya, Kawungsari, dan Sarimanggu dan satu desa di Kabupaten Ciamis yaitu desa Sukakerta.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. benua dan dua samudera mendorong terciptanya kekayaan alam yang luar biasa
1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih kurang 17.000 pulau yang tersebar di sepanjang khatulistiwa. Posisi geografis yang terletak di antara dua benua dan
Lebih terperinci1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Alikodra Pengelolaan Satwa Liar. Dirjen Dikti dan PAU IPB. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Dirjen Dikti dan PAU IPB. Bogor. Barrett, E. 1981. The present distribution and status of the slow loris in Peninsular Malaysia. Malays Appl.Biol.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut
Lebih terperinciBurung Kakaktua. Kakatua
Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Secara morofologis orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat serupa, tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya (Napier dan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total
15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas
Lebih terperincikeadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh
Lebih terperinciMENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono
MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM Edy Hendras Wahyono Penerbitan ini didukung oleh : 2 MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI ACEH Naskah oleh : Edy Hendras Wahyono Illustrasi : Ishak
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya
Lebih terperinciPENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran besar dan memiliki warna sayap yang menarik sehingga sering diambil dari alam untuk dijadikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keanekaragaman hayati di suatu negara memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Keanekaragaman hayati merupakan sumber penghidupan dan kelangsungan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi Kukang Sumatera (Nycticebus coucang)
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) Kukang merupakan primata prosimian dengan sub suku promisii yang artinya primata primitif bila dibandingkan dengan jenis primata
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem
6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan lainnya dipisahkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies burung dunia. Tiga ratus delapan puluh satu spesies di antaranya merupakan endemik Indonesia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung
7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Taksonomi dan Deskripsi Burung Walet Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia diantaranya Burung Walet Sarang Putih, Burung Walet Sarang Hitam, Burung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tumbuhan Herba Herba adalah semua tumbuhan yang tingginya sampai dua meter, kecuali permudaan pohon atau seedling, sapling dan tumbuhan tingkat rendah biasanya banyak ditemukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Orangutan Sumatera Orangutan berasal dari bahasa melayu yaitu orang hutan. Orangutan Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan satu-satunya kera
Lebih terperinciKARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN
KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan pengamatan, kukang Jawa mulai terlihat aktif pada
24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Berdasarkan pengamatan, kukang Jawa mulai terlihat aktif pada sekitar pukul 18.00 WIB dan aktivitas berhenti pada sekitar pukul 05.00 WIB. Waktu terawal dimulainya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan
I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Kokah Menurut jumlah dan jenis makanannya, primata digolongkan pada dua tipe, yaitu frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan daun. Seperti
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),
Lebih terperinci- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SHARIF C. SUTARDJO
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/KEPMEN-KP/2013 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN
Lebih terperinciBAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin
PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang
Lebih terperinci