PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN UTARA PAPUA LA ELSON

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN UTARA PAPUA LA ELSON"

Transkripsi

1 PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN UTARA PAPUA LA ELSON SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, 11 Agustus 2014 La Elson NIM C

4 RINGKASAN LA ELSON. Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua. Dibimbing oleh HENRY MUNANDAR MANIK dan UDREKH. Teknologi akustik multibeam echosounder sangat baik digunakan untuk mendeteksi dasar laut. Prinsip kerja dari teknologi ini adalah pola pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam akan mendapatkan satu titik kedalaman dan apabila titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan akan membentuk profil topografi dasar laut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua menggunakan teknologi akustik multibeam echosounder melalui pendekatan model matematika dan bentuk topografi permukaan dasar laut. Data batimetri diperoleh dari hasil survei Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) yang dilaksanakan pada tahun di perairan utara Papua pada titik koordinat 2 LS 10 LU dan BT. Proses pengolahan dan analisis data meliputi koreksi data batimetri dan penentuan kaki lereng melalui pendekatan model matematika dan bentuk topografi dasar laut. Koreksi data batimetri yang diperoleh sudah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh International Hidrographic Organization (IHO) Nilai kesalahan pengkuran kedalaman perairan maksimal 5,265 meter dengan batas tolerensi kesalahan ± 54,270 meter. Batas tolerensi yang lebih besar dari nilai kesalahan pengukuran kedalaman perairan menunjukan bahwa teknologi akustik multibeam echosounder memiliki akurasi yang tinggi dalam mendeteksi dasar perairan. Melalui pendekatan model matematika diperoleh nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri yang merupakan daerah perkiraan kaki lereng. Penentuan daerah perkiraan kaki lereng Eauripik rise dilakukan dengan menggambungkan antara hasil perhitungan perubahan gradien maksimum dengan bentuk topografi permukaan dasar laut. Berdasarkan nilai perubahan gradien maksimum dan bentuk topografi permukaan dasar laut ditemukan informasi keberadaan kaki lereng Eauripik rise pada titik koordinat , ,85 LU dan , ,47 BT di kedalaman antara 3.506,30 meter sampai 4.298,20 meter dengan jarak antara 116,16 sampai 347,19 kilometer. Posisi kaki lereng tersebut masing-masing terbagi dalam tiga lokasi di bagian barat dan timur puncak Eauripik rise perairan utara Papua. Kata kunci: batimetri, Eauripik rise, kaki lereng, multibeam echosounder

5 SUMMARY LA ELSON. Measurement of Foot of Slope the Eauripik Rise Using Multibeam Echosounder in Northern Papua Waters. Supervised by HENRY MUNANDAR MANIK and UDREKH. Acoustic technology of multibeam echosounder can be used for detection of the seabed. The principle of multibeam is transmission of sound pulse with beam pattern wider and transverse to the hull. Each beam will receive one point of each depth for the whole depth data and connected to form a profile of the seabed topography. The purpose of the study was to determine the position of the foot of slope the Eauripik rise in the northern Papua waters using Acoustic technology of multibeam echosounder through the mathematical model and form of seabed topography. Bathymetry data were obtained from the survey Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT) and the Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) in in the northern Papua waters within the coordinates of 2 S 10 N and E. Data processing and analysies included bathymetry data correction and determination of the foot the Eauripik rise was computed using mathematical model and seabed topography form. Corection of bathymetry data was conducted using International Hydrographic Organization (IHO) The measurements error of value maximum waters depth of 5,265 meters with limit error ± 54,270 meters. Limit error greater than the value of the waters depth measurement indicates that the acoustic technology of multibeam echosounder has high accuracy in detection the seabed for the determination of the foot of the Eauripik rise. Through the mathematical model approach was obtained maximum gradient of change value in each bathymetric profiles which is foot of the Eauripik rise area estimates. Determination of the foot of the Eauripik rise are estimates was combined between seabed topography with the calculated maximum gradient of change. Based on maximum gradient of change value and form of seabed topography, we found the foot of slope the Eauripik rise located at coordinates 0 00' 01,53" 7 59' 44,85" N and ' 23,86" '00,47 "E at depth ranging from 3.506,30 meter to 4.298,20 meter at a distance of between 116,16 kilometer to 347,19 kilometer. The position of the foot of slopes each divided in three locations in the west and east of peaks Eauripik rise of northern Papua waters. Keywords: bathymetry, Eauripik rise, foot of slope, multibeam echosounder

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7

8

9 PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN UTARA PAPUA LA ELSON Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc

11

12 PRAKATA Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister sains pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan data hasil survei batimetri yang dilaksanakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) pada bulan Desember 1998 sampai bulan Juli 2012 di perairan utara Papua. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan di Laboratorium Geosistem Teknologi BPPT Jakarta, dan Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Desember 2013 sampai bulan April Judul penelitian ini adalah Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Henry M Manik, MT dan Dr Ir Udrekh, MSc sebagai komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingannya selama proses penelitian, pengolahan data dan penulisan Tesis; Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc sebagai penguji luar komisi pada ujian Tesis atas masukan dan sarannya dalam penulisan Tesis ini; Dr Ir Bisman Nababan, MSc sebagai komisi pendidikan Program Studi Teknologi Kelautan pada ujian Tesis atas masukan dan sarannya dalam penulisan Tesis ini; kepala BPPT yang telah memberikan izin penelitian menggunakan data hasil survei batimetri di perairan utara Papua; Bakrie Centre Foundation yang telah memberikan bantuan beasiswa pendidikan dan penelitian melalui program Bakrie Graduate Fellowship tahun 2013/2014; Yayasan Toyota dan Astra Indonesia yang telah memberikan bantuan dana penelitian tahun 2014; kedua orang tua, keluarga, istri dan anak-anak saya yang selalu memberikan motivasi, semangat dan doa selama menempuh pendidikan magister di IPB; serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini. Semoga karya ilmiah ini tidak semata-mata menjadi syarat kelulusan dari program magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB, akan tetapi penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Penulis mengakui bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan sehingga kedepan bisa menjadi lebih baik. Bogor, 11 Agustus 2014 La Elson

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 Ruang Lingkup Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 Topografi Dasar Laut 4 Kaki Lereng (Foot of Slope) 5 Multibeam Echosounder 6 3 METODE PENELITIAN 8 Waktu dan Tempat 8 Bahan dan Alat 9 Akuisisi Data Batimetri 9 Pengolahan Data Batimetri 10 Koreksi Data Batimetri 11 Penentuan Kaki Lereng Eauripik Rise 13 Pemetaan Kaki Lereng Eauripik Rise 15 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15 Kualitas Data Batimetri 15 Posisi Kaki Lereng Eauripik Rise 18 Profil batimetri 18 Perubahan gradien maksimum dan topografi dasar laut 19 Peta Posisi Kaki Lereng Eauripik Rise 35 5 KESIMPULAN DAN SARAN 36 Kesimpulan 36 Saran 36 DAFTAR PUSTAKA 37 LAMPIRAN 39 RIWAYAT HIDUP 45 x x xi

14 DAFTAR TABEL 1 Standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan 12 2 Kualitas data batimetri hasil pengukuran MBES di perairan utara Papua 18 3 Kualitas data batimetri hasil pengukuran MBES dan SRTM di perairan utara Papua 17 4 Posisi horizontal dan kedalaman profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua 18 5 Nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri 20 6 Posisi horizontal daerah perkiraan kaki lereng Eauripik rise masing-masing profil batimetri di perairan utara Papua 35 DAFTAR GAMBAR 1 Bentuk topografi dasar laut 5 2 Pencarian dasar lereng kontinen 6 3 Visualisasi bentuk sapuan multibeam echosounder 8 4 Lokasi survei batimetri di perairan utara Papua 9 5 Diagram alir akuisisi dan pengolahan data batimetri 10 6 Diagram alir proses pengolahan data batimetri menggunakan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris Posisi profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua 19 8 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil satu 21 9 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil satu Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil dua Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil dua Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil tiga Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil tiga Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil empat Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil empat Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil lima Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil lima Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil enam Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil enam Peta posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua 36

15 DAFTAR LAMPIRAN 1 Syntax proses smoothing data kedalaman masing-masing profil batimetri menggunakan perangkat lunak matlab 39 2 Syntax proses perhitungan perubahan gradien maksimum menggunakan perangkat lunak matlab 39 3 Syntax visualisasi dua dimensi perubahan gradien maksimum menggunakan perangkat lunak matlab 40 4 Syntax visualisasi data batimetri dua dimensi dan tiga dimensi menggunakan perangkat lunak matlab 40 5 Spesifikasi kapal yang digunakan pada saat survei batimetri 42 6 Spesifikasi sistem akustik multibeam echosounder yang digunakan pada saat survei batimetri 44

16

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki peluang untuk melakukan perluasan batas wilayah perairan lebih dari 200 Nautical Mile (NM) dan kurang dari 350 NM dengan mempertimbangkan beberapa kriteria yang telah ditetapkan oleh hukum laut internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Hasil studi sementara berdasarkan data geologi, seismik, grafiti dan batimetri menunjukan bahwa terdapat tiga lokasi di Indonesia mempunyai prospek untuk melaksanakan submisi landas kontinen di luar 200 NM yaitu, di perairan barat Aceh, selatan Sumbawa dan perairan utara Papua (Bakosurtanal 2010). Perluasan batas wilayah di perairan barat Aceh telah berhasil dilakukan dan mendapat pengakuan dari UNCLOS pada tanggal 28 Maret 2011 (BIG 2013). Perluasan wilayah perairan tersebut diusulkan berdasarkan ketebalan sedimen menggunakan formula Gardiner. Klaim ini di dukung oleh kajian ilmiah menggunakan data seismik refleksi kanal ganda dengan kualitas yang lebih baik. Perairan selatan Sumbawa dan perairan utara Papua saat ini masih dalam proses kajian teknik perluasan batas wilayah yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama instansi terkait seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi Kelautan (P3GL), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Dinas Hidro-oseanografi Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut (Dishidros TNI-AL). Perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan batas wilayah laut atas kalim negara lain dalam sidang internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah banyak dilakukan termasuk wilayah perairan yang memiliki potensi untuk dilakukan perluasan batas wilayah lebih dari 200 NM. Artikel 76 UNCLOS 1982 membuka peluang untuk melakukan perluasan wilayah berdasarkan struktur tinggian di dasar laut. Tinggian yang dimaksud tersebut dapat diartikan sebagai suatu tinggian yang memanjang dengan topografi yang relatif tidak beraturan atau halus dengan lereng yang tajam (IHO 1993). Paragraf 6 artikel 76 UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa tinggian bawah laut yang dimaksud adalah tinggian yang serupa dengan tinggian tengah samudera (mid ocean ridges), dimana tinggian tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari rangkaian pelamparan samudera yang memanjang hingga sekitar kilometer. Berdasarkan hal tersebut di sekitar wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dapat diamati adanya penampakan batimetri yang diketahui sebagai manifestasi hasil pelamparan samudera namun diduga tidak aktif (P3GL 2013). Salah satu aspek praktis yang dapat digunakan untuk melakukan perluasan batas wilayah berdasarkan paragraf 6 artikel 76 UNCLOS 1982 adalah menggunakan titik tertinggi dan kaki lereng dari tinggian bawah laut sebagai titik pangkal yang merupakan representasi dari perubahan yang tercuram dari lereng itu sendiri (BIG 2013). Berdasarkan beberapa hal tersebut penerapan paragraf 6 artikel 76 UNCLOS 1982 memungkinkan untuk malakukan perluasan batas wilayah antara 200 NM dan 350 NM di Eauripik rise perairan utara Papua. Wilayah Eauripik rise dipilih karena berdasarkan kajian awal yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial

18 2 menunjukan adanya peluang Indonesia untuk melakukan perluasan batas wilayah menggunakan klausul tinggian samudera (BIG 2013). Kajian awal yang dilakukan di wilayah Eauripik rise perairan utara Papua merupakan hasil kesepakatan bersama dalam sidang internasional di PBB yang dihadiri oleh delegasi Indonesia, Papua New Guinea, Mikronesia dan Palua. Hasil kesepakatan sidang disetujui bahwa untuk melakukan submisi kepada UNCLOS dilakukan secara bersama berdasarkan kajian teknik secara ilmiah dari masing-masing negara yang bersangkutan. Namun, perkembangan terkini menunjukkan bahwa negara tetangga Mikronesia dan Papua New Guinea telah dengan sendiri-sendiri mengajukan klaim perluasan batas wilayah perairan kepada UNCLOS (BIG 2013). Perluasan wilayah yang dilakukan oleh negara Mikronesia dan Papua New Guine di perairan utara Papua diusulkan berdasarkan titik kaki lereng dari Eauripik rise dan Mussau ridge menggunakan data batimetri dari Suttle Radar Topography Mission (FSM 2013). Kaki lereng adalah tempat perubahan gradien maksimum atau tempat pertemuan antara material asli dan endapannya yang terletak pada bagian permukaan lereng terjauh atau bagian terdalam atau kaki dekat cekungan di dasar laut (Djunarsjah 2004). Posisi kaki lereng dapat diketahui melalui informasi tentang karakteristik batimetri atau topografi dasar laut suatu perairan (Poerbandono dan Djunarsjah 2005). Informasi batimetri tersebut dapat diperoleh melalui teknik deteksi atau pengukuran dengan menggunakan teknologi akustik bawah air. Salah satu jenis teknologi untuk tujuan tersebut adalah multibeam echosounder. Teknologi ini mampu melakukan pemeruman (sounding) di dasar laut dengan akurasi tinggi dan cakupan yang luas (Anderson et al. 2008). Multibeam echosounder menggunakan prinsip yang sama dengan single beam echosounder namun jumlah beam yang dipancarkan adalah lebih dari satu pancaran. Pola pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal, yaitu setiap beam akan mendapatkan satu titik kedalaman dan apabila titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan akan membentuk profil topografi dasar laut (Ona et al. 2009). Secara kontinyu multibeam mengirimkan pulsa suara dalam jumlah yang banyak ke dasar perairan, sehingga hal ini memungkinkan untuk dapat melakukan pemetaan dasar laut secara luas (Korneliussen dan Ona 2002). Teknologi akustik multibeam echosounder memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan teknologi sebelumnya, antara lain sistem ini dapat mengakses daerah yang sangat luas dengan resolusi tinggi, sehingga menjadikan teknologi ini sangat banyak digunakan dalam kegiatan pemetaan alur pelayaran, penelitian dan pemetaan geologi dasar laut, peletakan pipa minyak dan gas bumi, pencarian kapal tenggelam, pencarian objek wisata dasar laut dan penentuan gunung api bawah laut (Djunarsjah 2005). Perairan utara Papua memiliki potensi perluasan batas wilayah lebih dari 200 NM dengan luas km 2 (Bakosurtanal 2010). Salah satu permasalahan penting untuk menetapkan penambahan batas wilayah di perairan utara Papua adalah belum adanya informasi mengenai posisi kaki lereng Eauripik rise yang bisa dijadikan sebagai titik acuan pengukuran penambahan batas wilayah perairan dari data batimetri yang memiliki tingkat akurasi yang lebih baik. Berdasarkan hal tersebut penelitian mengenai pengukuran kaki lereng Eauripik rise dengan multibeam echosounder di perairan utara Papua menjadi sangat penting karena data batimetri yang diperoleh memiliki akurasi yang lebih baik.

19 3 Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan mengenai informasi keberadaan posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua sebagai salah satu titik acuan perluasan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM dan kurang dari 350 NM, maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam penelitian ini: [1] teknik apa yang bisa digunakan dalam melakukan deteksi atau pengukuran posisi kaki lereng Earipik rise di perairan utara Papua; [2] bagaimana cara memberikan informasi kepada pemerintah Indonesia, khususnya di perairan utara Pupua mengenai lokasi atau posisi keberadaan kaki lereng Eauripik rise dari data batimetri yang memiliki tingkat akurasi yang lebih baik, hubungannya dengan perluasan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua menggunakan teknologi akustik multibeam echosounder melalui pendekatan model matematika dan bentuk topografi permukaan dasar laut. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dari aspek teknis secara ilmiah dalam perluasan batas wilayah perairan suatu negara kepulauan dan memberikan informasi mengenai keberadaan posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua sebagai acuan dalam penentuan potensi penambahan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM dengan negara tetangga seperti Papua New Guinea, Mikronesia dan Palau. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan pada aspek batimetri untuk penentuan kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua. Aspek batimetri yang dimaksud adalah kualitas data kedalaman, karakteristik topografi permukaan dasar laut dan posisi kaki lereng. Kualitas data kedalaman dilakukan dengan menghitung nilai penyimpangan atau kesalahan pengukuran pada titik perpotongan jalur survei arah melintang dan membujur, karakteristik topografi permukaan dasar laut diketahui berdasarkan data batimetri hasil koreksi dan smoothing menggunakan perangkat lunak Matlab 10, penentuan posisi kaki lereng dilakukan melalui pendekatan model matematika dan bentuk topografi permukaan dasar laut. Data dan informasi berkaitan dengan aspek tersebut dapat diperoleh melalui survei akustik kelautan dan peta laut sebagai validasi. Survei akustik kelautan dilakukan dengan kapal penelitian Mirai milik Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) dan peta laut diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

20 4 2 TINJAUAN PUSTAKA Topografi Dasar Laut Dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya merupakan kelanjutan alamiah dari daratan dan ada hubungannya dengan sumberdaya alam yang terkandung di dalam daratan tersebut (Poerbandono 1999). Sumberdaya alam tersebut tidak hanya terbatas pada dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam wilayah teritorial suatu negara kepulauan tetapi juga terletak di luar wilayah teritorialnya (Parthiana 1990). Perpanjangan massa daratan yang berada di bawah laut secara berurutan dari bagian dangkal ke bagian yang lebih dalam disebut tepian kontinen (Poerbandono 1999). Tepian kontinen terdiri dari landas kontinen (continental shelf), lereng kontinen (continental slope), dan punggungan kontienen (continental rise). Landas kontinen merupakan bagian dari lempeng kontinen yang dibentuk oleh material alamiah yang terdiri dari batuan dasar (basement rock) dan endapan batuan sedimen yang menumpang di atasnya. Batuan dasar pada lempeng kontinen umumnya berupa batuan beku yang mempunyai berat jenis lebih ringan daripada berat jenis batuan dasar lempeng lautan (oceanic plate) dan memiliki karakteristik topografi permukaan dasar laut lebih datar dengan kemiringan ratarata 0,1º serta kedalaman 130 meter sampai 200 meter. Tepian pada tipe Pasifik umumnya sempit dan bebatuan karena pembentukannya dipengaruhi oleh proses erosi. Lereng kontinen dimulai dari batas kontinen yang merupakan bagian terluar dari landas kontinen dan berakhir pada kedalaman meter sampai meter yang dicirikan dengan adanya lereng yang curam. Kemiringan rata-rata pada lereng kontinen berkisar pada 3º sampai 6º. Lereng kontinen pada tepian Pasifik dicirikan dengan lereng yang terjal dan menerus hingga mencapai laut dalam. Punggungan kontinen memiliki karakteristik kemiringan rata-rata 0.1º sampai 1º ke arah dasar laut yang lebih dalam dengan kedalaman antara meter sampai meter. Menurut Hutabarat dan Evans (1985) secara geologi bagian-bagian topografi dasar laut meliputi: 1) Paparan (shelf), yaitu zona laut dangkal yang meluas dari batas bagian yang selalu terendam air sampai pada kedalaman sekitar 120 meter berlanjut ke bagian-bagian yang menurun curam searah laut dalam; 2) Lereng (slope), yaitu bagian dasar laut yang curam mulai dari batas luar paparan sampai ke bagian air yang lebih dalam; 3) Tanjakan (rise), yaitu punggungan yang lebar dan memanjang, lerengnya lebih landai dari pematang gunung; 4) Cekungan (basin), yaitu bentuk depresi yang besar menyerupai bentuk bulat atau oval; 5) Pematang gunung (ridges), yaitu bentuk punggungan yang memanjang dan puncaknya sempit dengan lereng yang curam; 6) Gunung laut (seamont), yaitu gunung yang menjulang dari dasar laut ke arah permukaan dan terpencil; 7) Parit (trench), yaitu bentuk depresi yang sempit dan memanjang dengan lereng yang curam;

21 8) Busur (arc), yaitu pematang gunung yang membentuk kurva dan beberapa bagian ada yang muncul ke atas permukaan air laut; dan 9) Palung (rough), yaitu depresi yang memanjang dan lebar dengan bentuk lereng yang lebih curam dan dalam. Penggambaran bentuk morfologi dasar perairan dapat dilakukan dengan membuat peta batimetri menggunakan garis kontur, yaitu garis khayal untuk menggambarkan semua titik yang mempunyai ketinggian yang sama di atas atau di bawah permukaan datum tertentu (Porbandono 1999). 5 Gambar 1 Bentuk topografi dasar laut (Hutabarat dan Evans 1985) Kaki Lereng (Foot of Slope) Kaki lereng (foot of slope) merupakan sebuah tempat perubahan atau tempat pertemuan antara material asli dan endapanya (akumulasi material). Endapan tersebut bermula dari tempat yang stabil dengan gradien yang kecil atau mendekati yang mendatar (Djunarsjah 2004). Keberadaan endapan pada tempat yang stabil menunjukan bahwa kaki lereng terdapat pada permukaan lereng terjauh atau bagian terdalam atau kaki dekat cekungan di dasar laut. Menurut Djunarsjah (2004) kaki lereng memilki karakteristik sebagai berikut: 1) Memiliki garis lipatan antara dua lereng atau permukaan yang berbeda; 2) Memiliki garis penghubung antar dua struktur kerak yang berbeda; 3) Permukaan atas mewakili struktur asli kerak tepian kontinen; 4) Permukaan bawah mewakili struktur endapan kerak tepian kontinen yang sesuai; 5) Permukaan tertinggi memiliki gradien yang lebih besar dari permukaan yang lebih rendah; 6) Permukaan bawah atau endapan terletak di dekat cekungan dasar laut; 7) Jika terdapat beberapa lipatan, maka lipatan yang terdalam memiliki kemungkinan terbesar sebagai kaki lereng; dan 8) Memiliki perubahan gradien lereng. Keberadaan kaki lereng dapat dilihat dari perubahan gradien lereng, apabila perubahan gradien lebih besar maka keberadaan kaki lereng tersebut sangat jelas kelihatan. Namun, apabila perubahan gardien lebih kecil, maka lokasi yang tepat di kaki lereng tidak jelas terlihat, sehingga perlu dilakukan pencarian dari dua arah, yaitu ke arah kontinen atau ke arah samudera seperti ditunjukan

22 6 pada Gambar 2. Aturan umum yang berlaku untuk menentukan keberadaan kaki lereng adalah melalui perhitungan perubahan gradien maksimum pada dasar lereng (CLCS 1999). Namun apabila ada bukti yang bertentangan dengan hal tersebut, maka kaki lereng ditentukan tidak berdasarkan aturan umum, sehingga untuk memastikan letak kaki lereng perlu dilakukan identifikasi terhadap wilayah dasar lereng berdasarkan bukti-bukti geologi dan geofisika. Menurut Pratomo (2007) terdapat dua tahapan untuk menentukan keberadaan kaki lereng, yaitu identifikasi wilayah dasar lereng dan penentuan lokasi titik perubahan gardien maksimum di wilayah dasar lereng. Identifikasi terhadap dasar lereng dapat dilakukan dengan melihat pada bukti morfologi dasar laut, dan bukti geologi dan geofisika. Hal tersebut dapat diketahui melalui survei seismik kelautan karena pemanfaatan teknologi seismik dapat mengetahui struktur dan karakteristik lapisan dasar laut dan sedimen yang terkandung di dalamnya (P3Gl 2013). Penentuan lokasi titik perubahan gradien maksimum di wilayah dasar lereng dapat diketahui melalui survei batimetri menggunakan teknologi akustik bawah air seperti multibeam echosounder. Gambar 2 Pencarian dasar lereng (Djunarsjah 2004) Multibeam Echosounder Multibeam echosounder merupakan salah satu teknologi akustik bawah air yang banyak digunakan dalam kegiatan survei batimetri. Hal ini disebabkan karena kemampuan teknologi tersebut dalam melakukan pemeruman dasar laut dengan akurasi tinggi dan cakupan yang luas (Anderson et al. 2008). Sistem akustik multibeam echosounder (MBES) mengirimkan pulsa suara dalam jumlah yang banyak ke dasar perairan, sehingga memungkinkan untuk dapat dilakukan pemetaan dasar laut secara luas. Teknologi akustik MBES merupakan instrumen yang menggunakan sejumlah beam yang dirangkai dengan frekuensi yang sama. Pemancar dan penerima beam disusun dengan spasi tertentu, sehingga memungkinkan pancaran gelombang akustik memberikan kerapatan sebaik mungkin (CSI 2003). Setiap transducer pengirim memancarkan sinyal pulsa akustik dengan karakteristik atau kode tertentu, agar sinyal yang dipantulkan dari dasar perairan hanya diterima oleh masing-masing transducer penerima seperti terlihat pada Gambar 3. Komponen utama MBES yaitu, transmiter berfungsi menghasilkan pulsa yang akan dipancarkan. Suatu kotak perintah dari kotak pemicu pulsa pada recorder akan memberitahukan kapan pembentuk pulsa bekerja. Pulsa dibangkitkan oleh oscillator kemudian diperkuat oleh power amplifier sebelum pulsa tersebut disalurkan ke transducer. Transducer berfungsi

23 mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika akan dipancarkan ke medium dan mengubah energi suara menjadi energi listrik ketika echo diterima dari suatu target. Selain itu fungsi lain dari transducer adalah memusatkan energi suara yang akan dipantulkan sebagai beam. Receiver berfungsi menerima pulsa dari objek yang ditampilkan pada display atau recorder yang berfungsi sebagai pencatat hasil echo. Sinyal listrik lemah yang dihasilkan oleh tranducer setelah echo diterima harus diperkuat beberapa ribu kali sebelum disalurkan ke recorder. Selama penjalaran beam menerima echo dari target, maka target yang terdeteksi oleh transducer terletak dari pusat beam suara dan echo dari target akan dikembalikan dan diterima oleh transducer pada waktu yang bersamaan. Recorder berfungsi untuk merekam atau menampilkan sinyal echo dan juga berperan sebagi pengatur kerja transmiter dan mengukur waktu antara pemancaran pulsa suara dan penerimaan echo atau recorder memberikan sinyal kepada transmiter untuk menghasilkan pulsa pada saat yang sama recorder juga mengirimkan sinyal ke receiver untuk menurunkan sensitifitasnya (Lurton 2002). Teknologi akustik MBES menggunakan prinsip yang sama dengan single beam echosounder namun jumlah beam yang dipancarkan adalah lebih dari satu pancaran. Pola pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam akan mendapatkan satu titik kedalaman dan apabila titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan akan membentuk profil dasar laut (Ona et al. 2009). Kapal yang bergerak maju, hasil sapuan MBES mengasilkan suatu luasan yang menggambarkan permukaan dasar laut (Moustier 1996). Data kedalaman yang akurat dari hasil pengukuran dikoreksi terhadap kesalahan dari sumber-sumber kesalahan yang mungkin terjadi, seperti kecepatan kapal, sistem pengukuran, offset kapal, dan posisi kapal (Medwin dan Clay 1998). Multibeam echosounder merupakan alat perum gema yang terdiri atas puluhan hingga ratusan transducer dan hydrofon yang terdapat dalam satu tempat dan membentuk sudut pancar seperti kipas dengan menggunakan frekuensi yang sama. Deteksi arah datangnya sinyal yang dipantulkan oleh dasar laut, transducer pada MBES menggunakan tiga metode pendeteksian, yaitu deteksi amplitudo, fase, dan inferometrik (Lurton 2002). Umumnya MBES menggunakan teknik inferometrik untuk mendeteksi arah datangnya gelombang pantul sebagai fungsi dari waktu. Pendeteksian inferometrik digunakan untuk menentukan sudut sinyal datang, dengan menggunakan akumulasi sinyal yang diterima pada dua array yang terpisah, sehingga suatu pola interferensi akan terbentuk. Pola ini menunjukkan hubungan fase tiap sinyal yang diterima. Berdasarkan hubungan yang ada, suatu arah akan dapat ditentukan. Informasi ini jika dikombinasikan dengan jarak maka akan menghasilkan data kedalaman (Ona et al. 2009). Prinsip pengukuran MBES yang digunakan adalah pengukuran selisih fase pulsa. Teknik pengukuran yang digunakan selisih fase pulsa ini merupakan fungsi dari selisih pulsa waktu pemancaran dan penerimaan pulsa akustik serta sudut datang dari sinyal tiap-tiap transducer, sehingga kedalaman merupakan fungsi dari selang waktu. Selisih pulsa dalam MBES artinya sebagai fungsi dari selisih fase waktu pemancaran dan waktu penerimaan. Perhitungan waktu tempuh dan arah sudut pancaran setiap stave ditentukan dari pengukuran selisih fase pulsa MBES (Lurton 2002). Keuntungan dari teknologi akustik MBES ini adalah memiliki kemampuan penentuan posisi yang akurat dan tepat sehingga dapat membantu untuk menghasilkan peta batimetri dengan resolusi tinggi. 7

24 8 Teknologi akustik MBES dapat diaplikasikan dalam usaha pemanfaatan dan pengolahan sumber daya laut secara optimal, seperti pemetaan dasar laut dangkal maupun dalam yang dapat digunakan untuk kegiatan survei pemetaan alur pelayaran, pemetaan dan penelitian geologi, peletakan pipa minyak dan gas bumi, pemetaan dasar laut, pencarian kapal tenggelam, pencarian objek wisata dasar laut dan lain-lain yang berhubungan dengan survei batimetri dan hidrografi (Djunarsjah 2005). Bentuk sapuan dari sistem akustik MBES yang dipancarkan oleh transducer ke dalam kolom perairan ketika melakukan kegiatan pemeruman ditampilkan pada Gambar 3. Gambar 3 Visualisasi bentuk sapuan multibeam echosounder (CSI 2003) 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data hasil survei batimetri yang dilaksanakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) pada bulan Desember 1998 sampai bulan Juli 2012 di perairan utara Papua pada koordinat 2 LS 10 LU dan BT. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai bulan April 2014 di Laboratorium Geosystem Technology BPPT Jakarta, dan Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi survei batimetri ditampilkan pada Gambar 4.

25 9 Gambar 4 Lokasi survei batimetri di perairan utara Papua Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data batimetri hasil pengukuran multibeam echosounder (MBES) dan peta suttle radar topography mission (SRTM). Peralatan yang digunakan dalam survei batimetri antara lain, kapal Mirai yang dilengkapi dengan perangkat teknologi akustik multibeam echosounder tipe seabeam , frekuensi 12 khz, sudut sapuan maksimum 150, sudut beam 2º x 2, jumlah beam 151 dan jangkauan kedalaman sampai meter; Global Positioning System (GPS); sensor attitude and positioning Coda Octopus F 180; Conductivity Temperature Depth (CTD); komputer sistem windows dan linux serta peralatan pendukung lainnya yang digunakan selama survei berlangsung. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan data antara lain komputer sistem windows dan linux yang dilengkapi dengan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris 7.0, Global Mapper 12, Matlab 10, ArcGis 10, Surfer 11 dan Microsoft Office Akuisisi Data Batimetri Pengukuran data batimetri yang dilakukan oleh team peneliti lapang dikumpulkan berdasarkan jalur survei yang bersifat acak atau tidak beraturan. Hal ini disebabkan karena desain survei tersebut tidak difokuskan pada pentuan kaki

26 10 lereng Eauripik rise tetapi untuk tujuan eksplorasi sumberdaya alam yang terdapat di perairan utara Papua. Pemanfaatan data batimetri yang digunakan dalam penelitian ini penting karena peralatan yang digunakan, yaitu multibeam echosounder memiliki akurasi yang tinggi dalam mendeteksi dasar perairan (Anderson et al. 2008), sehingga data batimetri tersebut secara teknis dapat digunakan untuk penentuan kaki lereng Eauripik rise. Teknologi akustik MBES sudah terpasang secara otomatis pada kapal selama survei berlangsung dan sistem navigasi yang digunakan pada kapal survei diatur dalam perangkat lunak hypack yang secara langsung terhubung dengan sistem akuisisi data MBES. Data batimetri yang diperoleh pada masing-masing jalur survei langsung dilakukan koreksi terhadap pengaruh pergerakan kapal seperti pitch, roll dan heave. Koreksi tersebut menggunakan sensor attitude and positioning coda octopus F 180. Hasil koreksi tersebut selanjutnya digunakan untuk proses koreksi offset static. Selain melakukan koreksi terhadap pergerakan kapal juga dilakukan koreksi terhadap proses perambatan gelombang suara ke dalam medium air laut (sound velocity correction). Pengolahan Data Batimetri Data batimetri dalam bentuk raw hasil pemeruman selanjutnya diproses dengan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris untuk menghasilkan data posisi lintang dan bujur serta kedalaman terukur. Proses akuisisi data batimetri MBES di lokasi survei dan pengolahan data sampai mendapatkan nilai lintang, bujur dan kedalaman ditampilkan pada Gambar 5. Gambar 5 Diagram alir akuisisi dan pengolahan data batimetri

27 Proses pengolahan data batimetri secara umum dimulai dengan konfigurasi kapal atau pembuatan file kapal (vessel file). File kapal ini memuat informasi mengenai koordinat setiap sensor yang direferensikan terhadap titik pusat kapal. Proses berikutnya adalah pembuatan project, menentukan sistem koordinat yang digunakan dan melakukan konversi data (conversion wizard) sesuai dengan jenis multibeam yang digunakan dan penyimpanan session yang akan menampilkan urutan objek yang ditampilkan dalam windows display. Proses selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan beberapa koreksi terhadap data sensor seperti navigation editor, swath editor, dan altitude editor pada fase clean auxiliary sensor data. Kemudian dilakukan proses penggabungan (merge) file untuk membuat lembar kerja baru (new field sheet). Hasil akhir dari pengolahan data tersebut berupa peta batimetri (mapping product) yang selanjutnya di export berupa gambar berektensi *.bmp. Proses pengolahan data batimetri menggunakan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris ditampilkan pada Gambar Gambar 6 Diagram alir proses pengolahan data batimetri menggunakan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris 7.0 Koreksi Data Batimetri Tingkat ketelitian dari data hasil pemeruman menjadi hal utama untuk diketahui, karena berhubungan dengan seberapa akurat data tersebut memberikan informasi mengenai nilai kedalaman sebenarnya di lokasi penelitian. Agar data yang diperoleh sesuai dengan standar yang telah ditentukan, maka perlu dilakukan suatu kontrol kualitas berupa koreksi data batimetri. Koreksi data batimetri dilakukan dengan mengacu pada International Hidrographic Organization (IHO) Proses koreksi tersebut dilakukan dengan menghitung penyimpangan kedalaman di titik analisis, yaitu titik perpotongan antara jalur melintang dan membujur pada wilayah survei yang dinyatakan sebagai kesalahan (s) berdasarkan persamaan sebagai berikut: s = d l d b (1)

28 12 Keterangan: s d l d b = Kesalahan kedalaman = Kedalaman titik analisis pada jalur melintang = Kedalaman titik analisis pada jalur membujur. Besarnya kesalahan kedalaman perairan hasil pengukuran dibatasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh IHO (2008), yaitu tidak boleh melebihi batas toleransi sebesar 2σ. Ketetapan ini didasarkan pada nilai a dan b yang terdapat pada tabel standar minimum survei hidrografi (Tabel 1). Standar ketelitian pengukuran kedalaman orde spesial digunakan pada kondisi perairan kritis, seperti perairan dangkal dengan dasar perairan yang berlumpur; orde 1a merupakan daerah perairan dangkal kurang dari 100 meter, yaitu jarak di bawah lunas kapal pengaruh critical area lebih kecil; orde 1b merupakan daerah perairan dangkal kurang dari 100 meter, yaitu jarak bawah lunas kapal tidak dipertimbangkan lagi karena termasuk daerah tipe permukaan yang diharapkan; dan orde 2 digunakan pada kedalaman perairan lebih dari 100 meter atau perairan dalam (IHO 2008). Standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan dalam penelitian ini menggunakan standar survei orde dua, karena lokasi penelitian memiliki kedalaman lebih dari 100 meter atau termasuk perairan laut dalam. Tabel 1 Standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan Orde Spesial 1a 1b 2 Ketelitian kedalaman a = 0,25 m a = 0,5 m a = 0,5 m a = 1,00 m b = 0,0075 b = 0,013 b = 0,013 b = 0,023 Proses perhitungan limit error atau batas toleransi kesalahan pengukuran kedalaman perairan mengacu pada standar IHO (2008), yang secara matematik dapat diperoleh melalui persamaan: Keterangan: a = Konstanta kesalahan yang bersifat tetap (m) b = Faktor kesalahan kedalaman yang bersifat tidak tetap d = Kedalaman terukur (m) b x d = Kesalahan kedalaman yang bersifat tidak tetap (m). Penentuan batas toleransi kesalahan pengukuran batimetri dalam penelitian ini ditetapkan pada nilai kedalaman terukur (d) yang terkecil atau kedalaman minimum di lokasi jalur survei. Nilai kedalaman minimum tersebut dihitung berdasarkan persamaan dua, kemudian hasilnya dibandingkan dengan nilai kesalahan pengukuran pada titik perpotongan jalur survei berdasarkan hasil perhitungan dari persamaan satu yang memiliki nilai kesalahan paling besar. Selanjutnya dilakukan analisis akurasi pengukuran, yaitu jika nilai kesalahan hasil pengukuran lebih besar dari batas toleransi kesalahan yang ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan dari persamaan dua, maka data batimetri tersebut tidak akurat, sebaliknya jika nilai kesalahan pengukuran lebih kecil dari batas toleransi kesalahan yang telah ditetapkan, maka data batimetri yang digunakan tersebut memiliki akurasi yang lebih baik (De Robertis dan Higginbottom 2007). (2)

29 Kualitas data batimetri MBES juga dibandingkan dengan data batimetri SRTM. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana perbedaan kedua data ini, sehingga pada saat dilakukan overlay data batimetri di wilayah penelitian untuk pemetaan lokasi kaki lereng Earipik rise memiliki akurasi yang lebih baik. Titik analisis koreksi data batimetri SRTM dilakukan di lokasi yang sama dengan koreksi data batimetri MBES. Kualitas data batimetri SRTM dapat diketahui dengan membandingkan nilai kedalaman perairan hasil pengukuran MBES pada titik jalur survei arah melintang dengan data batimetri SRTM pada titik yang sama dengan jalur survei arah melintang oleh MBES. Titik analisis tersebut ditarik secara tegak lurus dari awal sampai akhir titik perpotongan jalur survei. Jarak titik analisis disesuaikan dengan panjang perpotongan masing-masing jalur survei. Perbandingan data batimetri SRTM dengan data batimetri MBES ditampilkan dalam bentuk tiga dimensi untuk melihat tingkat ketelitian dalam menentukan posisi kaki lereng Eauripik rise di lokasi yang sama. 13 Penentuan Kaki Lereng Eauripik Rise Teknik penentuan posisi kaki lereng Eauripik rise dilakukan dengan cara menarik garis profil kedalaman dari data batimetri yang sudah dilakukan gridding secara tegak lurus dari garis isobath di tempat titik perubahan gradien pada dasar lereng. Selanjutnya pada garis profil kedalaman tersebut dihitung gradien dan perubahannya. Kaki lereng merupakan perubahan gardien maksimum pada dasar lereng sepanjang profil batimetri yang dibentuk. Khafid (2009) menyatakan bahwa untuk menentukan keberadaan kaki lereng harus dicari perubahan gradien maksimum pada profil kedalaman tersebut di daerah dasar lereng menggunakan pendekatan model matematika. Garis profil batimetri ditarik tegak lurus garis kontur kedalaman dengan interval jarak maksimal 60 NM antar profil kedalaman dan pendekatan model matematika dibangun menggunakan data batimetri dengan asumsi bahwa tegak lurus dengan lereng tepian kontinen (Khafid 2009). Data batimetri yang diperoleh dikelompokan berdasarkan wilayah atau lokasi pengambilannya, agar lebih mudah dalam menganalisis perubahan gardien secara maksimum. Selanjutnya data spasial yang diperoleh dari hasil survei yang sudah melalui proccessing selanjutnya dilakukan proses smoothing menggunakan moving average dalam perangkat lunak Matlab 10 (Lampiran 1). Data batimetri hasil smoothing tersebut kemudian digunakan untuk menghitung perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil data batimetri melalui pendekatan model matematika menggunakan perangkat lunak Matlab 10 (Lampiran 2). Model matematika tersebut dibangun dari data batimetri berupa data spasial (XYZ) secara kontinyu, yaitu X merupakan jarak dua titik bujur, Y merupakan jarak dua titik lintang dan Z adalah kedalaman. Menurut Khafid (2009) untuk memperoleh turunan pertama atau gradien diperlukan perhitungan jarak (dx) antara kedua koordinat (XY) menggunakan persamaan sebagai berikut: (3)

30 14 Selanjutnya nilai kedalaman diturunkan terhadap nilai jarak untuk memperoleh nilai perubahan gradien. Menurut CLCS (1999) secara matematik perubahan gradien dapat dirumuskan sebagai berikut: Jika fungsi dari profil batimetri pada tepian kontinen adalah y = f(x) yang secara kontinyu dapat diturunkan dua kali, maka fungsi perubahan gradien merupakan fungsi turunan keduanya, yaitu: Kaki lereng merupakan perubahan gradien maksimum yang diperoleh dari turunan ketiganya, yaitu: Perubahan gradien maksimum yang diperoleh dari hasil turunan ketiga dapat terjadi di beberapa lokasi sepanjang profil kedalaman yang terbentuk. Analisis posisi kaki lereng dilakukan dengan melihat perbedaan jarak antar titik kaki lereng. Jarak diukur dengan acuan titik kaki lereng yang diperoleh dari data batimetri memiliki tanda positif dan negatif. Tanda positif berarti kaki lereng menuju ke arah perairan yang lebih dalam, sedangkan tanda negatif berarti kaki lereng menuju ke arah sebaliknya. Analisis terhadap penentuan posisi kaki lereng dilakukan dengan memilih salah satu titik perubahan gradien maksimum di bagian dasar lereng yang disesuaikan dengan bentuk topografi dasar laut melalui identifikasi wilayah dasar lereng. Identifikasi terhadap wilayah dasar lereng dapat dilakukan dengan melihat bentuk morpologi dasar laut melalui variasi perubahan kedalaman masing-masing jalur profil batimetri. Penentuan posisi kaki lereng ditetapkan berdasarkan jarak paling jauh dari titik awal penarikan garis profil kedalaman (Khafid 2009). Selanjutnya untuk visulasasi nilai perubahan gradien maksimum dan bentuk topografi dasar laut digunakan perangkat lunak Matlab 10 (Lampiran 3 dan 4) untuk mempermudah dalam penentuan posisi kaki lereng Eauripik rise. Visualisasi ditampilkan dalam bentuk dua dimensi (2D) untuk nilai perubahan gradien maksimum dan bentuk perubahan kedalaman atau topografi permukaan dasar laut masing-masing profil batimetri, dan tiga dimensi (3D) untuk bentuk topografi dasar laut sepanjang jalur sapuan multibeam echosounder pada masing-masing profil batimetri. Penentuan kaki lereng secara spasial sepanjang jalur sapuan MBES dan data batimetri SRTM dilakukan melalui proses digitasi menggunakan perangkat lunak Matlab 10 berdasarkan perubahan kontur kedalaman di titik terjadinya perubahan gradien maksimum yang telah ditetapkan pada masing-masing profil batimetri di bagian dasar lereng. Proses digitasi tersebut sangat memudahkan dalam menentukan posisi kaki lereng Eauripik rise secara spasial atau horizontal pada masing-masing profil batimetri yang terbentuk di perairan utara Papua.

31 15 Pemetaan Kaki Lereng Eauripik Rise Hasil penentuan daerah perkiraan kaki lereng Eauripik rise di wilayah penelitian dikelompokan berdasarkan posisi lintang dan bujur pada masingmasing profil batimetri. Posisi titik-titik kaki lereng yang ditemukan berdasarkan data batimetri MBES selanjutanya dipetakan menggunakan perangkat lunak Global Mapper 12 dan ArcGis 10, kemudian dilakukan overlay dengan data batimetri SRTM untuk memudahkan teknik pengukuran perluasan wilayah perairan lebih dari 200 NM bagi negara-negara yang ada di sekitar perairan utara Papua termasuk Indonesia. Pemetaan tersebut diharapkan dapat memudahkan dalam penentuan potensi penambahan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh UNCLOS HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas data Batimetri Koreksi kedalaman perairan sangat menentukan tingkat keakuratan data batimetri yang digunakan untuk menentukan posisi kaki lereng. Beberapa titik kedalaman yang dipakai dalam melakukan koreksi terhadap data batimetri ditentukan berdasarkan titik perpotongan jalur survei yang sudah dilakukan gridding. Penentuan ini dimaksudkan agar dapat mengetahui seberapa besar simpangan atau kesalahan deteksi di posisi yang sama pada waktu yang berbeda. Besar kesalahan setiap titik koreksi kedalaman perairan tidak melebihi batas toleransi yang telah ditetapkan oleh IHO (2008). Titik perpotongan jalur survei yang digunakan dalam koreksi kedalaman pada penelitian ini berjumlah 10 titik. Nilai kedalaman yang digunakan dalam koreksi kesalahan pengukuran merupakan rata-rata kedalaman masing-masing titik perpotongan jalur survei batimetri yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan agar kedalaman perairan di wilayah penelitian yang ditentukan pada setiap titik perpotongan jalur survei menyebar merata sesuai dengan bentuk topografi dasar lautnya. Kualitas data batimetri hasil survei dapat diketahui dengan membandingkan nilai kedalaman perairan pada titik perpotongan antara jalur melintang dan jalur membujur. Kedalaman rata-rata setiap profil batimetri memiliki kedalaman minimum sebesar 2.356,41 meter. Sesuai dengan ketentuan IHO (2008) bahwa untuk kedalaman perairan lebih dari 100 meter dapat menggunakan standar ketelitian pengukuran kedalaman pada klasifikasi survei hidrografi orde dua yang dapat dihitung menggunakan persamaan dua, dengan nilai a dan b mengacu pada Tabel 1. Nilai kedalaman terukur (d) ditetapkan berdasarkan hasil pengukuran jalur survei arah melintang yang merupakan jalur survei awal pengukuran. Penentuan ini tidak mempengaruhi nilai batas toleransi yang diberikan, karena nilai kesalahan pengukuran kedalaman perairan antara titik perpotongan jalur melintang dan membujur maksimal 5,27 meter dengan batas toleransi kesalahan ± 54,27 meter. Hal ini menunjukan bahwa nilai kedalaman terukur baik arah melintang maupun arah membujur hasilnya lebih baik. Posisi titik koreksi, nilai kesalahan dan batas toleransi kesalahan pengukuran kedalaman perairan dengan multibeam echosounder di perairan utara Papua ditampilkan pada Tabel 2.

32 16 Tabel 2 Kualitas data batimetri hasil pengukuran MBES di perairan utara Papua Posisi Titik Koreksi Kedalaman Kesalahan Limit error Awal Akhir d melintang d membujur s s σ Lintang Bujur Lintang Bujur (m) (m) (m) (m) (m) -0,42º 137,96º -1,19º 137,99º 3.934, ,52-0,38 0,38 90,49 0,02º 135,43º 0,02º 137,35º 4.807, ,15-1,47 1,47 110,58 1,05º 137,02º 0,80º 137,30º 4.134, ,79-5,27 5,27 95,10 2,03º 139,84º 2,03º 139,93º 4.244, ,81 2,98 2,97 97,64 4,78º 137,31º 4,20º 137,42º 4.618, ,77 3,07 3,07 106,24 5,17º 146,79º 5,42º 146,69º 4.366, ,50 0,65 0,65 100,43 6,70º 131,31º 6,61º 131,39º 5.446, ,91 4,37 4,37 125,27 7,99º 144,65º 7,94º 144,76º 2.491, ,69-2,74 2,74 57,32 8,09º 146,44º 7,58º 146,61º 2.359, ,41 2,75 2,75 54,27 9,99º 144,70º 9,21º 144,74º 3.907, ,65-4,14 4,14 89,88 Berdasarkan nilai kedalaman minimum sebesar 2.356,41 meter, maka batas toleransi kesalahan untuk pengukuran kedalaman perairan adalah ± 54,27 meter. Nilai kesalahan pengukuran kedalaman perairan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2 berkisar antara 0,38 meter sampai 5,27 meter. Hal ini menunjukan bahwa dengan batas toleransi kesalahan untuk pengkuran kedalaman perairan sebesar ± 54,27, maka besarnya kesalahan pada titik koreksi masih berada dalam batas toleransi kesalahan untuk pengukuran kedalaman perairan pada klasifikasi survei hidrografi orde dua. Berdasarkan besar kesalahan tersebut, selain masih berada dalam batas toleransi kesalahan untuk pengukuran kedalaman pada klasifikasi survei hidrografi orde dua, data batimetri MBES ini juga dapat memenuhi batas toleransi kesalahan pengukuran kedalaman perairan pada klasifikasi survei orde 1a dan 1b. Batas toleransi kesalahan untuk pengukuran kedalaman perairan jika menggunakan klasisifikasi survei hidrografi orde 1a dan 1b adalah ± 30,67 meter. Berdasarkan hal tersebut data batimetri hasil pengukuran multibeam echosounder yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh IHO (2008). Kualitas data batimetri MBES juga dibandingkan dengan data batimetri SRTM. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana perbedaan kedua data ini, sehingga pada saat dilakukan overlay data batimetri di wilayah penelitian untuk pemetaan lokasi kaki lereng memiliki akurasi yang lebih baik. SRTM merupakan sebuah penelitian internasional yang bertujuan untuk mendapatkan model elevasi digital pada skala kecil secara global dari wilayah 56º LS hingga 60º LU untuk menghasilkan data base global dalam bentuk topografi digital secara lengkap (Werner 2001). Akusisi data menggunakan dua sistem synthetic aperture radar (SAR), yaitu sistem band-c dengan panjang gelombang 5,6 cm dan band-x pada panjang gelombang 3,1 cm (Kiel et al. 2006). Informasi mengenai karakteristik wilayah perairan dilakukan menggunakan model hydrodinamic secara global berdasarkan pengukuran ketinggian permukaan air (Durand et al. 2008). Pengukuran kedalaman perairan dilakukan dengan menghitung kecenderungan perubahan tinggi muka paras air laut setiap wilayah, selanjutnya dimodelkan sesuai dengan variasi perubahan kedalaman yang terbentuk. Posisi titik koreksi, nilai kesalahan dan batas toleransi kesalahan pengukuran kedalaman perairan dengan MBES dan SRTM di perairan utara Papua ditampilkan pada Tabel 3.

33 Tabel 3 Kualitas data batimetri hasil pengukuran MBES dan SRTM di perairan utara Papua Posisi Titik Koreksi Kedalaman Kesalahan Limit error Awal Akhir d MBES d SRTM s s σ Lintang Bujur Lintang Bujur (m) (m) (m) (m) (m) -0,42º 137,96º -1,19º 137,99º 3.934, ,56 41,58 41,58 89,53 0,02º 135,43º 0,02º 137,35º 4.807, ,01-1,33 1,33 110,61 1,05º 137,02º 0,80º 137,30º 4.134, ,03-3,51 3,51 95,18 2,03º 139,84º 2,03º 139,93º 4.244, ,14 10,63 10,63 95,18 4,78º 137,31º 4,20º 137,42º 4.618, ,67 5,17 5,17 106,12 5,17º 146,79º 5,42º 146,69º 4.366, ,91 11,24 11,24 100,17 6,70º 131,31º 6,61º 131,39º 5.446, ,85 18,43 18,43 124,85 7,99º 144,65º 7,94º 144,76º 2.491, ,47 14,49 14,49 56,99 8,09º 146,44º 7,58º 146,61º 2.359, ,66-0,50 0,50 54,28 9,99º 144,70º 9,21º 144,74º 3.907, ,65-0,04 0,04 89,88 Berdasarkan kedalaman minimum sebesar 2.359,66 meter, maka batas toleransi kesalahan untuk pengukuran kedalaman perairan menggunakan data batimetri SRTM di perairan utara Papua adalah ± 54,281 meter. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan batas toleransi kesalahan hasil pengukuran SRTM dengan batas toleransi hasil pengukuran MBES yaitu sebesar 11 meter. Perbedaan tersebut disebabkan karena metode pengambilan data menggunakan MBES berbeda dengan SRTM. Metode pengambilan data menggunakan MBES diukur dari bawah permukaan air di bagian lunas kapal pada kedalaman tertentu yang dilakukan secara langsung, sedangkan pengambilan data menggunakan SRTM, titik awal pengkuran dimulai dari atas permukaan air pada kedalaman nol meter menggunakan satelit dengan sistem SAR yang dilakukan melalui model hydrodinamic secara global (Durand et al. 2008). Informasi mengenai perubahan kedalaman perairan dapat diketahui melalui model yang digunakan berdasarkan variasi dinamis tinggi paras muka laut di setiap wilayah perairan (Fu et al. 2009). Mengetahui perbedaan kedalaman tersebut dalam melakukan overlay data batimetri untuk penentuan kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua menjadi lebih jelas, karena berhubungan dengan bentuk dan karakteristik topografi dasar laut masing-masing profil batimetri. Data batimetri hasil koreksi kesalahan pengukuran kedalaman perairan sudah dilakukan koreksi terhadap kesalahan yang bersifat tetap maupun tidak tetap. Kesalahan bersifat tetap seperti pasang surut laut dalam tidak dilakukan koreksi khusus karena pengaruh pasang surut laut dalam sudah termasuk dalam nilai kostanta a pada klasifikasi survei hidrografi (IHO 2008). Hal ini juga dijelaskan dalam laporan hasil survei unit tugas Sanggata Dinas Hidro- Oseanografi TNI-AL (2012) bahwa perhitungan faktor ketelitian vertikal kedalaman perairan laut dalam akibat pengaruh pasang surut sudah termasuk dalam nilai kostanta a pada klasifikasi survei hidografi yang merupakan faktor kesalahan bersifat tetap, dengan nilai sebesar 0,05 meter. Berdasarkan hal tersebut maka pengaruh pasang surut di wilayah penelitian tidak dilakukan koreksi seperti di perairan dangkal. Pasang surut di perairan laut dalam pengaruhnya lebih kecil terhadap perubahan kedalaman (Poerbandono dan Djunarsjah 2005). Perubahan kedalaman di perairan laut dalam dapat diakibatkan oleh kejadian alam seperti terjadinya gempa bumi di dasar laut (Poerbandono 1999). 17

34 18 Posisi Kaki Lereng Eauripik Rise Profil batimetri Proses penentuan posisi kaki lereng Eauripik rise dilakukan berdasarkan penentuan garis profil batimetri hasil survei yang ditarik secara tegak lurus dari titik awal pengambilan data. Penarikan profil batimetri berawal dari bagian puncak Eauripik rise ke arah barat dan timur. Jalur survei batimetri yang dilakukan oleh Jamstec di perairan utara Papua berjumlah 36 jalur. Penentuan jumlah profil batimetri yang bisa digunakan dalam menentuan posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua disesuaikan dengan jumlah jalur survei yang melewati puncak Eauripik rise, yaitu sebanyak enam jalur. Jarak masing-masing profil dari puncak Eauripik rise ke arah barat maupun timur disesuaikan dengan panjang jalur survei yang terbentuk. Jalur survei satu dan dua hanya terdapat masing-masing satu profil, sedangkan jalur tiga dan empat terdapat masingmasing dua profil (Gambar 7). Jalur satu dan dua hanya terdapat masing-masing satu profil karena pada lokasi tersebut jalur survei yang melewati puncak Earipik rise hanya satu arah saja yaitu dari puncak ke arah timur untuk profil satu dan ke arah barat untuk profil dua. Jalur tiga dan empat masing-masing terdapat dua profil karena jalur survei pada lokasi tersebut yang melewati puncak Eauripik rise dari dua arah, yaitu dari barat dan timur. Selanjutnya profil yang terbentuk digunakan untuk melihat bentuk topografi dasar laut dan perhitungan perubahan gradien pada dasar kaki lereng melalui pendekatan model matematika. Posisi horizontal dan kedalaman perairan masing-masing profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Posisi horizontal dan kedalaman profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua Profil Posisi awal profil Posisi akhir profil Kedalaman (m) Lintang Bujur Lintang Bujur Minimum Maksimum Rata-rata data 1 0,00º 141,38º 0,00º 145,70º 2.870, , , ,03º 141,97º 0,03º 139,35º 2.465, , , ,93º 142,69º 6,47º 140,02º 1.516, , , ,93º 142,71º 5,52º 144,74º 2.331, , , ,09º 142,80º 7,91º 140,82º 1.718, , , ,99º 143,04º 7,99º 144,50º 1.256, , , Posisi masing-masing profil batimetri berdasarkan Tabel 4 dan Gambar 7 terlihat bahwa profil satu terletak di perairan ZEE negara Papua New Guinea, profil dua lebih dekat pada perairan ZEE Indonesia, sedangkan profil tiga sampai enam masuk dalam wilayah perairan ZEE Mikronesia. Hal ini menunjukan bahwa dalam proses penetuan kaki lereng Eauripik rise masing-masing negara di perairan utara Papua yang berhubungan dengan penentuan potensi penambahan batas wilayah perairan lebih dari 200 NM menjadi lebih mudah. Kedalaman perairan masing-masing profil batimetri yang terbentuk bervariasi, yaitu kedalaman minimum berkisar antara 1.256,54 meter sampai 2.870,17 meter, kedalaman maksimum berkisar antara 3.527,42 meter sampai 4.825,66 meter dan kedalaman rata-rata berkisar antara 1.333,78 meter sampai 3.632,94 meter. Variasi kedalaman setiap profil batimetri berbeda-beda karena bentuk permukaan dasar lautnya yang tidak sama. Profil satu kecenderungan perubahan

35 kedalaman relatif stabil dibanding dengan profil lainnya. Profil dua dan empat kecenderungan perubahan kedalaman hampir sama. Hal ini menunjukan bahwa bentuk topografi permukaan dasar laut kedua profil tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama. Profil tiga perubahan kedalaman dari perairan yang dangkal ke perairan yang lebih dalam sangat bervariasi karena ada beberapa bagian kedalamannya mencapai 4.264,32 meter sedangkan rata-rata kedalaman sepanjang profil hanya 1.333,78 meter. Hal ini menunjukan bahwa dasar perairan pada profil tiga terdapat bagian yang landai dan beberapa bagian lainnya ada yang lebih curam. Kecenderungan perubahan kedalaman pada profil lima hampir sama dengan profil tiga, namun rata-rata kedalaman pada profil lima lebih besar. Perubahan kedalaman pada profil enam cenderung stabil karena dari perairan dengkal ke perairan yang lebih dalam perubahannya tidak besar. Hal ini dapat dilihat dari kedalaman rata-rata yang tidak jauh berbeda dengan selisi antara kedalaman minimum dan kedalaman maksimum pada profil tersebut. 19 Gambar 7 Posisi profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua Perubahan gradien maksimum dan topografi dasar laut Penentuan posisi kaki lereng pada setiap profil dilakukan berdasarkan pendekatan model matematika yang mengacu pada persamaan tiga, empat, lima dan enam (Khafid 2009). Berdasarkan pendekatan model matematika tersebut diperoleh nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri yang merupakan daerah perkiraan kaki lereng. Penentuan daerah perkiraan kaki lereng dilakukan dengan menggambungkan antara bentuk topografi permukaan dasar laut dengan hasil perhitungan perubahan gradien maksimum. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa titik perubahan gradien maksimum di daerah

36 20 dasar lereng sesuai dengan bentuk topografi dasar laut dari masing-masing profil batimetri. Proses perhitungan untuk menentukan keberadaan kaki lereng pada masing-masing profil batimetri dilakukan sebanyak jumlah profil yang terbentuk, yaitu enam profil. Nilai perubahan gradien maksimum (Tabel 5) yang diperoleh merupakan hasil perhitungan fungsi matematika dari turunan pertama (nilai gradien) dan turunan kedua (nilai perubahan gradien) masing-masing profil batimetri yang sudah dilakukan smoothing melalui moving average pada perangkat lunak matlab (Lampiran 1). Hal ini bertujuan untuk menghilangkan noise atau sinyal yang tidak diinginkan sehingga bentuk topografi permukaan dasar laut lebih jelas dan mempermudah dalam penentuan posisi kaki lereng (CLCS 1999). Nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri Jalur Profil Posisi Perubahan Gradien Maksimum Lintang Bujur Perubahan Gradien Maksimum Kedalaman (m) Jarak (km) 1 0,00º 144,68º 9, ,80 347,19 2 2,02º 139,53º 3, ,76 271,69 3 6,43º 140,20º 2, ,20 261,09 4 5,65º 144,08º 7, ,20 141,74 5 7,93º 144,01º 2, ,20 190,79 6 7,99º 144,15º 2, ,30 116,16 Keberadaan kaki lereng dapat dilihat dari perubahan gradien lereng, yaitu apabila perubahan gradien lebih besar maka keberadaan kaki lereng tersebut sangat jelas kelihatan. Namun apabila perubahan gardien lebih kecil, maka lokasi yang tepat di kaki lereng tidak jelas terlihat, sehingga perlu dilakukan pencarian dari dua arah, yaitu ke arah kontinen dan ke arah samudera (Djunarsjah 2004). Nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri yang ditentukan sebagai posisi kaki lereng berkisar antara 9, sampai dengan 2, Perubahan gradien maksimum setiap profil batimetri ditentukan berdasarkan jarak terjauh dari titik awal penarikan garis profil agar potensi penambahan batas wilayah perairan lebih maksimal atau menguntungkan negara yang bersangkutan. Khafid (2009) menyatakan bahwa pemilihan posisi kaki lereng ditentukan dengan prinsip jarak terjauh dapat dijadikan sebagai titik potensi penambahan batas wilayah perairan yang dapat dikalim oleh suatu negara pantai. Secara umum penetapan jarak titik posisi kaki lereng Eauripk rise dari titik awal penarikan profil pada bagian puncak ke arah barat dan timur masing-masing profil batimetri cukup jauh, yaitu berkisar antara 116,16 kilometer sampai 347,19 kilometer pada kedalaman antara 3.506,30 meter sampai 4.327,76 meter. Setiap profil batimetri memiliki perubahan kedalaman perairan yang berdeda. Perubahan kedalaman perairan ini menunjukan bahwa bentuk topografi permukaan dasar laut masing-masing profil batimetri berbeda-beda. Djunarsjah (2004) menyatakan bahwa perubahan kedalaman suatu perairan ke arah yang lebih dalam menunjukan adanya perubahan bentuk kemiringan dasar laut pada perairan tersebut. Hal ini dapat berpengaruh terhadap nilai perubahan gradien maksimum masing-masing profil batimteri. Bennet (2011) menyatakan bahwa bentuk kemiringan dasar laut dapat mempengaruhi perubahan gradien lereng dasar perairan.

37 Garis profil satu dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah timur sampai pada jarak 400 kilometer (Gambar 8). Nilai perubahan gradien maksimum pada profil satu berkisar antara -2, sampai 2, (Gambar 8a). Titik perubahan gradien maksimum sebagai daerah perkiraan kaki lereng ditetapkan pada nilai 9, di kedalaman 3.934,80 meter dengan jarak 347,19 kilometer dari puncak Eauripik rise. Variasi nilai perubahan gradien maksimum yang terjadi sepanjang profil satu menunjukan karakteristik permukaan dasar laut pada profil tersebut (Gambar 8b). Penentuan daerah perkiraan kaki lereng disesuaikan dengan bentuk topografi permukaan dasar laut sepanjang profil satu, yaitu pada bagian permukaan dasar lautnya terdapat beberapa lipatan di bagian yang lebih dalam (Gambar 9). Djunarsjah (2004) menyatakan bahwa salah satu karakteristik kaki lereng adalah jika terdapat beberapa lipatan pada bagian permukaan dasar laut, maka lipatan yang terdalam memiliki kemungkinan terbesar sebagai kaki lereng. Selanjutnya titik-titik daerah perkiraan kaki lereng tersebut dapat dijadikan sebagai titik acuan perluasan batas wilayah perairan di luar 200 NM bagi negara yang ada di sekitarnya. 21 (a) Gambar 8 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil satu (b)

38 22 Bentuk topografi permukaan dasar laut hasil pengukuran MBES pada profil satu memiliki tingkat kerapatan antar titik perubahan kedalaman sepanjang jalur yang dilewati sejauh ± 55,30 meter dan lebar sapuan ± 10 kilometer serta jangkauan deteksi sampai pada kedalaman meter. Jalur batimetri pada profil satu dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah timur sampai pada jarak 400 kilometer, disesuaikan dengan panjang profil batimetri yang dibentuk (Gambar 9). Tingkat kerapatan bentuk topografi permukaan dasar laut jalur sapuan MBES sepanjang profil satu lebih jelas kelihatan (Gambar 9a), sehingga memudahkan penentuan perkiraan kaki lereng di daerah dasar lereng. Data batimetri SRTM hasil pemodelan hydrodinamic secara global bentuk topografi dasar laut sepanjang profil satu (Gambar 9b) terlihat tidak rapat karena sistem pengambilan data kedalaman tidak dilakukan secara langsung tetapi diukur berdasarkan tinggi paras muka laut (Fu et al. 2009). Hasil pengukuran tersebut selanjutnya dimodelkan untuk melihat tingkat kecenderungan perubahan kedalaman perairan sampai pada kedalaman tertentu. Berdasakan hal tersebut bentuk permukaan dasar laut hasil pemodelan dari data batimetri SRTM tidak sebaik hasil pengukuran secara langsung oleh MBES. Hal ini menunjukan bahwa dalam penentuan daerah perkiraan kaki lereng sebagai salah satu acuan untuk perluasan batas wilayah perairan suatu negara pantai lebih dari 200 NM, data batimetri MBES lebih akurat dibandingkan dengan data batimetri SRTM. (a) (b) Gambar 9 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil satu

39 Garis profil dua dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 280 kilometer (Gambar 10). Nilai perubahan gradien maksimum sepanjang profil dua berkisar antara -2, sampai 7, (Gambar 10a). Penentuan posisi kaki lereng sepanjang profil dua ditetapkan pada nilai perubahan gradien maksimum sebesar 3, pada kedalaman 4.328,76 meter dengan jarak 271,69 kilometer dari puncak Eauripik rise. Variasi perubahan gradien maksimum cenderung stabil, hal ini menunjukan bahwa perubahan kedalaman sepanjang profil dua dipengaruhi oleh bentuk permukaan dasar laut (Gambar 10b). Daerah perkiraan kaki lereng pada profil dua memiliki perbedaan gradien yang lebih besar antara permukaan tertinggi dengan permukaan di bawahnya. Djunarsjah (2004) menyatakan bahwa salah satu karakteristik kaki lereng adalah permukaan tertinggi memiliki gradien yang lebih besar dari permukaan yang lebih rendah. Perubahan gradien sepanjang profil dua cenderung stabil karena bentuk permukaan dasar lautnya memiliki perubahan kedalaman yang hampir konstan. Daerah perkiraan kaki lereng di dasar lereng pada profil dua lebih jelas kelihatan. Hal ini ditandai dengan perbedaan perubahan kedalaman di dasar lereng lebih besar dibandingkan dengan di atasnya. 23 (a) (b) Gambar 10 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil dua

40 24 Jalur batimetri pada profil dua dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 280 kilometer, disesuaikan dengan panjang profil yang dibentuk (Gambar 11). Topografi dasar laut yang ditampilkan dalam bentuk tiga dimensi jalur sapuan MBES sepanjang profil dua (Gambar 11a) memiliki lebar sapuan ± 10 kilometer, jangkauan deteksi sampai pada kedalaman meter dan tingkat kerapatan antar titik kedalaman ± 46 meter. Karakteristik topografi dasar laut menunjukan adanya proses perubahan kedalaman dari puncak Eauripik rise ke arah dasar lereng lebih jelas. Keberadaan kaki lereng di dasar lereng ditandai dengan adanya perbedaan perubahan kedalaman yang lebih besar dari permukaan yang lebih tinggi ke arah permukaan yang lebih rendah. Djunarsjah (2005) menyatakan bahwa perbedaan kedalaman yang lebih besar dari permukaan yang tinggi ke permukaan yang lebih rendah akibat perubahan topografi dasar laut merupakan salah satu ciri terjadinya perubahan gradien maksimum. Karakteristik dan bentuk topografi dasar laut sepanjang profil dua menunjukan posisi kaki lereng lebih jelas. Hal ini menunjukan bahwa data batimetri hasil pengukuran MBES memiliki akurasi yang tinggi dalam mendeteksi dasar perairan untuk penentuan kaki lereng. Titik-titik daerah perkiraan kaki lereng secara horizontal pada profil dua menunjukan tingkat kerapatan yang lebih baik. Hal ini ditandai dengan adanya bentuk perubahan kontur kedalaman yang lebih jelas pada daerah dasar lereng. Torres et al. (2013) menyatakan bahwa akurasi penentuan posisi kaki lereng sangat berpengaruh dalam kajian teknik untuk perluasan batas wilayah perairan suatu negara pantai. Titik-titik kaki lereng tersebut dapat digunakan untuk menentukan perluasan batas wilayah perairan lebih dari 200 NM sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh UNCLOS Tingkat akurasi data batimetri hasil pengukuran MBES untuk penentuan kaki lereng Eauripik rise dapat dibandingkan dengan data batimetri SRTM. Bentuk 3D topografi batimetri SRTM hasil pemodelan hydrodinamic pada profil dua menunjukan kecenderungan perubahan kedalaman yang hampir sama dengan jalur sapauan MBES. Hal ini disebabkan karena bentuk permukaan dasar laut sepanjang profil dua dari permukaan yang lebih tinggi ke bagian perairan yang dalam lebih stabil. Namun tingkat kerapatan titik kedalaman antara jalur sapuan MBES dan batimetri SRTM berbeda. Hal ini terlihat pada Gambar 11 bahwa bentuk topografi permukaan dasar laut hasil pengukuran MBES lebih detail dan rapat antar titik kedalaman, sedangkan hasil pemodelan SRTM lebih renggang atau tidak rapat pada setiap titik perubahan kedalaman. Hal lain yang menunjukan perbedaan bentuk topografi permukaan dasar laut dari kedua data ini adalah daerah dasar lereng memiliki perbedaan titik-titik perubahan gradien maksimum sebagai daerah perkiraan kaki lereng. Jalur sapuan MBES (Gambar 11a) terlihat lebih jelas dan jarak antar titik terjadinya perubahan gradien maksimum di daerah dasar lereng secara horizontal cenderung konstan, sedangkan batimetri SRTM (Gambar 11b) menunjukan titik terjadinya perubahan gradien maksimum secara horizontal tidak merata. Hal ini disebabkan karena jarak antar titik perubahan kedalaman lebih jauh atau tidak rapat. Durand et al. (2008) menyatakan bahwa data batimetri SRTM memiliki tingkat kerapatan antar titik perubahan kedalaman lebih jauh yang disebabkan oleh sistem pemodelan yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan data batimetri hasil pengukuran MBES untuk penentuan kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan data batimetri SRTM.

41 25 (a) (b) Gambar 11 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil dua Garis profil tiga dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 280 kilometer (Gambar 12). Nilai perubahan gradien maksimum sepanjang profil tiga berkisar antara -3, sampai 2, (Gambar 12a). Tanda negatif pada nilai perubahan gradien maksimum menunjukan bahwa kaki lereng menuju ke arah awal penarikan garis profil dan sebaliknya tanda positif berarti kaki lereng menuju ke arah samudera. Pola perubahan gradien maksimum terjadi kecenderungan yang tidak merata antara awal dan pertengahan garis profil, namun pada akhir profil terlihat semakin stabil. Hal ini menunjukan adanya perubahan kemiringan bentuk permukaan dasar laut antara awal dan pertengahan profil yang tidak stabil. Keberadaan daerah perkiraan kaki lereng pada profil tiga dicirikan dengan adanya pola perubahan kedalaman pada bagian akhir profil, yaitu terlihat adanya kecenderungan bertambahnya kedalaman semakin stabil (Gambar 12b). Poerbandono (1999) menyatakan bahwa kecenderungan perubahan kedalaman akibat endapan yang berada pada tempat yang stabil, maka kaki lereng adalah permukaan lereng terjauh atau bagian

42 26 terdalam atau kaki dekat cekungan di dasar laut. Berdasarkan hal tersebut penentuan posisi kaki lereng pada profil dua ditetapkan pada nilai perubahan gradien maksimum sebesar 2, di kedalaman 4.226,20 meter dengan jarak 261,09 kilometer ke arah barat dari puncak Eauripik rise. (a) (b) Gambar 12 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil tiga Bentuk topografi permukaan dasar laut hasil pengukuran MBES pada profil tiga memiliki tingkat kerapatan antar titik kedalaman sepanjang jalur yang dilewati ± 67,4 meter dan lebar sapuan ± 10,8 kilometer serta jangkauan deteksi sampai pada kedalaman meter. Jalur batimetri pada profil tiga dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 280 kilometer, disesuaikan dengan panjang profil yang dibentuk (Gambar 13). Bentuk topografi permukaan dasar laut jalur sapuan MBES sepanjang profil tiga (Gambar 13a) terlihat jelas keberadaan kaki lereng pada bagian akhir garis profil. Hal ini berkaitan dengan tingkat akurasi pengukuran kedalaman perairan menggunakan MBES dan metode gridding yang digunakan dalam koreksi data batimetri.

43 Permukaan dasar laut pada bagian pertengahan sepanjang perofil tiga terdapat pematang gunung, yaitu bentuk punggungan yang memanjang dan puncaknya sempit dengan lereng yang curam. Den et al. (1971) menyatakan bahwa Eauripik rise awalnya terbentuk dari sedimen batuan yang berasal dari kerak samudera dan mengendap menjadi bukit-bukit kecil. Selanjutnya terdapat punggungan kecil yang puncakanya hampir landai dan di akkhir profil terjadi perubahan kedalaman yang lebih besar ke arah yang lebih dalam semakin stabil. Hal ini menunjukan keberadaan kaki lereng pada bagian tersebut kelihatan lebih jelas. Bentuk topografi batimetri SRTM hasil pemodelan hydrodinamic yang ditampilkan dalam bentuk 3D (Gambar 13b) pada profil tiga menunjukan perbedaan tingkat kerapatan perubahan kedalaman lebih besar dibandingkan dengan bentuk topografi permukaan dasar laut hasil pengukuran MBES. Hal ini terlihat dari bagian awal sampai akhir profil bentuk permukaan dasar laut tidak sama dengan jalur MBES. Daerah perkiraan kaki lereng pada jalur SRTM tidak terlalu jelas, sehingga posisi yang dipilih sebagai daerah perkiraan kaki lereng berbeda dengan jalur MBES. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh metode pengambilan data yang tidak sama dan teknik pemodelan yang digunakan pada perkiraan pengkuran kedalaman perairan menggunakan MBES dan SRTM. 27 (a) (b) Gambar 13 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil tiga

44 28 Garis profil empat dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah timur sampai pada jarak 200 kilometer (Gambar 14). Nilai perubahan gradien maksimum sepanjang profil empat berkisar antara -4, sampai 3, (Gambar 14a). Kisaran nilai perubahan gradien maksimum sepanjang profil menunjukan adanya perbedaan yang relatif konstan, namun pada bagian tertentu terjadi perubahan yang lebih tinggi seperti pada kedalaman meter sampai meter. Hal ini sangat dipengaruhi oleh bentuk permukaan dasar laut sepanjang profil empat (Gambar 14b). Penentuan daerah perkiraan kaki lereng sepanjang profil empat ditetapkan pada nilai perubahan gradien maksimum sebesar 7, di kedalaman 4.067,20 meter dengan jarak 141,74 kilometer dari puncak Eauripik rise. Penentuan kaki lereng ini disesuaikan dengan bentuk topografi dasar laut, yaitu pada kedalaman dan jarak tersebut terdapat ciri yang menunjukan keberadaan kaki lereng, seperti terjadinya perubahan kedalaman yang cukup signifikan, kemudian menjadi konstan karena dasar perainnya yang landai. Djunarsjah (2005) menyatakan bahwa akibat perubahan kedalaman yang yang tidak stabil pada bagian yang dangkal kemudian di bagian yang lebih dalam terjadi pola perubahan kedalaman yang stabil dapat mempengaruhi terjadinya perubahan gradien maksimum di wilayah tersebut. (a) Gambar 14 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil empat (b)

45 Jalur batimetri pada profil empat dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah timur sampai pada jarak 200 kilometer, disesuaikan dengan panjang profil yang dibentuk (Gambar 15). Bentuk topografi dasar laut jalur survei MBES sepanjang profil empat (Gambar 15a) memiliki karakteristik hampir sama dengan jalur survei profil dua. Tingkat kerapatan antar titik kedalaman sepanjang jalur yang dilewati ± 46,40 meter dan lebar sapuan ± 9,48 kilometer serta jangkauan deteksi sampai pada kedalaman meter. Pola perubahan kedalaman pada jalur empat terjadi secara signifikan dari kedalaman sekitar meter sampai pada kedalaman meter. Selanjutnya perubahan kedalaman relatif stabil dan landai sampai kedalaman meter pada jarak 60 sampai 130 kilometer dari puncak Eauripik rise. Perkiraan keberadaan kaki lereng terlihat pada kedalaman sekitar meter, yaitu pada kedalaman tersebut terdapat lereng yang curam dan pada bagian depannya relatif landai. Hal ini menunjukan bahwa pada bagian tersebut terdapat cekungan di dasar laut. Djunarsjah (2004) menyatakan bahwa salah satu karakteristik kaki lereng adalah permukaan bawah atau endapan terletak di dekat cekungan dasar laut. Perkiraan daerah kaki lereng pada jalur sapuan MBES secara horizontal kelihatan lebih jelas. Hal ini menunjukan akurasi pengukuran batimetri menggunakan MBES untuk penentuan kaki lereng memiliki tingkat akurasi yang lebih baik. Bentuk topografi batimetri SRTM hasil pemodelan hydrodinamic yang ditampilkan dalam bentuk 3D (Gambar 15b) pada profil empat menunjukan perbedaan tingkat kerapatan perubahan kedalaman lebih besar dibandingkan dengan bentuk topografi dasar laut hasil pengukuran MBES. Hal ini telihat pada bagian permukaan dasar laut yang tidak sama terutama di bagian pertengahan dan akhir profil. Permukaan dasar laut jalur SRTM terlihat jarak titik perubahan kedalaman lebih renggang dan cenderung lebih rata. Perbedaan kedalaman sepanjang profil empat menunjukan bahwa data SRTM tidak lebih baik dari data batimetri MBES. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sebaran data dan metode interpolasi yang digunakan pada model batimetri SRTM (Werner 2001). Daerah perkiraan kaki lereng pada jalur SRTM kelihatan tidak jelas karena pada bagian akhir profil seperti jalur MBES tidak menunjukan adanya titik kaki lereng yang lebih jelas. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kerapatan setiap titik perubahan kedalaman batimetri SRTM lebih renggang, sehingga mengakibatkan bentuk permukaan dasar laut sepanjang profil empat tidak mendekati yang sebenarnya. 29 (a)

46 30 (b) Gambar 15 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil empat Garis profil lima dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 210 kilometer (Gambar 16). Perubahan gradien maksimum sepanjang profil lima berkisar antara -4, sampai 7, (Gambar 16a). Nilai perubahan gradien maksimum cenderung besar karena memiliki strukutur dasar perairan curum dan bukit-bukit kecil yang lebih banyak (Gambar 17). Hal tersebut mengakibatkan perubahan gradien maksimum dapat terjadi di setiap lereng. Namun penentuan posisi kaki lereng dipilih pada bagian yang terjauh dari awal penarikan garis profil. Khafid (2009) menyatakan bahwa penentuan titik kaki lereng menggunakan prinsip jarak yang paling jauh agar dapat menguntungkan negara yang bersangkutan dalam perluasan batas wilayah perairannya. Berdasakan hal tersebut, penentuan kaki lereng sepanjang profil lima ditetapkan pada nilai perubahan gradien maksimum sebesar 2, di kedalaman 4.298,20 meter dengan jarak 190,79 kilometer dari puncak Eauripik rise. Pentuan kaki lereng tersebut disesuaikan dengan bentuk permukaan dasar laut sepanjang profil lima (Gambar 16b). (a)

47 31 Gambar 16 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil lima Jalur batimetri pada profil lima dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 210 kilometer, disesuaikan dengan panjang profil yang dibentuk (Gambar 17). Bentuk topografi dasar laut jalur survei MBES sepanjang profil lima (Gambar 17a), memiliki karakteristik yang berbeda dengan jalur survei profil lainnya. Sepanjang dasar perairannya terdapat beberapa lembah yang curam dan bukit-bukit kecil yang menyerupai gelombang lebih jelas kelihatan. Karakteristik dasar perairan yang tampak jelas menunjukan bahwa teknik pengukuran kedalaman perairan menggunakan MBES memiliki tingkat akurasi yang lebih baik. Tingkat kerapatan antar titik kedalaman sepanjang jalur yang dilewati ± 57 meter dan lebar sapuan ± 11,60 kilometer serta jangkauan deteksi sampai pada kedalaman meter. Hal ini sangat berpengaruh terhadap penentuan posisi kaki lereng. Daerah perkiraan kaki lereng yang telah ditetapkan menunjukan bahwa daerah tersebut memiliki ciri atau karakteristik dasar perairan yang menandakan adanya kaki lereng, seperti terbentuknya beberapa lipatan sepanjang profil jalur survei. Djunarsjah (2005) menyatakan bahwa jika terdapat beberapa lipatan pada dasar perairan, maka lipatan yang terdalam memiliki kemungkinan besar sebagai kaki lereng. Perkiraan posisi daerah kaki lereng sepanjang profil lima memiliki jarak yang cukup jauh dari puncak Eauripik rise. Hal ini sangat menguntungkan bagi negara di sekitarnya untuk perluasan batas wilayah perairannya. Zahraa (2001) menyatakan bahwa batas wilayah perairan suatu negara dapat diperluas berdasarkan titik kaki lereng dengan ketentuan tidak melebihi jarak 350 NM dari garis pangkal negara tersebut. Bentuk topografi permukaan dasar laut jalur SRTM (Gambar 17b) memiliki tingkat kerapatan jarak antar titik perubahan kedalaman sangat renggang sehingga bentuk permukaan dasar laut kelihatan lebih kasar. Bagian akhir profil sebagai daerah perkiraan kaki lereng pada jalur SRTM tidak jelas dan secara horizontal jaraknya lebih pendek. Akurasi pemodelan yang digunakan untuk menduga kecenderungan perubahan kedalaman perairan lebih rendah sehingga bentuk topografi dasar laut tidak mendekati yang sebenarnya (Kiel et al. 2006). Hal ini menyebabkan penentuan posisi kaki lereng di sekitar dasar lereng kurang jelas.

48 32 (a) (b) Gambar 17 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil lima Garis profil enam dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah timur sampai pada jarak 150 kilometer (Gambar 18). Perubahan gradien maksimum sepanjang profil enam berkisar antara -1, sampai 6, (Gambar 18a). Nilai perubahan gradien maksimum sepanjang profil enam cenderung stabil, namun di kedalaman meter sampai meter pada jarak antara 40 kilometer sampai 50 kilometer dari puncak Eauripik rise terjadi peningkatan nilai perubahan gradien maksimum yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut terdapat pematang gunung (ridges), yaitu bentuk punggungan yang memanjang dan puncaknya sempit dengan lereng yang curam (Gambar 18b). Pola perubahan kedalaman yang semakin besar ke arah yang lebih dalam dari bagian ridges ke arah samudera sepanjang profil enam menunjukan permukaan dasar laut yang membentuk bidang miring ke arah perairan yang lebih dalam. Secara geologi bidang miring yang terbentuk tersebut merupakan lereng (slope), yaitu bagian dasar laut yang curam. (Poerbandono 1999). Berdasarkan hal tersebut dan perhitungan matematika penentuan kaki lereng sepanjang profil enam ditetapkan pada nilai perubahan gradien maksimum sebesar 2, di kedalaman 3.506,30 meter dengan jarak 116,16 kilometer dari puncak Eauripik rise.

49 33 (a) Gambar 18 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil enam Jalur batimetri pada profil enam dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 150 kilometer, disesuaikan dengan panjang profil yang dibentuk (Gambar 19). Bentuk topografi permukaan dasar laut hasil pengukuran MBES pada profil enam (Gambar 19a) memiliki tingkat kerapatan antar titik perubahan kedalaman sepanjang jalur yang dilewati ± 61,7 meter dan lebar sapuan ± 9 kilometer serta jangkauan deteksi sampai pada kedalaman meter. Bentuk topografi permukaan dasar laut sepanjang profil enam memiliki permukaan yang lebih halus, baik pada bagian yang landai, ridges maupun slope. Kawahata dan Eguchi (1996) menyatakan bahwa salah satu sedimen pembentukan Eauripk rise berasal dari pelapukan biogenic. Hal tersebut menunjukan bahwa teknik gridding dan smoothing yang dilakukan terhadap data batimetri sepanjang jalur survei pada profil enam memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik. Khafid (2009) menyatakan bahwa proses smoothing terhadap data batimetri penting dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan noise sehingga bentuk topografi permukaan dasar laut lebih jelas dan mempermudah dalam penentuan posisi kaki lereng. (b)

50 34 Bentuk topografi batimetri SRTM hasil pemodelan hydrodinamic yang ditampilkan dalam bentuk 3D (Gambar 19b) pada profil enam secara spasial hampir sama dengan jalur MBES, namun ada beberapa perbedaan bentuk permukaan dasar laut, terutama di bagian awal dan pertengahan profil. Tingkat kerapatan antar titik perubahan kedalaman lebih renggang dan kasar. Daerah perkiraan kaki lereng mendekati jalur MBES, namun pada jalur SRTM keberadaan titik kaki lereng lebih ke arah perairan yang lebih dalam. Hal ini disebabkan karena sebaran data dan metode interpolasi yang digunakan dalam menentukan kecenderungan perubahan kedalaman perairan (Werner 2001). Perbedaan perubahan kedalaman di bagian awal dan pertengahan antara jalur SRTM dan MBES terlihat jelas. Jalur SRTM cenderung terputus-putus dan kasar, sedangkan pada jalur MBES lebih rapat dan halus. Hal ini menunjukan bahwa pengukuran menggunakan MBES terhadap kedalaman perairan memiliki akurasi yang tinggi (Lurton 2002). (a) (b) Gambar 19 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil enam

51 35 Peta Posisi Kaki Lereng Eauripik Rise Berdasarkan pendekatan model matematika dan bentuk topografi permukaan dasar laut hasil survei batimetri menggunakan multibeam echosounder untuk pengukuran kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua ditemukan posisi kaki lereng sebanyak enam titik. Jumlah titik tersebut sesuai dengan jalur profil batimetri yang melewati puncak Eauripik rise baik dari arah barat maupun dari arah timur. Pemetaan kaki lereng Eauripik rise dalam penelitian ini hanya menggunakan data batimetri MBES, sedangkan data batimetri SRTM hanya digunakan untuk overlay peta. Peta lokasi kaki lereng Eauripik rise digabungkan dengan peta batas wilayah ZEE masing-masing negara di sekitar perairan utara Papua dan daerah potensi yang bisa dilakukan penambahan batas wilayah landas kontinen lebih dari 200 NM. Posisi horizontal daerah perkiraan kaki lereng Eauripik rise masing-masing profil batimetri hasil pengukuran multibeam echosounder di perairan utara Papua ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Posisi horizontal daerah perkiraan kaki lereng Eauripik rise masingmasing profil batimetri di perairan utara Papua Jalur Profil Posisi Kaki Lereng Eauripik Rise Kedalaman Lintang Bujur (m) Jarak (km) 1 0,00º 144,68º 3.934,80 347,19 2 2,02º 139,53º 4.327,76 261,69 3 6,43º 140,20º 4.226,20 261,09 4 5,65º 144,08º 4.067,20 141,74 5 7,93º 144,01º 4.298,20 190,79 6 7,99º 144,15º 3.506,30 116,16 Berdasarkan Tabel 6 posisi keberadaan kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua, jarak antar titik baik yang berada di bagian barat maupun bagian timur saling berjauhan. Hal ini disebabkan karena desain survei yang digunakan tidak difokuskan pada pemetaan kaki lereng tetapi untuk tujuan eksplorasi sumberdaya alam yang ada di perairan utara Papua. Pemanfaatan data batimetri dalam penelitian ini sangat penting karena peralatan yang digunakan MBES memiliki akurasi yang tinggi dalam mendeteksi dasar perairan, sehingga data batimetri tersebut secara teknis dapat digunakan untuk penentuan kaki lereng Eauripik rise. Hasil penelitian menunjukan bahwa melalui pendekatan model matematika untuk menghitung perubahan gradien maksimum masing-masing profil batimetri dapat ditemukan posisi kaki lereng Eauripik rise pada daerah yang diperkirakan. Hal ini didukung oleh bentuk topografi permukaan dasar laut yang menunjukan posisi kaki lereng sesuai dengan nilai perubahan gradien maksimum pada daerah yang sama. McDorman (2002) menyatakan bahwa penentuan kaki lereng dapat diketahui melalui titik perubahan gradien maksimum dan bentuk topografi permukaan dasar laut. Posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua (Gambar 20) terletak di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tiga negara yang berbeda, yaitu titik satu berada di wilayah ZEE Papua New Guine, titik dua terletak di wilayah bebas dekat wilayah ZEE Indonesia dan titik tiga, empat, lima dan enam terletak di wilayah ZEE Mikronesia. Peta titik-titik kaki lereng Eauripik rise tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan teknis untuk melakukan klaim

52 36 potensi penambahan batas wilayah perairan di luar 200 NM bagi negara-negara di sekitar perairan utara Papua termasuk Indonesia, dengan tetap berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh UNCLOS Gambar 20 Peta posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Melalui pendekatan model matematika dan bentuk topografi permukaan dasar laut berdasarkan data batimetri hasil pengukuran menggunakan multibeam echosounder di perairan utara Papua, ditemukan informasi keberadaan kaki lereng Eauripik rise di kedalaman antara 3.506,30 meter sampai 4.298,20 meter dengan jarak antara 116,16 sampai dengan 347,19 kilometer dari puncak Eauripik rise pada titik koordinat , ,85 LU dan , ,47 BT. Posisi kaki lereng tersebut masing-masing terbagi dalam tiga lokasi di bagian barat dan timur puncak Eauripik rise perairan utara Papua. Saran Perlu dilakukan desain survei yang lebih lengkap dan rapat baik secara melintang maupun membujur sehingga posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua dapat dipetakan dengan baik.

53 37 DAFTAR PUSTAKA Anderson JT, Holliday DV, Kloser R, Reid DG, dan Simrad Y Acoustic Seabed Classification: Current Practice and Future Directions. ICES Journal of Marine Science. 34: [BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Survei Seismik Multichanel Batas Landas Kontinen Indonesia di Luar 200 Nautical Mile. Bogor (ID): BAKOSURTANAL. Bennet J Examples of Mapping the Foot of the Continental Slope with the Surface of Directed Gradient Algoritma using NOAA s ETOPO5 Data Base. MMS.703(7): [BIG] Badan Informasi Geospasial Pemetaan Landas Kontinen Indonesia di Perairan Utara Papua dengan Kapal Geomarine III. Bogor (ID): BIG. [CLCS] Commission on the limits of the Continental Shelf Scientific and Technical Guidelines of Commission on the Limits of the Continental Shelf. New York (US): CLCS. [CSI] Communications Seabeam Instruments Multibeam Sonar Theory of Operation. Washington. (US): L-3 CSI. Den N, Ludwig J, Murauchi S, Ewing M, Hotta H, Asnuma T, Yoshii T, Kubotera A, Hagiwara K Sediments and Structure of the Eauripik-New Guinea Rise. Journal of Geophysical Research. 76(20): De Robertis A, Higginbottom I A Post-Processing Technique to Estimate the Signal-to-Noise Ratio and Remove Echosounder Background Noise. ICES Journal of Marine Science. 64: [Dishidros TNI-AL] Dinas Hidro-Oseanografi Tentara Nasional Indonesia- Angkatan Laut Laporan Survei Hidrografi. Jakarta (ID): Dishidroros TNI-AL. Djunarsjah E Survei Hidrografi untuk Penetapan Batas Landas Kontinen. Journal of International Law. 3(3):1-19 Djunarsjah E Aspek Teknik Hukum Laut. Bandung (ID): ITB Pr. Durand M, Konstantinos M, Andreadis, Douglas E, Alsdorf, Dennis P, Lettenmaier, Moller D, Wilson M Estimation of Bathymetric Depth and Slope from Data Assimilation of Swath Altimetry into a Hydrodynamic Model. Geophysical Research Letters. 35(L20401):1-5. [FSM] Federated States of Micronesia Preliminary Information Indicative of the Outer Limits of the Continental Shelf Beyond 200 Nautical Miles for the Eauripik Rise and Mussau Ridge Areas. Micronesia. Fu LL, Alsdorf D, Rodriguez E, Morrow R, Mognard N, Lambin J, Vaze P, Lafon T The SWOT (Surface Water and Ocean Topography) Mission: Spaceborne Radar Interferometry for Oceanographic and Hydrological Applications. Oceanobs Conference. p1-16. Hutabarat S, Evans SM Pengantar Oseanografi. Jakarta (ID):UI Press. [IHO] International Hydrographic Organization Standards for Hydrographic Surveys. 5th ed. Monaco (FR): International Hydrographic Bureau Publishing.

54 38 [IHO] International Hydrographic Organization Guiding Committee for the General Bahymetric Chart of the Ocean. 14th ed. California (US): Institution of Oceanography. Kawahata H, Eguchi N Biogenic Sediments on the Eauripik Rise of the Western During the Late Pleistocene Equatorial Pacific. Geochemical Journal. 30: Khafid Applying of Mathematical Model to Identify Maximum Change of Gradient for Determination of Foot of slopes. Bogor (ID): BAKOSURTANAL. Kiel B, Alsdorf D, LeFavour G Capability of SRTM C- and X-band DEM Data to Measure Water Elevations in Ohio and the Amazon. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. 72(3):1-8. Korneliussen RJ, Ona E An Operational System for Processing and Visualizing Multi-Frequency Acoustic Data. ICES Journal of Marine Science. 159: Lurton X An Introduction to Underwater Acoustics: Principles and Applications. France (FR): Praxis Publ. Medwin H, Clay CS Fundamentals of Acoustical Oceanography. London (GB): Academic Pr. McDorman TL The Role of the Commission on the Limits of the Continental Shelf: A Technical Body in a Political World. The International Journal of Marine and Coastal Law. 17(3): Moustier C Beyond Bathymetry: Mapping Acoustic Backscattering from the Deep Seafloor with Sea Beam. J. Acoust. Soc. Am. 79(2): Ona E, Mazauric V, Andersen LN Calibration Methods for Two Scientific Multibeam Systems. ICES Journal of Marine Science. 66: [P3GL] Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Survei Seismik dan Pemetaan Landas Kontinen Indonesia di Perairan Utara Papua. Bandung (ID): P3GL. Parthiana IW Pengantar Hukum Internasional. Bandung (ID): Mandar Maju. Poerbandono, Djunarsjah, E Survei Hidrografi. Bandung (ID): Refika Aditama. Poerbandono Hidrografi Dasar. Bandung (ID): ITB Press. Pratomo DN Pemodelan Batimetri Tiga Dimensi Untuk Penentuan Kaki Lereng. [tesis]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Torres LC, Jeck IK, Alberoni LAA, Villena HH Brazilian Southern Margin:An Example of Identification of the Base of the Slope on a Passive Continental Margin. Brazilian Navy Hidrographic Center. 32(3):1-12. [UNCLOS] United Nations Convention on the Law of the Sea Scientific and Technical Guidelines of the Continental Shelf. New York (US): UNCLOS. Werner M Suttle Radar Topography Mission: Mission Overview. Journal of Telecommunication. 55: Zahraa M Prospective Anglo-Scottish Maritime Boundary Reviseted. EJIL.12(1):

55 Lampiran 1 Syntax proses smoothing data kedalaman masing-masing profil batimetri menggunakan perangkat lunak matlab % Syntax Moving Average Data Batimetri % movavg % Leading and lagging moving averages chart % Syntax % movavg(asset, Lead, Lag, Alpha) % [Short,Long]= movavg(asset, Lead, Lag, Alpha). % Arguments % Asset :Security data, a vector of time-series prices % Lead :Number of samples to use in leading average calculation % A positive integer. Lead must be less than or equal to Lag % Lag :Number of samples to use in the lagging average calculation. A positive integer % Alpha :(Optional) Control parameter that determines the type of moving averages % 0 = simple moving average (default) % 0.5 = square root weighted moving average % 1 = linear moving average % 2 = square weighted moving average, and so on % To calculate the exponential moving average, set Alpha ='e'. % Description % movavg (Asset, Lead, lag, Alpha) plots leading and lagging moving averages % [Short,Long] = movavg(asset, Lead, lag, Alpha) returns the leading Short % and lagging Long moving average data without plotting it data=load('profil#1.txt'); x=data(:,2); [Short,Long]=movavg(x,3,30,1); plot(x) hold on plot(long) grid on; Lampiran 2 Syntax proses perhitungan perubahan gradien maksimum menggunakan perangkat lunak matlab % Syntax Perhitungan Maximum Change of Gradient untuk Penentuan Kaki Lereng Kontinen (Foot of the Continental Slope) % File.m: format long data=load ('mcg_profil#1.txt'); x=data(:,2); y=data(:,1); z=data(:,3); x1=x*110321; % konversi nilai derajat desimal ke satuan meter y1=y*110067; % konversi nilai derajat desimal ke satuan meter jd=length(x1); for i=1 : jd-1 s1(i)=sqrt((x1(i)-x1(i+1))^2+(y1(i)-y1(i+1))^2); % s1 adalah fungsi jarak terhadap kedalaman(fungsi dx) end s1=s1'; js1=length(s1); 39

56 40 Lampiran 2 (lanjutan) for i=1:js1-1 f1(i)= (z(i+1)-z(i))/s1(i); end f1=f1'; % f1 adalah fungsi turunan pertama (nilai gradien) for i=1:js1-2 f2(i)=(f1(i+1)-f1(i))/s1(i+1); end f2=f2'; % f2 adalah fungsi turunan kedua (nilai perubahan gradien) for i=1:js1-3 f3(i)=(f2(i+1)-f2(i))/s1(i+2); end f3=f3'; % f3 adalah fungsi turunan ketiga (nilai perubahan gradien maksimum) % Pada layar command windows ketik: f1,f2 dan f3 untuk menampilkan nilai masing-masing fungsi turunan pertama, kedua dan ketiga. % Selanjutnya nilai-nilai tersebut disimpan dalam file.txt (f1_profil#1.txt; f2_profil#1; f3_profil#1) % File untuk menampilkan visualisasi nilai gradien, perubahan gradien dan perubahan gradien maksimum secara 2D: d=load('f1_profil#1.txt'); % demikian untuk f2 dan f3. x=d(:,1); y=d(:,2); plot(x,y); grid on; Lampiran 3 Syntax visualisasi dua dimensi perubahan gradien maksimum menggunakan perangkat lunak matlab % Sintax Visualisasi 2D Perubahan Gradien Maksimum % Masukan data d=load('profil#1.txt'); x=d(:,1); y=d(:,2); plot(x,y); grid on; Lampiran 4 Syntax visualisasi data batimetri dua dimensi dan tiga dimensi menggunakan perangkat lunak matlab % Sintax Visualisasi Data Batimetri 2D Dan 3D % Masukan data data=load('jalur#1.txt'); % Pemisahan data berdasarkan kolom x=data(:,1); % data longitude y=data(:,2); % data latitude z=data(:,3); % data kedalaman % Membuat batas maksimum dan minimum dari data untuk pemplotan xmin=min(x); xmax=max(x); ymin=min(y); ymax=max(y);

57 41 Lampiran 4 (lanjutan) zmin=min(z); zmax=max(z); % Membuat selang dari nilai longitude dan latitude xi=xmin:0.01:xmax; yi=ymin:0.01:ymax; zi=zmin:0.01:zmax; % Mesgrid [XI,YI] = meshgrid(xi,yi); % Interpolasi Data % za = griddata(x,y,z,xi,yi); % Interpolasi Linear % zb = griddata(x,y,z,xi,yi,'cubic'); % Interpolasi Cubic zc = griddata(x,y,z,xi,yi,'nearest'); % Interpolasi Nearest % Visualisasi Batimetri % 1 Visualisasi Batimetri 2D % 1)Interpolasi Linear % figure (1) % [C,h]=contourf(XI,YI,za); % colormap summer, colorbar % Untuk mengganti warna tampilan ganti tulisan 'summer' dengan (jet, hsv, hot, cool, spring, autumn, winter, gray, bone, copper, pink, lines) % xlabel ('Longitude'); % ylabel ('Latitude'); % title ('Batimetri Eauripik Rise Utara Papua_jalur#1'); % 2)Interpolasi Cubic % figure (2) % [C,h]=contourf(XI,YI,zb); % colormap summer, colorbar % Untuk mengganti warna tampilan ganti tulisan 'summer' dengan (jet, hsv, hot, cool, spring, autumn, winter, gray, bone,copper, pink, lines) % xlabel ('Longitude'); % ylabel ('Latitude'); % title ('Batimetri Eauripik Rise Utara Papua_jalur#1'); % 3)Interpolasi Nearest figure (3) [C,h]=contourf(XI,YI,zc); colormap jet, colorbar % Untuk mengganti warna tampilan ganti tulisan 'summer' dengan (jet, hsv, hot, cool, spring, autumn, winter, gray, bone,copper, pink, lines) xlabel ('Longitude'); ylabel ('Latitude'); % title ('Batimetri Eauripik Rise Utara Papua_jalur#1'); % 2 Visualisasi Batimetri 3D % 1)Interpolasi linear % figure (4) % surfc(xi,yi,za); % colormap jet, colorbar % Untuk mengganti warna tampilan ganti tulisan 'summer' dengan (jet, hsv, hot, cool, spring, autumn, winter, gray, bone,copper, pink, lines) % shading interp; % set(gca,'xlim',[xmin xmax]); % set(gca,'ylim',[ymin ymax]);

58 42 Lampiran 4 (lanjutan) % xlabel ('Longitude'); % ylabel ('Latitude'); % zlabel ('Depth'); % title ('Batimetri Eauripik Rise Utara Papua_jalur#1'); % grid on % 2)Interpolasi Cubic % figure (5) % surfc(xi,yi,zb); % colormap summer, colorbar % Untuk mengganti warna tampilan ganti tulisan 'summer' dengan (jet, hsv, hot, cool, spring, autumn, winter, gray, bone,copper, pink, lines) % shading interp; % set(gca,'xlim',[xmin xmax]); % set(gca,'ylim',[ymin ymax]); % xlabel ('Longitude'); % ylabel ('Latitude'); % zlabel ('Depth'); % title ('Batimetri Eauripik Rise Utara Papua_jalur#1'); % grid on % Interpolasi Nearest figure (6) surfc(xi,yi,zc); colormap jet, colorbar % Untuk mengganti warna tampilan ganti tulisan 'summer' dengan (jet, hsv, hot, cool, spring, autumn, winter, gray, bone,copper, pink, lines) shading interp; set(gca,'xlim',[xmin xmax]); set(gca,'ylim',[ymin ymax]); xlabel ('Longitude'); ylabel ('Latitude'); zlabel ('Depth'); % title ('Batimetri Eauripik Rise Utara Papua_jalur#1'); grid on Lampiran 5 Spesifikasi kapal yang digunakan pada saat survei batimetri

59 43 Lampiran 5 (lanjutan) Name/Call Sign Country Owner Operator : Mirai/JNSR : Japan : Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) : Global Ocean Development Inc (GODI) Main Dimensions : Length OA/ Breatdth/ Max. draft : 128,58 m/19 m/6,9 m Main Vessel Activity : Main Activity : Thermal and material cycle of the ocean and atmosphere, Ocean Ecosystem, Seafloor Dynamics Capavities and Working Space : Gross Tonnage : 8687 GRT Range, Speed and Endurance : Range/Cruising Speed : nautical miles/16 knots Accommodation : Other crew/scientists : 52/28 CTD Specifications : CTD Aboard : yes CTD Type : Sea-Bird Electronics: SBE911 Plus/Carousel 12 X 12L bottles, Sea-Bird Electronics: SBE911 Plus/Carousel 24 X 30L bottles, Sea-Bird Electronics: SBE911 Plus/Carousel 36 X 12L bottles Coring Specifications : Coring Capabilities Aboard : yes Gravity Corer : yes Piston Corer/Multi corer :20 ml piston corer (for 10,000 m depth)/yes Navigation and Comunication : Navigational Equipment : Joystick control system, Radio navigation system, Hydroacoustic navigation system: Oki Elctric Industry Co Comunications Equipment Satellite Comunications Equipment : Radio, Network server : Satellite data receiver systems (NOAA, GMS, etc.) Acoustics and Profiling : Echosounder : Multi-narrow beam echosounder seabeam Acoustic Doppler/Corrent Profile : RD vessel/mount 75

60 44 Lampiran 6 Spesifikasi multibeam echosounder yang digunakan pada saat survei batimetri Measurement System: Instrument : Multi-narrow beam echosounder Manufacturer : Seabeam Instruments Type/Frequency : Seabeam /12 khz Swath angle : Max 150 Beam angle : 2 * 2 Beam number/range : 151/0 m m Resolution (Depth) : Center beam [Depth (m) * 0.2%], Side beam [Depth (m) * 0.5%].

61 45 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pola, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 18 April 1977 dari pasangan Bapak La Matete (Almarhum) dan Ibu Wa Muhunia. Penulis merupakan putra kelima dari delapan bersaudara. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Raha, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB. Kesempatan melanjutkan pendidikan ke program pascasarjana pada Program Studi Teknologi Kelautan IPB diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan dan penelitian S-2 diperoleh dari Yayasan Bakrie Center Foundation melalui program Bakrie Graduate Fellowship tahun 2013/2014, dan Yayasan Toyota dan Astra Indonesia tahun Selama mengikuti program S-2, penulis mengikuti beberapa pelatihan dan seminar baik nasional maupun internasional, diantaranya [1] Seminar Nasional Strategi Membangun Negara Maritim yang diselenggarakan oleh FPIK-IPB, Institut Maritim Indonesia dan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia pada bulan Februari 2012, [2] Seminar Nasional Kepelabuhanan dan Industri Transportasi Laut oleh FPIK-IPB pada bulan September 2012, [3] Pelatihan dan Pemetaan Habitat Dasar dan Geomorpologi Perairan Dangkal oleh SEAMEO BIOTROP Bogor pada bulan Oktober 2012, [4] Pelatihan Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan, oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI) KKP-RI pada bulan November 2012, [5] Gelar Pelatihan Nasional Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Perluasan Kerja dan Penciptaan Wirausaha Baru Kelautan dan Perikanan oleh KKP-RI pada bulan November 2013, [6] Lokakarya Penulisan Artikel Ilmiah untuk Jurnal Ilmiah Nasional dan Internasional, oleh Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB pada bulan November 2013, [7] Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, oleh Bakrie Center Foundation (BCF) pada bulan Februari 2014, [8] International Training and Workshop on Modeling Ocean Circulation and Biogeochemistry in the Nusantara Waters towards understanding oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB dengan Institut Francais Indonesia pada bulan Januari 2013, [9] International Converence on Instrumentation, Communications, Information Technology, and Biomedical Engineering (ICICI-BME) oleh Institut Teknologi Bandung pada bulan Maret 2013, [10] International Workshop Enhancing Marine Biodiversity Research in Indonesia (EMBRIO) oleh Germany EMBRIO dan Institut Pertanian Bogor pada bulan Maret 2014, [11] International Conference on Sensor, Sensor System and Actuator (ICSSA) oleh Institut Teknologi Bandung pada bulan Mei Tugas akhir pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyusun Tesis berjudul Pengukuran Kaki Lereng Eauripik rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua.

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 22 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data atau akuisisi data kedalaman dasar perairan dilakukan pada tanggal 18-19 Desember 2010 di perairan barat daya Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15 13 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Data diperoleh dari survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15 Februari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 18 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Informasi keberadaan kaki lereng kontinen bersifat penting karena akan menentukan wilayah yang dapat diklaim sebagai batas landas kontinen diluar 200 mil laut. oleh karena itu,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga ' BT terletak di posisi

2. TINJAUAN PUSTAKA. hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga ' BT terletak di posisi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landas Kontinen bagi Negara Kepulauan Wilayah kedaulatan dan yuridiksi Indonesia terbentang dari 6 08' LU hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga 141 05' BT terletak di posisi

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Pengukuran kedalaman laut atau pemeruman pada penelitian ini dilakukan di perairan Selat Sunda yang dimaksudkan untuk mendapatkan data kedalaman

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai BATIMETRI Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 Modul 2. Batimetri TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan

Lebih terperinci

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah :

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah : 01. BATIMETRI TUJUAN PRAKTIKUM - Mahasiswa dapat mengenal bentuk-bentuk dasar perairan. - Mahasiswa dapat mengetahui aturan-aturan dasar dan membuat kontur-kontur batimetri. - Mahasiswa dapat melukiskan

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI ASPEK GEOLOGI DALAM PENENTUAN BATAS LANDAS KONTINEN

BAB III IMPLEMENTASI ASPEK GEOLOGI DALAM PENENTUAN BATAS LANDAS KONTINEN BAB III IMPLEMENTASI ASPEK GEOLOGI DALAM PENENTUAN BATAS LANDAS KONTINEN 3.1 Klasifikasi Teknis Batas Landas Kontinen Menurut UNCLOS 1982, batas Landas Kontinen suatu negara pantai dibagi berdasarkan posisi

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009] BAB III REALISASI DAN HASIL SURVEI 3.1 Rencana dan Pelaksanaan Survei Survei dilakukan selama dua tahap, yaitu tahap I adalah survei batimetri untuk menentukan Foot Of Slope (FOS) dengan menggunakan kapal

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Juli 2017, 9(2):77-84 PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN BATIMETRY MAPPING USING ACOUSTIC METHOD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara pantai yang secara hukum internasional diakui sebagai negara kepulauan yang 80% wilayahnya adalah wilayah lautan (Patmasari dkk, 2008). Hal

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai 27 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai dengan Juli 2012. Data yang digunakan merupakan data mentah (raw data) dari

Lebih terperinci

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra Aldea Noor Alina 3509 100 005 Dengan bimbingan Ir. Yuwono MS. Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbentang memanjang dari Sabang hingga Merauke dan dari Pulau Miangas di ujung Sulawesi Utara sampai ke Pulau Dana di selatan

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Landas Kontinen Dalam Perspektif Geologi

BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Landas Kontinen Dalam Perspektif Geologi BAB II DASAR TEORI Landas Kontinen berasal dari istilah geologi, yang kemudian dalam perkembangannya digunakan dalam perbendaharaan istilah hukum [Djunarsjah, 2003]. Pengertian Landas Kontinen secara ilmiah

Lebih terperinci

PENENTUAN KAKI LERENG (FOOT OF SLOPE) KONTINEN MENGGUNAKAN DATA BATIMETRI

PENENTUAN KAKI LERENG (FOOT OF SLOPE) KONTINEN MENGGUNAKAN DATA BATIMETRI PENENTUAN KAKI LERENG (FOOT OF SLOPE) KONTINEN MENGGUNAKAN DATA BATIMETRI ERWAN HERMAWAN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut adalah kumpulan air asin dan menyatu dengan samudera. Dari waktu ke waktu, terjadi perkembangan yang signifikan terhadap fungsi atau peranan laut. Adapun fungsi

Lebih terperinci

STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU KOMODO, MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR

STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU KOMODO, MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 257-266 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU

Lebih terperinci

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) N. Oktaviani 1, J. Ananto 2, B. J. Zakaria 3, L. R. Saputra 4, M. Fatimah

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (Juni, 2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (Juni, 2013) ISSN: ( Print) Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra Aldea Noor Alina 1) dan Yuwono 2) Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Sound Velocity Profile (SVP) Pengukuran nilai Sound Velocity Profile (SVP) dilakukan dengan menggunkan sebuah instrumen CTD SBE 19. Instrumen ini memiliki tingkat

Lebih terperinci

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG (SPATIAL PATTERN OF BATHYMETRY IN BUNGUS BAY, PADANG CITY) Oleh YULIUS, H. PRIHATNO DAN I. R. SUHELMI Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya

Lebih terperinci

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test DAFTAR PUSTAKA Abidin, Hasanuddin Z. Metode Penentuan dengan GPS dan Aplikasinya. Pradnya Paramita. 2001. Budhiargo, Guntur. Analisis data batimetri multibeam echosounder menggunakan Caris HIPS. Skripsi.

Lebih terperinci

OSEANOGRAFI. Morfologi Dasar Laut

OSEANOGRAFI. Morfologi Dasar Laut OSEANOGRAFI Morfologi Dasar Laut Outline Teori Continental Drift Teori Plate Tectonic Morfologi Dasar Laut 2 Games!!! Bagi mahasiswa menjadi 3 kelompok. Diskusikan mengenai hal-hal berikut : - Kelompok

Lebih terperinci

Bentuk bentukan dasar laut / topografi dasar laut

Bentuk bentukan dasar laut / topografi dasar laut Bentuk bentukan dasar laut / topografi dasar laut I. Bentuk-bentukan Dasar Laut Keadaan dasar laut seperti juga di daratan terdapat bentukan-bentukan dasar laut seperti pegunungan,plato, gunung, lembah,

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN ANYER, BANTEN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER SYSTEM (MBES)

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN ANYER, BANTEN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER SYSTEM (MBES) JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman 253-261 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN ANYER, BANTEN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pasang Surut Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik

Lebih terperinci

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV 3.1. Persiapan Sebelum kegiatan survei berlangsung, dilakukan persiapan terlebih dahulu untuk mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan selama kegiatan survei

Lebih terperinci

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR KAJIAN EFEKTIFITAS ANTARA APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DENGAN PERPADUAN SINGLEBEAM ECHOSOUNDER - SIDE SCAN SONAR DALAM SURVEI LOKASI ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA,

Lebih terperinci

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI 1. Perhitungan Ketelitian Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017 ANALISIS PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK MB-SYSTEM DAN CARIS HIPS AND SIPS BERDASARKAN STANDAR S-44 IHO 2008 Sendy Brammadi, Arief Laila Nugraha, Bambang Sudarsono, Imam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 76 United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia sebagai negara pantai mempunyai kesempatan

Lebih terperinci

PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN INDONESIA. Eka Djunarsjah dan Tangguh Dewantara. Departemen Teknik Geodesi FTSP ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132

PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN INDONESIA. Eka Djunarsjah dan Tangguh Dewantara. Departemen Teknik Geodesi FTSP ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN INDONESIA Eka Djunarsjah dan Tangguh Dewantara Departemen Teknik Geodesi FTSP ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 ABSTRAK Landas kontinen (continental shelf) merupakan salah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Titik Pangkal N (m) E (m) FOS N (m) E (m) Jarak (M)

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Titik Pangkal N (m) E (m) FOS N (m) E (m) Jarak (M) BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Keberadaan FOS merupakan dasar penarikan titik-titik ketebalan sedimen 1 %, artinya titik-titik FOS inilah yang menjadi titik awal (start) dalam

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA Pada Bab ini akan dibahas mengenai persiapan data, pengolahan data, ekspor data hasil survei multibeam echosounder

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN DANGKAL PULAU TUNDA, SERANG, BANTEN MENGGUNAKAN SINGLEBEAM ECHOSOUNDER

PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN DANGKAL PULAU TUNDA, SERANG, BANTEN MENGGUNAKAN SINGLEBEAM ECHOSOUNDER Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 139-147 ISSN 2087-4871 PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN DANGKAL PULAU TUNDA, SERANG, BANTEN MENGGUNAKAN SINGLEBEAM ECHOSOUNDER BATHYMETRIC

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards For Hydrographic Survei (S.44-IHO) Informasi mengenai kondisi dasar laut dapat diperoleh melalui sebuah kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Survei dan pemetaan dasar laut telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya kebutuhan informasi akan sumber daya

Lebih terperinci

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN 3.1 Pendahuluan Pada kegiatan verifikasi posisi pipa bawah laut pasca pemasangan ini akan digunakan sebagai data untuk melihat posisi aktual dari

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf PENGARUH FREKUENSI GELOMBANG TERHADAP RESOLUSI DAN DELINEASI PERLAPISAN SEDIMEN BAWAH PERMUKAAN DARI DUA INSTRUMEN AKUSTIK YANG BERBEDA DI SUNGAI SAGULING Subarsyah dan M. Yusuf Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA By : I PUTU PRIA DHARMA APRILIA TARMAN ZAINUDDIN ERNIS LUKMAN ARIF ROHMAN YUDITH OCTORA SARI ARIF MIRZA Content : Latar Belakang Tujuan Kondisi Geografis Indonesia Metode

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan data side scan sonar yang berasal dari survei lapang untuk kegiatan pemasangan kabel PLN yang telah dilakukan oleh Pusat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

DELINEASI LANDAS KONTINEN EKSTENSI DI LUAR 200 MIL LAUT MELALUI PENARIKAN GARIS HEDBERG DARI KAKI LERENG INVESTIGATOR RIDGE

DELINEASI LANDAS KONTINEN EKSTENSI DI LUAR 200 MIL LAUT MELALUI PENARIKAN GARIS HEDBERG DARI KAKI LERENG INVESTIGATOR RIDGE Delineasi Landas Kontinen... DELINEASI LANDAS KONTINEN EKSTENSI DI LUAR 200 MIL LAUT MELALUI PENARIKAN GARIS HEDBERG DARI KAKI LERENG INVESTIGATOR RIDGE Khomsin 1), Muammar Khadafi Ashar 1), Arif Rahman

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode dan Desain Penelitian Data geomagnet yang dihasilkan dari proses akusisi data di lapangan merupakan data magnetik bumi yang dipengaruhi oleh banyak hal. Setidaknya

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN PANTAI PEJEM PULAU BANGKA BATHYMETRY MAPPING IN THE COASTAL WATERS PEJEM OF BANGKA ISLAND

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN PANTAI PEJEM PULAU BANGKA BATHYMETRY MAPPING IN THE COASTAL WATERS PEJEM OF BANGKA ISLAND PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN PANTAI PEJEM PULAU BANGKA BATHYMETRY MAPPING IN THE COASTAL WATERS PEJEM OF BANGKA ISLAND Khoirul Effendi 1, Risandi Dwirama Putra, ST, M.Eng 2, Arief Pratomo, ST, M.Si 2 Mahasiswa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian. BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Daerah Penelitian Daerah penelitian adalah Pulau Semak Daun (Gambar 2.1) yang terletak di utara Jakarta dalam gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun adalah pulau yang memiliki

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

(Bathymetric Mapping in Shallow Water of Tunda Island, Serang, Banten Using Singlebeam Echosounder AIT)

(Bathymetric Mapping in Shallow Water of Tunda Island, Serang, Banten Using Singlebeam Echosounder AIT) Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 139-147 ISSN 2087-4871 PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN DANGKAL PULAU TUNDA, SERANG, BANTEN MENGGUNAKAN SINGLEBEAM ECHOSOUNDER (Bathymetric

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Pelajaran

Ringkasan Materi Pelajaran Standar Kompetensi : 5. Memahami hubungan manusia dengan bumi Kompetensi Dasar 5.1 Menginterpretasi peta tentang pola dan bentuk-bentuk muka bumi 5.2 Mendeskripsikan keterkaitan unsur-unsur geografis dan

Lebih terperinci

PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER DI PERAIRAN SURABAYA

PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER DI PERAIRAN SURABAYA Pengaruh Sound Velocity Terhadap Pengukuran Kedalaman Menggunakan Multibeamechosounder Di Perairan Surabaya (Eko Prakoso A..et.al) PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang SURVEI HIDROGRAFI Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Tahapan Perencanaan Survey Bathymetri Pengukuran bathimetri dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 2 Desember 2014: 165-170 TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI (Surveying Technology for Coastal Mapping) Imam Mudita Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013 APLIKASI ECHOSOUNDER HI-TARGET HD 370 UNTUK PEMERUMAN DI PERAIRAN DANGKAL (STUDI KASUS : PERAIRAN SEMARANG) Muhammad Al Kautsar 1), Bandi Sasmito, S.T., M.T. 2), Ir. Hani ah 3) 1) Program Studi Teknik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Profil Kecepatan Suara Profil kecepatan suara (SVP) di lokasi penelitian diukur secara detail untuk mengurangi pengaruh kesalahan terhadap data multibeam pada

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK Batasan masalah dalam tugas akhir ini adalah penetapan batas laut yang lebih tepatnya Zona Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang dua per tiga (2/3) wilayahnya adalah lautan, sehingga Negara Republik Indonesia dapat dikategorikan sebagai Negara

Lebih terperinci

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI xvii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vii SAMBUTAN... x UCAPAN TERIMA KASIH... xiii DAFTAR ISI... xvii DAFTAR GAMBAR... xxii BAB 1 DELIMITASI BATAS MARITIM: SEBUAH PENGANTAR... 1 BAB 2 MENGENAL DELIMITASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek 4.1.1 Ketelitian koordinat objek Pada kajian ketelitian koordinat ini, akan dibandingkan ketelitian dari koordinatkoordinat objek berbahaya pada area

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA Teguh Fayakun Alif, ST Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan (PDKK) BAKOSURTANAL Jl.Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911 Telp.

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Echosounder merupakan alat pengukur kedalaman berbasis gelombang akustik. Dengan bantuan GPS sebagai penentu posisi echosounder memberikan data kedalaman suatu daerah

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

PEMETAAN PROFIL DASAR LAUT LINTASAN INDOMIX 2010 MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SHUTTLE RADAR TOPOGRAPHY MISSION NYIMAS SITI EVI SEPTIANI

PEMETAAN PROFIL DASAR LAUT LINTASAN INDOMIX 2010 MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SHUTTLE RADAR TOPOGRAPHY MISSION NYIMAS SITI EVI SEPTIANI PEMETAAN PROFIL DASAR LAUT LINTASAN INDOMIX 2010 MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SHUTTLE RADAR TOPOGRAPHY MISSION NYIMAS SITI EVI SEPTIANI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISA PENENTUAN POSISI HORISONTAL DI LAUT DENGAN MAPSOUNDER DAN AQUAMAP

ANALISA PENENTUAN POSISI HORISONTAL DI LAUT DENGAN MAPSOUNDER DAN AQUAMAP ANALISA PENENTUAN POSISI HORISONTAL DI LAUT DENGAN MAPSOUNDER DAN AQUAMAP Khomsin 1, G Masthry Candhra Separsa 1 Departemen Teknik Geomatika, FTSLK-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Desain Penelitian 3.1.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Penelitian ini menggunakan data

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

Yesika Wahyu Indrianti 1, Adi Susilo 1, Hikhmadhan Gultaf 2.

Yesika Wahyu Indrianti 1, Adi Susilo 1, Hikhmadhan Gultaf 2. PEMODELAN KONFIGURASI BATUAN DASAR DAN STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA ANOMALI GRAVITASI DI DAERAH PACITAN ARJOSARI TEGALOMBO, JAWA TIMUR Yesika Wahyu Indrianti 1, Adi Susilo 1, Hikhmadhan

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES)

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES) BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES).1 Prinsip Sistem Multibeam Echosounder (MBES) Multibeam Echosounder menggunakan prinsip yang sama dengan singlebeam namun jumlah beam yang dipancarkan adalah

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alur Penelitian Pengambilan Data Koreksi Variasi Harian Koreksi IGRF Anomali magnet Total Pemisahan Anomali Magnet Total Anomali Regional menggunakan Metode Trend Surface

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU

DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU FAHRULIAN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Metode dan Desain Penelitian Data variasi medan gravitasi merupakan data hasil pengukuran di lapangan yang telah dilakukan oleh tim geofisika eksplorasi Pusat Penelitian

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Pengertian Garis Kontur, Peraturan, & Cara PembuatanDEFINISI, GEOGRAFI, IPS ON FEBRUARY 23, 2016 NO COMMENTS

Pengertian Garis Kontur, Peraturan, & Cara PembuatanDEFINISI, GEOGRAFI, IPS ON FEBRUARY 23, 2016 NO COMMENTS Pengertian Garis Kontur, Peraturan, & Cara PembuatanDEFINISI, GEOGRAFI, IPS ON FEBRUARY 23, 2016 NO COMMENTS Pengertian Garis Kontur, Peraturan, & Cara Pembuatan Peta merupakan gambaran permukaan bumi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI

PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman 313 321 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN SUNGAI CARANG KOTA TANJUNG PINANG. Harmi Yuniska Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH,

PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN SUNGAI CARANG KOTA TANJUNG PINANG. Harmi Yuniska Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN SUNGAI CARANG KOTA TANJUNG PINANG Harmi Yuniska Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, harmiyuniska@gmail.com Chandra Joei Koenawan, S.Pi, M.Si Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH,

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam

BAB III TEORI DASAR. Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam BAB III TEORI DASAR 3.1 Seismik Refleksi Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam eksplorasi hidrokarbon. Telah diketahui bahwa dalam eksplorasi geofisika, metode seismik

Lebih terperinci

Abstrak PENDAHULUAN.

Abstrak PENDAHULUAN. PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAERAH ANTARA PROVINSI JAWA TIMUR DAN PROVINSI BALI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAERAH

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Side Scan Sonar Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat memancarkan beam pada kedua sisi bagiannya secara horizontal. Side scan sonar memancarkan pulsa

Lebih terperinci

OSEANOGRAFI FISIKA BATHYMETRI

OSEANOGRAFI FISIKA BATHYMETRI OSEANOGRAFI FISIKA BATHYMETRI SAMUDRA DAN LAUT Hanya ada satu samudra di dunia. Dengan persetujuan dunia, samudra dibagi menjadi 3 bagian: 1. Samudra Hindia 2. Samudra Pasifik 3. Samudra Atlantik Samudra

Lebih terperinci