2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards"

Transkripsi

1 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards For Hydrographic Survei (S.44-IHO) Informasi mengenai kondisi dasar laut dapat diperoleh melalui sebuah kegiatan yang disebut survei batimetri. Kajian untuk mengetahui keberadaan gunung bawah laut (seamount) dititikberatkan pada perolehan data batimetri suatu perairan. Kegiatan pemeruman (sounding) memungkinkan untuk mengetahui kedalaman laut. Kegiatan pemeruman hanya dilakukan di beberapa titik saja sesuai dengan objek yang ingin diperoleh. Batimetri adalah ukuran tinggi rendahnya dasar laut yang merupakan sumber informasi utama mengenai dasar laut (Ariana, 2002). Publikasi khusus yang dilakukan oleh International Hydrography Organization melalui IHO Standars For Hydrographic Surveys edisi ke-4 tahun 1998 manyatakan bahwa dalam melakukan survei batimetri dibagi menjadi beberapa orde yang berbeda sesuai dengan pembagian kawasan lokasi survei dilakukan. Publikasi ini juga digunakan sebagai acuan untuk melakukan survei berdasarkan standar internasional. Ketentuan ini dibuat untuk memberlakukan spesifikasi minimum yang harus dipenuhi dalam pengumpulan data-data yang tepat untuk keselamatan navigasi para pelaut (Gumbira, 2011). 2.2 Klasifikasi Survei Berdasarkan publikasi khusus IHO tahun 1998 terdapat beberapa klasifikasi orde dalam pembagian survei hidrografi. Orde tersebut dibagi menjadi orde khusus, orde satu, orde dua dan orde tiga. 3

2 Orde Khusus Orde ini diperuntukkan bagi wilayah-wilayah kritis dan miliki karakteristik dasar perairan yang mampu membahayakan kapal. Daerah kritis tersebut ditentukan langsung oleh instansi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan survei batimetri. Contoh kawasan yang termasuk kedalam klasifikasi orde khusus ini adalah pelabuhan-pelabuhan tempat sandar kapal dan alur masuknya kapal. Semua kesalahan harus dibuat seminimal mungkin untuk menghasilkan image dasar perairan dengan resolusi yang tinggi. Kegiatan survei hidrografi pada orde ini dilakukan dengan jarak antar lajur perum yang rapat. Hal yang harus diperhatikan juga pada orde ini adalah setiap benda dengan ukuran lebih besar dari satu meter persegi dapat terlihat oleh peralatan perum yang digunakan Orde Satu Survei hidrografi yang termasuk kedalam orde ini diperuntukkan bagi pelabuhan-pelabuhan, haluan pendekat yang dianjurkan, alur navigasi dan beberapa pantai dengan lalu lintas komersial yang padat dengan kedalaman dibawah lunas kapal cukup memadai dan kondisi dasar perairan tidak membahayakan kapal. Survei orde satu berlaku di daerah yang memiliki kedalaman perairan kurang dari 100 meter. Pada daerah yang termasuk kedalam klasifikasi orde ini, harus diyakinkan bahwa pada kedalaman sampai dengan 40 meter, benda dengan ukuran lebih besar dari dua meter persegi atau benda-benda pada kedalaman lebih 40 meter, harus mampu digambarkan oleh alat pemeruman. 4

3 Orde Dua Orde ini diperuntukkan bagi daerah-daerah yang memiliki kedalaman perairan kurang dari 200 meter. Daerah ini diperkirakan memiliki batimetri yang karakteristiknya tidak membahyakan kapal dalam pelaksanaan survei hidrografi Orde Tiga Klasifikasi ini diperuntukkan bagi semua area yang tidak termasuk kedalam kategori orde khusus, orde satu maupun orde dua. Survei hidrografi termasuk kedalam orde ini jika kedalaman perairan atau batimetri lebih dari 200 meter. Tabel 1. Standar minimum pelaksanaan survei hidrografi Sumber : International Hydrographic Organization, IHO Standards for Hydrographic Surveys, Special Publication No. 44, 4th Edition Tabel di atas menjelaskan standar minimum yang harus dilakukan ketika melaksanakan survei hidrografi. Perhitungan limit error dari akurasi kedalaman 5

4 6 sangat diperlukan untuk tujuan validasi data yang dihasilkan. Perhitungan limit error ini didasarkan pada nilai a dan nilai b yang terdapat pada tabel standar minimum survei hidrografi di atas. 2.3 Prinsip Kerja Multibeam Multibeam merupakan instrumen hidroakustik yang banyak digunakan dalam survei batimetri. Hal ini disebabkan kemampuan instrumen tersebut dalam melakukan pemeruman dasar laut dengan akurasi yang sangat tinggi dan cakupan yang luas (Anderson et al., 2008). Multibeam mengirimkan pulsa suara dalam jumlah yang banyak ke dasar perairan, hal ini memungkinkan untuk dapat dilakukan pemetaan dasar laut secara luas. Prinsip kerja pada instrumen akustik ini pada umumnya sama dengan single beam, yaitu dengan mengukur perbedaan waktu yang dipancarkan dan diterima kembali oleh receiver. Menurut Intelmann et al., tahun 2004 menjelaskan bahwa pemrosesan data multibeam relatif lebih rumit bila dibandingkan dengan gelombang suara single beam. Untuk kepentingan data geologi dasar perairan, diperlukan adanya kompensasi sudut datang dari masing-masing beam yang dipancarkan oleh transducer. Langkah yang harus dilakukan dalam pemrosesan data hambur balik (backscatter) yaitu melalui sebuah algoritma. Data kedalaman dari masing-masing pulsa suara yang dipancarkan terdiri dari nilai amplitudo yang berasal dari pulsa suara yang dipantulkan kembali oleh dasar perairan. Informasi ini disebut data backscatter dan digunakan untuk mengetahui kondisi dasar laut (Gambar 1). Gelombang pantul yang lemah (amplitudo kecil) mengindikasikan substrat dasar perairan yang nilai kekasarannya (roughness) lemah dan gelombang pantul yang kuat 6

5 7 mengindikasikan material dasar perairan yang tingkat kekasarannya (roughness) tinggi. Gambar 1. Prinsip pengukuran backscattering menggunakan multibeam (Kågesten, 2008) Beberapa dekade terakhir ini terjadi perkembangan pemetaan dasar perairan melalui metode akustik. Perkembangan akustik kelautan dimulai pada tahun Akustik digunakan untuk mendeteksi keberadaan gunung es yang menyebabkan kecelakaan kapal Titanic yang dilakukan oleh Alexander Behm. Pada awal tahun 1950, teknik penggunaan multibeam dikembangkan oleh tentara Amerika yang menggunakan lebih dari satu pulsa suara yang dipancarkan pada saat yang bersamaan. Perkembangan multibeam berkembang dengan cepat pada tahun 80 hingga 90an (Furgo Palagos, 2003). Keuntungan dari sistem ini memiliki kemampuan penentuan posisi yang akurat dan membantu untuk menghasilkan peta batimetri dengan resolusi spasial yang tinggi. Gambar 2 di bawah ini menjelaskan bentuk sapuan dari multibeam yang dipancarkan oleh transducer ke dalam kolom perairan ketika melakukan kegiatan pemeruman (sounding). 7

6 8 Gambar 2. Visualisasi sapuan multibeam (L-3 Communication ELAC Nautic GmbH, 2003) 2.4 ELAC SeaBeam 1050D Multibeam ELAC SeaBeam 1050D merupakan jenis instrumen akustik yang dapat digunakan pada kedalaman laut medium, yaitu laut dengan kedalaman mencapai 3000 meter. Multibeam jenis ini memiliki kemampuan untuk memetakan wilayah laut secara luas dengan lebar sapuan mencapai 153 o dan memiliki 126 beam dengan jumlah bukaan 1.5 o untuk masing-masing beam. SeaBeam 1050D memiliki dua frekuensi (dual frequency) yang dapat digunakan, yaitu 50 khz dan 180 khz. Kemampuan deteksi menggunakan frekuensi 50 khz mencapai kedalaman 3000 meter sedangkan frekuensi 180 khz digunakan untuk kedalaman meter. Bentuk pancaran gelombang yang ditransmisikan dari sebuah transducer pada intrumen akustik khususnya SeaBeam 1050D dapat dilihat seperti gambar 3 di bawah ini. 8

7 9 (a) Gambar 3. Jangkauan sapuan ELAC SeaBeam 1050D terhadap kedalaman perairan (a) dengan frekuansi 50 khz dan (b) dengan Frekuensi 180 khz (L3 Communications SEA BEAM 1050D-Multibeam Sonar, 2003) (b) 2.5 Simrad EM 12D Simrad EM 12D merupakan sebuah instrumen akustik yang mampu melakukan pemeruman (sounding) dengan tingkat akurasi dan resolusi yang tinggi (Kongsberg, 2003). Simrad EM 12D juga telah dikonfigurasikan dengan 9

8 10 ketentuan standarisasi berdasarkan ketetapan terbaru yang dibuat oleh International Hydrography Organisatioan (IHO). Jumlah beam per ping pada instrumen ini terdiri dari 162 beam. Simrad EM 12D mampu melakukan pemeruman hingga kedalaman meter. Tingkat resolusi yang diberikan oleh instrumen ini sangat tinggi sehingga akan memberikan gambaran objek yang detail dengan kualitas data yang baik. Resolusi kedalaman yang diberikan oleh Simrad EM 12D yaitu 1 meter. Sedangkan akurasi kedalaman dari alat ini mencapai 5 cm Root Means Square (RMS). Multibeam saat ini menjadi teknologi yang paling penting dalam pemetaan dasar perairan. Instrumen ini terdiri dari sinyal yang dipancarkan ke dasar perairan dan menganalisis pantulan dari sinyal tersebut dalam bentuk data kedalaman dan gambaran dasar perairan. Gambar 4. Konfigurasi linear transducer dan pola beam yang dihasilkan dari sistem multibeam (RØnhovde et al., 1999 ) 2.6 Kalibrasi Multibeam Data yang diperoleh dari hasil pemeruman (sounding) harus melewati proses kalibrasi terhadap adanya pengaruh pergerakan kapal yang diakibatkan 10

9 11 oleh adanya pergerakan masa air laut atau dinamika laut. Tahapan ini dilakukan untuk mengurangi besarnya kesalahan (error) yang akan terjadi selama perekaman data. Selain itu juga proses kalibrasi ini akan menentukan kualitas data yang akan dihasilkan. Proses kalibrasi yang dilakukan terdiri dari kalibrasi offset static, pitch, roll, time delay, cepat rambat gelombang suara (sound speed) dan uji keseimbangan kapal (Mann dan Godin, 1996) Kalibrasi Offset Static Kalibrasi ini bertujuan untuk melakukan penyesuaian jarak dari sensor yang digunakan terhadap centerline dari kapal dan transducer. Godin (1998) menyatakan bahwa offset statik diukur dari titik referensi yang digunakan pada koordinat transformasi pengukuran kedalaman. Contoh pengukuran offset statik dapat dilihat pada gambar 5. Proses kalibrasi ini memerlukan beberapa komponen, yaitu kapal, antena GPS kapal, transducer, dan kompas gyro Gambar 5. Kalibrasi offset static (Godin, 1998) Beberapa tahapan koreksi yang dilakukan seperti pitch, roll, time delay yang dilakukan memiliki tujuan untuk menghilangkan pengaruh terjadinya perubahan posisi kapal di laut. 11

10 Kalibrasi Pitch Tujuan dari kalibrasi ini adalah untuk mencari nilai koefisien pitch. Pitch dapat didefinisikan sebagai pengaruh pergerakan kapal selama melakukan kegiatan sounding terhadap sumbu-y. Kalibrasi ini perlu dilakukan agar hasil pengukuran kedalaman menjadi akurat. Teknis pelaksanaan dari kalibrasi pitch ini dilakukan dengan membuat garis sapuan dari multibeam yang memiliki kemiringan (slope) tertentu. Pengambilan data ini dilakukan sebanyak dua kali secara bolak-balik dengan kecepatan yang sama. Setelah itu pengambilan data yang kedua dilakukan dengan menggunakan setengah dari nilai kecepatan pertama dan kedua. Pada kedua garis ini dibuat suatu koridor untuk mendapatkan nilai koefisien pitch (Kongsberg, 2003). Pitch memberikan pengaruh yang relatif kecil terhadap error yang ditimbulkan pada pemeruman (Godin, 1998). Ilustrasi mengenai koreksi terhadap pitch ketika melaksanakan survei hidrografi dapat dilihat pada gambar 6. Error yang ditimbulkan akibat kedalaman dan posisi akan lebih terlihat ketika jalur survei tegak lurus terhadap kemiringan perairan (slope) dan meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Hal penting dari kalibrasi pitch yaitu pergantian jalur sepanjang sumbu-y sebanding dengan kedalaman (Sasmita, 2008). Kalibrasi ini dapat ditulis secara matematis melalui sebuah persamaan yang dapat diformulasikan sebagai berikut : Keterangan : d α = tan -1 d/2... (1) z d α = Pitch offset z = Kedalaman (meter) d = Jarak pengukuran 1 dan 2 12

11 13 Gambar 6. Kalibrasi pitch (Mann, 1996) Kalibrasi Roll Tujuan utama dari kalibrasi ini yaitu untuk mencari besarnya nilai koefisien roll sehingga kedalaman yang terukur menjadi akurat. Kalibrasi ini dilakukan dengan cara membuat satu garis sapuan dari beam pada daerah dasar perairan yang relatif datar. Teknis pelaksanaan kalibrasi ini yaitu dengan melakukan pengambilan data kedalaman sebanyak dua kali secara bolak-balik dengan kecepatan yang sama (Gambar 7). Pada daerah ini dibuat satu koridor untuk memperoleh nilai koefisiennya. Gambar 7. Kalibrasi roll (Mann, 1996) 13

12 14 persamaan : Keterangan : θ = Offset roll Penentuan kalibrasi roll ini dapat diformulasikan secara matematis melalui θ = tan -1 d z = Perbedaan kedalaman d a = Jarak jalur lintasan d z - d a 2... (2) Kalibrasi Time Delay Dalam pelaksanaan survei batimeri menggunakan multibeam, pulsa suara yang dipancarkan dan mengenai dasar perairan akan dipantulkan kembali. Setiap beam yang berasal dari transducer memiliki satu nilai kedalaman. Data tersebut harus disesuaikan terhadap data posisi yang berasal dari DGPS. Tidak semua data hasil pemeruman (sounding) digunakan. Data multibeam yang digunakan adalah data yang berasal dari hasil filterisasi yang telah mengalami penyesuaian terhadap data posisi. Berdasarkan. Kalibrasi time delay atau yang lebih dikenal dengan kalibrasi waktu tunggu pada umumnya bernilai 0,2 sekon 1 sekon. Perbedaan waktu pada koreksi ini akan menyebabkan kesalahan kalibrasi roll (Sasmita, 2008). Kalibrasi waktu tunggu ini bernilai akurat jika dapat dideteksi dalam ms. Gambar 8 memperlihatkan kalibrasi dari waktu tunggu akibat adanya pengaruh kecepatan kapal dan slope. Kalibrasi ini dilakukan secara berulang-ulang sehingga diperoleh profil dengan perolehan perbedaan data yang minimum. Teknis pelaksaan kalibrasi ini dengan malintasi lajur yang sam pada slope kedalaman yang tajam dengan kecepatan kapal yang berbeda. 14

13 15 Gambar 8. Kalibrasi time delay (Mann,1996) Formulasi yang dapat digunakan untuk melakukan perhitungan kalibrasi time delay adalah : Keterangan : TD = d a... (3) V h - V t TD = Time Delay (s) d a = Slope pada kemiringan 1 dan 2 (meter) V h = Kecepatan kapal pada kemiringan terjal (m/s) V t = Kecepatan kapal pada kemiringan yang landai (m/s) 2.7 Sound Velocity Profile (SVP) Sound Velocity Profile merupakan sebuah gambaran atau profil yang menggambarkan tingkat kecepatan rambat suara di perairan. Kecepatan suara sering disimbolkan dengan c. Nilai kecepatan rambat suara air laut berada antara 1450 m/s 1540 m/s. Pengetahuan mengenai kondisi lingkungan air laut sangat penting untuk diketahui. Kecepatan suara akan meningkat dengan bertambahnya suhu, salinitas dan tekanan. Faktor-faktor tersebut memiliki hubungan yang 15

14 16 sangat kompleks untuk dibahas. Namun variasi nilai kecepatan rambat suara ini relatif kecil. Kecepatan suara dapat diketahui secara langsung secara in-situ dengan menggunakan velocimeters atau dapat dikalkulasikan dengan menggunakan sebuah formula jika nilai temperatur (T), salinitas (S), dan tekanan hidrostatis (P) diketahui. Salah satu formulasi yang dapat digunakan untuk menghitung nilai kecepatan suara menurut Medwin (1998) yaitu: c = 1449, T + 0,055T 2 + 0,00029T 3 + (1,34 0,010T) (S-35) +0, 016Z... (4) Kecepatan suara ini memiliki nilai yang bervariasi. Kinsler et al, (2000) membuat suatu profil kecepatan suara ketika berada di dalam kolom perairan. Perubahan kecepatan suara secara drastis terjadi pada palung laut atau berada pada lapisan thermocline. Hal ini dikarenakan pada lapisan tersebut terjadi perbedaan suhu yang signifikan. Gambar 9 menggambarkan profil kecepatan suara yang umumnya terjadi di perairan laut. Gambar 9. Profil kecepatan suara air laut (Kinsler et al., 2000) 16

15 Differential Global Potitioning System (DGPS) SeaStar 8200VBS Penentuan posisi dapat diketahui melalui sebuah sistem yang berbasis satelit yang disebut GPS. Presisi atau keakuratan menjadi hal yang paling utama dalam sistem ini. Differential GPS merupakan salah satu sistem yang mampu memberikan informasi posisi dengan tingkat keakuratan yang tinggi (Seeber, 2003) Konsep DGPS dalam penentuan posisi yaitu dengan menggunakan stasiun pengamatan yang berada di darat atau yang disebut Reference station. Gambaran mengenai sistem kerja DGPS dapat dilihat pada gambar 10 dibawah ini Sumber: Gambar 10. Cara kerja sistem DGPS terhadap reference station SeaStar 8200 VBS merupakan salah satu dari jenis DGPS. Jenis alat ini mampu memberikan ketelitian resolusi spasial dalam hitungan sentimeter. Pada sistem ini memiliki dua buah antena yang berfungsi sebagai penerima sinyal dari satelit, yang terdiri dari antena primer dan antena sekunder. Antena primer berfungsi sebagai penerima utama sinyal sedangkan antena sekuner berfungsi untuk menerima hasil koreksi yang berasal dari reference station. DGPS pada umumnya hanya sebuah teknik yang digunakan untuk meningkatkan keakuratan 17

16 18 penentuan posisi. Berdasakan akurasi yang ingin dicapai, DPGS terdiri dari beberapa klasifikasi, yaitu : 1. Ordinary GPS 2. Carier Smooth DGPS 3. Precise DGPS Sistem yang bekerja pada DGPS ini pada umumnya sama dengan sistem GPS pada umumnya, namun yang berbeda adalah pada sistem DGPS ini terdapat satu satelit yang telah menjadi acuan dalam penentuan posisi. Satelit ini akan terus menerus memberikan informasi posisi pada SeaStar 8200 VBS. 2.9 Gunung Bawah Laut (Seamount) dan Dimensinya Definisi mengenai gunung bawah laut (seamount) berkebang dari tahun ke tahun. Hal ini didasarkan pada sudut pandang disiplin ilmu yang digunakan oleh beberapa peneliti. Menurut Menard (1964), gunung bawah laut dapat didefinisikan sebagai material yang membentuk sebuah ketinggian yang berada di dasar laut dengan bentuk yang bulat atau elips dengan ketinggian minimum1 kilometer dan memiliki kemiringan (slope) tertentu serta terdapat puncak yang berukuran kecil. Schieferdecker (1959) menyebutkan bahwa gunung bawah laut didefinisikan sebagai sebuah daerah di permukaan bumi dimana bahan magma dari dalam bumi keluar atau pernah keluar pada masa lampau, biasanya akan membentuk suatu gunung, berbentuk kerucut dan mempunyai kawah di bagian puncaknya. Secara bentang alam William dan McBirney (1979) membagi gunung yang berbentuk kerucut menjadi daerah puncak, lereng, kaki dan dataran sekitanrnya. 18

17 19 Berberapa faktor pembentukan gunung bawah laut menurut Spence and Turcotte (1985) terdiri dari beberapa proses. Pertama, material-material yang ada di bawah lapisan bumi memiliki asupan panas atau magma dari perut bumi tepatnya di lapisan litosphere. Kedua, magma yang berasal dari dalam perut bumi memiliki energi yang cukup untuk terangkat ke atas tanpa adanya proses pembekuan selama pembentukan tonjolan menyerupai gunung (Gass et al.,1978). Sebagian besar gunung bawah laut belum dapat diketahui keberadaannya, hal ini dikarenakan hanya sebagian kecil saja dari dasar laut yang berhasil dipetakan oleh kapal yang melakukan survei kelautan. Perolehan data mengenai gunung api bawah laut (seamount) pada awalanya dilakukan hanya dengan menggunakan peta profil batimetri disuatu perairan. Mekanisme penentuan ini lebih sering dilakukan bila dibandingkan dengan harus melakukan interpolasi dari sebuah peta. Sekitar 90% gunung bawah laut dengan ketinggian kurang dari 1 kilometer tidak dapat terlihat atau teramati, hal ini dikarenakan gunung tersebut terlihat hanya sebagai gundukan-gundukan kecil diantara gunung-gunung tinggi disekitarnya (Craig dan Sandwell, 1988). Gunung laut di dunia dapat ditemukan pada semua cekungan di laut, dengan distribusi yang cukup bervariasi dalam ruang dan waktu, dan dapat ditemukan pada bagian kerak samudra. Hampir setengah dari gunung laut di dunia ditemukan pada Samudra Pasifik dan sisanya tersebar pada bagian Atlantik dan Samudera India. Menurut Encyclopedia of Earth, memperkirakan sebaran gunung laut di dunia berkisar gunung laut yang memiliki ketinggian diatas 1000 meter, dan ribuan lainnya jika dihitung di bawah ketinggian 1000 meter. Perkiraan ini didasarkan dengan penggunaan satelit dengan memeriksa 19

18 20 altimetry anomali gravitasi di bawah permukaan laut (Gambar 10). Informasi terbaru berdasarkan hasil penelitian Yesson. C et al. pada tahun 2011, diperoleh data bahwa diseluruh dunia terdapat gunung bawah laut (seamount) dan bukit kecil. Gambar 11. Peta penyebaran gunung bawah laut (seamount) dunia (Kitchingham dan Lai, 2004) Harian Kompas yang terbit pada tanggal 28 Mei 2009 mencatat bahwa Indonesia memiliki beberapa Gunung api bawah laut, antara lain : 1. Gunung Submarine di Sulawesi Utara. 2. Gunung Mahangetang di Pulau Mahangetang. 3. Gunung Niuwewerker di perairan Banda, ditemukan pada tahun Gunung Hobal, ditemukan pada tahun 1999 di perairan Nusa Tenggara. 5. Gunung Emperor of China di perairan Banda. 20

19 21 Sumber : Gambar 12. Morfologi gunung api. Keterangan : 1. Dapur magma 9. Lapisan Lava 2. Batuan Dasar 10. Kenpundan 3. Pipa Kawah 11. Kerucut Parasit Gunung Api 4. Permukaan Dasar 12. Aliran Lava 5. Retas (skill) 13. Kawah 6. Pipa Kawah Sekunder 14 Bibir Kawah 7. Lapisan Abu Gunung Api 8. Sisi Gunung Api 21

DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU

DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT (SEAMOUNT) DAN DIMENSINYA MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER MULTIBEAM DI PERAIRAN BENGKULU FAHRULIAN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Sound Velocity Profile (SVP) Pengukuran nilai Sound Velocity Profile (SVP) dilakukan dengan menggunkan sebuah instrumen CTD SBE 19. Instrumen ini memiliki tingkat

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 22 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data atau akuisisi data kedalaman dasar perairan dilakukan pada tanggal 18-19 Desember 2010 di perairan barat daya Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Profil Kecepatan Suara Profil kecepatan suara (SVP) di lokasi penelitian diukur secara detail untuk mengurangi pengaruh kesalahan terhadap data multibeam pada

Lebih terperinci

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI 1. Perhitungan Ketelitian Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu

Lebih terperinci

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) N. Oktaviani 1, J. Ananto 2, B. J. Zakaria 3, L. R. Saputra 4, M. Fatimah

Lebih terperinci

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV 3.1. Persiapan Sebelum kegiatan survei berlangsung, dilakukan persiapan terlebih dahulu untuk mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan selama kegiatan survei

Lebih terperinci

DIMENSI GUNUNG BAWAH LAUT DENGAN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN BENGKULU

DIMENSI GUNUNG BAWAH LAUT DENGAN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN BENGKULU Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Hlm. 93-102, Juni 2013 DIMENSI GUNUNG BAWAH LAUT DENGAN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN BENGKULU DIMENSION OF SEAMOUNT USING MULTIBEAM

Lebih terperinci

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN 3.1 Pendahuluan Pada kegiatan verifikasi posisi pipa bawah laut pasca pemasangan ini akan digunakan sebagai data untuk melihat posisi aktual dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. I.1

BAB I PENDAHULUAN I. I.1 BAB I PENDAHULUAN I. I.1 Latar Belakang Survei batimetri adalah proses penggambaran garis-garis kontur kedalaman dasar perairan yang meliputi pengukuran, pengolahan, hingga visualisasinya. Survei batimetri

Lebih terperinci

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES)

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES) BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES).1 Prinsip Sistem Multibeam Echosounder (MBES) Multibeam Echosounder menggunakan prinsip yang sama dengan singlebeam namun jumlah beam yang dipancarkan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Echosounder merupakan alat pengukur kedalaman berbasis gelombang akustik. Dengan bantuan GPS sebagai penentu posisi echosounder memberikan data kedalaman suatu daerah

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Pengukuran kedalaman laut atau pemeruman pada penelitian ini dilakukan di perairan Selat Sunda yang dimaksudkan untuk mendapatkan data kedalaman

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai BATIMETRI Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 Modul 2. Batimetri TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pasang Surut Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA Teguh Fayakun Alif, ST Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan (PDKK) BAKOSURTANAL Jl.Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911 Telp.

Lebih terperinci

APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT (CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN)

APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT (CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN) i APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT (CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN) GUGUM GUMBIRA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah :

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah : 01. BATIMETRI TUJUAN PRAKTIKUM - Mahasiswa dapat mengenal bentuk-bentuk dasar perairan. - Mahasiswa dapat mengetahui aturan-aturan dasar dan membuat kontur-kontur batimetri. - Mahasiswa dapat melukiskan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum Seperti yang telah dijelaskan dalam Latar Belakang, pipa bawah laut diperlukan untuk keperluan pendistribusian minyak dan gas. Untuk

Lebih terperinci

BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002

BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002 BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM 3002 3.1 Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002 Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002 merupakan produk SIMRAD dari negara Norwegia. MBES SIMRAD EM 3002

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test DAFTAR PUSTAKA Abidin, Hasanuddin Z. Metode Penentuan dengan GPS dan Aplikasinya. Pradnya Paramita. 2001. Budhiargo, Guntur. Analisis data batimetri multibeam echosounder menggunakan Caris HIPS. Skripsi.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR Pengolahan data side scan sonar terdiri dari dua tahap, yaitu tahap real-time processing dan kemudian dilanjutkan dengan tahap post-processing. Tujuan realtime

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI Spesifikasi Pekerjaan Dalam pekerjaan survey hidrografi, spesifikasi pekerjaan sangat diperlukan dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN Tujuan pembahasan analisis pelaksanaan perencanaan alur pelayaran untuk distribusi hasil pertambangan batubara ini adalah untuk menjelaskan kegiatan

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009] BAB III REALISASI DAN HASIL SURVEI 3.1 Rencana dan Pelaksanaan Survei Survei dilakukan selama dua tahap, yaitu tahap I adalah survei batimetri untuk menentukan Foot Of Slope (FOS) dengan menggunakan kapal

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudra Hindia dan sifat

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudra Hindia dan sifat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa serta berhubungan dengan Laut Jawa dan Samudera Hindia. Pada perairan ini terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang dua per tiga (2/3) wilayahnya adalah lautan, sehingga Negara Republik Indonesia dapat dikategorikan sebagai Negara

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai 27 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai dengan Juli 2012. Data yang digunakan merupakan data mentah (raw data) dari

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU KOMODO, MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR

STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU KOMODO, MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 257-266 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU

Lebih terperinci

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi Hal yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan survey hidrografi adalah ketentuan teknis atau disebut juga spesifikasi pekerjaan. Setiap pekerjaan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek 4.1.1 Ketelitian koordinat objek Pada kajian ketelitian koordinat ini, akan dibandingkan ketelitian dari koordinatkoordinat objek berbahaya pada area

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Survei Lokasi 3.1.1 Lokasi Geografis dan Garis Survei Lokasi dari area survei berada di sekitar Pulau Bawean, Jawa Timur. gambar 3.1 memperlihatkan lokasi dari area

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Pemasangan Pipa Bawah Laut Pre-Lay Survey

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Pemasangan Pipa Bawah Laut Pre-Lay Survey BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Pemasangan Pipa Bawah Laut Pekerjaan pemasangan pipa bawah laut dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu Pre- Lay Survey, Pipeline Installation, As Laid Survey [Lekkerkekerk,et al.

Lebih terperinci

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami TSUNAMI Karakteristik Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu dari kata tsu dan nami. Tsu berarti pelabuhan dan nami berarti gelombang. Istilah tersebut kemudian dipakai oleh masyarakat untuk menunjukkan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Waduk Sermo merupakan struktur bangunan berisi air yang berada di permukaan tanah yang berlokasi di Dusun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A DAFTAR PUSTAKA Adil, Irdam. (2007). Komunikasi Pribadi. Djunarsjah, E. (2001). Standar Survei (Baru) dalam Survei Hidrografi (SP-44 IHO tahun 1998). Forum Ilmiah Tahunan ISI. Surabaya. Djunarsjah, E. (2005).

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013 APLIKASI ECHOSOUNDER HI-TARGET HD 370 UNTUK PEMERUMAN DI PERAIRAN DANGKAL (STUDI KASUS : PERAIRAN SEMARANG) Muhammad Al Kautsar 1), Bandi Sasmito, S.T., M.T. 2), Ir. Hani ah 3) 1) Program Studi Teknik

Lebih terperinci

PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER DI PERAIRAN SURABAYA

PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER DI PERAIRAN SURABAYA Pengaruh Sound Velocity Terhadap Pengukuran Kedalaman Menggunakan Multibeamechosounder Di Perairan Surabaya (Eko Prakoso A..et.al) PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

Tugas Sensor Ultrasonik HC-SR04

Tugas Sensor Ultrasonik HC-SR04 Fandhi Nugraha K D411 13 313 Teknik Elektro Makalah Tugas Sensor Ultrasonik HC-SR04 Universitas Hasanuddin Makassar 2015/2016 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan teknologi saat ini sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemetaan laut, khususnya pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN MASALAH. suatu beton. Standar atau prosedur dalam menggunakan metode pengujian ini

BAB VII PEMBAHASAN MASALAH. suatu beton. Standar atau prosedur dalam menggunakan metode pengujian ini PEMBAHASAN MASALAH 7.1. Tinjauan khusus Ultrasonic pulse velocity adalah metode yang digunakan untuk mengukur kecepatan hantaran dari gelombang (pulse velocity) ultrasonik yang melewati suatu beton. Standar

Lebih terperinci

Setelah mengikuti praktikum mata kuliah ini mahasiswa akan mampu memahami komponenkomponen

Setelah mengikuti praktikum mata kuliah ini mahasiswa akan mampu memahami komponenkomponen 2. Konsep-Konsep Dasar Tujuan: Setelah mengikuti praktikum mata kuliah ini mahasiswa akan mampu memahami komponenkomponen gelombang suara. Deskripsi: Praktikum ini akan meliputi beberapa kegiatan seperti:

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang SURVEI HIDROGRAFI Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Tahapan Perencanaan Survey Bathymetri Pengukuran bathimetri dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 52 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Distribusi Hiposenter Gempa dan Mekanisme Vulkanik Pada persebaran hiposenter Gunung Sinabung (gambar 31), persebaran hiposenter untuk gempa vulkanik sangat terlihat adanya

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Juli 2017, 9(2):77-84 PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN BATIMETRY MAPPING USING ACOUSTIC METHOD

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15 13 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Data diperoleh dari survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15 Februari

Lebih terperinci

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI II.1. Survey Bathimetri Survei Bathimetri dapat didefinisikan sebagai pekerjaan pengumpulan data menggunakan metode penginderaan atau rekaman dari permukaan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 2 Desember 2014: 165-170 TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI (Surveying Technology for Coastal Mapping) Imam Mudita Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI

PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman 313 321 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN ANYER, BANTEN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER SYSTEM (MBES)

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN ANYER, BANTEN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER SYSTEM (MBES) JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman 253-261 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN ANYER, BANTEN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

PDF Compressor Pro BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PDF Compressor Pro BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Profil adalah kenampakan permukaan alam disebabkan adanya beda tinggi apabila beda tinggi dua tempat tersebut dibandingkan dengan jarak lurus mendatar. Manfaat profil

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 Juli 2011 yang meliputi tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA Pada Bab ini akan dibahas mengenai persiapan data, pengolahan data, ekspor data hasil survei multibeam echosounder

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Pelajaran

Ringkasan Materi Pelajaran Standar Kompetensi : 5. Memahami hubungan manusia dengan bumi Kompetensi Dasar 5.1 Menginterpretasi peta tentang pola dan bentuk-bentuk muka bumi 5.2 Mendeskripsikan keterkaitan unsur-unsur geografis dan

Lebih terperinci

STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA SALURAN PIPA BAWAH LAUT

STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA SALURAN PIPA BAWAH LAUT Studi Aplikasi Multibeam Echosounder dan Side Scan Sonar Untuk Mendeteksi Free Span Pada Saluran Pipa Bawah Laut STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Survei dan pemetaan dasar laut telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya kebutuhan informasi akan sumber daya

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama dua hari, yaitu pada 19-20 November 2008 di perairan Aceh, Lhokseumawe (Gambar 3). Sesuai

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pelabuhan merupakan salah satu jaringan transportasi yang menghubungkan transportasi laut dengan transportasi darat. Luas lautan meliputi kira-kira 70 persen dari luas

Lebih terperinci

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG (SPATIAL PATTERN OF BATHYMETRY IN BUNGUS BAY, PADANG CITY) Oleh YULIUS, H. PRIHATNO DAN I. R. SUHELMI Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Bunyi Perambatan Gelombang dalam Pipa

2. TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Bunyi Perambatan Gelombang dalam Pipa 2 Metode yang sering digunakan untuk menentukan koefisien serap bunyi pada bahan akustik adalah metode ruang gaung dan metode tabung impedansi. Metode tabung impedansi ini masih dibedakan menjadi beberapa

Lebih terperinci

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR KAJIAN EFEKTIFITAS ANTARA APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DENGAN PERPADUAN SINGLEBEAM ECHOSOUNDER - SIDE SCAN SONAR DALAM SURVEI LOKASI ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sumber suara akan memicu gerak partikel di dekatnya. Gerak partikel sejajar

2. TINJAUAN PUSTAKA. sumber suara akan memicu gerak partikel di dekatnya. Gerak partikel sejajar 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persamaan SONAR Jaya (2011) menjelaskan bahwa suara terbentuk dari gerakan molekul suatu bahan elastik. Oleh karena bahan tersebut elastik, maka gerak partikel dari bahan sumber

Lebih terperinci

Perlukah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) IV?

Perlukah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) IV? Perlukah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) IV? Teguh Fayakun Alif,ST dan Dr.-Ing. Khafid Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan (PDKK) BAKOSURTANAL Jl.Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI NILAI AMPLITUDO SEDIMEN DASAR LAUT PADA PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER ABSTRAK

IDENTIFIKASI NILAI AMPLITUDO SEDIMEN DASAR LAUT PADA PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER ABSTRAK IDENTIFIKASI NILAI AMPLITUDO SEDIMEN DASAR LAUT PADA PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER Lufti Rangga Saputra 1), Moehammad Awaluddin 2), L.M Sabri 3) 1) Program Studi Teknik Geodesi Fakultas

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR 2.1 Persamaan Akustik Bawah Air Persamaan akustik bawah air diturunkan dari persamaan state, persamaan kekekalan massa (persamaan kontinuitas) dan persamaan kekekalan

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. BAB III PENGOLAHAN DATA 3.1. Pengolahan Data LIDAR 3.1.1. Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. Sistem LIDAR Jarak Laser Posisi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakukan mulai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu penjelasan dan analisis melalui simulasi pemodelan tsunami dengan memperhitungkan nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu tujuan survei hidrografi adalah untuk memetakan topografi dasar laut dan perairan lainnya atau secara spesifik disebut sebagai pemetaan batimetri. Pemetaan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji (1987), paparan Arafura (diberi nama oleh Krummel, 1897) ini terdiri dari tiga

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Menimbang : a. bahwa dalam penetapan standar ketelitian peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan arus informasi yang semakin transparan, serta perubahan-perubahan dinamis yang tidak dapat dielakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

BAB. Bentuk Permukaan Bumi

BAB. Bentuk Permukaan Bumi BAB 8 Bentuk Permukaan Bumi Ketika sedang belajar IPA, ibu guru bertanya kepada Dimas. "Ayo, sebutkan, terdiri dari apakah permukaan bumi kita?" Dimas menjawab, "Permukaan bumi kita terdiri atas daratan

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007] BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Data LIDAR 4.1.1. Analisis Kualitas Data LIDAR Data LIDAR memiliki akurasi yang cukup tinggi (akurasi vertikal = 15-20 cm, akurasi horizontal = 0.3-1 m), dan resolusi yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xv DAFTAR

Lebih terperinci

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH P. Ika Wahyuningrum AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH Suatu teknologi pendeteksian obyek dibawah air dengan menggunakan instrumen akustik yang memanfaatkan suara dengan gelombang tertentu Secara

Lebih terperinci

BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT

BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT 2.1 Peta Laut Peta laut adalah representasi grafis dari permukaan bumi yang menggunakan simbol, skala, dan sistem proyeksi tertentu yang mengandung informasi serta menampilkan

Lebih terperinci

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian. BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Daerah Penelitian Daerah penelitian adalah Pulau Semak Daun (Gambar 2.1) yang terletak di utara Jakarta dalam gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun adalah pulau yang memiliki

Lebih terperinci

PEMODELAN KANAL KOMUNIKASI AKUSTIK PADA PERAIRAN DANGKAL

PEMODELAN KANAL KOMUNIKASI AKUSTIK PADA PERAIRAN DANGKAL PEMODELAN KANAL KOMUNIKASI AKUSTIK PADA PERAIRAN DANGKAL Taufani Rizal Nofriansyah NRP. 2207 100 004 Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Wirawan, DEA Ir. Endang Widjiati, M.Eng.Sc Latar Belakang Kondisi perairan

Lebih terperinci

5. Satu periode adalah waktu yang diperlukan bandul untuk bergerak dari titik. a. A O B O A b. A O B O c. O A O B d. A O (C3)

5. Satu periode adalah waktu yang diperlukan bandul untuk bergerak dari titik. a. A O B O A b. A O B O c. O A O B d. A O (C3) 1. Simpangan terjauh pada suatu benda bergetar disebut. a. Amplitudo c. Periode b. Frekuensi d. Keseimbangan 2. Berikut ini adalah sebuah contoh getaran. a. Roda yang berputar pada sumbunya b. Gerak buah

Lebih terperinci