BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Landas Kontinen Dalam Perspektif Geologi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Landas Kontinen Dalam Perspektif Geologi"

Transkripsi

1 BAB II DASAR TEORI Landas Kontinen berasal dari istilah geologi, yang kemudian dalam perkembangannya digunakan dalam perbendaharaan istilah hukum [Djunarsjah, 2003]. Pengertian Landas Kontinen secara ilmiah sangat berbeda dengan pengertian Landas Kontinen dalam istilah hukum. Perbedaan definisi Landas Kontinen dalam konsep ilmiah dan hukum tersebut akan diuraikan sebagai berikut : 2.1 Definisi Landas Kontinen Dalam Perspektif Geologi Pengertian Landas Kontinen sebenarnya bermula dari konsep geologi, dimana pengertian Landas Kontinen menurut konsep geologi adalah jauh berbeda dengan konsep Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1958 dan 1982). Dalam pengertian geologi yang ditegaskan pada Encyclopedia Americana [International edition, Volume 7], Landas Kontinen merupakan sebagian besar dasar lautan atau samudera, yaitu bagian yang dangkal yang ditutupi oleh perairan, yang kedalamannya kurang dari meter. Sedangkan bagian lainnya (yang di sebelah luarnya) adalah continental slope, yakni bagian dari dasar laut (ocean floor) yang secara relatif merupakan lereng yang curam sepanjang tepi luar dari bagian yang dangkal tersebut. Bagian yang lebih luar lagi dari dasar laut atau dasar samudera, disebut abyssal floor atau oceanic plain, yakni dasar laut yang terletak pada kedalaman air laut 1800 meter. Berdasarkan fakta geologi secara umum, topografi dasar laut mulai dari pantai menurun ke dalam laut sampai akhirnya di suatu tempat, topografi tesebut jatuh curam di kedalaman laut. Landas Kontinen biasanya tidak terlalu dalam, sehingga sumber-sumber alam di lokasi tersebut dapat dimanfaatkan dengan teknologi yang ada. Dasar laut di banyak tempat dipisahkan dari tanah di pantai oleh lereng kontinen yang menurut istilah geologi merupakan bagian dari kontinen itu sendiri. Lereng kontinen yang luasnya berkisar beberapa ratus kilometer persegi dan mempunyai kedalaman sekitar 50 sampai 550 meter. Lereng kontinen di beberapa 6

2 tempat menyimpan deposit minyak dan gas bumi serta berbagai sumber daya alam hayati lainnya. Oleh karena itu, banyak Negara pantai yang menuntut eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam laut di Landas Kontinen negaranya. Gambar 2.1 dibawah ini adalah gambar Landas Kontinen berdasarkan perspektif geologi. Gambar 2.1. Landas Kontinen berdasarkan perspektif geologi [Djunarsjah, 2003] Tepian kontinen tipe pasifik disebut juga tipe seismik atau tipe aktif. Hal ini disebabkan karena sepanjang jalur yang membatasi tepian kontinen di Pasifik dicirikan oleh tingkat kegiatan gempa bumi yang tinggi dan pergeseran lempeng tektonik yang aktif. Ciri umum tipe pasifik adalah adanya palung laut (trench) di depan lereng kontinen sebagai jalur kontak antar lempeng kontinen dengan lempeng samudera dan palung tersebut memisahkan tepian kontinen dengan dasar laut dalam (ocean basin). Tepian kontinen tipe pasifik ini hanya terdiri dari Landas Kontinen dan lereng kontinen yang mempunyai kemiringan terjal. Tepian kontien tipe atlantik disebut juga tipe aseismik atau tipe pasif, dengan sifat gempa bumi dan pergeseran lempeng merupakan kebalikan dari tipe pasifik. Ciri umum tepian kontinen tipe atlantik adalah dijumpainya lereng kontinen yang landai dan lebar serta berhubungan dengan dataran pantai (coastal plain) yang luas. Tepian kontinen tipe atlantik tersusun dari Landas Kontinen, lereng kontinen, dan punggung kontinen. 7

3 2.2 Landas Kontinen Dalam Perspektif Hukum Internasional Dalam perspektif Hukum Internasional, pengertian Landas Kontinen tercantum dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1958 dan 1982). Telah diselenggarakan tiga kali Konferensi PBB tentang Hukum Laut, yaitu pada tahun 1958, tahun 1960 dan terakhir Hanya saja, penyelenggaraan Konferensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1960 tidak menghasilkan kesepakatan baru. Dengan demikian, perubahan hasil konferensi dalam bentuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut mengalami perkembangan yang berarti pada tahun Dibawah ini adalah gambar Landas Kontinen menurut UNCLOS Gambar 2.2. Landas Kontinen berdasarkan UNCLOS 1982 [Djunarsjah,2003] Landas Kontinen Berdasarkan UNCLOS 1958 Masuknya konsep Landas Kontinen dalam UNCLOS 1958 sebenarnya dipicu oleh banyaknya klaim yang dilakukan banyak negara terkait dengan sumber daya alam laut untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi. Klaim banyak negara yang berkaitan dengan Landas Kontinen itu sendiri bermula dari Pengumuman Pemerintah Amerika Serikat, yang terkenal dengan proklamasi Truman, dan diikuti dengan pengumuman sepihak dari banyak Negara lainnya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, terutama untuk mencegah tumpang tindihnya daerah klaim, maka 8

4 masalah tersebut dibawa ke Konferensi PBB tentang hukum laut yang pertama pada tahun Dalam UNCLOS 1958 klaim Negara pantai atas Landas Kontinen diakui mencapai kedalaman hingga 200 meter atau lebih sampai kedalaman air yang memungkinkan eksploitasi sumber-sumber alam dari daerah tersebut (Pasal 1 dan 2). Namun pengertian Landas Kontinen berdasarkan UNCLOS 1958 ini mengandung ketidakpastian yang tinggi, karena kemampuan setiap Negara pantai dalam melakukan eksploitasi sangat beragam, dan jelas sekali hanya menguntungkan negara-negara pantai yang maju, dalam pengertian menguasai teknologi eksploitasi laut dalam. Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi UNCLOS 1958 tersebut dengan mengeluarkan UU No.1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Gambar 2.3. Landas Kontinen berdasarkan UNCLOS 1958[Djunarsjah,2003] Landas Kontinen Berdasarkan Pasal 76 UNCLOS 1982 Ketidakjelasan batas Landas Kontinen pada UNCLOS 1958 pada akhirnya dapat diselesaikan dengan dikeluarkannya UNCLOS 1982 yang berlaku efektif sejak tanggal 16 Nopember UNCLOS 1982 telah memberikan solusi mengenai penetapan batas Landas Kontinen bagi negara pantai. Hal-hal yang terkait dengan Landas Kontinen diatur dalam pasal 76 UNCLOS 1982 dijelaskan mengenai definisi Landas Kontinen sebagai berikut : 9

5 1. Landas Kontinen suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut teritorial diukur, dalam pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. 2. Landas Kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas sebagaimana ditentukan dalam ayat 4 hingga Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang berada di bawah permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah di bawahnya dari dataran kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian kontinen ini tidak mencakup dasar samudra dalam dengan bukit-bukit samudera atau tanah di bawahnya. 4. (a) Untuk maksud konvensi ini, Negara pantai akan menetapkan pinggiran luar tepian kontinen dalam hal tepian kontinen tersebut lebih lebar dari 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut teritorial diukur atau dengan: (i). Suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik-titik tetap terluar dimana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen; atau (ii) suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik-titik tetap yang terletak tidak lebih dari 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. (b) Dalam hal tidak terdapatnya bukti yang bertentangan, kaki lereng kontinen harus ditetapkan sebagai titik perubahan maksimum dalam tanjakan pada kakinya. 5. Titik-titik tetap yang merupakan garis batas luar Landas Kontinen pada dasar laut, yang ditarik sesuai dengan ayat 4(a)(i) dan (ii), atau tidak akan boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial 10

6 diukur atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) meter, yaitu suatu garis yang menghubungkan kedalaman meter. 6. Walaupun ada ketentuan ayat 5, pada bukit-bukit dasar laut, batas luar Landas Kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari laut teritorial diukur dengan cara. Ayat ini tidak berlaku bagi elevasi dasar laut yang merupakan bagian-bagian alamiah tepi kontinen, seperti pelataran (plateau), tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar (banks), dan puncak gunung yang bulat (spurs) nya. Gambar 2.4 dibawah ini adalah gambar mengenai bagian-bagian alamiah tepi kontinen. Gambar 2.4. Lereng kontinen (continental slope) dan tanjakan (continental rise) [Djunarsjah, 2003] 7. Negara pantai harus menetapkan batas terluar Landas Kontinennya dimana Landas Kontinen itu melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari laut teritorial dengan cara menarik garis-garis lurus yang tidak melebihi 60 mil laut panjangnya, dengan menghubungkan titik-titik tetap, yang ditetapkan dengan koordinat lintang bujur. 11

7 8. Keterangan mengenai batas-batas Landas Kontinen di luar 200 mil laut dari garis pangkal dari laut teritorial diukur harus disampaikan oleh Negara pantai kepada CLCS. Komisi ini harus membuat rekomendasi kepada Negara pantai mengenai masalah yang bertalian dengan penetapan batas luar Landas Kontinen mereka. Batas-batas Landas Kontinen yang ditetapkan oleh suatu Negara pantai berdasarkan rekomendasirekomendasi ini adalah tuntas dan mengikat. 9. Negara pantai harus mendepositkan pada Sekretaris Jenderal PBB petapeta dan keterangan yang relevan termasuk data geodesi yang secara permanen menggambarkan batas luar Landas Kontinennya. Sekretaris Jenderal harus mengumumkan peta-peta dan keterangan tersebut sebagaimana mestinya. 10. Ketentuan pasal ini tidak boleh mengurangi arti masalah penetapan batas Landas Kontinen antara Negara-negara yang berhadapan atau berdampingan. 2.3 Prosedur Teknis Penetapan Landas Kontinen Berdasarkan pasal 76 UNCLOS 1982 dan petunjuk teknis dan ilmiah penarikan batas terluar Landas Kontinen yang dikeluarkan oleh CLCS. Langkah-langkah penarikan batas terluar Landas Kontinen adalah sebagai berikut: 1. Penentuan garis pangkal Garis pangkal digambarkan berdasarkan daftar koordinat titik dasar yang dapat diperoleh dalam PP 37/ Penarikan garis batas maritim Berdasarkan garis pangkal, maka Batas maritim Indonesia terkait dengan penarikan batas terluar Landas Kontinen dapat ditentukan batas-batas sebagai berikut: a. Garis ZEE merupakan garis proyeksi garis pangkal ke arah laut sejauh 200 mil laut, b. Batas-batas dengan negara tetangga berdasarkan hasil perjanjian. 12

8 3. Penentuan garis Constraint (cut-off) Berdasarkan pasal 76 ayat 5 UNCLOS 1982, garis constraint (cut off) didefinisikan sebagai garis yang tidak melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak melebihi garis isobath 2500m mil laut. Garis constraint (cut off) ini merupakan batas maksimal yang diperbolehkan untuk mensubmisi batas terluar Landas Kontinen melebihi 200 mil laut. 4. Garis Formula Penarikan garis batas terluar Landas Kontinen harus didasarkan pada penentuan kaki lereng atau Foot of the Slope (FOS), yang didefinisikan sebagai perubahan maximum gradien pada permukaan dasar laut. Penarikan garis formula dapat dilakukan dengan cara salah satu atau kombinasi dari dua cara sebagai berikut: a) Rumus jarak merupakan garis berjarak 60 mil laut dari FOS b) Rumus Gardiner merupakan 1% ketebalan sedimen c) Batas terluar Landas Kontinen 5. Batas terluar Landas Kontinen melebihi 200 mil laut ditentukan berdasarkan kombinasi dari hasil-hasil perhitungan di atas. Selanjutnya jarak antar titik pada batas terluar Landas Kontinen ini tidak boleh melebihi 60 mil laut. Dibawah ini adalah gambar yang menjelaskan prosedur penetapan Landas Kontinen Ekstensi menurut Pasal 76 UNCLOS

9 Gambar 2.5. Prosedur penentuan batas terluar Landas Kontinen Berdasarkan prosedur teknis penetapan Landas Kontinen yang telah dijelaskan diatas maka untuk mendapatkan hasil dari batas terluar Landas Kontinen Ekstensi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : 14

10 Gambar 2.6. Batas terluar Landas Kontinen [Djunarsjah, 2003] 2.4 Dokumen-Dokumen Batas Landas Kontinen Negara pantai harus mendepositkan informasi batas Landas Kontinen negaranya kepada Sekretaris Jenderal PBB, dalam bentuk peta-peta dan keterangan-keterangan yang relevan, termasuk data geodesi yang secara permanen menggambarkan batas luar kontinennya (pasal 76 ayat 9 UNCLOS 1982). Batas waktu terakhir bagi negara pantai untuk mendepositkan batas Landas Kontinennya adalah tahun Dokumen batas Landas Kontinen dapat dibagi menjadi dua kondisi, yaitu : 1. Dokumen batas Landas Kontinen kurang dari 200 mil laut. 2. Dokumen batas Landas Kontinen lebih dari 200 mil laut Dokumen Batas Landas Kontinen <200 Mil Laut Dokumen-dokumen yang diserahkan harus memiliki informasi mengenai : 1. Sistem proyeksi peta 2. Skala vertikal dan horizontal 3. Interval kontur 4. Unit ukuran 5. Simbol dan warna 15

11 2.4.2 Dokumen Batas Landas Kontinen Lebih Dari 200 Mil Laut Khusus untuk batas Landas Kontinen yang diklaim lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal oleh suatu negara pantai, terdapat ketentuan tambahan yang perlu dipenuhi, yaitu kewajiban untuk menyampaikan keterangan mengenai batas-batas Landas Kontinen kepada Komisi tentang Batas Landas Kontinen (Commision on the Limits of the Continental Shelf) [pasal 76 ayat 8, UNCLOS 1982]. Data dan dokumen yang harus disiapkan oleh negara pantai untuk mengklaim batas Landas Kontinen lebih dari 200 mil laut harus dilengkapi informasi : 1. Sumber data. 2. Teknik survei penentuan posisi. 3. Tanggal dan waktu survei. 4. Koreksi yang diberikan terhadap data. 5. Ketelitian a priori dan a posteriori terhadap kesalahan acak dan kesalahan sistematik. 6. Sistem referensi geodetik. 7. Definisi geodetik tentang garis pangkal lurus, kepulauan, dan penutup. Data dan dokumen yang harus diserahkan kepada CLCS berkaitan dengan penentuan garis kedalaman 2500 m harus dilengkapi informasi : 1. Sumber data. 2. Teknik pemeruman yang dilaksanakan. 3. Sistem referensi geodetik, metode penentuan posisi navigasi dan kesalahankesalahannya. 4. Tanggal dan waktu survei. 5. Koreksi yang diberikan terhadap data. 6. Ketelitian a priori dan a posteriori terhadap kesalahan acak dan kesalahan sistematik 16

12 Data dan dokumen yang harus disiapkan apabila seluruh garis pembatas 350 mil laut digunakan dalam mendefinisikan batas terluar dari Landas Kontinen harus dilengkapi informasi : 1. Sumber data. 2. Teknik penentuan posisi geodetik dan sistem referensinya. 3. Koreksi yang diberikan terhadap data. 4. Definisi geodetik dalam hal garis pangkal lurus, kepulauan, dan penutup. 5. Ketelitian a priori dan a posteriori terhadap kesalahan acak dan kesalahan sistematis. 6. Sistem referensi geodetik. Keterangan yang harus diberikan kepada CLCS tersebut, termasuk di dalamnya mengenai produk kartografi yang merupakan hasil dari kompilasi batimetrik untuk menggambarkan garis kedalaman 2500m. Produk kartografi tersebut disajikan dalam bentuk analitik atau digital, yaitu : 1. Profil 2-dimensi batimetrik. 2. Model 3-dimensi batimetrik. 3. Peta laut dan peta dengan informasi garis kontur. Dokumen klaim yang diajukan untuk mendukung penentuan batas terluar Landas Kontinen suatu negara pantai >200 Mil Laut, mencantumkan satu dari lima kemungkinan kasus pada sembarang titik pada garis batas, yaitu : 1. Garis yang dilukiskan pada jarak 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. 2. Garis sepanjang dimana ketebalan batu endapan sebesar satu persen dari jarak terdekat dari kaki lereng. 17

13 Gambar 2.7. Kombinasi dua kriteria untuk penetapan Landas Kontinen >200 mil laut [Djunarsjah, 2003] Sedangkan kriteria pembatasnya untuk penetapan Landas Kontinen >200 Mil adalah : 1. Garis yang dilukiskan pada jarak 350 mil laut dari garis pangkal, atau 2. Garis yang dilukiskan pada jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter, atau 3. Batas yang disetujui oleh negara-negara pantai yang berhadapan dan berdampingan. Gambar 2.8. Kombinasi pembatas dua kriteria untuk penetapan Landas Kontinen >200 mil laut [Djunarsjah, 2003] 18

14 Untuk setiap kasus tersebut, CLCS dapat meminta informasi yang ditandai dengan kode korespondensi kasus seperti terlihat pada tabel 2.1, dengan catatan : Y : indikasi bahwa ketentuan dari informasi ini perlu bagi Komisi dan Sub Komisi dalam memproses klaim. R : indikasi bahwa ketentuan dari informasi ini direkomendasikan untuk membantu Komisi dan Sub Komisi dalam memproses klaim. Kasus 1 : Garis yang dilukiskan pada jarak 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. Kasus 2 : Garis sepanjang dimana ketebalan batu endapan sebesar satu persen dari jarak terdekat dari kaki lereng. Kasus 3 : Garis yang dilukiskan pada jarak 350 mil laut dari garis pangkal. Kasus 4 : Garis yang dilukiskan pada jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter. Kasus 5 : Batas yang disetujui oleh negara-negara pantai yang berhadapan dan berdampingan. Tabel 2.1 Jenis informasi yang diperlukan dalam klaim batas Landas Kontinen [Djunarsjah,2003] Jenis Informasi Yang Diperlukan Dalam Klaim Batas Landas Kontinen Informasi Yang Diperlukan dalam Klaim Batas Landas Kontinen untuk Kasus Batas dari keseluruhan Landas Kontinen bagi negara pantai (peta) Y Y Y Y Y Batas dari Landas Kontinen bagi bagian yang berbeda margin (peta skala besar) Y Y Y Y Y Kriteria dalam penentuan batas tersebut, masing masing dari kelima kriteria ditandai dengan garis Y Y Y Y Y berkode (peta) Garis pangkal digunakan dalam mendefinisikan batas apabila tidak ditunjukkan pada peta batas (peta) Y R Garis pangkal digunakan untuk bagian yang berbeda margin (peta skala besar) Y R Batas 200 mil laut (peta) Y Y Y Y Y Batas 350 mil laut (peta) Y Y Y Y Y Lokasi dari kaki lereng kontinen ( foot of the slope=fos), merinci bagaimana cara penentuannya (peta) Y Y Y Y Y 19

15 Garis digunakan untuk menentukan kaki lereng kontinen (FOS), menun jukkan garis identifikasi, navigasi, shot point, termasuk garis ekstensi 60 mil laut. Garis digunakan untuk menentukan garis kedalaman 2500 meter (peta), menunjukkan garis identifikasi, navigasi, shot point, termasuk garis ekstensi 100 mil laut. Kontur batimetrik : Dimana teridentifikasi garis kedalaman 2500 meter Dimana tidak digunakan sebagai dasar penentuan FOS Y Y Y Y - Y Y Y Y R Y Y Y Y R R R R - Dimana digunakan sebagai dasar penentuan Y Y Y Y - FOS Titik pangkal FOS digunakan untuk ekstrapolasi 60 mil laut Y - Y Y - Keseluruhan profil batimetrik ditandai dengan lokasi penentuan FOS : Dimana digunakan sebagai dasar penentuan FOS Y Y Y Y - Dimana tidak digunakan R R R R - Profil batimetrik ditandai dengan lokasi dari penentuan FOS untuk mengidentifikasi karakter tepian kontinen R R R R - Parameter survei batimetrik (tabel) berpedoman pada kapal laut atau garis pengidentifikasi yang menunjukkan ketepatan FOS dan garis kedalaman 2500 Y Y Y Y - meter termasuk kecepatan suara yang digunakan dan keakuratan lokasi dan profil kecepatan atau kedalaman Digital multi-channel seismik track (peta) digunakan dalam penentuan ketebalan batu endapan, termasuk - Y angka shot point dan navigasi Analog single-channel seismik track (peta) digunakan dalam penentuan ketebalan batu endapan, termasuk - Y angka shot point dan navigasi Titik FOS digunakan untuk menghasilkan garis dengan ketebalan batu endapan sebesar satu persen - Y Profil seismik digunakan untuk penentuan ketebalan batu endapan (dua salinan : satu asli, satu hasil - Y interpretasi) Profil seismik yang representatif untuk penentuan ketebalan batu endapan (dua salinan : satu asli, satu - R hasil interpretasi) Perbedaan waktu tempuh antara dasar laut dan basement (peta) : 20

16 Jika poin satu persen berdasarkan profil - R Ketebalan batu endapan menunjukkan konversi kedalaman dari perbedaan waktu tempuh dari peta yang berbeda Jika poin satu persen berdasarkan profil - R Parameter survei berpedoman pada profil seismik (tabel) termasuk metode akuisisi, waktu/kedalaman konversi tabel/plot dan indikator keakuratan untuk - Y lokasi dan kecepatan Analisis kecepatan (tabel) berdasarkan waktu konversi kedalaman - Y Lokasi keseluruhan data digunakan sebagai dasar dari analisis kecepatan, mengindikasikan apakah refraksi, - Y seismometer dasar laut, sonobuoy, Borehole, wideangle reflection atau metode lain yang telah digunakan Keseluruhan profil konversi kedalaman (bagian plot horisontal) yang ditandai untuk menunjukkan dasar laut, permukaan basement, FOS dan satu persen poin Jika poin satu persen berdasarkan profil - Y Profil konversi kedalaman yang representatif (bagian plot horisontal) yang ditandai untuk menunjukkan dasar laut, permukaan basement, FOS dan poin satu persen ketebalan sedimen - R Ketersediaan Data (Hasil desktop study) Sebelum melakukan survei, maka dilakukan desktop study berdasarkan data-data yang tersedia. Berdasarkan hasil desktop study ini, biasanya dapat diperkirakan di daerah-daerah mana yang berpotensi untuk ditindaklanjuti dengan survei lapangan untuk mendapatkan data yang lebih lengkap dan teliti. Dalam paragraf ini, dipaparkan sekilas tentang studi sementara (desktop study) yang pernah dilakukan sebagai bagian dasar pelaksanaan survei. Desktop study ini dilakukan berdasarkan ketersediaan data di wilayah perairan Indonesia dan sekitarnya. Data-data yang dimaksud adalah: 1. Data koordinat titik dasar yang tertuang dalam PP-38 /2002 dan direvisi pada PP-37/2008. Di dalam PP 38/2002 berisikan daftar koordinat 183 titik dasar yang dapat digunakan untuk menggambarkan garis pangkal wilayah kepulauan Indonesia. Saat ini, PP 38/2002 sedang dalam proses 21

17 revisi terkait dengan status kepemilikan Sipadan dan Ligitan serta Timor Leste yang telah menjadi negara terpisah. PP-37/2008 merupakan revisi dari PP-38/2002, karena perubahan titik-titik Dasar akibat berdirinya negara Timor Leste dan keputusan Mahkamah Internasional terkait P. Sipadan dan P. Ligitan. 2. World Vector Shoreline (WVS) WVS adalah garis pantai digital skala 1:250,000 produk dari NIMA (National Imagery and Mapping Agency) dalam format ASCII. WVS ini berisikan data garis pantai yang diperoleh dari Digital Landmass Blanking (DLMB), Operational Navigation Charts (ONCs), dan Tactical Pilotage Charts (TPCs). Batas-batas Internasional dan nama-nama negara yang diperoleh dari peta hardcopy semisal ONCs, TPCs, dan Joint Operation Graphics (JOGs) juga termasuk di dalamnya. 3. Data batimetri hasil proyek DMRM Selama pelaksanaan proyek Digital Marine Resource Mapping (DMRM) tahun , dilakukan survei batimetri dengan menggunakan SIMRAD EM12D Multibeam Echosounder. Jarak antara lajur dalam survei ini berkisar 100 km dengan cakupan sampai 200 mil laut dari garis pangkal. 4. Data Batimetri Global: ETOPO2 ETOPO2 adalah basisdata atau model batimetri dan topografi yang mencakup seluruh permukaan bumi dengan resolusi 2 menit x 2 menit. Data ini dimodelkan dari berbagai sumber baik dari hasil survei lapangan maupun pemodelan dari data satelit altimetri. 5. Ketebalan Sedimen Data ketebalan sedimen yang dipakai dalam desktop study ini diperoleh dari The National Geophysical Data Center (NGDC). Data ini merupakan hasil kompilasi dari basisdata ketebalan sedimen digital dengan resolusi 5 menit x 5 menit. 22

18 2.6 Metode Survei Landas Kontinen Kegiatan penentuan Landas Kontinen ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa metode, antara lain adalah metode seismik refleksi single channel, seismik refleksi multichannel, batimetri, dan coring. Metode ini dapat memetakan kondisi geologi bawah permukaan laut khususnya untuk mengetahui ketebalan sedimen, densitas, umur, serta topografi permukaan dasar laut mulai dari daerah Palung ke arah lepas laut. Untuk mengenal lebih dekat mengenai metode-metode tersebut di atas, akan diterangkan secara singkat mengenai metode-metode tersebut dalam sub-bab berikut : Metode Seismik Refleksi Single Channel dan Multichannel Metode yang digunakan dalam studi seismik refleksi didasari oleh hukum Snellius yaitu perambatan cahaya atau gelombang suara yang merambat pada suatu medium dan dipantulkan saat menjumpai bidang batas medium dimana sudut datang dan sudut yang dibiaskan atau dipantulkan adalah relatif sama. (dapat dilihat pada gambar 2.9). Gambar 2.9. Prinsip hukum snellius [Laporan Tim Survei LKI, 2007] Berdasarkan pada prinsip inilah metoda seismik refleksi digunakan untuk eksplorasi bawah permukaan bumi. Gambar 2.10 merupakan analogi dari prinsip seismik, yaitu perambatan energi secara horisontal atau vertikal (sesimik) yang menghasilkan gelombang suara yang dipancarkan ke dalam bumi dimana penjalaran gelombang di atas permukaan air (putih), dipantulkan oleh bidang batas antara air dengan darat (merah) (dapat dilihat gambar 2.10). 23

19 Gambar Penjalaran gelombang [Laporan Tim Survei LKI, 2007] Proses ini terus dilakukan berulang-ulang sepanjang lintasan seismik yang telah direncanakan. Hasil pengolahan data akan menggambarkan struktur perlapisan batuan/sedimen bawah permukaan bumi. Gambar TWT (Two Way Travel Time) [Laporan Tim Seismik LKI, 2009] Waktu ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh gelombang seismik yang menjalar di dalam bumi, direfleksikan dan kembali ke permukaan disebut sebagai Two Way Travel Time (TWT). TWT ini biasanyai berada dalam satuan detik atau milidetik. Tampilan dari deretan seismic trace ini disebut sebagai seismic section atau seismic profile yang menggambarkan struktur perlapisan bawah permukaan bumi (lihat gambar 2.12). 24

20 Gambar Geometri seismik refleksi single channel [Laporan Tim Seismik LKI, 2009] Seismik refleksi dibagi menjadi dua yaitu seismik refleksi saluran tunggal (single channel) seperti ditunjukkan dalam gambar 2.12, dan seismik refleksi multichannel dalam gambar Perbedaannya adalah, pada seismik refleksi single channel, satu titik refleksi hanya diliput satu kali sedangkan pada seismik refleksi multichannel satu titik refleksi diliput berkali-kali tergantung jumlah channel yang digunakan, sehingga hasil yang diperoleh dari metoda seismik refleksi multichannel tentunya jauh labih akurat dibanding dengan single channel. Dalam survei untuk seismik Landas Kontinen Ekstensi di laut utara Papua ini digunakan metode survei seismik refleksi multichannel sebanyak 240 channel receiver. Gambar Geometri seismik refleksi multichannel [Laporan Tim Seismik LKI, 2009] 25

21 2.6.2 Metode Batimetri Metode Batimetri digunakan untuk menentukan profil kedalaman permukaan bawah laut, sehingga didapatkan informasi posisi FOS (Foot Of Slope). Sedangkan metode dalam pengambilan data batimetri mengikuti Spesifikasi Teknis yang dalam kegiatan ini mengacu pada Norma Pedoman Prosedur Standar dan Spesifikasi (NPPSS) Survei Hidrografi Bakosurtanal sebagai turunan dari SP-44 yang diterbitkan oleh IHO. Dibawah ini adalah gambar yang akusisi data batimetri metode menggunakan multibeam dengan menggunakan eschosunder SIMRAD EM Gambar Akusisi data batimetri multibeam [Laporan Tim Navigasi LKI, 2009] Secara ringkas, berikut ini adalah rangkuman dari Spesifikasi dimaksud. a. Penentuan posisi 1. Posisi titik Perum Dalam penentuan posisi fix perum mengacu pada WGS-84 serta memenuhi tingkat kepercayaan 95% dengan ketelitian kurang dari 5 meter + 5% dari kedalaman rata-rata. 2. Pemeruman (Sounding) Kesalahan dalam pengukuran kedalaman, misalnya tidak boleh melebihi 0.3 meter untuk kedalaman sampai 30 meter atau 1 % dari kedalaman untuk kedalaman yang lebih dari 30 meter dengan tingkat kepercayaan 95 %. Untuk 26

22 merealisasikan persyaratan ketelitian di atas, maka batas-batas kesalahan untuk ketelitian kedalaman dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut : ± ( b x ) 2 2 d a + Nilai a sebesar 0.5 m menyatakan kesalahan independet (jumlah kesalahan yang bersifat tetap), nilai b sama dengan merupakan faktor kesalahan kedalaman dependen, dan d adalah kedalaman terukur, sedangkan b x d adalah kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman yang dependen). b. Pengukuran Sifat Fisik Air Laut Pengukuran sifat fisik air laut yang meliputi pengukuran salinitas, temperatur dan tekanan (STP) dilakukan untuk menghitung nilai koreksi kedalaman akibat perubahan kecepatan gelombang bunyi selama penjalarannya serta memberikan informasi tambahan mengenai parameter-parameter tersebut di sekitar daerah survei. Jumlah lokasi pengukuran sifat fisik air laut disesuaikan dengan letak atau kondisi geografis daerah survei. Pengukuran sifat fisik air laut hendaknya dilakukan dengan menggunakan CTD (Conductivity Temperature Depth). c. Kalibrasi Echosounder Sebelum digunakan, echosounder harus dikalibrasi secara cermat dan diukur setting draft transduser, kesalahan indeks dan kecepatan suaranya. Kesalahan indeks dan setting draft transducer diperoleh dengan melakukan pengukuran CTD, dan dikoreksikan saat setting draft kontrol pada alat echosounder. Kalibrasi ini untuk memastikan bahwa data yang terekam secara digital sesuai dengan data yang ditampilkan oleh echogram. Barcheck ini harus dilakukan tiap pada saat akan mulai dan setelah survei. Pada waktu yang bersamaan setting draft echo sounder juga harus diperiksa. Koreksi barcheck biasa tidak dilakukan pada pengukuran kedalaman di laut yang relatif dalam. 27

23 d. Pemrosesan Data Untuk mendapatkan data kedalaman yang benar, maka data kedalaman hasil ukuran harus dikoreksi terhadap kesalahan akibat gerakan kapal, draft transduser, perubahan kecepatan gelombang suara dan koreksi-koreksi lain yang diperlukan. Data kedalaman yang telah dikoreksi berikut data posisi dan waktu selanjutnya disimpan dalam suatu file ASCII dengan format : Bujur, Lintang, Kedalaman (m) dan waktu. 28

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009] BAB III REALISASI DAN HASIL SURVEI 3.1 Rencana dan Pelaksanaan Survei Survei dilakukan selama dua tahap, yaitu tahap I adalah survei batimetri untuk menentukan Foot Of Slope (FOS) dengan menggunakan kapal

Lebih terperinci

PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN INDONESIA. Eka Djunarsjah dan Tangguh Dewantara. Departemen Teknik Geodesi FTSP ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132

PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN INDONESIA. Eka Djunarsjah dan Tangguh Dewantara. Departemen Teknik Geodesi FTSP ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN INDONESIA Eka Djunarsjah dan Tangguh Dewantara Departemen Teknik Geodesi FTSP ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 ABSTRAK Landas kontinen (continental shelf) merupakan salah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbentang memanjang dari Sabang hingga Merauke dan dari Pulau Miangas di ujung Sulawesi Utara sampai ke Pulau Dana di selatan

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI ASPEK GEOLOGI DALAM PENENTUAN BATAS LANDAS KONTINEN

BAB III IMPLEMENTASI ASPEK GEOLOGI DALAM PENENTUAN BATAS LANDAS KONTINEN BAB III IMPLEMENTASI ASPEK GEOLOGI DALAM PENENTUAN BATAS LANDAS KONTINEN 3.1 Klasifikasi Teknis Batas Landas Kontinen Menurut UNCLOS 1982, batas Landas Kontinen suatu negara pantai dibagi berdasarkan posisi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga ' BT terletak di posisi

2. TINJAUAN PUSTAKA. hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga ' BT terletak di posisi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landas Kontinen bagi Negara Kepulauan Wilayah kedaulatan dan yuridiksi Indonesia terbentang dari 6 08' LU hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga 141 05' BT terletak di posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara pantai yang secara hukum internasional diakui sebagai negara kepulauan yang 80% wilayahnya adalah wilayah lautan (Patmasari dkk, 2008). Hal

Lebih terperinci

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra Aldea Noor Alina 3509 100 005 Dengan bimbingan Ir. Yuwono MS. Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai BATIMETRI Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 Modul 2. Batimetri TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 18 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Informasi keberadaan kaki lereng kontinen bersifat penting karena akan menentukan wilayah yang dapat diklaim sebagai batas landas kontinen diluar 200 mil laut. oleh karena itu,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Titik Pangkal N (m) E (m) FOS N (m) E (m) Jarak (M)

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Titik Pangkal N (m) E (m) FOS N (m) E (m) Jarak (M) BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Keberadaan FOS merupakan dasar penarikan titik-titik ketebalan sedimen 1 %, artinya titik-titik FOS inilah yang menjadi titik awal (start) dalam

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut adalah kumpulan air asin dan menyatu dengan samudera. Dari waktu ke waktu, terjadi perkembangan yang signifikan terhadap fungsi atau peranan laut. Adapun fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 76 United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia sebagai negara pantai mempunyai kesempatan

Lebih terperinci

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah :

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah : 01. BATIMETRI TUJUAN PRAKTIKUM - Mahasiswa dapat mengenal bentuk-bentuk dasar perairan. - Mahasiswa dapat mengetahui aturan-aturan dasar dan membuat kontur-kontur batimetri. - Mahasiswa dapat melukiskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 1985 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations

Lebih terperinci

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI 1. Perhitungan Ketelitian Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (Juni, 2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (Juni, 2013) ISSN: ( Print) Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra Aldea Noor Alina 1) dan Yuwono 2) Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Lebih terperinci

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan

Lebih terperinci

Bentuk bentukan dasar laut / topografi dasar laut

Bentuk bentukan dasar laut / topografi dasar laut Bentuk bentukan dasar laut / topografi dasar laut I. Bentuk-bentukan Dasar Laut Keadaan dasar laut seperti juga di daratan terdapat bentukan-bentukan dasar laut seperti pegunungan,plato, gunung, lembah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 menetapkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15 13 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Data diperoleh dari survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15 Februari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Desain Penelitian 3.1.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Penelitian ini menggunakan data

Lebih terperinci

Abstrak Kata Kunci: Pendahuluan

Abstrak Kata Kunci: Pendahuluan Pengalaman melakukan Parsial Submisi Landas Kontinen Indonesia di luar 200 mil laut di sebelah barat laut Sumatera untuk mendukung penyusunan Rancangan Undang-undang Landas Kontinen indonesia Dr.-Ing.

Lebih terperinci

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) N. Oktaviani 1, J. Ananto 2, B. J. Zakaria 3, L. R. Saputra 4, M. Fatimah

Lebih terperinci

Analisa Revi si UU no 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indone sia yang mengacu pada UNCLOS 1958 dengan menggunakan UNCLOS 1982

Analisa Revi si UU no 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indone sia yang mengacu pada UNCLOS 1958 dengan menggunakan UNCLOS 1982 Analisa Revi si UU no 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indone sia yang mengacu pada UNCLOS 1958 dengan menggunakan UNCLOS 1982 Ratih De starina 1, T. Fayakun Alif Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA

BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA 3.1 Seleksi Unsur Pemetaan Laut Teritorial Indonesia Penyeleksian data untuk pemetaan Laut Teritorial dilakukan berdasarkan implementasi UNCLOS

Lebih terperinci

OSEANOGRAFI. Morfologi Dasar Laut

OSEANOGRAFI. Morfologi Dasar Laut OSEANOGRAFI Morfologi Dasar Laut Outline Teori Continental Drift Teori Plate Tectonic Morfologi Dasar Laut 2 Games!!! Bagi mahasiswa menjadi 3 kelompok. Diskusikan mengenai hal-hal berikut : - Kelompok

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DELINEASI LANDAS KONTINEN EKSTENSI DI LUAR 200 MIL LAUT MELALUI PENARIKAN GARIS HEDBERG DARI KAKI LERENG INVESTIGATOR RIDGE

DELINEASI LANDAS KONTINEN EKSTENSI DI LUAR 200 MIL LAUT MELALUI PENARIKAN GARIS HEDBERG DARI KAKI LERENG INVESTIGATOR RIDGE Delineasi Landas Kontinen... DELINEASI LANDAS KONTINEN EKSTENSI DI LUAR 200 MIL LAUT MELALUI PENARIKAN GARIS HEDBERG DARI KAKI LERENG INVESTIGATOR RIDGE Khomsin 1), Muammar Khadafi Ashar 1), Arif Rahman

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang SURVEI HIDROGRAFI Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Tahapan Perencanaan Survey Bathymetri Pengukuran bathimetri dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 61-1998 diubah: PP 37-2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 72, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Pelajaran

Ringkasan Materi Pelajaran Standar Kompetensi : 5. Memahami hubungan manusia dengan bumi Kompetensi Dasar 5.1 Menginterpretasi peta tentang pola dan bentuk-bentuk muka bumi 5.2 Mendeskripsikan keterkaitan unsur-unsur geografis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak dieksplorasi adalah sumber daya alam di darat, baik itu emas, batu bara,

BAB I PENDAHULUAN. banyak dieksplorasi adalah sumber daya alam di darat, baik itu emas, batu bara, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan 2/3 wilayahnya adalah lautan dan memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah baik di darat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : BAB II DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

Pengalaman melakukan Parsial Submisi Landas Kontinen Indonesia di luar 200 mil laut di sebelah barat laut Sumatera

Pengalaman melakukan Parsial Submisi Landas Kontinen Indonesia di luar 200 mil laut di sebelah barat laut Sumatera Sosialisasi RUU tentang Landas Kontinen Indonesia Selasa, tanggal 26 April 2011jam 09. 00-14. 00 WIB Hotel Maharani, Jl. Mampang Prapatan Raya 8, Jaksel Pengalaman melakukan Parsial Submisi Landas Kontinen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan dengan wilayah yang sangat luas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan dengan wilayah yang sangat luas Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan dengan wilayah yang sangat luas Indonesia memiliki potensial yang cukup besar di bidang sumber daya alam, khususnya cadangan minyak dan gas

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

PENENTUAN KAKI LERENG (FOOT OF SLOPE) KONTINEN MENGGUNAKAN DATA BATIMETRI

PENENTUAN KAKI LERENG (FOOT OF SLOPE) KONTINEN MENGGUNAKAN DATA BATIMETRI PENENTUAN KAKI LERENG (FOOT OF SLOPE) KONTINEN MENGGUNAKAN DATA BATIMETRI ERWAN HERMAWAN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Lebih terperinci

MENENTUKAN KEDALAMAN BEDROCK MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI (Studi Kasus di Desa Kemuning Lor Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember) SKRIPSI.

MENENTUKAN KEDALAMAN BEDROCK MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI (Studi Kasus di Desa Kemuning Lor Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember) SKRIPSI. MENENTUKAN KEDALAMAN BEDROCK MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI (Studi Kasus di Desa Kemuning Lor Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember) SKRIPSI Oleh Sustriamah NIM 031810201098 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pekerjaan penetapan dan penegasan batas daerah di laut akan mencakup dua kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang dua per tiga (2/3) wilayahnya adalah lautan, sehingga Negara Republik Indonesia dapat dikategorikan sebagai Negara

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Akuisisi Data Seismik Akuisisi data seismik dilaksanakan pada bulan April 2013 dengan menggunakan Kapal Riset Geomarin III di kawasan batas laut dan Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1. A. Latar Belakang 1. B. Identifikasi Permasalahan 3. C. Metode 4. D. Tujuan dan Kegunaan 4

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1. A. Latar Belakang 1. B. Identifikasi Permasalahan 3. C. Metode 4. D. Tujuan dan Kegunaan 4 DAFTAR ISI Kata Pengantar i Daftar Isi ii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Identifikasi Permasalahan 3 C. Metode 4 D. Tujuan dan Kegunaan 4 E. Out put 5 F. Sistematika Laporan 5 G. Keanggotaan

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam

BAB III TEORI DASAR. Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam BAB III TEORI DASAR 3.1 Seismik Refleksi Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam eksplorasi hidrokarbon. Telah diketahui bahwa dalam eksplorasi geofisika, metode seismik

Lebih terperinci

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi Hal yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan survey hidrografi adalah ketentuan teknis atau disebut juga spesifikasi pekerjaan. Setiap pekerjaan

Lebih terperinci

PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN UTARA PAPUA LA ELSON

PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN UTARA PAPUA LA ELSON PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN UTARA PAPUA LA ELSON SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI II.1. Survey Bathimetri Survei Bathimetri dapat didefinisikan sebagai pekerjaan pengumpulan data menggunakan metode penginderaan atau rekaman dari permukaan

Lebih terperinci

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG (SPATIAL PATTERN OF BATHYMETRY IN BUNGUS BAY, PADANG CITY) Oleh YULIUS, H. PRIHATNO DAN I. R. SUHELMI Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya

Lebih terperinci

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI xvii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vii SAMBUTAN... x UCAPAN TERIMA KASIH... xiii DAFTAR ISI... xvii DAFTAR GAMBAR... xxii BAB 1 DELIMITASI BATAS MARITIM: SEBUAH PENGANTAR... 1 BAB 2 MENGENAL DELIMITASI

Lebih terperinci

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test DAFTAR PUSTAKA Abidin, Hasanuddin Z. Metode Penentuan dengan GPS dan Aplikasinya. Pradnya Paramita. 2001. Budhiargo, Guntur. Analisis data batimetri multibeam echosounder menggunakan Caris HIPS. Skripsi.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul ) BAB 4 ANALISIS 4.1. Penyajian Data Berdasarkan survei yang telah dilakukan, diperoleh data-data yang diperlukan untuk melakukan kajian dan menganalisis sistem penentuan posisi ROV dan bagaimana aplikasinya

Lebih terperinci

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG Winardi Puslit Oseanografi - LIPI Sekilas GPS dan Kegunaannya GPS adalah singkatan dari Global Positioning System yang merupakan sistem untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi daerah studi bersifat regional baik di daratan maupun di perairan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi daerah studi bersifat regional baik di daratan maupun di perairan 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Lokasi daerah studi bersifat regional baik di daratan maupun di perairan (lepas pantai) wilayah yang di teliti meliputi lembar peta 1110 dan 1109

Lebih terperinci

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT Dalam penentuan batas laut, setiap negara pantai diberikan wewenang oleh PBB untuk menentukan batas lautnya masing-masing dengan menjalankan pedoman yang terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut Indonesia, maka ini akan mendorong teknologi untuk dapat membantu dalam

BAB I PENDAHULUAN. laut Indonesia, maka ini akan mendorong teknologi untuk dapat membantu dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin banyak penerapan teknologi dalam kehidupan sehari-hari yang berdasarkan perkembangan pemanfaatan energi dan sumber daya alam di laut Indonesia, maka ini

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH Dalam kegiatan penetapan dan penegasan batas (delimitasi) terdapat tiga mendasar, yaitu: pendefinisian, delineasi, dan demarkasi batas. Hubungan ketiganya

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Waduk Sermo merupakan struktur bangunan berisi air yang berada di permukaan tanah yang berlokasi di Dusun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS IMPLIKASI DEFORMASI CO-SEISMIC TERHADAP BATAS DAERAH DAN NEGARA

BAB V ANALISIS IMPLIKASI DEFORMASI CO-SEISMIC TERHADAP BATAS DAERAH DAN NEGARA BAB V ANALISIS IMPLIKASI DEFORMASI CO-SEISMIC TERHADAP BATAS DAERAH DAN NEGARA 1. Pergeseran titik-titik pada garis batas yang berada di sekitar Aceh akibat deformasi co-seimic memberikan dampak beragam,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif analitik, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran struktur geologi Dasar Laut

Lebih terperinci

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK Batasan masalah dalam tugas akhir ini adalah penetapan batas laut yang lebih tepatnya Zona Ekonomi

Lebih terperinci

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH Dalam kajian penentuan batas kewenangan wilayah laut Provinsi Nusa Tenggara Barat menggunakan dua prinsip yaitu, pertama mengacu

Lebih terperinci

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI Spesifikasi Pekerjaan Dalam pekerjaan survey hidrografi, spesifikasi pekerjaan sangat diperlukan dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pasang Surut Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Metode seismik merupakan salah satu bagian dari metode geofisika aktif, yang memanfaatkan pergerakan gelombang dalam suatu medium dimana dalam penyelidikannnya di

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI

IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI Dr. Sri Handoyo dan Ir. Tri Patmasari, M.Si Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL Disampaikan pada Dialog Publik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR Peta topografi adalah peta penyajian unsur-unsur alam asli dan unsur-unsur buatan manusia diatas permukaan bumi. Unsur-unsur alam tersebut diusahakan diperlihatkan pada

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA Teguh Fayakun Alif, ST Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan (PDKK) BAKOSURTANAL Jl.Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911 Telp.

Lebih terperinci

Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004]

Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004] ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT (Studi Kasus : Batas Maritim Indonesia dengan Negara Tetangga) Oleh : Ratih Destarina I. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara kepulauan yang berbatasan dengan sepuluh Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumber daya alam di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada di perairan Indonesia sangatlah melimpah ruah, dikarenakan Indonesia merupakan negara maritim.

Lebih terperinci

BAB III STUDI KASUS 1 : Model Geologi dengan Struktur Lipatan

BAB III STUDI KASUS 1 : Model Geologi dengan Struktur Lipatan BAB III STUDI KASUS 1 : Model Geologi dengan Struktur Lipatan Dalam suatu eksplorasi sumber daya alam khususnya gas alam dan minyak bumi, para eksplorasionis umumnya mencari suatu cekungan yang berisi

Lebih terperinci

STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU KOMODO, MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR

STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU KOMODO, MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 257-266 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura BAB II DASAR TEORI 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura Seperti yang telah kita ketahui, permasalahan batas maritim untuk Indonesia dengan Singapura sudah pernah disinggung dan disepakati

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM INDONESIA MENGAJUKAN LANDAS KONTINEN EKSTENSI

UPAYA HUKUM INDONESIA MENGAJUKAN LANDAS KONTINEN EKSTENSI P PERSPEKTIF Volume XVI No. 3 Tahun 2011 Edisi Mei UPAYA HUKUM INDONESIA MENGAJUKAN LANDAS KONTINEN EKSTENSI (antara Peluang dan Tantangan) Popi Tuhulele Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon e-mail:

Lebih terperinci

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA By : I PUTU PRIA DHARMA APRILIA TARMAN ZAINUDDIN ERNIS LUKMAN ARIF ROHMAN YUDITH OCTORA SARI ARIF MIRZA Content : Latar Belakang Tujuan Kondisi Geografis Indonesia Metode

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional Pada abad ke-19, batas 3 mil memperoleh pengakuan dari para ahli hukum, juga oleh

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Minyak dan gasbumi hingga saat ini masih memiliki peranan sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan energi umat manusia, meskipun sumber energy alternatif lainnya sudah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tsunami Tsunami biasanya berhubungan dengan gempa bumi. Gempa bumi ini merupakan proses terjadinya getaran tanah yang merupakan akibat dari sebuah gelombang elastis yang menjalar

Lebih terperinci

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV 3.1. Persiapan Sebelum kegiatan survei berlangsung, dilakukan persiapan terlebih dahulu untuk mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan selama kegiatan survei

Lebih terperinci

Dalam pengembangannya, geodinamika dapat berguna untuk : a. Mengetahui model deformasi material geologi termasuk brittle atau ductile

Dalam pengembangannya, geodinamika dapat berguna untuk : a. Mengetahui model deformasi material geologi termasuk brittle atau ductile Geodinamika bumi 9. GEODINAMIKA Geodinamika adalah cabang ilmu geofisika yang menjelaskan mengenai dinamika bumi. Ilmu matematika, fisika dan kimia digunakan dalam geodinamika berguna untuk memahami arus

Lebih terperinci

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 2 Desember 2014: 165-170 TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI (Surveying Technology for Coastal Mapping) Imam Mudita Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode dan Desain Penelitian Data geomagnet yang dihasilkan dari proses akusisi data di lapangan merupakan data magnetik bumi yang dipengaruhi oleh banyak hal. Setidaknya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA DI LAUT NATUNA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

Analisis Geohazard untuk Dasar Laut dan Bawah Permukaan Bumi

Analisis Geohazard untuk Dasar Laut dan Bawah Permukaan Bumi B6 Analisis Geohazard untuk Dasar Laut dan Bawah Permukaan Bumi Dani Urippan dan Eko Minarto Departemen Fisika, Fakultas Ilmu Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) e-mail: e.minarto@gmail.com

Lebih terperinci

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20 Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-2 IV.7 Gelombang Menabrak Suatu Struktur Vertikal Pemodelan dilakukan untuk melihat perilaku gelombang ketika menabrak suatu struktur vertikal. Suatu saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi mempunyai beberapa lapisan pada bagian bawahnya, masing masing lapisan memiliki perbedaan densitas antara lapisan yang satu dengan yang lainnya, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pelabuhan merupakan salah satu jaringan transportasi yang menghubungkan transportasi laut dengan transportasi darat. Luas lautan meliputi kira-kira 70 persen dari luas

Lebih terperinci

Komputasi Geofisika 1: Pemodelan dan Prosesing Geofisika dengan Octave/Matlab

Komputasi Geofisika 1: Pemodelan dan Prosesing Geofisika dengan Octave/Matlab Komputasi Geofisika 1: Pemodelan dan Prosesing Geofisika dengan Octave/Matlab Editor: Agus Abdullah Mohammad Heriyanto Hardianto Rizky Prabusetyo Judul Artikel: Putu Pasek Wirantara, Jeremy Adi Padma Nagara,

Lebih terperinci