STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA DI KABUPATEN BOGOR ANDRI APRIYADI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA DI KABUPATEN BOGOR ANDRI APRIYADI"

Transkripsi

1 STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA DI KABUPATEN BOGOR ANDRI APRIYADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 32 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir yang berjudul Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini. Bogor, Mei 2010 Andri Apriyadi NRP H

3 33 ABSTRACT ANDRI APRIYADI. The Strategic and Programs of Empowerment Poor People through Kelompok Usaha Bersama in Bogor District. Under guidance of YUSMAN SYAUKAT and FREDIAN TONNY NASDIAN. The objective of the research is to formulate strategic development of empowering the poor people through Kelompok Usaha Bersama (KUBE) relevant by needs, characteristic of poor people, and reducing of poverty policy in Bogor District. The first to do is investigate the characteristic of poor people, second, to analyze the policy of government in reducing poverty and the implementation itself, and third, to evaluate the process of empowering poor people with Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) for strengthening the capital of KUBE. The data were collected through observation and interview to the respondents that know about the policy under study. The data were analyzed by using descriptive analysis, content analysis, and Analytic Hierarchy Process (AHP). This study has identified three alternatives of policy through AHP, namely: improving the rule and management program, empowering the poor people based community, increasing performance of KUBE, with 9 aspects that consider and 19 strategic steps. The weight and importance of each by expert`s judgment, with the goal of identifying and determining the superior criteria for developing policy of empowering poor people through in KUBE at Bogor District. The results showed that alternatives such as: increasing intensity of companion, non-formal education, and selection of targets having the highest degrees of importance 0.106, 0.091, and 0.076, respectively, and cooperative with the lowest degree of importance of Keyword: empowering the poor people, KUBE, BLPS, content analysis, AHP.

4 34 RINGKASAN ANDRI APRIYADI. Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan FREDIAN TONNY NASDIAN. Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat ternyata juga memiliki permasalahan akan tingginya angka kemiskinan. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor untuk mengeluarkan warganya dari belenggu kemiskinan. Akan tetapi output yang dihasilkan ternyata tidak semuanya sesuai dengan target yang diharapkan, hal ini ditandai dengan terus meningkatnya angka kemiskinan dari jiwa pada tahun 2003 hingga menjadi jiwa pada tahun Kondisi ini mendorong Pemerintah Kabupaten Bogor memprioritaskan penanggulangan kemiskinan dalam Arah Kebijakan Umum APBD Tahun Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Pusat memiliki rancangan sendiri dengan mengelompokkan program-program penanggulangan kemiskinan menjadi: 1) Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat, dan 3) Kelompok Program Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Pada Kluster Pemberdayaan Masyarakat, pendekatan yang digunakan adalah pemberdayaan yang menggunakan falsafah bahwa yang harus menjadi aktor utama untuk mengeluarkan masyarakat miskin dari lingkaran kemiskinan adalah masyarakat miskin itu sendiri, bukan pemerintah ataupun pihak lain. Wujud dari programprogram penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat salah satunya adalah dengan pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Di Kabupaten Bogor, kebijakan ini diwujudkan melalui pelatihan keterampilan dengan output pembentukan KUBE. Namun kegiatan pembentukan KUBE melalui dana APBD ini tidak didukung anggaran pendampingan pasca-pelatihan dan penguatan modal yang sangat penting bagi kelanjutan usaha KUBE. Akibatnya banyak KUBE yang tidak berkembang atau gagal melanjutkan usaha yang dijalankannya. Dalam rangka mendukung potensi KUBE dan program pemberdayaan masyarakat di daerah, Pemerintah Pusat melalui Depsos RI meluncurkan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) melalui mekanisme Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) bagi penguatan modal KUBE. Tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE yang tepat sasaran sesuai dengan karakteristik fakir miskin dan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu kondisi kemiskinan masyarakat di Kabupaten Bogor, implementasi dan keterpaduan kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam penanggulangan kemiskinan, dan evaluasi pelaksanaan BLPS-KUBE di Kabupaten Bogor agar dapat dirumuskan langkah strategis/program dalam upaya mengembangkan kebijakan.

5 35 Berdasarkan hasil analisis menggunakan data SUSDA Tahun 2006 yang dibandingkan dengan 14 indikator kemiskinan dari BPS, diperoleh bahwa pada umumnya kondisi masyarakat miskin di Kabupaten Bogor sudah cukup terpenuhi kebutuhan dasarnya, hanya saja dengan karakteristik yang berbeda-beda. Untuk indikator pendidikan, penduduk miskin Kabupaten Bogor umumnya sudah memiliki pendidikan setidaknya tamat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yaitu mencapai 63,3%. Adapun sisanya 36,62% tidak sekolah dan tidak tamat SD/MI. Pada umumnya keluarga miskin di Kabupaten Bogor tidak memiliki mata pencaharian yang tetap. Namun jika dilihat dari proporsinya, masyarakat miskin yang tidak bekerja atau menganggur mencapai 56,89%, selebihnya adalah bekerja di sektor jasa, sektor perdagangan, sektor transportasi dan lainnya. Adanya pengaruh budaya dan ketidakmampuan sistem/kebijakan dalam memberikan kesempatan bagi warga miskin juga berpengaruh terhadap rendahnya tingkat pendidikan dan kondisi mata pencaharian penduduk miskin. Terdapat 6 kebijakan strategis yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan yaitu: 1) Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat; 2) Peningkatan Kesehatan dan Pemenuhan Gizi Masyarakat; 3) Peningkatan Infrastuktur dan Pengembangan Wilayah; 4) Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; 5) Peningkatan Perlindungan Sosial; dan 6) Pengarusutamaan Gender. Hasil dari analisis isi terhadap RPJMD Kabupaten Bogor tahun , diketahui bahwa indikator-indikator penanggulangan kemiskinan yang terpilih meliputi 15 kebijakan pembangunan yang terdiri dari urusan: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan Umum; 4) Perumahan; 5) Penataan Ruang; 6) Kependudukan; 7) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 8) Sosial; 9) Koperasi dan UKM; 10) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; 11) Pertanian dan Kehutanan; 12) Energi dan Sumberdaya Mineral; 13) Pariwisata; 14) Perikanan; serta 15) Industri dan Perdagangan. Analisi isi terhadap program/kegiatan yang mendukung penanggulangan kemiskinan selama periode tahun 2007 hingga 2008 memperlihatkan bahwa dari volume kegiatan terjadi peningkatan jumlah kegiatan namun dari volume anggaran terdapat penurunan jumlah anggaran. Meningkatnya kemiskinan pada periode ini ternyata tidak dipengaruhi oleh banyaknya volume kegiatan dan jumlah anggaran penanggulangan kemiskinan. Pada periode ini sasaran kegiatannya masih bersifat umum atau masih belum berfokus kepada sasaran masyarakat miskin secara langsung. Sekalipun ada program/kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin, ternyata lebih berbentuk pemberian bantuan langsung tunai (cash programme) daripada bantuan pemberdayaan. Jika dilihat dari Kelompok Program Penanggulangan Nasional maka kegiatan yang termasuk dalam kategori memberdayakan fakir miskin hanya terdapat pada kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS (sumber dana APBD) dan P2FM-BLPS (sumber dana APBN). P2FM-BLPS merupakan program yang mendukung kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS melalui KUBE. Program ini dinilai dapat berpotensi mengurangi kemiskinan, karena hanya dengan anggaran sebanyak 0,47 persen dari total anggaran penanggulangan kemiskinan (tahun 2008) akan ada peluang bagi penduduk miskin sebanyak 268 KK atau mewakili jiwa yang dapat secara mandiri keluar dari kemiskinannya. Atas dasar informasi tersebut, sudah

6 36 saatnya Pemerintah Kabupaten Bogor perlu mendukung program-program pemberdayaan fakir miskin untuk mengentaskan kemiskinan seperti halnya P2FM-BLPS. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan P2FM-BLPS, program ini mengalami kegagalan pada tahap awal peluncurannya karena berbagai macam kendala dan permasalahan dalam hal perguliran dana, pendampingan, dan pengelolaan program. Belajar dari kegagalan tersebut, Pengelola menjalankan BLPS-KUBE Fase II sebagai kelanjutan program. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap para responden Penerima BLPS Fase II, umumnya para responden menyambut baik P2FM-BLPS karena dengan adanya UEP yang diperkuat permodalannya berdampak pada peningkatan status ekonomi dan sosial mereka. Para responden selain dapat untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga dapat menyisihkan sisa keuntungan untuk menabung atau mencicil pinjaman. Keberadaan KUBE juga telah menjadi wadah untuk berinteraksi dan menyalurkan aspirasi mereka. Dengan demikian mereka memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan dapat berupaya keluar dari kemiskinannya. Adanya keberhasilan BLPS-KUBE Fase II menunjukkan optimisme program ini relevan dengan kondisi masyarakat hanya saja perlu penanganan lebih lanjut agar dapat diterapkan di wilayah lain di Kabupaten Bogor dan kinerjanya dapat optimal memberdayakan fakir miskin. Berdasarkan hasil AHP, terlihat bahwa untuk mencapai tujuan mengembangkan kebijakan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor, prioritas kebijakan strategis yang dapat ditempuh adalah: 1) Perbaikan Tata Kelola Program (bobot 0,391); 2) Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin (bobot 0,335); dan 3) Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Masyarakat (bobot 0,274). Hasil analisis secara global terhadap kesembilan-belas langkah strategis yang bisa dikembangkan diperoleh bahwa meningkatkan intensitas pendampingan adalah langkah strategis yang paling diprioritaskan yaitu dengan bobot 0,106, diikuti dengan memfasilitasi pendidikan non formal/pelatihan keterampilan (bobot 0,091), pembenahan dalam seleksi penerima program (bobot 0,076), meningkatkan kepercayaan masyarakat (bobot 0,075) dan seterusnya, hingga koperasi di urutan terakhir dengan bobot Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah masyarakat miskin di Kabupaten Bogor cukup berpotensi untuk diberdayakan namun perlu kehati-hatian dalam merancang program pemberdayaan melalui penyertaan modal. Sebab bila faktor keterisoliran dan hambatan struktural lainnya tidak ditangani, maka program penyertaan modal tidak akan mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Upaya mengurangi jumlah kemiskinan di Kabupaten Bogor umumnya masih dalam bentuk memberikan bantuan langsung tunai (cash programme) dan bukan memprioritaskan pemberdayaan masyarakat miskin. P2FM-BLPS sebagai program yang mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE, sekalipun kegiatan ini mengalami berbagai macam kendala dan permasalahan, tetap perlu dikembangkan karena keberhasilannya akan berdampak langsung dalam mengurangi kemiskinan. Sekalipun BLPS-KUBE Fase II terbilang berhasil, namun terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi karena jika dibiarkan akan berpotensi terjadinya

7 kegagalan kembali, yaitu dalam hal sasaran program, keberadaan koperasi, dan dana pendampingan. Adapun saran atau implikasi kajian bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin adalah Pemerintah Kabupaten Bogor hendaknya lebih memprioritaskan program/kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin dan bersifat pemberdayaan ekonomi dan sosial agar angka kemiskinan dapat berkurang secara nyata. 37

8 Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

9 39 STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA DI KABUPATEN BOGOR ANDRI APRIYADI Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MA.Ec 40

11 41 Judul Tugas Akhir Nama NRP : Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor : Andri Apriyadi : H Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 1 April 2010 Tanggal Lulus:

12 42 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga Kajian Pembangunan Daerah ini berhasil diselesaikan. Kajian yang berjudul Strategi dan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama di Kabupaten Bogor ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Dalam menyelesaikan kajian ini, penulis sampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penulisan kajian ini terutama kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku Anggota, berikut seluruh dosen Sekolah Pascasarjana Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh rekan mahasiswamahasiswi Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam penulisan kajian ini. Di lain pihak penulis sampaikan pada isteri beserta keluarga yang senantiasa memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi. Penulis serahkan amal kebaikan yang telah membantu kepada Allah SWT semoga Yang Maha Kuasa dapat membalasnya dengan berlipat ganda. Penulis berharap semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai bahan rekomendasi untuk mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui Kelompok Usaha Bersama maupun pihak-pihak yang membutuhkan hasil dari kajian studi ini.. Bogor, Mei 2010 Andri Apriyadi

13 43 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 12 April 1980 dari ayah Djais Sumarta dan ibu Ika Nurhasanah. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dari SD hingga SMU di Indramayu dan menyelesaikan jenjang pendidikan menengah di SMU Negeri 1 Sindang Indramayu pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan lulus pada tahun 2003 sebagai Sarjana Pertanian dengan keahlian di bidang Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis). Penulis diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah pada tahun 2005 dan ditugaskan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS) Kabupaten Bogor. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan Beasiswa Tugas Belajar dari Bupati Bogor untuk melanjutkan studi S2 dengan mengambil program studi Manajemen Pembangunan Daerah di Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah pada tahun 2008 dengan Wanda Tejasati dan dikaruniai seorang anak laki-laki yaitu Keenan Fashori Punayuga.

14 44 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I. BAB II. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Pemerintah Fenomena Kemiskinan Konsep dan Pengertian Kemiskinan Indikator Pengukuran Kemiskinan Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Nasional Paradigma Baru Penanggulangan Kemiskinan Pemberdayaan Masyarakat Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian Mengenai Kemiskinan Penelitian Mengenai KUBE BAB III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Kajian Metode Pengumpulan Data Metode Penentuan Responden Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Analisis Statistik Deskriptif Analisis Isi Metode Perancangan Program BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR i v vii ix

15 Kondisi Geografis dan Administratif Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Kondisi Ekonomi dan Sosial BAB V. BAB VI. ANALISIS KONDISI KEMISKINAN KABUPATEN BOGOR 5.1. Profil Kemiskinan Karakteristik Kemiskinan Karakteristik Sosial Demografi Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) Karakteristik Ekonomi Karakteristik Kesejahteraan Keluarga Karakteristik Ketenagakerjaan Tinjauan Kemiskinan Berdasarkan Wilayah Pembangunan Faktor Penyebab dan Persoalan Kemiskinan UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 6.1. Pembentukan Lembaga Penanggulangan Kemiskinan Penyusunan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Komitmen Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Perumusan Visi dan Misi Penanggulangan Kemiskinan Strategi dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam RPJMD Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam LAKIP SKPD Keterpaduan Antar Program/Kegiatan Harmonisasi terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan Pusat BAB VII. EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR 7.1. Potensi KUBE di Kabupaten Bogor Pelaksanaan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui BLPS- KUBE Gambaran Umum Lokasi Stakeholder Pengelola Program Persiapan Pelaksanaan Program Penyesuaian dalam Program Kondisi Pencairan Dana Keragaan Keanggotaan KUBE Jenis Usaha KUBE

16 Pendampingan Sosial Kinerja KUBE Penerima BLPS Hambatan dan Permasalahan yang Timbul P2FM-BLPS Fase II sebagai Kelanjutan Program Kondisi Umum KUBE Penerima BLPS Fase II Proses Pencairan Dana dan Pemanfaatan Kinerja Pengembalian Modal Evaluasi Pelaksanaan P2FM-BLPS Fase II Karakteristik Responden Kinerja KUBE dan Pelaksanaan UEP Responde Hasil Proses Pemberdayaan BAB VIII. STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN 8.1. Identifikasi Faktor Strategis Perumusan Alternatif Strategi dan Program Analisis Prioritas Pengembangan Kebijakan Perbaikan Tata Kelola Program Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas Sintesis Prioritas Langkah Strategis Berdasarkan Tujuan Perancangan Program BAB IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

17 47 DAFTAR TABEL Halaman 1. Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan Nilai Skala Banding Berpasangan Kondisi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun Jumlah dan Komposisi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun Jumlah Kepala Keluarga dan Komposisi Rumah Tangga Miskin Kabupaten Bogor Tahun Karakteristik Sosial Demografi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan)Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Karakteristik Ekonomi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Karakteristik Kesejahteraan Keluarga Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Karakteristik Ketenagakerjaan Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Kondisi Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun 2006 Berdasarkan Tinjauan Wilayah Rata-Rata Karakteristik Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun 2006 Berdasarkan Indikator BPS dan Tinjauan Wilayah (dalam persen) Faktor Penyebab Kemiskinan Berdasarkan Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Bogor Tahun Kebijakan dan Langkah-Langkah Strategis Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Jumlah SKPD yang Terlibat dalam Mengimplementasikan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Jumlah Komponen Program dan Kegiatan yang Mendukung Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2007 dan 80

18 Jumlah Implementasi Kegiatan yang Mendukung Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008 Berdasarkan Sumber Dana Jumlah Anggaran Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2007 (dalam rupiah) Jumlah Anggaran Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008 (dalam rupiah) KUBE PMKS Hasil Pembentukan Kegiatan Pelatihan Keterampilan di Kabupaten Bogor Tahun Gambaran Umum Kondisi Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya Realisasi Pencairan Dana BLPS bagi KUBE di Kabupaten Bogor Tahun Kondisi Keanggotaan dan Jenis Usaha KUBE Penerima Dana BLPS di Kabupaten Bogor Tahun Kondisi Keanggotaan, Jenis Usaha, dan Status Anggota KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Kondisi Perguliran Dana Penguatan Modal KUBE Fase II di Kabupaten Bogor Tahun Karakteristik Rata-Rata Responden KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Tahun Kondisi Permodalan UEP Responden Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Tahun Struktur Hirarki Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor Urutan Prioritas Kebijakan Strategis dalam Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Perbaikan Tata Kelola Program Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Peningkatan Kinerja KUBE Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Kebijakan Strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas Urutan Prioritas Global Program Pengembangan Kebijakan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor

19 49 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun Grafik Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Jawa Barat Tahun Bagan Konsep Kemiskinan Tahapan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan Rancangan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Usaha Mikro Kerangka Pemikiran Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor Struktur Hirarki AHP Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE Peta Administratif Kabupaten Bogor Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor Tahun Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Kabupaten Bogor Tahun Jumlah Penduduk Yang Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenjang Pendidikan Jumlah Pengangguran Kabupaten Bogor Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor Tahun Indikator IPM Kabupaten Bogor Tahun Kondisi Jumlah Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Kebijakan pada Tahun 2007 dan Kondisi Alokasi Anggaran Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Kebijan pada Tahun 2007 dan 2008 (dalam miliar rupiah) Posisi Administratif Kecamatan Penerima P2FM-BLPS Bobot Persepsi Gabungan Responden dalam Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE

20 Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Perbaikan Tata Kelola Program Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Pendampingan Sosial Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Manajemen Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Pendanaan Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Peningkatan Kualitas SDM Anggota KUBE Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penguatan Usaha Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Akses Pasar Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Kelembagaan KUBE Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategis Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Modal Sosial Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Kelembagaan Masyarakat Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Distribusi (Distributive Synthesis) Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Ideal (Ideal Synthesis)

21 51 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Profil Kemiskinan Hasil Pelaksanaan Refleksi Kemiskinan oleh Masyarakat Rencana Aksi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan RPJMD Kabupaten Bogor Tahun Analisis Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun Anggaran Analisis Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun Anggaran Data KUBE Fakir Miskin Penerima Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial di Kabupaten Bogor Tahun Data KUBE Fakir Miskin Penerima Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial di Kabupaten Bogor Fase II Karakteristik Responden Penerima BLPS di Kabupaten Bogor Matriks Persepsi Masing-Masing Responden dan Perhitungan Pendapat Gabungan Menggunakan Rata-Rata Geometris Hasil Treeview AHP Pendapat Gabungan pada Expert Choice Rancangan Program bagi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE

22 52 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (DITJEN PMD Depdagri, 2003 dalam Nugroho, 2009). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan lain terhadap berbagai aspek pembangunan. Jika dilihat dari aspek ekonomi, kemiskinan berdampak pada produktivitas yang rendah, sementara jika dilihat dari aspek sosial menyebabkan berkembangnya masalah/penyakit sosial. Secara politik, kemiskinan bisa mengakibatkan instabilitas, dan dari aspek budaya bisa mengakibatkan dekadensi moral, sedangkan dari aspek pertahanan keamanan dinilai bisa mengakibatkan kerawanan keamanan. Hingga saat ini pemerintah telah melaksanakan upaya penanggulangan kemiskinan selama lebih dari tiga dasawarsa dan telah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan terutama pada masa sebelum krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, selama dua dekade sejak tahun 1976 hingga 1996 angka kemiskinan pernah mengalami penurunan cukup signifikan dari 54,2 juta orang menjadi 22,5 juta orang atau dari 40,1 persen pada tahun 1976 menjadi 11,3 persen pada tahun Kemudian karena adanya krisis ekonomi pada tahun 1998, angka ini meningkat sangat signifikan. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI mengemukakan bahwa hal tersebut disebabkan karena masyarakat miskin di Indonesia masih rentan terhadap perubahan situasi politik, ekonomi, sosial, dan juga bencana alam yang terjadi di beberapa daerah. Berdasarkan paparan Bappenas dalam Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan 2009 yang menggunakan data BPS tahun , untuk mengembalikan kondisi tersebut diperlukan waktu lebih dari 13 tahun untuk mencapai tingkat kemiskinan sebagaimana seperti saat sebelum krisis. Hal tersebut

23 53 memberikan pengalaman kepada pemerintah bahwa upaya penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat. Diperlukan waktu 13 tahun untuk mencapai tingkat kemiskinan seperti saat sebelum krisis Catatan: Terdapat penyempurnaan metode pada tahun 1998 yang meliputi perluasan cakupan komoditi dan keterbandingan antar daerah Sumber: BPS, (Materi Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan di Jakarta, 13 Juli 2009) Gambar 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat ternyata juga memiliki permasalahan akan tingginya angka kemiskinan. Berdasarkan data pemetaan kemiskinan versi Departemen Sosial RI (2007), jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 mencapai jiwa atau 11,94 persen dari total penduduk dan menempati posisi kedua sebagai daerah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Propinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung (Gambar 2). Namun berdasarkan data penduduk miskin versi BPS Kabupaten Bogor (2007), jumlah penduduk miskin Kabupaten Bogor pada tahun 2003 berjumlah jiwa dan semakin bertambah menjadi jiwa pada tahun Walaupun demikian, proporsi jumlah penduduk miskin tahun 2006 tersebut masih sebesar 24,15 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Bogor yang mencapai jiwa 6 Perbedaan hasil pengukuran ini dipengaruhi oleh perbedaan penggunaan indikator kemiskinan antara BPS dan Departemen Sosial dalam menghitung angka kemiskinan

24 54 Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Sumber: Depatermen Sosial RI, 2007 Gambar 2. Grafik Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Jawa Barat Tahun Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2008) telah merancang Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan yang terdiri dari 3 kluster yaitu, 1) Kluster Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Kluster Program-Program Pemberdayaan Masyarakat, dan 3) Kluster Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Dalam Kluster Bantuan Sosial dicakup program-program bantuan sosial yang dikhususkan untuk kelompok masyarakat sangat miskin atau Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), misalnya Program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) atau disebut juga Program Keluarga Harapan (PKH), beras untuk masyarakat miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan sosial untuk pengungsi/korban bencana, bantuan untuk penyandang cacat, bantuan untuk kelompok lansia, dan lain sebagainya. Pada Kluster Pemberdayaan Masyarakat, pendekatan yang digunakan adalah pemberdayaan masyarakat yang menggunakan falsafah bahwa yang harus menjadi

25 55 aktor utama untuk mengeluarkan masyarakat miskin dari lingkaran kemiskinan adalah masyarakat miskin itu sendiri, bukan pemerintah ataupun pihak lain. Untuk itu, masyarakat miskin harus ditingkatkan kemampuannya untuk menjadi modal sosial yang bisa diberdayakan dan ditingkatkan kemandiriannya. Menkokesra Abu Rizal Bakrie (2008) mengemukakan bahwa programprogram penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada pendekatan pemberdayaan masyarakat akan memberikan hasil yang lebih efektif dan tingkat keberlanjutannya jauh lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh proyek seperti biasa. Masyarakat miskin jika diberikan peluang yang sebesar-besarnya untuk menentukan arah yang mereka sukai untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, maka masyarakat miskin akan bergiat bahkan tidak ragu-ragu akan memberikan berbagai kontribusi dalam bentuk apapun yang mereka mampu untuk terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat tersebut. Rasa kepemilikan terhadap program akan lebih kuat dan ada perasaan bahwa mereka dihargai oleh pemerintah untuk menentukan nasib mereka sendiri 7. Wujud dari program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat sebenarnya sudah ada sejak dulu. Salah satunya adalah diterapkannya kebijakan pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). KUBE ini dipelopori oleh Departemen Sosial RI sejak tahun 1983 sebagai salah satu alternatif kegiatan dalam penanggulangan kemiskinan, khususnya fakir miskin sebagai sasaran utama. Melalui metode ini masyarakat bisa memperoleh keuntungan ekonomis dan keuntungan sosial karena tujuan pembentukan KUBE diarahkan kepada upaya mempercepat penghapusan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan, pengembangan usaha, peningkatan kemampuan berusaha anggotanya, dan peningkatan kepedulian serta kesetiakawanan sosial diantara para anggota dengan masyarakat sekitar (Depsos RI, 2007). Metode ini kemudian diadopsi pula dalam program-program pemberdayaan masyarakat oleh instansi-instansi pemerintah lainnya seperti BKKBN, Departemen Pertanian, dan lain-lain. Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS) Kabupaten Bogor, dalam periode tahun terdapat Demokrasi bagi Kesejahteraan Rakyat, Sambutan Menkokesra pada acara Silaturakhmi Kerja Nasional ICMI di Pekanbaru - Riau, 12 Januari 2008.

26 56 KUBE yang dibentuk melalui pelatihan keterampilan dengan dana berasal dari APBD. Namun kebijakan pembentukan KUBE melalui dana APBD ini tidak didukung anggaran pendampingan pasca-pelatihan dan penguatan modal yang sangat penting bagi kelanjutan usaha KUBE. Akibatnya banyak KUBE yang tidak berkembang atau gagal melanjutkan usaha yang dijalankannya. Padahal metode ini diharapkan menjadi salah satu pilihan mengangkat masyarakat miskin untuk diarahkan ke dalam bentuk pemberdayaan. Dalam rangka mendukung potensi KUBE dan kebijakan pemberdayaan masyarakat di daerah, Pemerintah Pusat melalui Depsos RI meluncurkan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) melalui mekanisme Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) bagi penguatan modal KUBE. Menurut Depsos RI (2007) program yang diluncurkan sejak tahun 2006 ini merupakan penyempurnaan terhadap berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah ada dan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin di berbagai wilayah secara terpadu dan berkelanjutan. Dalam program ini, bantuan langsung yang diberikan berupa uang tunai yang digulirkan secara hibah bersyarat dengan titik berat pada pemberian/penguatan modal usaha bagi KUBE Fakir Miskin yang telah dibina sebelumnya. Kabupaten Bogor menerima dana ini dengan jumlah relatif besar yang digulirkan terhadap 25 KUBE Fakir Miskin pada 2 kecamatan (BPMKS Kabupaten Bogor, 2007). Dibandingkan kebijakan pembentukan KUBE melalui dana APBD, maka P2FM-BLPS dapat dikategorikan sebagai langkah lanjut yang akan menunjang kelangsungan KUBE yang sudah terbentuk melalui dana APBD tersebut. Sebab didalamnya terdapat mekanisme pendampingan sosial dan penguatan modal yang akan mendukung keberhasilan usaha KUBE. Menurut Depsos RI, implementasi P2FM-BLPS di kedua kecamatan di Kabupaten Bogor ini merupakan pilot project yang jika berhasil bisa diterapkan di seluruh wilayah di Kabupaten Bogor sehingga dapat mengurangi jumlah kemiskinan secara signifikan. Dengan adanya dukungan P2FM-BLPS terhadap potensi KUBE di Kabupaten Bogor, maka pendekatan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE bisa diharapkan menjadi konsep yang siap dikembangkan di seluruh wilayah dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Namun demikian, penerapan kebijakan ini akan

27 57 menghadapi berbagai kendala yang berasal dari masyarakat maupun dari dukungan Pemerintah Daerah sendiri, untuk itu perlu dilakukan kajian Bagaimanakah strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor? Perumusan Masalah Permasalahan utama dalam memberdayaan fakir miskin adalah rendahnya kapasitas/kemampuan yang dimiliki masyarakat sehingga memerlukan berbagai dukungan baik sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan. Oleh karenanya dalam pembentukan KUBE selalu disertakan kegiatan bimbingan sosial, pelatihan keterampilan, dan pemberian stimulus baik berupa bahan/alat untuk usaha ataupun bantuan dana/modal. Namun pemberian bantuan baik dalam bentuk barang maupun uang pada kegiatan yang tergolong Program Pemberdayaan Masyarakat sangat berbeda tujuannya dengan pemberian bantuan tunai pada Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Pada Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial, bantuan yang diterima digunakan untuk dihabiskan atau dibelanjakan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sedangkan bantuan pada Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat tidak untuk dihabiskan melainkan digunakan untuk dikelola sehingga bisa meningkat nilainya. Melihat perbedaan tujuan ini, tentunya diperlukan kehati-hatian dalam menentukan sasaran program karena akan berdampak pada menguapnya dana tanpa terjadinya proses pemberdayaan dan peningkatan nilai yang diharapkan. Artinya sebelum kebijakan pemberdayaan fakir miskin diluncurkan perlu dikaji terlebih dahulu apakah cukup relevan dengan kondisi masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat diterima dan bermanfaat bagi masyarakat miskin. Rees dalam Arifuddin (1990) mengatakan bahwa suatu kebijakan terlihat irasional karena kebijakan yang diterima oleh suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007), selama ini implementasi upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor yang berbentuk pemberian bantuan langsung belum mempertimbangkan penggunaan data yang akurat sehingga banyak permasalahan terjadi seperti pada kisruhnya kasus Program Bantuan Langsung Tunai

28 58 (BLT) pada tahun dan banyaknya kesalahan data dalam menentukan sasaran Program Keluarga Harapan pada Tahun Di lain pihak, ada juga beberapa wilayah yang menolak program tersebut karena dianggap tidak relevan dengan kondisi kemiskinan di masyarakatnya. Untuk itu dalam mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin juga perlu melihat kondisi kemiskinan melalui data yang akurat sehingga tidak mengalami kasus yang sama dengan program program tersebut. Kaitannya dengan harapan untuk dapat diterapkannya kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE secara tepat sasaran di seluruh wilayah Kabupaten Bogor, maka informasi akan kemiskinan di wilayah Kabupaten Bogor yang terdiri dari 40 kecamatan tentunya dibutuhkan agar dapat melihat perbedaan karakteristik kemiskinan di tiap wilayahnya. Informasi ini juga akan membantu dalam mempertimbangkan prioritas pelaksanaan program/kegiatan penanggulangan kemiskinan lainnya. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang pertama adalah bagaimanakah kondisi kemiskinan masyarakat di Kabupaten Bogor dan relevansinya terhadap kebijakan pemberdayaan fakir miskin. Keberhasilan suatu kebijakan pengentasan kemiskinan selain dipengaruhi oleh dukungan masyarakat juga dipengaruhi oleh dukungan dari keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Oleh karenanya sebuah keputusan yang sudah diformulasikan dengan baik tentunya hanya akan berhasil-guna jika dapat direalisasikan. Sebelum melangkah pada mencari strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin, perlu diidentifikasi terlebih dahulu upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan. Bagaimanapun informasi ini akan mempengaruhi peluang terealisasi tidaknya formulasi strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007), sebenarnya sudah cukup banyak usulan kegiatan yang mendukung kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) di Kabupaten Bogor, namun demikian cukup banyak juga yang tidak disetujui oleh Tim Anggaran mengingat terbatasnya anggaran yang dialokasikan. Di sisi lain, Pengusung Program

29 59 biasanya kurang tepat memberikan argumentasi akan seberapa penting program yang diusulkannya sehingga berpengaruh terhadap lolos tidaknya suatu program direalisasi. Dengan demikian informasi yang tepat mengenai posisi program yang akan diusulkan diantara program penanggulangan kemiskinan lainnya akan sangat penting dalam mempengaruhi terealisasinya program. Sebagai bentuk keseriusan mengentaskan kemiskinan di wilayahnya, Pemerintah Kabupaten Bogor sendiri telah menetapkan acuan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar manusia (basic need approach). Namun penerapan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor tidak dapat diarahkan secara langsung karena dipengaruhi oleh implementasi Renstra/RPJMD, Rencana Kerja, dan tupoksi masing-masing instansi pemerintah. Hal ini berarti operasionalisasi upaya penanggulangan kemiskinan tergantung pada program/kegiatan di tiap instansi pemerintah. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang kedua adalah bagaimanakah implementasi dan keterpaduan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor terutama dalam mendukung pemberdayaan fakir miskin. P2FM-BLPS yang merupakan salah satu wujud dari upaya penanggulangan kemiskinan dari Kluster Program Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri 8. Bagi Pemerintah Kabupaten Bogor program ini dianggap mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di wilayahnya. Jika melihat evaluasi dari pelaksanaan program-program di Kluster Bantuan dan Perlindungan Sosial, mengandalkan program bantuan langsung tunai saja tidak akan mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan, untuk itu upaya penanggulangan kemiskinan melalui metode pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE merupakan program tindak lanjut alternatif yang sedang terus dikembangkan. Penerapan P2FM melalui mekanisme BLPS dalam rangka penguatan KUBE Fakir Miskin diawali sejak tahun 2006 dengan menunjuk 44 kota/kabupaten sebagai pilot project. Pada tahun berikutnya program ini kemudian diterapkan pada 99 kabupaten di 33 propinsi. Kabupaten Bogor sendiri baru menerima P2FM pada akhir 8 Harmonisasi Program-Program Berbasis Pemberdayaan Masyarakat disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Tahun 2008.

30 60 tahun 2007 dimana pemerintah pusat mengucurkan dana sebesar Rp. 1,5 milyar bagi penguatan KUBE Fakir Miskin di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya. Program ini juga cukup menarik karena secara teori selain ada perguliran hasil usaha terjadi pula interaksi sosial dan kesetiakawanan sosial di antara anggota KUBE maupun dalam lingkungan sosialnya. Akan tetapi terdapat beberapa faktor yang akan menyebabkan program ini tidak berhasil di beberapa daerah, semisal kesiapan daerah, kesiapan sasaran, dan dukungan dari pemerintah setempat (Muchtar, 2007). Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang ketiga adalah Sejauhmana keberhasilan pelaksanaan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor? P2FM-BLPS dari Pemerintah Pusat merupakan sebuah percontohan yang ke depannya diharapkan Pemerintah Kabupaten Bogor dapat mengadopsi program tersebut dan mengembangkannya dengan dana yang bersumber dari APBD sendiri. KUBE Fakir Miskin sendiri diharapkan dapat terus berkembang sehingga layak untuk mendapatkan akses dan penguatan ekonomi melalui Kredit Usaha Rakyat dalam rangka tahapan penanggulangan kemiskinan kluster berikutnya (Kluster III). Dengan adanya KUBE yang diperkuat secara ekonomi, kegiatan ekonomis produktif masyarakat miskin dimudahkan berpindah menjadi sektor usaha kecil dan menengah sehingga mampu mengangkat masyarakat lainnya untuk entas dari kemiskinan. Dengan melihat lingkungan strategis dari kondisi kemiskinan masyarakat yang ada serta posisi program pemberdayaan fakir miskin dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dan kondisi pelaksanaan P2FM-KUBE sebagai acuan pelaksanaan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor maka pertanyaan kajian ini yang keempat adalah Bagaimanakah strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE agar berhasil guna dan dapat dikembangkan secara menyeluruh pada masyarakat miskin di Kabupaten Bogor? Tujuan Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir

31 61 miskin melalui KUBE yang tepat sasaran sesuai dengan karakteristik fakir miskin dan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Untuk menjawab tujuan utama tersebut maka tujuan khusus dari kajian ini adalah: 1. Menganalisis kondisi kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor dan relevansinya terhadap kebijakan pemberdayaan fakir miskin; 2. Menganalisis implementasi dan keterpaduan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dan dampaknya dalam mengurangi kemiskinan; 3. Mengevaluasi pelaksanaan BLPS melalui penguatan KUBE Fakir Miskin di Kabupaten Bogor; 4. Merumuskan langkah strategis dalam upaya pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE yang lebih tepat sasaran dan sesuai dengan karakteristik fakir miskin Manfaat Kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan juga pihak-pihak yang terkait lainnya dalam mengembangkan program pemberdayaan fakir miskin melalui metode KUBE dan memberi masukan strategi pengembangan kebijakan tersebut agar bisa dikembangkan di masyarakat Kabupaten Bogor secara menyeluruh.

32 62 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Pemerintah H. Hugh Heclo (1975) dalam Abidin (2004) menyebutkan kebijakan sebagai a course of action intended to accomplish some ends, atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi Heclo ini selanjutnya diuraikan oleh Jones (1977) dalam kaitan dengan beberapa isi dari kebijakan. Pertama, tujuan, yakni tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved), dan bukan suatu tujuan yang sekedar diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja bukanlah suatu tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang boleh saja berkeinginan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara tidak perlu diperhitungkan. Baru diperhitungkan kalau ada usaha untuk mencapainya, dan ada faktor pendukung yang diperlukan. Kedua, rencana atau proposal yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya. Ketiga, program atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Keempat, keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program dalam masyarakat. Menurut Wahab dalam Tangkilisan (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan adalah a) Organisasi atau kelembagaan; b) Kemampuan politik dari penguasa; c) Pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang; d) Kebijakan pemerintah yang bersifat tak remental; e) Proses perumusan kebijakan pemerintah yang baik; f) Aparatur evaluasi yang bersih dan berwibawa serta profesional; g) Biaya untuk melakukan evaluasi; h) Tersedianya data dan informasi sosial ekonomi yang siap dimanfaatkan oleh penilai kebijakan. Rees dalam Arifuddin (1990) mengatakan bahwa suatu kebijakan terlihat irasional karena kebijakan yang diterima oleh suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Sehingga kebijakan itu harus diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyedia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan.

33 63 Pemilihan dan Pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dapat dipenuhi dengan menggunakan beberapa kriteria kebijakan, menurut Abidin (2000) ada beberapa kriteria kebijakan yang bisa digunakan diantaranya adalah: 1. Efektivitas (effectiveness), mengukur apakah suatu pemilihan sasaran yang dicapai dengan satu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi satu strategi kebijakan dipilih dan dilihat dari kapasitasnya untuk memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan masyarakat; 2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektivitas tertentu; 3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada; 4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat; 5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab permasalahan tertentu dalam masyarakat; 6. Tepat (apropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya Fenomena Kemiskinan Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Umumnya kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari: fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survey (Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2005:14) Konsep dan Pengertian Kemiskinan Bappenas (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi

34 64 ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Menurut BPS (2005), pengertian kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Berdasarkan Suharto (2003) konsep kemiskinan memiliki berbagai pengertian, tergantung dari perspektif yang digunakan: apakah dari sudut pandang sosio-kultural, ekonomi, psikologi, atau politik. Namun adakalanya kemiskinan diartikan dengan merujuk pada faktor-faktor yang menyebabkannya, misalnya pada konsep mengenai kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, kemiskinan absolut, dan kemiskinan relatif. Baswir (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah timbul disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut, atau karena faktor sumberdaya alam yang kurang mendukung terhadap penghidupan penduduk di suatu daerah, seperti halnya karena rawan bencana alam, kekeringan, tandus, kebakaran, dan lain-lain. Sementara kemiskinan struktural terjadi bukan dikarenakan ketidakmauan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatankesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja, seperti ketidakadilan, distribusi aset yang tidak merata, budaya korup, birokrasi/peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya, atau tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Adapun kemiskinan yang terjadi karena ketidakmauan si miskin disebut kemiskinan kultural. Konsep kemiskinan kultural dapat dijelaskan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin yang kurang mendukung untuk perbaikan atau pembaharuan kehidupannya, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, tidak responsif, dan tertutup. Pada konsep mengenai kemiskinan alamiah, kultural, dan struktural di atas, operasionalisasi kemiskinan dirumuskan berdasarkan indikator-indikator masukan (input indicators) dimana kemiskinan dilihat berdasarkan faktor-faktor yang menyebabkannya (Soeharto, 2003). Adapun pendekatan yang melihat kemiskinan dari

35 65 gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya, operasionalisasi kemiskinan biasanya dirumuskan berdasarkan indikator keluaran (output indicators) yang dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan miskin jikalau memiliki pendapatan rendah, rumah tidak layak huni, atau buta huruf (Gambar 3). Dasar Indikator Masukan (input indicators) Pendekatan Kemiskinan Alamiah Kemiskinan Struktural Kemiskinan Kultural Indikator Keluaran (output indicators) Kemiskinan Absolut Kemiskinan Relatif Gambar 3. Bagan Konsep Kemiskinan Asian Development Bank (1999:26) dalam An-Naf (2007) membedakan pengertian kemiskinan antara kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan mutlak yang menimpa pada seseorang atau sekelompok masyarakat dimana pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal. Kemiskinan absolut diindikasikan dengan suatu tingkat kemiskinan yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk bertahan hidup. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan yang dialami seseorang atau suatu keluarga dalam satu lingkungan perkampungan penduduk atau masyarakat tertentu, dimana status sosial ekonominya berada pada lapisan paling bawah di antara keluarga lain sekitarnya. Kemiskinan relatif adalah suatu tingkat kemiskinan dalam hubungannya dengan suatu rasio Garis Kemiskinan Absolut atau proporsi distribusi pendapatan (kesejahteraan) yang timpang (tidak merata) Indikator Pengukuran Kemiskinan Pada pendekatan berdasarkan indikator keluaran, kemiskinan dilihat dari gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya. Pendekatan ini menghasilkan dua cara dalam mengukur kemiskinan. Cara pertama adalah dengan menyusun indikator

36 66 tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran yang kemudian dibakukan menjadi garis kemiskinan (poverty line), sedangkan cara kedua adalah dengan menyusun indikator komposit (Suharto, 2003). Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengartikan dan mengukur kemiskinan, akan tetapi setiap metode mempunyai kekuatan dan kelemahan sehingga tak ada metode yang sempurna 9. Emil Salim (1980) dalam Andayasari (2006) mengemukakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan. Profesor Sayogyo membedakan indikator mengukur kemiskinan berdasarkan desa dan kota, dimana seseorang disebut miskin jika penghasilannya kurang dari 320 kilogram beras di desa dan kurang dari 480 kilogram beras di kota (Sumardi dan Dieter Evers (1985) dalam Andayasari, 2006). Bank Dunia atau World Bank menyusun indikator tunggal dalam bentuk garis kemiskinan yang kemudian dijadikan rujukan internasional antara lain adalah sebesar 1 dolar atau 2 dolar Amerika Serikat per hari per kapita. Di Indonesia, BPS mengeluarkan garis kemiskinan yang disesuaikan dengan wilayah pedesaan dan perkotaan serta kabupaten/kota di Indonesia. Menurut BPS, seseorang dianggap miskin apabila ia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal yaitu kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Per Maret 2009, BPS menetapkan garis kemiskinan yang dipakai secara luas berdasarkan jumlah kalori tersebut adalah sebesar Rp ,- per kapita per bulan tanpa memperhatikan perbedaan wilayah yang kemudian menimbulkan banyak perdebatan (Media Indonesia, edisi Kamis 2 Juli 2009). Metode yang dipakai BPS untuk menghitung garis kemiskinan adalah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), baik makanan maupun non makanan. Adapun indikator untuk menentukan keluarga miskin yang ditetapkan oleh BPS (2005) adalah sebagai berikut: a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 10 m 2 9 Kesimpulan dari paparan materi Metode Penghitungan Angka Kemiskinan oleh Kecuk Suhariyanto dalam Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan, Jakarta 13 Juli 2009.

37 67 b. Lantai bangunan dari tanah, bambu, kayu c. Dinding bangunan dari bambu (rumbia) kayu berkualitas rendah d. Buang air besar di tempat umum f. Sumber air minum tidak terlindungi (sungai) air hujan g. Sumber penerangan bukan listrik h. Jenis bahan bakar memasak dari kayu/arang i. Tidak pernah membeli daging/ayam/susu dalam seminggu j. Makan anggota keluarga satu kali dalam sehari k. Tidak pernah membeli pakaian baru dalam setahun l. Tidak pernah berobat ke Puskesmas/Poliklinik m. Tidak memiliki pekerjaan yang utama n. Pendidikan tertinggi kepala keluarga SD/MI ke bawah o. Tidak memiliki barang senilai Rp ,- p. Tidak pernah menerima kredit UKM/KUKM setahun yang lalu. Depsos RI (2005) juga turut menentukan indikator kemiskinan yang hampir sama dengan BPS ditambah beberapa kriteria lain diantaranya: memiliki ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial), tinggal di rumah yang tidak layak huni, dan sulit memperoleh air bersih. Kriteria lain dari keluarga miskin juga dibedakan dalam jenisjenis Keluarga Sejahtera oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dalam hal ini BKKBN membaginya dalam Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus. Namun demikian indikator nasional yang digunakan dalam menghitung jumlah penduduk yang dikategorikan miskin adalah berdasarkan standar garis kemiskinan dari BPS. Penyempurnaan dari mengukur kemiskinan dengan menyusun indikator tunggal adalah dengan menyusun indikator komposit dimana selain pendapatan atau pengeluaran, indikator ini biasanya terdiri dari angka melek huruf, angka harapan hidup, atau akses kepada sarana kesehatan dan air bersih. Badan dunia yang menggunakan cara kedua adalah UNDP (United Nations Development Programme). Produk UNDP yang dikenal luas untuk mengukur kemajuan dan kemiskinan adalah HDI (Human Development Index) dan HPI (Human Poverty Index). Pendekatan ini relatif lebih komprehensif dan mencakup faktor ekonomi, sosial, dan budaya si miskin.

38 68 Dengan demikian, jika cara pertama mengukur kemiskinan melihat dari aspek ekonomi, maka cara kedua melibatkan juga aspek pendidikan dan kesehatan. Meskipun kedua cara memiliki keunggulan dan kelemahan, cara kedua dapat dipandang sebagai pendekatan yang lebih baik, karena dapat menggambarkan kemiskinan lebih tepat dan akurat (Suharto, 2003) Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau karena adanya hambatan budaya. Menganalisa faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah sesuatu yang komplek. Mulai dari faktor sumberdaya manusianya, kondisi alam dan geografis, kondisi sosial-budaya, sampai kepada sistem ekonomi dan politik yang menyebabkan timpang atau tidak meratanya distribusi pendapatan. Menurut An-Naf (2007), kerapkali faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan tumpang tindih satu sama lain. Faktor-faktor rendahnya mutu sumberdaya manusia, kondisi alam dan geografis, serta kondisi sosial-budaya berkaitan dengan tingkat keterbelakangan (underdevelopment) suatu masyarakat yang pada dasarnya dapat diperbaiki. Namun ada pula faktor kondisi alam dan geografis yang tidak dapat lagi tertanggulangi sehingga menyebabkan kemiskinan absolut yang menetap sifatnya. Tapi banyak ahli yang lebih meyakini bahwa faktor dominan penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan ekonomi, sosial ataupun politik yang mengakibatkan apa yang disebut kemiskinan struktural. (struktural poverty), baik pada tatanan negara maupun internasional. Sementara itu Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI (2009) menyimpulkan bahwa penyebab kemiskinan adalah belum terpenuhinya kebutuhan dasar warga secara optimal, adil, dan merata, diantaranya karena: a. Terbatasnya kecukupan pangan dan mutu pangan

39 69 b. Terbatasnya akses dan mutu layanan kesehatan c. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan d. Terbatasnya kesempatan kerja produktif dan berusaha e. Terbatasnya akses layanan perumahan f. Terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi g. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah h. Memburuknya kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup i. Lemahnya perlindungan/jaminan hak atas rasa aman j. Lemahnya akses partisipasi masyarakat miskin Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Nasional Mengingat adanya dua bentuk kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif maka pemerintah perlu menetapkan kebijakan, strategi, maupun program-program yang spesifik untuk mengentaskan kedua bentuk kemiskinan tersebut. Kemiskinan absolut harus dilihat sebagai prioritas, darurat sifatnya dan memerlukan penanganan jangka pendek sampai menengah, karena biasanya permasalahan yang dihadapi tidak dapat menunggu terlalu lama dan membutuhkan program-program yang bersifat dadakan. Pengentasan kemiskinan absolut biasanya ditempuh dengan penedekatan-pendekatan yang bersifat rehabilitasi sosial (social rehabilitation, emergency, cash programme) dan pemberdayaan ekonomi (economic empowerment). Sedangkan pengentasan Kemiskinan relatif memerlukan kebijakan, strategi, dan program-program yang konsisten untuk jangka panjang, karena berkaitan dengan mengubah dan memelihara pemerataan distribusi pendapatan. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Namun program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program penanggulangan kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), khususnya Repelita I-IV yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada Repelita V-VI, pemerintah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi. Jalur

40 70 pembangunan ditempuh secara khusus dan mensinergikan program reguler sektoral dan regional yang ada dalam koordinasi Inpres Nomor 3 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan yang akhirnya diwujudkan melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Upaya selama Repelita V-VI pun gagal akibat krisis ekonomi dan politik tahun Selanjutnya guna mengatasi dampak krisis lebih buruk, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial. Pelaksanaan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan dan kendala pelaksanaannya selama 40 tahun terakhir meyakinkan pemerintah bahwa upaya penanggulangan kemiskinan dianggap belum mencapai harapan. Begitu pentingnya masalah mengentaskan kemiskinan ini, pemerintah mengeluarkan lebih banyak lagi program penanggulangan kemiskinan. Programprogram yang dilaksanakan antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UED-SP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PDMDKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi), P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), Program Keluarga Sejahtera (Prokesra), Program Kesejahteraan Sosial (Prokesos), dan program pembangunan sektoral yang berupaya memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan tapi kemiskinan tetap tinggi karena program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Hamonangan Ritonga, Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik BPS mengemukakan pada Harian Kompas tanggal 10 Februari 2004 bahwa: Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama,

41 71 program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal Paradigma Baru Penanggulangan Kemiskinan Mengentaskan kemiskinan di Indonesia memang tidak mudah, karena kenyataannya kemiskinan di Indonesia sudah seperti lingkaran setan (vicious circle poverty). Sulit untuk diketahui ujung dan pangkalnya serta darimana mulai memeranginya dan bagaimana mengakhirinya, masalahnya memang sudah sangat kompleks. Namun hal ini tidak menyurutkan langkah pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Melalui pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) baik di tingkat nasional maupun daerah, seluruh upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dalam berbagai aspek, baik yang dibiayai pusat maupun daerah, diintegrasikan dan dikoordinasikan. Pada Tahun 2008, Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengeluarkan rancangan program penanggulangan kemiskinan yang dikelompokkan menjadi tiga kluster berdasarkan falsafah ikan dan kail, yaitu: 1) Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri, dan 3) Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (Gambar 4). Sasaran Kluster I adalah Rumah Tangga Sangat Miskin, Miskin, dan Hampir Miskin; sasaran Kluster II adalah Kelompok Rumah Tangga Miskin dan Hampir Miskin; sedangkan sasaran Kluster III adalah Pelaku Usaha Mikro dan Kecil.

42 72 *Diberi ikan Kluster I Bantuan dan Perlindungan Sosial untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar, pengurangan biaya hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin *Diajari Mancing Kluster II Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat *Dibantu untuk punya pancing dan perahu sendiri Kluster III Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang sudah feasible namun belum bankable Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2008 Gambar 4. Tahapan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG), kurun waktu PNPM Mandiri adalah dari tahun 2007 sampai dengan 2015 melalui gerakan pemberdayaan masyarakat. Pada Tahun 2015, diharapkan setiap desa/kelurahan memiliki Forum Partisipatif Warga/Masyarakat, Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat untuk penguatan ekonomi, sosial, dan kualitas lingkungan hidup, dan Lembaga Dana Amanah Masyarakat atau Lumbung Desa untuk mendukung pelaksanaan Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat (Gambar 5). Forum Partisipasi Masyarakat Kluster Program I: Bantuan dan Perlindungan Sosial Kluster Program II: Pemberdayaan Masyarakat Kluster Program III: Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil Lembaga Dana Amanah Masyarakat Masyarakat Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat Langkah Peningkatan Keberdayaan dan Kemandirian Masyarakat Masyarakat yang Berdaya dan Mandiri Sumber: Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2009 Gambar 5. Rancangan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan

43 73 Menurut Widianto dalam Situs Pusat Data dan Informasi Kemiskinan Departemen Sosial RI (2006) 10, dikemukakan bahwa sasaran utama dalam paradigma baru penanggulangan kemiskinan adalah pembangunan manusia, dimana dalam langkah-langkahnya diharapkan terjadi perubahan struktur masyarakat yang meliputi: kesempatan kerja/berusaha, peningkatan kapasitas/pendapatan, dan perlindungan sosial/kesejahteraan. Dalam hal ini fokus utamanya adalah penduduk miskin produktif (usia antara tahun) dalam wujud pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang pelaksanaannya melibatkan peran stakeholder yaitu: 1) Pemerintah sebagai Fasilitator; 2) Masyarakat sebagai Pelaku Usaha; 3) Perbankan sebagai Lembaga Pembiayaan; dan 4) Konsultan Keuangan Mitra Bank sebagai Pendamping. Bhineka Tunggal Ika UUD 1945 Pancasila KOMITE PENANGGULANGAN KEMISKINAN Mengurangi Jumlah Penduduk Miskin Forum Lintas Pelaku Strategi Pemberdayaan Masyarakat Bina: Manusia, Usaha, Lingkungan/Prasarana, Kelembagaan, Pengawasan PENGURANGAN BEBAN PENDUDUK MISKIN Program Pemerintah: PPK (Depdagri) P2KP (Depkimpraswil) P4K (Deptan) BDS (Depkop) PEMP (DKP) KUBE (Depsos) UPPKS (BKKBN) BUMN KKBM Sosial Teknis Keuangan PENINGKATAN PRODUKTIVITAS Lembaga Keuangan: Bank BRI Bank BNI Bank BTN Bank Mandiri PT. PNM Perum Pegadaian Usaha Ekonomi Mikro (Feasible, Bankable) KESEMPATAN KERJA/ BERUSAHA Peningkatan Kapasitas/ Pendapatan PERLINDUNGAN SOSIAL/ KESEJAHTERAAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Sumber: Pusdatin Kemiskinan Depsos RI, 2006 Gambar 6. Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Usaha Mikro Pemberdayan masyarakat dimaksud adalah upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peran serta aktif masyarakat itu sendiri dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi, serta memperkukuh martabat manusia dan bangsa. Aspek yang menjadi 10 Dr. Bambang Widianto adalah Deputi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah

44 74 perhatian adalah aspek manusia, usaha, dan lingkungan (sarana prasarana) sedangkan prosesnya meliputi penyiapan (enabling), penguatan (strengthening), dan perlindungan (protecting). Strategi ini dapat dicapai melalui dua upaya yaitu pengurangan beban orang miskin dan peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat miskin produktif (Gambar 6). Adapun langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pemberdayaan usaha mikro adalah: 1) Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menyediakan lingkungan yang mampu mendorong pengembangan UMKM secara sistemik, mandiri dan berkelanjutan; 2) Menciptakan sistem penjaminan (financial guarantee system) untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif usaha mikro; 3) Menyediakan bantuan teknis dan pendampingan (technical assistance and facilitation) secara manajerial guna meningkatkan status usaha usaha mikro agar feasible dan bankable dalam jangka panjang; dan 4) Penataan dan penguatan kelembagaan keuangan mikro untuk memperluas jangkauan pelayanan keuangan kepada usaha mikro secara cepat, tepat, mudah, dan sistematis Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan didefinisikan sebagai usaha memberi sebagian daya atau kekuasaan (power-sharing) kepada kelompok yang dianggap kurang berdaya. Pemberian daya tersebut diharapkan akan memberi lebih banyak kesempatan kepada suatu kelompok tertentu untuk berkembang dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya maupun peluang yang tumbuh di luar kelompok (Adimiharja dan Hikmat (2004) dalam Ariffudin, 2009). Sedangkan Shardlow dalam Adi (2001) melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, maupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan (Bappenas, 2003). Pertama kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya.

45 75 Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun aset material guna mendukung kemandirian mereka melalui pembangunan organisasi. Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong, atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Pemberdayaan mengacu kepada pentingnya proses sosial selama program berlangsung. Jadi, ia lebih berorientasi pada proses, bukan kepada hasil. Tujuan filosofis dari ini adalah untuk memberikan motivasi atau dorongan kepada masyarakat dan individu agar menggali potensi yang ada pada dirinya untuk ditingkatkan kualitasnya, sehingga akhirnya mampu mandiri. Terlihat bahwa proses pembelajaran dan adanya proses menuju pembuatan perubahan yang permanen merupakan kunci utama dalam pemberdayaan Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Kemiskinan bukan merupakan permasalahan ekonomis semata (rendahnya pendapatan dan produktivitas kerja), melainkan juga merupakan permasalahan sosial yang kompleks, sehingga memerlukan pendekatan komprehensif dan terpadu yang melibatkan berbagai pihak terkait. Karena itu pendekatan dalam menelaah dan menangani kemiskinan sangat tepat jika dipengaruhi oleh perspektif pekerjaan sosial (social work) (Suharto, 2003). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body of knowledge), nilai-nilai (body of value) dan keterampilan (body of skils) profesional. Departemen Sosial merupakan salah satu lembaga yang menerapkan pendekatan ini melalui Program Kesejateraan Sosial (Prokesos) dalam mengkaji masalah kemiskinan yang dilaksanakan baik secara intradepartemen maupun antar-departemen bekerjasama dengan departemen-departemen lain secara lintas sektoral. Prokesos menggunakan pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang dilandasi pertimbangan akan kenyataan berbagai keterbatasan yang melekat pada

46 76 perorangan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Penanganan secara kelompok dimaksudkan juga guna menumbuh-kembangkan semangat kebersamaan dalam upaya peningkatan taraf kesejahteraan sosial. Langkah/kegiatan pokok pembentukan KUBE untuk sasaran PMKS lainnya adalah sebagai berikut: 1. Pelatihan keterampilan berusaha, dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan praktis berusaha yang disesuaikan dengan minat dan ketrampilan PMKS serta kondisi wilayah, termasuk kemungkinan pemasaran dan pengembangan basil usahanya. Nilai tambah lain dari pelatihan adalah tumbuhnya rasa percaya diri dan harga diri PMKS untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dan memperbaiki kondisi kehidupannya; 2. Pemberian bantuan stimulan sebagai modal kerja atau berusaha yang disesuaikan dengan keterampilan PMKS dan kondisi setempat. Bantuan ini merupakan hibah (bukan pinjaman atau kredit) akan tetapi diharapkan bagi PMKS penerima bantuan untuk mengembangkan dan menggulirkan kepada warga masyarakat lain yang perlu dibantu; 3. Pendampingan, mempunyai peran sangat penting bagi berhasil dan berkembangnya KUBE, mengingat sebagian besar PMKS merupakan kelompok yang paling miskin dan penduduk miskin. Secara fungsional pendampingan dilaksanakan oleh Petugas Sosial Kecamatan yang dibantu oleh infrastruktur kesejahteraan sosial di daerah seperti Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat, Organisasi Sosial, dan Wanita Pemimpin Usaha Kesejahteraan Sosial. Kelompok Usaha Bersama Fakir Miskin (KUBE FM) adalah himpunan dari keluarga yang tergolong fakir miskin dengan keinginan dan kesepakatan bersama membentuk suatu wadah kegiatan, tubuh dan berkembang atas dasar prakarsa sendiri, saling berinteraksi antar satu dengan yang lain, dan tinggal dalam satu wilayah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas anggotanya, meningkatkan relasi sosial yang harmonis, memenuhi kebutuhan anggota, memecahkan masalah sosial yang dialaminya dan menjadi wadah pengembangan usaha bersama (Depsos RI, 2005). KUBE FM merupakan sarana untuk meningkatkan Usaha Ekonomis Produktif (khususnya dalam peningkatan pendapatan), memotivasi warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi dan sosial, meningkatkan interaksi dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan potensi dan sumber sosial ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar dan menjalin

47 77 kemitraan sosial ekonomi dengan pihak terkait. Kegiatan usaha diberikan dalam bentuk pemberian bantuan modal usaha dan sarana prasarana ekonomi. Mewujudkan KUBE hendaknya diawali dengan pembentukan kelompok dari mereka oleh mereka dan untuk mereka. Satu kelompok KUBE FM dapat memilih anggotanya yang bukan termasuk kategori fakir miskin (poorest), namun masih termasuk kategori miskin (poor) atau hampir miskin (near poor) dan mempunyai kemampuan serta potensi. Kelembagaan KUBE FM ditandai dengan: 1) Jumlah anggota KUBE, yang terdiri dari 5-10 KK; 2) Ikatan pemersatu, yaitu kedekatan tempat tinggal, jenis usaha atau keterampilan anggota, ketersediaan sumber, latar belakang kehidupan budaya, memiliki motivasi yang sama, keberadaan kelompok masyarakat yang sudah tumbuh berkembang lama; 3) Struktur dan kepengurusan KUBE, yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara (Depsos RI, 2005) Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) adalah jenis program pemberdayaan fakir miskin Departemen Sosial RI dengan titik berat pada pemberian/penguatan modal usaha untuk KUBE yang telah dibina sebelumnya. Sasarannya adalah kelompok masyarakat miskin yang masih produktif dan telah memiliki UEP yang tergabung dalam KUBE. Tujuan program ini adalah: 1) Meningkatkan pendapatan anggota KUBE; 2) Meningkatkan kemampuan KUBE Fakir Miskin dalam mengakses berbagai pelayanan sosial dasar, pasar, dan perbankan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; 3) Meningkatkan kepedulian dan tanggungjawab sosial masyarakat dan dunia usaha dalam penanggulangan kemiskinan; 4) Memperluas peluang dan kesempatan pelayanan kepada fakir miskin. Adapun landasan hukum P2FM melalui mekanisme BLPS adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 pasal 33 dan 34; 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir Miskin;

48 78 4. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan; 5. Keputusan Menteri Sosial Nomor 84/HUK/1997 tentang Pelaksanaan Pemberian Bantuan Sosial bagi Keluarga Fakir Miskin; 6. Keputusan Menteri Sosial Nomor 82/HUK/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial; 7. Keputusan Bersama Menkop UKM dan Menteri Sosial RI Nomor 05 Tahun 1998 dan 45/1999 tentang Pembinaan dan Pengembangan Kelompok Usaha Bersama melalui Koperasi; 8. Keputusan Bersama Menteri Sosial dan Menteri Agama No. 40/PEG/HUK/2002 dan 293/2003 tentang Pendayagunaan Dana Zakat untuk Pemberdayaan Fakr Miskin; 9. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nomor 05 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum dan Kelompok Kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan; 10. Perjanjian Kerjasama Departemen Sosial RI dan Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Sumber dana BLPS berasal dari anggaran Pemerintah Pusat (melalui Depsos RI) dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah diharapkan sharing dana APBD untuk seleksi anggota KUBE, sosialisasi, pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Sifat bantuan ini adalah hibah bersyarat dimana setiap KUBE wajib menyisihkan sisa hasil usahanya untuk perguliran kepada anggota masyarakat miskin yang belum mendapat bantuan. Adapun tahapan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui pengembangan KUBE ini adalah: 1. Penetapan KUBE produktif oleh pemerintah daerah; 2. Seleksi dan rekruitmen pendamping berdasarkan usulan pemerintah daerah kepada Direktorat Kelembagaan Sosial Depsos RI; 3. Pelatihan Pendamping oleh Balai Diklat Depsos RI; 4. Penjajagan lokasi dan pemetaan kebutuhan oleh Petugas Depsos RI bersama Dinas/Pemda setempat, memperhitungkan potensi wilayah calon penerima bantuan dan hal lain yang mendukung kelancaran program;

49 79 5. Sosialisasi, dilaksanakan dengan sasaran masyarakat penerima bantuan dan stakeholder lain dengan tujuan mencapai pemahaman yang utuh tentang P2FM- BLPS. 6. Pengusulan kegiatan UEP, dilakukan melalui ajuan proposal kepada bank setelah melalui musyawarah yang kondusif. 7. Pembinaan UEP dilakukan oleh pendamping desa dan kecamatan dan stakeholder terkait. Untuk menjaga eksistensi KUBE mulai dari awal dibentuk sampai menjadi KUBE mandiri diperlukan pendampingan sosial oleh Pembina Usaha dan Unsur Aparat Desa/Pekerja Sosial. Pendampingan sosial adalah suatu proses menjalin relasi sosial antara pendamping dengan anggota KUBE dan masyarakat sekitar dalam rangka memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan potensi dan sumber serta meningkatkan akses anggota terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan kerja dan fasilitas pelayanan publik lainnya. Tujuan umum pendampingan ini adalah meningkatkan motivasi, kemampuan dan peran para anggota dalam mencapai kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan anggotanya. Sementara tujuan khususnya adalah: Meningkatkan kemampuan KUBE dalam menemu-kenali permasalahan, potensi para anggota, dan sumber daya sosial yang ada; Merencanakan, melaksanakan dan evalusi kegiatan pemecahan permasalahan kesejahteraan sosial; Untuk mendapatkan modal usaha yang disediakan pemerintah melalui BRI; Akses terhadap lapangan pekerjaan, pelayanan sosial dasar, dan fasilitas pelayanan publik lainnya; Pemenuhan kebutuhan dasar keluarga (sandang, pangan, papan, lapangan kerja, pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dasar, air bersih dan sanitasi lingkungan); Mempertanggungjawabkan kegiatan/usaha ekonomi dan Usaha Kesejahteraan Sosial yang dilakukan bersama-sama Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian Mengenai Kemiskinan

50 80 Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat melalui P2KP oleh Solihin (2005) diperoleh hasil bahwa permasalahan kemiskinan terletak pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Aspek Ekonomi dimana keterbatasan modal, rendahnya pendapatan masyarakat, kurangnya aset produksi dan tabungan menyebabkan masyarakat tidak berdaya dalam meningkatkan ekonomi rumah tangganya. Aspek sosial diantaranya adalah kurangnya interaksi masyarakat dengan lingkungan sosialnya dan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, sedangkan aspek lingkungan adalah minimnya sarana dan prasarana publik yang ada sehingga menyebabkan mobilitas masyarakat tidak optimal. Menurut An-Naf (2007) Kemiskinan di Indonesia bersifat baik absolut (absolute poverty) maupun relatif (relative poverty). Kemiskinan terjadi karena faktor alam, letak geografis yang jauh dari titik pertumbuhan (growth centre), bencana alam maupun faktor-faktor yang bersifat struktural. Faktor-faktor yang bersifat struktural yaitu kurangnya pemerataan pembangunan dan kurang distribusi pendapatan akibat paradigma pembangunan yang kapitalistik dan sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth oriented) serta perencanaan yang sangat kaku dan terpusat selama kurang lebih 35 tahun rangkaian pelaksanaan Repelita Upaya-upaya perubahan struktural seperti mengubah distribusi pendapatan secara fungsional, redistribusi harta (assets) ataupun penerapan sistem pajak yang progresif tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap pengentasan kemiskinan karena kurang efektifnya pemerintah dalam mengendalikan sistem ekonomi kapitalis yang demikian dominan. Pemerintah hanya mampu menyentuh golongan lemah dengan pendekatan proyek-proyek kemanusiaan (humanitarian program) baik yang bersifat program rehabilitasi (rehabilitation; cash program) yang biasanya ditindaklanjuti dengan upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) ekonomi rakyat Penelitian Mengenai KUBE Salah satu strategi pemberdayaan yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan pendekatan kelompok melalui KUBE. Namun demikian, banyak KUBE yang dibentuk dan dikembangkan oleh pemerintah mengalami

51 81 kegagalan yang disebabkan oleh penyeragaman tindak lanjut dalam strategi pengembangannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan KUBE adalah faktor keanggotaan, jenis usaha, motif anggota, penegasan norma kelompok, penegasan struktur kelompok, dan kemitraan dengan pihak luar. Permasalahan banyak muncul pada aspek penegasan norma kelompok dan kemitraan dengan pihak luar. Proses pemberdayaan dalam KUBE berawal pada saat pembentukan kelompok. KUBE yang berdaya adalah KUBE yang dilandasi motif yang sama dari anggotanya dan melaksanakan usaha secara berkelompok bukan perorangan. Masalah yang dihadapi KUBE meliputi kesulitan memperluas jaringan pemasaran, kesulitan memperoleh bahan baku, kesulitan memperoleh tambahan modal, belum terwujudnya kekompakkan kelompok, dan belum adanya komitmen terhadap kesepakatan yang telah diputuskan (Wahyuni, 2005). Kajian yang dilakukan Widiyanto (2005) terhadap KUBE ternak sapi di Desa Beji Kecamatan Gunung Kidul DI. Yogyakarta menemukan bahwa performa KUBE berbeda-beda yang dipengaruhi oleh performa anggota, performa pengurus, dukungan dari pihak luar, potensi sumberdaya ekonomi, dan modal sosial. Hasil kajian Holiah (2006) menunjukkan adanya perbedaan tingkat perkembangan KUBE walaupun pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas yang relatif sama. Dalam kajian Andayasari (2006,) umumnya upaya pengembangan KUBE FM dilakukan dengan menggunakan falsafah pembangunan dari-atas-ke-bawah (Top- Down) sehingga secara umum kegagalan program KUBE FM adalah ketidaksiapan keluarga miskin dalam menerima bantuan sehingga masih memerlukan pihak lain dalam membantu mengembangkannya. Untuk itu falsafah pembangunan dari-atas-kebawah (Top-Down) harus diimbangi dengan kesiapan semua pihak yaitu dari-bawahke-atas (Bottom-Up). Berdasarkan Muchtar (2007) yang mengkaji kesiapan pemda dalam pelaksanaan P2FM melalui BLPS-KUBE di 5 Kabupaten menyimpulkan bahwa: 1) pemda setempat telah menunjukkan respon yang positif terhadap P2FM dengan mengalokasikan anggaran melalui APBD guna menjamin keberlangsungan P2FM, namun iktikad baik tersebut belum diikuti kebijakan Pemda setempat dalam penganggaran (budgetting); 2) masih minimnya kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku/satker P2FM kabupaten/kota sehingga dikhawatirkan tidak terselesaikannya

52 82 rangkaian kegiatan program secara baik; 3) kurang jelasnya fungsi dan peran instansi teknis terkait (sosial) tingkat provinsi dalam struktur organisasi P2FM; 4) adanya ketidakharmonisan hubungan pejabat yang sangat berdampak negatif bagi program; 5) tidak konsistennya pelaku P2FM tingkat pusat pada program yang dirancangnya. Hal ini terlihat misalnya dengan tidak dilakukannya workshop tingkat nasional bagi para pelaku P2FM di daerah sebagai langkah awal penyatuan pemahaman, pemikiran dan langkah antara pelaku P2FM tingkat pusat dan daerah.

53 83 BAB III METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Kondisi Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk miskin yang terus meningkat pada periode tahun tidak sejalan dengan pencapaian Laju Pertumbuhan Ekonomi-nya yang selalu meningkat di atas lima persen. Ini membuktikan bahwa masih banyak aktivitas ekonomi di Kabupaten Bogor yang tidak memberikan multiplier effect bagi perluasan kesempatan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini yang memicu Pemerintah Kabupaten Bogor memprioritaskan pengurangan angka kemiskinan melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung upaya penanggulangan kemiskinan 11. Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Bogor telah menetapkan 6 kebijakan terpadu yang akan saling mendukung terselenggaranya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Mengingat luasnya wilayah Kabupaten Bogor yang berimplikasi pada berbeda-bedanya karakteristik kemiskinan masyarakat, maka dibutuhkan informasi kondisi kemiskinan di tiap wilayah agar dapat dilihat perbedaan karakteristik, penyebab, dan permasalahan kemiskinannya. Profil kemiskinan ini akan sangat berguna dalam menentukan sasaran program-program penanggulangan kemiskinan sehingga bisa diketahui relevansinya dengan keadaan masyarakat. Dalam mengimplementasikan program/kegiatan penanggulangan kemiskinan, ternyata penerapan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor tidak dapat diarahkan secara langsung karena dipengaruhi oleh implementasi Renstra/RPJMD, Renja, dan Tupoksi masing-masing instansi pemerintah. Hal ini berarti operasionalisasi upaya penanggulangan kemiskinan tergantung pada program/kegiatan di tiap instansi tersebut. Atas dasar itu, terlebih dahulu perlu dipahami keterpaduan antara Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah dengan program/kegiatan yang mendukung penanggulangan kemiskinan di tiap-tiap instansi. 11 Penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas pembangunan urutan pertama dalam 8 prioritas Arah Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bogor pada Tahun Anggaran 2007 (LKPJ Bupati Bogor Tahun )

54 84 Adanya Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan di tingkat nasional juga mempengaruhi implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Salah satunya adalah P2FM-BLPS yang dianggap mendukung kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Dengan memahami relevansinya terhadap kondisi kemiskinan masyarakat dan posisinya dalam upaya penanggulangan kemiskinan serta kondisi pelaksanaannya, maka berikutnya dirumuskan strategi pengembangan kebijakan. Tujuan dari strategi ini adalah agar kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dapat diterapkan di seluruh wilayah Kabupaten Bogor sehingga fakir miskin dapat berkurang secara nyata. Kerangka pemikiran kajian ini tersaji dalam Gambar 7. Kondisi Umum Kabupaten Bogor Profil Kemiskinan Daerah Karakteristik penduduk miskin Penyebab Kemiskinan Persoalan Kemiskian Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Rencana Strategis/RPJMD Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Peningkatan Kualitas Pendidikan Peningkatan Kualitas Kesehatan Peningkatan Infrastruktur Pemberdayaan Ekonomi Peningkatan Perlindungan Sosial Pengarusutamaan Gender Implementasi Kebijakan Pelaksanaan Program/Kegiatan di tiap instansi Keterpaduan Program/Kegiatan Relevansi terhadap permasalahan kemiskinan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Nasional Program Bantuan dan Perlindungan Sosial Program Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri Program Pemberdayaan UMK Pemberdayaan Fakir Miskin melalui BLPS dalam rangka Penguatan Modal KUBE Fakir Miskin Evaluasi Pelaksanaan Keberhasilan Program Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE Alternatif Kebijakan Prioritas Langkah Strategis/Program Perancangan Program Berkurangnya Fakir Miskin melalui Pemberdayaan Gambar 7. Kerangka Pemikiran Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor

55 Lokasi dan Waktu Kajian Kajian dilakukan di wilayah Kabupaten Bogor, penentuan sampel lokasi penelitian ditetapkan atas dasar lokasi pelaksanaan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui mekanisme BLPS di Kabupaten Bogor yang dilaksanakan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Tenjolaya. Kajian dilaksanakan selama tiga bulan dari Bulan November 2009 sampai dengan Bulan Januari Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Rancangan jenis dan sumber data untuk membahas tujuan kajian sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Data sekunder meliputi hasil Sensus Daerah (SUSDA) Kabupaten Bogor Tahun 2006, hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif oleh BAPPEDA Tahun 2007, data penerima dana dan Laporan Pelaksanaan BLPS Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya, RPJMD , LKPJ Bupati Bogor Tahun , LAKIP Tahun , dokumen SPKD Tahun , serta dokumen-dokumen dari instansi/lembaga lain yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Tabel 1. Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan No Tujuan 1 Menganalisis kondisi kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor Jenis Data Sekunder Data Sumber Hasil Sensus Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2006, Hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif Bappeda 2007 Metode Analisis Statistik Deskriptif 2 Menganalisis implementasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam penanggulangan kemiskinan Data Sekunder RPJMD, LAKIP, LKPJ, SPKD Kabupaten Bogor Analisis Deskriptif, Content Analysis 3 Mengevaluasi pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor Data Primer dan Sekunder KUBE FM Penerima BLPS, dan Pendamping.Sosial (survey/wawancara) Analisis Deskriptif 4 Merumuskan langkah strategis mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE Data Primer Pengambil Kebijakan (kuisioner) Analysis Hierarchy Process (AHP)

56 86 Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi langsung di lapangan dan wawancara dengan responden dan para pakar yang terlibat langsung dengan program. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup dua hal utama, yaitu: (1) data tentang kondisi pelaksanaan BLPS dan (2) data tentang persepsi stakeholders terhadap pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor Metode Penentuan Responden Responden kajian ini dikelompokkan dalam 3 jenis yaitu: masyarakat, pengambil kebijakan, serta wakil kelembagaan masyarakat. 1) Responden Masyarakat. Masyarakat yang ditetapkan sebagai responden adalah Rumah Tangga Miskin (RTM) yang tergabung dalam KUBE. 2) Responden Pengambil Kebijakan. Pengambil kebijakan adalah pihak-pihak yang terkait dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor, diantaranya yaitu unsur BAPPEDA, BPMPD, Dinsosnakertrans, dan TKPK Kabupaten Bogor. 3) Wakil Kelembagaan adalah orang yang ditunjuk untuk mewakili organisasi yang ada di masyarakat, seperti: Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) atau Pendamping Sosial, dan Koperasi. Teknik penentuan responden Masyarakat diambil secara purposive random sampling untuk mendapatkan gambaran efektivitas pelaksanaan BLPS melalui penguatan modal KUBE Fakir Miskin. Sedangkan penentuan responden Pengambil Kebijakan dipilih secara purposive atau sengaja berdasarkan kapasitasnya dalam upaya pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Responden Wakil Kelembagaan juga ditentukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa responden memahami secara baik obyek kajian. Pemilihan responden Pengambil Kebijakan dilakukan dalam rangka menentukan prioritas pengembangan kebijakan yang dipilih dari 6 orang pejabat di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Bogor yaitu: a. Kepala Bappeda Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai Kepala Perencana Pembangunan di Kabupaten Bogor sekaligus Ketua II TKPK Kabupaten Bogor;

57 87 b. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai Ketua III TKPK Kabupaten Bogor c. Kabid Kesejahteraan Rakyat dan Sosial pada Bappeda Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai Koordinator Pokja Bidang Kebijakan dan Perencanaan TKPK Kabupaten Bogor; d. Kabid Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat pada BPMPD Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai Koordinator Pokja Bidang Kelembagaan dan pernah terlibat sebagai Koordinator Tim dalam pelaksanaan PNPM Mandiri; e. Kasi Pemulihan Sosial pada Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai pejabat lama pelaksana (Pendamping) BLPS di Kabupaten Bogor; f. Kasi Bantuan dan Perlindungan Sosial pada Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai pejabat baru yang akan melanjutkan pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Titik berat kajian adalan upaya pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE, maka pengolahan data yang dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Untuk menganalisis data kualitatif menurut Miles dan Ruberman (1992) dalam Sitorus dan Agusta (2004), analisis data kualitatif meliputi: 1. Reduksi data, adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data yang masih kasar. 2. Penyajian data, yaitu sekumpulan data dan informasi yang sudah tersusun rapi yang memberi kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3. Penarikan kesimpulan, yaitu proses menemukan data yang bertujuan untuk memahami tafsiran dalam konteksnya dengan masalah secara keseluruhan. adalah: Adapun metode analisis data yang digunakan dalam menjawab tujuan kajian Analisis Statistik Deskriptif Statistik deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang bermanfaat (Walpole, 1992 dalam Wibowo, 2008). Beberapa metode statistika deskriptif yang

58 88 digunakan adalah: penyajian data dalam bentuk grafik atau tabel, penentuan nilai ratarata, dan beberapa metode statistika deskriptif lainnya. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengkaji data statistik kondisi kemiskinan. Berdasarkan data tersebut, dilakukan interpretasi dan generalisasi kondisi karakteristik, penyebab, dan persoalan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Analisis statistik deskriptif ini juga digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor Analisis Isi Analisis isi (content analysis) adalah metode penelitian yang bersifat mendeskripsikan manifestasi komunikasi secara obyektif, sistematis, dan kuantitatif (Tonny, 2009). Ciri dari Metode Analisi Isi adalah: 1) Prosedur, aturan, dan kriteria yang obyektif; 2) Sistematis dalam pengkategorian; 3) Bisa untuk mengeneralisasi; 4) Menganalisi bentuk dan isi ; dan 5) Bersifat kuantitatif dan kualitatif. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi. Aturan pengkategorian dilakukan berkaitan tujuan penelitian, bersifat tuntas dimana setiap data harus masuk dalam kategori, tidak saling tergantung dimana satu data hanya masuk satu kategori, bebas namun tidak mengganggu kategori lain, dan klasifikasinya bersifat tunggal (Bungin, 2005). Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi, baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain. Analisis ini dapat berbentuk kuantitatif maupun kualitatif. Analisis isi kuantitatif digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), sedangkan analisis isi kualitatif justru memfokuskan pada pesan yang bersifat latent (tersembunyi). Jika pada analisis kuantitatif, pertanyaan lebih ditekankan untuk menjawab apa (what) dari pesan atau teks komunikasi, pada analisis wacana lebih difokuskan untuk melihat pada bagaimana (how), yaitu bagaimana isi teks berita dan juga bagaimana pesan itu disampaikan. Analisis isi kualitatif tidak berpretensi melakukan generalisasi karena lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori, sedangkan analisis isi kuantitatif memang diarahkan untuk membuat generalisasi.

59 Metode Perancangan Program Perancangan program merupakan tahap penyampaian hasil kajian kepada para stakeholder pembangunan daerah yang berkompeten dalam pengambilan keputusan bagi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin. Respon dari para stakeholder dihimpun sedemikian rupa untuk menentukan prioritas langkah strategis dalam pembangunan daerah sebagai strategi penerapan hasil kajian. Pemaparan program disampaikan kepada beberapa pihak di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor untuk mendapat pertimbangan. Data respon para stakeholder ini kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menyusun prioritas program pembangunan daerah dalam upaya mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode yang digunakan untuk mengambil keputusan yang kompleks dengan menggunakan pendekatan matematika dan psikologi atau persepsi manusia. Metode ini dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun Beberapa keunggulan dari AHP antara lain: 1) melibatkan persepsi seorang ahli yang mengerti persoalan sebagai bahan masukan; 2) mampu memecahkan masalah yang memiliki banyak tujuan (multi objectives) dan banyak kriteria (multi criterias); 3) mampu memecahkan persoalan yang kompeks dan tidak terkerangka akibat dari data yang minim. Adapun kelemahan AHP yang sebenarnya juga dapat berarti kelebihan adalah bahwa metode penyelesaian sederhana sehingga bagi beberapa orang sering dianggap kurang meyakinkan (Permadi, 1992). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hirarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). Menurut Saaty (1993) dalam Faletehan (2009), ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu:

60 90 1. Prinsip menyusun hirarki Pada bagian ini mencakup pertimbangan-pertimbangan ataupun langkah-langkah menuju suatu keputusan yang akan diambil. Sasaran utama yang merupakan suatu tujuan, disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen pokoknya, dan kemudian bagian ini dimasukkan ke dalam bagiannya lagi, dan seterusnya secara hirarki. Sehingga persoalan yang sangat kompleks dipecah menjadi bagian-bagiannya sehingga memudahkan pengambilan keputusan. 2. Prinsip menetapkan prioritas Untuk menetapkan prioritas perlu dilakukan perbandingan antara satu aspek dengan aspek yang lainnya, sehingga dapat ditentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya. 3. Prinsip konsistensi logis Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan, dan elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten dengan kriteria yang logis. Nilai rasio konsistensi paling tinggi adalah 10 persen, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki. Adapun langkah-langkah dalam metode AHP yang digunakan dalam kajian ini adalah sebagai berikut: a) Mendefinisikan permasalahan dan pemecahan masalah yang diinginkan. Permasalahan yang akan dipecahkan adalah merumuskan strategi pengembangan kebijakan fakir miskin melalui KUBE, dengan demikian diperlukan pemecahan berupa langkah-langkah strategis dalam rangka mengembangkan kebijakan tersebut. b) Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh. Berdasarkan Permadi (1992), proses penyusunan hirarki lebih bersifat seni daripada ilmu pengetahuan, maka tidak ada bentuk yang baku untuk memecahkan suatu kasus. Biasanya pembuatan hirarki melihat pada contoh hirarki yang sudah pernah dibuat untuk menyelesaikan suatu kasus, kemudian dengan berbagai modifikasi dibuat hirarki sendiri untuk memecahkan kasusnya. Pada kajian ini struktur hirarki dimodifikasi dari struktur hirarki AHP dalam kajian Kuswari

61 91 (2005) yang mengkaji Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa di Indragiri Hilir, Propinsi Riau. Fokus tujuan pada puncak hirarki (level 1) adalah mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Pada tingkat berikutnya yang lebih rendah (level 2) ditetapkan kebijakan strategis yang bisa dipilih untuk dikembangkan. Level 3 mencakup kategori aspek-aspek yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan tersebut. Sedangkan tingkatan terakhir (level 4) mencakup langkah strategis/program yang akan diprioritaskan dalam mengembangkan kebijakan. Struktur hirarki dalam kajian dapat dilihat pada Gambar 8. c) Menetapkan prioritas dan menyusun matriks banding berpasangan Dalam menetapkan prioritas, langkah yang dilakukan adalah membuat perbandingan dari setiap elemen yang berpasangan. Bentuk dari perbandingan berpasangan ini berupa matriks. Dari matriks banding berpasangan dapat diketahui pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh terhadap fokus tujuan. Proses perbandingan berpasangan dimulai pada puncak hirarki lalu pada elemen satu tingkat dibawahnya, dan seterusnya. Untuk melakukan pembandingan digunakan nilai skala banding berpasangan (Tabel 2). Tabel 2. Nilai Skala Banding Berpasangan Intensitas pentingnya ,4,6,8 Sumber : Saaty (1993) Definisi Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu lebih sedikit penting dari elemen yang lain Elemen yang satu sangat penting dari elemen yang lain Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lain Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan Penjelasan Dua elemen menyumbangkan sama besar pada sifat itu Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lain Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lain Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek Bukti yang menyokong elemen yang satu atas elemen yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan. Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan d) Menghitung Matriks Pendapat Individu Melalui penyebaran kuisioner terhadap stakeholders, maka terkumpul semua pertimbangan dari hasil perbandingan berpasangan antarelemen pada langkah c.

62 92 Selanjutnya adalah menghitung semua pertimbangan yang didapat dari setiap individu. Prinsip penilaian pada AHP bila terdapat kriteria yang dibandingkan, maka harus dihasilkan matriks, setiap sel mempunyai karakteristik sedemikian sehingga; = atau x = Formulasi Matriks Pendapat Individu adalah sebagai berikut: A =... Dalam hal ini,,, adalah set elemen pada suatu tingkat keputusan dalam hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan membentuk matriks x. Nilai merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan terhadap. e) Menghitung Matriks Pendapat Gabungan Karena jumlah responden tidak hanya satu orang maka disusun Matriks Pendapat Gabungan yang dapat mewakili pertimbangan keseluruhan responden. Tujuan dari penghitungan matriks pendapat gabungan adalah untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat individu yang nilai rasio konsistensinya memenuhi syarat (Faletehan, 2009). Metode yang digunakan dapat berupa menggunakan rata-rata hitung atau rata-rata ukur (rata-rata geometrik). Dalam kajian ini metode menghitung matrik pendapat gabungan yang dipakai adalah ratarata ukur atau rata-rata geometrik dengan asumsi peran setiap responden sama. Berdasarkan Permadi (1992), rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata geometrik adalah sebagai berikut:, dimana:

63 93 = Penilaian gabungan pada elemen = Penilaian elemen oleh responden ke-i (dalam skala 1/9 9) = Banyaknya Responden Selanjutnya dengan menggunakan perangkat lunak Expert Choice 2000 yang dibuat oleh Expert Choice Inc, nilai gabungan pada masing-masing elemen dimasukkan kembali pada matriks perbandingan berpasangan sehingga diperoleh nilai bobot prioritas (local) dari masing-masing elemen dalam suatu tingkat hirarki. f) Sintesis Untuk memperoleh peringkat prioritas menyeluruh (global) bagi suatu persoalan keputusan, maka dilakukan sintesis pertimbangan sebagaimana yang telah dibuat dalam perbandingan berpasangan dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas setiap elemen. g) Konsistensi Dalam pengambilan keputusan, perlu diketahui tingkat konsistensinya. Konsistensi sampai pada tingkatan tertentu diperlukan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan keadaan di dunia nyata. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi paling tinggi adalah 10 persen, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki.

64 Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE Perbaikan Tata Kelola Program Pemberdayaan Fakir Miskin Berbasis Komunitas Peningkatan Kinerja KUBE Fakir Miskin Pendanaan Manajemen Pendampingan Modal Sosial Kelembagaan Sosial Masyarakat Penguatan Usaha Kualitas SDM Anggota Kelembagaan KUBE Akses Pasar Sharing Pendanaan Tata Ulang Perguliran Dana Sosialisasi dan Koordinasi Seleksi Penerima Program Monitoring dan Evaluasi Kualitas Pendamping Intensitas Pendampingan Kepercayaan Masyarakat Tingkat Partisipasi Kelembaga -an Formal Kelembaga -an Non Formal Kemudahan Akses Modal Kerjasama Kemitraan Pendidikan Formal Pendidikan Non Formal Peran Serta Anggota Koperasi Sarana Prasarana Sistem Ekonomi Lokal Gambar 8. Struktur Hirarki AHP Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE

65 BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR 3.7. Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah ,304 hektar, dan secara geografis terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Depok di sebelah Utara, kemudian dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Karawang di sebelah Timur, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, sementara di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten serta di tengahtengah terletak Kota Bogor (Gambar 9). Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri atas 428 Desa/Kelurahan, yang terdiri dari 411 desa, 17 kelurahan, RW, RT yang tercakup dalam 40 Kecamatan (Bappeda Kabupaten Bogor, 2007). Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007 Gambar 9. Peta Administratif Kabupaten Bogor

66 44 Berdasarkan strategi perwilayahan pembangunan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten Bogor bahwa wilayah Kabupaten Bogor dikelompokkan ke dalam 3 Wilayah Pembangunan, yaitu: 1) Strategi percepatan di wilayah Bogor Barat, yang mencakup 13 Kecamatan, yaitu Kecamatan Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Tenjolaya, Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Tenjo dan Parungpanjang, dengan total wilayah seluas hektar; 2) Strategi pengendalian di wilayah Bogor Tengah, yang mencakup 20 Kecamatan, yaitu Kecamatan Dramaga, Ciomas, Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Babakan Madang, Citeureup, Cibinong, Bojonggede, Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Parung, Ciseeng dan Kecamatan Gunungsindur, dengan total wilayah seluas hektar; 3) Strategi pemantapan di wilayah Bogor Timur, yang mencakup 7 Kecamatan, yaitu Kecamatan Sukamakmur, Cariu, Tanjungsari, Jonggol, Cileungsi, Klapanunggal dan Kecamatan Gunungputri, dengan total wilayah seluas hektar Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2003 mencapai jiwa dan pada tahun 2007 jumlah penduduk Kabupaten Bogor telah mencapai jiwa (data dari penyempurnaan hasil SUSDA melalui coklit, 2007) atau sekitar 10,32 persen dari jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat ( jiwa) dan menempati urutan kedua setelah Kabupaten Bandung bilamana dilihat dari jumlah penduduk di seluruh kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Barat. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor selama periode tahun seperti ditunjukkan pada Gambar 10 tergolong cukup terkendali. Hal ini terlihat dari LPP pada tahun yang masih berada pada angka 4,05 persen, tetapi LPP pada periode tahun , justru turun drastis menjadi 0,53 persen per tahun. Angka terakhir ini sejalan dengan target LPP dalam dokumen Renstra yang harus berada di bawah LPP 2 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan pula bahwa kinerja pembangunan yang berkenaan dengan upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor telah berhasil secara signifikan.

67 45 Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007 Gambar 10. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor Tahun Sementara itu, penduduk di Kabupaten Bogor menunjukkan sebaran yang belum merata, dimana konsentrasi penduduk terpadat cenderung berada di wilayah perkotaan dan di kawasan industri seperti di ibukota Cibinong ( jiwa), Kecamatan Bojonggede ( jiwa), Kecamatan Cileungsi ( jiwa), Kecamatan Gunungputri ( jiwa), Kecamatan Ciomas ( jiwa) dan Kecamatan Citeureup ( jiwa), sedangkan penduduk dengan konsentrasi rendah berada di wilayah pedesaan seperti di Kecamatan Sukajaya, Cigudeg, Sukamakmur, Cariu dan Tanjungsari. Sejalan dengan kondisi sebaran penduduk itu, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bogor adalah 14,18 jiwa per hektar, dengan kepadatan terendah di Kecamatan Tanjungsari yaitu sebesar 3,06 jiwa per hektar, dan tingkat kepadatan tertinggi yaitu 78,60 jiwa per hektar di Kecamatan Ciomas. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian/profesi, terdiri dari PNS sebanyak orang (4,36 persen), TNI/Polri sebanyak orang (0,93 persen), karyawan/pegawai swasta sebanyak orang (26,95 persen), wiraswasta/pengusaha sebanyak orang (29,75 persen), petani sebanyak orang (5,85 persen), peternak sebanyak orang (0,10 persen), jasa sebanyak orang (4,64 persen), buruh sebanyak orang (26,81 persen) dan profesi lainnya sebanyak orang (0,62 persen). Tampak pada data di atas bahwa sebagian besar dari seluruh mata pencaharian penduduk Kabupaten Bogor adalah berprofesi sebagai wiraswasta, karyawan/pegawai swasta, dan buruh (Gambar 11).

68 46 Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007 Gambar 11. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Kabupaten Bogor Tahun 2007 Komposisi umur penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2007, yaitu usia 0-14 tahun sebanyak jiwa, usia tahun sebanyak jiwa, dan usia 65 tahun ke atas sebanyak jiwa. Dengan demikian proporsi umur penduduk kabupaten bogor mayoritas adalan usia produktif tahun yaitu 67,75 persen, disusul oleh usia 0-14 tahun sebesar 28,54 persen dan hanya sedikit lanjut usia yaitu 3,71 persen. Jumlah penduduk yang berumur 15 tahun keatas menurut jenjang pendidikan yang telah ditamatkan ternyata mayoritas hanya tamatan SD/sederajat yaitu sebesar 47,28 persen dan SLTP/sederajat sebesar 34,47 persen, dengan demikian kurang dari 20 persennya saja yang mengenyam pendidikan menengah dan tinggi (Gambar 12). Ini menggambarkan bahwa mayoritas usia produktif penduduk di Kabupaten Bogor berpendidikan rendah. Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007 Gambar 12. Jumlah Penduduk Yang Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenjang Pendidikan

69 47 Jumlah pengangguran terbuka di Kabupaten Bogor selama periode tahun berfluktuatif dan relatif masih tinggi, yaitu sebanyak orang pada tahun 2003 dan terjadi lonjakan yang sangat signifikan pada tahun 2007 menjadi orang atau 15,99 persen dari angkatan kerja (Gambar 13). Tingginya jumlah pengangguran terbuka ini disebabkan oleh rendahnya peluang kerja dan kesempatan kerja yang bisa dimasuki oleh tenaga kerja yang ada di wilayah Kabupaten Bogor. Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007 Gambar 13. Jumlah Pengangguran Kabupaten Bogor Tahun Kondisi Ekonomi dan Sosial Pergerakan ekonomi Kabupaten Bogor dapat diperhatikan dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Bogor berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bogor dalam periode , diketahui peningkatan nilai PDRB Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku dari Rp. 25,36 triliun pada tahun 2003, menjadi Rp. 51,83 triliun pada tahun Demikian juga dengan nilai PDRB atas dasar harga konstan, yaitu semula sebesar Rp. 21,08 triliun pada tahun 2003, menjadi Rp. 28,15 triliun pada tahun Berkenaan dengan nilai PDRB di atas, maka pendapatan per kapita menurut PDRB harga berlaku, yaitu sebesar Rp ,38 per kapita per tahun pada tahun 2003 mejadi Rp ,91 per kapita per tahun pada tahun 2007, sedangkan menurut PDRB harga konstan, yaitu sebesar Rp ,46 per kapita per tahun pada tahun 2003 menjadi sebesar Rp ,45 per kapita per tahun pada tahun 2007.

70 48 Selama lima tahun terakhir, Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan peningkatan pada setiap tahun, yaitu semula LPE adalah 4,81 persen pada tahun 2003, kemudian secara berurutan meningkat menjadi 5,56 persen di tahun 2004, kemudian 5,85 persen pada tahun 2005 serta 5,95 persen pada tahun 2006 dan mencapai 6,04 persen pada tahun Kondisi ini mengungkapkan bahwa pencapaian LPE dalam kurun waktu telah mengikuti pola normal dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu kenaikan yang semakin besar berarti menunjukan perkembangan ekonomi yang menggembirakan selama lima tahun terakhir di wilayah Kabupaten Bogor, dengan kontribusi terbesarnya berasal dari sektor sekunder (Gambar 14). Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2007 Gambar 14. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor Tahun Adapun struktur ekonomi Kabupaten Bogor dalam kurun waktu , jika dilihat berdasarkan nilai PDRB harga berlaku, maka kelompok sektor sekunder (industri manufaktur, listrik, gas & air serta bangunan) memberikan kontribusi terbesar, yaitu rata-rata sebesar 70,01 persen, kemudian sektor tersier (perdagangan, hotel & restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan, jasa-jasa lainnya) dengan rata-rata sebesar 23,40 persen dan kontribusi terkecil adalah dari sektor primer (pertanian dan pertambangan), yaitu rata-rata hanya 6,04 persen dari total PDRB Kabupaten Bogor dan kontribusi dari sektor primer ini menunjukan kecenderungan yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Kondisi taraf kesejahteraan rakyat Kabupaten Bogor bilamana diukur berdasarkan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka kondisinya adalah

71 49 angka IPM pada tahun 2003 adalah 67,81 poin, dan terus meningkat hingga pada tahun 2007, angka IPM-nya telah mencapai 70,18 poin (Gambar 15). Namun kenaikan angka IPM selama lima tahun terakhir ini berdasarkan klasifikasi dari UNDP termasuk dalam kategori tingkat pertumbuhan yang lambat karena rata-rata kenaikannya hanyalah 0,59 poin per tahun atau di bawah 1,5 poin per tahun. Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007 Gambar 15. Indikator IPM Kabupaten Bogor Tahun Kondisi ini berkaitan erat dengan rendahnya kontribusi dari masing-masing indeks penyusun dari angka IPM itu sendiri, diantaranya mencakup indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks daya beli. Indeks-indeks dimaksud adalah akibat lanjutan dari rendahnya pencapaian dari komponen pembentuk angka IPM tersebut, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Kemampuan Daya Beli masyarakat menurut tingkat konsumsi riil per kapita. Namun demikian, angka pencapaian IPM sebesar 70,18 poin itu menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Bogor termasuk dalam klasifikasi masyarakat dengan taraf kesejahteraan menengah atas, tetapi belum termasuk taraf kesejahteraan atas, karena angka IPM-nya belum mencapai angka IPM 80 sebagaimana standar yang telah ditetapkan oleh UNDP. Bilamana dicermati menurut komponen pembentuk IPM, maka tingkat pencapaiannya menunjukkan kecenderungan meningkat pada setiap tahun, meskipun kenaikannya relatif kecil (Tabel 3). Untuk Angka Harapan Hidup semula telah mencapai 66,82 tahun pada tahun 2003, naik menjadi 67,58 tahun pada tahun Sedangkan untuk Angka Melek Huruf, yaitu semula 92,80 persen pada tahun 2003 dan naik menjadi 95,78 persen pada tahun 2007, berarti masih ada sekitar 4,22 persen

72 50 dari penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang belum bebas dari tiga buta, yakni buta huruf, buta Bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar. Tabel 3. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun No Indikator Tahun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) a. Indeks Pendidikan b. Indeks Kesehatan c. Indeks Daya beli Komponen IPM terdiri dari : a. Angka Harapan Hidup (AHH) b. Angka Melek Huruf (AMH) c. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) d. Kemampuan Daya Beli Masyarakat (Konsumsi riil perkapita) Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007 Sementara itu, untuk Rata-rata Lama Sekolah maka kinerjanya semula 6,18 tahun pada tahun 2003 menjadi 7,11 tahun pada tahun 2007, berarti penduduk Kabupaten Bogor secara rata-rata telah tamat SD, tetapi belum tamat SMP atau belum mencapai rata-rata Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Demikian juga dengan kemampuan daya beli masyarakat, yaitu semula sebesar Rp ,00 per kapita per bulan pada tahun 2003, kemudian menjadi Rp ,00 per kapita per bulan pada tahun 2007, berarti ada kenaikan sebesar Rp per kapita per bulan selama lima tahun terakhir.

73 51 BAB V ANALISIS KONDISI KEMISKINAN KABUPATEN BOGOR Kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE sangat berpotensi mengurangi angka kemiskinan, namun kebijakan ini belum tentu dapat diterima oleh masyarakat karena perbedaan karakteristik masyarakatnya. Agar tepat sasaran atau dalam rangka kehati-hatian menentukan sasaran penerima bantuan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE, diperlukan kajian mengenai kondisi kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor terlebih dahulu agar didapat informasi mengenai relevan tidaknya pengembangan kebijakan ini diterapkan di masyarakat. Selain itu, dapat digali pula hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengentaskan kemiskinan melalui penyertaan modal di Kabupaten Bogor Profil Kemiskinan Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Bogor (2007), jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2003 berjumlah jiwa, dan terus bertambah hingga menjadi jiwa pada tahun Kondisi ini berkaitan erat dengan lambannya pemulihan perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1998, kemudian diikuti dengan kenaikan harga bahan bakar minyak dan harga-harga kebutuhan pokok disertai pula dengan rendahnya daya beli masyarakat, sehingga jumlah penduduk miskin tetap tinggi di seluruh kabupaten/kota di Indonesia termasuk Kabupaten Bogor. 7 Sumber data yang digunakan dalam menentukan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor didapat dari BPS dan Hasil Sensus Daerah (SUSDA) yang dilaksanakan oleh BAPPEDA Kabupaten Bogor pada tahun Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor berdasarkan data BPS pada tahun 2006 yaitu sebanyak jiwa atau sebesar 27,46% dari jumlah total penduduk Kabupaten Bogor pada saat itu (sebanyak jiwa). Adapun berdasarkan hasil SUSDA, penduduk 7 Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan (LKPJ AMJ) Bupati Bogor Periode Tahun

74 52 miskin di Kabupaten Bogor tahun 2006 sebanyak jiwa 8. Kondisi penduduk miskin Kabupaten Bogor di tiap kecamatan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah dan Komposisi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 No Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa)* Proporsi dari Total Kabupaten (%) Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa) Proporsi dari Total Kabupaten (%) Proporsi dari Total Kecamatan (%) 1. Nanggung , ,33 33,15 2. Leuwiliang , ,73 48,99 3. Leuwisadeng , ,68 60,27 4. Pamijahan , ,59 47,94 5. Cibungbulang , ,01 46,85 6. Ciampea , ,65 30,20 7. Tenjolaya , ,1 45,46 8. Rumpin , ,09 19,21 9. Cigudeg , ,24 22, Sukajaya , ,48 29, Jasinga , ,56 31, Tenjolaya , ,36 24, Parungpanjang , ,57 18, Dramaga , ,2 40, Ciomas , ,09 19, Tamansari , ,06 28, Cijeruk , ,5 38, Cigombong , ,41 33, Caringin , ,94 30, Ciawi , ,45 30, Cisarua , ,95 21, Megamendung , ,65 20, Sukaraja , ,43 19, Babakan Madang , ,64 24, Citeureup , ,14 14, Cibinong , ,96 8, Bojonggede , ,81 10, Tajurhalang , ,08 14, Kemang , ,51 21, Rancabungur , ,09 26, Parung , ,22 14, Ciseeng , ,53 21, Gunungsindur , ,47 20, Sukamakmur , ,59 40, Cariu , ,03 25, Tanjungsari , ,33 31, Jonggol , ,32 24, Cileungsi , ,58 10, Klapanunggal , ,38 20, Gunungputri , ,99 5,62 Jumlah , ,15 Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006 Keterangan: *) Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor, Data BPS Tahun Karena tidak terdapat perbedaan jumlah yang sangat signifikan pada kedua sumber data tersebut, kajian ini akan menggunakan data SUSDA pada beberapa bagian terutama untuk detail analisis.

75 53 Dilihat dari penyebarannya, jumlah penduduk miskin terbesar berada di Kecamatan Pamijahan sebanyak jiwa atau 5,59% dari total penduduk Kabupaten Bogor. Sedangkan terendah berada di Kecamatan Cariu sebanyak jiwa atau sebesar 1.03% dari total penduduk Kabupaten Bogor. Namun jika dilihat dari komposisi per wilayah, Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Leuwisadeng merupakan wilayah yang separuh penduduknya adalah miskin (masing-masing 48,99% dan 60,27% dari jumlah penduduknya). Kecamatan lain yang mempunyai komposisi penduduk miskin dalam kategori tinggi (komposisi di atas 40%) adalah Kecamatan Pamijahan, Cibungbulang, Tenjolaya, Dramaga, dan Sukamakmur. Sedangkan kecamatan yang terendah komposisi penduduk miskinnya adalah Kecamatan Gunungputri, yaitu sebesar 5.65% dari total penduduknya. Kecamatan lainnya yang termasuk dalam kategori rendah (komposisi kurang dari 20%) adalah Kecamatan Cibinong, Bojonggede, Parung, Citeureup, dan Tajurhalang. Adapun untuk jumlah keluarga miskin, berdasarkan Hasil SUSDA Tahun 2006 adalah sebanyak KK Miskin atau 26,36% dari jumlah Kepala Keluarga di Kabupaten Bogor. Dilihat dari penyebarannya, Rumah Tangga Miskin (RTM) terbesar berada di Kecamatan Leuwiliang yatu sebanyak KK atau 5,38% dari total jumlah keluarga di Kabupaten Bogor, berikutnya Kecamatan Pamijahan sebanyak KK (5,20%). Sedangkan terendah berada di Kecamatan Cariu sebanyak KK atau sebesar 1,61% dari jumlah keluarga di Kabupaten Bogor. Jumlah penyebaran RTM di wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 5. Jika dilihat dari komposisi wilayah, Kecamatan Leuwiliang dan Leuwisadeng merupakan wilayah dengan proporsi RTM paling tinggi yaitu 53,76% dan 53,53%, sedangkan Kecamatan Gunungputri merupakan wilayah dengan proporsi RTM paling rendah yaitu 5,13% dari total penduduknya. Kecamatan lain yang memiliki proporsi RTM tergolong kategori tinggi (komposisi di atas 40%) adalah Kecamatan Pamijahan, Tenjolaya, Sukajaya, Jasinga, dan Cijeruk. Sedangkan kecamatan lain yang memiliki proporsi RTM tergolong kategori rendah (komposisi di bawah 20%) adalah Kecamatan Parungpanjang, Sukaraja, Ciomas, Cibinong, Citeureup, Bojonggede, Tajurhalang, Parung, dan Cileungsi.

76 54 Tabel 5. Jumlah Kepala Keluarga dan Komposisi Rumah Tangga Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 No Kecamatan Jumlah Kepala Keluarga (KK) Proporsi dari Total Kabupaten (%) Jumlah RTM (KK) Proporsi dari Total Kabupaten (%) Komposisi per Kecamatan (%) 1. Nanggung , ,64 34,78 2. Leuwiliang , ,38 53,76 3. Leuwisadeng , ,39 53,53 4. Pamijahan , ,2 43,42 5. Cibungbulang , ,79 34,55 6. Ciampea , ,32 25,57 7. Tenjolaya , ,98 41,10 8. Rumpin , ,11 28,79 9. Cigudeg , ,34 34, Sukajaya , ,19 41, Jasinga , ,78 47, Tenjolaya , ,01 36, Parungpanjang , ,32 18, Dramaga , ,9 34, Ciomas , ,35 19, Tamansari , ,34 29, Cijeruk , ,82 42, Cigombong , ,72 36, Caringin , ,32 33, Ciawi , ,77 32, Cisarua , ,22 23, Megamendung , ,88 21, Sukaraja , ,74 19, Babakan Madang , ,87 26, Citeureup , ,31 19, Cibinong , ,94 10, Bojonggede , ,72 15, Tajurhalang , ,62 19, Kemang , ,24 28, Rancabungur , ,62 35, Parung , ,82 19, Ciseeng , ,28 30, Gunungsindur , ,19 27, Sukamakmur , ,8 25, Cariu , ,61 29, Tanjungsari , ,97 36, Jonggol , ,54 29, Cileungsi , ,4 12, Klapanunggal , ,05 24, Gunungputri , ,13 5,13 Jumlah , ,00 26,36 Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, Karakteristik Kemiskinan Untuk melihat karakteristik kemiskinan Kabupaten Bogor digunakan acuan berdasarkan indikator kemiskinan BPS yang turut diukur dalam SUSDA Tahun Sekalipun banyak pertentangan dalam penggunaan pendekatan kemiskinan yang

77 55 digunakan BPS, tapi lembaga ini tetap menggunakan indikator penentuan kemiskinannya dalam menilai kriteria Rumah Tangga Miskin (RTM) yang kemudian digunakan pula sebagai dasar bagi lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Adapun indikator tersebut meliputi 14 indikator yaitu: luas lantai rumah, jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, penerangan yang digunakan, bahan bakar yang digunakan, frekuensi makan dalam sehari, kebiasaan membeli daging/ayam/susu, kemampuan membeli pakaian, kemampuan berobat, lapangan pekerjaan kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan kepemilikan aset. Ke-empatbelas indikator tersebut dikelompokan dalam karakteristik sosial demografi, tempat tinggal, ekonomi, kesejahteraan keluarga, dan ketenagakerjaan Karakteristik Sosial Demografi Karakteristik sosial demografi meliputi jumlah anggota keluarga miskin, tingkat pendidikan, dan pola pekerjaan kepala keluarga miskin. Berdasarkan Hasil SUSDA Tahun 2006, rata-rata jumlah anggota keluarga pada RTM di Kabupaten Bogor adalah 3,71 jiwa per KK (Tabel 6). Dilihat dari komposisi wilayah, rata-rata terbesar terdapat di Kecamatan Sukamakmur dan Cibungbulang masing-masing sebesar 6,47 jiwa per KK dan 5,96 jiwa per KK. Sedangkan terendah terdapat di Kecamatan Cariu sebesar 2,87 jiwa per KK. Besarnya ukuran keluarga miskin diduga karena RTM cenderung memiliki tingkat kelahiran yang tinggi namun hal ini diiringi juga oleh tingkat kematian anak yang tinggi akibat kurangnya pendapatan dan akses kesehatan serta pemenuhan gizi mereka. Untuk indikator pendidikan, penduduk miskin Kabupaten Bogor umumnya sudah memiliki pendidikan setidaknya tamat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yaitu mencapai 63,3%. Adapun sisanya 36,62% tidak sekolah dan tidak tamat SD/MI. Pada tingkat kecamatan, terdapat 3 kecamatan dimana seluruh KK miskinnya tamat SD/MI yaitu Kecamatan Nanggung, Tenjolaya, dan Klapanunggal. Sementara kecamatan yang penduduk miskin tidak sekolahnya sangat tinggi adalah Kecamatan Tajurhalang dan Megamendung dengan proporsi 80% dan 78,57%.

78 56 Tabel 6. Karakteristik Sosial Demografi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 No Kecamatan Proporsi Penduduk Miskin terhadap Total Penduduk Rata-Rata Anggota Pendidikan Kepala Keluarga (%) Keluarga (Jiwa/KK) Tidak Sekolah Tamat SD/MI 1. Nanggung 2,33 3,98 0,00 100,00 2. Leuwiliang 4,73 3,95 50,54 49,46 3. Leuwisadeng 3,68 4,88 45,05 54,95 4. Pamijahan 5,59 4,83 39,94 60,06 5. Cibungbulang 5,01 5,96 20,57 79,43 6. Ciampea 3,65 4,95 33,09 66,91 7. Tenjolaya 2,10 4,79 0,00 100,00 8. Rumpin 2,09 3,02 32,62 67,38 9. Cigudeg 2,24 3,02 25,43 74, Sukajaya 1,48 3,04 53,95 46, Jasinga 2,56 3,05 28,38 71, Tenjolaya 1,36 3,03 30,57 69, Parungpanjang 1,57 3,04 32,80 67, Dramaga 3,20 4,96 34,52 65, Ciomas 2,09 3,99 28,57 71, Tamansari 2,06 3,96 47,51 52, Cijeruk 2,50 3,99 57,14 42, Cigombong 2,41 3,98 31,25 68, Caringin 2,94 3,98 37,53 62, Ciawi 2,45 3,97 49,86 50, Cisarua 1,95 3,97 36,68 63, Megamendung 1,65 3,95 78,57 21, Sukaraja 2,43 3,98 36,27 63, Babakan Madang 1,64 3,96 39,32 60, Citeureup 2,14 2,91 35,17 64, Cibinong 1,96 3,00 36,54 63, Bojonggede 1,81 3,00 55,36 44, Tajurhalang 1,08 2,99 80,00 20, Kemang 1,51 3,02 36,72 63, Rancabungur 1,09 3,03 36,53 63, Parung 1,22 3,03 37,09 62, Ciseeng 1,53 3,02 74,42 25, Gunungsindur 1,47 3,02 41,20 58, Sukamakmur 2,59 6,47 36,64 63, Cariu 1,03 2,87 51,12 48, Tanjungsari 1,33 3,04 35,51 64, Jonggol 2,32 2,95 41,23 58, Cileungsi 1,58 2,96 60,36 39, Klapanunggal 1,38 3,02 0,00 100, Gunungputri 0,99 3,97 58,93 41,07 Rata-Rata 3,16 3,71 36,62 63,38 Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) Karakteristik tempat tinggal meliputi ukuran luas lantai, jenis lantai, jenis dinding bangunan, penggunaan WC, air minum, bahan bakar, dan penerangan. Dilihat dari luas lantai, rata-rata luas lantai tempat tinggal (rumah) keluarga miskin di Kabupaten Bogor adalah sebesar 30,65 meter persegi. Berdasarkan Tabel 7, rata-rata

79 57 luas lantai terendah sebesar 20,75 meter persegi berada di Kecamatan Sukajaya sedangkan terbesar adalah di Kecamatan Cigudeg yaitu seluas 67,47 meter persegi. Dilihat dari jenis lantainya, rata-rata tempat tinggal keluarga miskin di Kabupaten Bogor didominasi oleh jenis lantai bambu yaitu sebesar 32,13%, dalam dominasi kondisi ini paling tinggi terdapat di Kecamatan Klapanunggal yaitu mencapai 48%. Selebihnya adalah jenis lantai semen (27,46%), tanah (26,47%), dan kayu (14,34%). Jenis dinding tempat tinggal mereka rata-rata paling banyak menggunakan bambu (75,84%) dan selebihnya adalah kayu (7,39%) dan tembok (16,77%). Tabel 7. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) No Kecamatan Luas Lantai Bangunan Dinding Bangunan WC Lantai (m2) Tanah Bambu Kayu Semen Bambu Kayu Tembok Sungai Umum Sendiri 1. Nanggung 39,19 25,50 15,60 28,19 30,70 59,06 27,68 13,26 40,94 57,21 1,85 2. Leuwiliang 22,53 29,89 11,96 7,07 51,09 60,33 13,59 26,09 57,61 41,85 0,54 3. Leuwisadeng 21,05 31,53 19,82 3,60 45,05 63,06 16,22 20,72 69,37 30,63 0,00 4. Pamijahan 25,18 34,30 9,32 7,60 48,79 60,92 8,54 30,54 57,56 41,66 0,78 5. Cibungbulang 28,91 43,19 6,17 2,06 48,59 67,10 5,14 27,76 67,35 31,36 1,29 6. Ciampea 29,40 45,45 5,45 3,27 45,82 53,82 11,64 34,55 57,82 38,91 3,27 7. Tenjolaya 28,49 42,86 14,29 2,86 40,00 57,14 0,00 42,86 51,43 48,57 0,00 8. Rumpin 38,46 40,55 32,98 4,63 21,84 84,05 6,95 9,00 27,01 71,39 1,60 9. Cigudeg 67,47 22,01 25,06 6,84 46,10 77,32 8,62 14,05 54,13 44,76 1, Sukajaya 20,75 10,09 31,58 16,67 41,67 73,25 14,04 12,72 35,96 63,16 0, Jasinga 30,79 18,57 50,48 5,79 25,16 87,62 4,98 7,40 63,50 35,45 1, Tenjolaya 33,01 46,56 33,53 3,55 16,35 85,78 6,28 7,94 12,80 85,31 1, Parungpanjang 38,34 56,47 10,93 1,99 31,61 73,96 4,17 21,87 13,52 85,69 0, Dramaga 30,07 39,86 10,68 5,34 44,13 72,60 3,20 24,20 55,87 43,42 0, Ciomas 26,71 28,57 0,00 0,00 71,43 57,14 14,29 28,57 57,14 28,57 14, Tamansari 32,05 13,35 45,93 12,67 28,05 76,70 6,79 16,52 49,10 45,93 4, Cijeruk 29,52 9,09 33,77 1,30 55,84 54,55 0,00 45,45 22,08 76,62 1, Cigombong 30,49 15,23 19,73 3,13 61,91 55,47 3,71 40,82 37,50 56,25 6, Caringin 35,45 11,64 36,82 8,08 43,47 71,50 3,56 24,94 32,78 62,00 5, Ciawi 37,35 12,53 31,75 13,37 42,34 69,64 4,74 25,63 29,25 62,95 7, Cisarua 32,74 11,29 9,40 11,91 67,40 41,07 5,33 53,61 29,15 62,70 8, Megamendung 24,64 21,43 35,71 7,14 35,71 57,14 4,76 38,10 14,29 83,33 2, Sukaraja 37,49 25,91 27,46 6,74 39,90 73,06 7,77 19,17 72,54 22,80 4, Babakan Madang 36,51 7,92 23,20 51,10 17,77 80,29 11,23 8,47 74,95 22,74 2, Citeureup 58,18 20,34 23,38 39,73 16,54 73,38 11,22 15,40 49,43 40,49 10, Cibinong 33,18 45,19 7,69 3,85 43,27 52,88 9,62 37,50 33,65 49,04 17, Bojonggede 50,11 67,86 1,79 3,57 26,79 64,29 16,07 19,64 17,86 57,14 25, Tajurhalang 27,50 60,00 0,00 10,00 30,00 60,00 0,00 40,00 0,00 100,00 0, Kemang 38,64 62,15 12,99 5,08 19,77 78,53 8,47 12,99 8,47 84,75 6, Rancabungur 32,28 53,87 17,96 5,07 22,60 81,42 3,72 14,86 26,93 70,59 2, Parung 39,90 71,27 1,09 1,45 26,18 73,82 9,82 16,36 1,45 93,82 4, Ciseeng 31,33 72,09 18,60 2,33 6,98 79,07 4,65 16,28 18,60 79,07 2, Gunungsindur 46,54 79,93 3,17 0,35 16,55 81,34 5,99 12,68 5,63 94,37 0, Sukamakmur 38,44 8,39 26,47 51,22 13,93 78,75 15,88 5,37 50,57 47,96 1, Cariu 61,59 40,17 43,73 4,12 11,99 88,11 2,90 8,99 43,16 56,09 0, Tanjungsari 48,10 19,53 43,79 24,20 12,48 81,52 11,49 7,00 49,97 47,81 2, Jonggol 52,38 23,88 32,86 6,48 36,78 64,40 5,00 30,61 31,71 52,10 16, Cileungsi 63,12 53,45 17,82 9,13 19,60 81,51 5,79 12,69 7,13 82,41 10, Klapanunggal 48,09 26,03 48,66 10,83 14,48 85,40 5,72 8,88 23,11 69,10 7, Gunungputri 43,09 35,71 28,57 5,36 30,36 69,64 8,93 21,43 0,00 85,71 14,29 Rata-Rata 30,65 26,07 32,13 14,34 27,46 75,84 7,39 16,77 39,24 54,68 6,08 Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006

80 58 Tabel 7 (Lanjutan). Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Sumber Air Minum Bahan Bakar Penerangan No Kecamatan Sungai Hujan MAT MATT ST STT Lainnya Tanah -nya Tanah max -nya Kayu Myk. Lain Myk. Petro- Lain PLN 1 Nanggung 18,12 0,34 29,87 28,69 10,91 9,40 2,68 93,62 3,36 3,02 32,88 3,94 19,82 43,36 2 Leuwiliang 3,26 0,00 25,54 35,33 23,91 11,41 0,54 98,91 0,00 1,09 40,07 1,63 11,07 47,23 3 Leuwisadeng 6,31 0,00 9,91 13,51 47,75 19,82 2,70 99,10 0,90 0,00 33,13 6,63 15,66 44,58 4 Pamijahan 9,55 0,16 12,37 36,02 17,70 19,97 4,23 97,02 2,19 0,78 19,63 1,83 47,45 31,09 5 Cibungbulang 1,80 0,00 8,48 13,88 35,22 34,45 6,17 87,66 11,31 1,03 20,45 1,02 42,94 35,58 6 Ciampea 12,00 0,36 16,00 30,18 14,91 21,45 5,09 85,09 12,00 2,91 21,88 6,53 32,10 39,49 7 Tenjolaya 8,57 2,86 11,43 51,43 8,57 14,29 2,86 80,00 14,29 5,71 20,45 2,27 47,73 29,55 8 Dramaga 2,49 0,00 30,25 46,62 6,76 6,41 7,47 88,26 10,32 1,42 16,12 3,58 38,81 41,49 9 Ciomas 0,00 0,00 0,00 0,00 71,43 14,29 14,29 71,43 14,29 14,29 22,22 22,22 22,22 33,33 10 Tamansari 19,00 0,68 20,14 40,95 8,37 4,75 6,11 89,37 9,28 1,36 24,05 1,03 36,08 38,83 11 Cijeruk 5,19 0,00 28,57 36,36 15,58 1,30 12,99 97,40 1,30 1,30 25,96 4,81 26,92 42,31 12 Cigombong 9,38 0,59 31,45 18,95 17,77 17,77 4,10 90,43 8,01 1,56 22,42 1,67 43,79 32,12 13 Caringin 15,44 1,66 22,80 28,50 16,86 12,35 2,38 92,87 5,70 1,43 21,31 2,06 44,30 32,34 14 Ciawi 10,03 0,28 37,60 18,11 18,66 9,75 5,57 87,47 10,31 2,23 17,66 0,46 50,23 31,65 15 Cisarua 5,33 0,00 24,14 46,08 8,78 9,72 5,96 90,91 6,90 2,19 21,43 1,72 35,22 41,63 16 Megamendung 4,76 0,00 23,81 19,05 40,48 4,76 7,14 97,62 2,38 0,00 17,65 3,92 39,22 39,22 17 Sukaraja 6,74 0,00 11,40 12,95 39,90 15,54 13,47 86,53 11,40 2,07 25,77 5,38 28,08 40,77 18 Babakan Madang 11,05 0,46 16,48 29,37 25,41 14,09 3,13 96,96 2,03 1,01 33,90 2,25 20,09 43,76 19 Sukamakmur 5,05 0,00 15,31 36,64 19,06 22,72 1,22 97,96 1,06 0,98 35,54 0,73 23,57 40,16 20 Cariu 9,46 0,28 1,40 5,52 38,76 36,89 7,68 89,79 6,55 3,65 36,54 0,42 20,32 42,72 21 Tanjungsari 8,69 0,06 15,22 16,03 30,50 25,54 3,97 95,80 2,62 1,57 35,82 1,31 22,60 40,27 22 Jonggol 2,28 0,08 9,59 15,21 39,82 27,19 5,82 82,05 13,23 4,72 24,23 1,69 42,23 31,84 23 Cileungsi 0,89 0,45 0,00 0,45 52,34 41,43 4,45 84,86 11,58 3,56 24,92 4,18 32,94 37,96 24 Klapanunggal 6,20 4,38 7,06 7,42 33,70 37,96 3,28 92,82 5,60 1,58 29,86 0,68 32,34 37,12 25 Gunungputri 1,79 0,00 3,57 0,00 64,29 19,64 10,71 89,29 1,79 8,93 27,27 2,60 28,57 41,56 26 Citeureup 9,89 0,19 16,92 24,71 24,71 17,49 6,08 91,83 5,89 2,28 35,85 0,98 16,10 47,07 27 Cibinong 2,88 0,00 0,00 2,88 48,08 29,81 16,35 64,42 29,81 5,77 22,96 1,48 39,26 36,30 28 Bojonggede 1,79 0,00 0,00 1,79 57,14 25,00 14,29 73,21 21,43 5,36 18,84 2,90 37,68 40,58 29 Tajurhalang 0,00 0,00 0,00 0,00 60,00 30,00 10,00 100,00 0,00 0,00 33,33 6,67 13,33 46,67 30 Kemang 0,56 0,00 2,82 5,08 44,63 45,20 1,69 80,23 14,69 5,08 20,27 2,70 41,89 35,14 31 Rancabungur 1,86 0,00 0,00 8,36 38,08 38,08 13,62 90,71 6,50 2,79 19,05 2,01 41,60 37,34 32 Parung 0,00 0,36 0,73 2,91 44,73 46,91 4,36 77,09 21,09 1,82 16,41 0,91 49,85 32,83 33 Ciseeng 4,65 0,00 2,33 0,00 62,79 30,23 0,00 97,67 0,00 2,33 35,82 2,99 14,93 46,27 34 Gunungsindur 2,82 0,00 0,00 6,69 50,35 30,28 9,86 87,32 9,51 3,17 21,55 1,10 41,16 36,19 35 Rumpin 5,97 0,89 16,13 17,74 36,81 16,84 5,61 94,12 4,55 1,34 35,22 0,98 19,17 44,63 36 Cigudeg 12,12 0,15 17,84 41,49 15,02 9,96 3,42 95,69 2,38 1,93 28,69 1,33 34,15 35,84 37 Sukajaya 6,14 0,00 19,74 41,67 17,98 13,16 1,31 98,68 0,00 1,32 34,29 2,02 16,14 47,55 38 Jasinga 30,06 0,24 4,90 4,74 33,44 22,67 3,94 96,70 1,53 1,77 21,42 2,27 45,99 30,32 39 Tenjolaya 7,23 0,12 0,36 2,73 51,90 35,66 2,01 97,04 1,18 1,78 30,59 1,07 31,25 37,09 40 Parungpanjang 5,96 0,20 2,58 13,72 33,20 36,38 7,95 85,69 6,76 7,55 25,59 3,40 33,43 37,57 Rata-Rata 8,26 0,42 12,00 18,46 32,07 23,90 4,88 90,85 6,63 2,52 28,51 1,51 31,94 37,64 Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006 Keterangan: MAT = Mata Air Terlindungi, MATT = Mata Air Tidak Terlindungi, ST = Sumur Terlindung, STT = Sumur Tidak Terlindungi Dilihat berdasarkan penggunaan air minum, keluarga miskin di Kabupaten Bogor rata-rata banyak yang menggunakan sumur terlindung yaitu mencapai 32,07% dan selebihnya menggunakan air minum dari sumber yang kurang aman, yaitu sungai, air hujan, mata air, dan sumur tidak terlindungi. Besarnya proporsi penduduk miskin yang mengkonsumsi air minum kurang sehat ini diakibatkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat, disamping rendahnya kemampuan ekonomi untuk mengakses sumber air minum sehat. Sedangkan jika dilihat dari penggunaan WC, rata-rata RTM

81 59 di Kabupaten Bogor masih banyak yang menggunakan WC Umum dengan proporsi mencapai 54,68% selebihnya memanfaatkan sungai sebesar 39,24% dan ada pula yang memiliki WC sendiri sebesar 6,08%. Hal ini mencerminkan kurangnya kesadaran dan adanya keterbatasan kemampuan keluarga miskin untuk memiliki WC sendiri sehingga masih sangat bergantung pada sarana sanitasi umum. Dilihat dari jenis penggunaan bahan bakar rata-rata keluarga miskin di Kabupaten Bogor paling banyak menggunakan kayu bakar mencapai 90,55% dan selebihnya menggunakan minyak tanah (6,63%), dan bahan bakar lainnya (2,52%). Sedangkan dilihat dari jenis penggunaan lampu penerangan, rata-rata RTM di Kabupaten Bogor cukup banyak yang menggunakan penerangan dari PLN mencapai 31,94%, selebihnya menggunakan minyak tanah (28,91%), petromax (1,51%) dan penerangan lainnya (37,64%) Karakteristik Ekonomi Dalam melihat karakteristik ekonomi, indikator yang diukur adalah kepemilikan asset berharga dan frekuensi pembelian pakaian dalam setahun 9. Dilihat dari kepemilikan asset, ternyata rata-rata keluarga miskin di Kabupaten Bogor cukup banyak yang memiliki televisi dan sepeda motor (Tabel 8). Mereka menganggap saat ini televisi bukan merupakan barang mewah lagi dan sepeda motor umumnya merupakan asset untuk menunjang mata pencaharian mereka. Adapun rata-rata kepemilikan televisi ini mencapai 47,85% dan sepeda motor mencapai 22,71%, selebihnya adalah kepemilikan aset berupa emas (21,54%) dan kulkas (7,90%). Adanya kondisi keterisoliran RTM yang kebanyakan tinggal di pedesaan juga merupakan alasan mereka memerlukan keberadaan televisi sebagai sumber informasi dan sepeda motor untuk menerobos keterisoliran fisik. Berdasarkan Tabel 8, hanya terdapat enam kecamatan saja yang penduduk miskinnya benar-benar tidak memiliki keempat jenis asset berharga tersebut, yaitu Kecamatan Leuwiliang, Tenjolaya, Cijeruk, Bojonggede, Tajurhalang, dan Ciseeng. Dilihat dari indikator pembelian pakaian, pada umumnya keluarga miskin di Kabupaten Bogor tidak melakukan pembelian pakaian sebanyak satu kali dalam 9 Indikator asset berharga yang diukur dalam kategori BPS berdasarkan variabel nilai barang seharga Rp ,- keatas. Aset yang diukur adalah kepemilikan emas, televisi, kulkas, dan sepeda motor.

82 60 setahun, hal ini mencerminkan bahwa kebutuhan akan pakaian sangat minim sekali. Berdasarkan Hasil SUSDA Tahun 2006, bahwa kondisi ini mencapai 38,60%, dan selebihnya adalah kemampuan untuk membeli pakaian minimal satu stel dalam setahun (50,43%) dan lebih dari dua stel (10,97%). Tabel 8. Karakteristik Ekonomi Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) No Kecamatan Kepemilikan Asset Pembelian Pakaian Emas TV Kulkas Motor Tidak 1 Stel > 1 Stel 1. Nanggung 44,44 37,04 7,41 11,11 42,11 43,96 13,93 2. Leuwiliang 0,00 0,00 0,00 0,00 71,20 26,63 2,17 3. Leuwisadeng 100,00 0,00 0,00 0,00 95,50 4,50 0,00 4. Pamijahan 12,77 78,72 4,26 4,26 50,27 46,12 3,61 5. Cibungbulang 10,00 80,00 5,00 5,00 53,47 43,19 3,34 6. Ciampea 30,00 70,00 0,00 0,00 65,09 32,00 2,91 7. Tenjolaya 0,00 0,00 0,00 0,00 54,29 42,86 2,86 8. Rumpin 32,65 40,82 0,00 26,53 30,39 56,51 13,10 9. Cigudeg 24,44 52,22 6,67 16,67 38,74 55,46 5, Sukajaya 66,67 33,33 0,00 0,00 75,88 23,25 0, Jasinga 16,47 72,94 2,35 8,24 46,62 45,42 7, Tenjolaya 36,90 45,24 1,19 16,67 38,27 48,82 12, Parungpanjang 56,00 38,00 0,00 6,00 43,34 50,50 6, Dramaga 0,00 66,67 0,00 33,33 56,58 40,21 3, Ciomas 20,00 40,00 20,00 20,00 57,14 28,57 14, Tamansari 17,65 70,59 5,88 5,88 41,18 52,26 6, Cijeruk 0,00 0,00 0,00 0,00 90,91 7,79 1, Cigombong 25,00 50,00 12,50 12,50 63,87 33,59 2, Caringin 0,00 100,00 0,00 0,00 52,49 44,42 3, Ciawi 13,33 66,67 6,67 13,33 59,33 39,83 0, Cisarua 0,00 92,31 0,00 7,69 41,38 57,37 1, Megamendung 0,00 33,33 33,33 33,33 95,24 2,38 2, Sukaraja 52,17 26,09 17,39 4,35 47,67 47,15 5, Babakan Madang 35,14 45,95 2,70 16,22 27,44 58,56 14, Citeureup 33,33 38,10 4,76 23,81 52,66 42,21 5, Cibinong 25,00 25,00 12,50 37,50 72,12 26,92 0, Bojonggede 0,00 0,00 0,00 0,00 66,07 28,57 5, Tajurhalang 0,00 0,00 0,00 0,00 90,00 10,00 0, Kemang 19,51 36,59 19,51 24,39 51,98 44,07 3, Rancabungur 15,38 69,23 7,69 7,69 44,89 49,85 5, Parung 0,00 66,67 0,00 33,33 58,91 36,36 4, Ciseeng 0,00 0,00 0,00 0,00 76,74 16,28 6, Gunungsindur 0,00 69,23 7,69 23,08 48,59 44,37 7, Sukamakmur 51,43 31,43 5,71 11,43 26,38 62,30 11, Cariu 24,04 42,31 8,65 25,00 40,92 45,22 13, Tanjungsari 36,36 49,49 2,02 12,12 33,41 59,07 7, Jonggol 19,29 47,04 8,79 24,88 23,60 54,73 21, Cileungsi 17,24 41,38 10,34 31,03 51,89 42,98 5, Klapanunggal 23,08 53,85 2,56 20,51 55,11 37,10 7, Gunungputri 0,00 100,00 0,00 0,00 48,21 42,86 8,93 Rata-Rata 21,46 47,85 7,90 22,71 38,60 50,43 10,97 Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, 2006

83 61 Tabel 9. Karakteristik Kesejahteraan Keluarga Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) No Kecamatan Frekuensi Makan (kali/hari) Membeli Daging/Ayam/ Susu (kali/minggu) Kemampuan Berobat 1 Kali 2 Kali > 2 Kali Tidak 1 Kali > 1 Kali Ya Tidak 1. Nanggung 2,35 0,00 97,65 88,26 5,54 6,21 33,39 66,61 2. Leuwiliang 4,35 0,00 95,65 99,46 0,00 0,54 10,87 89,13 3. Leuwisadeng 9,01 0,00 90,99 100,00 0,00 0,00 9,91 90,09 4. Pamijahan 1,72 0,00 98,28 96,87 1,41 1,72 40,56 59,44 5. Cibungbulang 4,37 0,00 95,63 96,66 1,29 2,06 40,10 59,90 6. Ciampea 10,18 0,00 89,82 99,27 0,73 0,00 30,55 69,45 7. Tenjolaya 5,71 0,00 94,29 94,29 0,00 5,71 48,57 51,43 8. Rumpin 1,16 0,00 98,84 89,30 6,15 4,55 44,30 55,70 9. Cigudeg 3,20 0,00 96,80 94,50 3,94 1,56 33,16 66, Sukajaya 5,26 0,00 94,74 99,12 0,44 0,44 5,26 94, Jasinga 0,72 0,00 99,28 93,41 3,86 2,73 43,09 56, Tenjolaya 1,18 0,00 98,82 94,67 2,61 2,73 38,86 61, Parungpanjang 1,59 0,00 98,41 96,42 2,39 1,19 34,99 65, Dramaga 6,05 0,00 93,95 98,22 1,78 0,00 61,57 38, Ciomas 14,29 0,00 85,71 85,71 14,29 0,00 42,86 57, Tamansari 5,20 0,00 94,80 95,25 2,26 2,49 47,51 52, Cijeruk 2,60 0,00 97,40 100,00 0,00 0,00 3,90 96, Cigombong 2,54 0,00 97,46 96,88 1,37 1,76 41,60 58, Caringin 4,04 0,00 95,96 90,26 3,80 5,94 25,42 74, Ciawi 1,95 0,00 98,05 95,82 1,11 3,06 25,07 74, Cisarua 0,63 0,00 99,37 95,92 3,45 0,63 40,44 59, Megamendung 21,43 0,00 78,57 100,00 0,00 0,00 2,38 97, Sukaraja 7,25 0,00 92,75 94,82 4,66 0,52 26,94 73, Babakan Madang 2,76 68,42 28,82 91,71 4,70 3,59 24,95 75, Citeureup 4,18 0,00 95,82 95,63 2,28 2,09 24,71 75, Cibinong 16,35 0,00 83,65 96,15 1,92 1,92 30,77 69, Bojonggede 8,93 0,00 91,07 98,21 1,79 0,00 32,14 67, Tajurhalang 0,00 0,00 100,00 100,00 0,00 0,00 0,00 100, Kemang 7,34 0,00 92,66 97,18 1,69 1,13 39,55 60, Rancabungur 2,17 0,00 97,83 94,12 2,79 3,10 51,70 48, Parung 6,18 0,00 93,82 97,45 1,09 1,45 42,91 57, Ciseeng 18,60 0,00 81,40 100,00 0,00 0,00 6,98 93, Gunungsindur 5,63 0,00 94,37 94,72 3,17 2,11 40,85 59, Sukamakmur 1,87 0,00 98,13 86,81 11,16 2,04 19,22 80, Cariu 2,15 0,00 97,85 91,29 5,52 3,18 59,18 40, Tanjungsari 1,46 0,00 98,54 94,69 3,50 1,81 38,78 61, Jonggol 1,21 0,00 98,79 76,80 15,59 7,61 64,12 35, Cileungsi 6,68 0,00 93,32 96,66 2,23 1,11 31,40 68, Klapanunggal 5,35 0,00 94,65 97,20 1,58 1,22 22,87 77, Gunungputri 14,29 0,00 85,71 96,43 1,79 1,79 21,43 78,57 Rata-Rata 2,64 3,84 93,52 90,11 6,42 3,47 41,22 58,78 Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, Karakteristik Kesejahteraan Keluarga Indikator yang tercakup dalam karaktersitik kesejahteraan keluarga mencakup pola makan keluarga, kebiasaan mengkonsumsi daging/ayam/susu dalam seminggu, dan kemampuan berobat jika ada anggota keluarga yang sakit. Untuk

84 62 indikator pola makan keluarga, pada umumnya keluarga miskin di Kabupaten Bogor mempunyai pola makan lebih dari dua kali sehari dengan proporsi mencapai 93,52% (Tabel 9). Hal ini mencerminkan bahwa kebutuhan makan pada umumnya di Kabupaten Bogor sudah terpenuhi, karena untuk pola makan satu atau dua kali sehari hanya mencapai 2,64% dan 3,84%. Hanya terdapat satu kecamatan yang proporsi pola makan keluarganya cenderung dua kali sehari yaitu Kecamatan Babakan Madang, dimana 68,42% pola makan keluarga miskin adalah dua kali sehari sedangkan pola makan tiga kali sehari hanya 28,82%. Sementara dalam untuk indikator konsumsi daging/ayam/susu, keluarga miskin di Kabupaten Bogor umumnya tidak mampu membeli daging/ayam/susu satu kali pun dalam seminggu. Berdasarkan Hasil SUSDA Tahun 2006, rumah tangga yang tidak mampu membeli daging/ayam/susu mencapai 90,11% selebihnya mampu membeli daging/ayam/susu sekali dalam seminggu (6,42%) dan lebih dari sekali dalam seminggu (3,47%). Terdapat lima kecamatan yang seluruh penduduk miskinnya sama sekali tidak mampu membeli daging/ayam/susu sekali pun dalam seminggu, yaitu Kecamatan Leuwisadeng, Cijeruk, Megamendung, Tajurhalang dan Ciseeng. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kondisi pemenuhan gizi dan kondisi kesehatan masyarakat miskin di Kabupaten Bogor pada umumnya. Apalagi jika dilihat juga dari indikator kemampuan berobat, dimana secara umum keluarga miskin di Kabupaten Bogor memiliki kecenderungan tidak memiliki kemampuan untuk berobat, dengan proporsi rata-ratanya mencapai 58,74% Karakteristik Ketenagakerjaan Berdasarkan Hasil SUSDA Tahun 2006, pada umumnya keluarga miskin di Kabupaten Bogor tidak memiliki mata pencaharian yang tetap. Namun jika dilihat dari proporsinya, masyarakat miskin yang tidak bekerja atau menganggur mencapai 56,89%, selebihnya adalah bekerja di sektor jasa (10,55%), sektor perdagangan (3,61%), sektor transportasi (0,80%) dan lainnya (28,15%). Dilihat dari sisi wilayah, terdapat tiga kecamatan yang seluruh kepala keluarga miskinnya menganggur/tidak bekerja yaitu Kecamatan Nanggung, Tenjolaya, dan Klapanunggal (Tabel 10).

85 63 Tabel 10. Karakteristik Ketenagakerjaan Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tahun 2006 (dalam persen) Sektor Mata Pencaharian No Kecamatan Tidak Jasa-Jasa Perdagangan Transportasi Bekerja Lainnya 1. Nanggung 0,00 0,00 0,00 100,00 0,00 2. Leuwiliang 5,64 0,00 0,51 83,59 10,26 3. Leuwisadeng 6,72 5,04 0,00 84,03 4,21 4. Pamijahan 8,33 4,81 0,36 56,14 30,36 5. Cibungbulang 7,82 4,03 0,71 77,96 9,48 6. Ciampea 16,67 5,76 0,30 72,12 5,15 7. Tenjolaya 0,00 0,00 0,00 100,00 0,00 8. Rumpin 19,22 3,74 1,44 55,94 19,66 9. Cigudeg 13,56 2,31 0,58 57,65 25, Sukajaya 2,98 0,43 0,00 81,28 15, Jasinga 15,32 3,81 1,29 56,84 22, Tenjolaya 8,16 10,12 0,98 62,13 18, Parungpanjang 8,71 1,63 0,18 83,67 5, Dramaga 20,62 2,82 0,56 66,95 9, Ciomas 12,50 12,50 0,00 62,50 12, Tamansari 11,24 5,82 0,80 65,26 16, Cijeruk 1,28 2,56 0,00 89,74 6, Cigombong 8,41 3,58 0,36 63,33 24, Caringin 9,46 3,01 1,29 63,87 22, Ciawi 12,44 3,66 0,24 64,63 19, Cisarua 20,05 1,50 1,00 56,14 21, Megamendung 0,00 0,00 0,00 97,62 2, Sukaraja 15,72 5,24 0,87 66,81 11, Babakan Madang 6,78 1,89 0,60 42,32 48, Citeureup 8,04 2,80 0,52 57,87 30, Cibinong 5,45 3,64 0,00 84,55 6, Bojonggede 15,15 1,52 0,00 81,82 1, Tajurhalang 0,00 10,00 0,00 90,00 0, Kemang 16,51 8,02 0,00 63,68 11, Rancabungur 13,40 3,22 0,80 72,12 10, Parung 13,79 9,09 0,31 67,08 9, Ciseeng 4,44 2,22 0,00 88,89 4, Gunungsindur 15,22 1,49 0,30 78,81 4, Sukamakmur 4,21 2,18 0,47 46,72 46, Cariu 5,15 2,93 0,62 44,67 46, Tanjungsari 6,13 1,15 0,22 59,99 32, Jonggol 12,83 5,14 1,42 42,99 37, Cileungsi 9,48 3,63 0,00 75,60 11, Klapanunggal 0,00 0,00 0,00 100,00 0, Gunungputri 5,08 1,69 0,00 81,36 11,87 Rata-Rata 10,55 3,61 0,80 56,89 28,15 Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor, Tinjauan Kemiskinan Berdasarkan Wilayah Pembangunan Mengacu pada tiga strategi perwilayahan pembangunan di Kabupaten Bogor, dapat dilihat kondisi dan karakteristik kemiskinan di setiap wilayah pembangunan dengan mengelompokkan data karakteristik kemiskinan dari

86 64 keempatpuluh kecamatan menjadi tiga wilayah, yaitu: 1) Wilayah Bogor Barat, yang mencakup 13 kecamatan; 2) Wilayah Bogor Tengah, yang mencakup 20 kecamatan; dan 3) Wilayah Bogor Timur, yang mencakup 7 kecamatan. Hasil perumusan kondisi kemiskinan di tiga wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kondisi Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun 2006 Berdasarkan Tinjauan Wilayah. No Indikator Kabupaten Wilayah Pembangunan Bogor Barat Tengah Timur 1. Penduduk (Jiwa) Jumlah Rata-rata setiap kecamatan Rumah Tangga/Keluarga (KK) Jumlah Rata-rata setiap kecamatan Penduduk Miskin (Jiwa) Jumlah Rata-rata setiap kecamatan Rumah Tangga Miskin (KK) Jumlah Rata-rata setiap kecamatan Besar Keluarga Miskin (Jiwa/KK) Rata-rata setiap kecamatan 3,71 3,97 3,59 3,61 Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor (2006), data diolah Berdasarkan tinjauan Wilayah Pembangunan, ternyata penyumbang angka kemiskinan terbanyak berasal dari Wilayah Pembangunan Bogor Tengah dan Bogor Barat. Dari Wilayah Pembangunan Bogor Tengah mencapai jiwa atau dengan proporsi 44,09 persen dari total penduduk miskin Kabupaten Bogor, dan dari Wilayah Pembangunan Bogor Barat mencapai jiwa atau 43,26 persen. Sedangkan Wilayah Pembangunan Bogor Timur hanya menyumbang jumlah penduduk miskin sebanyak jiwa atau 12,64 persen saja. Namun demikian rata-rata jumlah penduduk miskin di setiap kecamatan, paling banyak terdapat di kecamatan-kecamatan dalam lingkup Wilayah Pembangunan Barat yaitu jiwa per kecamatan. Sekalipun jumlah RTM di Wilayah Pembangunan Bogor Tengah lebih tinggi, namun rata-rata jumlah RTM di tiap kecamatan yang paling tinggi ternyata terdapat di kecamatan-kecamatan dalam lingkup Wilayah Pembangunan Bogor Barat yaitu sebanyak jiwa dengan rata-rata besar keluarga 3,97 jiwa per Kepala Keluarga. Sedangkan karakteristik kemiskinan penduduk di tiap Wilayah Pembangunan ditampilkan pada Tabel 12.

87 65 Tabel 12. Rata-Rata Karakteristik Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun 2006 Berdasarkan Indikator BPS dan Tinjauan Wilayah (dalam persen). No Indikator Kabupaten Wilayah Pembangunan Bogor Barat Tengah Timur 1. Pendidikan Kepala Keluarga : Tidak Sekolah 36,62 30,23 45,51 40,54 Setidaknya Tamat SD/MI 63,38 69,77 54,49 59,46 2. Luas Lantai (m 2 ) 37,23 32,58 35,53 50,69 3. Jenis Lantai Bangunan : Tanah 34,59 34,38 36,48 29,59 Bambu 21,75 20,55 18,06 34,56 Kayu 9,94 7,24 9,61 15,91 Semen 33,71 37,83 35,86 19,94 4. Jenis Dinding Bangunan : Bambu 70,17 69,49 67,69 78,48 Kayu 7,96 9,83 6,75 7,96 Tembok 21,87 20,67 25,56 13,57 5. WC : Sungai 36,28 46,85 31,83 29,38 Umum 58, ,83 63,03 Sendiri 4,87 1,16 6,34 7,6 6. Sumber Air Minum : Sungai 6,88 9,78 5,69 4,91 Hujan 0,37 0,41 0,21 0,75 Mata Air Terlindung 12,42 13,47 13,47 7,45 Mata Air Tidak Terlindung 19,04 25,47 17,47 11,61 Sungai Terlindung 33,16 26,72 35,03 39,78 Sungai Tidak Terlindung 22,01 20,42 20,19 30,2 Lainnya 6,11 3,73 7,94 5,3 7. Bahan Bakar : Kayu 89,84 93,02 87,59 90,37 Minyak Tanah 7,34 4,65 9,54 6,06 Lainnya 2,82 2,33 2,87 3,57 8. Penerangan : Minyak Tanah 26,28 28,02 23,63 30,6 Petromax 2,93 2,69 3,54 1,66 PLN 32,01 30,53 34,04 28,94 Lainnya 38,78 38,76 38,79 38,81 9. Kepemilikan Asset : Emas 21,46 33,1 12,83 24,49 TV 45,26 42,18 44,82 52,21 Kulkas 5,39 2,07 7,53 5,44 Motor 12,9 7,27 14,82 17, Pembelian Pakaian : Tidak 54,5 54,24 59,76 39,93 1 Stel 39,36 39,94 35,54 49,18 > 1 Stel 6,15 5,82 4,7 10, Frekuensi Makan 1 kali per hari 5,55 3,91 6,91 4,72 2 kali per hari 1,71 0 3,42 0 > 2 kali per hari 92,74 96,09 89,67 95, Membeli Daging/Ayam/Susu : Tidak 95 95,56 95,9 91,41 1 kali per minggu 3,05 2,18 2,61 5,91 > 1 kali per minggu 1,95 2,26 1,49 2, Kemampuan Berobat : Ya 32,07 31,82 30,61 36,71 Tidak 67,93 68,18 69,39 63, Sektor Mata Pencaharian : Jasa-Jasa 9,16 8,7 10,53 6,13 Perdagangan 3,57 3,21 4,23 2,39 Transportasi 0,42 0,49 0,38 0,39 Tidak Bekerja 86,84 87,6 84,86 91,1 Sumber: Hasil SUSDA Bappeda Kabupaten Bogor (2006), data diolah

88 66 Berdasarkan Tabel 12, karakteristik kemiskinan di tiap Wilayah Pembangunan cukup bervariasi namun tidak jauh berbeda dengan nilai rataan karakteristik kemiskinan di tingkat Kabupaten Bogor. Berdasarkan karakteristik kemiskinan ini terlihat bahwa umumnya penduduk miskin di Kabupaten Bogor sudah tercukupi pemenuhan kebutuhan dasarnya Faktor Penyebab dan Persoalan Kemiskinan Data karakteristik kemiskinan yang diolah berdasarkan 14 indikator BPS merupakan data kuantitatif yang menampilkan kemiskinan dari sisi indikator keluaran (output indicators) sehingga yang terlihat adalah kondisi kemiskinan absolut atau kemiskinan relatif. Untuk melihat karakteristik kemiskinan dari indikator masukan (input indicators) digunakan Hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif dengan metode Participatory Rural Appraisal (PRA) yang dilakukan BAPPEDA Kabupaten Bogor pada Tahun Hasil analisis ini menampilkan data kualitatif yang dihimpun secara partisipatif untuk mengetahui penyebab dan persoalan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Analisis kemiskinan partisipatif didefinisikan sebagai suatu proses partisipasi yang memberikan ruang pada masyarakat miskin (laki-laki dan perempuan) serta lintas pelaku (stakeholders) di suatu daerah untuk memahami, memetakan, serta bekerjasama dalam membuat perencanaan untuk mengurangi permasalahan kemiskinan (Bappeda Kabupaten Bogor, 2007). Lahirnya metode partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikarenakan adanya kritik bahwa masyarakat diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek (Wahyuni, 2008). Dari hasil analisis ini diperoleh bahwa karakteristik penduduk miskin yang paling banyak dijadikan acuan di Kabupaten Bogor adalah kondisi fisik rumah, pendidikan anak, jenis pekerjaan atau upah, dan pemenuhan kebutuhan pangan (Lampiran 1). Jika ditelusuri lebih dalam, meskipun acuan yang digunakan sama namun standar kemiskinannya berbeda. Perbedaan tersebut mencerminkan perbedaan standar kehidupan, budaya, dan ketersediaan sumber daya lokal. Perbedaan ini juga mencerminkan subyektifitas ukuran kemiskinan yang digunakan masyarakat.

89 67 Berdasarkan uraian mengenai penyebab kemiskinan yang dikemukakan pada tiap kecamatan sebagaimana pada Lampiran 1, dapat diidentifikasi pendekatan yang digunakan masyarakat dalam menguraikan penyebab kemiskinan di setiap wilayahnya. Berdasarkan indikator masukan, penyebab kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat tergolong: Kemiskinan Alamiah, Kemiskinan Struktural, dan Kemiskinan Kultural. Penyebab kemiskinan yang diidentifikasikan seperti sumberdaya alam yang kurang mendukung terhadap penghidupan masyarakat, musibah, PHK, bencana alam, dan keterbatasan kondisi fisik manusia (karena sakit atau keadaan usia lanjut) termasuk dalam kategori kemiskinan alamiah. Sementara kondisi seperti terbatasnya lapangan kerja, rendahnya pendidikan, kurangnya modal usaha, adanya KKN, kurang perhatian pemerintah, dan lain-lain termasuk kemiskinan struktural. Adapun perihal seperti masalah moral, ketidakjujuran, malas bekerja, kurang percaya diri, tertutup, ketidakpedulian, dan masalah psikologis lainnya tergolong dalam kemiskinan kultural. Adanya kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural di Kabupaten Bogor menjawab hubungan antara kondisi tingkat pendidikan yang rendah dan mata pencaharian penduduk miskin (yang mayoritas tidak bekerja) pada hasil analisis sebelumnya yang ternyata dipengaruhi oleh kondisi struktural dan budaya setempat. Kondisi geografis dan pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor yang cukup beragam juga berpengaruh terhadap karakteristik dan penyebab kemiskinan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan-kawasan tertentu. Adanya dominasi fungsi pemanfaatan ruang juga memberikan karakter yang berbeda dalam cara memandang penyebab kemiskinan di setiap kecamatan sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Berdasarkan tinjauan geografis dan pemanfaatan ruang tersebut maka faktor penyebab dan karakteristik kemiskinan Kabupaten Bogor antara lain sebagaimana disajikan dalam Tabel. 13. Pada umumnya faktor keterbatasan aset (modal maupun lahan) dan rendahnya tingkat pendidikan/keterampilan merupakan faktor penyebab utama kemiskinan jika dilihat dari sudut pandang geografis dan pemanfaatan ruang. Sementara itu penyebab kemiskinan lainnya yang paling banyak dikemukakan oleh masyarakat melalui PRA Tahun 2007 adalah: terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, belum optimalnya pengarusutamaan gender dan perlindungan anak, rendahnya akses terhadap pelayanan umum (pendidikan dan kesehatan), sulitnya akses transportasi, dan rendahnya harga hasil produksi.

90 68 Tabel 13. Faktor Penyebab Kemiskinan Berdasarkan Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Bogor Tahun 2006 Kondisi Geografis Pemanfaatan Ruang Faktor Penyebab Kemiskinan Daerah Kawasan Pariwisata Keterbatasan lahan karena dijadikan kawasan Pegunungan/ Perbukitan Daerah Industri Kawasan Industri wisata Kurangnya keterampilan khusus yang perlu dimiliki masyarakat sekitar kawasan wisata Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat penutupan dan pemindahan asset kegiatan Daerah Pertanian Kawasan Pertanian, Hutan, dan Perkebunan industri ke wilayah lain Kurangnya keterampilan karena hanya tergantung pada satu keahlian dari industri sebelumnya Pemanfaatan lahan pertanian belum optimal karena keterbatasan kemampuan petani dan petugas teknis lapangan Keterbatasan kepemilikan modal kerja akibat ketidakpercayaan pihak lembaga keuangan Rendahnya tingkat pendidikan akibat ketidakmampuan mendapatkan akses pendidikan yang sama dengan warga lain (terutama bagi masyarakat pedalaman) Pengaruh pergantian musim yang menimbulkan kemiskinan musiman pada musim kemarau Sumber: Hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif melalui PRA, 2007 Dalam perumusan persoalan kemiskinan melalui PRA, diperoleh bahwa persoalan yang paling banyak dikemukakan adalah kurangnya sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, listrik, dan air bersih. Dari pengelompokan faktor penyebab dan persoalan kemiskinan ini terlihat bahwa faktor ketidakberdayaan merupakan yang paling menonjol akibat faktor kemiskinan materi dan faktor keterisoliran. Dari fakta ini dapat ditarik kesimpulan bahwa umumnya masyarakat miskin di Kabupaten Bogor cukup berpotensi untuk diberdayakan namun perlu kehati-hatian dalam merancang program pemberdayaan melalui penyertaan modal. Sebab bila faktor keterisoliran dan hambatan struktural lainnya tidak ditangani, maka program penyertaan modal tidak akan mengangkat orang miskin dari kemiskinan.

91 69 BAB VI UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Sebagai upaya tindak lanjut dari latar belakang kondisi kemiskinan dan Analisis Kemiskinan Partisipatif, Pemerintah Kabupaten Bogor melakukan berbagai cara untuk menanggulangi kemiskinan di wilayahnya termasuk memprioritaskan penanggulangan kemiskinan kedalam Arah Kebijakan Umum APBD pada tahun Hasilnya, penduduk miskin pada tahun 2007 berkurang 12,05 persen dari tahun sebelumnya atau menjadi sebanyak jiwa. Namun begitu penanggulangan kemiskinaan tidak diprioritaskan kembali dalam AKU APBD tahun berikutnya, jumlah masyarakat miskin kembali meningkat menjadi jiwa pada tahun Ada tiga hipotesis yang dapat dirumuskan, pertama: bahwa terjadinya pengurangan kemiskinan hanya bergantung dari upaya Pemerintah Daerah dalam memprioritaskan penanggulangan kemiskinan pada arah kebijakan pembangunan daerahnya, kedua: upaya yang dilakukan tidak tepat sasaran/tidak relevan dengan kondisi kemiskinan masyarakat, dan ketiga: upaya yang dilakukan hanya mengangkat kemiskinan dalam jangka pendek (cash programme) oleh karena tidak memberdayakan fakir miskin untuk keluar dari belenggu kemiskinan secara mandiri. Pada Bab ini akan diidentifikasikan upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan mulai dari aspek dibalik munculnya kebijakan penanggulangan kemiskinan hingga implementasi kebijakan tersebut di masyarakat. Dari tahap ini dapat diproleh informasi posisi dan peran pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dalam mengurangi kemiskinan Pembentukan Lembaga Penanggulangan Kemiskinan Atas dasar kondisi kemiskinan pada tahun 2006, dan tuntutan prioritas pembangunan yang telah disepakati dalam Arah Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bogor untuk Tahun Anggaran 2007, Pemerintah Kabupaten Bogor membentuk lembaga khusus yang berfokus pada penanganan kemiskinan di wilayahnya yang bertugas memfasilitasi penanggulangan kemiskinan secara tepat dan berhasil guna.

92 70 Hal ini kemudian diwujudkan dengan dibentuknya Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Bupati Bogor Nomor 412/18/Kpts/Huk/ TKPK adalah forum lintas sektor dan lintas pelaku yang terdiri dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah, pihak dunia usaha, dan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan. TKPK Kabupaten Bogor merupakan wadah koordinasi dan singkronisasi strategi, kebijakan, program, dan kegiatan penanggulangan kemiskinan yang bertanggung jawab kepada Bupati Bogor. Untuk melaksanakan tugas tersebut, TKPK menyelenggarakan fungsinya sebagai berikut: a. Mengkoordinasikan dan merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan dan penyerasian pelaksanaannya di Kabupaten Bogor; b. Memfasilitasi lintas pelaku, komunikasi interaktif, dan penyebarluasan informasi penanggulangan kemiskinan; c. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Adapun tujuan dari keberadaan lembaga khusus penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor ini adalah: a. Mewujudkan kesamaan persepsi, cara pandang dan pendekatan penanggulangan kemiskinan; b. Mewujudkan keterpaduan dan singkronisasi dalam pendataan, perencanaan, penganggaran, sosialisasi dan diseminasi, pelaksanaan, pemantauan, pengawasan dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan; c. Membangun sistem, mekanisme dan prosedur penanggulangan kemiskinan terpadu, profesional dan berkelanjutan; d. Meningkatkan keterpaduan dan singkroniasi upaya-upaya kerjasama dan kemitraan lintas sektor dan lintas pelaku secara luas guna meningkatkan intensitas dan mempercepat penanggulangan kemiskinan; e. Meningkatkan efektifitas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan; f. Mendorong percepatan upaya penanggulangan dan pengentasan kemiskinan. 10 Dengan telah dilakukannya penataan kembali Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Bogor, TKPKD disesuaikan dan dibentuk kembali sebagaimana Keputusan Bupati Bogor Nomor 412/116/Kpts/Huk/2009 tanggal 2 Maret 2009.

93 71 Dalam pelaksanaan tugasnya TKPK Kabupaten Bogor membentuk empat Kelompok Kerja (Pokja) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, yaitu: 1) Kelompok Kerja Kebijakan dan Perencanaan; 2) Kelompok Kerja Pendataan; 3) Kelompok Kerja Pendanaan; dan 4) Kelompok Kerja Kelembagaan. Selain tersusun atas para birokrat, keanggotaannya melibatkan juga unsur masyarakat seperti: Corporate Forum for Community Development (CFCD), Yayasan/LSM, Koperasi Baitul Maal Wat Tanwil (KBMT), Forum Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Kelompok Tani, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) dari seluruh perguruan tinggi yang ada di Kabupaten Bogor Penyusunan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Sejalan dengan program penanggulangan kemiskinan nasional yang ditetapkan dalam Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), Kabupaten Bogor pun menetapkan kebijakan penanggulangan kemiskinan daerah secara madiri. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai kemiskinan di Kabupaten Bogor dan strategi yang tepat dalam menanggulanginya Komitmen Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun , Pemerintah Kabupaten Bogor sejak dulu telah mempunyai komitmen yang kuat dalam meminimalisasi kemiskinan yang ada. Komitmen Pemerintah Kabupaten Bogor dalam upaya penanggulangan kemiskinan antara lain diimplementasikan dalam beberapa kebijakan yaitu: 1. Peningkatan pelayanan pendidikan baik berupa peningkatan sarana dan prasarana maupun pemberian biaya operasional serta beasiswa; 2. Peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, berupa pembangunan prasarana kesehatan dan penambahan tenaga medis (baik dokter maupun tenaga medis lainnya termasuk bidan desa); 3. Pembangunan infrastuktur guna mengatasi keterisolasian daerah, seperti jalan, jembatan, dan prasarana umum lainnya;

94 72 4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat, melalui optimalisasi potensi yang dimiliki masyarakat, pembinaan kepada masyarakat dan pemberian bantuan sarana produksi; Kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu bentuk komitmen Pemerintahan Kabupaten Bogor guna memandirikan masyarakat yang operasionalisasinya dalam bentuk pengembangan kapasitas masyarakat dan peran serta masyarakat dalam pembangunan bekerjasama dengan lembaga swadaya maupun perguruan tinggi Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Untuk mendukung operasional TKPK diperlukan dukungan dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang akurat sebagai acuan penentuan kebijakan dan pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan akurasi dokumen tersebut, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui Bappeda akhirnya melaksanakan kajian dan penyusunan SPKD pada tahun Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach). Penentuan indikator kebutuhan dasar yang digunakan berupa standar dan kriteria subjektif yang dipengaruhi oleh adat, budaya, karakteristik daerah, dan kelompok sosial. Agar rumusan hasil kajian tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin, Pemerintah Kabupaten Bogor melaksanakan refleksi kemiskinan oleh masyarakat untuk menghimpun profil kemiskinan masyarakat secara partisipatif. Participatory Rural Appraisal (PRA) digunakan sebagai metode dalam menganalisis profil kemiskinan dan juga untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap peran kelembagaan yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah, seperti: 1. Ketersediaan pelayanan sosial di suatu wilayah (pendidikan, kesehatan, pelayanan air bersih, sanitasi, transportasi, dan ketersediaan listrik); 2. Peran Jaringan Sosial dan Organisasi Sosial Masyarakat Miskin; 11 Dokumen SPKD Kabupaten Bogor sebenarnya telah tersusun pada tahun 2004 dan telah diperbaharui pada tahun 2006, namun penyusunannya belum berdasarkan kajian yang komprehensif (Bappeda Kabupaten Bogor, 2007).

95 73 3. Partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan-kebijakan yang akan dijalankan pemerintah; 4. Peran lembaga pemerintah dan non pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah Perumusan Visi dan Misi Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan komitmen dalam Renstra Tahun dan hasil pelaksanaan analisis kemiskinan partisipatif pada Tahun 2007, maka dirumuskan Visi dan Misi Penanggulangan Kemiskinan yang berpedoman kepada Visi dan Misi Kabupaten Bogor serta Visi dan Misi Pemerintah Kabupaten Bogor. Visi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor tahun adalah: Terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat miskin secara mandiri dan bermartabat serta mengurangi penduduk miskin Kabupaten Bogor pada Tahun Adapun misi yang diemban selama 5 tahun kedepan adalah: 1) Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin baik laki-laki baik maupun perempuan; 2) Memandirikan masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan; 3) Mensinergikan seluruh kebijakan dan aksi publik guna penanggulangan kemiskinan dan pencapaian tujuan pembangunan. Tujuan umum penanggulangan kemiskinan dalam jangka panjang di Kabupaten Bogor adalah melindungi dan memenuhi hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat miskin secara bertahap serta memandirikan masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga terbebas dari belenggu kemiskinan. Adapun tujuan khusus yang diselaraskan dengan misi dan sasaran yang diinginkan adalah sebagaimana yang tersaji dalam Lampiran 2. Prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah: 1) Keberpihakan; 2) Partisipatif; 3) Berwawasan Gender; 4) Keberlanjutan; 5) Pemberdayaan; 6) Meningkatkan Produktivitas; 7) Kebersamaan; 8) Keterbukaan; 9) Akuntabilitas atau dapat dipertanggungjawabkan; dan 10) Sinergitas/Keterpaduan. Adapun arah kebijakan yang ditempuh adalah: 1. Menaikkan anggaran program-program yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penanggulangan kemiskinan, dengan melaksanakan pendekatan pemberdayaan berbasis komunitas dan kegiatan padat karya;

96 74 2. Menciptakan good governance untuk mendorong partisipasi aktif seluruh stakeholders dalam penanggulangan kemiskinan; 3. Melanjutkan program-program yang dinilai berhasil dalam mengakselerasi penanggulangan kemiskinan; 4. Akselerasi pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas harga terutama bahan makanan pokok Strategi dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Strategi umum yang ditempuh dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah: 1) Pemberdayaan Masyarakat; 2) Perluasan Kesempatan; 3) Peningkatan Kapasitas dan Sumberdaya Manusia; 4) Perlindungan Sosial; 5) Peningkatan Kualitas Lingkungan. Sementara strategi khususnya antara lain: 1. Perluasan kesempatan dalam pemenuhan hak-hak dan kebutuhan dasar serta peningkatan taraf hidup masyarakat miskin secara berkelanjutan; 2. Peningkatan kapasitas baik kemampuan dasar maupun kemampuan berusaha masyarakat miskin agar dapat beradaptasi dan memanfaatkan perubahanperubahan yang terjadi; 3. Memberikan perlindungan sosial dan rasa aman bagi kelompok rentan (jompo, penyandang cacat, perempuan kepala rumah tangga) tanpa diskriminasi; 4. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya pemerintah maupun sosial, ekonomi, dan budaya serta memperluas partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam penganbilan kepurusan kebijakan publik (mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi); 5. Memperluas jaringan kemitraan dan meningkatkan koordinasi antar SKPD terkait serta seluruh stakeholder baik tingkat lokal/regional/nasional guna mendukung kebijakan penanggulangan kemiskinan. Adapun kebijakan strategis sebagai landasan operasional rencana aksi untuk masing-masing sektor yang akan mencakup kebijakan strategis pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin ditempuh dengan 1. Kebijakan Strategis Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat; 2. Kebijakan Strategis Peningkatan Kesehatan dan Pemenuhan Gizi Masyarakat; 3. Kebijakan Strategis Peningkatan Infrastuktur dan Pengembangan Wilayah;

97 75 4. Kebijakan Strategis Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; 5. Kebijakan Strategis Peningkatan Perlindungan Sosial; 6. Kebijakan Strategis Pengarusutamaan Gender; Penjelasan mengenai langkah strategis ke-enam kebijakan tersebut ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14. Kebijakan dan Langkah-Langkah Strategis Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor No. Kebijakan Strategis Program/Langkah Strategis 1. Peningkatan Kualitas 1. Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan Pendidikan Masyarakat 2. Peningkatan pelayanan pendidikan 2. Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Pemenuhan Gizi Masyarakat 1. Peningkatan pelayanan kesehatan 2. Peningkatan kesehatan ibu dan anak 3. Penurunan Angka Kematian Bayi 3. Peningkatan Infrastruktur 1. Penerobosan isolasi fisik daerah dan Pengembangan Wilayah 2. Membangun fasilitas umum guna mendukung pembangunan pusat-pusat pertumbuhan baru 4. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 1. Pemberian peluang atau akses yang lebih besar pada aset produksi 2. Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi masyarakat 3. Penguatan industri rakyat 4. Mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri 5. Pengembangan kawasan pertanian 6. Perwilayahan komoditas 7. Membangun dan mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian 8. Menciptakan iklim usaha yang kondusif 9. Meningkatkan keterlibatan institusi non pemerintah 10. Membentuk forum komunikasi dan meningkatkan koordinasi 5. Peningkatan Perlindungan Sosial 1. Pemberian bantuan bagi panti-panti jompo dan panti asuhan anak 2. Pelatihan bagi masyarakat penyandang masalah sosial 3. Pemberian bantuan bagi masyarakat yang mengalami bencana 4. Pelayanan kartu sehat bagi masyarakat miskin guna memperoleh layanan kesehatan gratis 5. Membangun dan memelihara kamtibmas yang dilandasi rasa kebersamaan, persatuan, dan kesatuan 6. Pengarusutamaan Gender 1 Kesetaraan gender dan pemberdayaan 2 Peningkatan kualitas hidup perempuan 3 Peningkatan peran dan kemampuan kelembagaan perempuan 4 Pemberdayaan perempuan pada keluarga miskin 5 Pembinaan Keluarga Berencana Sumber: Dokumen SPKD Kabupaten Bogor, 2007

98 Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Keberadaan TKPK dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tercantum dalam dokumen SKPD Tahun cukup menjadi acuan bagi tetap terprioritaskannya upaya penanggulangan kemiskinan di tahun-tahun berikutnya. Namun SPKD merupakan cerminan dari Visi dan Misi Kepala Daerah Kabupaten Bogor sebagaimana yang tercantum dalam Renstra Tahun Seiring terjadinya pergantian Kepala Daerah pada tahun 2008, maka perlu dikaji sejauhmana kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut tetap konsisten dilaksanakan oleh pemerintahan yang baru melalui kebijakan dalam RPJMD tahun Untuk mengetahui implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang terpadu dengan RPJMD dilakukan analisis isi terhadap kebijakan dalam RPJMD dengan enam kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam dokumen SPKD berikut implementasinya Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor Tahun disusun berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 7 Tahun RPJMD merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah ke dalam strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, program prioritas Kepala Daerah, dan arah kebijakan keuangan daerah, dengan mempertimbangkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bogor Tahun Di dalam RPJMD Tahun telah ditetapkan dua arah rencana kebijakan yang dianggap strategis untuk memenuhi tutuntan masyarakat Kabupaten Bogor, yaitu Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Arah kebijakan yang diwajibkan meliputi 26 urusan: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan Umum; 4) Perumahan; 5) Penataan Ruang; 6) Perencanaan Pembangunan; 7) Perhubungan; 8) Lingkungan Hidup; 9) Pertanahan; 10) Kependudukan dan catatan Sipil; 11) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 12) Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera; 13) Sosial; 14) Ketenagakerjaan; 15) Koperasi dan UKM; 16) Penanaman Modal; 17) 12 Sejak tahun 2008, tata cara pertanggungjawaban Kepala Daerah tidak ditetapkan berdasarkan Renstra melainkan berdasarkan RPJMD. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah kini digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

99 77 Kebudayaan; 18) Pemuda dan Olahraga; 19) Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri; 20) Otonomi Daerah, Pembantuan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian; 21) Ketahanan Pangan; 22) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; 23) Statistik; 24) Kearsipan; 25) Komunikasi dan Informatika; dan 26) Perpustakaan. Sedangkan arah kebijakan yang menjadi pilihan meliputi 8 urusan: 1) Pertanian; 2) Kehutanan; 3) Energi dan Sumberdaya Mineral; 4) Pariwisata; 5) Perikanan; 6) Perdagangan; 7) Industri; dan 8) Ketransmigrasian. Dalam rangka penggunaan analisis isi, kebijakan dalam RPJMD akan dijadikan sasaran dalam melihat indikator-indikator apa saja yang akan dijadikan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor pada periode tahun Hasil dari analisis isi, diketahui bahwa indikator-indikator penanggulangan kemiskinan yang terpilih meliputi 15 kebijakan pembangunan yang terdiri dari urusan: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan Umum; 4) Perumahan; 5) Penataan Ruang; 6) Kependudukan; 7) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 8) Sosial; 9) Koperasi dan UKM; 10) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; 11) Pertanian dan Kehutanan; 12) Energi dan Sumberdaya Mineral; 13) Pariwisata; 14) Perikanan; serta 15) Industri dan Perdagangan, lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sekalipun terjadi pergantian Kepala Daerah, Pemerintah Kabupaten Bogor tetap konsisten mendukung ke-enam kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tercantum dalam dokumen SPKD Tahun Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam LAKIP SKPD Seiring dengan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan dan penyelenggaraan pemerintah daerah diorientasikan pada prinsip-prinsip desentralisasi dengan memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengelola wilayahnya. Prinsip ini menjadi dasar bagi penyelenggaraan daerah dalam rangka mendorong dan mendukung pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi legislatif daerah, serta memberikan pelayanan yang lebih baik.

100 78 Kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab tersebut memiliki konsekuensi terhadap daerah untuk mampu mengelola pemerintahannya dengan baik. Salah satu bentuk kewenangan yang luas adalah dimana daerah memiliki keleluasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam bidang perencanaan dan pengendalian pembangunan. Untuk melihat implementasi upaya Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya, dilakukan analisis isi terhadap Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintahan (LAKIP) yang ada di Kabupaten Bogor. Dengan memilah pelaksanaan program/kegiatan dalam LAKIP diperoleh data mengenai adanya program/kegiatan yang merupakan implementasi dari upaya penanggulangan kemiskinan. Periode laporan yang dianalisis adalah LAKIP Tahun Anggaran 2007 dan 2008 yang mencakup program/kegiatan penyelenggaraan urusan pemerintahan, tugas pembantuan yang diterima baik dari pusat maupun propinsi, dan kegiatan-kegiatan pendampingan/penunjang atau pendukung program. Hasil analisis isi yang mensinergikan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan program/kegiatan dalam LAKIP Tahun Anggaran diperoleh gambaran bahwa seluruh kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam dokumen SPKD diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan-kegiatan pembangunan di Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan adanya relevansi antara kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan pelaksanaan pembangunan daerah di Kabupaten Bogor. Untuk mengetahui lebih seksama program/kegiatan apa saja yang merupakan implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan pada tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan pada tahun 2008 dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil analisis tersebut, terlihat bahwa dalam mengimplementasikan suatu kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak hanya melibatkan satu SKPD saja, tetapi didukung pula dengan program/kegiatan dari SKPD lainnya. Dalam mengimplementasikan Kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat, SKPD yang terlibat hanyalah satu yaitu Dinas Pendidikan. Sementara terdapat 3 unit SKPD yang terlibat dalam mengimplementasikan Kebijakan Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Pemenuhan Gizi Masyarakat. Kebijakan yang paling banyak melibatkan SKPD adalah Kebijakan Pemberdayaan

101 79 Ekonomi Rakyat (6 unit SKPD), Kebijakan Pengarusutamaan Gender (6 unit SKPD) dan Kebijakan Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Daerah (5 unit SKPD). Sementara itu Kebijakan Peningkatan Perlindungan Sosial hanya diimplementasikan oleh 2 unit SKPD (Tabel 15) No Tabel 15. Jumlah SKPD yang Terlibat dalam Mengimplementasikan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor. Jenis Kebijakan Jumlah SKPD yang terlibat 1. Pendidikan 1 Dinas Pendidikan Keterangan 2. Kesehatan 3 Dinas Kesehatan, BPMKS, Bagian Sosial 3. Infrastruktur 5 Bappeda, Dinas Cipta Karya, BPMKS, Dinas Pertambangan, Dinas Pertanian dan Kehutanan 4. Ekonomi 6 BPMKS, Kantor Koperasi dan UKM, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 5. Sosial 2 BPMKS dan Satpol PP 6. Gender 6 Bagian Sosial, BPMKS, Disperindag, Kantor Koperasi dan UKM, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Disdukcapil dan KB Berdasarkan komponen program dan kegiatan yang terlibat dalam mendukung implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor, pada tahun 2007 terdapat 60 program yang terlibat yang mencakup 146 jenis kegiatan. Jumlah seluruh kegiatan yang terlibat dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada tahun 2007 adalah 171 kegiatan dengan 25 diantaranya merupakan kegiatan pendukung/pendampingan 13. Pada tahun 2008, sekalipun terjadi penurunan jumlah program, jumlah kegiatan yang terlibat meningkat menjadi 189 kegiatan, dimana terdiri dari 166 jenis kegiatan yang ditunjang oleh 23 kegiatan pendukung/pendampingan (Tabel 16). Kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat merupakan kebijakan yang diimplementasikan oleh paling banyak kegiatan, yaitu sebanyak 35 jenis kegiatan pada tahun 2007 dan 55 jenis kegiatan pada tahun Sedangkan kebijakan yang paling sedikit diimplementasikan adalah Kebijakan Pengarusutamaan Gender, yaitu sebanyak 17 jenis kegiatan pada tahun 2007 dan 13 jenis kegiatan pada 13 Kegiatan pendukung/penunjang adalah kegiatan yang sama jenis dan sasarannya tapi berasal dari sumber dana yang berbeda. Kegiatan Pendampingan adalah kegiatan yang bersumber dana dari APBD untuk memfasilitasi kegiatan utama baik yang berasal dari Pusat maupun Propinsi.

102 80 tahun Namun jika dilihat dari segi jumlah implementasi program, Kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat merupakan kebijakan yang paling banyak melibatkan program yaitu sebanyak 16 program (baik pada tahun 2007 maupun 2008) sehingga unit SKPD yang terlibat dalam mendukung kebijakan ini pun bervariasi. No Tabel 16. Jumlah Komponen Program dan Kegiatan yang Mendukung Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2007 dan Jenis Kebijakan Program Jenis Kegiatan Komponen Kegiatan Pendukung/ Pendampingan Jumlah Kegiatan Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Ekonomi Sosial Gender Jumlah Berdasarkan sumber dana yang digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan penanggulangan kemiskinan, selain dari APBD, Pemerintah Kabupaten Bogor juga menerima program dan kegiatan dari tugas pembantuan yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Jawa Barat, dan Luar Negeri. Namun demikian melalui kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam DPA Kabupaten Bogor saja sebenarnya sudah cukup memadai untuk mengimplementasikan seluruh kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Bogor. Berdasarkan asal dananya, jumlah kegiatan yang dibiayai oleh APBD umumnya adalah yang paling banyak, yaitu 109 kegiatan pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 113 pada tahun 2008 (Tabel 17). Sedangkan Tugas Pembantuan yang diterima dan tergolong mendukung implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan pada tahun 2007 mencakup 18 kegiatan yang didanai oleh APBD Propinsi Jawa Barat, 15 kegiatan dari dana dekonsentrasi, dan 28 kegiatan didanai oleh APBN. Pada Tahun 2008 kondisi ini mengalami peningkatan menjadi 20 kegiatan didanai oleh APBD Propinsi Jawa Barat, 26 kegiatan dari dana dekonsentrasi, dan 29 kegiatan didanai oleh APBN. Pada tahun 2007 dan 2008, juga terdapat masing-masing satu kegiatan yang didanai oleh pihak luar negeri yaitu

103 81 kegiatan International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC) yang didanai oleh ILO (2007) dan kegiatan Pemantauan Wilayah Setempat Konsumsi Garam Beryodium Untuk Semua yang didanai oleh UNICEF (2008). Tabel 17. Jumlah Implementasi Kegiatan yang Mendukung Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008 Berdasarkan Sumber Dana Sumber Dana Jumlah Jenis APBD Dana Luar No APBD APBN Kegiatan Kebijakan Propinsi Dekonsentrasi Negeri Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Ekonomi Sosial Gender Jumlah Akan tetapi banyaknya kegiatan saja tidak cukup mencerminkan bahwa kegiatan mencapai sasaran dan sesuai dengan output yang diharapkan. Kemampuan anggaran sangat menentukan kemampuan menangani luasnya cakupan kegiatan dalam mencapai tujuan. Alokasi anggaran yang dibelanjakan dalam mendukung implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor pada tahun 2007 cukup besar yaitu sebesar Rp 377,3 miliar atau 23,22 persen dari total APBD Tahun 2007 (sebesar Rp 1,62 triliun). Dibandingkan tahun 2008, jumlah ini mengalami penurunan menjadi sebesar Rp 315,5 miliar atau hanya 16,86 persen dari total APBD Tahun 2008 (sebesar Rp 1,87 triliun). Pada tahun 2007, porsi anggaran terbesar digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat yaitu sebesar Rp 273,6 miliar, disusul kebijakan Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (Rp 40,9 miliar), Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Pemenuhan Gizi Masyarakat (Rp 33,8 miliar), Peningkatan Perlindungan Sosial (Rp 20,03 miliar), Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Rp 5,78 miliar), dan Pengarusutamaan Gender (Rp 3,13 miliar). Sumber dana yang digunakan ternyata sangat tergantung pada Dana Dekonsentrasi yaitu sebesar Rp 217,9 miliar (Tabel 18). Jika dilihat dari proporsi sumber dananya, penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor sangat

104 82 tergantung pada sumber dana dari luar APBD. Terutama untuk mengimplementasikan kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat, Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Pemenuhan Gizi Masyarakat, serta Peningkatan Perlindungan Sosial. Tabel 18. Jumlah Anggaran Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2007 (dalam rupiah) No Sumber Dana Jenis Jumlah APBD Dana Kebijakan APBD APBN Luar Negeri Anggaran Propinsi Dekonsentrasi 1. Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Ekonomi Sosial Gender Jumlah Pada tahun 2008, porsi anggaran terbesar juga digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat yaitu sebesar Rp 172,3 miliar, disusul kebijakan Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (Rp 69,6 miliar), Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Pemenuhan Gizi Masyarakat (Rp 33,46 miliar), Peningkatan Perlindungan Sosial (Rp 29,05 miliar), Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Rp 9,56 miliar), dan Pengarusutamaan Gender (Rp 1,43 miliar). Pada tahun anggaran ini, terjadi penurunan alokasi anggaran untuk kebijakan pendidikan, kesehatan, dan pengarusutamaan gender, tetapi terdapat peningkatan pada alokasi dana untuk kebijakan Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, dan Peningkatan Perlindungan Sosial (Tabel 19). Tabel 19. Jumlah Anggaran Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2008 (dalam rupiah) No Sumber Dana Jenis Jumlah APBD Dana Kebijakan APBD APBN Luar Negeri Anggaran Propinsi Dekonsentrasi 1. Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Ekonomi Sosial Gender Jumlah

105 83 Pada tahun 2008, sumber dana yang digunakan masih tergantung pada Dana Dekonsentrasi yaitu sebesar Rp 140,54 miliar. Dari proporsi sumber dananya, penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor di tahun ini juga masih tergantung pada sumber dana dari luar APBD, terutama untuk mengimplementasikan kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat, Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, serta Peningkatan Perlindungan Sosial. Jika dilihat dari kinerja meningkatnya jumlah kegiatan pada periode tahun analisis, ternyata tidak terdapat hubungan yang positif dengan berkurangnya angka kemiskinan dari tahun 2007 ke tahun Kondisi yang ada justru angka kemiskinan pada periode tersebut meningkat 12,93 persen dari jiwa pada tahun 2007 menjadi jiwa pada tahun Kenaikan jumlah kegiatan yang sangat signifikan pada implementasi kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat (meningkat 18 kegiatan) dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Meningkat 9 kegiatan) tidak cukup membantu mengurangi jumlah kemiskinan (Gambar 16). Gambar 16. Kondisi Jumlah Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Kebijakan pada Tahun 2007 dan 2008 Di sisi anggaran, alokasi untuk anggaran penanggulangan kemiskinan juga menurun cukup signifikan yaitu sebanyak 16,31 persen dari Rp 377 miliar (2007) menjadi Rp 315,5 miliar (2008), dimana anggaran untuk kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat masih sangat dominan (Gambar 17). Di sisi lain

106 84 anggaran untuk kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat sangat didominasi kegiatan pemberian Beasiswa dan Bantuan Operasional Sekolah yaitu mencapai 71,5 persen (2007) dan 58,9 persen (2008) dari keseluruhan anggaran pada kebijakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat. Peningkatan alokasi anggaran terjadi pada kebijakan Peningkatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah namun tentunya pengaruhnya tidak akan secara langsung mengurangi kemiskinan. Kebijakan lain yang alokasi anggarannya meningkat adalah kebijakan Peningkatan Perlindungan Sosial, namun peningkatan alokasi anggaran ini didominasi kegiatan Program Keluarga Harapan yang mencapai 76,6 persen dari total alokasi anggaran kebijakan Peningkatan Perlindungan Sosial. Gambar 17. Kondisi Alokasi Anggaran Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Kebijakan pada Tahun 2007 dan 2008 (dalam miliar rupiah) Keterpaduan Antar Program/Kegiatan Pada umumnya seluruh program/kegiatan saling terpadu dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Namun jika dilihat dari jenis sasarannya, program/kegiatan ini dapat dikelompokkan sebagai kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin dan kegiatan yang sasarannya tidak langsung kepada masyarakat miskin. Beberapa kegiatan yang sasarannya langsung kepada masyarakat miskin misalnya adalah Beasiswa bagi Siswa Putus Sekolah,

107 85 Penyelenggaraan Kejar Paket A/B/C, Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin, Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni, Permodalan bagi Usaha Mikro Kecil, kegiatan-kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan yang sasarannya tidak langsung kepada masyarakat miskin misalnya: Pembangunan Sarana dan Prasarana Penunjang Pendidikan, Revitalisasi Posyandu, Pengembangan Jaringan Listrik Pedesaan, Pengembangan Agro Industri Pedesaan, Bantuan Tanggap Darurat Bencana, Pembinaan Keluarga Berencana, dan lain-lain. Adanya penyertaan dua jenis kegiatan ini sebagai wujud implementasi kebijakan yang dipengaruhi oleh kebutuhan langkah strategis dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan. Dalam kebijakan tersebut upaya penanggulangan kemiskinan dipandang sebagai sebuah pekerjaan sistem, dimana untuk mengentaskan kemiskinan perlu dipertimbangkan juga aspek-aspek yang mempengaruhi kemiskinan. Sebagaimana hasil refleksi kemiskinan oleh masyarakat melalui metode PRA pada tahun 2007 yang mengamanatkan bahwa persoalan kemiskinan di Kabupaten Bogor berputar pada kurangnya sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, listrik, air bersih, aksesibilitas terhadap sarana umum, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, rendahnya harga hasil produksi, faktor keterisoliran, serta belum optimalnya pengarusutamaan gender dan perlindungan anak. Upaya mencapai keberhasilan suatu kegiatan juga didukung pula oleh langkah koordinatif dari masing-masing SKPD dalam mencapai tujuan kegiatan. Langkah yang dilakukan adalah dengan melaksanakan kegiatan penunjang atau pendampingan terhadap suatu kegiatan inti yang menjadi fokus utama. Beberapa fokus kegiatan yang melibatkan lintas instansi dan alokasi beragam sumber dana diantaranya adalah Imbal Swadaya, Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin, Penyediaan Sarana Air Bersih dan Sanitasi, Desa Siaga, Gerakan Masyarakat Mandiri, Pelatihan dan Pembentukan KUBE PMKS, Pemberdayaan Fakir Miskin, Pembangunan berbasis Pemberdayaan Masyarakat, Penanganan WTS, Perkuatan Irigasi Partisipatif (WISMP), dan P2WKSS. Adanya pelaksanaan lintas instansi berdampak negatif pada terjadinya kegiatan yang tumpang tindih (overlapping) akibat tumpang tindihnya tupoksi masingmasing instansi dan kurangnya koordinasi pada saat perencanaan. Namun untuk mencegah tumpang tindih di sasaran yang sama, Pemerintah Kabupaten Bogor

108 86 mengambil jalan keluar dengan mengalokasikan kegiatan-kegiatan tersebut pada lokasi yang berbeda. Kegiatan yang tumpang tindih dapat dikategorikan tumpang tindih dalam hal kesamaan fokus keluaran dari kegiatan yang berbeda dan dari kegiatan yang sama. Beberapa kegiatan yang tumpang tindih dalam hal fokus keluaran dari kegiatan yang berbeda adalah: 1) Fokus keluaran pembangunan sarana pendidikan, jembatan, dan irigasi yang bertumpang tindih dengan fokus keluaran dari sub kegiatan dalam Imbal Swadaya, PNPM Mandiri (PPK/P2KP), Raksa Desa, dan WISMP; dan 2) Penertiban WTS yang bertumpang tindih dengan fokus keluaran dari sub kegiatan Pembinaan WTS Melalui Upaya Repatriasi dan Penyaluran ke Panti Rahabilitasi WTS (BPMKS) dan Penertiban PSK (Sat Pol PP). Beberapa kegiatan yang tumpang tindih dalam fokus keluaran dari kegiatan yang sama adalah: 1) Kegiatan Perkuatan Irigasi Partisipatif (WISMP) yang terdapat pada Bappeda, Dinas Cipta Karya, dan Dinas Pertanian dan Kehutanan dengan dana dari APBN dan APBD; dan 2) Kegiatan Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar yang terdapat pada Dinas Kesehatan dan Dinas Cipta Karya. didanai oleh APBN, Dana Dekonsentrasi, dan APBD Harmonisasi terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan Pusat Jika melihat sebaran dan proporsi jumlah implementasi program/kegiatan penanggulangan kemiskinan, program dan kegiatan yang bersumber dana dari luar APBD cukup banyak berperan dalam menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Bogor. Hal ini terlihat pula dari sebaran kegiatan APBN yang mendukung ke-enam kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Ini membuktikan bahwa program penanggulangan kemiskinan dari Pemerintah Pusat bersinergi dengan baik terhadap program penanggulangan kemiskinan daerah, khususnya di Kabupaten Bogor. Program/kegiatan yang bersumber dana APBN murni ataupun APBN melalui dana dekonsentrasi ke Propinsi Jawa Barat pada dasarnya juga terdiri dari program/kegiatan yang sasarannya langsung dan yang tidak langsung kepada masyarakat miskin. Selaras dengan Kelompok Program Penanggulangan Nasional maka kondisi program/kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor

109 87 yang bersumber dana APBN dan termasuk dalam Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial adalah: Bantuan Siswa Miskin, BOS, Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin, Bantuan Jaminan Sosial bagi Penyandang Cacat Berat, Program Keluarga Harapan (PKH), dan Bantuan Subsidi Tambahan Biaya Pemenuhan Kebutuhan Dasar Anak Yatim/Piatu Terlantar Dalam Panti. Sedangkan kegiatan yang termasuk dalam Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat adalah: program-program dalam PNPM Mandiri (PPIP, PPK, P2KP, dll), Imbal Swadaya, Pembinaan Keluarga Berencana, BLPS, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan yang termasuk dalam Kelompok Program Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil untuk Kemandirian Masyarakat masih belum ada yang bersumber dana dari APBN, namun ada pada kegiatan Fasilitasi Permodalan bagi UMKM di Pedesaan melalui Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM) yang bersumber dana dari APBD. Jika dilihat dari aspek program/kegiatan berdasarkan sasaran yang langsung kepada masyarakat miskin, maka implementasinya lebih banyak yang tergolong dalam Kelompok Program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Program/kegiatan bersumber dana APBN yang termasuk dalam Kelompok Pemberdayaan Masyarakat dengan sasaran langsung masyarakat miskin hanyalah BLPS-KUBE. Dengan demikian upaya mengurangi jumlah kemiskinan di Kabupaten Bogor umumnya masih dalam bentuk memberikan bantuan langsung tunai (cash programme) dan bukan memprioritaskan pemberdayaan masyarakat miskin. Dengan melihat adanya tipe kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor yang tergolong kemiskinan kultural, memberikan bantuan cash programme hanya akan menambah sasaran penduduk miskin menjadi semakin malas dan tidak akan keluar dari kemiskinan. Program/kegiatan yang tercakup dalam PNPM Mandiri pun pada dasarnya mempunyai isu sentral penanggulangan kemiskinan masyarakat melalui pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas melalui pemberdayaan masyarakat untuk menangani permasalahan kemiskinan struktural, namun ternyata tidak dapat mengurangi jumlah kemiskinan secara signifikan karena sasarannya lebih kepada komunitas masyarakat secara umum daripada langsung kepada masyarakat miskin. Berdasarkan dokumen SPKD (2007), persoalan kemiskinan di Kabupaten Bogor pada umumnya belum dapat diatasi secara maksimal oleh program-program dari Pemerintah Pusat dikarenakan berbagai kendala, diantaranya:

110 88 1. Secara internal Pemerintah Daerah melalui instansi pelaksana masih memandang program penanggulangan kemiskinan sebagai sebuah proyek dan dilihat hanya dari sudut pandang ekonomi; 2. Masyarakat diposisikan sebagai obyek dan penerima pasif dari program; 3. Usulan maupun pilihan-pilihan yang diajukan masyarakat seringkali diintervensi dan diatur oleh aparat birokrasi, dimana aparat birokrasi menganggap dirinya lebih tahu dari masyarakat, sehingga melemahkan semangat partisipasi yang pada akhirnya dapat mematikan inisiatif lokal; 4. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sering bertentangan dengan prinsip partisipasi, penghargaan terhadap hak masyarakat, serta lemahnya akuntabilitas publik; 5. Kebijakan Pemerintah Pusat seringkali tidak memperhatikan hak kepemilikan sumber daya alam oleh masyarakat, tidak memproteksi produksi masyarakat, ataupun tidak menjamin kebutuhan pasar untuk hasil bumi; 6. Terbatasnya infrastruktur dan sarana transportasi. Dengan demikian apabila disinergikan antara program pusat yang diluncurkan dengan kendala yang dihadapi di Kabupaten Bogor, maka permasalahan kemiskinan semakin rumit diatasi. Agar program/kegiatan penanggulangan kemiskinan dapat tepat sasaran dan relevan dengan kondisi masyarakat, jalan keluar yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan program/kegiatan yang memberdayakan fakir miskin secara langsung dan melibatkan partisipasi masyarakat untuk sama-sama mengentaskan kemiskinan. Berdasarkan Lampiran 5, kegiatan yang termasuk dalam Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat dan sasaran utamanya memberdayakan fakir miskin hanya terdapat pada kegiatan-kegiatan seperti pelatihan keterampilan bagi PMKS (sumber dana APBD) dan BLPS-KUBE (sumber dana APBN). Pada kegiatan BLPS-KUBE, sekalipun proporsi kegiatan ini hanya 0,47 persen dari total anggaran penanggulangan kemiskinan tahun 2008, tapi efeknya dapat mengentaskan fakir miskin sebanyak 268 KK atau mewakili jiwa. Dengan demikian mengembangkan program ini sangat berpotensi mengurangi kemiskinan karena sasarannya adalah langsung memberdayakan rumah tangga miskin dan di dalamnya melibatkan partisipasi masyarakat serta perguliran usaha sehingga keberhasilannya dapat ditularkan untuk mengentaskan fakir miskin lainnya.

111 89 BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR Kegiatan-kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS merupakan salah satu bentuk kegiatan memberdayakan fakir miskin. Melalui kegiatan ini, output yang dihasilkan adalah terbentuknya KUBE PMKS yang akan menjalankan Usaha Ekonomis Produktif sesuai dengan keterampilan yang diajarkan. Melalui KUBE ini diharapkan PMKS dapat saling berinteraksi, lebih percaya diri, dan dapat meningkatkan pendapatan keluarganya sehingga bisa keluar dari kemiskinan. Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui mekanisme BLPS merupakan program bantuan Pemerintah Pusat dalam rangka penguatan modal KUBE-KUBE tersebut. Program ini selain menggunakan pendekatan pemberdayaan ekonomi dan sosial juga berpotensi meningkatkan status sosial masyarakat miskin karena melibatkan partisipasi masyarakat sekitarnya. Pada Bab ini akan dievaluasi kondisi KUBE yang ada di Kabupaten Bogor dan pelaksanaan BLPS mulai dari pelaksanaan program, kendala dan permasalahan, hingga potensi pengembangan program Potensi KUBE di Kabupaten Bogor KUBE di Kabupaten Bogor umumnya dibentuk oleh instansi sosial pemerintah dari hasil bimbingan sosial dan pelatihan keterampilan bagi PMKS yang di dalamnya terdapat pemberian stimulan usaha. Berdasarkan data BPMKS (2008) dan Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor (2009) 14, jumlah KUBE yang telah dibentuk dari hasil kegiatan-kegiatan pelatihan terhadap PMKS di seluruh wilayah Kabupaten Bogor selama periode tahun adalah sebanyak 505 kelompok (Tabel 20). KUBE ini terbentuk dari kegiatan seperti: 1) Pembinaan Anak Jalanan; 2) Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan Usaha Ekonomis Produktif (UEP) bagi Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE); 3) Rehabilitasi Penyandang Masalah Sosial Berbasis Masyarakat; 4) Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan bagi Penyandang Cacat; 14 Dengan telah dilakukannya penataan kembali Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Bogor pada tahun 2008, Bidang Kesejahteraan Sosial BPMKS dipindahkan ke Disnakertrans Kabupaten Bogor. Pada tahun 2009, BPMKS berubah menjadi BPMPD dan Disnakertrans berubah menjadi Dinsosnakertrans.

112 90 5) Pelatihan Keterampilan Usaha Bersama bagi Fakir Miskin; serta 6) Bimbingan Sosial dan Pemulihan Tingkat Perekonomian Masyarakat Eks Korban Bencana. Tabel 20. KUBE PMKS Hasil Pembentukan Kegiatan Pelatihan Keterampilan di Kabupaten Bogor Tahun No Jenis PMKS Tahun Anggaran Jumlah 1 Anak Jalanan WRSE Anak Putus Sekolah Penyandang Cacat Fakir Miskin Eks Korban Bencana Alam Jumlah Sumber: BPMKS ( ) dan Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor, 2009 Jumlah KUBE terbentuk paling banyak adalah KUBE WRSE 15 yaitu sebanyak 157 kelompok sedangkan yang paling sedikit adalah KUBE Penyandang Cacat yaitu sebanyak 34 kelompok. KUBE Fakir Miskin sendiri baru terbentuk sebanyak 89 kelompok, hal ini dikarenakan pelaksanaan kegiatan Pelatihan Keterampilan Usaha Bersama bagi Fakir Miskin baru dimulai sejak Tahun Anggaran Jika dilihat dari tahun pelaksanaan kegiatan, jumlah KUBE yang paling banyak dibentuk berasal dari hasil pelatihan keterampilan pada Tahun Anggaran 2007, hal ini seiring dengan kebijakan pada tahun tersebut yang memprioritaskan penanggulangan kemiskinan. Dampak dari kesungguhan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan pada tahun 2007 adalah dikucurkannya Anggaran Biaya Tambahan bagi program/kegiatan yang mendukung pengentasan kemiskinan. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 20, KUBE yang terbentuk dari hasil pelaksanaan Pelatihan Keterampilan bagi Fakir Miskin Tahun Anggaran 2007 menempati urutan terbanyak yaitu 54 kelompok disusul oleh KUBE WRSE sebanyak 32 Kelompok, dan KUBE Masyarakat Eks Korban Bencana sebanyak 36 kelompok. Sebagai pembinaan lebih lanjut, mulai Tahun Anggaran 2008, Instansi Sosial Kabupaten Bogor melaksanakan kegiatan Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan Lanjutan bagi KUBE Keluarga Fakir Miskin sebanyak 10 KUBE di tiap tahun anggaran. 15 Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) adalah seorang wanita yang berperan sebagai pencari sumber nafkah utama keluarga (wanita kepala keluarga) atau pembantu pencari sumber nafkah keluarganya yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

113 91 Akan tetapi berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan narasumber, proses pemberdayaan melalui KUBE dari sumber dana APBD hanyalah sebatas pemberian pelatihan keterampilan. Tidak adanya pendampingan dan pengawasan terhadap kelanjutan penerapan hasil keterampilan menjadi usaha mengakibatkan proses pemberdayaan terhadap PMKS menjadi tidak maksimal. Pihak Instansi Sosial sendiri tidak sanggup mengalokasikan dana bagi proses pendampingan dan penguatan modal selanjutnya Pelaksanaan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui BLPS- KUBE Menjelang akhir tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui BPMKS menerima dana BLPS dari Departemen Sosial RI yang diwujudkan dalam bentuk penguatan modal usaha bagi KUBE Produktif. Sejalan dengan PNPM yang telah dicanangkan pemerintah, maka BLPS dirancang sebagai program terpadu dalam PNPM yang melibatkan berbagai stakeholder (Depsos RI, 2007). Keberadaan program ini tentunya disambut baik oleh Pemerintah Kabupaten Bogor karena bertepatan dengan keseriusan upaya pengetasan kemiskinan dalam rangka terciptanya peluang dan kesempatan pelayanan kepada fakir miskin Gambaran Umum Lokasi Menurut Bappeda Kabupaten Bogor, P2FM-BLPS diluncurkan pertamakali di Kabupaten Bogor karena adanya permintaan dari tokoh masyarakat dari Kecamatan Pamijahan yang peduli akan kemiskinan di wilayahnya. Kecamatan Pamijahan merupakan wilayah di Kabupaten Bogor yang tergolong memiliki jumlah penduduk miskin paling banyak yaitu jiwa atau atau 5,59 persen dari total penduduk Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, wilayah yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Cibungbulang ini sering sekali menerima programprogram penanggulangan kemiskinan dari pemerintah seperti: Imbal Swadaya, Raksa Desa, PNPM Mandiri, Sarana Air Bersih, dan lain-lain. Sekalipun jumlah penduduk miskinnya paling banyak, Kecamatan Pamijahan tidak termasuk dalam wilayah yang mendapatkan Program Keluarga Harapan (PKH) bagi keluarga miskinnya.

114 92 Menanggapi permintaan dari tokoh masyarakat Kecamatan Pamijahan agar ada program yang langsung mengarah pada sasaran meningkatkan taraf hidup fakir miskin, Pemerintah Kabupaten Bogor mengajukan usulan kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen Sosial RI untuk menindaklanjutinya dengan P2FM-BLPS yang baru saja dicanangkan di beberapa wilayah di Indonesia. Depsos RI menyetujui permintaan ini dengan menetapkan wilayah tetangga Kecamatan Pamijahan yaitu Kecamatan Tenjolaya untuk turut serta menerima program ini. Gambaran administratif kedua kecamatan dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Posisi Administratif Kecamatan Penerima P2FM-BLPS. Sekalipun bukan merupakan wilayah dengan jumlah penduduk miskin paling tinggi diantara wilayah terdekatnya (Kecamatan Pamijahan, Leuwiliang, Dramaga, dan Cibungbulang), Kecamatan Tenjolaya dinilai memiliki kondisi kemiskinan lebih parah karena posisinya cukup terisolir dan seluruh penduduk miskinnya tidak bermatapencaharian. Hal ini cukup ironis karena pendidikan kepala keluarga miskinnya justru lebih baik dibandingkan pendidikan kepala keluarga miskin pada wilayah di sekitarnya. Berbeda dengan Kecamatan Pamijahan, wilayah pemekaran baru dari Kecamatan Ciampea pada tahun 2003 ini termasuk dalam wilayah yang menerima Program Keluarga Harapan (PKH) bagi keluarga miskinnya. Gambaran umum Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Tenjolaya dapat dilihat pada Tabel 21.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan data SUSDA Tahun 2006 yang dibandingkan dengan 14 indikator kemiskinan dari BPS, diperoleh bahwa pada umumnya

Berdasarkan hasil analisis menggunakan data SUSDA Tahun 2006 yang dibandingkan dengan 14 indikator kemiskinan dari BPS, diperoleh bahwa pada umumnya 33 ABSTRACT ANDRI APRIYADI. The Strategic and Programs of Empowerment Poor People through Kelompok Usaha Bersama in Bogor District. Under guidance of YUSMAN SYAUKAT and FREDIAN TONNY NASDIAN. The objective

Lebih terperinci

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN 111 BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN Sekalipun pelaksanaan P2FM-BLPS di Kabupaten Bogor mengalami berbagai kendala, namun program tersebut sangat mendukung kebijakan pemberdayaan

Lebih terperinci

EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG

EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG ASEP AANG RAHMATULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG UNTUK MENSINERGIKAN PROGRAM RAKSA DESA ABAS SUDRAJAT

STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG UNTUK MENSINERGIKAN PROGRAM RAKSA DESA ABAS SUDRAJAT STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG UNTUK MENSINERGIKAN PROGRAM RAKSA DESA ABAS SUDRAJAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program ekonomi yang dijalankan negara-negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN 136 PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN (KASUS DI RW 04 DUSUN DAWUKAN DESA SENDANGTIRTO KECAMATAN BERBAH KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA) DJULI SUGIARTO

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. Kemiskinan telah ada sejak lama pada hampir semua peradaban manusia. Pada setiap belahan dunia dapat

Lebih terperinci

ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN

ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN Yudithia SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini,

Lebih terperinci

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENERAPAN ISO 9001 DI PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI DAN KONTRIBUSINYA PADA PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) SERTA PENYERAPAN TENAGA KERJA KASUS DI KABUPATEN KAMPAR TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Acuan Kebijakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Acuan Kebijakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Acuan Kebijakan Kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan

Lebih terperinci

BAB VI UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

BAB VI UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 69 BAB VI UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Sebagai upaya tindak lanjut dari latar belakang kondisi kemiskinan dan Analisis Kemiskinan Partisipatif, Pemerintah Kabupaten

Lebih terperinci

STRATEGI PENINGKATAN PENERIMAAN RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR (TKP) KABUPATEN BOGOR HASTUTI

STRATEGI PENINGKATAN PENERIMAAN RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR (TKP) KABUPATEN BOGOR HASTUTI STRATEGI PENINGKATAN PENERIMAAN RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR (TKP) KABUPATEN BOGOR HASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 34 PERNYATAAN MENGENAI KAJIAN DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hilir tahun adalah Indragiri Hilir berjaya dan gemilang Pada

BAB I PENDAHULUAN. Hilir tahun adalah Indragiri Hilir berjaya dan gemilang Pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi pembangunan jangka panjang dalam dokumen Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005 2025 adalah Indragiri Hilir berjaya dan gemilang 2025. Pada perencanaan jangka menengah,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) CHANDRA APRINOVA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 @ Hak Cipta

Lebih terperinci

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang

Lebih terperinci

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) KATARINA RAMBU BABANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Ilmu Lingkungan Wahyu

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret 2014 Bupati Bogor, RACHMAT YASIN

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret 2014 Bupati Bogor, RACHMAT YASIN KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-nya, maka Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dasar dan paling essensial dari pembangunan tidak lain adalah mengangkat kehidupan manusia yang berada pada lapisan paling bawah atau penduduk miskin, kepada

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PENYALURAN KREDIT MELALUI KOPERASI DENGAN POLA SWAMITRA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DAERAH DAN MASYARAKAT DI KOTA PEKANBARU R. MOCHTAR.

PENGEMBANGAN PENYALURAN KREDIT MELALUI KOPERASI DENGAN POLA SWAMITRA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DAERAH DAN MASYARAKAT DI KOTA PEKANBARU R. MOCHTAR. PENGEMBANGAN PENYALURAN KREDIT MELALUI KOPERASI DENGAN POLA SWAMITRA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DAERAH DAN MASYARAKAT DI KOTA PEKANBARU R. MOCHTAR. M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Upaya penanganan kemiskinan sejak zaman pemerintah Orde Baru sudah dirasakan manfaatnya, terbukti dari jumlah penurunan jumlah penduduk miskin yang terjadi antara tahun 1976

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan visi pembangunan yaitu Terwujudnya Indonesia yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-nya, maka Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2015 dapat

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR GRAFIK... xiii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-5

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya berbagai macam masalah di dalam kehidupan masyarakat seperti terjadinya PHK pada buruh kontrak, jumlah pengangguran

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS M. SAFII NASUTION

PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS M. SAFII NASUTION PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS (STUDI KASUS KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DAERAH RAWAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI DESA KIDANGPANANJUNG KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG PROPINSI

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENERAPAN ISO 9001 DI PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI DAN KONTRIBUSINYA PADA PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) SERTA PENYERAPAN TENAGA KERJA KASUS DI KABUPATEN KAMPAR TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian proses multidimensial yang berlangsung secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu terciptanya

Lebih terperinci

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER SALINAN BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRATEGI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH DALAM MENGEMBANGKAN USAHA MIKRO (Kasus LKMS BMT KUBE SEJAHTERA Unit 20, Sleman-Yogyakarta) Oleh DIAN PRATOMO

STRATEGI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH DALAM MENGEMBANGKAN USAHA MIKRO (Kasus LKMS BMT KUBE SEJAHTERA Unit 20, Sleman-Yogyakarta) Oleh DIAN PRATOMO STRATEGI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH DALAM MENGEMBANGKAN USAHA MIKRO (Kasus LKMS BMT KUBE SEJAHTERA Unit 20, Sleman-Yogyakarta) Oleh DIAN PRATOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1 Visi Visi merupakan cara pandang ke depan tentang kemana Pemerintah Kabupaten Belitung akan dibawa, diarahkan dan apa yang diinginkan untuk dicapai dalam kurun

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salam Sejahtera,

KATA PENGANTAR. Salam Sejahtera, KATA PENGANTAR Salam Sejahtera, Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunianya, penyusunan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Kabupaten Rote Ndao Tahun 2015 dapat diselesaikan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG WALIKOTA TANGERANG Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Kota Tangerang Tahun 2012 Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan kewenangan kepada

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peningkatan penduduk dari tahun 2007 sampai Adapun pada tahun 2009

I. PENDAHULUAN. peningkatan penduduk dari tahun 2007 sampai Adapun pada tahun 2009 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2008), Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan penduduk dari tahun 2007 sampai 2009. Adapun pada tahun 2009 jumlah penduduk Jawa

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret 2015 Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret 2015 Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-nya, maka Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2014 dapat

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI RUKUN TETANGGA UNTUK MENINGKATKAN KEBERDAYAAN ANGGOTA

PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI RUKUN TETANGGA UNTUK MENINGKATKAN KEBERDAYAAN ANGGOTA PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI RUKUN TETANGGA UNTUK MENINGKATKAN KEBERDAYAAN ANGGOTA ( Kasus Desa Kudi, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah ) RAHMAT IMAM SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI. Syamsul Gusri A

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI. Syamsul Gusri A EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI Oleh: Syamsul Gusri A015010245 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya

Lebih terperinci

STRATEGI KEMITRAAN DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH. Merza Gamal

STRATEGI KEMITRAAN DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH. Merza Gamal STRATEGI KEMITRAAN DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH Merza Gamal SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Isu kemiskinan masih menjadi isu strategik dan utama dalam pembangunan, baik di tingkat nasional, regional, maupun di provinsi dan kabupaten/kota. Di era pemerintahan

Lebih terperinci

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR Oleh: MARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Berbagai definisi tentang kemiskinan sudah diberikan oleh para ahli di bidangnya. Kemiskinan adalah suatu keadaan, yaitu seseorang tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2009) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Bogor merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat yang memiliki berbagai potensi yang belum dikembangkan secara optimal. Kabupaten Bogor dalam rangka mengembangkan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Nurul Hidayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN 2013-2015 Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana

Lebih terperinci

lintas program dalam penyiapan perumusan dan penyelenggaraan

lintas program dalam penyiapan perumusan dan penyelenggaraan LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA SALATIGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Terwujudnya Masyarakat Bengkulu Utara yang Mandiri, Maju, dan Bermartabat Visi pembangunan Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011-2016 tersebut di atas sebagai

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

Evaluasi Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2015

Evaluasi Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2015 Rapat Koordinasi TKPK Tahun 2015 dengan Tema : Evaluasi Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2015 Soreang, 27 November 2015 KEBIJAKAN PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN Peraturan Presiden

Lebih terperinci

PERENCANAAN KINERJA BAB. A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja

PERENCANAAN KINERJA BAB. A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja BAB II PERENCANAAN KINERJA A. Instrumen untuk mendukung pengelolaan kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik senantiasa melaksanakan perbaikan

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa kemiskinan

Lebih terperinci

STRATEGI PENINGKATAN PENERIMAAN RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR (TKP) KABUPATEN BOGOR HASTUTI

STRATEGI PENINGKATAN PENERIMAAN RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR (TKP) KABUPATEN BOGOR HASTUTI STRATEGI PENINGKATAN PENERIMAAN RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR (TKP) KABUPATEN BOGOR HASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 34 PERNYATAAN MENGENAI KAJIAN DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BUPATI WONOSOBO. selamat siang dan salam sejahtera bagi kita sekalian,

BUPATI WONOSOBO. selamat siang dan salam sejahtera bagi kita sekalian, BUPATI WONOSOBO SAMBUTAN BUPATI WONOSOBO DALAM RAPAT PARIPURNA DPRD KABUPATEN WONOSOBO PENYAMPAIAN LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN BUPATI WONOSOBO TAHUN ANGGARAN 2013 Yang terhormat, Saudara Ketua,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

Tabel 6.1 Strategi dan Arah Kebijakan Kabupaten Sumenep

Tabel 6.1 Strategi dan Arah Kebijakan Kabupaten Sumenep Tabel 6.1 Strategi dan Kabupaten Sumenep 2016-2021 Visi : Sumenep Makin Sejahtera dengan Pemerintahan yang Mandiri, Agamis, Nasionalis, Transparan, Adil dan Profesional Tujuan Sasaran Strategi Misi I :

Lebih terperinci

BAB VII ISU STRATEGIS DAN RENCANA AKSI DAERAH

BAB VII ISU STRATEGIS DAN RENCANA AKSI DAERAH BAB VII ISU STRATEGIS DAN RENCANA AKSI DAERAH 7.1. Isu Strategis Berbagai masalah yang dialami oleh miskin menggambarkan bahwa kemiskinan bersumber dari ketidakberdayaan dan ketidakmampuan dalam memenuhi

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN (Kasus di Kelurahan Cigadung Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung) ERNA SUSANTY SEKOLAH PASCA SARJANA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a.bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH - 1 - BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR

BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR 89 BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR Kegiatan-kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS merupakan salah satu bentuk kegiatan memberdayakan fakir miskin.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANAA KERJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA SALATIGAA TAHUN 2017

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANAA KERJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA SALATIGAA TAHUN 2017 PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANAA KERJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA SALATIGAA TAHUN 2017 1 PERENCANAAN KINERJA A. Perencanaan Stratejik Badan Perencanaan

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

Biro Bina Sosial, Sekretariat Daerah Propinsi Sumatera Barat

Biro Bina Sosial, Sekretariat Daerah Propinsi Sumatera Barat BAB VI INDIKATOR KINERJA BIRO BINA SOSIAL YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD 6.1. TUJUAN DAN SASARAN RPJMD Berdasarkan RPJMD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010 2015, telah ditetapkan Visi Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengahtengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan masyarakat pada suatu wilayah adalah merupakan suatu manifestasi yang diraih oleh masyarakat tersebut yang diperoleh dari berbagai upaya, termasuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa kemiskinan adalah masalah

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG WALUYO

PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG WALUYO PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG WALUYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN I. VISI Pembangunan di Kabupaten Flores Timur pada tahap kedua RPJPD atau RPJMD tahun 2005-2010 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik Daftar Tabel

Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik Daftar Tabel Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik Daftar Tabel DAFTAR ISI i ii iii v BAB I PENDAHULUAN I-1 1.1. Acuan Kebijakan I-1 1.2. Pendekatan Kebijakan Nasional I-4 1.3. Pokok Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional di Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH JEMBER TAHUN ANGGARAN 2016

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH JEMBER TAHUN ANGGARAN 2016 ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN JEMBER TAHUN ANGGARAN 2016 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama

Lebih terperinci

ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN Bab 5 ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN INDEKS KEMISKINAN MANUSIA 81 Bab 5 ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 5.1. Arah dan Kebijakan Umum Arah dan kebijakan umum penanggulangan

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG ANGGARAN BANTUAN SOSIAL Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN Setjen DPR RI

TINJAUAN TENTANG ANGGARAN BANTUAN SOSIAL Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN Setjen DPR RI TINJAUAN TENTANG ANGGARAN BANTUAN SOSIAL Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN Setjen DPR RI 1. Dasar Hukum : a. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Mengatur antara lain pemisahan peran,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN LEMBAGA SIMPAN PINJAM BERBASIS MASYARAKAT (LSP-BM) SINTUVU DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN USAHA-USAHA MIKRO TENRIUGI

PENGEMBANGAN LEMBAGA SIMPAN PINJAM BERBASIS MASYARAKAT (LSP-BM) SINTUVU DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN USAHA-USAHA MIKRO TENRIUGI PENGEMBANGAN LEMBAGA SIMPAN PINJAM BERBASIS MASYARAKAT (LSP-BM) SINTUVU DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN USAHA-USAHA MIKRO (Studi Kasus di Desa Sidondo I Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi tercatat mengalami sejarah panjang di Indonesia. Semenjak tahun 1903, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Desentralisatie wet yang menjadi

Lebih terperinci

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati Kondisi Kemiskinan di Indonesia Isu kemiskinan yang merupakan multidimensi ini menjadi isu sentral di Indonesia

Lebih terperinci

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI Antung Deddy Radiansyah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii RINGKASAN H. Antung Deddy R. Analisis Keberlanjutan Usaha

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 2 Tahun : 2015

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 2 Tahun : 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 2 Tahun : 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan juga didefinisikan

Lebih terperinci