BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR"

Transkripsi

1 89 BAB VII EVALUASI PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN MELALUI KUBE DI KABUPATEN BOGOR Kegiatan-kegiatan pelatihan keterampilan bagi PMKS merupakan salah satu bentuk kegiatan memberdayakan fakir miskin. Melalui kegiatan ini, output yang dihasilkan adalah terbentuknya KUBE PMKS yang akan menjalankan Usaha Ekonomis Produktif sesuai dengan keterampilan yang diajarkan. Melalui KUBE ini diharapkan PMKS dapat saling berinteraksi, lebih percaya diri, dan dapat meningkatkan pendapatan keluarganya sehingga bisa keluar dari kemiskinan. Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui mekanisme BLPS merupakan program bantuan Pemerintah Pusat dalam rangka penguatan modal KUBE-KUBE tersebut. Program ini selain menggunakan pendekatan pemberdayaan ekonomi dan sosial juga berpotensi meningkatkan status sosial masyarakat miskin karena melibatkan partisipasi masyarakat sekitarnya. Pada Bab ini akan dievaluasi kondisi KUBE yang ada di Kabupaten Bogor dan pelaksanaan BLPS mulai dari pelaksanaan program, kendala dan permasalahan, hingga potensi pengembangan program Potensi KUBE di Kabupaten Bogor KUBE di Kabupaten Bogor umumnya dibentuk oleh instansi sosial pemerintah dari hasil bimbingan sosial dan pelatihan keterampilan bagi PMKS yang di dalamnya terdapat pemberian stimulan usaha. Berdasarkan data BPMKS (2008) dan Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor (2009) 14, jumlah KUBE yang telah dibentuk dari hasil kegiatan-kegiatan pelatihan terhadap PMKS di seluruh wilayah Kabupaten Bogor selama periode tahun adalah sebanyak 505 kelompok (Tabel 20). KUBE ini terbentuk dari kegiatan seperti: 1) Pembinaan Anak Jalanan; 2) Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan Usaha Ekonomis Produktif (UEP) bagi Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE); 3) Rehabilitasi Penyandang Masalah Sosial Berbasis Masyarakat; 4) Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan bagi Penyandang Cacat; 14 Dengan telah dilakukannya penataan kembali Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Bogor pada tahun 2008, Bidang Kesejahteraan Sosial BPMKS dipindahkan ke Disnakertrans Kabupaten Bogor. Pada tahun 2009, BPMKS berubah menjadi BPMPD dan Disnakertrans berubah menjadi Dinsosnakertrans.

2 90 5) Pelatihan Keterampilan Usaha Bersama bagi Fakir Miskin; serta 6) Bimbingan Sosial dan Pemulihan Tingkat Perekonomian Masyarakat Eks Korban Bencana. Tabel 20. KUBE PMKS Hasil Pembentukan Kegiatan Pelatihan Keterampilan di Kabupaten Bogor Tahun No Jenis PMKS Tahun Anggaran Jumlah 1 Anak Jalanan WRSE Anak Putus Sekolah Penyandang Cacat Fakir Miskin Eks Korban Bencana Alam Jumlah Sumber: BPMKS ( ) dan Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor, 2009 Jumlah KUBE terbentuk paling banyak adalah KUBE WRSE 15 yaitu sebanyak 157 kelompok sedangkan yang paling sedikit adalah KUBE Penyandang Cacat yaitu sebanyak 34 kelompok. KUBE Fakir Miskin sendiri baru terbentuk sebanyak 89 kelompok, hal ini dikarenakan pelaksanaan kegiatan Pelatihan Keterampilan Usaha Bersama bagi Fakir Miskin baru dimulai sejak Tahun Anggaran Jika dilihat dari tahun pelaksanaan kegiatan, jumlah KUBE yang paling banyak dibentuk berasal dari hasil pelatihan keterampilan pada Tahun Anggaran 2007, hal ini seiring dengan kebijakan pada tahun tersebut yang memprioritaskan penanggulangan kemiskinan. Dampak dari kesungguhan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan pada tahun 2007 adalah dikucurkannya Anggaran Biaya Tambahan bagi program/kegiatan yang mendukung pengentasan kemiskinan. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 20, KUBE yang terbentuk dari hasil pelaksanaan Pelatihan Keterampilan bagi Fakir Miskin Tahun Anggaran 2007 menempati urutan terbanyak yaitu 54 kelompok disusul oleh KUBE WRSE sebanyak 32 Kelompok, dan KUBE Masyarakat Eks Korban Bencana sebanyak 36 kelompok. Sebagai pembinaan lebih lanjut, mulai Tahun Anggaran 2008, Instansi Sosial Kabupaten Bogor melaksanakan kegiatan Bimbingan Sosial dan Pelatihan Keterampilan Lanjutan bagi KUBE Keluarga Fakir Miskin sebanyak 10 KUBE di tiap tahun anggaran. 15 Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) adalah seorang wanita yang berperan sebagai pencari sumber nafkah utama keluarga (wanita kepala keluarga) atau pembantu pencari sumber nafkah keluarganya yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

3 91 Akan tetapi berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan narasumber, proses pemberdayaan melalui KUBE dari sumber dana APBD hanyalah sebatas pemberian pelatihan keterampilan. Tidak adanya pendampingan dan pengawasan terhadap kelanjutan penerapan hasil keterampilan menjadi usaha mengakibatkan proses pemberdayaan terhadap PMKS menjadi tidak maksimal. Pihak Instansi Sosial sendiri tidak sanggup mengalokasikan dana bagi proses pendampingan dan penguatan modal selanjutnya Pelaksanaan Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui BLPS- KUBE Menjelang akhir tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui BPMKS menerima dana BLPS dari Departemen Sosial RI yang diwujudkan dalam bentuk penguatan modal usaha bagi KUBE Produktif. Sejalan dengan PNPM yang telah dicanangkan pemerintah, maka BLPS dirancang sebagai program terpadu dalam PNPM yang melibatkan berbagai stakeholder (Depsos RI, 2007). Keberadaan program ini tentunya disambut baik oleh Pemerintah Kabupaten Bogor karena bertepatan dengan keseriusan upaya pengetasan kemiskinan dalam rangka terciptanya peluang dan kesempatan pelayanan kepada fakir miskin Gambaran Umum Lokasi Menurut Bappeda Kabupaten Bogor, P2FM-BLPS diluncurkan pertamakali di Kabupaten Bogor karena adanya permintaan dari tokoh masyarakat dari Kecamatan Pamijahan yang peduli akan kemiskinan di wilayahnya. Kecamatan Pamijahan merupakan wilayah di Kabupaten Bogor yang tergolong memiliki jumlah penduduk miskin paling banyak yaitu jiwa atau atau 5,59 persen dari total penduduk Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, wilayah yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Cibungbulang ini sering sekali menerima programprogram penanggulangan kemiskinan dari pemerintah seperti: Imbal Swadaya, Raksa Desa, PNPM Mandiri, Sarana Air Bersih, dan lain-lain. Sekalipun jumlah penduduk miskinnya paling banyak, Kecamatan Pamijahan tidak termasuk dalam wilayah yang mendapatkan Program Keluarga Harapan (PKH) bagi keluarga miskinnya.

4 92 Menanggapi permintaan dari tokoh masyarakat Kecamatan Pamijahan agar ada program yang langsung mengarah pada sasaran meningkatkan taraf hidup fakir miskin, Pemerintah Kabupaten Bogor mengajukan usulan kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen Sosial RI untuk menindaklanjutinya dengan P2FM-BLPS yang baru saja dicanangkan di beberapa wilayah di Indonesia. Depsos RI menyetujui permintaan ini dengan menetapkan wilayah tetangga Kecamatan Pamijahan yaitu Kecamatan Tenjolaya untuk turut serta menerima program ini. Gambaran administratif kedua kecamatan dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Posisi Administratif Kecamatan Penerima P2FM-BLPS. Sekalipun bukan merupakan wilayah dengan jumlah penduduk miskin paling tinggi diantara wilayah terdekatnya (Kecamatan Pamijahan, Leuwiliang, Dramaga, dan Cibungbulang), Kecamatan Tenjolaya dinilai memiliki kondisi kemiskinan lebih parah karena posisinya cukup terisolir dan seluruh penduduk miskinnya tidak bermatapencaharian. Hal ini cukup ironis karena pendidikan kepala keluarga miskinnya justru lebih baik dibandingkan pendidikan kepala keluarga miskin pada wilayah di sekitarnya. Berbeda dengan Kecamatan Pamijahan, wilayah pemekaran baru dari Kecamatan Ciampea pada tahun 2003 ini termasuk dalam wilayah yang menerima Program Keluarga Harapan (PKH) bagi keluarga miskinnya. Gambaran umum Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Tenjolaya dapat dilihat pada Tabel 21.

5 93 No Tabel 21. Gambaran Umum Kondisi Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya. Uraian Pamijahan Kecamatan 1. Tahun Terbentuk Tenjolaya 2. Wilayah Asal Pemekaran Kecamatan Cibungbulang Kecamatan Ciampea 3. Luas wilayah (hektar) 8.088, ,00 4. Jumlah Desa 15 Desa 6 Desa 5. Klasifikasi Desa 13 Desa Swakarya 6 Desa Swakarya 2 Desa Swasembada 6. Pengembangan Kawasan*: Hutan rakyat, perkebunan teh, kawasan wisata, budidaya perikanan kolam, budidaya padi, budidaya ubi jalar, peternakan kambing, domba, ayam buras Budidaya perikanan kolam, budidaya padi, budidaya ubi jalar, peternakan kambing, domba, ayam buras 7. Kependudukan (Tahun 2007) - Jumlah Penduduk jiwa jiwa - Jenis Kelamin orang laki-laki orang laki-laki orang perempuan orang perempuan - Jumlah Rumah Tangga KK KK 8. Mata Pencaharian Penduduk - Pertanian 45,83% 100% - Perdagangan 25% 0% - Jasa 25% 0% - Industri 4,17% 0% - Lainnya 0% 0% 9. Kondisi Kemiskinan (Tahun 2006) - Jumlah jiwa jiwa - Jumlah RTM KK KK 10. Mata Pencaharian Penduduk Miskin - Jasa-Jasa 8,33 % 0 % - Perdagangan 4,81 % 0 % - Transportasi 0,36 % 0 % - Tidak Bekerja 56,14 % 100 % - Lainnya 30,36 % 0 % Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, * Data pada Rencana Revitalisasi Pembangunan Pertanian dan Pembangunan Pedesaan di Kabupaten Bogor, PSP3-IPB Stakehoder Pengelola Program Para pihak yang terlibat (stakeholders) dalam BLPS terdiri dari pemerintah, perbankan, dan masyarakat itu sendiri. Semua pihak menjalankan peran dan tanggungjawabnya dengan tujuan untuk memberdayakan KUBE dalam mengembangkan usahanya secara berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan agar mempercepat proses penyaluran dana penguatan modal usaha kepada anggota

6 94 KUBE yang tepat sasaran dan tepat waktu. Adapun bidang tugas dari para pihak yang terlibat adalah: a. Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Depsos RI bertugas menetapkan kabupaten/kota lokasi penerima program berdasarkan proposal yang disampaikan sesuai kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. b. Perbankan Pihak perbankan yang ditunjuk adalah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. Melalui BRI, pemerintah menyalurkan dana BLPS lewat rekening tabungan di Unit Cabang BRI terdekat dengan lokasi penerima BLPS yang sudah ditetapkan. Berikutnya pihak Unit Cabang BRI menerima permohonan kredit dari KUBE, memeriksa dan menilai, serta menetapkan keputusan kredit mengacu pada ketentuan dalam perjanjian kerjasama antara Depsos RI dengan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. c. Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Di Tingkat Propinsi, Gubernur melalui Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat memfasilitasi kelancaran pelaksanaan BLPS serta melakukan pemantauan dan evaluasi dalam lingkup propinsi atau antar kabupaten/kota. Di Tingkat Kabupaten, Bupati Bogor melalui BPMKS Kabupaten Bogor menyiapkan data calon KUBE Produktif dengan sistem by name, by adress, by needs 16. Pihak BPMKS juga menyiapkan calon pendamping yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan KUBE. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor juga bertanggung jawab atas penyediaan dana pendampingan dari APBD Persiapan Pelaksanaan Program Sasaran utama program ini adalah KUBE Fakir Miskin. Agar pelaksanaan program tepat sasaran maka tahapan persiapan pelaksanaan BLPS ditetapkan sebagai berikut: 16 KUBE Produktif adalah KUBE yang memiliki anggota usia antara Tahun, telah melakukan kegiatan usaha ekonomi produktif, memiliki prospek baik untuk berkembang lebih maju dan bukan KUBE bentukan baru.

7 95 a. Penetapan KUBE Produktif Setelah ditetapkan dua kecamatan sebagai lokasi penerima program, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui BPMKS berwenang melakukan seleksi calon KUBE yang akan menerima penguatan modal melalui BLPS. Jumlah KUBE yang terpilih adalah sebanyak 25 KUBE yang berdomisili di 11 desa pada dua kecamatan tersebut. KUBE terpilih kemudian ditetapkan dalam Surat Keputusan Bupati Bogor agar memiliki landasan hukum. b. Seleksi dan Rekruitmen Pendamping Sosial BPMKS mengusulkan pula Calon Pendamping Sosial kepada Depsos RI. Calon Pendamping Sosial baik di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa masing-masing berjumlah satu orang. Dengan demikian jumlah Pendamping Sosial dari Kabupaten Bogor adalah 14 orang terdiri dari 1 orang Pendamping Kabupaten, 2 orang Pendamping Kecamatan, dan 11 orang Pendamping Desa. c. Pelatihan Pendamping Sosial Seluruh Calon Pendamping Sosial tersebut kemudian diwajibkan mengikuti Pelatihan Pendampingan Sosial yang dilaksanakan oleh Depsos RI. Untuk para Calon Pendamping Sosial Kabupaten Bogor, kegiatan pelatihan dilaksanakan di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Lembang- Bandung selama dua minggu. d. Penjajakan Lokasi dan Pemetaan Kebutuhan Kegiatan ini dilakukan oleh Depsos RI didampingi oleh BPMKS untuk melihat potensi pengembangan usaha KUBE pada wilayah calon penerima program berikut kesiapannya dalam menunjang pelaksanaan program. e. Sosialisasi Program Sosialisasi program merupakan upaya memperkenalkan atau menyebarluaskan informasi mengenai P2FM kepada masyarakat miskin sebagai penerima program, kelompok masyarakat secara umum, para pelaku yang terlibat, serta instansi atau lembaga pendukung P2FM-BLPS di semua tingkatan. Oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, kegiatan ini diwujudkan bersamaan dengan kegiatan Peluncuran P2FM-BLPS pada tanggal 18 Desember 2007 yang bertempat di Kecamatan Tenjolaya.

8 96 f. Usulan Kegiatan UEP 17 Kegiatan ini dilakukan berdasarkan musyawarah kelompok (internal KUBE) sehingga dihasilkan perencanaan dan pemanfaatan modal sesuai kebutuhan. Setiap KUBE kemudian membuat proposal kegiatan UEP yang akan dikembangkan untuk diajukan kepada Bank BRI agar mendapatkan dana yang dibutuhkan Penyesuaian dalam Program BLPS-KUBE merupakan salah satu program Pemerintah Pusat yang menggunakan pendekatan Top-Down, oleh karenanya tidak semua aspek dari program relevan dengan kondisi di lokasi penerima program. Dalam pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor, ditemukan beberapa penyesuaian yang dilakukan pemerintah setempat yaitu dalam hal pembentukan kelompok, jenis UEP yang diusahakan, pembentukan lembaga pengaman perguliran dana, dan penetapan aturan perguliran dana yang sesuai kondisi usaha. Diantara penyesuaian-penyesuaian dalam program ini ditemukan adanya indikasi penyelewengan terhadap aturan yang tercantum dalam Petunjuk Operasional P2FM-BLPS. Berdasarkan data BPMKS tahun 2007, potensi KUBE PMKS atau fakir miskin yang ada dan terbentuk di Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya selama periode tahun hanyalah KUBE WRSE yang terbentuk di Kecamatan Pamijahan pada tahun 2005 sebanyak 5 kelompok. Namun jika berdasarkan data tahun 2002, Kecamatan Pamijahan pernah memiliki potensi KUBE Fakir Miskin sebanyak 31 kelompok sedangkan Kecamatan Tenjolaya yang pada tahun tersebut masih merupakan bagian dari Kecamatan Ciampea memiliki potensi 50 kelompok. Lamanya rentang terbentuknya KUBE dan lemahnya pengawasan hasil pelatihan keterampilan oleh aparat pemerintah mengakibatkan KUBE-KUBE tersebut tidak berjalan secara berkelanjutan. Sehubungan dengan tidak tercukupinya jumlah KUBE Produktif yang dibutuhkan sebagai penerima BLPS, BPMKS akhirnya menerima KUBE bentukan baru sebagai calon penerima BLPS. Padahal syarat utama KUBE penerima BLPS adalah KUBE yang sudah produktif menjalankan usahanya. 17 Usaha Ekonomi Produktif (UEP) adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengakses sumberdaya ekonomi, meingkatkan kemampuan usaha ekonomi, meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan penghasilan, tabungan, dan menciptakan kemitraan usaha yang saling menguntungkan (Depsos RI, 2007).

9 97 Dalam definisi umum, selayaknya KUBE dibentuk oleh sekumpulan orang yang melakukan suatu jenis UEP secara bersama-sama. Namun pada kasus pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor terlihat seolah KUBE hanyalah sebuah lembaga himpunan fakir miskin penerima bantuan modal usaha sementara anggota KUBE tidak terikat melakukan suatu usaha secara kolektif/bersama-sama. Dalam Lampiran 6 terlihat bahwa dari 25 kelompok hanya 6 kelompok yang melakukan UEP secara kolektif. Pihak Pendamping Sosial Kecamatan menjelaskan alasannya sebagai berikut: Keadaan ini sudah dikonsultasikan pada saat Pelatihan Pendampingan Sosial dan mendapat persetujuan Pihak Depsos RI mengingat mata pencaharian sebagian besar fakir miskin di Kecamatan Tenjolaya dan Pamijahan adalah tidak bekerja, buruh tani, dan bekerja serabutan yang beralih-alih profesi sehingga usaha yang mereka kembangkan tidak bisa tergantung pada satu jenis usaha dan bagi usaha pertanian pun sangat dipengaruhi kondisi alam Berdasarkan aturan BLPS, dana yang telah dicairkan bersifat dana hibah bersyarat dimana dana wajib dikembalikan untuk digulirkan kepada anggota lain atau bahkan kepada KUBE Produktif lain yang membutuhkan. Adanya sifat dana ini membuat Pengelola Program beranggapan seandainya perguliran dana ini diserahkan begitu saja kepada masyarakat (fakir miskin anggota KUBE) tentunya akan besar kemungkinan terjadi kredit macet dalam perguliran dana. Dilatarbelakangi kemungkinan ancaman tersebut dan mengingat tanggung jawab mengelola bantuan yang sedemikian besar, para Pendamping Sosial melalui persetujuan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor berinisiatif membentuk Koperasi yang bertujuan mewadahi dan mengendalikan proses perguliran dana BLPS di Kecamatan Tenjolaya dan Pamijahan. Koperasi ini dibentuk pada tanggal 3 Januari 2008 dan ditetapkan melalui Akta Notaris dengan nama Koperasi Usaha Bersama yang berkedudukan di wilayah Kecamatan Tenjolaya. Kepengurusan koperasi ini adalah himpunan dari para Pendamping Sosial yang terlibat dalam pelaksanaan BLPS sedangkan anggotanya adalah anggota KUBE penerima BLPS. Berdasarkan maksud dan tujuan didirikannya Koperasi Usaha Bersama dalam Akta Notarisnya, koperasi ini akan mewakili perwujudan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang memberikan akses dana penguatan modal kepada KUBE melalui pengaturan hasil perguliran dana dari BLPS.

10 98 Dengan adanya koperasi, dana hasil keuntungan KUBE wajib dikembalikan kepada koperasi untuk digulirkan kembali kepada anggota lain atau KUBE penerima berikutnya. Namun demikian, keberadaan koperasi akhirnya jutru menimbulkan banyak pertentangan di masyarakat karena peran lembaga ini seharusnya tidak ada sebagaimana yang tercantum dalam Petunjuk Operasional P2FM-BLPS. Sebagaimana informasi yang disosialisasikan oleh Pihak Depsos RI sebelumnya, perguliran modal dan usaha dalam P2FM-BLPS ini diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Keberadaan Koperasi ini juga yang menyebabkan pencairan dana menjadi terpusat kepada rekening Koperasi, bukan kepada rekening masing-masing KUBE. Sebagai dampak keberadaan Koperasi adalah adanya penyesuaian dalam hal pengembalian dana. Anggota KUBE diharuskan mengembalikan dana jika usaha yang dikembangkan sudah memperoleh keuntungan dengan cara mencicil secara periodik ke Koperasi. Hal ini dimaksudkan agar proses perguliran dana dapat berjalan sesuai harapan. Sehubungan dengan beragamnya jenis UEP yang dikembangkan, Pengelola Program menerapkan dua metode pengembalian, yaitu dengan mencicil setiap sebulan sekali bagi usaha-usaha produksi, jasa, dan perdagangan, sementara bagi usaha-usaha budidaya, baik itu pertanian, perikanan, dan peternakan, pengembalian dana dilakukan dengan cara mencicil berdasarkan siklus panen Kondisi Pencairan Dana Total dana BLPS yang rencananya akan dikucurkan dalam rangka penguatan modal KUBE di Kabupaten Bogor adalah sebesar Rp 1,5 miliar yang diberikan kepada 25 kelompok, dengan demikian setiap kelompok berhak memperoleh dana maksimal Rp 60 juta. Akan tetapi dana terserap pada awal peluncurannya hanyalah sebesar Rp ,- atau hanya 65,46 persen dari selayaknya. Rincian jumlah dana yang dicairkan dapat dilihat pada Tabel 22. Menurut Pendamping Sosial Kecamatan, hal ini disebabkan terjadi proses efisiensi dalam pelaksanaan seleksi ajuan dana karena masih terdapat usulan usaha KUBE yang belum memenuhi syarat kualifikasi, baik dari segi kemampuan pengelolaan maupun kelayakan usahanya, sebagaimana dijelaskan berikut: Masih ada komponen dalam ajuan dana yang tidak perlu dibantu melalui dana BLPS, seperti sewa lahan atau peralatan untuk usaha, dikarenakan fakir miskin sendiri juga masih memiliki lahan atau peralatan

11 99 yang cukup memadai bagi pelaksanaan usahanya. Adapun sisa dana yang belum dicairkan akan ditahan hingga ada usulan usaha KUBE yang layak berikutnya Tabel 22. Realisasi Pencairan Dana BLPS bagi KUBE di Kabupaten Bogor Tahun No Kecamatan Desa Nama KUBE Pencairan Dana Belum Dana Dicairkan 1. Pamijahan 1. Pamijahan 1. Sumber Rejeki Sugih Mukti Pasaraean 3. Pasarean I Pasarean II Pasarean III Intan Walagri Gunung Menyan 7. Silih Asih Sablon Serbaguna Gunung Picung 10.Tani Mukti Subur Tani Gunung Bunder 12.Botaniah Gunung Sari 13.Mitra Sari II Tenjolaya 7. Situ Daun 14.Tunas Mekar I Tunas Mekar II Tapos I 16.Karya Bersama Harapan Jaya Mutiara Hati Bersama Jaya Tapos II 20.Tegar I Tegar II Gunung Malang 22.Mekar Jaya Maju Jaya Cibitung Tengah 24.Karya Mandiri II Langkah Tani Jumlah Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor, 2009 Untuk mengamankan sisa dana tersebut, oleh Pengelola Program, dana dikembalikan ke dalam rekening dana BLPS KUBE di Bank BRI untuk pemanfaatan berikutnya. Namun demikian, akibat belum adanya usulan UEP yang memenuhi syarat, dana tersebut mengendap di rekening BRI Keragaan Keanggotaan KUBE Jumlah penerima dana BLPS tahun 2008 adalah 268 orang Kepala Keluarga dengan total jumlah anggota keluarga sebanyak jiwa, dengan demikian rata-rata besar keluarga tiap RTM penerima dana adalah hampir 5 orang per RTM. Jumlah

12 100 anggota tiap KUBE pun cukup bervariasi dimana terdapat lebih dari separuh KUBE yang beranggotakan 10 orang lebih (Tabel 23). Adapula KUBE yang beranggota cukup banyak yaitu mencapai 16 orang, dan hanya terdapat satu KUBE saja yang memiliki anggota di bawah 10 orang. Tabel 23. Kondisi Keanggotaan dan Jenis Usaha KUBE Penerima Dana BLPS di Kabupaten Bogor Tahun No Nama KUBE Jenis Kelamin Jenis Usaha Jumlah Laki- Perem Budidaya Budidaya Budidaya Usaha Dagang/ Usaha Anggota Laki -puan PertanianPeternakan Perikanan Produksi Jual Beli Jasa 1 Sumber Rejeki Sugih Mukti Pasarean I Pasarean II Pasarean III Intan Walagri Silih Asih Sablon Serbaguna Tani Mukti Subur Tani Botaniah Mitra Sari II Tunas Mekar I Tunas Mekar II Karya Bersama Harapan Jaya Mutiara Hati Bersama Jaya Tegar I Tegar II Mekar Jaya Maju Jaya Karya Mandiri II Langkah Tani Jumlah Proporsi 100% 91,04% 8,96% 60,07% 6,34% 9,33% 1,12% 17,91% 5,22% Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor (2009), data diolah Di dalam setiap KUBE ini terdapat kepengurusan yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara yang bertanggung jawab terhadap kinerja keberhasilan usaha anggotanya dan menyelesaikan permasalah yang timbul. Kepengurusan inilah yang memfasilitasi terjadinya proses pemberdayaan fakir miskin seperti pertemuan sesama anggota KUBE maupun pertemuan dengan para Pendamping Sosial dan pemecahan masalah atas kendala yang dihadapi anggota KUBE-nya. Pada Tabel 23 terlihat bahwa proporsi anggota KUBE berjenis kelamin laki-laki lebih banyak (91,04 persen) daripada anggota KUBE berjenis kelamin perempuan (8,96 persen). Hal ini

13 101 berarti peran kepala keluarga fakir miskin di kedua kecamatan penerima dana BLPS masih didominasi oleh pria Jenis Usaha KUBE Berdasarkan Tabel 23, kegiatan KUBE yang diusahakan oleh fakir miskin di dua kecamatan tersebut dapat dikategorikan dalam 6 jenis usaha, yaitu: budidaya pertanian, peternakan, perikanan, usaha produksi, jual beli/perdagangan, dan usaha jasa. Kategori yang paling banyak usahakan adalah usaha pertanian sebanyak 60,07 persen, disusul perdagangan (17,91%), perikanan (9,33%), peternakan (6,34%), jasa (5,22%), dan usaha produksi (1,12%). Kegiatan usaha pertanian meliputi: budidaya ubi jalar, padi, rumput gajah, jagung manis, jamur tiram, terung, pepaya, cabai, kacang panjang, katuk, buncis, dan mentimun. Adapun jenis usaha yang paling variatif adalah usaha perdagangan/jual beli diantaranya meliputi: penjualan sembako, hewan, makanan, sayuran, pakaian, kayu, barang bekas, mainan, batu alam, suku cadang sepeda motor, hingga pulsa telepon/aksesoris telepon seluler. Jenis usaha perikanan yang dikembangkan meliputi: budidaya ikan mas, lele, bawal, nila, dan gurame. Jenis usaha peternakan meliputi ternak domba, ayam, dan kelinci. Usaha bidang jasa meliputi: menjahit, perbengkelan, jasa perkreditan barang, dan pertukangan. Sedangkan jenis usaha produktif meliputi: pembuatan ikan pindang, penggergajian kayu, dan kerajinan sendal Pendampingan Sosial KUBE Fakir Miskin sebagai kelompok dari keluarga-keluarga fakir miskin membutuhkan pendampingan dari orang yang lebih tahu dan lebih terampil daripada mereka. Untuk itu dalam program ini disiapkan Pendamping Sosial yang berasal dari masyarakat di lokasi penerima program agar memahami potensi dan permasalahan yang akan dihadapi di lokasi pelaksanaan BLPS. Pendamping Sosial ini berupa perorangan, kelompok, atau lembaga yang memiliki kompetensi di bidang usaha kesejahteraan sosial dan UEP. Komposisi Pendamping Sosial dalam pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor berasal dari unsur tokoh masyarakat setempat, unsur pengajar, wirausaha,

14 102 organisasi sosial, Penyuluh Pertanian Swadaya, dan Pekerja Sosial Masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kegiatan pendampingan sosial, para pendamping ini menjalankan berbagai peranan diantaranya sebagai perencana, pembimbing, pemberi informasi, motivator, penghubung, fasilitator, dan evaluator. Selama pelaksanaan program, para pendamping tersebut mendapatkan honorarium pendampingan yang bersumber dana dari APBN. Pada tujuan akhirnya, pendampingan ini akan berfungsi dalam meningkatkan kemampuan berusaha para anggota KUBE sehingga usahanya berkembang dan layak mendapatkan modal usaha dalam bentuk Kredit Usaha Mikro dan Kecil yang disediakan oleh BRI Kinerja KUBE Penerima Dana BLPS Langkah pertama yang harus dilakukan oleh KUBE Penerima Dana BLPS adalah mengalokasikan dana tersebut untuk kegiatan usaha sebagaimana yang sudah dirinci dalam Proposal Permohonan Bantuan Dana UEP masing-masing. Pemanfaatan dana ini dimonitor oleh para Pendamping Sosial agar tidak terjadi penyelewengan dalam penggunaannya. Berdasarkan wawancara dengan Pendamping Sosial, pada tahap awal umumnya para anggota KUBE melakukan pengalokasian dana secara wajar sesuai dengan kegiatan di proposalnya masing-masing, akan tetapi setelah sekian lama program berlangsung, terdapat KUBE-KUBE yang kesulitan mengelola kelanjutan usahanya karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Menurut Pendamping Sosial Kecamatan, hal ini disebabkan UEP yang dijalankan anggotanya gagal/bangkrut karena kegagalan panen dan tidak dapat melanjutkan usaha karena modal habis. Selain disebabkan oleh faktor alamiah (seperti kegagalan panen pada usaha pertanian, peternakan, dan perikanan), umumnya modal habis karena Anggota KUBE belum bisa memisahkan sistem keuangan UEP dengan keuangan rumah tangga. Hasilnya, sedikit demi sedikit uang keuntungan hasil usaha dipakai untuk keperluan rumah tangga. Sudah seharusnya para Pendamping Sosial mengantisipasi hal ini dengan melakukan pendampingan yang intensif terhadap pelaksanaan UEP. Namun akibat beragamnya jumlah UEP yang dijalankan dalam setiap KUBE, kondisi ini menjadi di luar kendali Pendamping Sosial. Semakin banyak UEP maka semakin luas cakupan pendampingan oleh mereka. Kelembagaan KUBE yang seharusnya juga

15 103 bertanggung jawab atas kondisi ini ternyata belum bisa diandalkan dalam menangani permasalahan anggotanya karena kurangnya pemahaman Pengurus KUBE akan program. Kondisi ini diperburuk pula oleh adanya kendala dan permasalahan eksternal yang timbul sehingga mengganggu jalannya proses pemberdayaan yang diharapkan. Berdasarkan Laporan Koperasi Usaha Bersama, hingga saat ini belum ada laporan perkembangan usaha oleh masing-masing KUBE dan perguliran dana dari hasil keuntungan UEP yang dijalankan Hambatan dan Permasalahan yang Timbul Berdasarkan hasil wawancara dengan Pendamping Sosial dan instansi yang terlibat, kegiatan perguliran dana BLPS hasil dari pemberdayaan fakir miskin pada tahun 2008 ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Selain permasalahan internal KUBE, penyebab lainnya adalah adanya kendala eksternal di lapangan yang menimbulkan berbagai permasalahan dan secara langsung mengganggu kinerja KUBE serta proses pemberdayaan itu sendiri. Berdasarkan pihak yang terlibat, kendala tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Kendala dari sisi masyarakat penerima program Jumlah penerima program tidak sebanding dengan yang tidak menerima, yaitu hanya mengakomodir 3,4 persen RTM di dua kecamatan sehingga banyak masyarakat miskin yang belum beruntung berharap difasilitasi. Di sisi lain, karena rendahnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat miskin, lebih dari ratusan proposal UEP yang diusulkan tidak lolos kualifikasi sebagai penerima dana BLPS. Tidak terserapnya seluruh dana program menimbulkan kecurigaan bagi sebagian masyarakat akan adanya penyelewengan penggunaan dana, apalagi sisa dana terkesan dibiarkan mengendap dan lama tidak dicairkan. Hal ini kemudian menimbulkan konflik kepercayaan antara masyarakat dan pengelola. Adanya kesalahan persepsi pada masyarakat dalam mengartikan bantuan program. Sebagian mereka masih mengartikan pemberian dana bagi penguatan modal KUBE dalam P2FM adalah sebuah proyek dimana setiap pemberian pemerintah selalu diartikan sebagai hibah murni. Hal ini ternyata disuarakan pula oleh tokoh formal maupun non formal di sekitar fakir miskin, sehingga

16 104 memperkuat keyakinan mereka untuk tidak mengembalikan dana yang diterimanya. 2. Kendala dari sisi peran Koperasi Koperasi Usaha Bersama yang dibentuk dalam rangka mengamankan perguliran dana program, dianggap menyediakan jalan bagi penyalahgunaan dana program. Apalagi dana BLPS diturunkan dari Depsos RI melalui rekening BRI atas nama Koperasi Usaha Bersama. Kendala ini menimbulkan ketidakpercayaan penerima program terhadap peran Koperasi sehingga pengembalian dana (hasil pencairan tahap awal) ke Koperasi tidak terjadi. Adanya aduan masyarakat tentang dugaan adanya dana yang tidak terserap dan peran koperasi dalam penyalahgunaan dana kepada pihak Depsos RI, ditindaklanjuti dengan inspeksi oleh pihak Depsos RI terhadap Koperasi dan KUBE penerima program. Namun hal ini tidak dapat dibuktikan dan justru memperuncing konflik antara Koperasi/Pendamping Sosial dan masyarakat/kube penerima program. 3. Kendala dari sisi Pendamping Sosial Terdapat beberapa Pendamping Sosial di Kecamatan Tenjolaya yang kurang aktif dikarenakan kurangnya pengalaman dan keterampilan pekerjaan sosial. Kendala ini menimbulkan fungsi perencanaan, pembimbingan, dan pemberi motivasi terhadap usaha KUBE di Kecamatan Tenjolaya menjadi sangat lemah. Permasalahan yang terjadi pada Koperasi yang juga mewakili wadah para Pendamping Sosial menimbulkan konflik antara penerima program, masyarakat, dan Pendamping sehingga proses pendampingan tidak berjalan sesuai harapan. Habisnya masa pembayaran honor pendampingan dari Pemerintah Pusat dan tidak adanya tindak lanjut dari Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan dana pendampingan menimbulkan proses pendampingan sosial terhenti. 4. Kendala dari sisi Pemerintah Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor belum menepati kesepakatan dalam hal penyediaan anggaran pendampingan/pendukung program serta penghimpunan dana-dana masyarakat dan dunia usaha di wilayah Kabupaten Bogor. Kendala

17 105 ini mengakibatkan tidak terfasilitasinya dana dukungan bagi program, seperti honor pendampingan sosial serta dana monitoring dan evaluasi 18. Jauhnya lokasi pelaksanaan program dengan lokasi pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor menjadikan kendala rendahnya intensitas pengawasan oleh aparat BPMKS. Keberadaan Koperasi yang lebih dekat dengan lokasi program akhirnya dijadikan andalan dalam mengelola progam secara keseluruhan, dan hal ini tentunya kurang baik bagi keberlangsungan program. Kurang jelasnya fungsi dan peran Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dalam struktur organisasi P2FM sehingga ada kesan mereka ditinggalkan. Hal ini juga yang menyebabkan lemahnya pengawasan di daerah karena tidak jelasnya pengusung program. Akibat tidak jelasnya pengusung program dan tidak ada langkah lanjut dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul, hingga kini permasalahan kredit macet, koperasi, dan kelanjutan proses pendampingan tidak pernah diselesaikan oleh pihak pemerintah baik pusat, propinsi maupun daerah P2FM-BLPS Fase II sebagai Kelanjutan Program Sekalipun terjadi kegagalan di tahun 2008, Pengelola Program tetap melanjutkan pencairan sisa dana yang belum terserap dengan masih menetapkan KUBE-KUBE bentukan baru sebagai penerima BLPS Fase II namun dengan seleksi yang lebih ketat. Langkah ini diambil untuk mengurangi resiko terjadinya kegagalan kembali. KUBE yang lolos seleksi pada Fase II ini pada awal pencairan terdiri dari 7 kelompok (78 Kepala Keluarga). Berikutnya pada tahun 2009 terjadi penambahan 1 kelompok sehingga jumlah KUBE penerima dana BLPS Fase II menjadi 8 kelompok. Selain jumlah kelompoknya bertambah karena lolosnya satu KUBE baru, jumlah anggota KUBE juga bertambah secara bertahap seiring dari keberhasilan masingmasing KUBE. Hingga akhir tahun 2009, jumlah anggota kedelapan KUBE tersebut mencapai 95 Kepala Keluarga. Kondisi KUBE penerima dana BLPS Fase II dapat dilihat di Lampiran Honor Pendampingan Sosial hanya diberikan selama 6 bulan di tahun pertama pelaksanaan program, selanjutnya adalah kebijakan Pemenerintah Daerah untuk menfasilitasi kelanjutan pendampingan dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi sesuai dengan MoU yang sudah disepakati antara Depsos RI dan Pemerintah Daerah.

18 Kondisi Umum KUBE Penerima BLPS Fase II Dibandingkan pada tahap awal peluncuran program, proporsi keterlibatan perempuan dalam KUBE di Fase II lebih banyak yaitu mencapai 39,80 persen atau 39 orang (Tabel 24). Tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya, UEP yang dijalankan juga masih merupakan usaha individu atau bukan usaha kolektif kelompok. Adapun jenis usaha Anggota KUBE pada fase ini hanya terdiri dari 5 jenis usaha dengan proporsi paling tinggi pada usaha perdagangan/jual beli (78,57%), disusul usaha jasa (9,18%), dan budidaya pertanian (8,16%). Dari sisi tingkat partisipasi anggota, proporsi anggota yang aktif masih lebih banyak dibandingkan anggota yang tidak aktif dengan perbandingan 80:20. Berdasarkan wawancara dengan Pendamping Sosial, ketidakaktifan anggota umumnya terjadi karena kegagalan usaha dan adanya alih profesi sehingga usaha terhenti dan pengembalian dana mengalami kemacetan. No Nama KUBE Tabel 24. Kondisi Keanggotaan, Jenis Usaha, dan Status Anggota KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Jumlah Anggota Status Jenis Kelamin Jenis Usaha Anggota L P Pertanian Peternakan Perikanan Jual Beli Jasa Aktif Pasif 1 Kananga I Kananga II Kananga III Kananga IV Tani Mukti II Sugih Mukti II Puspa Melati Total Proporsi 100% 60,20% 39,80% 8,16% 3,06% 1,02% 78,57% 9,18% 80% 20% Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor (2009), data diolah Proses Pencairan Dana dan Pemanfaatan Tidak berbeda dengan fase sebelumnya, proses pencairan dana BLPS Fase II juga melalui tahapan pengajuan proposal oleh KUBE. Begitu usulan UEP disetujui, Pengelola Program mencairkan dana bantuan yang berasal dari sisa pencairan tahap awal (tahun 2008) kepada masing-masing KUBE untuk dialokasikan kepada UEP masing-masing anggotanya. Oleh Anggota KUBE, dana yang diterima segera digunakan sesuai dengan rincian yang diajukan dalam proposal.

19 107 Selama pemanfaatan, Pendamping Sosial terus memantau proses penggunaan dana hingga UEP terwujud dan siap dijalankan. Menurut Pendamping Sosial, adanya jumlah KUBE dan UEP yang lebih sedikit pada BLPS Fase II ini cukup mempengaruhi kinerja dan fokus pendampingan terhadap pelaksanaan UEP Anggota KUBE. Hal ini juga berdampak kepada keberhasilan usaha dan adanya proses pengembalian modal Kinerja Pengembalian Modal Berdasarkan keberhasilan kinerja usaha dan pengembalian modal, menjelang akhir tahun 2008, Pengelola Program kemudian menggulirkan kembali dana penguatan pada mereka sebanyak Rp 230,165 juta yang diantaranya diperuntukkan bagi satu kelompok bentukan baru yaitu KUBE Tani Mukti II (Tabel 25). Hingga akhir tahun 2009, rata-rata tingkat pengembalian dana oleh KUBE Penerima BLPS Fase II mencapai setengah dari pinjaman. Kinerja KUBE Tani Mukti II yang baru berdiri teryata yang paling baik dibandingkan KUBE-KUBE pendahulunya dengan tingkat pengembalian dana mencapai 75,22 persen. Tingkat pengembalian dana KUBE yang paling buruk terdapat pada KUBE Kananga IV, dimana hanya mencapai 9,76 persen dari pinjaman. Hal ini dipengaruhi oleh sebagian besar usaha anggota KUBE pada tahun 2009 mengalami kegagalan. Sekalipun tingkat pengembalian dana hanya mencapai 49,07 persen, Pengelola Program cukup optimis dapat melanjutkan P2FM-BLPS dengan sisa dana yang dimiliki menuju pada tahapan pemberdayaan sosial-ekonomi yang diharapkan. Tabel 25. Kondisi Perguliran Dana Penguatan Modal KUBE Fase II di Kabupaten Bogor Tahun 2009 Sisa Pencairan Pengembalian Sisa No Nama KUBE Pinjaman Anggota Jumlah Persentase Jumlah Persentase 2008 (Rp) (Rp) (Rp) (%) (Rp) (%) 1 Kananga I , ,36 2 Kananga II , ,87 3 Kananga III , ,58 4 Kananga IV , ,24 5 Tani Mukti II , ,78 6 Sugih Mukti II , ,91 7 Puspa , ,42 8 Melati , ,26 Total , ,93 Sumber: Koperasi Usaha Bersama Kabupaten Bogor (2009), data diolah

20 Evaluasi Pelaksanaan P2FM-BLPS Fase II Untuk melihat bagaimana kondisi pelaksanaan P2FM-BLPS dari sisi masyarakat, dilakukan wawancara terhadap Anggota KUBE Penerima BLPS sehingga didapat keragaan bentuk pemberdayaan yang terjadi di masyarakat miskin berikut hambatan dan permasalahan yang timbul. Sehubungan dengan KUBE Penerima BLPS tahap awal yang mengalami kegagalan, maka penentuan responden diarahkan pada Anggota KUBE Penerima BLPS Fase II Karakteristik Responden Jumlah responden yang terpilih adalah sebanyak 10 orang dari populasi 95 orang dalam 8 KUBE Penerima BLPS Fase II (Lampiran 8). Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, kondisi responden secara umum tergolong miskin. Usia rata-rata responden adalah 38 tahun dimana sebagian besar responden adalah lakilaki. Secara umum pendidikan responden cukup baik dimana sebagian besar telah menamatkan jenjang pendidikan SMA (Tabel 26). Tabel 26. Karakteristik Rata-Rata Responden KUBE Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Tahun No. Uraian Rata-Rata 1. Usia Rata-Rata 38 tahun 2. Jenis Kelamin Laki-Laki 60% Perempuan 40% 3. Pendidikan Tidak Sekolah 10% Tamatan SD 30% Tamatan SMP 0% Tamatan SMA 60% 4. Pekerjaan Sebelumnya Bekerja 30% Tidak Bekerja 70% 5. Rata-Rata Pengeluaran Keluarga Sebelumnya Rp Rata-Rata Pendapatan dari Hasil UEP Rp Sumber: Data Primer, diolah Sebelum menerima BLPS, sebanyak 70 persen responden sebelumnya tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga, sisanya adalah bekerja sebagai buruh tani. Berdasarkan hasil wawancara, umumnya responden belum pernah mendapatkan

21 109 bantuan apapun dari pemerintah selain BLPS. Responden pun belum pernah mengajukan pinjaman modal kepada pihak perbankan untuk mengembangkan usaha. Penambahan modal umumnya didapat melalui pengajuan kepada Koperasi Kondisi KUBE dan Pelaksanaan UEP Responden Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden yang mewakili KUBEnya, secara umum KUBE yang mewadahi mereka masih aktif dari segi kelembagaan. Secara periodik, anggota KUBE melakukan pertemuan sekali atau dua kali setiap bulan untuk membahas permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan UEP-nya. Pihak Pendamping Sosial juga selalu dihadirkan dalam setiap pertemuan-pertemuan anggota di 8 KUBE tersebut. Menurut para Pendamping Sosial, adanya pertemuan rutin ini cukup memperkuat formasi kelembagaan KUBE sehingga memudahkan koordinasi Pendamping Sosial dengan KUBE. Dari 10 orang responden, 8 orang menjalankan UEP-nya sejak pertengahan tahun 2008 dan 2 orang sisanya menjalankan UEP sejak awal tahun 2009 dan mengalami perkembangan yang cukup baik. Hingga akhir tahun 2008, kedelapan responden dapat mengembalikan pinjaman modal dengan cara menyisihkan dari keuntungan yang didapat. Besaran pengembalian pinjaman yang dilakukan responden berkisar antara 3-10 persen per bulan dari total pinjaman tahun tersebut. Dengan demikian rata-rata pengembalian pinjaman pada akhir tahun mencapai 39,94 persen (Tabel 27). Tabel 27. Kondisi Permodalan UEP Responden Penerima Dana BLPS Fase II di Kabupaten Bogor Tahun Pencairan Pengembalian Pencairan Pengembalian Responden Pinjaman Sisa Pinjaman Jumlah Sisa Pinjaman Modal Thn Pinjaman Modal Thn Pinjaman 2008 (Rp) Rp % Rp % 2009 (Rp) Rp % Rp % , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,83 Rata-Rata , , , ,72 Sumber: Koperasi Usaha Bersama dan Data Primer, diolah

22 110 Sekalipun masih menyisakan pinjaman modal di tahun 2008, tahun berikutnya tujuh dari kedelapan responden mengajukan penambahan modal untuk mengembangkan usahanya. Dengan demikian terdapat 9 responden yang memperoleh pinjaman modal pada tahun 2009, dua diantaranya berasal dari KUBE bentukan tahun Hingga akhir tahun 2009, rata-rata jumlah pinjaman yang dikembalikan responden adalah sebanyak 53,28 persen dari total pinjaman pada tahun Hasil Proses Pemberdayaan Dengan adanya bantuan modal bagi usaha yang dijalankan fakir miskin, umumnya para responden menyambut baik P2FM-BLPS. Berdasarkan wawancara, keuntungan yang dirasakan responden dari program ini adalah adanya peningkatan status ekonomi melalui peningkatan pendapatan keluarga yang mereka dapat dari usaha ekonomi yang mereka jalankan. Pendapatan dari hasil UEP sebagai sumber penghasilan yang baru dinilai telah cukup membantu memenuhi kebutuhan keluarga responden. Pendapatan hasil UEP ini sudah termasuk keuntungan dan biaya jasa tenaga kerja bagi mereka sendiri sehingga para responden selain dapat untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga dapat menyisihkan sisa keuntungan untuk menabung atau mencicil pinjaman. Keuntungan sosial yang responden rasakan adalah adanya wadah untuk berinteraksi dan menyalurkan aspirasi mereka melalui kelembagaan KUBE. Selain itu status sosial mereka juga meningkat dari hanya seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan atau bekerja serabutan menjadi seseorang yang memiliki pekerjaan tetap dan cukup menghasilkan. Dengan adanya peningkatan status sosial dan ekonomi ini, mereka memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan dapat berupaya keluar dari kemiskinannya.

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN 111 BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN Sekalipun pelaksanaan P2FM-BLPS di Kabupaten Bogor mengalami berbagai kendala, namun program tersebut sangat mendukung kebijakan pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

BAB V GAMBARAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT BAB V GAMBARAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT Program pengembangan masyarakat perusahaan sebagai tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), pengkaji nila belum ada program yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi pioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat.

Lebih terperinci

BUPATI JEMBER PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI JEMBER PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI JEMBER PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN MODAL LEMBAGA KEUANGAN MIKRO MASYARAKAT DAN KOPERASI PEDESAAN KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM ANTI KEMISKINAN (ANTI POVERTY PROGRAM) KABUPATEN TRENGGALEK TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian dan agribisnis di pedesaan merupakan sumber pertumbuhan perekonomian nasional. Agribisnis pedesaan berkembang melalui partisipasi aktif petani

Lebih terperinci

Berdasarkan hasil analisis menggunakan data SUSDA Tahun 2006 yang dibandingkan dengan 14 indikator kemiskinan dari BPS, diperoleh bahwa pada umumnya

Berdasarkan hasil analisis menggunakan data SUSDA Tahun 2006 yang dibandingkan dengan 14 indikator kemiskinan dari BPS, diperoleh bahwa pada umumnya 33 ABSTRACT ANDRI APRIYADI. The Strategic and Programs of Empowerment Poor People through Kelompok Usaha Bersama in Bogor District. Under guidance of YUSMAN SYAUKAT and FREDIAN TONNY NASDIAN. The objective

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 11 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 11 TAHUN 2006 TENTANG SALINAN 1 BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 11 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN POTENSI KESEJAHTERAAN SOSIAL MASYARAKAT (P2KSM) KABUPATEN PURWOREJO

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, sesungguhnya adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi masyarakat menuju ke arah yang

Lebih terperinci

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR AGRIBISNIS

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR AGRIBISNIS VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR AGRIBISNIS 7.1. Karakteristik Responden Responden yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 38 responden yang menjadi mitra

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN KEUANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN POTENSI KESEJAHTERAAN SOSIAL MASYARAKAT (P2KSM) KABUPATEN PURWOREJO DENGAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Desa Situ Udik Desa Situ Udik terletak dalam wilayah administratif Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Desa Situ Udik terletak

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM ANTI KEMISKINAN (ANTI POVERTY PROGRAM) KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 03 TAHUN 2013 T E N T A N G

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 03 TAHUN 2013 T E N T A N G BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 03 TAHUN 2013 T E N T A N G PETUNJUK TEKHNIS PELAKSANAAN PROGRAM FASILITASI PEMBIAYAAN KELOMPOK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI KABUPATEN BIMA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya berbagai macam masalah di dalam kehidupan masyarakat seperti terjadinya PHK pada buruh kontrak, jumlah pengangguran

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Pada bagian ini yang merupakan bagian penutup dari laporan penelitian memuat kesimpulan berupa hasil penelitian dan saran-saran yang perlu dikemukakan demi keberhasilan proses

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PROGRAM PEMBERDAYAAN POTENSI KESEJAHTERAAN SOSIAL MASYARAKAT (P2KSM) KABUPATEN PURWOREJO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 34 TAHUN 2007

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 34 TAHUN 2007 GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 34 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYALURAN DAN PENGEMBALIAN DANA PENGUATAN MODAL USAHA KELOMPOK (PMUK) BERGULIR PADA DINAS PERKEBUNAN PROVINSI LAMPUNG

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN BANTUAN SOSIAL PEMBANGUNAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DI KABUPATEN KARAWANG

PETUNJUK PELAKSANAAN BANTUAN SOSIAL PEMBANGUNAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DI KABUPATEN KARAWANG I. PENDAHULUAN LAMPIRAN : NOMOR : 38 TAHUN 2011 TANGGAL : 23 DESEMBER 2011 a. Latar Belakang Salah satu program pembangunan Kabupaten Karawang adalah Pembangunan Rumah Tidak Layak Huni merupakan Program

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN 23 Gambaran penelitian yang dimuat dalam bab ini merupakan karakteristik dari sistem pertanian yang ada di Desa Cipeuteuy. Informasi mengenai pemerintahan

Lebih terperinci

BAB V PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN TENGAH

BAB V PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN TENGAH 60 5.1. Latar Belakang Program BAB V PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN TENGAH Pembangunan Sosial berbasiskan komunitas merupakan pembangunan yang menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Upaya pembangunan perkebunan rakyat yang diselenggarakan melalui berbagai pola pengembangan telah mampu meningkatkan luas areal dan produksi perkebunan dan pendapatan nasional,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 40 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 40 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 40 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN BANTUAN (COMMUNITY DEVELOPMENT) UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN (CDMK) BANTUAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program ekonomi yang dijalankan negara-negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

VII. EVALUASI DAN RUMUSAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KELUARGA MISKIN MELALUI KUBE DI KELURAHAN MAHARATU

VII. EVALUASI DAN RUMUSAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KELUARGA MISKIN MELALUI KUBE DI KELURAHAN MAHARATU VII. EVALUASI DAN RUMUSAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KELUARGA MISKIN MELALUI KUBE DI KELURAHAN MAHARATU 7.1. Evaluasi dan Strategi Pemberdayaan Keluarga Miskin 7.1.1. Evaluasi Kegiatan KUBE di Kelurahan Maharatu.

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada kegiatan Praktek Lapangan 2 yang telah dilakukan di Desa Tonjong, penulis telah mengevaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat/ komunitas yang ada di

Lebih terperinci

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA)

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA) 28 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA) Pendahuluan Latar Belakang Peraturan Presiden (PERPRES) Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Bangun Rejo merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Bangun Rejo merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak Geografis dan Luas Wilayah Kecamatan Bangun Rejo merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Lampung Tengah. Kecamatan Bangun Rejo merupakan pemekaran

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Desa Gunung Malang merupakan salah

Lebih terperinci

BUPATI PAKPAK BHARAT

BUPATI PAKPAK BHARAT BUPATI PAKPAK BHARAT PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERKUATAN PERMODALAN USAHA BAGI MASYARAKAT MELALUI KREDIT NDUMA PAKPAK BHARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.25/MEN/2009 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.25/MEN/2009 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.25/MEN/2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

DocuCom PDF Trial. Nitro PDF Trial BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

DocuCom PDF Trial.   Nitro PDF Trial BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Generasi muda adalah bagian dari penduduk dunia yang sangat potensial dan memiliki sumbangan teramat besar bagi perkembangan masa depan dunia. Namun permasalahan

Lebih terperinci

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah Kecamatan Kahayan Kuala merupakan salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten Pulang Pisau yang sangat

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR 7.1. Karakteristik Umum Responden Responden penelitian ini adalah anggota Koperasi Baytul Ikhtiar yang sedang memperoleh

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI KUDUS, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Lokasi Letak dan Keadaan Fisik

BAB IV GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Lokasi Letak dan Keadaan Fisik 4.1 Gambaran Umum Lokasi 4.1.1 Letak dan Keadaan Fisik BAB IV GAMBARAN UMUM Desa Gunung Menyan merupakan desa pemekaran dari Desa Cimayang pada tahun 1983 yang terletak di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN NOMOR PER- 54 /PB/2007 TENTANG PETUNJUK PENCAIRAN DAN PENYALURAN DANA PENGUATAN MODAL

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR...

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR... BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR... TAHUN TENTANG PENGELOLAAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PINJAMAN DANA BERGULIR

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PINJAMAN DANA BERGULIR PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PINJAMAN DANA BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Upaya penanganan kemiskinan sejak zaman pemerintah Orde Baru sudah dirasakan manfaatnya, terbukti dari jumlah penurunan jumlah penduduk miskin yang terjadi antara tahun 1976

Lebih terperinci

BUPATI KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

BUPATI KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN BUPATI KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLATEN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan tingginya tingkat kemiskinanberhubungan erat dengan permasalahan pertanian di Indonesia. Menurut Nasution (2008), beberapa masalah pertanian yangdimaksud

Lebih terperinci

VII. KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN BOGOR

VII. KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN BOGOR VII. KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN BOGOR 7.1 Komoditas Unggulan di Kecamatan Pamijahan Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) terhadap komoditas pertanian di Kabupaten Bogor yang menggambarkan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

RANCANGAN PROGRAM RENCANA AKSI PENGEMBANGAN KBU PKBM MITRA MANDIRI

RANCANGAN PROGRAM RENCANA AKSI PENGEMBANGAN KBU PKBM MITRA MANDIRI RANCANGAN PROGRAM RENCANA AKSI PENGEMBANGAN KBU PKBM MITRA MANDIRI Dalam rangka mendapatkan strategi pengembangan KBU PKBM Mitra Mandiri dalam upaya pemberdayaan masyarakat, sebagaimana tujuan dari kajian

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI TENTANG TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BANYUWANGI

MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI TENTANG TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BANYUWANGI BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN KEPUTUSAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 188/61/KEP/429.011/2016 TENTANG TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BANYUWANGI Menimbang Mengingat BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN DANA PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN DANA PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN DANA PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. b. c. bahwa sesuai Peraturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

PROGRAM DALAM MENGATASI KETIMPANGAN TINGKAT PERKEMBANGAN KUBE

PROGRAM DALAM MENGATASI KETIMPANGAN TINGKAT PERKEMBANGAN KUBE PROGRAM DALAM MENGATASI KETIMPANGAN TINGKAT PERKEMBANGAN KUBE Analisis Masalah Pendekatan kelompok melalui pengembangan KUBE mempunyai makna strategis dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Melalui KUBE,

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO,

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO, BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN PROGRAM SOLUSI KEMISKINAN (POVERTY SOLUTION PROGRAM/ PSP) DI KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA OBOR SUDIMARA ) DESA SUDIMARA KECAMATAN CILONGOK KABUPATEN BANYUMAS

ANGGARAN DASAR BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA OBOR SUDIMARA ) DESA SUDIMARA KECAMATAN CILONGOK KABUPATEN BANYUMAS ANGGARAN DASAR BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA OBOR SUDIMARA ) DESA SUDIMARA KECAMATAN CILONGOK KABUPATEN BANYUMAS ------------------------------NAMA, BENTUK DAN TEMPAT KEDUDUKAN-----------------------------

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PROGRAM PENINGKATAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI PINJAMAN MODAL USAHA DENGAN POLA DANA BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR

PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR PERATURAN NOMOR 15 Tahun 2009 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR KREDIT USAHA MIKRO KUDUS DI KABUPATEN KUDUS Menimbang a. bahwa untuk memberdayakan usaha mikro yang ada di Kabupaten Kudus perlu disediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor dengan penyerapan tenaga kerja paling banyak di Indonesia dibandingkan dengan sektor lainnya. Badan Pusat Statistik (2009) melaporkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA

PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR Bab ini menjelaskan berbagai aspek berkenaan kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Bogor yang meliputi: Organisasi Badan Pelaksana an Pertanian,

Lebih terperinci

PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM)

PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) Proses Penyusunan Rencana Program Pelaksanaan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di tingkat Desa Tonjong

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Desa Purwasari terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Desa Purwasari terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Purwasari terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Petir, sebelah Selatan berbatasan dengan

Lebih terperinci

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 84 / HUK / 2009 TENTANG

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 84 / HUK / 2009 TENTANG MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 84 / HUK / 2009 TENTANG RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, ANGGARAN, DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN LINGKUP DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR PADA UNIT PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI USAHA MIKRO DAN MENENGAH KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN RIAU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. yang dibina oleh Kementerian Kehutanan. Koperasi ini didirikan pada tahun 1989.

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. yang dibina oleh Kementerian Kehutanan. Koperasi ini didirikan pada tahun 1989. V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Profil dan Kelembagaan UBH-KPWN Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) merupakan koperasi yang dibina oleh Kementerian Kehutanan. Koperasi ini didirikan pada

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa kemiskinan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PEREKONOMIAN BERBASIS KERAKYATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 17 Tahun : 2015

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 17 Tahun : 2015 BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 17 Tahun : 2015 PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYALURAN BANTUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan ( PUAP ) Berdasarkan surat Keputusan Menteri Pertanian

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR BAGI USAHA MIKRO DAN KECIL

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR BAGI USAHA MIKRO DAN KECIL RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR BAGI USAHA MIKRO DAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN 5.1. Gambaran Umum Desa Purwasari Desa Purwasari merupakan salah satu Desa pengembangan ubi jalar di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Usahatani ubi jalar menjadi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN BUPATI SAMPANG NOMOR : 68 TAHUN 2008/434.013/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMPANG NOMOR 27 TAHUN 2008 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH

Lebih terperinci

BUPATI BINTAN HASIL PERBAIKAN PAK JAROT

BUPATI BINTAN HASIL PERBAIKAN PAK JAROT BUPATI BINTAN HASIL PERBAIKAN PAK JAROT PERATURAN BUPATI BINTAN NOMOR 6 TAHUN 2013TAHUN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN BANTUAN REHABILITASI SOSIAL RUMAH TIDAK LAYAK HUNI (RS-RTLH) TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR KEPADA PT BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TIMUR Tbk DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun,

diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

Perluasan Lapangan Kerja

Perluasan Lapangan Kerja VII Perluasan Lapangan Kerja Perluasan lapangan kerja untuk menciptakan lapangan kerja dalam jumlah dan mutu yang makin meningkat, merupakan sebuah keniscayaan untuk menyerap angkatan kerja baru yang terus

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KABUPATEN SUMEDANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMEDANG, Menimbang a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI KUDUS, Menimbang a.

Lebih terperinci

10. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;

10. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; 7. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Kegiatan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 96 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 96 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 96 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

Renja BP4K Kabupaten Blitar Tahun

Renja BP4K Kabupaten Blitar Tahun 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN R encana kerja (RENJA) SKPD Tahun 2015 berfungsi sebagai dokumen perencanaan tahunan, yang penyusunan dengan memperhatikan seluruh aspirasi pemangku kepentingan pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA 27 BAB IV GAMBARAN UMUM DESA 4.1 Desa Cikarawang 4.1.1 Kondisi Demografis Desa Cikarawang merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan terdiri dari 7 RW. Sebelah

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN GUBERNUR MALUKU NOMOR : 21 TAHUN 2009 TENTANG KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI MALUKU GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa percepatan penurunan angka

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan suatu program yang mutlak dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan, memperluas lapangan kerja dan pengentasan masyarakat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 83 / HUK / 2010 TENTANG

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 83 / HUK / 2010 TENTANG MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 83 / HUK / 2010 TENTANG RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, ANGGARAN, DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN LINGKUP KEMENTERIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk menanggulangi kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode tahun 1974-1988,

Lebih terperinci

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB VII STIMULAN DAN PENGELOLAAN P2KP

BAB VII STIMULAN DAN PENGELOLAAN P2KP BAB VII STIMULAN DAN PENGELOLAAN P2KP 7.1. STIMULAN P2KP 7.1.1. Tingkat Bantuan Dana BLM untuk Pemugaran Rumah, Perbaikan Fasilitas Umum dan Bantuan Sosial Salah satu indikator keberhasilan P2KP yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akses pangan merupakan salah satu sub sistem ketahanan pangan yang menghubungkan antara ketersediaan pangan dengan konsumsi/pemanfaatan pangan. Akses pangan baik apabila

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum dan Geografis Penelitian dilakukan di Desa Lebak Muncang, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Desa Lebak Muncang ini memiliki potensi yang baik dalam

Lebih terperinci