KAJIAN AGROEKOLOGI SISTEM AGROFORESTRI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIANJUR HADI PRANOTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN AGROEKOLOGI SISTEM AGROFORESTRI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIANJUR HADI PRANOTO"

Transkripsi

1 KAJIAN AGROEKOLOGI SISTEM AGROFORESTRI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIANJUR HADI PRANOTO Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ABSTRACT Hadi Pranoto. Analysis Characteristic Agroecology of Agroforestry System in Cianjur Watershed. Under suvervisor M A Chozin as chairman, Hadi susilo Arifin and Edi Santosa, as a member of the advisory community.a A research was conducted to analyze agroecologycal characteristic of agroforestry system in Cianjur Watershed landscape. Observation and interviews were held to 30 samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed, that the communities in the three zones of Cianjur Watershed have been conducting agroforestry practice in order to manage their dry land. It s found the differences characteristic of agroforestry system between the upper stream and the down stream. In the upper stream, agroforestry practices were found in a forest garden. This area is the buffer zone of Gede Pangrango Mountain. In the upper stream, the number of trees found 5 species and 12 species of plants. In the middle stream area, agroforestry practices were found in community lands and the tea estate plantation. In the community lands the number of trees found 20 species and 12 species of plant. In the down stream area, agroforestry were practiced in community lands and the flat area. The number of trees is 23 species and 11 species of plants. The middle stream agroforestry system characteristic was known as a transition condition between the upper and the down streams. The characteristic of biophisic and agroclimate have affected to total individual number and species of trees and cash crop. Planting index of cash crops is 2.93, 2.53 and 1.43 in the upper, middle and down stream, respectively. The average annual income from cash crops in the three zones are , and (IDR/ha/yr) from the upper, the middle to the down streams, respectively. The productivity of cash crops in the three zones of Cianjur watershed area, in the generally also lower than the potential yield and data from Cianjur Agriculture Official Furthermore, the dominant cash crops in the upper stream are carrot, cabbage, tomato, scallion, mustard and chili. In the middle stream are corn, chili, tomato, carrot, and mustard, and than in the down stream are corn, chili, tomato and cassava.the aspects of sustainability can be seen from the B/C ratio, where B/C ratio in the three zones of watersheds Cianjur worth more than 1. The B/C ratio in the upper stream 1:09, in the middle stream 2.89 and the downstream 1:02. The sustainability of agroforestry systems in every zone, was defined for aspects of productivity, economic, social and culture and ecologycal. For the aspect of environmental sustainability, in the upper stream more lower than in the middle and the down stream.the aspects of the use of chemical fertilizers and pesticides, in the downstream is lowest of use of fertilizers and chemical pesticides for the management of agroforestry systems. There are differences of sustainability indexs in the three zones area in ianjur watershed. The average of indexs sustainability is (moderat suatainability).in scale Key words: agroclimate, biophisic, cropping pattern, productivity, social economic

3 RINGKASAN HADI PRANOTO. Kajian Agroekologi Sistem Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur. Di bawah bimbingan: M A CHOZIN, HADI SUSILO ARIFIN dan EDI SANTOSA Sistem agroforestri untuk pengelolaan lahan kering pada kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) diyakini oleh beberapa peneliti mampu menjaga kelestarian lingkungan dan mempunyai manfaat dari segi keragaman jenis (biodiversity), unsur hara, sifat fisik tanah serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Daerah Aliran Sungai yang berdasarkan tempatnya meliputi kawasan dari hulu sampai ke hilir, secara umum memiliki keragaman agroekologi yang disebabkan oleh perbedaan ketinggian tempat. Perbedaan wilayah yang ditentukan berdasarkan ketinggian tempat ini sering dianggap sebagai zona DAS. Masyarakat di wilayah DAS Cianjur secara umum memanfaatkan lahan keringnya dengan sistem agroforestri. Sistem agroforestri di daerah ini berupa pekarangan (home gardens), kebun campuran (mixed gardens) dan kebun hutan (forest gardens). Sistem agroforestri ini berlangsung sudah cukup lama dan sudah menjadi budaya masyarakat secara turun-temurun. Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri sebagai suatu sistem tersebut dipengaruhi oleh kondisi zona agroekologi yang berarti bahwa keadaan topografi dan iklim yang berbeda akan memberi pengaruh yang berbeda terhadap pola pengelolaan sistem agroforestri sebagai sistem pertaniannya. Serangkaian penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik sistem agroforestri berdasarkan kajian agroekologi di tiga zona DAS Cianjur yang dikhususkan dengan tujuan 1) analisis biofisik dan agroklimat sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 2) analisis pola tanam dan produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur dan 3) analisis sosial ekonomi dan keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur. Penelitian dilaksanakan sejak Bulan Agustus 2007 sampai dengan Desember 2008 di tiga zona Daerah Aliran Sungai Cianjur Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat. Secara geografis zona hulu terletak pada S ; E pada ketinggian > 900 m dpl, tengah ` ` 08 BT dan ` 14 LS ( m dpl), dan hilir ` ` 08 BT dan ` 14 LS pada ±300 m dpl. Penelitian menggunakan metode survei dengan pengamatan langsung sistem agroforestri masyarakat. Jumlah sampel agroforestri dan petani pada setiap zona sebanyak 30. Penentuan lokasi sampel dan responden didasarkan pada data kepemilikan dan penggunaan lahan secara acak dan atau terstruktur yang mengacu pada peta topografi, penggunaan lahan dan peta kesesuaian lahan DAS Cianjur. Survei dilakukan untuk mengetahui komponen penyusun agroforestri berupa jenis pohon, jenis tanaman semusim, jumlah jenis dan penyebarannya serta pola tanaman tanaman semusim yang meliputi intensitas penanaman, pola tanam, rotasi penanaman, luas dan pola kepemilikan lahan dan status garapan. Pengelompokkan jenis tanaman didasarkan pada fungsinya dan dibedakan

4 menjadi 8 (delapan) kelompok yaitu: tanaman pangan, buah, sayuran, bumbu, obat, industri, hias dan tanaman lainnya. Analisis pertimbangan petani dalam memilih jenis tanaman didasarkan pada beberapa kriteria yaitu: konsumsi harian, kemudahan menjual, keuntungan/harga, kesesuaian iklim, keahlian petani, kemudahan pemeliharaan tanaman, biaya yang rendah, kemudahan mendapatkan bibit/benih dan kesesuaian dengan kebijakan. Selanjutnya dilakukan Uji Chi Square untuk menguji hubungan pada masing-masing kriteria pada setiap zona. Data produktivitas tanaman dikumpulkan dari hasil wawancara dan pengamatan pertumbuhan dan produksi tanaman di pertanaman petani sampel. Wawancara berupa pertanyaan mengenai persiapan tanam sampai pemanenan hasil, produksi, biaya serta nilai jual produksi tanaman pada setiap periode tanam. Sedangkan pengamatan pertumbuhan dan produksi, dilakukan pada petak pengamatan berukuran 5m x 5m yang ditempatkan pada lahan-lahan petani yang mewakili kondisi pertanaman pada lokasi penelitian. Pengamatan ini dilakukan terhadap 10 tanaman contoh dari setiap petak pengamatan untuk setiap jenis tanaman, dan setiap petak pengamatan diulang sebanyak tiga kali. Petak pengamatan untuk setiap jenis tanaman juga dibuat pada pertanaman monokultur sebagai pembanding. Analisis ekonomi dilakukan dengan menghitung pemasukan, pengeluaran dan pendapatan dari lahan yang dikelola petani pada saat penelitian berlangsung ( ), dengan analisis arus uang tunai (cash flow analysis). Sedangkan tingkat keberlanjutan sistem agroforestri ditentukan dengan analisis Benefit/Cost Ratio (B/C ratio). Analisis keberlanjutan juga didasarkan pada aspek keberlanjutan agronomi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi, dimana Sustainabilitas Agroforestri (ST) = KA + KE + KSB + KEK. Pembobotan untuk setiap aspek dianggap setara. Semakin tinggi nilai ST, maka sistem agroforestri yang diterapkan oleh masing-masing petani tingkat keberlanjutannya semakin tinggi. Nilai akhir setiap zona DAS merupakan rata-rata dari setiap responden pada zona yang bersangkutan. Nilai ST = 4-10 berarti tidak berkelanjutan (Not Sustainable), ST = berarti keberlanjutan sedang (moderat sustainable) dan ST = berarti sangat berkelanjutan (very sustainable). Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan karakteristik agroklimat dan biofisik di tiga zona DAS Cianjur, yang berpengaruh terhadap karakteristik penyusun sistem agroforestri pada setiap zona DAS. Di hulu ditemukan pohon sebanyak 5 spesies, di tengah 20 spesies dan di hilir 23 spesies. Berdasarkan fungsinya, di hulu 80% penghasil kayu dan 20% pohon buah, di tengah 60% penghasil kayu, 30% pohon buah 10% penghasil bunga sedangkan di hilir 56.52% penghasil kayu, 30.43% penghasil buah, 8.70% penghasil bunga dan 4.40% penghasil obat. Perbedaan jumlah spesies pohon disebabkan oleh tujuan pemilihan pohon yang dikaitkan dengan fungsi ekologis dan ekonomis pohon pada setiap zona DAS. Berdasarkan fungsi ekologis pohon yang dipilih adalah pohon yang mempunyai nilai konservasi tinggi dengan perakaran yang dalam dan perkembangan tajuk yang cepat. Sedangkan dari nilai ekonomis adalah pohon

5 yang mempunyai nilai ekonomis tinggi baik berupa getah maupun kulit kayunya yaitu: pinus (Pinus merkusii) dan kayu putih (Eucalyptus sp). Sedangkan jumlah spesies tanamam semusim di hulu lebih rendah dibandingkan di tengah dan di hilir. Rendahnya jumlah spesies tanaman di hulu disebabkan oleh kondisi agroklimat terutama suhu. Perbedaan suhu yang merupakan representasi dari ketinggian tempat merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman, sehingga jenis tanaman yang diusahakan hanya terbatas pada tanaman sayuran dataran tinggi seperti cabe, tomat, wortel, kobis, sawi, bawang daun dan brokoli. Pola tanam di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda. Di hulu dan tengah pola tanam lorong (alley cropping) dengan tata letak tanaman teratur dalam barisan atau blokblok baik tunggal maupun tumpang sari, sedangkan di hilir sistem agroforestri umumnya berupa kebun campuran. Intensifikasi pengelolaan tanaman di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda, dimana di hulu intensifikasi pengelolaan tanamannya sangat intensif, di tengah intensif sedangkan di hilir kurang intensif. Adapun indeks pertanaman di hulu adalah 2.93, di tengah 2.53 sedangkan di hilir Penentuan pola tanam petani belum didasarkan pada data iklim. Waktu tanam masih mengacu pada pola musim penghujan (Oktober-Maret) dan kemarau (April- September). Hal ini menyebabkan tanaman yang ditanam cenderung jenis yang sama pada setiap musim tanam (bahkan setiap tahun). Produktivitas tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda. Tingginya produktivitas tanaman semusim (tanaman sayuran) di hulu dan tengah selain karena kesesuaian faktor iklim juga karena faktor agronomis. Faktor iklim terutama suhu berpengaruh terhadap kecepatan reaksi, peningkatan fungsi enzim, kondisi lingkungan tanah serta meningkatkan aktivitas fisiologi tanaman. Terdapat perbedaan produktivitas tanaman pada data survei, pengamatan sampel pada petak pengamatan, rataan dari Dinas Pertanian Kab Cianjur dan potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan metode pengumpulan data. Survei wawancara menggunakan data dari petani, sedangkan data produktivitas pada petak pengamatan yang diambil dengan cara mengamati dan menghitung secara langsung produktivitas sampel tanaman pada petak yang telah ditentukan. Adapun data Dinas Pertanian Kab Cianjur, merupakan data produktivitas rataan yang tidak membedakan kondisi agroforestri atau non agroforestri maupun lahan kering atau lahan basah (sawah). Produktivitas agroforestri masih jauh di bawah nilai potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor pengelolaan tanaman dan faktor lingkungan yang tidak sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan tumbuh dari beberapa jenis tanaman tersebut. Karakteristik sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap pendapatan (rp/ha/thn). Tingginya pendapatan dari tanaman semusim di hulu dibanding di tengah dan hilir, dipengaruhi oleh perbedaan status kepemilikan, luasan garapan, sistem bagi hasil tanaman dan pohon, tujuan penanaman dan kelembagaan. Peranan kelembagaan pertanian juga cukup besar. Di hulu, petani dalam bentuk kelompok tani mendapatkan penyuluhan satu bulan satu kali mengenai penanaman dan pengaturan pola tanam. Selain itu juga tersedia pinjaman sarana produksi (saprodi) melalui beberapa pengusaha/pedagang lokal. Di zona tengah kelompok tani belum terbentuk, namun ada koperasi yang menyediakan pinjaman saprodi untuk pengelolaan lahan mereka, sedangkan di

6 hilir kelompok tani hanya terbatas kelompok tani lahan sawah, sehingga agroforestri belum dapat dikelola secara optimal. Secara ekonomi bahwa sistem agroforestri di DAS Cianjur memberikan pendapatan yang cukup besar. Nilai pendapatan tanaman semusim dari hulu ke hilir berturut-turut adalah Rp /ha/tahun, Rp /ha/tahun dan /ha/tahun, sedangkan keberlanjutan yang dihitung dari nilai B/C ratio menunjukkan bahwa B/C ratio di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir Sedangkan nilai keberlanjutan yang dihitung berdasarkan nilai Keberlanjutan Agronomi (KA), Keberlanjutan Ekonomi (KE), Keberlanjutan Sosial Budaya (KSB) dan Keberlanjutan Ekologi (KEK), menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur adalah pada interval 11 15, yang berarti nilai keberlanjutanya adalah moderat (moderat sustainability). Kata kunci: agroklimat, biofisik, keberlanjutan, pola tanam, produktivitas tanaman

7 KAJIAN AGROEKOLOGI SISTEM AGROFORESTRI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIANJUR HADI PRANOTO Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

8 Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MSc 2. Dr. Ir. Ade Wachjar, MSc Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Irdika Mansyur, MSc 2. Dr. Ir. Murniati, MSc

9 Judul Disertasi : Kajian Agroekologi Sistem Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur Nama : Hadi Pranoto NIM : A Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin, M. Agr Ketua Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS Anggota Dr. Edi Santosa, SP. MSi Anggota Diketahui Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Prof. Dr. Ir. Munif Gulamahdi, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MAgr Sc NIP NIP Tanggal Lulus:... Tanggal Lulus:...

10 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Analisis Agroekologi Sistem Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Desember 2011 Hadi Pranoto A

11 @Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada 25 Nopember 1970 di Ngawi, Jawa Timur sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Martosaidi dan Ibu Sunarti (Alm). Menikah dengan Daru Purbaningtyas Kusumo, ST MT dan dikarunia empat orang anak yaitu Bagus Fadhilurosyid, Bagus Prasetyonurosyid (Alm), Dimas Farhan Nurahmad dan Adiningtyas Prameswari Pranoto. Penulis menamatkan kuliah S1 dengan gelar (SP) di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Agronomi lulus tahun 1994, dan melanjutkan kuliah S2 di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda, lulus tahun Tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis pada saat ini adalah staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur.

13 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Alloh SWT karena atas rahmad dan karunia-nya saya dapat menyusun dan menyelesaikan penulisan desertasi S3 sebagai karya ilmiah saya di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi dengan judul Kajian Agroekologi Sistem Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur, merupakan tugas akhir studi doktor di SPs IPB. Kajian agroekologi sistem agroforestri di kawasan DAS ini dipandang perlu dan penting diangkat dalam sebuah tulisan akademik. Agroforestri merupakan sistem pertanian yang telah dilakukan masyarakat dalam pengelolaan lahan kering secara turun-temurun dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Sedangkan kajian agroekologi, juga dipandang perlu untuk mengetahui sejauh mana sistem agroforestri dapat dilaksanakan di kawasan DAS dengan karakteristik agroekologi yang berbeda (dari hulu ke hilir). Terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya secara khusus penulis sampaikan kepada Ketua Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Ir. M A Chozin, MAgr. Bimbingan yang intensif, cermat, terarah serta ketulusan hati beliau sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Semoga Alloh SWT memberikan kebahagiaan dan keberkahan kepada Bapak dan Keluarga. Terimakasih dan penghormatan juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS dan Dr. Edi Santosa, MSi selaku anggota komisi pembimbing, beliau juga telah memberikan bimbingan yang intensif, motivasi, informasi dan tak kenal lelah banyak menyediakan waktu untuk diskusi dalam rangka penyelesaian disertasi ini. Terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto dan Dr. Ir. Maya Melati, MSc atas masukan dan saran serta kesediaanya sebagai dosen penguji pada ujian prakualifikasi. Kepada Tim Hibah Pascasarjana (HPTP) DP2M DIKTI angkatan IV tahun dengan tema Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa-Kota Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) yang diketuai Prof Dr. Ir. Hadi Susilo

14 Arifin, MS atas dukungan dan bantuan dana penelitian. Kepada Hibah Doktor, Pemprov Kalimantan Timur, Apindo Kalimantan Tengah yang juga telah membantu dana penelitian ini. Dengan tulus penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Mang Entis, Pak Ujang, Pak Ade, Mang Mamang, Pak Udin yang setia menemani saya di lapangan selama penelitian, dan para petani di Galudra, Mangun Kerta dan Selajambe yang dengan ramah menerima saya. Dan juga teman seperjuangan dan sahabat saya Ibu Selvie Diana Anis yang sejak awal kuliah, penelitian sampai penulisan disertasi menjadi sahabat diskusi. Mas Haris, Bu Eva dan Pak Dwi juga saya ucapkan terima kasih. Kepada kedua orang tua saya Ibu Sunarti (Alm) dan Bapak Martosaidi dan mertua saya Bapak Ir. Tejo Mantrisutejo, MSc (Alm) dan Ibu Darmastuti, terimakasih atas doa, kasih sayang, jasa dan pengorbanan kepada saya. Kepada istriku Daru Purbaningtyas, ST, MT dan anak-anaku tercinta Bagus, Prasetyo, Dimas dan Ajeng terimakasih atas kesabaran, doa, keiklasan, dorongan, cinta kasih kalian. Kepada kakaku Ir. Sukaryanto, MS dan Suwarno dan keponakanku Jati, Joko, Ayu dan Yayun terimaksih atas dorongan, doa dan kasih sayangnya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pengembangan ilmu pengetahuan. Amien. Terimakasih. Bogor, Desember 2011 Hadi Pranoto

15 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN xvii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 6 Tujuan Penelitian... 7 Hipotesis. 7 Manfaat Penelitian. 8 TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Pemanfaatan Lahan Kering di DAS Agroforestri Kebaikan dan Kelemahan Agroforestri Agroekologi Keberlanjutan ANALISIS KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN AGROKLIMAT SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR Abstrak Abstract Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan ANALISIS POLA TANAM DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADA SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR Abstrak Abstract Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan ANALISIS KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI DAS 68 CIANJUR... Abstrak Abstract... 68

16 Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

17 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1 Keuntungan (pemasukan) dari sistem agroforestri di beberapa 16 negara... 2 Pendapatan dan total pendapatan tahunan tanaman tahunan pada pertanaman vanili di Desa Padasari, dibandingkan dengan intercropping dengan cash crops di Desa Bugel dan pisang di Cijeunjing pada hutan jati di Sumedang Jawa Barat Kelas kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur beserta luasannya Data iklim DAS Cianjur tahun Pola penggunaan lahan dan luasan di lokasi penelitian Luasan lahan dan struktur kepemilikannya di lokasi penelitian Keadaan tanaman sayuran tahun 2002 dan Deskripsi wilayah penelitian di Daerah Aliran Sungai Cianjur Spesies pohon dan tanaman semusim (berdasarkan fungsinya) pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Pola kepemilikan lahan di tiga zona DAS Cianjur Rata-rata luas lahan garapan pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur Status garapan dan sistem bagi hasil agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Jumlah spesies fauna (serangga) pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Karakteristik pola tanam pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Keadaan iklim dan topografi di tiga zona DAS Cianjur Jenis tanaman semusim dan pola tanam pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur Rotasi tanaman pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Frekuensi petani melakukan pola tanam untuk berbagai jenis tanaman pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur Pertimbangan petani dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam Karakteristik sosial ekonomi masyarakat di DAS Cianjur Rata-rata penggunaan pupuk dan kapur (ton/ha/tahun) pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Rata-rata penggunaan pestisida pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Tingkat keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur... 87

18 DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman 1 Bagan kerangka pemikiran rencana penelitian Peta lokasi penelitian sepanjang DAS Cianjur Lokasi penelitian DAS Cianjur Peta kelas lereng DAS Cia jur Peta curah hujan DAS Cianjur Peta jenis tanah di DAS Cianjur Peta tutupan lahan DAS Cianjur Peta penggunaan lahan wilayah hulu Peta penggunaan lahan wilayah tengah Peta penggunaan lahan wilaya hilir Peta lokasi penelitian sepanjang DAS Cianjur Contoh alley cropping di hulu Contoh alley cropping di tengah Contoh alley cropping di hilir Pertimbangan petani dalam memilih jenis tanaman pada 60 sistem agroforestri di DAS Cianjur 4.6 Kalender tanam sistem agroforestri di DAS Cianjur Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa 63 tanaman semusim di tiga zona hulu Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa 64 tanaman semusim di tiga zona tengah Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa 64 tanaman semusim di tiga zona hilir Rata-rata produktivitaas wortel di zona hulu dan tengah Rata-rata produktivitaas cabe keriting di zona tengah dan 65 hilir Rata-rata produktivitaas tomat di zona hulu, tengah dan hilir Urutan analisis berkelanjutan sistem agroforestri. Skor 73 makin tinggi berarti makin berlanjut. Data dari non agroforestri dijadikaan standar dengan skor 3 (sedang) Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Agronomi 77 (KA) sistem agroforestri di DAS Cianjur Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekonomi 79 (KE) sistem agroforestri di DAS Cianjur Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Sosial 80 Budaya (KSB) sistem agroforestri di DAS Cianjur Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekologi 82 (KEK) sistem agroforestri di DAS Cianjur Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Agronomi (KA) sistem agroforestri di DAS Cianjur... 85

19 116 Glossari Adaptabilitas: Kemampuan menyesuaikan suatu sistem pertanian untuk mengatasi kondisi yang berubah. Agroekologi: Kajian menyeluruh mengenai agroekosistem, termasuk semua unsur lingkungan dan manusia, hubungan unsur-unsur dan proses-proses yang melibatkan semua unsur tersebut, misalnya simbiosis, persaingan, perubahan secara berurutan. Agroekosistem: Suatu sistem agroekologi yang dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan pangan, serat dan produk-produk lain yang bermanfaat bagi manusia. Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input teknologi yang sederhana pada lahan-lahan marginal (Nair 1989). Agroforestri juga didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen lahan yang berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman pertanian dengan pohon dan atau hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Agroforestri merupakan suatu istilah atau nama kolektif untuk sistem pengelolaan lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana pohon dengan sengaja diusahakan dalam unit yang sama dengan tanaman pertanian dan atau ternak pada saat yang sama atau berurutan. Dalam sistem agroforestri ini terintegrasi sekaligus aspek ekologis dan aspek ekonomis. Andosol/Andisols: Tanah yang terbentuk dari bahan volkanik muda (pasir dan atau abu volkanik), terasa ringan dan licin jika dipirid, mengandung >60% debu, pasir dan kerikil volkanik. Bedengan: Gundukan tanah dengan panjang dan lebar tertentu yang dibuat untuk pertanaman tanaman semusim. Budidaya lorong (alley cropping): Sistem pertanaman dimana tanaman semusim ditanam pada lorong (alley) di antara dua baris tanaman pagar (hedgerows).

20 117 Budidaya pertanian: Segala bentuk usaha manusia untuk melakukan pengelolaan terhadap tanaman, tanah, air, dan input-input pertanian dengan tujuan untuk menghasilkan suatu produk pertanian Degradasi lahan: Proses penurunan produktivitas lahan, baik bersifat sementara maupun tetap. Ekologi: Ilmu pengetahuan tentang hubungan antara organisme dan lingkungan. Ekosistem: Komunitas tanaman dan hewan (termasuk manusia) yang hidup di suatu wilayah dan lingkungan fisik serta kimia mereka (misalnya udara, air, tanah) termasuk interaksi antara mereka dengan lingkungan. Erodibilitas tanah (kepekaan tanah terhadap erosi): Mudah tidaknya tanah dihancurkan oleh kekuatan hujan dan atau oleh kekuatan aliran permukaan. Erosi: Hilang atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah oleh media alami (air atau angin) dari suatu tempat ke tempat lain. Konservasi tanah: Cara penggunaan tanah yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan. Usaha konservasi tanah adalah usaha yang ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari. Nematisida: Jenis pestisida untuk pengendalian hama yang berupa ulat yang banyak ditemukan pada lapisan atas tanah yang basah, yang biasanya bersifat parasit terhadap tanaman dan hewan. Parasit: Suatu organisme yang hidup dalam atau pada organisme lainnya (inang), tempat organisme itu mendapatkan bahan makanan. Pengetahuan indigenous: sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan lokal: pengetahuan kolektif suatu masyarakat yang hidup di suatu wilayah dalam jangka waktu lama dan selaras dengan lingkungannya. Penyuluhan: disini mengacu pada penyuluhan pertanian: kegiatan penyebaran hasil-hasil penelitian dan saran-saran kepada petani tentang praktek-praktek pertanian dan meningkatkan kemampuan analisis dan komunikasi petani untuk

21 118 membantu mereka dalam pengambilan keputusan di bidang pertanian. Pertanian berkelanjutan: Pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. Pestisida: Jenis substansi untuk menghancurkan atau mengendalikan hama, termasuk insektisida, herbisida, fungisida, akarisida dan sebagainya. Produktivitas: Hubungan antara jumlah barang atau jasa yang dihasilkan dan faktor-faktor yang dipakai untuk memproduksinya; produktivitas pertanian dapat diungkapkan sebagai output/keluaran per unit lahan, modal curahan tenaga kerja, energi, air, unsur hara dan sebagainya. Tanaman: tanaman semusim dan atau tahunan yang dibudidayakan untuk memberikan hasil yang dikehendaki untuk konsumsi manusia atau untuk diproses, misalnya gabah, sayuran (umbi-umbian, tandan atau daun yang dapat dimakan), bunga, buah, serat dan bahan bakar. Tanaman tahunan (perennial crops): Tanaman yang daur hidupnya lebih dari satu tahun. Tanaman tahunan dapat dibagi menjadi tanaman tahunan tegakan tetap dan tegakan temporer. Tumpangsari: Menanam dua atau lebih tanaman pada saat yang sama atau pada lahan yang sama. Budidaya ini diintensifkan menurut kondisi waktu dan tempat.

22 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memperbaiki sektor pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan serta mengatasi urbanisasi. Di sisi lain juga dihadapkan pada perbaikan lingkungan akibat adanya kerusakan hutan, banjir, penurunan kesuburan tanah, polusi udara dan air akibat penggunaan pupuk maupun pestisida yang berlebihan dalam produksi pertanian. Pada awal millennium ini berdasarkan data BPS (2010), jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 235 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1.5% pertahun pada tahun , pertumbuhan laju populasi melebihi laju pertumbuhan produksi pertanian, yang diperkirakan 1.3% pertahun pada periode tahun Kondisi ini menyebabkan tujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan sendiri tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk. Impor beras, jagung, kedelai, gula dan beberapa komoditas lain semakin meningkat. Dari sisi kelestarian lingkungan program intensifikasi pertanian yang gencar digalakkan terutama untuk pengelolaan lahan sawah (padi) juga tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk dan bahkan cenderung menurunkan kualitas lingkungan terutama kesuburan tanah, sehingga produktivitas tanah semakin menurun. Pemerintah juga dihadapkan pada pencapaian ketahanan pangan yang menurut Undang Undang Nomor: 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang mengartikan ketahanan pangan sebagai: Kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pengertian ini mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup, dan sekaligus aspek mikro yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif. Pengertian tersebut, idealnya kemampuan dalam menyediakan pangan bersumber dari dalam negeri sendiri, yaitu yang dihasilkan petani. Sedangkan

23 2 impor pangan dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan, karena jika jumlah yang diimpor lebih besar dibanding yang diproduksi oleh petani, selain akan menguras devisa negara dalam jumlah banyak, ketahanan pangan di dalam negeripun akan terganggu, karena ketersediaan pangan dunia sangat terbatas dan harga jualnya selalu berfluktuasi (Apriantono 2008). Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan rekayasa eko-fisiologi melalui sistem pertanaman ganda seperti tumpang sari, tanaman sela setahun, penanaman sela bersisipan, penanaman beruntun dan agroforestri. Sistem ini selain meningkatkan produktivitas lahan juga diyakini dapat mengendalikan cekaman biotik terutama hama dan penyakit tanaman, serta mengurangi resiko gagal panen. Namun yang perlu diingat bahwa dalam peningkatan produktivitas pertanian ini harus mempertimbangkan empat prinsip yaitu prinsip keseimbangan ekologi agar produksi pertanian dapat lestari, prinsip capaian optimum karena adanya keragaman lingkungan yang besar, prinsip kehati-hatian untuk menghindari kerusakan lingkungan dan menurunnya keragaman genetik serta prinsip kearifan lokal agar pengetahuan yang baik (endogenus knowledge) yang telah ada dapat dipertahankan dan dikembangkan (Chozin 2006). Selain itu juga diharapkan dapat melaksanakan ekstensifikasi pertanian terutama pada lahan-lahan kering yang masih cukup luas dan memiliki potensi yang besar. Menurut Deptan (2002), terdapat juta ha lahan potensial untuk perluasan areal pertanian. Di luar Pulau Jawa saja terdapat sekitar 37 juta ha (Sumatera juta ha, Kalimantan juta ha, Sulawesi 8.83 juta ha dan Papua 2.01 juta ha). Lebih dari 40% areal ini berkemiringan 0-3% dan sisanya berkemiringan 3-15%, dan sekitar 60% (21 juta ha) didominasi oleh jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PKM) atau Ultisol. Sebagian lahan ini telah dibuka untuk pertanian dan pemukiman melalui program transmigrasi. Departemen kehutanan juga melakukan revitalisasi sektor kehutanan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara efektif mengelola kawasan hutan, khususnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik. Kawasan yang kosong dan telantar akan dikelola bersama

24 3 masyarakat untuk ditanami, dipelihara dan diatur panennya pada masa mendatang, berdasarkan kaidah-kaidah Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), yang sistem pengelolaannya disebut sebagai sistem agroforestri. Salah satu tantangan pengembangan pertanian lahan kering adalah rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas tanaman disebabkan oleh faktor fisik dan sosial ekonomi masyarakat. Masalah fisik antara lain kesuburan tanah, kemiringan, ketinggian tempat, iklim dan ketersediaan air, sedangkan masalah sosial ekonomi adalah kebutuhan yang mendesak pada cash kurangnya jiwa wiraswasta, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan yang rendah (Hadipoernomo 1983; Kusmana 1988). Menurut Irawan dan Pranadji (2002) masalah lain yang juga penting adalah: 1) biofisik lahan kering yang tidak sebaik lahan sawah, tingkat kesuburan rendah dan sumber pengairan yang mengandalkan curah hujan yang distribusinya terkadang tidak merata, 2) topografi yang tajam, sehingga laju aliran permukaan (run off) dan erosi tanah cukup tinggi, 3) masih terbatasnya dukungan paket teknologi, tingkat adopsi teknologi dan asosiasi paket teknologi pada proses produksi, 4) lokasi pengembangan yang tersebar, terpencil dengan skala usaha umumnya tidak mencapai titik minimum skala ekonomi, dan 5) dalam pengembangan DAS, para pengambil keputusan masih belum mempertimbangkan dampak negatif pada lingkungan, sehingga pembangunan pertanian yang berkelanjutan sulit terwujud. Selain itu Keeney (1990), menyatakan bahwa pengembangan usaha pertanian di lahan kering umumnya berhubungan dengan kerusakan lingkungan yang menyebabkan lahan-lahan menjadi tandus, ketersediaan air yang terbatas dan erosi. Keadaan ini mendorong perlunya perencanaan dan evaluasi yang baik, sehingga dapat meminimalkan kerusakan lingkungan dan membantu meningkatkan produksi terutama pangan bagi masyarakat. Menurut Sinukaban (2003), pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) seyogyanya dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional, pembangunan daerah atau wilayah serta meningkatkan kualitas lingkungan dan hasil akhirnya adalah kondisi tata air yang baik. Tata air yang baik dapat diukur

25 4 dari tersedianya air yang cukup sepanjang waktu baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu, dalam memperlakukan DAS sebagai suatu sistem keberkelanjutan, dalam pengembangannya perlu memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) dapat memberikan produktivitas lahan yang tinggi, 2) dapat menjamin kelestarian DAS, 3) menjamin pemerataan pendapatan petani (equity), dan 4) mampu mempertahankan kelenturan DAS terhadap goncangan yang terjadi (resilient). Salah satu alternatif pengembangan pertanian yang berkelanjutan di DAS adalah pengembangan agroforestri. Agroforestri diartikan secara luas sebagai suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial dan temporal tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan. Agroforestri merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik secara bersamasama atau secara bergilir yang disesuaikan dengan pola budidaya masyarakat setempat (King dan Chandler 1978); Wijayanto (2002). Pengelolaan lahan kering, khususnya di DAS dengan sistem agroforestri sangat diperlukan sebagai sumberdaya pembangunan yang memiliki potensi strategis antara lain : 1) lahan kering merupakan luasan terbesar dari wilayah budidaya, 2) lahan kering dapat memasok sebagian besar komoditas andalan, 3) lahan kering mempunyai keragaman komoditas untuk pengembangan agroindustri (Widaningsih 1991; Suhara 1991; Badrun 1998). Secara umum, banyak kendala dalam pengembangan agroforestri. Salah satunya adalah rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas ini antara lain disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dalam pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam. Menurut Beets (1982), dalam pola tanam campuran (mixed cropping) seperti halnya pada sistem agroforestri, akan terjadi kompetisi baik antar tanaman maupun dengan pohon terutama kompetisi dalam penyerapan unsur hara sehingga sering berdampak negatif terhadap produktivitas tanaman. Untuk itu dalam pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam dalam agroforestri harus mempertimbangkan kondisi fisik, sosial ekonomi dan

26 5 peluang yang ada, adanya pelibatan petani dalam perancangan dan pengkajian pola tanam dalam rangka memperlancar proses adopsi teknologi. Sedangkan dalam penentuan jenis tanaman (cash crops) yang akan dikembangkan, menurut Thakur et al. (2005), petani sebaiknya memilih tanaman semusim yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu dan bahkan pakan ternak. Selain itu, rendahnya produktivitas juga dapat disebabkan oleh cekaman intensitas radiasi surya akibat penutupan tajuk (naungan). Beberapa studi tentang ekofisiologi tanaman di bawah naungan telah dilakukan pada padi gogo (Chozin et al. 2000), kedelai (Sopandie et al. 2004), talas (Djukri 2003) dan lada (Wahid 1984). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dampak dari cekaman intensitas cahaya adalah terganggunya laju fotosintesis yang menyebabkan menurunnya proses metabolisme tanaman. Menurut Kusmana (1998) dan Kartasubrata (1992), bahwa penekanan pengembangan agroforestri di DAS diarahkan agar mempunyai pengaruh ganda terhadap keberlanjutan lingkungan, perbaikan lahan kritis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana yang terjadi di DAS Cianjur jenis tanaman yang diusahakan petani beragam dan pola tanam yang dikembangkan belum optimal, sehingga diperlukan bentuk pengembangan yang mengarah pada peningkatkan produktivitas tanaman. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk membangun agroforestri yang baik, produktivitas tinggi serta layak secara sosialekonomi dan ekologi yang lestari. Perumusan Masalah Pengelolaan lahan yang kurang tepat di suatu DAS dapat menimbulkan kerusakan ekosistem. Kerusakan ekosistem ini menyebabkan menurunnya kualitas air, bahan organik tanah, erosi, sedimentasi, dan akhirnya terjadi degradasi lahan yang merugikan secara ekologi. Degradasi lahan dapat menurunkan produktivitas lahan, oleh karena itu diperlukan kajian pemanfaatan lahan secara terintegrasi dengan memperhatikan aspek sumberdaya manusia, teknologi, sumberdaya tanah dan air serta sosial ekonomi masyarakat. Salah satu bentuk pemanfaatan lahan kering di kawasan

27 6 DAS adalah sistem agroforestri. Sistem ini dianggap memiliki keunggulan, karena mengintegrasikan teknologi budidaya tanaman semusim dan pohon, yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan, tingkat sosial ekonomi masyarakat serta meningkatkan kualitas lingkungan. Sistem agroforestri banyak dikembangkan termasuk di DAS Cianjur, baik dalam bentuk agroforestri sederhana maupun kompleks. Sistem agroforestri yang dikembangkan di kawasan ini bersifat lokal dan produktivitasnya rendah, sehingga perlu perbaikan dan optimalisasi dengan pengaturan pola tanam serta pemilihan jenis tanaman terutama tanaman semusim. Pengaturan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman semusim merupakan kunci keberhasilan sistem agroforestri. Hal ini disebabkan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman yang tepat dapat mengurangi kompetisi baik kompetisi antar tanaman maupun antara pohon dengan tanaman semusim. Salah satu bentuk pola tanam yang banyak diterapkan masyarakat adalah pola tanam lorong (alley cropping). Pola tanam lorong (alley cropping) dilaksanakan dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong (lorong) di antara barisan pohon, sehingga dianggap sebagai bentuk intensifikasi pemanfaatan lahan. Menurut Workman (2007), alley cropping dapat meningkatkan intensivitas pemanfaatan lahan, meningkatkan keragaman hasil/pendapatan, keragaman waktu panen, mengurangi erosi serta memperbaiki siklus hara dalam tanah. Sedangkan menurut Suryanto et al. (2005) alley cropping juga mempunyai karakteristik yang dinamis dan dapat memadukan dua tujuan pengelolaan secara bersamaan yaitu produksi dan konservasi, dan pola tersebut cocok untuk daerah-daerah lereng/ miring. Serangkaian penelitian akan dilakukan untuk mengkaji karakteristik agroekologi sistem agroforestri dengan penekanan pada pengaturan pola tanam, pemilihan jenis tanaman, aspek sosial ekonomi dan kelestarian lingkungan di wilayah tersebut. Penelitian akan dilakukan di tiga zona DAS Cianjur (hulu, tengah dan hilir) dengan memperhatikan karakteristik wilayah masing-masing. Keluaran dari penelitian ini adalah menghasilkan bentuk pola tanam dan jenis tanaman yang tepat, dengan mempertimbangkan teknik budidaya masyarakat

28 7 setempat menuju pengelolaan sistem agroforestri yang produktif, layak secara sosial, ekonomi dan ekologis, serta dapat menggambarkan bentuk pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Cianjur. Penelitian ini sangat strategis karena menyangkut keberlanjutan sistem pengelolaan lahan di DAS secara terintegrasi. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik agroekologi sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur yang dikhususkan dengan beberapa tujuan, yaitu: 1. Menganalisis karakter biofisik dan agroklimat sistem agroforestri di DAS Cianjur. 2. Menganalisis karakteristik pola tanam dan produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur. 3. Menganalisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat pada sistem agroforestri di DAS Cianjur 4. Menganalisis prospek dan tingkat keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat pada setiap zona DAS yang berpengaruh terhadap karakteristik sistem agroforestri baik jumlah spesies baik tegakan maupun tanaman semusim, penyebaran serta tujuan pemanfaatannya. 2. Terdapat perbedaan pola tanam dan produktivitas sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, yang diduga disebabkan oleh perbedaan intensifikasi lahan, tujuan penanaman tanaman semusim oleh petani, kebiasaan/ pengalaman serta kesesuaian pemilihan jenis tanaman dengan faktor agroklimat. 3. Terdapat perbedaan karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang berpengaruh terhadap sistem agroforestri, pola tanam dan produktivitas tanaman semusim, sehingga mempengaruhi pendapatan.

29 8 4. Sistem agroforestri di DAS Cianjur berlanjut (sustainable), terutama dilihat dari produksi yang konstan setiap tahun, peningkatan sosial ekonomi dengan meningkatnya pendapatan petani, dan sistem agroforestri telah berlangsung lama dan menjadi budaya masyarakat di DAS Cianjur dalam pengelolaan lahan kering. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Sebagai pedoman dalam penerapan sistem agroforestri dengan berbagai kombinasi tanaman semusim dan tahunan pada beberapa karakter wilayah DAS Cianjur. 2. Sebagai pedoman untuk penentuan jenis tanaman dan pola tanam sistem agroforestri dengan memperhatikan pemanfaatan lahan, status hara tanaman, analisis usaha tani dan konservasi lahan pada beberapa karakteristik wilayah DAS Cianjur. 3. Menghasilkan sistem pengelolaan yang tepat dengan memperhatikan aspek pemanfaatan lahan, produktivitas, sosial ekonomi dan lingkungan. 4. Menjadi model/contoh dalam perencanaan usaha tani agroforestri yang optimal pada beberapa wilayah yang memiliki karakteristik yang sama atau hampir sama.

30 TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai (sub-das) dan keluar melalui satu titik (outlet). DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di daerah tersebut. Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem biofisik, sedangkan komponen manusia dengan perilakunya membentuk subsistem sosial, kedua subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS (Syarief 1997; Arsyad 2000; Sinukaban 2003). Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam di suatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai usaha menekan kerusakan seminimal mungkin sehingga distribusi aliran sungai, pengembangan sosial-ekonomi dan pengaturan tata ruang wilayah dapat berjalan sepanjang tahun. Pengelolaan DAS juga ditujukan untuk produksi dan perlindungan sumberdaya air termasuk di dalamnya pengendalian erosi dan banjir (Sinukaban 2003). Terdapat tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS yaitu lahan, air dan pengelolaan. Lahan meliputi semua komponen dari suatu unit geografis dan atmosfer tertentu seperti tanah, air, batuan, vegetasi, kehidupan mahluk hidup serta perkembangannya. Untuk itu pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai pengelolaan lahan untuk produksi air dengan kuantitas optimum, pengaturan produk air dan stabilitas tanah yang maksimum (Arsyad 2000). Salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan DAS adalah faktor iklim terutama hujan. Intensitas, jumlah dan penyebarannya menentukan kecepatan dan volume aliran permukaan. Jumlah curah hujan rata-rata yang tinggi

31 11 dalam satu periode kemungkinan tidak akan menyebabkan aliran permukaan jika intensitasnya rendah dan perkolasinya tinggi. Demikian pula jika hujan intensitasnya tinggi tetapi dalam waktu atau periode singkat, kemungkinan tidak akan menyebabkan banjir atau erosi tanah (Haryati et al. 1993; Arsyad 2000). Adapun tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan pembangunan dalam suatu DAS seharusnya sama, yaitu untuk memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi nasional, pembangunan daerah atau wilayah dan usaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan (Sinukaban 2003). Hal ini dapat diukur dari kondisi tata air tersebut yaitu tersedianya air yang cukup sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas. Untuk menciptakan tata air tersebut, diperlukan suatu tata kelola air yang diperoleh dari air hujan maupun dari sumber-sumber air yang terjadi karena interaksi antara vegetasi permanen yang terdapat dalam kawasan tersebut, terutama oleh pohon-pohon yang rimbun (Sukmana et al. 1990). Pemanfaatan Lahan Kering di DAS Lahan kering adalah lahan yang dalam keadaan alamiah, bagian atas dan bawah tubuh tanah tidak jenuh air atau tidak tergenang dan sepanjang tahun di bawah kapasitas lapang. Kekeringan tanah tersebut dipengaruhi oleh kondisi cuaca, fisiografis dan faktor edafis. Diperkirakan dari hampir 200 juta hektar luas daratan di Indonesia, sekitar 124 juta hektar berupa lahan kering (Satari et al. 1991; Kartono 1998). Kondisi fisik lahan kering umumnya lahan tadah hujan berciri khas agroekologi lahan yang sangat beragam karena ketersediaan air, tingkat erosi, tingkat adopsi teknologi yang masih rendah dan ketersediaan yang sangat terbatas serta peka terhadap erosi. Penggunaan airnya sampai saat ini masih mengandalkan air yang bersumber dari curah hujan. Menurut Prasad dan Power (1997), lahan kering di Indonesia menurut sifatnya merupakan areal yang dibatasi oleh kendala-kendala berupa: topografi yang tajam dengan penutupan vegetasi jarang sehingga laju infiltrasi dan erosi tanah cukup tinggi, hujan yang tidak merata dan kemampuan tanah untuk menyimpan air yang rendah. Kaidah umum yang dapat dikembangkan adalah

32 12 lahan kering antara kemiringan 0-15%. Secara ideal lahan kering untuk budidaya tanaman pangan terbatas pada daerah yang relatif datar hingga berombak (kemiringan < 8%). Sedangkan pada kemiringan lebih dari 8% perlu persyaratanpersyaratan penanggulangan erosi jika akan digunakan sebagai areal budidaya (Kusmana 1998; Sitorus 2001). Pengelolaan lahan kering harus bertujuan untuk memantapkan dan melestarikan produktivitas serta mempertahankan keragaman alami masyarakat biotik dalam batas-batas daya dukung lingkungan, konservasi tanah dan air serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bentuk pola tanam yang banyak diusahakan adalah sistem agroforestri dengan pola lorong (alley cropping), pohon pembatas (trees along border), pola campuran (mixed cropping) atau pola baris (alternate rows). Pola ini terlihat lebih dinamis terutama dalam berbagi sumberdaya (resources sharing) baik antar pohon dengan tanaman semusim maupun antar tanaman semusim, terutama dalam penangkapan cahaya matahari (Suryanto et al. 2005). Menurut Irawan dan Pranadji (2002), bahwa pengelolaan lahan kering juga memiliki keragaman agroekologi yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah. Keragaman tersebut mengakibatkan pelibatan jumlah rumah tangga tani pengguna lahan kering jauh lebih besar daripada sawah. Pada tahun 1993 tercatat sekitar 17 juta rumah tangga tani menggunakan lahan kering untuk menjalankan usaha pertaniannya, sedangkan pada lahan sawah hanya sekitar 10 juta rumah tangga tani. Hal ini menunjukkan bahwa lahan kering mampu menyediakan lapangan usaha pertanian yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah. Dari 19.7 juta (1993) rumah tangga tani pengguna lahan pertanian, sekitar 87% menggunakan lahan kering sedangkan yang menggunakan lahan sawah hanya 49%. Untuk wilayah DAS Cianjur pemanfaatan lahan kering umumnya dengan sistem agroforestri. Sistem agroforestri di daerah ini berupa pekarangan (home gardens), kebun campuran (mixed gardens) dan kebun hutan (forest gardens). Sistem agroforestri ini berlangsung sudah cukup lama dalam bentuk tumpang sari dan kebun campuran yang memiliki beberapa keuntungan yaitu pemanfaatan energi yang optimal, mengurangi resiko kerusakan serta dapat mempertahankan

33 13 keragaman komponen ekosistem (biodeversity). Dengan karakteristik sistem semacam ini maka sistem agroforestri dapat meningkatkan produktivitas, stabilitas, kelestarian lahan dan pendapatan petani. Adapun tanaman-tanaman dalam sistem agroforestri ini berupa tanaman buah, sayuran, bumbu, semak/rumput, tanaman penghasil biji-bijian, industri, kayu bakar, bahan bangunan dan tanaman hias (Arifin et al. 2002). Agroforestri Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input teknologi yang sederhana pada lahan-lahan marginal (Nair 1989). Agroforestri juga didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen lahan yang berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman pertanian dengan pohon dan atau hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Definisi ini dipertegas kembali bahwa agroforestri merupakan suatu istilah atau nama kolektif untuk sistem pengelolaan lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana pohon dengan sengaja diusahakan dalam unit yang sama dengan tanaman pertanian dan atau ternak pada saat yang sama atau berurutan. Dalam sistem agroforestri ini terintegrasi sekaligus aspek ekologis dan aspek ekonomis. King dan Chandler (1978) dan Wijayanto (2002), juga memberikan definisi yang hampir sama, bahwa agroforestri secara luas merupakan suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial, temporal tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan yang sama. Agroforestri juga merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik secara bersama-sama atau secara bergilir dengan menggunakan manajemen

34 14 praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat. Sistem agroforestri ini mencakup bentuk atau cara pemanfaatan lahan seperti yang umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia seperti kebun talun, pekarangan dan kebun campuran. Pengembangan agroforestri juga merupakan salah satu jawaban dalam mengatasi masalah degradasi lahan dan penurunan produktivitas. Menurut Cruz dan Vegera (1987), penerapan agroforestri dapat bermanfaat pada aspek perlindungan yaitu menekan erosi, tanah longsor, run off dan kehilangan hara; aspek rehabilitasi yaitu status hara, bahan organik, ph tanah, dan pada periode jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sosial ekonomi, gizi dan kesehatan. Sedangkan Lai (1995) menyatakan bahwa agroforestri telah menjadi suatu yang penting dalam usaha pengembangan pedesaan sebagai strategi mengurangi kemiskinan di desa dan memperbaki kondisi lingkungan. Salah satu bentuk pola tanam yang banyak digunakan pada sistem agroforestri khususnya di daerah dataran tinggi adalah pola lorong (Alley cropping). Alley cropping merupakan pola agroforestri yang menyisipkan tanaman semusim di antara tanaman pohon. Penanaman ini bertujuan untuk merubah dan meningkatkan keragaman tanaman, mengurangi erosi air dan angin, memperbaiki pertumbuhan tanaman, meningkatkan pemanfaatan unsur hara (nutrient) dan menambah stabilitas ekonomi dalam sistem pertanian. Selain itu alley cropping juga dirancang untuk memadukan dua tujuan secara bersamaan yaitu tujuan produksi dan konservasi. Karakter pola lorong ini adalah jarak baris pohon antar lorong dan pola ini baik digunakan pada lahan yang miring. Agroforestri juga dapat meningkatkan produktivitas lahan. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri yaitu penggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen pada sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih rendah dan tersebar lebih merata per satuan produk

35 15 dibandingkan sistem perkebunan monokultur. Diversifikasi ini bisa dilakukan pada sistem pertanian dataran tinggi dengan sistem agroforestri yang sesuai dengan daerah tersebut. Misalnya seperti yang dilaksanakan di India yang 65% berupa lahan kering, miring dan merupakan lahan tadah hujan, sistem pertaniannya dirubah dari sistem tradisional yang semula mengandalkan tanaman pangan, kayu dan rumput menjadi tanaman kayu dengan tanaman-tanaman semusim yang memiliki nilai ekonomis tinggi (High Value Cash Crop / HVCC), yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi petani (Shrotriya et al. 2002). Pemilihan jenis tanaman sangat menentukan produktivitas tanaman pada sistem agroforestri. Dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam pada sebidang lahan haruslah diketahui sifat-sifat jenis tanaman dalam hubungannya dengan faktor iklim, tanah dan kecepatan tumbuhnya (Arsyad 2000 dan Sitorus 2001). Adapun menurut Nair (1989), sifat tanaman yang digunakan dalam pola agroforestri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Tanaman semusim yang digunakan harus tidak lebih tinggi dari tanaman pokok serta dalam pengambilan zat hara tidak pada tempat yang sama di dalam horizon tanah. 2) Tanaman semusim yang digunakan tahan terhadap hama penyakit dibanding dengan tanaman pohon 3) Dalam penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman semusim tidak merusak tanaman pohon. 4) Tanaman semusim yang diusahakan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. 5) Tidak menimbulkan erosi serta merusak struktur tanah setelah tanaman semusim dipanen. Menurut Kusmana (1998), bahwa sistem agroforestri memberikan optimalisasi dalam penggunaan lahan dan penerapan sistem ini memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Di dalam sistem agroforestri didapat tanaman yang heterogen dan tidak seumur yang terdiri dari dua strata atau lebih. Bentuk pola tanam seperti itu, tajuk tanaman dapat menutup tanah, sehingga tanah terhindar dari erosi dan

36 16 produktivitas tanah dapat dipertahankan serta pemanfaatan energi surya oleh tanaman dapat maksimal. 2) Pada sistem agroforestri akan didapat bentuk hutan serba guna atau usaha tani terpadu di luar kawasan hutan yang dapat memenuhi kebutuhan majemuk seperti hijauan makanan ternak, kayu dan lingkungan sehat. Dengan demikian sistem ini dapat meningkatkan produktivitas lahan. Di beberapa negara sistem agroforestri secara umum lebih menguntungkan dari pada monokultur (Tabel 1). Keuntungan ini didapat dari keragaman hasil dari pola yang dikembangkan pada masing-masing negara. Tabel 1. Keuntungan dari sistem agroforestri di beberapa negara Negara Sistem Agroforestri NPV dalam US$/Ha Penghasilan dibandingkan non agroforestri Tanzania Tanaman kayu US$ setelah 5 thn AF 6.3 kali lebih besar dari pertanaman jagung tanpa pemupukan. Uganda Pohon sebagai tanaman pagar US$ setelah 4 tahun Pendapatan bersih turun US$ 4 setelah 4 tahun dibandingkan penanaman jagung secara terusmenerus. Nepal Tanaman kayu Rata-rata penerimaan/tahun US$ atau US$ untuk 2 sistem AF Rata-rata pendapatan tahunan US$ 804 dibandingkan penanaman jagung secara terusmenerus. Vietnam Tephosia condida sebagai tanaman pagar dengan padi dataran tinggi India Jarak pagar (Jatrofa curcas) Sumber : Swallow B dan S Ochola (2006) Pendapatan dari kayu turun US$ 50 dan dari padi naik Pendapatan bersih turun US$ 33 setelah 4 tahun US$ 123 setelah 4 tahun pada monokultur padi dataran tinggi US$ 853 setelah 30 tahun Diasumsikan memiliki peluang 0. Begitu juga di Indonesia, total pendapatan tahunan dari sistem agroforestri juga lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur seperti di laporkan Santosa (2005) pada Tabel 2.

37 17 Tabel 2. Pendapatan dan total pendapatan tahunan pada pertanaman vanili di Desa Padasari, dibandingkan intercropping dengan cash crops di Desa Bugel dan pisang di Cijeunjing pada hutan jati di Sumedang Jawa Barat (Santosa 2005). Lokasi Kontribusi terhadap pendapatan (%) Total Intercropping Padi Tanaman Lainnya y sawah dataran pendapatan tahunan (x 1000 rupiah) tinggi Padasari 28 ± 4 z 18 ± 6 8 ± 3 45 ± ± 864 Bugel 26 ± 2 11 ± 5 2 ± 1 61 ± ± 752 Cieunjing 32 ± 3 14 ± 6 3 ± 3 51 ± ± 477 z Mean ± S.E y = Pendapatan dari gaji/upah, dari dagang dll. Agroforestri dikenal dengan istilah wanatani yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayurmayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Sistem agroforestri sederhana yang paling banyak diterapkan di Jawa adalah tumpangsari. Sistem ini juga dikenal dengan taungya dan sistem ini terutama dikembangkan di areal hutan jati di Jawa dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman semusim dipanen oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan semua pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani.

38 18 Sistem ini berakhir ketika pohon jati telah dewasa dan tajuk telah menutup sempurna. Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya kendala alam, misalnya pada tanah-tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di Sumatra. Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah berpenduduk padat, seperti pohon-pohon randu yang ditanam pada pematangpematang sawah di daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau siwalan dengan tembakau di Sumenep Madura. Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan ubikayu di antara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium). Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani serta mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest. Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan agroforest, yang biasanya disebut hutan yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta et al. 2000). Contohnya hutan damar di daerah Krui Lampung Barat atau hutan karet di Jambi.

39 19 Kebaikan dan kelemahan sistem agroforestri Kebaikan sistem agroforestri dapat dilihat dari keuntungan secara ekologis atau lingkungan, secara ekonomis dan keuntungan sosial. Keuntungan secara ekologis dapat berupa: a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam, b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari solum tanah yang lebih dalam ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran pohon yang dalam, c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah, d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur lapisan tanah atas, pengurangan evavorasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman, e) adanya perbaikan aktivitas mikroorganisme tanah, f) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan dan g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan hewan. Secara ekonomis, sistem agroforestri sangat menguntungkan terutama dalam hal: a) lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, papan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang, b) memperkecil resiko kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen, masih dapat ditutupi oleh hasil dari komponen lain, c) meningkatkan pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang berkelanjutan. Sedangkan secara sosial sistem agroforestri memiliki keuntungan yaitu: a) terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan dengan keberlanjutan pekerjaan dan pendapatan, b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat kesehatan masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk agroforestri, dan c) terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering, sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi (Lai 1995). Adapun kelemahan-kelemahan sistem agroforestri secara ekologis adalah: a) kemungkinan terjadinya persaingan mendapatkan sinar matahari, air tanah dan hara antara pohon dan tanaman semusim, b) adanya kerusakan tanaman pertanian

40 20 pada saat pemanenan pohon, c) tanaman pohon berpotensi menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman, d) relatif lamanya regenerasi pohon menyebabkan penyempitan lahan untuk tanaman pertanian sejalan dengan semakin besarnya tanaman pohon. Kelemahan dari segi sosial ekonomi antara lain: a) terbatasnya tenaga kerja yang yang berminat di bidang pertanian, khususnya dalam membangun sistem agroforestri, b) terjadinya persaingan antara pohon dan tanaman semusim yang dapat menurunkan hasil, c) waktu yang cukup panjang untuk menunggu panen pohon dapat mengurangi keuntungan sistem agroforestri, d) sistem agroforestri diakui lebih kompleks sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan pengetahuan petani yang terbatas dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur dan e) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan pohon dan atau sebaliknya yang lebih bernilai ekonomis. Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya kelemahankelemahan ini dapat dikendalikan sebagian dan atau seluruhnya dengan jalan: a) penggunaan pohon kacang-kacangan atau tanaman berbuah polong yang relatif sedikit menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman dapat terpenuhi, b) memilih pohon yang memiliki perakaran yang dalam, untuk mengurangi persaingan penyerapan hara dan air dengan tanaman pertanian di sekitar permukaan atau tanah lapisan atas, dan c) jarak tanam pohon yang lebih lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah dengan tanaman pertanian. Agroekologi Agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia, dengan penekanan pada bentuk, dinamika dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana mereka terlibat. Adapun yang tampak secara implisit dalam pekerjaan agroekologi adalah gagasan bahwa dengan memahami hubungan-hubungan dan proses-proses ekologi ini, agroekosistem dapat dimanipulasi untuk memperbaiki

41 21 produksi dan berproduksi secara lebih berkelanjutan dengan dampak negatif yang lebih sedikit terhadap lingkungan dan masyarakat serta input dari luar yang lebih rendah (Reijntjes 2004). Agroekologi juga mengarah pada pendekatan yang menekankan terjadinya keseimbangan dalam sistem pertanian atau biasa disebut keseimbangan agroekosistem. Agroekosistem menekankan pada analisis yang mengadopsi konsep sistem dengan tujuan mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keragaman sistem usahatani sehingga antara satu tempat dengan tempat yang lain terjadi perbedaan terhadap: produktivitas (productivity), stabilitas produksi (stability), keberlanjutan produksi (sustainability) dan pemerataan distribusi produksi atau pendapatan (equilibilty) (Bey dan Las 1991). Sedangkan menurut Keeney (1990), pemahaman tentang konsep agroekosistem ini diharapkan mampu menciptakan suatu sistem budidaya yang berkelanjutan (sustainable agriculture) dan perbaikan lingkungan, termasuk perlindungan dan perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan tersebut. Agroekosistem juga merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan makanan, bahan bakar dan produk lainnya bagi konsumsi manusia. Sedangkan dalam budidaya tanaman modifikasi ini diharapkan dapat menciptakan dan mempertahankan kondisi-konsisi tanah sebagai berikut: 1) Ketersediaan air, udara dan unsur hara tepat waktu dalam jumlah seimbang dan mencukupi. 2) Struktur tanah yang gembur yang dapat meningkatkan pertumbuhan akar, pertukaran unsur-unsur gas, ketersediaan air dan kapasitas penyimpanan. 3) Suhu tanah yang dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. 4) Tidak ada unsur-unsur toksik (racun) yang menghambat pertumbuhan tanaman. Pada agroekosistem terdapat konsep zona agroekologi (agroecological zones). Konsep ini merupakan pendekatan membagi wilayah ke dalam zona-zona fisik yang kurang lebih homogen. Dalam konsep ini evaluasi lahan sangat

42 22 diperlukan untuk pengambilan keputusan penggunaan lahan. Adapun parameternya adalah: fisiografi, unsur iklim, ketinggian tempat, vegetasi dan sebaran tanah sampai tingkat sub group (Rositter 1994). Untuk wilayah DAS, parameternya adalah ketinggian dimana secara umum zonanya terbagi menjadi daerah atas (hulu), tengah dan bawah (hilir). Keberlanjutan (Sustainability) Konsep keberlanjutan telah menjadi perhatian dalam pembangunan pertanian dewasa ini. Dalam bidang pertanian, konsep keberlanjutan yang mengarah menjadi produktivitas yang berkelanjutan menjadi tujuan akhir pengembangan pertanian oleh Consultatif Group on International Agriculture Research (CGIAR) sejak tahun Sejak pertanian berkembang dan menjadi konsep yang dinamis, CGIAR mendefinisikan bahwa pertanian berkelanjutan adalah keberhasilan pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan masyarakat dengan tetap menjaga kualitas lingkungan dan sumberdaya alam. Pertanian yang berkelanjutan juga merupakan suatu sistem pertanian yang dalam waktu lama dapat mempertahankan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia berupa makanan dan serat-seratan dan layak secara ekonomi serta meningkatkan taraf hidup petani maupun masyarakat secara umum. Mugnisjah (2001), menyatakan bahwa pertanian yang berkelanjutan adalah suatu sistem budidaya dimana teknologi budidaya yang digunakan memungkinkan lahan yang dikelola dapat memberikan produksi tanaman dan atau hewan yang memuaskan tanpa menimbulkan kerusakan atas lahan tersebut sehingga produktivitasnya dapat dipertahankan oleh sistem produksi pertanian itu sendiri. Ada beberapa prinsip dalam pertanian berkelanjutan yaitu: 1) mengorganisasi produksi tanaman dan hewan serta manajemen sumberdaya usaha tani secara harmonis sehingga tidak bertentanggan dengan sistem alamiah, 2) menggunakan dan mengembangkan teknologi yang tepat berdasarkan pemahaman sistem biologis, 3) mencapai dan memelihara kesuburan tanah untuk mencapai produksi optimum dengan mengandalkan penggunaan sumberdaya yang dapat

43 23 diperbaharui, 4) melaksanakan diversifikasi untuk mencapai produksi optimum, 5) mengusahakan nilai gizi optimum dari bahan makanan pokok, 6) menggunakan struktur yang terdesentralisasi untuk pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil, 7) mengupayakan hubungan yang setaraf antar subyek yang bekerja dan yang hidup di atas lahan usaha tani, 8) menciptakan suatu sistem yang menyenangkan dari segi estetika bagi yang bekerja di dalam sistem tersebut dan bagi orang di luar yang memandangnya, dan 9) menjaga dan melindungi satwa liar yang menjadi habitatnya. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) juga merupakan bentuk pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi: penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan. Pertanian berkelanjutan ini mancakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi (Sitorus 2004), sedangkan menurut Liu et al. (1999), keberlanjutan mencakup subsistem ekonomi, teknologi, ekologi dan subsistem masyarakat pedesaan. Untuk mengukur tingkat keberlanjutan, perlu dilakukan analisis keberlanjutan. Kawasan DAS Cianjur yang meliputi wilayah dari hulu ke hilir, dengan orientasi pengembangan ekonominya berbasis tanaman sayuran dataran tinggi dan tanaman pangan, memerlukan analisis keberlanjutan (sustainability analysis) usahatani agar dapat diupayakan pengelolaan kawasan yang berkelanjutan. Salah satu metode analisis adalah menghitung tingkat keberlanjutan usaha tani (sistem agroforestri), baik pada setiap zona DAS maupun keberlanjutan sistem agroforestri secara umum (seluruh kawasan DAS) berdasarkan kondisi riil masyarakat setempat (existing condition) dengan mengelompokkan (cluster) beberapa aspek keberlanjutan yaitu aspek agronomi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi.

44 ANALISIS KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN AGROKLIMAT SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR (Analysis Characteristic Biophisics and Agroclimate of Agroforestry System in Cianjur Watershed) ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik biofisik dan agroklimat sistem agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur. Pengamatan dilakukan terhadap 30 sampel lahan agroforestri masyarakat dan wawancara/kuisioner yang dilakukan pada 30 petani pelaksana agroforestri pada setiap zona DAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik biofisik (tanah, iklim, vegetasi dan fauna) pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur. Perbedaan juga terjadi pada karakteristik agroklimat (suhu udara, curah hujan, kelembaban dan jumlah bulan kering dan bulan basah). Perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah jenis pohon, tanaman semusim serta fauna (serangga) parasitoid pada sistem agroforestri di wilayah ini. Di zona hulu, agroforestri dilaksanakan di areal kehutanan dengan topografi berbukit/miring dan areal ini merupakan kawasan penyangga (buffer zone) dari Tanaman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jumlah spesies pohon 5 spesies pohon dan 12 spesies tanaman semusim. Di tengah agroforestri dilaksanakan di lahan-lahan masyarakat dan di lahan perkebuanan teh PTPN 8 pada topografi datar sampai bukit/miring. Pada agroforestri di lahan-lahan masyarakat, jumlah spesies pohon sebanyak 20 spesies dan 12 spesies tanaman semusim. Sedangkan di hilir jumlah spesies pohon sebanyak 23 spesies dan 11 spesies tanaman semusim. Jumlah spesies pohon dan tanaman semusim di tengah lebih banyak dibandingkan di hulu dan hilir, karena zona tengah merupakan zona transisi sehingga ada beberapa jenis pohon dan tanaman semusim baik dari zona hulu maupun hilir yang mampu beradaptasi dan tumbuh di zona tengah. Kata kunci: DAS Cianjur, karakteristik biofisik dan agroklimat, struktur dan komponen agroforestri ABSTRACT A research was conducted to analyze agroecologycal characteristic of agroforestry system in Cianjur Watershed landscape. Observation and interviews were held to 30 samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed, that the communities in the three zones of Cianjur Watershed have been conducting agroforestry practice in order to manage their dry land. It s found the differences characteristic of agroforestry system between the upper stream and the down stream. In the upper stream, agroforestry practices were found in a forest garden. This area is the buffer zone of Gede Pangrango Mountain. In the upper stream, the number of trees found 5 species and 12 species of plants. In the middle stream area, agroforestry practices were found in community lands and the tea estate plantation. In the community lands the number of trees found 20 species and 12 species of plant. In the down stream area, agroforestry were practiced in community lands and the flat area. The number of trees is 23 species and 11 species of plants. The middle stream agroforestry system characteristic was known as a

45 25 transition condition between the upper and the down streams. The characteristic of biophisic and agroclimate have affected to total individual number and species of trees and cash crop. Key words: Biophisic and agroclimate characteristic, Cianjur watershed, structure and component of agroforestry PENDAHULUAN Agroforestri diartikan secara luas sebagai suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial dan temporal tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan. Menurut King dan Chandler (1978) dan Wijayanto (2002), agroforestri merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik secara bersama-sama atau secara bergilir yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat. Agroforestri telah dikembangkan masyarakat secara turun temurun dan sebagai salah satu alternatif dalam pengelolaan lahan kering di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) termasuk juga di DAS Cianjur. Sinukaban (2003) mendefinisikan bahwa DAS merupakan suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai (sub-das) dan keluar melalui satu titik (outlet). DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di daerah tersebut. Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem biofisik, sedangkan komponen manusia dengan perilakunya membentuk subsistem sosial, kedua subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS. Dari cakupan wilayah yang luas, maka suatu DAS umumnya memiliki keragaman kondisi biofisik maupun agroklimat terutama dipengaruhi oleh perbedaan ketingian tempat. Perbedaan kondisi biofisik dan agroklimat ini juga berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan, dimana pola penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang relatif dinamis, yang pada akhirnya akan mempengaruhi karakter daerah aliran sungai tersebut.

46 26 Pengelolaan lahan juga terkait erat dengan sumberdaya tanah, air dan manusia di dalamnya, dimana sumberdaya yang ada akan berpengaruh terhadap pola DAS. Sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur yang menjadi lokasi penelitian ini memiliki karakteristik biofisik dan agroklimat yang berbeda. Untuk itu, dilakukan penelitian yang bertujuan: 1) menganalisis karakteristik biofisik (tanah, tanaman dan fauna) pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 2) menganalisis karakteristik agroklimat (suhu, kelembaban, curah hujan, jumlah bulan basah dan bulan kering) pada sistem agroforestri di DAS Cianjur dan 3) menganalisis vegetasi penyusun (struktur, komponen tanaman dan sebarannya) pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di tiga zona DAS Cianjur (Gambar 3.1), sejak Bulan Agustus 2007 sampai dengan Desember Gunung Gede Galudra 1300 mdpl Mangunkerta 950 mdpl Keterangan Hutan Hutan tanaman Kebun hutan Lahan dat tinggi Sawah Areal pemukiman 0 Cianjur City 10km Selajambe 300 mdpl Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian sepanjang Daerah Aliran Sungai Cianjur (Sumber: Harashima et al. 2002) N

47 27 Penelitian meliputi: zona hulu (> 900 m dpl); tengah ( m dpl) dan hilir (±300 m dpl). Secara administratif zona hulu masuk wilayah Desa Galudra, zona tengah Desa Mangunkerta masing-masing masuk wilayah Kecamatan Cugenang dan zona hilir masuk wilayah Desa Selajambe Kecamatan Sukaluyu. Pembagian zona ini berdasar pada penelitian Arifin (2001). Adapun secara geografis zona hulu terletak pada S ; E pada ketinggian > 900 m dpl, tengah ` ` 08 BT dan ` 14 LS ( m dpl), dan hilir ` ` 08 BT dan ` 14 LS pada ±300 m dpl. Bahan dan Alat Alat: Global Positioning System (GPS), camera digital, meteran, gunting, hand counter, tali rapia, kantong plastik dan alat tulis. Bahan: peta vegetasi, peta topografi, peta tanah masing-masing skala 1 : dan kuisioner. Metode Analisis karakteristik biofisik dan agroklimat dilakukan untuk mengetahui karakter biofisik dan agroklimat pada setiap zona DAS Cianjur. Data karakteristik biofisik (tanah, agroklimat dan fauna) didapat dari data sekunder dan studi pustaka. Data sekunder meliputi data iklim, topografi, dan data tanah diperoleh di stasiun klimatologi setempat. Berdasarkan beberapa studi pendahuluan di ketiga zona DAS ini sudah banyak dilaksanakan praktek agroforestri. Data vegetasi didapatkan dari survei lapangan dengan pengamatan langsung sistem agroforestri dan kebun campuran yang dikembangkan masyarakat. Jumlah sampel pengamatan pada masing-masing zona 30 dan ukuran sampel pengamatan 10 m x 10 m. Sedangkan penentuan responden, didasarkan pada data kepemilikan dan penggunaan lahan masing-masing desa (petani pelaksana agroforestri) secara random dan atau terstruktur serta mengacu pada peta topografi, peta penggunaan lahan dan peta kesesuaian lahan DAS Cianjur (Saroinsong et al. 2007). Lokasi sampel diverifikasi menggunakan Global

48 28 Position System (GPS), dipetakan dan hasilnya akan dijadikan basis pengamatan lapang sistem agroforestrinya. i H = (ni/n) log 2 (ni/n) i 1 H = indeks keragaman, ni = jumlah individu tiap jenis, n = total individu semua jenis. Survei sistem agroforestri masyarakat dilakukan untuk mengetahui komponen penyusun berupa jenis pohon, jenis tanaman semusim, jumlah jenis dan penyebarannya. Komponen penyusun agroforestri ini selanjutnya dipetakan untuk mengetahui sebaran jenisnya. Pengelompokan jenis dibedakan menjadi 8 (delapan) kelompok yaitu tanaman pangan, buah, sayuran, bumbu, obat, industri, hias dan tanaman lainnya (Arifin 1998b). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik geografi Daerah Aliran Sungai Cianjur secara geografis terletak diantara BT BT dan LS LS, letaknya berbatasan dengan puncak dan punggung Gunung Gede Pangrango di bagian barat, Waduk Cirata di bagian timur, perbukitan Gunung Geulis di bagian utara dan Gunung Puntang di bagian selatan. Gambar 3.2. Lokasi penelitian DAS Cianjur

49 29 DAS Cianjur terdiri dari sungai utama (Sungai Cianjur) dengan beberapa anak sungai (Cigadog, Cianjur Leutik, Cibeureum, dan Cikukulu) yang bermuara pada sungai utama. Kawasan ini mencakup 26 desa, 6 wilayah kecamatan dalam Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat. Kawasan ini merupakan salah satu sub-das Citarum Tengah terutama pada Daerah aliran Sungai Cisokan. Oleh sebab itu DAS Cianjur sesungguhnya merupakan sub-das Cisokan atau sub-das Citarum Bagian Tengah. Luas kawasan yang termasuk dalam kawasan DAS Cianjur adalah ha (berdasarkan delinasi menggunakan peta kontur dan peta sungai skala 1 : dengan program ArcView versi 3.2). Luas wilayah DAS Cianjur ini sebesar 24.2% dari luas wilayah administratif tingkat kecamatan ( ha) dan hanya 2.1% dari luas total wilayah administratif Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur juga merupakan DAS lokal yang berada di wilayah Kabupaten Cianjur, sehingga lebih mudah dalam pengelolaan dan pelestarian fungsi-fungsi DAS bagi pemerintah daerah dalam upaya pengelolaan DAS tersebut. Karakteristik Topografi Topografi kawasan DAS Cianjur bervariasi dan membentang dari ketinggian 275 m dpl sampai dengan m dpl (Tabel 3.1) yang terdiri dari: 1. Dataran rendah (ketinggian m dpl) yang mencakup wilayah DAS Cianjur seluas ha. 2. Dataran menengah (ketinggian m dpl) yang mencakup wilayah DAS Cianjur seluas ha dan ketinggian m dpl seluas ha. 3. Dataran tinggi dengan ketinggian m dpl yang mencakup wilayah DAS Cianjur seluas ha, ketinggian m dpl dengan luas wilaya ha, m dpl dengan luas wilayah ha, m dpl dengan luas wilayah dan ketinggian >2000 m dpl dengan luas wilayah ha. Daerah dataran tinggi merupakan pegunungan dengan kemiringan lereng yang bervariasi dengan pola lereng mengikuti pola alur sungai.

50 30 Tabel 3.1. Kelas kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur beserta luasannya Luasan No Kelas Kemiringan Keterangan Lereng (%) (ha) (%) 1 A 0-3 Datar B 3-8 Agak Landai C 8-15 Landai D Agak Curam E Curam F >45 Curam sekali Total Sumber: Saroinsong (2002) Gambar 3.3. Peta kelas lereng DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007) Karakterisitik Iklim Kondisi iklim di wilayah DAS Cianjur secara umum merupakan daerah iklim hujan tropis, selalu basah dengan curah hujan rata-rata setiap bulannya lebih dari 60 mm (Tabel 3.2).

51 31 Tabel Data iklim DAS Cianjur tahun Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Bulan Suhu ( 0 C) RH (%) Curah Hujan (mm) Suhu ( 0 C) RH (%) Curah Hujan (mm) Suhu ( 0 C) RH (%) Curah Hujan (mm) Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des Rata-rata Sumber: Stasiun Klimatologi Pacet (2007) Gambar 3.4. Peta curah hujan di DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007)

52 32 Berdasarkan serial curah hujan selama 10 tahun, maka menurut sistem klasifikasi Kopen, kawasan DAS Cianjur termasuk dalam tipe sistem Af yaitu iklim hujan tropis. Rata-rata curah hujan pertahun bervariasi dari mm di wilayah DAS hulu sampai dengan mm pada bagian hilir. Kelembaban ratarata berkisar antara 80% - 82% dengan suhu rata-rata terendah C dan ratarata tertinggi sekitar C. Sedangkan jumlah hari hujan pertahunnya juga bervariasi antara 116 hari/tahun sampai dengan 159 hari/tahun. Kondisi iklim ini menunjukkan bahwa di wilayah DAS Cianjur sangat memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan agroforestri potensial dengan mempertimbangkan pemilihan jenis tanaman pada setiap zonanya. Kondisi Geologi/tanah Tanah yang berada di lokasi DAS Cianjur meliputi 13 satuan peta tanah (SPT) dengan jenis-jenis tanah meliputi (a) regosol ditrik (sistem klasifikasi Pusat Penelitian Tanah) atau tergolong Inceptisol (menurut klasifikasi USDA Soil Taxonomy). Tekstur lapisan atas dan bawah lempung pasir berkerikil, epipedon ochric, drainase agak cepat, bentuk wilayah agak berbukit sampai bergunung, vulkan dengan bahan induk berupa tufa intermedier. (b) Kambisol vertik atau tergolong inceptisol, tekstur bagian atas dan bawah liat berat, drainase sangat terhambat, epidon ochric bahan induk tufa intermedier. (c) Kambisol distrik atau tergolong inceptisol inceptisol, tekstur bagian atas dan bawah liat berat, dainase sangat terhambat, epidon ochric bahan induk tufa intermedier. (d) Andosol distrik atau tergolong andosol, tekstur lapisan bagian atas liat berdebu, bagian bawah liat, epipedon ochric, drainase cepat, vulkan, bahan induk tufa intermedier. (e) Latosol argilik distrik atau utisol. Tekstur bagian atas dan bawah liat berat, epipedon ochric, drainase cepat, sistem dataran, bahan induk tufa intermedier. (f) Mediteran argilik atau tergolong Alfisol. Tekstur lapisan atas liat, lapisan bawah liat berat, drainase agak terhambat, bentuk wilayah datar. (g) mediteran kambik atau alfisol, tekstur bagian atas dan bawah liat, epipedon ochric, drainase sedang, lereng perbukitan, bahan induk tufa intermedier. (h) Podsolik argilik atau tergolong

53 33 ultisol, tekstur liat sampai berat, drainase agak terhambat, bentuk wilayah berbukit atau bergelombang. Gambar 3.5. Peta jenis tanah di DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007) Penggunaan lahan Pola penggunaan lahan seluruh kawasan DAS Cianjur dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kawasan hutan, kawasan pemukiman dan lahan pertanian (Tabel 3.3). Tabel 3.3. Pola penggunaan lahan dan luasan di lokasi penelitian Galudra Mangunkerta Selajambe Luas lahan Lahan % Lahan % Lahan % (ha) (ha) (ha) (ha) Hutan Talun Kebun campuran Lahan kering Sawah (padi) Perumahan Total Sumber: Profile data Desa Galudra, Mangunkerta dan Selajambe (Arifin 2002)

54 34 Luasan hutan sekitar ha (19.05%) terutama terkonsentrasi di kawasan hulu DAS Cianjur. Kawasan permukiman seluas ha membentang dari daerah tengah sampai ke hilir terdiri dari 6 kecamatan yaitu Pacet, Cugenang, Cianjur, Karang Tengah, Cilaku dan Sukaluyu dengan mayoritas penduduk pada 6 kecamatan tersebut berprofesi sebagai petani. Selain itu, kepemilikan dan luasan lahan di wilayah DAS umumnya berbeda, seperti yang terdapat di DAS Cianjur-Cisokan (Tabel 3.4). Tabel 3.4. Luasan lahan dan struktur kepemilikannya di lokasi penelitian Luas lahan (ha) Galudra Mangunkerta Selajambe Rumah Tangga % Rumah Tangga % Rumah Tangga % < > > > > > > > Total Sumber : Profile data Desa Galudra, Mangunkerta dan Selajambe Arifin (2002). Gambar 3.3. Peta tutupan lahan di DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007)

55 35 Lahan pertanian merupakan kawasan paling luas dan terdiri dari beberapa jenis pemanfaatan yaitu sawah dengan luasan ha (33.65%), tegalan dengan luas wilayah ha atau sekitar 15.35%, perkebunan teh seluas ha atau 7.60%, kebun campuran seluas ha atau sekitar 6.18% dan talun seluas ha atau 2.11%. Tanaman sayuran yang berpotensi dikembangkan pada sistem agroforestri Karakteristik lahan di DAS Cianjur memungkinkan untuk pengembangan tanaman sayuran. Gambaran produksi dan keadaan tanaman sayuran terdapat pada Tabel 3.5. Tabel 3.5. Keadaan tanaman sayuran tahun 2002 dan 2003 N o Jenis sayuran Luas Tanam (ha) Luas Panen (ha) Produktivitas (kw/ha) Produksi Bruto (ton) Bawang Merah Bawang Daun Kentang Kubis Kembang Kol Petsai / Sawi Wortel Lobak Kacang Merah Kacang Panjang Cabe Merah Cabe Rawit Jamur Tomat Terung Buncis Ketimun Labu Siam Kangkung Bayam Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2003)

56 36 Tanaman sayuran juga menjadi tanaman utama pada sistem agroforestri. Tanaman sayuran memiliki potensi untuk dikembangkan karena wilayah ini memang merupakan salah satu sentra produksi untuk tanaman sayuran (terutama sayuran dataran tinggi) untuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Karakteristik wilayah penelitian Deskripsi wilayah penelitian di DAS Cianjur terdapat pada Tabel 3.6. Tabel 3.6. Deskripsi lokasi penelitian di Daerah Aliran Sungai Cianjur Zona Ketinggian tempat (mdpl) Koordinat/ lokasi Hulu > 900 S ; E Tengah S ; E Hilir ±300 S ; E Tofografi 70% bukit 30% dataran 40% bukit 60% dataran semuanya berupa dataran Deskripsi Jarak dari kota Cianjur (km) Luas Wilayah (ha) Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan ratarata/km Zona Hulu Wilayah penelitian untuk zona hulu adalah Desa Galudra. Desa Galudra masuk wilayah Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur. Galudra ini merupakan wilayah dataran tinggi dan pegunungan pada ketinggian m dpl, dengan lanskap lereng yang curam. Beberapa area pedesaan adalah tipe hutan sebagai zona penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Desa Galudra memiliki luas wilayah sebesar ha dengan jumlah penduduk jiwa, kepadatan/km 102 dan pendapatan perkapita Rp /tahun.

57 37 Gambar 3.2. Peta penggunaan lahan wilayah hulu (Ali dan Arifin, 2007) Lahan pertanian Galudra adalah berupa lahan kering. Agroforestri pada kawasan ini dilaksanakan dengan sangat intensif berupa intercropping, multiple cropping, maupun dalam bentuk alley cropping dengan tegakan utamanya berupa pinus dan kayu putih. Pola Agroforestri ini secara intensif dilaksanakan pada lahan-lahan kehutanan yang merupakan bagian dari daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tanaman yang dibudidayakan secara intensif adalah jenis sayuran dataran tinggi tropis seperti wortel, bawang daun, jagung manis, sawi, tomat, cabe, kobis, selada, brokoli, bawang daun dan labu siam. Sedangkan agroforestri berbentuk talun terdapat pada lereng sungai dengan topografi yang curam. Zona Tengah Lokasi penelitian zona tengah DAS Cianjur adalah Desa Mangunkerta. Desa Mangunkerta secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Cugenang. Di sebelah selatan mengalir Sungai Cisarua yang langsung membagi desa dan berbatasan dengan Desa Srampat, sedangkan di sebelah utara mengalir Sungai Cianjur Kecil yang juga langsung membagi desa dan berbatasan langsung dengan Desa Nyalindung. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Gasol dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukamulya. Jumlah penduduk desa

58 38 Mangunkerta sebanyak jiwa dengan kapadatan/km 210 jiwa dan pendapatan perkapita Rp /tahun. Gambar 3.3. Peta penggunaan lahan wilayah tengah (Ali dan Arifin, 2007) Keberadaan pertanaman tanaman semusim hampir berlangsung sepanjang tahun. Di daerah ini curah hujannya juga cukup tinggi, sehingga tidak ada masalah air. Cara penanaman tanaman semusim lebih teratur dalam baris-baris maupun blok-blok tanaman dengan jarak tertentu, hal ini terjadi karena pada umumnya petani di daerah ini merupakan petani-petani spesialis lahan kering dan praktek agroforestri merupakan pekerjaan pokok bagi sebagian besar petani. Pengolahan tanah optimum, benih dan bibit umumnya beli dari pasar serta dilakukan pemeliharaan tanaman seperti pengendalian hama penyakit dan gulma. Jenis tanaman semusim lebih beragam, sementara untuk pohon dilakukan pemangkasan terutama daun untuk mengurangi pengaruh negatif naungan. Talas Bogor (Colocasia esculenta L ) ditanam terutama di pinggir teras sehingga mempunyai nilai tambah yaitu disamping produksi juga untuk menahan erosi (aspek konservasi). Zona Hilir Zona hilir wilayah penelitian ini adalah Desa Selajambe. Desa Selajambe secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Sukaluyu. Di sebalah selatan berbatasan dengan Desa Tanjungsari, sedangkan di sebelah utara berbatasan

59 39 dengan Desa Sukasirna. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Hegarmanah dan sebalah barat berbatasan dengan Desa Babakan Caringin Kecamatan Karang Tengah. Desa ini berada kurang lebih 10 km dari Kota Cianjur dan 5 km dari ibukota kecamatan. Desa ini memiliki jumlah penduduk sebanyak jiwa dengan luas wilayah seluas ha yang terdiri dari sawah setengan teknis 21.6 ha, lahan kering ha dan pemukiman ha. Desa ini memiliki kerapatan jiwa/km 2. Tanaman utama pada lahan kering (kebun campuran) adalah jagung, cabe, ketela pohon, tomat dan ubi jalar. Penggunaan lahan pada tahun 2000 di zona bawah ini relatif sama dengan jumlah jenis penggunaan lahan pada tahun 1990 sebanyak 4 jenis yaitu sawah, tegal, kebun campuran dan pemukiman (Gambar 3.4). Pada tahun 2000 penggunaan lahan tetap sama yaitu didominasi oleh sawah sebesar 75.37% dari total keseluruhan luas wilayah. Untuk tegalan seluas 4.64%, pemukiman sekitar 12.91% dan penggunaan lahan untuk kebun campuran sekitar 12.91% dari total luas wilayah. Gambar 3.4. Peta penggunaan lahan wilayah hilir (Ali dan Arifin, 2007) Penggunaan lainnya mengalami peningkatan luas lahan yaitu penggunaan lahan sawah, kebun campuran dan pemukiman. Pada tahun 1990 luas lahan untuk penggunaan sawah meningkat dari 73.37% menjadi 73.54% pada tahun 2000 atau mengalami perubahan bertambah sebesar 1.83%. Kebun campuran pada tahun 1990 luasnya sebesar 3.98% pada tahun 2000 menjadi 7.08%, sedangkan

60 40 penggunaan untuk pemukiman pada tahun 1990 sebesar 5.34% pada tahun 2000 berubah menjadi 12.91% dari total luas wilayah lahan keseluruhan. Penggunaan untuk pemukiman ini mengalami perubahan (bertambah) sebesar 7.57% (Ali dan Arifin, 2007). Waktu tanam untuk tanaman semusim umumnya juga terbatas. Penanaman hanya berlangsung selama Bulan Oktober-Desember untuk jenis tanaman cabe, tomat, jagung, terong atau kacang panjang, dan selanjutnya tanaman dibiarkan tumbuh sampai tanaman tidak berproduksi (mati). Hal ini terjadi karena keterbatasan air (curah hujan rata-rata tahunan mm/tahun) terutama pada musim kemarau (hanya mengandalkan air hujan) sementara air irigasi teknis hanya dialokasikan untuk pertanian lahan sawah, yang lebih menjadi fokus usaha pertanian mereka. Untuk penanaman selanjutnya beberapa petani menanam ketela pohon yang sebenarnya juga menguntungkan karena dengan umurnya yang cukup panjang dan relatif tahan kekeringan maka tanaman ini cocok sampai masa penanaman tanaman selanjutnya. Penyuluhan tentang agroforestri tidak ada, sementara kelompok tani hanya merupakan kelompok tani sawah. Pengolahan tanah dengan olah tanah minimum (minimum tillage) dengan sekali cangkul atau dengan ditugal, benih dan bibit dibuat oleh petani sendiri, dan hanya sebagian kecil petani yang membeli benih dari pasar. Tingkat pemeliharaan tanaman (pemupukan teratur, pemberantasan hama penyakit dan gulma baik secara mekanis maupun kimiawi) juga sangat rendah, sehingga produktivitas tanaman untuk sistem agroforestri di daerah ini rendah. Karakteristik Sistem Agroforesti Masyarakat di DAS Cianjur Karakter pohon Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakter sistem agroforestri masyarakat di tiga zona DAS Cianjur. Di zona hulu, sistem agroforestri berbentuk agroforestri sederhana dengan pola tanam lorong (alley cropping) dan terdapat di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Di tengah, terdapat 2 sistem agroforestri yaitu agroforestri berbentuk

61 41 alley cropping berbasis mahoni yang terdapat di lahan milik perkebunan teh dan agroforestri berupa kebun campuran milik masyarakat. Sedangkan di hilir 86.67% sistem agroforestri dengan pola campuran (mixed cropping) dan 13.33% alley cropping berbasis sengon (Tabel 3.5). Tabel 3.5. Karakteristik agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Performance Agroforestri AF sederhana di hulu Sistem Agroforestri Sederhana, pola alley cropping Rataan Luasan Agroforestri ( m 2 ) Struktur vegetasi 440 m 2 Teratur, bentuk barisan,bedengan, tumpang sari. Jumlah jenis tegakan / pohon = 5 ; Tanaman semusim = 12 AF sederhana di tengah Sederhana, pola alley cropping dan kebun campuran 820m 2 Teratur, bentuk barisan dan blok. Jumlah jenis tegakan / pohon = 20 ; Tanaman semusim = 20 AF kompleks di hilir Kompleks (kebun campuran) 660 m 2 Tidak teratur, banyak jenis. Jumlah jenis tegakan / pohon = 32 ; Tanaman semusim = 21 Pola sebaran pohon pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda. Di hulu pohon pinus atau kayu putih ditanam dalam barisan teratur jarak tanam 4m x 10m. Pohon pinus berumur rata-rata berumur 4 tahun, sedangkan kayu putih > 10 tahun. Kondisi pohon pinus dan kayu putih umumnya kurus tidak subur dan selalu dilakukan pemangkasan 2-3 kali dalam 1 tahun. Di

62 42 zona hulu ini petani sebagai pesanggem dapat memanfaatkan lahan-lahan di bawah tegakan untuk dimanfaatkan untuk budidaya tanaman, namun petani juga memiliki kewajiban menjaga dan merawat pohon. Sedangkan di tengah tegakan/pohon dalam sistem agroforestri didominasi oleh jenis mahoni. Di lahan milik perkebunan teh, tegakan mahoni umur 4 tahun dengan jarak tanam teratur 4m x 10m ditanam pada lahan-lahan yang miring. Sedangkan di hilir, pohon penyusun agroforestri didominasi oleh jenis sengon. Sebagian besar pohon sengon tidak ditanam oleh petani. Adapun gambar/sketsa sebaran pohon pada setiap zona DAS Cianjur terdapat pada Lampiran 3 dan 4. Jumlah spesies pohon dan tanaman semusim juga berbeda di tiga zona DAS Cianjur. Di hulu ditemukan pohon sebanyak 5 spesies, di tengah 20 spesies dan di hilir 23 spesies. Berdasarkan fungsinya, di hulu 80% penghasil kayu dan 20% pohon buah, di tengah 60% penghasil kayu, 30% pohon buah 10% penghasil bunga sedangkan di hilir 56.52% penghasil kayu, 30.43% penghasil buah, 8.70% penghasil bunga dan 4.40% penghasil obat Tabel 3.6. Data spesies pohon dan tanaman penyusun agroforestri pada setiap zona terdapat pada Lampiran 2. Tabel 3.6. Spesies pohon dan tanaman semusim (berdasarkan fungsinya) pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Jenis Penyusun Jumlah spesies Zona DAS Hulu Tengah Hilir % Jumlah % Jumlah spesies spesies Tegakan Pohon (kayu) Pohon Buah-buahan Penghasil bunga/hias Penghasil Obat Total Tan Semusim Sayuran Pangan Buah Hias Total %

63 43 Perbedaan jumlah spesies pohon di hulu dan tengah disebabkan oleh tujuan dari pemilihan pohon yang dikaitkan dengan fungsi ekologis dan ekonomis pohon pada setiap zona DAS. Berdasarkan fungsi ekologis pohon yang dipilih adalah pohon yang mempunyai nilai konservasi tinggi dengan perakaran yang dalam dan perkembangan tajuk yang cepat. Sedangkan dari nilai ekonomis adalah pohon yang mempunyai nilai ekonomis tinggi baik berupa getah maupun kulit kayunya (pinus dan kayu putih). Sistem agroforestri di tengah didominasi pohon mahoni karena disamping memiliki perakaran yang kuat, harga jual kayunya tinggi, ranting bekas pangkasan bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar dan daunnya untuk pakan ternak. Sedangkan di hilir, agroforestri berupa kebun campuran dengan jumlah spesies pohon lebih banyak, karena pohon selain untuk memenuhi fungsi ekologis dan ekonomis, juga fungsi produksi yaitu, untuk memenuhi kebutuhan pangan. Rendahnya jumlah spesies pohon di hulu dan tengah juga disebabkan oleh pola alley cropping yang memerlukan spesies pohon tertentu agar tidak terjadi kompetisi antar pohon dan tanaman, baik kompetisi ruang tumbuh maupun kompetisi penyerapan unsur hara. Pada Alley cropping dengan tegakan pinus di hulu dan mahoni di tengah, masih memungkinkan tersedianya ruang tumbuh bagi tanaman semusim. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sabarnurdin et al. (2004), yang menyatakan bahwa pada alley cropping dengan pohon mahoni, pohon memberikan pengaruh pada proses berbagi (sharing) ruang tumbuh dengan tanaman (cash crop). Seiring dengan perkembangan tajuk tegakan mahoni, maka lebar ruang pertanian semakin turun dan ruang pertanian mempunyai ketidakaktifan tinggi pada saat perkembangan tajuk mahoni antar baris sudah bertemu. Adapun masa aktif ruang pertanian berkisar 5.2 sampai 8.7 tahun. Sedangkan menurut Kurniawan (2004), pada agroforestri pinus dengan kedelai, dengan melakukan pemangkasan 1/3 tajuk bagian bawah, mampu meningkatkan penangkapan cahaya yang lolos ke bawah pohon dari 20% menjadi 23% pada saat awal pemangkasan (0 hst) dan pada saat kedelai tumbuh vegetatif maksimum (40 hst) meningkat dari 23% menjadi 28%.

64 44 Faktor lain yang mempengaruhi jumlah spesies pohon adalah tingkat intensifikasi sistem agroforestri. Tingkat intensifikasi pertanian yang makin meningkat ke hulu maka pohon yang dipilih hanya jenis-jenis tertentu yang masih dapat memberi ruang untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman yang diusahakan petani. Selain itu dengan tofografi yang umumnya berbukit, maka pohon yang dipilih adalah pohon yang memiliki perakaran yang dalam dan tidak terlalu menyebar, tajuk tidak terlalu lebar, mudah dipangkas, sehingga pohon ini bisa memiliki fungsi ganda yaitu dapat mengurangi erosi, daun pangkasan bisa dimanfaatkan untuk menambah bahan organik tanah dan pakan ternak. Di hilir, 100% agroforestri pada lahan-lahan masyarakat sehingga jenis pohon yang ditanam ditentukan sendiri oleh pemilik/penggarap (Tabel 3.7). Faktor kepemilikan ini mempengaruhi jumlah jenis pohon. Di hulu petani sama sekali tidak memiliki hak atas pohon, begitu juga di tengah pada kebun campuran di areal PTPN, sedangkan di hilir karena kepemilikan ada pada masyarakat (pemilik) maka pemilik memiliki hak untuk memilih dan memanfaatkan pohon yang ditanam sesuai dengan tujuan penanaman. Tabel 3.7. Pola kepemilikan lahan di tiga zona DAS Cianjur No Kriteria Zona DAS Hulu Tengah Hilir Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 Petani/penggarap lahan kehutanan 2 Petani sebagai pemilik sendiri 3 Petani/penggarap milik orang luar desa Petani luar daerah yang menggarap sendiri Jumlah Luasan lahan garapan pada sistem agroforestri (kebun campuran) secara umum kita bedakan menjadi 4 (empat). Luas rata-rata lahan garapan petani juga berbeda di tiga zona DAS Cianjur. Di hulu luas lahan garapan petani 100% sempit dengan rata-rata 440 m 2 lebih rendah dibanding di tengah sebesar 820 m 2 dan di hilir 660 m 2 (Tabel 3.8). Perbedaan rata-rata luas lahan garapan ini diduga

65 45 akan mempengaruhi jenis tanaman dan pohon. Rata-rata luasan lahan yang sempit di hulu disebabkan petani mendapatkan lahan yang hampir merata dari BTNGGP (Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) dengan luasan 400m 2-600m 2, begitu juga di tengah, pada lahan milik PTPN 8 (Perkebunan Teh Gunung Gedeh) dengan luasan juga 400m 2-600m 2. Pada 30 % petani yang menggarap lahan milik sendiri atau orang lain (selain PTPN) luasannya bervariasi antara 400 m 2 - >1200 m 2. Sedangkan di hilir 100% lahan milik petani (milik sendiri atau milik orang lain) maka luasannya juga beragam dengan rata-rata lebih luas dibanding di hulu dan di tengah. Rata-rata luas lahan garapan juga mempengaruhi tingkat intensifikasi pemanfaatan lahan. Di hulu dan tengah dengan luas garapan yang sempit petani akan lebih intensif dalam pemanfaatan lahan. Sedangkan di hilir cenderung kurang intensif (86.68%) dan hanya 13.32% intensif berupa agroforestri sederhana berbasis sengon terutama pada lahan-lahan yang cukup luas dan dimiliki oleh orang lain (dari luar Desa Selajambe). Tabel 3.8. Rata-rata luas lahan garapan pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur Luas Lahan Garapan Luas Zona <400 (m 2 ) (m 2 ) (m 2 ) >1200 (m 2 ) rataan DAS Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % (m 2 ) Hulu Tengah Hilir Selain itu jumlah jenis komponen penyusun juga dipengaruhi oleh status garapan dan sistem bagi hasil dari sistem agroforestri yang dikelola (Tabel 3.9). Tabel 3.9. Status garapan dan sistem bagi hasil agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Zona DAS Kriteria Hulu Tengah Hilir Jumlah % Jumlah % Jumlah % Hasil untuk penggarap Bagi hasil (50 : 50) Milik sendiri Pohon untuk penggarap Pohon dibagi hasil Pohon ke pemilik lahan Total

66 46 Karakter tanaman semusim Jumlah spesies tanamam semusim di hulu lebih rendah dibandingkan di tengah dan di hilir. Rendahnya jumlah spesies tanaman di hulu disebabkan oleh kondisi agroklimat terutama suhu. Menurut Kiyotaka et al. (2001), setiap kenaikan ketinggian 100m menyebabkan penurunan suhu sebesar C. Perbedaan suhu yang merupakan representasi dari ketinggian tempat merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman, sehingga jenis tanaman yang diusahakan hanya terbatas pada tanaman sayuran dataran tinggi seperti cabe, tomat, wortel, kobis, sawi, bawang daun dan brokoli. Perbedaan suhu ini juga berpengaruh terhadap produksi, seperti dinyatakan oleh Selari et al. (2007), bahwa perubahan suhu udara dan tanah karena perbedaan elevasi berpengaruh terhadap produksi tanaman. Intensitas penanaman tanaman semusim di hulu sangat intensif. Sangat intensifnya penanaman tanaman semusim ini, mengakibatkan hanya spesies tanaman tertentu yang ditanam petani, dan petani cenderung memilih jenis tanaman semusim yang berumur pendek. Hal ini sesuai dengan pendapat Thakur et al. (2005), yang menyatakan bahwa pemilihan jenis tanaman sangat diperlukan dalam pola tanam intensif. Sementara di tengah dan hilir memungkinkan untuk menanam lebih banyak jenis tanaman, karena selain tujuan penanaman juga disebabkan oleh adanya beberapa tanaman dataran tinggi yang bisa beradaptasi di dataran rendah. Sebagai contoh tanaman cabai dan terong merupakan tanaman sayuran yang dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi (1 200 m dpl) dengan kisaran suhu yang lebih besar yaitu C. Sedangkan tanaman labu siam hanya tumbuh dengan baik pada kisaran suhu C. Hal ini sesuai dengan penelitian Bahrun et al. (2004), yang menyatakan bahwa perbedaan zona karena perbedaan ketinggian tempat menyebabkan terbentuknya zona agroklimat dan mempengaruhi iklim mikro, sehingga komponen penyusun agroforestrinya juga berbeda (kasus di DAS Ciliwung). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada sistem agroforestri baik di hulu, tengah maupun hilir, menanam jenis spesies yang sama, yaitu jenis

67 47 tanaman sayuran dataran tinggi. Sedangkan beberapa tanaman pangan yang ditanam di tengah dan di hilir adalah jagung (jagung dan jagung manis) serta singkong (ubi kayu). Karakteristik fauna Jumlah jenis fauna parasitoid di hulu lebih besar dibandingkan di tengah dan hilir (Tabel 3.10). Hal ini dikarenakan pertambahan jumlah spesies parasitoid ini sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan struktur lanskapnya, dimana semakin beragam habitat tanaman maka jumlahnya semakin banyak. Tabel Jumlah spesies fauna (serangga) pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Zona Fauna (Jumlah spesies) Predator Parasitoid Polinator Herbivor Hulu Tengah Hilir Sumber: Yaherwandi (2005) Selain itu juga karena intensifikasi pengelolaan terutama penggunaan pestisida dapat menyebabkan parasitoid pindah dari habitat yang banyak menggunakan pestisida ke habitat yang lebih sedikit menggunakan (Yaherwandi 2005). SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan: 1. Sistem agroforestri di DAS Cianjur yang dilaksanakan di wilayah hulu berupa agroforestri sederhana, dengan kondisi tanah/topografi berbukit/miring sehingga jenis pohon lebih sedikit karena disesuaikan dengan fungsi pohon yaitu fungsi konservasi. Di tengah, selain fungsi konservasi juga fungsi produksi, sedangkan di hilir pohon yang dipilih adalah pohon yang memiliki fungsi produksi yang tinggi dan nilai jual yang tinggi.

68 48 2. Perbedaan ketinggian tempat berpengaruh terhadap perbedaan karakter agroklimat terutama suhu yang sangat berpengaruh terhadap sistem agroforestri serta jumlah jenis spesies (tumbuhan dan hewan) yang ada di suatu kawasan DAS. 3. Karakteristik sistem agroforestri di hulu berbeda dengan di tengah dan hilir. Perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat pada sistem agroforestri berpengaruh terhadap komposisi vegetasi penyusunnya. Di zona hulu jumlah spesies tegakan sebanyak 5, di tengah 20 sedangkan di zona hilir 23 spesies. Sedangkan untuk spesies tanamn semusim, di hulu 12 spesies, di tengah 20 spesies dan hilir 21 spesies.

69 ANALISIS POLA TANAM DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADA SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR (Analysis Cropping Pattern and Productivity of Cash Crops on Agroforestry System in Cianjur Watershed) ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik pola tanam dan produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur. Pengamatan dan wawancara dilaksanakan pada 30 sampel sistem agroforestri masyarakat dan wawancara terhadap 30 responden (petani) pada setiap zona DAS Cianjur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik pola tanam, dimana perbedaan karakteristik pola tanam ini juga berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Sistem agroforestri di zona hulu merupakan agroforestri sederhana dengan pola tanam lorong (alley cropping), tata letak tanaman teratur dalam baris atau blok dengan intensifitas pertanamannya sangat intensif, di tengah sistem agroforestri di areal perkebunan teh (73%) areal dengan pola tanam lorong (alley cropping) tata letak tanaman teratur dalam baris atau blok dengan intensifitas pertanamannya intensif, sedangkan sisanya 27% berupa kebun campuran di lahan milik masyarakat. Sedangkan di hilir sistem agroforestri umumnya berupa kebun campuran dengan tata letak tanaman semusim yang tidak teratur, intensitas penanaman kurang intensif dengan pemilik lahan orang luar Desa Selajambe. Adapun nilai indeks pertanaman masingmasing dari hulu ke hilir berturut-turut adalah 2.93, 2.53 dan Produktivitas tanaman semusim di hulu juga lebih tinggi dibanding di tengah dan di hilir, hal ini disebabkan jenis tanaman semusim yang ditanam baik di tengah dan di hilir merupakan tanaman sayuran dataran tinggi. Produktivitas tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur umumnya juga lebih rendah dari potensi hasil setiap jenis tanaman dan dari data Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. Sedangkan tanaman semusim dominan di hulu adalah wortel, kobis, tomat, bawang daun, sawi dan cabe, di tengah jagung, cabe, tomat, wortel, dan sawi sedangkan di hilir adalah jagung, cabe keriting, tomat dan singkong. Kata kunci : agroforestri, indeks pertanaman, pola tanam, produktivitas tanaman ABSTRACT The study was conducted to analyze characteristics of the cropping pattern and productivity of cash crops of agroforestry systems in the Cianjur watershed landscape. Observation and interviews were held to 30 samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed, that the communities in the three zones of Cianjur Watershed have been conducting agroforestry practice in order to manage their dry land. It s found the differences characteristic of agroforestry system between the upper stream and the down stream. The middle stream agroforestry system characteristic was known as a transition condition between the upper and the down streams. The characteristic of the biophisic and agroclimate have affected to total individual number

70 49 and species of trees and cash crops, cropping pattern and productivity. Planting index of cash crops is 2.93, 2.53 and 1.43 in the upper, middle and down stream, respectively. The productivity of cash crops in the three zones of Cianjur watershed area, in the generally also lower than the potential yield and data from Cianjur Agriculture Official Furthermore, the dominant cash crops in the upper stream are carrot, cabbage, tomato, scallion, mustard and chili. In the middle stream are corn, chili, tomato, carrot, and mustard, and than in the down stream are corn, chili, tomato and cassava. Key word : agroforestry, cash crop productivity, planting index, planting pattern PENDAHULUAN Pola tanam diartikan sebagai bentuk pengelolaan pertanaman yang diusahakan pada sebidang lahan yang meliputi cara tanam, bentuk penanaman, waktu/periode tanam dan persiapan lahan. Bentuk pola tanam tanaman semusim pada sistem agroforestri dapat berupa pola tanam tunggal (monocropping) dan pola tanam ganda (multiple cropping). Pola tanam ganda dibagi menjadi pola tanam campuran (mixed cropping) dan tumpang sari (intercropping), dimana kedua pola tanam ini terdapat berbagai jenis pola tanam tergantung dari tujuan usaha tani dan kondisi lahan setempat (Sukmana et al. 1990; Haryati et al. 1993). Pola tanam dan sistem pertanaman di suatu wilayah ditentukan oleh faktor lahan/tanah dan keadaan iklim, serta tujuan dari pengelolaan pada setiap zona agroekologi (Das 2005). Selain itu pola pertanaman juga ditentukan oleh: 1) fasilitas-fasilitas penunjang (infrastruktur) seperti irigasi, transportasi, penyimpanan, pasar/perdagangan, dan pergudangan, 2) faktor sosial ekonomi yaitu modal, kepemilikan, ukuran dan sistem pengelolaan lahan, ketersediaan makanan dan kayu bakar serta tenaga kerja, 3) faktor teknologi yaitu tersedianya varietas tanaman yang baik, teknik budidaya, mekanisasi, sarana penanggulangan hama penyakit serta akses informasi. Sedangkan di tingkat petani faktor yang paling menentukan adalah potensial produksi dan keuntungan secara finansial. Pengaturan pola tanam mempengaruhi keberhasilan sistem agroforestri. Pola tanam yang tepat dapat mengurangi interaksi negatif (kompetisi) antar tanaman sehingga dapat menghasilkan produksi yang maksimal. Menurut Partohardjono (2003), dalam pengaturan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman

71 50 pada sistem agroforestri harus mempertimbangkan kondisi fisik, sosial ekonomi dan peluang yang ada, adanya pelibatan petani dalam perancangan dan pengkajian pola tanam untuk memperlancar proses adopsi teknologi, melibatkan multidisiplin dari berbagai bidang keahlian dan pengembangan pola tanam yang mengarah pada peningkatkan intensitas tanam serta dapat diterima petani. Sedangkan menurut Raintree (1983), bahwa pengembangan agroforestri meliputi beberapa aspek yaitu: a) meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, b) mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada dan c) penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adaptability). Banyak kendala dalam pengembangan agroforestri. Salah satunya adalah rendahnya produktivitas tanaman yang antara lain disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam. Sebagaimana yang terjadi di DAS Cianjur, produktivitas sistem agroforestri juga masih rendah. Untuk itu diperlukan penelitian yang bertujuan: 1) menganalisis pola tanam tanaman semusim dan tingkat pengelolaannya pada sistem agroforestri di DAS Cianjur, 2) menganalisis produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 3) Menganalisis motivasi pemilihan jenis tanaman semusim yang diusahakan petani untuk sistem agroforestri di DAS Cianjur, 4) menganalisis kalender pertanaman pada sistem agroforestri di DAS Cianjur untuk mendapatkan sistem agroforestri yang produktif dengan mempertimbangkan perbedaan zona yang didasarkan pada perbedaan ketinggian tempat, dan 5) menganalis peluang pengembangan vegetable agroforetry khususnya di zona hulu. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2008 sampai dengan Oktober Penelitian pola tanam dan produktivitas tanaman juga dilaksanakan di tiga zona Daerah Aliran Sungai Cianjur, yaitu: zona hulu (> 900 m dpl); tengah (300-

72 m dpl) dan hilir (±300 m dpl) (Gambar 4.1). Secara administratif zona hulu masuk wilayah Desa Galudra, zona tengah Desa Mangunkerta masing-masing masuk wilayah Kecamatan Cugenang dan zona hilir masuk wilayah Desa Selajambe Kecamatan Sukaluyu. Pembagian zona ini berdasar pada penelitian Arifin (2001). Adapun secara geografis zona hulu terletak pada S ; E pada ketinggian > 900 m dpl, tengah ` ` 08 BT dan ` 14 LS ( m dpl), dan hilir ` ` 08 BT dan ` 14 LS pada ±300 m dpl. Gambar Peta lokasi penelitian sepanjang Daerah Aliran Sungai Cianjur (Sumber: Arifin 2001) Penelitian didesain berdasarkan hasil analisis penelitian tahap pertama, terutama jenis tanaman dominan yang ditanam dan menjadi kebiasaan masyarakat pada ketiga zona DAS Cianjur. Empat jenis tanaman terpilih didasarkan pada beberapa aspek penting dalam pemilihan jenis tanaman semusim untuk agroforestri yaitu aspek agronomis meliputi kesesuaian lahan, tingkat toleransi terhadap pohon/tanaman tahunan, memiliki daya adaptasi tinggi, tidak terjadi kompetisi dengan pohon (interaksinya positif); aspek ekonomis yaitu tanaman yang ditanam merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Thakur et al. 2005) dan diperlukan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari. Aspek ini menurut Santosa (2005) menjadi pertimbangan utama dalam penentuan jenis

73 52 tanaman semusim untuk agroforestri; aspek ekologis/lingkungan artinya ada kecocokan antara sifat fisik lingkungan dengan persyaratan tumbuh tanaman semusim yang akan dikembangkan dengan memperhitungkan input-input yang diperlukan tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimal. Adapun faktor-faktor lingkungan ini adalah suhu, curah hujan, ketinggian tempat, kedalaman tanah, ph, bahan organik serta sifat-sifat pertumbuhan pohon. Sedangkan penanaman dan pengelolaan tanaman mengacu pada persyaratan tumbuh masing-masing jenis tanaman semusim terpilih (hasil penelitian sebelumnya), mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan sampai pemanenan. Data produktivitas tanaman dikumpulkan dari hasil wawancara dan pengamatan pertumbuhan dan produksi tanaman di pertanaman petani contoh. Wawancara berupa pertanyaan mengenai persiapan tanam sampai pemanenan hasil, produksi, biaya serta nilai jual produksi tanaman pada setiap periode tanam. Sedangkan pengamatan pertumbuhan dan produksi, dilakukan pada petak contoh berukuran 5m x 5m yang ditempatkan pada lahan-lahan petani yang mewakili kondisi pertanaman pada lokasi penelitian. Pengamatan ini dilakukan terhadap 10 tanaman contoh dari setiap petak contoh untuk setiap jenis tanaman, dan setiap petak contoh diulang sebanyak tiga kali. Petak contoh untuk setiap jenis tanaman juga dibuat pada pertanaman monokultur sebagai pembanding. Sedangkan 4 tanaman akan dijadikan sampel destruktif 2 tanaman pada saat fase vegetatif cepat dan 2 tanaman pada fase generatif. Petak contoh pengamatan ini dibuat sebanyak 3 petak (dalam 1 blok atau beda blok) untuk setiap jenis tanaman, dan masingmasing petak ini dianggap sebagai ulangan. Pemilihan petak contoh juga didasarkan pada kesesuaian lahan dan persyaratan penggunaan lahan terutama lahan-lahan yang selama ini telah dikembangkan dalam bentuk agroforestri (kebun campuran) oleh masyarakat. Sampel plot juga dibuat pada pertanaman monokultur (tanpa pohon) untuk mengetahui respon pada kondisi non agroforestri. Penelitian ini merupakan penelitian uji multi lokasi dan didesain dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok

74 53 (RAK) dengan dua faktor yaitu jenis tanaman semusim dan lingkungan (ketinggian tempat), masing-masing diulang tiga kali. Adapun peubah yang diamati adalah: 1. Produksi tanaman setiap panen (pada tanaman buah dan sayuran). Pengamatan ini untuk mengetahui kecenderungan jumlah produksi dan jumlah produksi total dalam 1 musim tanam. 2. Produksi tanaman segar/sayur (kg/ha), jumlah buah segar (tanaman buah), berat tongkol, jumlah dan berat umbi (kg/ha). 3. Indeks Cropping mengacu pada Ruthenberg s Cropping Indexs (RCI) dengan rumus: RCI = Tcrop / (Tcrop + Tfallow), dimana: Tcrop = Lamanya lahan ditanami tanaman pertanian (semusim); T fallow = Lamanya lahan bera. 4. Indeks panen (harvest indexs) = Bobot hasil yang dipanen/bobot total tanaman, atau berat kering hasil/berat kering total tanaman. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik pola tanam dan produktivitas tanaman pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Karakteristik pola tanam sistem agroforestri di DAS Cianjur Terdapat perbedaan karakteristik pola tanam tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Karakteristik pola tanam pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Zona Hulu Karakteristik Pola Tanam Bentuk pola tanam Tata letak tanaman Intensifikasi pengelolaan Pola lorong (Alley cropping) Teratur, bentuk barisan, bedengan, tumpang sari Indeks pertanaman Sangat intensif 2.93 Tengah Pola lorong (Alley cropping) dan mixed cropping Teratur, dalam bentuk barisan-barisan dan blok Intensif 2.53 Hilir Kebun campuran (Mixed cropping) Tidak teratur, banyak jenis Kurang intensif 1.43

75 54 Sistem agroforestri di zona hulu dan tengah berupa agroforestri sederhana dengan pola lorong (alley cropping), tata letak tanaman teratur dalam baris dan blok-blok, penanaman sepanjang tahun dengan pengelolaan sangat intensif dan intensif. Perbedaan karakteristik ini dipengaruhi oleh faktor agroklimat (suhu, kelembaban dan curah hujan) (Tabel 4.2). Suhu memegang peranan penting terhadap pertumbuhan tanaman. Rosario et al (1986), menyatakan bahwa setiap proses fisiologi seperti respirasi dan fotosintesis dibatasi oleh suhu. Suhu juga dapat mempengaruhi aktivitas enzim menjadi aktif. Contoh pada suhu rendah, kelembaban tinggi dan curah hujan yang tinggi, maka tanaman sayuran seperti kobis, wortel, bawang daun dan brokoli dapat tumbuh dengan baik, bahkan dapat dilaksanakan penanaman sepanjang tahun. Tabel 4.2. Keadaan iklim dan tofografi tiga zona DAS Cianjur Karakter Wilayah Iklim Topografi Hulu Tengah Suhu udara: C, kelembaban udara: 80-82%, curah hujan: mm/tahun Suhu udara: C,kelembaban udara: 80-82%, curah hujan: mm/tahun 70% perbukitan, 30% dataran 40% perbukitan, 60% dataran Hilir Suhu udara: 25 C, kelembaban udara: 80-82%, curah hujan: mm/tahun Sumber Ali dan Arifin (2007). seluruhnya berupa dataran Bentuk pola tanam Pola tanam lorong (allley cropping) di hulu dilaksanakan di lahan kehutanan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tegakan utama (pohon) berupa pohon pinus dan kayu putih. Pola tanam berupa intercroping, interplanting dan mix-intercropping. Tamanan pinus telah berumur 4-5 tahun dengan jarak tanam 4m x 5m dan kayu putih yang berumur >10 tahun dengan jarak tanam 10m x 10m. Pengelolaan oleh petani dengan sistem pesanggem (petani bisa memanfaatan lahan-lahan dan mendapatkan hasil dari lahan-lahan di bawah tegakan/pohon sampai tegakan/pohon kehutanan itu tumbuh dengan tajuk sempurna). Pola ini telah berlangsung sejak tahun 1998 dengan melibatkan tiga

76 55 kelompok tani hutan yaitu Kelompok Tani Hutan Mekar Tani, Jaya Tani dan Kelompok Tani Hutan Subur yang masing-masing beranggotakan 12 petani hutan (total anggota 36 petani) dengan luas lahan setiap petani m 2. Pada tegakan (pohon pinus) dilakukan pemangkasan cabang sebanyak 2-3 kali setahun dimaksudkan selain untuk mendapatkan pohon yang tinggi juga untuk mengurangi tajuk, sehingga ruang antar pohon bisa dimanfaatkan untuk budidaya tanaman semusim oleh masyarakat/petani. Pengelolaan lahan pada pola lorong ini sangat intensif dengan masa bera antara 1-2 minggu. Tanaman yang dominan ditanam berupa tanaman sayuran dataran tinggi yaitu wortel, kobis, tomat, bawang daun, sawi dan cabe baik secara tunggal maupun campuran seperti wortel sawi, tomat sawi, tomat bawang daun. Di zona tengah, sistem agroforestri sederhana dengan pola lorong (alley cropping) dilaksanakan di sebagian areal perkebunan teh, dengan sistem pesanggem serta di kebun yang merupakan kebun-kebun hak milik (milik perseorangan), yang dimiliki oleh masyarakat setempat maupun oleh pendatang (dari luar Desa Mangunkerta). Agroforestri pada lahan-lahan hak milik berupa agroforestri kompleks, sedangkan status petani sebagai petani penggarap. Pada sistem agroforestri di areal perkebunan teh, petani mendapatkan luas lahan ratarata seluas 1 patok (400m 2 ), sedangkan di luar perkebunan teh (30%) milik pribadi dan (10%) sebagai penggarap dengan pemilik orang dari luar Desa Mangunkerta. Luasan garapan rata-rata lebih besar dari 400 m 2. Pada alley cropping di areal yang dimiliki perkebunan teh, tegakan/pohon berupa pohon mahoni. Pemangkasan tajuk dilaksanakan sebanyak 2 kali setahun dengan masa bera 2-3 minggu. Tanaman dominan pada pola lorong di tengah adalah jagung, cabe, tomat, wortel, dan sawi. Sistem agroforestri di hilir berupa kebun campuran hak milik, dengan struktur vegetasi yang rapat, jarak tanam tidak teratur. Pemeliharaan tanaman tidak intensif, alokasi waktu untuk pengelolaan kebun juga rendah yang disebabkan oleh terbatasnya air terutama pada musim kemarau akibat rendahnya curah hujan dibandingkan di hulu dan tengah. Selain itu petani di hilir lebih berorientasi pada pengerjaan tanah sawah. Berdasarkan kepemilikannya, petani di

77 56 hilir umumnya hanya sebagai penggarap, sementara pemilik kebun campuran (73.33%) adalah orang-orang dari luar Desa Selajambe. Tanaman yang dominan ditanam di hilir adalah jagung, cabe keriting, tomat dan singkong. Adapun jenis tanaman semusim dan pola tanam pada alley cropping di tiga zona DAS Cianjur terdapat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Jenis tanaman semusim dan pola tanam pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur Zona Jenis tanaman Dominan DAS Hulu Wortel-sawi; Bawang daun /kubis; cabe/tomat-wortel Pola Tanam Monokultur Polikultur wortel, bawang daun, Wortel-sawi, kobis, cabe Wortel, bwg daun Tengah Jagung-cabe, cabe (tanaman lama tomat/sawi ; (sawi), serta talas di tepi/pinggir sengkedan. Jagung, cabe, tomat, wortel Jagung-cabe, Cabe-sawi, Tomat-Sawi Hilir Jagung/cabe keriting/tomat; tanaman bumbu dan obat yang tumbuh di musim penghujan dan sebagian petani menanam singkong dan ubi jalar. Jagung, cabe keriting dan tomat Jagung-cabe, Jagung-singkong Pola tanam dan sistem pertanaman di suatu wilayah juga ditentukan oleh faktor iklim dan lahan/tanah, serta tujuan pengelolaan pada setiap zona agroekologi (Das, 2005). Pola tanam di hulu dan tengah berlangsung sepanjang tahun, sedangkan di hilir, pola tanam masih didasarkan pada kebiasaan pola musim penghujan (Oktober Maret) dan kemarau (April-September). Sedangkan untuk kesesuaian lahan, menurut Saroinsong (2002), bahwa petani di tiga zona DAS Cianjur masih menggunakan indikator pertumbuhan dan produktivitas komoditas tertentu pada suatu kawasan serta neighbour effect dimana petani cenderung meniru pengelolaan lahan sebelumnya di dekatnya yang dianggap cukup berhasil. Keadaan ini berpengaruh terhadap rotasi tanaman (Tabel 4.4) dimana, di hulu 73.33% dengan 3 jenis tanaman, sedangkan di tengah dan hilir masing-masing 79.99% dan 73.33% dengan 2 jenis tanaman. Rotasi tanaman yang hampir sama sepanjang tahun ini menurut DAS (2005) akan mengakibatkan

78 57 terjadinya ketidakseimbangan konsentrasi hara tanah yang berdampak negatif bagi pertumbuhan tanaman. Tabel 4.4. Rotasi tanaman pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur Zona DAS Pola 1 Pola 2 Pola 3 Hulu Wortel, sawi-bwg daunwortel Wortel, sawi-kobis-wortel Wortel-cabe-Kobis Wortel-tomat Wortel-cabe Wortel-bwg daun - kobis - sawi Tengah Wortel-cabe-jagung Cabe-jagung Wortel-cabejagung-sawi Wortel-jagung-sawi Wortel-jagung Tomat-jagung Hilir Cabe-jagung Cabe - Tomat-jagung Tomat - Jagung-ketela pohon Jagung - Ketela pohon - Pola penanaman tumpang sari pada alley cropping di hulu dan tengah juga dapat menyelamatkan unsur hara yang tercuci ke lapisan bawah. Hal ini disebabkan perbedaan zona perakaran antar pohon dan tanaman semusim. Akar pohon umumnya tumbuh lebih dalam dan dapat menyerap unsur hara pada lapisan tersebut. Semakin dalam dan berkembang perakaran pohon tersebut, maka semakin banyak unsur hara yang diselamatkan, sehingga akar pepohonan ini menyerupai jaring yang akan menangkap unsur hara yang mengalir ke lapisan bawah, dan fungsi ini sering disebut sebagai Jaring Penyelamat Hara. Contoh pada tanaman petaian yang ditanam di sela-sela tanaman jagung (Hairiyah 2005). Sedangkan di hilir pada kebun campuran dengan struktur tegakan yang rapat, perakaran tidak teratur sehingga ruang untuk tumbuh tanaman semusim terbatas serta memungkinkan terjadinya kompetisi penyerapan hara yang lebih besar. Gbr 4.2 alley cropping di hulu Gbr 4.3 Alley cropping di tengah Gbr 4.4 Kebun Campuran di hilir

79 58 Frekuensi petani menanam jenis tanaman yang tinggi di hulu dan tengah karena adanya kesesuaian jenis tanaman (genetik) yang dipilih dengan kondisi lingkungannya (Tabel 4.5). Tanaman yang ditanam pada lingkungan yang sesuai maka proses fisiologis tanaman seperti proses pembungaan tidak terganggu. Sementara pada lingkungan yang tidak sesuai tanaman akan mengalami stres, fase pembungaan tidak akan terjadi dan tanaman dorman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Poerwanto (2003), bahwa tanaman perlu mendapatkan lingkungan yang sesuai, karena differensiasi pembungaan terjadi setelah tanaman keluar dari stres. Terganggunya tanaman pada fase ini dalam waktu yang lama mengakibatkan tanaman tidak dapat berproduksi. Tabel 4.5. Frekuensi petani melakukan pola tanam untuk berbagai jenis tanaman pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur. Zona DAS Frekuensi Satu jenis Dua jenis Tiga jenis Jenis % Jenis % Jenis % Hulu Wortel Wortel dan sawi Wortel, sawi, bwg daun B daun Wortel dan bwg daun Cabe 6.67 Cabe dan wortel Kobis 3.33 Cabe dan b daun 6.67 Tomat Cabe, wortel, bwg daun Total Tengah Cabe Cabe, jagung Cabe, jagung dan ketela pohon Jagung Wortel jagung Tomat,jagung dan Singkong Tomat 1.33 Tomat, jagung Wortel 1.33 Kc Panjang 1.33 Total Hilir Cabe Cabe, jagung Tomat Tomat, jagung 3.33 Jagung Jagung, singkong Singkong Total

80 59 Selain itu, perbedaan frekuensi petani menanam jenis tanaman juga disebabkan oleh perbedaan rentang panen yang panjang pada tanaman sayuran sehingga sangat memungkinkan untuk dikombinasikan dengan pengaruh negatif (kompetisi) yang sangat kecil. Contoh wortel dan sawi yang ditanam bersamaan, pada umur hari, sawi sudah dipanen sementara wortel baru dipanen umur 4 bulan. Pola penanaman ini tidak mengganggu pertumbuhan tanaman wortel, tetapi justru petani mendapat keuntungan dari sawi. Begitu juga pada wortel dan bawang daun yang dipanen umur hari. Analisis motivasi pemilihan jenis tanaman Tujuan penanaman juga berpengaruh terhadap motivasi pemilihan jenis tanaman (Tabel 4.6). Pada zona hulu dan tengah, tujuan penanaman terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar (kemudahan menjual dan keuntungan yang besar), sehingga pola tanam disesuaikan dengan kecenderungan (trend) permintaan pasar saat itu, sementara di hilir dengan tujuan utama untuk kosumsi sehari-hari, sehingga pola tanam lebih mengarah pada efektivitas pemanfaatan lahan karena adanya rentang musim yang panjang, sedangkan pada musim penghujan seluruh tenaga kerja terkonsentrasikan untuk penanaman padi/sawah baik sebagai petani maupun buruh tani (Gambar 4.5). Tabel 4.6. Motivasi petani dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam No Kriteria Zona Daerah Aliran Sungai Hulu Tengah Hilir 1 Konsumsi sehari-hari - X Kemudahan menjual Keuntungan yang besar Kesesuaian dengan iklim Keahlian petani/pengalaman Kemudahan pemeliharaan Biaya produksi yang rendah Kemudahan mendapat benih/bibit Mengikuti kebijakan X Jumlah petani sampel yang memberikan jawaban terhadap masing-masing kriteria Hasil uji Chi-Square untuk pemilihan jenis tanaman, menunjukkan bahwa di hulu, nilai Asymp Sig< α = 0.05, berarti terdapat perbedaan kriteria pemilihan jenis tanaman. Namun pada uji lanjut dengan membandingan 2 kriteria yang terbanyak dipilih tidak terdapat perbedaan, sehingga kriteria pemilihan jenis

81 60 tanaman di hulu adalah keahlian petani dan keuntungan yang besar. Di tengah nilai Asymp.Sig> α = 0.05, berarti tidak ada perbedaan kriteria dalam memilih jenis tanaman. Konsumsi sehari-hari 25 Mudah mendapat bibit 20 Kemudahan menjual hulu tengah hilir Biaya prod rendah 0 Keuntungan yg besar Kemudahan pemeliharaan Kesesuaian dng iklim Keahlian/pengalaman petani Gambar 4.5 Motivasi petani memilih jenis tanaman pada sisten agroforestri di DAS Cianjur Kriteria yang terbanyak dipilih petani menjadi dasar pemilihan jenis tanaman yaitu keahlian petani dan kemudahan menjual, sedangkan di hilir Asymp.Sig< α = 0.05, berarti juga terdapat perbedaan kriteria pemilihan jenis. Uji lanjut terhadap 2 kriteria yang terbanyak dipilih menunjukkan bahwa kemudahan mendapat benih/bibit dan kemudahan menjual menjadi pertimbangan pemilihan jenis tanaman. Pemilihan jenis semacam ini menyebabkan sebagian besar tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik terutama tanaman-tanaman yang peka terhadap naungan yang banyak diusahakan masyarakat. Sedangkan di tengah dan hulu lebih berorientasi kemudahan menjual, keuntungan yang besar dan kebiasaan serta pengalaman petani sehingga sering terjadi petani menanam jenis tanaman yang sama, dan kesempatan ini sering dimanfaatkan pedagang untuk membeli dengan harga yang murah. Intensifikasi pengelolaan lahan sangat intensif di hulu, dan intensif di tengah. Sedangkan di hilir, pengelolaan lahan dengan olah tanah kurang intensif

82 61 dengan olah tanah minimum (minimum tillage) dengan dicangkul sekali dan/atau ditugal. Pengolahan lahan (pengolahan tanah) yang sangat intensif-intensif di hulu dan tengah berpengaruh terhadap perbaikan struktur tanah. Menurut Titi (2003), struktur tanah yang baik akan merubah konduktivitas dan permeabilitas air, suhu dan aliran udara pada tanah dan keadaan ini dapat memperbaiki transportasi larutan dalam tanah serta distribusi ruangnya. Selain itu pengolahan tanah juga akan berpengaruh terhadap makroporositas, konduktivitas dan kemampuan menyerap tanah (infiltrasi), mengurangi aliran permukaan dan dalam skala besar bisa menurunkan erosi. Tanah dengan makroporositas yang tinggi dilaporkan juga akan meningkatkan resposibilitas terhadap polusi air tanah yang disebabkan oleh bahan kimia yang dipakai dalam budidaya pertanian. Sementara itu pada sistem agroforestri di hilir, dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage), maka struktur tanahnya kurang baik. Indeks pertanaman di hulu lebih tinggi dibandingkan di tengah dan hilir (Tabel 4.1). Tingginya indeks pertanaman ini, disebabkan oleh adanya kesesuaian jenis tanaman (genetik) yang dipilih dengan kondisi lingkungannya. Tanaman yang ditanam pada lingkungan yang sesuai maka proses fisiologis tanaman seperti proses pembungaan tidak terganggu. Sementara pada lingkungan yang tidak sesuai tanaman akan mengalami stres, fase pembungaan tidak akan terjadi dan tanaman dorman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwanto (2003), yang menyatakan bahwa tanaman perlu mendapatkan lingkungan yang sesuai, karena differensiasi pembungaan terjadi setelah tanaman keluar dari stres. Terganggunya tanaman pada fase ini dalam waktu yang lama mengakibatkan tanaman tidak dapat berproduksi secara optimal. Kalender Pertanaman pada Sistem Agoforestri Masyarakat di DAS Cianjur Berdasarkan hasil penelitian (wawancara petani responden), bahwa petani di tiga zona DAS Cianjur belum memanfaatkan data iklim untuk penentuan pola tanam tanaman semusim. Pola tanam masih berdasarkan pada kebiasaan pola musim penghujan (Oktober Maret) dan kemarau (April-September). Keadaan ini mengakibatkan sering terjadi gagal panen dan menurunnya hasil/produksi akibat perubahan/pergeseran musim (musim hujan dan kemarau).

83 62 Petani juga terbiasa dengan pengalaman dan kebiasaan mengenai penentuan waktu tanam, cara tanam dan rotasi tanamannya. Tanaman semusim yang ditanam kurang beragam dan cenderung jenis yang sama pada setiap musim tanam (bahkan setiap tahun), dan penanaman jenis yang sama secara terusmenerus ini menurut Das (2005), akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan konsentrasi hara tanah yang akan berdampak negatif bagi pertumbuhan tanaman. Penentuan pola tanam petani belum didasarkan pada data iklim (Gambar 4.6). Waktu tanam masih mengacu pada pola musim penghujan (Oktober Maret) dan kemarau (April-September). Hal ini menyebabkan tanaman yang ditanam cenderung jenis yang sama pada setiap musim tanam (bahkan setiap tahun). Penanaman jenis yang sama secara terus-menerus ini, menurut Das (2005) akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan hara tanah yang akan berdampak negatif bagi pertumbuhan tanaman. Wilayah DAS Hulu Pola 1 Bulan Okt Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Juli Agus Sep Wortel + sawi Bawang Daun Jagung manis Pola 2 Bw daun Wortel +sawi Cabe keriting Tengah Pola 1 Tomat Jagung Wortel Pola 2 Jagung Cabe keriting Hilir Pola 1 Jagung Talas/ubi kayu Pola 2 Ubi kayu Cabe keriting Gambar 4.6. Kalender tanam sistem agroforestri di DAS Cianjur

84 ton/ha/mus im tanam 63 Sedangkan penentuan kesesuaian lahan dengan jenis tanaman, petani masih menggunakan indikator pertumbuhan dan produktivitas komoditas tertentu pada suatu kawasan serta neighbour effect dimana petani cenderung meniru pengelolaan lahan sebelumnya di dekatnya yang dianggap cukup berhasil (Saroinsong et al. 2007). Produktivitas sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Produktivitas tanaman semusim di DAS Cianjur terdapat pada Gambar 4.7- Gambar Tingginya produktivitas tanaman semusim (tanaman sayuran) di hulu dan tengah (Gambar 4.7 dan 4.8) selain karena kesesuaian faktor iklim juga karena faktor agronomis R ata-rata produktivitas beberapa tanaman s emus im pada z ona hulu S urvei P etak C ontoh S urvei P etak C ontoh Wortel B awang Daun K obis Tomat Agrofores try NonAgrofores try Dis perta C ianjur P otens i Has il Gambar 4.7. Rata-rata produktivitas beberapa tanaman semusim di zona hulu Faktor iklim terutama suhu berpengaruh terhadap kecepatan reaksi, peningkatan fungsi enzim, kondisi lingkungan tanah serta meningkatkan aktivitas fisiologi tanaman. Sedangkan pada kelembaban dan curah hujan yang tinggi, maka besarnya evavorasi potensial standart (E to ) akan lebih rendah dari curah hujan bulanan sepanjang tahun. Berdasarkan hal tersebut maka kebutuhan air tidak akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan, dan cukup tersedia selama masa pertumbuhannya (Arsyad 1989). Produktivitas juga dipengaruhi oleh jarak pohon pada sistem agroforestri. Di zona hulu dengan jarak tanaman pinus 3m x 4m, memungkinkan tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik karena

85 ton/ha/mus im tanam ton/ha/mus im tanam 64 adanya perbedaan sebaran perakaran dan tingkat kedalaman perakaran antara pohon pinus dengan tanaman semusim R ata-rata produktivitas beberapa tanaman s emus im pada z ona teng ah S urvei P etak C ontoh S urvei P etak C ontoh Wortel Tomat C abe K eriting J agung manis Agrofores try NonAgrofores try Dis perta C ianjur P otens i Has il Gambar 4.8. Rata-rata produktivitas beberapa tanaman semusim di zona tengah Perbedaan ini menurut Radjati (2006) akan memberikan keuntungan terhadap peningkatan efisiensi penyerapan hara. Pengaturan jarak antar pohon dan jarak antar pohon dengan tanaman semusim yang tepat memungkinkan pohon dapat berperan positif terhadap tanaman semusim. Pengaturan yang tepat memungkinkan pohon menyerap unsur hara yang tidak terjangkau oleh tanaman semusim (penyelamat unsur hara), serta pohon dapat berperan sebagai penahan angin (shelter belt), serta menjadi tempat hidup hama penyakit tanaman R ata-rata produktivitas beberapa tanaman s emus im pada z ona hilir S urvei P etak C ontoh S urvei P etak C ontoh Tomat C abe K eriting J agung Ubi K ayu Agrofores try NonAgrofores try Dis perta C ianjur P otens i Has il Gambar 4.9. Rata-rata produktivitas beberapa tanaman semusim di zona hilir

86 ton/ha/mus im 65 Pohon juga bisa menjadi penaung tanaman terutama pada awal masa tumbuh sehingga evavorasi tanaman dapat dikurangi dan tanaman bisa tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Mercado et al. (2011), yang menyatakan bahwa penanaman tanaman semusim pada jarak kaki (ft) dari pohon, menyebabkan produktivitas beberapa tanaman sayuran meningkat dibandingkan dengan penanaman di tempat terbuka (tanpa pohon). Sistem agroforestri di zona hilir, berupa kebun campuran, kerapatan pohon lebih tinggi, sehingga memungkinkan terjadi cekaman pertumbuhan yang disebabkan oleh naungan, akibatnya produktivitas tanaman menjadi rendah (Gambar 4.9) S urvei R ata-rata produktivitas wortel pada z ona P etak C ontoh S urvei P etak C ontoh Hulu Tengah A grofores try NonA grofores try Dis perta C ianjur P otens i Has il Gambar Rata-rata produktivitas wortel di zona hulu dan tengah Gambar (4.10), menunjukkan bahwa tanaman sayuran dataran tinggi (wortel), yang ditanam di zona tengah memiliki produksi yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil beberapa studi tentang ekofisiologi tanaman di bawah naungan seperti pada padi gogo (Chozin et al. 2000), kedelai (Sopandie et al. 2004), talas (Djukri 2003) dan lada (Wahid 1997), yang menunjukkan bahwa dampak dari cekaman intensitas cahaya adalah terganggunya proses metabolisme tanaman, yang menyebabkan menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat. Hal ini terkait dengan kondisi lingkungan yang kurang sesuai untuk pertumbuhan tanaman wortel. Secara ekologi hal ini juga menunjukkan tingkat adaptasi tanaman, dimana setiap tanaman memiliki dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik jika jika syarat tumbuh untuk tanaman tersebut terpenuhi. Hal ini juga terjadi

87 67 Terdapat perbedaan produktivitas tanaman pada data survei, pengamatan sample pada petak pengamatan, rataan dari Dinas Pertanian Kab Cianjur dan potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan metode pengumpulan data. Survei wawancara menggunakan data dari laporan petani, data produktivitas pada petak contoh diambil dengan cara mengamati dan menghitung secara langsung produktivitas sampel tanaman pada petak yang telah ditentukan, sedangkan data dari Dinas Pertanian Kab Cianjur (2009), merupakan data produktivitas rata-rata yang tidak membedakan kondisi agroforestri atau non agroforestri maupun lahan kering atau lahan basah (sawah). Produktivitas agroforestri masih jauh di bawah nilai potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor pengelolaan tanaman dan faktor lingkungan yang tidak sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan tumbuh dari beberapa jenis tanaman tersebut. SIMPULAN 1. Terdapat perbedaan pola tanam tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur. Di zona hulu sistem agroforestri sederhana dengan pola tanam alley cropping, di tengah 70% agroforestri sederhana dengan pola tanam alley cropping dan 30% kebun campuran, sedangkan di hilir agroforestri kompleks. 2. Secara umum penentuan pola tanam lebih banyak didasarkan pada kebiasaan pola musim penghujan ( Oktober-Maret) dan kemarau (April-September), dan tidak terdapat perbedaan kalender pertanaman. 3. Motivasi pemilihan jenis tanaman di hulu adalah keahlian petani dan keuntungan yang besar, di tengah adalah keahlian petani dan kemudahan menjual, sedangkan di hilir adalah kemudahan mendapat benih/bibit dan kemudahan menjual. 4. Secara umum produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur lebih rendah dibandingkan non agroforestri, terutama disebabkan perbedaan cara perhitungan produktivitas, faktor pengelolaan dan lingkungan.

88 68 5. Sistem agroforestri khususnya di zona hulu memiliki peluang/prospek untuk dikembangkan sebagai Vegetable Agroforestry yang berorientasi komersial, dengan menagtur jarak antar pohon dan jarak antara pohon dengan tanaman semusim, seperti yang telah dikembangkan di beberapa negara.

89 ANALISIS KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIANJUR (Analysis of social economic and sustainability characteristics of agroforestry systems in Cianjur Watershed) ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik sosial ekonomi dan keberlanjutan sistem agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, survei dan wawancara terhadap 30 responden (petani) pada tiga zona DAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap pendapatan dan motivasi pemilihan jenis tanaman semusim untuk sistem agroforestri. Pendapatan dari nilai tanaman semusim di hulu Rp /ha/musim tanam di tengah Rp /ha/musim tanam, sedangkan di hilir Rp /ha/musim tanam. Perbedaan ini dipengaruhi oleh perbedaan jenis tanaman yang ditanam, yang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Sedangkan motivasi pemilihan jenis tanaman di hulu adalah keahlian petani dan keuntungan yang besar, di tengah adalah keahlian petani dan kemudahan menjual, di hilir adalah kemudahan mendapatkan benih/bibit dan kemudahan menjual. Pada sistem agroforestri di DAS Cianjur juga terdapat introduksi teknologi dengan pemilihan jenis tanaman yang mengarah pada orientasi ekonomi (economic oriented). Analisis keberlanjutan yang didasarkan pada analisis B/C ratio, menunjukkan bahwa sistem agroforestri di DAS Cianjur adalah masih berlanjut, dengan nilai di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir Sedangkan analisis keberlanjutan yang didasarkan pada aspek keberlanjutan agronomi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi, sistem agroforestri di DAS Cianjur berada pada tingkat keberlanjutan moderat (moderat sustainability) dengan nilai keberlanjutan Sedangkan untuk nilai keberlanjutan sistem agroforestri pada masing-masing zona dari hulu ke hilir adalah 12.07, 12.67, dan Kata kunci : agroforestri, keberlanjutan, pendapatan, sosial ekonomi ABSTRACT The study was conducted to analyze the sustainability of agroforestry systems in the Watershed Cianjur. Interviews were held to 30 samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed that, the agroforestry systems in the three zones Cianjur watershed has a level of sustainability is high. The high level of sustainability can be seen from the aspect of productivity, social, economic, environmental and adoptability. Aspects of productivity, it appears that the productivity of agroforestry systems is high, especially for seasonal crops; socioeconomic aspects, that agroforestry systems can provide a high enough opinion on

90 69 each zone, while the socially one of them is employment that involves almost all the male family members and adult women, except in the downstream only by adult males (household heads). Agroforestry systems are also adoptable, because agroforestry has been going on for generations and there is the introduction of technology with the choice of plants which leads to the orientation of the economy (economic oriented). The aspects of sustainability can be seen from the B/C ratio, where B/C ratio in the three zones of watersheds Cianjur worth more than 1. The B/C ratio in the upper stream 1:09, in the middle stream 2.89 and the downstream 1:02. The sustainability of agroforestry systems in every zone, was defined for aspects of productivity, socio-economic and adoptability. For the aspect of environmental sustainability, in the upper stream more lower than in the middle and the down stream.the aspects of the use of chemical fertilizers and pesticides, in the downstream is lowest of use of fertilizers and chemical pesticides for the management of agroforestry systems. Key words: agroforestry, income,sosial economic, sustainability PENDAHULUAN Salah satu isu penting dalam pengembangan pertanian di DAS adalah mempertahankan keberlanjutan (sustainability) usaha tersebut. Menurut Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commision on Environment and Development), keberlanjutan adalah suatu usaha tani yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi pada masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Untuk mewujudkan usaha tani yang lestari maka harus dapat memproduksi sejumlah produk berkualitas yang mencukupi, melindungi sumberdayanya, serta ramah lingkungan dan menguntungkan secara ekonomi. Ada tiga pilar kelestarian yaitu: 1) kelestarian hasil atau produksi yang terkait dengan tindakan agronomis, 2) kelestarian agroekosistem pada suatu bentang alam atau biasa disebut sebagai kelestarian lingkungan dan 3) kelestarian fungsi agroforestri, baik fungsi ekonomi, ekologi dan sosial. Di kawasan DAS Cianjur, agroforestri menjadi pilihan dalam sistem budidaya pertanian, dan telah dipraktekkan masyarakat secara turun-temurun. Agroforestri yang berkembang terutama di daerah hulu dan tengah DAS menerapkan pola penanaman yang intensif. Pola budidaya yang intensif melibatkan input tinggi untuk pupuk, pestisida serta faktor-faktor produksi

91 70 lainnya. Terkait intensifikasi tersebut diduga akan berdampak pada keberlanjutan dalam pengelolaan DAS. Banyak penelitian terkait keberlanjutan di kawasan DAS Cianjur, seperti yang dilakukan Wibowo et al. (2007) dan Kaswanto et al. (2007). Wibowo et al. (2007), telah mengkaji keberlanjutan usaha tani sayuran dataran tinggi di Kawasan Agropolitan Pacet Cianjur. Sedangkan Kaswanto et al. (2007), telah mengkaji kelestarian pengelolaan air pada lanskap pedesaan di DAS Cianjur. Aspek keberlanjutan yang ditinjau secara komprehensif belum banyak diungkap. Kajian komprehensif tersebut penting untuk pengembangan dan penyusunan strategi di masa mendatang di tiga zona DAS Cianjur. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan: 1) menganalisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat petani agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 2) menganalisis keberlanjutan sistem agroforestri di berbagai zonaa DAS Cianjur berdasarkan aspek agronomis, aspek ekonomis, aspek sosial budaya dan aspek ekologi. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di 3 (tiga) zona Daerah Aliran Sungai Cianjur, yaitu : zona hulu (> 900 m dpl); zona tengah ( m dpl) dan zona hilir (±300 m dpl) (Gambar 5.1). Penelitian dilaksanakan sejak Bulan Agustus 2007 sampai dengan Desember Data dikumpulkan melalui wawancara dan kuisioner terhadap 30 responden di masing-masing zona DAS. Data yang diambil dari instansi pemerintahan desa/kecamatan meliputi: data wilayah, data kependudukan, luasan dan kepemilikan lahan, pendapatan dan data kelembagaan terutama yang terkait dengan kelembagaan pertanian. Keberlanjutan secara agronomi (KA) didefinisikan sebagai tingkat kesulitan dan alokasi tenaga kerja yang dicurahkan pada sistem agroforestri dibandingkan dengan sistem non agroforestri. Alokasi tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja yang dialokasikan untuk sistem agroforestri di wilayah ini. Semakin tinggi alokasi tenaga kerja, maka keberlanjutan secara agronomi semakin

92 71 rendah, dan semakin rendah alokasi tenaga kerja, maka secara agronomi semakin berlanjut. Asumsi tersebut kemudian diberi skor 1, 3 dan 5. Skor 1 adalah alokasi tenaga kerja makin tinggi dan tingkat kesulitan kegiatan budidaya makin tinggi. Skor 3 adalah normal, yaitu dianggap setara dengan alokasi tenaga kerja non agroforestri. Skor 5 artinya sistem semakin berlanjut secara agronomi karena usaha tani tersebut semakin mudah dikerjakan. Keberlanjutan secara ekonomi (KE) diproyeksikan dari data pendapatan petani dari usaha agroforestri. Semakin tinggi pendapatan diasumsikan sistem secara ekonomi dapat berlanjut. Asumsi tersebut kemudian diskor 1, 3 dan 5. Skor 1 adalah jika pendapatan dari usaha agroforestri lebih rendah dibandingkan dengan usaha non agroforestri. Skor 3 adalah jika pendapatan dari usaha agroforestri sama dengan usaha non agroforestri. Skor 5 adalah jika pendapatan dari usaha non agroforestri lebih tinggi daripada usaha non agroforestri. Analisis usaha tani dilakukan dengan menghitung pemasukan, pengeluaran serta keuntungan dari lahan yang kelola petani saat ini, dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis) yang diperoleh dengan cara wawancara dan kuisioner (Soekartawi 2002). Penerimaan usaha tani (TR), merupakan perkalian antara produksi tanaman ke-i (Yi) dan harga produksi tanaman ke-i (Pyi) dapat dinyatakan sebagai : TR = Y i P yi = (Y 1 P y1 + Y 2 P y Y n P yn ) Total biaya (cost) usaha tani merupakan nilai semua pengeluaran yang dipakai dalam usaha tani selama proses produksi baik langsung maupun tidak langsung, dan dinyatakan sebagai berikut : TC = FC + VC VC = X i P xi = (X 1 P x1 + X 2 P x X n P xn ) Dimana TC = total biaya usaha tani, FC = biaya tetap, VC = biaya tidak tetap, X i = input usaha tani ke-i dan P xi = harga input usaha tani ke-i. Pendapatan bersih usaha tani (π), merupakan selisih antara penerimaan (TR) dan (TC) yang dapat dinyatakan sebagai berikut : π = TR - TC

93 72 Tingkat keberlanjutan sistem agroforestri juga ditentukan dengan analisis Benefit/Cost Ratio (B/C ratio). Keberlanjutan secara ekologi (KEK) dinilai dari tingkat penggunaan pupuk dan pestisida (pemeliharaan tanaman) secara komulatif yang dikonversi dalam besaran biaya sarana pupuk dan pestisida. Keberlanjutan diukur dalam skala 1-5. Semakin tinggi penggunaan kedua input tersebut dipandang tidak berlanjut secara ekologi (skor 1). Skor 3 adalah jika input untuk sistem agroforestri sama dengan input non agroforestri. Skor 5 jika input agroforestri lebih rendah dibandingkan dengan input non agroforestri. Analisis konservasi lahan dilakukan dengan menganalisis bentuk konservasi lahan di sekitar blok-blok penelitian serta kearifan-kearifan lokal sebagai upaya peningkatan konservasi lahan oleh masyarakat. Pengamatan ini dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara dengan petani. Pengamatan dan wawancara meliputi : 1) bentuk konservasi lahan (arah penanaman, teras, konservasi vegetatif dll), 2) penggunaan pupuk dan pestisida berdasarkan data hasil survei/wawancara dengan petani, 3) ketersedian air untuk tanaman di areal agroforestry, 4) penanganan limbah, baik lembah kimia (pestisida dll) maupun penanganan sisa tanaman sebagai tambahan bahan organik, dan 5) tindakan dari pemilik lahan khususnya mengenai pengelolaan lahan dan pemilihan jenis tanam. Keberlanjutan secara sosial budaya (KSB) dinilai dari keberadaan kelembagaan pertanian, peran lembaga pertanian dan lama pengalaman petani. Kelembagaan yang semakin mantap, peran lembaga pertanian yang baik dan bertani yang lama menunjukkan secara sosial budaya memiliki keberlanjutan yang tinggi. Demikian sebaliknya, kelembagaan yang tidak ada, peran lembaga yang minim dan durasi bertani yang singkat, menunjukkan secara sosial budaya kurang berlanjut. Setiap komponen di skor 1, 3 dan 5 tergantung kriteria rendah, sedang dan tinggi. Data skoring yang dperoleh kemudian dianalisis menggunakan pengelompokan (Cluster Analysis), dan untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk dendrogram. Struktur analisis keberlanjutan dilakukan secara hierarkis seperti disajikan pada Bagan 5.1.

94 73 Sustainabilitas (ST) = KA + KE + KEK + KSB ; pembobotan untuk setiap aspek dianggap setara. Dengan demikian, semakin tinggi nilai ST, sistem agroforestri yang diterapkan oleh masing-masing petani semakin tinggi. Nilai akhir setiap zona DAS merupakan rata-rata dari setiap responden pada zona yang bersangkutan. Nilai ST = 4 10 berarti tidak berkelanjutan (Not Sustainable), ST = berarti keberlanjutan sedang (moderat sustainable) dan ST = sangat berkelanjutan (very sustainable). Keberlanjutan Usaha Tani (KA) 1 Rendah 3 Sedang 5 Tinggi Keberlanjutan Ekonomi (KE) 1 Rendah 3 Sedang 5 Tinggi Keberlanjutan Sosial Budaya (KSB) 1 Rendah 3 Sedang 5 Tinggi Keberlanjutan Ekologi (KEK) 1 Rendah 3 Sedang 5 Tinggi Bagan 5.1. Urutan analisis keberlanjutan sistem agroforestri. Skor makin tinggi berarti makin berlanjut. Data dari non agroforestri dijadikan standar dengan skor 3 (sedang).

95 74 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Hasil penelitian karakteristis sosial ekonomi sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur (Tabel 5.1). Tabel 5.1. Karakteristik sosial ekonomi masyarakat di DAS Cianjur Karakteristik sosial ekonomi Lokasi Luas wilayah (Ha) Jarak dari kota (Km) Kependudukan Jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan (km/jiwa) Jumlah KK Tingkat pendidikan SD SMP SMA >SMA Mata Pencaharian Petani/buruh tani (org) Non Petani (org) Zona Hulu Tengah Hilir Rata2 luas lahan (m 2 ) Status kepemilikan Pemilik (org) Penggarap (org) Pendapatan Pohon (rp/ha/thn) Tanaman semusim (rp/ha/musim tanam) B/C ratio Kriteria utama pemilihan Keahlian petani dan jenis tanaman kemudahan menjual Kelembagaan Kelompok Tani Penyuluh Pertanian Peminjaman Saprodi Pengijon Koperasi Keahlian petani dan keuntungan yang besar Kemudahan mendapat benih/bibit dan menjual ada ada ada ada ada ada ada ada ada Karakteristik sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap pendapatan (rp/ha/thn). Tingginya pendapatan dari tanaman semusim di hulu

96 75 dibanding di tengah dan hilir, dipengaruhi oleh perbedaan status kepemilikan, luasan garapan, sistem bagi hasil tanaman dan pohon serta tujuan penanaman dan kelembagaan. Status kepemilikan lahan juga berpengaruh terhadap pendapatan. Sebagai penggarap, petani di hulu dan sebagian besar di tengah memiliki keleluasaan mengelola dan memilih jenis tanaman yang akan ditanam. Sedangkan dari luas garapan, pada luasan lahan garapan yng sempit petani bisa menanam lebih intensif. Sistem bagi hasil pada sistem agroforestri di hulu dan sebagian tengah, semua hasil tanaman semusim diberikan kepada petani, sedangkan pada petani yang menggarap lahan-lahan masyarakat, hasil tanaman semusim sebagian diberikan kepada pemilik lahan. Tujuan penanaman juga berpengaruh terhadap pendapatan. Petani di hulu yang menekankan tujuan penanaman untuk mendapatkan untung yang besar, mereka memilih jenis tanaman yang memiliki nilai jual yang tinggi dengan melakukan pengelolaan tanaman yang maksimal, serta mempertimbangkan biaya dan hasil yang akan mereka dapatkan. Selama penerimaan masih mereka anggap lebih besar dari biaya yang mereka keluarkan, maka petani melanjutkan usaha taninya. Peranan kelembagaan pertanian juga cukup besar. Di hulu, petani dalam bentuk kelompok tani mendapatkan penyuluhan sebulan satu kali mengenai penanaman dan pengaturan pola tanam. Selain itu juga tersedia pinjaman sarana produksi (saprodi) melalui beberapa pengusaha/pedagang lokal. Di zona tengah kelompok tani belum terbentuk, namun ada koperasi yang menyediakan pinjaman saprodi untuk pengelolaan lahan mereka, sedangkan di hilir kelompok tani hanya terbatas kelompok tani lahan sawah, sehingga agroforestri belum dapat dikelola secara optimal. Pendapatan dari nilai tanaman semusim di hulu Rp /ha/musim tanam di tengah Rp /ha/musim tanam, sedangkan di hilir Rp /ha/musim tanam. Perbedaan ini dipengaruhi oleh perbedaan jenis tanaman yang ditanam, yang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Untuk jenis tanaman terpilih, di hulu dihasilkan nilai produktivitas tanaman semusim sebesar Rp /ha/musim tanam atau naik 4% dari sistem agroforestri secara

97 76 umum, di tengah Rp (naik 24.6%) sedangkan di hilir Rp (naik 32%). B/C ratio di zona hulu lebih rendah dibandingkan di tengah karena instensifikasi pengelolaan yang sangat intensif di hulu, memerlukan biaya produksi yang lebih tinggi. Tingginya biaya produksi ini disebabkan oleh masih rendahnya efisiensi proses produksi. Sedangkan di zona hilir, B/C ratio paling rendah dibanding di hulu dan tengah, karena produksi yang dihasilkan dari tanaman semusim pada sistem agroforestri di zona hilir umumnya memiliki kualitas rendah dan sistem pemasaran yang kurang baik, sehingga nilai jualnya rendah. Analisis keberlanjutan sistem agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur Keberlanjutan Agronomi (KA) Keberlanjutan agronomi (KA), pada penelitian ini didekati dengan pendekatan penggunaan tenaga kerja. Pendekatan penggunaan tenaga kerja digunakan, dengan asumsi bahwa ada hubungan atau pengaruh antara jumlah penggunaan tenaga kerja dengan tingkat intensifikasi pertanian yang dilaksanakan pada suatu wilayah. Hasil penelitian mengenai keberlanjutan agronomi terdapat pada (Gambar 5.3). Pada tingkat keragaman 70% terdapat 2 cluster, dimana tengah dan bawah (T dan B) mengelompok dalam satu cluster, sementara yang hulu mengelompok dalam 1 (satu) cluster. Hal ini menunjukkan bahwa dari aspek penggunaan tenaga kerja yang dikaitkan dengan intensifikasi pertanian, di hulu nilai keberlanjutannya lebih rendah dibandingkan dengan di tengah dan bawah. Lebih rendahnya nilai keberlanjutan di hulu dibanding di tengah dan di hilir ini sesuai, karena diketahui bahwa sistem agroforestri di hulu sangat intensif dan indeks pertanamannya juga lebih tinggi dibanding di tengah dan di hilir. Keberlanjutan yang lebih rendah di hulu, menunjukkan potensi kerusakan ekologi makin tinggi, tekanan terhadap ekologi tinggi, ditambah dengan topografi yang umumnya lebih terjal, maka peluang erosi juga tinggi. Untuk itu perlu dilakukan tindakan konservasi lahan, dengan pola tanam konservasi serta mengatur jarak tanaman dan pohon yang tepat untuk sistem agroforestri, memilih

98 77 cara konservasi yang tepat serta meningkatkan peran serta masyarakat pada konservasi lahan. Dari ketersediaan tenaga kerja, di hulu tenaga kerja tersedia, dan memungkinkan untuk untuk pertanian intensif, dibanding di tengah dan hilir. Hal ini terjadi karena ada keterlibatan tenaga kerja wanita (ibu-ibu rumah tangga) dan tenaga kerja laki-laki dewasa (selain kepala rumah tangga) yang juga ikut mengelola dan bekerja penuh sehingga memungkinkan dilakukan intensifikasi pertanian serta pengelolaan tanaman secara optimal mulai dari penyiapan lahan sampai pemanenan. Gambar 5.3. Dendogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Agronomi (KA) sistem agroforestri di DAS Cianjur.

99 78 Keberlanjutan Ekonomi (KE) Keberlanjutan ekonomi didekati dari pendapatan sistem agroforestri yang dilakukan petani. Pendapatan digunakan dengan asumsi, ada keterkaitan antara tingkat pendapatan petani dengan pendapatan. Pendapatan yang tinggi diasumsikan bahwa sistem agroforestri petani tersebut lebih berlanjut. Berdasarkan cluster data pendapatan (Gambar 5.4), terlihat bahwa pada tingkat keragaman 70% terbentuk 2 (dua) cluster. Cluster I terdapat 1 sub grup dan cluster II terdiri dari 5 sub grup. Pada cluster 1, semua petani di hilir dan sebagian petani di tengah mengelompok, sedangkan pada cluster II sebagian petani di tengah (T) mengelompok dengan semua petani di atas. Pengelompokan ini jelas terlihat, karena perbedaan zona berpengaruh terhadap jenis tanaman dan produktivitas tanaman, dimana di hulu tanaman yang terpilih adalah tanaman sayuran dataran tinggi yang sesuai untuk dataran tinggi, sedangkan di hilir, pada kebun campuran umumnya petani juga menanam tanaman sayuran dataran tinggi sehingga produktivitas rendah, dan pendapatan petani juga rendah. Produktivitas lahan pada sistem agroforestri terwakili oleh pendapatan, dimana semakin ke hulu pendapatan semakin besar. Pendapatan rata-rata dari tanaman semusim di hulu Rp /ha/musim tanam di tengah Rp /ha/musim tanam, sedangkan di hilir Rp /ha/musim tanam. Perbedaan produktivitas lahan salah satunya dipengaruhi oleh pemilihan komoditas. Dari hasil pemilihan jenis tanaman, di hulu dihasilkan nilai produktivitas tanaman sebesar Rp /ha/musim tanam atau meningkat 4% dari sistem agroforestri masyarakat, di tengah Rp /ha/musim tanam (meningkat 24.6%) sedangkan di hilir Rp /ha/musim tanam (meningkat 32%). Petani di tengah sebagian ada yang mengelompok ke cluster I dan sebagian ke cluster II. Hal ini terjadi karena tanaman sayuran dataran tinggi yang ditanam di zona tengah masih bisa beradaptasi dengan baik sehingga produktivitas tanamannya juga tinggi, sedangkan beberapa petani di zona bawah mengelompok dengan tengah (T). Penyebab adanya kelompok zona tengah dan zona bawah yang bersatu diduga karena faktor tanaman yang diusahakan. Beberapa tanaman dataran rendah seperti jagung dan singkong juga diusahakan di zona tengah. Dari

100 79 data ini menunjukkan bahwa di zona tengah merupakan zona peralihan komoditas (zona transisi) antara zona atas dan zona bawah, sehingga memiliki keragaman tanaman asal zona dataran tinggi dan dataran rendah yang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Gambar 5.4. Dendogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekonomi (KE) sistem agroforestri di DAS Cianjur

101 80 Keberlanjutan Sosial Budaya Keberlanjutan sosial budaya dalam penelitian ini didekati dengan menghitung lamanya sistem agroforestri sudah dilaksanakan masyarakat/petani (Gambar 5.5). Gambar 5.5. Dendogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Sosial Budaya (KSB) sistem agroforestri di DAS Cianjur

102 81 Gambar 5.5 menunjukkan dari sisi sosial budaya pada keragaman 70% menunjukkan adanya 2 grup. Grup I beranggotakan semua petani dari zona tengah dan zona hilir, sedangkan grup II beranggotakan petani dari zona hulu. Zona hulu teridentifikasi sebagai petani yang telah lama mengupayakan varietas/jenis tanaman sayuran dataran tinggi. Lamanya pengusahaan tersebut selain dipengaruhi oleh faktor agroekologi juga karena adanya keterbatasan terhadap pemilihan jenis tanaman. Berbeda dengan zona tengah dan hilir, petani memiliki pilihan komoditas yang lebih beragam, sehingga lamanya pengusahaan bervariasi antar petani. Dari penelitian ini, terlihat bahwa sistem agroforestri petani telah dilaksanakan antara 1 20 tahun. Lamanya usaha sistem agroforestri ini akan berpengaruh terhadap kebiasaan petani serta pemilihan jenis tanaman pada setiap musim tanaman. Lebih lanjut, kebiasaan petani mempengaruhi jenis tanaman pada setiap zona DAS Cianjur. Di hulu, 100% petani terbiasa menanam sayuran, sementara di tengah 70% petani terbiasa menanam tanaman sayuran dan 30% petani biasa menanam selain sayuran. Sedangkan di hilir 16.67% petani biasa menanam tanaman sayuran sedangkan 83.33% menanam tanaman pangan. Kebiasaan petani ini juga berkaitan dengan tingkat intensifikasi. Salah satu indikator intensifikasi yang tinggi adalah pemilihan jenis tanaman. Intensifikasi yang tinggi berarti jenis tanaman yang ditanam juga makin spesifik terutama adalah tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi serta cocok dengan kondisi agroekologi dan kesesuaian lahan. Keberlanjutan Ekologi (KEK) Keberlanjutan Ekologi (KEK), didekati dari aspek pemeliharaan tanaman, yaitu penggunaan pupuk dan pestisida (Tabel 5.2 dan 5.3). Hasil pengelompokan (cluster) data pemeliharaan tanaman yang tentukan dari biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk dan pestisida secara komulatif, terdapat pada Gambar 5.6. Hasil cluster data terlihat pada tingkat keragaman 70%, data ekologi mengelompok dalam 3 kelompok (cluster). Cluster I terdiri dari 3 (tiga) sub cluster yaitu sub cluster A, sub cluster B dan sub cluster C. Pada sub cluster A

103 82 hampir semua petani di hilir (B), sebagian besar petani di tengah (T) dan beberapa petani di atas (A) yaitu A21, A24, A25, A26 dan A30 mengelompok membentuk satu cluster. Gambar 5.6. Dendogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekologi (KEK) sistem agroforestri di DAS Cianjur

104 83 Pada sub cluster B, sebagian besar petani atas (A) dan sebagian kecil petani tengah (T) mengelompok dalam satu cluster, sedangkan sub cluster C hanya satu petani yaitu A6. Cluster II terdiri dari petani di hulu (A) yaitu A7, A12, A13, A29 dan A16. Sedangkan Cluster III hanya satu petani yaitu A1.Semua petani di hilir (B), sebagian besar petani di tengah (T) dan sebagian kecil petani atas (A), mengelompok dalam cluster I, hal ini diduga disebabkan oleh kebiasaan petani menggunakan pupuk dan pestisida, serta kemampuan petani untuk membeli. Petani di zona hilir membentuk 1 (satu) kelompok. Hal ini diduga karena hampir semua petani menggunakan pupuk dan pestisida dalam jumlah yang kecil. Sebagian besar petani tengah (T), ini terkait dengan kemampuan membeli pupuk dan pestisida dan jenis tanaman yang diusahakan terutama pada kebun campuran, yang memiliki kemiripan dengan kebun campuran di bawah. Beberapa petani di hulu (A) masuk kelompok 1, keterbatasan biaya untuk membeli pupuk dan pestisida. Selain itu beberapa petani di hilir (B) dan tengah (T) juga menggunakan pupuk tambahan berupa pupuk organik (sisa-sisa tanaman) dan abu. Tabel 5.2. menunjukkan penggunaan pupuk di zona hulu lebih tinggi untuk urea, NPK, pupuk kandang dan kapur. Di zona hilir para petani nyata menggunakan lebih sedikit pupuk. Tabel 5.2. Rata-rata penggunaan pupuk dan kapur (ton/ha/tanam) pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Zona Jenis Pupuk Urea NPK Pupuk Kapur Kandang Hulu Tengah Hilir Demikian juga penggunaan pestisida, para petani di zona hilir lebih sedikit (Tabel 5.3). Dengan demikian, ada perbedaan kontribusi terhadap kondisi air pada sistem agroforestri di DAS Cianjur dari zona yang berbeda. Menurut Kaswanto (2007), tingkat kualitas air semakin ke hilir semakin rendah.

105 84 Tabel 5.3. Rata-rata penggunaan pestisida pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Zona Insektisida (lt/ha/tanam) Jenis Pestisida Herbisida (lt/ha/tanam) Nematisida (kg/ha/tanam) Hulu Tengah Hilir Sebagian petani di zona tengah (T) dan sebagian besar petani di hulu (A), membentuk satu cluster, ini terkait dengan kebiasaan dan kemampuan untuk menyediakan (membeli) pupuk dan pestisida untuk pengelolaan tanaman mereka. Petani di zona hulu dan di tengah juga lebih mudah mengakses pupuk dan pestisida karena ada lembaga peminjam modal usaha dan koperasi yang menyediakan pinjaman saprodi (Tabel 5.1), untuk kelangsungan usaha tani di kedua zona ini. Keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur Hasil pengelompokan dengan Analisis Cluster untuk nilai keberlanjutan sistem agroforestri (ST) terdapat pada Gambar 5.7. Nilai setiap aspek keberlanjutan pada sistem agroforestri disajikan pada tabel 5.4. Data setiap petani disajikan pada Lampiran 5. Hasil cluster data pada tingkat keragaman 70%, menunjukkan bahwa sustainabilitas agroforestri mengelompok dalam 2 kelompok. Kelompok I terdiri dari semua petani di zona hulu dan beberapa petani di zona tengah, sedangkan kelompok II terdiri dari sebagian petani di zona tengah dan semua petani di zona hilir (B). Hal ini terjadi karena adanya kemiripan terutama jenis tanaman sayuran yang diusahakan di zona tengah dengan zona hulu. Selain itu kondisi agroklimat di kedua zona ini juga memungkinkan tanaman sayuran dataran tinggi (zona hulu) diusahakan dan dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Pola tanam sistem agroforestri di kedua zona juga hampir sama, yaitu allley cropping. Pada

106 85 kelompok II, sebagian petani tengah (T) membentuk cluster dengan petani di zona hilir (B). Gambar 5.7. Dendogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Sistem Agroforestri (ST) di DAS Cianjur

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memperbaiki sektor pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan serta mengatasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem,

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang pengembangannya sangat besar

Lebih terperinci

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING TEKNOLOGI BUDIDAYA Pola tanam Varietas Teknik Budidaya: penyiapan lahan; penanaman (populasi tanaman); pemupukan; pengendalian hama, penyakit dan gulma;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, baik di dunia maupun nasional.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, baik di dunia maupun nasional. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, baik di dunia maupun nasional. Berbagai jenis tanaman pangan diusahakan untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

PENDAHULLUAN. Latar Belakang PENDAHULLUAN Latar Belakang Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi berlereng. Hal ini sulit dihindari karena

Lebih terperinci

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG (Studi Kasus: Lahan Pertanian Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Kawasan Bandung Utara) Hendi Supriyadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan. produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan. produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Faktor produksi utama dalam produksi pertanian adalah lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya. Tanaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN 2012-2014 TUJUAN untuk merumuskan model agroforestry yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan aspek budidaya, lingkungan dan sosial ekonomi SASARAN

Lebih terperinci

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA Nini Rahmawati Pangan dan Gizi Manusia Zat gizi merupakan komponen pangan yang bermanfaat bagi kesehatan (Mc Collum 1957; Intel et al 2002). Secara klasik

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hutan hak merupakan hutan yang berada di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai

TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, unsur hara serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan bertopografi miring diperlukan kajian yang

Lebih terperinci

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP Pengertian Konservasi Konservasi sumber daya alam adalah penghematan penggunaan

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan lahan berkelanjutan (sustainable land management) adalah pengelolaan lahan secara terpadu berbasis ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan serat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN DAN MENDASARI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMASARAN JERUK SIAM (Citrus nobilis LOUR var) MELALUI TENGKULAK (Studi Kasus Desa Wringinagung Kecamatan Gambiran Kabupaten

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sistem pemanfaatan lahan yang optimal dalam menghasilkan produk dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. Agroforestri menurut

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara serta peningkatan

BAB I PENGANTAR. pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara serta peningkatan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah khatulistiwa termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim seperti perubahan pola curah hujan,

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Luas daratan Indonesia seluruhnya adalah 2000 juta hektar. Sekitar 168 juta hektar atau 81% tersebar di empat pulau besar selain di pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan sangat penting. Sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, laju pertumbuhannya sebesar 4,8 persen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan

I. PENDAHULUAN. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Salah satu tantangan terbesar yang dimiliki oleh Indonesia adalah ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan nasional adalah masalah sensitif yang selalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah gandum dan padi. Di Indonesia sendiri, jagung dijadikan sebagai sumber karbohidrat kedua

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

Kuliah ke-2. R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kuliah ke-2. R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam Kuliah ke-2 R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam terdiri dari 3 kata: 1. Agro ( pertanian), 2. Eco ( lingkungan), dan 3. Logos (ilmu). artinya Agroekologi adalah

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk 1 B A B I PE N D A H U L U A N A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tercatat pada tahun 2005,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan dan air, mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam sistem DAS (Daerah Aliran Sungai)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Menurut

Lebih terperinci

RESPON TANAMAN CAISIM (Brassica chinensis) TERHADAP PUPUK NPK ( ) DI DATARAN TINGGI. Oleh GANI CAHYO HANDOYO A

RESPON TANAMAN CAISIM (Brassica chinensis) TERHADAP PUPUK NPK ( ) DI DATARAN TINGGI. Oleh GANI CAHYO HANDOYO A RESPON TANAMAN CAISIM (Brassica chinensis) TERHADAP PUPUK NPK (16 20 29) DI DATARAN TINGGI Oleh GANI CAHYO HANDOYO A34102064 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 18 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2006 - Agustus 2006 di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Dodokan (34.814 ha) dengan plot pengambilan sampel difokuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

ANALISIS PRODUKTIVITAS LAHAN DAN ANALISIS FINANSIAL SISTEM AGROFORESTRI DI BERBAGAI ZONA AGROKLIMAT. Latar Belakang

ANALISIS PRODUKTIVITAS LAHAN DAN ANALISIS FINANSIAL SISTEM AGROFORESTRI DI BERBAGAI ZONA AGROKLIMAT. Latar Belakang ANALISIS PRODUKTIVITAS LAHAN DAN ANALISIS FINANSIAL SISTEM AGROFORESTRI DI BERBAGAI ZONA AGROKLIMAT Analysis of land productivity and financial analysis of the agroforestry system in some agro-climate

Lebih terperinci

MANAJEMEN USAHA TANI PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

MANAJEMEN USAHA TANI PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MANAJEMEN USAHA TANI PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pujastuti Sulistyaning Dyah Magister Manajemen, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PERANAN AGROFORESTRY UNTUK KONSERVASI TANAH DAN AIR. Oleh Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan Kehutanan BP2SDM

PERANAN AGROFORESTRY UNTUK KONSERVASI TANAH DAN AIR. Oleh Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan Kehutanan BP2SDM PERANAN AGROFORESTRY UNTUK KONSERVASI TANAH DAN AIR Oleh Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan Kehutanan BP2SDM anah dan air merupakan komponen yang sangat vital dalam menopang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan kondisi alam dan luas areal lahan pertanian yang memadai untuk bercocok tanam.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bentuk-bentuk pertanian tradisional banyak ditemukan di seluruh dunia termasuk

I. PENDAHULUAN. Bentuk-bentuk pertanian tradisional banyak ditemukan di seluruh dunia termasuk I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bentuk-bentuk pertanian tradisional banyak ditemukan di seluruh dunia termasuk Indonesia.Pertanian tradisional di Indonesia telah berlangsung dan bertahan lama dalam mempertahankan

Lebih terperinci

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 Geografi K e l a s XI KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami kegiatan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian bangsa. Sektor pertanian telah berperan dalam pembentukan PDB, perolehan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk akan terus menuntut pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada krisis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pola Tanam. yang perlu diperhatikan yaitu jenis tanaman, lahan dan kurun waktu tertentu

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pola Tanam. yang perlu diperhatikan yaitu jenis tanaman, lahan dan kurun waktu tertentu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Tanam Pola tanam dapat didefinisikan sebagai pengaturan jenis tanaman atau urutan jenis tanaman yang diusahakan pada sebidang lahan dalam kurun waktu tertentu (biasanya satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

EVALUASI KEBERLANJUTAN MASYARAKAT DESA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CISADANE MENUJU ECOVILLAGE DANI ABDURRAHMAN BASYIR

EVALUASI KEBERLANJUTAN MASYARAKAT DESA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CISADANE MENUJU ECOVILLAGE DANI ABDURRAHMAN BASYIR EVALUASI KEBERLANJUTAN MASYARAKAT DESA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CISADANE MENUJU ECOVILLAGE DANI ABDURRAHMAN BASYIR PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGELOLAAN & PANEN AIR HUJAN (MK. Manajemen Agroekosistem, smno.jurtnh.fpub.2013)

TEKNOLOGI PENGELOLAAN & PANEN AIR HUJAN (MK. Manajemen Agroekosistem, smno.jurtnh.fpub.2013) TEKNOLOGI PENGELOLAAN & PANEN AIR HUJAN (MK. Manajemen Agroekosistem, smno.jurtnh.fpub.2013) Prinsip-prinsip Panen Air Hujan Pemanenan-air-hujan dalam makna yang luas dapat didefinisikan sebagai kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan dan hutan merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilang atau berkurangnya ketersediaan

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L)

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) Oleh : AKBAR ZAMANI A. 14105507 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan. giling (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2015).

I. PENDAHULUAN. Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan. giling (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2015). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap komoditas beras sebagai bahan pangan utama cenderung terus meningkat setiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan gizi masyarakat. Padi merupakan salah satu tanaman pangan utama bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim

BAB I PENDAHULUAN. Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global, krisis pangan dan energi yang berdampak pada kenaikan harga pangan dan energi, sehingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel 19850. Ada banyak pengertian dan batasan agroforestri.

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=74226&lokasi=lokal

Lebih terperinci

Materi 05 Manajemen Produksi Tanaman Pengelolaan Produksi Tanaman Berbasis Agroklimat. Benyamin Lakitan

Materi 05 Manajemen Produksi Tanaman Pengelolaan Produksi Tanaman Berbasis Agroklimat. Benyamin Lakitan Materi 05 Manajemen Produksi Tanaman Pengelolaan Produksi Tanaman Berbasis Agroklimat Benyamin Lakitan Ragam Agroklimat Penting di Indonesia Iklim Tropika Lembab (Humid Tropics) Iklim Tropika Kering (Arid

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan

Lebih terperinci

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Agroekonomi Kabupaten Garut Kabupaten Garut memiliki 42 kecamatan dengan luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha. Sektor pertanian Kabupaten

Lebih terperinci