6 LANDASAN DISKURSIF PENETAPAN KEBIJAKAN LEGALITAS KAYU DI HUTAN RAKYAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6 LANDASAN DISKURSIF PENETAPAN KEBIJAKAN LEGALITAS KAYU DI HUTAN RAKYAT"

Transkripsi

1 6 LANDASAN DISKURSIF PENETAPAN KEBIJAKAN LEGALITAS KAYU DI HUTAN RAKYAT Sejarah Perkembangan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat Legalitas kayu diturunkan dari kebijakan atau hukum internasional legalitas. Legalitas berdasarkan aspek pidana, merupakan prinsip hukum internasional hak asasi manusia, dan dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Secara tidak langsung sejarah perkembangan legalitas kayu di Republik Indonesia (RI) tidak terlepas dari pengaruh kebijakan perdagangan kayu internasional. Dalam hal ini kebijakan tersebut cukup kuat dipengaruhi kebijakan perdagangan kayu European Union (EU). Menurut KBBI (2013) legalitas adalah sesuatu yang berkaitan perihal (keadaan) sah atau dengan kata lain legalitas adalah sinonim dari keabsahan. Kayu akan dikatakan sah (legal) jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdaganganbatau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legalitas yang berlaku 1. Dengan demikian, berdasarkan definisi tersebut kayu disebut illegal apabila kayu itu tidak memenuhi salah satu atau sebagian atau seluruh syarat di atas. Kebijakan perdagangan kayu di EU Kerjasama bilateral antara RI dan EU dilakukan sejak 7 Maret 1980, dengan penandatanganan persetujuan kerjasama perdagangan, ekonomi, dan pembangunan. Pada tahun 2000 hubungan bilateral Developing closer relations between Indonesia and the European Union dan RI-EU joint declaration ditandai forum Forum Konsultasi Bilateral (Bilateral Consultative Forum). Di dalam hubungan ini, EU merupakan mitra dagang dan investasi yang cukup 1 Definisi ini disusun berdasarkan konsultasi multipihak yang diselenggarakan oleh lembaga donor United Kingdom Departement for International Development (UK-DFID) melalui Supporting Project Multistakeholder Forestry Programme-II (MFP-II) di Kabupaten Berau Kalimantan Timur dan Kabupaten Pelalawan Riau yang merupakan dasar untuk perumusan legalitas kayu (2003).

2 56 penting dan stabil, serta merupakan tujuan pertama ekspor non-migas Indonesia, berupa sepuluh komoditi utamanya adalah alas kaki, elektronika, kakao, karet dan produk karet, kayu dan produk kayu, kelapa sawit, komponen otomotif, kopi, tekstil dan produk tekstil, serta udang. Sementara itu, sepertiga dari kayu dan produk kayu di Indonesia diekspor ke EU setiap tahunnya (ITTO 2009). Komitmen-komitmen di atas secara hubungan politik dapat mempengaruhi keputusan-keputusan yang keluarkan oleh pemerintah RI. Pada tahun 2005 hubungan ini diperkuat dengan adanya kesepakatan persetujuan Kerangka Kerja Bilateral tentang Kemitraan dan Kerjasama, yang kemudian menghasilkan Framework Agreement on Comprehensive Partnership and Cooperation (PCA) RI-EU pada tahun 2009 di Jakarta. Perjanjian yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI dengan Presiden Dewan EU adalah kerjasama payung yang menjadi acuan berbagai kerjasama di masa yang akan datang dengan landasan persamaan, saling menghormati, dan saling menguntungkan. PCA memuat kesepakatan kerjasama dalam bidang politik (HAM, kontra terorisme, pelarangan proliferasi senjata pemusnah masal, penanggulangan korupsi, serta kerjasama hukum) dan bidang teknis (ekonomi, perdagangan dan investasi, pariwisata, energi, transportasi, kesehatan, iptek, pendidikan, kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian, kesehatan dan sebagainya). Terkait pengaturan kehutanan dalam kesepakatan PCA yang diatur dalam pasal 28, yaitu: 1) menyetujui perlunya melindungi, melestarikan, dan mengelola secara berkelanjutan sumber daya hutan dan keanekaragaman hayati untuk kepentingan sekarang dan mendatang; 2) berupaya melanjutkan kerjasama untuk meningkatkan pengelolaan hutan dan kebakarn hutan, memberantas pembalakan liar dan bisnis turunannya, pengaturan hutan, dan peningkatan pengelolaan hutan yang berkelanjutan; dan 3) mengembangkan program-program kerjasama, antara lain: kerjasama melalui forum-forum bilateral, regional dan internasional yang terkait dalam bidang penciptaan instrumen hukum, pemberantasan pembalakan liar serta bisnis turunannya; peningkatan kapasitas, penelitian dan pengembangan; dukungan terhadap pengembangan sektor kehutanan yang berkelanjutan; dan pengembangan sertifikasi kehutanan.

3 57 EU sebagai negara terbesar ketiga mitra dagang RI secara politik ekonomi berpotensi besar, sehingga perlu diperdalam kerjasama ekonomi antara EU dengan RI tersebut. Akan tetapi terjadi ketidakseimbangan antara EU dan RI dalam hal ukuran, jangkauan global dan sistem pengaturan serta penerapan dan penegakan hukumnya. Sebagai konsekuensinya, ada beberapa perbedaan dalam kepentingan, kebutuhan, hambatan, maupun pandangan antara EU dan RI, maka dibentuklah forum komunikasi berupa European Union-Indonesia Business Dialogue (EIBD) 2. Dan di dalam forum tersebut bahwa RI akan concern membahas solusi yang dapat diambil mengenai isu-isu regulasi yang ketat oleh EU terutama di bidang crude palm oil (CPO) dan kayu 3. Terkait dengan isu kebijakan perdagangan kayu, EU mempunyai kebijakan yang disebut Forest Law Enforcement and Governance (FLEG). Diawali dengan deklarasi di Bali tahun 2001 tentang FLEG tersebut selanjutnya ditandatangani MoU kerjasama penanggulangan illegal logging dan illegal timber trading pada tahun 2002 yang melibatkan Inggris, RRC, Jepang dan USA. Selanjutnya FLEG berubah menjadi FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade). Komitmen EU di dalam memberantas illegal logging dan perdagangannya telah disampaikan pada pertemuan The World Summit on Sustainable di Johannesburg tahun Kemudian pada tahun 2003 ditindaklanjuti dengan FLEGT Action yang bertujuan untuk 1) membantu negara produsen kayu dalam meningkatkan tata kelola dan kemampuan pemberantasan illegal logging; 2) mengembangkan VPA untuk mencegah masuknya kayu illegal ke pasar EU; dan 3) mencegah konsumen kayu illegal dan investasi EU pada kegiatan yang mendorong pencurian kayu (over cutting). Action plan FLEGT lebih memusatkan perhatian pada kebijakan perdagangan kayu yang dikendalikan oleh EU. Kebijakan tersebut adalah 1) mengembangkan kemitraan dengan dengan negara-negara yang ingin mengatasi masalah legalitas dalam sektor kehutanan mereka dan ingin membuktikan bahwa produk-produk kayu yang mereka ekspor ke EU merupakan produk legal; 2) menyusun peraturan perundang-undangan yang mendorong para importir untuk id.html at 8/7/ at 8 juli 2010.

4 58 turut bertanggung jawab atas asal usul kayu yang mereka beli serta pembeli yang termasuk dalam negara anggota; 3) mendorong pemerintah Eropa untuk membeli kertas, kayu bangunan, perabot kantor, dan hasil hutan lainnya dengan cara yang legal dan berkelanjutan; dan 4) menyadarkan perusahaan-perusahaan di EU akan tanggung jawab untuk membeli kayu dengan cara yang legal dan berkelanjutan, serta membantu mereka mengembangkan alat-alat yang memudahkan mereka untuk melakukannya 4. VPA EU telah mengadopsi Regulation No. 2173/2005 yang berisi penetapan suatu skema lisensi terhadap produk kayu dari negara produsen ke EU melalui perjanjian kemitraan yang bersifat sukarela. VPA selanjutnya meawarkan suatu pendekatan untuk merumuskan suatu mekanisme sistem verifikasi legalitas kayu agar kayu yang diproduksi dan diekpor ke EU dapat dikenali dengan menggunakan identitas atau lisensi. Dimana skema lisensi tersebut meliputi aspek: 1) verifikasi untuk membuktikan bahwa pemanenan kayu, transportasi, dan perdagangannya telah memenuhi peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan; 2) pelacakan (chain of custody) untuk memastikan bahwa kayu dari hutan sampai ke EU tanpa tercampur dengan kayu yang tidak jelas asal usulnya; dan 3) penerbitan lisensi yang menunjukkan bahwa legalitas kayu telah diverifikasi. EU menentukan pula bahwa skema lisensi terhadap kayu harus diperoleh oleh operator yang memasukkan produk kayu ke EU melalui suatu proses due deligence 5. Selain itu, EU menentukan pula bahwa hanya produk kayu yang memenuhi skema lisensi FLEGT yang akan diterima di pasar EU serta jenis-jenis kayu tertentu yang menurut VPA dapat diekspor ke EU. Kebijakan perdagangan kayu yang diterapkan oleh EU dalam bentuk VPA sangat ketat. Dengan adanya skema lisensi, verifikasi dan due deligence merupakan tantangan bagi Indonesia di dalam menyepakati VPA. Walaupun VPA merupakan perjanjian yang bersifat sukarela, akan tetapi jika suatu negara mitra dagang telah menandatanganinya dan sudah diimplementasikan secara penuh, 4 Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Perdagangan Ringkasan kebijakan 2 EFI, Fasilitas FLEGT EU, EFIPolicybrief2innet1.pdf. 5 Due deligence ditujukan dalam rangka memilimalisir resiko importasi produk kayu secara ilegal ke EU, yang diartikan sebagai prudence and ecxpected from and the originarily exercised by, a reasonable, person under the particular circumstances.

5 59 maka sebagai konsekuensinya bila negara mitra akan melakukan ekspor kayu dan produknya ke EU harus mendapat ijin. Apabila tidak memiliki ijin maka ekspor kayu tersebut akan ditolak oleh EU. Tetapi di lain pihak bagi negara-negara non mitra tidak diterapkan ekspor kayu dengan sistem perijinan tersebut, jadi negara non mitra dapat mengekspor kayu tanpa ada ijin. Indonesia merupakan negara tropis dengan keanekaragaman jenis-jenis tumbuhan, jika diberlakukan pembatasan terhadap jenis kayu yang masuk ke EU akan menimbulkan persoalan yang akan mengakibatkan kerugian bagi para produsen kayu maupun pengusaha kayu di Indonesia. Sejauhmana solusi yang dapat dinegosiasikan antara delegasi Indonesia dengan EU terkait VPA dan sejauhmana kemampuan delegasi Indonesia untuk melakukan penawaran dan meyakinkan kepada EU. Resiko penandatanganan VPA bagi pengusaha lokal akan menimbulkan biaya tinggi bagi mereka. Dimungkinkan terjadi diskriminasi perlakuan., dimana negara-negara no mitra VPA dapat melakukan ekspor tanpa diberlakukan due deligence sedangkan negara mitra menjadi suatu kewajiban. Resiko secara ekonomi makro dapat terjadi perubahan pada pasar atau struktur perdagangan, dan dapat menimbulkan isolasi sosial sehingga tercipta asumsi bahwa kayu yang dapat masuk ke pasar EU merupakan kayu legal dan berkualitas, karena memenuhi syarat legalitas yang dipersyaratkan. Dan sebalik yang tidak dianggap kayu ilegal. Kebijakan standar verifikasi legalitas kayu MoU FLEGT pada tahun 2003 sebagai dasar pula penyusunan SVLK dengan melibatkan para pihak (Multistakeholder) yang menghasilkan SVLK versi 1.0. Pada September 2005, United Kingdom Departement for International Development (UK-DFID) dan Departemen Kehutanan (Dephut) c.q. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (Dirjen BUK) melakukan kajian draft SVLK. Pada intinya melakukan harmonisasi versi 1.0 dengan draft internal Dephut yang kemudian menghasilkan SVLK versi 2.0. Rumusan definisi legalitas kayu, berdasarkan kesepakatan antara Indonesia dan United Kingdom sesuai kebijakan FLEGT bahwa kayu legal adalah kayu yang

6 60 memiliki keabsahan tempat asal kayu, izin penebangan kayu, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumen angkutan, mutasi, transaksi penjualan atau pemindahtanganannya. Dengan kata lain bahwa kayu disebut sah jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. Pada April 2006, standar versi 2.0 diharmonisasi oleh tim kecil Multistakeholder yang terdiri dari Dephut, Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI), The Nature Conservation (TNC), Lembaga Ecolabeling Indonesia (LEI), Telapak, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Lembaga Sertifikasi Sucofindo yang kemudian menghasilkan SVLK Versi 3.3. Versi 3.3 tersebut selanjutnya dinyatakan sebagai draft final SVLK dan diserahkan kepada Dephut pada Januari 2007 untuk memperoleh pengesahannya. Berdasarkan draft final tersebut, pada 12 Juni 2009 Menteri Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Pelaksanaan peraturan ini lebih lanjut diatur dalam Perdirjen Bina Produksi Kehutanan (Ditjen BPK) No P.6/VI-Set/2009 tentang Standard dan Pedoman dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu dan Perdirjen No. P. 02/VI- BPHH/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Kemudian terjadi dua kali perubahan pada Permenhut No. P.38/Menhut- II/2009, yaitu perubahan pertama berupa Permenhut No. P.68/Menhut-II/2011, dan yang kedua adalah Permenhut No. P.45/Menhut-II/2012. Begitupula pada peraturan turunannya Perdirjen No. P. 02/VI-BPPHH/2010 menjadi Perdirjen No. P.8/BPPHH/2011, kemudian perubahan keduanya menjadi Perdirjen No. P. 8/BPPHH/2012. Pada perubahan pertama lebih menekankan pada pengaturan sertifikasi LK di hutan hak dengan memberikan kelonggaran masa berlaku menjadi 5 tahun, dan TDI termasuk industri rumah tangga/pengrajin dimasukkan ke dalam daftar usaha yang wajib memiliki S-LK. Pada perubahan kedua tetap difokuskan pada

7 61 pengaturan sertifikasi LK di hutan hak dengan memberikan kelonggaran masa berlaku menjadi lebih lama (10 tahun) dan masa penilikan (surveilance) sekurangkurangnya 24 bulan, selain itu diberikan batasan waktu untuk memperoleh S-LK. Dari perjalanan sejarah seperti diuraikan tersebut di atas, dapat ditarik beberapa pembelajaran sebagai berikut: 1) melalui gerakan masyarakat madani yang bersifat multi-pihak dapat dihasilkan regulasi yang berlaku secara nasional dan tetap terbuka peluang bagi masyarakat madani untuk berperan aktif dalam pemantauan dan pengawasan implementasinya; 2) SVLK diawal pergerakannya diusung oleh masyarakat madani yang umumnya bermuara pada mekanisme pengaturan yang bersifat sukarela (voluntary) dan berbasis pasar (market driven policy), kini bergeser menjadi mekanisme pengaturan yang bersifat wajib (mandatory) dan berbasis pemerintah (government driven policy); 3) dengan dikembangkannya definisi kayu legal sebagaimana diuraikan di atas, kelompok sasaran peraturan meluas menjadi kepada seluruh sumber bahan baku baik yang berasal dari kawasan hutan negara maupun hutan hak dan seluruh industri perkayuan; dan 4) harga premium (price-premium) tidak lagi dijadikan tujuan, karena para pelaku usaha yang telah mendapat S-LK tidak memperoleh hal tersebut. Secara empiris buyer hanya meminta sertifikat lain yang sejenis selain SVLK, yaitu sertifikat dengan skema yang telah dikenal di dunia internasional. maka harga premium sudah bukan menjadi tujuan lagi karena VPA tidak dapat menjaminnya. Proses Pembuatan Kebijakan Standard Verifikasi Legalitas Kayu di Hutan Rakyat Proses pembuatan keputusan dalam suatu kebijakan merupakan penjelasan yang bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pergulatan suatu keputusan kebijakan dibuat. Menurut Parson (2008), proses pembuatan kebijakan dapat dilakukan dengan pendekatan stagist approaches, pluralist elitist approaches, neo marxist approaches, sub system approaches, policy discources approaches, dan institutionalism. Proses pembuatan kebijakan saat ini dianggap sebagai proses pembuatan kebijakan pandangan konvensional, yaitu dapat dikatakan sebagai model linier, model rasional, atau pendapat umum (common sense). Kebijakan

8 62 tersebut disusun berdasarkan langkah dan prosedur yang dimulai dengan isu, merumuskan tindakan untuk mengatasi gap, memberi bobot, pelaksanaan kebijakan dan, diakhiri sejumlah kegiatan untuk memecahkan masalah (IDS 2006). Pandangan tersebut dianggap telah melakukan penyederhanaan dari realitas yang bersifat kompleks, cair, interaktif, dan tidak masuk akal untuk melihat apa yang terjadi ketika kebijakan publik dibuat (Parson 2008). Legalitas Kayu dalam kebijakan SVLK merupakan faktor yang sangat penting untuk dipahami. Di dalam prosesnya, pendefinisian istilah legalitas kayu ini memakan waktu cukup lama. Dimulai sejak deklarasi FLEG tahun 2001 di Bali mulai dirumuskan, akan tetapi proses pendefinisian tersebut baru dianggap sepakat pada tahun Kesepakatan definisi legalitas kayu tersebut adalah antara Indonesia dengan United Kingdom. Legalitas kayu yang setarakan dengan kayu legal merupakan kayu yang memiliki keabsahan tempat asal kayu, izin penebangan kayu, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. Diawali dengan keluarnya PP. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan kawasan Hutan, telah ditetapkan seluruh hasil hutan berasal dari hutan hak/hutan rakyat harus diberi surat Surat Keterangan Asal Usul (SKAU), dan berlaku sebagai surat keterangan sahnya hasil hutan. Dan kemudian diturunkan ke dalam bentuk Kepmenhut No. 126/Kpts-II/2003, tentang Penatausahaan Hasil Hutan. Secara khusus untuk penatausahaan hasil hutan di hutan hak/hutan rakyat diatur sejak tahun 2006 yaitu diawali dengan penatausahaan kayu di hutan hak/rakyat yaitu P.51/Menhut-II/2006 hingga berubah menjadi P.30/Menhut-II/2012, kemudian adanya kebijakan terkait legalitas kayu yang turut mengatur kayu-kayu yang beredar dari hutan hak/rakyat, yaitu P.38/Menhut-II/2009 yang mengalami dua kali perubahan yaitu P.68/Menhut-II/2011 dan P.45/Menhut-II/2012. Berikut ini peristiwa-peristiwa penting yang mempengaruhi proses perumusan kebijakan legalitas kayu yang disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 10.

9 63 Gambar 10 Tonggak kebijakan perumusan legalitas kayu Perubahan aturan legalitas kayu yang cukup intensif yang dilakukan hampir setiap tahun, yaitu mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun Peristiwa yang sangat penting mempengaruhnya perubahan tersebut adalah adanya tekanan dari masyarakat madani (LSM) bahwa tidak adanya mekanisme keberatan dalam kegiatan penilaian dan jikalau ada, informasi tentang prosedur pengajuan keberatan/keluhan tidak mudah ditemukan dan diakses 6. Peristiwa penting lainnya adalah keberatan kelompok-kelompok petani hutan rakyat untuk melakukan sertifikasi terutama dengan biaya sendiri. Dengan keterbatasan dana saat itu, pemerintah dibantu oleh MFP sebagai kepanjangan tangan UK-DFID akan membiaya sertifikasi untuk kelompok tani yang telah mengajukannya. Kelompok tani masih merasa keberatan jika dalam pelaksanakaan surveillance dikenakan biaya yang harus mereka tanggunagi sendirioleh lima kelompok tani hutan rakyat yang telah melaksanakan sertifikasi. Keberatan petani hutan rakyat terkait biaya sertifikasi hutan selalu dianggap sebagai kendala utama, terutama bagi small-scale forests. Proses sertifikasi hutan memerlukan biaya yang tinggi. Biaya tersebut meliputi biaya site visit, perjalanan, pembuatan laporan, dan lainnya (Carbale et al. 1995; Rickenbach 2002). 6 Cermatan dan Pelajaran dari Pemantauan Pelaksanaan SVLK oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan pada Lokakarya Perubahan P.38/Menhut-II/2009.

10 64 Tabel 9 Peristiwa dalam proses perumusan kebijakan legalitas kayu di Indonesia TAHUN NASKAH CATATAN PENTING 1980 Kerjasama bilateral RI-EU Kerjasama perdagangan, ekonomi, dan pembangunan 2000 Bilateral Consultative Forum EU merupakan mitra dagang dan investasi yang cukup penting dan tujuan pertama ekspor non-migas Indonesia 2002 Bilateral RI, AS, Jepang, Cina, Kesepakatan pemberantasan ILT EU Draft 1,0: A Legality Standard for Indonesia, versi 2,0, versi 3,0, versi 3,1, versi 3, Rancangan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu versi final dan menjadi panduan verifikasi dan norma penilaian legalitas kayu 1. Prinsip, kriteria, indikator legalitas kayu pada hutan negara. Pelaku hutan hak harus mampu menunjukkan keabsahan haknya. 2. Standard untuk sumber kayu berbasis hutan tanaman, terkait bukti fisik permanen kayu bulat. 3. Pelaku hutan hak dan areal non hutan untuk kepemilikan kayu harus dapat dibuktikan keabsahannya, disertai bukti pembayaran PBB, bukti inventarisasi dan bukti transaksi lainnya, kemudian dengan tambahan dokumen SKAU. Untuk hutan hak dan areal non hutan: 1. Prinsip kepemilikan kayu dapat dibuktikan keabsahannya,. 2. Kriterianya berupa keabsahan hak milik dalam hubungannya dengan areal, kayu, dan perdagangannya. 3. Indikatornya: pemilik hutan hak mampu menunjukkan keabsahan haknya, kesesuaian catatan penebangan dengan lokasi, unit kelola masyarakat mampu membuktikan asal kayu dari areal tebangan, unit kelola masyarakat mampu membuktikan dokumen angkutan kayu yang sah. 4. Verifier berupa dokumen kepemilikan yang sah (bukti penggunaan yang sah), bukti pembayaran PBB, peta areal hutan hak dan batas-batas di lapangan, dokumen catatan penebangan, sistem penelusuran kayu, tanda fisik pada kayu dan tunggak, dokumen SKSHH, faktur/kwitansi penjualan Negosiasi FLEGT-VPA Kesepakatan Voluntary Partnership Agreement 2009 Framework Agreement on Comprehensive Partnership & Cooperation RI- EU dalam kesepakatan PCA melanjutkan kesepakatan pemberantasan pembalakan liar dan bisnis turunannya dengan menciptakan instrumen hukumnya, serta kesepakatan pengembangan sertifikasi kehutanan P.38/Menhut II/2009 VLK di hutan hak bersifat mandatory, masa berlaku 3 tahun dengan surveillance per 1 tahun sekali Perdirjen No P.6/VI-Set/2009 Sama dengan versi final 2010 Revisi Perdirjen P. 02/VI- Untuk hutan hak tidak ada revisi BPHH/ Joint-statement FLEGT-VPA Paraf MoU FLEGT-VPA untuk dilanjutkan sampai tahap sign 2011 Revisi P.38/Menhut II/2009 menjadi P.68/Menhut-II/2011 VLK di hutan hak bersifat mandatory, masa berlaku 5 tahun dengan surveillance per 1 tahun sekali Revisi Perdirjen P.8/ VI-BPHH /2011 Ditambahkan bukti pelunasan pungutan atas tegakan yang tumbuh sebelum pengalihan hak/penguasaan Revisi ke-2 P.38/Menhut II/2009 menjadi P.45/Menhut-II/2012 SVLK di hutan hak bersifat mandatory, masa berlaku 10 tahun dengan surveillance sekurang-kurangnya 24 bulan sekali. Untuk hutan hak tidak ada revisi 2012 Revisi Perdirjen P.8/ VI-BPHH / Permendag No. 64/M- Ekspor produk industri kehutanan wajib disertai S-LK DAG/PER/10/ Signing FLEGT-VPA Rencana penandatanganan, tetapi terjadi pengunduran waktu Sumber: Data olahan (2013)

11 65 Narasi kebijakan dan diskursus Di dalam proses perumusan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat terjadi perdebatan antara 2 kelompok pro-narratives dan cons-narratives. Pembingkaian narasi telah dilakukan oleh kelompok pro-narratives, melalui ungkapan makna kata-kata dan teks selama proses perumusan kebijakan. Kelompok pro-narratives lebih menekankan bahwa dengan adanya kebijakan legalitas kayu, pihak-pihak yang melaksanakan kebijakan tersebut akan memperoleh manfaat. Hal itu dapat dilihat pada menggunaan beberapa kata seperti : Yang pasti SVLK bisa menjamin produk kayu Indonesia diterima di pasar Eropa karena berasal dari sumber yang legal, (Kemenhut, AgroIndonesia) "Begitu kita teken agreement (kesepakatan) dalam VPA ini, kayu-kayu kita yang bersertifikat ini bisa masuk jalur hijau dan pada akhirnya mendapatkan harga yang bagus," (Kemenhut, Suarakarya) Kelompok cons-narratives lebih menekankan bahwa dengan adanya legitimasi legalitas dapat terpenuhi, keputusan private tidak dapat diintervensi secara langsung oleh pemerintah, serta perlu kesepakatan bersama di dalam merumuskan suatu kebijakan. Terlihat pada menggunaan kata berikut ini: Jika persoalannya legitimasi tentu tidak bisa dijawab dengan SVLK, melainkan melalui diplomasi. Sayangnya, diplomasi kita masih lemah, (Akademisi kritis, AgroIndonesia) Kepentingan private harus dilindungi, tidak dengan serta merta harus melaksanakan SVLK... kata mandatory pada hutan hak harus dicoret... (Akademisi kritis, transkrip proses revisi P.38/2009) Kami mendapatkan draft usulan perubahan, tetapi mengapa tidak diakomodir di dalam perubahan tersebut... (Dishut Kabupaten, transkrip wawancara) Jika dihubungkan dengan pedoman pembentukan peraturan perundangan yaitu UU No. 12 tahun 2011 sebagai pengganti UU. No. 10 tahun 2004, terungkap simbol kata yang tidak sesuai dengan azas pembentukan peraturan perundangan, yaitu: 1) nilai kedayagunaan dan kehasilgunaan 7 tidak terwujud, yaitu dengan 7 Azas ke-8 dalam UU No. 12 tahun 2011

12 66 tidak terwujudnya jaminan pasar dan peningkatan harga untuk kayu tersertifikasi SVLK; 2) dengan tidak mengakomodir seluruh pelaksana kebijakan merupakan kelalaian azas keterbukaan 8 ; 3) masuknya kebijakan legalitas kayu kepada ranah privat dapat mengakibatkan kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan 9 ; Peraturan dibuat seharusnya atas dasar kedayagunaan dan kehasilgunaan, yang mengandung makna bahwa peraturan dibuat karena atas dasar benar-benar suatu kebutuhan masyarakat dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Masyarakat mempunyai kesempatan untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundangan-undangan. Narasi dilahirkan melalui jaringan pembuat kebijakan (policy coalition) yang mengembangkan paradigmanya sendiri, sehingga menjadi sangat berpengaruh (Sutton 1999). Narasi yang berkembang di dalam proses pembuatan kebijakan legalitas kayu disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Narasi kebijakan dalam proses pembuatan legalitas kayu Media Cetak Laporan Kegiatan Jumlah No Narasi Kebijakan Frekuensi (kali) Persen Frekuensi (kali) Persen Frekuensi (kali) Persen 1. Legalitas 47 16, , ,4 2. ILT 42 14, , ,1 3. Sertifikasi 41 14, , ,8 4. GFG 33 11, , ,7 5. Verifikasi 32 11, , ,4 6. Multipihak 27 9, , ,1 7. SFM 26 8,9 6 7,1 32 8,5 8. Mandatory 16 5,5 8 9,5 24 6,4 9. Voluntary 12 4,1 0 0,0 12 3,2 10. PUHH 7 2,4 4 4,8 11 2,9 11. Premium Price 5 1,7 0 0,0 5 1,3 12. Legitimasi 2 0,7 0 0,0 2 0,5 13. Hak milik 2 0,7 0 0,0 2 0, , ,0 Sumber: Analisis data primer Azas ke-7 dalam UU No. 12 tahun Azas Ke-4 dalam UU No. 12 tahun 2011

13 67 Berdasarkan Tabel 14, narasi kebijakan dominan yang terbangun adalah legalitas (15,4%), Illegal logging & trade (14,1%), dan sertifikasi (13,8%). Sedangkan narasi non-dominan adalah hak milik (0,5%), legitimasi (0,5%), dan premium price (1,3%). Konstruksi narasi kebijakan yang melahirkan 3 narasi dominan terbangun dari pemahaman bahwa bila permintaan pasar meningkat akan terjadi penebangan berlebihan yang berpeluang melakukan tindakan illegal logging, maka dengan adanya sebuah standar akan berpeluang mentaati aturan jatah tebangnya. Di sisi lain, pemanfaatan hutan yang berbasis unit pengelolaan akan dilakukan secara benar-benar memperhatikan tata aturan yang berlaku dan dengan memperhatikan kepentingan berbagai pihak. Cara demikian dianggap ancaman penebangan berlebihan dapat diperkecil atau ditiadakan sama sekali. Perdebatan narasi kebijakan tersebut pada akhirnya terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok pro-narratives yang berbasis pada instrumen pemaksaan hukum (regulation coercive instruments) yang lebih kuat dari kelompok cons-narratives yang berbasis pada instrumen pasar (market-based instruments). Regulation coercive instruments diturunkan dalam bentuk instrumen kebijakan command and control, sedangkan market-based instruments diturunkan dalam bentuk instrumen kebijakan economic incentive (Carter 2007). Instrumen kebijakan command and control merupakan suatu regulasi yang bersifat langsung, tetapi membawa konsekuensi biaya penegakan hukum yang tinggi. Kebijakan legalitas kayu dapat diterapkan secara efektif jika persyaratan penopang (enabling conditions) telah terpenuhi, seperti kejelasan kawasan, kapasitas tata kelola kehutanan baik pemerintah daerah, institusi lokal, organisasi pengusaha kayu serta pemangku kepentingan lainnya. Pada saat kondisi penopang masih tidak memungkin untuk segera dibenahi, seperti rendahnya kualitas aparatur negara, akan sulit untuk menegakkan pelanggaran yang mungkin akan terjadi, dan akan semakin meningkatkan biaya transaksi bagi produsen kayu. Jika demikian akan semakin tidak menraik bisnis perkayuan yang ada saat itu. Sedangkan kasus kayu yang dikeluarkan dari hutan rakyat diwajibkan melaksanakan kebijakan legalitas kayu, akan sulit untuk dilaksanakan. Pada saat pemaksaan regulasi legalitas kayu diterapkan kepada petani hutan rakyat dan mereka tidak merasakan manfaat bahkan cenderung dirugikan, dengan

14 68 kewenangan petani sebagai pengambil keputusan atas barang milik pribadinya maka mereka dengan mudah untuk menggantikan komoditas kayu menjadi komoditas lainnya yang dianggap tidak merugikan mereka. Kasus hutan rakyat di Wonosobo, yang telah menggantikan komoditas kayu menjadi kebun salak. Hal tersebut sebagai akibat tidak adanya peningkatan harga terhadap kayu yang telah disertifikasi. Walaupun biaya sertifikasi telah ditanggulangi oleh lembaga donor (DFID dalam bentuk Supporting Project MFP- II), tetapi biaya surveillance dibebankan kepada petani hutan rakyat. Pada sertifikasi memberikan resiko peningkatan beban ekonomi rumah tangga mereka, maka beresiko terjadi penghentian program sertifikasi, dan dimungkinkan beralih pada komoditas yang dianggap lebih menguntungkan 10. Pilihan instrumen insentif ekonomi akan lebih menarik bagi para produsen kayu di hutan rakyat. Karena bagi siapa saja yang tidak mengikuti aturan main dengan basis insentif, maka pihak tersebut akan merasa dirugikan. Walaupun instrumen ini bersifat tidak langsung, memerlukan waktu yang lebih lama dari command and control, serta memerlukan adanya kepercayaan satu sama lain, tetapi pemikiran logis (logic of consequentiality) akan lebih mendominasi peara petani hutan rakyat di dalam poengambilan keputusannya. Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Pemetaan Pemangku Kepentingan. Pemangku kepentingan (Stakeholder) yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat sebanyak 17 pemangku kepentingan, dan diklasifikasikan ke dalam pemangku kepentingan utama, pemangku kepentingan kunci, dan pemangku kepentingan pendukung. Hasil identifikasi dan kategorisasi stakeholder disajikan pada Tabel 10, sedangkan pengaruh dan kepentingannya dipetakan secara ringkas pada Gambar Ketika Salak Dinilai Lebih Menguntungkan merupakan hasil kajian Lembaga Penelitian Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB dan CIFOR.

15 69 Tabel 10 Identifikasi dan kategorisasi stakeholder Kategori Stakeholder Pemangku Kepentingan Pengaruh Kepentingan Pemangku Kepentingan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Tinggi Tinggi Kunci Pemangku Petani Hutan Rakyat (PHR) Lampung Tengah Rendah Rendah Kepentingan Petani Hutan Rakyat (PHR) Konawe Selatan Rendah Rendah Utama Petani Hutan Rakyat (PHR) Buleleng Rendah Rendah Petani Hutan Rakyat (PHR) Kulonprogo Rendah Rendah Pemangku Dinas Kehutanan Provinsi (Dishut Prov.) Rendah Tinggi Kepentingan Dinas Kehutanan Kabupaten (Dishut Kab.) Rendah Tinggi Pendukung Europan Union (EU-FLEGT) Tinggi Tinggi Multistakeholder Forestry Programme-II (MFP-II) Rendah Tinggi Lembaga Sertifikasi (LS) Rendah Tinggi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pendamping Rendah Tinggi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pemantau Rendah Tinggi Akademisi (Ak.) Pembina Rendah Tinggi Akademisi (Ak.) Kritisi Rendah Tinggi Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) Rendah Tinggi Keterangan: Hasil olahan data dan informasi wawancara tidak terstruktur ( ) dan studi literatur ( ) kemudian diinterpretasikan peneliti. Pemangku kepentingan utama (Primary stakeholder) merupakan pemangku kepentingan yang secara langsung terkena dampak baik positif maupun negatif dari adanya kebijakan legalitas kayu, dalam proses ini adalah petani hutan rakyat (PHR) baik dari lokasi Kabupaten Konawe Selatan, Lampung Tengah, Buleleng, dan Kulonprogo. Kemenhut sebagai pemangku kepentingan kunci (Key stakeholder) merupakan pemangku kepentingan yang secara legalitas memiliki kewenangan atau dengan kata lain memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi dalam pengambilan keputusan pada proses pembuatan kebijakan legalitas kayu. pemangku kepentingan pendukung (Secondary stakeholder) merupakan pemangku kepentingan sebagai perantara dalam proses penyaluran bantuan ataupun pihak-pihak yang tidak memiliki kaitan secara langsung terhadap kebijakan legalitas kayu tetapi memiliki kepedulian atas keputusan kebijakan legalitas kayu, yaitu terdiri Dishut Prov, dan Dishut Kab, MFP-II, LS, LEI, LSM (baik pendamping maupun pemantau proses pembuatan kebijakan), Akademisi (baik yang membina maupun mengkritisi proses pembuatan kebijakan), EU dalam bentuk support project FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade). Peta pemangku kepentingan menggambarkan posisi pengaruh dan kepentingan para pemangku kepentingan di dalam proses pembuatan legalitas kayu di hutan rakyat. Posisi Kemenhut sebagai key stakeholder sudah semestinya

16 70 berada pada posisi kepentingan dan pengaruh tinggi. Dishut Prov dan Dishut Kab walaupun dapat memberikan usulan tetapi sangat rendah pengaruhnya terhadap keputusan kebijakan yang dikeluarkan pusat. Posisi EU-FLEGT dan MFP-II yang berada pada posisi pengaruh dan kepentingan tinggi, hal ini mengandung makna bahwa walaupun secondary stakeholder tetapi memiliki kewenangan yang tinggi di dalam pengambilan keputusan pada proses pembuatan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat. Konsep ketergantungan merupakan penyebab negara berkembang sangat lambat di dalam perkembangannya, pada saat mengikuti pola pembangunan yang dilakukan negara-negara maju (Herath 2008). Di dalam hubungan internasional, menurut Wallerstein (1974) bahwa seluruh wilayah di dunia dapat dibedakan menjadi empat kategori yaitu core, semi-periphery, periphery, dan external. Hubungan antara pemberi bantuan (negara maju) dengan negara yang mendapat bantuan (negara berkembang) berupa hubungan core-periphery, di mana negara maju (core) paling diuntungkan dari kesepakatan yang telah dibangun dengan negara berkembang (periphery). Kondisi ini merupakan pemicu kebocoran negara periphery terhadap negara core, yaitu sebagai akibat kepentingan eksploitasi manfaat yang maksimal (Britton 1982; Lacher & Nepal 2010). Dan ini terjadi pada Europan Union Timber Regulation (EUTR) yang dibuat EU dalam bentuk FLEGT kemudian diturunkan menjadi Voluntary partnership agreement (VPA) yang dipaksakan menjadi sebuah kesepakatan mengikat bagi Indonesia. Hal tersebut semakin menunjukkan negara core (EU-FLEGT, MFP-II) memiliki pengaruh dan kepentingan yang sangat kuat. Pentingnya kekuatan diplomasi negara periphery di dalam sebuah kesepakatan agar memiliki bargaining position yang seimbang. Selain itu faktor penting lainnya berupa prinsip dan komitmen yang kuat dari aparatur negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bangsa dan negara. Menurut Nugroho (2011), bahwa hubungan internasional tidak semata-mata diperlukannya kemampuan aparatur negara untuk bernegosiasi dengan pihak lain, tetapi berkenaan dengan profesionalitas dan integritas yang bersangkutan.

17 71 Pemetaan primary stakeholder menunjukkan bahwa keenam kelompok tani hutan rakyat merupakan subyek yang terkena dampak dari kebijakan memiliki pengaruh yang rendah, serta memposisikan diri tidak berkepentingan dalam kebijakan tersebut. Artinya petani hutan rakyat belum merasakan kemanfaatan kebijakan legalitas kayu tersebut. Persoalan rendahnya kepentingan petani hutan rakyat adalah kehadiran kebijakan legalitas kayu bukan karena atas dasar kebutuhan masyarakat, tetapi lebih dikarenakan untuk memenuhi kehendak nasional dan internasional. Asumsi yang dibangun kebijakan legalitas kayu ini adalah bahwa pelaksanaan verifikasi legalitas kayu secara efektif dapat menurunkan laju penebangan liar dan mewujudkan tata kekola kehutanan. Makna dari asumsi tersebut adalah bila semua pemanfaat kayu memiliki sertifikat, secara teoritis volume dari sumber ilegal akan berkurang signifikan, dan akan tercipta harga premium (Darmawan et al. 2012). Akan tetapi asumsi tersebut belum terwujud, yaitu hingga saat ini pengelola hutan rakyat belum merasakan adanya peningkatan harga jual. Pada saat pemerintah akan melakukan intervensi kepada kelompok sasaran untuk mengambil keputusan sertifikasi, maka sertifikasi harus mampu meningkatkan nilai manfaat (Rametsteiner 2002). Instrumen pasar dianggap bisa memberikan beberapa insentif, dalam bentuk harga premium maupun improvedmarket access kepada pengelola hutan yang mampu menunjukkan bahwa mereka telah mengelola hutan secara lestari (Rametsteiner & Simula 2003; Maryudi 2005). Jika dilihat dari kebutuhan petani hutan rakyat adalah meningkatnya harga jual, sehingga kebijakan legalitas kayu harus mampu menciptakan insentif (harga premium). Beberapa studi di Malaysia telah menemukan hubungan keikutsertaan sertifikasi dengan harga premium (Kollert & Lagan 2007), sementara itu Bouslah et al. (2010) telah menunjukkan bahwa manfaat sertifikasi adalah dapat meningkatkan akses pasar, dan meningkatkan reputasi perusahaan. Beberapa sumber kegagalan pasar adalah eksternalitas, biaya transaksi, market power, tidak adanya property rights, informasi, dan integrasi vertikal. Dalam konteks SVLK, informasi dan eksternalitas merupakan dua penyebab inefisiensi pasar yang lain relevan.

18 72 Kapasitas pemangku kepentingan. Kapasitas pemangku kepentingan dapat dilihat menggunakan analisis "4Rs". 4Rs merupakan analisis alat bagaimana orang berhubungan satu sama lain atas pemanfaatan sumber daya alam dalam peran pemangku kepentingan yang dibagi menjadi hak (rights), tanggung jawab (responsibilities) dan manfaat (revenues), dan kemudian menilai hubungan antara peran ini (Salam & Noguchi 2006). Berdasarkan pemetaan kapasitas menunjukkan bahwa stakeholder yang memiliki tanggung jawab tertinggi adalah MFP-II, LS, Akademisi kritis, PHR Buleleng dan Kulonprogo. Stakeholder dengan hak tertinggi adalah Kemenhut, EU-FLEGT, MFP-II, Akademisi Pembina, LS, Akademisi kritis, dan seluruh PHR yang diteliti. Sedangkan yang memperoleh manfaat tertinggi adalah Kemenhut dan LS. Kapasitas stakeholder dilihat dari keseimbangan 3Rs (rights, responsibilities, revenues) secara lengkap disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Kapasitas stakeholder berdasarkan responsibilities, rights, dan revenues Stakeholder Responsibilities Rights Revenues Key Stakeholder Kemenhut Secondary Stakeholder EU-FLEGT MFP-II Akademisi Pendukung LS LSM Pendamping Akademisi Kritis Menjalankan tugas yang diamanatkan UU terkait legalitas kayu (3) Menerima kayu yang telah memenuhi persyaratan legal( 0) Mengelola proses kebijakan(4 ) Memberikan informasi ilmu pengetahuan yang relevan dengan kebijakan( 3) Menjalankan audit sesuai prinsip(4 ) Menjalankan pendampingan sesuai misi (3) Memberikan informasi ilmu pengetahuan yang relevan dengan kebijakan (5) Membuat kebijakan legalitas kayu (5) Menerapkan regulasi perdagangan kayu legal (5) Memfasilitasi proses pembuatan kebijakan (5) Membina jalannya proses pembuatan kebijakan (4) Melakukan audit (4) Mendampingi PHR dalam menjalankan kebijakan (3) Mengkritisi isi kebijakan (4) LEI Tidak ada (0) Mengawal proses pembuatan kebijakan (5) Dishut Prov. Menjalankan tugas yang Memberikan usulan diamanatkan oleh kebijakan (2) kebijakan (2) Dishut Kab. Menjalankan tugas yang diamanatkan oleh kebijakan (2) Memberikan usulan kebijakan (2) LSM Pemantau Tidak ada (0) Memantau proses verifikasi (1) Pendapatan pajak (5) Tidak diketahui(0) Keberlangsungan proyek (5) Tidak diketahui(0) Pendapatan langsung dari sertifikasi (5) Pendapatan langsung dari sertifikasi (3) Tidak ada(0) Tidak ada(0) Tidak ada(0) Tidak ada(0) Tidak ada (0)

19 73 Stakeholder Responsibilities Rights Revenues Primary Stakeholder PHR Wonosobo Pengelolaan lahan dengan komoditi kayu-kayuan (1) Menjual kayu (5) Pendapatan langsung dari penjualan kayu (1) PHR Konsel Pengelolaan lahan dengan komoditi kayu-kayuan (2) Menjual kayu(5) Pendapatan langsung dari penjualan kayu(0) PHR Lamteng Pengelolaan lahan dengan komoditi kayu-kayuan (4) Menjual kayu(5) Pendapatan langsung dari penjualan kayu(0) PHR Buleleng Pengelolaan lahan dengan komoditi kayu-kayuan (5) Menjual kayu(5) Pendapatan langsung dari penjualan kayu(0) PHR Kulonprogo Pengelolaan lahan dengan komoditi kayu-kayuan (5) Menjual kayu(5) Pendapatan langsung dari penjualan kayu(5) PHR Blora Pengelolaan lahan dengan komoditi kayu-kayuan (2) Menjual kayu(5) Pendapatan langsung dari penjualan kayu(1) Keterangan: Hasil olahan data dan informasi wawancara tidak terstruktur ( ) dan studi literatur ( ) kemudian diinterpretasikan peneliti menjadi bobot relatif. angka 0-5 merupakan bobot relatif dari 3Rs yang menunjukkan: semakin tinggi bobot semakin besar nilai Rs. Ketidakseimbangan 3Rs (responsibilities, rights, revenues) terjadi pada key stakeholder (Kemenhut). Kemenhut di dalam mewujudkan haknya (right) yaitu melalui pembuatan kebijakan legalitas kayu menggunakan konsep pembuatan kebijakan incrementalist model, yaitu secara bertahap dalam memperbaik hal-hal dimasa sebelumnya (Sutton 1999). Implementasi akan terhambat pada saat kesiapan infrastruktur pembuatan kebijakan tidak memadai, salah satunya terkait pembiayaan verifikasi. Tidak terpenuhinya target implementasi kebijakan yang harus terealisasi secara keseluruhan pada maret 2013 (diberlakukannya EUTR) sebagai akibat tidak terciptanya premium price bagi pengelola hutan rakyat. Tidak ada satupun pengelola hutan rakyat melakukan verifikasi dengan biaya sendiri. Pengelola hutan rakyat tidak akan dengan segera untuk melakukan verifikasi jika korbanan yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat (Tim Foretika 2011). Ketidakseimbangan 3Rs pada PHR sebagai akibat tingginya tanggung jawab maupun hak yang tidak disertai dengan peningkatan insentif. Asumsi harga premium yang dibangun tidak terpenuhi akan mengakibatkan ketidakseimbangan 3Rs primary stakeholder sebagai subyek kebijakan. Revenues tidak diperoleh pengelola hutan rakyat dari adanya kebijakan verifikasi legalitas kayu, karena tidak terbentuknya harga pasar yang diharapkan. Menurut Purnomo et al. (2011) bahwa konsumen internasional lebih menyukai sertifikat yang diakreditasi oleh Forest Stewardship Council (FSC). KWLM Kulonprogo telah

20 74 memiliki sertifikat FSC sehingga telah terjadi keseimbangan 3Rs. Pada akhirnya kondisi market driven sangat menentukan skema sertifikasi yang harus ditempuh oleh pelaku usaha yang dapat menjanjikan harga premium. Hubungan antar pemangku kepentingan. Keseimbangan 3Rs merupakan bahan pertimbangan pada kualitas hubungan antar stakeholder yang terlibat. Hubungan antar para pemangku kepentingan disajikan dalam matrik pairwise pada Gambar 11. Relationships Kemenhut EU-FLEGT MFP-II Akademisi Pendukung LS LSM Pendamping Akademisi Kritis LEI Dishut Prov Dishut Kab LSM Pemantau PHR Wonosobo PHR Konsel PHR Lamteng PHR Buleleng PHR Kulonprogo PHR Blora Kemenhut EU-FLEGT MFP-II Akademisi Pendukung LS LSM Pendamping Akademisi Kritis LEI Dishut Prov Dishut Kab LSM Pemantau PHR Wonosobo PHR Konsel PHR Lamteng PHR Buleleng 5 5 PHR Kulonprogo 5 PHR Blora Keterangan: Hasil olahan data dan informasi wawancara tidak terstruktur ( ) dan studi literatur ( ) kemudian diinterpretasikan peneliti menjadi 5 tipe relationship yang dibangun dari faktor penentu relationship, yaitu: 1. Baik : Ada interaksi, ada sinergi, ada kekuatan dan frekuensi kontak berkelanjutan. 2. Sedang : Ada interaksi, ada sinergi, ada kekuatan dan frekuensi kontak yang tidak berkelanjutan. 3. Kurang : Ada interaksi, tidak ada sinergi, ada kekuatan dan frekuensi kontak yang tidak berkelanjutan. 4. Buruk : Ada interaksi, tidak ada sinergi, tidak ada kekuatan dan frekuensi kontak. 5. Tdk ada relasi : Tidak ada interaksi Gambar 11 Matrik Hubungan antar stakeholder

21 75 Salah satu tantangan yang paling mendasar bagi para analis kebijakan untuk mendukung pembuatan kebijakan, adalah meningkatkan hubungan antara mereka dan proses pembuatan kebijakan (Hermans & Thissen 2009). Kekuatan hubungan key stakeholder (Kemenhut) lebih besar terhadap secondary stakeholder (EU- FLEGT, MFP-II) daripada kepada primary stakeholder (Petani hutan rakyat), sebagai akibat dari ketidakseimbangan 3Rs pada key stakeholder. Ketidakseimbangan 3Rs yang terjadi pada key stakeholder terjadi akibat ketidakmampuannya menyelesaikan persyaratan penopang (enabling condition) sehingga serifikasi tidak bekerja secara optimal. Key stakeholder cenderung memperkuat hubungan dengan negara core untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan enabling condition. Hasil penelusuran naskah terdapat beberapa aktor yang cukup dominan di dalam proses pembuatan kebijakan legalitas kayu, yaitu Kemenhut RI dengan frekuensi sebanyak 37%, dan lembaga donor MFP sebanyak 14,2%, yang secara ringkas disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat Media Cetak Media Ilmiah Jumlah No Aktor Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen (kali) (kali) (kali) 1. Kemenhut RI 49 30,2 11 6, ,0 2. MFP 21 13,0 2 1, ,2 3. Pemilik HR 9 5,6 2 1,2 11 6,8 4. LS 11 6,8 0 0,0 11 6,8 5. Akademisi 8 4,9 0 0,0 8 4,9 6. Dishut Kab 7 4,3 1 0,6 8 4,9 7. DFID EU 4 2,5 3 1,9 7 4,3 Sumber: Analisis data primer 2013 Pada kenyataannya pembuatan kebijakan bersifat sangat kompleks, tidak teratur, dan dalam prosesnya diperebutkan, yang melibatkan kekuasaan dan terjadi negosiasi antar pemangku kepentingan yang beragam atas kontrol dan penggunaan sumberdaya yang terbatas (Baginski & Soussan 2001). Dalam proses pembuatan kebijakan telah dipahami bahwa proses tersebut melibatkan unsurunsur yang saling terkait yaitu diskursus/narasi, aktor/jaringan, dan politi/kepentingan (Sutton 1999; IDS 2006).

22 76 Proses perumusan kebijakan legalitas kayu dikeluarkan oleh birokrat sangat kuat didukung oleh lembaga donor MFP yang dipengaruhi EU. EU sangat kuat mempertahankan legalitas kayu terwujud terhadap negara-negara mitra dagangnya. Di pihak lain, pendorong dari perubahan aturan ini, yaitu LSM yang bergerak di bidang kehutanan, khususnya yang memantau kegiatan VLK, serta akademisi. Meskipun demikian tidak seluruh perubahan yang diharapkan dapat diakomodasi oleh para pengambil keputusan. Untuk kayu yang berasal dari hutan rakyat, tetap harus dilakukan sertifikasi sampai seluruh kayu yang berasal dari hutan negara telah tersertifikasi. Pemikiran para pembuat kebijakan bahwa jika kayu dari lahan milik dibiarkan tidak mengikuti sertifikasi akan mengakibatkan kekacauan dari penataan kayu dari hutan negara, dengan kata lain bisa dijadikan alasan sebagai pencucian kayu-kayu ilegal yang berasal dari hutan negara. Kesenjangan Kebijakan SVLK di Hutan Rakyat dengan Interaksi Sosial yang Menyertainya Identifikasi Stakeholder. Pelaku kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat diidentifikasi dengan cara analisis stakeholder. Menurut ODA (1995) stakeholder diklasifikasikan ke dalam primary stakeholder, key stakeholder, dan secondary stakeholder. yaitu terdiri dari EU-FLEGT (Europan Union dalam bentuk support project Forest Law Enforcement Governance and Trade), MFP-II (Multistakeholder Forestry Programme-II), Akademisi pendukung, dan Akademisi kritis. Key stakeholder adalah stakeholder yang secara legalitas memiliki kewenangan atau dengan kata lain memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi dalam pengambilan keputusan pada proses pembuatan kebijakan legalitas kayu. Berdasarkan telaahan peraturan P. 38/Menhut-2009 jo. P.68/Menhut- II/2011 jo. P. 45/Menhut-II/2012 tentang legalitas kayu, dokumen kajian ilmiah, dokumen populer, dan wawancara mendalam, key stakeholder dalam proses pembuatan kebijakan legalitas adalah Kementerian Kehutanan. Kementerian Kehutanan secara normatif berperan sebagai pembuatan kebijakan legalitas kayu. Secara teknis kewenangannya berupa menetapkan norma, standard, prosedur dan

23 77 kriteria dalam proses verifikasi legalitas kayu di hutan negara maupun di hutan rakyat. Primary stakeholder merupakan subyek kebijakan, dalam hal ini adalah petani hutan rakyat, yaitu stakeholder yang langsung terkena dampak baik positif maupun negatif dari kebijakan legalitas kayu. Dalam penelitian ini terdapat 4 kelompok petani hutan rakyat yang telah melakukan sertifikasi, yaitu: 1) Petani hutan rakyat Comlog GMWT, telah mendapatkan sertifikat legalitas kayu (S-LK) melalui skema mandatory pada bulan Oktober Biaya sertifikasi berasal dari dana bantuan lembaga donor (MFP-II); 2) Petani hutan rakyat KHJL, telah menerapkan sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) yang juga merupakan skema voluntary kemudian melakukan proses sertifikasi SVLK dan mendapatkan S-LK pada 0ktober 2011; 3) Petani hutan rakyat KSU APIK, setahun kemudian KSU APIK mendapatkan S-LK, yaitu pada oktober 2012; 40 Petani hutan rakyat KWLM, telah mendapat sertifikasi FSC sejak tahun 2010 akhir Secondary stakeholder merupakan perantara dalam proses penyaluran bantuan ataupun pihak-pihak yang tidak memiliki kaitan secara langsung terhadap kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat. Terdiri dari: 1) EU-FLEGT, yaitu Europan Union dalam bentuk support project Forest Law Enforcement Governance and Trade, merupakan merupakan program bantuan teknis Uni Eropa kepada Indonesia dalam hal penegakan hukum, tata kelola, dan perdagangan di bidang kehutanan; 2) MFP-II, yaitu Multistakeholder Forestry Programme-II, merupakan sebuah program yang didana lembaga donor DFID (Departement for International Development). Mereka memfasilitasi kegiatan yang bersifat multistakeholder dalam bidang kehutanan; 3) Akademisi pendukung (pro academicians), merupakan akademisi yang secara keilmuannya mendukung program pengembangan kebijakan legalitas kayu di Indonesia; 4) akademisi kritis (cons academicians), merupakan akademisi yang mengkritisi program pengembangan kebijakan legalitas kayu di Indonesia berdasarkan konsep ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and

BAB I PENDAHULUAN. Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and Agricultural Organization (FAO) menempatkan Indonesia di urutan kedelapan dari sepuluh negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembalakan liar di Indonesia dianggap sebagai salah satu pendorong

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembalakan liar di Indonesia dianggap sebagai salah satu pendorong I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembalakan liar di Indonesia dianggap sebagai salah satu pendorong deforestasi dan degradasi, yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, peningkatan emisi iklim,

Lebih terperinci

5 TIPOLOGI KESESUAIAN SERTIFIKASI DI HUTAN RAKYAT

5 TIPOLOGI KESESUAIAN SERTIFIKASI DI HUTAN RAKYAT 5 TIPOLOGI KESESUAIAN SERTIFIKASI DI HUTAN RAKYAT Sertifikasi di Hutan Rakyat Permenhut P. 38/Menhut-II/2009 merupakan salah satu pedoman SVLK pada pemegang izin maupun pada hutan rakyat, dimana mulai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan hak atau sering disebut sebagai hutan rakyat yang merupakan lahan milik dengan hasil utama berupa kayu merupakan barang milik pribadi (private good) dari petani hutan

Lebih terperinci

KERANGKA PROGRAM. Lokasi : Kab. Kuningan, Kab. Indramayu, Kab. Ciamis. Periode Waktu :

KERANGKA PROGRAM. Lokasi : Kab. Kuningan, Kab. Indramayu, Kab. Ciamis. Periode Waktu : KERANGKA PROGRAM Peningkatan Hutan Rakyat dan Industri Kayu Kecil dan Menengah yang Terverifikasi Legal dalam Meningkatkan Pasokan Kayu dan Produk Kayu Sesuai Lisensi FLEGT (di Wilayah Provinsi Jawa Barat)

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan Sosialisasi Peraturan Menteri Kehutanan P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Direktorat Jenderal Bina Produksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan telah mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996 (FWI & GWF,

BAB 1 PENDAHULUAN. dan telah mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996 (FWI & GWF, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju deforestasi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980 laju deforestasi sekitar 1 juta hektar per tahun, kemudian meningkat menjadi 1.7

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia sudah dirasakan sejak dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena tindakan

Lebih terperinci

KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU TROPICAL RAINFOREST CONSULTANT Jl. Purwanggan No.63 C, Pakualaman, Yogyakarta Telp : 0274-8231224 e-mail : tr_consultant@yahoo.co.id www.trconsultant.weebly.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hutan memiliki arti penting bagi negara. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mencerminkan potensi ekonomi yang besar dan strategis bagi pembangunan nasional. Kekayaan

Lebih terperinci

KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU TROPICAL RAINFOREST CONSULTANT Jl. Purwanggan No.63 C, Pakualaman, Yogyakarta Telp : 0274-8231224 e-mail : tr_consultant@yahoo.co.id www.trconsultant.weebly.com

Lebih terperinci

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MARI DUKUNG! I M P L E M E N T A S I P E N U H. oleh Agus Justianto

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MARI DUKUNG! I M P L E M E N T A S I P E N U H. oleh Agus Justianto Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MARI DUKUNG! I M P L E M E N T A S I P E N U H S V L K oleh Agus Justianto Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Dibangun sejak 2003 dan melibatkan para pemangku kepentingan

Lebih terperinci

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Indonesia 2,3 & 5 Agustus, 2010 LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Kebijakan dan Konvensi Internasional yang berdampak pada Perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha furniture sudah lama dikenal masyarakat Indonesia, bahkan dibeberapa daerah tertentu sudah menjadi budaya turun temurun. Sentra-sentra industri furniture berkembang

Lebih terperinci

Legalitas Pengeksporan Hasil-Hasil Hutan ke Negara-Negara Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Kota, Negara Tanggal, 2013

Legalitas Pengeksporan Hasil-Hasil Hutan ke Negara-Negara Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Kota, Negara Tanggal, 2013 Legalitas Pengeksporan Hasil-Hasil Hutan ke Negara-Negara Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat Kota, Negara Tanggal, 2013 Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulation/EUTR) Regulasi Kayu

Lebih terperinci

LOWONGAN UNTUK KETUA TIM PENILAI MONITORING DAN ANGGOTA TIM PENILAI MONITORING PENYUSUNAN BASELINE MONITORING DAMPAK IMPLEMENTASI SVLK (SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU) Latar Belakang MFP3 membuka lowongan

Lebih terperinci

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 126 /Dik-2/2012 KURIKULUM DIKLAT PENDAMPINGAN SVLK BAGI PENYULUH

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 126 /Dik-2/2012 KURIKULUM DIKLAT PENDAMPINGAN SVLK BAGI PENYULUH KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM KEHUTANAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 126 /Dik-2/2012

Lebih terperinci

dari Indonesia demi Indonesia

dari Indonesia demi Indonesia dari Indonesia demi Indonesia Menjamin Kayu Legal Dari Hutan Kita: Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (Versi Stakeholder) Apakah SVLK itu? Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA/PENGRAJIN

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA/PENGRAJIN Lampiran 3.6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012 Tanggal : 17 Desember 2012 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

Indonesia dan Belanda Perkuat Kerja Sama di Bidang Perdagangan dan Pembangunan Infrastruktur Rabu, 23 November 2016

Indonesia dan Belanda Perkuat Kerja Sama di Bidang Perdagangan dan Pembangunan Infrastruktur Rabu, 23 November 2016 Indonesia dan Belanda Perkuat Kerja Sama di Bidang Perdagangan dan Pembangunan Infrastruktur Rabu, 23 November 2016 Pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda semakin memperkukuh kemitraan di antara keduanya.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.141, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Penilaian. Kinerja. Verifikasi. Legalitas. Pemegang Izin. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.141, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Penilaian. Kinerja. Verifikasi. Legalitas. Pemegang Izin. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.141, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Penilaian. Kinerja. Verifikasi. Legalitas. Pemegang Izin. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.38/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

Perihal: Pengembangan Sistem Data Base dan Informasi MFP3 Referensi:

Perihal: Pengembangan Sistem Data Base dan Informasi MFP3 Referensi: Mekanisme : Purchase Order Tanggal Diterbitkan : 13 Agustus 2015 Tanggal Penutupan : 21 Agustus 2015 (6 hari kerja setelah tanggal diterbitkan) Waktu Penutupan : 17.00 WIB Perihal: Request for Quotation

Lebih terperinci

Beberapa perkembangan Internasional sehubungan dengan produk kayu ilegal yang harus dicermati:

Beberapa perkembangan Internasional sehubungan dengan produk kayu ilegal yang harus dicermati: SAMBUTAN MENTERI PERDAGANGAN PADA ACARA HIGH LEVEL MARKET DIALOGUE BETWEEN INDONESIA, EU, THE US AND JAPAN: MEETING MARKET DEMAND FOR LEGALLY TIMBER PRODUCT JAKARTA, 10 MARET 2011 Yth. Menteri Koordinator

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran

3 METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran 3 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Petani hutan rakyat sebagai pemilik barang pribadi (private good) berupa hutan rakyat di dalam pengambilan keputusan pengelolaannya dipengaruhi suatu pendekatan

Lebih terperinci

Kota, Negara Tanggal, 2013

Kota, Negara Tanggal, 2013 Legalitas Pengeksporan Hasil Hasil--Hasil Hutan ke negara--negara Uni Eropa negara Eropa,, Australia dan Amerika Serikat Kota, Negara Tanggal, 2013 Gambaran Umum Acara Hari Ini Perkenalan dan Sambutan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, KOMPILASI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IZIN ATAU PADA HUTAN HAK Nomor: P.38/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

STANDARD PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

STANDARD PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU STANDARD PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PT. (PERSERO) SUCOFINDO Jakarta, 11 Agustus 2009 Sejarah Penyusunan Standard Dimulai sejak tahun 2003, proses

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IUIPHHK DAN IUI

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IUIPHHK DAN IUI Lampiran 3.4 Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012 Tanggal : 17 Desember 2012 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

Mengekspor dalam Lasekap Hukum yang Bergeser LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS. Kota, Negara Tanggal, 2013

Mengekspor dalam Lasekap Hukum yang Bergeser LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS. Kota, Negara Tanggal, 2013 Mengekspor dalam Lasekap Hukum yang Bergeser LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Kota, Negara Tanggal, 2013 Pelatihan untuk Para Pelatih Pengantar Sumber Daya Pelatihan untuk Para Pelatih - Sumber Daya Pelatihan

Lebih terperinci

2 Mengingat : kembali penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak; c. ba

2 Mengingat : kembali penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak; c. ba No. 883, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Produksi Lestari. Legalitas Kayu. Pengelolaan. Penilaian Kinerja. Pemegang Izin. Hutan Hak. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 38/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 38/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 38/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG

Lebih terperinci

CATATANKEBIJAKAN. Peta Jalan Menuju EITI Sektor Kehutanan. No. 02, Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti.

CATATANKEBIJAKAN. Peta Jalan Menuju EITI Sektor Kehutanan. No. 02, Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti. No. 02, 2013 CATATANKEBIJAKAN Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti Peta Jalan Menuju EITI Sektor Kehutanan (Program: Working Toward Including Forestry Revenues in the Indonesia EITI

Lebih terperinci

Pengumuman Hasil Sertifikasi Legalitas Kayu pada IUIPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Provinsi Kalimantan Barat oleh SUCOFINDO ICS

Pengumuman Hasil Sertifikasi Legalitas Kayu pada IUIPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Provinsi Kalimantan Barat oleh SUCOFINDO ICS Materi Website Pengumuman Hasil Sertifikasi Legalitas Kayu pada IUIPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Provinsi Kalimantan Barat oleh SUCOFINDO ICS Jaminan legalitas produk kayu harus dibuktikan dengan adanya sistem

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA TPT

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA TPT Lampiran 3.8. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P. /VI-BPPHH/2013 Tanggal : 2013 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Peran penting sumberdaya hutan

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA ETPIK NON-PRODUSEN

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA ETPIK NON-PRODUSEN Lampiran 3.8. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.5/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 14 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Lebih terperinci

Pemeriksaan uji tuntas Penggunaan Kerangka Kerja Legalitas Kayu (bagi importir)

Pemeriksaan uji tuntas Penggunaan Kerangka Kerja Legalitas Kayu (bagi importir) Pemeriksaan uji tuntas Penggunaan Kerangka Kerja Legalitas Kayu (bagi importir) LEMBAR DATA 2.3 Apabila Anda seorang importir, setelah Anda mengumpulkan informasi (sebagai langkah pertama dalam pemeriksaan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN NOMOR: P.13/VI-BPPHH/2014 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI LEGALITAS KAYU

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN J A K A R T A

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN J A K A R T A KEMENTERIAN - 1 - KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN J A K A R T A Yth. 1. Para Pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan Hak Pengelolaan; 2. Para Pemegang IUPHHK-HKm/HTR/HD/HTHR, IPK; 3. Para Pemegang

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA/PENGRAJIN

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA/PENGRAJIN Lampiran 3.7. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P. /VI-BPPHH/2013 Tanggal : 2013 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan

Lebih terperinci

SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DR. IR. HADI DARYANTO D.E.A Badan Akreditasi Independen (Komite Akreditasi Nasional) (KAN) SVLK Monitoring Independen : (LSM atau Masyarakat Sipil ) Sertitifikat LK Lembaga

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Jaminan Legalitas Kayu/Startegy Timber Legality and Assurance System

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Jaminan Legalitas Kayu/Startegy Timber Legality and Assurance System BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem Jaminan Legalitas Kayu/Startegy Timber Legality and Assurance System (TLAS) atau di dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas

Lebih terperinci

PENGUMUMAN PERUBAHAN SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU (S-LK) DI CV SAUDARA BANGUN SEJAHTERA, KOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH

PENGUMUMAN PERUBAHAN SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU (S-LK) DI CV SAUDARA BANGUN SEJAHTERA, KOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PENGUMUMAN PERUBAHAN SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU (S-LK) DI CV SAUDARA BANGUN SEJAHTERA, KOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH Identitas LV-LK : I. Nama LV-LK : PT. EQUALITY INDONESIA Alamat : Jl. Raya Sukaraja

Lebih terperinci

PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI

PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI RESUME HASIL VERIFIKASI (1) Identitas LVLK a. Nama Lembaga : PT MUTUAGUNG LESTARI b. Nomor Akreditasi : LVLK-003-IDN c. Alamat : Jl. Raya Bogor Km. 33,5 No. 19 Cimanggis Depok 16953. Website: www.mutucertification.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat

Lebih terperinci

Identitas LV-LK : Identitas Auditee :

Identitas LV-LK : Identitas Auditee : PENGUMUMAN PERUBAHAN SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU (S-LK) DI PERUM PERHUTANI INDUSTRI KAYU WILAYAH I PGM RANDUBLATUNG, KABUPATEN BLORA PROVINSI JAWA TENGAH Identitas LV-LK : I. Nama LV-LK : PT. EQUALITY INDONESIA

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN.. xix

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN.. xix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........ xvi DAFTAR GAMBAR........ xvii DAFTAR LAMPIRAN.. xix I. PENDAHULUAN.... 1 1.1 Latar Belakang. 1 1.2 Rumusan Masalah. 4 1.3 Tujuan Penelitian... 4 1.4 Manfaat Penelitian....

Lebih terperinci

KONSEP. Revisi Permenhut Nomor P.43/Menhut-II/2014 jo. PermenLHK Nomor P.95/Menhut-II/2014

KONSEP. Revisi Permenhut Nomor P.43/Menhut-II/2014 jo. PermenLHK Nomor P.95/Menhut-II/2014 KONSEP Revisi Permenhut Nomor P.43/Menhut-II/2014 jo. PermenLHK Nomor P.95/Menhut-II/2014 PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR : P. /MENLHK-II/2015 TENTANG PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN Nomor 78/M-DAG/PER/10/2014 TENTANG KETENTUAN IMPOR PRODUK KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN Nomor 78/M-DAG/PER/10/2014 TENTANG KETENTUAN IMPOR PRODUK KEHUTANAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN Nomor 78/M-DAG/PER/10/2014 TENTANG KETENTUAN IMPOR PRODUK KEHUTANAN Jakarta, 2 Oktober 2015 LANDASAN HUKUM PENYUSUNAN RANCANGAN PERMENDAG TENTANG IMPOR PRODUK KEHUTANAN UNDANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR : P.95/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR : P.95/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR : P.95/Menhut-II/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.43/MENHUT-II/2014 TENTANG PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Ekspor 1. Pengertian Ekspor Pada dasarnya ekspor adalah mengeluarkan barang dari kawasan pabean pada suatu Negara. Menurut kamus lengkap perdagangan internasional, ekspor merupakan

Lebih terperinci

VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA

VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA 114 VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA 8.1. Pendahuluan Upaya pemberantasan IL yang dilakukan selama ini belum memberikan efek jera terhadap pelaku IL dan jaringannya

Lebih terperinci

FLEGT-VPA: Ringkasan. Ringkasan dan kronologis_ind_june2009.doc 1

FLEGT-VPA: Ringkasan. Ringkasan dan kronologis_ind_june2009.doc 1 Forest Law Enforcement, Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA) Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan bidang Kehutanan - Perjanjian Kemitraan Sukarela FLEGT-VPA: Ringkasan

Lebih terperinci

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK.75/Dik-2/2011. t e n t a n g

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK.75/Dik-2/2011. t e n t a n g KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM KEHUTANAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK.75/Dik-2/2011

Lebih terperinci

RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN HAK PT. RIAU ANDALAN PULP AND PAPER KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU

RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN HAK PT. RIAU ANDALAN PULP AND PAPER KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN HAK PT. RIAU ANDALAN PULP AND PAPER KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU PT MUTUAGUNG LESTARI (1) Identitas LVLK a. Nama Lembaga : PT. Mutuagung Lestari

Lebih terperinci

PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI

PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI RESUME HASIL VERIFIKASI (1) Identitas LVLK a. Nama Lembaga : PT MUTUAGUNG LESTARI b. Nomor Akreditasi : LVLK-003-IDN c. Alamat : Jl. Raya Bogor Km. 33,5 No. 19 Cimanggis Depok 16953. Website: www.mutucertification.com

Lebih terperinci

RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU KELOMPOK TANI SENDANG LESTARI

RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU KELOMPOK TANI SENDANG LESTARI s (1) Identitas LVLK RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU KELOMPOK TANI SENDANG LESTARI a. Nama Lembaga : PT MUTUAGUNG LESTARI b. Nomor Akreditasi : LVLK-003-IDN c. Alamat : Jl. Raya Bogor Km. 33,5 No.

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMANTAUAN INDEPENDEN DALAM PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

PEDOMAN PEMANTAUAN INDEPENDEN DALAM PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU Lampiran 4. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012 Tanggal : 17 Desember 2012 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

kepentingan pemantauan.

kepentingan pemantauan. Lampiran 4. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.5/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 14 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Lebih terperinci

Rencana Strategis Pemantauan Independen Kehutanan di Indonesia

Rencana Strategis Pemantauan Independen Kehutanan di Indonesia Rencana Strategis Pemantauan Independen Kehutanan di Indonesia Rencana Strategis Pemantauan Independen Kehutanan di Indonesia¹ TUJUAN & RINGKASAN Kegiatan pemantauan secara independen terhadap sektor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. tingkat lokal (tanah adat) (Suhardjito & Darusman, 1998). Jenis hutan ini terbukti

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. tingkat lokal (tanah adat) (Suhardjito & Darusman, 1998). Jenis hutan ini terbukti BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat merupakan hutan yang dibangun di atas tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat)

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 24-34

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 24-34 PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN RAKYAT SEBAGAI UPAYA MENDORONG PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERBASIS MASYARAKAT Oleh: Direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan I. PENDAHULUAN Hutan adalah sumber daya

Lebih terperinci

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE CZECH REPUBLIC OF ECONOMIC COOPERATION

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN NOMOR: P.15/VI-BPPHH/2014 TENTANG MEKANISME PENETAPAN LEMBAGA VERIFIKASI

Lebih terperinci

Penjelasan Singkat FLEGT

Penjelasan Singkat FLEGT 01 Penjelasan FLEGT FOREST LAW ENFORCEMENT, GOVERNANCE AND TRADE PENEGAKAN HUKUM DIBIDANG KEHUTANAN, TATA KELOLA DAN PERDAGANGAN Apakah FLEGT? 1. Mengapa kita memerlukan FLEGT? FLEGT adalah singkatan untuk

Lebih terperinci

Catatan Pengarahan FLEGT

Catatan Pengarahan FLEGT FLEGT PENEGAKAN HUKUM, TATA KELOLA DAN PERDAGANGAN SEKTOR KEHUTANAN Jaminan legalitas berbasis peserta pasar dan pemberian izin FLEGT Latar belakang Rencana Tindakan mengenai Penegakan Hukum, Tata Kelola

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Persoalan lingkungan mulai menjadi perhatian global sejak Konferensi Stokhlom 1972 yang merupakan forum internasional yang berfokus pada lingkungan hidup dan manusia dengan

Lebih terperinci

Nomor : P.38/Menhut-II/2009, Nomor : P.68/Menhut-II/2011, Nomor : P.45/Menhut-II/2012, dan Nomor : P.42/Menhut-II/2013

Nomor : P.38/Menhut-II/2009, Nomor : P.68/Menhut-II/2011, Nomor : P.45/Menhut-II/2012, dan Nomor : P.42/Menhut-II/2013 KOMPILASI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IZIN ATAU PADA HUTAN HAK Nomor : P.38/Menhut-II/2009,

Lebih terperinci

Legalitas Pengeksporan Hasil-Hasil Hutan ke negara-negara Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Kota, Negara Tanggal, 2013

Legalitas Pengeksporan Hasil-Hasil Hutan ke negara-negara Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Kota, Negara Tanggal, 2013 Legalitas Pengeksporan Hasil-Hasil Hutan ke negara-negara Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat Kota, Negara Tanggal, 2013 Pengantar Kebijakan & Konvensi Internasional yang Berdampak pada Perdagangan

Lebih terperinci

RESUME HASIL VERIFIKASI

RESUME HASIL VERIFIKASI PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI (1) Identitas LVLK a. Nama Lembaga : PT MUTUAGUNG LESTARI b. Nomor Akreditasi : LVLK-003-IDN c. Alamat : Jl. Raya Bogor Km. 33,5 No. 19 Cimanggis Depok 16953.

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMILIK HUTAN HAK

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMILIK HUTAN HAK Lampiran 3.3. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.5/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 14 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN NOMOR : P.14/VI-BPPHH/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN NOMOR : P.14/VI-BPPHH/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN NOMOR : P.14/VI-BPPHH/2014 TENTANG STANDAR DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) DAN VERIFIKASI LEGALITAS

Lebih terperinci

PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (1) Identitas LVLK : a. Nama Lembaga : PT MUTUAGUNG LESTARI b. Nomor Akreditasi : LVLK-003-IDN c. Alamat : Jl. Raya Bogor Km. 33,5 No. 19 Cimanggis Depok 16953 d.

Lebih terperinci

DRAF REVISI. 21. ISO/IEC 17000:2004 Conformity assessment vocabulary and general prinsiples

DRAF REVISI. 21. ISO/IEC 17000:2004 Conformity assessment vocabulary and general prinsiples Pedoman Pelaksanaan Deklarasi Keses uaian Pemasok Hutan Hak, Tempat Penampungan Terdaftar (TPT), Industri Rumah Tangga/Pengrajin, dan Impor Kayu dan Produk Kayu A. RUANG LINGKUP 1. Pedoman Deklarasi Kesesuaian

Lebih terperinci

SERTIFIKASI HUTAN DAN PERAN ORGANISASI NON PEMERINTAH (ORNOP) MATERI DASAR DISIAPKAN OLEH DR. AGUS SETYARSO

SERTIFIKASI HUTAN DAN PERAN ORGANISASI NON PEMERINTAH (ORNOP) MATERI DASAR DISIAPKAN OLEH DR. AGUS SETYARSO SERTIFIKASI HUTAN DAN PERAN ORGANISASI NON PEMERINTAH (ORNOP) MATERI DASAR DISIAPKAN OLEH DR. AGUS SETYARSO APRIL 2009 Pengantar Tulisan ini disusun melalui pertimbangan bahwa semakin lama aktivitas sertifikasi

Lebih terperinci

RESUME HASIL PENILIKAN KE-1 VERIFIKASI LEGALITAS KAYU HUTAN HAK PT RAPP

RESUME HASIL PENILIKAN KE-1 VERIFIKASI LEGALITAS KAYU HUTAN HAK PT RAPP RESUME HASIL PENILIKAN KE-1 VERIFIKASI LEGALITAS KAYU HUTAN HAK PT RAPP (1) Identitas LVLK a. Nama Lembaga : PT MUTUAGUNG LESTARI b. Nomor Akreditasi : LVLK-003-IDN c. Alamat : Jl. Raya Bogor Km. 33,5

Lebih terperinci

RESUME HASIL VERIFIKASI

RESUME HASIL VERIFIKASI PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI (1) Identitas LVLK a. Nama Lembaga : PT MUTUAGUNG LESTARI b. Nomor Akreditasi : LVLK-003-IDN c. Alamat : Jl. Raya Bogor Km. 33,5 No. 19 Cimanggis Depok 16953.

Lebih terperinci

PENGUMUMAN PERUBAHAN SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU (S-LK) DI PERUM PERHUTANI INDUSTRI KAYU WILAYAH I KBM IK CEPU, KABUPATEN BOJONEGORO PROVINSI JAWA TIMUR

PENGUMUMAN PERUBAHAN SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU (S-LK) DI PERUM PERHUTANI INDUSTRI KAYU WILAYAH I KBM IK CEPU, KABUPATEN BOJONEGORO PROVINSI JAWA TIMUR Lampiran Surat No : 196/EQ.S/V/2014, tanggal 13 Mei 2014 PENGUMUMAN PERUBAHAN SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU (S-LK) DI PERUM PERHUTANI INDUSTRI KAYU WILAYAH I KBM IK CEPU, KABUPATEN BOJONEGORO PROVINSI JAWA

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA TPT

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA TPT Lampiran 3.7. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012 Tanggal : 17 Desember 2012 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktek-Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBANGUN DASAR KERANGKA PENGAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Apa» Kemitraan dengan Ratah

Lebih terperinci

Perihal: Request for Quotation (RFQ) Nomor 002 Penilaian Sertifikasi SVLK pada kelompok pengrajin kayu. Multi-Stakeholder Forestry Programme (MFP3)

Perihal: Request for Quotation (RFQ) Nomor 002 Penilaian Sertifikasi SVLK pada kelompok pengrajin kayu. Multi-Stakeholder Forestry Programme (MFP3) Mekanisme: Purchase Order Tanggal Diterbitkan: 11 Maret 2015 Tanggal Penutupan: 16 Maret 2015 (5 hari kerja setelah tanggal diterbitkan) Waktu Penutupan: 17.00 WIB Perihal: Request for Quotation (RFQ)

Lebih terperinci

TANGGAPAN DAN KLARIFIKASI TERHADAP LAPORAN JPIK DAN EIA

TANGGAPAN DAN KLARIFIKASI TERHADAP LAPORAN JPIK DAN EIA TANGGAPAN DAN KLARIFIKASI TERHADAP LAPORAN JPIK DAN EIA MASIH PERIZINAN BAGI TINDAK KRIMINAL: BAGAIMANA KEKEBALAN HUKUM PERUSAHAAN SAWIT ILEGAL MERUSAK REFORMASI INDUSTRI KAYU DI INDONESIA oleh Jaringan

Lebih terperinci

PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI

PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI RESUME HASIL VERIFIKASI (1) Identitas LVLK a. Nama Lembaga : PT MUTUAGUNG LESTARI b. Nomor Akreditasi : LVLK-003-IDN c. Alamat : Jl. Raya Bogor Km. 33,5 No. 19 Cimanggis Depok 16953. Website: www.mutucertification.com

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN HAK KELOMPOK TANI PARIT LIMBAH KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU

RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN HAK KELOMPOK TANI PARIT LIMBAH KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN HAK KELOMPOK TANI PARIT LIMBAH KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU (1) Identitas LVLK a. Nama Lembaga : PT. Mutuagung Lestari b. Nomor

Lebih terperinci

RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PAGUYUBAN GAPOKTANHUT MARGO LUHUR

RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PAGUYUBAN GAPOKTANHUT MARGO LUHUR RESUME HASIL VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PAGUYUBAN GAPOKTANHUT MARGO LUHUR (1) Identitas LVLK a. Nama Lembaga : PT MUTUAGUNG LESTARI b. Nomor Akreditasi : LVLK-003-IDN c. Alamat : Jl. Raya Bogor Km. 33,5

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2012, 2014 KEMENDAG. Ekspor. Industri. Kehutanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97/M-DAG/PER/12/2014 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK

Lebih terperinci

2. Pelaksanaan verifikasi menggunakan standar verifikasi LK sebagaimana Lampiran 2.1, 2.2, 2.3, dan 2.4.

2. Pelaksanaan verifikasi menggunakan standar verifikasi LK sebagaimana Lampiran 2.1, 2.2, 2.3, dan 2.4. Lampiran 3.2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN NOMOR : TENTANG TATA CARA PERMOHONAN DAN PENERBITAN REKOMENDASI IMPOR PRODUK KEHUTANAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN NOMOR : TENTANG TATA CARA PERMOHONAN DAN PENERBITAN REKOMENDASI IMPOR PRODUK KEHUTANAN DRAFT 20042015 (EDIT LIU TIM KECIL ) PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN NOMOR : TENTANG TATA CARA PERMOHONAN DAN PENERBITAN REKOMENDASI IMPOR PRODUK KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IUIPHHK DAN IUI/TDI

PEDOMAN PELAKSANAAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IUIPHHK DAN IUI/TDI Lampiran 3.3. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini. PAPARAN WAKIL MENTERI LUAR NEGERI NILAI STRATEGIS DAN IMPLIKASI UNCAC BAGI INDONESIA DI TINGKAT NASIONAL DAN INTERNASIONAL PADA PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA JAKARTA, 11 DESEMBER 2017 Yang terhormat

Lebih terperinci

PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL KEPUTUSAN AKHIR VERIFIKASI

PT MUTUAGUNG LESTARI RESUME HASIL KEPUTUSAN AKHIR VERIFIKASI RESUME HASIL KEPUTUSAN AKHIR VERIFIKASI (1) Identitas LVLK : a. Nama Lembaga : PT MUTUAGUNG LESTARI b. Nomor Akreditasi : LVLK-003-IDN c. Alamat : Jl. Raya Bogor Km. 33,5 No. 19 Cimanggis Depok 16953 d.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tak dapat dipisahkan. Diantara keduanya terdapat hubungan timbal. balik antara manusia dan lingkungan tempat hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. yang tak dapat dipisahkan. Diantara keduanya terdapat hubungan timbal. balik antara manusia dan lingkungan tempat hidupnya. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia dan lingkungan hidupnya bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Diantara keduanya terdapat hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan

Lebih terperinci

Lampiran Surat No : 248.5/EQ.S/IV/2015, tanggal 28 April 2015

Lampiran Surat No : 248.5/EQ.S/IV/2015, tanggal 28 April 2015 Lampiran Surat No : 248.5/EQ.S/IV/2015, tanggal 28 April 2015 Identitas LV-LK : PENGUMUMAN REVISI SERTIFIKAT VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA PT SUKSES WIJAYA ADIMAKMUR, KABUPATEN TANAH LAUT PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci