BAB VI ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU"

Transkripsi

1 BAB VI ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU Model yang telah diuji validitasnya dapat dianggap layak untuk dijadikan dasar dalam melakukan analisis dan pemilihan kebijakan yang akan diintervensikan ke dalam model sehingga dapat menjadi rekomendasi dalam implementasi kebijakan di dunia nyata. Dalam analisis kebijakan ini model akan dicoba untuk disimulasikan dalam jangka panjang (0 tahun) tanpa dilakukan intervensi kebijakan (skenario dasar). Selanjutnya dari hasil analisis atas perilaku yang terjadi dalam skenario dasar tersebut akan dicoba dilakukan intervensi berbagai alternatif kebijakan ke dalam model. Dari berbagai alternatif kebijakan yang diintervensikan ke dalam model tersebut selanjutnya akan dilakukan analisis lebih mendalam agar dihasilkan rekomendasi pemilihan kebijakan yang paling tepat dan layak untuk diterapkan. Meskipun di dalam penelitian ini ukuran keberhasilan dari penerapan suatu kebijakan lebih dilihat dari sisi sumber daya air dan kondisi hidrologi, namun secara umum kondisi tersebut dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang paling besar, baik terhadap masyarakat yang tinggal di DAS Cikapundung Hulu maupun terhadap masyarakat di Kawasan Cekungan Bandung. Hal ini karena air merupakan sumber utama yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan juga mahluk hidup lainnya. Dalam setiap kegiatan manusia, air selalu mengambil peran utama, baik itu dalam kegiatan manusia sebagai individu (minum, mandi, bersuci), maupun masyarakat dalam kehidupan sosial dan ekonomi (air sebagai pembangkit energi listri, air sebagai bahan baku dalam proses industri, dll. Keterkaitan dengan kehidupan masyarakat tersebut dapat digambarkan bahwa dengan semakin baiknya kondisi hidrologi DAS yang ditunjukkan dengan terjaganya (dan meningkatnya) kawasan tutupan hutan maka kawasan tersebut, yang sebagian besar merupakan kawasan dengan kondisi kelerengan yang cukup terjal, akan dapat terhindar dari potensi bencana tanah longsor. Selain itu kondisi hidrlogi yang baik akan memberikan laju infiltrasi air hujan yang tinggi ke dalam

2 tanah yang sangat bermanfaat dalam memberikan laju pengisian air tanah dalam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Kawasan Cekungan Bandung. Ketersediaan air permukaan terutama dari sisi kontinyuitas penyediaannya sepanjang tahun (sepanjang musim) akan mampu memberikan suplai terhadap berbagai kebutuhan air baku yang antara lain adalah sebagai sumber air minum, air baku pembangkit listrik (PLTA) maupun irigasi. Sehingga dengan keberadaan suplai air yang kontinyu maka kelangsungan hidup masyarkat yang layak dan selalu tumbuh lebih baik (dair sisi skonomi, sosial maupun budaya) dapat selalu terjaga. VI.. Perilaku Model Dengan Skenario Dasar Dalam Jangka Panjang Perilaku model jangka panjang pengelolaan DAS Cikapundung Hulu didasarkan atas asumsi umum bahwa struktur fenomena bersifat tetap dan tidak mengalami perubahan dari sisi unsur maupun keterkaitannya. Selama jangka waktu simulasi model tidak terdapat faktor-faktor eksternal dan kebijakan (struktur keputusan) yang secara signifikan dapat merubah struktur model. Perilaku pertumbuhan ekonomi Kawasan Cekungan Bandung Pada awal simulasi pertumbuhan PDRB maupun stok kapital terkesan cukup lambat bahkan sempat cenderung menurun. Hal ini juga sebagai akibat dari adanya dampak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 99 sampai dengan tahun 999. krisis sendiri memerlukan waktu pemulihan hingga tahun. Sementara dalam jangka panjang, baik PDRB maupun kapitalisasi industri serta jasa dan perdagangan mengalami peningkatan yang cukup tajam. Kondisi pertumbuhan ekonomi (PDRB dan stok kapital) sebenarnya dipengaruhi oleh efek ketersediaan air tanah dan juga efek pasokan listrik. Efek ini antara lain dipengaruhi oleh kinerja fungsi hidrologi di DAS Cikapundung, namun karena masih ada beberapa DAS lain yang mempengaruhi ketersediaan air di Kawasan Cekungan Bandung maka seolah-olah efek dari DAS Cikapundung Hulu tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap perekonomian di Kawasan Cekungan Bandung.

3 Selain itu di dalam model ini belum dilihat pengambilan air tanah oleh industri yang tentu saja akan semakin mengurangi ketersediaan air di kawasan tersebut (bahkan penurunan yang dominan atas air tanah adalah akibat eksploitasi yang berlebihan dari sektor industri). Apabila seluruh kondisi tersebut dapat diintegrasikan maka pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan ekonomi akan sangat signifikan dan menjadi salah satu penghambat. Pada Gambar VI.. dan VI.. diperlihatkan perilaku jangka panjang (0 tahun) pertumbuhan ekonomi di Kawasan Cekungan Bandung. Di dalam penelitian ini, meskipun ditinjau juga pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan ekonomi di Cekungan Bandung, namun yang lebih menjadi fokus dalam pembahasan adalah penurunan ketersediaan air di DAS Cikapundung Hulu akibat dari perubahan fungsi lahan yang terjadi. Perilaku Jangka Panjang Pertumbuhan PDRB 00,000 Milyar Rupiah 00,000 00,000 00,000 00,000 00,000 0,990,000,00,00,00,00 PDRB_industri PDRB_JP PDRB_Total Gambar VI.. Perilaku pertumbuhan PDRB Kawasan Cekungan Bandung dalam jangka panjang

4 Perilaku Jangka Panjang Pertumbuhan Kapitalisasi Industri serta Jasa dan Perdagangan,000,000,00,000 Milyar Rupiah,000,000 00,000 Kapital_Industri Kapital_JP 0,990,000,00,00,00,00 Gambar VI.. Perilaku pertumbuhan kapitalisasi industri serta jasa dan Perdagangan Kawasan Cekungan Bandung dalam jangka panjang Perilaku Perkembangan Jumlah Penduduk Dalam jangka panjang, jumlah penduduk di Kawasan Cekungan Bandung cenderung mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun. Krisis ekonomi tahun tidak memberikan efek yang signifikan terhadap perkembangan jumlah penduduk, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar VI.. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk selain faktor alamiah (kelahiran dan kematian) adalah inmigrasi dan out migrasi. Kedua unsur tersebut dipengaruhi oleh daya tarik kawasan yang dalam hal ini adalah pertumbuhan ekonomi yang memicu kebutuhan akan tenaga kerja, PDRB per kapita yang juga menjadi daya tarik kesejahteraan serta daya tarik ketersediaan air. Selain itu untuk faktor out migrasi dipengaruhi juga oleh efek krisis karena adanya pemutusan hubungan kerja yang menyebabkan tenaga kerja migran kembali ke daerah asalnya. Namun demikian, perubahan jumlah penduduk yang didorong oleh faktor migrasi tersebut relatif masih kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan alamiahnya. Dalam pertumbuhan penduduk alamiah tersebut dipengaruhi pula oleh efek ketersediaan air yang ikut memberikan efek pada kualitas kesehatan masyarakat.

5 Perilaku Pertumbuhan Penduduk di Cekungan Bandung Juta Jiwa ,990,000,00,00,00,00 Gambar VI.. Perilaku pertumbuhan jumlah penduduk di Kawasan Cekungan Bandung dalam jangka panjang Perilaku perkembangan jumlah penduduk yang dimunculkan didasarkan atas asumsi bahwa struktur dan nilai dari variabel-variabel model tidak mengalami perubahan selama masa analisis (00-00). Kebijakan-kebijakan di bidang kependudukan juga sama sebelum dan sesudah tahun 00, sehingga di dalam model kondisi tersebut direpresentasikan dengan nilai parameter yang bersifat konstan. Pada tahun 00 diperkirakan akan ada kurang lebih, juta orang yang tinggal di Kawasan Cekungan Bandung. Adapun perilaku pertumbuhan penduduk DAS Cikapundung Hulu yang merupakan bagian dari Kawasan Cekungan Bandung juga tumbuh mengikuti pertumbuhan penduduk Kawasan Cekungan Bandung, bahkan cenderung lebih pesat. Dengan kondisi alamiah serta kebijakan di bidang kependudukan yang sama, maka dapat dikatakan bahwa pengaruh migrasi penduduk pada wilayah DAS Cikapundung Hulu tersebut cukup signifikan. Mengingat harga lahan permukiman di wilayah tersebut yang relatif cukup tinggi maka dapat dikatakan bahwa para migran yang bertempat tinggal di wilayah tersebut dari masyarakat berpenghasilan menengah ke atas sehingga meskipun terjadi kisis mereka tetap bertempat tinggal di wilayah tersebut. Nemun pada saat krisis memang terlihat pertumbuhan penduduk agak landai, tidak sepesat ketika

6 tidak terjadi krisis, dan ketika krisis berlalu pertumbuhan penduduk bertambah sangat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Kawasan Cekungan Bandung. Hal tersebut semakin membuktikan bahwa faktor penduduk migran cukup berpengaruh pada pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut. Pada tahun 00 diperkirakan akan ada kurang lebih 800 ribu orang tinggal di DAS Cikapundung Hulu. 0.8 Perilaku Pertumbuhan Penduduk DAS Cikapundung Hulu 0.7 Juta Jiwa ,990,000,00,00,00,00 Gambar VI.. Perilaku pertumbuhan jumlah penduduk di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang Perilaku Pemanfaatan Lahan DAS Cikapundung Hulu Dalam jangka panjang, peningkatan pemanfaatan lahan akan didominasi untuk memenuhi kebutuhan lahan permukiman seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Perilaku jangka panjang penggunaan lahan ini didasarkan atas asumsi bahwa pola pengembangan lahan permukiman masih menggunakan pola penyebaran secara horisontal dan belum diterapkan regulasi yang mengatur pola pengembangan permukiman secara vertikal melalui konsolidasi lahan untuk mengatasi keterbatasan ketersediaan lahan yang dapat dikonversi menjadi permukiman. Dapat terlihat bahwa mulai tahun 998 peningkatan alih fungsi lahan menjadi lahan permukiman terlihat meningkat cukup tajam hingga akhir masa simulasi. Selain itu peningkatan kebutuhan lahan perkebunan juga terlihat meningkat. Di 7

7 satu sisi untuk memenuhi kebutuhan akan lahan permukiman tersebut terlihat bahwa lahan ladang dan sawah mengalami penurunan yang sangat tajam. Hal ini karena yang secara langsung mengalami konversi menjadi lahan permukiman adalah lahan ladang dan sawah. Dalam kurun waktu 0 tahun dikhawatirkan luas lahan ladang dan sawah akan menurun lebih dari setengahnya. Sedangkan lahan hutan pun akan mengalami alih fungsi menjadi lahan perkebunan dan juga menjadi lahan ladang dan sawah, namun karena adanya kebijakan reboisasi dan pembatasan penebangan hutan yang saat ini sudah dijalankan maka alih fungsi lahan hutan tersebut tidaklah setajam alih fungsi lahan ladang dan sawah. Apabila tidak ada upaya pencegahan yang siginifikan atas alih fungsi lahan hutan maka dikhawatirkan suatu saat lahan hutan akan habis terkonversi baik menjadi permukiman (dengan terlebih dahulu terkonversi menjadi lahan ladang dan sawah) maupun lahan perkebunan. Sedangkan dominiasi pemanfaatan lahan akan beralih menjadi lahan permukiman. Kondisi tersebut di atas dianggap sebagai kondisi pemanfaatan lahan yang sangat buruk untuk suatu DAS sebagaimana nanti akan diperlihatkan dalam perilaku kondisi DAS Cikapundung. Gambar VI.. berikut akan memperlihatkan perilaku pemanfaatan lahan di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang (0 tahun). Perilaku Pemanfaatan Lahan di DAS Cikapundung Hulu Ha 9,000 8,000 7,000,000,000,000,000,000,000 0,990,000,00,00,00,00 Hutan Perkebunan Ladang_dan_Sawah Permukiman Gambar VI.. Perilaku pemanfaatan lahan di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang 8

8 Perilaku Kondisi Hidrologi DAS Cikapundung Hulu dalam Jangka Panjang Dalam perilaku kondisi hidrologi DAS Cikapundung Hulu terlihat bahwa volume runoff air hujan terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan komponen hidrologi menuju kondisi yang tidak diinginkan, dimana air hujan yang seharusnya diresapkan (infiltrasi) ke dalam tanah sebagai suplai kebutuhan air pada daerah di bawahnya malah menjadi limpasan air hujan yang menuju ke sungai dan segera dialirkan ke laut. Terlihat bahwa debit sungai juga semakin meningkat yang mengindikasikan adanya penambahan aliran runoff ke dalam aliran sungai. Aliran runoff tersebut walaupun volumenya sangat besar namun cenderung tidak dapat dimanfaatkan karena sifat alirannya yang sesaat (tidak kontinyu) dan segera menuju ke laut. Bahkan aliran yang besar tersebut cenderung menimbulkan potensi banjir di sektar daerah pengalirannya. Dari Gambar VI.. terlihat pula bahwa aliran infiltrasi terus menurun seiring berjalannya waktu. Infiltrasi tersebut sebagian akan menjadi aliran dasar (base flow) yang merupakan pasokan aliran sungai yang bersifat kontinyu. Penurunan infiltrasi menunjukkan bahwa lahan yang berfungsi sebagai resapan air telah banyak terkonversi menjadi lahan terbangun (di dalam model ini adalah lahan permukiman) dan apabila hal tersebut terus dibiarkan maka akan mengakibatkan permasalahan kekeringan mapun banjir. Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu Meter Kubik 0,000,000 RunOff Infiltrasi Debit_S_Cikapundung 00,000,000,990,000,00,00,00,00 Gambar VI.. Perilaku perubahan aliran runoff, infiltrasi dan debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang 9

9 Pada Gambar VI.7. diperlihatkan perilaku penurunan ketersediaan air di DAS Cikapundung Hulu yang terus menurun seiring berjalannya waku. Indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung dari DAS Cikapundung Hulu dalam gambar tersebut tidak berdimensi karena diturunkan dari rasio baseflow yang terjadi dibandingkan dengan baseflow awal (tahun 990), dan terlihat bahwa terjadi penurunan yang mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang pasokan air tanah dalam untuk Kawasan Cekungan Bandung akan terus berkurang. Dapat diasumsikan bahwa perilaku tersebut tidak hanya terjadi di DAS Cikapundung Hulu namun terjadi juga di DAS-DAS lain yang merupakan daerah tangkapan air (catchment area) untuk Kawasan Cekungan Bandung, sehingga akumulasi dari kondisi tersebut akan menimbulkan potensi permasalahan ketersediaan air yang cukup signifikan. Perilaku Indikasi Ketersediaan Air Dari DAS Cikapundung Hulu 0.98 Tanpa Satuan ,990,000,00,00,00,00 Gambar VI.7. Perilaku penurunan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung dari DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang Perilaku Kecukupan Aliran Debit Sungai Cikapundung Hulu Untuk Berbagai Kebutuhan (PLTA, PDAM dan Irigasi) Dalam Gambar VI.8. diperlihatkan perilaku penurunan debit Sungai Cikapundung pada (tiga) titik pengamatan, yaitu pada section yang merupakan titik sebelum dilakukan penyadapan air untuk keperluan air baku air minum PDAM pada intake 0

10 Dago Pakar dan penyadapan untuk alokasi kolam Dago (kolam penampungan harian untuk kebutuhan air baku PDAM intake Dago dan PLTA yaitu PLTA Bengkok dan PLTA Dago Pojok). Section merupakan titik setelah mendapatkan limpahan air dari PLTA namun sebelum dilakukan penyadapan air untuk air baku PDAM intake Gandok. Sedangkan section adalah titik setalah dilakukan penyadapan untuk PDAM Gandok namun sebelum mendapatkan suplesi dari Sungai Cikapayang. Pada ketiga titik pengamatan tersebut terlihat adanya penurunan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan dari tahun ke tahun yang sangat signifikan, sehingga pada akhir masa simulasi (tahun 00) diindikasikan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan tinggal setengah dari kapasitas yang ada saat ini. Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan (Pada Tiga Titik Penyadapan) 0,000,000 Meter Kubik 00,000,000 0,000,000 Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf,990,000,00,00,00,00 Gambar VI.8. Perilaku penurunan debit sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan Adapun dalam Gambar VI.9. diperlihatkan bahwa pada titik pengamatan (section ) sekitar tahun 00 akan terjadi kekurangan pasokan air untuk berbagai kebutuhan (terutama untuk PLTA, karena suplai air baku untuk PDAM diambil sebelum titik pengambilan untuk PLTA). Dengan kebutuhan air diasumsikan tetap (tidak ada penambahan kapasitas PLTA maupun PDAM dari sumber air baku Sungai Cikapundeng) dan terjadinya penurunan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanafaatkan dari tahun ke tahun maka pada tahun 00 Sungai

11 Cikapundung tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan air terutama untuk PLTA. Simulasi tersebut dilakukan dengan diskretisasi waktu satu tahunan, sehingga apabila diskretisasi waktu tersebut diperkecil, misalnya bulanan, maka akan semakin terlihat permasalahan kekurangan pasokan air baku tersebut untuk berbagai kebutuhan, karena pada saat bulan-bulan kering (tidak turun hujan) maka debit andalan Sungai Cikapundung hanya berasal dari baseflow yang sudah barang tentu kapasitasnya tidak akan mencukupi kebutuhan PDAM, PLTA dan irigasi. erilaku Tidak Tercukupinya Kebutuhan Air di Sungai Cikapundung (Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi) 00,000,000 0,000,000 Meter Kubik 00,000,000 Gambar.8. Perilaku Penurunan Indikasi Ketersediaan Air Untuk 0,000,000 00,000,000 0,000,000 Kawasan Cekungan Bandung dari DAS Cikapundung Hulu Dalam Jangka Panjang Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_diman Air_yg_Disalurkan 0,990,000,00,00,00,00 Gambar VI.9. Perilaku tidak tercukupinya kebutuhan air untuk keperluan air minum, PLTA dan irigasi di Sungai Cikapundung Pada Gambar VI.0. diperlihatkan indikasi kecukupan air Sungai Cikapundung untuk kebutuhan PDAM, PLTA dan irigasi. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa kebutuhan pasokan air baku untuk PDAM akan tercukupi karena pengambilan air tersebut dilakukan sebelum titik pengambilan air untuk PLTA (untuk intake Dago Pakar dan intake Dago) sedangkan untuk intake Gandok setelah Sungai Cikapundung tersebut mendapatkan suplesi dari limpahan PLTA. Untuk kebutuhan PLTA, mulai sektar tahun 0 akan terjadi kekurangan pasokan air baku penggerak turbin sebagai akibat dari menurunnya kapasitas debit air Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Demikian halnya dengan kebutuhan air untuk irigasi yang akan mengalami kekurangan. Namun demikian untuk kebutuhan irigasi perlu dikaji lebih jauh karena seiring berjalannya waktu

12 kebutuhan air irigasi juga akan menurun sebagai akibat dari menurunnya fungsi lahan pertanian di DAS tersebut. Indikasi Kecukupan Air Untuk Masing-Masing Kebutuhan di Sungai Cikapundung.0 Tanpa Dimensi 0. Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM 0.0,990,000,00,00,00,00 Gambar VI.0. Indikasi kecukupan debit air Sungai Cikapundung untuk kebutuhan PLTA, PDAM dan irigasi VI.. Skenario Kebijakan Pemulihan Ketersediaan Air di DAS Cikapundung Hulu Skenario kebijakan pemulihan ketersediaan air ditujukan untuk mengetahui bagaimana efek yang dimunculkan dengan adanya intervensi suatu kebijakan terhadap struktur pengelolaan DAS Cikapundung Hulu. Skenario dilakukan terhadap beberapa alternatif kebijakan yang akan ditempuh di dalam upaya pemulihan fungsi DAS Cikapundung Hulu guna memulihkan ketersediaan air, baik air tanah maupun aliran sungai yang dapat dimanfaatkan. Mengacu pada struktur model eksisting yang telah dikembangkan dalam Bab V, pengendalian perilaku penurunan koefisien infiltrasi DAS Cikapundung Hulu yang antara lain menyebabkan penurunan kapasitas air tanah dan air Sungai Cikapundung dapat dilakukan melalui intervensi kebijakan pada aspek alih fungsi lahan terutama lahan permukiman dan lahan hutan, aspek teknis peningkatan kapasitas infiltrasi serta aspek teknis penurunan kapasitas air yang terbuang.

13 Walaupun tidak secara langsung ditujukan untuk memulihkan kondisi air tanah, intervensi kebijakan pengendalian alih fungsi lahan menjadi lahan permukiman dan pengembalian fungsi lahan hutan dalam jangka panjang akan mempengaruhi kondisi ketersediaan air tanah terutama dari aspek pengisian (infiltrasi alamiah). Adapun upaya intervensi kebijakan terkait aspek teknis peningkatan kapasitas infiltrasi diharapkan akan mampu meningkatkan koefisien infiltrasi pada lahanlahan yang secara eksisting sudah terlanjur berubah fungsi menjadi daerah terbangun (kawasan permukiman). Upaya tersebut lebih berupa rekayasa teknik dan diharapkan akan cukup efektif dalam mengembalikan kapasitas infiltrasi pada kawasan-kawasan yang telah berkurang vegetasinya. Upaya intervensi kebijakan selanjutnya yaitu terkait aspek pengendalian aliran air (sungai) yang secara langsung dilakukan terhadap badan sungai tersebut sehingga dapat menurunkan kapasitas air yang seringkali terbuang (pada bulan basah) untuk dapat dimanfaatkan pada bulan kering (kemarau). Skenario kebijakan pemulihan ketersediaan air dalam penelitian ini lebih dititikberatkan pada rekayasa struktur submodel pemanfaatan lahan DAS, submodel hidrologi dan submodel ketersediaan air, mengingat pendekatan intervensi yang dilakukan dalam submodel-submodel tersebut akan memberikan perubahan langsung terhadap perilaku kondisi ketersediaan air, baik air tanah maupun air Sungai Cikapundung.. Kebijakan pertama (pembangunan rusunami) Dalam rekayasa struktur pemanfaatan lahan DAS, upaya pertama yang dapat dilakukan adalah dengan membangun sarana permukiman vertikal agar dapat menampung lebih banyak penduduk dalam lahan yang terbatas. Gagasan membangun rumah susun sederhana milik (rusunami) yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah melalaui kebijakan pembangunaan 000 tower merupakan alternatif intervensi kebijakan yang layak dipertimbangkan untuk diimplementasikan. Kebijakan tersebut merupakan bentuk intervensi terhadap struktur submodel pemanfaatan lahan DAS yang selama ini mendapat tekanan yang sangat hebat untuk memenuhi kebutuhan lahan permukiman. Dengan disediakannya unit-

14 unit rusunami diharapkan tekanan tersebut akan berkurang dan konversi lahan menjadi lahan permukiman pun akan berkurang, sehingga laju peningkatan koefisien runoff akan dapat diredam guna mencegah semakin merosotnya laju infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Dalam disain rusunami yang telah dilakukan oleh beberapa pengembang, rata-rata pada setiap unit tower rusunami memiliki 0 sampai dengan 0 lantai yang dapat menampung.000 sampai dengan.00 unit tempat tinggal. Dengan asumsi unit tempat tinggal diisi oleh keluarga yang terdiri dari orang maka masing-masing unit tower rusunami tersebut dapat menampung.000 hingga.000 penduduk. Kebijakan pembangunan (satu) tower rusunami setiap tahun diindikasikan akan mampu menahan laju tekanan kebutuhan lahan permukiman yang cukup signifikan.. Kebijakan kedua (pengembalian fungsi lahan hutan) Dalam rekayasa struktur pemanfaatan lahan DAS, upaya selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan laju infiltrasi air hujan ke dalam tanah melalui kebijakan pengembalian fungsi hutan sebagaimana SK Gubernur Jawa Barat No. 8./SK.-Bapp/98 tentang Pengamanan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara yang sebagian besar merupakan daerah tangkapan air (cathment area) untuk Kawasan Cekungan Bandung. Upaya pengembalian fungsi hutan ini di dalam struktur submodel diintervensikan pada upaya penghentian laju tebangan hutan baik untuk memenuhi kebutuhan lahan perkebunan maupun lahan ladang dan sawah. Selain itu upaya reboisasi yang telah ada di dalam struktur model mula-mula (skenario dasar) tetap dijaga dan dipertahankan. Implementasi penghentian laju tebangan hutan tersebut dapat diatur sesuai dengan beberapa variasi yang diantaranya adalah dengan penghentian laju tebangan sepanjang waktu yang artinya mulai kebijakan ini diimplementasikan tidak boleh ada lagi alih fungsi lahan hutan ke dalam bentuk apapun, dan dapat juga implementasi kebijakan tersebut hanya diterapkan selama jangka waktu tertentu (misalnya 0 tahun) untuk memulihkan kondisi lahan hutan yang selama ini telah terkonversi di luar aturan yang telah ditetapkan. Pendekatan kebijakan dalam pemanfaatan lahan ini dikembangkan dengan membangun interaksi antara unsur

15 pembentuk struktur yang telah ada dengan kebijakan yang diadopsi. Perilaku hasil penerapan kebijakan dalam pemanfaatan lahan ini akan ditentukan oleh variabel-variabel endogen dari struktur model. Implementasi alternatif kebijakan terhadap struktur submodel pemanfaatan lahan (skenario pertama dan kedua) diperlihatkan pada Gambar VI.. berikut: reboisasi + Perkebunan laju tebangan pembangunan rusunami + Sawah dan Ladang pertumbuhan penduduk etate tebangan Permukiman + Hutan Gambar VI.. Intervensi kebijakan pembangunan rusunami dan pengembalian fungsi hutan. Pada gambar di atas untuk yang berwarna hitam merupakan skenario dasar, sedangkan yang berwarna merah merupakan intervensi kebijakan pembangunan rusunami (skenario pertama) dan yang diberi arsir warna biru menunjukkan bahwa komponen tersebut tidak aktif untuk jangka waktu tertentu (skenario kedua).. Kebijakan ketiga (pembuatan lubang resapan biopori) Upaya intervensi kebijakan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah intervensi kebijakan pada struktur submodel hidrologi, yaitu dengan membuat lubang resapan biopori pada kawasan permukiman. Dengan adanya lubang resapan biopori tersebut maka dapat dikatakan bahwa secara langsung telah dilakukan penambahan bidang resapan air, setidaknya sebesar luas

16 kolom/dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter 0 cm dan kedalaman 00 cm maka luas bidang resapan akan bertambah sebanyak.0 cm atau hampir / m. Dengan kata lain suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 0 cm, yang semula mempunyai bidang resapan 78. cm setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 00 cm, luas bidang resapannya menjadi.8 cm. Selain itu dengan adanya aktivitas fauna tanah pada lubang resapan yang telah diisi dengan sampah organik maka biopori akan terbentuk dan senantiasa terpelihara keberadaannya. Bidang resapan tersebut akan selalu terjaga kemampuannya dalam meresapkan air, dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan kemampuan lahan dalam meresapkan air. Implementasi alternatif kebijakan terhadap struktur submodel hidrologi (skenario ketiga) diperlihatkan pada Gambar VI.. berikut: Pembuatan lubang resapan biopari populasi penduduk lahan terbangun + + ketersediaan air tanah - + koefisien runoff iinfiltrasi + + air permukaan + + baseflow Gambar VI.. Intervensi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori (LRB). Pada gambar di atas untuk yang berwarna hitam merupakan skenario dasar, sedangkan yang berwarna merah merupakan intervensi kebijakan pembangunan LRB. (skenario ketiga). Di dalam kebijakan tersebut direncanakan untuk dibuat lubang resapan biopori (LRB) pada seluruh lahan terbuka pada kawasan permukiman (termasuk fasilitas umum) dengan jumlah lubang yang perlu dibuat dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: 7

17 Jumlah LRB = / L P A L / Sehingga dengan intensitas hujan 0 mm/jam (hujan lebat), asumsi luas bidang kedap adalah 70% dari total luas lahan permukiman dan laju peresapan adalah sebesar liter/menit (80 liter/jam), maka perlu dibuat kurang lebih 9 LRB pada setiap 00 meter lahan permukiman. Dengan kondisi tersebut maka diasumsikan akan mampu menurunkan koefisien runoff dari 0,7 menjadi 0,. Di dalam struktur model, intervensi kebijakan tersebut dilakukan terhadap komponen frasksi koefisien limpasan (runoff) pada lahan permukiman (Fr_C_Permukiman) sebagaimana dapat dilihat di dalam Gambar V.9 terdahulu. Implementasi kebijakan tersebut akan merubah variabel koefisien runoff pada struktur model dari semula sebesar 0,7 menjadi 0, (setelah implementasi kebijakan) yang berarti telah menambah paling tidak 0% kapasitas infiltrasi lebih banyak.. Kebijakan keempat (pembangunan bendung) Upaya intervensi kebijakan terakhir yang dapat dilakukan adalah intervensi kebijakan pada struktur submodel ketersediaan air, yaitu dengan membangun bendung pada badan sungai dengan lokasi sebelum dilakukan penyadapan oleh PDAM Dago Pakar (daerah Bantar Awi). Dengan adanya bendung tersebut diharapkan akan dapat menampung kelebihan debit air sungai pada waktu musim hujan (akibat runoff yang berlebihan), untuk kemudian mendistribusikannya pada bulan-bulan kering (musim kemarau). Dalam membangun suatu bendung diperlukan perencanaan yang baik mulai dari studi kelayakan (feasibility study), analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), detail disain hingga akhirnya dilakukan tahap konstruksi bendung dan tahap pengisian/penggenangan bendung. Namun demikian, tahap yang paling penting dalam perencanaan bendung tersebut adalah tahap penentuan volume reservoir bendung. Niken dan Arwin (008) telah menghitung volume reservoir bendung tersebut menggunakan metode Ripple dengan debit bulanan minimum periode ulang 0 tahun dan 0 tahun serta debit rata-rata 8

18 dari debit input. Berdasarkan perhitungan tersebut diperlukan volume waduk kurang lebih sebesar 8, juta m.. Gambar VI. Lokasi rencana pembangunan waduk rencana di Bantar Awi (Niken dan Arwin, 008) Di dalam struktur model, intervensi kebijakan tersebut dilakukan terhadap komponen frasksi air terbuang sebagaimana dapat dilihat di dalam Gambar V. terdahulu. Implementasi kebijakan tersebut akan merubah variabel fraksi air terbuang pada struktur model dari semula sebesar 0, menjadi hanya sebesar 0,0 (setelah implementasi kebijakan) yang berarti telah mengurangi terbuangnya potensi debit air sebesar 0% dari total debit sungai atau sebesar 80% dari total air terbuang mula-mula. VI.. Simulasi dan Analisis Implementasi Kebijakan Pemulihan Ketersediaan Air di DAS Cikapundung Hulu Berkaitan dengan mekanisme kebijakan pemulihan ketersediaan air di DAS Cikapundung Hulu, ada beberapa alternatif skema kebijakan yang dapat ditempuh sebagai berikut : Skenario : Adopsi kebijakan pembangunan rusunami Skema kebijakan ini menginternalisasikan parameter pengali kebijakan lahan permukiman (sebesar 0,) yang merupakan asumsi tertampungnya 0% pertambahan penduduk DAS (netgrowth) ke dalam program rusunami. Adopsi 9

19 kebijakan alternatif ke dalam struktur sistem ini diharapkan akan mengurangi tekanan permintaan lahan permukiman karena telah tertampungnya 0% pertambahan penduduk tersebut, seperti terlihat dalam Gambar VI.. Ha Pengaruh Kebijakan Pembangunan Rusunami Pemanfaatan Lahan 9,000 8,000 7,000,000,000 7, , , , ,990,000,00,00,00, Hutan Hutan Perkebunan Perkebunan Ladang_dan_Sawah Ladang_dan_Sawah Permukiman Permukiman Meter Kubik Pengaruh Pembangunan Rusunami Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu 00,000,000 0,000,000 00,000,000,990,000,00,00,00,00 RunOff RunOff Infiltrasi Infiltrasi Debit_S_Cikapundung Debit_S_Cikapundung (a) (b) Tanpa Satuan Pengaruh Pembangunan Rusunami Perilaku Indikasi Ketersediaan Air Dari DAS Cikapundung Hulu ,990,000,00,00,00,00 (c) Pengaruh Pembangunan Rusunami Perilaku Tidak Tercukupinya Kebutuhan Air di Sungai Cikapundung (Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi) Meter Kubik Pengaruh Pembangunan Rusunami Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan 0,000,000 00,000,000 0,000,000,990,000,00,00,00,00 (d) Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf Pengaruh Pembangunan Rusunami Indikasi Kecukupan Air Untuk Masing-Masing Kebutuhan di Sungai Cikapundung Meter Kubik 0,000,000 00,000,000 Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section yg_dpt_dimanf Air_yg_Disalurkan Air_yg_Disalurkan Tanpa Dimensi Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM,990,000,00,00,00,00 (e) 0.,990,000,00,00,00,00 (f) Pengaruh Pembangunan Rusunami Perilaku Pertumbuhan PDRB Pengaruh Pembangunan Rusunami Perilaku Pertumbuhan Kapitalisasi Industri serta Jasa dan Perdagangan,000,000 00,000,00,000 Milyar Rupiah 00,000 00,000 0,990,000,00,00,00,00 PDRB_industri PDRB_industri PDRB_JP PDRB_JP PDRB_Total PDRB_Total Milyar Rupiah,000,000 00,000 0,990,000,00,00,00,00 Kapital_Industri Kapital_Industri Kapital_JP Kapital_JP (g) (h) 0

20 Juta Jiwa Pengaruh Pembangunan Rusunami Perilaku Model Penduduk Cekungan Bandung ,990,000,00,00,00,00 (i) Pengaruh Pembangunan Rusunami Perilaku Pertumbuhan Penduduk DAS Cikapundung Hulu Juta Jiwa ,990,000,00,00,00,00 (j) Keterangan :,,,7 : Skenario dasar,,,8 : Skenarion setelah implementasi kebijakan Gambar V.. Pengaruh implementasi kebijakan pembangunan rusunami terhadap perilaku : (a) pemanfaatan lahan DAS Cikapundung Hulu, (b) runoff, infiltrasi dan debit sungai, (c) indikasi ketersediaan air, (d) penurunan debit sungai yang dapat dimanfaatkan, (e) tidak tercukupinya kebutuhan air, (f) indikasi kecukupan air untuk berbagai kebutuhan, (g) pertumbuhan PDRB, (h) pertumbuhan kapitalisasi industri, jasa dan perdagangan, (i) populasi penduduk CekunganBandung, (j) populasi penduduk DAS Cikapundung Hulu. Dengan mengimplementasikan kebijakan pembangunan rusunami untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk di DAS tersebut mempengaruhi berbagai perilaku variabel-variabel di dalam model, sebagai berikut: Tabel VI.. Analisisi simulasi model sebagai efek kebijakan pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) Skenario Kebijakan. Pembangunan Rusunami (apartemen sederhana) (Skenario ) Pemanfaatan lahan (gambar a). Lahan Hutan (garis dan ) Lahan hutan mengalami sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat dari hasil simulasi pada awalnya keduanya masih berimpit dan baru pada tahun 08 terjadi sedikit peningkatan lahan hutan sebagai efek diimplementasikannya kebijakan. Namun demikian secara keseluruhan luas lahan hutan akan terus berkurang seiring berjalannya waktu. Hal ini karena tidak adanya hubungan secara langsung antara lahan hutan dan lahan

21 permukiman. Alih fungsi lahan hutan lebih kepada pemenuhan kebutuhan untuk lahan pertanian (ladang dan sawah) serta lahan perkebunan, sedangkan kebutuhan lahan permukiman dipenuhi dari alih fungsi lahan pertanian (ladang dan sawah). Namun demikian karena tekanan kebutuhan permukiman terhadap lahan ladang dan sawah berkurang maka tekanan alih fungsi lahan hutan untuk menjadi lahan ladang dan sawah pun berkurang. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga pertumbuhan lahan permukiman yang diinginkan mampu diturunkan.. Lahan Perkebunan (garis dan ) Lahan perkebunan, seperti halnya lahan hutan, mengalami sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat dari hasil simulasi pada awalnya keduanya masih berimpit dan baru pada tahun 00 terjadi sedikit peningkatan lahan perkebunan sebagai efek diimplementasikannya kebijakan. Secara keselu-ruhan luas lahan perkebunan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Hal ini juga diakibatkan karena tidak adanya keterkaitan langsung antara lahan perkebunan dengan kebutuhan lahan permukiman. Namun demikian karena tekanan alih fungsi lahan ladang dan sawah menjadi lahan permukiman berkurang maka terjadi kelonggaran untuk alih fungsi lahan ladang dan sawah menjadi lahan perkebunan, sehingga lahan perkebunan cenderung meningkat.. Lahan Sawah dan Ladang (garis dan ) Lahan sawah dan ladang mengalami peningkatan cukup besar bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 0) telah terjadi peningkatan lahan sawah dan ladang sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan. Namun demikian, secara

22 keseluruhan luas lahan sawah dan ladang masih akan tetap mengalami penurunan seiring berjalannya waktu. Perilaku tersebut muncul karena adanya keterkaitan langsung antara lahan ladang dan sawah dengan lahan permukiman. Alih fungsi lahan ladang dan sawah sebagian besar akibat tekanan laju permintaan/kebutuhan lahan permukiman. Dengan berkurangnya tekanan tersebut (akibat terpenuhinya sebagian kebutuhan permukiman oleh rusunami) maka meskipun masih tetap terjadi alih fungsi lahan ladang dan sawah namun penurunan luas lahan ladang dan sawah tersebut tidak lagi setajam sebelum diimplementasikannya kebijakan pembangunan rusunami. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga laju konversi lahan ladang dan sawah menjadi lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan.. Lahan Permukiman (garis 7 dan 8) Pengaruh paling besar atas implementasi kebijakan terjadi pada lahan permukiman, dimana terjadi penurunan kebutuhan lahan permukian yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 0) telah terjadi penurunan lahan permukiman sebagai efek dari diimplemen-tasikannya kebijakan. Namun demikian, secara keseluruhan luas lahan permukiman tersebut masih akan tetap meningkat seiring berjalannya waktu. Pengaruh implementasi kebijakan langsung dirasakan dengan menurunnya penggunaan lahan untuk lahan permukiman (karena sebagian penduduk menempati rusunami yang merupakan hunian vertikal sehingga mampu menampung penduduk dengan kepadatan per luas lahan sangat tinggi). Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka

23 Runoff, infiltrasi dan debit sungai, (gambar b) pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Runoff (garis dan ) Terjadi penurunan sedikit pada aliran runoff setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 0) telah terjadi penurunan aliran runoff sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga perlahan-lahan aliran runoff mulai stabil (cenderung konstan) dan tidak lagi terus meningkat seperti pada skenario dasar. Perilaku ini terjadi karena alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman) berkurang, sehingga koefisien runoff DAS meskipun masih meningkat (karena alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun masih tetap terjadi) namun sudah banyak berkurang dengan terpenuhinya kebutuhan permukiman oleh rusunami. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan.. Infiltrasi (garis dan ) Terjadi peningkatan sedikit pada aliran infiltrasi setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 0) telah terjadi penurunan aliran infiltrasi sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga

24 mes-kipun tetap terjadi penurunan aliran infiltrasi namun sudah tidak terlalu tajam seperti pada skenario dasar. Dengan berkurangnya peningkatan laju aliran runoff maka aliran infiltrasi akan meningkat. Aliran infiltrasi tersebut sebagian akan mengalir sebagai baseflow dan sebagian lagi akan menjadi aliran air tanah dalam untuk mengisi cadangan air tanah di Cekungan Bandung. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan dan sebaliknya laju infiltrasi pun tidak lagi semakin turun tajam. Debit Sungai Cikapundung (garis dan ) Seperti halnya aliran runoff, terjadi penurunan sedikit pada debit Sungai Cikapundung setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 0) telah terjadi penurunan debit sungai sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga perlahan-lahan debit sungai mulai stabil (cenderung konstan) dan tidak lagi terus meningkat seperti pada skenario dasar. Perilaku penurunan debit aliran sungai ini terjadi karena debit aliran sungai berasal dari sumber yaitu baseflow dan runoff. Dengan menurunnya aliran runoff (meskipun baseflow juga akan meningkat dengan meningkatnya aliran infiltrasi) namun karena peenurunan runoff masih lebih besar dari pada peningkatan baseflow) maka secara keseluruhan akumulasi debit sungai selama setahun mengalami penurunan. Apabila ditinjau secara sekilas, penurunan tersebut terkesan berdampak kurang baik bagi ketersediaan air, namun sebenarnya banyak aspek positif yang

25 terjadi dari perilaku penurunan debit sungai tersebut. Di dalam model ini diskretisasi waktu adalah tahunan ( tahun) sehingga sensitifitas hasil simulasi masih mampu melihat perubahan perilaku tersebut dalam bulanan. Mengingat di bahwa di dalam tahun terjadi musim yaitu musim hujan dan musim kemarau maka untuk analisis hidrologi akan lebih baik apabila mempertimbangkan kondisi tersebut, dimana pada musim hujan akan terjadi debit ekstrim basah sedangkan di musim kemarau akan terjadi debit ekstrim kering. Kondisi hidrologi yang buruk (kritis) adalah apabila gap antara debit ekstrim basah dan debit ekstrim kering tersebut sangat tinggi yang menandakan bahwa dalam sistem tersebut aliran runoff sangat besar sedangkan baseflow sangat rendah, yang berakibat terjadinya kekurangan air pada musim kemarau dan potensi banjir pada musim hujan. Di dalam implementasi kebijakan ini terlihat bahwa terjadi upaya perbaikan atas kondisi tersebut, dimana aliran runoff diupayakan untuk ditekan agar tidak terus meningkat dan sebaliknya akan ditinghkatkan aliran infiltrasi dan sekaligus baseflow guna memperbaiki kualitas kondisi hidrologi. Implementasi kebijakan pembangunan rusunami dinilai cukup baik untuk mendukung upaya tersebut karena akan ikut menekan semakin meningkatnya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman) yang dapat berakibat meningkatnya koefisien runoff. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga debit Sungai Cikapundung pun ikut berkurang.

26 Indikasi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu Gambar (c) Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan Gambar (d) Terjadi sedikit perbaikan atas potensi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu untuk mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. Di dalam simulasi tersebut terlihat bahwa perlahan-lahan terjadi perbaikan atas semakin menurunnya potensi ketersediaan air tersebut. Perbaikan tersebut mulai terlihat pada tahun 00 dimana penurunan potensi ketersediaan air tersebut tidak serendah penurunan pada skenario dasar. Perilaku tersebut terjadi karena meningkatnya laju aliran infiltrasi yang sebagian akan mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan dan sebaliknya laju infiltrasi pun tidak lagi semakin turun tajam sehingga potensi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu untuk kebutuhan di Kawasan Cekungan Bandung tidak lagi semakin berkurang dengan tajam.. Section (garis dan ) Dengan implemantasi kebijakan pembangunan rusunami maka penurunan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan mampu dihambat secara signifikan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pembangunan rusunami debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan pada section yang semula mengalami penurunan sangat tajam (pada skenario dasar) dapat diredam. Perilaku tersebut dimunculkan karena pembangunan rusunami mampu menahan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman), sehingga laju pertambahan koefisien runoff dapat dihambat dan 7

27 sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/ mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan.. Section (garis dan ) Seperti halnya pada section, implemantasi kebijakan pembangunan rusunami akan mampu menghambat laju penurunan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pembangunan rusunami debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan pada section yang semula mengalami penurunan cukup tajam (pada skenario dasar) dapat diredam. Perilaku tersebut dimunculkan karena laju pertambahan koefisien runoff dapat dihambat dan sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/ mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan.. Section (garis dan ) Demikian pula dengan efek kebijakan tersebut pada pemanfaatan air sungai yang dapat dimanfaatkan pada section. Dengan implementasi kebijakan pembangunan rusunami maka penurunan debit Sungai Cikapundung pada section tersebut dapat dihambat. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pembangunan rusunami maka debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan pada section yang semula mengalami penurunan sangat tajam (pada skenario dasar) dapat diredam. Perilaku 8

28 Kecukupan penyediaan air Sungai Cikapundung di section. Gambar (e) tersebut dimunculkan karena pembangunan rusunami mampu menahan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman), sehingga laju pertam-bahan koefisien runoff dapat dihambat dan sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga di dalam struktur model ketersediaan air dapat dilihat bahwa semakin berkurangnya laju runoff dan meningkatnya infiltrasi maupun baseflow akan berpengaruh terhadap meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Pada section tersebut terlihat bahwa dalam skenario dasar (garis ) akan terjadi kekurangan pasokan air sekitar tahun 0, namun dengan diimplementasikannya kebijakan pembangunan rusunami yang mampu meredam laju penurunan debit air yang dapat dimanfaatkan, maka kondisi kekurangan pasokan air tersebut dapat sedikit ditunda mesikipun tidak signifikan yaitu hingga tahun 0 (garis ). Dengan demikian masalah kekurangan pasokan air untuk berbabagai kebutuhan di section masih tetap terjadi (garis dan menunjukka kebutuhan pasokan air di section ). 9

29 Indikasi kecukupan air untuk masing masing kebutuhan Gambar (f) Untuk pasokan air untuk kebutuhan di section dan dapat tercukupi karena adanya suplesi dari air yang telah digunakan oleh PLTA (limpahan) yang dapat digunakan kembali sebagai air baku untuk keperlulan lain.. Indikasi kecukupan produksi listrik (garis dan ) Pada skenario dasar kebutuhan air untuk produksi listrik masih dapat terpenuhi sampai dengan tahun 0, namun setelah itu kecukupan air untuk produksi listrik menurun drastis. Setelah implementasi kebijakan pembangunan rusunami yang mampu menahan laju tekanan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun akan dapat menahan laju penurunan ketersediaan air di Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Di dalam simulasi terlihat bahwa dengan implementasi kebijakan tersebut maka kekurangan pasokan air untuk produksi listrik baru terjadi pada tahun 07. Meskipun demikian kebijakan tersebut belum sepenuhnya mampu menanggulangi ancaman kekurangan pasokan air untuk produksi listrik, apalagi kalau pasokan tersebut dilihat dalam diskretisasi waktu yang lebih kecil dari tahun (bulanan atau harian). Indikasi kecukupan kebutuhan irigasi (garis dan ) Demikian halnya untuk pemenuhan kebutuhan irigasi, pada skenario dasar kebutuhan air untuk irigasi masih dapat terpenuhi sampai dengan tahun 0, namun setelah itu kecukupan air untuk irigasi tersebut menurun drastis, bahkan penurunan lebih tajam dibandingkan dengan penurunan kecukupan air untuk produksi listrik. Setelah implementasi kebijakan pembangunan rusunami yang mampu menahan tekanan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun, laju penurunan ketersediaan air di Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaat-kan dapat ditekan. Di dalam simulasi terlihat bahwa dengan implementasi kebijakan tersebut maka kekurangan pasokan air untuk kebutuhan irigasi baru terjadi pada tahun 0. Meskipun demikian kebijakan tersebut belum sepenuhnya mampu menanggulangi ancaman kekurangan pasokan air untuk kebutuhan irigasi. 0

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Genangan merupakan dampak dari ketidakmampuan saluran drainase menampung limpasan hujan. Tingginya limpasan hujan sangat dipengaruhi oleh jenis tutupan lahan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

Simulasi Dan Analisis Kebijakan

Simulasi Dan Analisis Kebijakan Bab VI. Simulasi Dan Analisis Kebijakan Dalam bab ini akan dipaparkan skenario-skenario serta analisis terhadap perilaku model dalam skenario-skenario. Model yang disimulasi dengan skenario-skenario terpilih

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bekasi, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di sebelah timur Jakarta. Batas administratif Kota bekasi yaitu: sebelah barat adalah Jakarta, Kabupaten

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

, Kota Bandung Dalam Angka Tahuhn , Biro Pusat Statistik Kota Bandung , Kabupaten Bandung Dalam

, Kota Bandung Dalam Angka Tahuhn , Biro Pusat Statistik Kota Bandung , Kabupaten Bandung Dalam DAFTAR PUSTAKA 1. Asdak, Chay, 2004, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 2. Fetter, C.W., 1991, Applied Hydrology, Second Edition, Merrill Publishing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar bagi pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan perkembangan teknologi saat ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan permukiman sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusunya di kawasan perumahan Pondok Arum, meskipun berbagai upaya

BAB I PENDAHULUAN. khusunya di kawasan perumahan Pondok Arum, meskipun berbagai upaya BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kota Tanggerang setiap tahunnya mengalami permasalahan bencana banjir, khusunya di kawasan perumahan Pondok Arum, meskipun berbagai upaya penanganan telah dilakukan.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir dan genangan air dapat mengganggu aktifitas suatu kawasan, sehingga mengurangi tingkat kenyamaan penghuninya. Dalam kondisi yang lebih parah, banjir dan genangan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN Spectra Nomor 11 Volume VI Januari 008: 8-1 KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN Ibnu Hidayat P.J. Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN Malang ABSTRAKSI Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk Saguling merupakan waduk yang di terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian 643 m diatas permukaan laut. Saguling sendiri dibangun pada agustus 1981

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daur hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut, air tersebut akan tertahan (sementara)

Lebih terperinci

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini Abstract Key words PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU)

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) 1 Pendahuluan Sungai adalah salah satu sumber daya alam yang banyak dijumpai

Lebih terperinci

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) Artikel OPINI Harian Joglosemar 1 MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) ŀ Turunnya hujan di beberapa daerah yang mengalami kekeringan hari-hari ini membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sub DAS Cikapundung berada di bagian hulu Sungai Citarum dan merupakan salah satu daerah yang memberikan suplai air ke Sungai Citarum, yang meliputi Kab. Bandung Barat,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim menyebabkan musim hujan yang makin pendek dengan intensitas hujan tinggi, sementara musim kemarau makin memanjang. Kondisi ini diperparah oleh perubahan penggunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dan beberapa temuan studi dari analisis yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya yaitu dampak perubahan penggunaan lahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Pada umumnya ketersediaan air terpenuhi dari hujan. Hujan merupakan hasil dari proses penguapan. Proses-proses yang terjadi pada peralihan uap air dari laut ke

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA Disampaikan dalam Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Dosen: PELATIHAN DAN SOSIALISASI PEMBUATAN

Lebih terperinci

Bab V Pengembangan Model

Bab V Pengembangan Model Bab V Pengembangan Model V.1 Batasan Model Dari pemaparan permasalahan yang telah disajikan dalam bab sebelumnya, dapat disarikan bahwa menurunnya kondisi ketersediaan airtanah di wilayah Cekungan Airtanah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya tujuan dari dibangunnya suatu waduk atau bendungan adalah untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR Oleh: EVA SHOKHIFATUN NISA L2D 304 153 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Disampaikan pada PELATIHAN PENGELOLAAN DAS (25 November 2013) KERJASAMA : FORUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan manusia, air tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik saja, yaitu digunakan untuk

Lebih terperinci

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN Novitasari,ST.,MT. TIU & TIK TIU Memberikan pengetahuan mengenai berbagai metode dalam penanganan drainase, dan mampu menerapkannya dalam perencanaan drainase kota:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat air bagi kehidupan kita antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna Wonogiri merupakan satu - satunya bendungan besar di sungai utama Bengawan Solo yang merupakan sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG (Studi Kasus: Kelurahan Mangunharjo dan Kelurahan Mangkang Wetan) T U G A S A K H I R Oleh : LYSA DEWI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah satu bagian dari

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah banjir dan kekeringan merupakan masalah-masalah nasional yang akhir-akhir ini terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia. Kedua masalah tadi saling

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Analisis Kajian

Bab III Metodologi Analisis Kajian Bab III Metodologi Analisis Kajian III.. Analisis Penelusuran Banjir (Flood Routing) III.. Umum Dalam kehidupan, banjir adalah merupakan musibah yang cukup sering menelan kerugian materi dan jiwa. Untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pembangunan Waduk Sadawarna adalah untuk memenuhi kebutuhan air dari berbagai macam keperluan di Kabupaten Subang, Sumedang, dan Indramayu yang mempunyai jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya alam yang sangat besar terutama potensi sumber daya air. Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. daya alam yang sangat besar terutama potensi sumber daya air. Pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Lampung memiliki kedudukan yang strategis dalam pembangunan nasional. Di samping letaknya yang strategis karena merupakan pintu gerbang selatan Sumatera,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas batas topografi secara alami sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi disaat musim penghujan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika pembangunan yang berjalan pesat memberikan dampak tersendiri bagi kelestarian lingkungan hidup Indonesia, khususnya keanekaragaman hayati, luasan hutan dan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air adalah salah satu sumber daya alam yang tersedia di bumi. Air memiliki banyak fungsi dalam kelangsungan makhluk hidup yang harus dijaga kelestariannya dan

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum Air adalah unsur yang sangat penting dalam kehidupan di dunia ini. Distribusi air secara alamiah, dipandang dari aspek ruang dan waktu adalah tidak ideal. Sebagai contoh,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Air merupakan unsur yang sangat penting di bumi dan dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Air merupakan unsur yang sangat penting di bumi dan dibutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Air merupakan unsur yang sangat penting di bumi dan dibutuhkan oleh semua benda hidup serta merupakan energi yang mempertahankan permukaan bumi secara konstan.

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN. VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan

BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN. VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan Berdasarkan hasil analisis kebijakan yang telah dipaparkan pada Bab VI, maka pada Bab ini dilakukan pembahasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi 2 TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi Infiltrasi didefinisikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Umumnya, infiltrasi yang dimaksud adalah infiltrasi vertikal, yaitu gerakan ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cahaya matahari secara tetap setiap tahunnya hanya memiliki dua tipe musim

BAB I PENDAHULUAN. cahaya matahari secara tetap setiap tahunnya hanya memiliki dua tipe musim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa yang mendapat cahaya matahari secara tetap setiap tahunnya hanya memiliki dua tipe musim yaitu musim penghujan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN

SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN Oleh: Rachmat Mulyana P 062030031 E-mail : rachmatm2003@yahoo.com Abstrak Banjir dan menurunnya permukaan air tanah banyak

Lebih terperinci

PENENTUAN LOKASI DAN JUMLAH LUBANG RESAPAN BIOPORI DI KAWASAN DAS CIKAPUNDUNG BAGIAN TENGAH

PENENTUAN LOKASI DAN JUMLAH LUBANG RESAPAN BIOPORI DI KAWASAN DAS CIKAPUNDUNG BAGIAN TENGAH PENENTUAN LOKASI DAN JUMLAH LUBANG RESAPAN BIOPORI DI KAWASAN DAS CIKAPUNDUNG BAGIAN TENGAH Oleh : 1 Ria Sarah Sanitya, 2 Hani Burhanudin 1 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang. bertingkat atau permukiman, pertanian ataupun industri.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang. bertingkat atau permukiman, pertanian ataupun industri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan di berbagai sektor. Seperti yang diketahui selama ini, pembangunan memberikan banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1) Pertambahan jumlah penduduk yang makin tinggi. 2) Perkembangan yang cukup pesat di sektor jasa dan industri

BAB I PENDAHULUAN. 1) Pertambahan jumlah penduduk yang makin tinggi. 2) Perkembangan yang cukup pesat di sektor jasa dan industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangkit Listrik Tenaga Air merupakan sumber listrik bagi masyarakat yang memberikan banyak keuntungan terutama bagi masyarakat pedalaman di seluruh Indonesia. Disaat

Lebih terperinci

DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN. Sub Kompetensi

DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN. Sub Kompetensi DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN Sub Kompetensi Mengerti komponen-komponen dasar drainase, meliputi : Pengantar drainase perkotaan Konsep dasar drainase Klasifikasi sistem drainase Sistem drainase

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum Semua makhluk hidup di dunia ini pasti membutuhkan air untuk hidup baik hewan, tumbuhan dan manusia. Begitu besar peran air dalam kehidupan membuat air termasuk kebutuhan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Waduk Muara Nusa Dua, Pola Operasi, Debit Andalan, Kebutuhan air baku, Simulasi

ABSTRAK. Kata kunci: Waduk Muara Nusa Dua, Pola Operasi, Debit Andalan, Kebutuhan air baku, Simulasi ABSTRAK Waduk Muara Nusa Dua yang terletak di muara Sungai/Tukad Badung, tepatnya di Jembatan by Pass Ngurah Rai, Suwung, Denpasar, dibangun untuk menyediakan air baku guna memenuhi kebutuhan air bersih.

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah kepulauan terbesar didunia. Indonesia memiliki dua musim dalam setahunnya, yaitu musim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Dieng merupakan salah satu kawasan penting dalam menyangga keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500 sampai dengan 2093

Lebih terperinci

OTONOMI DAERAH. Terjadi proses desentralisasi

OTONOMI DAERAH. Terjadi proses desentralisasi OTONOMI DAERAH Otda di Indonesia dimulai tahun 1999 yaitu dengan disyahkannya UU No.22 thn 1999 ttg Pemerintah Daerah yang kemudian disempurnakan dengan UU No.32 thn 2004. Terjadi proses desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air permukaan (water surface) sangat potensial untuk kepentingan kehidupan. Potensi sumber daya air sangat tergantung/berhubungan erat dengan kebutuhan, misalnya untuk

Lebih terperinci

DINAS PENGAIRAN Kabupaten Malang Latar Belakang

DINAS PENGAIRAN Kabupaten Malang Latar Belakang 1.1. Latar Belakang yang terletak sekitar 120 km sebelah selatan Kota Surabaya merupakan dataran alluvial Kali Brantas. Penduduk di Kabupaten ini berjumlah sekitar 1.101.853 juta jiwa pada tahun 2001 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat mendasar. Air diperlukan untuk menunjang berbagai kegiatan manusia sehari-hari mulai dari minum, memasak,

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Latar Belakang

ABSTRAK PENDAHULUAN. Latar Belakang PENGARUH SUMUR RESAPAN TERHADAP SISTEM HIDROLOGI DAN APLIKASINYA TERHADAP PEMUKIMAN DI JAKARTA BARAT Syampadzi Nurroh, R Rodlyan Ghufrona, dan Ana Dairiana Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor ABSTRAK

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

PERENCANAAN BENDUNGAN PAMUTIH KECAMATAN KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN BAB I PENDAHULUAN

PERENCANAAN BENDUNGAN PAMUTIH KECAMATAN KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. TINJAUAN UMUM Air merupakan salah satu unsur utama untuk kelangsungan hidup manusia, disamping itu air juga mempunyai arti penting dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengembangan perumahan di perkotaan yang demikian pesatnya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengembangan perumahan di perkotaan yang demikian pesatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan perumahan di perkotaan yang demikian pesatnya, mengakibatkan makin berkurangnya daerah resapan air hujan, karena meningkatnya luas daerah yang ditutupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

TUJUAN PEKERJAAN DRAINASE

TUJUAN PEKERJAAN DRAINASE DRAINASE PERKOTAAN TUJUAN PEKERJAAN DRAINASE Sistem drainase perkotaan : adalah prasarana perkotaan yang terdiri dari kumpulan sistem saluran, yang berfungsi mengeringkan lahan dari banjir / genangan akibat

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat di berbagai bidang, baik sektor pendidikan, ekonomi, budaya, dan pariwisata. Hal tersebut tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk, terutama manusia. Dua pertiga wilayah bumi terdiri dari lautan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum Pada dasarnya jumlah volume air adalah tetap, namun distribusinya tidak sama sehingga ketersediaan air tidak seimbang menurut lokasi dan musim. Ketersediaan air di musim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Peil Banjir Peil Banjir adalah acuan ketinggian tanah untuk pembangunan perumahan/ pemukiman yang umumnya di daerah pedataran dan dipakai sebagai pedoman pembuatan jaringan drainase

Lebih terperinci

KURANGNYA DAERAH RESAPAN AIR DI KAWASAN BANDUNG UTARA

KURANGNYA DAERAH RESAPAN AIR DI KAWASAN BANDUNG UTARA KURANGNYA DAERAH RESAPAN AIR DI KAWASAN BANDUNG UTARA Tineke Andriani 10040015161 Rizka Rahma Zahira 10040015162 Prasetyo Raharjo 10040015163 M. Rafil Hasan 10040015164 Claudhea Fauzia 10040015165 Fakultas

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.3

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.3 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.3 1. Untuk menambah air tanah, usaha yang perlu dilakukan adalah... membuat sumur resapan penggalian sungai-sungai purba tidak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang terjadinya, pergerakan dan distribusi air di bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi, tentang sifat fisik,

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci