LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS GADJAH MADA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS GADJAH MADA"

Transkripsi

1 DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM SATUAN KERJA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS GADJAH MADA Kantor Pusat UGM Lantai III Sayap barat, Bulaksumur, Yogyakarta Telepon : (0274) , , , Fax (0274) lppm@ugm.ac.id Home Page: http//

2 KATA PENGANTAR Tahun 2007 pemerintah melaksanakan program pengentasan kemiskinan yang diberi nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). PNPM didesain sebagai program untuk mensinergikan berbagai program pemberdayaan masyarakat, yang diawali dengan menciptakan sinergi P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) dengan PPK (Program Pengembangan Kecamatan). Dalam perkembangannya, program PNPM ini ternyata juga masih menemui berbagai hambatan baik pada level manajemen program, maupun pada level masyarakat sasaran sendiri.berkaitan dengan hal tersebut Studi ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi atas program PNPM perkotaan khususnya kegiatan sosial yang menjadi salah satu dari tridaya dalam program PNPM Perkotaan ini. Studi atas kegiatan sosial ini diharapkan menjadi modal bagi upaya perbaikan rancangan program PNPM perkotaan di masa yang akan datang. Dalam tataran implementasi, terlihat bahwa masih banyak kelemahan terkait dengan kegiatan sosial. Masih banyak kegiatan sosial yang bersifat karitatif, dan kurang berorientasi pada keberlanjutan program. Demikian juga dalam pelaksanaanya, manajemen program juga masih terjebak pada pendekatan-pendekatan administratif yang menghambat terwujudnya sebuah model pemberdayaan masyarakat yang ideal. Namun demikian di balik berbagai kelemahan tersebut ternyata ada banyak potensi yang dapat dijadikan sebagai modal bagi program ini untuk berkembang seperti sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat lokal di masa yang akan datang. Pada akhirnya, tim Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat UGM mengucapkan terimakasih atas kepercayaan Departemen Pekerjaan Umum Direkrotat Jenderal Cipta Karya yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk melakukan kajian mengenai kegiatan sosial program PNPM ini. Kritik dan masukan dari berbagai pihak atas laporan ini tentunya sangat diharapkan bagi upaya perbaikan laporan ini. Yogyakarta, Desember 2009 LPPM UGM i

3 EXECUTIVE SUMMARY Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat adalah program pemerintah yang dirancang untuk melakukan percepatan pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan dengan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. PNPM pada dasarnya merupakan umbrella policy untuk mensinergikan berbagai program pemberdayaan masyarakat, yang diawali dengan menciptakan sinergi P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) dengan PPK (Program Pengembangan Kecamatan). Meskipun telah banyak capaian positif yang dihasilkan program PNPM, tetapi program ini dihadapkan pada sejumlah hambatan maupun tantangan. Hambatan yang seringkali muncul dalam pelaksanaan program pembangunan adalah ketepatan sasaran. Sedangkan tantangan berkaitan dengan sinergitas program PNPM dengan program-program pembangunan yang lain. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu ada kajian untuk mengetahui kendalakendala yang mendasar dalam mencapai tujuan proyek secara keseluruhan. Apakah program yang direncanakan, secara konsisten telah menjangkau kelompok sasaran dari masyarakat miskin perkotaan, dan apakah kelompok miskin di dalamnya mendapatkan manfaat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di tingkat masyarakat. Kemudian, apakah prinsip perencanaan partisipatif yang menjadi basis dasar dari program ini sudah benar-benar dilaksanakan secara seutuhnya dan apakah prinsip akuntabilitas publik sudah dilaksanakan dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan program. Selain itu, apakah program PNPM ini sudah mampu mewujudkan sinergi antar stakeholders (LSM, negara dan swasta) dalam proses pembangunan. Tidak semua kegiatan yang ada dalam program PNPM ini akan peneliti kaji. Namun demikian, peneliti akan memfokuskan pada kegiatan sosial. Meskipun alokasi anggaran dari BLM untuk kegiatan sosial ini relatif kecil dibandingkan kegiatan ekonomi dan kegiatan infrastuktur, akan tetapi kajian mengenai kegiatan sosial ini menjadi penting. Selama ini kegiatan sosial seringkali hanya dipandang sebagai pelengkap dari kegiatan-kegiatan yang ada dalam program PNPM, padahal kegiatan sosial punya peran penting dalam mendorong penguatan jaring pengaman sosial di tingkat lokal dan mendorong pembentukan modal sosial di masyarakat. Optimalisasi modal sosial maupun jaring pengaman sosial ini penting dalam upaya mendukung keberlanjutan kegiatan-kegiatan pembangunan. Dikarenakan hanya dipandang sebagai pelengkap maka kegiatan-kegiatan sosial ini pun akhirnya tidak dikerjakan secara baik, program-programnya hanya sekedar karitatif dan bagi-bagi sehingga esensi dan ii

4 tujuan ideal dari kegiatan sosial ini pun tidak tercapai. Bertitik tolak dari persoalan inilah maka studi kegiatan sosial ini relevan untuk dilakukan. Dengan demikian, kajian mengenai kegiatan sosial PNPM ini ditujukan untuk mengidentifikasi pola kegiatan sosial yang ada saat ini di lokasi penelitian diprakarsai dan dilaksanakan oleh BKM, mengidentifikasi berbagai pelayanan sosial di masyarakat dapat berkelanjutan sebagai prakarsa awal menuju jaring pengaman lokal yang berkelanjutan atau tidak, mengidentifikasi pilihan dukungan yang ada di dalam dan sekitar masyarakat berhubungan untuk kegiatan jangka panjang yang lebih berkelanjutan, mengidentifikasi hambatan yang diduga obyektif dalam penggunaan pilihan dukungan yang tersedia dan merekomendasikan perubahan rancangan program di masa yang akan datang yang dapat mengurangi kekurangan-kekurangan yang ada pada pilihan dukungan menurut penggunaan saat ini yang tersedia dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Kajian mengenai kegiatan sosial PNPM tersebut dilaksanakan di enam kota dengan merujuk pada kluster daerah sasaran program P2KP/PNPM. Enam kota tersebut adalah Bengkulu dan Medan sebagai representasi daerah sasaran program P2KP 3, Makasar dan Gorontalo, sebagai representasi daerah sasaran program P2KP 2 serta Surababaya dan Pasuruan, sebagai representasi daerah sasaran program PNPM Setiap daerah tersebut diambil 1 kelurahan yang paling aktif kegiatannya dan 1 kelurahan yang kurang aktif kegiatannya dengan mengacu pada data yang tersedia di Sistem Informasi Manajemen dengan rincian lokasi sasaran, Kota Pasuruan (Kelurahan Kepel Kecamatan Bugul Kidul dan Kelurahan Panggungrejo Kecamatan Bugul Kidul), Kota Surabaya (Kelurahan Gundih, Kecamatan Bubutan dan Kelurahan Sawunggaling Kecamatan Wonokromo), Kota Gorontalo dengan sasaran (Kelurahan Limba B, Kecamatan Kota Selatan dan Kelurahan Lekobalo Kecamatan Kota Barat), Kota Maksasar (Kelurahan Bunga Eja Beru dan Kelurahan Rappokaling Kecamatan Bontoala), Kota Bengkulu (Kelurahan Panorama Kecamatan Gading Cempaka dan Kelurahan Pasar Melintang, Kecamatan Teluk Segara). Teknik Pengumpulan data dilakukan melalui Interview dengan semi structure interview dan interview biografis, Focus Group Discussion, Observasi, dan Dokumentasi atas datadata sekunder. Adapun informan penelitian meliputi KMW, TA KMW, Korkot, Faskel, pemerintah kelurahan, PJOK kecamatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah/Badan Pemberdayaan Masyarakat, KSM/Panitia, BKM, Unit Pengelola Sosial, masyarakat penerima manfaat, di masing-masing kelurahan yang menjadi sasaran program PNPM Perkotaan ini. Dari kajian di lapangan ditemukan berbagai kesimpulan. Kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan dalam program PNPM ini sudah mengarah pada kegiatan-kegiatan yang bersifat iii

5 pelatihan. Dominasi elite di komunitas bagi pengurus RT, RW, pengurus lingkungan dan BKM masih tampak mendominasi dalam berbagai inisiasi kegiatan sosial. Dilihat dari pola kegiatan sosial, dapat dilihat dari aspek keberlanjutan dampak program dan keterkaitan kegiatan sosial tersebut dengan kegiatan sosial yang sudah ada sebelumnya (existing activity). Dilihat dari aspek keberlanjutan dampak program, kegiatan sosial BKM juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu pertama, Program kegiatan sosial yang bersifat sekali habis. Program ini pada umumnya berupa berbagai bentuk santunan dan bantuan. Kedua, Program kegiatan sosial yang dampaknya berkelanjutan. Jenis ini dapat dibedakan menjadi dua: (1) program yang berdampak pada pengembangan kapasitas penerima bantuan, sebagai contoh program pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan, (2) program yang dananya dikelola oleh kelompok (KSM) dan dimanfaatkan oleh warga miskin secara bergilir. Jenis (2) ini dapat dibedakan menjadi dua: (a) dana yang dikelola KSM dimanfaatkan secara bergulir oleh warga miskin, (b) program yang dikelola oleh KSM digunakan untuk usaha, dan hasilnya dapat digunakan untuk memberikan berbagai bentuk bantuan sosial kepada warga miskin. Sedangkan dilihat dari kaitannya dengan berbagai kegiatan sosial yang sudah ada sebelumnya (existing activity), pola kegiatan sosial oleh BKM juga dapat dibedakan menjadi pertama, Program yang diintegrasikan dengan kegiatan sosial yang sudah ada dan melembaga dalam masyarakat. Pada umumnya program BKM dalam bentuk ini diintegrasikan dengan kegiatan Posyandu atau PKK. Di salah satu kelurahan diintegrasikan dengan program kejar paket.kedua, program yang merupakan kreasi baru oleh BKM. Program- program kegiatan sosial lebih banyak diinisiasi oleh para tokoh masyarakat, baik pengelola BKM, UPS, KSM maupun tokoh masyarakat lain. Sebetulnya secara prosedural, kegiatan perencanaan dan penentuan program sudah dilaksanakan menurut rekomendasi, sehingga terkesan bersifat bottom up. Walaupun demikian dalam realitanya warga miskin masih belum banyak menggunakan kesempatan dalam proses tersebut untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya. Dilihat dari dari potensi keberlanjutan, ternyata sebagian besar kegiatan sosial yang ada masih bersifat karitatif. Namun demikian dari hasil penelitian di lapangan ditemukan bahwa kegiatan sosial yang diintegrasikan dengan kegiatan yang sudah ada lebih memiliki potensi untuk memiliki berkelanjutan. Kegiatan sosial yang memiliki potensi keberlanjutan ternyata adalah kegiatan-kegiatan sosial yang didukung oleh beberapa aspek yaitu partisipasi warga masyarakat, dukungan dari berbagai lembaga sosial keagamaan, pengusaha lokal, fasilitator kelompok (faskel), sinergi dengan pemerintah desa dan dukungan dari pemerintah daerah. Namun demikian, dukungan-dukungan tersebut tidak ditemukan di semua lokasi iv

6 penelitian sehingga kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh BKM ada yang dan ada yang tidak eksis. Beberapa faktor yang diidentifikasi menjadi hambatan dalam pelaksanan program PNPM Perkotaan adalah : kesesuaian pendekatan administrasi dengan kebutuhan orientasi program secara ideal (penyelenggaraan program masih terjebak pada pendekatan administratif semata dan bukan pada pendekatan proyek), fasilitator yang kurang mampu berinteraksi dengan masyarakat, rotasi fasilitator yang terlalu cepat. Di tingkat masyarakat faktor penghambat terletak pada rendahnya partisipasi masyarakat. Mereka lebih senang sekedar sebagai obyek penerima dari program dibandingkan sebagai subyek pelaksana program. Dukungan dari pemerintah desa, PJOK dan pemerintah daerah juga tidak optimal terbukti masih banyak program yang tumpang tindih di level desa sehingga menyebabkan program ini menjadi tidak maksimal. Dari hasil kajian juga dapat dihasilkan beberapa rekomendasi yang dapat ditawarkan untuk perbaikan kegiatan PNPM perkotaan dimasa mendatang yaitu : di tingkat manajemen pelaksanaan proyek, pendekatan yang digunakan dalam program PNPM semestinya mengutamakan pendekatan proses daripada sekedar pendekatan administratif. Hal ini disebabkan tumbuhnya BKM menjadi lembaga yang mandiri hanya mungkin terwujud melalui proses belajar sosial sehingga terjadi proses institusionalisasi. BKM dalam jangka panjang bukan sekedar sebuah organisasi, melainkan organization that are institution. Dalam kenyataannya pendekatan proses ini ternyata tidak didukung oleh sistem administrasi dalam pelaksanaannya. Program ini harus mengikuti sistem administrasi reguler yang berorientasi target. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan baik oleh fasilitator maupun masyarakat terikat oleh target waktu yang ketat. Kondisi seperti itu tidak memberikan iklim yang kondusif bagi pendekatan proses, sehingga program programnya dimunculkan sekedar untuk merespon turunnya BLM dengan sekedar mengikuti persyaratan proyek. Dalam pendekatan proses ini, juga penting untuk mengedepankan pemilihan sasaran program yang tepat. Indikatorindikator untuk menentukan siapa yang tepat menjadi sasaran perlu dirumuskan secara tepat sehingga sasaran program dapat benar-benar sesuai dengan apa yang menjadi target dalam program tersebut. Oleh karena itu, perlu misalnya menggeser indikator kemiskinan absolut menjadi kemiskinan relatif agar program PNPM dapat tepat sasaran. Dalam konteks pemilihan program pun demikian. Selain memperhatikan kebutuhan riil yang dihadapi oleh masyarakat juga harus memperhatikan aspek yang lebih luas sehingga keberlajutan kegiatan sosial dapat tercapai. Misalnya dalam memilih jenis kegiatan sosial harus mempertimbangkan aspek yang makro/luas. Hal ini banyak ditemukan dalam kegiatan-kegiatan pelatihan dimana kegiatan v

7 pasca pelatihan seperti bagaimana proses produksi, proses pemasaran belum tersentuh. Selaras dengan pendekatan proses yang dilakukan, pada tingkat manajemen proyek perlu ada pelurusan kembali tentang apa definisi dari kegiatan sosial yang berkelanjutan karena realitasnya masing-masing KMW/Korkot cenderung menerjemahkan dan memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Dalam Konteks pengembangan Tri daya (Kegiatan sosial, kegiatan ekonomi dan kegiatan infrastruktur) perlu ada desain yang jelas agar ketiga sektor tersebut saling berkaitan sama lain. Selama ini, diantara tiga kegiatan tersebut cenderung berjalan sendiri dan kurang berjalan secara sinergis. Idealnya perlu ada sinergitas ketiga sektor tersebut yang terwujud dalam kegiatan-kegiatan. Sebagai contoh dalam kegiatan sosial yang berupa pelatihan misalnya perlu dilanjutkan dengan bantuan permodalan yang merupakan contoh bagian dari kegiatan ekonomi. Selain itu, penting juga dalam pengembangan Tri daya ini adalah adanya pembagian alokasi anggaran. Porsi untuk kegiatan-kegiatan tersebut tidak harus seragam antar daerah tergantung dengan potensi sumber daya dan permasalahan yang dihadapi oleh daerah sasaran karene di beberapa BKM sudah terpatri bahwa alokasi anggaran untuk kegiatan prasarana infrastruktur 70%, kegiatan ekonomi 20% dan kegiatan sosial 10%. Pola alokasi anggaran semacam ini seringkali terlalu kaku dalam implementasinya. Ke depan perlu ada pelurusan kembali tentang pola pembagian alokasi anggaran dari BLM tersebut sehingga lebih fleksibel dalam pelaksanaannya. Rekomendasi lain adadalah perlu ada upaya secara sinergis untuk mengembangkan BKM menjadi lebih mandiri dan melakukan institusionalisasi atas kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh BKM. Strategi intervensi yang dilakukan oleh faskel perlu memperhatikan karakteristik dari masing-masing BKM sehingga pola intervensinya pun harus berbeda-beda. Dalam upaya menumbuhkan kemandirian masyarakat, BKM perlu mendorong potensi-potensi modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Pengembangan jaringan dengan kegiatan-kegiatan sosial yang sudah ada dan pengembangan channeling dengan programprogram dari pemerintah daerah maupun program-program corporate social responsibility dari perusahaan swasta perlu terus didorong sehingga kegiatan-kegiatan sosial yang ada benar-benar berorientasi pada keberlanjutan program. Selain itu BLM yang diperoleh harus didorong agar menjadi stimuli bagi pengembangan modal sosial yang ada di masyarakat. Dalam upaya mengentaskan kemiskinan di lingkungannya, BKM juga dapat melakukan pemanfaatan warga masyarakat yang tidak miskin dan potensi-potensi sosial dari organisasi sosial keagaaman seperti Lembaga Amal Zakat Infaq Sodaqoh (LAZIS). vi

8 DAFTAR ISI Kata Pengantar i Executive Summary ii Daftar isi vii Daftar Singkatan x Bab 1 Pendahuluan 1 A. Latar belakang masalah 1 B. Maksud dan Tujuan 5 Bab 2 Kegiatan Sosial Dalam P2KP 7 A. Pemikiran Dasar P2KP 7 B. Penguatan Modal Sosial Dalam P2KP 10 C. Dasar Pemikiran Kajian 15 Bab 3 Metodologi kajian Kegiatan Sosial Dalam P2KP 17 A. Lingkup Kajian 17 B. Lokasi Kajian 19 C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 20 Bab 4 Organisasi dan Manajemen 24 A. Organisasi dan Staffing 24 B. Distribusi Pekerjaan 25 Bab 5 Hasil Pelaksanaan Kajian 27 A. Deskripsi Wilayah Kota Pasuruan Kota Surabaya Kota Gorontalo Kota Makassar Kota Bengkulu Kota Medan 35 B. Hasil Temuan Umum di Enam Lokasi Penelitian Kegiatan Pelatihan Sebagai Trend Dalam Kegiatan Sosial Pola Kegiatan Sosial: Dari Karitatif Menuju Program yang 44 Berkelanjutan 3. Dominasi Elit Desa Dalam Inisiasi Program Sosial Kerjasama dan Sinergi antar Stakeholder Sebagai Peluang 60 Pengembangan Program Sosial 5. Hambatan Kegiatan Sosial: Desain Program dan Kualitas 67 Pelaksana Program PNPM 6. Belum Tersentuhnya Kegiatan Pasca Pelatihan 74 C. Hasil Analisis Kontekstual Analisis Kontekstual Umum Analisis Kontekstual Antar Kelurahan 76 a. Kota Pasuruan 76 b. Kota Surabaya 87 c. Kota Gorontalo 96 d. Kota Makassar 104 e. Kota Bengkulu 112 f. Kota Medan 122 vii

9 D. Hasil Analisis Mikro Berjenjang, Deskripsi Kegiatan Sosial dan 131 Potensi Keberlanjutan Program Di Masing-Masing Lokasi 1. Kota Pasuruan 131 a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial 131 b. Prospek Keberlanjutan 135 c. Dukungan Program 137 d. Hambatan 140 e. Perubahan Rancangan Program Kota Surabaya 146 a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial 146 b. Prospek Keberlanjutan 147 c. Dukungan Program 148 d. Hambatan 150 e. Perubahan Rancangan Program Kota Gorontalo 151 a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial 151 b. Prospek Keberlanjutan 152 c. Dukungan Program 154 d. Hambatan 155 e. Perubahan Rancangan Program Kota Makassar 156 a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial 156 b. Prospek Keberlanjutan 158 c. Dukungan Program 159 d. Hambatan 161 e. Perubahan Rancangan Program Bengkulu 164 a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial 164 b. Prospek Keberlanjutan 166 c. Dukungan Program 168 d. Hambatan 168 e. Perubahan Rancangan Program Kota Medan 170 a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial 170 b. Prospek Keberlanjutan 172 c. Dukungan Program 175 d. Hambatan 176 e. Perubahan Rancangan Program 177 E. Peran Stakeholder Di Enam Lokasi Kajian Kota Pasuruan Kota Surabaya Kota Gorontalo Kota Makassar Kota Bengkulu Kota Medan 190 viii

10 Bab 6 Kesimpulan dan Rekomendasi 194 A. Kesimpulan 194 B. Rekomendasi 196 Daftar Pustaka 200 Lampiran 201 ix

11 DAFTAR SINGKATAN BKM BLM BLT CBRM Faskel FGD KSM Korkot KMW KMP Lansia LPM LPMK NU Paket PAUD Posyandu PJM : Badan Keswadayaan Masyarakat : Bantuan Langsung Masyarakat : Bantuan Langsung Tunai : Community Based Resources Management : Fasilitator Kelurahan : Focus Group Discussion : Kelompok Swadaya Masyarakat : Koordinator Kota : Konsultan Manajemen Wilayah : Konsultan Manajemen Pusat : Lanjut Usia : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kota : Nahdlatul Ulama : Program Penanggulangan Kemiskinan Terpadu : Pendidikan Anak Usia Dini : Pos Pelayanan Terpadu : Program Jangka Menengah PJM Pronankis : Program Jangka Menengah Program Penanggunggulangan Kemiskinan PNPM P2KP PPK RT RW : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat : Proyek Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan : Program Pengembangan Kecamatan : Rukun Tetangga : Rukun Warga x

12 UPS UPK UPL SIM : Unit Pengelola Sosial : Unit Pengelola Keuangan : Unit Pengelola Lingkungan : Sistem Informasi Manajemen xi

13 BAB 1 Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) adalah program pemerintah yang dirancang untuk melakukan percepatan pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan dengan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. PNPM pada dasarnya merupakan umbrella policy untuk mensinergikan berbagai program pemberdayaan masyarakat, yang diawali dengan menciptakan sinergi P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) dengan PPK (Program Pengembangan Kecamatan). PNPM dijadwalkan dilaksanakan dari tahun 2007 sampai 2011 dan secara bertahap akan memperluas proyek P2KP ke 33 propinsi di seluruh Indonesia, mencakup lebih dari 10% daerah miskin di perkotaan. Untuk tahap awal, PNPM dilaksanakan dengan memperluas jangkauan cakupan wilayah program pemberdayaan masyarakat (P2KP dan PPK), yang pada tahun 2006 baru mencapai 46% dari seluruh kecamatan di 1

14 Indonesia, diharapkan dapat ditingkatkan menjangkau seluruh kecamatan Indonesia (mencapai kecamatan) pada akhir tahun Konsep penanggulangan kemiskinan di perkotaan yang digunakan oleh P2KP pada dasarnya adalah upaya melakukan proses transformasi sosial masyarakat dengan tahapan sebagai berikut: (1) transformasi dari masyarakat miskin menuju masyarakat berdaya, (2) transformasi dari masyarakat berdaya menuju masyarakat mandiri, dan (3) transformasi masyarakat mandiri menjadi masyarakat madani. Untuk mewujudkan proses transformasi tersebut dilakukan berbagai kegiatan fasilitasi kepada masyarakat yang disebut siklus kegiatan. Hasil yang ingin dicapai adalah mewujudkan tumbuhnya proses pembelajaran untuk peningkatan kapasitas individu maupun kelompok masyarakat dalam rangka membangun modal sosial bagi penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, terutama dalam menanggulangi kemiskinannya. Melalui program PNPM ini, banyak daerah sasaran yang kemudian berhasil menjalankan pembangunan wilayahnya terutama pembangunan fisik seperti jembatan, jalan, sarana pendidikan, polindes, maupun prasarana fisik lainnya. Program PNPM juga berhasil merangsang partisipasi aktif masyarakat dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan hasil-hasil kegiatan pembangunan. Kondisi ini tentunya merupakan pencapaian positif yang dapat menjadi modal penting bagi terwujudnya kemandirian masyarakat. Adanya sistem, mekanisme dan prosedur pertanggungjawaban keuangan yang ketat, sumber daya manusia (fasilitator dan konsultan) dalam jumlah besar dan jaringan operasional di lapangan yang solid merupakan faktor pendukung bagi program PNPM ini untuk lebih berkembang. 2

15 Gambar 1 : Tahapan Perubahan Sosial Melalui Intervensi P2KP POOR SOCIETY MISKIN P2KP EMPOWERED SOCIETY BERDAYA INDEPENDENT SOCIETY CIVIL SOCIETY MADANI 1 INTERNALISASI NILAI DAN PRINSIP P2KP DAN KONSEP TRIDAYA 2 PENGUATAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT 3 PEMBELAJARA N PRINSIP TRI- DAYA PENGUATAN 4 AKUNTABILITAS MASYARAKAT 5 KEMITRAAN PEMDA DAN MASYARAKAT 6 PROGRAM CHANNELING PENERAPAN TRIDAYA 7 PEMBELAJARAN NEIGHBOURHOOD DEVELOPMENT BERBASIS GOOD GOVERNANCE Meskipun telah banyak capaian positif yang dihasilkan program PNPM, tetapi program ini dihadapkan pada sejumlah hambatan maupun tantangan. Hambatan yang seringkali muncul dalam pelaksanaan program pembangunan adalah ketepatan sasaran. Sedangkan tantangan berkaitan dengan sinergitas program PNPM dengan programprogram pembangunan yang lain. Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan bahwa program PNPM ini seringkali berbenturan dengan program Alokasi Dana Desa. Idealnya program-program ini saling berintegrasi untuk mendukung akselerasi percepatan pembangunan desa, namun realitasnya program-program ini justru saling bersaing satu sama lain. Tidak sekedar persaingan antar sektor akan tetapi juga merembet pada persaingan antar departemen, bahkan kerapkali terjadi konflik dan persaingan antar 3

16 stakeholders ( swasta/pengusaha dan LSM). Hambatan dan tantangan inilah dapat mengganggu proses pelaksanaan PNPM dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu ada kajian untuk mengetahui kendala-kendala yang mendasar dalam mencapai tujuan proyek secara keseluruhan. Apakah program yang direncanakan, secara konsisten telah menjangkau kelompok sasaran dari masyarakat miskin perkotaan, dan apakah kelompok miskin di dalamnya mendapatkan manfaat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di tingkat masyarakat. Kemudian, apakah prinsip perencanaan partisipatif yang menjadi basis dasar dari program ini sudah benar-benar dilaksanakan secara seutuhnya dan apakah prinsip akuntabilitas publik sudah dilaksanakan dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan program. Selain itu, apakah program PNPM ini sudah mampu mewujudkan sinergi antar stakeholders (LSM, negara dan swasta) dalam proses pembangunan. Beberapa aspek inilah yang perlu diperhatikan untuk mendukung program PNPM agar mampu mewujudkan masyarakat yang mandiri dan berdaya. Tidak semua kegiatan yang ada dalam program PNPM ini akan peneliti kaji. Namun demikian, peneliti akan memfokuskan pada kegiatan sosial. Meskipun alokasi anggaran dari Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) untuk kegiatan sosial ini relatif kecil dibandingkan kegiatan ekonomi dan kegiatan infrastuktur, akan tetapi kajian mengenai kegiatan sosial ini menjadi penting. Selama ini kegiatan sosial seringkali hanya dipandang sebagai pelengkap dari kegiatan-kegiatan yang ada dalam program PNPM, padahal kegiatan sosial punya peran penting dalam mendorong penguatan jaring pengaman sosial di tingkat lokal dan mendorong pembentukan modal sosial di masyarakat. Optimalisasi modal sosial maupun jaring pengaman sosial ini penting dalam upaya mendukung keberlanjutan kegiatan-kegiatan pembangunan. Dikarenakan hanya dipandang sebagai pelengkap maka kegiatan-kegiatan sosial ini pun akhirnya tidak dikerjakan secara baik, program-programnya hanya sekedar karitatif dan bagi-bagi sehingga esensi dan tujuan ideal dari kegiatan sosial ini pun tidak tercapai. Bertitik tolak dari persoalan inilah maka studi kegiatan sosial ini relevan untuk dilakukan. Tidak saja untuk memetakan pola-pola kegiatan sosial yang sudah berjalan akan tetapi juga untuk melihat potensi keberlanjutan, faktor pendukung dan faktor penghambat serta harapan yang terakhir dapat menyusun rekomendasi bagi perbaikan program PNPM ke depan. Berkaitan dengan evaluasi program PNPM ini, sebelumnya telah dilakukan studi mengenai evaluasi program P2KP Tahap 2 oleh LSPK Malang (Consulting Services for National Evaluation Consultant) sebagai konsultan dari Departemen Pekerjaan Umum pada tahun Studi dimaksudkan untuk mengukur seberapa jauh proses P2KP 4

17 berjalan baik sesuai rencana dan menelaah perbandingan antara keluara capaian yang senyatanya (actual ouput) dengan keluaran yang diharapkan (expected output) oleh P2KP Tahap 2. Studi dampak dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang perubahan kondisi (outcome variable) setelah berakhirnya intervensi program P2KP-2 dibandingkan dengan kondisi awal sebelum intervensi (digali di tahap baseline). Studi dampak dilakukan di lokasi aksi dan lokasi kontrol (pembanding). Studi ini difokuskan untuk memperoleh informasi tentang Tridaya (aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan). Selain itu, studi dampak juga ditujukan untuk mengevaluasi keberlanjutan proyek setelah tidak adanya intervensi P2KP-2. Metode ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif yaitu dengan survai panel yang dikombinasikan dengan pendekatan penelitian perbandingan semu (quasi experimental). Penelitian ini dilakukan pada 256 desa/kelurahan yang tersebar di 42 kabupaten/kota dan terletak di 10 propinsi yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Sedangkan tiga kabupaten yang menjadi kelompok kontrol adalah Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), Kabupaten Tapin (Kalimantan Selatan) dan Kabupaten Pinrang (Sulawesi Selatan). Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan menunjukkan beberapa temuan yaitu adanya perubahan yang sedang berlangsug di masyarakat. Berdasarkan kriteria garis kemiskinan 2 $ PPP (World Bank) dan BPS secara umum terjadi penurunan persentase penduduk miskin yang cukup besar dan secara signifikan dari fase Baseline ke fase dampak baik di wilayah aksi maupun kontrol. Hasil lainnya, Persepsi sebagian besar masyarakat yang tahu P2KP merasakan kemanfaatan P2KP terutama dalam proses pembangunan sarana, kemudian diikuti oleh lebih mudahnya mendapatkan modal dan perbaikan lingkungan. Kemudian, kesimpulan lain yang diperoleh adalah masih luas masyarakat yang memahami P2KP sekedar sebagai bantuan, dengan angka yang mendekati 90 % pada fase midterm dan hanya turun beberapa poin saja, pemahaman ini pada fase dampak. Rendahnya pandangan dan pemahaman P2KP sebagai proses pemberdayaan dan proses belajar dengan angka sekitar 3% (DPU, 2008 : 124). Dengan melihat susbtansi, metode dan tujuan dalam penelitian ini terlihat bahwa penelitian ini berbeda dengan kajian evaluasi mengenai kegiatan sosial dalam program PNPM. Dengan demikian, kajian penelitian yang dilakukan tentang evaluasi kegiatan sosial dalam program PNPM ini adalah sebuah penelitian yang masih aktual dan relevan untuk dilaksanakan. 5

18 B. Maksud dan Tujuan KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP 1. Maksud Memberikan masukan pada proses perbaikan rancangan program untuk menciptakan kerangka kebijakan dan advokasi yang secara lebih efektif merangsang penyerapan kapasitas BKM dan sub-unit sosialnya untuk penggunaan dukungan sosial pemerintah dan masyarakat sipil dalam pengembangan jaring pengaman sosial dalam konteks P2KP. 2. Tujuan Memberikan gambaran yang komprehensif dari jenis, kualitas, efektifitas, efisiensi dan keberlanjutan dari kegiatan-kegiatan sosial yang diprakarsai oleh masyarakat yang bertujuan pada perlindungan kaum rentan di lokasi penelitian dan mengidentifikasi pilihan-pilihan untuk perbaikan. Memberikan penilaian pelaku-pelaku (Lembaga Swadaya Masyarakat, pihak swasta, program program pemerintah setempat) yang tersedia dalam konteks masyarakat yang lebih luas, yang memiliki dana-dana dan tahu bagaimana dapat meningkatkan efektifitas, efisiensi dan keberlanjutan pelayanan sosial berbasis masyarakat di lokasi penelitian. Mengidentifikasi berbagai tantangan yang menghambat penggunaan atau kerjasama yang optimal dengan pelaku-pelaku tersebut di tingkat masyarakat. Mengembangkan rekomendasi untuk perubahan rancangan program dan implementasi program di wilayah perluasan PNPM yang tepat untuk mengurangi berbagai tantangan yang teridentifikasi. 6

19 BAB 2 Kegiatan Sosial Dalam P2KP/PNPM Perkotaan A. Pemikiran Dasar P2KP P2KP diprakarsai tahun 1997 akibat krisis keuangan yang mempengaruhi sebagian besar daerah perkotaan, yang mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan dan perubahan politik secara drastis, terutama desentralisasi dan meningkatnya otonomi daerah. Pada saat bersamaan, penanggulangan kemiskinan dan pengembangan manusia menjadi tujuan utama politik ditinjau dari segi komitmen global menuju pencapaian MDG. P2KP bertujuan mengurangi kemiskinan di perkotaan dengan meningkatkan kapasitas tindakan bersama oleh masyarakat miskin perkotaan dan memberikan bantuan langsung masyarakat (BLM) untuk kelompok-kelompok masyarakat. P2KP dilaksanakan melalui organisasi masyarakat (BKM) yang terpilih secara demokrasi. Fasilitator membantu masyarakat melalui proses mengangkat kepedulian, pemetaan kemiskinan, pemilihan BKM dan persiapan Rencana Pembangunan Masyarakat (PJM Pronangkis) oleh 7

20 BKM. BKM selanjutnya diberi hibah yang dapat digunakan untuk kegiatan pengembangan masyarakat berkisar dari infrastruktur berskala kecil hingga kredit mikro dan pengembangan usaha jasa-jasa lain yang bertujuan mengurangi kemiskinan. Sejumlah besar relawan dilibatkan di semua kegiatan proyek dan sebagai anggota BKM. BKM bertanggung jawab pada masyarakat dan diharapkan mengambil keputusan dengan cara-cara yang partisipatif. Fasilitator dan staf proyek memantau kegiatan-kegiatan organisasi kemasyarakatan dan penggunaan dana-dana. Sebagian besar dari dana dicairkan melalui unit ekonomi BKM untuk kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam bentuk kredit mikro. Kegiatan BKM lainnya mengangkat masalah infrastruktur dan lingkungan, dimana kegiatan sosial diarahkan untuk perbaikan keselamatan kelompok yang sangat miskin dan rentan. Di tingkat kota, BKM dari semua masyarakat kota (kelurahan) yang berpartisipasi diorganisir dalam forum-forum BKM dengan tujuan tidak hanya berbagi pengalaman dan belajar dari sesama, tapi juga bertindak bersama untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat pemerintah kota. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan-1 (P2KP-1) dilaksanakan tahun 1999 sampai 2004 di 6 propinsi, terdiri dari daerah perkotaan yang kepadatan penduduknya tinggi di Jawa bagian Utara, kabupaten dan kota Bandung, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan kabupaten dan kota Malang. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan-2 (P2KP-2) dilaksanakan antara tahun sebagai kelanjutan P2KP-1 tapi diperluas ke wilayah perkotaan di 13 propinsi berlokasi di Sulawesi, Kalimantan, NTB dan sebagian Jawa bagian Selatan. Di daerah-daerah ini semua kecamatan di perkotaan digolongkan menurut jumlah rumah tangga miskin. Kemudian 20 % kecamatan terkaya dikesampingkan, dan dari kecamatan yang tersisa dipilih desa atau kelurahan untuk berpartisipasi dimana, menurut data Podes-BPS, pembagian persentasi dari rumah tangga miskin lebih dari 34%. Konsep dari P2KP-1 diperbaiki di P2KP-2 dan bertujuan pada keterlibatan yang lebih banyak lagi dari pemerintah di tingkat kota/kabupaten dalam proyek. Disamping mendukung masyarakat miskin, proyek juga mendukung pemerintah di tingkat kota / kabupaten agar menjadi lebih tanggap pada kebutuhan masyarakat miskin melalui peningkatan kemitraan dengan organisasi masyarakat dan juga memperbaiki layanan untuk masyarkat miskin kota. Upaya-upaya insentif dan peningkatan kapasitas disebutkan sebagai PAKET (Program Penanggulangan Kemiskinan Terpadu) dan bertujuan 8

21 untuk mencapai sinergi dengan proses perencanaan pemerintah secara formal dan tersedianya sumber daya lokal. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan-3 (P2KP-3) dilaksanakan tahun 2005 dan berjalan hingga 2011 di 15 propinsi tambahan, mencakup wilayah yang luas di Sumatra, Kalimantan Timur, NTT, Maluku dan Irian Jaya. Kriteria pemilihan untuk keikutsertaan kecamatan sama seperti pada P2KP-2. Dalam waktu yang bersamaan, proyek menekankan target dengan jangkauan yang lebih luas, terdiri dari masyarakat miskin, pemerintah setempat, administrasi kelurahan dan lingkungan kelurahan. PNPM dilaksanakan dari tahun 2007 sampai 2011, pada akhirnya akan memperluas proyek P2KP ke 33 propinsi di seluruh Indonesia, yang akan mencakup semua kecamatan di perkotaan dengan lebih dari 10% daerah miskin di perkotaan. Gambar 2 : Pesebaran Lokasi Sasaran P2KP-1, P2KP-2 dan P2KP-3 9

22 Perluasan geografis secara bertahap dari cakupan P2KP ditunjukkan dalam gambar-1 sedangkan sejumlah wilayah administratif yang dijangkau setiap fase proyek diperlihatkan dalam Tabel-1 berikut ini : Tabel II.1 Gambaran Umum Tahapan P2KP Menurut Satuan Administratif Fase Proyek Periode Pelaksanaan Propinsi Kabupaten / Kota Kecamatan Kelurahan BLM (mil. Rp.) P2KP ,250 P2KP ,000 P2KP ,800 Sumber: P2KP, 2007c Melalui berbagai tahapan pelaksanaan, P2KP memelihara dan lebih lanjut mengembangkan dasar-dasar pemberdayaan masyarakat yang terdiri dari: (1) partisipasi dengan basis yang luas dan belajar di tingkat masyarakat (2) keberlanjutan kerelawanan (3) bertanggungjawab secara moral dan kepemimpinan yang diakui (BKM) yang ditandai dengan adanya transparansi dan akuntabilitas. P2KP telah berhasil secara efektif menjangkau masyarakat miskin perkotaan di Indonesia dalam jumlah yang menakjubkan dan dalam melibatkan ratusan ribu relawan (meskipun wanita lebih sedikit dibanding pria) dalam tindakan kolektif yang membahas kemiskinan setempat. Meski demikian, kajian-kajian evaluasi yang sudah dilaksanakan sejauh ini belum memunculkan semua kendala-kendala yang mendasar dalam mencapai tujuan proyek secara keseluruhan. Tidak ada pula analisa sistematis apakah program secara konsisten telah menjangkau kelompok sasaran dari masyarakat miskin kota, dan apakah kelompok miskin di dalamnya mendapatkan manfaat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di tingkat masyarakat. Pertanyaan umum lainnya berhubungan dengan dampak program di kebijakan tingkat nasional dan masalah-masalah keberlanjutan. B. Penguatan Modal Sosial Dalam PNPM Perkotaan P2KP/PNPM Perkotaan adalah sebuah intervensi untuk mendorong laju perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik, khususnya perkuatan modal sosial komunitas agar terbangun inventasi sosial untuk penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat 10

23 secara berkelanjutan. Kekuatan intervensi tersebut dapat dilihat pada ciri-ciri pokok dalam konsep dan pelaksanaan PNPM sebagai berikut : 1. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat dirancang dengan memberikan peran yang lebih besar pada masyarakat di tingkat lokal (komunitas) untuk mengelola proses pembangunan. Strategi ini menekankan pada prakarsa, kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan. Dalam konteks pembangunan masyarakat, strategi ini disebut dengan strategi pengelolaan sumber daya berbasis komunitas (community based resources management). Dalam strategi ini masyarakat terlibat dalam seluruh proses pembangunan sejak identifikasi masalah dan kebutuhan serta perumusan program. Kinerja dari strategi ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk melakukan mobilisasi sumber daya yang tersedia agar dapat dimanfaatkan secara lebih produktif, merata dan berkesinambungan guna memenuhi kebutuhan warga masyarakat. Menurut Korten (1987:3) keberhasilan proses pembangunan yang menggunakan strategi ini tidak cukup menggunakan uji produktivitas melainkan juga uji pemberdayaan. Uji produktivitas perlu melihat kapasitas pengelolaan sumber daya berbasis komunitas terhadap berbagai upaya pemenuhan kebutuhan warga masyarakat maupun kebutuhan kolektif dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Selain itu juga perlu dilakukan uji pemberdayaan untuk melihat bagaimana basis lokal dalam kontrol yang efektif terhadap sumber daya. Sesuai dengan berbagai asumsi dan pemikiran yang melandasinya, maka strategi pengelolaan sumber daya berbasis komunitas memiliki karakteristik utama yaitu desentralisasi, pemberdayaan, proses belajar sosial dan keberlanjutan (Soetomo, 2006 :395). Secara rinci karakteristik utama tersebut adalah : a) Desentralisasi dilakukan dalam pengambilan keputusan yang meliputi keseluruhan proses pembangunan mulai dari identifikasi persoalan, penyusunan dan pengelolaan program. Dalam hal ini, pelaksanaannya lebih mengutamakan swakelola dimana masyarakat lokal mendapatkan peluang yang seluas-luasnya untuk mengelola kegiatan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan. b) Pemberdayaan yang tercermin dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan mulai dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan menikmati hasil. c) Proses belajar sosial diartikan sebagai proses interaksi di antara warga masyarakat dengan lembaga-lembaga yang ada yang bertujuan untuk 11

24 mengembangkan kemampuan mereka melalui kegiatan-kegiatan pemecahan masalah yang seringkali dilakukan melalui trial and error. Peningkatan kemampuan ini tidak dilakukan melalui pendidikan formal akan tetapi melalui partisipasi dan interaksi dalm proses pengambilan keputusan dan aktivitas bersama untuk melaksanakan keputusan tersebut. d) Keberlanjutan sebagai hasil dari proses belajar sosial adalah peningkatan kapasitas baik pada tingkat warga masyarakat maupun pada tingkat komunitas untuk melaksanakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya di lingkungan komunitasnya secara mandiri. Bentuk kongkret dari kapasitas tersebut adalah adanya tindakan bersama pada tingkat lokal untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan memecahkan berbagai masalah. Apabila tindakan bersama tersebut dilakukan secara berkesinambungan dan bersifat mandiri, maka dalam komunitas yang bersangkutan telah terjadi keberlanjutan pembangunan dan sustainability. Selain empat karakteristik di atas, unsur partisipasi masyarakat lokal merupakan unsur yang mutlak di dalam strategi Community Based Resources Management. Kriteria yang digunakan untuk menentukan adanya partisipasi masyarakat adalah adanya untur keterlibatan dan latar belakang yang mendorong keterlibatan tersebut. Dengan menggunakan kedua kriteria tersebut, maka partisipasi diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang yang didorong oleh determinasi dan kesadarannya tentang arti keterlibatan tersebut. Apabila yang muncul hanya unsur keterlibatan dan tidak didorong oleh determinasi dan kesadaran, maka hal tersebut tidak dapat masuk ke dalam kategori partisipasi melainkan lebih tepat disebut sebagai mobilisasi. Dalam proses pembangunan tidak saja melibatkan masyarakat lokal saja akan tetapi juga melibatkan stakeholders yang lain yaitu negara, swasta dan masyarakat. Proses interaksi dan jaringan yang terbentuk di antara stakeholders tidak saja akan memperluas wawasan/pengetahuan dari stakeholders saja namun lebih dari itu proses ini memiliki keterkaitan dengan unsur pemberdayaan karena jaringan yang semakin luas akan berdampak pada semakin efektifnya kekuatan penekan dan semakin kuatnya posisi tawar masyarakat lokal. Kerjasama antar stakeholders juga akan menjadi media untuk menyelesaikan konflik yang sangat mungkin terjadi antara berbagai pihak terkait tersebut. Oleh karena itu, sinergi antar stakeholders ini akan menjadi salah satu faktor terwujudnya keberlanjutan program yang dibuat. 12

25 Prinsip-prinsip dasar yang ada dalam strategi community based resources management (CBRM) inilah yang dijadikan sebagai pendekatan dalam menganalisis program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, karena secara konseptual Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat harus didesain dalam skenario yang utuh dari tahap perencanaan sampai pada tahap keberlanjutan program secara mandiri. Kesesuaian antara strategi CBRM dengan dengan realitas program PNPM di lapangan menjadi indikasi keberhasilan program PNPM dalam mendorong partisipasi masyarakat yang muaranya adalah pada program pengentasan kemiskinan. Dengan pendekatan CBRM diharapkan akan dapat digali masalah-masalah mendasar yang ditemukan dalam pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. 2. BKM Sebagai Institusi Lokal Untuk Pengembangan Modal Sosial Keberadaan institusi lokal memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan sebuah program pembangunan. Institusi lokal ini dapat berfungsi sebagai dinamisator pengembangan kapasitas masyarakat lokal dan juga dapat berfungsi sebagai institusi mediasi yang menghubungkan masyarakat lokal dengan kekuatan-kekuatan eksternal yang lebih besar seperti negara maupun swasta. Untuk mendukung program PNPM, maka di setiap kelurahan yang mendapatkan dana program PNPM dibentuk BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). Badan Keswadayaan Masyarakat ini diperlukan sebagai wadah perjuangan untuk penanggulangan kemiskinan dan kepemimpinan kolektif yang berbasis nilai- nilai kemanusiaan agar mampu mengendalikan gerakan bersama. BKM ini berkedudukan sebagai lembaga pimpinan masyarakat kelurahan/desa yang mengendalikan kegiatan penanggulangan kemiskinan. Posisinya di luar institusi pemerintah, militer agama, pekerjaan dan keluarga. Dengan demikian, BKM adalah lembaga pemimpin kolektif dari masyarakat warga yang dibentuk bukan oleh pemerintah atau perundangan. Misi BKM adalah membangun kapital sosial dengan menumbuhkan kembali nilai nilai kemanusiaan, ikatan ikatan sosial dan menggalang solidaritas sosial sesama warga agar saling bekerjasama demi kebaikan, kepentingan dan kebutuhan bersama yang pada gilirannya diharapkan memperkuat kemandirian masyarakat untuk menuju tatanan masyarakat madani. Secara konseptual, BKM adalah kelembagaan yang dirancang untuk membangun kembali masyarakat mandiri agar mampu mengatasi kemiskinan. BKM ini bertanggungjawab menjamin keterlibatan unsur masyarakat dalam Keputusan yang kondusif untuk menumbuhkan keswadayaan masyarakat. Pendeknya, BKM 13

26 dibentuk melalui proses yang demokratis, sebagai wakil masyarakat di tingkat kelurahan yang dapat dipercaya sehingga memiliki nilai keswadayaan yang tinggi untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan masyarakatnya khususnya dalam menanggulangi kemiskinan. BKM memiliki tugas merumuskan kebijakan serta aturan main secara demokratis mengenai hal hal yang berhubungan dengan penanggulangan kemiskinan, mengorganisasi masyarakat untuk merumuskan visi,misi, rencana strategis, dalam Program Penanggulangan Kemiskinan, memonitor, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan keputusan keputusan yang diambil, memverifikasi penilaian yang telah dilaksanakan oleh Unit Pelaksana dan menjamin/ mendorong peran serta berbagai unsur masyarakat, mengawal terlembaganya nilai nilai kemanusiaan dan prinsip kemasyarakatan, mewakili masyarakat untuk memberikan kontrol dan masukkan terhadap kebijakan pemerintah dan membangun kerjasama dengan pihak luar. 3. Modal Sosial Dalam Program PNPM Perkotaan Modal sosial adalah dimensi aset yang terkait dengan kelompok, jaringan dan masyarakat. Modal sosial sangat penting untuk memfasilitasi solusi lokal untuk memecahkan persoala. Modal sosial juga sangat penting untuk menyediakan jaringanjaringan yang memberikan dukungan bagi aktivitas ekonomi masyarakat miskin (Rakodi With Jones, 2002 : 104). Sedangkan Bank Dunia (dalam Hasbullah, 2006 : 6) mendefinisikan modal sosial sebagai sesuatu yang merujuk kepada dimensi intitusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial bukan sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang kehidupan sosial melainkan dengan spektrum yang lebih luas yaitu sebagai perekat yang menjadi kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Inti telaah modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang imbal balik dan saling menguntungkan dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat pro aktif membuat jalinan hubungan di atas prinsip-prinsip yang telah disebutkan. Modal sosial akan membawa beberapa dampak positif yaitu kohesifitas kelompok, memperluas jaringan eksternalitas positif, sikap toleran dan inklusif, meningkatnya ketahanan sosial dan komunitas kemampuan mengatasi kerawanan sosial, memberi hasil yang lebih 14

27 optimal pada pembangunan dan meningkatnya pengetahuan, ide baru dan kesejahteraan masyarakat (Hasbullah, 2006 : 19). Dalam konteks Program Nasional Pemberdayan Masyarakat, keberadaan modal sosial menjadi penting untuk dipehatikan agar program yang dilakukan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat dan berkelanjutan. Modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas, ide, saling kepercayaan dan saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, mengembangkan potensi modal sosial yang ada di dalam masyarakat merupakan salah satu kunci yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan. 4. Peran BKM dan Pengaman Jaringan Sosial Keberadaan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) memiliki peran yang cukup strategis dalam menjamin keberlanjutan aktivitas sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Keberhasilan program PNPM akan ditentukan oleh sejauh mana BKM mampu menjalankan fungsi-fungsinya tersebut. Keberlanjutan aktivitas sosial yang dikerjakan oleh masyarakat penerima manfaat akan ditentukan oleh kemampuan BKM dalam membangun iklim yang demokratis dan akuntabilitas publik, termasuk di dalamnya adalah mengembangkan proses perencanaan partisipatif dan pemberdayaan dalam setiap pengembangan aktivitas sosial masyarakat dikembangkan. Oleh karena itu, strategi pembangunan masyarakat yang berbasis pada Community Based Resources Management dengan menekankan pada prinsip pemberdayaan, desentralisasi, proses belajar sosial dan perencanaan partisipatif harus dilakukan oleh BKM sehingga aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan oleh masyarakat dapat berkelanjutan. Tanpa prinsip-prinsip tersebut BKM tidak akan mampu menjadi sebuah institusi lokal yang mandiri dalam mengatasi permasalahan masyarakat. Tanpa peran BKM yang kuat, maka program PNPM tidak akan menuju sasaran dan aktivitas-aktivitas yang dikerjakan oleh masyarakat penerima manfaat dipastikan tidak akan berjalan secara berkelanjutan. C. Dasar Pelaksanaan Kajian Kegiatan Sosial Dalam PNPM Perkotaan Dana-dana P2KP (BLM) yang ditujukan untuk anggota masyarakat miskin disalurkan melalui BKM di tingkat kelurahan. Selama masa pelaksanaan P2KP-1 15

28 sejumlah 87% dari dana-dana tersebut diperuntukkan bagi kegiatan ekonomi (sebagian besarnya adalah kredit mikro), selama pelaksanaan P2KP-2 penggunaan BLM menjadi lebih beragam dengan hampir 40% diantaranya dicairkan melalui infrastruktur BKM dan sub-unit lingkungannya (UPS Pengelola Lingkungan), 33% untuk sub-unit ekonomi (UPS Pengelola Keuangan) dan sisanya 27% digunakan oleh sub-unit sosial (UPS Pengelola Sosial) secara berturut-turut. Meski pemanfaatan untuk tujuan sosial masih dikalahkan dengan penekanan pada infrastruktur dan kredit mikro, pembagianya telah meningkat dengan luar biasa dari batas 1,9 % di seluruh penggunaan dana BKM di P2KP fase pertama. Meskipun mereka mengindikasikan perhatian yang meningkat pada kebutuhan sosial diantara kaum miskin, bagaimanapun hal itu tetap tidak jelas apakah kegiatankegiatan masyarakat yang terarah pada kebanyakan kelompok yang rentan tepat untuk menjadi landasan jaring pengaman sosial yang dikelola masyarakat, ataukah tetap memenuhi syarat sebagai tindakan yang bersifat amal, tidak berkelanjutan, sporadis, dan sesaat. BKM setempat jelas belum memiliki kapasitas untuk menjadi perantara yang kompeten yang tepat untuk menjembatani kebutuhan keamanan sosial dan kesejahteraan sosial dari kebanyakan anggota masyarakat yang rentan dengan pilihan-pilihan yang tersedia untuk memberikan pendanaan yang berkelanjutan dan fasilitasi dari pelayanan-pelayanan yang cukup untuk kelompokkelompok lokal yang rentan. Dengan demikian kajian yang diusulkan tentang kegiatan pelayanan sosial di tingkat masyarakat perlu memberikan jawaban pada pertanyaan utama penelitian pada tabel berikut ini: Tabel II.2 Daftar Pertanyaan Pokok Kajian Kegiatan Sosial Dalam PNPM Perkotaan (1) Apakah pola kegiatan sosial yang ada saat ini di lokasi penelitian diprakarsai dan dilaksanakan oleh BKM? (2) Apakah berbagai pelayanan ini dapat berkelanjutan sebagai prakarsa awal menuju jaring pengaman lokal yang berkelanjutan? (3) Apakah pilihan dukungan yang ada di dalam dan sekitar masyarakat berhubungan untuk kegiatan jangka panjang yang lebih berkelanjutan? (4) Apa sajakah hambatan (yang diduga atau obyektif) dalam penggunaan pilihan dukungan yang tersedia? (5) Apakah jenis perubahan-perubahan rancangan program (termasuk pengembangan prosedur-prosedur standar) di masa mendatang yang dapat mengurangi kekurangan-kekurangan yang ada pada pilihan dukungan menurut penggunaan saat ini yang tersedia dalam konteks masyarakat yang lebih luas? 16

29 BAB 3 Metodologi Kajian Kegiatan Sosial Dalam P2KP A. Lingkup Kajian 1. Waktu Kajian Waktu keseluruhan untuk kajian ini adalah selama 6 bulan (180 hari kalender) terhitung sejak dikeluarkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) dan mencakup (1) persiapan dan Pre-test; (2) kerja lapangan di wilayah terpilih; (3) analisa sementara, laporan sementara dan lokakarya analisa, dan; (4) analisa final dan penulisan laporan. Secara lebih detail dapat dilihat pada tabel di bawah ini : 17

30 Tabel III.1 Jadwal Menurut Tahapan Utama Penelitian Tahapan Utama Kajian Bulan-1 Bulan-2 Bulan-3 Bulan-4 Bulan-5 Bulan-6 Persiapan: Wawancara dan konsultasi di tingkat nasional, propinsi dan kota, pengumpulan dokumen dan data SIM yang diperlukan. Pembuatan instrumen penelitian Laporan Pendahuluan Instrumen Pre-test Kajian di lapangan: Analisa sementara, laporan sementara dan lokakarya analisa: Analisa data final/perumusan laporan final Laporan final (dan presentasi) 2. Materi Kajian Lingkup materi kajian kegiatan sosial dalam P2KP antara lain mencakup 5 (lima) aspek yaitu : a. Pola hubungan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh BKM di lokasi penelitian. b. Prospek keberlanjutan pelayanan sosial sebagai prakarsa awal menuju the sustainable social safety net. c. Mengidentifikasi pilihan masyarakat (internal) untuk mendukung kegiatan jangka panjang. 18

31 d. Mengidentifikasi hambatan/tantangan yang diperkirakan (predicted challenges) dan hambatan/tantangan nyata (objective challenges) dalam menfaatkan pelbagai macam dukungan yang tersedia. e. Melihat jenis perubahan rancangan program (termasuk pengembangan prosedurprosedur pokok/standar). Kedepan, perubahan ini dapat mengurangi kekurangan yang ada, dalam kaitannya dengan pilihan dukungan atas dasar penggunaan pada saat ini, dalam konteks publik secara umum. B. Lokasi Kajian Lokasi-lokasi kajian dipilih berdasarkan pertimbangan, yaitu ; (1) perbedaan utama geografis dan wilayah sosio-ekologis yang mana program telah diperluas seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali/Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua, (2) tingkatan pembangunan kota di setiap daerah, dan (3) kelurahan di kota terpilih dapat disusun menurut ciri-ciri yang relevan secara tematik dan kelurahan dengan peringkat tertinggi dan terendah akan dimasukkan dalam kajian untuk analisa perbandingan lebih lanjut. dan tidak mencakup lebih dari enam daerah perkotaan yang berbeda. Dalam setiap kota terpilih, dua kelurahan berbeda harus dipilih untuk penyelidikan selanjutnya, yang harus mewakili kasus-kasus ekstrim dalam kaitannya dengan pertanyaan utama penelitian. Alasan pemilihan akhir dan prosedur akan dijelaskan terpisah dalam strategi penelitian pada laporan pendahuluan yang dijelaskan lebih lanjut di bagian bawah. Penentuan lokasi sasaran dalam kajian ini dilakukan dengan merujuk pada kluster daerah sasaran program P2KP/PNPM, terdiri dari 6 Kota : Bengkulu, Medan sebagai representasi daerah sasaran program P2KP 3, Makasar, Gorontalo, sebagai representasi daerah sasaran program P2KP 2 dan Surabaya, Pasuruan, sebagai representasi daerah sasaran program PNPM Setiap daerah tersebut diambil 1 kelurahan yang paling aktif kegiatannya dan 1 kelurahan yang kurang aktif kegiatannya dengan mengacu pada data yang tersedia di Sistem Informasi Manajemen. Secara lebih rinci lokasi penelitian sebagai berikut : a. Kota Pasuruan dengan lokasi sasaran Kelurahan Kepel Kecamatan Bugul Kidul dan Kelurahan Panggungrejo Kecamatan Bugul Kidul. b. Kota Surabaya dengan sasaran Kelurahan Gundih, Kecamatan Bubutan dan Kelurahan Sawunggaling Kelurahan Wonokromo. c. Kota Gorontalo dengan sasaran Kelurahan Limba B, Kecamatan Kota Selatan dan Kelurahan Lekobalo Kecamatan Kota Barat. 19

32 d. Kota Maksasar dengan sasaran Kelurahan Bunga Eja Beru dan Kelurahan Rappokaling Kecamatan Bontoala. e. Kota Bengkulu dengan sasaran Kelurahan Panorama Kecamatan Gading Cempaka dan Kelurahan Pasar Melintang, Kecamatan Teluk Segara. f. Kota Medan dengan sasaran Kelurahan Belawan Kecamatan Medan Belawan dan Kelurahan Sukaraja Kecamatan Medan Maimun. Meskipun pemilihan lokasi di atas tidak mencakup daerah terpencil di wilayah Timur Indonesia dan Kalimantan, sehubungan dengan kepadatan penduduk dan jumlah masyarakat yang berpartisipasi di wilayah terpilih, intervensi program dalam jumlah yang besar secara teoritis akan terwakili. Lebih lagi, keragaman sosial-budaya dan sosial-ekonomi akan tetap signifikan untuk memberikan perbandingan masalah-masalah proyek dalam konteks yang berbeda. C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 1. Sumber Data Setiap informasi dicari melalui sumber-sumber ; PNPM Pusat (Sistem Informasi dan Manajemen data-sim data dan Konsultan Manajemen Pusat-KMP), Konsultan Manajemen Wilayah (KMW), administrasi kota, dan fasilitator lokal. Data yang dikumpulkan dari kajian ini berasal dari BKM (pengelola dan anggota Badan Keswadayaan Masyarakat) dan KSM (pengelola dan anggota Kelompok Swadaya Masyarakat) yang berada di daerah sasaran program yang dipilih. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan data dilakukan melalui Interview dengan semi structure interview dan interview biografis, Focus Group Discussion, Observasi, dan Dokumentasi atas data-data sekunder. Adapun informan penelitian meliputi KMW, TA KMW, Korkot, Faskel, pemerintah kelurahan, Penanngung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK) kecamatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah/Badan Pemberdayaan Masyarakat, KSM/Panitia, BKM, Unit Pengelola Sosial, masyarakat penerima manfaat, di masing-masing kelurahan yang menjadi sasaran program PNPM Perkotaan ini. Langkah pertama yang pertama kali dilakukan dalam teknik pengumpulan data adalah melakukan interview dengan KMW dan Korkot untuk memperoleh gambaran terlebih dahulu tentang peta wilayah dan juga peta kegiatan sosial yang ada di lokasi sasaran tersebut. Setelah itu langkah yang dilakukan adalah dengan melakukan FGD kepada BKM baru kemudian ke masyarakat penerima manfaat. Untuk masyarakat penerima manfaat dipilih dengan menggunakan purposive sampling. 20

33 Secara lebih rinci jenis data dan teknik pengumpulan data yang dilakukan dapat diuraikan dalam tabel di bawah ini : Tabel III.2 Teknik Pengumpulan Data Jenis Data Pertanyaan Penelitian 1 Pertanyaan Penelitian 2 Pertanyaan Penelitian 3 Pertanyaan Penelitian 4 Pertanyaan Penelitian 5 Sumber data KSM/Panitia UPS BKM Fasilitator Kelurahan Tim Pemetaaan Swadaya Pemerintah Kelurahan PJOK Kecamatan Korkot KMW BKM Fasilitator Kelurahan Masyarakat Sasaran KSM/Panitia Tim Pemetaaan Swadaya Korkot KMW PJOK Kecamatan UPS Pemerintah Kelurahan Tim Pemetaaan Swadaya Pemerintah Kelurahan BKM Fasilitator Kelurahan PJOK Kecamatan UPS KSM/Panitia Korkot KMW UPS BKM Fasilitator Kelurahan Masyarakat Sasaran. KSM/Panitia Tim Pemetaaan Swadaya Pemerintah Desa PJOK Kecamatan Korkot KMW Masyarakat sasaran UPS BKM Korkot KMW Pemda Teknik Pengump ulan data Observasi FGD SS Interview Interview Biografis Dokumentasi Observasi FGD SS Interview Interview Biografis Dokumentasi Observasi SS Interview Interview Biografis Dokumentasi Observasi SS Interview Interview Biografis Dokument asi SS Interview Interview Biografis Dokumentasi Beberapa kesulitan di temukan dalam teknik pengumpulan data seperti kesulitan melakukan semi structure interview secara mendalam ke beberapa informan khususnya informan dari masyarakat sasaran yang berusia lanjut (Lansia). Hal ini dikareankan persolan kendala bahasa dan juga pendidikan. Tidak semua data sekunder juga terkumpul seperti data mengenai proposal-proposal kegiatan sosial, laporan kegiatan sosial termasuk alokasi anggaran-anggaran yang digunakan dalam kegiatan sosial tersebut. Hal ini dikarenakan dokumentasi tentang data sekunder di BKM tidak terarsip secara baik. Di Limba B Gorontalo misalnya data-data sekunder juga tidak terarsip secara baik, karena pengetikan data-data BKM dilakukan di rental komputer. 3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh di lapangan akan dianalis secara kualitatif. Proses analisis data akan dilakukan dengan melakukan beberapa langkah yaitu reduksi 21

34 data, penyajian data dan pengecekan kembali catatan-catatan di lapangan. Data-data yang telah di cek kembali tersebut kemudian dianalisis dengan teknik interpretasi. Interpretasi meliputi memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menerangkan pola-pola uraian dan mencari hubungan dan keterkaitan di antara dimensi-dimensi uraian tersebut (Patton, 1987 : 144). Dengan melakukan pemaknaan tersebut diharapkan akan diperoleh temuan-temuan yang terkait dengan pelaksanaan program PNPM. Untuk menjamin bahwa data dan informasi yang dikumpulkan itu valid (benar dan objektif), maka dilakukan uji validitas data melalui teknik triangulasi yang dilakukan melalui : a. Diversifikasi sumber data/informasi ; sehingga antar sumber informasi/data bias dilakukan cross check untuk menemukan objektifitas. Hal ini dilakukan dengan melakukan pengumpulan data dari berbagai macam sumber. b. Diversifikasi teknik pengumpulan data ; sehingga data yang dihasilkan melalui beragam teknik bias saling diperbandingkan untuk memperoleh data/informasi yang paling benar. c. Snow Ball Technique ; pengujian validitas data dan informasi melalui teknik bola salju yakni membangun deskripsi atas sebuah realitas yang dimulai dari sedikit sampai banyak responden/informan dengan selalu melakukan cross check atas data/informasi yang diperoleh. d. Focus Group Discussion ; di samping sebagai teknik pengumpulan data, FGD dapat juga digunakan sebagai media untuk triangulasi dengan memeriksa kembali hasil temuan lapang kepada beberapa orang responden sekaligus dalam sebuah forum diskusi. Selanjutnya dilakukan desiminasi untuk menguatkan validasi data dan mendapatkan umpan balik. Diseminasi dilaksanakan melalui kegiatan lokakarya dengan mengundang manajemen P2KP yang terkait, bidang R&D P2KP, Tim Konsultasi Evaluasi P2KP, Pengamat dari Bank Dunia dan Bappenas. Dengan lokakarya ini diharapkan akan diperoleh umpan balik dari pihak-pihak yang terkait yang mendukung proses penyempurnaan program PNPM ini. 4. Diskusi dan Pelaporan 22

35 a. Laporan Pendahuluan Laporan Pendahuluan diserahkan dalam bentuk softcopy dan hardcopy (sebanyak 15 eksemplar dalam format A4) tidak lebih dari satu bulan sesudah dikeluarkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK). Laporan mencakup kerangka logis, strategi penelitian, alasan pemilihan lokasi kajian, rencana kerja dan rincian jadwal pelaksanaan kerja termasuk berbagai draft instrumen yang lengkap untuk dipakai pada berbagai tingkatan kajian yang berbeda. b. Laporan Sementara dan Lokakarya Hasil Kajian Awal Sesudah pengumpulan dan proses pengolahan data lapangan selesai Laporan Sementara diserahkan dalam bentuk softcopy dan hardcopy (15 eksemplar, dalam format A4) dan kemudian didiskusikan dalam lokakarya yang bertujuan membantu tim dalam pengembangan pandangan penting pada hasil analisa awal dan mengusulkan rencana analisa data yang sesuai. c. Laporan Akhir Laporan akhir diserahkan pada saat sebulan sebelum masa berakhirnya kontrak dalam bentuk softcopy (dalam bentuk CD sebanyak 30 CD) dan dalam bentuk hardcopy (sebanyak 30 eksemplar, dalam format A4). Laporan akhir ini mencantumkan strategi implementasi dan semua hasil kajian, termasuk kesimpulan dan rekomendasi. Laporan didahului dengan ringkasan eksekutif (executive summary) yang komprehensif namun singkat. Semua alat penelitian dan instrumen akhir yang digunakan selama kajian dilampirkan. 23

36 BAB 4 Organisasi dan Manajemen A. Organisasi dan Staffing Review Kegiatan Sosial P2KP (PNPM) ini akan dipimpin oleh seorang Team Leader yang mengkoordinir 3 (tiga) orang tenaga ahli utama, yaitu ; 1 (satu) orang ahli community empowerment dan 2 (dua) orang ahli sosiologi. Kegiatan pengumpulan data dan informasi akan didukung oleh enumerator yang direkrut untuk membantu pengumpulan data sekaligus mengfasilitasi proses FGD di lapangan. Adapun Struktur organisasi pelaksanaan kegiatan kajian atau review ini adalah sebagai berikut 24

37 Gambar IV.1. Struktur Organisasi Tim Pelaksana Kajian Team Leader Prof. Dr. Sunyoto Usman Community Empowerment Specialist Hempri Suyatna, S.Sos, M.Si Sociologist Drs. Purwanto, SU, M.Phil Sociologist Derajad S Widhyharto, S.Sos, M.Si B. Distribusi Pekerjaan Adapun deskripsi pekerjaan personil yang akan menjalankan kegiatan studi ini adalah : 1. Team Leader : a. Bertanggung jawan terhadap keseluruhan koordinasi dari studi. b. Menghubungkan dengan konsultan evaluasi P2KP/ tim supervisor. c. Mengorganisasikan presentasi, waktu serta akurasi laporan. d. Menjamin kelayakan minat pada kesempatan untuk penyesuaian desain program. e. Menyusun seluruh laporan kegiatan studi sesuai dengan permintaan dalam TOR kegiatan 2. Community Empowerment specialist a. Membantu Team Leader menyusun perencanaan studi b. Melakukan studi meja tentang kegiatan sosial dalam pemberdayaan masyarakat program PNPM c. Menyusun instrumen studi yang berkaitan dengan aspek pemberdayaan masyarakat d. Melakukan pengambilan data lapangan dengan berbagai teknik pengambilan data e. Melakukan analisis data dan penyusunan laporan hasil lapangan f. Membantu team leader menyusun dan mempresentasikan berbagai laporan studi 25

38 3. Sociologist Specialist a. Melakukan persiapan studi yang mencakup perancanangan instrument dan uji coba instrument terutama menyangkut aspek-aspek sosiologis dalam kegiatanan pelayanan sosial BKM b. Terlibat dalam pengumpulan data primer dan data sekunder di lapangan dengan lokasi yang terpilih c. Melakukan analisis aspek-aspek sosialogis dalam kegiatan pelayanan social BKM, termasuk potensi keberlanjutannya. d. Menyiapkan laporan kegiatan studi tentang aspek-aspek sosiologis dalam kegiatan pelayanan social PNPM serta potensi keberlanjutannya. e. Membantu team leader dalam menyiapkan seluruh laporan studi yang diminta dalam TOR 26

39 BAB 5 HASIL PELAKSANAAN KAJIAN Bab ini menguraikan berbagai temuan hasil pelaksanaan kegiatan sosial di masingmasing lokasi. Pembahasan dimulai dengan pemaparan deskripsi wilayah kemudian dilanjutkan dengan temuan-temuan umum, analisis kontekstual dari kegiatan sosial di masing-masing lokasi dan analisis mikro yang menguraikan secara lebih khusus tentang kegiatan sosial di masing-masing lokasi yang menjadi sasaran. A. Deskripsi Wilayah 1. Kota Pasuruan Kedua kelurahan yang menjadi sasaran dari kajian di Kota Pasuruan yaitu Kelurahan Kepel dan Kelurahan Panggungrejo merupakan sasaran program PNPM tahun Dilihat dari tingkat pendidikan, dan perekomian terlihat bahwa Kelurahan Kepel lebih maju dibandingkan dengan Kelurahan Panggungrejo. Untuk dana PNPM ini, Kelurahan Kepel 27

40 memperoleh dana sebesar Rp 300 juta sedangkan untuk Kelurahan Panggungrejo sebesar Rp 200 juta. a. Kelurahan Kepel, Bugul Kidul, Pasuruan, Jawa Timur Secara geografis, Kelurahan Kepel berada pada ketinggian 4 meter di atas permukaan laut. Rata-rata curah hujan 1400 mm/tahun dengan rata-rata bulan hujan selama 5 bulan. Secara administratif, Kelurahan Kepel di sebelah utara berbatasan langsung dengan Kelurahan Tapaan, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Blandongan, di sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Bakalan, dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Bugul Kidul. Kegiatan ekonomi masyarakat Kelurahan Kepel meliputi beberapa sektor antara lain, perdagangan, mebel, pertanian, peternakan, industri kecil/sedang/besar. Diantara sektor-sektor tersebut, sektor yang paling dominan di Kepel adalah perdagangan. Secara administratif, Kelurahan Kepel terdiri atas 6 RW dan 20 RT. Warga Kelurahan Kepel terdiri dari 715 Kepala Keluarga dengan jumlah laki-laki sebanyak 1476 dan perempuan sebanyak 1672 orang. Permasalahan kemiskinan di Kelurahan Kepel dibeberapa bidang antara lain, masalah sosial dan kesehatan seperti rendahnya kesadaran gizi bagi ibu hamil dan keseimbangan gizi bagi balita, masalah ekonomi. Kegiatan perekonomian warga didominasi oleh sektor perdagangan, mebel, pertanian, peternakan, industri kecil/sedang/besar, dan jasa. Mayoritas masyarakat paling dominan bekerja sebagai wiraswasta di bidang perdagangan. Selain itu, masyarakat Kepel juga menggantungkan hidup di sektor pertanian, perikanan dan peternakan, masalah Lingkungan. Secara umum kondisi lingkungan (terutama lingkungan fisik) berada dalam kondisi yang standar, meski ada beberapa bagian yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. b. Kelurahan Panggungrejo, Bugul Kidul, Pasuruan, Jawa Timur Kelurahan ini terletak di daerah utara Kota Pasuruan dengan luas wilayah sekitar 58 hektar. Di sebelah utaranya, Kelurahan Panggungrejo berbatasan dengan Selat Madura, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Mandaranrejo, sebelelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Mandaranrejo, dan sebelah barat berbatasan dengan sungai Gembong. Mengacau pada data sensus tahun 2007, jumlah penduduk Kelurahan Panggungrejo adalah 2924 KK dengan perincian 1448 warga adalah laki-laki dan 1476 warga perempuan. 28

41 Dengan lahan yang terbesar hanya sebagai kawasan permukiman penduduk dan sebagian lagi sebagai lahan tambak ikan, maka tidak banyak potensi alam yang bisa dikelola. Padatnya penduduk dan beragamnya masalah sosial dan ekonomi serta kurangnya lapangan pekerjaan sebagai alternatif karena mayoritas penduduk Panggungrejo bekerja sebagai nelayan dan tidak ada ketrampilan lain sehingga lapangan pekerjaan di perusahaan-perusahaan industri tidak dapat menyerap tenaga kerja dari Panggungrejo. Kondisi ini menyebabkan daerah Panggungrejo merupakan daerah kantong kemiskinan. Secara administratif, Kelurahan Panggungrejo terdiri atas 4 RW dan 9 RT. Mayoritas penduduk berprofesi sebagai nelayan oleh sebab itulah watak warga masyarakatnya cenderung keras dan blak-blakan (to the point). Tingkat Pendidikan warga masyarakat Kelurahan Kepel kebanyakan rendah karena mereka lebih mengutamakan pendidikan agama daripada pendidikan formal sehingga hal ini akan berpengaruh pada SDM yang ada di masyarakat kelurahan ini. Dalam program PNPM, Kelurahan Panggungrejo memiliki badan keswadayaaan masyarakat yang bernama BKM Anugerah. Permasalahan yang mucul di Kelurahan Panggungrejo antara lain pada bidang kesehatan, perekonoman serta masalah lingkungan. Pada bidang kesehatan, masyarakat masih memiliki kesadaran yang kurang akan pentingnya asupan gizi baik bagi ibu hamil maupun bagi balita. Permasalahan pada bidang perekonomian muncul dikarenakan faktor mata pencaharian masyarakat. Mayoritas warga Kelurahan Panggungrejo bermatapencaharian sebagai nelayan dan berwiraswasta seperti menjadi pedagang kecil/kelontong. Sementara, sebagian kaum perempuan tidak memiliki pekerjaan pendamping yang pasti. Sehingga permasalahan yang muncul adalah masalah kesenjangan sosial serta perekonomian. Permasalahan lingkungan umumnya didominasi masalah kualitas kelengkapan prasarana serta sarana. Kurangnya kelengkapan prasarana dasar seperti jalan dan jembatan, sarana MCK, saluran air dan drainase, penerangan jalan umum. Selain itu, beberapa rumah warga juga tidak layak huni dan membutuhkan perbaikan. Dan, sistem pengelolaan sampah yang tidak maksimal. BKM Anugerah memiliki visi bersama masyarakat untuk membangun kepedulian kemandirian dalam menanggulangi kemiskinan dan menjadikan seluruh warga masyarakat di Kelurahan Panggungrejo khususnya warga miskin terpenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak ada warga miskin yang menganggur dan para wanitanya mempunyai penghasilan tambahan yang pasti untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Selain itu, untuk mengedepankan keswadayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan dan 29

42 membangun manusia di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi dengan memprioritaskan pada kegiatan-kegiatan seperti, penanggulangan kemiskinan untuk mencegah bahaya kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar sembilan tahun, kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, meningkatkan kesehatan ibu dan balita, memerangi bahaya penyakit menular, kelestarian lingkungan, membangun kerjasama/kemitraan dengan embaga pemerintah/swasta. 2. Kota Surabaya Kedua kelurahan yang menjadi kajian kegiatan sosial di Kota Surabaya adalah Kelurahan Gundih dan Kelurahan Sawunggaling. Kedua kelurahan ini merupakan sasaran dari program P2KP sejak tahun Dilihat dari tingkat pendidikan, perekomian, tata ruang pemukiman terlihat bahwa Kelurahan Gundih lebih maju dibandingkan dengan Kelurahan Sawunggaling. a. Kelurahan Gundih, Kota Surabaya Secara administratif, Kelurahan Gundih terdiri atas 10 RW. Kondisi lingkungan Kelurahan Gundih terlihat sangat tertata dan bersih. Kelurahan ini memiliki program untuk mempertahankan kondisi lingkungan yang hijau dan bersih dengan moto GGC (Gundih Green and clean 2009). Suasana asri, hijau dan bersih terlihat cukup merata di wilayah Kelurahan Gundih. Namun demikian, masyarakat miskin juga masih ada di Kelurahan Gundih. Masyarakat miskin umumnya bekerja sebagai buruh bangunan, dan pekerjaan serabutan. Kelurahan Gundih memiliki badan keswadayaan bernama BKM Gundih Sejahtera. Gundih Sejahtera berusaha merancang program penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Gundih secara obyektif dan melibatkan mayarakat secara langsung. Setelah dilakukan analisa bersama, maka dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang menginginkan program kemiskinan dapat tertanggulangi adalah masyarakat miskin itu sendiri, orang kaya, pemerintah, usahawan peduli, kelompok strategis, LSM, serta BKM. Setelah dilakukan pembicaraan bersama akhirnya dapat diambil poin-poin yang perlu diambil untuk mengatasi masalah kemiskinan di beberapa bidang antara lain Permasalahan prasarana dasar fisik yang meliputi: pembangunan prasarana fisik mendasar seperti perbaikan jembatan, pengerukan saluran, pembuatan saluran, pengadaan komposter, dan komposter komunal, untuk kelestarian lingkungan warga Kelurahan Gundih. Permasalahan bidang sosial yang meliputi pelatihan membuat parcel, pelatihan 30

43 membuat kue, serta pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi yang berasal dari keluarga miskin. Permasalahan bidang ekonomi yang meliputi: pemberian modal bantuan untuk menjalankan usaha sesuai bidang kemampuannya. Permasalahan bidang mental dan moral yang meliputi bimbingan kepada kaum muda usia produktif terkait keterampilan dan pengembangan usaha mandiri, pemberian pengertian terkait bahaya narkoba serta efek negatif lain yang didapat di kota besar seperti Surabaya. b. Kelurahan Sawunggaling, Wonokromo, Kota Surabaya Lokasi kelurahan ini berdekatan dengan kompleks perumahan TNI-AD Kodam IV Brawijaya. Jumlah penduduk miskin sekitar orang atau 7% dari jumlah penduduk keseluruhan (30.000). Terdapat 12 RW, 65 RT. Kompleks perumahan TNI AD membentuk RW dan RT sendiri. Lokasi pemukiman penduduk miskin tergolong kumuh, gang-gang kecil, sempit tidak bisa dilalui mobil. Kompleks perumahan TNI-AD tergolong bersih, ada masjid besar ditempati tantama, bintara, dan perwira menengah. Kalau musim hujan sering banjir, pengerasan jalan (paving) semakin menambah sempit ruang penyerapan air. Pekerjaan penduduk miskin : penjahit, sulam, kerudung, bengkel dan pekerjaan serabutan. Karena merupakan permukiman kumuh, maka tingkat kesadaran warga akan kebersihan dan kesehatan juga relatif kurang. Permasalahan kesehatan dan kesadaran gizi menjadi permasalahan yang diprioritaskan untuk diselesaikan. 3. Kota Gorontalo Dua kelurahan yang menjadi sasaran dari kegiatan sosial di kota Gorontalo adalah Kelurahan Lekobalo dan Limba B. Kedua kelurahan ini merupakan sasaran dari program P2KP tahun Dilihat dari tingkat mata pencaharian menunjukkan bahwa kedua kelurahan ini memiliki perbedaan. Kelurahan Limba B mayoritas masyarakatnya merupakan masyarakat pedagang sedangkan Kelurahan Lekobalo mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai masyarakat nelayan atau petani ikan dengan karamba di danau tersebut. a. Kelurahan Limba B, Kota Selatan, Kota Gorontalo Kelurahan Limba B adalah salah satu dari sepuluh kelurahan yang berada di Kecamatan Kota Selatan. Kelurahan Limba B terbagi atas enam lingkungan dengan luas wilayah 112 hektar. Jumlah penduduk mencapai 5323 jiwa dengan 1304 Kepala Keluarga yang terdiri atas 2355 jiwa dan 3028 jiwa. Jumlah keluarga pra sejahtera dan 31

44 Keluarga Sejahtera I adalah 376 KK dan jumlah Kepala Keluarga Sejahtera ada 928 KK. Jarak tempuh dari kecamatan 1 kilometer sedangkan jarak tempuh dari kota 2 kilometer. Kelurahan Limba B di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Limba U II dan Limba U I, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Libuo, sebelah barat berbatasan sengan Kelurahan Heledulaa Selatan. Kelurahan Limba B memiliki BKM bernama BKM Mandiri Sejahtera. Mandiri Sejahtera memiliki rencana induk tiga tahunan dalam kegiatan lingkungan, sosial, dan ekonomi untuk penanggulangan kemiskinan. Strategi BKM tersebut agar dalam penyusunan Program Jangka Menengah Penanggulangan Kemskinan mencapai sasaran yakni melalui beberapa tahapan. Diantara langkah-langkah tersebut adalah, pertama, refleksi kemiskinan yang diadakan tiap-tiap kelompok masyarakat yang bertujuan untuk menggali masalah kemiskinan agar masyarakat mampu merumuskan karakteristik kemiskinan yang ada di wilayahnya. Kedua, Pemetaan swadaya yang dilakukan oleh tim pemetaan swadaya bersama relawan menyepakati masalah, potensi, dan kebutuhan di tingkat lingkungan dan selanjutnya serangkaian gagasan dan aspirasi tersebut dibawa ke tingkat kelurahan. Ketiga, rekap hasil tingkat kelurahan dan disusun sebagai prioritas masalah. Keempat, sosialosasi PJM Pronangkis yang telah disepakati kepada masyarakat. Terakhir, BKM dan PP membahas tanggapan dari masyarakat setelah mendapat tanggapan dari masyarakat. Sesuai hasil rumusan permasalahan yang dihadapi masyarakat, maka didapatkan hasil pemetaan swadaya masyarakat sebagai berikut permasalahan perekonomian, lingkungan serta sosial. Permasalahan Ekonomi, sebagian penduduk berproesi sesbagai penjual kue, pedagang, penjahit, tukang bentor, bengkel, dan usaha kewiraan lain, sehingga mereka relatif lebih membutuhkan modal untuk mendukung kelancara usaha mereka serta pengembangan usaha. Masalah lingkungan bersumber pada tidak lancarnya sistem drainase, ketidaktersediaan MCK, minimnya bak sampah, serta kondisi jalan dan jembatan yang sudah rusak. Banyaknya masyarakat yang sudah lansia/janda yang tidak mampu membiayai hidupnya, anak-anak yang terancam putus sekolah, tidak adanya fasilitas rukun duka, biaya pengobatan yang mahal dan masih ada anak laki-laki dewasa yang belum dikhitan karena minimnya biaya. 32

45 b. Kelurahan Lekobalo, Kota Barat, Kota Gorontalo Nama Lekobalo sering dimaknai sebagai daerah yang jalannya berliku-liku dan berbelok-belok. Wilayah ini berada di antara bukit/pegunungan dan danau. Pemukiman penduduk banyak di sekitar danau yang apabila hujan deras maka air danau naik dan rumah-rumah di sekitar danau terendam air. Dari sekitar 800 kepala keluarga lebih di Kelurahan Lekobalo, 181 diantaranya adalah keluarga miskin. Jumlah penerima BLT di Lekobalo : 549 jiwa. Lekobalo terdiri atas 20 Rukun Tetangga dan 5 Rukun Warga. Secara umum, mayoritas keluarga miskin tersebut menghuni kawasan kumuh. Keluarga miskin ini kebanyakan bermata pencaharian sebagai buruh harian, pemulung, penarik becak dan usaha kecil kecilan.permasalahan utama kesejahteraan di Kelurahan Lekobalo meliputi kebutuhan dasar seperti kebutuhan sandang, papan dan pangan. Sebagai contoh, kondisi perumahan yang kurang memadai sehingga memerlukan peningkatan kualitas rumah layak huni. Sedangkan permasalahan kesehatan, meliputi kurangnya kesadaran akan kebutuhan gizi bagi anak balta dan bu hamil. Fasilitas yang ada di posyandu sendiri juga sanga minim sehingga memerlukan bantuan. Selain itu, masih banyak juga anak usia usia sekolah yang mengalami putus sekolah. 4. Kota Makassar a. Kelurahan Rappokaling, Makassar Sulawesi Selatan Sosialisasi program P2KP di kelurahan di Kelurahan Rappokaling dimulai pada tahun Prosesnya dimulai dengan rekrutmen relawan, pemetaan swadaya masyarakat dan kemudian pemilihan pengurus BKM. Setelah melalui berbagai prosedur standar, program kegiatan sosial baru efektif dilaksanakan mulai tahun Sampai saat ini koordinator BKM telah berganti dua kali, berarti koordinator yang sekarang menjabat adalah yang ketiga. Pergantian pertama disebabkan oleh alasan transparansi, sedang pergantian kedua karena alasan kesibukan koordinator pada pekerjaan dan tugas pokoknya. Wilayah Rappokalling terbagi dalam dua kawasan yang dibatasi oleh jalan raya dengan karakteristik yang agak berbeda. Salah satu kawasan dapat dikategorisasikan sebagai kawasan kumuh dengan penduduk mayoritas berada dalam kondisi miskin, perumahan yang tidak layak huni dan ada di atas lahan yang sebelumnya adalah rawa yang ditimbun. Kawasan kumuh terdiri dari 3 RW, sedang kawasan lainnya 2 RW. Penduduk kelurahan ini seluruhnya berjumlah orang yang terdiri dari 6048 laki laki dan 6076 perempuan. Penduduk sebesar itu berasal dari 3006 kk terdiri dari 2792 laki laki 33

46 dan 214 perempuan. Dari jumlah kk tersebut 1499 kk yang terdiri dari 1340 laki laki dan 159 perempuan tergolong miskin. Secara umum, mayoritas keluarga miskin tersebut menghuni kawasan kumuh. Keluarga miskin ini kebanyakan bermata pencaharian sebagai buruh harian, pemulung, penarik becak dan usaha kecil kecilan. b. Kelurahan Bunga Ejaya, Bontoala, Kota Makassar Sama halnya dengan di Kelurahan Rappokaling, Program P2KP di Kelurahan Bunga Ejaya, sudah berlangsung sejak tahun 2004, sejak tahun tersebut telah berdiri BKM Mitra Masyarakat. Pendirian BKM ini tidak terlepas dari dukungan program P2KP saat itu, Sampai saat ini BKM Mitra Masyarakat berkantor bersama dengan kantor Lembaga Pemberdayan Masyarakat (LPM) Kelurahan Bungaejaya. Dalam kurun waktu tahun 2004 sampai sekarang kepengurusan sudah berganti dua kali, adapun kordinator kepengurusan saat ini adalah Bapak Djursum Kasim. Kelurahan Bungaejaya, Kecamatan Bontoala, Kota Makassar terdiri dari 4 Rukun Warga dan 21 Rukun Tetangga. Adapun luas wilayahnya adalah 18 Hektar, dibandingkan dengan kelurahan lainnya, luas wilayah kelurahan Bungaejaya tergolong kecil jika dibandingkan dengan kelurahan lainnya di Kota Makassar. Total penduduk di kelurahan ini sebanyak 5423 Jiwa. Laki-laki sebanyak 2585 jiwa dan perempuan sebanyak 2838 Jiwa.Penduduk dewasa sebanyaknya 3596 Jiwa sisanya adalah anak-anak dan remaja.sedangkan yang menjadi kepala keluarga sebanyak 997 Jiwa.Melihat data tersebut dan dibandingkan dengan luas wilayah, maka dapat disimpulkan bahwa Kelurahan Bunga Ejaya termasuk dalam kategori kelurahan padat penduduk. Selanjutnya, berdasarkan mata pencaharian sebagian besar penduduk Bungaejaya adalah karyawan swasta yakni sebesar 485 orang.sisanya adalah PNS, buruh, wiraswasta, tukang becak, pensiunan dan lain-lain. Masyarakat Kelurahan Bungaejaya terkategori menjadi masyarakat asli dan pendatang. Sebagain besar masyarakat asli tinggal di pedalaman kampung, sedangkan para pendatang tinggal di pinggiran jalan utama maupun kampung. Adapun tingkat pendidikan masyarakat terbanyak adalah lulusan SD sebanyak 1510 orang, kemudian lulusan SMP 1325 orang dan SMA 1100 orang. 5. Kota Bengkulu a. Kelurahan Panorama, Gading Cempaka, Kota Bengkulu Kelurahan ini merupakan salah satu dari 11 kelurahan yang ada Gading Cempaka. Sementara Kelurahan Panorama terdiri dari berbagai suku baik suku asli Bengkulu, 34

47 Lembak (suku yang lain : rejang, serawai), Suku Jawa, Suku Batak, Padang dan sebagainya. Kekeluargaan kuat. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai pedagang. Komposisi 70% berdagang, buruh/pms 20%, petani 10%. Umumnya warga asli. 85% beragama Islam. Jumlah KK miskin di Panorama. Versi BLT 626 KK miskin, versi Jaminan Kesehatan Kota 719 KK, versi BPS 572 KK. Sedangkan Jumlah KK di Panorama adalah 3111 KK. b. Kelurahan Pasar Melintang, Teluk Segara, Kota Bengkulu Kelurahan Pasar Melintang adalah salah satu dari 13 kelurahan di Teluk Segara. Kelurahan ini terdiri dari 2 Rukun Warga dan 6 Rukun Tetangga. Nama Pasar Melintang dimaknai sebagai daerah yang sering terjadi keributan. Warga masyarakat yang berada di wilayah yang berada di tengah kota Bengkulu ini banyak yang memiliki mata pencaharian sebagai PNS dan karyawan swasta, pengrajin serta buruh di rumah tangga. Dari 1900-an penduduk atau 350-an kepala keluarga lebih di Kelurahan Pasar Melintang, tidak secara tegas dinyatakan jumlah keluarga miskin, dan kalau melihat kondisi lingkungan maupun rumah para warga tampak kesan sederhana dan kurang mampu. 6. Kota Medan a. Kelurahan Belawan, Kecamatan Belawan, Kota Medan Kelurahan Belawan merupakan wilayah kecamatan Medan Belawan. Secara Geografis berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara, Kecamatan Medan Labuhan di sebelah selatan, Kecamatan Hamparan Perak di sebelah barat, serta Kecamatan Percut Sei Tuan di sebelah timur. Keseluruhan luas wilayah Kelurahan Belawan mencapai 11 Km 2. Jumlah penduduk Kelurahan Belawan ditinjau dari segi mata pencaharian pokok yakni: Buruh Swasta 575 jiwa, Pegawai Negeri 541 jiwa, Pedagang 523 jiwa, Penjahit 31 jiwa, Tukang Kayu 129 jiwa, Nelayan 1314 jiwa, Supir 25 jiwa, Tukang Becak 228 jiwa, TNI/Polri 219 jiwa, dan Pengusaha 107 jiwa. Kelurahan Belawan dikenal secara nasional sebagai wilayah pelabuhan dan kawasan industri. Penduduk yang sangat heterogen menjadi permasalahan yang pelik. Kemiskinan yang tampak adalah kemiskinan masyarakat yang berada di kawasan perindustrian. Masyarakat terdesak dengan teknologi, sementara masyarakat umumnya berprofesi di sektor informal seperti tukang becak, nelayan tradisional, pedagang kaki lima, tukang ojek, dan lain-lain. 35

48 Masyarakat Kelurahan Belawan, Kecamatan Medan Kabupaten Belawan Kota Medan sebagian besar mempunyai mata pencaharian yang sama yakni sebagai nelayan. Namun, pekerjaan nelayan tersebut terbagi menjadi dua yakni nelayan kecil dan buruh nelayan. Nelayan kecil yakni mereka yang mempunyai peralatan sederhana menjaring ikan ditepi pantai untuk dijual. Sebaliknya, yang disebut buruh nelayan adalah mereka yang menangkap ikan dengan peralatan besar (kapal dan Jaring) yang dimiliki pegusaha kapal/juragan/tokek yang rata-rata keturuanan Tionghoa (China). Mereka menganggap dengan bekerja sebagai buruh nelayan lebih menguntungkan (tidak memikirkan dana operasional dan mereka lebih suka digaji sebesar sehari) dibandingkan dengan menangkap sendiri dengan kapal dan jaring seadanya yang hanya menghasilkan tangkapan ikan yang sedikit, jika dijual hanya mendapat uang Tempat tinggal masyarakat Kelurahan Belawan terkelompok dalam lorong-lorong (gang) yang berisi puluhan sampai ratusan rumah panggung, kondisi tersebut beradaptasi dengan pekerjaan mereka sebagai nelayan. Rata-rata satu keluarga mempunyai minimal 5 anggota keluarga (Bapak-Ibu dengan tiga anak), ada yang masih tinggal di kelurahan tersebut ada pula yang menjadi migrant ke kota lain. Program P2KP di Kelurahan Belawan telah ada sejak tahun 2004, dan pada tahun tersebut BKM Kelurahan Belawan yang berlokasi di lorong pemancar lingkungan 29 gudang arang cukup mendapat simpati dari masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu tahun 2007 BKM Belawan mendapat respon positif untuk melanjutkan kegiatan program PNPM. Khusus untuk kegiatan sosial setidaknya BKM Kelurahan Belawan merancang dan melaksanakan dua kegiatan sosial di tahun anggaran tersebut.kegiatan sosial tersebut adalah rehabilitasi rumah tidak layak huni dan pelatihan komputer. Problema kemiskinan yang terjadi di Kelurahan Belawan dapat dilihat dari pemukiman yang kumuh, penghasilan masyarakat yang rendah dan tingginya tingkat pengangguran. Berbagai permasalahan tersebut belum dapat diselesaikan secara menyeluruh, karena penyelesaian masalah yang terpisah-pisah. Setelah melakukan pembahasan di masyarakat dan menentukan berbagai kriteria kemiskinan, langkah kerja yang telah dirumuskan bersama dituangkan dalam program jangka menengah (PJM) yang diusulkan oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Maritim yang memiliki wilayah kerja di Kelurahan Belawan. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh relawan, permasalahan utama yang masuk dalam PJM berkutat di seputar sarana dan prasarana lingkungan perumahan. Diantaranya, perumahan yang tidak tertata dengan baik, pemukiman yang tidak teratur, 36

49 serta kondisi rumah yang sangat memprihatinkan. Jika dijelaskan pada masing-masing komponen masyarakat, maka permasalahan yang terjadi di Kelurahan Belawan yakni permasalahan lingkungan, sosial, serta permasalahan ekonomi. Permasalahan lingkungan disebabkan oleh ketersediaan serta kualitas sarana dan prasarana yang masih kurang seperti minimnya suplai air bersih, perumahan kumuh, jalan rusak, jembatan rusak, drainase tdak bekerja dengan baik, banyaknya sampah di lingkungan warga, sarana MCK yang terbatas, gorong-gorong tersumbat, tangkahan nelayan yang tidak memadai. Permasalahan sosial yang muncul diantaranya, banyaknya keluarga prasejahtera, banyaknya anak putus sekolah, janda dan Lansia tidak mampu, anak yatim/piatu serta anak cacat serta kualitas sumber daya manusia yang kurang. Dan terakhir, permasalahan ekonomi yang terjadi antara lain, keterampilan yang dimiliki SDM masih minim, kurangnya modal usaha, pemasaran produksi hasil warga yang kurang baik Meskipun sudah ada bantuan yang masuk sebelum P2KP pada umumnya program terdahulu yang salah sasaran menjadi momok. Masyarakat menjadi skeptis lantaran menganggap program P2KP tidak jauh berbeda dengan program-program sebelumnya. Sementara, masyarakat belum terbiasa untuk menyampaikan apa yang menjadi akar permasalahan terjadinya kemiskinan di lingkungannya. Sebab, seperti sudah ada pola bahwa bantuan selalu datang dari atas dan tidak melibatkan warga. Jadi, ketika ada pertanyaan kepada warga terkait penanggulangan kemiskinan, akan selalu diarahkan kepada aparat pemerintah, kepala lingkungan setempat, atay warga yang biasa berurusan dengan pemerintahan setempat. Visi, Misi, dan Tujuan Program Penanggulangan Kemiskinan BKM MARITIM mewujudkan masyarakat Belawan yang makmur, sejahtera, berkeadilan dalam menjalankan nilai kejujuran, keadilan di tengah masyarakat. Masyarakat yang kuat, mandiri, dengan menciptakan kesejahteraan dan menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah dan kelompok peduli, tercipta lingkungan sehat, tertata, dan berkelanjutan. Tujuan program penangulangan kemiskinan adalah masyarakat secara sadar ikut dalam menanggulangi kemiskinan, peduli dengan warga sekitar, ikut dalam penentuan pengambilan keputusan dalam pemecahan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Jalur masyarakat ke pihak-pihak pemerintah, lembaga keuangan, kelompok pengusaha terjalin dengan baik dan saling menguntungkan. 37

50 b. Kelurahan Sukaraja, Medan Maimun, Kota Medan Kelurahan ini berlokasi di tengah kota Medan, sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian di sektor perdagangan dan pengusaha. Meskipun dari tepi jalan besar terlihat bangunan rumah toko dan permukiman mewah, namun di bagian belakang dari pertokoan tersebut terhampar perumahan yang padat. Kebanyakan dihuni oleh masyarakat miskin kota.rata-rata mereka bermata pencaharian sebagai buruh dan pekerja kasar. Di Kelurahan Sukaraja masyarakatnya cukup bervariasi etnisitasnya.sebagian besar adalah etnis melayu dan batak, mereka menempati permukiman yang padat di bantaran sungai maupun di lorong-lorong.sedangkan mereka yang menempati di pertokoan dan permukiman di jalan utama adalah mereka dari etnis tionghoa. Dari hasil observasi masyarakat etnis tionghoa dalam kesehariannya lebih suka menggunakan bahasa mandarin (hokkian dan fujing) daripada mengunakan bahasa Indonesia.Bahkan beberapa diantaranya masih berstatus Non-WNI.Fenomena ini secara tidak langsung memberi batas interaksi di kelurahan tersebut. Kegiatan sosial mulai di inisiasi sejak tahun 2006, setidaknya ada dua kegiatan sosial yang dirancang dan dilakukan di kelurahan ini, yakni : Santunan kepada janda miskin dan Pelatihan tata boga (memasak). Kegiatan sosial ini dibiayai dengan anggaran tahun Meskipun kemudian pencairan dana BKM sempat terhenti karena alasan yang tidak jelas. B. Hasil Temuan Umum di Enam Lokasi Penelitian Dari hasil pelaksanaan kajian di enam lokasi penelitian menunjukkan dinamika kegiatan sosial di tiap kota (Pasuruan, Surabaya, Makassar, Gorontalo, Bengkulu dan Medan). Hasil kajian menunjukkan adanya perbedaan dan persamaan kegiatan sosial di enam kota tersebut. Namun demikian secara umum ada beberapa temuan umum yang diperoleh dari hasil di lapangan dilihat dari jenis kegiatan sosial, pola kegiatan sosial, inisiasi kegiatan sosial maupun dilihat dari faktor pendukung dan penghambat kegiatan sosial tersebut. 1. Kegiatan Pelatihan sebagai Trend Dalam Kegiatan sosial Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di enam kota menunjukkan adanya trend bahwa kegiatan sosial sudah mengarah pada pelatihan. Memang kegiatan- 38

51 kegiatan sosial masih di dominasi dengan kegiatan-kegiatan karitatif seperti pemberian santunan pada Lansia/jompo, beasiswa pendidikan, bantuan sembako untuk Lansia, bantuan pemugaran untuk rumah dan sebagainya. Program-program pelatihan yang muncul sebagai trend merupakan pelatihan-pelatihan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas dan ketrampilan seperti pelatihan komputer, pelatihan ketrampilan salon, pelatihan membuat kompos rumah tangga, pelatihan menjahit, pelatihan tata boga dan sebagainya. Bahkan ada kegiatan sosial yang diinvestasikan untuk mengembangkan pendidikan anak yaitu dengan kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini seperti yang dilaksanakan di Gundih Surabaya. Dari perubahan ini sebenarnya sudah ada perubahan pola fikir dari BKM dalam memandang kegiatan sosial. Kegiatan sosial dipandang sebagai investasi sosial untuk mengembangkan kapasitas sumber daya manusia. Untuk lebih jelasnya mengenai kegiatan sosial tersebut dapat dilihat pada tabel V.1 di bawah ini : Tabel V.1 Kegiatan Sosial Program PNPM Di Enam Lokasi Sasaran Kota Kelurahan Jenis Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pasuruan Panggungrejo Pemberian Memberikan makanan tambahan makanan bagi anak-anak yang mengalami tambahan untuk korban gizi buruk. korban gizi buruk Pemberian Pemberian seragam SD dan SLTP Kepel seragam sekolah Kursus menjahit Kejar paket B Pembinaan posyandu Pembelian sarana untuk senam lansia Dana sosial ibu bersalin bagi anak tidak mampu. Pelatihan dilakukan oleh seorang pemilik perusahaan konveksi. Setelah peserta mampu, dilakukan kerjasama berupa pesanan dari konveksi tersebut. Program keaksaraan fungsional dan kelanjutannya dipegang oleh Muslimat NU, karena sebelumnya terinisiasi oleh kegiatan Muslimat NU Berupa penyuluhan cara hidup bersih dan pemberian makanan tambahan Hanya berupa pembelian sarana radio tape yang digunakan untuk senam lansia. Berupa pinjaman dana bergulir sebesar rupiah, untuk 39

52 Surabaya Gorontalo KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Gundih Sawunggaling Limba B Lekobalo Beasiswa pendidikan Pendidikan anak usia dini (PAUD) Bantuan sembako untuk lansia Pelatihan pengembangan keterampilan dan kewirausahaan Pelestarian lingkungan dengan pembuatan kompos rumah tangga Beasiswa pendidikan Penyuluhan ibu hamil Pemberian santunan pada lansia Pemberian Beasiswa pendidikan Bantuan untuk Rukun Duka Pelatihan keterampilan salon kemudian dikembalikan dengan cara angsuran, lalu dana dipinjamkan kembali Bantuan biaya pendidikan yang diberikan kepada siswa dari keluarga kurang mampu 9 RW telah memiliki PAUD. Salah satu diantaranya telah berkembang dan memiliki TK. Pemberian bantuan bahan kebutuhan pokok untuk warga lanjut usia yang kurang mampu. Berupa pelatihan menjahit, mekanik elektro, servis hp, dan pelatihan komputer Terbantukan oleh program pemkot green and clean dan warga menjadi termotivasi untuk merealisasikann program Bantuan biaya pendidikan yang diberikan kepada siswa dari keluarga kurang mampu. Penyuluhan kesehatan bagi ibu hamil Bantuan berwujud 50 Kg beras, gula, terigu, kopi, teh dan susu senilai 500rb serta perlengkapan sholat. Bantuan didistribusikan kepada 30 orang dari masing-masing lingkungan 6 orang. Diberikan kepada siswa dari keluarga kurang mampu Bantuan berupa karpet 10 m, kursi 25 buah, alat dorng/gerobag. Bantuan diberikan kepada 7 unit rukun duka. Kursus keterampilan salon serta pembelian alat perlengkapan salon senilai 12 juta. Pembelian kursi Berupa 200 buah kursi yang kemudian dikelola bersama oleh warga yang memiliki usaha deklit (persewaan alat pesta). Pemberian beasiswa pendidikan Diberikan kepada 55 siswa dari keluarga kurang mampu baik siswa SD, SMP, atau SMA. 40

53 Makassar Bengkulu KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Rappokaling Bunga Ejaya Panorama Rehabilitasi rumah warga Peningkatan gizi balita kurang mampu Santunan lansia Bantuan pemugaran rumah Beasiswa pendidikan Kursus komputer Beasiswa pendidikan Santunan untuk orang jompo dan orang cacat Pembinaan TPA Perbaikan rumah bagi keluarga kurang mampu Memberikan makanan tambahan dan gizi bagi balita dari keluarga kurang mampu. Ditambah, melengkapi perlengkapan di posyandu seperti timbangan dan meja. Disalurkan kepada 10 lansia, masingmasing sebesar rupiah. Disalurkan kepada 22 keluarga miskin, masing-masing bantuan senilai rupiah. Hanya diberikan sekali berupa uang tunai rupiah kepada setiap siswa sebanyak 108 siswa. Bantuan tidak diberikan langsung kepada peserta melainkan diberikan kepada lembaga penyelenggara kursus. Peserta sebanyak 40 orang. Biaya kursus ditanggung BKM sementara transportasi ditanggung peserta. Diberikan kepada siswa SD dan SMP setiap siswa mendapatkan bantuan Diberikan kepada lansia atau difabel sebesar untuk setiap orang Diberikan kepada guru ngaji bantuan sebesar Kursus komputer Pelatihan bekerjasama dengan SMKN 4 dengan jumlah peserta sebanyak 42 orang. Bantuan untuk setiap peserta sebesar Kursus menjahit Kursus mejahit juga bekerjasama dengan SMKN 4. peserta 12 orang dan masing-masing mendapatkan bantuan untuk biaya kursus sebesar Persewaan Di kelurahan ini terdapat 21 KSM perlengkapan yang bergerak di bidang persewaan pesta alat dan perlengkapan pesta seperti Kursi, tenda, dan sound sistem. Hasil keuntungan persewaan dimanfaatkan untuk pinjaman warga miskin dan dikelola sendiri oleh masing-masing BKM. Namun, realisasi pinjaman belum tercapai karena keuntungan relatif kecil. Kursus dan Kursus komputer ditujukan bagi 41

54 Medan KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Pasar Melintang Belawan pembinaan rental komputer Bantuan kepada orang jompo Bantuan beasiswa Perbaikan rumah warga kurang mampu Santunan untuk lansia dan yatim piatu Rehabilitasi rumah Kursus komputer lulusan SMP atau SMA khususnya dari warga miskin. Tindak lanjut dari rental ini berupa pendirian rental komputer yang dikelola juga oleh lulusan kursus komputer. Lima perangkat komputer yang tesedia melayani pengetikan, persewaan, serta percetakan. Hasil keuntungannya sebagian digunakan BKM untuk kemudian dipinjamkan kepada warga kurang mampu. Setiap orang menerima bantuan sebesar rupiah, dan diberikan berlanjut setiap 3 bulan sekali. Dana diperoleh dari investasi dana sebesar 41 juta rupiah kepada 4 pengusaha, yang kemudian setiap pengusaha memberikan infaq sebesar ribu rupiah. Setiap siswa memperoleh bantuan sebesar rupiah, dan diberikan berlanjut setiap 3 bulan sekali. Dana juga diperoleh dari investasi kepada 4 pengusaha diatas. Berupa pemberian atap seng, dan menurut RT setempat pemberian sangat terbatas dan tidak disesuaikan dengan rumah setiap warga. Bantuan diprioritaskan kepada lansia yang anaknya tidak mampu menyantuni, dan bantuan diberikan tidak dalam bentuk uang melainkan sembako, seperti beras. Bantuan rehabilitasi rumah masih sangat didominasi oleh BKM. Warga pemilik rumah tidak dilibatkan sama sekali dalam perencanaan. Mereka hanya menunggu sampai rumahnya jadi. Bahkan tukang dan pekerja ada di bawah kendali BKM. Rata-rata setiap rumah menghabiskan dana 5-10 juta rupiah. Peserta kursus tidak melalui open rekruitmen melainkan diumumkan saat rapat BKM sehingga hanya peserta BKM yang ikut. Peserta sebanyak 20 orang dan menghabiskan dana 12juta rupiah. 42

55 Sukaraja Santunan bagi janda miskin Pelatihan tata boga Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Lembaga pelaksana kursus didirikan hanya untuk merespon program kursus komputer dan belm berpengalaman sama sekali. Kegiatan sosial bagi janda miskin diberikan berupa 30 Kg gula atau jika diuangkan sebesar rupiah. Diberikan kepada 30 orang. Hanya berupa praktek dan demo memasak. Praktek memasak memakai kue/makanan berbahan baku mahal seperti pizza dan brownies yang menghabiskan sekitar per masakan. Warga hanya mampu saat demo memasak dan tidak mampu praktek sendiri karena tidak mampu membeli bahan makanan. Dari data tabel kegiatan sosial PNPM diatas, jumlah kegiatan sosial jika diperlihatkan dalam bentuk grafis V.1 dibawah ini : Grafik V.1 Perbandingan Jumlah Kegiatan Sosial Per Kelurahan Medan Bengkulu Makassar Gorontalo Surabaya Pasuruan Jumlah Kegiatan Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Dari tabel V.1 di atas menunjukkan bahwa berdasarkah hasil kajian yang dilakukan, jumlah kegiatan sosial yang terbanyak pada tahun 2009 ini ada di Kelurahan Bunga Ejaya, Makassar, Kelurahan Limba B, Kota Gorontalo, Kelurahan Gundih, Kota Surabaya dan Kelurahan Kepel, Kota Surabaya yaitu 5 kegiatan sosial. Kelurahan 43

56 Rappokaling, Makassar memiliki 4 kegiatan sosial. Sedangkan Kelurahan Belawan, Medan, Kelurahan Lekobalo,Gorontalo dan Kelurahan Sawunggaling, Surabaya masingmasing memiliki 3 jenis kegiatan sosial. Kelurahan yang paling sedikit memiliki jumlah kegiatan sosial adalah Kelurahan Sukaraja, Medan dan Kelurahan Panggungrejo Pasuruan. 2. Pola Kegiatan Sosial : Dari Karitatif Menunju Program Yang Berkelanjutan Pola kegiatan sosial ini dapat dilihat dari keberlanjutan dampak program dan keterkaitan kegiatan sosial dengan kegiatan sosial yang sudah ada sebelumnya (existing activity). Dilihat dari keberlanjutan dampak program, kegiatan sosial BKM juga dapat dibedakan menjadi dua: a. Program kegiatan sosial yang bersifat sekali habis (karitatif). Program ini pada umumnya berupa berbagai bentuk santunan dan bantuan. b. Program kegiatan sosial yang dampaknya berkelanjutan. Jenis ini dapat dibedakan menjadi dua: (1) program yang berdampak pada pengembangan kapasitas penerima bantuan, sebagai contoh program pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan, (2) program yang dananya dikelola oleh kelompok (KSM) dan dimanfaatkan oleh warga miskin secara bergilir. Jenis (2) ini dapat dibedakan menjadi dua: (a) dana yang dikelola KSM dimanfaatkan secara bergulir oleh warga miskin, (b) program yang dikelola oleh KSM digunakan untuk usaha, dan hasilnya dapat digunakan untuk memberikan berbagai bentuk bantuan sosial kepada warga miskin. 44

57 Dari enam lokasi penelitian yang menjadi sasaran kajian ini ternyata mayoritas kegiatan masih berorientasi pada kegiatan karitatif. Hal ini dapat dilihat dalam grafik V.2 berikut ini : Grafik V.2 Perbandingan Tipe Kegiatan Sosial Antar Daerah Medan Bengkulu Makassar Gorontalo Surabaya Pasuruan Karitatif Keberlanjutan Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Dari grafik V.2 tersebut, hanya di Kota Pasuruan yang memiliki jumlah kegiatan sosial yang berorientasi keberlanjutan lebih banyak dibandingkan kegiatan yang bersifat karitatif. Sedangkan di lima kota lainnya, ternyata jumlah kegiatan karitatifnya lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan sosial yang berorientasi keberlanjutan. Dengan demikian secara total, kegiatan sosial yang berorientasi pada karitatif lebih dominan dibandingkan dengan kegiatan sosial yang berorientasi pada keberlanjutan. Secara lebih spesifik, perbandingan antar kelurahan yang menjadi obyek penelitian dapat dilihat pada grafik V.3 dibawah ini. 45

58 Grafik V.3. Perbandingan Pola Kegiatan Per kelurahan Sukaraja, Medan Belawan, Medan Pasar Melintang, Bengkulu Panorama, Bengkulu Bunga Ejaya, Makassar Rappokaling, Makassar Lekobalo, Gorontalo Limba B, Gorontalo Sawunggaling, Surabaya Gundih, Surabaya Kepel, Pasuruan Panggungrejo, Pasuruan Karitatif Keberlanjutan Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Seperti telah diuraikan di atas kegiatan sosial yang berorientasi keberlanjutan dapat dipilah menjadi kegiatan yang berorientasi pada pengembangan kapasitas dan pengelolaan dana yang dikelola masyarakat secara bergulir. Dari dua pola kegiatan sosial tersebut, ternyata kegiatan sosial yang berorientasi pada Kegiatan pengembangan kapasitas lebih dominan, kecuali yang di Kota Gorontalo dan Bengkulu. Namun demikian di Kota Surabaya dan Kota Medan tidak ada pola kegiatan sosial yang berorientasi pada pengembangan kegiatan melalui dana bergulir ini. Secara lebih jelas dapat dilihat pada grafik V.4 berikut ini : 46

59 Grafik V.4. Tingkat keberlanjutan kegiatan sosial Medan Bengkulu Makassar Gorontalo Surabaya Pasuruan Dana Bergulir Pengembangan Kapasitas Sekali Habis Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Sebetulnya sebagai bagian dari program kegiatan sosial yang juga diharapkan mempunyai fungsi sebagai social safety nets, program yang bersifat sekali habis dalam bentuk bantuan dan santunan ini bukannya tanpa makna. Hanya saja implementasinya perlu cukup selektif, bagi penerima manfaat yang dapat diklasifikasikan darurat. Persoalannya, semestinya BKM bukan tergantung sama sekali dengan dana BLM, melainkan menggunakan dana BLM sebagai entry point untuk membangun modal sosial dalam masyarakat terutama dalam bentuk trust, solidaritas sosial dan jaringan. 47

60 Perbandingan tipe kegiatan pada tiap kelurahan tersebut dapat dilihat pada grafik V.5 di bawah ini: Grafik V.5. Perbandingan tipe kegiatan per kelurahan Sukaraja, Medan Belawan, Medan Pasar Melintang, Bengkulu Panorama, Bengkulu Bunga Ejaya, Makassar Rappokaling, Makassar Lekobalo, Gorontalo Limba B, Gorontalo Sawunggaling, Surabaya Gundih, Surabaya Kepel, Psuruan Panggungrejo, Pasuruan Dana Bergulir Pengembangan Kapasitas Sekali Habis Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Kelemahan yang banyak dijumpai untuk program pengembangan kapasitas dalam bentuk kursus ketrampilan adalah: (1) pengelola program masih kurang memperhatikan follow up pasca kursus, sehingga penerima manfaat belum tentu langsung dapat memanfaatkan ketrampilannya, (2) pengelola program kurang berorientasi pada kebutuhan masyarakat pada tingkat yang lebih makro dalam menentukan pilihan jenis ketrampilan, (3) peserta kursus karena persyaratan yang ditentukan sulit diakomodasi warga miskin, sehingga penerima manfaat bukan warga yang seharusnya memperoleh prioritas pertama. Dari penelitian lapangan, contoh program ketrampilan yang diperhitungkan mempunyai prospek adalah: peserta kursus.jahit direkrut menjadi karyawan/penerima order dari usaha konveksi setempat di Kelurahan Kepel Pasuruan, peserta kursus komputer berhimpun membentuk kelompok usaha rental komputer di Kelurahan Rappokalling dan Bunga Ejaya Makassar serta di Kelurahan Panorama 48

61 Bengkulu, pelatihan daur ulang sampah plastik dan kompos rumah tangga di Kelurahan Gundih Surabaya. Beberapa contoh kasus tersebut sudah memberikan gambaran adanya usaha untuk mengembangkan dan memanfaatkan modal sosial dalam pelaksanaan program sosial BKM. Sayangnya, keberhasilannya belum dapat dievaluasi karena baru berjalan atau baru dalam rencana. Kelemahan dana yang dikelola KSM adalah bahwa usaha pemanfaatan dana sosial oleh pengguna pertama sering tidak berkembang, atau tidak kembali ke kelompok, sehingga dananya macet dan tidak bergulir. Sementara yang digunakan untuk usaha yang dikelola KSM atau diserahkan pada orang lain (misalnya untuk persewaan kebutuhan pesta) hasilnya juga tidak memadai. Sebetulnya pada tingat ide cukup bagus dan hal ini termasuk yang direkomendasikan KMW, hanya pelaksanannya belum ada yang dapat dijadikan contoh good practices. Walaupun demikian, nilai positif dari jenis program ini selain dananya tidak langsung habis, juga merupakan program yang sudah memanfaatkan modal sosial dalam masyarakat. Sebagai ilustrasi dapat disampaikan contoh persewaan kursi yang dikelola warga yang memiliki usaha sejenis di Kelurahan Limba B, Kota Gorontalo, persewaan kursi dan tenda yang dikelola KSM di Kelurahan Panorama Bengkulu dan dana kegiatan sosial yang diinvestasikan kepada 4 pengusaha masing masing sebesar Rp ,-dengan kewajiban masing masing memberikan infak sebesar Rp ,- setiap bulan selama dua tahun di Kelurahan Pasar Melintang Bengkulu. Dalam jangka panjang sebetulnya yang dibutuhkan adalah keberlanjutan program. Maksudnya adalah walaupun pendampingan dan bantuan dana dalam bentuk BLM sudah dihentikan, BKM dapat melanjutkan program kegiatan sosial ini. Untuk maksud tersebut paling tidak dibutuhkan dua hal. Pertama, BKM telah berkembang menjadi lembaga yang mandiri dalam pengelolaan program dan kegiatannya. Syaratnya, kegiatan dan program-programnya sudah merupakan pola aktivitas yang melembaga. BKM bukan hanya sebagai organisasi, melainkan organization that are institution. Kedua, BKM dapat menyediakan sumber dana untuk mebiayai programnya baik secara swadaya oleh BKM sendiri, menghimpun potensi masyarakat setempat, maupun kerja sama dengan pihak lain. Sepanjang penelitian lapangan yang dilakukan di enam kota, belum tampak adanya BKM yang dapat dijadikan contoh good practices yang paling tidak sudah menunjukkan prospek menuju kesana. Indikasinya antara lain dapat dilihat dari: (1) masih adanya perasaan ketergantungan kepada BLM untuk menjalankan programnya, (2) belum terjalinnya jaringan dengan berbagai stakeholder 49

62 lain baik dari luar masyarakat kelurahan yang bersangkutan maupun dengan institusi masyarakat sendiri, (3) belum ada upaya untuk menggali dan memanfaatkan potensi setempat termasuk mengorganisasi swadaya masyarakat. Kalaupun ada instansi pemerintah yang melaksanakan programnya melalui BKM masih terbatas dari Direktorat Cipta karya, dalam bentuk Program Bantuan pemugaran rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Itupun hanya ditemukan di Kelurahan Rappokalling Makassar. Persoalan ini sumbernya dapat dilacak dari mekanisme pelaksanaan PNPM sendiri. Mengingat dalam jangka panjang BKM diharapkan dapat mandiri dan melembaga, maka prosesnya seharusnya diawali dengan adanya kesadaran bahwa pengentasan kemiskinan merupakan kepentingan bersama, yang memicu tindakan bersama yang didorong oleh energi /modal sosial, kemudian tindakan bersama tersebut merupakan rutinitas yang diakui, dirasakan manfaatnya dan menjadi bagian dari pola tindakan bersama dalam masyarakat, sehingga telah terjadi proses institusionalisasi. Dilihat dari langkah langkah program PNPM dan pelaksanaannya di lapangan, syarat pertama sudah dicoba dipenuhi dengan program yang diawali sosialisasi, rekrutmen relawan, pemetaan masalah dan pemetaan swadaya masyarakat, dilanjutkan dengan penentuan program melalui kesepakatan warga. Persoalannya hal tersebut masih cenderung bersifat prosedural, belum substansial. Beberapa indikasinya adalah belum sepenuhnya permasalahan warga miskin terakomodasi dalam proses, serta kurangnya keterlibatan warga masyarakat yang tidak miskin. Persoalan pada langkah pertama ini berpengaruh pada langkah berikutnya terutama kurangnya pemanfaatan modal sosial sebagai pendorong tindakan bersama melalui program sosial. Dilihat dari kaitannya dengan berbagai kegiatan sosial yang sudah ada sebelumnya (existing activity), pola kegiatan sosial oleh BKM juga dapat dibedakan menjadi dua: a. Program yang diintegrasikan dengan kegiatan sosial yang sudah ada dan melembaga dalam masyarakat. Pada umumnya program BKM dalam bentuk ini diintegrasikan dengan kegiatan Posyandu atau PKK. Di salah satu kelurahan diintegrasikan dengan program kejar paket. b. Program yang merupakan kreasi baru oleh BKM Kekuatan jenis program yang pertama adalah lebih terjamin kontinyuitasnya karena kegiatan yang ada sebelumnya sudah melembaga, sementara program BKM 50

63 dapat berfungsi memperkuat dan melengkapi kegiatan sosial tersebut. Kelemahannya adalah, di mata masyarakat tidak secara jelas merupakan program BKM, kelompok sasaran dan partisipan sama dengan program yang sudah berjalan yaitu didominasi kaum perempuan, kelompok sasaran mudah terjebak pada warga masyarakat umum bukan warga miskin. Kekuatan jenis program kedua adalah, karena merupakan program kreasi baru dapat direncanakan sesuai hasil pemetaan masalah, baik jenis program maupun kelompok sasaran. Kelemahannya membutuhkan proses yang lebih panjang agar dapat melembaga, dengan memanfaatkan dan mengembangkan modal sosial yang ada dalam masyarakat. Jika dilihat dari klasifikasi tersebut, maka kegiatan sosial dapat dikelompokkan sebagai berikut : Grafik V.7. Keterkaitan Kegiatan dengan lembaga sosial Medan Bengkulu Makassar Gorontalo Surabaya Pasuruan kreasi baru terintegrasi dengan lembaga sosial Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Dilihat dari grafik V.6 tersebut menunjukkan bahwa secara nasional kegiatan sosial yang dibuat sebagian besar merupakan kegiatan sosial yang merupakan kreasi baru. Bahkan di Kota Makassar dan Kota Medan semua kegiatan merupakan kreasi baru dan tidak terintegrasi dengan lembaga sosial yang sudah ada. Sedangkan di Kota Pasuruan dan Kota Surabaya, kegiatan sosial lebih banyak yang berorientasi kepada kegiatan yang terintegrasi dengan lembaga sosial yang ada. Sedangkan di Kota Gorontalo dan Kota Bengkulu didominasi dengan kegiatan sosial yang merupakan kreasi baru. 51

64 Secara lebih spesifik, perbandingan keterkaitan kegiatan sosial per kelurahan, tersaji dalam grafik V.7. dibawah ini. Kegiatan sosial yang ada di Kelurahan Bunga Ejaya, Kelurahan Rappokaling Kota Makassar dan Kelurahan Sukaraja, Kelurahan Belawan, Kota Medan menunjukkan bahwa keseluruhan program merupakan kreasi baru. Selain itu, Kelirahan Pasar Melintang, Kota Bengkulu juga menunjukkan gejala yang sama yakni didominasi kegiatan kreasi baru. Namun, sebaliknya, kelurahan yang ada di Kota Pasuruan dan Kota Surabaya seperti Panggungrejo, Gundih, serta Sawunggaling telah mengintegrasikan kegiatan sosialnya dengan lembaga sosial tertentu yang ada di lokasi wilayah tersebut. Grafik V.7. Keterkaitan Kegiatan dengan lembaga sosial Sukaraja, Medan Belawan, Medan Pasar Melintang, Bengkulu Panorama, Bengkulu Bunga Ejaya, Makassar Rappokaling, Makassar Lekobalo, Gorontalo Limba B, Gorontalo Sawunggaling, Surabaya Gundih, Surabaya Kepel, Pasuruan Panggungrejo, Pasuruan Kreasi Baru Terintegrasi Dengan Lembaga Sosial Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Secara lebih rinci mengenai keterkaitan dan tingkat keberlanjutan program kegiatan sosial dapat dipilah menjadi beberapa hal yaitu program yang sekali habis, 52

65 terkait program LSM, dana diinvestasikan, terkait sektor swasta dan terkait program pemerintah. Dari berbagai tipologi tersebut, sebagian besar kegiatan di 10 kota merupakan program sekali habis, kecuali di Panorama Bengkulu. Namun demikian, di beberapa kelurahan lokasi penelitian sudah ada kegiatan sosial dengan dana diinvestasikan di Kelurahan Pasar Melintang, Kota Bengkulu dan Limba B, Gorontalo. Kemudian yang terkait LSM ada di Bunga Ejaya, Makassar dan Kepel Pasuruan. Terkat dengan sektor swasta ada Belawan, Medan, Panorama Bengkulu, Bunga Ejaya Makassar, Rappokaling, Makassar, Limba B Gorontalo dan Kepel Pasuruan. Sementara program kegiatan sosial yang terkait dengan program pemerintah ada di Lekobalo, Gorontalo, Sawunggaling dan Gundih Surabaya, Kepel dan Panggungrejo Pasuruan. Secara lebih jelas dapat dilihat pada grafik V.8 berikut ini : Grafik V.8 Keterkaitan dan Tingkat Keberlanjutan Program Kegiatan Sosial Sukaraja, Medan Belawan, Medan Pasar Melintang, Bengkulu Panorama, Bengkulu Bunga Ejaya, Makassar Rappokaling, Makassar Lekobalo, Gorontalo Limba B, Gorontalo Sawunggaling, Surabaya Gundih, Surabaya Kepel, Pasuruan Panggungrejo, Pasuruan Sekali habis Dana diinvestasikan Terkait program pemerintah Terkait program LSM Terkait sektor swasta 53

66 Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Dilihat dari angka prosentase menunjukkan bahwa sebagian besar (43%) program merupakan kegiatan sosial yang bersifat sekali habis. Disusul 21% terkait sektor swasta dan terkait dengan program pemerintah, 51% terkait dengan dana pemerintah dan 5% terkait program LSM. Hal ini dapat dilihat dalam diagram V.1 berikut ini : Diagram V.1 Keterkaitan dan Tingkat Keberlanjutan Program Kegiatan Sosial 21% 5% 43% 21% 10% Sekali habis Dana diinvestasikan Terkait program pemerintah Terkait program LSM Terkait sektor swasta Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Jika diklasifikasikan, keseluruhan kegiatan sosial yang ada di enam lokasi sasaran kajian dapat dilihat pada tabel V.2 di bawah ini : Tabel V.2 Pola Kegiatan Sosial Kota Kelurahan Jenis Kegiatan Pola Kegiatan Sosial Pasuruan Panggungrejo Pemberian makanan Karitatif, teintegrasi dengan tambahan untuk korban gizi kegiatan sosial yang sudah ada buruk (Posyandu) Pemberian seragam sekolah Karitatif, merupakan kreasi baru Kepel Kursus menjahit Keberlanjutan, pengembangan kapasitas dan kreasi baru. Kejar paket B Keberlanjutan, pengembangan 54

67 Surabaya Gundih KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Sawunggaling Gorontalo Limba B kapasitas dan terintegrasi dengan kegiatan sosial Muslimat NU Pembinaan posyandu Keberlanjutan, pengembangan kapasitas dan terintegrasi dengan kegiatan Posyandu Pembelian sarana untuk Karitatif terintegrasi dengan senam lansia kegiatan Lansia. Dana sosial ibu bersalin Keberlanjutan, dana bergulir, terintegrasi dengan kegiatan Posyandu. Beasiswa pendidikan Pendidikan anak usia dini (PAUD) Karitatif, kreasi baru Keberlanjutan, pengembangan kapasitas dan terintegrasi dengan kegiatan PAUD yang sudah ada. Bantuan sembako untuk Karitatif, kreasi baru lansia Pelatihan pengembangan Keberlanjutan, pengembangan keterampilan dan kapasitas dan terintegrasi kewirausahaan dengan kegiatan Gundih Green and clean. Pelestarian lingkungan Keberlanjutan, pengembangan dengan pembuatan kompos kapasitas dan terintegrasi rumah tangga dengan kegiatan Gundih Green and clean. Beasiswa pendidikan Karitatif, kreasi baru Penyuluhan ibu hamil Karitatif, terintegrasi dengan kegiatan Posyandu Pemberian asupan makanan Karitatif, terintegrasi dengan bergizi untuk balita Posyandu. Pemberian santunan pada lansia Karitatif, kreasi baru Tetapi, salah satu penerima bantuan berhasil membuka warung dari bantuan tersebut. Dan bisa dimaknai sebagai kegiatan yang berkelanjutan. Pemberian Beasiswa Karitatif, kreasi baru. pendidikan Bantuan untuk Rukun Duka Keberlanjutan, terintegrasi dengan kegiatan yang sudah ada. Pelatihan keterampilan Keberlanjutan, pengembangan salon kapasitas. Pembelian kursi Berkelanjutan dengan harapan ada dana bergulir. Karena 50% hasil persewaan kursi akan dikembalikan kepada kas BKM yang nantinya dijadikan dana sosial bergulir dan dipinjamkan kepada warga 55

68 Makassar Bengkulu Medan KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Lekobalo Rappokaling Bunga Ejaya Panorama Pasar Melintang Belawan kurang mampu Pemberian beasiswa Karitatif, kreasi baru. pendidikan Rehabilitasi rumah warga Karitatif, kreasi baru Peningkatan gizi balita Karitatif, terintegrasi dengan kurang mampu kegiatan Posyandu. Santunan lansia Karitatif, kreasi baru. Bantuan pemugaran rumah Karitatif, kreasi baru. Beasiswa pendidikan Karitatif, kreasi baru. Kursus komputer Keberlanjutan, pengembangan kapasitas dan kreasi baru, Beasiswa pendidikan Karikatif, kreasi baru. Santunan untuk orang Karikatif, kreasi baru. jompo dan orang cacat Pembinaan TPA (Taman Karitatif karena hanya berupa Pendidikan Al-quran) bantuan kepada guru mengaji, kreasi baru. Kursus komputer Keberlanjutan, pengebangan kapasitas, kreasi baru Kursus menjahit Keberlanjutan, pengembangan kapasitas, kreasi baru. Persewaan perlengkapan Keberlanjutan, terintegrasi pesta Kursus dan pembinaan rental komputer Bantuan kepada orang jompo Melaui Penitipan Dana ke Pengusaha. dengan kegiatan sudah ada. Keberlanjutan, pengembangan kapasitas, kreasi baru. Namun, warga kurang memahami bagaimana arti keberlanjutan karena sekedar melaksanakan kursus dan sesudah itu program selesai. Karitatif, dan merupaka keasi baru. Namun demikian, program ini bisa dinilai akan berkelanjutan karena dana bantuan akan terus mengalir setiap 3 bulan sekali dari pengusaha setempat setidaknya untuk 8 kali bantuan. Bantuan beasiswa Sama seperti bantuan untuk orang jompo yang diambilkan dari dana investasi kepada 4 pengusaha. Perbaikan rumah warga Karitatif, kreasi baru. kurang mampu Santunan untuk lansia dan Karitatif, kreasi baru. yatim piatu Rehabilitasi rumah Karitatif, kreasi baru. Kursus komputer Keberlanjutan, pengembangan kapasitas dan kreasi baru. 56

69 Sukaraja Santunan bagi janda miskin Karitatif, kreasi baru. Pelatihan tata boga Keberlanjutan Pengembangan Kapasitas, kreasi baru. Namun sayangnya tidak berlanjut. Kegiatan sosial tersebut terwadahi dalam KSM sosial. Jumlah Kegiatan sosial tidak selalu sama dengan jumkah KSM. Hal ini dapat dilihat pada grafik V.9. berikut: Grafik V.9. Perbandingan Jumlah KSM antar kelurahan Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Berdasarkan grafik V.1, secara kuantitas jumlah KSM yang paling banyak adalah di Kelurahan Panorama, Kota Bengkulu dengan jumlah 25 KSM kegiatan sosial. Disusul kemudian oleh Kelurahan Lekobalo, Gorontalo, dan Kelurahan Gundih, Kota Surabaya. Selebihnya, masing-masing kelurahan rata-rata memiliki kurang dari lima KSM kegiatan sosial. 3. Dominasi Elite Komunitas Dalam Menginisiasi Kegiatan Sosial Dalam realitasnya program-program kegiatan sosial lebih banyak diinisiasi oleh elite komunitas yaitu pengelola BKM, relawan maupun tokoh masyarakat yang lain. Inisiator yang dapat dikatakan paling dekat dengan warga miskin adalah Ketua Rukun Tetanga dan para relawan yang sebagian kemudian banyak yang menjadi pengurus KSM. Sebetulnya secara prosedural, kegiatan perencanaan dan penentuan program sudah dilaksanakan 57

70 menurut rekomendasi, sehingga terkesan bersifat bottom up. Walaupun demikian dalam realitanya warga miskin masih belum banyak menggunakan kesempatan dalam proses tersebut untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya. Dengan perkataan lain perencanaan dari bawah masih sebatas procedural belum substansial. Dalam praktik aspirasi mereka banyak dijembatani oleh ketua RT dan relawan. Oleh sebab itu posisi ketua RT dan relawan menjadi cukup strategis dalam menyerap aspirasi dan kepentingan warga miskin, kemudian memperjuangkannya agar menjadi program. Dengan demikian apakah program kegiatan sosial mengakomodasi aspirasi dan kepentingan warga miskin masih sangat tergantung kemampuan dan kemauan ketua RT dan relawan untuk menjembataninya. Bagaimana proporsi mengenai siapa yang berperan dalam menginisiasi kegiatan sosial dapat dilihat pada grafik V.10 di bawah ini : Grafik V.10. Perbandingan Inisiator Kegiatan Sosial Antar Daerah Medan Bengkulu Makassar Gorontalo Surabaya Pasuruan Pengurus BKM Tokoh Masyarakat Pengurus BKM dan Tokoh Masyarakat Relawan dan Tokoh Masyarakat Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Berdasarkan grafik V.9 di atas, inisiasi mengenai kegiatan sosial ternyata masih didominasi oleh pengurus BKM. Kemudian di susul pengurus BKM dan tokoh masyarakat, relawan dan tokoh masyarakat dan tokoh masyarakat. Dengan demikian, partisipasi masyarakat miskin dalam menginisiasi kegiatan sosial justru tidak ada. Secara lebih jelas juga mengenai peran elite di masing-masing kelurahan dapat dilihat pada tabel V.3 di bawah ini : 58

71 Tabel V.3 Inisiator Kegiatan Sosial Kota Kelurahan Inisiasi Kegiatan Inisiator Kegiatan Pasuruan Panggungrejo Pemberian makanan Pengurus BKM tambahan untuk korban gizi buruk Pemberian seragam sekolah Pengurus BKM Kepel Kursus menjahit Relawan dan Pengurus PKK Kejar paket B Relawan dan Pengurus BKM Pembinaan posyandu Relawan dan Pengurus PKK Pembelian sarana untuk senam lansia Relawan dan Pengurus BKM Dana sosial ibu bersalin Pengurus PKK/Posyandu Surabaya Gundih Beasiswa pendidikan Pengurus BKM Pendidikan anak usia dini Pengurus BKM (PAUD) Bantuan sembako untuk Pengurus BKM lansia Pelatihan pengembangan keterampilan dan kewirausahaan Pengurus BKM Pelestarian lingkungan Pengurus BKM dengan pembuatan kompos rumah tangga Sawunggaling Beasiswa pendidikan Pengurus BKM Penyuluhan ibu hamil Pengurus PKK/Posyandu Pemberian asupan makanan bergizi untuk balita Pengurus PKK/Posyandu Gorontalo Limba B Pemberian santunan pada Pengurus BKM dan lansia pengurus RT/RW Pemberian Beasiswa pendidikan Pengurus BKM dan pengurus RT/RW Bantuan untuk Rukun Duka Pengurus BKM dan pengurus RT/RW Pelatihan keterampilan salon Pengurus BKM Pembelian kursi Pengurus BKM dan pengurus RT/RW 59

72 Makassar Bengkulu Medan KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Lekobalo Rappokaling Bunga Ejaya Panorama Pasar Melintang Belawan Sukaraja Pemberian beasiswa pendidikan Rehabilitasi rumah warga Peningkatan gizi balita kurang mampu Santunan lansia Bantuan pemugaran rumah Beasiswa pendidikan Kursus komputer Beasiswa pendidikan Santunan untuk orang jompo dan orang cacat Pembinaan TPA Kursus komputer Kursus menjahit Persewaan perlengkapan pesta Kursus dan pembinaan rental komputer Bantuan kepada orang jompo Bantuan beasiswa pendidikan Perbaikan rumah warga kurang mampu Santunan untuk lansia dan yatim piatu Rehabilitasi rumah Kursus komputer Santunan bagi janda miskin Pelatihan tata boga Pengurus BKM dan RT Pengurus BKM dan RT Pengurus PKK dan RT Pengurus BKM, PKK, dan Relawan Pengurus BKM, PKK, dan Relawan Pengurus BKM, PKK, dan Relawan Pengurus BKM, PKK, dan Relawan Pengurus BKM, PKK, dan Relawan Pengurus BKM, PKK, dan Relawan Pengurus BKM, PKK dan Relawan Pengurus BKM, PKK dan Relawan Pengurus PKK dan Relawan Pengurus BKM, pengurus RT dan RW Pengurus BKM Pengurus BKM Pengurus BKM Pengurus BKM, pengurus RW Pengurus BKM Pengurus BKM Pengurus BKM Pengurus BKM Pengurus PKK 4. Kerjasama dan Sinergi Stake Holder Sebagai Peluang Pengembangan Kegiatan Sosial Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya banyak faktor-faktor pendukung terhadap pelaksanaan kegiatan sosial. Dalam banyak hal adanya partisipasi warga masyarakat dan dukungan dari berbagai lembaga sosial menjadi faktor pendukung 60

73 terhadap keberlangsungan kegiatan sosial. Misalnya banyak kegiatan-kegiatan sosial yang digerakkan oleh Posyandu. Ini dapat di lihat hampir di semua lokasi. Kemudian kegiatan sosial keagaam di Pasuruan yang bersinegi dengan organisasi sosial Muslimat NU. Kegiatan sosial di Pasar Melintang yang bersinergi dengan pengusaha lokal agar dana tidak habis pakai dan sebagainya. Kemudian kerjasama dengan pengelola tenda dan kursi seperti yang terjadi di Kelurahan Limba B Gorontalo. Di Limba B ini BKM membeli kursi dan dititipkan ke pemilik persewaan kursi dan tenda yang merupakan warga setempat. Hasil pengelolaannya dibagi bersama antara BKM dengan pengusaha tersebut. Demikian juga dukungan dari pemerintah daerah seperti Puskesmas, dana dari pemerintah daerah cukup menunjang terhadap eksistensi kegiatan sosial. Misalnya kegiatan sosial di Surabaya berupa kegiatan pendidikan anak usia dini yang mendapatkan dukungan dana dari Pemerintah Kota. Dilihat dari setting masyarakatnya, seluruh kelurahan yang dijadikan sasaran penelitian dapat dibedakan menjadi beberapa variasi. Pertama, kelurahan yang mayoritas warganya dalam kondisi miskin. Masyarakat dalam variasi ini pada umumnya mempunyai lingkungan yang kumuh, kondisi kesehatan lingkungan rendah dan tingkat pendidikan rata rata penduduknya rendah. Kedua, kelurahan yang masyarakatnya terdiri dari baik warga yang kondisinya miskin maupun tidak miskin. Walaupun demikian jarak di antara kedua lapisan tersebut tidak terlalu lebar, sementara lokasi permukiman kedua lapisan tersebut juga tidak bersifat eksklusif. Ketiga, kelurahan yang mirip variasi kedua, akan tetapi jarak antara lapisan miskin dan tidak miskin cukup lebar, sementara letak permukiman di antara kedua lapisan tersebut terpisah dan relatif eksklusif. Sebetulnya lapisan masyarakat kaya ini dapat ditempatkan sebagai potensi pendukung program kegiatan sosial, sehingga sumber dananya tidak semata mengharapkan dari BLM. Walaupun demikian, potensi tersebut tidak teraktualisasi karena partisipasi masyarakat kaya dalam kegiatan sosial masih sangat kurang. Partisipasi lapisan yang tidak miskin pada umumnya lebih tampak di kelurahan yang di antara kedua lapisan ini tidak terpisah secara eksklusif. Barangkali dalam masyarakat tipe ini modal sosial dalam bentuk solidaritas, trust dan reciprocal lebih mudah tumbuh dan dimanfaatkan. Potensi lain adalah program-program yang sejenis yang dilakukan baik oleh dinas dinas pemerintah maupun oleh swasta melalui CSR. Untuk potensi inipun belum teraktualisasi karena usaha untuk membangun jaringan dengan institusi pemerintah dan swasta belum dilakukan atau kalau sudah dilakukan sebatas dari instansi yang berasal dari lingkungan departemen PU. 61

74 Dari jalur yang lain sebetulnya kerja sama dan sinergi dengan berbagai stakeholder tersebut juga dimungkinkan dengan diterapkannya pendekatan perencanaan dari bawah melalui musrenbang. Dari informasi yang diperoleh, ternyata usaha mengintegrasikan atau mencari sinergi program sosial BKM melalui musrenbang ini belum dilakukan. Di samping itu juga harus diakui bahwa dalam pelaksanaan perencanaan dari bawah melalui musrenbang tersebut belum banyak program usulan dari bawah yang diakomodasi dan menetas menjadi program pemerintah daerah. Dalam diskusi dengan KMW diperoleh informasi bahwa perencanaan dari bawah melalui musrenbang diharapkan dapat mengakomodasi dan mengkoordinasikan tiga sumber program : perencanaan dinas dinas pemerintah, aspirasi dari bawah dan realisasi janji politik kepala daerah. Dalam kenyataannya usulan dari bawah masih selalu ditempatkan sebagai prioritas terakhir. Untuk melihat secara lebih jelas mengenai faktor pendukung kegiatan sosial dapat dilihat pada tabel V.4 di bawah ini : Tabel V.4 Faktor Pendukung Kegiatan Sosial Kota Kelurahan Jenis Kegiatan Faktor Pendukung Pasuruan Panggungrejo Pemberian makanan Dukungan dari Puskesmas terkait dana gizi buruk. tambahan untuk Surabaya Kepel Gundih korban gizi buruk Pemberian seragam sekolah Kursus menjahit Kejar paket B Pembinaan posyandu Pembelian sarana untuk senam lansia Dana sosial ibu bersalin Beasiswa pendidikan Pendidikan anak usia dini (PAUD) Adanya semangat warga dalam pelaksanaan kursus. Adanya sistem magang ke pengusaha konveksi kecil (ada beberapa lulusan peserta pelatihan yang ikut ke pengusaha konveksi) Dukungan Muslimat NU yang sudah eksis dulu dengan program ini. Dukungan Posyandu yang memiliki kegiatan aktif. Dukungan Posyandu yang memiliki kegiatan aktif. Dukungan Posyandu yang memiliki kegiatan aktif. Dukungan dana dari Pemerintah Kota Kegiatan ini sudah eksis 62

75 Gorontalo Makassar KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Sawunggaling Limba B Lekobalo Rappokaling Bantuan sembako untuk lansia Pelatihan pengembangan keterampilan dan kewirausahaan Pelestarian lingkungan dengan pembuatan kompos rumah tangga Beasiswa pendidikan Penyuluhan ibu hamil Pemberian asupan makanan bergizi untuk balita Pemberian santunan pada lansia Pemberian Beasiswa pendidikan Bantuan untuk Rukun Duka Pelatihan keterampilan salon Pembelian kursi Pemberian beasiswa pendidikan Rehabilitasi rumah warga Peningkatan gizi balita kurang sebelumnya sehingga orientasi keberlanjutan dapat terlihat. Dukungan adanya program Gundih Green and clean. Dukungan dari Posyandu Dukungan dari Posyandu Ada upaya untuk menjalankan program menuju program sosial produktif Dukungan dari pengurus lingkungan dalam pengelolaan Rukun Duka di lingkungannya. Kerjasama dengan pengusaha lokal dalam mengelola persewaan kursi. Ada inisiasi untuk melanjutkan kegiatan sosial produktif Dukungan dari Posyandu. mampu Santunan lansia Komunikasi yang cukup baik antara BKM dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang saling mendukung sehingga program tidak tumpang tindih. Bantuan pemugaran rumah Komunikasi yang cukup baik antara BKM dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang saling mendukung sehingga 63

76 Bengkulu KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Bunga Ejaya Panorama Beasiswa pendidikan program tidak tumpang tindih. Komunikasi yang cukup baik antara BKM dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang saling mendukung sehingga program tidak tumpang tindih. Kursus komputer Komunikasi yang cukup baik antara BKM dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang saling mendukung sehingga program tidak tumpang tindih. Beasiswa Hubungan yang baik dengan pendidikan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat(LPM). Bahkan BKM berkantor satu atap dengan LPM. Santunan untuk Hubungan yang baik dengan orang jompo dan Lembaga Pemberdayaan orang cacat Masyarakat(LPM). Bahkan BKM berkantor satu atap dengan LPM. Pembinaan TPA hubungan yang baik dengan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat(LPM). Bahkan BKM berkantor satu atap dengan LPM. Kursus komputer Adanya dukungan eksternal terlihat ketika SMKN 4 makassar memberikan respon dalam memberikan pelatihan dengan potongan harga. Dukungan internal, sebagian pengurus BKM adalah adalah aktivis masyarakat, sebagian besar mereka adalah mantan ketua RT dan RW, yang juga tokoh masyarakat sehingga untuk melakukan negosiasi dengan lembaga-lembaga eksternal cukup mudah. Dengan pengalaman berorganisasi di tingkat RT dan RW tersebut mereka mampu menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Kursus menjahit Persewaan perlengkapan pesta Kursus dan pembinaan rental komputer Begitu juga untuk LPK tempat kursus menjahit, mereka sangat membantu menyelenggarakan kursus menjahit. Keterlibatan pengurus BKM yang juga pengurus RT cukup banyak membantu kelancaran program. Antusiasme warga yang cukup tinggi. 64

77 Medan KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Pasar Melintang Belawan Sukaraja Bantuan kepada orang jompo Bantuan beasiswa Perbaikan rumah warga kurang mampu Santunan untuk lansia dan yatim piatu BKM sudah mulai berfikir tentang keberlanjutan program. Tercermin dengan adanya kerjasama dengan pengusaha lokal dimana BKM menginvestasikan dana yang dimiliki ke beberapa pengusaha lokal dan bagi hasil digunakan untuk bantuan sosial. Masyarakat relatif mudah diorganisir karena homogen. Demikian juga anggota BKM yang mayoritas nelayan. Rehabilitasi rumah Masyarakat relatif mudah diorganisir karena homogen. Demikian juga anggota BKM yang mayoritas nelayan. Kursus komputer Masyarakat relatif mudah diorganisir karena homogen. Demikian juga anggota BKM yang mayoritas nelayan. Santunan janda miskin bagi Pelatihan tata boga Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Kebanyakan migran dan ber etos kerja tinggi, dekat dengan pusat ekonomi dan bisnis. Potensi sekaligus faktor pendukung kelancaran kegiatan di setiap daerah yang menjadi obyek penelitian memiliki ciri khas masing-masing. Secara lebih detail karakteristik perbedaan tersebut dapat dilihat pada grafik V.11 berikut ini: 65

78 Grafik V.11 Faktor pendukung kegiatan sosial Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Faktor pendukung kegiatan sosial terbesar dalam kegiatan-kegiatan sosial yaitu sebesar 22% adalah berhubungan dengan lembaga non pemerintah. Partipasi masyarakat disusul faktor keberadaan Posyandu dan partisipasi masyarakat sebesar 17%. Sedangkan faktor pendukung yang terkecil adalah berhubungan dengan pemerintah daerah (7%). Hal ini dapat dilihat secara lebih rinci pada diagram V.2. berikut ini : 66

79 Diagram V.2 Faktor pendukung kegiatan sosial 17% 28% 7% 2% 22% 17% 7% Partisipasi Masyarakat Berhubungan dengan pengusaha lokal Berhubungan dengan pemerintah daerah Tidak Teridentifikasi Berhubungan dengan pemerintah lokal Berhubungan dengan posyandu Berhubungan dengan lembaga non-pemerintah Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Hambatan Kegiatan Sosial : Desain Progam dan Kualitas Pelaksana Program PNPM Keberlanjutan program merupakan bagian dari harapan ambisius program PNPM. Dengan kegiatan yang didisain bottom up, partisipatif sejak identifikasi persoalan, perencanaan dan pelaksanaan program, diharapkan merupakan proses belajar sehingga kegiatan ini melembaga. Walaupun demikian, selama penelitian lapangan, belum tampak indikasi ke arah itu. Hal itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa masyarakat maupun pengelola kegiatan mulai KSM, UPS, dan BKM masih selalu mengharapkan turunnya dana dari atas sebagai penggerak kegiatan. Seolah olah kegiatan tidak dapat dijalankan apabila tidak ada kucuran BLM. Beberapa faktor yang diidentifikasi menyebabkan kurangnya prospek keberlanjutan program tersebut antara lain dari faktor: kesesuaian pendekatan administrasi dengan kebutuhan orientasi program secara ideal, fasilitator, relawan, masyarakat sendiri dan lembaga penyelenggara mulai KSM, UPS sampai BKM. Dilihat dari disain programnya PNPM termasuk sebuah program yang cukup ambisius oleh karena berusaha melakukan perubahan dalam orientasi pembangunan dari yang bersifat top down menjadi bottom up. Oleh sebab itu walaupun merupakan lembaga yang diinisiasi dari atas, BKM melalui proses belajar sosial diharapkan menjadi sebuah institusi masyarakat yang mampu melakukan pengelolaan pembangunan pada tingkat komunitas 67

80 secara mandiri. Untuk maksud tersebut semestinya pendekatan yang digunakan mengutamakan pendekatan proses. Hal ini disebabkan oleh karena tumbuhnya BKM menjadi lembaga yang mandiri hanya mungkin terwujud melalui proses belajar sosial sehingga terjadi proses institusionalisasi. BKM dalam jangka panjang bukan sekedar sebuah organisasi, melainkan organization that are institution. Dalam kenyataannya pendekatan proses ini ternyata tidak didukung oleh sistem administrasi dalam pelaksanaannya. Program ini harus mengikuti sistem administrasi reguler yang berorientasi target. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan baik oleh fasilitator maupun masyarakat terikat oleh target waktu yang ketat, dan mengutamakan pertanggungjawaban administratif bukan substansinya. Kondisi seperti itu tidak memberikan iklim yang kondusif bagi pendekatan proses, sehingga program-programnya dimunculkan sekedar untuk merespon turunnya BLM dengan sekedar mengikuti persyaratan proyek. Oleh sebab itu, yang tampak adalah bagaimana mengikuti prosedur yang sudah ditentukan tanpa memperhatikan substansinya. Sistem administrasi yang tidak kondusif tersebut, juga diperparah oleh adanya rotasi fasilitator yang relatif cepat. Fasilitator yang mulai berhasil menjalin hubungan yang mapan dengan masyarakat segera diganti oleh fasilitator yang baru sehingga harus mulai lagi dengan penyesuaian baru. Padahal, dalam pendekatan proses yang bersifat bottom up dan mengutamakan partisipasi masyarakat perlu dibangun saling percaya antara masyarakat dengan fasilitator. Di samping itu juga dibutuhkan kemampuan empati dari fasilitator dengan kehidupan dan persoalan aktual masyarakatnya. Kesemuanya itu membutuhkan proses, yang dibangun melalui interaksi yang intensif dan kontinyu antara masyarakat dan fasilitator. Di dalam interaksi tersebut terdapat proses saling belajar di antara kedua belah pihak. Dari informasi yang diberikan KMW, rotasi yang cepat ini merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan. Persoalannya dimulai dari banyaknya fasilitator yang karena berbagai pertimbangan mengundurkan diri. Dengan demikian posnya tersebut harus segera diisi, dan untuk itu perlu merotasi fasilitator dari daerah lain. Seperti sudah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, dalam program PNPM ini relawan mempunyai kedudukan yang cukup strategis. Bagi masyarakat dengan kelompok warga miskin yang belum terbiasa mengungkapkan aspirasi dan kebutuhannya, relawan dapat berfungsi untuk menjembataninya. Dalam hal ini relawan dapat berfungsi sebagai alat pendengar sekaligus pengeras suara bagi aspirasi dan kepentingan warga miskin. Untuk maksud tersebut dibutuhkan kemauan dan kemampuan guna melakukannya. 68

81 Kemauan dapat dipoeroleh apabila pada relawan sudah timbul kesadaran akan fungsinya sebagai relawan yang memperjuangkan kepentingan warga miskin. Di samping itu juga perlu dedikasi sebagai aktivis sosial yang tanpa pamrih. Pada umumnya, relawan yang direkrut dapat dibedakan menjadi dua. Pertama relawan yang sebelumnya sudah merupakan aktivis sosial di berbagai lembaga masyarakat misalnya kader posyandu, kader PKK. Kedua, relawan yang merupakan aktivis sosial baru. Mereka merupakan bagian dari warga masyarakat yang merespon tawaran untuk menjadi relawan pada tahap sosialisasi program. Sebagian dari mereka menyatakan dirinya menjadi relawan karena tertarik pada program dan menyadari posisinya sebagai relawan, sementara sebagian yang lain tertarik karena program PNPM ini dapat memperoleh dana yang dalam ukuran mereka cukup besar. Dari realitas tersebut dapat dikatakan bahwa para relawan belum semua teruji kapasitasnya karena tidak semuanya pernah menjadi aktivis sosial. Selain itu sebagian menjadi relawan bukannya tanpa pamrih. Pada kelompok yang terakhir tersebut banyak di antaranya yang kemudian mengundurkan diri di tengah jalan. Sementara itu kemampuan sebagai relawan yang berfungsi strategis dalam menjembatani kepentingan warga miskin dapat diperoleh melalui proses belajar, baik melalui pelatihan maupun pengalamannya sebagai relawan. Mengingat fungsinya yang cukup strategis semestinya kemampuan ini perlu selalu diasah. Dalam kenyataannya meningkatkan kemampuan relawan ini belum banyak dilakukan. usaha untuk selalui Pada tingkat disain program, PNPM mencoba menerapkan pendekatan bottom up dan partisipatif. Sementara itu dalam periode waktu yang cukup panjang masyarakat sudah terbiasa bekerja dalam program-program pembangunan yang bersifat top down. Bahkan bersamaan dengan dilaksanakannya program PNPM ini dalam masyarakat yang sama juga masih berlangsung program-program lain yang bersifat top down dan karitatif. Kesemuanya itu akan menjadi hambatan dalam mendorong perubahan orientasi berfikir masyarakat tentang program-program pembangunan khususnya dari pemerintah. Mereka pada umumnya masih memahami proyek pembangunan adalah kucuran dana dari atas. Implikasinya dalam program kegiatan sosial BKM adalah, masyarakat masih beranggapan bahwa berbagai kegiatan yang mereka lakukan tidak lebih merupakan respon atas program dan kucuran dana dari atas. Kesemuanya itu pada gilirannya juga akan mempengaruhi proses perkembangan BKM dengan perangkat pelaksananya seperti UPS dan KSM. Kenyataan tersebut merupakan salah satu hambatan dalam proses menjadi lembaga milik masyarakat yang mengakar dan terinstitusioanlisasi. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, belum tampak indikasi yang 69

82 kuat bahwa BKM akan menjadi lembaga masyarakat yang merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam identifikasi masalah, perencanaan dan pelaksanaan program secara melembaga. Mekanisme tersebut belum terinstitusionalisasi dalam wadah BKM sesuai namanya sebagai badan keswadayaan masyarakat. Dengan demikian belum ada jaminan bahwa mekanisme dan kegiatan yang selama ini berlangsung akan tetap berjalan apabila BLM dihentikan. Tabel V.5 Faktor Penghambat Kegiatan Sosial Kota Kelurahan Jenis Kegiatan Faktor Penghambat Pasuruan Panggungrejo Pemberian makanan SDM BKM berpendidikan rendah, tambahan untuk Anggota BKM kebanyakan ijazah korban gizi buruk SLTP, didominasi pengurus BKM, partisipasi warga miskin kurang karena orientasi hanya menerima bantuan Pemberian seragam sekolah Surabaya Kepel Gundih Partisipasi warga miskin kurang karena orientasi hanya menerima bantuan Kursus menjahit Pelaksanaan program masih didominasi BKM. Proses pemasaran pasca kursus yang masih kurang dan sarana prasarana mesin jahit kurang. Kejar paket B Pembinaan posyandu Pembelian sarana untuk senam lansia Dana sosial ibu bersalin Beasiswa pendidikan Pendidikan anak usia dini (PAUD) Bantuan sembako untuk lansia Pelatihan pengembangan keterampilan dan Kesan bahwa program tersebut berasal dari program PNPM kurang terlohat, karena Muslimat NU telah eksis sebelumnya cukup lama. Partisipasi masyarakat kurang Partisipasi masyarakat kurang. Belum ada upaya kongkret terkait dengan kegiatan pasca pelatihan. 70

83 Gorontalo KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Sawunggaling Limba B Lekobalo kewirausahaan Pelestarian lingkungan dengan pembuatan kompos rumah tangga Beasiswa pendidikan Pemilihan program yang cenderung karitatif, Dominasi BKM, partisipasi masyarakat kurang Penyuluhan ibu Dominasi masyarakat dan hamil partisipasi masyarakat kurang. Pemberian asupan Dominasi masyarakat dan makanan bergizi partisipasi masyarakat kurang. untuk balita Pemberian santunan Dominasi BKM, masyarakat pada lansia cenderung menunggu bantuan tanpa tau arti keberlanjutan program, PJOK hanya menunggu laporan, partisipasi masyarakat rendah. Pemberian Beasiswa Partisipasi masyarakat rendah. pendidikan Bantuan untuk Partisipasi masyarakat rendah. Rukun Duka Pelatihan Tidak berlanjut padahal sudah keterampilan salon membeli peralatan salon. Pembelian kursi Kecenderungan terjadinya konspirasi antara BKM dengan pengusaha yang dititipi dapat terjadi. Penentuan pengusaha tersebut dari ketua BKM. Pemberian beasiswa pendidikan Dominasi BKM, masyarakat cenderung menunggu bantuan tanpa tahu arti dari program. Makassar Rappokaling Rehabilitasi warga rumah Masyarakat cenderung menunggu bantuan tanpa tahu arti dari program Peningkatan gizi Masyarakat cenderung menunggu balita kurang bantuan tanpa tahu arti dari mampu program Santunan lansia Tidak semua anggota aktif, masyarakat lebih memilih diam atas kebutuhannya. Bantuan pemugaran rumah Beasiswa pendidikan Kursus komputer Kegiatan pasca pelatihan belum digarap. Kegiatan kursus komputer belum menjadi 71

84 Bengkulu Medan KAJIAN KEGIATAN SOSIAL YANG DIORGANISIR OLEH MASYARAKAT DALAM PNPM P2KP Bunga Ejaya Panorama Pasar Melintang Belawan Sukaraja Beasiswa pendidikan Santunan untuk orang jompo dan orang cacat Pembinaan TPA Kursus komputer Kursus menjahit Persewaan perlengkapan pesta Kursus dan pembinaan rental komputer Bantuan kepada orang jompo Bantuan beasiswa Perbaikan rumah warga kurang mampu Santunan untuk lansia dan yatim piatu Rehabilitasi rumah Kursus komputer Santunan bagi janda miskin kebutuhan utama masyarakat. Dominasi BKM, pemilihan peserta dan penerima bantuan tidak transparan, kurang harmonisnya hubungan dengan pemerintah setempat, keaktifan faskel kurang karena kerap berganti kepengurusan dalam waktu dekat Kegiatan pasca pelatihan belum digarap. Kegiatan kursus komputer belum menjadi kebutuhan utama masyarakat. Kegiatan pasca pelatihan belum digarap. Kegiatan ini belum mendorong kewirausahaan masyarakat. Didominasi BKM dan tokoh masyarakat sedangkan partisipasi rendah. Relawan juga sering berganti karena merasa tidak timbal balik bagi mereka tidak sesuai dengan yang diharapkan. Laporan kegiatan sosial persewaan pesta belum dikoordinasi di tingkat BKM. Tidak ada keberlanjutan pasca pelatihan komputer. Partisipasi masyarakat rendah Partisipasi masyarakat rendah Partisipasi masyarakat rendah Dominasi pengurus dan anggota BKM, informasi kegiatan kurang terbuka, faskel sering berganti Kegiatan pasca pelatihan belum digarap. Pengurus BKM didominasi wanita akibatnya penerima program cenderung ke perempuan, transparansi pemilihan peserta kurang, faskel sering berganti, adanya segregasi antara pribumi- 72

85 Pelatihan tata boga tionghoa. SDM BKM berpendidikan rendah, Anggota BKM kebanyakan ijazah SLTP, didominasi pengurus BKM, partisipasi warga miskin kurang karena orientasi hanya menerima bantuan Dari faktor penghambat kegiatan sosial menunjukkan faktor yang variatif antar daerah yang dapat dilihat pada grafik V.12. berikut ini : Grafik V.12 Faktor Penghambat kegiatan sosial Sukaraja, Medan Belawan, Medan Pasar Melintang, Bengkulu Panorama, Bengkulu Bunga Ejaya, Makassar Rappokaling, Makassar Lekobalo, Gorontalo Limba B, Gorontalo Sawunggaling, Surabaya Gundih, Surabaya Kepel, Pasuruan Panggungrejo, Pasuruan Belum ada tindak lanjut Kapasitas SDM kurang Masih bergantung pada Faskel Berpotensi Korupsi Terkesan program organisasi lama Belum bersifat bottom-up Tidak teridentifikasi Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Dilihat dari prosentasenya, 34% hambatan kegiatan sosial dikarenakan kegiatan sosial tersebut yang belum bersifat bottom-up. Kemudian juga 20% kegiatan sosial belum ada tindak lanjut. Di beberapa daerah juga dapat ditemukan berbagai faktor penghambat kegiatan sosial seperti masih tergantung pada faskel (10%), berpotensi korupsi (7%), kapasitas sumber daya manusia yang kurang (5%), dan terkesan program organisasi lama (2%). Hal ini dapat dijelaskan dalam diagram V.3 berikut ini : 73

86 Diagram V.3 Faktor Penghambat Kegiatan Sosial 21% 21% 5% 10% 34% 2% 7% Belum ada tindak lanjut Masih bergantung pada Faskel Terkesan program organisasi lama Tidak teridentifikasi Kapasitas SDM kurang Berpotensi Korupsi Belum bersifat bottom-up Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Belum Tersentuhnya Kegiatan-Kegiatan Pasca Pelatihan Dari hasil kegiatan-kegiatan sosial yang berorientasi pada pelatihan menunjukkan bahwa kegiatan pasca pelatihan belum digarap secara serius. Setelah pelatihan selesai maka kegiatan sudah dianggap selesai. Dengan demikian program yang diharapkan mampu meningkatkan kapasitas warga menjadi kurang berguna. Program-program pelatihan yang ada juga kurang berbasis pada kebutuhan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Misalnya trend adanya pelatihan komputer yang dilaksanakan di beberapa lokasi seperti Makassar, Bengkulu dan Medan sebenarnya juga belum tentu menjadi kebutuhan riil yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat yang ada di kelurahan tersebut. Hal demikian juga terjadi pada kegiatan sosial menjahit di Pasuruan maupun Medan. Kegiatan-kegiatan pasca pelatihan seperti pemasaran hasil jahitan ataupun kegiatan pengembangan usaha pasca pelatihan belum digarap secara serius oleh BKM padahal sebenarnya masyarakat sasaran lebih membutuhkan hal ini. Ketika BKM mampu menginisiasi hal ini tentunya akan menjadi hasil yang luar biasa bagi kegiatan-kegiatan sosial BKM. Di Kelurahan Kepel sebenarnya sudah ada semacam best practices yang dilaksanakan terkait dengan kegiatan menjahit dimana para masyarakat lulusan dari pelatihan ada yang magang ke pengusaha konveksi lokal yang ada di sana. Namun, karena 74

87 omset dari konveksi tersebut tidak banyak akhirnya penghasilan yang diperoleh dari magang tersebut juga tidak banyak. C. Hasil Analisis Kontekstual 1. Analisis Kontekstual Umum Variasi kegiatan sosial di masing-masing lokasi akan ditentukan oleh peran dari aktor-aktor yang terlibat dalam kegiatan PNPM ini. Aktor ini dapat dibedakan dari sisi masyarakat (KSM), UPS/relawan dan BKM yang mendampingi masyarakat. Dari hasil temuan di lapangan menunjukkan demikian. Kapasitas kelembagaan KSM, pengalaman dan kapasitas BKM, Kapasitas relawan, proporsi lapisan tidak miskin dan keberadaan institusi sosial ternyata memiliki peran dalam pembentukan pola kegiatan sosial. Secara lebih jelas mengenai bagaimana peran dari aktor-aktor tersebut dalam mengembangkan pola kegiatan sosial dapat dilihat pada tabel V.6 di bawah ini : Tabel V.6 Kapasitas Aktor Dan Pola Kegiatan Sosial No Kapasitas Aktor Fakta Yang Terjadi 1 Kapasitas Kelembagaan BKM BKM yang anggotanya memiliki tingkat pendidikan lebih baik, aktif, administrasi dan dokumentasi lebih tertata dan ada transparansi ternyata memiliki jenis program yang lebih bervariasi dan lebih memiliki orientasi keberlanjutan. 2 Kapasitas KSM KSM yang memiliki tingkat pendidikan lebih baik dan pengalaman sebagai aktivitis sosial cukup ternyata mampu membangun jaringan dalam pengembangan kegiatan sosial yang lebih baik. 3 Kapasitas Relawan Relawan yang lebih terasah melaui partisipasi dalam institusi yang ada ternyata mampu memberikan usulan program yang lebih bervariasi dan berkelanjutan 4 Stratifikasi sosial Dalam masyarakat yang memiliki lapisan tidak miskin lebih besar ternyata sudah ada indikasi partisipasi lapisan tidak miskin dalam mendukung program. 75

88 5 Keberadaan institusi sosial Pada kelurahan yang memiliki cukup banyak institusi sosial yang kegiatannya relevan dengan program sosial ternyata mendorong pola kegiatan sosial menjadi lebih bervariasi dan ada sinergi antara kegiatan sosial dengan institusi yang sudah ada. 6 Lingkungan Sosial Dalam lingkungan sosial masyarakat yang ada pembauran diantara warganya ternyata ada indikasi kebersamaan dalam partisipasi seluruh warga dalam program yang dipilih. Dari tabel V.6 tersebut menunjukkan bahwa terbentuknya kegiatan sosial yang berkelanjutan di masing-masing daerah tidak hanya ditentukan oleh peran satu aktor saja akan tetapi juga oleh berbagai aktor baik oleh BKM, KSM maupun relawan. Demikian juga struktur yang ada dalam masyarakat maupun potensi institusi sosial di dalamnya akan menentukan juga dalam pembentukan pola kegiatan sosial. 2. Analisis Kontekstual Antar Kelurahan a. Kota Pasuruan Dilihat dari jenis program kegiatan sosial yang direncanakan dan dilaksanakan dalam tahun 2007 dan 2008, di antara Kelurahan Kepel dan Kelurahan Panggungrejo terdapat perbedaan baik jika dilihat dari variasi jenis programnya maupun dari keberadaan program yang berorientasi keberlanjutan. Bahwa dari hasil perbandingan tersebut jenis program di Kelurahan Kepel lebih variatif dan sudah lebih banyak memunculkan program yang berorientasi keberlanjutan, perlu dianalis faktor-faktor yang diperhitungkan mempengaruhi perbedaan tersebut. Secara teoretik, faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pengaruh eksternal maupun internal. Berdasarkan penelitian lapangan, faktor eksternal yang banyak terkait dalam pelaksanaan program adalah fasilitator, pemerintah kelurahan, PJOK, dan Pemda kota Pasuruan. Walaupun difasilitasi oleh orang yang berbeda, akan tetapi dari hasil penelitian ditemukan realita bahwa kontribusi fasilitator di kedua kelurahan tersebut dapat dikatakan seimbang. Hal itu dapat dilihat dari intensitas interaksi dengan masyarakat, dorongan untuk mengembangkan program yang dampaknya berkelanjutan, keberadaan baik fasilitator parasarana, ekonomi maupun sosial (community development) di masing 76

89 masing kelurahan. Demikian juga dengan kontribusi pemerintah kelurahan, di kedua kelurahan pemerintah setempat menyediakan sebagian ruang kantor kelurahan untuk sekretariat BKM. Selebihnya pemerintah kelurahan tidak banyak memberikan peranan yang berarti bagi perkembangan BKM. Faktor peranan PJOK juga dapat dianggap sebagai bukan penyebab perbedaan kinerja BKM di kedua kelurahan tersebut, karena keduanya terletak dalam wilayah kecamatan yang sama, sehingga PJOK-nya juga sama. Sementara itu peran pemerintah daerah juga sama karena masing masing kelurahan peserta program PNPM diberi dana dampingan yang jumlahnya sama yaitu sebesar Rp ,- Hal itu bukan berarti faktor eksternal tersebut tidak mempengaruhi perkembangan BKM. Dalam analisis perbandingan antar dua kelurahan tersebut, karena faktor-faktor eksternal tersebut setara, maka menjadi faktor konstan sehingga tidak dapat dianalisis sebagai faktor yang menyebabkan perbedaan variasi dan kualitas program di kedua kelurahan. Oleh sebab itu, dalam uraian berikut ini analisis akan lebih memperhitungkan pengaruh faktor internal. Faktor-faktor tersebut adalah kapasitas kelembagaan BKM, kapasitas KSM, kapasitas relawan, stratifikasi sosial, lingkungan sosial dan keberadaan institusi sosial dalam masyarakat. Agar dapat mudah diikuti, analisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh btersebut diwujudkan dalam bentuk tabel V.7 berikut. 77

90 Tabel V.7 Perbandingan Pengaruh Kapasitas BKM Di Kota Pasuruan Kelurahan Kapasitas Kelembagaan BKM Jenis dan kesinambungan program Kepel - Pendidikan pengurusnya mayoritas setingkat SMA - Sebagian besar pengurus aktif - Administrasi dan dokumentasi lebih tertata - Ada transparansi dan komunikasi, tersedia papan komunikasi Panggungrejo - Pendidikan pengurus mayoritas setingkat SLTP - Hanya beberapa anggota pengurus yang aktif - Administrasi dan dokumentasi kurang lengkap - Tidak tersedia papan untuk media komunikasi Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Jenis program cukup bervariasi - Sudah ada program yang berorientasi keberlanjutan, terutama pada tahun kedua - Jenis program kurang bervariasi - Belum ada program yang berorientasi keberlanjutan Perbedaan variasi jenis program dan perbedaan keberadaan program yang berorientasi keberlanjutan ditemukan pada tahun kedua. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di Kelurahan Kepel lebih ditemukan adanya proses pembelajaran. Faskel di kedua kelurahan tersebut sama sama memberi dorongan kepada BKM untuk merumuskan program yang lebih bervariasi dan lebih keberlanjutan. Walaupun demikian karena kondisi yang menjadi basis kapasitas kelembagaan berbeda, menyebabkan responnya terhadap stimuli dari faskel juga berbeda. Di samping itu perbedaan kapasitas kelembagaan BKM juga menyebabkan perbedaan kemampuan dalam mengolah dan memanfaatkan pengalaman masa lalu sebagai umpan balik untuk melakukan perbaikan. Kenyataan bahwa pada tahun pertama program-program di kedua kelurahan masih bersifat karitatif dan ditahun kedua Kelurahan Kepel lebih banyak memunculkan program yang berorientasi keberlanjutan, memberikan indikasi bahwa BKM Kelurahan Kepel lebih mampu belajar dari pengalaman. Hal itu juga mengisyaratkan perlunya digunakan pendekatan yang berbeda dalam memberikan pendampingan dan fasilitasi kepada BKM yang mempunyai kapasitas kelembagaan yang berbeda. Sepanjang wawancara dengan faskel, korkot dan KMW, terkesan bahwa perlunya memberikan pendekatan yang berbeda yang disesuaikan dengan kapasitas 78

91 kelembagaan masing masing BKM belum menjadi pemikiran, apalagi dilaksanakan dalam praktik. Berpengaruhnya kapasitas kelembagaan terhadap pelaksanaan program PNPM tidak hanya ditemukan pada level BKM, melainkan juga pada institusi kelengkapan BKM terutama KSM yang menjadi ujung tombak terdepan dalam pelaksanaan program. Hal itu dapat diamati dalam tabel V.8 berikut ini. Tabel V.8 Perbandingan Pengaruh Kapasitas KSM Di Kota Pasuruan Kelurahan Kapasitas KSM Kemampuan membangun jaringan Kepel - Tingkat pendidikan mayoritas - Walaupun masih SLTA atau sederajat terbatas sudah pernah - Pengalaman sebagai aktivis membangun jaringan kegiatan sosial cukup dengan Nestle Panggungrejo - Tingkat pendidikan mayoritas - Sama sekali belum SLTP atau sederajat pernah membangun - Pengalaman sebagai aktivis jaringan kegiatan sosial kurang Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Sebetulnya dari penelitian lapangan diperoleh informasi, bahwa usaha membangun jaringan baik yang dilakukan oleh BKM Kelurahan Kepel maupun Panggungrejo masih sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah karena perangkat program PNPM mulai dari faskel, korkot dan KMW tekesan lebih berkonsentrasi pada bagaimana pemanfaatan dana BLM bagi berbagai program yang dibuat termasuk program kegiatan sosial. Fasilitasi kepada BKM dan KSM untuk mencoba menjalin kerjasama dan membangun jaringan dengan stakeholder terkait tidak banyak mendapat porsi perhatian, bahkan boleh dikatakan belum ada sama sekali. Demikian juga halnya dengan unsur pemerintah dari tingkat kelurahan, kecamatan sampai pemerintah daerah. Usaha untuk memfasilitasi bagi terwujudnya chanelling juga belum dilakukan. Dengan demikian walaupun masih sangat terbatas, apabila ada usaha membangun jaringan, hal itu merupakan inisiatif masyarakat sendiri, dalam hal ini BKM atau KSM. Untuk maksud tersebut BKM/KSM Kelurahan Kepel pernah bekerja sama dengan perusahaan Nestle bagi penyediaan makanan tambahan khususnya susu dalam mendukung program penyuluhan pola hidup bersih dan sehat. Sayangnya kerja sama 79

92 itu hanya berjalan dalam satu tahun program dan tidak dilanjutkan pada tahun berikutnya. Sementara itu di Kelurahan Panggungrejo hal semacam itu belum pernah dilakukan. Inisiatif dari pengurus KSM untuk menjalin kerja sama lebih disebabkan karena wawasan yang diperoleh dari pengalaman sebagai aktivis sosial. Sebagaimana sudah dilaporkan sebelumnya, pada umumnya pengurus KSM di kedua kelurahan tersebut berasal dari aktivis sosial institusi yang sudah ada sebelumnya terutama PKK dan posyandu..walaupun sama sama berbasis institusi PKK dan posyandu, karena intensitas kegiatan di kedua kelurahan berbeda, menyebabkan kapasitas aktivis yang kemudian menjadi pengurus KSM juga berbeda, termasuk dalam berinisiatif menjalin kerjasama dengan pihak luar. Di samping kapasitas BKM dan KSM, faktor internal yang juga diperhitungkan mempengaruhi pebedaan dalam pelaksanaan program kegiatan sosial di kedua kelurahan tersebut adalah kapasitas relawan. Sebagaimana sudah disampaikan pada bagian lain laporan ini, di kedua kelurahan keberadaan relawan dalam program PNPM ini memegang peraan yang cukup strategis. Di saat kondisi lapisan miskin masih sebagai silent mass yang belum terbiasa menggunakan peluang untuk menyatakan aspirasinya, relawan berposisi sebagai mediator yang menjembatani aspirasi dan kebutuhan lapisan miskin dengan program-program yang dibuat. Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah tentu perbedaan kapasitas relawan akan mempengaruhi terakomodasikannya kebutuhan dan aspirasi lapisan miskin ke dalam program yang dirumuskan BKM. Gambaran tentang hal tersebut dapat diamati pada tabel V.9 berikut ini. 80

93 Tabel V.9 Perbandingan Pengaruh Kapasitas Relawan Di Kota Pasuruan Kelurahan Kapasitas Relawan Jenis dan keberlanjutan program Kepel - Lebih terasah melalui partisipasinya dalam institusi yang ada sebelumnya Panggungrejo - Karena institusi sebelumnya aktivitasnya kurang, pengalaman kurang terasah Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Mampu memberikan usulan program yang lebih bervariasi dan berkelanjutan - Kurang berperanan dalam memberikan usulan program Walaupun secara prosedural permasalahan dan kebutuhan lapisan miskin digali dari bawah dan perumusan program diputuskan melalui rembug warga, akan tetapi dalam kenyataannya inisiator dan pengusul program masih lebih banyak datang dari tokoh tokoh masyarakat khususnya pengurus BKM, UPS, KSM dan relawan. Di antara pihak yang menjadi inisiator dan pengusul program tersebut, yang dapat dianggap paling dekat dengan lapisan miskin adalah relawan. Mereka banyak berinteraksi langsung dan memiliki kesempatan berempati dengan kehidupan lapisan miskin. Oleh sebab itu apabila mereka lebih banyak berperanan dalam mengusulkan program, diharapkan aspirasi lapisan miskin dapat terjembatani. Karena intensitas aktivitas institusi PKK dan Posyandu yang menjadi basis asal mereka sebelum aktif di PNPM berbeda, maka pengalaman mereka juga berbeda. Dalam hal ini Kelurahan Kepel lebih diuntungkan, sehingga kapasitas relawan juga lebih baik karena pengalamannya sudah lebih terasah. Itulah sebabnya relawan dari Kelurahan Kepel lebih banyak memberikan usulan program dibandingkan relawan dari Kelurahan Panggungrejo. Selanjutnya, prospek BKM sebagai institusi yang mampu melembaga dan bersifat mandiri juga banyak ditentukan oleh dukungan modal sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam pelaksanaannya kemudian, lebih ditentukan dari kemampuan mengidentifikasi dan memanfaatkan modal sosial tersebut. Melalui cara seperti itu potensi lapisan tidak miskin dalam memberikan kontribusi bagi program sosial dapat lebih diaktualisasikan. Potensi lapisan tidak miskin tersebut dapat dilihat dari stratifikasi sosialnya dan hubungan serta jarak sosial antar lapisan yang ada. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa baik di Kelurahan Kepel maupun Panggungrejo 81

94 dalam stratifikasi sosialnya terdapat lapisan miskin dan tidak miskin. Di kedua kelurahan, hubungan kedua lapisan tersebut sama sama tidak bersifat eksklusif. Perbedaannya adalah, Kelurahan Panggungrejo memiliki lapisan miskin yang lebih banyak dan lapisan tidak miskin yang lebih sedikit. Pengaruh dari kondisi tersebut dapat diamati dalam tabel V.10 berikut. Tabel V.10 Perbandingan Pengaruh Stratifikasi Sosial Di Kota Pasuruan Kelurahan Stratifikasi sosial Partisipasi lapisan tidak miskin Kepel - Ada lapisan tidak miskin dan - Mulai ada indikasi miskin, hubungan tidak partisipasi lapisan eksklusif tidak miskin dalam - Lapisan tidak miskin lebih besar mendukung program Panggungrejo - Ada lapisan miskin dan tidak miskin, hubungan tidak eksklusif - Lapisan tidak miskin jumlahnya lebih kecil Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Belum telihat keterlibatan lapisan tidak miskin dalam mendukung program Pada umumnya kontribusi dan partisipasi warga masyarakat yang berasal dari lapisan tidak miskin selain yang berkedudukan sebagai pengurus BKM, UPS, KSM dan relawan, memang relatif masih terbatas. Di Kelurahan Kepel mulai ada indikasi kontribusi mereka dalam bentuk kesediaan untuk menjadi donatur tetap bagi program sosial dan kesediaan menjadi tutor kursus menjahit yang kemudian juga mempekerjakan para peserta setelah selesai mengikuti kursus. Sementara di Kelurahan Panggungrejo realita tersebut belum ditemukan. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa lapisan tidak miskin di Kelurahan Kepel memang lebih banyak dibandingkan Panggungrejo. Di samping itu, sudah tentu juga disebabkan oleh kemampuan BKM dan KSM dalam mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi yang ada. Bukan tidak mungkin bahwa di kedua kelurahan tersebut terdapat warga masyarakat lain yang berpotensi seperti itu. Pada masa mendatang, sebagai upaya meningkatkan kemandirian BKM dan secara perlahan mengurangi ketergantungan kepada BLM, potensi tersebut perlu digali dan dimanfaatkan. Untuk maksud tersebut 82

95 peningkatan kapasitas kelembagaan BKM yang memungkinkan tumbuhnya trust oleh masyarakat terhadap BKM menjadi syarat utamanya. Hal itu akan menyebabkan warga masyarakat yang tidak miskin yang mempunyai minat untuk berpartisipasi, tidak khawatir menyalurkan kontibusinya melalui BKM. Faktor lain yang berasal dari masyarakat yang dapat mendukung program sosial adalah keberadaan institusi sosial dalam masyarakat yang memilikin kegiatan sejenis dengan program sosial BKM. Dari hasil penelitian lapangan diperoleh kenyataan bahwa Kelurahan Kepel mempunyai institusi sosial seperti itu yang bukan saja lebih bervariasi akan tetapi juga memiliki intensitas kegiatan yang lebih tinggi. Institusi tersebut adalah PKK, Posyandu, Muslimat NU, Kelurahan siaga. Sementara di Kelurahan Panggungrejo hanya ditemukan dukungan dari PKK dan Posyandu. Sudah tentu perbedaan tersebut juga menyebabkan perbedaan dukungannya bagi program sosial BKM. Pengaruh institusi sosial tersebut dapat diamati dalam tabel V.11 berikut. Tabel V.11 Perbandingan Pengaruh Institusi Sosial Di Kota Pasuruan Kelurahan Keberadaan institusi sosial Faktor pendukung Program Kepel - Cukup banyak institusi sosial yang kegiatannya relevan dengan program sosial(pkk, Posyandu, Muslimat NU, Kelurahan Siaga) - Intensitas kegiatannya rendah Panggungrejo - Institusi yang aktivitasnya relevan dengan program sosial terbatas(hanya PKK dan posyandu) - Intensitas kegiatannya rendah Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Program BKM yang diintegrasikan lebih bervariasi - Ada sinergi - Institusi yang sebelumnya sudah ada dapat menjaga keberlanjutan - Program BKM yang diintegrasikan kurang bervariasi - Program BKM lebih dominan - Kurang terjamin keberlanjutannya Dari perbedaan kondisi institusi sosial yang sudah ada tersebut, mengakibatkan di Kelurahan Kepel lebih banyak dan lebih bervariasi program-program sosial yang diintegrasikan ke dalam kegiatan institusi tersebut. Di samping itu juga lebih dapat dilihat adanya sinergi antara kegiatan yang ada dengan program BKM yang 83

96 diintegrasikan. Sementara itu di Kelurahan Panggungrejo sifatnya tidak sinergis karena program BKM yang kemudian lebih menonjol. Kenyataan tersebut juga akan berpengaruh terhadap prospek keberlanjutan program. Oleh karena di Kelurahan Kepel kegiatan kegiatan institusi sosial tersebut sudah melembaga, maka institusi tersebut dapat digunakan sebagai penerima tongkat estafet untuk melanjutkan program yang sudah dilaksanakan oleh BKM. Sebagai ilustrasi program keaksaraan fungsional kemudian dilanjutkan oleh Muslimat NU, program penyuluhan hidup bersih dan sehat dilanjutkan oleh institusi kelurahan siaga. Agak berbeda dengan yang terjadi di Panggungrejo, program yang semula dilaksanakan BKM berhenti setelah tidak lagi didanai melalui BLM. Ada suatu realitas yang cukup menarik apabila mengamati institusi sosial yang memberikan dukungan terhadap pelaksanaan program sosial ini. Baik di Kelurahan Kepel maupun di Panggungrejo institusi tersebut pada umumnya berbasis perempuan. PKK, Posyandu dan Muslimat NU ketiganya adalah wadah kegiatan warga masyarakat dengan jenis kelamin perempuan. Tidak mengherankan apabila program sosial yang diintegrasikan ke dalam institusi- institusi tersebut banyak melibatkan kaum perempuan, mulai dari pengurus KSM, relawan dan penerima manfaatnya. Seperti sudah dilaporkan sebelumnya relawan dan pengurus KSM program sosial di kedua kelurahan tersebut semuanya adalah aktivis atau kader PKK dan Posyandu. Dengan demikian dilihat dari partisipasinya dalam program sosial, hal tersebut dapat dinilai positif, karena menunjukkan keterlibatan kaum perempuan yang cukup dominan dalam program PNPM terutama melalui program sosial. Tidak berlebihan apabila dalam program sosial ini sudah terwujud pengarusutamaan gender. Bahkan sebetulnya dalam pelaksanaan program sosial ini, dilihat dari gerakan penyetaraan perempuan terhadap laki laki telah terjadi bias gender dalam pengertian yang positif, oleh karena justru kegiatannya lebih didominasi kaum perempuan. Sebagai ilustrasi dapat dilaporkan, sewaktu dilaksanakan FGD yang melibatkan UPS, KSM dan penerima manfaat di Kelurahan Kepel, semua pesertanya adalah perempuan, yang berjenis kelamin laki laki hanya peneliti. Dilihat secara sepintas, pelibatan mayoritas perempuan dalam program sosial BKM ini dapat diejelaskan dari kenyataan bahwa program sosial ini sebagian diintegrasikan ke dalam program yang sudah ada sebelumnya yang dilaksanakan oleh PKK dan Posyandu. Kedua institusi tersebut pada umumnya lebih banyak melibatkan kaum perempuan. Akan tetapi interpretasi tadi perlu dikaji kembali apabila dilihat 84

97 bahwa program kreasi baru yang tidak terkait dengan kedua institusi tadi ternyata juga hanya melibatkan kaum perempuan. Kursus menjahit, tabungan ibu hamil dan keaksaraan fungsional keduanya hanya melibatkan perempuan baik tutor maupun pesertanya. Oleh sebab itu ada kesan bahwa dalam persepsi masyarakat, program sosial memang lebih pantas melibatkan perempuan. Apabila pertimbangannya adalah bahwa kaum perempuan diberi porsi untuk program sosial karena dianggap tidak memiliki kapasitas untuk menangani program yang lain, parasarana misalnya, maka hal itu telah mengindikasikan adanya bias gender. Pemberian porsi kepada perempuan untuk hanya mengelola program sosial dan kurang memberi ruang untuk banyak terlibat dalam program lain tersebut dapat diartikan menempatkann perempuan pada posisi marginal. Apalagi jika diingat bahwa dibandingkan program BKM yang lain, program sosial memperoleh alokasi anggaran paling kecil. Interpretasi itu juga semakin diperkuat melihat proporsi perempuan yang relatif rendah pada posisi yang lebih memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Kepengurusan BKM misalnya, di kedua kelurahan tersebut, di antara 13 orang anggota pengurus BKM masing masing kelurahan hanya menempatkan seorang perempuan. Dengan demikian dominasi keterlibatan perempuan dalam program sosial ini dapat diinterpretasikan dalam dua pandangan, positif dan negatif. Dilihat dari sisi program sosial saja tanpa melihat perbandingannya dengan keterlibatannya dalam program lain, kenyataan itu dapat diberi makna positif. Hal itu menunjukkan peranan dan partisipasi perempuan yang cukup menonjol, bahkan lebih dominan dibandingkan dengan laki laki. Di sisi lain, dilihat dengan membandingkan keterlibatan perempuan pada program lain termasuk bidang yang lebih mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan seperti kepengurusan BKM, realitas ini dapat dimaknai sebagai semacam stereotip, bahwa perempuan memang lebih tepat menangani program sosial dan tidak untuk program atau bidang yang lain. Kenyataan ini menggambarkan kondisi yang bias gender dalam pengertian negatif terutama dilihat dari kesetaraan perempuan, karena justru menempatkan perempuan dalam posisi marginal. Jika interpretasi terakhir itu yang benar, maka diperlukan upaya untuk merubah persepsi tersebut. Kaum perempuan tidak hanya dapat terlibat dalam program sosial, karena mereka juga memmiliki kemampuan yang sama dengan laki laki untuk terlibat program lain. Sebaliknya kaum laki laki dan institusi pendukungnya juga bukan tabu untuk terlibat dalam program sosial. Hal itu diperlukan untuk memperluas daya dukung program sosial dan untuk memperluas kelompok sasaran. Kaum laki laki 85

98 juga dapat diberi porsi sebagai pengelola, di samping dapat pula menjadi penerima manfaat program sosial. Demikian pula halnya, program sosial dapat juga diintegrasikan dengan berbagai institusi yang ada yang basis pendukungnya kaum laki laki. Melihat kontribusi yang cukup signifikan baik dalam pelaksanaan program saat ini maupun dalam mengusahakan keberlanjutan program di masa mendatang, perlu lebih banyak digali dan dimanfaatkan modal sosial dari masyarakat sendiri. Dengan demikian perlu dibangun sinergi dengan institusi yang lain sehingga jangkauannya lebih luas. Di kedua kelurahan sebetulnya masih banyak institusi yang ada dan belum diajak kerjasama terutama institusi yang basis keanggotaannya bersifat umum, artinya bukan didominasi kaum perempuan, misalnya LPMK, Kelompok tani/nelayan. Untuk maksud tersebut program BKM terutama melalui pendanaan dalam bentuk BLM harus diperlakukan sebagai stimuli guna membangun dan mengembangkan modal sosial yang sudah ada. Dengan demikian dalam jangka panjang akan mendukung proses menuju kemandirian. Sebaliknya, perlu dihindari masuknya program BKM terutama dengan dana BLM agar tidak mematikan potensi modal sosial yang sudah ada, sehingga justru menimbulkan ketergantungan. Oleh sebab itulah di samping BKM perlu meningkatkan kapasitas melalui proses belajar, hal yang sama juga berlaku untuk perangkat program mulai dari faskel, korkot dan KMW. Melalui pengalaman berinteraksi dengan masyarakat dapat dikembangkan penyempurnaan yang terus menerus tentang pendekatan yang dilakukan untuk memberikan fasilitasi, agar sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Bagi BKM, proses pembelajaran menuju institusionalisasi dan kemandirian tersebut dapat dilakukan melalui dua arah. Di satu sisi meningkatkan kapasitas kelembagaan BKM termasuk kapasitas membangun jaringan keluar, di sisi lain berbarengan dengan itu dilakukan usaha menggali dan memanfaatkan lebih banyak institusi sosial dan modal sosial setempat. Dengan cara seperti itu perkembangan BKM akan menjadi lebih cepat, karena kedua arah tersebut bersifat sinergis. Pemanfaatan modal sosial mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan, di lain pihak kapsitas kelembagaan yang berkembang akan meningkatkan trust dari berbagai pihak untuk bekerja sama dengan BKM. Hal itu perlu dipikirkan mengingat dari pengamatan di lapangan, kecenderungan kearah institusionalisasi BKM dan kemandirian BKM tersebut belum tampak. Indikasinya adalah, masyarakat masih melihat BKM sebagai bagian dari proyek pemerintah, program-programnya masih menggantungkan dana dari BLM, 86

99 pemanfaatan modal sosial masih sangat terbatas, belum tampak usaha yang optimal untuk membagun jaringan dengan berbagai stakeholder. b. Kota Surabaya Program kegiatan sosial yang dilaksanakan di Kelurahan Gundih dan Sawunggaling, Kota Surabaya, meski sama-sama berada di perkotaan, namun didapati adanya perbedaan, baik yang berkaitan dengan variasi jenis program maupun perkiraan keberlanjutan program yang dilaksanakannya. Dari program yang dilaksanakan di kedua kelurahan memberikan indikasi bahwa tingkat keberlanjutan progam yang ada di Kelurahan Gundih lebih tinggi bila disandingkan dengan kegiatan di Kelurahan Sawunggaling. Informasi yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa didapati sejumlah faktor yang berpengaruh dalam proses penyusunan program. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa individu/person, jenis lembaga ataupun kelompok yang ada di setiap kelurahan berkenaan dengan program PNPM dapat dinyatakan sama. Dengan kesamaan tersebut tentu dapat diperkirakan dan diharapkan bahwa mampu berperan dalam mendorong kemandirian masyarakat secara merata pula. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan program di Kelurahan Gundih nampak lebih memiliki variasi dan lebih banyak memilih program yang lebih berorientasi pada upaya keberlanjutan bila dibandingkan dengan di Kelurahan Sawunggaling. Sebagaimana disebutkan diatas, secara kelembagaan memiliki kesamaan, namun mengapa terjadi perbedaan dalam penentuan dan pemilihan programnya. Nampakanya peran fasilitator kelurahan, pemerintah kelurahan, person yang memiliki peran dalam KSM, BKM dan juga PJOK serta korkot maupun pemerintah kota Surabaya dimaknai berpengaruh signifikan pada jenis program yang dikembangkannya. Dari hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa peran fasilitator kelurahan dalam mempengaruhi programnya. Peran faskel dalam membimbing masyarakat dari awal hingga akhir dalam proses siklus tentu sesuai dengan aturan permainan yang telah disepakati. Relasi antara BKM dan pemerintah kelurahan juga cukup komunikatif, meski didapati keterangan bahwa proses siklus yang dilaksanakan pada tahap awal sering tidak nyambung waktunya dengan proses penyusunan rencana pembangunan di tingkat kelurahan. Tatakala yang berlaku antara siklus di PNPM yang dipandu oleh faskel lebih lambat dibandingkan dengan Musrenbang di tingkat kelurahan, sehingga kontribusi dan sinkronisasi dengan program BKM dengan 87

100 pemerintah kelurahan belum sepenuhnya dapat nyambung. Informasi yang diperoleh dari korkot serta hasil diskusi dengan segenap faskel di kedua kelurahan memiliki kemampuan dan potensi yang merata, termasuk tiingkat pendidikan mereka. Dapat dipahami bahwa peran person yang terkait dengan program PNPM cukup bermakna, namun nampaknya masih ada variabel lain yang juga tidak dapat diabaikan dalam mempengaruhi pilihan dan pelaksanaan programnya. Pertanyaannya adalah: mengapa program yang berjalan di kedua kelurahan tersebut terdapat banyak perbedaan? Uraian berikut mencoba melihat bagaimana pengaruh faktor internal dalam mendorong pemilihan dan pelaksanaan program. Faktor-faktor tersebut antara lain kemampuan person dalam kelembagaan BKM, kualitas KSM, relawan, dan keberadaan institusi sosial dalam masyarakat. Tabel V.12 Perbandingan Pengaruh Kapasitas BKM Di Kota Surabaya Kelurahan Kemampuan Pengurus BKM Jenis dan kesinambungan program Gundih - Pendidikan pengurusnya sebagian sarjana - Sebagian besar pengurus aktif - Administrasi dan dokumentasi tertib - Ada transparansi dan komunikasi, tersedia papan komunikasi - Memiliki kantor sendiri yang representatif Sawunggaling - Pendidikan pengurusnya sebagian sarjana, bahkan profesor - Sebagian pengurus aktif - Administrasi dan dokumentasi sudah ada - Ada transparansi dan komunikasi, - Jenis program cukup bervariasi - Sudah ada program yang berorientasi pada upaya keberlanjutan - Jenis program kurang bervariasi - Belum ada program yang berorientasi pada upaya keberlanjutan Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Pengurus BKM Kelurahan Gundih menyebutkan bahwa belajar pengalaman dari kurang berhasilnya program dan kepengurusan sebelumnya, maka upaya menekan kegagalan dan citra lembaganya maka mereka berhati-hati dalam menentukan pilihan program agar kesan sebagai dana hibah dapat diminimalisir. Pengurus berupaya menyadarkan warga masyarakat bahwa dana yang diterima perlu digulirkan pada warga lain yang belum mendapatkan bagian dalam mengembangkan usaha maupun 88

101 bantuan. Sulitnya melakukan tagihan atas piutang yang telah lama belum dapat dilunasi. Belajar dari pengalaman itulah kehati-hatian pengurus BKM di Kelurahan Gundih dalam memilih program dan warga yang menjadi sasaran penerima bantuan dan pengembangannya menjadi lebih cermat. Peran yang dilakukan oleh faskel di kedua kelurahan tersebut sama mendorong BKM untuk merumuskan program yang lebih bervariasi dan lebih keberlanjutan. Karena pengaruh dan dominasi person dari kedua BKM berbeda, maka keputusan dan respon yang muncul nampak berbeda pula. Kecenderungan inilah yang menjadi pembeda dari kedua BKM dalam mengelola dan memanfaatkan pengalaman masa lalu sebagai umpan balik untuk melakukan perbaikan. Meskipun ketua BKM Keluarahan perhatian pada pekerjaan pokok masih Sawunggaling adalah guru besar, tapi lebih mendapatkan prioritas sedang plihan program di BKM kurang memperoleh perhatian. Untuk kasus ini memberikan indikasi bahwa tingkat pendidikan tidak selalu signifikan berpengaruh pada perhatian pada lembaga yang menjadi tanggungjawabnya, karena terjadi adanya anomali. Upaya untuk mengembangkan jaringan dengan lembaga maupun stakeholders lain diindikasikan masih kecil. Para pengelola program PNPM masih berkonsentrasi pada program internal sebagaimana ditentukan dalam pelaksanaan program, apalagi ada penilaian di kalangan pengurus korkot bahwa perhatian pemerintah daerah baik di tingkat kota maupun propinsi nampaknya sangat minim. Pilihan pada konsentrasi program yang bersifat internal dan pengembangan kemandirian lebih merupakan prioritas dan mengembangkan inisiatif masyarakatlah yang diutamakannya. Pilihan untuk memanfaatkan sekaligus mengembangkan program yang telah ada menjadi prioritas bagi BKM Kelurahan Gundih, dan pilihan inilah yang justru mendapatkan dukungan dari masyarakat atas kemanfaatan yang dirasakannya (contohnya adalah program PAUD yang sudah dirintis warga sejak awal). 89

102 Gambar V.1. Salah Satu Janda Penerima Bantuan Sosial Di Kelurahan Gundih, Surabaya Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Warga (janda) kurang mampu yang mendapat bantuan karena kondisi anaknya yang tidak normal karena kecelakaan dan suaminya meninggal karena kecelakaan itu pula, ia juga bantuan modal usaha makanan (gorengan). Peran inisiator dan relawan tentu juga menjadi bagian penting dalam pelaksanan dan pilihan program, meskipun tidak selalu berkorelasi dengan orientasi keberlanjutan program yang dipilihnya. Peran relawan cukup penting termasuk menjadi inisiator dan inovator serta mediator dalam menyusun, merencana dan melaksanakan bahkan menilai program yang dipilih dan dilaksanakannya, apakah merupakan kebutuhan atau hanya sekedar memenuhi persyaratan saja. 90

103 Tabel V.13 Perbandingan Peran dan Kemampuan Relawan Di Kota Surabaya Kelurahan Peran dan Kemampuan Relawan Pilihan jenis dan keberlanjutan program Gundih - Partisipasi dan perannya sudah berjalan mulai pada institusi yang ada sebelumnya dan sebagai inisiator dan pelaksananya Sawungaling - Lebih terpegaruh oleh ketokohan atau figur pengurus sehingga lebih mengikuti tokohnya - Menunjukkan adanya kemampuan dalam mengusulkan program yang lebih berorientasi pada kebutuhan dan berkelanjutan - Tidak begitu berperanan dalam memberikan usulan program Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Informasi yang diperoleh nampak bahwa inisiator dan pengusul program masih lebih banyak datang dari tokoh tokoh masyarakat, termasuk didalamnya para pengurus BKM, UPS, KSM dan relawan. Para tokoh dan yang menjadi inisiator maupun pengusul program dinilai mampu memahami warga yang menjadi sasaran, sehingga para penerima yang menjadi sasaran hanya mengikuti pendapat mereka. Mereka melihat bahwa aktivitas di PKK dan Posyandu dimana mereka berasal, maka pengalaman mereka juga dinilai memberikan manfaat. Kelurahan Gundih beruntung dengan program PAUD dan Kebersihan lingkungan yang sudah berjalan sebelumnya, sehingga program lanjutannya merupakan pengembangan dan kreatifitas pelaksana dan relawannya, yang memang nampak berbeda antara Gundih dan Sawunggaling. Kegiatan PAUD yang sangat diminati oleh warga kurang mampu karena kontribusi atau sumbangan untuk kegiatan tersebut sangat murah dan tejangkau, sekaligus didapati poster GGC (Gundih Green and clean). 91

104 Gambar V.2 Perbandingan Kegiatan PAUD Di Kelurahan Gundih Surabaya Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Karakteristik masyarakat juga menjadi faktor penting dalam pengembangan program yang terintegrasi secara menyeluruh. Eksklusifitas ataupun inklusifitas homogenitas dan heterogenitas pola perkampungan atau pemukiman nampaknya memiliki peran yang cukup besar pada upaya penilaian potensi dan modal sosial yang dimilikinya. Enklave perkampungan antara yang miskin dan kaya di Sawunggaling yang bersifat eksklusif berakibat pada pola pemilihan program yang menjadi lebih terpusat pada tokoh, yang nampaknya berbeda dengan di Kelurahan Gundih yang lingkugan masyarakatnya bersifat inklusif dan plural, sehingga pertimbangan pada kepentingan bersama lebih nampak. 92

105 Tabel V.14 Perbandingan Pengaruh Lingkungan Sosial Di Kota Surabaya Kelurahan Lingkungan sosial Partisipasi warga secara menyeluruh Gundih - Nampak adanya pembauran diantara warga yang kurang mampu dengan yang mampu - Bersifat plural/majemuk Sawunggaling - Didapati pola pengelompokan pemukiman antara masyarakat yang mampu dan kurang mampu, - Bersifat ekslusif Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Ada indikasi kebersamaan dalam partisipasi seluruh warga dalam program yang dipilih - Kurang nampak keterlibatan mereka yang tinggal di lingkungan ekslusif dalam mendukung program Lingkungan sosial yang majemuk tapi tetap kondusif sebagai tempat pengembangan kegiatan yang tidak membedakan kondisi maupun latar belakang status sosial-ekonomi antara warga mampu mapun kurang mampu dapat menjadi pendorong tumbuh-berkembangnya kebersamaan dan harmoni dalam masyarakat. Gambar V.3 Lingkungan Pemukiman Di Kelurahan Gundih, Surabaya Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial,

106 Lingkungan yang hijau dan menjadi tempat tinggal segenap warga Kelurahan Gundih, baik yang mampu maupun kurang mampu, melaksanakan program secara bersama. Lingkungan sosial yang kondusif dan juga peran serta segenap warga seperti di Gundih ini merupakan modal yang sangat berharga bagi keberlangsungan program yang dilaksanakannya, meski keterlibatan mereka yang berada di pinggir jalan raya dengan toko-toko besar masih dirasa kurang keterlibatannya dalam program PNPM. Dimasa datang keterlibatan itu menjadi faktor penting untuk mengembangkan dan memberikan kontribusi pada keberlanjutan program. Kontribusi dari mereka yang mampu kepada warga sekitar akan mendorong tumbuhnya kemandirian masyarakat (bukannya ketergantungan) dalam meningkatkan kesejahtaraannya lewat berbagai kegiatan, termasuk lewat program BKM. Apabila kontribusi yang diberikan oleh warga mampu ini tumbuh maka kepercayaan kepada BKM sebagai lembaga pengelola kegiatan yang berkelanjutan akan semakin tinggi. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan serta dukungan segenap warga dalam melaksanakan program yang dipilihnya apalagi kegiatan itu menjadi bagian dari kebutuhan dan kepentingannya. Lewat lembaga sosial yang telah dibentuk dan dikembangkan sebelumnya maka kesinambungan peaksanaan kegiatan akan lebih dapat dipastikan. Kegiatan PAUD, pengembangan kerajinan dari sampah plastik dan pemeliharaan kebersihan lingkungan dengan program komposter dan motto GGC (Gundih Green and clean) memiliki tingkat dukungan yang tinggi dari masyarakat. Faktor lain yang berasal dari masyarakat yang dapat mendukung program sosial adalah keberadaan institusi sosial dalam masyarakat yang memilikin kegiatan sejenis dengan program sosial BKM. Dari hasil penelitian lapangan diperoleh kenyataan bahwa Kelurahan Kepel mempunyai institusi sosial seperti itu yang bukan saja lebih bervariasi akan tetapi juga memiliki intensitas kegiatan yang lebih tinggi. Institusi tersebut adalah PKK, Posyandu, Muslimat NU, Kelurahan siaga. Sementara di Kelurahan Panggungrejo hanya ditemukan dukungan dari PKK dan Posyandu. Sudah tentu perbedaan tersebut juga menyebabkan perbedaan dukungannya bagi program sosial BKM. Pengaruh institusi sosial tersebut dapat diamati dalam tabel V.15 berikut. 94

107 Tabel V.15 Perbandingan Peran Institusi Sosial Kota Surabaya Kelurahan Keberadaan Lembaga Sosial Faktor Pendukung Program Gundih - Lembaga sosial yang ada dan - Dikembangkan dari dikaitkan dengan program yang program yang ada dan dikembangkan (RW dan ditingkatkan intensitas berbagai lembaga serta serta kualitasnya kegiatan yang ada, posyandu- - Sinergi ini justru PAUD, kebersihan dan mendorong keberlanjutan ketrampilan) - Kegiatan sudah berjalan Sawunggaling - Didapati lembaga sosial yang - Integrasi dengan program sudah ada sebelumnya meski yang ada kurang intensif kurang nampak perannya - Lebih bersifat dominatif - Intensitas kegiatan terbatas dan kurang menjamin keberlanjutannya Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Pemanfaatan lembaga dan kegiatan yang sudah ada menjadi faktor yang cukup berperan dalam membedakan variasi kegiatan dan keberlanjutannya. Belajar dari kesan warga bahwa dana dari pemerintah (termasuk program PNPM) merupakan dana hibah yang tidak harus dikembalikan dan kegagalan dalam penagihannya, maka pengurus BKM di Kelurahan Gundih sangat berhati-hati dalam memilih program. Karena ketokohan para pengurus BKM di Kelurahan Sawunggaling, pilihan program dan pelaksanaannya tergantung pada tokohnya. Kenyataan tersebut berpengaruh terhadap prospek keberlanjutan program. Pilihan program yang dipengauhi leh tokoh yang berorientasi pada pemberian bantuan justru lebih melanggengkan ketergantungan. Hal ini berarti bahwa sasaran utama program PNPM untuk mendorong kemandirian masyarakat tidak dapat diwujudkan dan ini tentu harus dihindari. Belajar dari hasil pencermatan pilihan dan pelaksanaan program di Kelurahan Gundih dan Kelurahan Sawunggaling serta usaha keberlanjutannya di masa mendatang, nampak sekali perlunya digali dan dimanfaatkannya lebih lanjut dan tentu secara 95

108 maksimal potensi dan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat sendiri. Para faskel yang menjadi ujung tombak dalam menggali pola pengambilan keputusan masyarakat perlu mempertimbangkan institusi sosial dan kegiatan apa saja yang menjadi kepentingan dan kebutuhan masyarakat, sehingga perlu dibangun sinergi dengan institusi yang lain agar ketepatan pilihan program, keberlanjutan dan jangkauannya lebih luas. Selain itu agar maksud dan tujuan pelaksanaan program BKM tercapai, maka pendanaan dalam bentuk BLM harus diperlakukan sebagai generator pendorong guna membangun dan mengembangkan modal sosial yang sudah ada, sehingga proses menuju kemandirian dapat terwujud. Pendampingan pada masyarakat dalam melakukan dan mencari jejaring dengan lembaga yang dapat mendukung kebelangsungan usaha dan kegiatan yang ada dalam masyarakat perlu menjadi prioritas. Program yang dipilih perlu disinergikan dengan pola kegiatan yang sudah ada dan dimiliki oleh masyarakat. Penambahan kegiatan dan pendanaan yang berada di luar kepentingan mereka hanya menambah beban dan memberi kesan sebagai dana hibah yang cukup diterima tanpa upaya pengembangannya. Para faskel dan pengambil keputusan dalam memilih progam kegiatan juga perlu belajar dari jenis kegiatan seperti apa yang biasanya masyarakat memberikan dukungan, bukan hanya sekedar dalam keterlibatan saja tapi juga dalam pendanaannya. Hal ini dapat digunakan sebagai indikasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat sekaligus kepercayaan yang dapat diperoleh dari berbagai pihak yang pada gilirannya memandirikan masyarakat dengan potensi yang dimilikinya sendiri. c. Kota Gorontalo Di Kota Gorontalo, ternyata kegiatan-kegiatan sosial yang ada mayoritas merupakan kegiatan yang karitatif. Banyaknya kegiatan karitatif di Kota ini tidak terlepas dari pola fikir masyarakat yang cenderung sudah pragmatis. Masyarakat di dua kelurahan di Kota Gorontalo ini ternyata sulit untuk difasilitasi dan diajak untuk berpartisipasi. Tingkat pemahaman masyarakat tentang kegiatan sosial ini juga berbeda-beda. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan situasi seperti itu disebabkan karena masyarakat sudah merasa capai dengan prosedur-prosedur yang pernah mereka ikuti saat program P2KP dulu. Apalagi secara eksternal banyak program dari pemerintah yang saling bertentangan dan ini dirasakan oleh masyarakat di Gorontalo. Kegiatan yang diusulkan lewat PNPM (melewati proses panjang atau siklus) dan 96

109 masyarakat dididik untuk bertanggungjawab dengan mengarsipkan atau membuat dokumen kegiatan secara disiplin, tertib serta rutin dan wajib mengembalikan dana yang dipinjamkannya. Usulan kegiatan juga harus memiliki kaitan dengan kebutuhan masyarakat secara langsung dan riil. Disisi lain, kebijakan BLT yang memberikan bantuan langsung berupa uang tunai dikucurkan langsung tanpa harus membuat proposal dan juga tidak ada pertanggungjawaban bagi penerimanya bahkan kadangkala jumlah uang lebih besar dari usulan yang dibuat dalam program PNPM. Warga masyarakat sering bertanya dan bereaksi: mengapa proposal yang sudah diajukan tidak turun-turun dananya meskipun waktunya sudah lama (bahkan ada yang tidak jadi turun karena proposal dinilai bersifat karitatif) sementara BLT tiba-tiba turun tanpa ada upaya apapun seperti dengan mengajukan proposal sebagaimana siklus yang harus dilakukan pada PNPM. Hal itu dinilai oleh para pekerja di PNPM dan Korkot sebagai kebijakan yang kontra produktif, bahkan sering menjatuhkan kepercayaan yang sudah dibangun oleh para faskel yang menjadi petugas di ujung tombak. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi sulit untuk diajak ikut berpartisipasi. 97

110 Gambar V.4. Pembelian Kursi untuk Kebutuhan Pesta Di Kelurahan Limba B Gorontalo Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Sulitnya masyarakat untuk diajak ikut berpartisipasi dalam berbagai proses pemberdayaan inilah yang menyebabkan faskel juga mengalami kesulitan untuk mengajak partisipasi mereka dalam mengikuti kegiatan-kegiatan sosial. Apalagi karakter masyarakat Gorontalo yang keras menyulitkan faskel untuk membuat program-program kegiatan sosial yang ideal. Dengan demikian kelompok-kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang ada seringkali tidak tumbuh mengakar di dalam masyarakat. Bahkan munculnya KSM ini sering diinisisasi oleh pengurus BKM. Keberadaan Faskel juga berperan dalam munculnya kegiatan sosial. Dilihat dari latar belakang Faskel menunjukkan bahwa ternyata Faskel di Limba B tidak ada yang memiliki latar belakang pendidikan S1. Dari 4 faskel dua orang merupakan alumni dari Fakultas Teknik sedangkan dua orang yang lain merupakan alumni dari Fakultas Ekonomi. Dengan demikian, tidak ada faskel yang berbasis pendidikan sosial. Tidak adanya faskel yang berbasis pendidikan sosial memang tidak dapat menjadi tolok ukur bahwa kegiatan sosial tersebut akan berhasil, akan tetapi secara ideal pelaksanaan kegiatan sosial memerlukan pendamping yang memiliki kemampuan dan kompetensi 98

111 dalam melakukan pendampingan kegiatan sosial. Ketika seorang Faskel memiliki pemahaman konsep tentang kegiatan sosial diharapkan proses pendampingan yang dilakukannya pun akan dapat berlangsung secara ideal. Bekal teoritik yang dimiliki oleh faskel akan memiliki peran strategis dalam mendorong kegiatan-kegiatan sosial yang berorientasi pada kebelanjutan program. Keterbatasan latar belakang faskel ini menyebabkan kegiatan-kegiatan sosial yang ada pun cenderung kurang bervariatif dan hanya karitatif. Kapasitas pengurus BKM ternyata juga berdampak pada bentuk kegiatankegiatan yang diselenggarakan oleh BKM. Ketidakaktifan pengurus BKM, kurang adanya transparansi dan komunikasi dalam penyelenggaraan program BKM menyebabkan program-program yang ada cenderung karitatif. Pemahaman tentang apa itu kegiatan sosial yang berkelanjutan tampaknya masih kurang dipahami oleh mereka. Tabel V.16 Perbandingan Pengaruh Kapasitas BKM Di Kota Gorontalo Kelurahan Kapasitas Kelembagaan BKM Jenis dan kesinambungan program Limba B - Pendidikan pengurusnya mayoritas setingkat SMA - Sebagian besar pengurus tidak aktif (hanya dua orang anggota BKM yang aktif) - Administrasi dan dokumentasi tidak tertata - Tidak ada transparansi dan komunikasi, tersedia papan komunikasi Lekobalo - Pendidikan pengurusnya mayoritas setingkat SLTA - Sebagian besar pengurus tidak aktif - Administrasi dan dokumentasi tidak tertata Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Sebagian besar program-program yang ada karitatif. - Sebagian besar program-program yang ada karitatif. Sebagai ujung tombak pelaksanaan kegiatan PNPM adalah KSM. Realitasnya di tingkat KSM, kapasitas pendidikan mereka rendah dan seringkali kurang memiliki pengalaman dalam berorganisasi sehingga mereka pun tidak mampu membangun jaringan-jaringan ke luar untuk mengembangkan kegiatan sosial yang ada. Untuk 99

112 melihat perbedaan di antara dua kelurahan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel V.17 Perbandingan Pengaruh Kapasitas KSM Di Kota Gorontalo Kelurahan Kapasitas KSM Kemampuan membangun jaringan Limba B - Tingkat pendidikan mayoritas - Sama sekali belum SLTP pernah membangun - Pengalaman sebagai aktivis jaringan kegiatan sosial kurang Lekobalo - Tingkat pendidikan mayoritas SLTP atau sederajat - Pengalaman sebagai aktivis kegiatan sosial kurang Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Sama sekali belum pernah membangun jaringan Faktor internal lain yang cukup berpengaruh dalam pelaksanaan adalah relawan. Realitasnya pemahaman relawan tentang kegiatan sosial yang berkelanjutan juga masih rendah sehingga mengakibatkan kegiatan-kegiatan sosial yang didesain pun mayoritas merupakan kegaitan yang cenderung hanya berorientasi karitatif. Seperti telah diuraikan di atas, mayoritas masyarakat sulit untuk diajak berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial. Pola pikir pragmatis ini juga menghinggapi mindset dan pola pikir dari relawan dalam menentukan kegiatan sosial yang akan dipilih. Hal ini dapat dilihat misalnya di Limba B yang program-program kegiatan sosialnya karitatif dimana sebagian besar alokasi dana digunakan untuk mendukung program rukun duka yang ada di setiap RW. Di Lekobalo juga tidak begitu jauh berbeda. Program-program yang ada cenderung karitatif. Memang ada satu program yang terintegrasi dengan kegiatan sosial yang ada di Posyandu yaitu pemberian makanan tambahan namun keberlanjutan dari kegiatan sosial tersebut juga menjadi pertanyaan. Bagaimana pengaruh kapasitas relawan dalam mendorong kegiatan sosial dapat dilihat pada tabel V.18 di bawah ini: 100

113 Tabel V.18 Perbandingan Pengaruh Kapasitas Relawan Di Kota Gorontalo Kelurahan Kapasitas Relawan Jenis dan keberlanjutan program Limba B - Pengalaman kurang terasah - Kurang mampu berperan dalam memberikan usulan program Lekobalo - Pengalaman kurang terasah - Kurang mampu berperan dalam memberikan usulan program Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Upaya menyusun kegiatan sosial dengan berbasis pada pendekatan partisipastif terrnyata juga masih sulit dilakukan. Realitasnya peran relawan, BKM, dan tokoh-tokoh masyarakat ternyata masih dominan mewarnai pemilihan kegiatan-kegiatan sosial tersebut. Hal ini terjadi di dua kelurahan tersebut. Apalagi dalam banyak hal banyak pengurus BKM yang juga menjadi pengurus di lingkungannya seperti sebagai ketua RT ataupun sebagai ketua RW. Di satu sisi adanya dualisme dalam kepengurusan ini memang mendukung dalam upaya melakukan sosialisasi kegiatan sosial sampai ke tingkat akar rumput namun kadangkala karena yang mengelola kegiatan sosial hanya orang-orang itu saja menyebabkan variasi pemikiran menjadi terbatas. Dalam konteks peran masyarakat miskin dalam menginisiasi terlihat peran mereka masih minim dan cenderung hanya menerima kegiatan sosial secara pasif atas kegiatan sosial yang ada. Hal ini dapat dilihat pada tabel V.19 di bawah ini : 101

114 Tabel V.19 Perbandingan Pengaruh Stratifikasi Sosial Di Kota Gorontalo Kelurahan Stratifikasi sosial Partisipasi lapisan tidak miskin Kepel - Ada lapisan tidak miskin dan - Belum telihat miskin, hubungan tidak keterlibatan lapisan eksklusif tidak miskin dalam - Lapisan tidak miskin lebih besar mendukung Panggungrejo - Ada lapisan miskin dan tidak miskin, hubungan tidak eksklusif - Lapisan tidak miskin jumlahnya lebih besar Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 program - Belum telihat keterlibatan lapisan tidak miskin dalam mendukung program Upaya membangun kegiatan sosial yang berkelanjutan juga sangat terkait dengan eksistensi institusi sosial yang ada. Di masyarakat Lekobalo maupun Limba B keberadaan institusi sosial cenderung kurang variatif. Tercatat hanya ada Posyandu, dan institusi sosial RT yang memiliki kegiatan aktif. Kondisi ini mengakibatkan polapola kegiatan sosial yang ada pun tidak terintegrasi dengan institusi-institusi sosial tersebut. Sebagai gambaran dapat dilihat pada tabel V.20 di bawah ini : 102

115 Tabel V.20 Perbandingan Pengaruh Institusi Sosial Di Kota Gorontalo Kelurahan Keberadaan institusi sosial Faktor pendukung Program Limba B - Tidak banyak intitusi sosial - Kegiatan sosial hanya yang aktif. Institusi satu yang RW/Lingkungan yang aktif. terintegrasi dengan - Intensitas kegiatan nya lembaga sosial yang cukup tinggi ada (kegiatan sosial yang berbasis lingkungan yaitu penambanhan perlengkapan untuk rukun duka. - Kurang terjamin keberlanjutannya. Lekobalo - Institusi yang aktivitasnya relevan dengan program sosial terbatas misal Posyandu - Intensitas kegiatannya rendah Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Program BKM yang diintegrasikan kurang bervariasi - Kurang terjamin keberlanjutannya Dilihat dari partisipasi perempuan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan di dua kelurahan di Kota Gorontalo, terlihat bahwa partisipasi perempuan masih minim baik sebagai relawan maupun UPS. Dengan demikian, dominasi kaum laki-laki masih tampak dominan dalam kegiatan-kegiatan sosial tersebut. Struktur kepengurusan BKM pun didominasi laki-laki. Desain-desain kegiatan sosial yang dibentuk pun lebih banyak berorientasi untuk kepentingan masyarakat umum daripada secara spesifik diarahkan pada kaum perempuan. Dari lima kegiatan sosial yang ada di Kelurahan Limba B, Gorontalo misalnya, hanya satu kegiatan sosial yang benar-benar melibatkan perempuan baik sebagai relawan, UPS maupun sasaran program yaitu kegitaan pelatihan ketrampilan salon. Namun demikian, kegiatan ini pun akhirnya berhenti, hanya sampai pada tahap pelatihan saja. Pasca pelatihan kegiatan tersebut tidak dapat berlangsung secara kontinyu, padahal BKM telah menginvestasikan dana yang tidak sedikit untuk pembelian peralatan salon kecantikan tersebut. Sedangkan 4 kegiatan sosial lainya itu pemberian santunan pada lansia, pemberian beasiswa pendidikan, bantuan untuk 103

116 rukun duka, maupun pembelian kursi relawan yang terlibat dan pengelolaanya didominasi oleh kaum laki-laki. Perempuan hanya terlibat sebagai sasaran program, seperti misalnya pada program pemberian santunan pada lansia, ketika janda-janda yang berasal dari masyarakat tidak mampu menjadi sasaran program. Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan sosial di Kelurahan Lekobalo. Relawan, UPS dalam kegiatan sosial pemberian beasiswa pendidikan dan rehabilitasi rumah warga juga didominasi oleh kaum laki-laki. Sedangkan keterlibatan kaum perempuan terlihat dalam kegiatan peningkatan gizi balita kurang mampu. Kegiatan ini terintegrasi dengan kegiatan dari Posyandu di Kelurahan Lekobalo yang sudah eksis sebelumnya. Dana dari BKM digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan oleh Posyandu sebelumnya. Dengan demikian belum ada kegiatan sosial yang merupakan kreasi baru diinisiasi dan dilaksanakan oleh perempuan. d. Kota Makassar Kegiatan Sosial di Kelurahan Bunga Ejaya dan Kelurahan Rappokaling dari sisi kuantitas tidak banyak. Setidaknya ada sembilan kegiatan sosial. Lima kegiatan di Kelurahan Bunga Ejaya dan empat dikelurahan Rappokaling. Jika dilihat dari sisi keberlanjutannya hanya ada tiga kegiatan yang dianggap dapat berlanjut. Meskipun kerbelanjutan tersebut belum dapat mewakili selurah masyarakat miskin. Indikasi kegiatan sosial yang dimaksud adalah berbagai pelatihan komputer dan menjahit. Bisa jadi pelatihan ini hanya memfasilitisi sekelompok orang tertentu, artinya belum mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. Pada level kualitas, ada kesamaan program di kedua kelurahan tersebut. Sebagai contoh kursus komputer, beasiswa pendidikan dan santunan lansia. Jika melihat ada kesamaan program tersebut mengindikasikan ada pemahaman yang sama dalam memaknai kegiatan sosial. Sayangnya kondisi masyarakat yang berbeda juga memberikan hasil yang berbeda terhadap kegiatan sosial tersebut. Jika dilihat perbandingan kegiatan sosialnya jenis program di Kelurahan Bunga Ejaya cukup variatif dan sudah lebih banyak memunculkan program yang berorientasi keberlanjutan, perlu dianalis faktor-faktor yang diperhitungkan mempengaruhi perbedaan tersebut. Secara teoritik, faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pengaruh eksternal maupun internal. Sebagaimana juga sudah dibahas dalam analisis 104

117 mikro, untuk kedua kelurahan tersebut faktor-faktor eksternal dapat dianggap setara. Berdasarkan penelitian lapangan, faktor eksternal yang banyak terkait dalam pelaksanaan program adalah keaktifan fasilitator, perhatian pemerintah kelurahan, respon PJOK, dan Pemda kota Makassar. Walaupun difasilitasi oleh orang yang berbeda-beda, akan tetapi dari hasil kegiatan lapangan ditemukan fakta bahwa kontribusi fasilitator di kedua kelurahan tersebut dapat dikatakan dominan. Hal itu dapat dilihat dari intensitas interaksi dengan masyarakat, dorongan untuk mengembangkan program yang dampaknya berkelanjutan, keberadaan baik fasilitator parasarana, ekonomi maupun sosial (community development) di masing masing kelurahan. Dukungan Pemerintah terlihat tidak optimal, meskipun di Kelurahan Rappokaling difasiltasi oleh kelurahan jika melakukan pertemuan. Sebaliknya di Kelurahan Bunga Ejaya dukungan tersebut belum nampak. Kantor BKM masih berkantor bersama dengan kantor LPMK. Begitu juga dukungan dari PJOK yang menjadi pengawas kegiatan sosial di kedua kelurahan tersebut kegiatannya masih sebatas legalisasi laporan BKM, kordinasi dilakukan ketika ada kegiatan. Oleh sebab itu, dalam beberapa kesempatan BKM justru tidak mengetahui kegiatan sosial yang dilakukan masyarakat di kedua kelurahan tersebut. Hal itu bukan berarti faktor eksternal tersebut tidak mempengaruhi perkembangan BKM. Dalam analisis perbandingan antar dua kelurahan tersebut, karena faktor-faktor eksternal tersebut setara, maka menjadi faktor konstan sehingga tidak dapat dianalisis sebagai faktor yang menyebabkan perbedaan variasi dan kualitas program di kedua kelurahan. Oleh sebab itu, dalam uraian berikut ini analisis akan lebih memperhitungkan pengaruh faktor internal. Faktor-faktor tersebut adalah kapasitas kelembagaan BKM, kapasitas KSM, kapasitas relawan, stratifikasi sosial dan keberadaan institusi sosial dalam masyarakat. Agar mudah diikuti, analisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh tersebut diwujudkan dalam bentuk tabel V

118 Tabel V.21 Perbandingan Pengaruh Kapasitas BKM Di Kota Makassar Kelurahan Kapasitas Kelembagaan BKM Bunga Ejaya - Pendidikan pengurusnya mayoritas setingkat SMA - Sebagian besar pengurus tidak aktif (keaktifan bersifat sporadik) - Administrasi dan dokumentasi belum tertata dengan baik, terindikasi dari beberapa dokumen hilang. - Tersedia papan Pengumuman - Partisipasi perempuan rendah Rappokaling - Pendidikan pengurus mayoritas setingkat SLTP - Hanya bebebrapa anggota pengurus yang aktif - Administrasi dan dokumentasi kurang lengkap - Tidak tersedia papan pengumuman - Partisipasi perempuan rendah Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Jenis dan kesinambungan program - Jenis program cukup bervariasi - Sudah ada program yang berorientasi keberlanjutan untuk kelompok masyarakat tertentu, terutama pada tahun kedua - Jenis program kurang bervariasi - Belum ada program yang berorientasi keberlanjutan Perbedaan variasi jenis program dan perbedaan keberadaan program yang berorientasi keberlanjutan ditemukan pada tahun kedua. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di kedua Kelurahan Bunga Ejaya dan Rappokaling lebih ditemukan adanya proses pembelajaran. Tentu saja, ada peran Faskel di kedua kelurahan tersebut sama sama memberi dorongan kepada BKM untuk merumuskan program yang lebih bervariasi dan lebih keberlanjutan. Walaupun demikian karena kondisi yang menjadi basis kapasitas kelembagaan berbeda, menyebabkan respon terhadap stimulus dari faskel juga berbeda. Di samping itu perbedaan kapasitas kelembagaan BKM juga menyebabkan perbedaan kemampuan dalam mengolah dan memanfaatkan pengalaman masa lalu sebagai umpan balik untuk melakukan perbaikan. Kenyataan bahwa pada 106

119 tahun pertama program di kedua kelurahan masih bersifat karitatif dan ditahun kedua Kelurahan Bunga Ejaya lebih banyak memunculkan program yang berorientasi keberlanjutan, memberikan indikasi bahwa BKM Kelurahan Bunga Ejaya lebih mampu belajar dari pengalaman. Hal itu juga mengisyaratkan perlunya digunakan pendekatan yang berbeda dalam memberikan pendampingan dan fasilitasi kepada BKM yang mempunyai kapasitas kelembagaan yang berbeda. Sepanjang wawancara dengan faskel, korkot dan KMW, terkesan bahwa perlunya memberikan pendekatan yang berbeda yang disesuaikan dengan kapasitas kelembagaan masing masing BKM belum menjadi pemikiran, apalagi dilaksanakan dalam praktik. Pada level BKM partisipasi perempuan terlihat rendah, hal ini terlihat dalam bergaia pertemuan dengan pengelola tidak banyak perempuan duduk sebagai pengurus. Kuantitas yang rendah tersebut mempengaruhi pengambilan keputusan kegiatan sosial yang didominasi oleh kaum laki-laki. Berpengaruhnya kapasitas kelembagaan terhadap pelaksanaan program PNPM tidak hanya ditemukan pada level BKM, melainkan juga pada institusi kelengkapan BKM terutama KSM yang menjadi ujung tombak terdepan dalam pelaksanaan program. Hal itu dapat diamati dalam tabel V.22 berikut ini. Tabel V.22 Perbandingan Pengaruh Kapasitas KSM Di Kota Makassar Kelurahan Kapasitas KSM Kemampuan membangun jaringan Bunga Ejaya - Tingkat pendidikan mayoritas SMA atau SMK, sebagian kecil SMP - Sebagian besar adalah tokoh masyarakat (aktivis kampung) - Partisipasi perempuan ada, namun bukan pengambil keputusan. - Jaringan masih bersifat personal (kedekatan salah satu pengurus dengan pedagang dan lembaga pendidikan lokal) Rappokaling - Tingkat pendidikan mayoritas SMP atau sederajat - Pengalaman dalam kegiatan sosial kurang Partisipasi perempuan ada, namun bukan pengambil keputusan - Belum pernah membangun jaringan apapun. Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial,

120 Sebetulnya dari kegiatan lapangan diperoleh informasi, bahwa usaha membangun jaringan baik yang dilakukan oleh BKM Kelurahan Bunga Ejaya dan Rappokaling masih sangat terbatas dan bersifat personal. Salah satu penyebabnya diduga karena perangkat program PNPM mulai dari faskel, korkot dan KMW tekesan lebih berkonsentrasi pada bagaimana pemanfaatan dana BLM bagi berbagai program yang dibuat termasuk program kegiatan sosial. Fasilitasi kepada BKM dan KSM untuk mencoba menjalin kerjasama dan membangun jaringan dengan stakeholder terkait tidak banyak mendapat perhatian, bahkan boleh dikatakan Kelurahan Bunga Ejaya hanya memanfaatkan Sekolah Menengah Kejuruan yang mempunyai laboratorium komputer dan ada lembaga kursus menjahit sekitar kelurahan. Artinya memang belum dirancangan dengan serius konsep jejaring di BKM maupun KSM tersebut. Demikian juga halnya dengan unsur pemerintah dari tingkat kelurahan, kecamatan sampai pemerintah daerah. Usaha untuk memfasilitasi bagi terwujudnya chanelling juga belum dilakukan. Dengan demikian walaupun masih sangat terbatas, apabila ada usaha membangun jaringan, hal itu merupakan inisiatif masyarakat sendiri, dalam hal ini BKM atau KSM. Sebagaimana sudah dilaporkan sebelumnya, pada umumnya pengurus KSM di kedua kelurahan tersebut cukup variatif aktivis sosial institusi yang sudah ada sebelumnya terutama mantan ketua RT/RW, kemudian PKK dan Posyandu. Walaupun sama sama berbasis institusi PKK dan posyandu, karena intensitas kegiatan di kedua kelurahan berbeda, menyebabkan kapasitas aktivis yang kemudian menjadi pengurus KSM juga berbeda, termasuk dalam berinisiatif menjalin kerjasama dengan pihak luar. Di sisi lain keterlibatan perempuan dalam pengelolaan KSM juga cukup besar, namun mereka hanya sebagai pelaksana kegiatan sosial yang sudah diputuskan BKM yang notabene sebagian besar duduk sebagai pengelolanya adalah laki-laki. Di samping kapasitas BKM dan KSM, faktor internal yang juga diperhitungkan mempengaruhi pebedaan dalam pelaksanaan program kegiatan sosial di kedua kelurahan tersebut adalah kapasitas relawan. Sebagaimna sudah disampaikan pada bagian lain laporan ini, di kedua kelurahan keberadaan relawan dalam program PNPM ini memegang peranan yang cukup strategis. Di saat kondisi lapisan miskin masih sebagai silent mass yang belum terbiasa menggunakan peluang untuk menyatakan aspirasinya, relawan berposisi sebagai mediator yang menjembatani aspirasi dan kebutuhan lapisan miskin dengan program yang dibuat. Berdasarkan pemikirann tersebut, sudah tentu perbedaan kapasitas relawan akan mempengaruhi 108

121 terakomodasikannya kebutuhan dan aspirasi lapisan miskin ke dalam program yang dirumuskan BKM. Gambaran tentang hal tersebut dapat diamati pada tabel V.23 berikut ini. Tabel V.23 Perbandingan Pengaruh Kapasitas Relawan Di Kota Makassar Kelurahan Kapasitas Relawan Jenis dan keberlanjutan program Bunga Ejaya - Partisipasi belum optimal, tergantung mobilisasi Rappokaling - Belum berpengalaman dalam berorganisasi. Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Mampu menangkap persoalan riil, sehingga bisa mengusulkan program - kurang berpartisipasi dalam memberikan usulan program Secara prosedural, permasalahan dan kebutuhan lapisan miskin digali dari bawah dan perumusan program diputuskan melalui rembug warga, akan tetapi dalam kenyataannya inisiator dan pengusul program masih lebih banyak datang dari tokoh tokoh masyarakat khususnya pengurus BKM, UPS, KSM dan relawan. Di antara pihak yang menjadi inisiator dan pengusul program tersebut, yang dapat dianggap paling dekat dengan lapisan miskin adalah relawan. Mereka banyak berinteraksi langsung dan memiliki kesempatan berempati dengan kehidupan lapisan miskin. Oleh sebab itu, apabila mereka lebih banyak berperanan dalam mengusulkan program, diharapkan aspirasi lapisan miskin dapat terakomodasi. Karena intensitas aktivitas institusi PKK dan Posyandu yang menjadi basis asal mereka sebelum aktif di PNPM berbeda, maka pengalaman mereka juga berbeda. Dalam hal ini Kelurahan Bunga Ejaya lebih diuntungkan, sehingga kapasitas relawannya juga lebih baik karena pengalamannya sudah lebih terasah. Itulah sebabnya relawan dari Kelurahan Bunga Ejaya cukup memberikan usulan program dibandingkan relawan dari Kelurahan Rappokaling. Pada level relawan secara kuantitas didominasi relawan perempuan terlihat lebih menonjol, hal ini terlihat dari jenis kegiatan sosial yang berorientasi kegiatan perempuan seperti kursus menjahit di Bunga Ejaya dan bantuan yang bersifat Charity janda miskin di Rappokaling. 109

122 Sebagai institusi yang mampu melembaga dan bersifat mandiri juga banyak ditentukan oleh dukungan modal sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam pelaksanaannya kemudian, lebih ditentukan dari kemampuan mengidentifikasi dan memanfaatkan modal sosial tersebut. Melalui cara seperti itu potensi lapisan tidak miskin dalam memberikan kontribusi bagi program sosial dapat lebih diaktualisasikan. Potensi lapisan tidak miskin tersebut dapat dilihat dari stratifikasi sosialnya dan hubungan serta jarak sosial antar lapisan yang ada. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa baik di Kelurahan Bunga Ejaya dan Rappokaling dalam stratifikasi sosialnya terdapat lapisan miskin dan menangah-kaya. Di kedua kelurahan, hubungan kedua lapisan tersebut sama sama tidak bersifat eksklusif. Perbedaannya adalah, Kelurahan Rappokaling memiliki lapisan miskin yang lebih banyak dan lapisan tidak miskin yang lebih sedikit. Pengaruh dari kondisi tersebut dapat diamati dalam tabel V.24 berikut. Tabel V.24 Perbandingan Pengaruh Stratifikasi Sosial Di Kota Makassar Kelurahan Stratifikasi sosial Partisipasi lapisan tidak miskin Bunga Ejaya - Ada kelompok masyarakat yang tertutup, sebagian lapisan menengah-kaya. - Lapisan miskin lebih besar Mulai ada indikasi partisipasi lapisan tidak miskin dalam mendukung program (terlibat dalam kepengurusan BKM) Rappokaling - Lapisan miskin dan tidak miskin, hubungan tidak eksklusif - Lapisan menengah jumlahnya lebih kecil Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Keterlibatan menengah mendukung sebatas usulan. lapisan dalam program, Pada umumnya kontribusi dan partisipasi warga masyarakat yang berasal dari lapisan tidak miskin selain yang berkedudukan sebagai pengurus BKM, UPS, KSM dan relawan, memang relatif masih terbatas. Hal tersebut berimplikasi pada keterbatasan kemampuan BKM dan KSM dalam mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi yang ada. Pada masa mendatang, sebagai upaya meningkatkan kemandirian BKM dan secara perlahan mengurangi ketergantungan kepada BLM, potensi tersebut perlu digali dan dimanfaatkan. Untuk maksud tersebut peningkatan kapasitas kelembagaan BKM 110

123 yang memungkinkan tumbuhnya trust oleh masyarakat terhadap BKM menjadi syarat utamanya. Hal itu akan menyebabkan warga masyarakat yang tidak miskin yang mempunyai minat untuk berpartisipasi, tidak khawatir menyalurkan kontibusinya melalui BKM. Faktor lain yang berasal dari masyarakat yang dapat mendukung program sosial adalah keberadaan institusi sosial dalam masyarakat yang memiliki kegiatan sejenis dengan program sosial BKM. Dari hasil kegiatan lapangan diperoleh kenyataan bahwa Kelurahan Bunga Ejaya mempunyai institusi sosial seperti itu yang bukan saja lebih bervariasi akan tetapi juga memiliki intensitas kegiatan yang lebih tinggi. Institusi tersebut adalah SMK dan LPK. Sementara di Kelurahan Rappokaling hanya ditemukan dukungan dari Posyandu. Sudah tentu perbedaan tersebut juga menyebabkan perbedaan dukungannya bagi program sosial BKM. Pengaruh institusi sosial tersebut dapat diamati dalam tabel V.25 berikut. Tabel V.25 Perbandingan Pengaruh Institusi Sosial Di Kota Makassar Kelurahan Keberadaan institusi sosial Faktor pendukung Program Bunga Ejaya - Tidak banyak institusi sosial yang kegiatannya relevan dengan program sosial, terdapat lembaga pendidikan informal dan formal, LPK menjahit dan SMK. - Intensitas kegiatannya cukup tinggi, namun penerimanya kelompok kecil. Rappokaling - Institusi yang aktivitasnya relevan dengan kegiatan sosial masih terbatas (posyandu) - Intensitas kegiatannya rendah Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Ada sinergi - Institusi yang sebelumnya sudah ada dinilai dapat menjamin keberlanjutan - Program BKM kurang diintegrasikan dengan kegiatan sosial yang ada. - Program BKM lebih dominan - Belum terjamin keberlanjutannya Meskipun masih banyak keterbatasan kelembagaan, namun kegiatan sosial tersebut masih dinilai berpengaruh terhadap prospek keberlanjutan program. Oleh karena di Kelurahan Bunga Ejaya kegiatan kegiatan institusi sosial tersebut sudah 111

124 melembaga dalam aktivitas pendidikan kejuruan (SMKN 4 Makassar), maka institusi tersebut dapat digunakan sebagai penerima tongkat estafet untuk melanjutkan program yang sudah dilaksanakan oleh BKM. Sebagai ilustrasi program latihan komputer dan kursus menjahit, meskipun sampai saat ini dinilai sebatas memfasilitasi sekelompok orang, namun kegiatan tersebut berpotensi melembagakan kerjasama antara SMK 4 dengan warga sekitar Kelurahan Bunga Ejaya. Agak berbeda dengan yang terjadi di Rappokaling, program kursus komputer dilaksanakan dengan menempelkan kegiatan dalam lembaga informal kursus komputer. Kondisi tersebut cukup sulit untuk menjamin keberlanjutannya mengingat kegiatan ini dititipkan di lembaga murni bisnis. Bagi BKM, proses pembelajaran menuju institusionalisasi dan kemandirian tersebut dapat dilakukan melalui dua aras. Aras pertama bersifat eksternal yakni meningkatkan kapasitas kelembagaan BKM termasuk kapasitas membangun jaringan keluar, di sisi lain bersamaan dengan itu dilakukan usaha memanfaatkan lebih banyak institusi sosial dan modal sosial setempat. Dengan cara seperti itu perkembangan BKM akan menjadi lebih dinamis, karena kedua arah tersebut bersifat sinergis. Pemanfaatan modal sosial mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan, di lain pihak kapasitas kelembagaan yang berkembang akan meningkatkan trust dari berbagai pihak untuk bekerja sama dengan BKM. Hal itu perlu dipikirkan mengingat dari pengamatan di lapangan, tendensi kearah institusionalisasi BKM dan kemandirian BKM tersebut belum tampak. Indikasinya adalah, masyarakat masih melihat BKM sebagai bagian dari proyek pemerintah yang bersifat temporal, dan program-programnya masih menggantungkan dana dari BLM, pemanfaatan modal sosial masih sangat terbatas, belum tampak usaha yang optimal untuk membagun jaringan dengan berbagai stakeholders yang lebih luas. e. Kota Bengkulu Program kegiatan sosial yang dilaksanakan di Kelurahan Panorama-kecamatan Gading Cempaka dan Kelurahan Pasar Melintang, Kecamatan Teluk Segara Bengkulu ada di lingkungan perkotaan, meski tak dapat dipungkiri didapati adanya perbedaan, baik yang berkaitan dengan variasi jenis kegiatan maupun perkiraan keberlanjutan program kegiatan yang dilaksanakannya. Dari program yang dilaksanakan di kedua kelurahan memberikan indikasi bahwa tingkat keberlanjutan progam didapati, baik di Kelurahan Panorama maupun Pasar Melintang. Adanya kesamaan maupun juga 112

125 perbedaan tentu tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh berbagai faktor yang melingkupinya. Ada sejumlah faktor yang diperkirakan bepengaruh dalam proses penyusunan program. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa secara mikro ada individu/person dan secara meso serta makro ada lembaga ataupun kelompok yang berpengaruh dan berperan dalam program PNPM di setiap kelurahan. Dengan adanya orang dan lembaga tersebut diharapkan mampu berperan positif dalam mendorong kemandirian masyarakat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan program di Kelurahan Panorama memiliki variasi yang tidak jauh berbeda dengan kelurahan Pasar Melintang. Tampaknya peran fasilitator kelurahan, person/individu yang ada di KSM, BKM dan juga PJOK serta korkot maupun pemerintah Kota Bengkulu memiliki pengaruh signifikan pada pilihan jenis program yang dikembangkannya. Dari hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa peran fasilitator kelurahan berpengaruh dalam piliha jenis program yang dilaksanakannya. Faskel membimbing masyarakat dari awal hingga akhir lewat proses siklus sesuai dengan aturan permainan yang telah disepakati. Relasi antara BKM dengan pemerintah kelurahan juga cukup komunikatif, meski didapati keterangan bahwa kadang lurah tidak begitu paham dan tidak nyambung dengan proses penyusunan rencana pembangunan di tingkat kelurahan. Informasi yang diperoleh dari PJOK (Penanggung Jawab Operasional Kegiatan) kecamatan menunjukkan bahwa peran yang dimainkannya tidak begitu penting, hanya sekedar menerima laporan saja, yang penting semua dilaksanakan sesuai dengan petunjuk dan atuan permainan yang sudah ditetapkan. Masing-masing kelurahan dan kota memiliki karakteristiknya sendiri, sehingga dapat dipahami bahwa peran faskel sebagai person yang ada di ujung tombak terkait dengan program PNPM cukup bermakna, namun masih ada kelompok atau lembaga lain yang juga tidak dapat diabaikan dalam mempengaruhi pilihan dan pelaksanaan program. Pertanyaannya adalah: faktor internal apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan dan program yang berjalan di kedua kelurahan tersebut? Uraian berikut mencoba melihat bagaimana pengaruh faktor internal yang berpengaruh dalam pemilihan dan pelaksanaan program. Faktor-faktor tersebut antara lain kemampuan person dalam kelembagaan BKM, kualitas KSM, relawan, dan keberadaan institusi sosial dalam masyarakat. 113

126 Tabel V.26 Perbandingan Kemampuan Pengurus BKM Di Kota Bengkulu Kelurahan Kemampuan Pengurus BKM Jenis dan kesinambungan program Panorama - Pendidikan pengurusnya da sebagian sarjana - Sebagian besar pengurus aktif - Administrasi dan dokumentasi tertib - Ada transparansi dan komunikasi, tersedia papan komunikasi Pasar Melintang - Pendidikan pengurusnya ada sebagian sarjana profesor - Sebagian pengurus aktif - Administrasi dan dokumentasi sudah ada - Ada transparansi dan komunikasi, - Jenis program sedikit variasi - Ada program yang berorientasi pada upaya keberlanjutan - Jenis program sedikit variasi - Ada program yang berorientasi pada upaya keberlanjutan Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Pengurus BKM Kelurahan Panorama maupun Kelurahan Pasar Melintang berupaya untuk menyadarkan warga masyarakat bahwa dana yang diterima dimaksudkan untuk mengembangkan kemandirian warga masyarakat dengan memilih dan melaksanakan program yang menguntungkan serta bermanfaat. Peran yang dilakukan oleh faskel di kedua kelurahan tersebut sama mendorong BKM untuk merumuskan program yang lebih bervariasi dan lebih keberlanjutan. Karena pengaruh dan dominasi person dari kedua BKM tidak jauh berbeda, maka keputusan dan respon yang muncul tidak berbeda pula. Kecenderungan inilah yang menjadi indikasi kesamaan dari kedua BKM dalam mengelola dan memanfaatkan lembaga guna melakukan perbaikan. Oleh kaena itu dapat dimaklumi bila jenis kegiatan yang dipilih relatif sama, diantaranya adalah: pelatihan ketrampilan (komputer, jahit, kerajinan rotan, dan lain-lain), pemberian bantuan pada lansia/jompo, bantuan perbaikan atap rumah bagi warga miskin. 114

127 Gambar V.5 Tempat Pelatihan Ketrampilan Menjahit Di Pasar Melintang, Bengkulu Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Gambar V.6. Perajin Rotan Yang Memberikan Pelatihan keterampilan Di Pasar Melintang Bengkulu Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial,

128 Upaya untuk mengembangkan jaringan dengan lembaga maupun stakeholders lain diindikasikan cukup meski masih pada tataran lokal. Pilihan pada konsentrasi program yang bersifat internal dan pengembangan kemandirian serta keberlanjutannya belum nampak menjadi pertimbangan secara eksplisit, meskipun indikasi untuk keberlanjutannya sudah didapati penjelasan yang memadai yang bisa dinyatakan menjadi bagian dari upaya keberlanjutan. Kegiatan di Kelurahan Panorama dalam pembelian alat-alat untuk disewakan dan hasilnya digunakan untuk program pemberian bantuan pada warga kurang mampu menjadi indikator kemungkinan dapat berlanjutnya program bantuan tersebut. Keuntungan dari hasil persewaan perlengkapan dapat digunakan untuk pelaksanaan program pemberian beasiswa dan bantuan pada yang memerlukan. Demikian pula program memberikan pinjaman dana yang digunakan untuk memberikan bantuan bagi warga miskin kepada para pengusaha lokal di kelurahan Pasar Melintang. Hasil pinjaman yang berupa infaq dari para pengusaha tersebut setiap bulannya menjadi modal/dana abadi guna memberikan bantuan kepada warga miskin yang telah diinventarisir. Peran inisiator dan relawan tentu juga menjadi bagian penting dalam pelaksanan dan pilihan program, meskipun tidak selalu berkorelasi dengan orientasi keberlanjutan program yang dipilihnya. Peran relawan cukup penting termasuk menjadi inisiator dan inovator serta mediator dalam menyusun, merencana dan melaksanakan bahkan menilai program yang dipilih dan dilaksanakannya, apakah merupakan kebutuhan atau hanya sekedar memenuhi persyaratan saja. 116

129 Tabel V.27 Perbandingan Peran Dan Kemampuan Relawan Di Kota Bengkulu Kelurahan Peran dan Kemampuan Relawan Pilihan jenis dan keberlanjutan program Panorama - Partisipasi dan perannya sudah berjalan mulai pada institusi yang ada sebelumnya yang juga merangkap sebagai ketua RT/RW dan pelatih/pengusaha - Memberikan gambaran adanya kemampuan dalam menyusun program yang lebih berorientasi pada pemanfaatn potensi lokal Pasar Melintang - Dipilih untuk berpartisipasi dalam lembaga karena peran dan pengaruh yang dimiliki oleh person tersebut - Menunjukkan adanya potensi dan kemampuan dalam menyusun program yang didasarkan pada potensi lokal Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Informasi yang diperoleh baik di Kelurahan Panorama maupun kelurahan Pasar Melintang sejumlah person seperti ketua RT/RW dan orang yang memiliki keahlian di lingkungannya masih berperan sebagai inisiator dan pengusul program, karena mereka juga termasuk menjadi pengurus BKM, UPS, KSM sekaliguas sebagai relawan. Beneficiaries atau para penerima bantuan tahunya hanya tinggal menerima dan mengikuti saja pendapat mereka. Mereka melihat bahwa aktivitas di RT/RW dan lembaga lain dimana mereka berasal dinilai memberikan pengalaman sekaligus manfaat. Pola kehidupan dan karakteristik masyarakat juga menjadi faktor penting dalam pengembangan program yang nantinya dapat berkesinambungan atau tidak. Pola kehidupan yang mengutamakan harmoni dan kebersamaan tercermin dalam lingkungan pemukiman dan perumahan yang ad di kota bengkulu. Harmoni maupun kebersamaan memiliki peran yang cukup besar pada upaya mendukung dan keikutsertaan dalam program yang dipilih serta memiliki potensi sebagai modal sosial. 117

130 Tabel V.28 Perbandingan Pengaruh Lingkungan Sosial Di Kota Bengkulu Kelurahan Lingkungan sosial Partisipasi warga secara menyeluruh Panorama - Nampak adanya hubungan sosial ketetanggaan yang bersifat membaur antara warga, baik yang kurang mampu dengan yang mampu. - Didapati adanya kebersamaan dalam keikutsertaan seluruh warga dalam program yang dipilih. Pasar Melintang - Ada kebersamaan dalam hubungan sosial ketetanggaan diantara mereka yang kaya dan yang miskin. Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, Selalu menjaga harmoni dan saling membantu antar tetangga termasuk dalam berpatisipasi membantu warga tidak mampu. Kehidupan masyarakat dengan lingkungan sosial yang harmoni dan kondusif sebagai tempat pengembangan kegiatan yang tidak membedakan kondisi maupun latar belakang status sosial-ekonomi antara warga mampu mapun kurang mampu dapat menjadi pendorong tumbuh-berkembangnya kebersamaan dan saling menbantu sesama warga dalam masyarakat. 118

131 Gambar V.7. Pemberian Infaq Dari Dana Pinjaman Dengan Menggunakan Akta notaris Oleh Salah Satu Pengusaha Di Pasar Melintang Bengkulu Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Informasi yang diberikan oleh para pemberi dana infaq yang kemudian diberikan kepada warga kurang mampu benar-benar disadari dan dengan kesungguhan serta keikhlasan memberikannya. Mereka mau menerima perjanjian tersebut karena apa yang diberikannya adalah juga untuk kepentingan tetangganya yang kurang mampu. Kondisi tetangganya dimaknai merupakan bagian dari kewajiban untuk membantunya. 119

132 Gambar V.8. Kondisi Rumah Warga Kurang Mampu Yang Mendapatkan Bantuan Barang Berupa Atap Seng Yang Sudah Dipasang Di Pasar Melintang Bengkulu Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Lingkungan sosial yang kondusif dan juga peran serta segenap warga seperti di Kelurahan Panorama maupun kelurahan Pasar Melintang ini merupakan modal yang sangat berharga bagi keberlangsungan program yang dilaksanakannya. Dimasa datang keterlibatan segenap warga, baik yang kaya maupun yang miskin secara aktif menjadi faktor penting untuk mengembangkan dan memberikan kontribusi pada keberlanjutan program. Kontribusi dari mereka yang mampu kepada warga sekitar akan mendorong tumbuhnya kemandirian masyarakat (bukannya ketergantungan) dalam meningkatkan kesejahtaraannya lewat berbagai kegiatan, termasuk lewat program BKM. Tumbuhnya kepercayaan ini tentu terkait pula dengan model pengelolaan yang transparan oleh BKM mapun lembaga lain yang terkait. Apabila kontribusi yang diberikan oleh dapat menumbuhkan kepercayaan maka program kegiatan yang dipilih dan mendapatkan dukungan dari masyarakat, maka tingkat keberlanjutannya juga akan semakin tinggi. 120

133 Dari gambaran diatas berarti ada faktor yang tidak dapat diabaikan adalah keterlibatan serta dukungan segenap warga dalam melaksanakan program yang dipilihnya apalagi bila kegiatan itu menjadi bagian dari kebutuhan dan kepentingannya. Lewat lembaga sosial yang telah dibentuk dan dikembangkan sebelumnya maka kesinambungan pelaksanaan kegiatan akan lebih dapat dipastikan. Keikutsertaan dalam kegiatan oleh para tokoh masyarakat dan ketua RT/RW, warga yang memiliki usaha ketrampilan dan kerajinan, maka tingkat dukungan dan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat akan dapat diperoleh. Faktor lain yang mampu mendukung program kegiatan sosial adalah keberadaan institusi sosial masyarakat yang memiliki kegiatan sejenis dengan program sosial BKM. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa institusi sosial yang sudah ada dan berjalan selama ini mampu memberikan kontribusi pada berjalannya pelaksanaan kegiatan yang dipilihnya. Peran RT/RW yang didukung tokoh maupun pengusaha lokal mampu mendorong keberlanjutan program. Tabel V.29 Perbandingan Peran Institusi Sosial Di Kota Bengkulu Kelurahan Keberadaan Lembaga Sosial Panorama - Lembaga sosial yang ada dilibatkan dalam program yang dipilih (RT/RW dan berbagai lembaga serta tokoh lokal) Pasar - Lembaga sosial formal Melintang struktural yang ada dilibatkan dalam program yang dilaksanakan diantaranya: RT/RW dan berbagai lembaga lain maupun tokoh serta pengusaha lokal Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Faktor Pendukung Program - Keterlibatan dan peran mereka dibutuhkan dan mendapat kepercayaan warga. - Peluang keterlibatannya disambut dengan baik dan percaya pada pola pengelolaannya. Pemanfaatan lembaga dan tokoh yang ada menjadi faktor yang cukup berperan dalam pelaksanaan kegiatan dan keberlanjutannya. Peran dan ketokohan para pengurus BKM yang sekaligus sebagai ketua RT/RW di Kelurahan Panorama maupun 121

134 Kelurahan Pasar Melintang, Bengkulu menjadi faktor penting keberhasilan pelaksanaan program. Keadaan ini diharapkan dapat berpengaruh terhadap prospek keberlanjutan program. Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat bersama tokohnya menjadi elemen penting dalam mendukung keberhasilan dan keberlanjutan program. Perlunya digali dan dimanfaatkannya lebih lanjut oleh para faskel yang berada di ujung tombak dalam pemilihan program serta mendalami potensi maupun modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat sendiri itu sendiri harus menjadi pertimbangan utamanya. Dalam mendorong pengambilan keputusan masyarakat para faskel perlu mempertimbangkan institusi sosial dan kegiatan apa saja yang menjadi kepentingan dan kebutuhan masyarakat, sehingga perlu dibangun sinergi dengan institusi yang ada agar ketepatan pilihan program, keberlanjutan dan jangkauannya lebih luas. Pendampingan pada masyarakat dalam melakukan dan mencari jejaring dengan lembaga yang dapat mendukung kebelangsungan usaha dan kegiatan yang ada dalam masyarakat perlu menjadi prioritas, terutama pada pengusaha lokal dan tokoh masyarakat. Program yang dipilih perlu disinergikan dengan pola kegiatan yang sudah ada dan dimiliki oleh masyarakat. Para faskel dan pengambil keputusan dalam memilih program kegiatan juga perlu belajar dari jenis kegiatan yang biasanya memndapatkan dukungan dari masyarakat, bukan hanya sekedar dalam keterlibatan saja tapi juga dalam pendanaannya. Keterlibatan dalam pendanaan ini menjadi indikasi kuat terkait dengan kepentingan dan kebutuhan sekaligus kepercayaan yang dapat diperoleh dari berbagai pihak. Selain itu agar maksud dan tujuan pelaksanaan program PNPM ini tercapai, maka harus dicermati lebih lanjut jenis generator yang mampu menjadi pendorong guna membangun dan mengembangkan modal sosial yang sudah ada, sehingga proses menuju kemandirian dapat terwujud. f. Kota Medan Kegiatan sosial di Kota Medan dalam program PNPM perkotaan ini telah memasuki tahun kedua, jika dilihat dari jenis programmnya secara kuantitas ada lima kegiatan, dua dilaksanakan di Kelurahan Sukaraja dan tiga kegiatan dilaksanakan di Kelurahan Belawan. Adapun indikasi keberlanjutannya dari kelima kegiatan sosial tersebut hanya satu kegiatan yakni kurus komputer, namun kegiatan inipun belum menyentuh semua lapisan di Kelurahan Belawan. Sisa kegiatan lainnya di kedua kelurahan masih dinilai karikatif sebab sifatnya yang masih berupa santunan. 122

135 Dari hasil perbandingan tersebut jenis program di Kelurahan Belawan lebih variatif, namun hanya satu kegiatan yang berorientasi keberlanjutan, perlu dianalis faktor-faktor yang diperhitungkan mempengaruhi perbedaan tersebut. Secara teoritik, faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pengaruh eksternal maupun internal. Dukungan internal terlihat dilapangan bahwa masyarakat sangat mendukung kegiatan sosial ini, tentu saja dengan berbagai alasan. Dukungan ekternal justru dari lembaga pemerintah lain yakni dinas perikanan yang mengijinkan pengurus BKM untuk menempati salah satu bangunan bekas kantor di sekitar Kelurahan Belawan. Adapun dukungan dengan pemerintah kelurahan, PJOK dan Pemkot sendiri masih terkesan samar. Hal itu bukan berarti faktor eksternal tersebut tidak mempengaruhi perkembangan BKM. Dalam analisis perbandingan antar dua kelurahan tersebut, karena faktor-faktor eksternal tersebut setara, maka menjadi faktor konstan sehingga tidak dapat dianalisis sebagai faktor yang menyebabkan perbedaan variasi dan kualitas program di kedua kelurahan. Oleh sebab itu dalam uraian berikut ini analisis akan lebih memperhitungkan pengaruh faktor internal. Faktor-faktor tersebut adalah kapasitas kelembagaan BKM, kapasitas KSM, kapasitas relawan, stratifikasi sosial dan keberadaan institusi sosial dalam masyarakat. Agar dapat mudah diikuti, analisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh btersebut diwujudkan dalam bentuk table V.30 berikut. 123

136 Tabel V.30 Perbandingan Pengaruh Kapasitas BKM Di Kota Medan Kelurahan Kapasitas Kelembagaan BKM Jenis dan kesinambungan program Belawan - Pendidikan pengurusnya mayoritas SMP dan SMA, bahkan SD tidak selesai. Sebagian kecil pengurus aktif (ketua dan bendahara) - Administrasi dan dokumentasi tersedia tetapi tidak tertata. - Belum transparan, tidak tersedia papan pengumuman Sukaraja - Pendidikan pengurus mayoritas setingkat SMP dan SMA. - Hanya beberapa pengurus yang aktif (terutama wanita) - Administrasi dan dokumentasi tertata namun kurang lengkap - Tersedia papan untuk media komunikasi - Jenis program cukup bervariasi - Sudah ada program yang berorientasi keberlanjutan, terutama pada tahun kedua - Jenis program kurang bervariasi - Belum ada program yang berorientasi keberlanjutan Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Perbedaan variasi jenis program dan perbedaan keberadaan program yang berorientasi keberlanjutan ditemukan pada tahun kedua. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di Kelurahan Belawan 1 lebih ditemukan adanya proses pembelajaran. Faskel di kedua kelurahan tersebut sama sama memberi dorongan kepada BKM untuk merumuskan program yang lebih bervariasi dan lebih keberlanjutan. Meskipun mutasi faskel cukup tinggi di Kota Medan, perputaran faskel ini cukup dimaklumi oleh BKM di kedua kelurahan tersebut. Kondisi tersebut berpengaruh pada kapasitas kelembagaan BKM berbeda-beda, menyebabkan responnya terhadap stimuli dari faskel juga berbeda. Di samping itu perbedaan kapasitas kelembagaan BKM juga menyebabkan perbedaan kemampuan dalam mengolah dan memanfaatkan pengalaman masa lalu sebagai umpan balik untuk melakukan perbaikan. Kenyataan bahwa pada tahun pertama program-program di kedua kelurahan masih bersifat karitatif dan ditahun kedua Kelurahan Belawan 1 sudah memulainya dengan kegiatan sosial yang berorientasi keberlanjutan, memberikan 124

137 indikasi bahwa BKM Kelurahan Belawan 1 lebih mampu belajar dari pengalaman. Hal itu juga mengisyaratkan perlunya digunakan pendekatan yang berbeda dalam memberikan pendampingan dan fasilitasi kepada BKM yang mempunyai kapasitas kelembagaan yang berbeda. Sepanjang wawancara dengan faskel, korkot dan KMW, terkesan bahwa perlunya memberikan pilihan pendekatan yang berbeda yang disesuaikan dengan kapasitas kelembagaan masing masing BKM. Jika dilihat dari komposisi gender dalam kepengurusan BKM, Sukaraja dapat dinilai lebih tinggi dalam keterlibatannya mengambil keputusan dan partisipasi pelaksanaan kegiatan sosial, terlihat dari komposisi pengurus hampir didominasi perempuan. Sebaliknya di di Belawan dari sisi kuantitas imbang antara laki-laki dan perempuan, namun perempuan tidak banyak terlibat memtuskan kegiatan sosial. Berpengaruhnya kapasitas kelembagaan terhadap pelaksanaan program PNPM tidak hanya ditemukan pada level BKM, melainkan juga pada institusi kelengkapan BKM terutama KSM yang menjadi ujung tombak terdepan dalam pelaksanaan program. Hal itu dapat diamati dalam tabel V.31 berikut ini. Tabel V.31 Perbandingan Pengaruh Kapasitas KSM Di Kota Medan Kelurahan Kapasitas KSM Kemampuan membangun jaringan Belawan - Tingkat pendidikan mayoritas - Terbangun jaringan SD dan SMP bersifat personal - Pengalaman sebagai aktivis dengan pengusaha kegiatan sosial cukup. kecil lokal (rental - Partisipasi perempuan ada, komputer) namun bukan pengambil keputusan. Sukaraja - Tingkat pendidikan mayoritas - Pernah membangun SMA dan SMP. jaringan dengan - Pengalaman sebagai aktivis pengusaha roti kegiatan sosial cukup namun sekitar seputar kegiatan wanita. - Partisipasi perempuan tinggi Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Sebetulnya dari Kegiatan lapangan diperoleh informasi, bahwa upaya membangun jaringan baik yang dilakukan oleh BKM Kelurahan Belawan maupun 125

138 Sukaraja masih sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah karena perangkat program PNPM mulai dari faskel, korkot dan KMW tekesan lebih berkonsentrasi pada bagaimana pemanfaatan dana BLM bagi berbagai program yang dibuat termasuk program kegiatan sosial. Fasilitasi kepada BKM dan KSM untuk mencoba menjalin kerjasama dan membangun jaringan dengan stakeholder terkait tidak banyak mendapat porsi perhatian, bahkan boleh dikatakan belum ada sama sekali. Demikian juga halnya dengan unsur pemerintah dari tingkat kelurahan, kecamatan sampai pemerintah daerah. Usaha untuk memfasilitasi bagi terwujudnya chanelling juga belum dilakukan. Di samping kapasitas BKM dan KSM, faktor internal yang juga diperhitungkan mempengaruhi pebedaan dalam pelaksanaan program kegiatan sosial di kedua kelurahan tersebut adalah kapasitas relawan. Sebagaimna sudah disampaikan pada bagian lain laporan ini, di kedua kelurahan keberadaan relawan dalam program PNPM ini memegang peraan yang cukup strategis. Di saat kondisi lapisan miskin masih sebagai silent mass yang belum terbiasa menggunakan peluang untuk menyatakan aspirasinya, relawan berposisi sebagai mediator yang menjembatani aspirasi dan kebutuhan lapisan miskin dengan program-program yang dibuat. Jika dilihat dari komposisi gender dalam pengelolaan KSM, di Kota Medan Lakilaki dan perempuan cukup seimbang dalam kepengurusan KSM, Keterlibatan aktif dalam pengelolaan kegiatan sosial justru banyak didominasi perempuan. Ini terlihat di Sukaraja, begitu juga di Belawan I perempuan terlibat dalam mengelola KSM, namun tidak banyak dari mereka yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan pemikirann tersebut, sudah tentu perbedaan kapasitas relawan akan mempengaruhi terakomodasikannya kebutuhan dan aspirasi lapisan miskin ke dalam program yang dirumuskan BKM. Sekilas tentang hal tersebut dapat dipetakan dalam tabel V.32 berikut ini. 126

139 Tabel V.32 Perbandingan Pengaruh Kapasitas Relawan Di Kota Medan Kelurahan Kapasitas Relawan Jenis dan keberlanjutan program Belawan Sebagian besar terasah melalui partisipasinya dalam institusi yang ada sebelumnya, seperti PKK Sukaraja Karena sebelumnya aktivitasnya hanya PKK, pengalaman kurang terasah Mampu memberikan usulan program yang variatif dan berkelanjutan tapi dominan kegiatan wanita. Belum berperanan optimal dalam memberikan usulan program yang obyektif. Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Dikedua kelurahan tersebut pengusul program lebih didominasi oleh Pengurus BKM, KSM dan UPS. Meskipun di antara pihak yang menjadi inisiator dan pengusul program tersebut, yang dapat dianggap paling dekat dengan lapisan miskin adalah relawan. Mereka banyak berinteraksi langsung dan memiliki kesempatan berempati dengan kehidupan lapisan miskin. Oleh sebab itu, apabila mereka lebih banyak berperanan dalam mengusulkan program, diharapkan aspirasi lapisan miskin dapat terjembatani. Sayangnya dalam kasus di Kota Medan relawan tidak banyak memberikan usulannya. Hal ini diarenakan intensitas aktivitas institusi PKK dan Posyandu yang menjadi basis asal mereka sebelum aktif di PNPM berbeda, maka pengalaman mereka juga berbeda. Dalam hal ini Kelurahan Belawan 1 dan Sukaraja tidak disukung oleh relawan yang aktif. Alasan ketidakaktifan relawan di kedua kelurahan ini adalah karena kesibukan pekerjaan mereka sebagai buruh nelayan dan pedagang. Di sisi lain, dominasi relawan perempuan lebih terkesan menonjol dibandingkan laki-laki, kondisi ini menegaskan bahwa sulit memilih antara bergabung dalam kesukarelawanan dengan mencari nafkah untuk keluarga. Selanjutnya, prospek BKM sebagai institusi yang mampu melembaga dan bersifat mandiri juga banyak ditentukan oleh dukungan modal sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam pelaksanaannya kemudian, lebih ditentukan dari kemampuan mengidentifikasi dan memanfaatkan modal sosial tersebut. Melalui cara seperti itu potensi lapisan tidak miskin dalam memberikan kontribusi bagi program sosial dapat lebih diaktualisasikan. Potensi lapisan tidak miskin tersebut dapat dilihat dari 127

140 stratifikasi sosialnya dan hubungan serta jarak sosial antar lapisan yang ada. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa baik di Kelurahan Belawan 1 lebih mempunyai ikatan dengan masyarakat penerima manfaat. Sedangkan di Kelurahan Sukaraja dalam stratifikasi sosialnya terdapat segregasi lapisan miskin dan tidak miskin (miskin diwakili pribumi dan tidak miskin diwakili WNI keturunan china). Di Kelurahan Belawan 1, hubungan kedua lapisan tersebut lebih bersifat eksklusif. Persamaannya adalah, kelurahan lapisan miskin didominasi masyarakat pribumi (melayu, batak dll) dan secara kuantitas lebih banyak sedangkan lapisan tidak miskin yang lebih sedikit. Pengaruh dari kondisi tersebut dapat diamati dalam tabel V.33 berikut. Tabel V.33 Perbandingan Pengaruh Stratifikasi Sosial Di Kota Medan Kelurahan Stratifikasi sosial Partisipasi lapisan tidak miskin Belawan - Terdapat lapisan tidak Belum ada indikasi miskin dan miskin, hubungannya eksklusif (cukong kapal) - Lapisan menengah-kaya sedikit Sukaraja - Ada lapisan miskin dan tidak miskin, hubungan segregatif - Lapisan menengah-kaya jumlahnya cukup besar Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 partisipasi lapisan menengah -kaya dalam mendukung program Belum telihat keterlibatan lapisan menengah-kaya dalam mendukung program Pada umumnya kontribusi dan partisipasi warga masyarakat yang berasal dari lapisan tidak miskin selain yang berkedudukan sebagai pengurus BKM, UPS, KSM dan relawan, memang relatif masih terbatas. Bahkan dikelurahan tersebut belum ada kontribusi jelas dari kelompok tidak miskin (menengah-kaya) untuk mendukung kegiatan sosial. Meskipun dalam kesehariannya mereka bekerja bersama dan hidup berdampingan. Bukan tidak mungkin bahwa di kedua kelurahan tersebut terdapat warga masyarakat lain yang berpotensi seperti itu. Pada masa mendatang, sebagai upaya meningkatkan kemandirian BKM dan secara perlahan mengurangi ketergantungan kepada BLM, potensi tersebut perlu digali dan dimanfaatkan. Untuk maksud tersebut peningkatan kapasitas kelembagaan BKM yang memungkinkan tumbuhnya trust oleh masyarakat terhadap BKM menjadi syarat utamanya. Hal itu akan menyebabkan warga 128

141 masyarakat yang tidak miskin yang mempunyai minat untuk berpartisipasi, tidak khawatir menyalurkan kontibusinya melalui BKM. Faktor lain yang berasal dari masyarakat yang dapat mendukung program sosial adalah keberadaan institusi sosial dalam masyarakat yang memilikin kegiatan sejenis dengan program sosial BKM. Dari hasil penelitian lapangan diperoleh kenyataan bahwa Kelurahan Sukaraja mempunyai institusi sosial seperti itu yang bukan saja lebih bervariasi akan tetapi juga memiliki intensitas kegiatan yang lebih tinggi. Institusi tersebut adalah PKK, Posyandu. Sementara di Kelurahan Belawan 1 hanya ditemukan dukungan bersifat sporadik dari Posyandu. Sudah tentu perbedaan tersebut juga menyebabkan perbedaan dukungannya bagi program sosial BKM. Pengaruh institusi sosial tersebut dapat diamati dalam tabel V.34. berikut. Tabel V.34 Perbandingan Pengaruh Institusi Sosial Di Kota Medan Kelurahan Keberadaan institusi sosial Faktor pendukung Program Belawan 1 - Tidak banyak institusi sosial yang kegiatannya relevan - Belum ada integrasi Program BKM. dengan program - Belum sinergi sosial(posyandu-tetapi tidak - Institusi yang aktif) sebelumnya sudah - Intensitas kegiatannya biasa (sporadik) ada dapat menjaga keberlanjutan Sukaraja - Institusi yang aktivitasnya - Program BKM yang relevan dengan program diintegrasikan sosial terbatas(hanya PKK kurang bervariasi dan posyandu) - Program BKM lebih - Intensitas kegiatannya dominan untuk rendah wanita. - Kurang terjamin keberlanjutannya Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Dari perbedaan kondisi institusi sosial yang sudah ada tersebut, mengakibatkan di Kelurahan Belawan lebih banyak dan lebih bervariasi program-program sosial yang diintegrasikan ke dalam kegiatan institusi tersebut. Di samping itu juga lebih dapat dilihat belum sinergi (khususnya rehab rumah) antara kegiatan yang ada dengan program BKM yang diintegrasikan. Sementara itu di Kelurahan Sukaraja sifatnya tidak sinergis karena program BKM tidak menonjol. Melihat kontribusi yang cukup signifikan baik dalam pelaksanaan program saat ini maupun dalam mengusahakan keberlanjutan program di masa mendatang, perlu 129

142 lebih banyak digali dan dimanfaatkan modal sosial dari masyarakat sendiri. Dengan demikian perlu dibangun sinergi dengan institusi yang lain sehingga jangkauannya lebih luas. Di kedua kelurahan sebetulnya masih banyak institusi yang ada dan belum diajak kerjasama terutama institusi yang basis keanggotaannya bersifat umum, artinya bukan didominasi kelompok tertentu, misalnya Kelompok wanita atau kelompok mantan ketua RT dan RW. Untuk maksud tersebut program BKM terutama melalui pendanaan dalam bentuk BLM harus diperlakukan sebagai stimuli guna membangun dan mengembangkan modal sosial yang sudah ada. Dengan demikian dalam jangka panjang akan mendukung proses menuju kemandirian. Sebaliknya, perlu dihindari masuknya program BKM terutama dengan dana BLM agar tidak mematikan potensi modal sosial yang sudah ada, sehingga justru menimbulkan ketergantungan. Oleh sebab itulah di samping BKM perlu meningkatkan kapasitas melalui proses belajar, hal yang sama juga berlaku untuk perangkat program mulai dari faskel, korkot dan KMW. Melalui pengalaman berinteraksi dengan masyarakat dapat dikembangkan penyempurnaan yang terus menerus tentang pendekatan yang dilakukan untuk memberikan fasilitasi, agar sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Bagi BKM, proses pembelajaran menuju institusionalisasi dan kemandirian tersebut dapat dilakukan melalui dua arah. Di satu sisi meningkatkan kapasitas kelembagaan BKM termasuk kapasitas membangun jaringan keluar (cukong kapal dan pengusaha/pedagang), di sisi lain paralel dengan itu dilakukan usaha menggali dan memanfaatkan lebih banyak institusi sosial dan modal sosial setempat. Dengan cara seperti itu perkembangan BKM akan menjadi lebih cepat, karena kedua arah tersebut bersifat sinergis dan mutualistis. Pemanfaatan Modal sosial diharapkan dapat menstimulasi kepercayaan dan pengelolaan BKM lebih baik, sehingga diakui oleh semua lapisan masyarakat maupun pemerintah kota. D. Hasil Analisis Mikro Berjenjang, Deskripsi Kegiatan Sosial Dan Potensi Keberlanjutan Di Masing-Masing Lokasi 1. Kota Pasuruan a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial Program kegiatan sosial di Kelurahan Kepel dalam rangka PNPM sudah dilaksanakan dalam dua tahun anggaran, tahun 2007 dan Program yang dilaksanakan dalam 130

143 tahun 2007 meliputi peningkatan gizi balita dengan dana Rp ,-dan pengadaan sarana posyandu dengan dana sebesar Rp 2, ,-. Sementara program yang dilaksanakan tahun 2008 meliputi peningkatan kesehatan ibu hamil dalam bentuk tabungan persalinan dengan dana sebesar Rp ,-, peningkatan gizi lansia dengan dana sebesar Rp ,-,penyuluhan hidup bersih dan sehat dengan dana sebesar Rp ,-, kursus menjahit dengan dana sebesar Rp ,-, kejar paket A atau program keaksaraan fungsional dengan dana sebesar Rp ,-Kegiatan pendidikan dasar dan kesehatan ditangani oleh KSM Mawar, sedang pelaksanaan kursus ketrampilan menjahit oleh KSM Melati. Program tahun 2007 dilaksanakan di 7 Posyandu yang ada di Kelurahan Kepel. Pelaksanaannya bekerjasa 1ma dengan program Kelurahan Siaga, suatu kegiatan yang merupakan program nasional untuk mendukung Indonesia Sehat Jumlah anggota yang merupakan aktivis Kelurahan Siaga ini ada 28 di mana 1 orang di antaranya adalah laki-laki. Di Kelurahan Kepel program ini cukup menonjol kegiatannya untuk menangani berbagai masalah khususnya yang menyangkut kegiatan peningkatan kesehatan seperti kesehatan balita, ibu hamil dan sebagainya. Sebelum program kegiatan sosial oleh BKM/UPS dilaksanakan, berbagai kegiatan di bidang kesehatan ini sudah berjalan dengan baik, sehingga program BKM/UPS diintegrasikan untuk mendukungnya. Program peningkatan kesehatan ibu hamil yang merupakan program kreasi BKM/UPS dilaksanakan tahun Program ini bentuknya berupa pinjaman untuk persalinan yang dikembalikan secara mengangsur. Dengan demikian dana tersebut tidak habis dan dapat digunakan oleh ibu hamil berikutnya secara bergulir. Agar pinjamannya tidak terlalu besar selama kehamilan, ibu hamil sudah menyimpan uangnya dalam kelompok berupa tabungan. Oleh penerima manfaat, program ini dirasakan sangat membantu mereka, oleh karena memungkinkan dapat menjalani persalinan di rumah sakit. Karena alasan beaya, selama ini banyak ibu dari lapisan miskin yang melahirkan dengan pertolongan dukun bayi. Dana bantuan untuk program peningkatan kesehatan lansia semula akan diberikan dalam bentuk bantuan sembako. Atas saran faskel akhirnya dibelikan sarana dan prasarana berupa tape untuk senam lansia, dengan harapan kemanfaatannya lebih berjangka panjang. Senam lansia ini diikuti oleh peserta yang berasal dari 2 RW di wilayah Kelurahan Kepel. Walaupun program kegiatan sosial ini sebetulnya diperuntukkan bagi warga miskin, oleh karena kegiatan senam lansia ini sudah 131

144 berlangsung sebelumnya dan bersifat umum, maka penerima manfaat bantuan yang diberikan juga masyarakat umum, walaupun ada juga sebagian lansia yang ikut senam termasuk warga miskin. Program ketrampilan kursus menjahit dilakukan dengan sasaran 12 orang warga miskin dan diasuh oleh tutor yang juga warga masyarkat Kelurahan Kepel yang sudah dapat menjahit bahkan mempunyai usaha konveksi kecil kecilan.. Pada saat selesai mengikuti kursus, para peserta sudah mempunyai ketrampilan menjahit sampai membuat celana. Anggaran keseluruhan untuk kegiatan ini sebesar RP ,-.Dari anggaran sebesar itu, Rp ,- dialokasikan untuk memberikan honorarium kepada tutor, dan selebihnya untuk membeli peralatan seperti kain, meteran, benang. Penguasaan ketrampilan menjahit yang mereka miliki langsung dapat dirasakan manfaatnya untuk menambah penghasilan, oleh karena peserta kursus kemudian dipekerjakan pada usaha konveksi yang ada di Kelurahan Kepel. Program keaksaraan fungsional merupakan semacam program Kejar Paket B yaitu belajar membaca dan menulis untuk orang-orang tua. Tutornya adalah guru-guru ngaji warga Kepel yang kebetulan juga sudah lama terlibat dalam kegiatan serupa yang diselenggarakan melalui lembaga lain yaitu Muslimat NU. Dengan demikiasn kegiatan ini sebenarnya sudah lama ada. BKM/UPS dalam salah satu programnya menyelenggarakan kelompok belajar baru. Setelah kelompok ini didanai oleh BKM selama satu tahun anggaran, kemudian pengelolaannya dilanjutkan Muslimat NU. Anggaran keseluruhan untuk program ini sebesar Rp ,-. Kegiatan belajar yang dikelola BKM ada 6 kelompok dan masing-masing kelompok mendapatkan anggaran operasional Rp Selebihnya sebesar Rp ,- digunakan untuk pembelian sarana dan prasarana seperti buku, rak dan sebaginya. Sementara itu, program kegiatan sosial BKM Kelurahan Panggungrejo baru dimulai tahun 2008 yang meliputi program pendidikan berupa pembagian seragam sekolah yang menghabiskan dana sebesar Rp ,- dan program yang mendukung kegiatan posyandu berupa pemberian makanan tambahan bagi balita dengan dukungan dana sebesar Rp ,- Pelaksanaan bantuan seragam sekolah dikelola oleh KSM Pendidikan, sedang program pemberian makanan tambahan balita dikelola oleh KSM Kesehatan. Seragam sekolah dibagikan kepada siswa yang berasal dari orang tua tidak mampu. Pada awalnya direncanakan dibagikan seragam sekolah untuk 50 anak, masingmasing anak mendapatkan 2 stel. Oleh karena adanya permintaan dari warga, maka penerima manfaat menjadi 72 anak yang berasal dari SD dan SMP. Anak SD mendapatkan 132

145 masing-masing satu stel sedangkan untuk SMP dua stel. Perubahan dalam pelaksanaan atas usul warga ini sebetulnya juga mengindikasikan bahwa dalam tahap perencanaan dan perumusan program pelibatan masyarakat belum optimal. Kegiatan dalam mendukung posyandu dilakukan dengan memberikan paket makanan tambahan kepada 8 anak. Pemberian makanan tambahan melalui posyandu ini dilaksanakan di kantor Kelurahan selama tiga bulan, setiap hari Rabu (seminggu sekali). Pemberian makanan tambahan ini dalam bentuk susu. Sebetulnya anak yang membutuhkan tambahan angsupan gizi tidak hanya berjumlah delapan. Mereka di luar yang delapan ini tidak berkesempatan memperoleh perlakuan yang sama karena program ini hanya dilaksanakan dalam satu tahun anggaran dan tidak ada usaha BKM untuk melanjutkannya dengan mencari sumber dana lain atau bekerja sama dengan stakeholder tertentu. Program-program kegiatan sosial seperti yang sudah dilaporkan tadi, baik di Kelurahan Kepel maupun Panggungrejo kesemuanya tercantum dalam PJM Pronangkis, yang dibuat berdasarkan hasil pemetaan swadaya masyarakat. Dengan demikian secara normatif, program-program tersebut dipilih berdasarkan realitas masalah yang teridentifikasi dalam masyarakat. Walaupun demikian bahwa program tersebut dipilih dari sekian banyak masalah yang ada berarti ada pemberian skala prioritas. Dalam kenyaaannya pemberian skala prioritas ini tidak terlepas dari aktor yang melakukan pemetaan masalah, dalam hal ini adalah para relawan. Relawan pada umumnya berasal dari pegiat sosial yang sudah ada sebelumnya, terutama program pos yanndu. Dengan demikian wajar apabila pada tahun pertama persoalan yang lebih tampak adalah yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan sosial di mana mereka banyak terlibat. Dari hasil pemelitian lapangan, tampak bahwa ada sedikit perbedaan antara Kelurahan Kepel dan Panggungrejo berkaitan dengan inisiator program. Di kedua kelurahan tersebut inisiator program pada umumnya memang berasal dari pengurus BKM, Ketua RT dan relawan. Perbedaannya, di Kelurahan Kepel peranan relawan lebih menonjol dibanding pengurus BKM dan ketua RT, sementara di Kelurahan Panggungrejo sebaliknya. Hal itu juga menbgindikasikan adanya perbedaan kapasitas relawan di kedua kelurahan tersebut, sebagaimana sudah dianalisis dalam bagian lain laporan ini. Walaupun kemudian keputusan tentang program tersebut dilakukan melalui rembug warga, akan tetapi peran relawan dalam inisiasi program tampaknya cukup besar.kenyataan itu juga memberikan gambaran bahwa proses perumusan program secara normatif dan prosedural telah mengacu pada pedoman yang ada. 133

146 Mengingat besarnya peranan relawan tersebut, apakah kepentingan dan kebutuhan kelompok miskin terakomodasi ke dalam program sangat ditentukan oleh bagaimana relawan memposisikan diri. Dalam hal ini adalah kemauan baik dari relawan untuk menjadi mediator aktualisasi kepentingan kelompok miskin. Sudah tentu hal tersebut ditentukan oleh kemampuan empati dari para relawan. Bahwa lapisan miskin masih membutuhkan mediasi agar kepentingannya terakomodasi dalam program antara lain terlihat pada indikasi bahwa mereka pada umumnya tinggal menerima manfaat program dan tidak pernah mengusulkan program. Dari kenyataan ini masih tampak ketidak berdayaan lapisan miskin. Walaupun dalam ketentuan normatif mereka mempunyai hak dan peluang untuk ikut serta dalam identifikasi kebutuhan pengambilan keputusan dalam penentuan program, akan tetapi dalam kenyataannya peluang tersebut belum dapat digunakan, karena mereka masih merupakan silent mass. b. Prospek Keberlanjutan Dari keseluruhan program kegiatan sosial yang sudah dilaporkan tadi, apabila dilihat dari kaitannya dengan berbagai kegiatan sosial yang sudah ada sebelumnya, maka baik di Kelurahan Kepel maupun di Kelurahan Panggungrejo terdapat program yang diintegrasikan dengan kegiatan sosial masyarakat yang sudah ada, dan ada pula program yang merupakan kreasi baru. Program kegiatan sosial yang diintegrasikan dan untuk mendukung program yang sudah ada di Kelurahan Panggungrejo adalah kegiatan yang dilaksanakan melalui posyandu, sementara di Kelurahan Kepel selain kegiatan melalui Posyandu juga program keaksaraan fungsional yang sebelumnya telah diselenggarakan oleh Muslimat NU. Jenis kegiatan yang merupakan kreasi baru di kel;urahan Kepel adalah tabungan ibu hamil dan kursus ketrampilan menjahit, sedangkan di Kelurahan Panggungrejo berupa program pemberian bantuan seragam sekolah.. Dilihat dari dari kontinyuitasnya, kegiatan sosial yang diintegrasikan dengan kegiatan yang sudah ada lebih memiliki keuntungan. Hal itu disebabkan karena programnya diwadahi atau diintegrasikan dalam kegiatan yang sudah melembaga. Karena kegiatan tersebut sebelumnya sudah melembaga dalam masyarakat, maka dapat terus berlangsung walaupun tidak lagi ada dana dari BKM. Sudah tentu dengan catatan bahwa kucuran danan oleh BKM dapat menjadi stimulan untuk lebih mendorong pemanfaatan modal sosial yang ada, bukan justru sebaliknya mereduksi modal sosial dan menimbulkan sifat ketergantungan. Meskipun demikian, dari hasil penelitian lapangan dapat diinventarisasi beberapa kelemahan yang perlu dipikirkan antisipasinya dalam 134

147 perkembangan lebih lanjut. Beberapa hal yang dapat dianggap sebagai kelemahan tersebut adalah bahwa kegiatan kegiatan yang dilakukan tidak secara nyata terkesan sebagai kegiatan BKM, setidak tidaknya dalam persepsi masyarakat. Kelemahan lain adalah kelompok sasaran dan pengelola kegiatan tersebut terbawa untuk mengikuti pola yang selama ini sudah berjalan. Sebagai contoh adalah kegiatan kegiatan yang dilakukan melalui posyandu lebih terfokus pada salah satu segmen dalam masyarakat yaitu kaum perempuan. Hal yang sama juga berlaku dilihat dari sasaran ideal kegiatan sosial yang diharapkan lebih diprioritaskan kepada lapisan yang paling miskin. Dalam praktiknya penerima manfaat lebih bersifat umum. Sementara itu untuk kegiatan sosial yang sepenuhnya diinsiasi oleh BKM/UPS, membutuhkan suatu proses dan pendampingan yang lebih intensif agar kegiatan ini dapat dijaga rutinitasnya, dirasakan manfaatnya dan kemudian diakui sebagai bagian dari pola aktivitas masyarakatnya melalui proses institusionalisasi. Apabila proses institusionalisasi ini dapat dilewati, maka keberlamjutan program akan lebih terjamin. Oleh karena BKM Kelurahan Kepel kegiatannya termasuk baru (dimulai tahun 2007), dan Kelurahan Panggungrejo bahkan lebih belakangan yaitu tahun 2008, maka kegiatan yang diinisiasi oleh BKM ini juga baru berjalan beberapa waktu. Oleh sebab itu belum dapat dilihat apakah kegiatan tersebut telah melembaga dalam masyarakat. Terlepas dari hal itu, ada satu hal yang perlu diketengahkan dari kegiatan kursus menjahit. Kegiatan ini merupakan pengembangan sistem magang yang sudah dikenal dalam masyarakat. Pemberi kursus adalah seorang pengusaha konveksi kecil kecilan. Para peserta kursus kemudian dipekerjakan dalam usahanya tersebut. Keuntungan dari cara ini adalah para peserta kursus langsung dapat menerapkan ketrampilannya dan memperoleh penghasilan. Keuntungan lain karena usaha konveksi tersebut sudah memiliki pasar untuk produknya. Yang perlu diantisipasi dalam hubungan kerja antara peserta magang dan pemberi kursus adalah agar tidak terjadi eksploitasi dalam hubungan kerjanya. Dalam perkembangannya barangkali model ini dapat dimodifikasi menjadi sebuah kelompok belajar sekaligus kelompok usaha produktif yang dikelola bersama oleh baik pemberi ketrampilan maupun peserta kursus. Dilihat dari dampak programnya, program kegiatan sosial dapat dibedakan menjadi program yang berdampak jangka pendek biasanya bersifat karitatif, dan program yang berdampak jangka panjang karena berkelanjutan. Dengan menggunakan kriteria ini program yang pernah dilaksanakan di Kelurahan Panggungrejo keduanya berdampak jangka pendek, sementara yang di Kelurahan Kepel terdapat program yang mempunyai 135

148 prospek yang dampaknya berkelanjutan. Program yang mempunyai dampak jangka panjang tersebut adalah tabungan ibu hamil dan kursus ketrampilan menjahit yang pesertanya dipekerjakan di dalam usaha konveksi setempat. Tabungan ibu hamil dapat disebut dampaknya berkelanjutan oleh karena dana yang diberikan tidak sekali habis tetapi sifatnya bergulir. Sementara kursus jahit berkelanjutan karena ada unsur pemberian ketrampilan yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk usaha yang menghasilkan. Dengan demikian keberlanjutan dampak dari proses pelayanan sosial dapat dilihat dari dua sisi. Yang pertama karena dana yang diberikan tidak sekali habis, akan tetapi bersifat sebagai dana bergulir sehingga secara bergiliran dana tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Yang kedua, karena pelayanan sosial tersebut digunakan sebagai upaya pengembangan kapasitas warga miskin, misalnya peningkatan ketrampilan. Dengan bekal ketrampilan tersebut warga miskin dapat menggunakannya untuk usaha yang menghasilkan dan memberi kontribusi bagi peningkatan taraf hidupnya. Dilihat dari orientasi jangka panjang, maka yang lebih ideal adalah apabila kegiatan pelayanan sosial tersebut dampaknya bukan yang berjangka pendek melainkan berkelanjutan. Untuk maksud tersebut dalam proses pelayanan sosial, yang disampaikan bukan hanya bantuan dana, melainkan juga motivasi agar mempunyai orientasi berfikir jangka panjang. Hal itu disebabkan oleh karena apabila warga miskin masih mempunyai orientasi jangka pendek, pada umumnya lebih suka diberikan bantuan langsung berupa santunan walaupun sekali habis. c. Dukungan Program Secara umum, apabila membandingkan program kegiatan sosial di kedua kelurahan tersebut, maka terkesan program kegiatan sosial di Kelurahan Kepel lebih variatif dan mulai ada program yang berdampak jangka panjang baik melalui pengembangan ketrampilan maupun melalui program yang dananya bergulir. Akan tetapi dalam membuat perbandingan perlu diingat bahwa program di Kelurahan Kepel sudah dimulai sejak tahun 2007sehingga sudah menjalankan program dalam dua tahun anggaran, sementara Kelurahan Panggungrejo baru tahun 2008, dengan satu termin kegiatan. Apabila dibandingkan pada tahun kegiatan pertama, Kelurahan Kepel tahun 2007 dan Kelurahan Panggungrejo tahun 2008, tampak bahwa tidak ada perbedaan berarti dalam variasi kegiatannya, karena masing masing melakukan dua program dan sama sama bersifat karitatif dan berdampak jangka pendek. 136

149 Walaupun demikian, bagi Kelurahan Kepel untuk tahun kegiatan kedua dapat dikatakan mengalami perkembangan yang cukup berarti, baik dilihat dari variasi programnya maupun dari dampak programnya. Pada tahun kedua tidak lagi terfokus pada program yang berkaitan dengan posyandu, akan tetapi juga program kreasi baru yang berdampak keberlanjutan, seperti keaksaraan fungsional, tabungan ibu hamil, kursus ketrampilan menjahit. Sayangnya dari penelitian ini belum dapat dibandingkan dengan perkembangan program di Kelurahan Panggungrejo oleh karena belum melaksanakan kegiatan tahun kedua. Sebetulnya perbandingan masih dapat dilakukan dengan melihat apa yang sudah direncanakan Kelurahan Panggungrejo pada tahun kedua. Pada tahun anggaran kedua Kelurahan Panggungrejo merencanakan program peningkatan gizi lansia dan pengadaan gerobak sampah. Apabila data ini yang digunakan, maka tampak bahwa Kelurahan Kepel lebih unggul baik dalam mengembangkan variasi program maupun dalam berkreasi untuk mewujudkan program yang dampaknya berkelanjutan. Selain indikasi tersebut, kemampuan Kelurahan Kepel dalam merumuskan program yang lebih bervariasi dan berdampak jangka panjang juga ditujukkan dengan program tahun ketiga yang sudah direncanakan, yang meliputi kursus ketrampilan las, pengadaan jamban secara bergulir, dan usaha ternak bergulir. Untuk mendapatkan jawaban atas faktor yang melatarbelakangi perbedaan tersebut, digunakan asumsi bahwa penyebabnya dapat berasal dari faktor eksternal maupun internal. Sehubungan dengan hal itu dapat diidentifikasi bahwa faktor eksternal di antara kedua kelurahan tersebut tidak banyak berbeda. Kenyataan itu dapat ditunjukkan dari hal hal berikut: (1) kedua kelurahan tersebut memperoleh dukungan dana pendampingan dari pemda dalam jumlah yang sama yaitu Rp ,-, (2) dari hasil pengamatan, wawancara dan FGD diperoleh kesan bahwa kapasitas faskel dan intensitas interaksinya di kelurahan tersebut juga boleh dikatakan setara, (3) demikian juga halnya tingkat dukungan dan keterlibatan pemerintah baik tingkat kelurahan maupun kecamatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyebab perbedaan tersebut lebih terletak dari faktor internal baik kondisi masyarakat setempat maupun BKM nya. Dilihat dari kondisi masyarakatnya terutama yang berkaitan dengan fenomena kemiskinan, memang tampak adanya persamaan dan perbedaan di antara kedua kelurahan tersebut. Persamaannya adalah baik di Kelurahan Kepel maupun Panggungrejo terdapat lapisan miskin dan tidak miskin dalam stratifikasi sosialnya. Dalam kehidupan masyarakat di kedua kelurahan, hubungan antar lapisan tersebut juga sama sama tidak bersifat 137

150 eksklusif baik secara sosial maupun dilihat dari lokasi tempat tinggalnya. Perbedaannya adalah, di Kelurahan Kepel lapisan miskin jumlahnya tidak terlalu besar dibandingkan seluruh populasi, sementara di Kelurahan Panggungrejo dapat dikatakan sebagai komunitas miskin di mana terdapat warga miskin yang jumlahnya cukup besar dengan matapencaharian sebagai nelayan.. Menurut data yang tercantum dalam PJM Pronangkis Kelurahan Kepel dari 3148 orang penduduk yang berasal dari 715 kk yang ada, 105 kk di antaranya dikategorikan miskin. Sementara itu, dalam PJM Pronangkis Kelurahan Panggungrejo, dari total penduduk 2924 orang(712 kk), 779 di antaranya adalah warga miskin yang berasal dari 214 kk. Agaknya kondisi ini juga berpengaruh terhadap tingkat pendidikan rata rata penduduknya, sudah tentu juga akan berimbas pada tingkat pendidikan pengelola BKM, UPS, KSM dan para relawannya. Sebagai ilustrasi dapat dilaporkan bahwa koordinator BKM Kelurahan Panggungrejo saat ini adalah seorang petani tambak, dengan latar belakang pendidikan formal setara SMP, sementara anggota yang lain tiga orang yang pendidkannya setingkat SMA atau setara, sedang yang lainnya tingkat SMP dan SD. Di sisi lain koordinator BKM kerlurahan Kepel adalah seorang pensiunan polisi, yang sudah tentu memiliki pengalaman yang cukup luas selama bertugas di beberapa daerah dan pernah mengikuti pendidikan kepolisian, selain latar belakang pendidkan umum.tingkat SMA. Sementara angggota pengurus mayoritas mempunyai latar belakang pendidikan SMA atau sederajat. Dari hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan ternyata perbedaan latar belakang ini juga mempengaruhi pengelolaan BKM. Paling tidak dari segi administrasinya BKM Kelurahan Kepel lebih tertata dan berbagai kegiatannya kebanyaan juga terdokumentasi. Demikian juga dengan penyampaian informasi kepada masyarakat. BKM Kelurahan Kepel menyediakan dua papan informasi, untuk mengkomunikasikan program sekaligus melaporkan kegiatannya kepada masyarakat. Hal seperti itu tidak ditemukan di Panggungrejo. Pengaruh yang lain dari perbedaan kondisi masyarakatnya tersebut juga tampak dari kegiatan sosial melalui beberapa lembaga yang ada. Berbagai kegiatan sosial pada umumnya dilaksanakan melalui gerakan PKK dan posyandu dengan peserta kebanyakan kaum perempuan. Kedua lembaga tersebut aktivitasnya lebih menonjol di Kelurahan Kepel dibandingkan Panggungrejo. Keberadaan lembaga lembaga sosial dengan berbagai aktivitasnya ini melibatkan baik warga masyarakat yang miskin maupun tidak miskin. Dalam berbagai program BKM/UPS keberadaan institusi yang sudah melembaga ini telah menjadi modal awal. Seperti sudah dilaporkan sebelumnya, pada awalnya program 138

151 kegiatan sosial BKM lebih banyak diintegrasikan dan bersifat mendukung berbagai kegiatan yang sudah ada yang dilaksanakan oleh institusi ini. Demikian juga halnya dengan relawan BKM dan pengurus UPS, pada umumnya mereka adalah aktivis PKK dan kader posyandu. Sebagai ilustrasi dapat dilaporkan bahwa semua pengurus UPS relawan kegiatan sosial Kelurahan Kepel adalah juga aktivis PKK, Fatayat dan kader posyandu. Dampak positifnya setelah menjadi relawan, mereka mempunyai bekal pengalaman yang cukup dan kapasitasnya relatif sudah teruji. Di sisi lain kondisi masyarakat Kelurahan Kepel yang lebih heterogen dengan kondisi sosial ekonomi yang lebih baik apalagi didukung oleh relasi antar lapisan masyarakat yang tidak bersifat eksklusif, ternyata juga mengindikasikan sebagai faktor pendukung program BKM/UPS. Keberadaan usaha konveksi yang memberikan kursus menjahit dan kemudian mempekerjakan peserta kursus merupakan salah satu contohnya. Selain itu keberadaan seorang warga yang menyediakan dirinya sebagai donor tetap bagi kegiatan sosial juga dapat menjadi salah satu indikasi potensi bagi pendukung program sosial yang berasal dari masyarakat sendiri. Bagi Kelurahan Kepel bukan tidak mungkin dalam masyarakat sebetulnya terdapat warga lain yang dapat dimotivasi untuk melakukan hal yang sama.persoalannya adalah diperlukan suatu institusi yang dapat menjembatani potensi penduduk yang mempunyai niat memberi bantuan dengan warga masyarakat yang membutuhkan bantuan. Dengan demikian proses dan mekanismenya menjadi lebih bersifat institusional. Dengan institusi yang dalam persepsi masyarakat kinerjanya baik akan dapat memberikan kepercayaan (trust) bagi pihak yang akan menyalurkan bantuannya. Pengaruh lain yang berlatar belakang dari perbedaan kondisi masyarakat dan kondisi BKM di kedua kelurahan tersebut juga dapat dilihat dalam hal kemampuan membangun jaringan. Dalam hal ini memang belum banyak yang dilakukan sebagai upaya untuk mendukung program aktivitas sosial. Walaupun demikian Kelurahan Kepel pernah berhubungan dengan perusahaan Nestle, yang memberi bantuan susu bagi program tambahan gizi balita. Di lain pihak hal serupa belum pernah dilakukan BKM/UPS Kelurahan Panggungrejo. dan d. Hambatan Dalam jangka panjang sebetulnya yang dibutuhkan adalah keberlanjutan program. Maksudnya adalah walaupun pendampingan dan bantuan dana dalam bentuk BLM sudah dihentikan, BKM dapat melanjutkan program kegiatan sosial ini. Untuk maksud tersebut 139

152 paling tidak dibutuhkan dua hal. Pertama, BKM telah berkembang menjadi lembaga yang mandiri dalam pengelolaan program dan kegiatannya. Syaratnya, kegiatan dan programprogramnya sudah merupakan pola aktivitas yang melembaga. BKM bukan hanya sebagai organisasi, melainkan organization that are institution. Kedua, BKM dapat menyediakan sumber dana untuk mebiayai programnya baik secara swadaya oleh BKM sendiri, menghimpun potensi masyarakat setempat, maupun kerja sama dengan pihak lain. Sepanjang penelitian lapangan yang dilakukan di kedua kelurahan tersebut, belum tampak adanya usaha yang signifikan menuju kesana. Indikasinya antara lain dapat dilihat dari: (1) masih adanya perasaan ketergantungan kepada BLM untuk menjalankan programnya. Sebagai ilustrasi, berdasarkan PJM Pronangkis yang telah disusun terdapat berbagai program kegiatan sosial yang direncanakan dalam setiap tahun kegiatan, akan tetapi yang dilaksanakan terbatas program yang dapat didanai melalui BLM, tidak ada usaha untuk menjalankan program yang sudah direncanakan tetapi tidak didanai BLM dengan mencari sumber pendanaan lain misalnya membangun jaringan atau memanfaatkan potensi masyarakat, (2) belum terjalinnya jaringan dengan berbagai stakeholder lain baik dari luar masyarakat kelurahan yang bersangkutan misalnya dinas, LSM atau pihak swasta yang mempunyai program sejenis, maupun dengan institusi masyarakat sendiri, misalnya LPMK (3) belum ada upaya yang optimal untuk menggali dan memanfaatkan potensi setempat termasuk mengorganisasi swadaya masyarakat. Di kedua kelurahan tersebut sebetulnya dalam proporsi yang berbeda mempunyai warga yang tidak miskin. Pelibatan lapisan yang tidak miskin ini dalam ikut serta dan memberikan kontribusi dalam pengentasan kemiskinan masih belum tampak. Kalau ada pelibatan warga tidak miskin dalam memberikan kontribusi bagi usaha pengentasan kemiskinan melalui program sosial BKM/UPS masih sangat terbatas.di antara dua kelurahan tersebut yang sudah memberikan indikasi kearah itu baru di Kelurahan Kepel. Seperti yang sudah dilaporkan sebelumnya, kontribusi warga tidak miskin tersebut adalah seorang warga Kelurahan Kepel yang kebetulan pengusaha telah menjadi donatur tetap bagi kegiatan sosial. Di samping itu juga adanya seorang pengusaha konveksi yang menjadi tutor sekaligus mempekerjakan peserta kursus menjahit. Persoalan belum terjadinya proses institusionalisasi BKM ini sumbernya dapat dilacak dari mekanisme pelaksanaan PNPM sendiri. Mengingat dalam jangka panjang BKM diharapkan dapat mandiri dan melembaga, maka prosesnya seharusnya diawali dengan adanya kesadaran bahwa pengentasan kemiskinan merupakan kepentingan bersama, 140

153 yang memicu tindakan bersama yang didorong oleh energi /modal sosial, kemudian tindakan bersama tersebut merupakan rutinitas yang diakui, dirasakan manfaatnya dan menjadi bagian dari pola tindakan bersama dalam masyarakat, sehingga telah terjadi proses institusionalisasi. Dilihat dari langkah langkah program PNPM dan pelaksanaannya di lapangan, syarat pertama sudah dicoba dipenuhi dengan program yang diawali sosialisasi, rekrutmen relawan, pemetaan masalah dan pemetaan swadaya masyarakat, dilanjutkan dengan penentuan program melalui rembug warga. Persoalannya hal tersebut cenderung masih bersifat prosedural belum substansial. Beberapa indikasinya adalah belum sepenuhnya permasalahan warga miskin terakomodasi dalam proses. Keseluruhan warga miskin penerima manfaat program mengatakan bahwa mereka sekedar menerima bantuan atau pelayanan melalui program yang sudah dilaksanakan, dan sebelumnya tidak pernah mengusulkan atau diminta pendapatnya. Di samping itu, BKM/UPS juga masih kurang melibatkan warga masyarakat yang tidak miskin yang bukan pegurus BKM dan bukan relawan. Kenyataan itu menyebabkan belum optimalnya aktualisasi potensi mereka dalam memberikan kontribusi bagi program kegiatan sosial. Yang berarti juga kurangnya pemanfaatan modal sosial sebagai pendorong tindakan bersama melalui program sosial. Keberlanjutan program merupakan bagian dari harapan ambisius program PNPM. Dengan kegiatan yang didisain bottom up, partisipatif sejak identifikasi persoalan, perencanaan dan pelaksanaan program, diharapkan merupakan proses belajar sehingga kegiatan ini melembaga. Walaupun demikian, selama penelitian lapangan, belum tampak indikasi ke arah itu. Hal itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa masyarakat maupun pengelola kegiatan mulai KSM, UPS, dan BKM masih selalu mengharapkan turunnya dana dari atas sebagai penggerak kegiatan. Seolah olah kegiatan tidak dapat dijalankan apabila tidak ada kucuran BLM. Mungkin saja hal tersebut disebabkan karena prosesnya baru berjalan dua tahun. Walaupun demikian selama periode tersebut justru dapat ditemukan faktor-faktor yang kurang kondusif bagi pendekatan proses. Beberapa faktor yang diidentifikasi menyebabkan kurangnya prospek keberlanjutan program tersebut antara lain: kesesuaian pendekatan administrasi dengan kebutuhan orientasi program secara ideal, fasilitator, relawan, masyarakat sendiri dan lembaga penyelenggara mulai KSM, UPS sampai BKM. Dilihat dari desain programnya, PNPM termasuk sebuah program yang cukup ambisius oleh karena berusaha melakukan perubahan dalam orientasi pembangunan dari yang bersifat top down menjadi bottom up. Oleh sebab itu walaupun merupakan lembaga 141

154 yang diinisiasi dari atas, BKM melalui proses belajar sosial diharapkan menjadi sebuah institusi masyarakat yang mampu melakukan pengelolaan pembangunan pada tingkat komunitas secara mandiri.untuk maksud tersebut semestinya pendekatan yang digunakan mengutamakan pendekatan proses. Hal ini disebabkan oleh karena tumbuhnya BKM menjadi lembaga yang mandiri hanya mungkin terwujud melalui proses belajar sosial sehingga terjadi proses institusionalisasi. BKM dalam jangka panjang bukan sekedar sebuah organisasi, melainkan organization that are institution. Kenyataan bahwa masyarakat lebih terdorong untuk memenuhi persyaratan prosedural daripada substansial juga disebabkan karena program ini belum didukung oleh sistem administrasi yang kondusif dalam pelaksanaannya. Program ini harus mengikuti sistem administrasi reguler yang berorientasi target. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan baik oleh fasilitator maupun masyarakat terikat oleh target waktu yang ketat, dan mengutamakan pertanggung-jawaban administratif bukan substansinya. Kondisi seperti itu tidak memberikan iklim yang kondusif bagi pendekatan proses, sehingga program-programnya dimunculkan sekedar untuk merespon turunnya BLM dengan sekedar mengikuti persyaratan proyek. Oleh sebab itu yang tampak adalah bagaimana mengikuti prosedur yang sudah ditentukan tanpa memperhatikan substansinya. Pelaporan yang dilakukan juga lebih merupakan pemenuhan pertanggungjawaban administratif dan tidak substantif. Dari hasil wawancara dapat diketahui keluhan baik oleh fasilitator maupun pengelola program bahwa waktu, energi dan pikiran mereka banyak terbuang untuk menyusun laporan administratif yang jenisnya cukup banyak. Walaupun demikian hal itu tetap mereka penuhi, oleh karena merupakan persyaratan trunnya BLM. Sistem administrasi yang tidak kondusif tersebut, juga diperparah oleh adanya rotasi fasilitator yang relatif cepat. Fasilitator yang mulai berhasil menjalin hubungan yang mapan dengan masyarakat segera diganti oleh fasilitator yang baru sehingga harus mulai lagi dengan penyesuaian baru. Padahal, dalam pendekatan proses yang bersifat bottom up dan mengutamakan partisipasi masyarakat perlu dibangun saling percaya antara masyarakat dengan fasilitator. Di samping itu juga dibutuhkan kemampuan empati dari fasilitator dengan kehidupan dan persoalan aktual masyarakatnya. Kesemuanya itu membutuhkan proses, yang dibangun melalui interaksi yang intensif dan kontinyu antara masyarakat dan fasilitator. Di dalam interaksi tersebut terdapat proses saling belajar di antara kedua belah pihak. Dari informasi yang diberikan KMW, rotasi yang cepat ini merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan. Persoalannya dimulai dari banyaknya 142

155 fasilitator yang karena berbagai pertimbangan mengundurkan diri. Dengan demikian posnya tersebut harus segera diisi, dan untuk itu perlu merotasi fasilitator dari daerah lain. Di sisi lain, dilihat dari kapasitas fasilitator baik dari hasil wawancara dengan fasilitator sendiri maupun dengan pengurus UPS, KSM dan relawan, diperoleh kesan bahwa fasilitator sudah mendorong munculnya program yang berkelanjutan. Hanya saja oleh sebagian pengelola program hal itu belum dilihat sebagai pencerahan melainkan dirasakan sebagai instruksi yang harus diikuti. Terlepas dari rentang waktu pelaksanaan PNPM yang masih pendek di kedua kelurahan tersebut, dari hasil diskusi dengan fasilitator belum tampak adanya pemahaman mereka tentang pendekatan yang digunakan dalam melakukan fasilitasi sejalan dengan proses perkembangan kapasitas kelembagaan BKM. Dilihat sebagai suatu proses menuju kemandirian dan institusionalisasi, semestinya pendekatan yang digunakan berbeda dalam tingkat perkembangan kapasitas kelembagaan yang berbeda. Seperti sudah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, dalam program PNPM ini relawan mempunyai kedudukan yang cukup strategis. Bagi masyarakat dengan kelompok warga miskin yang belum terbiasa mengungkapkan aspirasi dan kebutuhannya, relawan dapat berfungsi untuk menjembataninya. Dalam hal ini relawan dapat berfungsi sebagai alat pendengar sekaligus pengeras suara bagi aspirasi dan kepentingan warga miskin. Untuk maksud tersebut dibutuhkan kemauan dan kemampuan guna melakukannya. Kemauan dapat diperoleh apabila pada relawan sudah timbul kesadaran akan fungsinya sebagai relawan yang memperjuangkan kepentingan warga miskin. Di samping itu juga perlu dedikasi sebagai aktivis sosial yang tanpa pamrih. Pada umumnya, relawan yang direkrut dapat dibedakan menjadi dua. Pertama relawan yang sebelumnya sudah merupakan aktivis sosial di berbagai lembaga masyarakat misalnya kader posyandu, kader PKK. Kedua, relawan yang merupakan aktivis sosial baru. Mereka merupakan bagian dari warga masyarakat yang merespon tawaran untuk menjadi relawan pada tahap sosialisasi program. Sebagian dari mereka menyatakan dirinya menjadi relawan karena tertarik pada program dan menyadari posisinya sebagai relawan, sementara sebagian yang lain tertarik karena program PNPM ini dapat memperoleh dana yang dalam ukuran mereka cukup besar. Dari realitas tersebut dapat dikatakan bahwa para relawan belum semua teruji kapasitasnya karena tidak semuanya pernah menjadi aktivis sosial. Selain itu sebagian menjadi relawan bukannya tanpa pamrih. Pada kelompok yang terakhir tersebut banyak di antaranya yang kemudian mengundurkan diri di tengah jalan. Sementara itu kemampuan sebagai relawan yang berfungsi strategis dalam 143

156 menjembatani kepentingan warga miskin dapat diperoleh melalui proses belajar, baik melalui pelatihan maupun pengalamannya sebagai relawan. Dalam hal ini pada umumnya relawan dari Kelurahan Kepel dapat dikatakan memiliki jam terbang yang lebih baik dibanding Panggungrejo. Mengingat fungsinya yang cukup strategis semestinya kemampuan ini perlu selalu diasah. Dalam kenyataannya meningkatkan kemampuan relawan ini belum banyak dilakukan. usaha untuk selalui Pada tingkat desain program, PNPM mencoba menerapkan pendekatan bottom up dan partisipatif. Sementara itu dalam periode waktu yang cukup panjang masyarakat sudah terbiasa bekerja dalam program-program pembangunan yang bersifat top down. Bahkan bersamaan dengan dilaksanakannya program PNPM ini dalam masyarakat yang sama juga masih berlangsung program-program lain yang bersifat top down dan karitatif. Kesemuanya itu akan menjadi hambatan dalam mendorong perubahan orientasi berfikir masyarakat tentang program-program pembangunan khususnya dari pemerintah. Mereka pada umumnya masih memahami proyek pembangunan adalah kucuran dana dari atas. Implikasinya dalam program kegiatan sosial BKM adalah, masyarakat masih beranggapan bahwa berbagai kegiatan yang mereka lakukan tidak lebih merupakan respon atas program dan kucuran dana dari atas. Kesemuanya itu pada gilirannya juga akan mempengaruhi proses perkembangan BKM dengan perangkat pelaksananya seperti UPS dan KSM. Kenyataan tersebut merupakan salah satu hambatan dalam proses menjadi lembaga milik masyarakat yang mengakar dan terinstitusioanlisasi. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, belum tampak indikasi yang kuat bahwa BKM akan menjadi lembaga masyarakat yang merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam identifikasi masalah, perencanaan dan pelaksanaan program secara melembaga. Mekanisme tersebut belum terinstitusionalisasi dalam wadah BKM sesuai namanya sebagai badan keswadayaan masyarakat. Dengan demikian, dilihat dari kondisinya pada saat penelitian ini dilaksanakan belum ada jaminan bahwa mekanisme dan kegiatan yang selama ini berlangsung akan tetap berjalan apabila BLM dihentikan. Sebelum BKM dapat berprogram secara mandiri, harapan keberlanjutan program tersebut dapat ditumpukan kepada KSM yang mengelola dana bergulir. Dengan demikian untuk mendukung harapan tersebut institusionalisasi diharapkan juga terwujud pada tingkat KSM ini. e. Perubahan Rancangan Program 144

157 Memperhatikan usia pelaksanaan PNPM di kedua kelurahan, Kepel yang baru menjalankan program selama dua tahun 2007 dan 2008 dan Penggungrejo yang baru satu tahun anggaran yaitu 2008, memang belum cukup waktu dan informasi untuk melihat adanya perubahan ataupun kecenderungan perubahan yang terjadi. Sebatas data yang tersedia memang tampak adanya perubahan di Kelurahan Kepel berkaitan dengan pilihan program kegiatan sosial yang telah direncanakan dan dilaksanakan. Seperti yang sudah dilaporkan dalam bagian lain, dibandingkan pada tahun pertama kegiatan sosial Kelurahan Kepel tahun kedua sudah lebih mengandung adanya program yang dampaknya berkelanjutan. Kecenderungan yang sama juga tampak dari program-program yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya. Sementara untuk Kelurahan Panggungrejo belum dapat dilihat kecenderungannya oleh karena baru satu tahun melakukan kegiatan. Dari hasil wawancara di lapangan, kecenderungan pilihan program yang dampaknya lebih berkelanjutan tersebut memang terkesan sebagai hal yang direkomendasikan baik oleh faskel maupun korkot. Dengan demikian bukan tidak mungkin hal tersebut juga merupakan bagian dari kebijakan pegelola PNPM pada level yang lebih tinggi. Pada tingkat BKM, UPS, dan relawan maupun masyarakat, pada umumnya sebagian dari mereka sudah mulai menyadari perubahan orientasi tersebut, sementara sebagian yang lain masih lebih memilih program-program yang bersifat bantuan langsung walaupun berdampak jangka pendek. Sementara itu, dalam waktu yang masih berjalan dua tahun ini, belum tampak adanya perkembangan signifikan kapasitas kelembagaan BKM menuju institusi yang melembaga dan mandiri. Hal itu diindikasikan dengan pelaksanaan program-programnya yang masih menggantungkan pada dana BLM. Belum tampak usaha untuk membiayai programnya secara swadaya, menggali potensi dan sumberdaya yang ada dalam masyarakat atau dengan membangun jaringan dengan berbagai stakeholder baik dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Padahal, efektivitas peran program kegiatan sosial oleh BKM sebagai social safety net sangat ditentukan oleh keberlanjutan program ini. Hal itu disebabkan karena masalah kemiskinan belum akan berakhir pada saat berakhirnya kucuran dana BLM serta permasalahan yang dihadapi masyarakat khususnya yang berupa social economic distress dapat terjadi setiap saat, termasuk setelah BLM dihentikan. Dalam peran sebagai social safety net tersebut, khususnya dalam keadaan yang bersifat darurat, kegiatan yang berupa santunan bukannya tidak bermakna. Dengan demikian masa depan BKM tidak sebatas mempersoalkan 145

158 keberlanjutan dampak program, akan tetapi yang lebih esensial adalah keberlanjutan program. 2. Kota Surabaya a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial Dilihat dari pola kegiatan sosial yang dilakukan terlihat bahwa ada kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat karitatif dan juga yang berorientasi pengembangan diri pada kelompok sasaran. Namun demikian sudah ada upaya membuat program-program yang berorientasi pada keberlanjutan. Kegiatan sosial yang ada di Kelurahan Gundih meliputi pemberian beasiswa kepada anak sekolah dari keluarga kurang mampu, Pendidikan Anak Usia Dini (yang telah dilaksanakan di setiap RW), bantuan sembako untuk Lansia, program pelatihan untuk pengembangan ketrampilan dan kewirausahaan dengan memanfaatkan sampah plastik, pelestarian lingkungan dengan pembuatan kompos rumah tangga yang dinamakan Komposter Aerup. Pembuatan kompos dan pengembangan ketrampilan menjahit sampah plastic menjadi kebutuhan rumah angga berupa tas, taplak meja dan kreasi lainnya memerlukan kesadaran serta keterlibatan warga masyarakat secara aktif. Demikian pula kegiatan PAUD sangat dirasakan manfaatnya oleh kelompok sasaran sebagai kebutuhan bagi keluarga, khusunya anaknya, sehingga mereka dengan sadar dan mau memberikan kontribusi agar kegiatan dapat berlanjut dengan membayar sebesar Rp 2.000,- setiap kali datang. Dana sebesar Rp 2.000,- tersebut dialokasikan sebesar Rp 1.000,- untuk membeli makanan yang dikonsumsi oleh anak-anak mereka dan yang Rp 1.000,- untuk operasional kegiatan dan penyediaan bahan, seperti kertas dan peralatan yang diperlukan dalam kegiatan bagi anak-anak. Sementara itu, kegiatan sosial yang dilakukan di Kelurahan Sawunggaling diantaranya meliputi pemberian beasiswa kepada anak-anak sekolah dari keluarga miskin, penyuluhan ibu hamil dan pemberian asupan makanan bergizi bagi anak Balita. Apabila dicermati dari pola kegiatan sosial yang dilakukan di dua kelurahan tersebut nampak bahwa beberapa jenis kegiatan sosial yang ada di Kelurahan Gundih sudah berorientasi pada upaya pemberdayaan masyarakat dan keterlibatan atau peran serta masyarakat secara aktif sangat menonjol, sedangkan Kelurahan Sawunggaling peran serta masyarakat bersifat pasif. b. Prospek Keberlanjutan Tatkala melihat dan mencermati pola kegiatan sosial yang ada di Kelurahan tersebut menunjukkan bahwa kegiatan sosial yang ada di Kelurahan Gundih lebih 146

159 memiliki prospek keberlanjutan dan juga dalam proses kemandirian kegiatan yang dilakukannya dengan keterlibatan warga sasaran secara komunal/kelompok, secara aktif dan penuh kesadaran akan manfaat bagi diri dan keluarganya. Sementara itu, kegiatankegiatan sosial yang dilaksanakan di Kelurahan Sawunggaling lebih banyak yang berorientasi pada level individu/keluarga (nucleus family) dan belum nampak adanya upaya untuk melakukan kegiatan sosial dalam konteks pemberdayaan masyarakat secara kelompok/keseluruhan. Manakala dicermati dari alasan mengapa memilih kegiatan social tersebut lebih pada alasan praktis yang dapat dilakukan oleh BKM. Upaya untuk mengembangkan kegiatan yang keberlajutan atas program yang dipilih tersebut masih belum terlihat. Di Kelurahan Sawunggaling juga tidak terlihat usaha membangun kesadaran masyarakat bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki kemampuan untuk membangun kesadaran dan kapasitas untuk menjawab masalah maupun tantangan yang harus dihadapinya antara lain masalah pendidikan dan kesehatan. Selama ini belum ada informasi yang diperoleh mengenai upaya atas jauh manfaat kegiatan dari pemberian beasiswa bagi peluang dan peningkatan pendidikan anak dari keluarga sasaran. Sementara itu di Kelurahan Gundih masih didapati ada beberapa kegiatan yang bersifat karitatif antara lain: pemberian beasiswa kepada anak yang masih sekolah dari keluarga kurang mampu, bantuan sembako untuk lansia, namun sudah didapati kegiatan sosial yang berorientasi pada penyadaran dan mendorong keterlibatan masyarakat, para warga sasaran maupun warga masyarakat pada umumnya dalam mengupayakan keberlanjutan program dan pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan antara lain: program pelatihan untuk pengembangan ketrampilan dan kewirausahaan, pelestarian lingkungan dengan pembuatan kompos rumah tangga. Kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) diselenggarakan di setiap RW dan saat ini sudah ada 9 RW yang memiliki PAUD. Salah satu RW belum memiliki karena ada rencana pembongkaran wilayah RW tersebut untuk dijadikan lingkungan yang bersih sehingga yang semula ada 10 RW nantinya hanya tinggal 9 RW. Selain itu didapatkan bahwa ada kegiatan PAUD yang berkembang menjadi TK di salah satu RW. Program untuk pelatihan ketrampilan dan pengembangan kewirausahaan warga masyarakat adalah menjahit, mekanik, reparasi HP dan pelatihan komputer. Dari hasil pelatihan tersebut, kegiatan yang berkembang saat ini adalah ketrampilan membuat barang yang terbuat dari sampah plastik bekas sabun atau pewangi yang kemudian dibuat menjadi tas yang bagus, taplak dan produk-produk lain sesuai kreasi warganya. Sementara untuk pelestarian lingkungan dilakukan dengan pembuatan kompos rumah tangga (di Kelurahan Gundih disebut 147

160 komposter Aerup ). Program ini dikembangkan pada tingkat dasa wisma yang dilaksanakan oleh fasilitator dan kader lingkungan. c. Dukungan Program Ada beberapa faktor pendukung keberlanjutan dari kegiatan sosial yang ada, baik di Kelurahan Gundih maupun di Kelurahan Sawunggaling secara internal maupun eksternal. Keikutsertaan warga masyarakat di Kelurahan Gundih dalam berbagai kegiatan sosial yang dipilih dan dilaksanakan selama ini dapat dikatakan cukup bagus, misalnya pada program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). BKM memberikan perhatian dengan membantu dana stimulan untuk pengembangan fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini. Sebelum dana bantuan ini diberikan oleh BKM, sebenarnya sudah ada kegiatan yang menjadi embrio Pendidikan Anak Usia Dini di masing-masing RW. Dengan adanya dorongan dari dana PNPM tersebut maka program Pendidikan Anak Usia Dini menjadi lebih bersemangat bahkan dengan perkembangan yang cukup menggembirakan Dinas Pendidikan Kota Surabaya juga memberikan bantuan. Kegiatan PAUD ini dilaksanakan pada setiap hari Sabtu dan Minggu pukul WIB. Yang menjadi perintis dan promotor kegiatan PAUD ini adalah bu-ibu PKK dan para kader yang ada di tingkat RW. Ibu-ibu PKK dan para kader di tingkat RW yang terlibat dalam kegiatan ini kemudian disebut Bunda dan sebagai pengajarnya. Para Bunda tersebut mendapatkan ketrampilan dalam membimbing anak dari kursus dan pelatihan yang diberikan oleh pejabat di tingkat kecamatan dan kota. Untuk kegiatan PAUD ini juga didapati adanya keikutsertaan atau swadaya masyarakat peserta. Uang pendaftaran untuk menjadi anggota atau peseta dalam PAUD sebesar Rp dan setiap kali dating membayar sebesar Rp 2000 dengan rincian Rp 1000 untuk membeli makanan kecil konsumsi anak dan Rp 1000 untuk peralatan operasional kegiatan. Dalam program lebih lanjut, BKM juga akan mengalokasikan dana untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat fisik guna memperkuat dan melengkapi fasilitas dalam kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini yakni berupa penyediaan alat peraga, permainan dan fasilitas penyimpannya. Kegiatan sosial lain yang cukup berkembang dan dapat dilihat potensi keberlanjutannya karena keterlibatan warga masyarakat menjadi unsure pokoknya adalah pembuatan kompos rumah tangga dan pelatihan ketrampilan pengembangan kerajinan dengan bahan baku sampah. Dua kegiatan sosial ini terkait dengan program kebersihan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kelurahan Gundih dengan motto Gundih Green and clean. Dua kegiatan ini didukung pula oleh gerakan pengolahan sampah 148

161 dengan memilah sampah antara sampah yang dapat diproses menjadi kompos/pupuk (sampah organik) dengan sampah kering (sampah plastik, sampah kertas). Masih ada dua kegiatan di Kelurahan Gundih yang cenderung bersifat karitatif yaitu pemberian beasiswa kepada anak sekolah dari keluarga tidak mampu dan bantuan pada lansia, namun demikian diperoleh informasi bahwa pos dana yang akan digunakan untuk memberikan bantuan selanjutnya diambilkan dari proporsi keuntungan dari kegiatan ekonomi. Proses selanjutnya yang penting dipertimbangkan lebih jauh adalah perlunya transparansi dan akuntabilitas dari setiap kegiatan yang diselenggarakan. BKM perlu mengundang segenap tokoh masyarakat bukan hanya pada saat pemberian bantuan dan penjaringan aspirasi masyarakat dalam proses perencanaan, namun juga setiap tahapan kegiatan yang dilaksanakannya. Potensi keberlanjutan kegiatan-kegiatan sosial yang ada di Kelurahan Sawunggaling tidak begitu terlihat. Kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan lebih bersifat praktis yang dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan BKM. Alasan memilih kegiatan sosial lebih didasari memberikan suplemen atau pelengkap kegiatan yang sudah ada. Kegiatan sosial pemberian beasiswa kepada anak keluarga miskin, penyuluhan ibu hamil dan pemberian asupan bergizi bagi anak Balita menunjukan bahwa tidak terlihat adanya ide-ide baru yang ditawarkan oleh BKM. Tidak terlihat pula usaha membangun kesadaran bahwa masyarakat memiliki kapasitas untuk menjawab tantangan masalah yang dihadapinya baik dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Masalah pendidikan dan kesehatan memiliki kaitan yang kuat dengan kebijakan pemerintah mulai pada tingkat provinsi, kota, kecamatan dan kelurahan. Dalam kegiatan beasiswa juga tidak terlihat ide-ide yang terkait dengan aspek pedagogi atau dalam upaya melalukan pemberdayaan kepada siswa melalui kegiatan pendidikan. Demkian pula tidak didapati adanya evaluasi mengenai manfaat dari kegiatan pemberian beasiswa bagi peningkatan aspirasi pendidikan masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dari masing-masing kegiatan juga belum nampak. d. Hambatan Proses pemetaan swadaya dan potensi yang dimiliki oleh masyarakat di kedua kelurahan tersebut masih lebih didominasi dan diinsiasi oleh pengurus BKM. Partisipasi masyarakat miskin dalam proses pemetaan swadaya tidak Nampak, namun lebih memrupakan kelanjutan dari kegiatan yang sudah ada. Panitia kegiatan sosial seringkali tidak mengambil keputusan dan menentukan kegiatan atas dasar 149

162 musyawarah mufakat dari masyarakat, akan tetapi karena ditunjuk oleh pengurus BKM. Sebagai contoh kegiatan sosial pemberian bantuan kepada lansia dan bantuan beasiswa di Kelurahan Gundih, para penerima dan KSM mengetahui kalau ada kegiatan tersebut setelah diberitahu pengurus BKM. Masyarakat sasaran pun juga tidak tahu kalau bantuan tersebut adalah dana dari BKM/PNPM. Selain itu juga dijumpai kegiatan dikelurahan Sawunggaling bahwa proses perencanaan lebih bersifat normatif atau hanya mengikuti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis seperti tertuang dalam pedoman umum PNPM. Untuk kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat bantuan pendidikan dan kesehatan tersebut seringkali tidak ada tidak dilakukan studi kelayakan terlebih dahulu. Para pimpinan dan pengurus BKM sudah tahu kemana arah kegiatan pemberian beasiswa, penyuluhan ibu hamil, dan pemberian asupan gizi bagi anak balita. Kegiatan sosial yang diputuskan seakan sudah mereka kuasai, karena petunjuk sudah ada, sehingga tidak perlu membebani pikiran untuk melakukan studi kelayakan yang pada akhirnya keputusannya akan sama. Para pimpinan dan pengurus BKM sangat sibuk dengan kegiatan lain. e. Perubahan rancangan program Pada dasarnya perubahan progam yang pernah dilakukan dari pertama dilaksanakan hingga kini belum sepenuhnya berubah secara signifikan. Program PNPM yang ada di dua kelurahan tersebut merupakan lanjutan dari program P2KP yang dilaksanakan sejak tahun Selama ini memang masih banyak program-program yang berorientasi pada karitatif. Disadari bahwa dalam proses pendampingan yang dilakukan oleh Faskel saat ini sudah memulai menekankan tentang arti pentingnya kesadaran dan keterlibatan masyarakat maupun keberlanjutan program yang dipilih dalam kegiatan-kegiatan sosial. Upaya-upaya chanelling program BKM dengan Dinas juga sudah pula dicoba diinisiasi oleh Korkot. Sejauhmana implementasi atas upaya yang dilaksanakan tersebut masih perlu dicermati lebih lanjut. 3. Kota Gorontalo a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial Pola kegiatan sosial dari dua BKM di kedua tempat tersebut cenderung masih bersifat karitatif terutama yang terjadi di Kelurahan Limba B.Kegiatan-kegiatan sosial yang ada di Kelurahan Limba B meliputi Pemberian santunan Lansia, pemberian 150

163 beasiswa pendidikan, bantuan untuk rumah duka, pelatihan ketrampilan salon dan pembelian kursi. Untuk kegiatan sosial pemberian santuan lansia diberikan kepada 30 orang lansia di 5 lingkungan yang ada wilayah Limba B. Untuk pemeratan, maka setiap lingkungan dipilih 6 orang. Wujud dari santunan lansia tersebut meliputi beras 50 kilogram, CIPU/alat shalat, sajadah, gula, terigu, kopi, teh dan susu. Anggaran untuk pembelian bantuan tersebut seharga 500 ribu. Untuk kegiatan pemberian beasiswa diberikan kepada siswa sekolah dari keluarga tidak mampu. Kemudian untuk pemberian bantuan untuk Rukun Duka diwujudkan dalam berupa karpet 10 meter, amplifier, kursi 25 buah, alat dorong/gerobag. BKM membantu 7 unit Rukun Duka karena ada 1 lingkungan yang terdapat dua rukun duka. Kegiatan sosial lain adalah pelatihan Ketrampilan Salon Kecantikan dan Pemberian alat salon kecantikan. Kegiatan tersebut berlangsung pada tahun Sedangkan untuk tahun 2009 ini kegiatan sosial dilakukan dengan pembelian kursi sebanyak 200 buah yang kemudian dikelola oleh salah satu warga yang kebetulan punya usaha deklit untuk disewakan. Sedangkan kegiatan-kegiatan sosial yang terdapat di Kelurahan Lekobalo meliputi pemberian beasiswa kepada anak dari keluarga kurang mampu sebanyak 55 siswa baik dari Sekolah Dasar, SMP dan SMA, program kegiatan rehab rumah bagi keluarga kurang mampu, dan program kegiatan memberikan gizi/makanan tambahan kepada anak Balita dan juga melengkapi fasilitas berupa timbangan, meja dan peralatan lainnya di Posyandu. Untuk kegiatan rehab rumah tangga dari BKM mengeluarkan bantuan Rp 500 ribu untuk setiap rumah. Kegiatan ini dilakukan terkait dengan program pemerintah untuk meningkatkan keindahan dan kesehatan rumah. Pada tahun 2009 ini, BKM mengalokasikan dana untuk pembelian peralatan Pesta yang kemudian disewakan (kegiatan sosial produktif). Satu set peralatan disewakan sebesar Rp Dari hasil persewaan selama kurun waktu tiga bulan terakhir telah diperoleh dana sebesar lebih kurang Rp dan nantinya akan digunakan untuk pemberian bantuan beasiswa. Kegiatan sosial lain adalah pemberian gizi.makanan tambahan kepada anak Balita dan juga melengkapi fasilitas berupa timbangan, meja dan peralatan lainnya. Kegiatan pemberian makanan tambahan ini dilakukan seminggu sekali dan orang tua anak Balita memberikan kontribusi sebesar Rp 500. Dilihat dari inisiator program, terdapat kesamaan di antara kedua lokasi tersebut, dimana peran pengurus BKM maupun elite-elite di lingkungan seperti ketua RT masih tampak dominan. Secara normatif dan prosedural, kegiatan-kegiatan sosial yang terdapat di dua kelurahan tersebut telah dirumuskan melalui forum musyawarah 151

164 akan tetapi peran elite-elite kelurahan tersebut masih dominan. Masyarakat penerima manfaat justru sering tidak mengetahui bagaimana proses kegiatan sosial tersebut muncul. Mereka biasanya mengetahui keberadaan program tersebut setelah mereka mendapatkan bantuan. Bahkan mereka pun tidak mengetahui bahwa program kegiatan sosial tersebut berasal dari program PNPM. Masyarakat tahunya hanya dari pemerintah Kelurahan. b. Prospek keberlanjutan Dari kegiatan-kegiatan sosial di atas jika dilihat dari keterkaitan dengan berbagai kegiatan sosial yang sudah ada sebelumnya, maka baik di Kelurahan Limba B maupun di Lekobalo terdapat kegiatan sosial yang diintegrasikan dengan program yang sudah ada di masyarakat, dan ada pula program yang merupakan kreasi baru. Di Kelurahan Limba B kegiatan sosial yang sudah terintegrasi dengan program-program yang sudah ada adalah kegiatan pemberian bantuan Rukun Duka yang terintegrasi dengan kegiatan Rukun Duka yang sudah berkembang di masing-masing lingkungan. Sedangkan di Kelurahan Limba B, kegiatan sosial yang terintegrasi dengan program yang sudah ada adalah pemberian gizi/makanan tambahan kepada anak Balita dan juga melengkapi fasilitas berupa timbangan, meja dan peralatan lainnya. Kegiatan ini terintegrasi dengan kegiatan Posyandu yang sudah berkembang di masyarakat. Dengan demikian sebagian besar kegiatan sosial yang ada di kelurahan tersebut merupakan kreasi baru meskipun kalau dilihat dari jenis-jenis program yang ada merupakan kegiatan-kegiatan sosial yang sudah sering ada seperti pemberian santunan untuk lansia, pemberian beasiswa sekolah, pelatihan ketrampilan salon kecantikan di Kelurahan Limba B. Sedangkan di Kelurahan Lekobalo adalah kegiatan rehab rumah. Sedangkan dilihat dampak programnya, dari kegiatan-kegiatan sosial di atas dapat dipilah menjadi kegiatan sosial yang bersifat karitatif dan kegiatan sosial yang berkelanjutan. Dalam hal ini hampir semua kegiatan sosial yang ada di kelurahan tersebut cenderung merupakan program yang hanya berorientasi pada karitatif. Ada dua kegiatan sosial yang memiliki orientasi keberlanjutan di Kelurahan Limba B yaitu kegiatan pelatihan ketrampilan salon kecantikan dan pemberian bantuan untuk rukun duka. Kegiatan pemberian bantuan untuk Rumah Duka merupakan kegiatan pemberian bantuan sarana prasarana untuk membantu kelengkapan sarana ketika orang meninggal dunia. Kegiatan yang saat unik adalah kegiatan pembelian kursi yang kemudian disewakan kepada masyarakat. Kursi ini disewakan seharga Rp 1000 dimana 152

165 Rp 500 untuk pengelola (250 transport, 250 upah pegawai) dan Rp 500 untuk kas BKM yang nantinya akan diwujudkan dalam pemberian bantuan sosial bagi warga tidak mampu seperti beasiswa, bantuan Sembako Tetapi kalau untuk orang meninggal gratis seandainya menggunakan 7 hari hanya dihitung 2 hari. Ini merupakan wujud dari kegiatan sosial produktif. Namun demikian, kegiatan sosial yang diharapkan mampu berjalan berkelanjutan yaitu kegiatan pelatihan ketrampilan salon kecantikan tidak dapat berjalan. Kegiatan ini tidak berlanjut padahal dari BKM sudah diinvestasikan dana untuk membeli peralatan salon yang menghabiskan dana sekitar Rp 12 juta. Dari kegiatan-kegiatan sosial yang sifatnya karitatif ternyata ada yang juga berdampak pada keberlanjutan. Sebagai contoh adalah kegiatan sosial pemberian bantuan sembako untuk Lansia. Meskipun merupakan kegiatan yang karitatif ternyata ada salah satu penerima yang kemudian memanfaatkan bantuan tersebut sebagai modal untuk membuka usaha warung. Saat ini Ibu penerima bantuan tersebut telah berhasil membangun warung. Sedangkan penerima bantuan sembako yang lainnya tidak ada yang berlanjut karena langsung habis untuk dikonsumsi. c. Dukungan Masyarakat Dilihat dari potensi yang ada menunjukkan bahwa sebenarnya ada upaya agar program tidak berhenti begitu saja. Upaya tersebut dilakukan dengan mengembangkan program ini menjadi kegiatan sosial produktif meskipun alokasi penggunaan dari kegiatan tersebut masih berorientasi karitatif. Hal ini dikarenakan pemahaman yang keliru tentang apa definisi dari karitatif dan keberlanjutan dari suatu program. Kegiatan persewaan kursi di Limba B dan kegiatan persewaan pesta di Lekobalo menunjukkan hal tersebut. Ide penggunaan dana BKM untuk pembelian kursi dan perlengkapan pesta di dua kelurahan yang kemudian disewakan cukup bagus. Artinya uang tidak habis pakai. Akan tetapi hasil dari pembelian tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai bentuk bantuan sosial yang bersifat karitatif. Hal demikian juga terjadi pada kegiatan sosial di Limba B yaitu pemberian bantuan untuk Rumah Duka berupa peralatan-peralatan yang terkait dengan pengurusan jenazah. Bantuan tersebut kemudian dikelola oleh masing-masing lingkungan dan ternyata berkembang. Di salah satu lingkungan yang mendapatkan bantuan peralatan rumah duka misalnya. Dulu hanya memiliki 25 kursi dari hasil bantuan PNPM akan tetapi sekarang sudah berkembang menjadi 65 buah. Anggota rukun duka membayar setiap bulan Rp 500. Kalau ada yang meninggal biaya gratis. Ini menunjukkan sebenarnya tingkat kesadaran 153

166 masyarakat dan swadaya mereka cukup tinggi untuk menjaga keberlanjutan program PNPM ini. Kondisi demikian tentunya menjadi faktor pendukung yang dapat dioptimalkan untuk mendukung keberlanjutan program. Gambar V.9. Perlengkapan Peralatan Pesta Hasil Bantuan PNPM Di Limba B Gorontalo Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 d. Hambatan Hambatan yang muncul adalah dalam proses pemetaan swadaya di kedua lokasi tersebut masih terlihat dominasi dari pengurus BKM. Bahkan beberapa pengurus BKM juga merangkap sebagai ketua RW dan ada juga yang anggota LPMD. Ini tentunya akan menimbulkan kebijakan yang bersifat elitis. Dalam kepengurusan BKM pun yang aktif cuma beberapa pengurus BKM saja. Ini tentunya menyulitkan proses pengembangan kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh BKM. Partisipasi masyarakat miskin dalam proses pemetaan swadaya tidak ada. Mereka tahunya ketika undangan dari pengurus 154

167 BKM untuk menerima bantuan. Masyarakat pun cenderung kurang memahami arti keberlanjutan sebuah kegiatan sosial. Artinya yang mereka harapkan adalah bantuanbantuan sejenis seperti bantuan lansia, bantuan beasiswa. PJOK seringkali hanya menunggu laporan dari BKM saja. Mereka jarang memantau terjun langsung ke lapangan. Program-program chanelling dengan Dinas belum juga terlihat. Seringkali program-program dari dinas berjalan sendiri dan tidak terkait dengan kegiatan BKM seperti program Keluarga Bina Harapan, Program Bantuan pendidikan. e. Perubahan rancangan program Belum ada rancangan program dalam pelaksanaan kegiatan sosial di daerah tersebut. Perubahan pola P2KP menjadi program PNPM memberikan semangat sendiri bagi pengurus BKM. Pada saat P2KP menurut mereka terlalu banyak prosedur dan langkah yang harus dilakukan sementara dana tidak turun-turun sehingga pada saat itu mereka menyebut P2 Capek. Sedangkan untuk PNPM dianggap tidak melalui prosedur yang rumit. Untuk perubahan rancangan program dalam kegiatan sosial ini, Faskel selalu menekankan tentang kegiatan-kegiatan sosial yang berkelanjutan meskipun dalam kenyataannnya hal tersebut sulit dilaksanakan. 4. Kota Makassar a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial Kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh BKM Rappokalling meliputi bantuan bagi lanjut usia, bantuan pemugaran rumah dan bea siswa. Ketiga kegiatan tersebut dilaksanakan pada tahun Pada tahun 2007 tidak melaksanakan kegiatan sosial. Alasan yang disampaikan oleh BKM dan UPS adalah pada tahun itu belum ada pencairan dana untuk termin yang berjalan. Pada tahun 2008 program kegiatan sosial diisi dengan bantuan meja kursi untuk pos pelayanan terpadu (Posyandu). Dalam perkembangannya kemudian kegiatan pemberian sarana bagi posyandu tersebut tidak diklasifikasikan sebagai kegiatan sosial melainkan dianggap lebih sesuai sebagai program infastruktur. Dengan demikain pada tahun 2008 program kegiatan sosial juga dapat dianggap kososng. Pada tahun 2009, program kegiatan sosial dilaksanakan dalam bentuk kursus komputer untuk para pemuda khususnya yang sudah tamat SMA dan tidak melanjutkan di samping belum mendapatkan pekerjaan. Program tersebut saat ini sedang berlangsung. Program beasiswa diberikan hanya sekali dalam bentuk uang tunai sebesar Rp ,- kepada 155

168 setiap siswa sebanyak 108 siswa. Bantuan pemugaran perumahan diberikan kepada 22 rumah keluarga miskin masing masing senilai Rp ,-. Sementara bantuan lanjut usia diberikan kepada 10 orang masing masing sebesar Rp ,. Bantuan untuk kursus komputer tidak diberikan kepada peserta kursus sebagai penerima manfaat, melainkan dibayarkan langsung oleh BKM kepada lembaga penyelenggara kursus. Jumlah peserta kursus 40 orang dan paket kursus sebanyak 30 kali pertemuan. Dalam program ini beaya kursus sepenuhnya ditanggung BKM, sementara beaya transportasi ditanggung peserta. Kegiatan Sosial di BKM Mitra Masyarakat Kelurahan Bungaejaya, Kecamatan Bontoala, Kota Makassar sebagian besar di inisiasi oleh pengurus BKM dan Fasilitator. Pada tahun 2004 kegiatan sosial di kelurahan ini lumayan banyak, mulai dari beasiswa sebesar Rp /anak untuk SD dan SMP, santunan untuk orang jompo dan cacat sebesar Rp /anak dan TPA (taman pengajian al Quran), memberi santunan guru mengaji Rp /guru ngaji. Santunan berupa uang ketiga kegiatan itu diberikan hanya satu kali dalam kurun waktu proyek. Kemudian dihentikan sejak tahun Kegiatan sosial tersebut dihentikan karena dinilai oleh proyek hanya bersifat charity. Memasuki tahun , kegiatan sosial berganti menjadi kegiatan kursus komputer dengan materi internet dan instalasi software dan hardware bekerjasama dengan SMKN 4 yang lokasinya masih diwilayah kelurahan Bungaejaya. Kursus dilakukan selama 2 bulan 2 kali seminggu. Pada tahun 2008 kegiatan sosial berlanjut dengan kursus serupa plus perakitan komputer masih bekerjasama dengan SMKN 4, kursus ini dilakukan 2 bulan 2 kali, lama kursus 2 jam, dan kursus menjahit bekerjasama dengan LPK setempat. Kursus dilakukan selama 3 bulan, 3 kali seminggu, rata-rata lama kursus selama 2 jam. Dengan alasan keterlambatan termin pencairan dana, kegiatan social kursus menjahit ini baru saja berakhir tanggal 23 juni Adapun biaya kursus untuk komputer dan perakitannya biaya yang dikeluarkan Rp /anak sebanyak 42 peserta.sedangkan kursus menjahit sebesar /orang diikuti oleh 12 orang.keseimbangan antara lakilaki dan perempuan cukup bagus, namun keterwakilan keluarga miskin masih diragukan. Kriteria pemilihan kegiatan oleh pengurus masih merujuk pada contoh yang diberikan faskel dan buku pedoman program, misalnya salah satu contoh kegiatan sosial adalah memberikan beasiswa dan santunan yang kemudian dinilai charity oleh proyek.kegiatan tersebut telah diputus sejak tahun Namun, proses pemilihan peserta kegiatan sosial tahun 2004 sampai 2006 juga masih didominasi pengurus BKM sentris, ketika penerima manfaat ditanya bagaimana proses seleksinya semua penerima manfaat 156

169 merujuk pada kenalan pengurus BKM khususnya ketua BKM. Tidak ada mekanisme seleksi yang jelas. Semua mendaftar ke pengurus, Bahkan beberapa peserta kegiatan sosial masih anggota keluarga dan kenalan dekat Pengurus BKM. Yang menarik adalah pemetaan sosial yang dilakukan oleh faskel di awal penerjunan faskel ternyata tidak mendapat respon yang bagus dari manajemen proyek, data tersebut hanya dijadikan dokumen laporan. Kondisi tersebut diperparah ketika setiap siklus baru masyarakat mengulang memetakan kembali kondisi sosialnya, bahkan mereka sudah tidak ingat lagi siapa masyarakat miskin yang pernah mereka petakan. Bahkan Tim pemetaan swadaya sudah tidak ingat siapa yang dibantu saat itu, ini terlihat pada saat dilakukan FGD mereka kembali menayakan apa tugas utama pemetaan swadaya. b. Prospek Keberlanjutan Ketiga program yang dilaksanakan pada tahun 2006 dan juga kegiatan tahun 2008 di Kelurahaan Rappokaling yang kemudian dimasukkan sebagai program infrastruksur kesemuanya merupakan bentuk bantuan sekali habis dan tidak memiliki dampak pada peningkatan kapasitas penerima bantuan maupun efek bergulir. Dengan demikian dilihat dari dampak programnya, kegiatan ini dapat dikatakan tidak berkelanjutan. Hal yang sama juga terjadi dilihat dari keberlanjutan programnya, oleh karena kegiatan tersebut hanya diprogramkan pada tahun 2006 dan tidak dilanjutkan pada tahun tahun berikutnya baik atas dana dari BKM maupun dari lembaga lain. Sementara itu walaupun saat ini masih sedang berjalan, dampak program kursus komputer diharapkan lebih berkelanjutan. Hal tersebut berdasarkan perhitungan bahwa setelah mengikuti kursus, maka dengan ketrampilan yang diperoleh dapat digunakan untuk bekal kerja dan memperoleh penghasilan. Sebagian dari peserta kursus berencana untuk membentuk kelompok usaha rental komputer dengan modal pinjaman dari BKM setelah selesai kursus. Dilihat dari keberlanjutan program, kegiatan kursus ketrampilan ini direncanakan akan dilaksanakan pada tahun tahun berikutnya dengan alokasi dana kegiatan sosial BKM. Sudah tentu dengan jenis kursus ketrampilan yang lain. Jenis kursus yang sudah diinventarisasi untuk dilaksanakan di tahun tahun berikutnya adalah ketrampilan jahit, montir, daur ulang. Oleh sebab itu program kegiatan kursus ketrampilan ini mempunyai prospek berkelanjutan. Untuk Kelurahan Bunga Ejaya, di tahun Kegiatan sosial kursus komputer dan kursus menjahit jika dilihat dari kebutuhan masyarakat memang diperlukan, 157

170 mengingat banyaknya masyarakat putus sekolah dan pengangguran di kelurahan Bungaejaya, namun dari sisi keterwakilan masyarakat miskin terkesan masih jauh dari harapan. Sebagai contoh: ketika masyarakat kelurahan bungaejaya banyak yang putus sekolah dan pengangguran justru peserta yang mengikuti kursus adalah mereka yang mahasiswa dan lulus sarjana. Meskipun kursus komputer tersebut dibutuhkan namun untuk sebagain besar masyarakat Bungaejaya masih belum dibutuhkan. Artinya, kegiatan sosial kursus komputer hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat kelurahan tersebut.kesan mendalam keberlanjutan dari kegiatan kursus komputer tersebut belum terlihat.kegiatan tersebut hanya memfasilitasi kebutuhan sekelompok masyarakat, dan bersifat satu arah.kondisi ini tentu saja tidak menjamin keberlanjutan yang signifikan untuk menyelesaikan persoalan sosial yang muncul. Tidak jauh berbeda dengan kursus komputer, kursus menjahit juga memperlihatkan tendensi serupa.kursus menjahit yang cukup memakan biaya besar ternyata efeknya sangat kecil.hal ini terbukti masih belum bisa mendorong sifat kewirausahaan.sebagian besar peserta adalah ibu-ibu rumah tangga yang tergolong kecukupan karena dari 12 peserta hanya 5 orang diantaranya mempunyai mesin jahit.artinya : yang mengikuti kursus menjahit adalah bukan mereka yang belum bisa menjahit. Namun justru mereka sudah bisa menjahit, namun kurang professional (tidak memakai hitungan).bahkan ada peserta yang orang tuanya sudah menjadi penjahit.biaya kursus gratis sebesar Rp tersebut memang sangat mengiurkan mengingat di luar kursus menjahit sangat mahal. Meskipun keberadaan tempat kursus tersebut masih di kelurahan yang sama. Dari sisi keberlanjutan kegiatan tersebut masih diragukan.bahkan ada kecenderungan kegiatan social hanya ditempelkan saja, mereka tidak berpikir keberlanjutan pasca kursus.apakah mereka bisa melanjutkan pengetahuan yang mereka dapat, khususnya untuk mereka yang tidak mempunyai mesin jahit. c. Dukungan Program Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, faktor dukungan penting bagi keberlanjutan program BKM di Kelurahan Rappokaling, khususnya program kegiatan sosial adalah keberadaan relawan yang sebagian di antara mereka juga menjadi anggota KSM yang melaksanakan kjegiatan sosial. Mereka pada umumnya adalah pegiat sosial yang sudah aktif dalam berbagai kegiatan sosial di Rakoppalling sejak sebelum BKM berdiri. Sebagian besar di antara mereka adalah kader posyandu dan 158

171 aktivis gerakan PKK. Nilai strategis mereka dalam pelaksanaan program kegiatan sosial ini adalah dedikasinya yang tinggi sebagai relawan. Di samping itu mereka relatif dekat dengan masyarakat kelompok sasaran, sehingga dapat dikatakan merupakan ujung tombak program serta dapat berfungsi sebagai mediator antara BKM/UPS dengan masyarakat sasaran. Dari mereka aspirasi dan permasalahan warga masyarakat terutama lapisan miskin dapat teridentifikasi, mengingat warga masyarakat miskin di Rappakalling pada umumnya lebih merupakan silent mass yang tidak terbiasa menyampaikan aspirasinya secara langsung. Para relawan yang juga anggota KSM tersebut tidak hanya berasal dari RW di kawasan kumuh yang mayoritas penduduknya miskin, akan tetapi tidak sedikit yang berasal dari kawasan seberang jalan. Mereka juga banyak terlibat dalam pelaksanaan program kegiatan sosial yang sebagian besar berlokasi di kawasan kumuh. Hal lain yang juga memberikan iklim yang lebih kondusif bagi pelaksanaan kegiatan sosial adalah bahwa warga masyarakat di seberang jalan tampaknya juga dapat memaklumi dan dapat menerima bahwa program tersebut sebagaian besar tidak ditujukan kepada penerima manfaat dari kawasan mereka. Faktor pendukung lain adalah adanya hubungan yang baik atau minimal tidak terjadi friksi dengan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat(LPM). Walaupun belum ditemukan program-program yang sinergis apalagi terintegrasi di antara keduanya, akan tetapi sudah ada saling pengertian untuk menjaga agar tidak terjadi duplikasi program. Program yang sudah ditangani BKM tidak ditangani LPM dan sebaliknya.. Salah satu indikasi hubungan baik tersebut ditandai dengan keberadaan kantor BKM yang menempati bangunan milik LPM. Salah satu faktor yang menyebabkan terjalinnya komunikasi di antara dua lembaga yang di tempat lain tidak jarang terlibat ketegangan ini adalah, karena beberapa pengurus LPM juga menjadi anggota BKM.Walaupun masih tergolong jarang, dari penelitian ini ditemukan adanya lembaga dari luar BKM yang programnya dapat dinilai ikut mendukung kegitan BKM. Direktorat Jendral Cipta Karya mempunyai program untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah(MBR) dalam bentuk program pemugaran rumah. Di Kelurahan Rappakalling program ini mengalokasikan dana sebesar Rp ,- untuk bantuan pemugaran rumah dengan sistem pinjaman lunak. Setiap keluarga penerima manfaat mendapat pinjaman sebesar Rp ,- yang diangsur melalui BKM. Oleh sebab itu dengan adanya program ini BKM dapat melanjutkan program bantuan perumahan walaupun tidak didanai oleh BKM sendiri. Sayangnya, oleh karena program ini merupakan pinjamam yang harus diangsur pengembaliannya, maka tidak dapat 159

172 menjangkau lapisan paling miskin, oleh karena mereka dianggap tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Di Kelurahan Bungaejaya, masyarakat Kelurahan Bungaejaya sebenarnya sangat diuntungkan dengan lokasinya yang dekat dengan wilayah perekonomian dan industri di Makassar.Hal ini terlihat bahwa sebagaian besar masyarakat mata pencahariannya adalah wirausaha (perdagangan dll). Dalam rangka mendorong kegiatan sosial kursus komputer dan kursus menjahit mereka sangat sadar potensi bahwa disekitar mereka ada lembaga kompeten yang dapat memberikan kursus. Terkait dengan kegiatan sosial tersebut, dukungan eksternal terlihat ketika SMKN 4 makassar memberikan respon dalam memberikan pelatihan dengan potongan harga. Begitu juga untuk LPK tempat kursus menjahit, mereka sangat membantu menyelenggarakan kursus menjahit. Dukungan internal, sebagian pengurus BKM adalah adalah aktivis masyarakat, sebagian besar mereka adalah mantan ketua RT dan RW, yang juga tokoh masyarakat sehingga untuk melakukan negosiasi dengan lembaga-lembaga eksternal cukup mudah. Dengan pengalaman berorganisasi di tingkat RT dan RW tersebut mereka mampu menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan hasil wawancara, terlihat ada keseriusan pengurus BKM untuk melakukan kegiatan sosial. Faktor pendukung lain adalah adanya hubungan yang baik dengan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat(LPM). Bahkan BKM berkantor satu atap dengan LPM.Meskipun belum ditemukan program yang sinergis apalagi terintegrasi, akan tetapi sudah ada saling pengertian untuk menjaga agar tidak terjadi program sosial dengan pendanaan ganda. d. Hambatan Program yang baik adalah program yang dapat memecahkan persoalan dan memenuhi kebutuhan dari kelompok sasaran. Oleh sebab itu penentuan jenis program secara normatif seharusnya merupakan perwujudan dari hasil identifikasi kebutuhan masyarakat calon penerima manfaat. Kendalanya adalah, bahwa masyarakat khususnya lapisan miskin tidak terbiasa mengungkapkan kebutuhan dan persoalan yang dirasakan. Oleh sebab itu, di Kelurahan Rappokaling dalam hal ini para relawan dan ketua RT yang befungsi sebagai mediator. Oleh sebab itu apakah aspirasi, kebutuhan dan persoalan lapisan miskin teridentifikasi dan menjadi referensi penentuan program sangat tergantung bagaimana relawan memposisiskan diri. Apabila para relawan mau dan mampu memposisikan diri sebagai alat pendengar sekaligus pengeras suara bagi aspirasi 160

173 lapisan miskin, maka aspirasi lapisan ini akan teridentifikasi dan menjadi rujukan penyusunan program. Sebaliknya apabila tidak, maka dapat menyebabkan program yang dibuat menjadi cenderung bersifat elitis. Sampai saat ini para relawan di Rappokalling masih memiliki dedikasi dan etikad untuk berusaha berempati dengan lapisan miskin. Walaupun demikian dalam jangka panjang persoalan ini perlu dilakukan antisipasi. BKM memililiki beberapa anggota yang dalam menjalankan tugasnya dikoordinasikan oleh seorang koordinator. Dari hasil pengamatan di lapangan, tidak semua anggota aktif. Di Kelurahan Rappokalling indikasi ini setidaknya tampak dalam beberapa acara yang diagendakan dengan BKM, baik wawancara maupun FGD. Dalam kesempatan tersebut memang sebagian besar anggota hadir. Walaupun demikian dari wawancara dan diskusi dalam FGD tampak hanya sebagian yang menguasai persolaan dan informasi yang dibutuhkan. Sebagian yang lain agaknya masih lebih berfungsi untuk memenuhi persyarakat formal jumlah keanggotaan BKM. Persoalan lain adalah bahwa pada era kepengurusan lama BKM Rappokalling pernah menghadapi masalah yang nyaris menimbulkan konflik di sekitar transparansi. Masalah ini yang kemudian menjadi penyebab pergantian koordinator yang pertama. Kegiatan sosial yang dilaksanakan BKM memang telah memanfaatkan institusi yang sudah ada dan melembaga seperti PKK dan Posyandu. Walaupun demikian kegiatan institusi ini sejak awal memang didominasi oleh kaum perempuan. Hal ini kemudian juga tercermin dari program-program kegiatan sosial BKM yang lebih banyak melibatkan lapisan ini. Dalam perkembangan berikutnya semestinya BKM juga dapat memanfaatkan potensi institusi sosial yang lain terutama yang memungkinkan melibatkan warga masyarakat laki laki dan program-program yang lebih bervariasi. Dalam kenyataannya terdapat berbagai instansi khususnya dari dinas pemerintah yang melakukan program yang sejenis dengan program sosial BKM sampai ke masyarakat. Sebagai ilustrasi adalah program dari dinas sosial untuk lanjut usia dan program peningkatan ketrampilan. Walaupun demikian dalam pelaksaannya program ini sejak identifikasi masalah dan identifikasi kelompok sasaran sampai pelaksanaannya dikelola sendiri oleh dinas yang bersangkutan. Jangankan sinergi dan integrasi, koordinasi juga tidak dilakukan. Dampak negatifnya adalah terdapat warga masyarakat yang menerima manfaat dari BKM dan dari dinas sosial, sementara ada warga lain yang tidak menerima dari keduanya walaupunkodisinya sama sama miskin. Kelihatannya networking atau channeling masih belum tertangani secara optimal. Bagi program dari dinas pemerintah yang berusaha bersinergi dan diintegrasikan dengan program BKM baru program dari Departemen PU khususnya Ditjen 161

174 Cipta Karya. Hal ini disebabkan karena sejak dari fasilitator, BKM, pemerintah kelurahan, sampai KMW belum secara optimal berusaha membangun networking dengan berbagai stakeholder. Dari hasil wawancara pula terlihat bahwa hubungan BKM di Kelurahan Bungaejaya dengan pak lurah masih belum menemukan titik temu, ketika pak lurah menghendaki program BKM hendaknya in line dengan program pemerintah Kota. Meskipun hubungaan personal tidak bermasalah, namun dalam keseharian berorganisasi terlihat ada sekat.hal ini dibuktikan dengan tingkat kordinasi yang kurang antara kelurahan, PJOK dan lembaga-pemerintah daerah.ketidakharmonisan hubungan dengan struktur pemerintah terlihat ketika tidak adanya laporan secara rutin dilakukan BKM kepada PJOK.Ada kesalahpahaman memaknai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing dalam proyek ini.misalnya : BKM merasa tidak perlu melaporkan karena mereka mempunyai otoritas penentuan program sendiri, sebaliknya PJOK merasa harus dilayani dan dikabulkan permintaannya. Hasil wawancara juga terlihat bahwa belum pernah pengurus BKM menginjakkan kakiknya ke kantor kecamatan, pemberitahuan kegiatan selama ini hanya melalui orang suruhan BKM. Persoalan tidak dihargai ini muncul ketika PJOK juga tidak pernah mengikuti rapat BKM dengan alasan rumah jauh. Meskipun menurut kasak kusuk pengurus BKM, PJOK tidak datang karena persoalan uang transport yang kecil. Setali tiga uang, aparat kelurahan juga mempunyai masalah yang sama, mereka tidak pernah datang ke rapat BKM karena merasa tidak dihargai (lebih karena ide-ide pak lurah tidak tersalurkan). Oleh sebab itu, kegiatan sosial di kelurahan Bungaejaya semua informasi berkaitan dengan pengurus BKM. Jika dilihat dari kondisi fisik kantor BKM juga dapat dilihat bahwa informasi yang tertempel dinding berkisar tahun 2006 yang lalu artinya, tidak ada aktifitas rutin di kantor tersebut, bahwa kondisi kantor sangat berdebu, sehingga mudah ditebak jika kegiatan harian tidak terjadi. Kondisi ini menegaskan bahwa proses pertemuan wargapun terlihat seporadik (sebatas diperlukan). Dengan demikian, bisa jadi subyektiftifitas program lebih dominan dari pada obyektifitas program. Faktor penghambat lainya adalah, keaktifan faskel selama dilapangan dinilai kecil dan frekuensi pergantian faskel sempat mengecewakan pengurus BKM, mengakibatkan terputusnya ide-ide kegiatan. Yang menarik ada dominasi faskel pertama, bahkan setelah berganti-ganti faskel mereka masih berhubingan dengan faskel pertama, bahkan mereka sangat memuja faskel pertama saat itu dan saat ini telah menjadi Senior faskel. Bahkan mereka tidak mau melepas senior faskel tersebut karena dinilai membantu 162

175 kegiatan di BKM bunga ejaya.dalam FGD Faskel dan wawancara dengan korkot terlihat bahwa Faskel tersebut cukup dominan mempengaruhi keputusan BKM.Pada skala kordinasi manajemen dengan askot dan korkot mereka lebih terkesan solid.di satu sisi hal ini bisa dianggap positif karena hubungan BKM, faskel, askot dan korkot harmonis. Namun, sisi yang lain muncul ketika ketergantungan BKM terhadap faskel sangat tinggi. e. Perubahan Rancangan Program Program PNPM yang ada di dua kelurahan tersebut merupakan lanjutan dari program P2KP yang dilaksanakan sejak tahun Dari paparan di atas terlihat bahwa masih banyak program-program yang berorientasi pada karitatif. Dalam proses pendampingannya Faskel saat ini sudah memulai menekankan tentang arti pentingnya keberlanjutan program dalam kegiatan-kegiatan sosial. 5. Kota Bengkulu a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial Pola kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh BKM Panorama, Gading Cempaka Bengkulu lebih bersifat karitatif. Di Kelurahan ini terdapat 21 KSM kegiatan sosial dengan perincian 15 KSM dengan kegiatan persewaan tenda, kursi dan soundsystem, 3 KSM dengan kegiatan persewaan tenda dan wireless, 1 KSM dengan persewaan kursi sejumlah 150 buah, 1 KSM usaha rental/pengetikan komputer dan 1 KSM berupa biaya kursus komputer gratis untuk 50 orang. Untuk hasil dari persewaan tenda, kursi dan soundsystem tersebut direncanakan akan digunakan untuk memberikan santunan kepada warga masyarakat miskin. Pengelolaan persewaan tenda, kursi dan soundsystem tersebut saat ini dikelola oleh masing-masing KSM yang berada dalam lingkup Rukun Tetangga. Dari hasil pengelolaan persewaan tersebut ternyata belum mampu mencapai tujuan yang diinginkan yaitu hasilnya untuk memberikan santunan kepada yang membutuhkan, karena informasi yang didapatkan menggambarkan bahwa hasil persewaan tersebut masih lebih banyak digunakan untuk biaya operasional saja dan social yang tidak memungut beaya seperti untuk warga yang mendapatkan musibah kematian keluarganya. 163

176 Besarnya pemasukan dari sewa tenda rata-rata 350 ribu per unit, dan sewa kursi 500 rupiah/buah. Jumlah beaya yang digunakan untuk operasional kursi 200 rupiah per buah dan biaya transport 200 ribu (kalau dalam satu kelurahan) dan kalau di luar kelurahan bisa mencapai 300 ribu. Biaya sewa tersebut ditarik bila diperuntukkan keperluan hajatan pernikahan atau hajatan yang sifatnya senang-senang, akan tetapi untuk orang meninggal tidak diberlakukan harga sewa, sehingga selama ini pemasukkan belum mampu memberikan sisa hasil usaha yang dapat digunakan untuk memberikan bantuan bagi warga yang memerlukan sebagaimana kegiatan social yang diputuskan. Sedangkan kegiatan sosial yang berupa pelatihan/kursus ketramilan computer diperuntukkan bagi warga masyarakat yang tidak mampu melanjutkan sekolah terutama lulusan SMP dan SMA yang berasal dari keluarga miskin. Materi kursus meliputi Microsoft word, excel dan power point. Sedangkan kegiatan sosial rental komputer, sebenarnya merupakan upaya tindak lanjut dari kegiatan pelatihan kursus komputer. Komputer yang digunakan untuk rental merupakan komputer yang sebelumnya dipakai untuk pelatihan kursus computer gratis sebanyak 5 buah. Selain melayani jasa untuk pengetikan, rental yang didirikan oleh BKM ini juga melayani jasa lain seperti cetak undangan, cetak kartu nama. Mereka yang bekerja di rental komputer (ada 3 orang) adalah lulusan dari pelatihan ketrampilan komputer yang diselenggarakan oleh BKM. Hasil dari rental ini nantinya juga akan digunakan untuk santunan bagi warga miskin di BKM Panorama, Gading Cempaka. Sementara itu, upaya untuk menentukan atau memilih jenis kegiatan yang dilakukan di Kelurahan Pasar Melintang dilaksanakan secara musyawarah bersama dengan warga masyarakat, selain menerima masukan dari berbagai fihak maupun tokoh masyarakat. Tidak banyak kegiatan yang dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh BKM/KSM di Kelurahan Pasar Melintang, kecamatan Teluk Segara, namun pada prinsipnya mengikuti pedoman yang diatur dari P2KP/PNPM diantaranya pembangunan fasilitas lingkungan fisik berupa pengerasan jalan, pembuatan saluran air/siring, kegiatan keuangan dengan pengembangan dana bergulir yang dirintis oleh 8 kelompok dan pemberian bantuan kepada orang jompo dan beasiswa anak keluarga kurang mampu. Jumlah warga sararan adalah: 1) Pemberian bantuan kepada orang jompo dan beasiswa kepada anak keluarga kurang mampu sebanyak 60 orang, dengan jumlah dana sebesar Rp ,- /orang. Pos dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan ini diperoleh dari upaya menginvestasikan dana sebesar Rp ,00 kepada 4 pengusaha yang 164

177 merupakan warga setempat sehingga masing-masing menerima Rp ,- dan ada 1 yang menerima Rp ,- Dari proposal yang diajukan oleh BKM, masing-masing pengusaha memberikan Infaq sebesar Rp ,00 dan 1 pengusaha memberikan infaq Rp ,- setiap bulan selama 2 tahun. Kesepakatan tersebut dikuatkan dengan akte notaris setelah melalui proses tender. Keberlanjutan program pemberian bantuan pada warga lanjut usia dan beasiswa diberikan setiap 3 bulan, karena dana yang terkumpul selama waktu tersebut baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sebanyak 60 orang. Dari perjanjian yang dilaksanakan selama 2 tahun tersebut keberlanjutan dalam memberikan bantuan dapat dipastikan terjamin. 2) Program kegiatan memberikan bantuan berupa atap rumah (seng) untuk memperbaikin atap rumah yang sudah bocor/rusak bagi keluarga yang kurang mampu. Jumlah barang/seng yang diberikan masih sangat minimal dan terbatas. Jumlah seng yang diberikan juga tidak sama disesuaikan dengan kondisi rumah warga sasaran yang didasarkan pada penilaian dari ketua RT setempat. b. Potensi Keberlanjutan Dua kegiatan sosial yang diselenggarakan di Kelurahan Panorama yaitu persewaan tenda/kursi dan rental komputer menunjukkan adanya kesalahan pemahaman mengenai apa itu konsep kegiatan sosial yang berkelanjutan. Dari hasil penelusuran di lapangan menunjukkan bahwa bagi mereka yang dimaksudkan dengan kegiatan sosial berkelanjutan dimaknai sebagai kegiatan sosial yang sekedar tidak habis sekali pakai tanpa pernah memikirikan bagaimana kegiatan sosial tersebut bermanfaat bagi pengembangan modal sosial dan jaringan sosial yang ada dalam masyarakat. Hasil persewaan tersebut orientasinya ternyata juga hanya sekedar untuk santunan sosial. Sedangkan untuk kegiatan sosial pelatihan komputer gratis sebenarnya ada unsur investasi pendidikan akan tetapi juga kurang ada prospek keberlanjutannya karena hanya dilakukan sekali dan kurang dipikirkan bagaimana kemanfaatan dan kelanjutan setelah mereka kursus. Kursus hanya berhenti ketika materi pelajaran sudah selesai dan pemberian sertifikat. 165

178 Gambar V.10. Peserta Kursus Komputer Mendapatkan Sertifikat Kursus Di Panorama, Bengkulu Sumber : Data Lapangan Tim Kajian Kegiatan Sosial, 2009 Sementara itu di keluahan Pasar Melintang, kegiatan yang dilakukan adalah berupa pemberian beasiswa dan bantuan pada lansia warga yang sudah jompo ini terkait dengan kondisi warga yang memang sangat memerlukan bantuan dan peluang kerja yang sangat terbatas bagi mereka. Pos yang dialokasikan oleh para Pengelola BKM berasal dari sumber dana yang diinvestasikan kepada para pengusaha setempat dengan memberikan infaq. Kegiatan berikutnya berupa pemberian bantuan berupa atap rumah tempat tinggal warga jompo dan kurang mampu dan memang sangat sederhana dan dapat dikatakan tidak memenuhi standar, dimana seng/atapnya sudah mulai bocor. Penilaian dan pemilihannya dilakukan oleh ketua RT, sehingga dengan bangga ketua RT menyatakan bahwa pengalokasian dan pemilihan warga sasaran untuk diberi bantuan tidak perlu diragukan karena benar-benar sesuai dan tepat sasaran. 166

179 c. Dukungan Program Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di Kelurahan Panorama, ada beberapa faktor dukungan program ini dimana sebenarnya sudah ada upaya BKM untuk melakukan transparansi kegiatan sosial. Laporan kegiatan BKM ditempel di beberapa titik (ada lima titik) dan dilaporkan 4 bulan sekali. Selain itu sebenarnya BKM memiliki kemampuan untuk menggerakkan masyarakat karena saat ini banyak ketua KSM yang merupakan ketua RT sehingga memudahkan untuk koordinasi. Masyarakat Panorama sebenarnya adalah masyarakat yang lebih bebas, demokratis dan lepas dari ikatan patron client dan ini merupakan untuk keberlanjutan programprogram dalam masyarakat. Dari hasil dialog dalam FGD dengan pengurus BKM kelurahan Pasar Melintang diperoleh informasi bahwa pilihan kegiatan ini didasarkan pada kesepakatan para tokoh masyarakat dalam musyawarah BKM. BKM menilai perlunya pemenuhan kebutuhan warga yang kurang mampu. Para warga lansia dan keluarga kurang mampu yang menjadi sasaran program tersebut adalah mereka yang hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, itupun dalam level yang minimal. Program ini dipilih dengan mempertimbangkan kondisi tersebut. Dari hasil kesepakatan para tokoh masyarakat dan pengurus BKM di kelurahan Pasar Melintang ini memilih program dengan pertimbangan kondisi atap yang dapat dilihat dari luar. Bantuan perbaikan atap rumah ini hanya sekedar untuk memperbaiki atap yang bocor saja sehingga layak untuk dihuni sebagai tempat tinggal para warganya. d. Hambatan Ada banyak hambatan yang muncul dan dihadapai dalam pelaksanaan program kegiatan sosial di Kelurahan Panorama. Dari sisi pemahaman masyarakat dan anggota BKM menunjukkan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam mempertahankan kerelawanan/partisipasi waga atau kader karena mereka menilai bahwa sekarang ini banyak masyarakat atau anggota BKM yang sudah malas. Mereka menganggap bahwa hasil yang diperoleh dari keikutsertaannya di PNPM/BKM/KSM tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah mereka lakukan sehingga para relawan yang terlibat sering berganti-ganti. Masyarakat akhirnya menjadi malas untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dikembangkan oleh PNPM. Mereka lebih baik bekerja di luar dapat 167

180 uang dari pada mengurus BKM tetapi hanya mendapatkan capainya saja. Hal ini menyebabkan banyak anggota BKM yang tidak aktif. Dari 11 orang hanya 5 orang anggota BKM aktif. Demikian juga dalam pemilihan kegiatan-kegiatan sosial terlihat masih ada dominasi tokoh-tokoh masyarakat. Bahkan karena cenderung dominan tokoh-tokoh masyarakat seringkali peran Faskel kalah dibandingkan dengan peran dari tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini misalnya terlihat ketika dari masyarakat mengusulkan kegiatan sosial yang dimunculkan adalah pembelian tenda dan kursi untuk disewakan tersebut. Para pengurus BKM dan Faskel tidak berdaya menghadapi desakan masyarakat padahal mereka tahu bahwa desakan keinginan masyarakat itu keliru. Dukungan dari PJOK Kecamatan dan Lurah juga tidak optimal karena tidak ada apa-apanya (tidak ada insentif) sehingga mereka cenderung acuh terhadap program ini. PJOK dan Lurah pun kalau diundang rapat kadang tidak dating kaena tidak mendapatkan kontra prestasi yang memadai. Dari kecenderungan ini Lurah dan PJOK terlihat juga tidak menguasai persoalan PNPM Perkotaan. Lurah justru lebih senang terlibat dalam PNPM- Masyarakat Pedesaan karena mereka dapat insentif. Tidak ada Askot yang secara khusus membawahi/mengkoordinasikan kegiatan sosial. Askot yang ada di Bengkuku Askot Infrastruktur, Aksot Micro Finance, Askot Manajemen Data (ASMANDA). Dulu dititipkan ke Askot Urban Planner tetapi sudah dihapus sejak Bulan Mei Kemudian di tingkat struktur kebijakan, ternyata di wilayah Panorama ini juga terdapat program PNPM Perdesaan padahal di daerah tersebut sudah ada PNPM Perkotaan. Ini menunjukkan kesan tumpang tindih program. Permasalahan atau keluhan yang dirasakan oleh para penggiat BKM di klurahan Pasar Melintang diantaranya berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang sering kali bertentangan dengan upaya pemberdayaan dan kemandirian sebagai tujuan dari program yang disusun oleh BKM. Kegiatan yang diusulkan mulai dari bawah dan melewati proses panjang atau yang biasanya disebut siklus, masyarakat diorientasikan dan dididik untuk selalu mempertanggungjawabkan dengan cara mengarsipkan atau membuat dokumen semua kegiatan yang dilakukannya secara disiplin, tertib serta rutin dan apabila berkaitan dengan pinjaman dana maka mereka wajib mengembalikan dana yang dipinjamkannya. Usulan kegiatan yang diprogramkan juga harus memiliki kaitan dengan kebutuhan masyarakat secara langsung dan riil dan diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan kemiskinan warga sasaran. Semantara itu, kebijakan kebijakan pemerintah dengan memberikan BLT yang berupa bantuan 168

181 langsung uang tunai dikucurkan langsung tanpa harus membuat proposal dan juga tidak ada pertanggungjawaban bagi penerimanya bahkan kadangkala jumlah uang yang diterimakan lebih besar dari usulan yang dibuat dalam program BKM. Para penggiat BKM/KSM/Faskel berharap agar pemerintah meninjau ulang hal tersebut agar program yang dikembangkan lewat BKM tersebut mendapat dukungan warganya. e. Perubahan Rancangan Program Dari paparan di atas terlihat bahwa program-program di Kelurahan Panorama maupun kelurahan Pasar Melintang tersebut cenderung berorientasi pada karitatif. KMW pernah menginisiasi masing-masing BKM untuk saling studi Banding dan untuk Kelurahan Panorama pernah studi banding di wilayah Bentiring. 6. Kota Medan a. Jenis dan Pola Kegiatan Sosial Kegiatan Sosial sosial di Belawan, Pada tahun 2007 berupa santunan untuk lanjut usia dan anak yatim piatu. Bantuan kepada lanjut usia diprioritaskan bagi janda lanjut usia yang anaknya tidak mampu menyantuni. Bantuan diterima penerima manfaat tidak dalam bentuk uang tunai melainkan diwujudkan sebagai sembako yang terdiri beras, gula, minyak yang diperkirakan dapat dikonsumsi selama satu bulan. Sedangkan pada tahun 2008, kegiatan sosial terbagi menjadi dua, pertama adalah rehabilitasi rumah tidak layak huni.asal usul kegiatan ini memang diprakarsai oleh BKM, artinya diusulkan oleh pengurus BKM sendiri. Alasannya mereka sangat sederhana yakni banyaknya warga miskin yang tidak mampu memperbaiki rumahnya yang sudah rusak dimakan usia dan erosi air laut di Kelurahan Belawan. Dalam perencanaannya pengurus akan mengidentifikasi berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh pengurus kampung. Dalam pelaksanaannya hasil pemetaan tersebut tidak semuanya di beri karena sempat terjadi salah tafsir siapa penerima bantuan. Kemudian pengurus BKM berinisitif untuk melakukan identifikasi sendiri. Proses selanjutnya si empunya rumah tidak terlibat dalam perbaikan rumahnya. Artinya hanya menunggu perbaikan sampai jadi.pengurusan material dan sebagainya semua diurus oleh pengurus BKM yang ditunjuk.bahkan tukang dan pengelolaan kebutuhan bahan bangunan juga di kelola oleh BKM.Adapun pengeluaran pembangunan rumah tersebut rata-rata 5 sampai 10 juta tergantung 169

182 jerusakannya.rata-rata kerusakan terjadi di atap, dinding, dan saka rumah.karena masih menggunakan kayu sebagai bahan dasar utama maka pengeluaran kegiatan rehabilitasi rumah tidak layak huni tersebut cukup besar. Dengan demikian Bantuan untuk rumah tidak layak huni juga tidak diwujudkan sebagai uang tunai, melainkan bahan bangunan dan upah tukang. Panitia mengidentifikasi kebutuhan bahan bangunan untuk pemugaran, kemudian membelanjakannya sekaligus memanggil tukang untuk mengerjakan. Setiap rumah biaya yang dikeluarkan sebesar Rp ,-. Rumah yang mendapat bantuan berjumlah tiga, berasal dari lingkungan 5, 28 dan 29. Kegiatan kedua, adalah pelatihan komputer.kelurahan Belawan 1, kecamatan medan belawan, kegiatan ini dilakukan di sebuah rental komputer bernama MCT di sekitar Kelurahan Belawan 1.Rekruitmen kegiatan ini hanya ditawarkan pada saat pertemuan BKM, sehingga hanya kalangan terbatas pengurus dan anggota BKM yang mendapat informasi tentang kegiatan sosial. Peserta kursus sebanyak 20 orang, dengan lama kursus 3 bulan 15 kali pertemuan setiap bulan. Beaya keseluruhan sebesar Rp ,-. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa lembaga penyelenggara kursus baru pertama kali menyelenggarakan kursus, bahkan terkesan lembaga itu didirikan untuk merespon peserta kursus yang dibiayai BKM tersebut. Kegiatan sosial di Kelurahan Sukaraja, baru melaksanakan program kegiatan sosial dalam satu tahun anggaran, yaitu pada tahun Kegiatan sosial dikelola langsung oleh BKM Mitra Sejahtera yang juga berkantor di kantor kelurahan. Meskipun komposisi laki-laki dan perempuan hampir merata dalam kepengurusan, namun pengurus perempuan terkesan lebih aktif dibandingkan pengurus laki-laki BKM.ini terlihat dari pilihan kegiatan sosial yang dilakukan, yakni santunan bagi janda miskin dan pelatihan tata boga. Kegiatan sosial santuan janda miskin diberikan dalam bentu bantuan beras sebanyak 30 kg.jika diuangkan sebanyak dalam banyak wawancara terungkap bantuan ini memang menolong janda miskin, namun hanya bersifat sementara. Rata-rata penerima manfaat menghabiskan bantuan beras tersebut selama bulan. Artinya rata-rata konsumsi beras mereka per hari sekitar 0.5 kg sampai 1 kg untuk 2 sampai 4 anggota keluarga. Adapun kriteria penerima manfaat hanya mereka yang janda miskin, total penerima manfaat adalah 30 orang, meskipun sebagian dari janda tersebut mempunyai pekerjaan sambilan. Atau masih ditanggung oleh anak-anaknya. Fakta ini memperlihatkan bahwa proses identifikasi penerima manfaat terlihat belum direncanakan dengan baik. Hasil wawancara juga terungkap bahwa beberapa penerima manfaat kenal dekat dengan pengurus BKM, bahkan beberapa mengakui di mobilisasi 170

183 oleh pengurus BKM. Kegiatan sosial tata boga, kegiatan ini diprakasai oleh pengurus BKM, dalam prakteknya kegiatan ini lebih kurang seperti demo memasak dan membuat kue.pengurus BKM mendatangkan warga yang dinilai pandai memasak, bahkan beberapa diantaranya pengurus sendiri.pernah kegiatan ini mendatangkan ahli kue berkebangsaan India untuk melatih beberapa kue modern.respon penerima manfaat sangat senang karena mendapat pengetahuan memasak dan membuat kue.namun, pelatihan tata boga yang diberikan masih belum memberi inspirasi usaha peserta pelatihan.bahkan dari hasil wawancara sebagian besar mereka yang terdaftar sebagai penerima manfaat jarang memasak karena sulit meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai atau buruh yang terikat aturan. Begitu juga untuk pembuatan kue (pizza, brownies dll), semua materi pembuatan kue yang diberikan berbahan baku mahal, setidaknya mereka harus menyiapkna uang tidak kurang dari Rp sampai Rp utk membuat kue tersebut. Dengan kata lain, mereka merasa tidak sanggup mencoba karena tidak mempunyai peralatan memasak dan membuat kue yang memadai, sehingga tidak segera mencoba membuat kue di rumah apalagi menjualnya. b. Potensi Keberlanjutan Kedua kegiatan sosial di Kelurahan Belawan (rehabilitasi rumah tidak layak huni dan pelatihan komputer), masih belum bisa dikategorikan sebagai kegiatan yang diprakarsai untuk menuju jaring pengaman sosial.mengapa demikian, setidaknya ada empat alasan.kegiatan sosial rehabilitasi rumah tidak layak huni. Pertama, orientasi jangka pendek. Perbaikan rumah bersifat memperbaiki rumah, ketahanan kayu diperkirakanhanya sampai 6 tahun,penerima manfaat harus menyiapkan dana untuk memperbaiki lagi. Kedua, Skala kegiatan bersifat individual, pada kegiatan rehabilitasi ini penerima manfaat adalah orang miskin yang tidak mampu memperbaiki rumah. Artinya penerima manfaat adalah mereka yang tidak produktif atau tidak mempnyai pekerjaan karena usia lanjut. Di satu sisi memang orang miskin menjadi sasaran, namun beban memperbaiki rumah sebenarnya bukan tanggungjawab sosial karena sifatnya yang personal.ketiga, Mekanisme kontrol output yang tidak jelas. terlihat belum ada mekanisme kontrol yang jelas terhadap hasil kegiatan, hal ini terlihat ketika rehabilitasi rumah tidak mempertimbangkan pada kebijakan pemerintah kota (terkait dengan RT, RW, standarisasi rumah tertentu dan lain-lain). Keempat, partisipasi dan keterlibatan masyarakat sulit di ukur, hal ini terjadi karena kegiatan rehabilitasi tersebut partisipasi 171

184 didominasi pengurus BKM, oleh karenanya masyarakat menganggap tidak perlu terlibat karena mereka tidak mempunyai celah untuk untuk terlibat. Sedangkan kegiatan pelatihan komputer, kegiatan ini telah diikuti oleh 10 orang,terbagi dalam 2 shift sore dan malam. Jika merujuk pada empat aspek tersebut di atas,kegiatan sosial ini mengindikasikan. Pertama, orientasi jangka pendek, mereka yang terlibat dalam kegiatan ini tidak mempunyai komputer, materi yang diberikan sangat dasar.kalaupun ada tujuan untuk mencari kerja juga tidakjelas kebutuhan dari perusahaannya, Kedua, skala kegiatan bersifat individual, dari semua perseta pelatihan ini semuanya mempunyai hungungan dengan pengurus BKM, artinya : proses rekuitmen yang obyektif tidak terjadi. Karena proses rekruitmen belum obyektif, karena tidak didasrkan pada kebutuhan masyarakat maka maka terjadi kasus dari lima peserta shift malam 2 diantaranya sering tidak masuk mengikuti pelatihan dengan alasan yang tidak jelas. Ketiga, Mekanisme kontrol output yang tidak jelas. Indikasi awalnya terlihat dari tidak adanya perencanaan pelatihan tersebut (siapa sasaran, keseuaian materi dengan pasar kerja, bagaimana kelanjutannya dan lain-lain).keempat, partisipasi dan keterlibatan masyarakat sulit di ukur, kegiatan ini diikuti oleh mereka yang berpendidikan SMA/SMK, untuk masyarakat Kelurahan Belawan kriteria tersebut hanya merujuk golongan muda berpendidikan dan sangat terbatas jumlahnya. Jika program ini mendorong pengentasan kemiskinan bisa dipastikan masyarakat miskin yang tidak berpendidikan tidak akanterentaskan. Program kursus sebenarnya diharapkan memiliki dampak berkelanjutan. Oleh karena penerima manfaat memiliki ketrampilan baru yang dapat meningkatkan kapasitasnya utuk mencari nafkah. Walaupun demikian, ternyata KSM, UPS dan BKM sebagai penyelenggara kegiatan belum memikirkan tindak lanjut pasca kursus. Dengan demikian apa yang diperoleh penerima manfaat sekedar tambahnya pengetahuan dan ketrampilan yang tidak pernah dapat digunakan. Barangkali hal ini dapat dikatakan merupakan salah satu kelemahan dari pilihan penyelenggaraan kursus sebagai program kegiatan sosial. Ternyata supaya dampak kursus terutama bagi penerima manfaat dapat berkelanjutan dibutuhkan adanya tindak lanjut berupa peluang untuk memanfaatkan ketrampilan hasil kursus. Ibaratnya walaupun sudah diberi kail apabila tidak terdapat kolam atau sungai yang dapat digunakan untuk memancing mengakibatkan kailnya tidak dapat dimanfaatkan. Realitas ini juga menunjukkan perlunya pilihan program memperhatikan paling tidak dua hal. Pertama pemahaman dan identifikasi permintaan masyarakat yang lebih makro terhadap tenaga kerja dengan ketrampilan yang diperoleh melalui kursus. Kedua, perlunya dilihat keterkaitan pilihan 172

185 program tersebut dengan kondisi makro termasuk kebijakan yang lebih makro. Kegiatan sosial Santunan janda miskin di Kelurahan Sukaraja masih jauh dari harapan menuju social safety net, hal ini teridentifikasi dari, Pertama, kegiatan tersebut berorientasi jangka pendek. Bantuan hanya akan habis tidak lebih dari 2 bulan. Bantuan tesebut tidak cukup menstimulasi produktifitas penerima manfaat yang notabene janda miskin. Kedua, Skala kegiatan bersifat kelompok, pada kegiatan santunan ini sasaran penerima manfaat hanya janda miskin, meskipun jumlahnya sekitar 30 orang, kegiatan ini belum mencakup kelompok rentan yang lainnya. Kelompok rentan dalam usia produktif justru tidak terbantu. Ketiga, Mekanisme kontrol output yang tidak jelas. Santunan untuk janda miskin ini sangat terlihat sebagai charity, seperti diakui oleh fasilitator kelurahan dalam diskusi kelompok sifat kegiatan tersebut sumbangan, karena sifat kegiatan tersebut maka tidak ada hasil yang diharapkan. Artinya, bantuan tersebut digunakan untuk menolong kelompok janda miskin di kelurahan tersebut.keempat, partisipasi dan keterlibatan masyarakat sulit di ukur.untuk kegiatan santunan ini, patisipasi dan keterlibatan masyarakat sulit diukur.hal ini terjadi karena mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan kegiatan di putuskan oleh pengurus BKM.pada kegiatan ini partisipasi dari masyarakat etnis tionghoa lebih pasif, karena dianggap sudah mampu dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Kegiatan sosial pelatihan tata boga, tidak jauh berbeda dengan kegiatan sosial santunan janda miskin, kegiatan ini juga dinilai masih jauh dari harapan menjadi jaring pengaman sosial.pertama, kegiatan tersebut berorientasi jangka pendek.bantuan hanya digunakan untuk pengelolaan pelatihan yang dilakukan 10 kali tersebut.jadi peserta tidak mendapat stimulasi untuk mempraktekkan hasil pelatihannya. Kedua, Skala kegiatan bersifat kelompok tertentu. Peserta pelatihan termasuk pengurus dan orang sekitar kantor kelurahan. Artinya tidak ada mekanisme rekruitment yang jelas untuk pelatihan ini. Bahkan dari hasil wawancara juga terungkap peserta pelatihan ini beberapa diantaranya para janda miskin, sehingga kesan sangat kuat bahwa pelatihan ini hanya dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Ketiga, Mekanisme kontrol output yang tidak jelas. Pelatihan tata boga dilakukan selama 2 bulan, harapan dari kegiatan ini adalah menstimulasi masyarakat untuk mempunyai ketrampilan memasak dan membuat kue.namun sayang banyak penerima manfaat mengaku bahwa mereka jarang memasak apalagi membuat kue.keempat, partisipasi dan keterlibatan masyarakat sulit di ukur.karena kegiatan pelatihan ini tidak berangkat dari kebutuhan masyarakat, maka keteribatan dan partisipasi masyarakat tidak besar.secara formal dan 173

186 fisik mereka hadir dalam pelatihan tersebut namun mereka bukan orang-orang yang tepat untuk diajak berusaha di bidang kuliner.dari10 kali pertemuan terbagi 4 kali membuat kue dan 6 kali memasak.dari 15 orang yang terdaftar sebagai peserta pelatihan hanya 10 orang saja yang aktif mengikuti. c. Dukungan Program Secara kasat mata masyarakat Belawan 1 lebih mudah diorganisir, mengingat karakter homogen masyarakat dengan mata pencaharian yang sama yakni sebagai nelayan, sehingga kesamaan kebutuhan sebenarnya bisa diukur dan dimaknai sebagai dukungan internal. Dari kondisi tersebut lebih mudah bagi faskel untuk memobilisasi kegiatan sosial. Di sisi lain, dukungan juga muncul dari aktifis BKM yang hampir semuanya berlatar belakang sebagai nelayan, artinya pengurus BKM bisa menjiwai kebutuhan dan bentuk kegiatan sosial yang tepat bagi masyarakatnya. Dari hasil wawancara dan diskusi kelompok dengan penerima manfaat, Sebenarnya ada harapan dari masyarakat terhadap komunitas pengusaha di wilayah tersebut, mengingat banyak nelayan menggantungkan hidupnya dengan bekerja dengan pengusaha tersebut.namun, hubungan pengusaha dan nelayan hanya dianggap sebagai hubungan buruh dan majikan, sehingga masih belum menjadi dukungan eksternal bagi kegiatan sosial masyarakat. Kondisi masyarakat yang majemuk dan karakter masyarakat migran sebagai pekerja keras di Kelurahan Sukaraja sebenarnya merupakan dukungan internal kuat bagi kegiatan sosial masyarakat Kelurahan Sukaraja. Terutama etos kerja yang tinggi dari masyarakat pekerja tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendorong inovasi kegiatan sosial yang terencana dan terukur lebih baik. Tentu saja dengan komposisi masyarakat pekerja akses informasi usaha dan peluang-peluang usaha menjadi terbuka lebar. Kelurahan Sukaraja sebenarnya diuntungkan dengan kedekatannya dengan pusat pertokoan dan bisnis di kota Medan, namunkedekatan lokasi ini tidak dimanfaatkan sebagai dukungan eksternal kegiatan sosial yang ada. Perlu dipikirkan kembali penentuan jenis kegiatan sosial mengingat persoalan masyarakat sebenarnya lebih karena tidak dapat mengakses kegiatan ekonomi dan bisnis. Hal lain, yang dinilai dapat menstimulasi kegiatan sosial yang berkelanjutan adalah mobilitas masyarakat di Kelurahan Sukaraja cukup tinggi. Sebagiknya kegiatan sosial dapat eradaptasi dengan kondisi masyarakat yang ada.dalam wawancara dan diskusi kelompok, salah satu kelebihan Kelurahan Sukaraja adalah komunitas pengusaha atau wiraswasta yang kebanyakan etnis tionghoa.artinya diperlukan kegiatan yang bisa menjembatani 174

187 keterbatasan interaksi antara masyarakat pribumi dengan kempok masyarakat tionghoa. Dalam kasus kegiatan sosial santunan beras, bisa dikembangkan ke arah santunan pada mereka yang berusia produkti dan bekerja namun mempunyai beban keluarga yang banyak, sehingga sisa pendapatannya untuk beras bisa di tabung atau digunakan untuk usaha lainnya. Begitu pula untuk kegiatan pelatihan, peserta diharapkan benar-benar mereka yang ingin berusaha, sehingga persoalan pengetahuan memasak dan membuat kue bukan lagi menjadi penghambat. d. Hambatan Dari hasil wawancara dan diskusi kelompok di Kelurahan Belawan hambatan internal terlihat ketika belum terbukanya informasi kegiatan sosial, informasi hanya sebatas pada saat kelompok masyarakat yangdiundang oleh BKM. Artinya hanya pengurus dan anggota BKM yang tahu persis semua informasi dan cara mengakses program bantuan tersebut.hal ini mengingat terjadinya persaingan diantara tokoh masyarakat.hal ini wajar mengingat terbatasnya akses mereka terhadap peluang mendapatkan pendapatan di luar pekerjaannya sebagai nelayan sangat kecil. Belum lagi persoalan faskel yang selalu berganti dan ada mitos bahwa memfasilitasi masyarakat nelayan lebih sulit daripada memfasilitasi masyarakat kota medan yang lain. Kemudian ada anggapan bahwa faskel yang ditempatkan di wilayah tersebut adalah faskel buangan atau sedang dihukum.kondisi tersebut semakin memperjelas pengelolaan faskel tidak didasarkan pada aturan main yang jelas. Adapun hambatan eksternal muncul karena kondisi geografis, yakni terjadinya air pasang di perkampungan nelayan, sehingga kegiatan sosial perbaikan rumah pelaksanaan tertunda, karena menunggu air surut. Selain itu, untuk Kelurahan Belawan I masyarakatnya boleh dikatakan terbelah dalam dua bagian dengan kondisi sosial ekonomi yang sangat timpang. Lapisan masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi lebih baik pada umumnya berasal dari etnis keturunan Tionghoa. Sebetulnya lapisan masyarakat ini dapat ditempatkan sebagai potensi pendukung program kegiatan sosial, sehingga sumber dananya tidak semata mengharapkan dari BLM. Walaupun demikian, potensi tersebut tidak teraktualisasi karena partisipasi masyarakat kaya dalam kegiatan sosial masih sangat kurang. Potensi lain adalah program-program yang sejenis yang dilakukan baik oleh dinas dinas pemerintah maupun oleh swasta melalui CSR. Untuk potensi inipun belum teraktualisasi karena usaha untuk membangun jaringan dengan institusi pemerintah dan swasta belum dilakukan. Dari jalur yang lain sebetulnya kerja sama dan sinergi dengan berbagai stakeholder tersebut juga dimungkinkan dengan 175

188 diterapkannya pendekatan perencanaan dari bawah melalui musrenbang. Dari informasi yang diperoleh, ternyata usaha mengintegrasikan atau mencari sinergi program sosial BKM melalui musrenbang ini belum dilakukan. Di samping itu juga harus diakui bahwa dalam pelaksanaan perencanaan dari bawah melalui musrenbang tersebut belum banyak program usulan dari bawah yang diakomodasi dan menetas menjadi program pemerintah daerah. Dalam diskusi dengan KMW diperoleh informasi bahwa di kota Medan perencanaan dari bawah melalui musrenbang diharapkan dapat mengakomodasi dan mengkoordinasikan tiga sumber program : perencanaan dinas dinas pemerintah, aspirasi dari bawah dan realisasi janji politik kepala daerah. Dalam kenyataannya usulan dari bawah masih selalu ditempatkan sebagai prioritas terakhir. Sedangkan di Kelurahan Sukaraja hambatan internal terbesar adalah seringnya berganti faskel menjadikan komunikasi dengan masyarakat dan BKM menjadi terhambat.selain itu, tuntutan kerja proyek lebih banyak daripada tuntutan masyarakat, sehingga faskel lebih mendahulukan kelengkapan laporan proyek daripada mendampingi masyarakat, sehingga pengawalan substansi pemberdayaan terkesan di lepas dan apa adanya. Kasus lain adalah keterlambatan pencairan dana juga menjadi persoalan besar bagi pengurus BKM dan masyarakat dalam rangka melaksankan kegiatan sosial, sehingga muncul saling curiga antara masyarakat dengan pengurus BKM dan pengurus BKM dengan faskel. Bahkan dalam perkembangan kasus ini sempat menjadi konsumsi politik lokal di Kota Medan. Hambatan eksternal adalah segregasi yang tidak terlihat antara masyarakat pribumi dangan masyarakat tionghoa.gejala segregasi sudah terlihat ketika perencanaan kegiatan dan pelaksanaan kegiatan masyarakat tionghoa dianggap tidak mau terlibat karena merasa tidak mempunyai kepentingan dalam kegiatan tersebut.sebaliknya masyarakat pribumi juga menjaga jarak.padahal keduanya menyimpan kekuatan kerjasama yang besar. e. Perubahan Rancangan Program Sebenarnya di tingkat KMW upaya pengembangan program dengan berorientasi pada keberlanjutan sudah direkomendasikan melalui program peningkatan kapasitas penerima manfaat, juga dapat diharapkan dari dana program sosial yang tidak sekali habis, misalnya diwujudkan dalam bentuk dana bergulir. Dana program sosial dikelola pada tingka KSM dan dimanfaatka oleh warga miskin secara bergilir. Walaupun demikian di kedua kelurahan yang dijadikan sebagai sasaran penelitian bentuk program tersebut tidak diselenggarakan. 176

189 E. Peran Stakeholders Di Masing-Masing Lokasi 1. Kota Pasuruan Melihat pelaksanaan PNPM secara umum, dapat diidentifikasi beberapa unsur yang dapat saling berinteraksi dan mempengaruhi keberhasilan program. Unsur unsur tersebut dapat dibedakan menjadi tiga hal. Unsur pertama adalah perangkat dari PNPM sebagai program, unsur kedua adalah pemerintah dan masyarakat dengan berbagai institusinya merupakan unsur ketiga.. Pada tingkat mikro/lokal terutama yang berkaitan dengan program sosial perangkat program PNPM direpresentasikan dalam keberadaan BKM, UPS, KSM dan fasilitator. Sementara pemerintah kelurahan merupakan representasi unsur pemerintah pada level lokal ini, dan keberadaan PJOK merepresentasikan keterlibatan pemerintah tingkat kecamatan. Di lain pihak, masyarakat di wilayah kelurahan yang bersangkutan dengan berbagai institusi dan potensinya merepresentasikan unsur ketiga. Dilihat dari setting masyarakatnya, Kelurahan Panggungrejo memiliki warga masyarakat miskin yang jumlahnya cukup besar. Kondisi kemiskinan di Kelurahan Panggungrejo juga tercermin dari lingkungan pemukiman yang kumuh, kondisi kesehatan lingkungan rendah dan tingkat pendidikan rata rata penduduknya rendah.. Kurangnya warga masyarakat yang memiliki wawasan luas mempengaruhi pengisian kepengurusan BKM, UPS, KSM maupun relawan. Kondisi ini pada gilirannya juga tercermin dari kurangnya kreativitas dalam mengembangkan jenis program kegiatan sosial. Sementara itu, Kelurahan Kepel walaupun memiliki warga miskin tetapi tidak sebanyak Kelurahan Panggungrejo. Di samping itu, kondisi kehidupan sosial ekonomi warga yang tidak miskin di Kelurahan Kepel relatif lebih baik. Di Kelurahan Kepel, antara warga yang kondisinya miskin dan tidak miskin jarak sosial di antara kedua lapisan tersebut tidak terlalu lebar, sementara lokasi permukiman kedua lapisan tersebut juga tidak bersifat eksklusif. Jarak sosial yang tidak terlalu lebar, dan didukung oleh keberadaan institusi sosial yang dapat mewadahai dan memfasilitasi kegiatan bersama terutama PKK dan Posyandu, menyebabkan partisipasi lapisan tidak miskin dalam program kegiatan sosial BKM cukup menonjol. Pada umumnya mereka terlibat baik sebagai relawan maupun sebagai pengurus KSM. Hal itulah yang menyebabkan terdapat perbedaan dilihat dari kuantitas dan kualitas jenis kegiatan sosial di kedua kelurahan tadi. Walaupun demikian, baik di Kelurahan Kepel maupun Panggungrejo terdapat berbagai potensi yang tersedia dalam realitas kehidupan masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung program BKM 177

190 khususnya program kegiatan sosial. Seperti yang sudah dilaporkan pada bagian terdahulu, yang sudah dimanfaatkan dan bersifat mendukung kegiatan sosial adalah keberadaan berbagai institusi yang sudah ada sebelumnya terutama PKK dan posyandu. Barangkali yang patut menjadi catatan adalah bahwa kedua lembaga tersebut aktivisnya banyak didominasi kaum perempuan. Kenyataan ini agaknya juga mempengaruhi warga masyarakat yang terlibat baik sebagai relawan, pengurus KSM maupun UPS untuk program sosial yang juga didominasi oleh perempuan. Padahal sebetulnya kegiatan sosial tidak harus bias gender. Di samping itu, potensi lokal yang dapat dimanfaatkan adalah keberadaan modal sosial. Walaupun masih belum optimal, dalam pemanfaatan modal sosial ini dibandingkan Kelurahan Panggungrejo Kelurahan Kepel sudah mulai tampak secara embrional, dalam pelaksanaan program kursus menjahit dan donatur tetap dari warga masyarakat. Dengan pengembangan kapasitas kelembagaan dapat memungkinkan lebih banyak potensi yang dapat digali dan dimanfaatkan. Oleh sebab itu idealnya program sosial BKM ini juga perlu memperluas jaringan pelibatannya kepada institusi dan potensi yang lain yang ada dalam masyarakat. LPMK(Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kota) yang dulu bernama Lembaga Ketahanan Masyarakat merupakan lembaga yang jauh lebih lama eksis dalam masyarakat dibandingkan BKM. Walaupun tidak untuk keseluruhan, kedua lembaga ini mempunyai beberapa kesamaan fungsi. Dalam posisi seperti itu, maka kemungkinan yang dapat terjadi dalam hubungan di antara keduanya adalah (1) persaingan atau bahkan konflik, (2) koeksistensi dan (3) integrasi. Di kedua kelurahan, Kepel dan Panggungrejo yang terjadi adalah koeksistensi. Masing masing pihak berprogram dan menjalankan aktivitasnya sendiri. Dengan demikian sinergi di antara kedua lembaga tersebut dalam melaksanakan kegiatan sosial tidak terjadi. Agaknya baik pada tingkat masyarakat lokal di kedua kelurahan tersebut, maupun sebagai kebijakan di tingkat yang lebih tinggi belum dipikirkan kejelasan tentang bentuk hubungan yang ideal dari kedua lembaga tersebut. Dalam hubungannya dengan pemerintah kelurahan, terutama dilihat dari proses terbentuknya, BKM memang berbeda dengan LPMK. Sebagai realisasi untuk menempatkan BKM sebagai lembaga masyarakat, dalam proses pembentukannya memang tidak melibatkan pemerintah desa. Di kedua kelurahan, kenyataan tersebut tidak menyebabkan pemerintah kelurahan menjadi tidak mendukung kegiatannya. Paling tidak hal ini diindikasikan dari kenyataan bahwa kantor BKM baik di Kelurahan Kepel maupun Panggungrejo menempati salah satu ruang milik pemerintah kelurahan. Hanya saja memang terkesan bahwa pemerintah kelurahan tidak begitu aktif berinisiatif untuk 178

191 memfasilitasi terbentuknya jaringan antara BKM dengan berbagai stakeholder yang ada. Sementara itu, dari hasil penelitian lapangan terkesan ketidak jelasan peran PJOK sebagai representasi pemerintah tingkat kecamatan. Secara kebetulan dua kelurahan sasaran penelitian Kepel dan Panggungrejo berada di wilayah kecamatan yang sama yaitu Bugul Kidul. Pada saat wawancara, staf kecamatan yang berfungsi sebagai PJOK baru saja menjabat posisi itu. Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap peneliti juga mewawancarai PJOK yang menjabat sebelumnya. Dari wawancara dengan kedua informan tersebut diperoleh kesan yang sama. Keduanya merasakan kedudukannya sebagai PJOK hanya diperlukan sebagai syarat administratif untuk mencairkan dana BLM. Mereka merasa tidak pernah dimintai konsultasi ataupun diberi laporan tentang pelaksanaan kegiatannya. Dengan demikian tidak banyak informasi yang dapat digali dari mereka tentang perkembangan BKM dan pelaksanaan program-programnya. Walaupun demikian, kenyataan posisi PJOK yang tidak jelas, setidak tidaknya menurut orang yang sedang atau pernah menjabatnya, sebetulnya merupakan informasi tersendiri. Di satu sisi hal itu dapat dipahami dari kedudukan BKM yang didesain sebagai lembaga masyarakat sesuai dengan namanya badan keswadayaan masyarakat, sehingga diharapkan sejak proses pembentukannya lebih bersifat mandiri tidak banyak mendapatkan intervensi dari pemerintah. Di sisi lain, prosedur administrasi yang digunakan termasuk administrasi keuangannya masih menggunakan ketentuan sebagaimana proyek proyek reguler. Kelihatannya posisi BKM ini belum banyak dipahami oleh perangkat birokrasi yang ada. Hal itu yang menyebabkan PJOK merasa diperlakukan tidak adil; diminta jasanya pada saat pencairan dana akan tetapi tidak banyak dimintai pertimbangan dan diberi laporan dalam pemanfaatannya. Pada tingkat daerah, perangkat program PNPM direpresentasikan oleh Korkot dan KMW, sementara unsur pemerintah oleh pemerintah kota, dan unsur masyarakat oleh masyarakat kota Pasuruan dengan berbagai peluang dan tantangan yang ada. Dari informasi yang diperoleh selama pengumpulan data, kontribusi pemerintah kota Pesuruan terhadap program PNPM adalah pemberian dana pendamping masing masing kelurahan sebesar Rp ,-. Dilihat dari dukungan terhadap PNPM, hal ini cukup positif mengingat dari informasi yang diperoleh peneliti, banyak pemerintah daerah di Jawa Timur yang bersikap kurang positif terhadap program ini. Sebetulnya peran pemerintah kota dapat lebih dari itu, mengingat pemerintah kota mempunyai berbagai dinas yang program-programnya banyak berkaitan dengan program kegiatan sosial BKM. Oleh sebab itu sangat terbuka peluang untuk terciptanya sinergi antara program dinas terkait dengan 179

192 program sosial BKM, minimal ada koordinasi. Kenyataan di lapangan menunjukkan belum banyak dinas dinas pemerintah yang dalam melaksanakan programnya bekerja sama atau berkoordinasi dengan program BKM, kecuali program kelurahan siaga yang merupakan program dinas kesehatan. Itupun lebih disebabkan karena di lapangan program sosial BKM banyak diintegrasikan dengan program posyandu yang merupakan binaan dari dinas kesehatan. Dengan diterapkannya kebijakan perencanaan partisipatif yang bersifat bottom up dalam bentuk musyawarah perencanaan pembangunan(musrenbang), sebetulnya terbuka peluang program-program yang telah dibuat oleh BKM sebagai hasil pemetaan masalah dan pemetaan swadaya yang belum masuk prioritas pendanaan melalui BLM dan swadaya, diusulkan melalui mekanisme ini. Di kedua kelurahan, karena hubungan dengan LPMK belum dikondisikan untuk bersifat sinergis dan integratif, maka peluang itu belum dapat dimanfaatkan. Hal itu disebabkan karena di kedua kelurahan tersebut LPMK yang lebih banyak diberi peranan dalam pelaksanaan musrenbang tingkat kelurahan. Sebetulnya apabila BKM ikut terlibat dalam mekanisme perencanaan ini, juga dapat membuka peluang bagi usaha membangun jaringan dan mengusahakan hubungan yang sinergis dengan program sejenis dari dinas dinas tingkat pemerintah kota. Sudah tentu hal itu dapat terwujud apabila perencanaan partisipasif melalui musrenbag tersebut sudah berjalan dengan baik, sehingga proses bottom upnya tidak hanya prosedural akan tetapi substansial. Beberapa informasi menunjukkan bahwa di beberapa tempat banyak usulan dari bawah yang akhirnya tidak terakomodasi dan menetas menjadi program pembangunan tingkat daerah. Di bandingkan dengan tingkat lokal, sudah tentu potensi dan kemungkinan membangun jaringan pada tingkat daerah ini lebih terbuka dan bervariasi, baik dengan instansi pemerintah, lembaga swasta khususnya melalui coorporate social responsibility, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Walaupun demikian berdasarkan informasi yang diperoleh, baru dengan perusahaan Nestle, hubungan tersebut pernah terjalin di Kelurahan Kepel. Itupun tidak berkelanjutan. Di Kelurahan Panggungrejo bahkan sama sekali belum ada. Selain untuk memperluas jaringan, kemampuan BKM untuk memperhitungkan satuan wilayah yang lebih makro setingkat daerah perkotaan, juga akan memungkinkan dikembangkannya program-program yang berorientasi lebih makro yang memperhitungkan peluang pasar yang tidak hanya bersifat lokal. Pertimbangan ini dapat digunakan dalam merumuskan program pelatihan ketrampilan. Sepanjang informasi yang diperoleh di 180

193 lapangan, BKM di kedua kelurahan tersebut belum berfikir ke arah itu. Dilihat dari representasi program PNPM pada level daerah ini, sebetulnya korkot dan KMW dapat memainkan perannya. Mereka dapat memfasilitasi kemungkinan terbangunnya jaringan antara BKM dengan dinas dinas pemerintah daerah atau dengan pihak swasta yang mempunyai program CSR. Di samping itu mereka sebetulnya juga dapat memfasilitasi kerja sama antar sesama BKM baik untuk saling belajar dalam mengembangkan institusi maupun kerjasama dalam menagkap peluang yang lebih bersifat makro, paling tidak yang terbuka pada level daerah. Dari wawancara dengan korkot, memang diakui bahwa usha untuk memperluas jaringan dengan berbagai stakeholder ini belum banyak dilakukan. Dikatakannya, yang sudah dilakukan baru terbatas pada tahap inisiasi dirintis kerjasama dengan pihak LPM Universitas Brawijaya Malang dan Danareksa. Itupun bukan untuk kedua kelurahan sasaran penelitian dan bukan untuk program sosial melainkan program penguatan ekonomi. PNPM mandiri adalah suatu program nasional yang merupakan bagian dari kebijakan pengentasan kemiskinan. Masuknya PNPM dalam pengelolaan kementerian Kesra, sebetulnya memberikan indikasi bahwa program ini bukan bersifat sektoral yang dikelola oleh departemen teknis tetentu. Tidak dapat diingkari, bahwa dalam pelaksanaan program-program departemental sampai ke tingkat masyarakat, orientasi sektoral ini seringkali cukup menonjol. Salah satu indikasinya adalah bahwa BKM sebagai lembaga masyarakat yang menjadi wadah masyarakat lokal dalam upaya pengentasan kemiskinan, belum dijadikan sebagai media bagi pelaksanaan program berbagai departemen yang masuk ke tingkat kelurahan. Setidak tidaknya hal tersebut belum tampak baik di Kelurahan Kepel maupun Panggungrejo. Kenyataan bahwa program PNPM oleh beberapa instansi pemerintah masih dikesankan sebagai program Departemen Pekerjaan Umum mengindikasikan bahwa masuknya PNPM ke dalam pengelolaan Kementerian Kesra di tingkat pusat, implementasinya belum begitu kelihatan di ingkat bawah. 2. Kota Surabaya Di Kota Surabaya sebenarnya terjadi perbedaan dalam pelaksanaan kegiatan sosial di antara dua kelurahan tersebut. Kelurahan Gundih merupakan representasi dari kelurahan yang dapat dikatakan memilki kegiatan-kegiatan sosial yang lebih memiliki orientasi keberlanjutan dibandingkan Kelurahan Sawunggaling. Ini tidak lepas dari peran BKM maupun struktur masyarakat yang ada di Kelurahan tersebut. 181

194 Jika melihat inisiasi program kegiatan sosial di kedua kelurahan tersebut, ide dan inisiasi didominasi oleh pengurus BKM meskipun seperti di kelurahan lainnya secara prosedural proses kegiatan sosial di kelurahan tersebut muncul sebagai hasil dari pemetaan relawan dan rembug warga. KSM-KSM ditunjuk oleh BKM. Namun demikian struktur masyarakat yang berbeda diantara dua kelurahan tersebut yang menyebabkan kemudian kegiatan sosial yang ada di Kelurahan Gundih lebih memimiliki orientasi keberlanjutan dan pemberdayaan dibandingkan dengan kegiatan sosial di Kelurahan Sawunggaling. Kelurahan Sawunggaling yang merupakan kompleks perumahan TNI-AD Kodam IV Brawijaya, mayoritas warganya adalah anggota TNI sementara yang lain adalah pedagang keliling, buruh, PNS dan sebagainya. Struktur masyarakat demikian telah menyebabkan terjadinya segregasi dan polarisasi sosial dalam masyarakat. Terjadinya segregasi masyarakat tersebut menyebabkan partipasi masyarakat dalam kegiatan sosial pun menjadi kurang. Kegiatankegiatan sosial yang dibuat lebih berorientasi pada karitatif seperti pemberian beasiswa kepada anak-anak sekolah dari keluarga miskin, penyuluhan ibu hamil dan pemberian asupan makanan bergizi bagi anak Balita. Ini berbeda dengan di Gundih yang pola kegiatan sosialnya sudah mengarah ke keberlanjutan seperti pendidikan anak usia dini maupun pelatihan kewirausahaan. Dua pelatihan ini terintegrasi dengan kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini yang sudah berkembang dan program kelurahan yaitu Gundih Green and clean. Kemudian di tingkat fasilitator, dirasakan oleh BKM cukup membantu dalam memandu kegiatan-kegiatan sosial. Di antara Faskel dengan Lurah juga terjalin hubungan yang cukup baik. Namun demikian rotasi Faskel yang seringkali kurang memperhatikan orientasi keberlanjutan juga menjadi kendala sendiri. Pada saat penelitian dilakukan, faskel yang ada adalah Faskel baru sehingga mereka belum mampu memahami persoalan di lapangan. Ironisnya proses transfer pengetahuan mengenai kondisi desa dan potensinya dari Faskel lama ke Faskel baru belum berlangsung secara baik. Di Surabaya ini, Korkot juga berperan dalam upaya mendorong orientasi program yang berkelanjutan. Berbagai upaya channeling program kegiatan sosial sudah mulai diinisiasi oleh Korkot dengan melakukan kontak dengan beberapa dinas dengan harapan tahun 2010 sudah ada program channeling yang terbentuk antara program BKM dengan program departemen. Sedangkan terkait dengan peran pemerintah, untuk pemerintah kelurahan sebatas pada fungsi koordinasi. Laporan yang dibuat BKM setiap bulannya di minggu ketiga dilaporkan di forum pertemuan. Hubungan BKM dengan lembaga sosial lainya yaitu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat juga sebatas pada penyampaian informasi kegiatan saja ke LPMK. Di Gundih, BKM cenderung sudah mandiri dan mereka memiiki kantor Di 182

195 sendiri. Di tingkat kecamatan, fungsi PJOK juga cenderung pasif. PJOK merasa tidak perlu intervensi terlalu dalam dan seharusnya dari BKM yang melaporkan sendiri kegiatannya. Rata-rata BKM di Surabaya tidak memberikan laporan kepada PJOK. PJOK tidak turun ke lapangan karena kegiatan-kegiata sosial umumya dilakukan pada sore hari dan merasa cukup dari faskel saja yang melakukan pendampingan. Dengan demikian, PJOK merasa cukuip untuk monitoring saja dan BKM harus memberikan laporan setiap bulan secara rutin. Mengapa sampai BKM tidak memberikan laporannya PJOK tidak terlalu paham alasannya. 3.Kota Gorontalo Seperti halnya dengan pelaksanana kegiatan PNPM di daerah lain, masyarakat cenderung menjadi penerima pasif dalam pelaksanaan program PNPM. Dengan demikian inisiasi-inisiasi program bersifat top down. Hal ini tidak lepas dikarenakan masyarakat masih trauma dengan program Kredit Usaha Tani di mana banyak program yang mengalami banyak salah sasaran. Dengan demikian, masyarakat seringkali sulit diajak untuk berpartisipasi.biasanya kalau tidak ada uang masyarakat sulit untuk berpatisipasi. Dengan kondisi itu, banyak program-program kegiatan sosial diinisiasi oleh para pengurus BKM dan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Secara procedural, proses inisiasi kegiatan sosial memang melewati pemetaan tim swadaya yang dilakukan oleh relawan. Banyak pengurus BKM yang juga menjadi pengurus Rukun Warga di Lingkungannya. Hal ini memberikan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positifnya, untuk menggerakkan warga untuk berpartisipasi dapat lebih mudah akan tetapi dampak negatifnya, kebijakan-kebijakan yang ada seringkali bias elite. Sebagai contoh dapat dilihat di Kelurahan Lekobalo dan Limba B, ketika masyarakat khususnya masyarakat penerima manfaat tidak tahu menahu tentang inisiasi kegiatan soial tersebut. Tahunya ketika mereka diundang untuk menerima bantuan dari kegiatan sosial tersebut. Dengan kultur masyarakat yang keras seperti itulah, maka diperlukan orang yang memiliki karakter yang kuat untuk memimpin BKM. Ini yang terjadi di Kelurahan Limba B. Sosok yang memimpin BKM Limba B ini merupakan sosok yang tegas. Namun demikian, tidak semua pengurus BKM aktif dalam mengelola kegiatan-kegiatan PNPM ini. Hanya ada dua orang dari pengurus BKM yang berperan aktif dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan BKM. Anggota yang aktif adalah ketua BKM dan anggota BKM yang bernama Bu Ulfa. Di BKM ini sempat muncul persoalan ketika ada penyelewengan dana bergulir yang dilakukan oleh sekretariat dimana dana sekretariat tidak disetor ke Bank.BKM sempat dirugikan sekitar

196 juta, baru ketahuan setelah 6 bulan berjalan. Solusi yang diambil pada waktu itu adalah dengan mengumpulkan anggota BKM, kemudian memecat seketariat tersebut. Banyak pengurus BKM yang sudah jenuh apalagi dulu pernah ada istilah P2 capek karena terlalu banyak prosedur yang harus dilewati sementara data tdak segera cair. Peran faskel juga besar dalam pengembangan program-program kegiatan sosial yang ada di dua kelurahan di Gorontalo. Mereka juga cukup mampu melakukan pendekatan kepada masyarakat. Sebagian besar masyarakat Kota Gorontalo ini memiliki karakteristik yang keras. Untuk mendekati mereka tim Faskel melakukan berbagai strategi pendekatan yaitu dengan pembawaan dari Faskel sehingga bisa meraih simpati, keputusan melalui musyawarah, strategi silaturahmi, membicarakan hal-hal di luar P2KP/PNPM, mengajak masyarakat berfikir, dan kadangkala harus juga pakai shock terapy : Masyarakat besar suara rakyat pun harus besar suara. Pukul Rangkul. Selain itu juga dilakukan dengan pendekatan keagamaan melalui forum pengajian khususya ibu-ibu. Misalnya dengan memetik ayat suci Al Quran : Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum tersebut merubah sendiri. Namun sayangya, ada rumah Faskel Limba B yang rumahnya cukup juah dari kantor BKM Limba B yaitu sekitar 15 kilometer. Kemudian terkait dengan peran Korkot cukup mendorong dalam membuat program kegiatan sosial yang berorientasi berkelanjutan. Namun realitasnya memang sulit. Persoalan sulitnya masyarakat untuk diajak berpartisipasi memang menjadi satu kendala dalam pelaksanaan program PNPM di daerah ini. Setiap bulan diselenggarakan pertemuan antara tim faskel dengan korkot, Senior Faskel dengan Korkot untuk melakukan koordinasi kegiatan. Lokasi KMW yang masih di Manado juga menjadi kendala dalam proses pengembangan program PNPM di kelurahan ini. Kemudian dilihat dari sisi peran pemerintah. Di tingkat kelurahan, Lurah di kedua wilayah tersebut ternyata juga tidak begitu menguasai tentang Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Demikian juga dengan PJOK kecamatan. Dari hasil penelitian di lapangan mereka terkesan hanya sekedar menjalankan fungsi administratif untuk menandatangani laporan-laporan maupun penurunan dana dari pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan dukungan mereka terhadap keberlangsungan program PNPM ini menjadi tidak optimal. Di level pemerintah Kota, sebenarnya dukungan untuk pengembangan program PNPM cukup baik terbukti dengan adanya cost sharing dari pemerintah untuk mendukung kegiatan ini. Memang sudah ada upaya dari pemerintah daerah untuk mendorong program-program chanelling kegiatan sosial dengan program-program pemerintah daerah seperti di Dinas Pendidikan. Namun hal tersebut belum terealisir. 184

197 4. Kota Makassar Sosialisasi program P2KP di kelurahan di Kelurahan Rappokaling dimulai pada tahun Prosesnya dimulai dengan rekrutmen relawan, pemetaan swadaya masyarakat dan kemudian pemilihan pengurus BKM. Setelah melalui berbagai prosedur standar, program kegiatan sosial baru efektif dilaksanakan mulai tahun Sampai saat ini koordinator BKM telah berganti dua kali, berarti koordinator yang sekarang menjabat adalah yang ketiga. Pergantian pertama disebabkan oleh alasan transparansi, sedang pergantian kedua karena alasan kesibukan koordinator pada pekerjaan dan tugas pokoknya. Wilayah Rappokalling terbagi dalam dua kawasan yang dibatasi oleh jalan raya dengan karakteristik yang agak berbeda. Salah satu kawasan dapat dikategorisasikan sebagai kawasan kumuh dengan penduduk mayoritas berada dalam kondisi miskin, perumahan yang tidak layak huni dan ada di atas lahan yang sebelumnya adalah rawa yang ditimbun. Kawasan kumuh terdiri dari 3 RW, sedang kawasan lainnya 2 RW. Penduduk kelurahan ini seluruhnya berjumlah orang yang terdiri dari 6048 laki laki dan 6076 perempuan. Penduduk sebesar itu berasal dari 3006 kk terdiri dari 2792 laki laki dan 214 perempuan. Dari jumlah KK tersebut 1499 kk yang terdiri dari 1340 laki laki dan 159 perempuan tergolong miskin. Secara umum, mayoritas keluarga miskin tersebut menghuni kawasan kumuh. Keluarga miskin ini kebanyakan bermata pencaharian sebagai buruh harian, pemulung, penarik becak dan usaha kecil kecilan. Pada level pelaksanaan kegiatan sosial kerjasama antara pengurus BKM, fasilitator dan Kelurahan pada walnya banyak mengalami kendala, hal ini dikarenakan belum tersosialisasikannya konsep PNPM dengan baik. Ketika konsep sudah dapat diterima justru masyarakat Kelurahan Rapokaling mempunyai integritas untuk teribat dalam mengawasi kinerja kepengurusan BKM. hal ini dibuktikan dengan dinamika pergantian pengurus karena alasan transparansi. Dalam prakteknya sebagian kordinasi dilakukan antara pengurus dengan fasilitator (meskipun faslitator sering berganti) pengurus bisa memakluminya. Meskipun secara kelembagaan BKM sudah cukup kuat, namun kordinasi dengan pehak kelurahan mengalami pasang surut. ada kesan hubungan yang terjalin sebatas formalitas pada acara-acara yang bersifat ceremonial. oleh sebab itu, kordinasi antara kelurahanpun juga terkesan apa adanya. Seperti di daerah yang lain Pihak kelurahan juga tidak antusias menyambut program ini. bahkan dalam beberapa wawancara Kelurahan justru menceritakan keberhasilan aparatnya dibandingkan kerjsama dengan BKM. Begitu juga dengan aparat kecamatan PJOK, meskipun secara personal kenal baik. 185

198 dalam praktek kordinasinya, PJOK mengetahui kegiatan sosial dari surat pemberitahuan melalui surat. bahkan baru tahu kegiatan pada saat stempel laporan. Oleh sebab itu, ketika diwawancarai terlihat PJOK tidak menguasai kegiatan sosial di Kleurahan Rappokaling tersebut. Sama halnya dengan di Kelurahan Rappokaling, Program P2KP di Kelurahan Bunga Ejaya, sudah berlangsung sejak tahun 2004, sejak tahun tersebut telah berdiri BKM Mitra Masyarakat. Pendirian BKM ini tidak terlepas dari dukungan program P2KP saat itu, Sampai saat ini BKM Mitra Masyarakat berkantor bersama dengan LPM Kelurahan Bungaejaya. Dalam kurun waktu tahun 2004 sampai sekarang kepengurusan sudah berganti dua kali, adapun kordinator kepengurusan saat ini adalah Bapak Djursum Kasim. Kelurahan Bungaejaya, Kecamatan Bontoala, Kota Makassar terdiri dari 4 Rukun Warga dan 21 Rukun Tetangga. Adapun luas wilayahnya adalah 18 Hektar, dibandingkan dengan kelurahan lainnya, luas wilayah kelurahan bungaejaya tergolong kecil jika dibandingkan dengan kelurahan laiinya di Kota Makassar. Total Penduduk di Kelurahan Ini sebanyak 5423 Jiwa. Laki-laki sebanyak 2585 jiwa dan perempuan sebanyak 2838 Jiwa.Penduduk dewasa sebanyaknya 3596 Jiwa sisanya adalah anak-anak dan remaja.sedangkan yang menjadi kepala keluarga sebanyak 997 Jiwa.Melihat data tersebut.dan dibandingkan dengan luas wilayah, maka dapat disimpilkan bahwa Kelurahan Bungaejaya termasuk dalam kategori kelurahan padat penduduk.selanjutnya, berdasarkan matapencaharian sebagian besar penduduk Bungaejaya adalah Karyawan swasta yakni sebesar 485 orang.sisanya adalah PNS, Buruh, Wiraswasta, tukang becak, Pensiunan dll, Masyarakat kelurahan bungaejaya terkategori menjadi masyarakat asli dan pendatang.sebagain besar masyarakat asli tinggal di pedalaman kampung, sedangkan para pendatang tinggal di pinggiran jalan utama maupun kampung. Adapun tingkat pendiikan masyarakat terbanyak adalah lulusan SD sebanyak 1510 orang, kemudian lulusan SMP 1325 orang dan SMA 1100 orang. Pada level pelaksana program kegiatan sosial PNPM di Kelurahan ini megalami pasang surut, pada awalnya masyarakat bersemangat untuk merespon program ini, seiring berjalannya waktu masyarakat tidak lagi antusias ketika melihat bantuan justru mengalir pada warga yang kenal dekat dengan pengurus BKM. Kegiatan sosial kursus dan pendidikan informal lainnya hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat di Kelurahan Bunga Ejaya. dalam praktek kerjasamnya Pengurus BKM sangat dekat dengan Faskel, tapi tidak dengan Kelurahan (lurah) dan PJOK. meskipun mengaku hubungan yang baik denga aparat Kelurahan dan Kecamatan pada prakteknya terlihat dari hasil wawancara yang saling menyalahkan antara pengurus BKM dengan 186

199 Kelurahan dan PJOK dan sebaliknya. Ejaya dan Belajar dari Kota Makassar, setidaknya ada perbedaan diantara Kelurahaan Bunga Rappokaling, yakni dalam hal mendifinisikan karakter masyarakat perkotaan yang miskin. sebaiknya dikategorikan miskin dalam arti tidak berdaya yang diwakili masyarakat Kelurahan Rappokaling dan miskin namun berdaya yang diwakili Kelurahan Bunga Ejaya. Ketika kategorisasi ini bisa dieksplorasi bisa dipastika akan muncul masalah yang berbeda dengan penyelesaian masalah yang berbeda pula. Adapun persamaannya dalam praktek kerjasama dan kordinasi antar pihak terkait (kelurahan, kecamatan dan pengurus BKM) mengalami hambatan yang cukup serius, bahkan menjurus pada ketidakpercayaan diantara pelakunya. Oleh sebab itu, menjadi jelas ketika muncul kondisi saling menyalahkan, persoalan ini juga melebar ke arah proses pertanggungjawaban admisnistrasi dimana Pengurus BKM tidak pernah menyampaikan laporannya pada PJOK, apalagi mengkomunikasikan secara intensif dengan Lurah. 5. Kota Bengkulu Peran dari tokoh-tokoh masyarakat cukup dominan dalam penentuan kegiatan-kegiatan sosial yang ada di Kelurahan tersebut. Peran dominan dari tokoh masyarakat ini seringkali mengalahkan peran dari Faskel maupun dari BKM sendiri. Hal ini tercermin dari kegiatankegiatan sosial yang dilaksanakan di Kelurahan Panorama. Mayoritas anggaran yang ada di BKM justru diperuntukkan untuk pembelian pembelian tenda dan kursi. Hampir semua Rukun Tetangga yang ada di Kelurahan Panorama sekarang memiliki tenda dan kursi yang disewakan ke penduduk di kelurahan tersebut maupun penduduk di luar daerah. Kondisi demikian disebabkan juga karena kultur masyarakat yang Bengkulu yang suka berpesta. Ada budaya jabar uang dan sering ada pesta. Ketika terjadi musibah kematian saja, acara tahlil sampai 2 minggu. Dan juga ada shalat berjamaah maghrib dan isya bersama-sama. Bagi masyarakat miskin, kebutuhan akan persewaan tenda ini tentunya sangat memberatkan dan menambah beban mereka. Dengan dasar inilah masyarakat kemudian merasakan keberadaan tenda dan kursi menjadi sebuah kebutuhan. Pada tingkat BKM di dua kelurahan tersebut juga kurang terlihat inovasi untuk membuat kegiatan sosial ini berkelanjutan. Di tingkat sumber daya manusia, semua anggota BKM juga tidak semua aktif di sini. Bahkan untuk pembuatan proposal maupun untuk penulisan laporan banyak dibuatkan oleh Faskel. BKM khususnya BKM yang ada di Kelurahan Panorama juga kurang memiliki visi ke depan. Sementara di BKM Kelurahan Pasar Melintang memang sudah ada upaya agar dana yang ada tidak habis pakai. Misalnya 187

200 dengan menginvestasikan dana ke beberapa pengusaha. Namun demikian program yang lainya masih karitatif. Stuktur manajemen di tingkat KMW maupun Korkot juga berperan dalam mengawal kegaitan sosialnya. Sayangnya di tingkat KMW tidak ada Tenaga Ahli khusus untuk kegiatan sosial sehingga menyebabkan proses pendampingan kegiatan sosial menjadi tidak optimal. Demikian juga di tingkat korkot, pendampingan kegiatan sosial hanya dititipkan di tingkat urban planner. Di tingkat paling bawah, program kegiatan sosial pun hanya dititipkan ke faskel lain karena tidak ada faskel khusus untuk kegiatan sosial. Pihak KMW maupun Korkot sendiri juga mengakui bahwa pada tingkat BKM maupun Faskel terjadi kesalahpahaman dalam memaknai arti keberlanjutan program. Keberlanjutan hanya sekedar dimaknai bahwa kegiatan sosial yang dilakukan tidak sekedar habis sekali pakai. Kemudian PJOK di kedua wilayah tersebut ternyata kurang menguasai persoalan PNPM di wilayah mereka. Jawaban-jawaban yang ada cenderung normatif dan berbeda dengan realitas di lapangan. Misalnya yang terjadi ketika peneliti melakukan wawancara di Kelurahan Teluk Segara ketika PJOK ditanya kelurahan mana yang terbaik dan juga kelurahan mana yang masih belum maksimal dalam menyusun program kegiatannya, PJOK menyatakan rata-rata baik. Ketika ditanya jenis kegiatan yang dilaksanakan oleh BKM dan KSM di wilayahnya, PJOK menjawab bahwa semua jenis kegiatan yang dilaksanakan disusun sesuai dengan pedoman dari P2KP dan PNPM. Ketika ditanya tentang pola pelaporan, PJOK juga menyebutkan bahwa laporan telah dibuat secara tertib dan ia juga menandatanganinya. Dari pola jawaban dan respon tersebut memberikan gambaran bahwa perhatiannya pada tugas dan kewajiban sebagai PJOK tidak serius. Kurang berjalannya kegiatan sosial yang Kelurahan Bengkulu secara baik juga disebabkan kerena dukungan dari lurah juga tidak optimal. Lurah Pasar Melintang, misalnya tidak banyak mengetahui secara detail dan lengkap mengenai program PNPM atau P2KP yang dilaksanakan di kelurahan yang dipimpinnya, karena baru mulai menjadi lurah di Pasar Melintang pada bulan Juli tahun lalu (baru 1 tahun). Namun demikian pada dasarnya sebagai lurah tidak menolak adanya kegiatan tersebut. Ia mengingatkan bahwa data yang digunakan untuk menentukan kelompok sasaran dari keluarga yang tidak mampu sering kali antara kepentingan dari lebaga satu dengan lembaga lainnya tidak sama. Hal ini terkait dengan perbedaan data untuk PNPM, BLT dan program lainnya yang sasarannya warga tidak mampu. Perbedaan jumlah data warga tidak mampun diindikasikan dengan adanya kelompok miskin pesanan ; yakni dari keluarga yang semestinya tidak miskin namun minta untuk dimasukkan dalam daftar keluarga yang tidak mampu. Demikian juga dengan yang 188

201 terjadi di Kelurahan Panorama. Di kelurahan ini selain program PNPM Mandiri Perkotaan juga ada PNPM Mandiri Perdesaan. Keberadaan dua program di satu kelurahan ini menyebabkan program pengentasan kemiskinan di kelurahan menjadi tumpang tindih. Fungsi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat juga tidak berfungsi. Kemudian di level pemerintah daerah, kegiatan PNPM perkotaan tersebut di bawah koordinasi dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (Bappeda). Bappeda ternyata hanya mengkoorinasikan kegiatan P2kP saja tidak yang lain, dan tidak tahu program yang lainnya. Dari Bappeda mengakui bahwa keterbatasan dana pendamping menyebabkan program pendampingan PNPM ini menjadi tidak berjalan efektif. Kendala yang menghambat lainnya adalah pejabat pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan PNPM juga memiliki kesibukan lain sebagai seorang birokrat sehingga program pengendalian dan koordinasi program ini menjadi tidak fokus. 6. Kota Medan Masyarakat Kelurahan Belawan, Kecamatan Medan, Kabupaten Belawan Kota Medan sebagian besar mempunyai mata pencaharian yang sama yakni sebagai nelayan, namun pekerjaan nelayan tersebut terbagi menjadi dua yakni nelayan kecil dan buruh nelayan. Nelayan kecil mereka yang mempunyai peralatan sederhana menjaring ikan ditepi pantai untuk dijual. Sebaliknya, yang disebut buruh nelayan mereka yang menangkap ikan dengan peralatan besar (kapal dan Jaring) yang dipinjamkan oleh pegusaha kapal/juragan/tokek yang rata-rata keturuanan Tionghoa (china). Mereka menganggap dengan bekerja sebagai buruh nelayan lebih menguntungkan (tidak memikirkan dana operasional untuk bahan bakar kapal, perawatan perahu dan mereka lebih suka digaji sebesar rupiah sehari) dibandingkan dengan menangkap sendiri dengan kapal dan jaring seadanya yang hanya menghasilkan tangkapan ikan yang sedikit, jika dijual hanya mendapat uang rupiah. Tempat tinggal masyarakat Kelurahan Belawan terkelompok dalam lorong-lorong (gang) yang berisi puluhan sampai ratusan rumah panggung, kondisi tersebut beradaptasi dengan kondisi tepi pantai yang mana pekerjaan mereka sebagai nelayan. Rata-rata satu keluarga mempunyai minimal 5 anggota keluarga (Bapak-Ibu dengan tiga anak), ada yang masih tinggal di kelurahan tersebut, ada pula yang menjadi migran ke kota lain. Program P2KP di Kelurahan Belawan telah ada sejak tahun 2004, dan pada tahun tersebut BKM Kelurahan Belawan yang berlokasi di lorong pemancar lingkungan 29 gudang 189

202 arang cukup mendapat simpati dari masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu tahun 2007 BKM Belawan 1 mendapat respon positif untuk melanjutkan kegiatan program PNPM. Khusus untuk kegiatan social setidaknya BKM Kelurahan Belawan merancang dan melaksanakan dua kegiatan sosial di tahun anggaran tersebut.kegiatan sosial tersebut adalah rehabilitasi rumah tidak layak huni dan pelatihan komputer. Pada level pelaksana kegiatan PNPM di Kelurahan Belawan secara substantif masih didominasi oleh pengurus BKM yang dibantu oleh fasilitator. hal ini di indikasikan dari gagasan dan ide kegiatan sosial sebagian besar muncul dari pengurus BKM atas dasar persetujuan dengan fasilitator. Pada level teknis kegiatan sosial memang sudah dikelola oleh BKM sendiri. namun muncul ketidakseimbangan penguasaan antara aspek substansi dan teknis. Alhasil muncul respon pemahaman yang berbeda terhadap kegiatan sosial dari pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Sebut saja Lurah dan PJOK, keduanya meskipun tidak terlibat langsung dalam kegiatan sosial yang dilakukan BKM, keduanya sebenarnya mempunyai peran penting untuk melakukan pengawasan dan sinkronisasi dengan kegiatan sosial pemerintah yang sudah berjalan. Namun respon mereka terhadap kegiatan sosial PNPM di Kelurahan Belawan 1 terkesan pasif, dari hasil wawancara memperlihatkan belum ada kordinasi yang jelas antara aparat kelurahan dan kecamatan dengan BKM. ini terbukti ketika diminta untuk menggambarkan kordinasi kegiatan sosial yang dilakukan BKM merasa kesulitan untuk menjelaskan kegiatan yang sudah dilakukan BKM. Begitu juga PJOK, merasa hanya menjadi tukang stempel laporan BKM. Meskipun secara personal pengurus BKM dengan aparat kelurahan dan PJOK kecamatan sudah saling tahu dan kenal. Tetapi dalam praktek kerjasama program mereka (BKM, Lurah,dan PJOK) belum berjalan seiiring alias bekerja sendiri-sendiri. Lurah hanya mengandalkan laporan dari bawahannya, sedangkan PJOK bahkan belum pernah kelokasi kegiatan sosial yang laporannya ditandatanganinya. Selanjutnya, kondisi pelaksana kegiatan sosial di Kelurahan Sukaraja menghadapi dinamika peluang dan hambatan yang berbeda pula. Jika dilihat dari kondisi geososial, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun berlokasi di tengah Kota Medan, sebagian besar masayarakatnya bermata pencaharian sebagai pegadangan dan pengusaha, meskipun dari tepi jalan besar terlihat bangunan rumah toko dan permukiman mewah, namun di bagian belakang dari pertokoan tersebut terhampar perumahan yang padat. Kebanyakan dihuni oleh masyarakat miskin kota. Rata-rata mereka bermata pencaharian sebagai buruh dan pekerja kasar. Di Kelurahan Sukaraja masyarakatnya cukup bervariasi etnisitasnya. Terbesar adalah 190

203 WNI keturunan (tionghoa) sebanyak 3711 KK, etnis Minang sebanyak 836 KK, kemudian di susul etnis melayu sebanya 763 KK dan Jawa sebanyak 733 KK, sedangkan etnis Batak dan Mandailing tidak banyak yakni 431 KK Batak dan 339 KK dari Mandailing. Komposisi etnis dan jumlah keluarga yang banyak, cukup membuat wilayah Kelurahan Sukaraja menjadi padat. Kondisi tersebut memaksa mereka untuk bermukim di bantaran sungai maupun di lorong-lorong.sedangkan mereka yang menempati di pertokoan dan permukiman di jalan utama adalah mereka dari etnis tionghoa.dari hasil observasi masyarakat etnis tionghoa dalam kesehariannya lebih suka menggunakan bahasa mandarin (hokkian dan fujing) daripada mengunakan bahasa Indonesia.Bahkan beberapa diantaranya masih berstatus Non- WNI.Fenomena ini secara tidak langsung memberi batas interaksi di kelurahan tersebut. Kegiatan sosial mulai di inisiasi sejak tahun 2006, setidaknya ada dua kegiatan sosial yang dirancang dan dilakukan di kelurahan ini, yakni : Santunan kepada janda miskin dan Pelatihan tata boga (memasak). Kegiatan sosial ini dibiayai dengan anggaran tahun Meskipun kemudian pencairan dana BKM sempat terhenti karena alasan yang tidak jelas. Melihat letaknya yang di pusat Kota Medan, sepintas hambatan dasar seperti tingkat pendidikan masyarakat yang rendah dan akses informasi terhadap program dapat eleminir. Namun dugaan tersebut melesat justru kegiatan sosial di Kelurahan ini dapat dinilai sulit dijalankan. sampai tahun ini hanya ada dua kegiatan sosial (santunan janda miskin dan memasak). hambatan muncul ketika kegiatan sosial harus mampun menjembatani variasi etnis masyarakat yang beragam. pada level pelakasanaan kegiatan sosial muncul sekatsekat etnis yang justru menganggu esensi kegiatan sosial PNPM yang salah satu indokator keberhasilannya di ukur dari tingkat partisipasi masyarakat. Oleh sebab itu, dalam kasus Kelurahan Sukaraja kegiatan sosial di dukung oleh ibu-ibu PKK Kelurahan. meskipun didukung oleh elemen kelurahan, aparat kelurahan dinilai tidak tahu banyak tentang kegiatan sosial PNPM yang dikelola BKM. begitu juga aparat kecamatan yang diwakili oleh PJOK. bahkan beberapa pengurus BKM menyatakan tidak kenal dengan PJOK. Kondisi tersebut sekaligus memperjelas posisi kordinasi dan kerjasama yang tidak seimbang, meskipun Pengurus BKM tinggal satu atap di Kantor Kelurahan Sukaraja. Dari dua Kelurahan di Kota Medan ini muncul perbedaan dan persamaannya terkait dengan pelaksanaan kegiatan sosial PNPM. Perbedaan yang menonjol adalah meskipun dalam disebut masyarakat Kota, keduanya mempunyai karakter yang berbeda. Kelurahan Belawan 1 dengan karakter masyarakat nelayan sedangkan Kelurahan Sukaraja mempunyai karakter masyarakat perdanganngan. perbedaan ini dinilai mempengaruhi cara pandang sebagian besar masyarakatnya dalam mendorong keberhasilan dan kegagalan kegiatan 191

204 sosial PNPM di Kota Medan. Sedangkan persamaannya, pada level pelaksanaan program dengan aparat Kelurahan maupun Kecamatan megalami kendala kordinasi dan kerjasama. dari hasil wawancara muncul persoalan kedua kelurahan tersebut adalah komunikasi dengan aparat kelurahan dan kecamatan dapat dihitung dengan jari. bahkan di Sukaraja rapat kordinasi dengan Kelurahan bisa dikatakan jarang karena alasan kesibukan pengurus BKM yang sebagain besar adalah pedagang. 192

205 BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. Pola kegiatan sosial ini dapat dilihat dari aspek keberlanjutan dampak program dan keterkaitan kegiatan sosial tersebut dengan kegiatan sosial yang sudah ada sebelumnya (existing activity). Dilihat dari aspek keberlanjutan dampak program, kegiatan sosial BKM juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu pertama, Program kegiatan sosial yang bersifat sekali habis. Program ini pada umumnya berupa berbagai bentuk santunan dan bantuan. Kedua, Program kegiatan sosial yang dampaknya berkelanjutan. Jenis ini dapat dibedakan menjadi dua: (1) program yang berdampak pada pengembangan kapasitas penerima bantuan, sebagai contoh program pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan, (2) program yang dananya dikelola oleh kelompok (KSM) dan dimanfaatkan oleh warga miskin secara bergilir. Jenis (2) ini dapat dibedakan menjadi dua: (a) dana yang dikelola KSM dimanfaatkan secara bergulir oleh warga miskin, (b) program yang dikelola oleh KSM digunakan untuk usaha, dan hasilnya dapat digunakan untuk memberikan berbagai bentuk bantuan sosial kepada warga miskin. Sedangkan dilihat Dilihat dari kaitannya dengan berbagai kegiatan sosial yang sudah ada sebelumnya (existing activity), pola kegiatan sosial oleh BKM juga 194

206 dapat dibedakan menjadi pertama, Program yang diintegrasikan dengan kegiatan sosial yang sudah ada dan melembaga dalam masyarakat. Pada umumnya program BKM dalam bentuk ini diintegrasikan dengan kegiatan Posyandu atau PKK. Di salah satu kelurahan diintegrasikan dengan program kejar paket.kedua, program yang merupakan kreasi baru oleh BKM. Program- program kegiatan sosial lebih banyak diinisiasi oleh para tokoh masyarakat, baik pengelola BKM, UPS, KSM maupun tokoh masyarakat lain. Inisiator yang dapat dikatakan paling dekat dengan warga miskin adalah Ketua RT dan para relawan yang sebagian kemudian banyak yang menjadi pengurus KSM. Sebetulnya secara prosedural, kegiatan perencanaan dan penentuan program sudah dilaksanakan menurut rekomendasi, sehingga terkesan bersifat bottom up. Walaupun demikian dalam realitanya warga miskin masih belum banyak menggunakan kesempatan dalam proses tersebut untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya. Dengan perkataan lain perencanaan dari bawah masih sebatas procedural belum substansial. 2. Dilihat dari dari potensi keberlanjutan, ternyata sebagian besar kegiatan sosial yang ada masih bersifat karitatif. Namun demikian dari hasil penelitian di lapangan ditemukan bahwa kegiatan sosial yang diintegrasikan dengan kegiatan yang sudah ada lebih memiliki potensi untuk memiliki berkelanjutan. Hal itu disebabkan karena programnya diwadahi atau diintegrasikan dalam kegiatan yang sudah melembaga. Karena kegiatan tersebut sebelumnya sudah melembaga dalam masyarakat, maka dapat terus berlangsung walaupun tidak lagi ada dana dari BKM. Sudah tentu dengan catatan bahwa kucuran dana oleh BKM dapat menjadi stimulan untuk lebih mendorong pemanfaatan modal sosial yang ada, bukan justru sebaliknya mereduksi modal sosial dan menimbulkan sifat ketergantungan. Meskipun demikian, dari hasil penelitian lapangan dapat diinventarisasi beberapa kelemahan yang perlu dipikirkan antisipasinya dalam perkembangan lebih lanjut. Beberapa hal yang dapat dianggap sebagai kelemahan tersebut adalah bahwa kegiatan kegiatan yang dilakukan tidak secara nyata terkesan sebagai kegiatan BKM, setidak tidaknya dalam persepsi masyarakat. Kelemahan lain adalah kelompok sasaran dan pengelola kegiatan tersebut terbawa untuk mengikuti pola yang selama ini sudah berjalan. 3. Kegiatan sosial yang memiliki potensi keberlanjutan ternyata adalah kegiatan-kegiatan sosial yang didukung oleh beberapa aspek yaitu partisipasi warga masyarakat, 195

207 dukungan dari berbagai lembaga sosial keagamaan, pengusaha lokal, fasilitator kelompok (faskel), sinergi dengan pemerintah desa dan dukungan dari pemerintah daerah. Namun demikian, dukungan-dukungan tersebut tidak ditemukan di semua lokasi penelitian sehingga kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh BKM ada yang dan ada yang tidak eksis. 4. Beberapa faktor yang diidentifikasi menjadi hambatan dalam pelaksanan program PNPM Perkotaan adalah : kesesuaian pendekatan administrasi dengan kebutuhan orientasi program secara ideal (penyelenggaraan program masih terjebak pada pendekatan administratif semata dan bukan pada pendekatan proyek), fasilitator yang kurang mampu berinteraksi dengan masyarakat, rotasi fasilitator yang terlalu cepat. Di tingkat masyarakat faktor penghambat terletak pada rendahnya partisipasi masyarakat. Mereka lebih senang sekedar sebagai obyek penerima dari program dibandingkan sebagai subyek pelaksana program. Dukungan dari pemerintah desa, PJOK dan pemerintah daerah juga tidak optimal terbukti masih banyak program yang tumpang tindih di level desa sehingga menyebabkan program ini menjadi tidak maksimal. B. Rekomendasi Beberapa rekomendasi yang dapat ditawarkan untuk kegiatan PNPM perkotaan dimasa yang akan datang adalah sebagai berikut : 1. Di tingkat manajemen pelaksanaan proyek, pendekatan yang digunakan dalam program PNPM semestinya mengutamakan pendekatan proses daripada sekedar pendekatan administratif. Hal ini disebabkan tumbuhnya BKM menjadi lembaga yang mandiri hanya mungkin terwujud melalui proses belajar sosial sehingga terjadi proses institusionalisasi. BKM dalam jangka panjang bukan sekedar sebuah organisasi, melainkan organization that are institution. Dalam kenyataannya pendekatan proses ini ternyata tidak didukung oleh sistem administrasi dalam pelaksanaannya. Program ini harus mengikuti sistem administrasi reguler yang berorientasi target. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan baik oleh fasilitator maupun masyarakat terikat oleh target waktu yang ketat. Kondisi seperti itu tidak memberikan iklim yang kondusif bagi pendekatan proses, sehingga program programnya dimunculkan sekedar untuk 196

208 merespon turunnya BLM dengan sekedar mengikuti persyaratan proyek. Oleh sebab itu yang tampak adalah bagaimana mengikuti prosedur yang sudah ditentukan tanpa memperhatikan substansinya. Sistem administrasi yang tidak kondusif tersebut, juga diperparah oleh adanya rotasi fasilitator yang relatif cepat. Fasilitator yang baru berhasil menjalin hubungan yang mapan dengan masyarakat segera diganti oleh fasilitator yang baru sehingga harus mulai lagi dengan penyesuaian baru. Padahal, dalam pendekatan proses yang bersifat bottom up dan mengutamakan partisipasi masyarakat perlu dibangun saling percaya antara masyarakat dengan fasilitator. Di samping itu juga dibutuhkan kemampuan empati dari fasilitator dengan kehidupan dan persoalan aktual masyarakatnya. Kesemuanya itu membutuhkan proses, yang dibangun melalui interaksi yang intensif dan kontinyu antara masyarakat dan fasilitator. Di dalam interaksi tersebut terdapat proses saling belajar di antara kedua belah pihak. Dalam pendekatan proses ini, juga penting untuk mengedepankan pemilihan sasaran program yang tepat. Indikator-indikator untuk menentukan siapa yang tepat menjadi sasaran perlu dirumuskan secara tepat sehingga sasaran program dapat benar-benar sesuai dengan apa yang menjadi target dalam program tersebut. Oleh karena itu, perlu misalnya menggeser indikator kemiskinan absolut menjadi kemiskinan relatif agar program PNPM dapat tepat sasaran. Dalam konteks pemilihan program pun demikian. Selain memperhatikan kebutuhan riil yang dihadapi oleh masyarakat juga harus memperhatikan aspek yang lebih luas sehingga keberlajutan kegiatan sosial dapat tercapai. Misalnya dalam memilih jenis kegiatan sosial harus mempertimbangkan aspek yang makro/luas. Hal ini banyak ditemukan dalam kegiatan-kegiatan pelatihan dimana kegiatan pasca pelatihan seperti bagaimana proses produksi, proses pemasaran belum tersentuh. Selaras dengan pendekatan proses yang dilakukan, pada tingkat manajemen proyek perlu ada pelurusan kembali tentang apa definisi dari kegiatan sosial yang berkelanjutan karena realitasnya masing-masing KMW/Korkot cenderung menerjemahkan dan memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Hal ini yang menyebabkan bentuk-bentuk kegiatan sosial yang berkelanjutan pun menjadi berbedabeda. 2. Dalam Konteks pengembangan Tri daya (Kegiatan sosial, kegiatan ekonomi dan kegiatan infrastruktur) perlu ada desain yang jelas agar ketiga sektor tersebut saling berkaitan sama lain. Selama ini, diantara tiga kegiatan tersebut cenderung berjalan 197

209 sendiri dan kurang berjalan secara sinergis. Idealnya perlu ada sinergitas ketiga sektor tersebut yang terwujud dalam kegiatan-kegiatan. Sebagai contoh dalam kegiatan sosial yang berupa pelatihan misalnya perlu dilanjutkan dengan bantuan permodalan yang merupakan contoh bagian dari kegiatan ekonomi. Dari hasil penelitian banyak yang kegiatan sosial yang berhenti setelah selesainya kegiatan pelatihan seperti pelatihan tata boga membuat roti, pelatihan menjahit maupun pelatihan komputer. Hal ini dikarenakan proses kegiatan sosial yang tidak memperhatikan keterkaitan dengan kegiatan di sektor yang lain. Selain itu, penting juga dalam pengembangan Tri daya ini adalah adanya pembagian alokasi anggaran. Porsi untuk kegiatan-kegiatan tersebut tidak harus seragam antar daerah tergantung dengan potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh daerah sasaran karene di beberapa BKM sudah terpatri bahwa alokasi anggaran untuk kegiatan prasarana infrastruktur 70%, kegiatan ekonomi 20% dan kegiatan sosial 10%. Pola alokasi anggaran semacam ini seringkali terlalu kaku dalam implementasinya. Ke depan perlu ada pelurusan kembali tentang pola pembagian alokasi anggaran dari BLM tersebut sehingga lebih fleksibel dalam pelaksanaannya. Mungkin kelurahan tertentu memiliki porsi kegiatan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan porsi kegiatan sosial yang lain sehingga membutuhkan anggaran yang lebih besar pula atau dapat juga sebaliknya tergantung pada kondisi daerah. 3. Perlu ada upaya secara sinergis untuk mengembangkan BKM menjadi lebih mandiri dan melakukan institusionalisasi atas kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh BKM. Strategi intervensi yang dilakukan oleh faskel perlu memperhatikan karakteristik dari masing-masing BKM sehingga pola intervensinya pun harus berbedabeda. Dalam upaya menumbuhkan kemandirian masyarakat, BKM perlu mendorong potensi-potensi modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Pengembangan jaringan dengan kegiatan-kegiatan sosial yang sudah ada dan pengembangan channeling dengan program-program dari pemerintah daerah maupun program-program corporate social responsibility dari perusahaan swasta perlu terus didorong sehingga kegiatan-kegiatan sosial yang ada benar-benar berorientasi pada keberlanjutan program. Selain itu BLM yang diperoleh harus didorong agar menjadi stimuli bagi pengembangan modal sosial yang ada di masyarakat. Dalam upaya mengentaskan kemiskinan di lingkungannya, BKM juga dapat melakukan pemanfaatan warga masyarakat yang tidak miskin dan potensi-potensi sosial dari organisasi sosial keagaaman seperti Lembaga Amal Zakat 198

210 Infaq Sodaqoh (LAZIS). Dengan demikian sumber daya dan dana untuk pengentasan kemiskinan menjadi lebih besar. Pola-pola seperti Bapak Asuh misalnya dapat diterapkan untuk mendukung program pengentasan kemiskinan. Di sinilah BKM harus mampu membangun kepercayaan kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat percaya terhadap eksistensi BKM 199

211 DAFTAR PUSTAKA Hasbullah, Jousairi, 2006, Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia), Jakarta, MR-United Press. Konsultan Evaluasi Nasional P2KP-2 (National Evaluation Consultant) Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2008, Laporan Evaluasi Dampak P2KP-2, Kuantitatif. Korten, David C., 1987, Community Management, Kumarian Press, West Hartford, Connectitut. Patton, Michael Quinn, 1987, How To Use Qualitative Methods In Evaluation, Newbury Park, London, New Delhi, Sage Publications. Rakodi, Carole With Tony Llyod-Jones (editor), 2002, Urban Livelihood, A People-Centered Approach To Reducing Poverty, Earthscan Publications Limited, London, Sterling VA. Soetomo, 2008, Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar 200

212 DAFTAR TABEL Tabel II.1 Gambaran Umum Tahapan P2KP Menurut Satuan Administratif 10 Tabel II.2 Daftar Pertanyaan Pokok Kajian Kegiatan Sosial Dalam P2KP 16 Tabel III.1 Jadwal Menurut Tahapan Utama Penelitian 18 Tabel III.2 Teknik Pengumpulan Data 21 Tabel V.1 Kegiatan Sosial Program PNPM Di Enam Lokasi Sasaran 39 Tabel V.2 Pola Kegiatan Sosial 53 Tabel V.3 Inisiator Kegiatan Sosial 57 Tabel V.4 Faktor Pendukung Kegiatan Sosial 62 Tabel V.5 Faktor Penghambat Kegiatan Sosial 70 Tabel V.6 Kapasitas Aktor Dan Pola Kegiatan Sosial 75 Tabel V.7 Perbandingan Pengaruh Kapasitas BKM Di Kota Pasuruan 78 Tabel V.8 Perbandingan Pengaruh Kapasitas KSM Di Kota Pasuruan 79 Tabel V.9 Perbandingan Pengaruh Kapasitas Relawan Di Kota Pasuruan 81 Tabel V.10 Perbandingan Pengaruh Stratifikasi Sosial Di Kota Pasuruan 82 Tabel V.11 Perbandingan Pengaruh Institusi Sosial Di Kota Pasuruan 83 Tabel V.12 Perbandingan Kemampuan Pengurus BKM Di Kota Surabaya 88 Tabel V.13 Perbandingan Peran dan Kemampuan Relawan Di Kota Surabaya 91 Tabel V.14 Perbandingan Pengaruh Lingkungan Sosial Di Kota Surabaya 88 Tabel V 15 Perbandingan Pengaruh Institusi Sosial Di Kota Surabaya 95 Tabel V.16 Perbandingan Pengaruh Kapasitas BKM Di Kota Gorontalo 99 Tabel V.17 Perbandingan Pengaruh Kapasitas KSM Di Kota Gorontalo 100 Tabel V.18 Perbandingan Pengaruh Kapasitas Relawan Di Kota Gorontalo 101 Tabel V.19 Perbandingan Pengaruh Stratifikasi Sosial Di Kota Gorontalo 102 Tabel V.20 Perbandingan Pengaruh Institusi Sosial Di Kota Gorontalo 103 Tabel V.21 Perbandingan Pengaruh Kapasitas BKM Di Kota Makassar 106 Tabel V.22 Perbandingan Pengaruh Kapasitas KSM Di Kota Makassar 107 Tabel V.23 Perbandingan Pengaruh Kapasitas Relawan Di Kota Makassar 109 Tabel V.24 Perbandingan Pengaruh Stratifikasi Sosial Di Kota Makassar 110 Tabel V.25 Perbandingan Pengaruh Institusi Sosial Di Kota Makassar 111 Tabel V.26 Perbandingan Kemampuan Pengurus BKM Di Kota Bengkulu 114 Tabel V.27 Perbandingan Peran dan Kemampuan Relawan Di Kota bengkulu 117 Tabel V.28 Perbandingan Pengaruh Lingkungan Sosial Di Kota Bengkulu 118 Tabel V.29 Perbandingan Peran Institusi Sosial Di Kota Bengkulu 121

213 Tabel V.30 Perbandingan Pengaruh Kapasitas BKM Di Kota Medan 124 Tabel V.31 Perbandingan Pengaruh Kapasitas KSM Di Kota Medan 126 Tabel V.32 Perbandingan Pengaruh Kapasitas Relawan Di Kota medan 127 Tabel V.33 Perbandingan Pengaruh Stratifikasi Sosial Di Kota Medan 129 Tabel V.34 Perbandingan Pengaruh Institusi Sosial Di Kota Medan 130

214 DAFTAR GRAFIK Grafik V.1. Perbandingan jumlah kegitan per kelurahan 43 Grafik V.2. Perbandingan tipe kegiatan sosial antar daerah 45 Grafik V.3. Perbandingan pola kegatan per kelurahan 46 Grafik V.4. Tingkat keberlanjutan program sosial 47 Grafik V.5. Perbandingan tipe kegiatan per kelurahan 48 Grafik V.6. Keterkatitan program dengan kegiatan sosial sebelumnya 51 Grafik V.7. Keterkaitan program sosial dengan lembaga sosial 52 Grafik V.8. Keterkaitan dan tingkat keberlanjutan kegiatan sosial 53 Grafik V.9. Perbandingan jumlah KSM antar kelurahan 57 Grafik V.10. Perbandingan inisiator program sosial antar daerah 58 Grafik V.11. Faktor pendukung kegiatan sosial 66 Grafik V.12. Faktor penghambat kegiatan sosial 73

215 DAFTAR DIAGRAM Diagram V.1. Keterkaitan dan tingkat keberlanjtan kegiatan sosial 54 Diagram V.2. Faktor pendukung kegiatan sosial 67 Diagram V.3. Faktor penghambat kegiatan sosial 74

216 DAFTAR GAMBAR Gambar I.1. Tahapan Perubahan Sosial melalui P2KP 3 Gambar II.1. Pesebaran Lokasi Sasaran P2KP-1, P2KP-2 dan P2KP-3 8 Gambar IV.1. Struktur Organisasi Tim Pelaksana Kajian 23 Gambar V.1. Salah satu janda penerima bantuan sosial di Surabaya 90 Gambar V.2. Kegiatan PAUD di Kelurahan Gundih Surabaya 92 Gambar V.3. lingkungan pemukiman di kelurahan Gundih 93 Gambar V.4. Pembelian Kursi untuk Kebutuhan Pesta di Gorontalo 98 Gambar V.5. Tempat pelatihan ketrampilan menjahit 115 Gambar V.6. Perajin rotan yang juga memberikan pelatihan keterampilan 115 Gambar V.7. Pengusaha penerima pinjaman dana bergulir 119 Gambar V.8. Kondisi rumah warga kurang mampu 120 Gambar V.9. Perlengkapan peralatan pesta hasil bantuan PNPM 155 Gambar V.10. Peserta kursus computer mendapatkan sertifikat kursus 167

217

218 1. Kota Surabaya 2. Kota Pasuruan

219 3. Kota Medan

220 4. Kota Bengkulu

221 5. Kota Makassar

222 6. Kota Gorontalo

223 Lampiran 1 No Pertanyaan Penelitian 1 Pola kegiatan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh BKM MATRIKS PERTANYAAN PENELITIAN DAN INSTRUMEN PENELITIAN TEAM 4 (STUDY ON COMMUNITY ORGANIZED SOCIAL ACTIVITIES IN PNPM MANDIRI) Isu Penelitian Informan Strategi dan Instrumen Penelitian 1. Jenis dan kontinyuitas kegiatan yang dilaksanakan 2. Alasan kegiatan social dipilih 3. Inisiator perencanaan kegiatan sosial tersebut muncul 4. Bagaimana proses Perencanaan disusun Informan Utama : 1. KSM/Panitia 2. UPS 3. BKM 4. Fasilitator Kelurahan Informan Pendukung : 1. Tim Pemetaaan Swadaya 2. Pemerintah Desa 3. PJOK Kecamatan 4. Korkot 5. KMW 1. Pengamatan on the spot : Mengamati kegiatan sosial, misal kondisi status sosial ekonomi, dan hasil-hasil kegiatan sosial yang ada. 2. FGD dengan BKM, UPS, Faskel dan KSM/Panitia: Item Pertanyaan: ` Bagaimana jenis kegiatan social yang dilaksanakan (Isu 1 ) Bagaimana kontiyuitas kegiatan sosial yang dilaksanakan? (Isu 1) Mengapa kegiatan social tersebut dipiih (Isu 2) Siapa saja inisiator yang merencanakan kegiatan-kegiatan sosial yang dilaksanakan tersebut? (Isu 3) Bagaimana proses perencanaan kegiatan sosial dilakukan oleh BKM? Siapa saja yang berperan dan dominan dalam proses perencanaan? (Isu 4) Sejauhmana program kegiatan sosial BKM sesuai dengan kepentingan kelompok penerima dan juga sesuai dengan dokumen PJM pronangkis/hasil pemetaan swadaya? (Isu 4) 3. SS Interview (masyarakat sasaran, KSM/Panitia, Tim Pemetaan Swadaya, UPS, BKM, Fasilitator Kelurahan, pemerataan desa, PJOK Kecamatan, Korkot, KMW). Item Pertanyaan : Siapa saja inisiator dan yang merencanakan kegiatankegiatan sosial yang dilaksanakan tersebut? (Isu 3) Bagaimana proses perencanaan kegiatan sosial dilakukan oleh BKM? Siapa saja yang berperan dan dominan dalam proses perencanaan? (Isu 4) Sejauh mana program kegiatan sosial BKM sesuai dengan Analisis Dan Pelaporan On going Analisis, Log Book 1 Page

224 kepentingan kelompok penerima dan juga sesuai dengan dokumen PJM pronangkis/hasil pemetaan swadaya? (Isu 4) 4. SS Interview dilakukan secara purposive tergantung hasil pengamatan dan FGD kepada masyarakat sasaran, KSM/Panitia, Tim Pemetaan Swadaya, UPS, BKM, Fasilitator Kelurahan, PJOK Kecamatan, Korkot, KMW). Item Pertanyaan : Siapa saja inisiator dan yang merencanakan kegiatankegiatan sosial yang dilaksanakan tersebut? (Isu 3) Bagaimana proses perencanaan kegiatan sosial dilakukan oleh BKM? Siapa saja yang berperan dan dominan dalam proses perencanaan? (Isu 4) Sejauh mana program kegiatan sosial BKM sesuai dengan kepentingan kelompok penerima dan juga sesuai dengan dokumen PJM pronangkis/hasil pemetaan swadaya? (Isu 4) 5. Desk Study (data sekunder) Data PJM Pronankis Data Pedoman Teknis PJM Profil Lokasi Riset 2 Page

225 No Pertanyaan Penelitian 2 Prospek keberlanjutan pelayanan sosial sebagai prakarsa awal menuju the sustainable social safety net. 3 Page Isu Penelitian Informan Strategi dan Instrumen Penelitian 1 Jenis dan bentuk pelayanan sosial yang dilaksanakan (santunan, bergulir atau yang lain). 2. Proses pelayanan kegiatan sosial 3.Peran Fasilitator dalam mendorong harapan dan kebutuhan kegiatan sosial berkelanjutan. 4. Strategi intervensi dari fasilitator. Informan Utama : 1. BKM 2. Fasilitator Kelurahan Informan pendukung : 1. Masyarakat Sasaran 2. KSM/Panitia 3. Tim Pemetaaan Swadaya 4. Korkot 5. KMW 6. PJOK Kecamatan 7. UPS 8. Pemdes 1. Pengamatan on the spot : Mengamati jenis dan pelaksanan pelayaan sosial dari BKM 2. FGD BKM, Faskel Item Pertanyaan : Jenis bantuan yang diberikan harus dikembalikan/bergulir atau jenis program harus berlanjut atau tidak dan bagaimana perkembangannya? (Isu 1) Bagaimana proses pelayanan dan kegiatan sosial tersebut dilaksanakan BKM? (Isu 2) Sejauhmana peran BKM dalam pelayanan sosial tersebut? (Isu 3) Apakah fasilitator melakukan pendampingan sesuai workplan dan disusun dalam tahap-tahap yang jelas? (Isu 3) Bagaimana peran faslitator dalam mendorong programprogram yang berkelanjutan? (Isu 3) Bagaimana strategi intervensi yang dilakukan oleh faskel dalam mendorong keberlanjutan program? (Isu 4) 3. In-depth Interview dilakukan secara purposive berdasarkan hasil pengamatan dan FGD. Masyarakat sasaran : Item Pertanyaan : Jenis bantuan yang diberikan harus dikembalikan/bergulir atau jenis program harus berlanjut atau tidak dan bagaimana perkembangannya (Isu 1) Siapa yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan sosial tersebut (Isu 2) Bagaimanakah kemampuan fasilitator dalam menjelaskan program-program kegiatan sosial?. (Isu 3) Bagaimana kemampuan fasilitator dalam berkomunikasi dan meyakinkan kegiatan sosial? (Isu 3) Analisis Dan Pelaporan On going Analisis, Log Book

226 Sejauhmanakah fasilitator menerapkan pendekatan partisipatif dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang menjadi sasaran program? (Isu 4) Untuk KSM Item Pertanyaan : Jenis bantuan yang diberikan harus dikembalikan/bergulir atau jenis program harus berlanjut atau tidak dan bagaimana perkembangannya? (Isu 1) Bagaimana respon terhadap kegiatan sosial yang dilaksanakan BKM? (Isu 2) Siapa yang terlibat dan seberapa besar perannya dalam pelaksanaan kegiatan sosial tersebut (Isu 2) Bagaimana peran mediasi KSM dalam mendorong programprogram yang berkelanjutan? (Isu 3) Bagaimana tingkat ketrampilan fasilitator dalam berkomunikasi dan meyakinkan masyarakat sasaran? (Isu 3) Apakah fasilitator melakukan pendampingan bereferensi pada workplan yang disusun dengan tahap-tahap yang jelas? (Isu 4) Sejauhmanakah KSM menerapkan pendekatan partisipatif dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang menjadi sasaran program? (Isu 4) Untuk Faskel : Item Pertanyaan : Bagaimana proses rekrutmen faskel? (Isu 3) Bagaimana peran faslitator dalam mendorong programprogram yang berkelanjutan? (Isu 3) Sejauhmana fasilitator menerapkan pendekatan partisipatif dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang menjadi sasaran program? (Isu 4) Bagaimana kesesuaian tupoksi Faskel dengan workplan yang telah disusun dengan tahap-tahap yang jelas? (Isu 4) 4 Page

227 Untuk PJOK : Item Pertanyaan Bagaimana proses kegiatan sosial tersebut dilaksanakan? (Isu 2) Siapa yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan sosial tersebut? (Isu 2) Seberapa besar peran mereka dalam kegiatan sosial tersebut? (Isu 2) Bagaimana koordinasi tugas pokok dan fungsi antara PJOK dengan faskel? (Isu 2) Korkot : Item Pertanyaan : Seberapa besar peran mereka dalam kegiatan sosial tersebut? (Isu 2) Bagaimana peran faslitator dalam mendorong programprogram yang berkelanjutan? (Isu 3) Bagaimanakah kemampuan fasilitator menjelaskan substansi dan perannya dalam mempengaruhi strategi implementasi program kegiatan sosial? (Isu 4) Bagaimana ketrampilan fasilitator dalam berkomunikasi dan meyakinkan masyarakat sasaran? (Isu 4) Apakah fasilitator melakukan pendampingan berdasarkan workplan dan disusun dengan tahap-tahap yang jelas? (Isu 4) Sejauhmanakah fasilitator menerapkan pendekatan participatory dalam melakukan pendampingan pada masyarakat yang menjadi sasaran program? (Isu 4) Untuk KMW Item Pertanyaan Bagaimana proses kegiatan sosial tersebut dilaksanakan oleh BKM? (Isu 2) Seberapa besar peran mereka (Korkot, BKM, Faskel dan UPS) dalam kegiatan sosial tersebut? (Isu 2) Bagaimana proses koordinasi dan evaluasi yang mereka 5 Page

228 laksanakan dalam kegiatan sosial? (Isu 2) Bagaimana gambaran mengenai best practices tentang kegiatan sosial di wilayah lain yang diterapkan di daerah anda pernah ditunjukkan dan didiskusikan? (Isu 4) Desk Study : Laporan Kegiatan Sosial dari KSM UPS BKM Pedoman Teknis PJM Pronangkis. Standar Operasional Prosedur No Pertanyaan Isu Penelitian Informan Strategi dan Instrumen Penelitian Analisis Dan 6 Page

229 Penelitian 3 Pilihan dukungan masyarakat (faktor pendukung internal dan eksternal) untuk mendukung kegiatan jangka panjang dan berkelanjuta n. Dukungan internal : (What, Why, When, Who, and How) 1. Partisipasi masyarakat miskin dan kelompok rentan dari daftar PS 2 2. Transparansi dan akuntabilitas dari BKM. 3. Keterkaitan kegiatan dengan institusi sosial dan nilai-nilai sosial yang sudah eksis di masyarakat seperti kelompok-kelompok sosial (kelompok arisan, kelompok keagamaan,kelompok simpan pinjam, Posyandu, nilai-nilai kegotong-royongan). 4. Pemahaman Tujuan dan ekspektasi program masyarakat sasaran terhadap keberlanjutan. Dukungan Eksternal : Jaringan program BKM dengan program stakeholders baik Pemerintah maupun swasta yang sesuai dengan kegiatan dan kebutuhan. Informan Utama : 1. Masyarakat Peduli 2. Tim Pemetaaan Swadaya 3. Pemerintah Desa 4. BKM 5. Fasilitator Kelurahan 6. PJOK Kecamatan Informan pendukung : 1. UPS 2. KSM/Panitia 3. Korkot 4. KMW 1. Pengamatan on the spot : Mengenai institusi lokal, nilai-nilai sosial dan norma yang berkembang di masyarakat. 2. SS Interview : Masyarakat Peduli Item Pertanyaan : Bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dalam proses perencanaan kegiatan sosial? (Isu 1) Bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat miskin dan kelompok rentan dalam pelaksanaan kegiatan sosial BKM? (Isu 1) Bagaimana kegiatan BKM didasarkanpada short-term and long-term workplan yang digali dari masyarakat dan juga dikomunikasikan kepada publik? (Isu 2 dan isu 3) Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban kegiatan sosial BKM? (Isu 2) Bagaimanakah bentuk laporan kegiatan dan keuangan yang dilakukan oleh BKM? (Isu 2) Untuk Tim Pemetaan Swadaya : Item Pertanyaan : Bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan sosial? (Isu 1) Apakah kegiatan BKM dilandasi dengan short-term and longterm workplan yang digali dari kelompok masyarakat dan juga dikomunikasikan kepada publik? (Isu 2 dan isu 3) Bagaimanakah bentuk dan pola pertanggungjawaban kegiatan sosial BKM? (Isu 2) Bagaimanakah bentuk dan pola laporan kegiatan dan keuangan yang dilakukan oleh BKM? (Isu 3) Untuk UPS/BKM : Pelaporan On going Analisis, Log Book 7 Page

230 Item Pertanyaan : Bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan sosial? (Isu 1) Apakah kegiatan BKM dilandasi dengan short-term and longterm workplan yang digali dari kelompok masyarakat dan juga dikomunikasikan kepada publik? (Isu 2 dan isu 3) Bagaimanakah bentuk dan pola pertanggungjawaban laporan keuangan, dan laporan kegiatan sosial BKM? (Isu 2) Bagaimana kemungkinan terjadinya tumpang tindih kegiatan sosial yang diakukan oleh BKM dan yang dlakukan oleh stakeholders ataupun swasta? (Isu 3) Bagaimana sinergi kegiatan sosial BKM dengan program pengentasan kemiskinan pemerintah desa/kelurahan dan stakeholders lain? (Isu 3 dan dukungan eksternal) Bagaimana pola kerjasama yang dilakukan BKM dengan pihak lain dalam upaya memberikan manfaat bagi BKM dan masyarakat miskin? (Isu 3) Adakah inisiasi kerjasama yang dilakukan oleh BKM dengan program CSR swasta? (dukungan eksternal) Bagaimana partisipasi masyarakat bukan sasaran program dalam kegiatan sosial BKM? (Isu 3) Bagaimana bentuk pemanfaatan bantuan kegiatan sosial yang diterima oleh masyarakat yang menjadi sasaran program? (Isu 4) Untuk Faskel Item Pertanyaan : Apakah Faskel mendorong untuk membuka akses BKM dengan jaringan luar (baik Pemda, Swasta dan stakeholders) (Dukungan Eskternal). Untuk PJOK : Item Pertanyaan : 8 Page

231 Apakah PJOK menginisiasi kerjasama BKM dengan Pemda atau stakeholders lain? (Dukungan Eskternal) Untuk Korkot/KMW dan PemDes : Item Pertanyaan : Apakah Korkot/KMW dan PemDes menginisiasi kerjasama BKM dengan Pemda atau stakeholders lain? (Dukungan Eskternal) Desk Study : Dokumen Laporan Kegiatan Sosial dari KSM UPS BKM Dokumen Pedoman Teknis PJM Pronangkis. Standar Operasional Kegiatan Sosial dari KMP. No Pertanyaan Isu Penelitian Informan Strategi dan Instrumen Penelitian Analisis Dan 9 Page

232 Penelitian 4. Terkait dengan hambatan (yang diduga dan obyektif) dalam penggunaan pilihan dukungan yang tersedia. Hambatan Internal : (What, Why, When, Who, and How) 1. Partisipasi masyarakat miskin dan kelompok rentan dari daftar PS2 2. Transparansi dan akuntabilitas dari BKM. 3. Keterkaitan antara institusi sosial dan nilai-nilai sosial yang sudah eksis di masyarakat seperti kelompok sosial (kelompok arisan, kelompok keagamaan,kelompok simpan pinjam, Posyandu, nilai-nilai kegotong-royongan). 4. Pemahaman tujuan dan ekspetasi program masyarakat sasaran terhadap keberlanjutan. Dukungan Eksternal : Peta potensi dan Jaringan program BKM dengan program stakeholders baik Pemerintah maupun swasta yang sesuai Informan Utama : 1. UPS 2. BKM 3. Fasilitator Kelurahan Informan pendukung : 1. Masyarakat Sasaran 2. KSM/Panitia 3. Tim Pemetaaan Swadaya 4. Pemerintah Desa 5. PJOK Kecamatan 6. Korkot 7. KMW 8. Tim Koordinasi Penanggulanga n Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kab/Kota 1. Pengamatan on the spot : Pada institusi lokal, nilai-nilai sosial dan norma yang berkembang di masyarakat. 2. SS Interview dilakukan secara purposive : UPS, BKM dan Faskel Item Pertanyaan : Apa dan bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dalam proses perencanaan kegiatan sosial? (Isu 1) Sejak kapan dan alasan keterlibatan masyarakat miskin dan kelompok rentan dalam pelaksanaan kegiatan sosial BKM? (Isu 2) Apakah kegiatan sosial dilandasi dengan short-term and long-term workplan yang digali dari kelompok masyarakat dan juga dikomunikasikan kepada publik? (Isu 2 Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban kegiatan sosial BKM? (Isu 2) Bagaimanakah bentuk laporan kegiatan dan keuangan yang dilakukan oleh BKM? (Isu 2) Bagaimana pola pelaporan keuangan dilakukan oleh BKM? (Isu 2) Bagaimana pola pelaporan kegiatan sosial oleh BKM? (Isu 2) Untuk Tim Pemetaan Swadaya : Item Pertanyaan : Bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dalam proses perencanaan kegiatan sosial? (Isu 1) Bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat miskin dan kelompok rentan dalam pelaksanaan kegiatan sosial BKM? (Isu 1) Apakah kegiatan BKM dilandasi dengan short-term and longterm workplan yang digali dari kelompok masyarakat dan Pelaporan On going Analisis, Log Book 10 Page

233 dengan kegiatan dan kebutuhan. juga dikomunikasikan kepada publik? (Isu 2 dan isu 3) Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban kegiatan sosial BKM? (Isu 2) Bagaimanakah sistem laporan kegiatan dan keuangan yang dilakukan oleh BKM?: (Isu 2) Apakah Faskel mendorong untuk membuka akses BKM dengan jaringan luar (baik Pemda, Swasta dan sebagainya) (Dukungan Eskternal) Untuk PJOK : Item Pertanyaan : Apakah PJOK menginisiasi kerjasama BKM dengan Pemda atau swasta? (Dukungan Eksternal)) Untuk Korkot/KMW/PemDes : Item Pertanyaan : Apakah Korkot menginisiasi kerjasama BKM dengan Pemda atau swasta? (Dukungan Eksternal) Untuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) : Apakah TKPKD menginisiasi kerjasama BKM dengan Pemda atau swasta? (Dukungan Eksternal) Desk Study : Dokumen Laporan Kegiatan Sosial dari KSM UPS BKM Pedoman Teknis PJM Pronangkis. Standar Operasional Kegiatan Sosial dari KMP. Regulasi/kebijakan dari KMW/Korkot No Pertanyaan Penelitian Isu Penelitian Informan Strategi dan Instrumen Penelitian Analisis Dan Pelaporan 11 Page

234 5 Jenis perubahan rancangan program (termasuk pengembang an prosedurprosedur standar dan kebijakan). 1. What, Why, When, and How Perubahan bentuk kebijakan dari KMP,KMW, Korkot dan BKM dari waktu ke waktu. 2. Proses pelaksanaan kegiatan sosial BKM dari waktu ke waktu. Informan Utama : 1. KMP 2. PU Informan Pendukung : 1. Masyarakat sasaran dan Kelompok Rentan 2. UPS 3. BKM 4. Korkot 5. KMW 6. Pemda 1. In-depth Interview Biografis : Untuk Masyarakat Sasaran : Item Pertanyaan : Jenis dan bentuk perbedaan dan kesamaan kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat sebelum BKM berdiri? (Isu 2) Bagaimana perkembangan kegiatan sosial masyarakat sebelum dan sesudah BKM berdiri? (Isu 2) 2. In-depth Interview secara purposive Untuk KMP/PU Item Pertanyaan : Bagaimana kebijakan dari BKM dalam pelaksanaan kegiatan sosial dari waktu ke waktu? (Isu 1) Bagaimana proses pelaksanaan kegiatan sosial BKM dari waktu ke waktu? (Isu 1) Pola Kegiatan sosial dan kebijakan yang berkembang sebelum dan setelah BKM berdiri? (Isu 1) On going Analisis, Log Book Untuk Korkot/KMW/Pemda/BKM : Item Pertanyaan : Bagaimana perubahan kebijakan pelaksanaan kegiatan sosial dari waktu ke waktu? (Isu 1) Untuk Swasta (Jika Ada) Bagaimana program-program CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang terkait dengan kegiatan sosial BKM yang ada di? (Isu 1) 3. Desk Study : Dokumen Laporan Kegiatan Sosial dari KSM UPS BKM Dokumen Monitoring dan Evaluasi Dokumen Regulasi/kebijakan dari KMW/Korkot/Pemda Dokumen program CSR swasta 12 Page

235 EIGHT STUDIES PLANGantt.html 25/04/ :34 file:///users/fb1/desktop/thematic%20studies%20plan/eight%20studies%20plangantt.html Page 1 of 2

236 EIGHT STUDIES PLANGantt.html 25/04/ :34 file:///users/fb1/desktop/thematic%20studies%20plan/eight%20studies%20plangantt.html Page 2 of 2

237 Lampiran Foto 1. Lingkungan Kumuh Salah Satu Obyek kajian Di Pangungrejo, Kota Pasuruan Foto 2. Pemukiman Padat Sebagai Obyek Kegiatan Sosial di Panggungrejo, Pasuruan. Foto 3. Peneliti Melakukan Wawancara dengan Narasumber di Gundih, Surabaya

238 Foto 4. Focus Group Discussion dengan Informan di Gundih Surabaya Foto 5. Peneliti Berdiskusi Dengan Fasilitator Di Medan

239 Foto 6 FGD dengan fasilitator di Medan Foto 7. Wawancara dengan Informan di Gundih, Surabaya.

DAFTAR ISI Kata Pengantar Executive Summary Daftar isi

DAFTAR ISI Kata Pengantar Executive Summary Daftar isi DAFTAR ISI Kata Pengantar i Executive Summary ii Daftar isi vii Daftar Singkatan x Bab 1 Pendahuluan 1 A. Latar belakang masalah 1 B. Maksud dan Tujuan 5 Bab 2 Kegiatan Sosial Dalam P2KP 7 A. Pemikiran

Lebih terperinci

Pembatasan Pengertian Perencanaan Partisipatif

Pembatasan Pengertian Perencanaan Partisipatif 1 Pembatasan Pengertian Perencanaan Partisipatif (a) Perencanaan Partisipatif disebut sebagai model perencanaan yang menerapkan konsep partisipasi, yaitu pola perencanaan yang melibatkan semua pihak (pelaku)

Lebih terperinci

Study On Community-Organized Social Activities In PNPM Mandiri

Study On Community-Organized Social Activities In PNPM Mandiri Study On Community-Organized Social Activities In PNPM Mandiri Tim Peneliti Sunyoto Usman (Sosiologi) Purwanto (Sosiologi) Derajad S. Widhyharto (Sosiologi) Hempri Suyatna (Sosiatri) Latar Belakang Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun-ketahun, tetapi secara riil jumlah penduduk miskin terus

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun-ketahun, tetapi secara riil jumlah penduduk miskin terus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan

Lebih terperinci

MATRIKS PERTANYAAN PENELITIAN DAN INSTRUMEN PENELITIAN TEAM 4 (STUDY ON COMMUNITY ORGANIZED SOCIAL ACTIVITIES IN PNPM MANDIRI)

MATRIKS PERTANYAAN PENELITIAN DAN INSTRUMEN PENELITIAN TEAM 4 (STUDY ON COMMUNITY ORGANIZED SOCIAL ACTIVITIES IN PNPM MANDIRI) No Pertanyaan Penelitian 1 Pola kegiatan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh BKM MATRIKS PERTANYAAN PENELITIAN DAN INSTRUMEN PENELITIAN TEAM 4 (STUDY ON COMMUNITY ORGANIZED SOCIAL ACTIVITIES

Lebih terperinci

Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : Mei 2009 Lokasi : Pasuruan Jawa Timur

Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : Mei 2009 Lokasi : Pasuruan Jawa Timur Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : 18 26 Mei 2009 Lokasi : Pasuruan Jawa Timur A. Ringkasan Hasil Sangat Sementara Kedua kelurahan ini merupakan sasaran dari program PNPM tahun 2007. Dilihat

Lebih terperinci

TATA CARA PEMBENTUKAN UNIT PENGELOLA (UP) BKM P2KP

TATA CARA PEMBENTUKAN UNIT PENGELOLA (UP) BKM P2KP TATA CARA PEMBENTUKAN UNIT PENGELOLA (UP) BKM P2KP 1. PENDAHULUAN BKM adalah lembaga masyarakat warga (Civil Society Organization), yang pada hakekatnya mengandung pengertian sebagai wadah masyarakat untuk

Lebih terperinci

A. Latar Belakang. C. Tujuan Pembangunan KSM

A. Latar Belakang. C. Tujuan Pembangunan KSM A. Latar Belakang Dalam Strategi intervensi PNPM Mandiri Perkotaan untuk mendorong terjadinya proses transformasi sosial di masyarakat, dari kondisi masyarakat yang tidak berdaya menjadi berdaya, mandiri

Lebih terperinci

Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : 13 Juli 23 Juli 2009 Lokasi : Bengkulu Propinsi Bengkulu

Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : 13 Juli 23 Juli 2009 Lokasi : Bengkulu Propinsi Bengkulu Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : 13 Juli 23 Juli 2009 Lokasi : Bengkulu Propinsi Bengkulu A.Ringkasan Hasil Sangat Sementara Kelurahan Panorama, Gading Cempaka Bengkulu Kelurahan ini merupakan

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 27 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 27 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN KEGIATAN PENDAMPINGAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN DAN PENDAMPINGAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian proses multidimensial yang berlangsung secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu terciptanya

Lebih terperinci

BAB VII PERENCANAAN STRATEGI PEMBERDAYAAN BKM DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN.

BAB VII PERENCANAAN STRATEGI PEMBERDAYAAN BKM DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN. BAB VII PERENCANAAN STRATEGI PEMBERDAYAAN BKM DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN. Fungsi BKM pada program penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Pakembaran perlu ditingkatkan, sehingga dalam pemberdayaan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN TEMUAN KAJIAN

KESIMPULAN DAN TEMUAN KAJIAN KAJIAN PERAN PEMERINTAH DALAM PNPM P2KP TIM 7 KAJIAN PERAN PEMDA PT. DWIKARSA ENVACOTAMA KESIMPULAN DAN TEMUAN KAJIAN 1 KESIMPULAN UMUM KOORDINASI (PP1)!! Koordinasi antar dinas hanya sebatas instansi

Lebih terperinci

4.1. TINGKAT NASIONAL Project Management Unit (PMU)

4.1. TINGKAT NASIONAL Project Management Unit (PMU) PNPM Mandiri Perkotaan merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari PNPM Mandiri Nasional oleh sebab itu pengelolaan program ini juga merupakan bagian dari pengelolaan program nasional PNPM Mandiri

Lebih terperinci

Matrix Pertanyaan Penelitian, Issue, Informan, Metode, Instrumen, dan Data Sekunder Studi Kerelawanan

Matrix Pertanyaan Penelitian, Issue, Informan, Metode, Instrumen, dan Data Sekunder Studi Kerelawanan Matrix Pertanyaan Penelitian, Issue, Informan, Metode, Instrumen, dan Data Sekunder Studi Kerelawanan Pertanyaan Penelitian Siapakah yang menjadi relawan dan apa saja jenis kemampuan, kapasitas, dan komitmen

Lebih terperinci

USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF

USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF Nama Alamat : Ronggo Tunjung Anggoro, S.Pd : Gendaran Rt 001 Rw 008 Wonoharjo Wonogiri Wonogiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kehidupan yang layak. Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kehidupan yang layak. Kemiskinan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kehidupan yang layak. Kemiskinan memiliki ciri yang berbeda

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 116 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 6.1. Kesimpulan Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang kompleks dibutuhkan intervensi dari semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Selain peran

Lebih terperinci

LAPORAN UJI PETIK PELAKSANAAN SIKLUS PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2009 PENGELOLAAN DANA BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT (BLM) Bulan Agustus 2009

LAPORAN UJI PETIK PELAKSANAAN SIKLUS PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2009 PENGELOLAAN DANA BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT (BLM) Bulan Agustus 2009 LAPORAN UJI PETIK PELAKSANAAN SIKLUS PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2009 PENGELOLAAN DANA BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT (BLM) Bulan Agustus 2009 KEGIATAN PENGELOLAAN DANA BLM Dana BLM merupakan dukungan dana stimulan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI KAJIAN

BAB III METODOLOGI KAJIAN BAB III METODOLOGI KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Dalam menjalankan upaya penanggulangan kemiskinan di wilayah kerjanya, maka Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) membutuhkan suatu kerangka pelaksanaan program

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

KEGIATAN PILOT PENDAMPINGAN KSM

KEGIATAN PILOT PENDAMPINGAN KSM KEGIATAN PILOT PENDAMPINGAN Bappenas menyiapkan strategi penanggulangan kemiskinan secara lebih komprehensif yang berbasis pada pengembangan penghidupan berkelanjutan/p2b (sustainable livelihoods approach).

Lebih terperinci

STRATEGI PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PNPM

STRATEGI PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PNPM STRATEGI PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PNPM Deputi Meneg PPN/Kepala Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan UKM Rakornas Gubernur dan Bupati/Walikota dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional I. LATAR BELAKANG Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 1. TinjauanPustaka PNPM Mandiri PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan

Lebih terperinci

TIM 4. Study On Community-Organized Social Activities In PNPM Mandiri

TIM 4. Study On Community-Organized Social Activities In PNPM Mandiri TIM 4 Study On Community-Organized Social Activities In PNPM Mandiri PERTANYAAN PENELITIAN: Bagaimana efektifitas dan efisiensi peran BKM sebagai institusi perantara dalam pembangunan/pemantapan jaring

Lebih terperinci

Channeling UPS-BKM TATA CARA PELAKSANAAN KEGIATAN PILOT PROGRAM BANTUAN PENDIDIKAN DASAR DEPDIKNAS BEKERJASAMA DENGAN BKM-P2KP

Channeling UPS-BKM TATA CARA PELAKSANAAN KEGIATAN PILOT PROGRAM BANTUAN PENDIDIKAN DASAR DEPDIKNAS BEKERJASAMA DENGAN BKM-P2KP Channeling UPS-BKM TATA CARA PELAKSANAAN KEGIATAN PILOT PROGRAM BANTUAN PENDIDIKAN DASAR DEPDIKNAS BEKERJASAMA DENGAN BKM-P2KP I. PENDAHULUAN Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) adalah suatu lembaga milik

Lebih terperinci

reciprocal dengan menggalang kemitraan sinergis antara pemerintah,

reciprocal dengan menggalang kemitraan sinergis antara pemerintah, STRATEGI MEMASUKKAN PJM-PRONANGKIS DALAM ALUR PEMBANGUNAN DAERAH Oleh : Sudrajat 1 A. Pendahuluan Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah mendasar yang segera ditangani. Penanggulangan kemiskinan

Lebih terperinci

PRESS RELEASE JAYAPURA, PAPUA 15 MARET 2011

PRESS RELEASE JAYAPURA, PAPUA 15 MARET 2011 PRESS RELEASE JAYAPURA, PAPUA 15 MARET 2011 Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum terus berupaya agar keterlibatan pemerintah provinsi dalam PNPM Mandiri Perkotaan meningkat dari waktu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan masyarakat pada suatu wilayah adalah merupakan suatu manifestasi yang diraih oleh masyarakat tersebut yang diperoleh dari berbagai upaya, termasuk

Lebih terperinci

Siklus PNPM Mandiri - Perkotaan

Siklus PNPM Mandiri - Perkotaan BUKU 1 SERI SIKLUS PNPM- Mandiri Perkotaan Siklus PNPM Mandiri - Perkotaan 3 Membangun BKM 2 Pemetaan Swadaya KSM 4 BLM PJM Pronangkis 0 Rembug Kesiapan Masyarakat 1 Refleksi Kemiskinan 7 Review: PJM,

Lebih terperinci

Membangun BKM. Membangun BKM. Siklus Kegiatan PNPM Mandiri-P2KP. Membangun BKM DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM PERKOTAAN MANDIRI

Membangun BKM. Membangun BKM. Siklus Kegiatan PNPM Mandiri-P2KP. Membangun BKM DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM PERKOTAAN MANDIRI DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI MANDIRI PERKOTAAN 3 Siklus Kegiatan PNPM Mandiri-P2KP Membangun BKM Membangun BKM Membangun BKM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkotaan (PNPM-MP) adalah dengan melakukan penguatan. kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Perkotaan (PNPM-MP) adalah dengan melakukan penguatan. kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Strategi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) adalah dengan melakukan penguatan kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kemiskinan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA JAKARTA, 16 JANUARI 2014 Tema Prioritas Penurunan tingkat kemiskinan absolut dari 14,1% pada 2009 menjadi 8 10% pada akhir 2014, yang diikuti dengan: perbaikan distribusi perlindungan sosial, pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB I. perkembangan modal sosial (social capital) masyarakat di masa mendatang. masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat.

BAB I. perkembangan modal sosial (social capital) masyarakat di masa mendatang. masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan

Lebih terperinci

I. KEGIATAN PENGELOLAAN DANA BLM II. CAKUPAN PELAKSANAAN UJI PETIK III. HASIL UJI PETIK. 1. Capaian Umum

I. KEGIATAN PENGELOLAAN DANA BLM II. CAKUPAN PELAKSANAAN UJI PETIK III. HASIL UJI PETIK. 1. Capaian Umum PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2010 LAPORAN UJI PETIK KEGIATAN SIKLUS MASYARAKAT PENGELOLAAN DANA BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT (BLM) Periode : Bulan Juli - September 2010 I. KEGIATAN PENGELOLAAN DANA BLM Dana BLM

Lebih terperinci

Kurikulum Pelatihan Pelaku PNPM Mandiri Perkotaan

Kurikulum Pelatihan Pelaku PNPM Mandiri Perkotaan 1. Pengantar Kurikulum Pelatihan Pelaku PNPM Mandiri Perkotaan Proses pemberdayaan masyarakat dalam PNPM Mandiri Perkotaan dilakukan untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat terhadap nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut para ahli, kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan, karena kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja

Lebih terperinci

Pertanyaan Penelitian 1 : Bagaimana Pola kegiatan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh BKM?

Pertanyaan Penelitian 1 : Bagaimana Pola kegiatan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh BKM? Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : 8 Juni-17 Juni 2009 Lokasi : Kota Gorontalo Propinsi Gorontalo A. Ringkasan Hasil Sangat Sementara Kedua kelurahan ini merupakan sasaran dari program P2KP tahun

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan P2KP Oleh : Ayi Sugandhi Maret 2009 datanglah kepada masyarakat hiduplah bersama mereka belajarlah

Lebih terperinci

Kerangka Acuan. 7-8 April dan 5-6 Mei 2010

Kerangka Acuan. 7-8 April dan 5-6 Mei 2010 Kerangka Acuan untuk Seminar Ber-seri dalam Mendukung Presentasi dan Diskusi Publik dari Temuan 8 Studi Tematis Sebagai Bagian dari Evaluasi Keseluruhan Program Penanggulangan Kemiskinan (PNPM-P2KP) 2008/2009

Lebih terperinci

INFORMASI TAMBAHAN I. PEMAHAMAN TENTANG PEMETAAN SWADAYA

INFORMASI TAMBAHAN I. PEMAHAMAN TENTANG PEMETAAN SWADAYA INFORMASI TAMBAHAN I. PEMAHAMAN TENTANG PEMETAAN SWADAYA Pemetaan Swadaya adalah suatu pendekatan parisipatif yang dilakukan masyarakat untuk menilai serta merumuskan sendiri berbagai persoalan yang dihadapi

Lebih terperinci

BAGIAN I. PENDAHULUAN

BAGIAN I. PENDAHULUAN BAGIAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Kegiatan di sektor ketenagalistrikan sangat berkaitan dengan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah. Selama ini keberadaan industri ketenagalistrikan telah memberikan

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Analisis tingkat kesehatan lembaga unit pengelola kegiatan( studi kasus. pada UPK PNPM Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen ) Oleh : Wawan Apriyanto

Analisis tingkat kesehatan lembaga unit pengelola kegiatan( studi kasus. pada UPK PNPM Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen ) Oleh : Wawan Apriyanto Analisis tingkat kesehatan lembaga unit pengelola kegiatan( studi kasus pada UPK PNPM Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen ) Oleh : Wawan Apriyanto F.1306618 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Lebih terperinci

Mengenali Kampung Sendiri Melalui Pemetaan Swadaya

Mengenali Kampung Sendiri Melalui Pemetaan Swadaya DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI MANDIRI Siklus Kegiatan PNPM Mandiri-Perkotaan 2 Pemetaan Swadaya PERKOTAAN Mengenali Kampung

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DASAR BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2014

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DASAR BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2014 PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DASAR BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

Konsep Dasar. Mau. Paham. Mampu

Konsep Dasar. Mau. Paham. Mampu Konsep Dasar Paham Mau Pelatihan yang berorientasi pada penumbuhan pemahaman, motivasi, dan kemampuan dari Fasilitator untuk penanganan program secara partisipatif, transparan, akuntabel, mandiri dan berkelanjutan.

Lebih terperinci

Modul 3 Sub Topik: Kegiatan Sosial Berkelanjutan

Modul 3 Sub Topik: Kegiatan Sosial Berkelanjutan Modul 3 Sub Topik: Kegiatan Sosial Berkelanjutan Peserta memahami prasyarat dan ciri program Sosial berkelanjutan 1. Brainstorming Prasyarat dan Ciri Program Sosial Berkelanjutan 2. Diskusi Kelompok Lembar

Lebih terperinci

HARMONISASI PROGRAM PEMBERDAYAAN. Oleh: Irawan Hasan, Askoorkot Kab. Karo, KMW IV P2KP-3 Sumatera Utara. Karo, 02 Juni 2007

HARMONISASI PROGRAM PEMBERDAYAAN. Oleh: Irawan Hasan, Askoorkot Kab. Karo, KMW IV P2KP-3 Sumatera Utara. Karo, 02 Juni 2007 Karo, 02 Juni 2007 HARMONISASI PROGRAM PEMBERDAYAAN Oleh: Irawan Hasan, Askoorkot Kab. Karo, KMW IV P2KP-3 Sumatera Utara Kemiskinan. Kata yang sangat sederhana, namun mengandung arti yang sangat dalam.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Badan Keswadayaan Masyarakat ( BKM) dan fungsi BKM Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan suatu institusi/ lembaga masyarakat yang berbentuk paguyuban, dengan

Lebih terperinci

Pendirian Koperasi melalui Fasilitasi UPK-BKM

Pendirian Koperasi melalui Fasilitasi UPK-BKM Draft PETUNJUK PELAKSANAAN Pendirian Koperasi melalui Fasilitasi UPK-BKM I. Pendahuluan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan salah satu upaya penanganan masalah kemiskinan di

Lebih terperinci

Program Peningkatan Kualitas Permukiman di Perkotaan (P2KP)

Program Peningkatan Kualitas Permukiman di Perkotaan (P2KP) Program Peningkatan Kualitas Permukiman di Perkotaan (P2KP) Disampaikan Oleh: Mita D Aprini Jakarta, Juni 2015 Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat a. LATAR BELAKANGLatar

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Pemerintah mempunyai program penanggulangan kemiskinan yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat baik dari segi sosial maupun dalam hal ekonomi. Salah

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009) ABSTRAK KEMITRAAN PEMERINTAH DAN SWASTA Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan yang mendasar di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tentunya tidak hanya berdampak pada sistem

Lebih terperinci

GBPP PELATIHAN TINGKAT KOTA/KABUPATEN

GBPP PELATIHAN TINGKAT KOTA/KABUPATEN GBPP PELATIHAN TINGKAT KOTA/KABUPATEN Non Pro Poor Policies Pro-Poor Policies Pro-Poor Program & Budgeting Good Local Governance PEMBELAJARAN YANG DIHARAPKAN Merubah cara pandang terhadap pendekatan pembangunan

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ACUAN PELAKSANAAN KOMUNITAS BELAJAR PERKOTAAN (KBP) PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

ACUAN PELAKSANAAN KOMUNITAS BELAJAR PERKOTAAN (KBP) PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA ACUAN PELAKSANAAN KOMUNITAS BELAJAR PERKOTAAN (KBP) PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA PENGANTAR Acuan pelaksanaan Komunitas Belajar Perkotaan (KBP) bagi aparat pemerintah kabupaten/kota ini dimaksudkan untuk dapat

Lebih terperinci

FILOSOFI KULIAH KERJA NYATA Oleh Prof. Dr. H. Deden Mulyana, SE., MSi. Disampaikan Pada: DIKLAT KULIAH KERJA NYATA UNIVERSITAS SILIWANGI 12 JULI 2017

FILOSOFI KULIAH KERJA NYATA Oleh Prof. Dr. H. Deden Mulyana, SE., MSi. Disampaikan Pada: DIKLAT KULIAH KERJA NYATA UNIVERSITAS SILIWANGI 12 JULI 2017 FILOSOFI KULIAH KERJA NYATA Oleh Prof. Dr. H. Deden Mulyana, SE., MSi. Disampaikan Pada: DIKLAT KULIAH KERJA NYATA UNIVERSITAS SILIWANGI 12 JULI 2017 FILOSOFI KULIAH KERJA NYATA Bagian integral dari proses

Lebih terperinci

PROYEK PENINGKATAN KAPASITAS & KEBERLANJUTAN PINJAMAN DANA BERGULIR

PROYEK PENINGKATAN KAPASITAS & KEBERLANJUTAN PINJAMAN DANA BERGULIR PROYEK PENINGKATAN KAPASITAS & KEBERLANJUTAN PINJAMAN DANA BERGULIR World Bank PNPM Support Facility (PSF) Gedung Bursa Efek Indonesia Tower 1, lantai 9 Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53, Jakarta 12190

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dari situasi sebelumnya. Otonomi Daerah yang juga dapat dimaknai

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dari situasi sebelumnya. Otonomi Daerah yang juga dapat dimaknai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Perubahan paradigma dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik telah memberikan nuansa baru yang sama sekali berbeda

Lebih terperinci

Tidak BERDAYA (Masyarakat Miskin) Masyarakat BERDAYA PEMBELAJARAN YANG DIHARAPKAN

Tidak BERDAYA (Masyarakat Miskin) Masyarakat BERDAYA PEMBELAJARAN YANG DIHARAPKAN Tidak BERDAYA (Masyarakat Miskin) Masyarakat BERDAYA PEMBELAJARAN YANG DIHARAPKAN Belajar melakukan perbaikan sikap dan perilaku Belajar merubah cara pandang terhadap persoalan kemiskinan dan pemecahan

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI PEREMPUAN

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI PEREMPUAN Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan P2KP UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI PEREMPUAN Upaya Peningkatan Partisipasi Perempuan UPP 1 dan awal UPP 2 ( 1999 2003), belum ada upaya yang jelas dalam konsepnya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN RENCANA PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN TAHUN Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya

KEBIJAKAN DAN RENCANA PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN TAHUN Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya KEBIJAKAN DAN RENCANA PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN TAHUN 2014-2015 Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya LINGKUP PAPARAN 1 Pendahuluan 2 Landasan Kebijakan 3 Arah

Lebih terperinci

Good Governance. Etika Bisnis

Good Governance. Etika Bisnis Good Governance Etika Bisnis Good Governance Good Governance Memiliki pengertian pengaturan yang baik, hal ini sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pelaksanaaan etika yang baik dari perusahaan Konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program Penanggulangan Kemiskinan dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu

BAB I PENDAHULUAN. Program Penanggulangan Kemiskinan dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program Penanggulangan Kemiskinan dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi

Lebih terperinci

ADVETORIAL PENANGANAN KEMISKINAN DI KOTA DEPOK

ADVETORIAL PENANGANAN KEMISKINAN DI KOTA DEPOK ADVETORIAL PENANGANAN KEMISKINAN DI KOTA DEPOK Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai factor yang saling berkaitan antara lain tingkat Pendapatan, kesehatan, pendidikan,

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada umumnya juga belum optimal. Kerelawan sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. pada umumnya juga belum optimal. Kerelawan sosial dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Permasalahan kemiskinan yang cukup komplek membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun penanganannya selama ini cenderung parsial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan. intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi.

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan. intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun penangananya selama ini cenderung parsial dan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KOTA KEDIRI

PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KOTA KEDIRI W A L I K O T A K E D I R I PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KOTA KEDIRI Menimbang WALIKOTA KEDIRI, : a. bahwa pelaksanaan pembangunan merupakan

Lebih terperinci

Gambar 1. Proses Pembangunan/Pengembangan KSM

Gambar 1. Proses Pembangunan/Pengembangan KSM A. Tahap pelaksanaan kegiatan Pilot Pembekalan kepada Fasilitator mengenai Sosialisasi Konsep dan Substansi kepada Masyarakat oleh Fasiltator FGD Dinamika (berbasis hasil RPK dan PS) 2 Teridentifikasi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Taipa, 10 September 2016

KATA PENGANTAR. Taipa, 10 September 2016 KATA PENGANTAR Puji Syukur kita panjatkan atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan telah tersusunnya buku Laporan Akhir Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) Kelurahan Taipa Kota Palu.

Lebih terperinci

STUDY ON COMMUNITY COMPLAIN HANDLING AS SOCIAL CONTROL IN PNPM UPP

STUDY ON COMMUNITY COMPLAIN HANDLING AS SOCIAL CONTROL IN PNPM UPP 1 STUDY ON COMMUNITY COMPLAIN HANDLING AS SOCIAL CONTROL IN PNPM UPP PT. INDESO GEMA UTAMA April 2009 September 2009 1. Latar Belakang 2!! Program P2KP sebagai salah satu program penanggulangan kemiskinan

Lebih terperinci

BAB V PROFIL PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERKOTAAN

BAB V PROFIL PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERKOTAAN 38 BAB V PROFIL PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERKOTAAN 5.1 Konsep PNPM Mandiri Perkotaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan merupakan proses pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROYEK PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN (P2KP) - II

PEDOMAN UMUM PROYEK PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN (P2KP) - II PEDOMAN UMUM PROYEK PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN (P2KP) - II Bab 1. Pendahuluan 1.1 LATAR BELAKANG Masalah kemiskinan di Indonesia saat ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DRAFT PEDOMAN TEKNIS PENATAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERBASIS KOMUNITAS (PLP-BK) 2013

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DRAFT PEDOMAN TEKNIS PENATAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERBASIS KOMUNITAS (PLP-BK) 2013 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DRAFT PEDOMAN TEKNIS PENATAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERBASIS KOMUNITAS (PLP-BK) 2013 Tahun Propinsi Kota Kelurahan 2008 (Pilot) Lokasi Kegiatan

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Disampaikan dalam rangka Sosialisasi Nasional APBNP 2013 Jakarta, 21 Agustus 2013

Oleh : Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Disampaikan dalam rangka Sosialisasi Nasional APBNP 2013 Jakarta, 21 Agustus 2013 Oleh : Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Disampaikan dalam rangka Sosialisasi Nasional APBNP 2013 Jakarta, 21 Agustus 2013 DIREKTORAT PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN LATAR BELAKANG Pada Tahun

Lebih terperinci

AKUNTABILITAS DALAM PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN / P2KP (PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS PERMUKIMAN) Rakor Nasional P2KP, 15 Juni 2015

AKUNTABILITAS DALAM PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN / P2KP (PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS PERMUKIMAN) Rakor Nasional P2KP, 15 Juni 2015 AKUNTABILITAS DALAM PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN / P2KP (PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS PERMUKIMAN) Rakor Nasional P2KP, 15 Juni 2015 Latar Belakang Audit Sempit: Pemenuhan kewajiban Loan/Grant Agreement.

Lebih terperinci

DISKUSI BERSERI Jakarta, 31 Agustus 2009

DISKUSI BERSERI Jakarta, 31 Agustus 2009 DISKUSI BERSERI Jakarta, 31 Agustus 2009 Tim 4 Kegiatan Sosial 10/12/09 1 Outline Presentasi Pelaporan tentang proses peneliean dan penerapan metodologi (5 slides) Pelaporan hasil temuan sementara menurut

Lebih terperinci

Kerangka Acuan Kegiatan (KAK) PELATIHAN DASAR BAGI KONSULTAN REPLIKASI PROGRAM REPLIKASI P2KP KHUSUS BALI Di Kab. Jembrana & Kab.

Kerangka Acuan Kegiatan (KAK) PELATIHAN DASAR BAGI KONSULTAN REPLIKASI PROGRAM REPLIKASI P2KP KHUSUS BALI Di Kab. Jembrana & Kab. Kerangka Acuan Kegiatan (KAK) PELATIHAN DASAR BAGI KONSULTAN REPLIKASI PROGRAM REPLIKASI P2KP KHUSUS BALI Di Kab. Jembrana & Kab. Karangasem I. LATAR BELAKANG Usaha mendorong kemandirian dan kemitraan

Lebih terperinci

a. Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Mulia Hilir

a. Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Mulia Hilir 1 LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI MEDAN TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS) A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA (1) Gambaran Umum Wilayah Studi Kota Medan memiliki luas 26.510 Ha (3,6% dari

Lebih terperinci

STRATEGI DAN INSTRUMEN PENELITIAN PT. DWIKARSA ENVACOTAMA

STRATEGI DAN INSTRUMEN PENELITIAN PT. DWIKARSA ENVACOTAMA STRATEGI DAN INSTRUMEN PENELITIAN PT. DWIKARSA ENVACOTAMA Logical Framework PERAN PEMERINTAH DAERAH PERTANYAAN PENELITIAN 1. Bagaimana koordinasi antara berbagai badan pemerintah dengan KBP dapat diperkuat

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PPMK. A. Konsep Dasar dan Tujuan PPMK

PELAKSANAAN PPMK. A. Konsep Dasar dan Tujuan PPMK A. Konsep Dasar dan Tujuan PPMK PELAKSANAAN PPMK Program Peningkatan Penghidupan Masyarakat Berbasis Komunitas (PPMK) merupakan program lanjutan dalam PNPM Mandiri Perkotaan untuk mendorong proses transformasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disalurkan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) melalui Unit Pengelola Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. disalurkan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) melalui Unit Pengelola Keuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Program Pinjaman Bergulir adalah merupakan salah satu pilihan masyarakat dari berbagai alternatif kegiatan untuk penanggulangan kemiskinan. Pinjaman bergulir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA Kemiskinan adalah masalah kompleks sehingga Penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan secara komprehensif Kondisi lingkungan dan permukiman yang

Lebih terperinci

LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN PEMBANGUNAN BKM (BADAN KESWADAYAAN MASYARAKAT) LOKASI BARU 2010

LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN PEMBANGUNAN BKM (BADAN KESWADAYAAN MASYARAKAT) LOKASI BARU 2010 PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2011 LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN PEMBANGUNAN BKM (BADAN KESWADAYAAN MASYARAKAT) LOKASI BARU 2010 1 P a g e Periode tahun 2011 1.1 LATAR BELAKANG PELAKSANAAN UJI

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 60 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBERIAN BANTUAN SOSIAL DALAM BENTUK UANG KEPADA BADAN KESWADAYAAN MASYARAKAT DALAM

Lebih terperinci

Pertanyaan dan jawaban tersebut adalah sebagai berikut : perkotaan yang dilaksanakan di Desa Dagang Kelambir?

Pertanyaan dan jawaban tersebut adalah sebagai berikut : perkotaan yang dilaksanakan di Desa Dagang Kelambir? Lampiran Wawancara Pertanyaan dan jawaban tersebut adalah sebagai berikut : 1. Apa ukuran kebijakan dalam program penanggulangan kemiskinan di Ukuran dan tujuan kebijakan yang dilakukan dalam program P2KP

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN 1 PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TUBAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1998 telah meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia, dari 25,9 juta (17,7%) pada tahun 1993 menjadi 129,6 juta atau 66,3% dari

Lebih terperinci

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU SALINAN BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN BUPATI BINTAN NOMOR : 28 TAHUN 2015jgylyrylyutur / SK / 2010 TENTANG MEKANISME PENYALURAN BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT (BLM) PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

PNPM MANDIRI PERKOTAAN LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN TINJAUAN (REVIEW) PARTISIPATIF Agustus 2009 April 2010

PNPM MANDIRI PERKOTAAN LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN TINJAUAN (REVIEW) PARTISIPATIF Agustus 2009 April 2010 PNPM MANDIRI PERKOTAAN 2009-2010 LAPORAN UJI PETIK SIKLUS MASYARAKAT KEGIATAN TINJAUAN (REVIEW) PARTISIPATIF Agustus 2009 April 2010 1. KEGIATAN REVIEW PARTISIPATIF Tinjauan (Review) Partisipatif merupakan

Lebih terperinci