BAB II KAJIAN PUSTAKA. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine dan menimbulkan gangguan miksi Insidensi & Epidemiologi BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki, insidennya berhubungan dengan usia. Prevalensi histologis BPH meningkat dari 20% pada laki berusia tahun, 50% pada laki usia tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia diatas 80 tahun. Meskipun bukti klinis belum muncul, namun keluhan obstruksi juga berhubungan dengan usia. Pada usia 50 tahun + 25% lakilaki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat hingga usia 75 tahun dimana 50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau aliran pada saat berkemih (Cooperberg, 2013). 8

2 9 Gambar 2.1. Angka Kejadian BPH Berdasarkan Usia di Beberapa Negara ( modifikasi dari Roehrborn, 2012). Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, selama tahun 2013 terdapat 103 pasien dengan BPH yang menjalani operasi, dari total 1161 pasien urologi yang menjalani operasi. Faktor-faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa penelitian mengarah pada predisposisi genetik atau perbedaan ras. Kira-kira 50% laki-laki berusia dibawah 60 tahun yang menjalani operasi BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan besar bersifat autosomal dominan, dimana penderita yang memiliki orangtua menderita BPH memiliki resiko 4x lipat lebih besar dibandingkan dengan yang normal (Cooperberg, 2013).

3 Anatomi Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Berbentuk seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan berat kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transitional, zona preprostatik dan zona anterior (Mc Neal, 1988). Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf dan jaringan interstitial yang lain. Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat. Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatis dan parasimpatis dari plexus prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis dari corda spinalis S2-4 dan simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi parasimpatis meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatis menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat dan leher buli-buli. Pada tempat tersebut banyak terdapat reseptor adrenergic α. Rangsangan simpatis mempertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau

4 11 berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi penekanan uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Cooperberg dkk, 2013) Etiologi Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat multifaktor dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen epithelial dan stromal dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul nodul hiperplastik dengan gejala yang berhubungan dengan BPH. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah: 1) Teori Dihidrotestosteron Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron didalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2003) 2) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : progesteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat

5 12 (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar (Purnomo, 2003) 3) Interaksi stromal-epitel Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu sendiri menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma (Purnomo, 2003) 4) Berkurangnya kematian sel prostat Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan masa prostat (Purnomo, 2003) 5) Teori Sel Stem Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,selalu dibentuk sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan sel ini sangat

6 13 tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2003) Observasi dan penelitian pada laki-laki jelas mendemontrasikan bahwa BPH dikendalikan oleh sistem endokrin, di mana kastrasi mengakibatkan regresi pada BPH dan perbaikan keluhan. Pada penelitian lebih lanjut tampak korelasi positif antara kadar testosteron bebas dan estrogen dengan volume pada BPH. Hal ini berhubungan dengan peningkatan estrogen pada proses penuaan yang mengakibatkan induksi dari reseptor androgen yang menjadikan prostat lebih sensitif pada testosteron bebas. Namun belum ada penelitian yang mendemontrasikan peningkatan reseptor estrogen level pada penderita BPH (Cooperberg, 2013). 6) Teori Inflamasi Sejak tahun 1937, terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit inflamasi yang dimediasi oleh proses imunologi. Uji klinis terbaru juga menunjukkan adanya hubungan antara proses inflamasi pada prostat dengan LUTS. Di Silverio mendapatkan 43% gambaran inflamasi pada histopatologi dari 3942 pasien BPH (De Nunzio dkk, 2011). Sementara penelitian dari Daniels, dkk.menemukan adanya prostatitis pada 83% dari pasien dengan BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger dkk, 2008).

7 14 Data penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan inflamasi kronik pada prostat memiliki risiko lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan terjadinya retensi urin. Pada pasien dengan volume prostat yang kecil, hanya yang disertai dengan proses inflamasi yang mengalami gejala obstruksi. Inflamasi prostat juga dikaitkan dengan pembesaran volume prostat, semakin berat derajat inflamasi, semakin besar volume prostat dan semakin tinggi nilai IPSS. Sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan efek inflamasi terhadap LUTS (De Nunzio dkk, 2011) Patologi BPH terbentuk pada zona transisional. Merupakan proses hiperplasi akibat dari peningkatan jumlah sel. Secara mikroskopik tampak pola pertumbuhan yang berbentuk noduler yang terdiri dari jaringan stromal dan ephitelial, stroma terdiri dari jaringan kolagen dan otot polos (Cooperberg dkk, 2013). Penampilan komponen-komponen BPH secara histologis yang beragam menjelaskan potensial respon terhadap pengobatan. Terapi dengan α-bloker memberikan respons yang baik pada pasien BPH dengan komponen dominan otot polos, sementara bila komponen yang dominan adalah ephitel, memberikan respons yang baik terhadap 5-α reduktase inhibitor. Penderita BPH dengan komponen dominan kolagen kurang respon terhadap medikamentosa.

8 15 Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Prostat (modifikasi dari Cooperberg, 2013) Pembesaran nodul pada zona transitional menekan zona luar pada prostat yang mengakibatkan terbentuknya surgical capsule. Kapsul ini memisahkan zona transisional dengan zona perifer, dan juga merupakan batas dilakukannya prostatektomi terbuka Patofisiologi Keluhan dari BPH diakibatkan oleh adanya obstruksi dan sekunder akibat dari respon kandung kemih. Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan dinamik. Pada hiperplasi prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat penekanan terhadap lumen uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi bladder outlet. Sebelum pembagian zona klasifikasi dari prostat, ahli urologi membagi menjadi 3 lobus yaitu 2 lobus lateral dan 1 lobus medial. Ukuran prostat

9 16 pada pemeriksaan rectal toucher (RT) memiliki korelasi yang kurang terhadap timbulnya gejala, karena pada RT lobus medial kurang atau tidak teraba. Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan penderita. Stroma prostat terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi oleh saraf adrenergik. Tonus uretra pars prostatika diatur secara autonom, sehingga penggunaan α-blocker menurunkan tonus ini dan menimbulkan disobstruksi. Keluhan pada saat berkemih pada pasien BPH akibat dari respons sekunder kandung kemih. Obstruksi pada kandung kemih mengakibatkan hipertrofi dan hyperplasia dari otot detrusor disertai penimbunan kolagen, pada inspeksi tampak penebalan otot detrusor berbetuk sebagai trabekulasi, apabila berkelanjutan mengakibatkan terjadinya hernia mukosa diantara otot detrusor yang mengakibatkan terbentuknya divertikel (Cooperberg dkk, 2013) Gejala Klinis Tidak semua BPH menimbulkan gejala. Sebuah penelitan pada pria berusia di atas 40 tahun, sesuai dengan usianya, sekitar 50% mengalami hiperplasia kelenjar prostat secara histopatlogis. Dari jumlah tersebut, 30-50% mengalami LUTS, yang juga dapat disebabkan oleh kondisi lain (Roehrborn dkk, 2008).

10 17 Gambar 2.3. Hubungan Antara BPH, LUTS, Pembesaran Prostat, dan Obstruksi Kandung Kemih Pada Pria Berusia Lebih Dari 40 Tahun (modifikasi dari Roehrborn, 2012). Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih, double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih. Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Gejala-gejala tersebut disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS) (Cooperberg, 2013) LUTS dapat dibagi menjadi gejala penampungan, pengosongan, dan pascamiksi. Umumnya, LUTS dikaitkan dengan adanya obstruksi yang diakibatkan oleh pembesaran kelenjar prostat. Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa LUTS tidak hanya disebabkan oleh adanya kelainan pada prostat. Adanya gangguan dari kandung kemih dapat juga menyebabkan LUTS, misalnya peningkatan aktivitas otot detrusor, gangguan kontraktilitas pada fase

11 18 penampungan, dan penurunan aktivitas otot detrusor pada fase pengosongan. Kondisi lain baik kondisi urologis maupun neurologis juga dapat berkontribusi terhadap adanya LUTS (Oelke dkk, 2012). Gambar 2.4. Penyebab LUTS pada Pria (Modifikasi dari Oelke, 2012). Terdapat beberapa metode kuisioner yang tersedia saat ini bagi para klinisi untuk mengukur tingkat gejala saluran kemih bagian bawah. Metode tersebut di antaranya adalah Boyarsky, Madsen Iversen, Maine Medical Assessment Program (MMAP), Danishsymptom score (DAN-PSS-1), AUA symptom score, IPSS, Bolognese instrument (Donovan dkk, 1996). International Prostate Symptom Score (IPSS), yang dikembangkan oleh American Urological Association, merupakan kuisioner yang paling sering

12 19 digunakan. IPSS merupakan pengembangan dari AUA symptom score yang ditambah dengan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup. Telah dilaporkan bahwa IPSS merupakan metode yang dapat dipercaya dan cukup sederhana, di mana tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial demografi (Ozturk dkk, 2011). IPSS dibuat sedemikian rupa sehingga pasien dapat melengkapinya sendiri, dengan hasil yang lebih baik bila disertai dengan bantuan dari petugas kesehatan. Ozturk dkk membuktikan bahwa nilai dari IPSS yang dilengkapi oleh pasien sendiri dengan nilai IPSS yang dilengkapi oleh pasien dengan bantuan petugas kesehatan tidak berbeda secara signifikan. IPSS saat ini telah divalidasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda-beda di banyak negara. Pedoman dari American Urological Association (AUA) menyatakan bahwa IPSS merupakan kuisioner yang telah tervalidasi untuk digunakan dalam menilai tiga gejala penampungan (frekuensi, nokturia, dan urgensi), dan empat gejala pengosongan buli (rasa tidak tuntas, intermiten, mengedan, dan pancaran yang lemah). IPSS juga menilai tingkat dari gangguan yang dirasakan, dengan satu pertanyaan tambahan mengenai kualitas hidup (McVary dkk, 2010). IPSS berisi tujuh pertanyaan mengenai gejala dan satu pertanyaan untuk menilai kualitas hidup, dimana pasien dapat menilai keluhan secara kuantitatif dalam skala 0-5.Nilai maksimal dari IPSS adalah 35. Derajat gejala saluran kemih bagian bawah dikelompokkan menjadi tiga, nilai 0-8 derajat ringan, 9-19 derajat sedang, dan 20 ke atas derajat berat. IPSS hanya digunakan untuk menilai

13 20 beratnya gejala, dan bukan merupakan faktor diagnostik untuk menegakkan adanya BPH (Oelke dkk, 2012). Anamnesa yang lengkap dan mendalam dilakukan untuk menyingkirkan etiologi penyebab yang lain seperti ISK, neurogenik bladder, striktur uretra dan kanker prostat. Bozdar dkk melakukan penelitian mengenai outcome dari TURP dalam hubungannya dengan LUTS. Dari total 70 pasien dengan BPH yang disertai dengan keluhan LUTS, rata-rata IPSS pra operasi adalah 22,5 (rentang 20-35). IPSS pascaoperasi dievaluasi setelah 6 minggu dan 12 minggu. Pada evaluasi 6 minggu pasca TURP, 81% pasien dengan LUTS ringan, 15,7% dengan LUTS sedang, dan 2,9% dengan LUTS berat. Pada evaluasi kedua (12 minggu pasca TURP), terdapat 88,6% pasien dengan LUTS ringan, 10% dengan LUTS sedang, dan 1,5% dengan LUTS berat (Bozdar dkk, 2010). Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai IPSS pasien BPH pasca TURP di Indonesia. Sebuah penelitian di Thailand mencoba mencari penyebab LUTS yang menetap setelah TURP. Hasil penelitian menunjukkan penyebab yang paling banyak adalah adanya hiperaktivitas detrusor (54%), residual obstruksi bladder outlet (16%), kelemahan sfingter (8%), dan hipokontraktilitas detrusor (4%) (Anutrakulchai dkk, 2005).

14 21 Gambar 2.5. International Prostate Symptoms Score (IPSS) dalam Bahasa Indonesia (Modifikasi dari IAUI Guidelines, 2003) Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis dilakukan pada semua penderita. Yang dinilai pada colok dubur adalah ukuran dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH, umumnya prostat teraba licin dan kenyal. Apabila didapatkan indurasi pada perabaan, waspada adanya proses keganasan, sehingga memerlukan evaluasi yang lebih lanjut berupa pemeriksaan

15 22 kadar Prostat Spesific Antigen (PSA) dan transrectal ultrasound serta biopsy (Cooperberg dkk, 2013). Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai dasar dan kriteria untuk diagnose BPH. Menurut Terris (2002), pengukuran volume prostat sangat berguna untuk rencana terapi pada pasien BPH (Terris dkk,2002). Roehrborn (2002) menyatakan bahwa perkiraan volume prostat menggunakan colok dubur adalah tidak akurat, sedangkan MRI dan CT dapat lebih tepat untuk mengukur volume prostat tetapi sayangnya pemeriksaan ini sangat mahal (Roehrborn dkk, 2002). Digital rectal examination (DRE) atau colok dubur secara rutin digunakan untuk mengukur volume prostat, tetapi hasilnya underestimat dibandingkan dengan transrectal ultrasound (TRUS) Pemeriksaan Laboratorium Dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan infeksi dan hematuria. Serum kreatinin diperiksa untuk evaluasi fungsi ginjal. Insufisiensi renal didapatkan dari 10% penderita dengan prostatism dan dibutuhkan pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan insufisiensi renal memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi pasca operasi. Pemeriksaan PSA serum biasanya dilakukan pada awal terapi namun hal ini masih kontroversi (Cooperberg dkk, 2013). PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma,

16 23 menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll dkk, 2013). Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk., 2013). Dikatakan tingkat inflamasi pada prostat berkorelasi positif dengan nilai PSA (Gui-zhong dkk, 2011). Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi saluran kemih.dalam keadaan normal, urin bersifat steril. Saluran kemih terdiri dari ginjal, sistem pengaliran (kaliks, pyelum, dan ureter), dan kandung kemih (penyimpanan urin). Pada wanita, urin keluar dari kandung kemih melalui uretra yang bermuara dekat dengan vagina. Pada pria, urin keluar dari kandung kemih ke uretra melewati jaringan prostat (Shoskes dkk, 2011) Pencitraan Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan apabila didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal. Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk dianostik tetapi digunakan untuk terapi invasif. Pemeriksaan tambahan berupa cystometrogram dan profil urodinamik dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki kelainan neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post miksi merupakan pemeriksaan tambahan (Cooperberg dkk, 2013) Diagnosa Banding Obstruksi saluran kemih bagian bawah lain seperti striktur uretra, kontraktur pada leher buli, batu buli atau keganasan prostat. Riwayat instrumentasi uretra,

17 24 uretritis atau trauma harus dieksklusi untuk menyingkirkan striktur uretra atau kontraktur leher buli. Hematuria dan nyeri umumnya berhubungan dengan batu buli-buli,keganasan prostat dapat terdeteksi awal dari colok dubur dan peningkatan PSA. Infeksi saluran kemih dapat menyerupai gejala iritatif dari BPH. Dapat diidentifikasi dari urinalisis dan kultur, walaupun infeksi saluran kemih ini dapat merupakan komplikasi dari BPH. Keluhan iritatif juga dapat berhubungan dengan keganasan kandung kemih terutama karsinoma in situ, di mana pada urinalisis didapatkan hematuria. Riwayat kelainan neurologis, stroke, DM dan cedera tulang belakang dapat mengarah ke neurogenic bladder. Umumnya didapatkan penurunan sensibilitas pada perineum dan ekstremitas inferior dan penurunan tonus sphincter ani dan reflek bulbokavernosus, mungkin didapatkan perubahan pola defekasi (Cooperberg dkk, 2013) Penatalaksanaan Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga tindakan operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut untuk pembedahan berupa retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran kemih yang rekuren, gross hematuria rekuren, batu buli akibat BPH, insufisiensi renal dan divertikel buli.(cooperberg, 2013). 1) Watchful waiting Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami progresi keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful waiting merupakan

18 25 penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS 0-7. Penderita dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien. 2) Medikamentosa Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa (adrenergic alfa blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase. Selain kedua cara diatas, sekarang banyak dipakai terapi menggunakan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas. Tabel 2.1. Klasifikasi Terapi Medikamentosa pada BPH (Modifikasi dari Cooperberg, 2013) Klasifikasi Alpha-blockers Nonselective Phenoxybenzamine Alpha-1, kerja pendek Prazosin Alpha-1, kerja panjang Terazosin Doxazosin Alpha-1a selective Tamsulosin Alfuzosin 5-Alpha-reductase inhibitor Finasteride Dutasteride Implan Subkutan Triptoreline pamoate Dosis Oral 10 mg dua kali sehari 2 mg dua kali sehari 5 atau 10 mg per hari 4 atau 8 mg per hari 0,4 atau 0,8 mg per hari 10 mg per hari 5 mg per hari 0,5 mg per hari Setiap tahun 3,75 mg setiap bulan 3) Operatif Tindakan operatif dilakukan apabila pasien BPH mengalami retensi urin yang menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK berulang, adanya batu buli atau divertikel, hematuria yang menetap setelah medikamentosa, atau dilatasi

19 26 saluran kemih bagian atas akibat obstruksi dengan atau tanpa insufisiensi ginjal (indikasi operasi absolut). Selain itu adanya gejala saluran kemih bagian bawah yang menetap setelah terapi konservatif atau medikamentosa merupakan indikasi operasi relatif (Oelke dkk, 2013). a. TURP (Transurethral Resection of the Prostate) 95% terapi operatif dari penderita BPH dapat dilakukan cara endoskopi, di mana tindakan ini menggunakan pembiusan spinal dan lama perawatan yang relatif singkat. TURP menjadi baku emas tindakan operatif pada penderita BPH. Dikatakan TURP dapat mengurangi gejala saluran kemih bagian bawah dan menurunkan IPSS pada 94,7% kasus (Bozdar dkk, 2010). Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the Prostate (TURP) masih merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH. Pada pasien dengan keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%. Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan yang paling sering adalah perdarahan sehingga membutuhkan transfusi. Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80 tahun, ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1% (IAUI Guidelines, 2003). Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress <1% maupun inkontinensia urge 1,5%, striktura uretra 0,5-6,3%, kontraktur leher buli-

20 27 buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang berukuran kecil 0,9-3,2%, dan disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari pertama adalah 0,4% pada pasien kelompok usia tahun dan 1,9% pada kelompok usia tahun. Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif (termasuk anestesi) yang lebih baik pada dekade terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi berangsur-angsur menurun (IAUI Guidelines, 2003). Resiko atau komplikasi dari TURP antara lain ejakulasi retrograde sekitar 75%, impotensi 5-10%, inkontinensia 1%, dan komplikasi lain berupa perdarahan, striktur uretra, kontraktur leher buli, perforasi dari kapsul prostat, dan sindrom TURP (Cooperberg dkk, 2013). b. Transurethral Incicion of the Prostate Penderita dengan LUTS sedang atau berat dan prostat yang kecil seringkali memiliki hiperplasia dari komisura posterior (elevasi leher buli), di mana hal ini merupakan indikasi untuk insisi prostat. Keuntungannya berupa tindakan lebih cepat, morbiditas lebih rendah dengan resiko ejakulasi retrograde lebih rendah (25%) (Cooperberg dkk, 2013). c. Prostatektomi terbuka Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan tindakan endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan divertikulum buli atau didapatkannya batu buli. Prostatektomi terbuka dibagi menjadi 2 cara pendekatan yaitu suprapubik (Millin procedure) dan retropubik (Freyer procedure) (Cooperberg, 2013)

21 28 4) Terapi Minimal Invasive. Dapat berupa Terapi laser (TULIP), Transurethral Electrovaporization of the Prostat, Microwave Hypertermia, Transurethral Needle Ablation of the Prostat, High Intencity Focused Ultrasound, Stent Intraurethral (Purnomo, 2003) 2.2 Prostate Spesific Antigen (PSA) Pengukuran Prostate Spesific Antigen (PSA) telah digunakan secara luas untuk mendeteksi dini keganasan dan memonitor terapi pada prostat. Perlu ditekankan bahwa PSA tidaklah spesifik untuk kanker prostat, namun PSA secara spesifik diproduksi oleh jaringan prostat. Kelainan pada prostat selain keganasan juga dapat mempengaruhi kadar PSA serum, seperti misalnya BPH atau prostatitis (Amirrasouliet dkk, 2010). PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll dkk, 2013). Sejarah perkembangan dari Prostatic Specific Antigen (PSA) sebagai berikut: Hara et al menemukan gamma seminoprotein yang diisolasi dari seminal plasma pada tahun 1971, kemudian pada tahun 1973 Li dan Beling dapat memurnikan

22 29 protein dari plasma seminal. Pada tahun 1979, Wang et al dapat memurnikan protein dari jaringan prostat. Nadji et al melapaorkan bahwa ada hubungan antara PSA dan kanker prostat tahun Pada tahun 1985 Lilja et al mendeskripsikan fungsi dan karakteristik dari PSA. Myrtle menetapkan referensi range dari PSA pada tahun Pada tahun 1987, Stamey melakukan study klinis untuk mengetahui efektifitas PSA sebagai tumor marker. Setelah itu tahun 1990 ditemukan dan dipromosikan 3 alat untuk deteksi kanker prostat (DRE, PSA,TRUS) oleh Cooner. Pada tahun 1992 Carter memperkenalkan konsep dari PSA velocity dan Benson mengemukakan PSA density. Setahun kemudian Brawer et al dan Catalona et al mempublikasikan studi kegunaan PSA saja untuk mendeteksi kanker prostat. Tahun 1997, Partin memperlihatkan aplikasi klinis PSA sebagai final pathologic stage (David dkk, 2001) Hubungan PSA dengan Umur Total PSA meningkat pada pria dengan pembesaran prostat tanpa adanya kanker, beberapa penelitian menyebutkan adanya korelasi antara free PSA dengan usia, hal ini berhubungan dengan peningkatan prevalensi pembesaran prostat pada usia tua (Oesterling dkk, 1998). Pada penelitian yang dilakukan di Jordania oleh Battikhi, dilaporkan bahwa ada hubungan linear progresif antara peningkatan total PSA dan free PSA dengan bertambahnya usia. Pada penelitiannya hanya didapatkan sekitar 26% laki-laki dengan kadar TPSA 4,1-9,9 ng/ml yang mengalami kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Peningkatan kadar TPSA dan FPSA seiring dengan

23 30 bertambahnya usia dikemukakan oleh beberapa studi yang dilakukan pada lakilaki kulit putih dan kulit hitam di Amerika dan di Japan (Battikhi, 2003). Gambar 2.6 Korelasi kadar serum TPSA dan usia pada pasien dengan klinis bukan kanker prostat di Jordania (Modifikasi dari Battikhi, 2003) Pada penelitian yang dilakukan oleh Khezri dkk di Iran juga melaporkan bahwa PSA sebagai marker yang berguna untuk diagnose dan managemen kanker prostat, meskipun peningkatan kadar PSA tidak spesifik kanker prostat tetapi organ spesifik. Peningkatan kadar PSA ditemukan pada pasien dengan BPH dan prostatitis, dan juga PSA meningkat seiring dengan usia karena peningkatan volume prostat (Khezri dkk, 2009).

24 31 Gambar 2.7 Hubungan antara usia dan kadar PSA pada pasien di Iran (Modifikasi dari Khezri dkk, 2009) Ornstein et al menyebutkan adanya korelasi antara free PSA dengan usia pasien, hal ini sehubungan dengan pria diatas 50 tahun didapatkan rasio volume zona transisional ke zona periferal yang meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Free PSA dilepaskan oleh zone transisional sehinggan free PSA meningkat (Ornstein,1998). Tabel 2.2 Rata-rata serum PSA dari berbagai populasi (Modifikasi dari Khezridkk,2009)

25 Hubungan PSA dengan Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih sangat sering terjadi baik pada wanita maupun lakilaki. Faktor-faktor predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih antara lain obstruksi saluran kencing (batu ginjal,batu buli, BPH), gangguan pengosongan kandung kemih, kelemahan pada system imunitas (diabetes, kemoterapi, dan lainlain), hubungan intim, pemasangan alat instrument pada tubuh (pemasangan kateter urine), kelainan anatomi atau trauma (striktur uretra) (DiVito, 2014). Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Beberapa penelitian atau studi menggambarkan peningkatan level PSA pada pasien dengan keluhan dan gejala infeksi saluran kemih dengan kultur bakteri yang positif tetapi dengan pengobatan yang baik dapat menurunkan kadar PSA. Beberapa infeksi yang dekat dengan kelenjar prostat, termasuk infeksi saluran kemih dapat mengiritasi sel prostat sehingga mengakibatkan peningkatan kadar PSA (Bell dkk, 1998). Pada beberapa studi menyebutkan bahwa kelenjar prostat dan vesika seminalis sering terjadi ko-infeksi pada laki-laki dan dapat menyebabkan acute febrile UTI. Selama fase akut infeksi akan terjadi peningkatan konsentrasi serum PSA dengan beberapa variasi konsentrasi serum PSA untuk kembali ke level normal. Kenaikan serum PSA tersebut sebagian besar diikuti dengan periode demam. Mekanisme patologi kenaikan serum PSA dalam darah masih belum jelas, mungkin disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh proses

26 33 infeksi dan inflamasi. Penurunan kadar PSA akan terjadi setelah proses infeksi akut tertangani dan memerlukan waktu yang berbeda-beda (Ullerryd dkk, 1999) Tabel 2.3 Level serum PSA selama periode febrile UTI ( Modifikasi dari Ullerryd dkk, 1999) Tabel 2.4 Level serum PSA setelah periode febrile UTI (Modifikasi dari Ullerryd dkk, 1999) Hubungan PSA dengan Inflamasi Prostat Pada prostat terdapat sel-sel inflamasi (leukosit) yang bertambah seiring bertambahnya usia. Sel-sel ini terdiri dari limfosit B dan T, makrofag, dan sel mast. Penyebab adanya infltrasi dari sel inflamasi pada jaringan prostat masih belum jelas. Beberapa hipotesa telah dikemukakan, di antaranya adalah infeksi

27 34 bakteri, infeksi virus, refluks urin dengan inflamasi kimiawi, faktor makanan, hormone, respon autoimun, dan kombinasi dari beberapa faktor tersebut (De Nunzio dkk. 2011). Telah ditemukan penyebab infeksi seperti E. coli (bakteri gram negatif), beberapa jenis virus seperti Human Papilloma Virus (HPV), virus herpes simpleks tipe 2, dan sitomegalovirus, juga organisme yang menyebar secara seksual seperti Neisseria gonorrhoea, Chlamydia trachomatis, Treponema pallidum, and Trichomonas vaginalis. Selain infeksi, refluks urin juga bisa menyebabkan inflamasi dengan adanya kristal asam urat yang mengaktifkan makrofag dan mencetuskan pengeluaran sitokin. Penyebab lain yang mungkin adalah respon autoimun. Dengan adanya trauma pada prostat akibat beberapa etiologi yang telah disebutkan, lapisan epitel yang rusak akan melepaskan antigen yang mencetuskan terjadinya proses autoimun. Estrogen secara umum telah dipertimbangkan sebagai hormon proinflamasi, diperkirakan menginduksi inflamasi dengan mempengaruhi produksi Interferon-γ (IFN-γ) pada limfosit. Estrogen juga menstimulasi Interleukin 4 (IL-4) yang akan menjadi growth factor-β (TGF-β). Faktor makanan yang berpengaruh dalam proses ini adalah makanan yang tinggi lemak, di mana pada percobaan binatang terbukti meningkatkan distribusi dan aktivitas sel mast dan makrofag pada prostat (De Nunzio dkk. 2011). Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar dkk, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat inflamasi pada jaringan prostat berkorelasi positif dengan nilai PSA. Inflamasi meningkatkan kadar PSA serum, penyebab paling memungkinkan adalah adanya kerusakan integritas dari duktus

28 35 pada prostat yang mengakibatkan keluarnya PSA dari lumen duktus dan asinus ke interstitial (Gui-zhong dkk, 2011). Salah satu penelitian awal mengenai kadar PSA dengan inflamasi histologis dilakukan oleh Brawn (1991), dengan kesimpulan bahwa inflamasi pada prostat menyebabkan kenaikan kadar PSA serum. Penelitian oleh Irani (1997) menunjukkan adanya hubungan antara agresifitas inflamasi dengan peningkatan kadar PSA. Simardi (2004) menyimpulkan bahwa luasnya inflamasi berkorelasi dengan peningkatan PSA serum. Kandirali (2007) memodifikasi metode grading dari Irani, dan menunjukkan adanya hubungan luas dan agresifitas dari inflamasi pada prostat dengan peningkatan kadar PSA dan PSA density (PSAD) serta penurunan kadar free PSA (fpsa). Gui-zhong (2011) menggunakan klasifikasi prostatitis dari National Institute of Health (NIH), menunjukkan perluasan dan derajat inflamasi berhubungan dengan peningkatan kadar PSA serum (Gui-zhong dkk, 2011). Pemeriksaan PSA serum yang umum dilakukan adalah PSA serum total (tpsa). Perbandingan PSA serum total dengan volume prostat disebut sebagai PSA density (PSAD). Sebagian besar PSA pada plasma berikatan dengan inhibitor serine protease seperti α1-antichymotrypsin, α1-protease inhibitor, dan α2- macroglobulin. 10%-30% dari PSA total (tpsa) tidak berikatan dengan protein serum, disebut dengan PSA bebas (free PSA/fPSA). Rasio fpsa dengan tpsa (fpsa/tpsa) disebut sebagai persentase fpsa. Beberapa penelitian menunjukkan adanya persentase fpsa yang lebih rendah pada pasien dengan kanker prostat. Hal ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan yang lebih spesifik untuk mendeteksi kanker prostat. Partin, dkk melaporkan bahwa f/tpsa pada serum dapat lebih

29 36 akurat dalam membedakan kanker prostat dengan penyakit nonmalignansi sehingga dapat menghindari adanya biopsi yang tidak perlu. Nilai normal f/tpsa yang direkomendasikan adalah 0,2-0,25 (Amirraouli dkk, 2010). Pada penelitian yang dilakukan Goran dkk menyebutkan bahwa akurasi PSA untuk mendiagnosa kanker prostat terbatas sensitifitasnya dan spesifitasnya sampai dengan kadar PSA 10 ng/ml. Ratio free PSA terhadap total PSA sebagai alat yang berguna untuk membedakan antara kanker prostat dan BPH, rasio rendah terdapat pada kanker prostat dibandingkan dengan BPH tetapi ratio yang rendah bukan hanya didapatkan pada kanker prostat tetapi juga bias terjadi pada keadaan inflamasi subklinik (Goran dkk, 2014). Proses inflamasi pada prostat mencetuskan pelepasan sitokin. Sitokin dan faktor pertumbuhan tidak hanya berinteraksi dengan efektor imunologi, namun juga dengan sel epitel dan stroma dari prostat. Kramer dkk, pertama kali mengkonfirmasi bahwa jaringan BPH mengandung limfosit T, limfosit B, makrofag yang teraktivasi secara kronis dan menyebabkan pelepasan sitokin, yang menyebabkan pertumbuhan fibromuskular pada BPH. Sitokin proinflamasi yang terlibat di antaranya adalah Interleukin-6 (IL-6), IL-8, dan IL-5. Pada saat sel T mencapai batas tertentu, sel-sel di sekitarnya menjadi target dan dihancurkan, meninggalkan ruang yang digantikan oleh nodul fibromuskuler (De Nunzio dkk, 2011). Penna dkk bahwa sel stroma pada prostat dapat menjadi antigen yang mengaktivasi alloantigen CD4 untuk memproduksi IFN-γ dan IL-17. IFN-γ dan IL-17 akan mencetuskan produksi IL-6 dan IL-8, di mana IL-6 merupakan faktor

30 37 pertumbuhan autokrin dan IL-8 adalah induktor parakrin dari fibroblast growth factor 2 (FGF-2). Keduanya merupakan kunci dari pertumbuhan sel epitel dan stroma prostat. Selain itu, pro inflamasi TGF-β telah tebukti meregulasi proliferasi dan diferensiasi stroma pada BPH. Sumber lain dari mediator inflamasi adalah adanya hipoksia lokal yang terjadi, di mana mencetuskan adanya neovaskularisasi dan diferensiasi fibroblas menjadi myofibroblas (De Nunzio dkk, 2011). Penelitian dari Daniels, dkk.menemukan adanya prostatitis pada 83% dari pasien dengan BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger, 2008). Penelitian dari Reduce memiliki hasil yang hampir sama, di mana disebutkan 21,6% tidak didapatkan inflamasi, 78,4% terdapat inflamasi (Nickel dkk, 2008). Inflamasi pada jaringan prostat diklasifikasikan menurut gambaran histologi dan menurut agresivitasnya. Menurut gambaran histologi, tidak adanya gambaran inflamasi prostat dikategorikan menjadi derajat 0, derajat 1 adanya infiltrat sel inflamasi yang tersebar tanpa adanya nodul, derajat 2 terdapat nodul tanpa berhubungan satu sama lain, dan derajat 3 bila terdapat area inflamasi yang luas dengan penyatuan. Sementara menurut agresivitasnya, inflamasi prostat dibagi menjadi derajat 0 bila tidak terdapat hubungan antara sel inflamasi dengan epitel, derajat 1 bila terdapat hubungan sel inflamasi dengan epitel, derajat 2 bila terdapat infiltrasi interstitial dengan kerusakan glandular, dan derajat 3 bila terjadi kerusakan glandular lebih dari 25% (De Nunzio dkk, 2011).

31 38 Tabel 2.5. Derajat Histologis dan Agresivitas pada Inflamasi Prostat (Modifikasi dari De Nunzio dkk, 2011) Derajat histologi : 0: Tidak ada inflamasi 1: Infiltrasi sel inflamasi yang menyebar tanpa nodul 2: Nodul limfoid tanpa penyatuan 3: Area inflamasi yang besar dengan penyatuan nodul Agresivitas histologi : 0: Tidak ada kontak antara sel inflamasi dengan epitel kelenjar 1: Terdapat kontak antara sel inflamasi dengan epitel 2: Infiltrasi ke interstitial dengan kerusakan struktur kelenjar 3: Kerusakan struktur kelenjar >25% Akhir-akhir ini terdapat dugaan bahwa PSA merupakan suatu antigen yang menjadi salah satu pencetus terjadinya proses inflamasi pada jaringan prostat. Sebuah penelitian pada pasien dengan prostatitis, ditemukan adanya reaksi CD4 sel T dengan plasma seminal, di mana antigen yang dikenali berasal dari postat.cd4 sel T pada pasien dengan prostatitis memberikan respon proliferatif terhadap PSA (Ponniah dkk, 2000). Sampai saat ini, penyebab prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis masih belum diketahui. Sejak lama, infeksi telah digambarkan sebagai penyebabnya. Namun pada kenyataannya, banyak pasien dengan kronik prostatitis gagal diterapi dengan obat antibakterial. Hipotesa bahwa prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis merupakan sebuah penyakit autoimun didukung oleh beberapa hasil observasi. Pertama, sifatnya yang kronis, berulang dan episodik konsisten dengan penyebab autoimun. Kedua, umumnya pada jaringan prostat ditemukan infiltrat dari sel-sel inflamasi. Penyebab adanya infiltrat tersebut, dan

32 39 implikasi dari keberadaannya masih belum diketahui dengan pasti. Yang ketiga, telah dibuktikan bahwa CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis kronis atau dengan sindrom nyeri pelvis kronis memberikan respon proliferatif terhadap plasma seminal. Terakhir, didapatkan bahwa sitokin proinflamasi TNF-α dan IL1β meningkat pada cairan semen pada pria dengan prostatitis kronis bila dibandingkan dengan pria normal (Ponniah, 2000). Gambar 2.8 (A). Jaringan normal prostat tanpa inflamasi, (B) Inflamasi prostat derajat 1, (C) Inflamasi prostat derajat 2, (C) Inflamasi prostat derajat 3 dengan pewarnaan H&E 200x (Modifikasi dari Stimac dkk, 2014) Hubungan PSA dan Obesitas Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Pada obesitas terutama obesitas sentral berkaitan dengan sindroma metabolik,

33 40 sindroma metabolik merupakan suatu kelompok kelainan metabolik meliputi obesitas, resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, dislipidemia dan hipertensi (Sugondo dkk, 2014). Sebagian besar laki-laki diatas usia 50 tahun mempunyai keluhan yang berhubungan dengan pertumbuhan dari prostat dan benign prostate hypertrophy (BPH). Prevalensi dari obesitas dan penumpukan lemak abdominal juga meningkat sejalan dengan usia dan perubahan metabolism hormon steroid, regulasi insulin, dan pembesaran prostat yang diakselerasi oleh obesitas. Namun hasil dari investigaasi beberapa penelitian hubungan antara BMI atau estimasi visceral adiposity dan klinis BPH masih inkonsisten (Fowke dkk, 2007). Sampai saat ini, banyak laporan yang membahas hubungan terbalik antara PSA dan Body Mass Index (BMI) pada pasien dengan kanker prostat. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar PSA lebih rendah pada pria dengan obesitas (Hekal dkk, 2010). PSA diregulasi oleh androgen, beberapa peneliti mempunyai hipotesis bahwa konsentrasi PSA yang rendah dapat menyebabkan penurunan dari aktivitas androgenik pada pasien dengan obesitas. Namun pasien dengan BMI yang tinggi juga memiliki volume plasma yang lebih besar, yang dapat menurunkan konsentrasi solubel tumor marker, fenomena ini disebut hemodilusi (Vollmer dkk, 2003). Bannes dkk (2007) juga menyebutkan bahwa laki-laki dengan BMI yang tinggi juga menpunyai volume plasma yang besar dan volume vaskular, dimana hal tersebut dapat menurunkan konsentrasi serum PSA karena efek dilusi.

34 41 Huterer dkk (2007) dan Thompson dkk (2004) mengemukakan bahwa tidak ditemukannya hubungan statistik yang signifikan antara BMI dan kadar serum PSA, sedangkan beberapa penelitian lain mengatakan adanya hubungan terbalik antara BMI dan PSA. Chia dkk (2009) menyebutkan adanya hubungan terbalik antara BMI dan PSA level, khususnya laki-laki China usia tahun dengan BMI > 25, setiap 1 kg/m 2 per tahun terjadi penurunan kadar PSA sekitar 0,011 ng/ml. Tab 2.6 Hubungan antara BMI dan PSA pada laki-laki Japanese (Modifikasi dari Naito dkk,2012) Pada penelitian yang dilakukan Naito dkk (2012) menyebutkan bahwa kadar serum PSA lebih rendah terdapat pada laki-laki dengan obesitas dibandingkan dengan yang non obesitas, dan pada penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa kadar serum PSA juga lebih rendah pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan yang non diabetes (Naito dkk, 2012) Kim dkk menemukan hubungan korelasi antara PSA dan BMI, berdasarkan stratifikasi usia 60 tahun, ada hubungan terbalik yang signifikan pada pasien yg lebih muda saja, dan tidak pada pasien yang lebih tua (Kim dkk, 2007).

35 42 Pada beberapa kasus pasien dengan obesitas mempunyai ukuran prostat relatif lebih besar daripada yang non obesitas, dari beberapa data menyebutkan bahwa obesitas berhubungan dengan pembesaran ukuran prostat (Hekal dkk, 2010). Baltimore Longitudinal Study of Aging mengatakan tidak ada hubungan antara BMI dan volume prostat, walaupun visceral adiposity dan berat badan berhubungan dengan klinis BPH, sedikit pengetahuan mengenai hubungannya dengan volume prostat. Lebih jauh lagi, beberapa study terbaru meyakini bahwa ada beberapa efek obesitas terhadap volume prostat dan juga dapat digunakan untuk deteksi kanker prostat. Pada penelitian yang dilakukan Fowke dkk mempunyai kesimpulan bahwa obesitas dan berat badan berhubungan dengan peningkatan volume prostat (Fowke dkk, 2007). Pada obesitas terjadi insulin resisten sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar insulin yang diproduksi oleh pankreas, insulin menginduksi terjadinya proliferasi jaringan prostat (Gokce dkk, 2010). Selain itu pada pasien dengan obesitas terjadi peningkatan jaringan adipose yang berakibat peningkatan sekresi hormon leptin, hormon leptin menstimulasi proliferasi sel jaringan prostat dan kemudian terjadi BPH (Mohammed dkk, 2012). Hiperinsulinemia terjadi peningkatan aktivitas simpatis dengan peningkatan metabolism glukosa pada ventromedial hipothalamic neuron yang berkontribusi peningkatan aktivitas alfaadrenergik pathway, sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot polos pada struktur genitourinary termasuk prostat, leher buli, uretra dan akan terjadi LUTS (McVary dkk, 2006). Insulin juga bisa menyebabkan terjadinya BPH via IGF axis,

36 43 dimana IGF axis berperan dalam regulasi pertumbuhan epitel prostat (Stattin dkk, 2001). Gambar 2.9 Interaksi faktor resiko pathogenesis BPH lewat insulin

37 44

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar

Lebih terperinci

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif EDITORIAL Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif Shahrul Rahman* * Doktor Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Pendahuluan Kelenjar prostat adalah salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia laki-laki yang terletak mengelilingi vesica urinaria dan uretra proksimalis. Kelenjar prostat dapat mengalami pembesaran

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA PADA USIA ANTARA 50-59 TAHUN DENGAN USIA DIATAS 60 TAHUN PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI DI RS. PKU (PEMBINA KESEJAHTERAAN UMAT) MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan menyebabkan pembesaran dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau yang dikenal pembesaran prostat jinak sering ditemukan pada pria dengan usia lanjut. BPH adalah kondisi dimana terjadinya ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH merupakan kelainanan adenofibromatoushyperplasia paling sering pada pria walaupun tidak mengancam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Prostat Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi

Lebih terperinci

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT BAB I PENDAHULUAN Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 2007, Badan Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan prostat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan suatu pembesaran progresif pada kelenjar prostat pria dewasa yang bersifat non-malignan (WHO, 1999). Pembesaran prostat

Lebih terperinci

Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.

Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed. Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.tk 0 BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) Pendahuluan Kelenjar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperplasia prostat jinak (BP H) merupakan penyakit jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan pembesaran prostat jinak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring peningkatan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan, semakin meningkat pula kualitas hidup dan kesehatan masyarakat yang salah

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yaitu berupa pembesaran prostat atau hiperplasia prostat. Kelainan kelenjar prostat dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma prostat ialah keganasan pada laki-laki yang sangat sering didapat. Angka kejadian diduga 19% dari semua kanker pada pria dan merupakan karsinoma terbanyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk Indonesia sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benigna Prostate Hiperplasi (BPH) merupakan kondisi patologis yang paling umum terjadi pada pria lansia dan penyebab kedua untuk intervensi medis pada pria diatas usia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kelenjar Prostat a. Anatomi Kelenjar Prostat Kelenjar prostat merupakan kelenjar reproduksi tambahan pada pria. Kelenjar ini berbentuk seperti buah kemiri yang

Lebih terperinci

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan dan menjelaskan tentang epidemiologi penyakit kanker prostat, riwayat alamiah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kerentanan fisik individu sendiri, keadaan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau tumor prostat jinak, menjadi masalah bagi kebanyakan kaum pria yang berusia di atas 50 tahun. BPH pada pria muncul tanpa ada

Lebih terperinci

KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI

KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI KARYA AKHIR KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI Oleh I MADE DARMAWAN No. Reg CHS : P 2401204012 Pembimbing Prof. Dr. Achmad M. Palinrungi,Sp.B, Sp.U Dr. Azwar Amir, Sp.U DR.Dr. Burhanuddin

Lebih terperinci

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya.

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. FORUM KESEHATAN Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. Pengantar Kalau anda seorang pria yang berusia diatas 40 tahun, mempunyai gejala2 gangguan kemih (kencing) yang ditandai oleh: Kurang lancarnya aliran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) 2.1.1. Pengertian BPH Menurut Anonim (2009) dalam Hamawi (2010), BPH secara umumnya dinyatakan sebagai Pembesaran Prostat Jinak. Maka jelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron di bawah parameter

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prostat 2.1.1. Anatomi Prostat Gambar 2.1. Letak Kelenjar Prostat (Schunke, et al, 2006) Prostat merupakan kelenjar fibromuskular yang mengelilingi uretra pars prostatika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat, pemerintah dan swasta. Apapun yang dilakukan pemerintah tanpa kesadaran individu dan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Indeks Massa Tubuh 2.1.1. Definisi Indeks Massa Tubuh Indeks massa tubuh (IMT) atau indeks Quetelet, ditemukan antara 1830 dan 1850 oleh seorang Belgia yang bernama Adolphe

Lebih terperinci

Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan

Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan Apakah kanker Prostat itu? Kanker prostat berkembang di prostat seorang pria, kelenjar kenari berukuran tepat di bawah kandung kemih yang menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuaan (Madjid dan Suharyanto, 2009). tindakan untuk mengatasi BPH yang paling sering yaitu Transurethral

BAB I PENDAHULUAN. penuaan (Madjid dan Suharyanto, 2009). tindakan untuk mengatasi BPH yang paling sering yaitu Transurethral BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hipertropi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy. BPH) merupakan kondisi yang belum di ketahui penyebabnya, di tandai oleh meningkatnya ukuran zona dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prostat 2.1.1. Anatomi Prostat adalah organ genital yang hanya di temukan pada pria karena merupakan penghasil cairan semen yang hanya dihasilkan oleh pria. Prostat berbentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di Indonesia setelah infeksi saluran kemih 1. Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah sindroma disfungsi ovarium dengan karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan yang menyebabkan kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan Alatas, 1985).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006

ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006 ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006 Mayasari Indrajaya, 2007. Pembimbing : Penny Setyawati M.,dr.,Sp.PK.,M.Kes. Benign Prostatic Hyperplasia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Kelenjar Prostat Prostat merupakan organ yang terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang tersembunyi di bawah kandung kemih. Dalam keadaan normal, prostat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih (Fadlol & Mochtar. 2005). Penduduk

Lebih terperinci

Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH.

Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH. 2 Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH. BPH terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal oleh proses

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

REFERAT UROLOGI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN BPH. By Heri Satryawan, S.Ked H1A Supervisor dr. Akhada Maulana, Sp.U

REFERAT UROLOGI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN BPH. By Heri Satryawan, S.Ked H1A Supervisor dr. Akhada Maulana, Sp.U REFERAT UROLOGI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN BPH By Heri Satryawan, S.Ked H1A 009 008 Supervisor dr. Akhada Maulana, Sp.U IN ORDER TO UNDERGO THE CLINICAL ORIENTATION / CLERKSHIP AT THE SURGERY FUNCTIONAL

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Di United States, sekitar 14 juta laki-laki memiliki keluhan BPH.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Di United States, sekitar 14 juta laki-laki memiliki keluhan BPH. 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Di United States, sekitar 14 juta laki-laki memiliki keluhan BPH. Insidensnya akan meningkat sesuai dengan pertambahan usia, hanya beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.

Lebih terperinci

DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE

DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Definisi Inkontiensia Urine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara berkembang meskipun frekuensinya lebih rendah di negara-negara maju

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladdre adalah keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proporsi penduduk usia lanjut dewasa yang bertambah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Proporsi penduduk usia lanjut dewasa yang bertambah memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proporsi penduduk usia lanjut dewasa yang bertambah memiliki tantangan dalam mempertahankan derajat kesehatan, oleh karena disertai pula dengan peningkatan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Infeksi Saluran Kemih Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor lainnya. Insidens ISK tertinggi terjadi pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem perkemihan merupakan salah satu system yang tidak kalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem perkemihan merupakan salah satu system yang tidak kalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem perkemihan merupakan salah satu system yang tidak kalah pentingnya dalam tubuh manusia. Sistem perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, vesika urinaria, dan uretra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kerap kali dijumpai dalam praktik dokter. Berdasarkan data. epidemiologis tercatat 25-35% wanita dewasa pernah mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. kerap kali dijumpai dalam praktik dokter. Berdasarkan data. epidemiologis tercatat 25-35% wanita dewasa pernah mengalami BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan kondisi klinis yang kerap kali dijumpai dalam praktik dokter. Berdasarkan data epidemiologis tercatat 25-35% wanita dewasa

Lebih terperinci

INKONTINENSIA URIN. Dr. Budi Iman Santoso, SpOG (K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Jakarta

INKONTINENSIA URIN. Dr. Budi Iman Santoso, SpOG (K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Jakarta INKONTINENSIA URIN Dr. Budi Iman Santoso, SpOG (K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Jakarta Inkontinensia urin dapat terjadi pada segala usia Asia Pasific

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI. BAB 4 HASIL Dalam penelitian ini digunakan 782 kasus yang diperiksa secara histopatologi dan didiagnosis sebagai apendisitis, baik akut, akut perforasi, dan kronis pada Departemen Patologi Anatomi FKUI

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S Secara biologis pada masa usia lanjut, segala kegiatan proses hidup sel akan mengalami penurunan Hal-hal keadaan yang dapat ikut

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. I DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN: POST OPERASI BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) HARI KE-0 DI RUANG FLAMBOYAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDANARANG BOYOLALI NASKAH PUBLIKASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yaitu poliuria, polidipsi dan polifagi (Suyono, 2009). Menurut Riskesdas (riset kesehatan dasar) prevalensi diabetes melitus

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yaitu poliuria, polidipsi dan polifagi (Suyono, 2009). Menurut Riskesdas (riset kesehatan dasar) prevalensi diabetes melitus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus adalah kelompok penyakit yang terjadi akibat gangguan sistem endokrin yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah. Beberapa tahun terakhir

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katarak Asal kata katarak dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata yang biasanya bening

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten terhadap kerja insulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik atau buruknya pelayanan kebidanan (maternity care) dalam suatu negara atau daerah ialah kematian maternal (maternal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi lemak secara berlebihan. Obesitas merupakan faktor risiko dislipidemia, diabetes melitus, hipertensi, sindrom

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dalam saluran kemih, meliputi infeksi diparenkim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nefrolitiasis adalah sebuah material solid yang terbentuk di ginjal ketika zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit ini bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Alopesia androgenetik merupakan alopesia yang dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Alopesia androgenetik merupakan alopesia yang dipengaruhi oleh faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alopesia merupakan yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan efek dari androgen perifer, dimana faktor tersebut akan mengakibatkan perubahan secara bertahap dari rambut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

ABSTRAK OBESITAS MENINGKATKAN RISIKO KANKER PAYUDARA PADA WANITA POSTMENOPAUSE

ABSTRAK OBESITAS MENINGKATKAN RISIKO KANKER PAYUDARA PADA WANITA POSTMENOPAUSE ABSTRAK OBESITAS MENINGKATKAN RISIKO KANKER PAYUDARA PADA WANITA POSTMENOPAUSE Clara Santi Trisnawati, 2007 Pembimbing : Freddy Tumewu Andries, dr., M.S Obesitas dan kanker payudara merupakan masalah kesehatan

Lebih terperinci

PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang

PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang IMUNOLOGI TUMOR INNATE IMMUNITY CELLULAR HUMORAL PHAGOCYTES NK CELLS COMPLEMENT CYTOKINES PHAGOCYTOSIS

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus kehidupan khususnya manusia pasti akan mengalami penuaan baik pada wanita maupun pria. Semakin bertambahnya usia, berbanding terbalik dengan kadar hormon seseorang.

Lebih terperinci

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit hati dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal pada dekade

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prostat 2.1.1. Embriologi Prostat Sistem organ genitalia atau reproduksi pria terdiri atas testis, epididimis, vas deferens, vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan penis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Benign ProstaticHyperplasia(BPH) merupakansalah satu penyakit. degeneratifpada priadan banyakditemuidi dunia.bph seringkalidisertai

BAB I PENDAHULUAN. Benign ProstaticHyperplasia(BPH) merupakansalah satu penyakit. degeneratifpada priadan banyakditemuidi dunia.bph seringkalidisertai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah Benign ProstaticHyperplasia(BPH) merupakansalah satu penyakit degeneratifpada priadan banyakditemuidi dunia.bph seringkalidisertai dengan gejala saluran kemih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan dengan usia rata-rata 55 tahun (Stoler, 2014). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan World Health Organization (WHO) tahun 1995 menyatakan bahwa batasan Berat Badan (BB) normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fruktosa merupakan gula yang umumnya terdapat dalam sayur dan buah sehingga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa fruktosa sepenuhnya aman untuk dikonsumsi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci