KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI"

Transkripsi

1 KARYA AKHIR KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI Oleh I MADE DARMAWAN No. Reg CHS : P Pembimbing Prof. Dr. Achmad M. Palinrungi,Sp.B, Sp.U Dr. Azwar Amir, Sp.U DR.Dr. Burhanuddin Bahar, MS PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2009

2 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hipertrofi prostat dan hipertensi sering terjadi di seluruh dunia. Hipertrofi prostat merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Baik hipertrofi prostat maupun hipertensi sering terjadi bersamasama dan cendrung terjadi dengan meningkatnya umur. Kelainan hipertensi ini terjadi pada umur = 60 tahun sekitar %. 1 Sedangkan prevalensi histologik hipertrofi prostat pada pria yang berumur 60 tahun sekitar 50 %, umur 80 tahun sekitar 80 % dan pada umur 85 tahun prevalensi menjadi kira-kira 90 %. 2,3 Suatu penelitian dari dua negara yaitu Amerika Serikat (Third National Health and Nutrition Examination Survey [NHANES III]) dan Inggris menyatakan bahwa sekitar 50% - 60% penduduk yang berumur lebih dari 60 tahun diperkirakan menderita penyakit hipertensi. Dengan memakai perkiraan ini, jika pria berumur 60 tahun dengan prevalensi prostat sekitar 50 % dan pria berumur 60 tahun dengan prevalensi penyakit hipertensi sekitar 50 % maka dapat diramalkan bahwa sekitar 25 % pria berumur 60 tahun atau lebih menderita hipertrofi prostat dan hipertensi. 4 Sedangkan menurut Boyle dan Napalkov (1995), sekitar 30 % pria dengan hipertrofi prostat juga disertai dengan penyakit hipertensi. 5 Yang menonjol dari hubungan antara hipertensi dan hipertrofi prostat adalah adanya suatu peranan sistem syaraf simpatis yang berperan sebagai patofisiologi dari kedua keadaan tersebut. Aktivitas sistem syaraf simpatis atau aktivitas a 1 - adrenoseptor akan meningkat dengan bertambahnya umur dan sistem ini sangat 1

3 berpengaruh pada terjadinya hipertensi dan hipertrofi prostat. Suatu bukti bahwa telah terjadi peningkatan aktivitas a 1 -adrenoseptor dapat dijelaskan dengan adanya perbaikan dari LUTS setelah pemberian medikamentosa antagonis a 1 -adrenoseptor seperti prazosin, alfuzosin, doxazosin, terazosin dan tamsulosin. 6,7,8 Hipertrofi prostat akan memberikan gejala-gejala obstruksi yang dikenal dengan bladder outlet obstruction (BOO). BOO pada prostat yang berukuran kecil disebabkan oleh peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatis atau meningkatnya aktivitas a 1 -adrenoseptor yang menyebabkan peningkatan tonus otot polos prostat, sedangkan pada prostat yang berukuran besar disebabkan oleh peningkatan massa prostat sendiri yang menekan secara langsung uretra yang disebut dengan benign prostate obstruction (BPO) 7 Menurut Michel dan kawan-kawan, melaporkan bahwa pria dengan hipertensi mempunyai gejala klinik BOO/LUTS yang lebih besar dibandingkan dengan pria tanpa hipertensi. 6 Namun demikian belum banyak diketahui apakah penyakit hipertensi berhubungan dengan ukuran prostat. Bagaimana hubungan antara penyakit hipertensi terhadap umur dan volume prostat pada penderita hipertrofi prostat sampai saat ini belum banyak dilaporkan Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: a) Bagaimana gambaran tekanan darah pada penderita hipertrofi prostat? b) Apakah ada hubungan antara volume prostat dengan tingginya tekanan darah pada penderita hipertrofi prostat? 2

4 c) Apakah ada hubungan antara umur dengan volume prostat pada penderita hipertrofi prostat? d) Apakah ada hubungan antara volume prostat dengan kuantitas keluhan penderita hipertrofi prostat? e) Apakah ada hubungan antara kuantitas keluhan dan tekanan darah pada penderita hipertrofi prostat? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diketahuinya gambaran tekanan darah pada penderita hipertrofi prostat. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya rerata umur dan rerata volume prostat pada penderita hipertrofi prostat dengan dan tanpa penyakit hipertensi. b. Diketahuinya korelasi antara nilai volume prostat dengan tekanan darah pada penderita hipertrofi prostat. c. Diketahuinya korelasi antara umur dan volume prostat pada penderita hipertrofi prostat. d. Diketahuinya korelasi antara kuantitas keluhan dan tekanan darah pada penderita hipertrofi prostat. e. Diketahuinya korelasi antara volume prostat dan kuantitas keluhan penderita hipertrofi prostat. 3

5 1.4. Manfaat Penelitian 1. Diperolehnya nilai tekanan darah pada penderita hipertrofi prostat, diharapkan dapat dilakukan pengobatan yang tepat dan lebih teratur. 2. Dengan mengetahui nilai tekanan darah pada penderita hipertrofi prostat maka bila memungkinkan dapat dilakukan pencegahan agar perlangsungan kelainan tersebut tidak bertambah berat yang pada akhirnya dapat menurunkan angka kematian. 4

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hipertrofi Prostat Hipertrofi prostat merupakan pembesaran prostat yang disebabkan oleh pertumbuhan seluler yang berlebihan komponen-komponen glandula dan stroma dari prostat. Pertumbuhan jaringan prostat dipengaruhi oleh proses penuaan, ada sedikit perbedaan geografis atau rasial pada prevalensi hipertrofi prostat, namun tidak ada data yang memberi konfirmasi adanya hubungan dari faktor sosial budaya, tidak kawin, golongan darah tertentu, penggunaan alkohol atau tembakau, penyakit yang dapat dialami pada usia lanjut (penyakit jantung koroner, penyakit vaskuler serebral, hipertensi, DM dan sirosis hepatis) dengan terjadinya hipertrofi prostat. Pada hakekatnya pria yang berusia di atas 50 tahun cenderung untuk menderita hipertrofi prostat, 50 % pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80 % pria yang berusia 80 tahun. Sedangkan kira-kira 10 % pria berusia 50 tahun akan mempunyai gejala-gejala hipertrofi prostat disertai dengan gangguan berkemih kelak di kemudian hari dan bertambah progresif pada usia 80 tahun (70-80 %). 2,3 Prostat mendapat dua macam persyarafan, yaitu parasimpatis (kolinergik) dan simpatis (noradrenergik) melalui plexus pelvikus otonomik yang terletak dekat prostat. Plexus ini mendapat masukan parasimpatetik dari medula spinalis setinggi S 2 S 4 dan serat-serat simpetetik dari syaraf hypogastrikus presakralis (T 10 -L 2 ). Kedua sistem persyarafan itu dalam prostat membentuk jaringan persyarafan yang terjadi dari gabungan yang bersifat kolinergik dan noradrenergik dan mempunyai reseptor-reseptor di dalam otot polos prostat. Reseptor adrenergik alpha banyak 5

7 terdapat pada daerah trigonum, leher buli-buli, didalam otot polos prostat dan juga kapsel. Pada leher buli-buli, otot detrusor buli-buli membentuk spingter uretra interna. Spingter uretra interna atau bladder neck merupakan spingter sirkuler semu yang hanya merupakan bentuk penebalan dari jalinan dan berkumpulnya serat-serat otot detrusor buli-buli, dimana otot ini menuju ke distal menjadi otot polos uretra. Otot ini kaya dengan serat-serat syaraf adrenergik, dimana bila syaraf ini terstimulasi akan menyebabkan penutupan dari leher buli-buli dan akan relaksasi saat berkemih. Kombinasi antara kontraksi otot detrusor buli-buli dan relaksasi dari otot spingter ini akan menyebabkan bladder neck terangkat dan terbuka sehingga terjadi pengosongan buli-buli. Proses pengosongan buli-buli merupakan proses parasimpatomimetik, sedangkan proses pengisian buli-buli adalah proses simpatomimetik. Hipertrofi prostat akan memberikan gejala-gejala klinik berupa gejala obstruktif yang terjadi akibat penyempitan uretra karena desakan prostat yang membesar (BPO) dan peningkatan tonus otot polos prostat yang diperantarai oleh a 1 -adrenergic receptors (a 1 AR) Gejala klinik hipertrofi prostat ini disebabkan oleh bladder outlet obstruction (BOO). 5 Dan gejala iritasi akibat pengosongan yang tidak sempurna saat berkemih karena pembesaran prostat yang menyebabkan rangsangan pada buli-buli atau hipersensitivitas pada mukosa trigonum vesicae, bladder neck dan uretra pars prostatika sehingga sering berkontraksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli/organisasi urologi membuat kuantifikasi gejala-gejala LUTS berupa sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh 6

8 pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah I-PSS (International Prostatic Symptom Score), dimana sistem ini diadopsi dari sistem skoring dari American Urological Association. System ini terdiri dari 7 pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (1-5) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien (1-7). Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 kelompok, yaitu (1) ringan : skor 0-7, (2) sedang : skor 8-19 dan (3) berat : skor SKOR INTERNASIONAL GEJALA PROSTAT (I-PSS) Untuk pertanyaan nomor 1 hingga 6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut : 0 = tidak pernah 3 = kurang lebih separuh dari kejadian 1 = kurang dari sekali dari 5 kali kejadian 4 = lebih dari separuh kejadian 2 = kurang dari separuh kejadian 5 = hampir selalu Dalam satu bulan terakhir ini berapa seringkah anda : 1. Merasakan masih terdapat sisa urine sehabis kencing? 2. Harus kencing lagi padahal belum sampai 2 jam yang lalu, anda baru saja kencing? 3. Kencing terhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan berulang-ulang dalam satu kali kencing ( Kencing tersendat-sendat )? 4. Tidak dapat menahan keinginan untuk kencing? 5. Merasakan pancaran urine yang lemah? 6. Harus mengejan dalam memulai kencing? Untuk pertanyaan nomor 7, jawablah dengan skor seperti dibawah ini : 0 = tidak pernah 3 = tiga kali 1 = satu kali 4 = empat kali 2 = dua kali 5 = lima kali 7. Dalam satu bulan terakhir ini, berapa kali rata-rata anda terbangun dari tidur malam untuk kencing? TOTAL SKOR (S) =... Pertanyaan nomor 8 adalah mengenai kualitas hidup sehubungan dengan gejala diatas; jawablah dengan : 1. Sangat senang 2. Senang 3. Puas 4. Campuran antara puas dan tidak puas 5. Sangat tidak puas 6. Tidak bahagia 7. Buruk sekali 8. Dengan keluhan seperti ini bagaimanakah anda menikmati hidup ini? Tabel 1. Skor Internasional Gejala Prostat. Dikutip dari kepustakaan 2. 7

9 Patofisiologi Hipertrofi prostat biasanya dimulai pada umur 40 tahun, walaupun secara mikroskopis BPH sudah nampak pada umur 30 tahun dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur dimana 50 % pria yang berusia 60 tahun, kurang lebih 80 % pria yang berusia 80 tahun dan pada umur 85 tahun prevalensinya menjadi 90 %, setengahnya dari penderita-penderita tersebut bermanifestasi klinis. 3 Hipertrofi prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine, sehingga menimbulkan gangguan berkemih yang disebut lower urinary tract symptoms (LUTS). Pada hipertrofi prostat terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, sedangkan pada hipertrofi prostat rasionya meningkat menjadi 5:1. Dengan meningkatnya jumlah komponen otot polos akan memperkuat suatu teori bahwa BOO pada hipertrofi prostat merupakan suatu proses dinamik sebagai akibat dari peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatis atau meningkatnya aktivitas a 1 adrenoreseptor. Menurut L. Sandfeldt dan R.G. Hahn menyatakan bahwa BOO pada prostat yang berukuran kecil dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas syaraf simpatis sehingga meningkatkan tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat dan otot polos pada leher buli-buli, sedangkan gejala obstruksi yang sama dari kelenjar prostat yang besar disebabkan oleh penekanan secara langsung dari besarnya kelenjar prostat yang merupakan proses statik. 2,7 Hiperaktivitas sistem syaraf simpatis mempunyai peranan penting pada hipertensi dengan meningkatkan vasokonstriksi dan hipertrofi pembuluh darah sehingga meningkatkan resistensi perifer melalui peranan dari a 1 adrenoreseptor. 8

10 Reseptor-reseptor adrenergik yang terdapat dalam pembuluah darah akan meningkat dua kali lipat dengan bertambahnya umur terutama a 1b -AR. 14 Neurotransmiter adrenergik berperanan mengatur pelepasan gen-gen protein pada sel-sel myocytes jantung dan terlibat dalam hipertrofi otot-otot jantung. Dengan demikian peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatis akan mempengaruhi peningkatan denyut jantung yang sudah menderita penyakit hipertensi sebelumnya dan berhubungan erat dengan meningkatnya insidensi mortalitas kardiovaskuler. 16 Volume Prostat Volume prostat dapat diukur dengan cara pemeriksaan colok dubur, uretrogram retrograde, ultrasonografi transabdominal (transabdominal ultrasound/taus), ultrasonografi transrektal (transrectal ultrasound / TRUS) maupun dengan magnetic resonance imaging (MRI). 17 Ultrasonografi transrektal masih dianggap sebagai baku emas untuk memprediksi volume prostat dan mengevaluasi hasil terapi medikamentosa. Meskipun mengurangi rasa kenyamanan dibandingkan dengan pemeriksaan transabdominal, pemeriksaan ultrasonografi transrektal masih bisa diterima karena letak prostat yang dekat dengan rektum, sehingga lebih besar kemungkinan untuk mendapatkan gambaran prostat yang baik. Selain dapat mengukur volume prostat, TRUS juga dapat mendeteksi kemungkinan keganasan dengan memperlihatkan adanya gambaran hypoechoic. Selain itu TRUS dapat menjadi alat bantu untuk melakukan biopsi bila dicurigai adanya tanda keganasan, baik berdasarkan pemeriksaan colok dubur, kadar PSA maupun USG. 9

11 Pengukuran volume prostat dengan TRUS dilakukan dengan cara analisis yaitu planimetri. Prolate ellipse volume calculation ( HWL[=0,52 x H x W x L] ). Pemeriksaan ini diukur panjang, lebar dan tinggi prostate, p/6 diameter transversal diameter AP diameter longitudinal. Dimensi pertama pada bidang axial dengan mengukur dimensi transversal dan anteriorposterior. Sedangkan dimensi longitudinal diukur pada bidang sagital pada daerah midline. 17,18,19 Volume = 0,52 x lebar x panjang x tinggi Hipertensi Hipertensi merupakan penyakit vaskuler terbesar dengan prevalensinya yang meningkat dengan bertambahnya umur, yaitu sekitar 60 % terjadi pada umur 60 tahun (National Center for Health Statistics, 1994). 20 Menurut Health Survey for England 1998, sekitar 30 % masyarakat yang berumur tahun memiliki faktor resiko menderita hipertensi, 15 % dari mereka mendapat pengobatan dan hanya 5 % dengan tekanan darah yang terkontrol. 21 Menurut Joint National Committee (JNC 7), definisi hipertensi adalah jika didapatkan tekanan darah sistolik (TDS) = 140 mmhg atau tekanan darah diastolik (TDD) = 90 mmhg. Penentuan klasifikasi ini berdasarkan rata-rata 2 kali pengukuran tekanan pada posisi duduk. 22 Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmhg) TDD (mmhg) Normal < 120 dan < 80 Prehypertension atau Stage 1 Hypertension atau Stage 2 Hypertension = 160 Atau = 100 Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah (JNC 7) 10

12 JNC 7 memasukkan kategori baru yaitu prehypertension dan menggabungkan hipertensi stage 1 dan 2 dari JNC 6. Dasar pemikirannya adalah pasien dengan prehypertension berisiko untuk mengalami progresi menjadi hipertensi dan mereka dengan tekanan darah / berisiko dua kali lebih besar untuk menjadi hipertensi dibanding dengan yang tekanan darahnya lebih rendah. 22 Tekanan darah ditentukan secara proporsional oleh 2 faktor hemodinamik, cardiac output (CO) dan systemic vascular resistance (SVR). Tekanan darah yang tinggi atau hipertensi terjadi akibat kenaikan dari CO dan atau SVR. Masing-masing faktor ini ditentukan oleh interaksi banyak komponen lain. Jadi komponen yang mempengaruhi tekanan darah dipengaruhi oleh berbagai organ, sistem dan merupakan suatu hasil kerja yang amat kompleks. Dalam hal ini terlibat sistem persarafan, jantung, hormon, ginjal dan lain-lain. Menurut Esler dan kawan-kawan pada tahun 2001 menyatakan bahwa hipertensi dini berhubungan dengan peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatis. Dalam hal ini berbagai stimulasi sistem syaraf simpatis berkaitan dengan terdapatnya stress emosional, merokok, penggunaan alkohol, obat-obatan, kegemukan, penekanan batang otak bawaan atau disfungsi baroreseptor. Beberapa penelitian menyatakan bahwa masyarakat yang terpapar stres psikogenik berulang akan mengalami hipertensi lebih sering dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mengalami stres. 16 Beberapa penanda adanya hiperaktivitas syaraf simpatis, utamanya pada penderita-penderita muda, yaitu adanya kadar norepinephrine yang meningkat ( Ferrier dan kawan-kawan, 1993), aktivitas otot syaraf simpatis yang bertambah 11

13 (Floras dan Hara, 1993) dan peningkatkan pelepasan epinephrine (Jacobs dan kawan-kawan, 1997). Dimana masing masing katekolamin merupakan suatu mekanisme awal yang meningkatkan tekanan darah dan mempertahankan hipertensi melalui hipertrofi vaskuler (Yu dan kawan-kawan, 1996) Dengan peningkatan aktivitas simpatis akan menyebabkan peningkatan heart rate pada banyak penderita-penderita hipertensi yang akan berhubungan dengan meningkatnya mortalitas kardiovaskuler. 16 Hipertrofi Prostat dan Hipertensi Antagonis a 1 -adrenoseptor tidak hanya berkerja pada traktus urinarius bagian bawah, tetapi juga mempunyai efek pada pembuluh darah. Tonus syaraf simpatis diperantarai oleh a-adrenoseptor yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah. Oleh karenanya dengan pemberian medikamentosa antagonis a-adrenoseptor yang bersifat selektif, akan menghambat respon epinephrin dan noradrenalin, sehingga menurunkan resistensi vaskuler perifer dan terjadi penurunan tekanan darah. Masing-masing hipertensi dan hipertrofi prostat prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur dan sistem syaraf simpatis mempunyai peranan pada keduanya dimana dengan meningkatnya aktivitas simpatis pada usia lanjut akan mempengaruhi progresi kedua penyakit tersebut. 23 Penyakit vaskuler dapat sebagai faktor yang memperberat gejala klinik dari hipertropi prostat. Menurut Michel dan kawan-kawan melaporkan bahwa laki-laki dengan hipertensi mempunyai gejala-gejala LUTS yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yang tidak menderita hipertensi. Hubungan ini oleh Gibbons dan kawan-kawan dalam penelitiannya mengatakan bahwa hipertensi dan gejala klinik 12

14 hipertrofi prostat keduanya dipengaruhi oleh peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatis dan atau peningkatan aktivitas a 1 -adrenoceptor. 6 BPH terdiri dari % hiperplasia glandula prostat ( epitel ) dan % stroma (fibro-muskuler). Dari stroma ini sekitar % terjadi hipertrofi otot polos dan % hiperplasia jaringan fibrotik. Jadi otot-otot polos pada prostat, bladder neck dan trigonum vesicae serta uretra pars prostatik akan mengalami hipertrofi ( jaringan otot bertambah besar). Pada penderita hipertensi, norepinephrin lebih sering lagi mempengaruhi otot-otot polos ini sehingga tambah hipertrofi lagi dan terjadi BOO dengan gejalagejala LUTS. Bila fibro-muskuler (stroma) yang dominan pada BPH, prostat tidak terlalu besar dibandingkan bila epitel (glandula prostat) yang hiperplasi dominan maka disini terjadi BPO. Pada penderita hipertensi lebih cepat terjadi BOO, prostat akan lebih kecil dan pasien lebih muda dan biasanya ada kelainan jantung sehingga menyebabkan life expectancy pasien saat TUR-P lebih pendek daripada yang menjalani open prostatektomi. 9 Pada pemeriksaan histopatologi anatomi, jaringan penderita BPH dengan hipertensi biasanya jaringan fibromusculer lebih dominan daripada daripada glandula prostat (epitel) Dengan pemberian medikamentosa antihipertensi yang selektif seperti antagonis a 1 adrenoreseptor selektif dapat menurunkan tonus otot polos prostat dan pembuluh darah, sehingga dapat memperbaiki aliran urin, dan menurunkan tekanan darah. 13

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH merupakan kelainanan adenofibromatoushyperplasia paling sering pada pria walaupun tidak mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia laki-laki yang terletak mengelilingi vesica urinaria dan uretra proksimalis. Kelenjar prostat dapat mengalami pembesaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 2007, Badan Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan prostat

Lebih terperinci

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif EDITORIAL Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif Shahrul Rahman* * Doktor Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Pendahuluan Kelenjar prostat adalah salah

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA PADA USIA ANTARA 50-59 TAHUN DENGAN USIA DIATAS 60 TAHUN PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI DI RS. PKU (PEMBINA KESEJAHTERAAN UMAT) MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau yang dikenal pembesaran prostat jinak sering ditemukan pada pria dengan usia lanjut. BPH adalah kondisi dimana terjadinya ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan menyebabkan pembesaran dari

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) 2.1.1. Pengertian BPH Menurut Anonim (2009) dalam Hamawi (2010), BPH secara umumnya dinyatakan sebagai Pembesaran Prostat Jinak. Maka jelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring peningkatan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan, semakin meningkat pula kualitas hidup dan kesehatan masyarakat yang salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperplasia prostat jinak (BP H) merupakan penyakit jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan pembesaran prostat jinak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar

Lebih terperinci

Nama lengkap : Dr. MOHAMMAD HENDRO MUSTAQIM. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara. Nama lengkap : SYAH MIRSAH WARLI, SpU

Nama lengkap : Dr. MOHAMMAD HENDRO MUSTAQIM. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara. Nama lengkap : SYAH MIRSAH WARLI, SpU Lampiran 1 Susunan Peneliti Peneliti Nama lengkap : Dr. MOHAMMAD HENDRO MUSTAQIM Pangkat/Gol/NIP : -/-/- Jabatan Fungsional : - Fakultas : Kedokteran Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global,

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai macam penyakit akibat gaya hidup yang tidak sehat sangat sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global, banyak stresor dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di Indonesia setelah infeksi saluran kemih 1. Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih (Fadlol & Mochtar. 2005). Penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat, pemerintah dan swasta. Apapun yang dilakukan pemerintah tanpa kesadaran individu dan masyarakat

Lebih terperinci

LEMBAR PENJELASAN KUESIONER GAMBARAN NILAI INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE

LEMBAR PENJELASAN KUESIONER GAMBARAN NILAI INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE Lampiran 1 LEMBAR PENJELASAN KUESIONER GAMBARAN NILAI INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE PADA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA DI POLIKLINIK UROLOGI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN Saya Kamaleswaran Chandrasegaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat (Rahayu, 2000). Berdasarkan data American. hipertensi mengalami peningkatan sebesar 46%.

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat (Rahayu, 2000). Berdasarkan data American. hipertensi mengalami peningkatan sebesar 46%. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Penyakit hipertensi merupakan penyakit nomor satu di Amerika Serikat (Rahayu, 2000). Berdasarkan data American Heart Association (2001) terjadi peningkatan

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya.

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. FORUM KESEHATAN Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. Pengantar Kalau anda seorang pria yang berusia diatas 40 tahun, mempunyai gejala2 gangguan kemih (kencing) yang ditandai oleh: Kurang lancarnya aliran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. darah sistolik (TDS) maupun tekanan darah diastolik (TDD)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. darah sistolik (TDS) maupun tekanan darah diastolik (TDD) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hipertensi merupakan keadaan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) maupun tekanan darah diastolik (TDD) 140/90 mmhg (JNC 7, 2007).Hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yaitu berupa pembesaran prostat atau hiperplasia prostat. Kelainan kelenjar prostat dapat

Lebih terperinci

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO PADA FOTO THORAX STANDAR USIA DI BAWAH 60 TAHUN DAN DI ATAS 60 TAHUN PADA PENYAKIT HIPERTENSI DI RS. PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benigna Prostate Hiperplasi (BPH) merupakan kondisi patologis yang paling umum terjadi pada pria lansia dan penyebab kedua untuk intervensi medis pada pria diatas usia

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam waktu mendatang jumlah golongan usia lanjut akan semakin bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

Lebih terperinci

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S Secara biologis pada masa usia lanjut, segala kegiatan proses hidup sel akan mengalami penurunan Hal-hal keadaan yang dapat ikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlepas dari aktivitas dan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlepas dari aktivitas dan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ditandai oleh penduduk dunia yang mengalami pergeseran pola pekerjaan dan aktivitas. Dari yang sebelumnya memiliki pola kehidupan agraris berubah menjadi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. lebih atau sama dengan 90 mmhg (Chobanian et al., 2003). Hipertensi merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. lebih atau sama dengan 90 mmhg (Chobanian et al., 2003). Hipertensi merupakan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmhg atau tekanan darah diastolik lebih atau sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Data

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Data BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampai saat ini hipertensi masih menjadi masalah utama di dunia, baik di negara maju maupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Data American Heart Association

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hipertensi 1. Definisi Hipertensi Menurut WHO menetapkan bahwa tekanan darah seseorang adalah tinggi bila tekanan sistolik (sewaktu bilik jantung mengerut) melewati batas lebih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan. penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes.

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan. penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit Tidak Menular (PTM), merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 2. Peningkatan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM), yang merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 2. Peningkatan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM), yang merupakan penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada beban Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 1. Masalah penyakit menular masih merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penyakit kardiovaskuler. The Third National Health and Nutrition

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penyakit kardiovaskuler. The Third National Health and Nutrition BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap penyakit kardiovaskuler. The Third National Health and Nutrition Examination Survey mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Prostat Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi

Lebih terperinci

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT BAB I PENDAHULUAN Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan untuk sehat bagi penduduk agar dapat mewujudkan derajat

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan untuk sehat bagi penduduk agar dapat mewujudkan derajat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan Indonesia diarahkan guna mencapai pemecahan masalah kesehatan untuk sehat bagi penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk Indonesia sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau tekanan darah tinggi (Dalimartha, 2008). makanan siap saji dan mempunyai kebiasaan makan berlebihan kurang olahraga

BAB I PENDAHULUAN. atau tekanan darah tinggi (Dalimartha, 2008). makanan siap saji dan mempunyai kebiasaan makan berlebihan kurang olahraga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi alam dan masyarakat saat ini yang sangat kompleks membuat banyak bermunculan berbagai masalah-masalah kesehatan yang cukup dominan khususnya di negara negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan cukup istirahat maupun dalam keadaan tenang. 2

BAB I PENDAHULUAN. keadaan cukup istirahat maupun dalam keadaan tenang. 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan nasional, khususnya di bidang kesehatan, menghasilkan dampak positif, yakni meningkatnya harapan hidup penduduk di Indonesia, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi bisa diumpamakan seperti pohon yang terus. Hipertensi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (SBP, 140

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi bisa diumpamakan seperti pohon yang terus. Hipertensi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (SBP, 140 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi bisa diumpamakan seperti pohon yang terus berkembang dari tahun ke tahun dan membuahkan banyak komplikasi. Hipertensi yang didefinisikan sebagai tekanan darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prevalensi penyakit kardiovaskular yang meningkat setiap tahun menjadi masalah utama di negara berkembang dan negara maju (Adrogue and Madias, 2007). Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma prostat ialah keganasan pada laki-laki yang sangat sering didapat. Angka kejadian diduga 19% dari semua kanker pada pria dan merupakan karsinoma terbanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 400 per kematian (WHO, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 400 per kematian (WHO, 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit gangguan pada jantung dan pembuluh darah, termasuk penyakit jantung koroner, stroke, gagal jantung kongestif, penyakit vaskular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Meningkatnya prevalensi penyakit kardiovaskuler setiap tahun menjadi masalah utama di negara berkembang dan negara maju. Berdasarkan data Global Burden of

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan meningkatnya konstraksi pembuluh darah arteri sehingga terjadi resistensi aliran

Lebih terperinci

Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan

Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan Apakah kanker Prostat itu? Kanker prostat berkembang di prostat seorang pria, kelenjar kenari berukuran tepat di bawah kandung kemih yang menghasilkan

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. I DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN: POST OPERASI BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) HARI KE-0 DI RUANG FLAMBOYAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDANARANG BOYOLALI NASKAH PUBLIKASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan teoritik A.1. Hipertensi a. Definisi : Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah 140 mmhg (tekanan sistolik) dan atau 90 mmhg (tekanan darah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,

Lebih terperinci

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan dan menjelaskan tentang epidemiologi penyakit kanker prostat, riwayat alamiah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. darah arteri meningkat melebihi batas normal.menurut World. (2001) seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. darah arteri meningkat melebihi batas normal.menurut World. (2001) seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Hipertensi Hipertensi merupakan kondisi medis dimana tekanan darah arteri meningkat melebihi batas normal.menurut World Health Organization (WHO) dalam Soenardi & Soetarjo

Lebih terperinci

Mengetahui Hipertensi secara Umum

Mengetahui Hipertensi secara Umum Mengetahui Hipertensi secara Umum Eldiana Lepa Mahasiswa Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta, Indonesia Eldiana.minoz@yahoo.com Abstrak Hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistole, yang tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara kronik. Joint National Committee VII (the Seventh US National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan 140 mmhg dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) [2], usia lanjut dibagi

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) [2], usia lanjut dibagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Populasi warga lanjut usia (lansia) di Indonesia semakin bertambah setiap tahun, hal tersebut karena keberhasilan pembangunan di berbagai bidang terutama bidang

Lebih terperinci

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi atau disebut juga tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Tekanan darah pasien

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TEORI 1. Lanjut Usia (Lansia) Menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 yang termuat dalam pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50 tahun, tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 1998 di Amerika Serikat. (data dari

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 1998 di Amerika Serikat. (data dari 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab 48% kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 1998 di Amerika Serikat. (data dari center for medicine and

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan jaman dan perkembangan teknologi dapat mempengaruhi pola hidup masyarakat. Banyak masyarakat saat ini sering melakukan pola hidup yang kurang baik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Premier Jatinegara, Sukono Djojoatmodjo menyatakan masalah stroke

BAB 1 PENDAHULUAN. Premier Jatinegara, Sukono Djojoatmodjo menyatakan masalah stroke BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus dan dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tekanan darah adalah tenaga pada dinding pembuluh darah arteri saat

BAB I PENDAHULUAN. Tekanan darah adalah tenaga pada dinding pembuluh darah arteri saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tekanan darah adalah tenaga pada dinding pembuluh darah arteri saat jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah normal pada anak dan remaja bervariasi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem pelayanan perawatan kesehatan berubah dengan cepat sesuai dengan perubahan kebutuhan kesehatan masyarakat dan harapan-harapannya. Seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi. Menurut Basha (2009) hipertensi adalah satu keadaan dimana seseorang

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi. Menurut Basha (2009) hipertensi adalah satu keadaan dimana seseorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi adalah salah satu penyakti yang mengakibatkan angka kesakian yang tinggi. Menurut Basha (2009) hipertensi adalah satu keadaan dimana seseorang mengalami

Lebih terperinci

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg dr. Annisa Fitria Hipertensi 140 mmhg / 90 mmhg 1 Hipertensi Primer sekunder Faktor risiko : genetik obesitas merokok alkoholisme aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi mendadak akibat proses patofisiologi pembuluh darah. 1 Terdapat dua klasifikasi umum stroke yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh darah arteri koroner dimana terdapat penebalan dalam dinding pembuluh darah disertai

Lebih terperinci

TESIS JOHANNES GURNING PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA AGUSTUS 2013

TESIS JOHANNES GURNING PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA AGUSTUS 2013 Hubungan Panjang Protrusi Prostat Intravesika dengan Ketebalan Otot Detrusor Buli-buli pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia Diukur Menggunakan Ultrasonografi Transabdominal TESIS JOHANNES GURNING 0806361061

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tahun. Menurut data dari Kementerian Negara Pemberdayaan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tahun. Menurut data dari Kementerian Negara Pemberdayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan upaya pembangunan kesehatan dapat diukur dengan menurunnya angka kesakitan, angka kematian umum dan bayi, serta meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH). Pada

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk

BAB I PENDAHULUAN. Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebocoran urin merupakan keluhan terbanyak yang tercatat pada Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk mengatasinya. Pada tahun 2001 Asia Pacific

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan suatu pembesaran progresif pada kelenjar prostat pria dewasa yang bersifat non-malignan (WHO, 1999). Pembesaran prostat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tekanan darah lebih dari sama dengan 140mmHg untuk sistolik dan lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. tekanan darah lebih dari sama dengan 140mmHg untuk sistolik dan lebih dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah lebih dari sama dengan 140mmHg untuk sistolik dan lebih dari sama dengan 90mmHg untuk diastolik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas-batas tekanan darah normal yaitu 120/80 mmhg. Penyebab hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. batas-batas tekanan darah normal yaitu 120/80 mmhg. Penyebab hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Hipertensi adalah kondisi tekanan darah seseorang yang berada di atas batas-batas tekanan darah normal yaitu 120/80 mmhg. Penyebab hipertensi beragam diantaranya

Lebih terperinci

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladdre adalah keadaan

Lebih terperinci

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi)

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) DEFINISI Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kardiovaskuler (PKV) (Kemenkes RI, 2012). World Health Organization. yang berpenghasilan menengah ke bawah (WHO, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. Kardiovaskuler (PKV) (Kemenkes RI, 2012). World Health Organization. yang berpenghasilan menengah ke bawah (WHO, 2003). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transisi epidemiologi yang terjadi di dunia saat ini telah mengakibatkan berbagai perubahan pola penyakit, yaitu dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang memproduksi 2 hormon yaitu tiroksin (T 4 ) dan triiodotironin (T 3

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang memproduksi 2 hormon yaitu tiroksin (T 4 ) dan triiodotironin (T 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar dalam sistem endokrin manusia yang memproduksi 2 hormon yaitu tiroksin (T 4 ) dan triiodotironin (T 3 ) yang dikontrol

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat kaitannya. Pasien dengan diabetes mellitus risiko menderita penyakit kardiovaskular meningkat menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit ini diperkirakan menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global dan prevalensinya hampir

Lebih terperinci

LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA. Blok Urinary System

LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA. Blok Urinary System LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA Blok Urinary System Oleh: Kelompok 3 TRIGGER JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013 Ny Sophia, usia 34 tahun, datang ke klinik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalirkan darah ke otot jantung. Saat ini, PJK merupakan salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. mengalirkan darah ke otot jantung. Saat ini, PJK merupakan salah satu bentuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner atau PJK adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh adanya penyempitan dan hambatan arteri koroner yang mengalirkan darah ke otot jantung.

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini 61 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 44 subyek pasien pasca stroke iskemik dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi di Indonesia rata-rata meliputi 17% - 21% dari keseluruhan populasi orang dewasa artinya, 1 di antara 5 orang dewasa menderita hipertensi. Penderita hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri, mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi ditandai dengan peningkatan Tekanan Darah Sistolik (TDS)

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi ditandai dengan peningkatan Tekanan Darah Sistolik (TDS) BAB I PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Hipertensi ditandai dengan peningkatan Tekanan Darah Sistolik (TDS) >139 mmhg dan/ atau, Tekanan Darah Diastolik (TDD) >89mmHg, setelah dilakukan pengukuran rerata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tekanan darah adalah gaya yang diberikan oleh darah kepada dinding pembuluh darah yang dipengaruhi oleh volume darah, kelenturan dinding, dan diameter pembuluh darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah hipertensi. Dampak ini juga diperjelas oleh pernyataan World Health

BAB I PENDAHULUAN. adalah hipertensi. Dampak ini juga diperjelas oleh pernyataan World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pembangunan nasional yang berlangsung beberapa tahun terakhir telah menimbulkan pergeseran pola penyebab kematian dan masalah kesehatan. Sunaryo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kerentanan fisik individu sendiri, keadaan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dasar Disamping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dasar Disamping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kematian yang cukup tinggi terutama di negara-negara maju dan di daerah

BAB I PENDAHULUAN. dan kematian yang cukup tinggi terutama di negara-negara maju dan di daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekanan darah tinggi, atau yang sering disebut dengan hipertensi, merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi dan kematian yang cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyakit kronis paling sering terjadi di negara industri dan berkembang. Klasifikasi menurut JNC VII (the Seventh US

Lebih terperinci