BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kelenjar Prostat a. Anatomi Kelenjar Prostat Kelenjar prostat merupakan kelenjar reproduksi tambahan pada pria. Kelenjar ini berbentuk seperti buah kemiri yang berukuran 3 x 4 x 2 cm dengan berat sekitar 20 gram (Muruve, 2013). Kelenjar ini terletak di bawah kandung kemih, di belakang simphysis pubis, di depan rektum, dan di atas membran perineal (Muruve, 2013; Purnomo, 2011). Kelenjar prostat dibungkus oleh suatu kapsul yang terdiri dari kolagen, elastin, dan otot polos (Muruve, 2013). Kelenjar prostat terbagi menjadi beberapa zona yaitu zona transisional, zona sentral, dan zona perifer (Muruve, 2013). Purnomo (2011) menambahkan selain ketiga zona tersebut masih terdapat zona lain yaitu zona preprostatik sfingter dan zona anterior. Klinis dari zona tersebut adalah pada zona transisional dimana pada zona inilah Benign Prostate Hyperplasia (BPH) terjadi dan menyebabkan suatu obstruksi ketika terjadi pembesaran kelenjar prostat (Muruve, 2013). Kelenjar prostat mendapat vaskularisasi dari arteri vesikalis inferior yang merupakan cabang dari arteri iliaca interna. Arteri vesikalis inferior ini akan commit bercabang to user menjadi dua untuk memberikan

2 suplai darah ke kelenjar prostat. Cabang pertama merupakan arteri urethralis yang berjalan melalui prostatovesical junction dan turun ke bawah sejajar dengan uretra dan memberikan suplai darah pada zona transisional. Arteri ini merupakan pembuluh darah utama yang memberikan suplai darah pada proses terjadinya BPH. Cabang kedua arteri vesikalis inferior adalah arteri capsularis yang berjalan posterolateral dari kelenjar prostat. Arteri ini memasuki kelenjar prostat dan memberikan suplai darah pada jaringan di dalam kelenjar prostat (Muruve, 2013). Kelenjar prostat mendapat inervasi dari sistem saraf otonom yaitu sistem saraf simpatik dan parasimpatik yang berasal dari pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus. Serabut simpatis dan parasimpatis dari pleksus pelvikus menuju ke kelenjar prostat melalui nervus cavernosus. Serabut parasimpatis akan berakhir di sel kelenjar pada prostat dan memicu sekresi dari kelenjar (Muruve, 2013; Purnomo, 2011). Serabut simpatis memberikan persarafan pada otot polos prostat, kapsul prostat, dan leher kandung kemih. Di dalam serabut simpatis, terdapat banyak reseptor α-adrenergik sehingga bila terdapat rangsangan pada saraf simpatis ini akan menyebabkan peningkatan tonus dari otot polos prostat, kapsul prostat maupun leher kandung kemih (Muruve, 2013; Purnomo, 2011).

3 b. Histologi dan Fisiologi Kelenjar Prostat Kelenjar prostat merupakan organ berkapsul yang terletak di bawah kandung kemih dan ditembus oleh uretra. Uretra yang menembus kelenjar prostat ini disebut dengan uretra pars prostatika. Lumen uretra pars prostatika dilapisi oleh epitel transisional (Eroschenko, 2008). Kelenjar prostat terdiri dari kelenjar tubuloasiner bercabang kecil. Sebagian kelenjar prostat mengandung concretio prostatica di dalam asininya yang merupakan agregasi sekretorik padat. Jumlah concretio prostatica ini bertambah seiring dengan pertambahan usia dan mungkin mengalami kalsifikasi. Epitel kelenjar ini bervariasi. Pada umumnya, epitel kelenjar ini berupa selapis silindris atau bertingkat semu. Namun di daerah lain epitel dapat berbentuk gepeng atau kuboid (Eroschenko, 2008). Kelenjar prostat dan uretra pars prostatika dikelilingi oleh suatu stroma yang disebut stroma fibromyoelasticum yang berisikan berkas otot polos dengan campuran serat kolagen dan elastik yang tersebar di seluruh kelenjar. Stroma fibromyoelasticum merupakan khas dari kelenjar prostat (Eroschenko, 2008). Secara fisiologis, kelenjar prostat akan menghasilkan suatu cairan encer yang terdiri dari asam sitrat, fosfatase asam, amilase dan PSA (prostate-specific antigen) yang ph-nya sedikit asam. Selain itu, terdapat pula enzim fibrinolisin yang berfungsi untuk mencairkan

4 semen yang mengental setelah ejakulasi (Eroschenko, 2008). PSA merupakan suatu tumor marker berupa rantai tunggal glikoprotein yang terdiri dari 93% asam amino dan 7% karbohidrat. PSA disintesis dan disekresikan oleh sel epitel (Malati et al., 2006). PSA berfungsi untuk hidrolisis berat molekul protein yang disekresikan oleh vesikula seminalis. Hidrolisis yang terjadi akan mengubah cairan seminal menjadi lebih cair sehingga mempermudah pergerakan sperma (Sikaris, 2011). PSA sangat berguna untuk menentukan suatu keganasan pada prostat karena konsentrasi PSA dalam darah meningkat pada kasus kanker prostat (Eroschenko, 2008; Malati et al., 2006). c. Pertambahan ukuran kelenjar prostat Secara histopatologi, pertambahan ukuran kelenjar prostat dapat dilihat dari adanya peningkatan jumlah sel epitel dan sel stroma pada daerah periuretra kelenjar prostat. Roehrborn (2008) menyebutkan bahwa peningkatan jumlah sel epitel maupun sel stroma pada kelenjar prostat disebabkan oleh peningkatan proliferasi sel epitel dan stroma ataupun gangguan pada programmed cell death atau apoptosis. Selain itu, hormon androgen, hormon estrogen, interaksi antara sel stroma dan epitel, growth factor, dan neurotransmiter diduga memiliki peran dalam proses patologi timbulnya pertambahan ukuran kelenjar prostat. Berikut ini adalah beberapa hipotesis tentang patologi timbulnya pertambahan ukuran kelenjar prostat:

5 1) Hormon androgen Keberadaan hormon androgen diperlukan dalam perkembangan kelenjar prostat. Ketika usia semakin bertambah, terjadi peningkatan DHT (Dihydrotestosterone) dan AR (Androgen Receptor) sedangkan hormon testosteron mengalami penurunan. Di dalam sel prostat, testosteron akan diubah menjadi DHT oleh suatu enzim yang disebut 5α-reduktase. DHT merupakan suatu metabolit androgen atau disebut pula derivat dari hormon androgen. DHT selanjutnya akan berikatan dengan AR. Ikatan hormon akan memasuki inti sel prostat dan bergabung dengan DNA sehingga memicu proses transkripsi dan sintesis protein untuk membentuk suatu growth factor. Growth factor inilah yang kemudian mengadakan suatu proliferasi sel-sel kelenjar prostat (Roehrborn, 2008). 2) Hormon estrogen Ketika usia semakin meningkat, hormon testosteron akan mengalami penurunan yang menyebabkan perbandingan antara estrogen-testosteron meningkat. Perbandingan kadar estrogen yang meningkat akibat turunnya testosteron ini memicu terjadinya peningkatan sensitivitas sel-sel kelenjar prostat terhadap hormon androgen, peningkatan AR, dan penurunan apoptosis (Purnomo, 2011).

6 3) Interaksi antara sel stroma-epitel DHT dalam sel stroma akan mensintesis suatu growth factor. Dalam proses sintesis growth factor tersebut dari testosteron dan DHT, sel stroma memiliki kemampuan mempengaruhi sel stroma sendiri (autocrine) dan dapat juga mempengaruhi sel epitel (paracrine) untuk melakukan proliferasi sel kelenjar prostat (Roehrborn, 2008; Purnomo, 2011). 4) Growth Factor Growth factor merupakan suatu molekul peptida yang dapat menstimulasi atau kadang dapat pula menginhibisi pembelahan dan diferensiasi sel. Suatu sel dalam merespon growth factor membutuhkan suatu reseptor yang spesifik terhadap growth factor yang bersangkutan. Adanya suatu interaksi antara growth factor dan hormon steroid dapat mengganggu keseimbangan antara proses proliferasi sel dengan proses apoptosis sel yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya BPH (Roehrborn, 2008). 5) Neurotransmiter Neurotransmiter berperan dalam aktivitas sistem saraf otonom. Pada pasien yang mengalami pembesaran kelenjar prostat terjadi peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik atau sistem saraf adrenergik sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot polos kelenjar prostat. Sistem saraf adrenergik memiliki beberapa reseptor salah satunya adalah reseptor α. Reseptor α dibedakan menjadi dua

7 yaitu reseptor α-1 dan α-2. Reseptor α-1 sering ditemukan pada otot polos pembuluh darah, saluran kemih, organ genital, usus, dan jantung, sedangkan α-2 sering ditemukan pada ujung saraf adrenergik (Gunawan, 2007). d. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertambahan ukuran kelenjar prostat Beberapa faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi pertambahan ukuran kelenjar prostat antara lain: 1) Usia Briganti et al. (2009) menyebutkan bahwa seiring bertambahnya usia 1 tahun, terjadi pertambahan volume prostat kurang lebih 0,6 ml pada kelenjar prostat. Pada pria berusia lanjut, terjadi suatu proses remodeling jaringan-jaringan di dalam kelenjar prostat terutama pada zona transisional (Briganti et al., 2009). Patologi kelenjar prostat yang berkaitan dengan pertambahan usia adalah melalui ketidakseimbangan antara hormon estrogentestosteron, interaksi antara sel stroma-epitel, dan growth factor yang memicu pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat (Briganti, 2009; Purnomo, 2011). 2) Diabetes atau hiperglikemia Astrup (2008) menyebutkan bahwa resistensi insulin merupakan awal patogenesis timbulnya pembesaran kelenjar prostat pada pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2. Resistensi insulin akan menyebabkan terjadinya intoleransi glukosa dan hiperinsulinemia.

8 Beberapa penelitian menyebutkan bahwa insulin memiliki peran penting dalam terjadinya pembesaran kelenjar prostat yang diawali dengan terjadinya hiperinsulinemia (Astrup, 2008). Glukosa darah yang tinggi, memicu sel pankreas untuk mensekresi insulin lebih banyak sehingga dapat terjadi hiperinsulinemia (Prabawati, 2012). Kadar insulin yang tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat melalui aktivasi sinyal androgen yang terdapat dalam kelenjar prostat untuk meningkatkan sintesis hormon androgen (Astrup, 2008). Corona et al. (2014) menyebutkan bahwa insulin merupakan suatu faktor risiko penyakit BPH. Insulin mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat melalui reseptor IGF (Insulin-like Growth Factor). Astrup (2008) menyebutkan bahwa peningkatan sinyal IGF yang terdapat dalam kelenjar prostat akan mengaktivasi sinyal androgen. Selain itu, insulin dapat meningkatkan konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT) yang berperan penting dalam pertumbuhan sel prostat (Astrup, 2008). Brayer dan Sarma (2014) dalam literaturnya menyebutkan bahwa terdapat beberapa hipotesis yang dapat menjelaskan hubungan antara resistensi insulin dan hiperglikemia dengan terjadinya pebesaran kelenjar prostat. Hipotesis tersebut antara lain:

9 a) Hiperinsulinemia Hiperinsulinemia berkaitan dengan aktivitas saraf simpatis dimana pada keadaan hiperinsulinemia akan terjadi suatu peningkatan aktivitas saraf simpatis. Peningkatan aktivitas saraf ini berkontribusi pada peningkatan tonus otot polos kelenjar prostat sehingga memicu terjadinya suatu obstruksi. b) IGF (Insulin-like Growth Factor ) axis IGF axis menjadi salah satu komponen yang meregulasi pertumbuhan fisiologis dan patofisiologis banyak organ termasuk juga kelenjar prostat. IGF merupakan suatu hormon peptida yang memiliki struktur yang mirip dengan insulin (Kemp, 2011). Hormon ini memiliki fungsi sama seperti insulin yaitu menstimulasi proliferasi dan diferensiasi jaringan. Dalam sirkulasinya di dalam darah, hormon ini berikatan dengan suatu IGFBP (insulin-like growth factor binding protein). Ikatan antara IGF-IGFBP dapat mencegah terjadinya proliferasi sel dan hipoglikemi. IGF dalam memberikan efek pertumbuhan pada target sel harus berikatan dengan reseptor IGF yang terdapat di permukaan sel target. Selain berikatan dengan reseptor IGF di permukaan sel, IGF dapat juga berikatan dengan reseptor insulin sehingga menimbulkan efek hipoglikemi. Sebaliknya, insulin juga dapat berikatan dengan reseptor IGF dan memberikan efek pertumbuhan pada sel (Kemp, 2011). Karena kelenjar prostat

10 memiliki struktural reseptor IGF dalam permukaan selnya, selain berikatan dengan IGF, insulin dapat berikatan dengan reseptor IGF dan memasuki sel prostat. Hal tersebut akan mengaktivasi reseptor untuk menginduksi pertumbuhan dan proliferasi sel prostat (Brayer dan Sarma, 2014). c) Insulin Insulin dapat meningkatkan transkripsi gen maupun translasi protein termasuk juga metabolisme sex hormone. Hal ini menyebabkan suatu perubahan hormonal. Hiperinsulinemia menyebabkan penurunan sex hormone-binding globulin sehingga terjadi peningkatan jumlah sex hormone yang memasuki sel prostat yang memicu pertumbuhan sel. Selain itu, peningkatan insulin dapat menyebabkan penurunan IGFBP-1 sehingga memicu peningkatan bioavailabilitas IGF. 3) Obesitas dan BMI Beberapa penelitian menyebutkan bahwa obesitas dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Namun, hubungan diantara keduanya masih belum diketahui dengan jelas (Stamatiou, 2015). Obesitas ditandai dengan adanya kelebihan lemak dalam tubuh. WHO mendefinisikan obesitas dengan nilai BMI (body mass index) dimana seseorang dikatakan mengalami obesitas bila BMI 30 kg/m 2. Sedangkan Indonesia, berdasarkan RISKESDAS Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2010

11 menyebutkan bahwa kategori obesitas bila BMI > 27,1 kg/m 2 (Parikesit et al., 2015). Obesitas yang ditandai dengan lemak tubuh yang meningkat diduga dapat menurunkan sex hormon-binding globulin, menurunkan hormon testosteron, meningkatkan estrogen, menyebabkan resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperglikemia, meningkatkan trigliserid, dan penurunan HDL (high density lipoprotein) (Tewari et al., 2012). 4) Dislipidemia Dislipidemia merupakan suatu gangguan metabolisme lipid yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar kolesterol, trigliserid, LDL (low density lipoprotein), dan menurunnya HDL (high density lipoprotein) di dalam darah (Tapan, 2008). Kriteria dislipidemia menurut IDF dan AHA/NHLBI tahun 2009 dapat dilihat dari profil trigliserid dan HDL. Seseorang dikatakan mengalami dislipidemia bila trigliserid 150 mg/dl dan HDL < 40 mg/dl (Nunzio et al., 2012). Adanya gangguan pada metabolisme lipid dalam tubuh dapat meningkatkan risiko terjadinya sindroma metabolik yang ditandai dengan terjadinya resistensi insulin dan perubahan hormon berupa peningkatan estradiol dan penurunan testosteron (Nunzio et al., 2012). 5) Genetik Adanya riwayat BPH dalam keluarga dilaporkan dapat meningkatkan risiko terjadinya BPH pada anggota keluarga yang

12 lain. Hal ini berkaitan dengan komposisi gen yang terdapat di dalam sel kelenjar prostat (Bachmann, 2012). 6) Diet Tewari et al. (2012) menyebutkan bahwa intake makanan yang tinggi sumber energi, protein dan asam lemak dapat meningkatkan risiko terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Diet dan kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan obesitas dan gangguan homeostasis glukosa. Konsumsi makanan yang banyak mengandung asam linoleat (omega 6-polyunsaturated fatty acid) dapat meningkatkan risiko pembesaran kelenjar prostat karena asam linoleat merupakan growth factor androgen (Tewari et al., 2012). 7) Merokok Field et al dalam Tarcan (2006) menyebutkan bahwa rokok dapat meningkatkan DHT yang memicu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Oleh karena itu, sampai saat ini hubungan antara riwayat merokok dengan kejadian BPH memerlukan penelitian lebih lanjut (Bachmann, 2012). 8) Hipertensi Menurut IDF dan AHA/NHLBI tahun 2009, seseorang dikatakan hipertensi atau tekanan darah tinggi bila tekanan darahnya 130/85 mmhg (Nunzio et al., 2012). Parnham (2013) menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya BPH. Nandeesha (2008) dan Lee et al. (2009) dalam

13 Briganti (2009) menyebutkan bahwa pada pasien BPH, sekitar 25% pasien mengalami hipertensi. Briganti (2009) menyebutkan bahwa hubungan antara hipertensi dan BPH berkaitan dengan aktivitas saraf simpatis. Dalam penelitian lain disebutkan peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat melalui penurunan aktivitas apoptosis (Briganti et al., 2009). Fogari et al. (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa orang yang mengalami hipertensi memiliki kadar testosteron yang rendah dibandingkan dengan orang tanpa hipertensi. Selain itu, hipertensi memiliki hubungan yang terbalik dengan SHBG (sex-hormone binding globulin) dimana semakin tinggi tekanan darah, SHBG semakin menurun (Daka et al., 2013). Rendahnya kadar testosteron dan SHBG dapat memicu proliferasi sel-sel kelenjar prostat (Brayer dan Sarma, 2014). e. Pemeriksaan ukuran atau volume kelenjar prostat Untuk mengetahui besar ukuran atau volume kelenjar prostat, dapat dilakukan dengan berbagai macam prosedur pemeriksaan. Prosedur yang sering digunakan untuk memperkirakan volume prostat adalah ultrasonografi atau USG. Pemeriksaan ultrasonografi dapat dilakukan melalui trans abdominal (Trans Abdominal Ultrasonography/ TAUS) dan trans rektal (Trans Rectal Ultrasonography/ TRUS) (Purnomo, 2011). Selain itu, magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat digunakan untuk memperkirakan volume prostat. Hasil perkiraan

14 : 3.14 (Hoo, 2012) 2. Benign Prostate Hyperplasia a. Pengertian Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau disebut juga dengan Pembesaran Prostat Jinak commit (PPJ) to adalah user suatu pembesaran prostat nonperpustakaan.uns.ac.id volume prostat melalui MRI lebih akurat namun pencitraan ini masih jarang dilakukan karena TRUS memiliki keunggulan lebih dalam prosedur, biaya, dan efisiensi waktu (Garvey et al, 2014). Pencitraan trans rectal ultrasonography atau TRUS adalah salah satu pencitraan yang dapat memvisualisasikan gambar yang lebih jelas pada organ-organ di dalam ruang pelvis (Hoo, 2012). TRUS dapat mendeteksi keganasan pembesaran prostat, mendeteksi besar dan volume prostat, menjadi petunjuk untuk melakukan biopsi prostat (Shetty, 2015). Metode standar yang digunakan untuk memperkirakan volume prostat adalah dengan menggunakan formula ellipsoid (Garvey et al, 2014). Di bawah ini merupakan formula ellipsoid untuk memperkirakan volume prostat: = Keterangan: H : height (tinggi/anteroposterior) W : width (lebar/transversal) L : length (panjang/cephalocaudal)

15 neoplastik. Pembesaran ini disebabkan oleh proliferasi berlebih sel-sel penyusun kelenjar (Deters, 2015). Secara histologis, BPH merupakan suatu hiperplasia yang terjadi pada kelenjar prostat (Parnham, 2013). Hiperplasia merupakan suatu pembesaran massa jaringan yang disebabkan oleh pertambahan jumlah sel yang menyusunnya (Sembulingam, 2012). Sebelumnya, istilah yang dipakai adalah Benign Prostate Hypertrophy atau hipertrofi prostat jinak. Akan tetapi, istilah hipertrofi kurang tepat karena perubahan yang terjadi pada kelenjar ini adalah hiperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostat asli ke arah perifer (Sjamsuhidajat, 2005). b. Etiologi Etiologi atau penyebab pasti penyakit BPH masih belum jelas. Namun, kejadian BPH diperkirakan memiliki hubungan dengan umur dan hormon androgen. Kejadian BPH meningkat sejalan dengan pertambahan umur. Perubahan mikroskopik pada kelenjar prostat sudah dimulai pada usia tahun. Apabila perubahan mikroskopik tersebut terus berkembang, pada usia 50 tahun akan timbul suatu perubahan patologik anatomi dengan angka kejadian 50%, pada usia 80 tahun sebesar 80% dan usia 90 tahun sebesar 100% (Mansjoer, 2009). Menurut Parnham (2013), selain faktor umur dan hormon androgen, terdapat faktor risiko lain yang dapat memicu terjadinya pembesaran kelenjar prostat seperti pada tabel berikut:

16 Tabel 2.1 Faktor risiko BPH Faktor risiko Umur Hormon androgen Reseptor fungsional androgen Obesitas Diabetes Dislipidemia Hormon estrogen Genetik Faktor risiko lain yang mungkin Diet BMI (Body Mass Index) Merokok Hipertensi Fungsi seksual (Sumber: Parnham, 2013) c. Patofisiologi Pembesaran kelenjar prostat menyebabkan penekanan pada uretra prostatika sehingga aliran urin menjadi terhambat. Terhambatnya aliran urin ini menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intravesikal. Aliran urin yang tertahan menyebabkan kandung kemih berkontraksi lebih kuat untuk mengeluarkan urin. Tekanan intravesikal yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian kandung kemih termasuk juga muara ureter. Keadaan tertekannya muara ureter menimbulkan terjadinya refluks vesiko-ureter. Bila keadaan ini berlangsung terusmenerus, akan berlanjut menjadi hidroureter bahkan hidronefrosis yang dapat mengakibatkan gagal ginjal (Purnomo, 2011). d. Diagnosis dan pemeriksaan 1) Gambaran klinis Keluhan yang paling sering dialami pada penderita BPH adalah keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau dikenal

17 dengan istilah LUTS (Lower Urinary Tract Syndromes). Gejala BPH dapat dibagi menjadi gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif ditimbulkan oleh pembesaran kelenjar prostat sedangkan gejala iritatif ditimbulkan oleh aliran urin (Mansjoer, 2009). Gejala BPH menurut penyebabnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 2.2 Gejala BPH Gejala obstruktif Keluar kemih terputus-putus Aliran urin yang lemah Mengejan untuk mengeluarkan urin Lama berkemih yang berkepanjangan Perasaan tidak tuntas saat berkemih Retensi urin Gejala iritatif Perasaan ingin berkemih Sering berkemih Nokturia Inkontinensia (Sumber: Martono, 2014) Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian bawah, telah dibuat suatu sistem skoring oleh Perhimpunan Urologi Amerika dan IPSS (International Prostatic Symptom Score). Dalam skoring IPSS tersebut, dapat dikelompokkan gejala LUTS menjadi 3 derajat, yaitu (1) ringan: skor 0-7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat: skor (American Urological Association, 2007).

18 2) Pemeriksaan penunjang Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain: a) Analisa urin dan pemeriksaan mikroskopik urin. b) Pemeriksaan darah meliputi elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah untuk mengetahui faal ginjal, serta gula darah untuk mengetahui adanya penyakit diabetes (Purnomo, 2011). c) Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA) (Mansjoer, 2009). d) Pencitraan (Foto polos abdomen, Pielografi Intravena, Ultrasonography (USG) (Purnomo, 2011). e. Penatalaksanaan Penatalaksanaan penderita BPH harus memperhatikan beberapa hal yaitu usia, sifat dan berat gejala yang dialami, akibat pada kualitas hidup penderita serta gambaran dari fungsi ginjalnya (Martono, 2014). Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi intravesika, mengembalikan fungsi ginjal bila terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urin setelah miksi, dan mencegah progesivitas penyakit (Purnomo, 2011). Perhimpunan Urologi Amerika membagi tatalaksana penderita BPH menjadi 3 menurut keparahan gejala berdasarkan skor pada IPSS yaitu observasi (watchful waiting) untuk skor 0-7, terapi farmakologis untuk skor 8-19, dan terapi pembedahan untuk skor (Paolone, 2010).

19 3. Diabetes Mellitus a. Pengertian Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, fungsi insulin, maupun keduanya (Ministry Of Health Singapore, 2014). b. Klasifikasi Diabetes Mellitus Menurut ADA (The American Diabetes Association ) dan WHO dalam Ministry Of Health Singapore (2014), DM dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam berdasarkan etiologinya, yaitu: 1) DM tipe 1 DM tipe 1 merupakan suatu kondisi hiperglikemia akibat proses autoimun yang mengganggu fungsi sel ß pankreas untuk mensintesis dan mensekresi insulin. 2) DM tipe 2 DM tipe 2 merupakan salah satu diabetes yang paling banyak ditemui. Diabetes ini ditandai dengan keadaan hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan fungsi insulin atau resistensi insulin. 3) Gestational diabetes Gestational diabetes merupakan keadaan hiperglikemia pada masa kehamilan.

20 4) Diabetes tipe lain Diabetes yang termasuk dalam golongan ini antara lain keadaan hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan fungsi pankreas, obat-obatan, toxin, maupun infeksi. c. Pemeriksaan glukosa darah Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya DM sesuai dengan kriteria American Diabetes Association (2013) antara lain: 1) Glukosa darah sewaktu atau random plasma glucose 200 mg/dl dengan gejala klasik DM meliputi polodipsi, polifagi, poliuria, dan penurunan berat badan, atau 2) Glukosa darah puasa atau fasting plasma glucose 126 mg/dl, atau 3) Glukosa darah post prandial atau 2-h plasma glucose 200 mg/dl, atau 4) HbA 1c 6,5% d. DM dan gangguan homeostasis glukosa Dalam proses homeostasis glukosa, terdapat dua hormon yang sangat berperan yaitu hormon insulin dan glukagon. Kedua hormon ini memiliki fungsi yang saling berlawanan. Ketika konsentrasi glukosa dalam darah tinggi, sel ß pankreas akan mensintesis dan mensekresi insulin sebagai respon adanya peningkatan konsentrasi glukosa darah. Peningkatan sintesis dan sekresi insulin yang terus-menerus dapat menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia (Prabawati, 2012). Hormon

21 insulin akan menurunkan glukosa darah melalui penurunan glukoneogenesis, penurunan glikogenolisis, memfasilitasi transpor glukosa masuk ke dalam sel, dan menghambat sekresi glukagon. Sedangkan pada keadaan konsentrasi glukosa darah yang rendah, sel pankreas yang lebih aktif adalah sel α dimana sel ini akan mensekresi glukagon. Hormon glukagon berfungsi meningkatkan kadar glukosa darah dengan cara menstimulasi hepar untuk memproduksi glukosa melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis (Szablewski, 2011). Hiperglikemia merupakan salah satu gangguan dari homeostasis glukosa dalam darah. Hiperglikemia atau peningkatan glukosa darah dapat terjadi karena tubuh mengalami kekurangan insulin atau penggunaan insulin yang tidak maksimal akibat adanya resistensi insulin. Hiperglikemia merupakan suatu tanda penyakit Diabetes Mellitus. Penyakit ini ditandai dengan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, glukosa darah post prandial 200 mg/dl, glukosa darah sewaktu 200 mg/dl, atau HbA 1c 6,5% dari hasil pemeriksaan glukosa darah. (Szablewski, 2011). e. Hiperglikemia dan insulin Insulin adalah suatu hormon yang disintesis dan disekresikan oleh sel ß pankreas. Insulin berfungsi dalam mengatur kadar normal glukosa darah. Selain itu, melalui efek mitogenik, insulin juga mendorong proses pertumbuhan sel-sel dalam tubuh (Prabawati, 2012).

22 Proses sintesis maupun sekresi insulin salah satunya dipengaruhi oleh glukosa. Peningkatan kadar glukosa dapat menginduksi pelepasan insulin yang baru saja disintesis maupun yang telah disimpan dalam sel ß pankreas. Glukosa yang beredar dalam darah akan masuk ke dalam sel ß pankreas. Masuknya glukosa ke dalam sel ini tidak memerlukan insulin. Glukosa yang masuk akan dideteksi oleh glukokinase dan kemudian akan difosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat (G6P). Terjadi depolarisasi membran plasma dan aktivasi kanal kalsium akibat penutupan kanal K + - ATP dependen. Hal ini terjadi karena proses fosforilasi yang berlangsung membutuhkan ATP. Terbukanya kanal kalsium menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan kalsium inilah yang menyebabkan terjadinya sekresi insulin (Prabawati, 2012). 4. Pengaruh DM terhadap volume prostat Selain faktor usia dan hormon, salah satu faktor risiko lain yang dapat memicu terjadinya pertambahan ukuran kelenjar prostat adalah penyakit DM. DM merupakan penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan adanya hiperglikemia atau kadar glukosa dalam darah yang tinggi serta resistensi insulin (Breyer dan Sarma, 2014). Glukosa darah yang tinggi, memicu sel pankreas untuk mensekresi insulin lebih banyak (Prabawati, 2012). Peningkatan kadar insulin dalam tubuh mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat sehingga terjadi pertambahan volume prostat melalui aktivasi sinyal IGF, perubahan hormonal dalam, serta peningkatan

23 konversi testosteron menjadi DHT yang dapat menstimulasi proliferasi sel kelenjar prostat (Astrup, 2008; Breyer dan Sarma, 2014). a. Aktivasi sinyal IGF IGF axis menjadi salah satu komponen yang meregulasi pertumbuhan fisiologis dan patofisiologis banyak organ termasuk juga kelenjar prostat. IGF merupakan suatu hormon peptida yang memiliki struktur yang mirip dengan insulin (Kemp, 2011). Hormon ini memiliki fungsi sama seperti insulin yaitu menstimulasi proliferasi dan diferensiasi jaringan. Dalam sirkulasinya di dalam darah, hormon ini berikatan dengan suatu IGFBP (insulin-like growth factor binding protein). Ikatan antara IGF-IGFBP dapat mencegah terjadinya proliferasi sel dan hipoglikemi. IGF dalam memberikan efek pertumbuhan pada target sel harus berikatan dengan reseptor IGF yang terdapat di permukaan sel target. Selain berikatan dengan reseptor IGF di permukaan sel, IGF dapat juga berikatan dengan reseptor insulin sehingga menimbulkan efek hipoglikemi. Sebaliknya, insulin juga dapat berikatan dengan reseptor IGF dan memberikan efek pertumbuhan pada sel (Kemp, 2011). Karena kelenjar prostat memiliki struktural reseptor IGF dalam permukaan selnya, selain berikatan dengan IGF, insulin dapat berikatan dengan reseptor IGF dan memasuki sel prostat. Hal tersebut akan mengaktivasi reseptor untuk menginduksi pertumbuhan dan proliferasi sel prostat (Brayer dan Sarma, 2014).

24 b. Perubahan hormonal Perubahan hormonal terjadi akibat peningkatan transkripsi gen dan translasi protein serta metabolisme sex hormone oleh insulin.keadaan hiperinsulinemia dapat menyebabkna penurunan sex hormone-binding globulin dan penurunan IGFBP-1. Penurunan SHBG menyebabkan peningkatan jumlah sex hormone yang memasuki sel prostat dan memicu pertumbuhan sel. Selain itu, penurunan SHBG dapat menyebabkan peningkatan rasio antara estrogen dan testosteron (Brayer dan Sarma, 2014). c. Peningkatan konversi testosteron menjadi DHT DHT merupakan metabolit androgen yang memiliki peran penting dalam pertambahan ukuran kelenjar prostat. Adanya peningkatan konversi hormon testosteron menjadi DHT menyebabkan DHT yang dihasilkan lebih banyak sehingga terjadi peningkatan sinyal untuk melakukan proliferasi sel bagi kelenjar prostat (Astrup, 2008).

25 B. Kerangka Pemikiran Faktor risiko BPH: Usia Hormon androgen Genetik Hipertensi Dislipidemia Obesitas, BMI Merokok Diet Diabetes Hiperglikemia ( glukosa darah) insulin (hiperinsulinemia) aktivitas Saraf simpatis aktivitas sinyal IGF Perubahan Hormonal DHT proliferasi sel kelenjar prostat Volume prostat BPH/ LUTS Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran Keterangan: : diteliti : diteliti : tidak diteliti : tidak diteliti

26 C. Hipotesis Pasien Benign Prostate Hyperplasia dengan Diabetes Mellitus memiliki volume prostat lebih besar daripada pasien Benign Prostate Hyperplasia tanpa Diabetes Mellitus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia laki-laki yang terletak mengelilingi vesica urinaria dan uretra proksimalis. Kelenjar prostat dapat mengalami pembesaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA PADA USIA ANTARA 50-59 TAHUN DENGAN USIA DIATAS 60 TAHUN PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI DI RS. PKU (PEMBINA KESEJAHTERAAN UMAT) MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan menyebabkan pembesaran dari

Lebih terperinci

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif EDITORIAL Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif Shahrul Rahman* * Doktor Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Pendahuluan Kelenjar prostat adalah salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 2007, Badan Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring peningkatan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan, semakin meningkat pula kualitas hidup dan kesehatan masyarakat yang salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau tumor prostat jinak, menjadi masalah bagi kebanyakan kaum pria yang berusia di atas 50 tahun. BPH pada pria muncul tanpa ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan suatu pembesaran progresif pada kelenjar prostat pria dewasa yang bersifat non-malignan (WHO, 1999). Pembesaran prostat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah sindroma disfungsi ovarium dengan karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron di bawah parameter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang disebabkan karena terganggunya sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) 2.1.1. Pengertian BPH Menurut Anonim (2009) dalam Hamawi (2010), BPH secara umumnya dinyatakan sebagai Pembesaran Prostat Jinak. Maka jelas

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

FREDYANA SETYA ATMAJA J.

FREDYANA SETYA ATMAJA J. HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT TINGKAT KECUKUPAN KARBOHIDRAT DAN LEMAK TOTAL DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Skripsi Ini Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diabetes melitus ditandai oleh adanya hiperglikemia kronik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fruktosa merupakan gula yang umumnya terdapat dalam sayur dan buah sehingga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa fruktosa sepenuhnya aman untuk dikonsumsi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit. degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit. degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ tubuh secara bertahap menurun dari waktu ke waktu karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH merupakan kelainanan adenofibromatoushyperplasia paling sering pada pria walaupun tidak mengancam

Lebih terperinci

Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.

Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed. Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.tk 0 BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) Pendahuluan Kelenjar

Lebih terperinci

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita 12 Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita hiperkolesterolemia yang menderita penyakit jantung koroner, tetapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, diabetes melitus merupakan permasalahan yang harus diperhatikan karena jumlahnya yang terus bertambah. Di Indonesia, jumlah penduduk dengan diabetes melitus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami perubahan, yaitu dari deposisi lemak subkutan menjadi lemak abdominal dan viseral yang menyebabkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Alopesia androgenetik merupakan alopesia yang dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Alopesia androgenetik merupakan alopesia yang dipengaruhi oleh faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alopesia merupakan yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan efek dari androgen perifer, dimana faktor tersebut akan mengakibatkan perubahan secara bertahap dari rambut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi lemak secara berlebihan. Obesitas merupakan faktor risiko dislipidemia, diabetes melitus, hipertensi, sindrom

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan World Health Organization (WHO) tahun 1995 menyatakan bahwa batasan Berat Badan (BB) normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari gangguan produksi insulin atau gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan prostat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan karakteristik adanya tanda-tanda hiperglikemia akibat ketidakadekuatan fungsi dan sekresi insulin (James,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kolesterol dan lemak dibutuhkan tubuh sebagai penyusun struktur membran sel dan bahan dasar pembuatan hormon steroid seperti progesteron, estrogen dan tetosteron. Kolesterol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan, penyerapan dan penggunaan zat gizi. Status gizi berkaitan dengan asupan makanan yang dikonsumsi baik

Lebih terperinci

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT BAB I PENDAHULUAN Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra

Lebih terperinci

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya.

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. FORUM KESEHATAN Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. Pengantar Kalau anda seorang pria yang berusia diatas 40 tahun, mempunyai gejala2 gangguan kemih (kencing) yang ditandai oleh: Kurang lancarnya aliran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. relatif sensitivitas sel terhadap insulin, akan memicu munculnya penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. relatif sensitivitas sel terhadap insulin, akan memicu munculnya penyakit tidak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang dapat meningkatkan dengan cepat prevalensi komplikasi kronis pada lansia. Hal ini disebabkan kondisi hiperglikemia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prostat 2.1.1. Anatomi Prostat Gambar 2.1. Letak Kelenjar Prostat (Schunke, et al, 2006) Prostat merupakan kelenjar fibromuskular yang mengelilingi uretra pars prostatika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di Indonesia setelah infeksi saluran kemih 1. Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat, pemerintah dan swasta. Apapun yang dilakukan pemerintah tanpa kesadaran individu dan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Association, 2013; Black & Hawks, 2009). dari 1,1% di tahun 2007 menjadi 2,1% di tahun Data dari profil

BAB I PENDAHULUAN. Association, 2013; Black & Hawks, 2009). dari 1,1% di tahun 2007 menjadi 2,1% di tahun Data dari profil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolisme yang ditandai oleh glukosa darah melebihi normal yang diakibatkan karena kelainan kerja insulin maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik kronik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan dan menjelaskan tentang epidemiologi penyakit kanker prostat, riwayat alamiah

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk Indonesia sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Amerika, nyeri kepala lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. Di Amerika, nyeri kepala lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Di Amerika, nyeri kepala lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pada pria (Karli,2012). Sebagai contoh, 18% wanita memiliki migren sedangkan pria hanya 6%. Wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang jumlahnya akan mengalami peningkatan di masa datang (Suyono, 2014). Diabetes melitus adalah penyakit

Lebih terperinci

ABSTRAK OBESITAS MENINGKATKAN RISIKO KANKER PAYUDARA PADA WANITA POSTMENOPAUSE

ABSTRAK OBESITAS MENINGKATKAN RISIKO KANKER PAYUDARA PADA WANITA POSTMENOPAUSE ABSTRAK OBESITAS MENINGKATKAN RISIKO KANKER PAYUDARA PADA WANITA POSTMENOPAUSE Clara Santi Trisnawati, 2007 Pembimbing : Freddy Tumewu Andries, dr., M.S Obesitas dan kanker payudara merupakan masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fibrosa yang longgar. Skin tag dapat berupa tonjolan kecil, lunak dan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. fibrosa yang longgar. Skin tag dapat berupa tonjolan kecil, lunak dan mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skin tag merupakan suatu tumor jinak kulit yang terdiri dari jaringan fibrosa yang longgar. Skin tag dapat berupa tonjolan kecil, lunak dan mempunyai tangkai yang

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI DAN IDK DM, TIROID,PARATIROID

PATOFISIOLOGI DAN IDK DM, TIROID,PARATIROID PATOFISIOLOGI DAN IDK DM, TIROID,PARATIROID Glukosa Ada dalam makanan, sbg energi dalam sel tubuh. Dicerna dalam usus, diserap sel usus ke pembuluh darah, diedarkan ke sel tubuh. Untuk masuk ke sel dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi industri. Salah satu karakteristik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nefrolitiasis adalah sebuah material solid yang terbentuk di ginjal ketika zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit ini bagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat berkurangnya sekresi insulin, berkurangnya penggunaan glukosa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menyerang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menyerang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menyerang jantung. Organ tersebut memiliki fungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Kelainan pada organ tersebut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Prostat Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan insulin yang tidak efektif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yaitu berupa pembesaran prostat atau hiperplasia prostat. Kelainan kelenjar prostat dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat,

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat, lemak, protein sebagai hasil dari ketidakfungsian insulin (resistensi insulin), menurunnya fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes merupakan kondisi kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi insulin yang cukup atau tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus kehidupan khususnya manusia pasti akan mengalami penuaan baik pada wanita maupun pria. Semakin bertambahnya usia, berbanding terbalik dengan kadar hormon seseorang.

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER ABSTRAK PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2010 Shiela Stefani, 2011 Pembimbing 1 Pembimbing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat. mengidentifikasi sekumpulan kelainan metabolik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat. mengidentifikasi sekumpulan kelainan metabolik. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat Sindrom metabolik, juga dikenal sebagai sindrom resistensi insulin atau sindrom X, merupakan istilah yang biasa digunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. (1) Obesitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi diet tinggi lemak dan fruktosa di masyarakat saat ini mulai meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya konsumsi junk food dan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. meningkat. Di Amerika Serikat angka kejadian SM telah mencapai 39%. SM

B A B I PENDAHULUAN. meningkat. Di Amerika Serikat angka kejadian SM telah mencapai 39%. SM B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian obesitas meningkat dan telah mencapai tingkatan epidemi di seluruh dunia. Sejalan dengan itu angka kejadian sindroma metabolik (SM) juga meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health Organizaton (WHO) pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 4 juta orang, jumlah tersebut diperkirakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004). Diabetes Mellitus merupakan

Lebih terperinci

Definisi: keadaan yang terjadi apabila perbandingan kuantitas jaringan lemak

Definisi: keadaan yang terjadi apabila perbandingan kuantitas jaringan lemak Definisi: keadaan yang terjadi apabila perbandingan kuantitas jaringan lemak tubuh dengan berat badan total lebih besar daripada normal, atau terjadi peningkatan energi akibat ambilan makanan yang berlebihan

Lebih terperinci

PERBEDAAN PROFIL LIPID DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II OBESITAS DAN NON-OBESITAS DI RSUD

PERBEDAAN PROFIL LIPID DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II OBESITAS DAN NON-OBESITAS DI RSUD PERBEDAAN PROFIL LIPID DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II OBESITAS DAN NON-OBESITAS DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

Mitos dan Fakta Kolesterol

Mitos dan Fakta Kolesterol Mitos dan Fakta Kolesterol Oleh admin Selasa, 01 Juli 2008 09:19:20 Apakah mengonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tidak baik bagi tubuh? Apakah kita tak boleh mengonsumsi makanan berkolesterol?

Lebih terperinci

KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI

KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI KARYA AKHIR KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI Oleh I MADE DARMAWAN No. Reg CHS : P 2401204012 Pembimbing Prof. Dr. Achmad M. Palinrungi,Sp.B, Sp.U Dr. Azwar Amir, Sp.U DR.Dr. Burhanuddin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Melitus Diabetes adalah gangguan metabolisme kronis, ditandai dengan kadar gula darah tinggi, serta adanya gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat modern cenderung hidup dengan tingkat stres tinggi karena kesibukan dan tuntutan menciptakan kinerja prima agar dapat bersaing di era globalisasi, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin

I. PENDAHULUAN. usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama tingkat kesehatan masyarakat adalah meningkatnya usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin banyak penduduk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katarak Asal kata katarak dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata yang biasanya bening

Lebih terperinci

Diabetes Mellitus Type II

Diabetes Mellitus Type II Diabetes Mellitus Type II Etiologi Diabetes tipe 2 terjadi ketika tubuh menjadi resisten terhadap insulin atau ketika pankreas berhenti memproduksi insulin yang cukup. Persis mengapa hal ini terjadi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obesitas merupakan kelainan metabolisme yang paling sering diderita manusia. Saat ini penderita obesitas di dunia terus meningkat. Penelitian sejak tahun 1990-an menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 90% penderita diabetes di seluruh dunia merupakan penderita

BAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 90% penderita diabetes di seluruh dunia merupakan penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi penyakit diabetes secara global diderita oleh sekitar 9% orang dewasa berusia 18 tahun ke atas pada tahun 2014. Diabetes menjadi penyebab besarnya jumlah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia dan prevalensinya akan terus bertambah hingga mencapai 21,3 juta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN.... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan munculnya hiperglikemia karena sekresi insulin yang rusak, kerja insulin yang rusak

Lebih terperinci

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I EPIDEMIOLOGI WHO DEGENERATIF Puluhan juta ORANG DEATH DEFINISI Penyakit degeneratif penyakit yg timbul akibat kemunduran fungsi sel Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan gaya hidup dan sosial ekonomi akibat urbanisasi dan modernisasi terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab meningkatnya prevalensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). Diabetic foot adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta kanker dan Diabetes Melitus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mendadak dapat mengakibatkan kematian, kecacatan fisik dan mental

BAB I PENDAHULUAN. yang mendadak dapat mengakibatkan kematian, kecacatan fisik dan mental BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama bagi masyarakat modern saat ini. Dewasa ini, stroke semakin menjadi masalah serius yang dihadapi hampir diseluruh dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja

Lebih terperinci

GINJAL KEDUDUKAN GINJAL DI BELAKANG DARI KAVUM ABDOMINALIS DI BELAKANG PERITONEUM PADA KEDUA SISI VERTEBRA LUMBALIS III MELEKAT LANGSUNG PADA DINDING

GINJAL KEDUDUKAN GINJAL DI BELAKANG DARI KAVUM ABDOMINALIS DI BELAKANG PERITONEUM PADA KEDUA SISI VERTEBRA LUMBALIS III MELEKAT LANGSUNG PADA DINDING Ginjal dilihat dari depan BAGIAN-BAGIAN SISTEM PERKEMIHAN Sistem urinary adalah sistem organ yang memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia, sistem ini terdiri dari dua ginjal, dua ureter,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di dunia. Diperkirakan 17,5 juta orang meninggal dunia karena penyakit ini. Dan 7,4 juta

Lebih terperinci