BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Suharto Susman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Indeks Massa Tubuh Definisi Indeks Massa Tubuh Indeks massa tubuh (IMT) atau indeks Quetelet, ditemukan antara 1830 dan 1850 oleh seorang Belgia yang bernama Adolphe Quetelet ketika mengembangkan "ilmu fisika sosial" (Eknoyan, 2008). IMT merupakan pengukuran yang menunjukkan hubungan antara berat badan dan tinggi badan. IMT adalah indeks berat dibagi tinggi yang mudah dan sering digunakan untuk menentukan berat badan kurang, berat badan lebih, atau obesitas (WHO, 2014). IMT lebih berhubungan dengan lemak tubuh dibandingkan dengan indikator lainnya untuk tinggi badan dan berat badan. Oleh karena itu, IMT menjadi alternatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta merupakan metode skrining kategori berat badan dan tinggi badan yang mudah dilakukan. Selain sebagai ukuran standar yang berhubungan dengan berat badan dan tinggi badan, IMT juga membantu dalam pengukuran resiko terjadinya kelainan kesehatan dalam populasi. Batas atas IMT normal merupakan indikasi peningkatan resiko untuk terjadinya gangguan. IMT telah digunakan oleh World Health Organization (WHO) sebagai standar untuk mencatat statistik obesitas sejak awal 1980-an. Di Amerika Serikat, IMT juga digunakan sebagai ukuran underweight, untuk penderita yang mengalami gangguan makan, seperti anoreksia nervosa dan bulimia nervosa (Garrow JS, 1985) Klasifikasi Indeks Massa Tubuh IMT merupakan kalkulasi angka dari berat dan tinggi badan seseorang. Nilai IMT didapatkan dari berat dalam kilogram dibagi dengan kuardrat dari tinggi dalam meter (kg/m 2 ). Nilai dari IMT pada orang dewasa tidak tergantung pada umur maupun jenis kelamin. IMT mungkin tidak berkorenspondensi untuk derajat
2 5 kegemukan pada populasi yang berbeda dikarenakan perbedaan proporsi tubuh pada mereka (WHO, 2000). Tabel 2.1. Klasifikasi internasional IMT untuk dewasa (Sumber: WHO, 2014) Tabel 2.2. Klasifikasi IMT Asia menurut IOTF Katagori IMT (kg/m 2 ) Berat badan kurang <18.5 Berat badan normal Berisiko Untuk Obesitas Obes I Obes II 30.0 (Sumber: IOTF, International Obesity Taskforce) Kriteria di atas merupakan kriteria untuk kawasan Asia Pasifik. Kriteria ini berbeda dengan kawasan lain, sebagaimana penelitian yang dilakukan WHO (2004) menunjukkan bahwa indeks massa tubuh di China, Hong Kong, dan Indonesia memiliki rata-rata 1,3 kg/m 2 dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih pada wanita dan 1,4 kg/m2 dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih
3 6 pada pria. Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kg/m 2 dan etnik Polinesia memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m 2 dibandingkan dengan etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa China, Ethiopia, Indonesia dan Thailand adalah 1,9; 4,6; 3,2; dan 2,9 kg/m 2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal ini memperlihatkan adanya nilai cutoff IMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu (Soegondo, Sidartawan & Purnamasari, Dyah, 2006). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah melakukan penelitian di setiap provinsi di Indonesia dengan menggolongkan indeks massa tubuh menjadi 4 kategori. Tabel 2.3. Klasifikasi indeks massa tubuh di Indonesia Klasifikasi IMT (kg/m2) Kategori kurus <18,5 Kategori normal 18,5 - <24,9 Kategori BB lebih 25,0 - <27,0 Obese 27 (Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007) Indeks massa tubuh tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tapi hasil riset telah menunjukan bahwa IMT berkorelasi dengan pengukuran lemak tubuh secara langsung, seperti pengukuran dalam air dan Dual-energy X-Ray Absorptiometry (DXA). IMT adalah metode yang mudah dan tidak mahal untuk dilakukan dan memberikan indikator atas lemak tubuh, serta digunakan untuk screening berat badan yang dapat mengakibatkan problema kesehatan (Centers for Disease Control and Prevention, 2011) Pengukuran Indeks Massa Tubuh IMT didefinisikan sebagai ukuran yang diperoleh dari berat badan individu (kg) dibagi dengan kuadrat tingginya (m 2 ). Berat badan yang telah diukur terlebih dahulu dengan timbangan dan tinggi badan diukur dengan alat pengukur tinggi
4 7 badan, kemudian hasil pengukuran dimasukkan ke dalam formula (rumus). Formula yang universal digunakan adalah: (Garrow JS, 1985) Berat Badan (kg) IMT = Tinggi Badan Kuadrat (m 2 ) Selain itu, penentuan IMT dapat juga dilakukan dengan menggunakan kurva IMT, yang menampilkan IMT sebagai fungsi berat badan (sumbu horizontal) dan tinggi badan (sumbu vertikal) dengan menggunakan garis kontur untuk nilai dari IMT yang berbeda atau warna yang berbeda untuk kategori IMT, berdasarkan grafik IMT CDC 2000 (Eknoyan, 2008). IMT memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan pengukuran lainnya untuk menentukan adipositas. Pengukuran tinggi badan dan berat badan yang dinyatakan dalam IMT memberikan pengukuran yang reliabel dari kegemukan di populasi daripada pengukuran ketebalan lipatan kulit otot trisep. Reliabilitas pengukuran antara interobserver dan intraobserver sangat sulit ditegakkan, semakin rendah reliabilitas semakin tinggi lemak tubuh, dan tidak ada metode yang efisien untuk mengkaji reliabilitas dari berbagai survei. (Garrow JS, 1985 dan Eknoyan, 2008) Prostat Anatomi Prostat Prostat adalah organ genital yang hanya di temukan pada pria dan merupakan penghasil cairan semen. Dalam Smith s General Urology 17 th ed. (2008) disebutkan bahwa prostat berbentuk piramid, tersusun atas jaringan fibromuskular yang mengandung kelenjar. Prostat pada umumnya memiliki berat normal sekitar 20 g dan ukuran panjang sekitar 2,5 cm, mengelilingi uretra pria. Bagian anterior prostat didukung oleh ligamentum puboprostatika dan inferiornya oleh diafragma urogenital. Pada bagian depannya terdapat simfisis pubis yang dipisahkan oleh lapisan ekstraperitoneal, yang dinamakan cave of Retzius atau ruangan retropubik. Bagian belakangnya dekat dengan rektum, dipisahkan oleh
5 8 fascia Denonvilliers. Prostat juga berhubungan dengan duktus ejakulatorius pada posteriornya untuk pengosongan cairan ejakulat melalui verumontanum. Sumber: K. OH, William (2000) Gambar 2.1. Rongga panggul pria Sumber: Smith s General Urology 17 th ed. (2008) Gambar 2.2. Organ prostat Berdasarkan klasifikasi Lowsley, prostat terdiri dari 5 lobus: anterior, posterior, median, lateral kanan, dan lateral kiri. Menurut McNeal (1972), prostat memiliki zona perifer, zona sentral, dan zona transisi; segmen anterior; dan zona sfingter preprostatika (Smith s General Urology 17 th ed., 2008).
6 9 Sumber: Smith s General Urology 17 th ed. (2008) Gambar 2.3. Zona pada prostat menurut McNeal Secara histologi, prostat terdiri dari kapsul fibrosa tipis yang secara sirkuler berorientasi pada serat otot polos dan jaringan kolagen yang mengelilingi uretra (sfingter involunter). Pada lapisan dalam, stroma prostat terdiri dari jaringan ikat, jaringan elastis, dan serat otot polos yang terdapat epitel kelenjar. Sekret dari kelenjar prostat mengalir ke saluran ekskretori utama yang terbuka didasar uretra antara verumontanum dan leher vesika (Smith s General Urology 17 th ed., 2008).
7 Sekresi Prostat Sebagai kelenjar, prostat mengahasilkan beberapa produk protein yang biasa dijumpai pada cairan ejakulat. Seperti yang terlampir dalam Campbell-Walsh Urology 10 th ed. (2012), beberapa protein ejakulat tersebut adalah: Tabel 2.4. Protein sekresi mayor kelenjar aksesoris genitalia pria (Sumber: Campbell-Walsh Urology 10 th ed., 2012) 2.3. Prostate Specific Antigen (PSA) Definisi Prostate Specific Antigen (PSA) PSA adalah serine-kalikrein protease yang hampir seluruhnya diproduksi oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific. PSA merupakan protein yang diproduksi oleh sel prostat untuk menjaga viskositas cairan semen. PSA diproduksi sel-sel kelenjar prostat baik sehat maupun yang mengalami pembesaran jinak dan maligna. Oleh karena itu, pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar serum PSA (Joseph E., 1991 dan Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009 dan 2011).
8 11 Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, BPH, keganasan prostat, dan bertambahnya usia. Pada pasien BPH pemeriksaan kadar serum PSA penting untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009). Pada pasien kanker prostat pemeriksaan kadar serum PSA menjadi parameter berkelanjutan, semakin tinggi kadarnya maka semakin tinggi kecurigaan kanker prostat (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2011). Pemeriksaan PSA serum sangat diindikasikan pada pasien dengan gejala LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms). LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) dan iritasi (storage symptoms), yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitent), dan merasa tidak puas setelah miksi, yang kemudian menjadi retensi urine Jenis dan Nilai Kadar Serum PSA Prostate Specific Antigen (PSA) merupakan suatu glycoprotein yang dihasilkan oleh sel epitel pada asinus dan duktus dari kelenjar prostat. PSA disekreasi kedalam cairan seminal oleh sel epitel luminal dari duktus prostat, asinus, dan kelenjar dari periuretral. Normalnya kadar serum PSA sangat rendah karena terkonsenttrasi pada prostat. Namun, kerusakan pada arsitektur jaringan prostat normal seperti pada prostatic disease, inflamasi atau trauma akan menyebabkan banyaknya jumlah PSA yang masuk ke dalam sirkulasi. Sehingga, peningkatan level PSA serum dijadikan sebagai marker penting pada beberapa prostate disease, antara lain BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Montironi R. et al., 2000). Penelitian juga telah menunjukan bahwa PSA yang terdapat dalam serum terdiri dari beberapa molekular (Christensson A. et al., 1993 dalam Arneth, 2009). Penelitian terdahulu menggambarkan keuntungan potensial pada penggunaan bentuk molekular PSA untuk meningkatkan manfaat klinis test PSA pada deteksi dini kanker prostat. Penelitian juga telah memperlihatkan kegunaan bentuk PSA
9 12 yang lebih spesifik yang terdapat pada serum yang dapat meningkatkan kemampuan dari PSA untuk membedakan antara pasien dengan kanker prostat dan yang jinak (Stenman U.H. et al., 1991 dalam Durmaz, 2014). Penemuan keberadaan PSA di serum dalam beberapa bentuk molekular menambah manfaat klinik pada pemeriksaan PSA. Bentuk yang besar termasuk di dalamnya nonkomplek atau free PSA dan PSA komplek dengan serine protease inhibitor α1-antichymotrypsin (ACT) dan α2-macroglobulin (Christensson A. et al., 1993 dalam Arneth, 2009). Tabel 2.5. Molecular Forms of Prostate-Specific Antigen (Sumber: Lilja H. et al., 1991) Biopsi prostat dianjurkan pada pasien dengan PSA > 4.0 ng/ml atau DRE yang abnormal. American Urologic Association merekomendasikan biopsi jarum prostat pada pria dengan nilai PSA lebih dari 4 ng/ml, atau pada DRE di jumpai prostat yang tidak normal (AUA Commentary, 2000). Kadar PSA secara tunggal adalah variabel yang paling bermakna dibandingkan colok dubur atau TRUS. Sampai saat ini belum ada persetujuan mengenai nilai standar secara internasional, namun nilai baku PSA di Indonesia saat ini yang dipakai adalah 4ng/ml.
10 13 Peningkatan kadar PSA bisa terjadi pada keadaan BPH, infeksi saluran kemih dan kanker prostat sehingga dilakukan penyempurnaan dalam interpretasi nilai PSA yaitu PSA velocity atau perubahan laju nilai PSA, densitas PSA dan nilai rata rata PSA, yang nilainya bergantung kepada umur penderita. Tabel 2.6. Rata-rata nilai normal kadar PSA menurut umur Umur (tahun) Rata Rata Nilai Normal PSA (ng/ml) Sumber : Dawson C. dan Whitfield H., 1996 dalam Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009 Pemeriksaan PSA di Negara Barat mempunyai hasil yang sangat sensitif namun tidak spesifik, yakni rata-rata mencapai tingkat sensitivitas lebih dari 90% dan spesifisitas kurang dari 25%, untuk kadar nilai ambang PSA 4 ng/ml (Brewer MK, 1999). Dan pada peningkatan nilai ambang PSA 10 ng/ml terjadi penurunan sensitivitas menjadi lebih dari 75% sementara pada spesifisitas meningkat hampir dua kali lipat menjadi 48% (Joseph E.,1991). Sedangkan di Indonesia sendiri, penelitian mengenai nilai spesifisitas dan sensitivitas tentang pemeriksaan PSA baru dilakukan di RS Kariadi Semarang dengan hasil nilai spesifisitas meningkat pada nilai ambang batas PSA 10 ng/ml dan nilai PSA >10 ng/ml menjadi nilai rekomendasi untuk dilakukan biopsi prostat sebelum diagnosis pasti kanker prostat ditegakkan (Erlangga N., 2007) Hal-hal yang Mempengaruhi Kadar Serum PSA Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kadar serum PSA, antara lain: a. Usia Terjadi peningkatan kadar serum PSA seiring dengan bertambahnya usia. Secara fisiologis, angka normal kadar PSA dalam darah meningkat sesuai dengan penambahan umur, yang disebut age related PSA (Joseph E, 1991 dan Brawer MK, 1999). Hal ini terjadi karena terdapat penurunan fungsi
11 14 kontrol metabolisme oleh tubuh dengan semakin bertambahnya usia (Joseph E, 1991). Sehingga pemeriksaan PSA pada pasien yang sama jika dilakukan secara rutin dan berkala, menunjukkan penurunan sensitivitas dan spesifisitas PSA terhadap kanker prostat. b. Statin Statin (HMG-CoA reductase inhibitors) merupakan preparat yang digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol. Hasil penelitian M. H. Hager et al. (2006) menunjukkan bahwa pertumbuhan prostat dan kanker prostat dipengaruhi oleh metabolisme kolesterol yang abnormal, dimana makin tinggi kolesterol maka pertumbuhan prostat semakin meningkat. Selanjutnya, L Zhuang et al. (2005) dan K. Pelton (2012) mendapati bahwa penurunan bioavaibilitas kolesterol menginduksi apoptosis sel prostat. (Sang Hun Lee et al., 2013) c. Insulin Pada penelitian yang dilakukan oleh Heiko Muller et al. (2009) mengenai Hubungan Diabetes dan IMT terhadap PSA, didapatkan hasil bahwa pasien diabetes yang menggunakan pengobatan insulin cenderung memiliki kadar serum PSA yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien diabetes tanpa pengobatan. Dimana pasien diabetes tanpa pengobatan ini memiliki kadar serum PSA yang relatif sama dengan pasien tanpa diabetes. Hal ini mugkin dipengaruhi oleh insulin, bahkan pada penggunaan secara oral juga menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. d. 5-α-reductase inhibitors dan antiandrogen 5-α-reductase inhibitors dapat menyebabkan sitoreduksi jaringan prostat (Chiang et al., 2013) dan antiandrogen dapat menyebabkan penurunan kadar testosterone yang berperan pada biokimia kelenjar prostat, sehingga penggunaan preparat ini dapat menurunkan kadar serum PSA.
12 15 e. Trauma dan penyakit pada prostat dan saluran kemih Akut retensi urine, akut atau kronik prostatitis, kateterisasi kurang dari 5 hari, dan operasi yang berhubungan dengan BPH kurang dari 3 bulan merupakan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan trauma pada prostat, sehingga terjadi peningkatan kadar serum PSA Hubungan IMT dengan Kadar Serum PSA Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada pria biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa obesitas menjadi faktor resiko terjadinya pembesaran prostat baik jinak maupun ganas. Berdasarkan penelitian Peter Ka-Fung Chiu et al. (2011) dalam Asian Pacific Journal of Cancer Prevention vol. 12 melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar serum PSA pada pasien seiring dengan peningkatan IMT (terutama obesitas) sehingga dibutuhkan cutoff yang berbeda antara pasien yang obesitas dengan IMT normal. Banez et al. (2007) dalam The Journal of the American Medical Association vol. 298 melaporkan bahwa kadar serum PSA menurun secara signifikan dengan peningkatan IMT karena dilusi dari jumlah PSA yang tetap dalam volume plasma pada pasien dengan IMT yang lebih tinggi. Namun, belum ada penelitian yang secara pasti mengenai penyebab terjadinya penurunan nilai kadar serum PSA pada penderita dengan IMT diatas normal. Ohwaki et al. (2010) dan Grubb et al. (2009) dalam Peter Kang-Fu Chiu et al. (2011) mengemukakan bahwa hubungan terbalik IMT dengan PSA dapat dijelaskan oleh hemodilusi karena volume plasma yang lebih tinggi pada pria obesitas. Penjelasan lain menyebutkan bahwa pria obesitas memiliki tingkat androgen rendah. Androgen berperan penting dalam pertumbuhan dan diferensiasi prostat normal, dengan demikian tingkat androgen rendah dapat menyebabkan massa PSA lebih rendah. Namun, Banez et al. ( 2007) mengemukakan bahwa massa PSA pada pasien obesitas adalah sama atau bahkan lebih tinggi
13 16 dibandingkan populasi normal, sehingga penjelasan androgenik kurang masuk akal. Rata-rata PSA dalam studi yang dipublikasikan berkisar antara ng/ml, nilai ini jauh dari cutoff yang diakui untuk dilakukan biopsi prostat yaitu 4 ng/ml. Hal ini menyebabkan keterlambatan diagnosa kanker prostat pada pasien obesitas.
BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia laki-laki yang terletak mengelilingi vesica urinaria dan uretra proksimalis. Kelenjar prostat dapat mengalami pembesaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH merupakan kelainanan adenofibromatoushyperplasia paling sering pada pria walaupun tidak mengancam
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 2007, Badan Pusat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan prostat
Lebih terperinciSKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1
PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA PADA USIA ANTARA 50-59 TAHUN DENGAN USIA DIATAS 60 TAHUN PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI DI RS. PKU (PEMBINA KESEJAHTERAAN UMAT) MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak adanya insulin menjadikan glukosa tertahan di dalam darah dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah (hiperglikemia), disebabkan karena ketidakseimbangan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prostat 2.1.1. Anatomi Prostat adalah organ genital yang hanya di temukan pada pria karena merupakan penghasil cairan semen yang hanya dihasilkan oleh pria. Prostat berbentuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di Indonesia. Jumlah usia lanjut di Indonesia
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fleksibilitas 2.1.1. Definisi fleksibilitas Fleksibilitas mengacu pada kemampuan ruang gerak sendi atau persendian tubuh. Kemampuan gerak sendi ini berbeda di setiap persendian
Lebih terperinciKelenjar Prostat dan Permasalahan nya.
FORUM KESEHATAN Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. Pengantar Kalau anda seorang pria yang berusia diatas 40 tahun, mempunyai gejala2 gangguan kemih (kencing) yang ditandai oleh: Kurang lancarnya aliran
Lebih terperinciKanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved
Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau yang dikenal pembesaran prostat jinak sering ditemukan pada pria dengan usia lanjut. BPH adalah kondisi dimana terjadinya ketidakseimbangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan yang belum dapat diselesaikan oleh negara-negara maju. dan berkembang di dunia. Studi pada tahun 2013 dari Institute for
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak tubuh yang berlebihan atau abnormal sehingga menimbulkan risiko bagi kesehatan, antara lain adalah penyakit kardiovaskular,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes Mellitus (DM) di dunia. Angka ini diprediksikan akan bertambah menjadi 333 juta orang pada tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah menetapkan bahwa tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat, pemerintah dan swasta. Apapun yang dilakukan pemerintah tanpa kesadaran individu dan masyarakat
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obesitas 2.1.1. Definisi Obesitas adalah penumpukan jaringan lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan (WHO,2011). Batas yang tidak wajar untuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan karena penyempitan arteri koroner. Peningkatan kadar kolesterol dalam darah menjadi faktor
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. polisebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris atau jerawat adalah penyakit peradangan menahun folikel polisebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri (Wasitaatmadja, 2007).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Setiap perempuan akan mengalami proses fisiologis dalam hidupnya,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap perempuan akan mengalami proses fisiologis dalam hidupnya, proses-proses tersebut diantaranya adalah premenopause, menopause dan pascamenopause. Masa premenopause
Lebih terperinciEpidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes
Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan dan menjelaskan tentang epidemiologi penyakit kanker prostat, riwayat alamiah
Lebih terperincidan rendah serat yang menyebabkan pola makan yang tidak seimbang.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan strategi pembangunan kesehatan untuk mewujudkan bangsa yang sehat, di tahun 2011 dicanangkan peningkatan derajat kesehatan sebagai salah satu fokus
Lebih terperinciBAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri
78 BAB 6 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri stadium lanjut yaitu stadium IIB dan IIIB. Pada penelitian dijumpai penderita dengan stadium IIIB adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan suatu pembesaran progresif pada kelenjar prostat pria dewasa yang bersifat non-malignan (WHO, 1999). Pembesaran prostat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lipid atau lemak adalah suatu kumpulan zat yang tidak larut dalam air tetapi dapat larut dalam pelarut seperti alkohol atau kloroform (Oxford Dictionary, 2003). Selama
Lebih terperinciKanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan
Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan Apakah kanker Prostat itu? Kanker prostat berkembang di prostat seorang pria, kelenjar kenari berukuran tepat di bawah kandung kemih yang menghasilkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, setelah menjadi masalah pada negara berpenghasilan tinggi, obesitas mulai meningkat di negara-negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. leiomyoma uteri, fibromioma uteri, atau uterin fibroid. 1 Angka kejadian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mioma uteri adalah tumor jinak kandungan (uterus) yang terjadi pada otot polos dan jaringan ikat. Mioma dikenal juga dengan istilah leiomyoma uteri, fibromioma uteri,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan menyebabkan pembesaran dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut World Health Organization (WHO), obesitas adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut World Health Organization (WHO), obesitas adalah akumulasi lemak secara berlebihan atau abnormal dalam tubuh yang dapat mengganggu kesehatan. Distribusi
Lebih terperinciPengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif
EDITORIAL Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif Shahrul Rahman* * Doktor Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Pendahuluan Kelenjar prostat adalah salah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Obesitas Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbun lemak yang melebihi 25 % dari berat tubuh, orang yang kelebihan berat badan biasanya karena kelebihan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman sekarang ini, kelebihan berat badan (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah kesehatan dunia yang semakin sering ditemukan di berbagai
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) 2.1.1. Pengertian BPH Menurut Anonim (2009) dalam Hamawi (2010), BPH secara umumnya dinyatakan sebagai Pembesaran Prostat Jinak. Maka jelas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di Indonesia setelah infeksi saluran kemih 1. Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih (Fadlol & Mochtar. 2005). Penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. 2 Hal ini diperkuat oleh hasil
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini berbagai laporan kesehatan mengindikasikan bahwa prevalensi penyakit tidak menular lebih banyak dari pada penyakit menular. Dinyatakan oleh World
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama di banyak negara termasuk Indonesia. Pola penyebab kematian di rumah sakit yang utama dari Informasi Rumah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 merupakan salah satu. penyakit tidak menular yang semakin meningkat di Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 merupakan salah satu penyakit tidak menular yang semakin meningkat di Indonesia. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi merupakan penyebab
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan yang menyebabkan kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan Alatas, 1985).
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma prostat ialah keganasan pada laki-laki yang sangat sering didapat. Angka kejadian diduga 19% dari semua kanker pada pria dan merupakan karsinoma terbanyak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa lima besar karsinoma di dunia adalah karsinoma paru-paru, karsinoma mamae, karsinoma usus besar dan karsinoma lambung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. a. Latar Belakang Penelitian. Dislipidemia adalah suatu istilah yang dipakai untuk
BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Penelitian Dislipidemia adalah suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan sejumlah ketidaknormalan pada profil lipid, yaitu: peningkatan asam lemak bebas, peningkatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron di bawah parameter
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring peningkatan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan, semakin meningkat pula kualitas hidup dan kesehatan masyarakat yang salah
Lebih terperinciPETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang
PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang IMUNOLOGI TUMOR INNATE IMMUNITY CELLULAR HUMORAL PHAGOCYTES NK CELLS COMPLEMENT CYTOKINES PHAGOCYTOSIS
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada tubuh dapat menimbulkan penyakit yang dikenal dengan. retina mata, ginjal, jantung, serta persendian (Shetty et al., 2011).
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Asam urat merupakan produk akhir dari katabolisme adenin dan guanin yang berasal dari pemecahan nukleotida purin. Asam urat ini dikeluarkan melalui ginjal dalam bentuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan di bidang perekonomian sebagai dampak dari pembangunan menyebabkan perubahan gaya hidup seluruh etnis masyarakat dunia. Perubahan gaya hidup menyebabkan perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode sederhana yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode sederhana yang digunakan untuk menilai status gizi seorang individu. IMT merupakan metode yang murah dan mudah dalam mengukur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obesitas merupakan kelainan metabolisme yang paling sering diderita manusia. Saat ini penderita obesitas di dunia terus meningkat. Penelitian sejak tahun 1990-an menunjukkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. World Health Organization (WHO) mendefinisikan. obesitas sebagai suatu keadaan akumulasi lemak yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Health Organization (WHO) mendefinisikan obesitas sebagai suatu keadaan akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan yang menimbulkan risiko gangguan terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperplasia prostat jinak (BP H) merupakan penyakit jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan pembesaran prostat jinak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. apabila terjadi kerusakan. Salah satu keluhan yang sering dialami lansia akibat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan adalah proses penurunan secara bertahap kemampuan untuk mempertahankan struktur dan fungsi normal tubuh dan memulihkannya kembali apabila terjadi kerusakan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Disfungsi dasar panggul merupakan salah satu penyebab morbiditas yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Disfungsi dasar panggul merupakan salah satu penyebab morbiditas yang dapat menurunkan kualitas hidup wanita. Disfungsi dasar panggul memiliki prevalensi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). Diabetic foot adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus dapat menyerang warga seluruh lapisan umur dan status
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO menyatakan bahwa gizi adalah pilar utama dari kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan (Soekirman, 2000). Di bidang gizi telah terjadi perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kerentanan fisik individu sendiri, keadaan lingkungan
Lebih terperinciDIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen
DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,
Lebih terperinciMENGENAL PARAMETER PENILAIAN PERTUMBUHAN FISIK PADA ANAK Oleh: dr. Kartika Ratna Pertiwi, M. Biomed. Sc
MENGENAL PARAMETER PENILAIAN PERTUMBUHAN FISIK PADA ANAK Oleh: dr. Kartika Ratna Pertiwi, M. Biomed. Sc Pendahuluan Pernahkah anda mengamati hal-hal penting apa sajakah yang ditulis oleh dokter pada saat
Lebih terperinciPERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI
PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. antara konsumsi, penyerapan zat gizi, dan penggunaannya di dalam tubuh yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status gizi adalah suatu keadaan kesehatan sebagai akibat keseimbangan antara konsumsi, penyerapan zat gizi, dan penggunaannya di dalam tubuh yang diekskpresikan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kegemukan sebagai lambang kemakmuran. Meskipun demikian, pandangan yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kegemukan sudah lama menjadi masalah. Bangsa Cina kuno dan bangsa Mesir kuno telah mengemukakan bahwa kegemukan sangat mengganggu kesehatan. Bahkan, bangsa Mesir
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan World Health Organization (WHO) tahun 1995 menyatakan bahwa batasan Berat Badan (BB) normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI).
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis data secara statistik, yaitu karakteristik dasar dan hasil analisis antar variabel
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma serviks uteri merupakan masalah penting dalam onkologi ginekologi di
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Karsinoma serviks uteri merupakan masalah penting dalam onkologi ginekologi di Indonesia. Penyakit ini merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Indeks Masa Tubuh 2.1.1. Defenisi Indeks Masa Tubuh Indeks Massa tubuh (IMT) adalah alat ukur paling umum yang digunakan untuk mendefenisikan status berat badan anak, remaja,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. maupun sosial. Perubahan fisik pada masa remaja ditandai dengan pertambahan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari gangguan produksi insulin atau gangguan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. menempati ruang anterior dan posterior dalam mata. Humor akuos
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Humor Akuos a. Anatomi Fungsional Humor Akuos Humor akuos merupakan cairan jernih bersifat alkaline yang menempati ruang anterior dan posterior dalam mata.
Lebih terperinci1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan secara herediter. Centre of Disease Control (CDC) melaporkan bahwa thalassemia sering dijumpai pada populasi
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. perubahan. Masalah kesehatan utama masyarakat telah bergeser dari penyakit infeksi ke
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perubahan pola hidup masyarakat maka pola penyakit pun mengalami perubahan. Masalah kesehatan utama masyarakat telah bergeser dari penyakit infeksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif kronis yang semakin meningkat prevalensinya (Setiawati, 2004). DM mempunyai karakteristik seperti
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah sindroma disfungsi ovarium dengan karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh penderita kanker dan penyebab kematian keempat dari seluruh kematian pada pasien kanker di dunia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yaitu bila
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja sebagai mereka yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yaitu bila anak telah mencapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling sering ditemui dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita oleh kaum wanita dan
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian A.1 Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Saraf dan Radiologi Rumah Sakit di Kota Yogyakarta,yaitu Rumah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benigna Prostate Hiperplasi (BPH) merupakan kondisi patologis yang paling umum terjadi pada pria lansia dan penyebab kedua untuk intervensi medis pada pria diatas usia
Lebih terperincienergi yang dibutuhkan dan yang dilepaskan dari makanan harus seimbang Satuan energi :kilokalori yaitu sejumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan
KESEIMBANGAN ENERGI Jumlah energi yang dibutuhkan dan yang dilepaskan dari makanan harus seimbang Satuan energi :kilokalori yaitu sejumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu air sebesar 1 kg sebesar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Aterosklerosis koroner adalah kondisi patologis arteri koroner yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aterosklerosis koroner adalah kondisi patologis arteri koroner yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri serta penurunan volume aliran darah ke jantung.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi dan Insidensi. Kanker prostat merupakan salah satu penyakit kanker yang terbanyak pada laki-laki dewasa. Penyakit ini juga merupakan penyebab kematian kedua terbanyak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Fitz pada tahun 1886 (Williams, 1983). Sejak saat itu apendisitis akut merupakan salah satu kegawatdaruratan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (glukosa) dalam darahnya. Yang dicirikan dengan hiperglikemia, yang disertai. berbagai komplikasi kronik (Harmanto Ning, 2005:16).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar. Diabetes Melitus, penyakit gula, atau kencing manis adalah suatu penyakit, di mana tubuh penderitanya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami
BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami perubahan, yaitu dari deposisi lemak subkutan menjadi lemak abdominal dan viseral yang menyebabkan peningkatan
Lebih terperinciBAB 4 HASIL PENELITIAN
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4. 1 Pelaksanaan Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 21-31 Mei 2008 untuk wawancara dengan kuesioner dan tanggal 26 Mei 3 Juni 2008 untuk pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. akan terlihat baik tetapi juga dari segi kesehatan. Terutama anak muda lebih
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mempunyai berat badan yang ideal atau normal adalah keinginan setiap orang agar terlihat proposional. Bukan dari segi penampilan fisik saja yang akan terlihat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di zaman modern ini. Obesitas merupakan suatu kelainan atau penyakit dimana terjadi penimbunan lemak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. plak yang tersusun oleh kolesterol, substansi lemak, kalsium, fibrin, serta debris
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aterosklerosis merupakan suatu proses inflamasi kronik yang terjadi pada arteri akibat adanya disfungsi endotel. Proses ini ditandai oleh adanya timbunan plak yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan lain. Gizi lebih dan. nama Sindrom Dunia Baru New World Syndrome.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung menunjukkan masalah gizi ganda, disamping masih menghadapi masalah gizi kurang, disisi lain pada golongan masyarakat
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Di United States, sekitar 14 juta laki-laki memiliki keluhan BPH.
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Di United States, sekitar 14 juta laki-laki memiliki keluhan BPH. Insidensnya akan meningkat sesuai dengan pertambahan usia, hanya beberapa
Lebih terperinci