BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS"

Transkripsi

1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Apabila dalam Uraian diatas dalam BAB II Penulis telah melakukan suatu tinjauan pustaka yang tidak lain tujuannya adalah untuk menjawab perumusan masalah: bagaimanakah kompetensi absolut PTUN dalam memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, maka dalam Bab III ini pembahasan tentang jawaban atas pertanyaan yang sama akan dikemukakan melalui deskripsi hasil penelitian terhadap dua Putusan Pengadilan. Adapun kedua Putusan Pengadilan yang dikemukakan dalam bagian hasil penelitian ini adalah Putusan No: 48/G/2009/PTUN.SMG dan Putusan No: 10/G/2010/PTUN-SMD. Bab III ini otomatis memuat analisis atas kedua Putusan Pengadilan tersebut dengan tujuan yang sama yaitu untuk menjawab perumusan masalah: bagaimanakah kompetensi absolut PTUN dalam memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta. 63

2 3.1. Penguasa Eksekutif (Ambtenaar/Priyayi) Hasil Imajinasi Putusan yang pertama melibatkan Penggugat yaitu Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA dengan Tergugat yaitu Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Penggugat merupakan Dosen Tetap Fakultas Psikologi UKSW Salatiga, terhitung tanggal 3 Pebruari 1988 sesuai SK Rektor UKSW Salatiga Nomor:280/UP?T.Ed./II/1988 tentang Pengangkatan Penggugat sebagai Pegawai Edukatif Tetap pada Pusat Bimbingan UKSW. Sengketa antara Penggugat Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA dengan Tergugat Rektor UKSW Salatiga bermula dari terbitnya Surat Keputusan Rektor Nomor: 098/Kep./Rek/1991 tanggal 4 Juli 1991 tentang Studi Lanjut Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA pada program Ph.D di Fuller Theologycal Seminary USA. Dalam Surat itu, Rektor UKSW menugaskan Penggugat untuk berangkat ke USA untuk Studi Lanjut. Menyusul tibanya di Indonesia di awal Januari 2009, tanggal 12 Januari 2009 Penggugat membuat surat memohon untuk dapat aktif kembali sebagai Dosen Tetap di UKSW Salatiga. Berdasarkan surat permohonan Penggugat tanggal 12 Januari 2009 tersebut, Dekan Fakultas Psikologi UKSW membuat surat No: 007/DEAN/I/2009 tanggal 16 Januari 2009, menindaklanjuti permohonan Penggugat untuk menjadi staf pengajar di Fakultas Psikologi UKSW. Atas dasar Surat Dekan Fakultas Psikologi itu, terbit dua Surat Keputusan Rektor yaitu SK Nomor: 014/Pengam.MK/Rek/1/III/2009 tanggal 2 Maret 2009 dan 64

3 SK Nomor: 015/Pengam.MK/Rek/1/III/2009 tanggal 3 Maret. Kedua surat itu berisi Tugas Mengampu Mata Kuliah Program Magister Sains Psikologi dan Tugas Mengampu Mata Kuliah Fakultas Psikologi bagi Penggugat. Berdasarkan kedua SK ini Penggugat menganggap bahwa Penggugat masih diakui oleh Tergugat sebagai Dosen Tetap di Fakultas Psikologi UKSW. Namun kenyataannya tidak demikian. Pada tanggal 29 Mei 2009 Penggugat menerima Surat Keputusan Tergugat Nomor: 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009 tentang status Kepegawaian Penggugat yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Tergugat. Isi surat keputusan itu adalah: memutuskan menerima Penggugat sebagai Dosen Kontrak Universitas Kristen Satya Wacana terhitung 1 Pebruari Penggugat memaknai Surat Keputusan Nomor: 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009 merupakan Surat Keputusan (beschikking), dan dengan demikian Penggugat 1 menempatkan Rektor UKSW unsur dari Yayasan suatu Perguruan Tinggi Swasta, pembuat Surat Keputusan tersebut, sebagai ambtenaar/priyayi, 2 unsur Penguasa Eksekutif di jajaran Pemerintahan (publik), dalam perspektif Triaspolitika. Penggugat kemudian menanggapi Surat Keputusan itu dengan surat Nomor : 03/TGP/A/VI/2009 tanggal 2 Juni 2009 tentang Tanggapan Surat Rektor UKSW. Dalam surat tanggapan itu, Penggugat mempertanyakan dasar apa Rektor 1 Tanpa bermaksud merendahkan Penggugat, namun supaya obyektif, Ilmiah, dalam kenyataannya Penggugat diwakili oleh Profesional di bidang hukum, yaitu: Hj. Asih Budiastuti, S.H., C.N. 2 Ada yang mengatakan, sama dengan Penguasa. 65

4 menerima Penggugat sebagai Dosen Kontrak 3, padahal Penggugat adalah Dosen Tetap dan telah mengampu 4 (empat) Mata Kuliah pada Semester Genap 2008/2009 dan perkuliahan telah dimulai sejak 19 Januari Bukan Surat Keputusan Tergolong Beschikking Dari eksepsi yang terdapat di dalam Putusan tersebut terlihat bahwa Obyek gugatan tersebut merupakan Surat Rektor UKSW No.158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei Pihak Tergugat sebetulnya telah berusaha untuk menyakinkan Penggugat dan para Hakim bahwa surat keputusan itu bukan beschikking, hanya surat biasa yang bersifat belum final karena masih menunggu tanggapan dari pihak Penggugat untuk selanjutnya akan ditindaklanjuti ke Yayasan Pendidikan Tinggi Kristen (YPTK) Satya Wacana. Menurut pendapat Penulis, meskipun eksepsi pihak Tergugat memiliki nilai kebenaran menurut Tergugat, dari sudut hukum, namun hal itu belum memerlihatkan keteguhan Tergugat bahwa Tergugat bukan Badan atau Pejabat TUN, sehingga PTUN tidak berwenang secara absolut untuk mengadili dan memutus sengketa itu. Argumentasi Tergugat tersebut seolah-olah masih menyiratkan harapan dalam imajinasi pihak Tergugat bahwa apabila surat biasa Rektor tersebut telah ditindaklanjuti ke YPTK Satya Wacana, maka barulah Penggugat dan 3 Telah terjadi penyesatan yang sangat luar biasa terhadap konsep kontrak, bahkan oleh mereka yang tergolong intelektual. Dalam Ilmu Hukum, Dosen tetap atau Dosen kontrak, kedua-duanya adalah kontrak-kontrak (contracts). Penulis menyarankan agar mereka yang tidak mau disesat, membaca Buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum oleh Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Fakultas Hukum UKSW Salatiga. 66

5 para Hakim PTUN Semarang memandangnya sebagai obyek sengketa yang secara absolut merupakan kewenangan PTUN untuk mengadili dan memutus sengketa itu. Surat Rektor UKSW No. 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009 merupakan jawaban atas surat permohonan dari Penggugat tertanggal 12 Januari 2009 tentang permohonan untuk aktif kembali sebagai Dosen pada Fakultas Psikologi UKSW dan Surat Dekan Fakultas Psikologi UKSW No: 007/DEAN/I/2009 tanggal 16 Januari Tergugat juga berpendapat bahwa surat keputusan itu bukan beschikking sebab surat itu baru tawaran dari pihak Rektor kepada Penggugat dan/atau Fakultas Psikologi mengenai status kepegawaian Penggugat di UKSW Hubungan Hukum Ketenagakerjaan Bukti bahwa PTUN tidak memiliki kompetensi untuk mengadili dan memutus sengketa yang pertama itu juga dapat dilihat dari argumen Tergugat bahwa tawaran yang diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat, karena secara hukum antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada hubungan hukum ketenagakerjaan lagi sejak 1997 berdasarkan ketentuan Pasal 11ayat (1) Angka (1) dan Angka (3), Pasal 12 ayat (2) Angka (2) butir (1) Peraturan Studi Lanjut No: 78/KEP./REK./1989 jo Pasal 12 ayat (3) Ketentuan Studi Lanjut No.019/SK/BPH-UKSW/III/2003 serta Pasal 11 ayat (1) Angka (3), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2), Angka (2) butir (1) Peraturan Studi Lanjut No. 78/KEP./Rek./1989. Sehingga, memerhatikan eksepsi Tergugat di atas, Surat Rektor UKSW No. 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009 yang menjadi obyek gugatan tidak 67

6 memenuhi syarat dan kapasitas (beschikking) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 53 ayat (1) UU No.9 Tahun 2004 jo Pasal 1 Angka (9) UU No.51 Tahun Namun demikian, di dalam Putusan tersebut, ternyata, bahwa menurut Majelis Hakim, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka (12) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN disebutkan bahwa Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Padahal Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) adalah merupakan lembaga pendidikan yang dikelola dan diselenggarakan oleh Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) yang berupa Badan Hukum Swasta, bukan suatu Badan Hukum Publik. Para Hakim dalam kasus itu telah menjungkirbalikan tatanan yang ditetapkan oleh hukum Ambifalensi Hakim? Kemudian apabila dianalisi dari perspektif ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 jo UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Konsiderans bagian menimbang huruf (b) secara tegas disebutkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Ketentuan pasal 1 Angka (30) UU No.20 Tahun 2003 juga secara tegas menyebutkan bahwa Menteri bertanggung jawab dalam sitem pendidikan nasional. Pada ketentuan Pasal 1 Angka (3) disebutkan yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai 68

7 tujuan pendidikan nasional. Oleh sebab itu, Majelis Hakim yang memutus perkara itu tetap bersikeras dan berpendapat bahwa kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh badan hukum swasta/perdata yang mengelola suatu Perguruan Tinggi atau Universitas seperti UKSW yang dikelola oleh YPTKSW termasuk urusan yang bersifat eksekutif atau urusan pemerintahan seperti maksud Pasal 1 Angka (7) UU No.51 Tahun 2009, sepanjang badan hukum swasta tersebut memperoleh kewenangan dari Menteri yang berhak untuk itu seperti maksud Pasal 1 Angka (12) UU No.51 Tahun Hanya saja dalam uraian selanjutnya pada Putusan di atas mungkin hal ini dapat dikatakan sebagai suatu ambifalensi Hakim? Hakim kemudian mengaitkan dengan Pasal 1 Angka (27) beserta penjelasannya UU No.20 tahun 2003 menyebutkan masyarakat adalah mitra Pemerintah yang dapat ikut serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan kedudukan mereka adalah sama. Hakim nampaknya tidak memahami konsep masyarakat dan lalai melihat bahwa dalam kasus itu, yang di maksud dengan masyarakat adalah satu badan hukum atau subyek hukum yang bersifat Swasta atau partikelir dan bukan publik. Atas dasar itu Majelis Hakim menilai UKSW yang notabene adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat/Non Governmental Organization) adalah suatu Lembaga Pendidikan Tinggi Swasta yang dikelola oleh YPTKSW, dimana syarat dan tata cara pendiriannya telah memenuhi peraturan perundangan yang berlaku termasuk di dalamnya persetujuan tertulis dari Menteri Pendidikan Nasional untuk menyelenggarakan suatu bidang pendidikan berpendapat, sejak mendapat persetujuan 69

8 tertulis dari Menteri Pendidikan Nasional selaku wakil Pemerintah, berdasarkan peraturan perundangan secara atribusi, YPTKSW mendapat wewenang dari Pemerintah untuk berperan serta dan bertindak sebagai mitra Pemerintah untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi, dengan demikian suatu organ/lembaga harus disebut sebagai Badan TUN, sebagaimana maksud ketentuan Pasal 1 Angka (7), jo Pasal 1 Angka (8) dan Pasal 1 Angka (12) UU No.51 Tahun Majelis Hakim kemudian berpendapat mengenai obyek gugatan yaitu Surat Rektor UKSW Nomor: 158/Rek./5/2009 tentang status Kepegawaian atas nama Penggugat tersebut telah dapat diklasifikasikan sebagai obyek sengketa TUN yaitu Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, yaitu Rektor UKSW Salatiga. Mengenai kepada siapa tulisan itu ditujukan yaitu ditujukan kepada Penggugat yang berisi status kepegawaian Penggugat sebagai Dosen Kontrak tidak digubris Majelis Hakim. Selanjutnya mengenai surat keputusan tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa surat keputusan itu tidak diperlukan lagi suatu persetujuan, baik dari atasan Tergugat ataupun instansi lain. Sehingga, menurut Majelis Hakim, surat keputusan tersebut telah bersifat final dan karenanya telah dapat menimbulkan akibat hukum bagi penggugat yaitu memutuskan menerima Penggugat sebagai Dosen Kontrak Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga terhitung tertanggal 1 Februari Memerhatikan hal ini, Penulis berpendapat bahwa Hakim nampaknya terjebak pada konstruksi yang sengaja dibangun oleh Tergugat, bahwa keputusan 70

9 Tergugat tersebut belum final? Jebakan Para Profesional yang mewakili Tergugat tersebut ternyata efektif untuk menjerumuskan Para Hakim yang kurang berilmu? Akibatnya, dengan terbitnya keputusan PTUN itu, UKSW hingga detik ini, memeroleh semacam ablessing in disguise ambifalensi hakim, dan berstatus sebagai badan hukum publik, Pegawainya jadi priyayi atau Badan/Pejabat TUN hasil konstruksi imajinatif Rektor Universitas Swasta bukan bagian Hierarki Pemerintahan Berbeda dengan Putusan PTUN dalam kasus yang pertama di atas, dalam rangka melihat bagaimana kompetensi absolut PTUN dalam memutus obyek sengketa hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, maka berikut ini kasus kedua. Kasus kedua bermula dari adanya pengaduan tertulis kepada Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda selaku (Tergugat) dari beberapa orang yang mengaku orangtua dan saudara kandung seorang perempuan bernama Maya Astriyani. Alikuddin Saragih, SH., M.Hum selaku (Penggugat) yang juga Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Untag 1945 Samarinda, diduga telah melakukan perbuatan asusila terhadap seorang perempuan bernama Maya Astriyani yang merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Sejalan dengan itu, kemudian, Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda mengeluarkan Surat Keputusan, yaitu SK nomor: 055/UN.17/KP/II/2011, 71

10 tanggal 01 Pebruari 2011, memberhentikan sementara Penggugat sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) 1945 Samarinda. Majelis Hakim berpendapat bahwa sesuai dengan Pasal 47 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN yaitu kewenangan PTUN adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN, dan Pasal 1 Angka (9) memberikan penekanan, maka menurut para Majelis Hakim Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Majelis Hakim juga mendasarkan argumen mereka kepada Pasal 1 Angka (10) bahwa yang dimaksud dengan sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya KTUN termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan untuk mendapatkan putusan. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 Angka (8) disebutkan bahwa Badan atau Pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang kemudian menurut penjelasan UU No.5 Tahun 1986 disebutkan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif dengan pembatasan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. 72

11 Sementara itu dalam Pasal 34 Statuta Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda Nomor 01 tahun 2009 tanggal 20 Oktober 2009 bahwa : Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Umum Yayasan/BP PTS, setelah mendapat persetujuan Senat Universitas dan dilaporkan kepada Menteri melalui Dirjen Dikti. Selanjutnya pada Pasal 1 Angka (28) dalam Statuta Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda diatur bahwa : Yayasan Pendidikan 17 Agustus 1945 Samarinda adalah Lembaga pendiri pendidikan tinggi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, yang sekaligus sebagai pemilik, pengelola, dan pembina. Majelis Hakim berpendapat bahwa Dosen/Karyawan Staf Pengajar di lingkungan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda diangkat dan diberhentikan oleh Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Sedangkan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda selaku penanggung jawab/pemimpin Universitas diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Umum Yayasan Pendidikan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Statuta tersebut, dipahami oleh Majelis Hakim bahwa pembinaan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, secara teknis operasional dilakukan melalui Badan Pelaksana Harian Yayasan (BPH) atau Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta (BP-PTS), sedang pembinaan akademik dilakukan oleh Dirjen Dikti melalui Koordinator Kopertis Wilayah XI Kalimantan. Hal ini tidaklah berarti bahwa Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda berada dalam hierarki Pemerintahan tetapi peranan KOPERTIS hanyalah dalam rangka pengawasan agar Perguruan Tinggi Swasta dapat selalu berada dibawah koordinasi Pemerintah. Sehingga, tidak berarti 73

12 Rektor Universitas Swasta bagian dari hierarki Pemerintahan. Hakim menilai bahwa dalam melaksanakan tindakan administrasi hierarkinya terhadap Ketua Umum Yayasan Pendidikan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda Rektor Universitas Swasta bukan Priyayi/Badan/Pejabat TUN Penerbitan Surat Keputusan yang menjadi obyek sengketa tersebut, menurut Majelis Hakim Tergugat tidaklah dapat dianggap melaksanakan urusan pemerintahan. Sebab Tergugat sebagai Rektor, dalam pengangkatan dan pemberhentiannya ditentukan oleh Ketua Umum Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Akibatnya Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda tidak dapat dianggap sebagai bagian dari hierarki pemerintahan, dalam artian sebagai Badan atau Pejabat TUN. Pada Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, diatur bahwa Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila menangkap isi Pasal itu, maka menurut Majelis Hakim, urusan pendidikan merupakan urusan Pemerintah, dan ini yang menjadi sesat dikalangan sarjana hukum yang mengkaitkan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta menjadi Badan atau Pejabat TUN. Misalnya saja ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa yang termasuk Badan atau Pejabat TUN adalah keseluruhan kegiatan yang menjadi tugas dan dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN yang bukan kegiatan legislatif dan 74

13 yudikatif. 4 Masalahnya adalah Pemerintah atau Badan/Pejabat TUN dalam mensejahterahkan rakyat bukankah semua urusan Pemerintahan, terkecuali bidang ajudikatif dan legislasi. Apabila pendapat seperti itu diikuti nantinya semua badan hukum swasta akan menjadi Badan atau Pejabat TUN. Pikiran bahwa negara hukum yang menurut dikte hukum adalah juga negara kesejahteraan (welfare state) yang hakikatnya Pemerintah memiliki monopoli dalam mengatur setiap aktifitas penyelenggaraan Pemerintahan, tidak serta merta urusan pemerintahan yang dikelola swasta akan diklasifikasikan sebagai Badan atau Pejabat TUN. Ada sebuah teori yang dikemukakan oleh Indroharto yaitu teori melebur. Dalam teori tersebut dikatakan bahwa setiap perjanjian perdata yang dilakukan oleh Pemerintah, maka tindakan Pemerintah tersebut akan melebur ke dalam tindakan hukum perdata (misalnya tindakan hukum jual-beli yang telah dilakukan). Meleburnya dalam tindakan hukum perdata, karena yang menjadi poin pentingnya adalah tujuan akhir dari rangkaian tindakan-tindakan hukum tersebut. 5 Lahirnya teori melebur ini, menjadikan Pemerintah setara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam melakukan perjanjian, tidak ada yang istimewa di kedua pihak. Ini akan menjadi argumen dasar perbedaan publik dengan privat. Patokan bahwa suatu badan hukum merupakan Badan TUN karena melaksanakan urusan pemerintahan adalah salah. Tidak dapat dipungkiri pengertian 4 Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm Ibid, hlm

14 akan Badan atau Pejabat pada Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN menimbulkan pemahaman yang berbeda dikalangan ahli hukum. Bahkan, akan menjadi suatu cara untuk pembenaran dalam kasus yang ditangani dengan berpedoman bahwa badan hukum swasta yang melakukan urusan Pemerintahan akan menjadi Badan atau Pejabat TUN. Disamping itu, perdebatan mengenai urusan pendidikan yang dilaksanakan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dimasukkan sebagai Badan atau Pejabat TUN, disebabkan oleh adanya suatu pemahaman bahwa urusan pendidikan tersebut merupakan suatu pendelegasian dari Pemerintah. Sudah dijelaskan Penulis bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam melaksanakan pendidikan bukan pelimpahan wewenang dari Pemerintah, hanya memeroleh ijin dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan. 6 Pemerintah hanya melakukan sebatas pembentukan, pengawasan, dan memberikan pembiayaan. Harus dipisahkan pemahaman akan pendelegasian dengan proses pembentukan, pengawasan, dan memberikan pembiayaan, untuk tidak mencampur adukkan keduanya. Pemisahan ini penting, yang tentunya berdampak juga terhadap peraturan perundang-undangan yang akan dipakai bilamana terjadi suatu perselisihan di dalam Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tersebut. 6 Lihat kembali dalam Bab I Latar Belakang Masalah. 76

15 Itu sebabnya, ada pendapat bahwa Putusan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tunduk pada hukum perdata, terlebih lagi dengan kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial, maka yurisdiksi untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan majikan adalah di PHI, suatu Badan Peradilan khusus di lingkungan Peradilan umum di Indonesia. Hal ini merupakan pendapat Majelis Hakim yang mengadili dan memutus kasus yang kedua tersebut Rektor Universitas Swasta adalah Badan Hukum Perdata Menurut Majelis Hakim dalam Putusan tersebut, Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda tidaklah melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan bertindak sebagai badan hukum perdata. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Rektor menerbitkan objek sengketa tersebut adalah termasuk dalam ruang lingkup Hukum Perdata dan bukanlah dalam lingkup hukum TUN. Menurut Majelis Hakim, Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda baru dapat dianggap melaksanakan urusan pemerintahan bilamana telah mendapatkan pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN. Sementara, dalam proses pembuktian dalam persidangan, tidak ada yang menyebutkan bahwa Tergugat Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda dalam menjalankan tugasnya selaku Rektor dalam menerbitkan objek sengketa tersebut mendapat limpahan wewenang, baik itu yang bersifat atributif maupun delegasi dari Badan atau Pejabat TUN (Pemerintah). 77

16 3.8. SK Rektor Universitas Swasta bukan Beschikking Menurut hemat Majelis Hakim itu, objek sengketa berupa yaitu Surat Keputusan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda Nomor: 055/UN.17/KP/II/2011, tanggal 01 Pebruari 2011 perihal Pemberhentian Sementara sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda atas nama Alikuddin Saragih, SH., M.Hum, yang diterbitkan oleh Tergugat bukanlah KTUN (Beschikking), sehingga sengketa yang timbul dalam perkara juga tidak dapat digolongkan sebagai sengketa TUN. Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda tidak memenuhi persyaratan Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Tergugat bukanlah merupakan Badan atau Pejabat TUN disebabkan karena tidak melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hubungan hukum antara Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda dengan para Dekan/Dosen serta Pejabat struktural di lingkungan Universitas yang bersangkutan, dalam hal ini Penggugat bukanlah dalam arti hukum kepegawaian yang termasuk dalam ruang lingkup hukum publik melainkan termasuk dalam lingkup hukum perdata. 78

17 3.9. Lingkup Perdata Rektor Universitas Swasta Dosen Swasta Dengan mempedomani ketentuan dalam Pasal 56 Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial disebutkan bahwa: Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus yakni di tingkat pertama mengenai perselisihan hak, di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan, ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, serta di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, maka apabila dikaitkan dengan sejatinya tujuan paling hakiki dari keberadaan peraturan perundang-undangan adalah untuk menciptakan kepastian hukum, 7 UU No.2 Tahun tentang PHI tentunya sudah memberikan kepastian hukum. Artinya tidak ditumpangtindihkan sengketa hubungan indsutrial dengan sengketa PTUN. Menurut pendapat Majelis Hakim dalam kasus tersebut di atas, apabila, Penggugat merasa pemberhentian tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Penggugat dapat menggugat pada Pengadilan Hubungan Industrial. Itu menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa dalam rangka menjawab perumusan masalah penelitian dan penulisan skripsi ini, yaitu: bagaimanakah kompetensi absolut PTUN memutus obyek sengketa hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan 7 Titon Slamet Kurnia, S.H., M.H., Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2009, hlm

18 Tinggi Swasta maka Penulis berpendapat bahwa Kompetensi Absolut PTUN dalam memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta maka kompetensi absolut PTUN itu sebatas hanya untuk menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima. 80

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul: Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul: Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul: Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus Obyek Sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan

Lebih terperinci

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Lampiran Putusan: PUTUSAN NOMOR : 48/G/2009/PTUN.Smg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha

Lebih terperinci

Skripsi. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Skripsi. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus Obyek Sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DEFINISI UU PERATUN UU 51/2009 Psl. 1 angka 9. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gugatan terhadap pejabat atau badan Tata Usaha Negara dapat diajukan apabila terdapat sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul karena dirugikannya

Lebih terperinci

KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA H. Ujang Abdullah, SH., M.Si *

KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA H. Ujang Abdullah, SH., M.Si * KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA H. Ujang Abdullah, SH., M.Si * I. PENDAHULUAN Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dimulai dengan lahirnya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. senat dan lain sebagainya. SK tersebut ada yang bersifat penetapan/beschikking dan

BAB I PENDAHULUAN. senat dan lain sebagainya. SK tersebut ada yang bersifat penetapan/beschikking dan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dibawah Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) adalah sebuah lembaga atau badan hukum privat yang usahanya

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA A. Hasil Penelitian 1. Bentuk atau Struktur Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No.188.44/0135/KUM/2007 Bentuk atau struktur dari Surat Keputusan Gubernur Kalimantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebuah deklarasi bahwa negara ini berdiri dan berjalan berdasar pada ketentuan hukum. Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut sekaligus

Lebih terperinci

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, 95. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 18

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, 95. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 18 KAPABILITAS PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA EKO HIDAYAT Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Raden Intan Lampung Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung Email: eko_hidayat@yahoo.com Abstrak:

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KASUS

BAB IV ANALISIS KASUS BAB IV ANALISIS KASUS 4.1. KASUS POSISI Dalam memenuhi kebutuhan jaringan sambungan telepon pedesaan yang semakin meningkat, Departemen Komunikasi dan Informatika melalui Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Bambang Heriyanto, S.H., M.H. Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Disampaikan pada Rapat Kerja Kementerian

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....

Lebih terperinci

Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain SKRIPSI Diajukan Untuk Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen

Lebih terperinci

HUKUM KEPEGAWAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

HUKUM KEPEGAWAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL HUKUM KEPEGAWAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara Rombel 05 Semester Genap 2016-2017 Dosen Pengampu : Dr.

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Pada dasarnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengketa TUN terjadi karna adanya seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Pada dasarnya menurut ketentuan

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP SENGKETA TATA USAHA NEGARA TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI BNI 1946 AKIBAT SKANDAL PEMALSUAN LC FIKTIF

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP SENGKETA TATA USAHA NEGARA TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI BNI 1946 AKIBAT SKANDAL PEMALSUAN LC FIKTIF BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP SENGKETA TATA USAHA NEGARA TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI BNI 1946 AKIBAT SKANDAL PEMALSUAN LC FIKTIF A. ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

Lebih terperinci

Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara

Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Bagian Pertama : Gugatan Oleh Ayi Solehudin Pendahuluan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu pilar peradilan dari empat peradilan yang

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004

BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 A. Kedudukan dan Tanggung Jawab Hakim Pada pasal 12 ayat 1 undang-undang No 9 tahun 2004 disebutkan bahwa hakim pengadilan

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA Oleh : H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., MH. I. PENDAHULUAN Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen)

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara

Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara Di Belanda istilah Ketetapan atau Keputusan disebut dengan istilah Beschikking (Van Vollenhoven). Di Indonesia kemudian istilah Beschikking ini ada yang menterjemahkan

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai 14 BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA 3.1. Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai Pentingnya kegiatan pendaftaran tanah telah dijelaskan

Lebih terperinci

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT Para pihak : Penggugat Tergugat : CV. MUTIARA : Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.

Lebih terperinci

SILABUS. A. Identitas Mata Kuliah. 1. Nama Mata Kuliah : Perselisihan Hubungan Industrial. 2. Status Mata Kuliah : Wajib Konsentrasi

SILABUS. A. Identitas Mata Kuliah. 1. Nama Mata Kuliah : Perselisihan Hubungan Industrial. 2. Status Mata Kuliah : Wajib Konsentrasi SILABUS A. Identitas Mata Kuliah 1. Nama Mata Kuliah : Perselisihan Hubungan Industrial 2. Status Mata Kuliah : Wajib Konsentrasi 3. Kode Mata kuliah : 4. Jumlah SKS : 2 B. Deskripsi Mata Kuliah Perselisihan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman,

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

KOMISI PENGUJI PENGUJI III. Krishna Djaya Darumurti, SH., MH DIUJI PADA TANGGAL 29 JUNI Mengetahui. Dekan Fakultas Hukum

KOMISI PENGUJI PENGUJI III. Krishna Djaya Darumurti, SH., MH DIUJI PADA TANGGAL 29 JUNI Mengetahui. Dekan Fakultas Hukum KOMISI PENGUJI PENGUJI I PENGUJI II Titon Slamet Kurnia, S.H., M.H Jeferson Kameo., SH., LL.M., Ph.D PENGUJI III Krishna Djaya Darumurti, SH., MH DIUJI PADA TANGGAL 29 JUNI 2012 Mengetahui Dekan Fakultas

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim I. PEMOHON Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H. selanjutnya disebut

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI BY : ANNEKA SALDIAN MARDHIAH Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan I. PEMOHON 1. Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara, sebagai Pemohon I dalam

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN UPAYA HUKUM KEBERATAN TERHADAP PENETAPAN HASIL PILKADA DAN PILWAKADA

Lebih terperinci

SKRIPSI MUKTI ADHI RAHARJO NIM : PEMBIMBING. M. Haryanto, SH., M.Hum

SKRIPSI MUKTI ADHI RAHARJO NIM : PEMBIMBING. M. Haryanto, SH., M.Hum i PERTIMBANGAN HAKIM BERKAITAN DENGAN AJARAN PENYERTAAN DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Pengadilan TIPIKOR Nomor : 56/ Pid. Sus/ 2011/ PN. Tipikor. Smg., 57/ Pid.Sus/ 2011/

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 40/B/2012/PT.TUN-MDN

P U T U S A N Nomor : 40/B/2012/PT.TUN-MDN P U T U S A N Nomor : 40/B/2012/PT.TUN-MDN ------------------------------------------------------------------------------------- Publikasi putusan ini dimaksudkan sebagai informasi kepada publik, sedangkan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa P U T U S A N Nomor 744 K/Pdt.Sus/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus perselisihan hubungan industrial

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN JABATAN DAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

KEDUDUKAN JABATAN DAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA KEDUDUKAN JABATAN DAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA Bambang Yunarko Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya e-mail: bambangyunarko@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Tidak dapat kita pungkiri bahwa merek merupakan suatu aset yang sangat berharga dalam dunia perdagangan sehingga memegang peranan yang sangat penting. Oleh

Lebih terperinci

MENTERI TIDAK BERWENANG UNTUK MEMBERHENTIKAN PEJABAT FUNGSIONAL WIDYAISWARA UTAMA GOLONGAN IV/e DARI DAN DALAM JABATANNYA

MENTERI TIDAK BERWENANG UNTUK MEMBERHENTIKAN PEJABAT FUNGSIONAL WIDYAISWARA UTAMA GOLONGAN IV/e DARI DAN DALAM JABATANNYA MENTERI TIDAK BERWENANG UNTUK MEMBERHENTIKAN PEJABAT FUNGSIONAL WIDYAISWARA UTAMA GOLONGAN IV/e DARI DAN DALAM JABATANNYA 216/K/TUN/2010 KASUS POSISI 1. Bahwa Penggugat adalah pemangku Jabatan Fungsional

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 14/Pdt.G/2012/PTA. Smd. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 14/Pdt.G/2012/PTA. Smd. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 14/Pdt.G/2012/PTA. Smd. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Samarinda yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Veri Junaidi, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 18 Agustus 2014.

KUASA HUKUM Veri Junaidi, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 18 Agustus 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XII/2014 Keterwakilan Perempuan Dalam Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya I. PEMOHON 1. Khofifah Indar Parawansa,

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2. PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

SKRIPSI. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Universitas Kristen Satya Wacana. Matheus Wahyu Aribowo NIM:

SKRIPSI. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Universitas Kristen Satya Wacana. Matheus Wahyu Aribowo NIM: PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERKARA ANTARA DR. ENDI HARYONO, M.Si., DENGAN YKPP DAN REKTOR UPN VETERAN YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 114/PUU-XIII/2015 Daluarsa Pemutusan Hubungan Kerja I. PEMOHON 1. Muhammad Hafidz (Pemohon I); 2. Wahidin (Pemohon II); 3. Chairul Eillen Kurniawan (Pemohon III); 4.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XVI/2018 Kewajiban Pencatatan PKWT ke Intansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XVI/2018 Kewajiban Pencatatan PKWT ke Intansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XVI/2018 Kewajiban Pencatatan PKWT ke Intansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan I. PEMOHON Abdul Hakim, Romi Andriyan Hutagaol, Budi Oktariyan, Mardani,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

Mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan terhadap pengadilan. Menguatkan prinsip peradilan yang terbuka dan akuntabel

Mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan terhadap pengadilan. Menguatkan prinsip peradilan yang terbuka dan akuntabel Mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan terhadap pengadilan Menguatkan prinsip peradilan yang terbuka dan akuntabel Meningkatkan kualitas pelayanan informasi pengadilan Hak Masyarakat A t a s Informasi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 132/PMK.01/2012 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 132/PMK.01/2012 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 132/PMK.01/2012 TENTANG PEDOMAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh I. PEMOHON M.Komarudin dan Muhammad Hafidz, sebagai perwakilan dari Federasi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XVI/2018 Frasa Organisasi Advokat Bersifat Multitafsir

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XVI/2018 Frasa Organisasi Advokat Bersifat Multitafsir RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XVI/2018 Frasa Organisasi Advokat Bersifat Multitafsir I. PEMOHON Dr. Iur. (Cand) Bahrul Ilmi Yakup, S.H., M.H., CGL, selanjutnya disebut sebagai Pemohon I. H.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

SURAT KEPUTUSAN REKTOR INSTITUT TEKNOLOGI DEL No. 024/ITDel/Rek/SK/III/18. Tentang PEDOMAN KESESUAIAN BIDANG KEILMUAN DOSEN INSTITUT TEKNOLOGI DEL

SURAT KEPUTUSAN REKTOR INSTITUT TEKNOLOGI DEL No. 024/ITDel/Rek/SK/III/18. Tentang PEDOMAN KESESUAIAN BIDANG KEILMUAN DOSEN INSTITUT TEKNOLOGI DEL SURAT KEPUTUSAN REKTOR INSTITUT TEKNOLOGI DEL No. 024/ITDel/Rek/SK/III/18 Tentang PEDOMAN KESESUAIAN BIDANG KEILMUAN DOSEN INSTITUT TEKNOLOGI DEL REKTOR INSTITUT TEKNOLOGI DEL Menimbang : a. bahwa dosen

Lebih terperinci

PEMBATALAN SANKSI DISIPLIN PROFESI KEDOKTERAN OLEH PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PEMBATALAN SANKSI DISIPLIN PROFESI KEDOKTERAN OLEH PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PEMBATALAN SANKSI DISIPLIN PROFESI KEDOKTERAN OLEH PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Andryawan 1 1 Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara Jakarta Email: andryawan@fh.untar.ac.id ABSTRAK Dokter merupakan salah

Lebih terperinci

PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA A. DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XI/2013 Tentang Pemberhentian Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XI/2013 Tentang Pemberhentian Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XI/2013 Tentang Pemberhentian Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu I. PEMOHON Ramdansyah, S.S,, S.Sos, S.H, M.KM. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 28

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

I. PARA PIHAK A. Pemohon Saul Essarue Elokpere dan Alfius Tabuni, S.E. (Bakal Pasangan Calon)

I. PARA PIHAK A. Pemohon Saul Essarue Elokpere dan Alfius Tabuni, S.E. (Bakal Pasangan Calon) RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA 148/PHPU.D-XI/2013 Tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jayawijaya I. PARA PIHAK A. Pemohon Saul Essarue Elokpere dan Alfius

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

PUTUSAN NOMOR : 18/X/KIProv-LPG-PS-A/2016. KOMISI INFORMASI PROVINSI LAMPUNG

PUTUSAN NOMOR : 18/X/KIProv-LPG-PS-A/2016. KOMISI INFORMASI PROVINSI LAMPUNG SALINAN PUTUSAN NOMOR : 18/X/KIProv-LPG-PS-A/2016. KOMISI INFORMASI PROVINSI LAMPUNG 1. IDENTITAS [1.1] Komisi Informasi Provinsi Lampung yang menerima, memeriksa, dan memutus Sengketa Informasi Publik

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK A. KERANGKA TEORITIK PENYELESAIAN PERSELISIHAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 1. Perselisihan

Lebih terperinci

KOORDINASI KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) KEHUTANAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN

KOORDINASI KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) KEHUTANAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN KOORDINASI KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) KEHUTANAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Program

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Gambaran hasil penelitian dalam Bab mengenai Hasil Penelitian dan Analisis ini akan dimulai dari pemaparan hasil penelitian terhadap peraturan perundangundangan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pekerja/buruh dan Pengusaha Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja/buruh adalah Setiap orang yang bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Republik. Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Republik. Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah era baru di dalam perkembangan hukum dan peradilan di Indonesia ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Untuk Mendapatkan Status Kewarganegaraan Indonesia Bagi Anak Belum Berusia 18 Tahun Atau Belum Kawin Yang Lahir Dari Ibu Warga Negara

Lebih terperinci

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : SOLECHAN 1. A. PENDAHULUAN Sejak dahulu sampai sekarang

Lebih terperinci

SURAT KEPUTUSAN REKTOR INSTITUT TEKNOLOGI DEL No. 128/ITDel/Rek/SK/X/17 Tentang KODE ETIK PENGELOLA PENGADAAN INSTITUT TEKNOLOGI DEL

SURAT KEPUTUSAN REKTOR INSTITUT TEKNOLOGI DEL No. 128/ITDel/Rek/SK/X/17 Tentang KODE ETIK PENGELOLA PENGADAAN INSTITUT TEKNOLOGI DEL SURAT KEPUTUSAN REKTOR INSTITUT TEKNOLOGI DEL No. 128/ITDel/Rek/SK/X/17 Tentang KODE ETIK PENGELOLA PENGADAAN INSTITUT TEKNOLOGI DEL REKTOR INSTITUT TEKNOLOGI DEL Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2

TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2 TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2 ABSTRAK Secara konstitusional UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi, air, ruang angkasa serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diundangkan pada tanggal 29 Desember

Lebih terperinci

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Oleh:

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Oleh: ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN MASALAH SENGKETA TATA USAHA NEGARA TENTANG IZIN PRINSIP PENANAMAN MODAL (Studi Kasus Putusan No. 080/G/2015/Ptun.Smg) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

P U T U S A N No. 163 K/TUN/2005 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

P U T U S A N No. 163 K/TUN/2005 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G P U T U S A N No. 163 K/TUN/2005 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara Tata Usaha Negara dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman, S.E., MBA.,

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999). RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIII/2015 Kepastian Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Kewajiban Pelaku Usaha Atas Informasi Badan Hukum Secara Lengkap I. PEMOHON 1. Capt. Samuel Bonaparte,

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 53/B/2013/PT.TUN-MDN

P U T U S A N Nomor : 53/B/2013/PT.TUN-MDN P U T U S A N Nomor : 53/B/2013/PT.TUN-MDN ---------------------------------------------------------------------------------- Publikasi putusan ini dimaksudkan sebagai informasi kepada publik, sedangkan

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999). RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIII/2015 Kepastian Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Kewajiban Pelaku Usaha Atas Informasi Badan Hukum Secara Lengkap I. PEMOHON 1. Capt. Samuel

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 93/PUU-XIV/2016 Kepengurusan Partai Politik Yang Berselisih Harus Didaftarkan dan Ditetapkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Meskipun Kepengurusan Tersebut Telah

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 33/B/2012/PT.TUN-MDN

P U T U S A N Nomor : 33/B/2012/PT.TUN-MDN P U T U S A N Nomor : 33/B/2012/PT.TUN-MDN ------------------------------------------------------------------------------- Publikasi putusan ini dimaksudkan sebagai informasi kepada publik, sedangkan turunan

Lebih terperinci

Sengketa Kewenangan dalam Administrasi Pemerintahan: Alternatif Penyelesaian Sengketa yang Terabaikan oleh A. Haryo Yudanto, SH, MH, BKP

Sengketa Kewenangan dalam Administrasi Pemerintahan: Alternatif Penyelesaian Sengketa yang Terabaikan oleh A. Haryo Yudanto, SH, MH, BKP Sengketa Kewenangan dalam Administrasi Pemerintahan: Alternatif Penyelesaian Sengketa yang Terabaikan oleh A. Haryo Yudanto, SH, MH, BKP Artikel JDIH - 2016 Sengketa Kewenangan dalam UU Administrasi Pemerintahan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 158/B/2012/PT.TUN-MDN

P U T U S A N Nomor : 158/B/2012/PT.TUN-MDN P U T U S A N Nomor : 158/B/2012/PT.TUN-MDN ------------------------------------------------------------------------------------ Publikasi putusan ini dimaksudkan sebagai informasi kepada publik, sedangkan

Lebih terperinci

Nomor : 201/91005.AU/VII/2017 Tomohon, 20 Juli 2017 Lampiran : 1 (Satu) Berkas Perihal : PEMBERITAHUAN

Nomor : 201/91005.AU/VII/2017 Tomohon, 20 Juli 2017 Lampiran : 1 (Satu) Berkas Perihal : PEMBERITAHUAN Nomor : 201/91005.AU/VII/2017 Tomohon, 20 Juli 2017 Lampiran : 1 (Satu) Berkas Perihal : PEMBERITAHUAN Kepada Yth, Seluruh Jemaat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Di tempat, Dengan hormat, Melalui

Lebih terperinci

BERACARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA.

BERACARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA. BERACARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA www.forpiko.com Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Senin, 6 April 2015 tidak menerima gugatan dua gembong narkoba sindikat Bali Nine asal Australia,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P I. PEMOHON 1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), diwakili oleh Alvon Kurnia Palma,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan I. PEMOHON 1. Pemohon I, Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara dalam hal ini diwakili oleh

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Fathul Hadie Ustman berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 20 Oktober 2014.

KUASA HUKUM Fathul Hadie Ustman berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 20 Oktober 2014. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XIII/2015 Syarat Pengunduran Diri Bagi Calon Anggota Legislatif dan Calon Kepala Daerah Yang Berasal Dari Pegawai Negeri Sipil I. PEMOHON Drs. Fatahillah, S.H.,

Lebih terperinci

PUTUSAN Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama

Lebih terperinci