BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS"

Transkripsi

1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Gambaran hasil penelitian dalam Bab mengenai Hasil Penelitian dan Analisis ini akan dimulai dari pemaparan hasil penelitian terhadap peraturan perundangundangan sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab I tentang Satuan Amatan /Penelitian. 44 Pada bagian pertama akan dikemukakan gambaran hasil penelitian terhadap UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Uraian hasil penelitian tentang UU No. 13 tahun 2003 menitik beratkan pada kaedah-kaedah yang berkaitan dengan PKWT dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagai suatu jenis perjanjian sui generis (hybrid). Disamping peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah dinyatakan dalam satuan amatan penelitian, penelitian ini, bagian kedua juga mengamati antara lain satu putusan pengadilan, dalam hal ini yaitu Putusan Pengadilan Hubungan Industrial, No. 153 K/PDT.SUS/2010 yang memutus sengketa industrial antara Serikat Buruh Nestle Panjang melawan PT. Nestle Indonesia. Penelitian terhadap putusan pengadilan No. 153 K/PDT.SUS/2010 ini, dilakukan dalam rangka menemukan asas-asas dan kaedah-kaedah hukum yang mengatur mengenai PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, sebagai suatu jenis perjanjian sui generis (hybrid). 44 Lihat Sub Judul 1.5 tentang Metode Penelitian dalam Bab I karya tulis ini. 42

2 Perlu Penulis kemukakan di sini bahwa tidak semua isi dari putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 itu akan Penulis gambarkan di bawah judul Bab III tentang Hasil Penelitian tersebut. Hanya hal-hal yang Penulis anggap relevan dalam rangka untuk mencapai tujuan penelitian sajalah yang akan penulis gambarkan di sini. Sedangkan gambaran lengkap tentang putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 tersebut Penulis sertakan dalam lampiran 45 skripsi ini Hakikat PKWT dalam UU Ketenagakerjaan Kaedah di mana hakikat dari Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain memang tidak dapat ditemukan secara tersirat dalam Tinjauan Kepustakaan sebagaimana telah Penulis kemukakan dalam studi pustaka dalam Bab terdahulu. Oleh sebab itu, dalam Bab III mengenai hasil penelitian ini, unsur-unsur dari Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain itu akan digambarkan terlebih dahulu. Pasal 50 UU Ketenagakerjaan mendefinisikan elemen pertama dalam judul skripsi Penulis ini. Hubungan Kerja terjadi karena adanya Perjanjian Kerja antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh. Sementara itu, Pasal 1 UU Ketenagakerjaan Ayat (15) juga memberi pemahaman tentang hakikat hubungan kerja, yaitu, hubungan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 45 Lihat lampiran skripsi ini. 43

3 Sementara itu, hakikat Perjanjian Kerja juga ada dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat (14) UU Ketenagakerjaan, yaitu, perjanjian antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha atau Pemberi Kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Bentuk dari Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud di atas bisa tertulis atau bisa juga lisan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 UU Ketenagakerjaan. Sedangkan jenis Perjanjian Kerja diatur dalam Pasal 56 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yaitu Perjanjian Kerja dibuat untuk Waktu Tertentu. Dalam Ayar (2) ditegaskan bahwa Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu itu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Bentuk dari Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu tersebut harus dalam bentuk tertulis. Hal ini memerlihatkan bahwa formalitas sangat diutamakan dalam Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu itu Pihak-Pihak dalam PKWT Memerhatikan hakikat Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu sebagaimana dikemukakan di atas, hasil penelitian Penulis membuktikan bahwa pihak-pihak dalam Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu adalah pihak-pihak yang sama dalam setiap Perjanjian Kerja pada umumnya, yaitu Pekerja/Buruh dengan Pengusaha atau Pemberi Kerja. 44

4 Dimulainya PKWT Sedangkan mulai kapan dimulainya Perjanjian Kerja untuk Wajtu Tertentu, dalam Penelitian Penulis menemukan bahwa waktu dimulainya Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu adalah sama dengan waktu dimulainya Perjanjian Kerja pada umumnya, yaitu sejak terjadinya atau dicapainya kata sepakat antara pihak-pihak yang membuat Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu yang memunyai kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum untuk melakukan pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengam ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku Formalitas dalam PKWT Mengenai formalitas dalam Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu, Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja 45

5 sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi Pekerja/Buruh yang bersangkutan. Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), sekurang kurangnya memuat keterangan: nama dan alamat Pekerja/Buruh; tanggal mulai bekerja; jenis pekerjaan; dan besarnya upah Sifat dan Jenis PKWT Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; pekerjaan yang bersifat musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 46

6 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan Pembaruan Perjanjian Kerja Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentuyang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2), Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Dalam masa percobaan kerja yang demikian itu, pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku Berakhirnya PKWT Perjanjian kerja berakhir apabila: Pekerja meninggal dunia; berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau adanya keadaan atau kejadian tertentu yang 47

7 dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja Penyelesaian Perselisihan PKWT Dalam suatu analisis kontraktual, yang dimulai dengan hakikat perjanjian akan berakhir dengan penyelesaian sengketa. Dalam penelitian, Penulis menemukan bahwa penyelesaian sengketa PKWT adalah melalui dua jalur. Jalur litigasi yaitu melalui PHI, berdasarkan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan juga non litigasi atau penyelesaian di luar pengadilan, misalnya melalui mediasi Pengalihan Perusahaan dan Hak-Hak Pekerja PKWT Perjanjian Kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan Pekerja/Buruh. 48

8 Dalam hal Pekerja/Buruh meninggal dunia, ahli waris Pekerja/Buruh berhak mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksudkan di atas maka, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja/Buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain Setelah uraian temuan atau hasil penelitian Penulis tentang Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu, kini tiba giliran Penulis untuk menggambarkan hasil penelitian Penulis tentang unsur yang kedua dari judul skripsi Penulis yaitu Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain Hakikat Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Mengenai kaedah yang mengatur mengenai hakikat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain juga Penulis temukan dalam UU Ketenagakerjaan yang akan dikemukakan di bawah ini: 49

9 Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis. Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam kaedah di atas harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas harus berbentuk badan hukum. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi Pekerja/Buruh pada perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syaratsyarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pihak-Pihak dalam Perjanjian Penyerahan Pekerjaan Memerhatikan hakikat Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain sebagaimana dikemukakan di atas, maka menurut Penulis, pihakpihak dalam Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan melalui Perjanjian 50

10 Pemborongan Pekerjaan adalah: (1) pihak Pekerja; (2) pihak Pengusaha atau Pemberi Kerja. Hasil penelitian Penulis tentang pihak-pihak dalam Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain di atas memerlihatkan bahwa Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain tersebut hanya melibatkan Perkerja atau Buruh dengan Pengusaha atau Pemberi Kerja. Sedangkan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan yang menjadi satuan amatan penelitian Penulis mencatat keinginan Pembuat undang-undang Ketenagakerjaan bahwa pihak yang menerima Penyerahan Sebagian Pekerjaan dari Perusahaan yang memberikan pekerjaan adalah harus berbentuk badan hukum. Sehingga, jelas terlihat dari hasil penelitian bahwa pihak perusahaan yang menerima pekerjaan dari perusahaan pemberi kerja adalah selalu berkedudukan sebagai Pekerja bukan Buruh. Buruh adalah istilah untuk pihak manusia Saat Mulai Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Sama seperti saat mulainya Perjanjian Pekerjaan untuk Waktu Tertentu, saat dimulainya Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, baik melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan maupun Perjanjian Penyediaan jasa Pekerja/Buruh dimulai saat terjadinya atau dicapainya kata sepakat antara pihakpihak yang membuat Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang mempunyai kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum untuk melakukan perbuatan hukum untuk melakukan pekerjaan yang diperjanjikan 51

11 tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku Formalitas dalam Perjanjian Penyerahan Pekerjaan Sama seperti formalitas yang dituntut dalam PKWT, formalitas dalam Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan itu adalah juga tertulis. Hal ini diatur dalam Pasal 65 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan Sifat-Sifat dan Jenis Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Sama seperti formalitas yang dituntut untuk PKWT, sifat-sifat dalam Perjanjian Penyerahan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan maupun Perjanjian Penyediaan jasa Pekerja/Buruh adalah untuk melaksanakan pekerjaan yang selesai dalam waktu tertentu. Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan baik melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan maupun Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap Pembaruan Perjanjian Penyerahan Pekerjaan Sama seperti PKWT, dimana perjanjian itu dapat diperpanjang atau diperbaharui, Perjanjian Penyerahan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, baik melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan maupun Perjanjian Penyediaan Jasa 52

12 Pekerja/Buruh dapat diadakan untuk waktu yang sama dengan waktu yang telah ditentukan untuk PKWT Berakhirnya Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Mengenai berakhirnya Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, baik yang dilakukan melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan maupun melalui Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh pada dasarnya sama dengan kaedah yang berlaku dalam PKWT Penyelesaian Perselisihan dalam Penyerahan Pekerjaan Memerhatikan berbagai uraian di atas, Penulis berpendapat bahwa penyelesaian sengketa yang timbul dari Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, baik melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan maupun Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh adalah pada prinsipnya sesuai dengan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Penyedia Jasa Berbadan Hukum Penyedia jasa Pekerja/Buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2) huruf (a), huruf (b), dan huruf (d) serta Ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan 53

13 kerja antara Pekerja/Buruh dan perusahaan penyedia jasa Pekerja/Buruh beralih menjadi hubungan kerja antara Pekerja/Buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Hubungan kerja berdasarkan PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain adalah dua konsep yang berbeda. Konsep yang pertama yaitu PKWT dan konsep yang kedua yaitu Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Bagan 2. Pola Hubungan Hukum PKWT Perusahaan/Pemberi Kerja PKWT Pekerja Bagan 3. Pola Hubungan Hukum antara Pemberi Kerja dan Perusahaan Pemakai Jasa Perusahaan / pemberi kerja yang menyerahkan sebagian pekerjaan Perusahaan yang menerima penyerahan sebagian pekerjaan 54

14 Bagan 4. Pola Hubungan Hukum Pasal 64 UU Ketenagakerjaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Tertulis Namun demikian, judul Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain adalah dua konsep yang menjadi satu kesatuan (Hybrid). Pola hubungan hukum tersebut dapat dilihat dalam Bagan 5. 55

15 Bagan 5. Pola Hubungan Hukum Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Perusahaan / Pemberi Kerja sebagian pekerjaan Perjanjian pemborongan pekerjaan Perusahaan yang menerima pernyerahan sebagian pekerjaan (Pekerja) PKWT Memang tidak ada perjanjian kerja waktu tertentu tetapi berdasarkan UU perjanjian kerja waktu tertentu (Pasal 65 Ayat (6) & (7)) Buruh yang menerima pekerjaan Buruh pada Pekerja/ perusahaan penerima penyerahan sebagian pekerjaan Bagan 6. Pola Hubungan Hukum Penyerahan Pekerjaan kepada Perusahaan yang Tidak Berbadan Hukum. Perusahaan / Pemberi Kerja yang menyerahkan sebagian pekerjaan Perusahaan yang menerima penyerahan sebagian pekerjaan tidak berbadan hukum tidak memberikan pekerjaan Status hubungan kerja otomatis Buruh PKWT 56

16 Menurut pendapat Penulis, Bagan 5 di atas memerlihatkan bahwa Hubungan Kerja berdasarkan PKWT dan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain yang tidak berbadan hukum menyebabkan lahirnya perjanjian kerja waktu tertentu dan bahkan dapat menyebabkan PKWTT secara otomatis karena UU Jenis Perjanjian Kerja Sui Generis (Hybrid) Putusan No. 153K/PDT.SUS/2010 ini menjadi satuan amatan dalam penelitian ini mengingat menurut pendapat Penulis, Putusan tersebut dapat menggambarkan adanya suatu pola hubungan hukum berjenis Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Ada dua jenis perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu (Pasal 56 UU Ketenagakerjaan). Namun jenis hubungan kerja seperti yang terdapat atau diatur UU tersebut adalah jenis perjanjian kerja yang langsung antara pihak Pemberi Kerja/Pengusaha dengan Pekerja atau Buruh. Penulis berpendapat bahwa masih ada jenis perjanjian kerja lainnya yaitu perjanjian kerja penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang dibedakan lagi ke dalam jenis perjanjian pemborongan jenis pekerjaan dan jenis penyediaan jasa Pekerja/Buruh. Penelitian dan Penulisan ini memfokuskan diri dalam mengkaji PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain sebagai suatu jenis 57

17 perjanjian kerja yang ada dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi tidak dinyatakan atau diatur secara khusus atau berdiri sendiri. Menurut pendapat Penulis, setelah melalui suatu analisa hasil penelitian sebagaimana tergambarkan di bawah ini, jenis perjanjian kerja PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain itu adalah gabungan (hybrid) antara unsur-unsur dalam jenis perjanjian kerja menurut Pasal 56 dengan jenis perjanjian kerja sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Perjanjian PKWT dan penyerahan sebagian pekerjanan kepada perusahaan lain, tetapi masih dalam perusahaan yang sama walaupun jenis, nama atau pekerjaan pada perusahaan yang berbeda dan diatur dalam kesepakatan kerja. Ada soal mendasar sehubungan dengan jenis perjanjian kerja Pasal 64 UU Ketenagakerjaan sebagaimana dikemukakan di atas. Pertama, bagaimana kedudukan perusahaan lain yang menerima pekerjaan melalui jenis perjanjian pemborongan pekerjaan dari perusahaan yang memberikan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis tersebut; apakah perusahaan penerima sebagian pekerjaan dari perusahaan lain tersebut berkedudukan sama dengan Pekerja/Buruh? Pasal 61 Ayat (2), Ayat (3) dan lebih tegas lagi, Pasal 65 Ayat (1) jo (3) harus berbentuk badan hukum. Jenis perjanjian dalam Pasal 64 tersebut; khusus perjanjian yang pertama dalam Pasal 64 adalah bukan perjanjian kerja. Mengapa, sebab setiap perjanjian kerja harus melibatkan dua pihak utama; Pengusaha/Pemberi Kerja dan Pekerja atau Buruh. 58

18 3.5. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan itu adalah PKWT Namun demikian perjanjian pemborongan pekerjaan dalam rangka suatu perusahaan lain menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan yang memberikan pekerjaan tersebut adalah suatu perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT). Apabila Penulis menganalisis hal itu lebih jauh, maka perjanjian (thesis setence) Penulis sebagaimana telah dikemukakan di atas, didukung oleh beberapa indikator atau ciri-ciri dari suatu perjanjian kerja. Pertama, alasan dibuatnya perjanjian pemborongan pekerjaan dalam rangka menerima penyerahan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi kerja adalah karena tuntutan undang-undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan. Sedangkan ketenagakerjaan segala hal yang berhubungan dengan tenagakerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja (Pasal 1 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan). Sementara itu, yang dimaksud dengan Tenaga Kerja adalah setiap orang (dus manusia maupun badan hukum) yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Menurut pendapat Penulis, meskipun perusahaan yang mengikatkan diri dalam perjanjian pemborongan pekerjaan tersebut bukan Buruh, sebab merupakan badan hukum, tetapi dia adalah Pekerja, sebab perusahaan itu menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan kemudian melakukan perjanjian kerja dengan Pekerja atau Buruh. 59

19 Kedua, perjanjian pemborongan pekerjaan yang berlangsung antara perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan yang memberikan pekerjaan itu dibuat untuk waktu tertentu dan secara tertulis. Hal ini jelas menjustifikasi atau membenarkan thesis sentence Penulis bahwa hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain adalah suatu perjanjian tersendiri, jenis perjanjian kerja yang tidak secara tegas dinyatakan dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi ada (tersirat) dalam Undang-Undang tesebut. Terbukti dengan adanya unsur (1) dibuat untuk waktu tertentu; (2) secara tertulis; (3) dalam konteks ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud oleh UU Ketenagakerjaan. Ketiga, perjanjian pemborongan pekerjaan yang berlangsung antara perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan yang memberikan pekerjaan itu dibuat dengan rujukan penuh kepada, ketentuan yang mengatur tentang perjanjian kerja untuk waktu tertentu senbagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat (1) Huruf (a), (b), (c), (d), Ayat (2), (3), (4), (5), (6), (7), dan (8). Selanjutnya yang keempat, perjanjian pemborongan pekerjaan yang berlangsung antara perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan yang memberikan pekerjaan itu dibuat dengan tunduk kepada kaedah dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan. Kelima, bukti yang lain yang juga memerlihatkan kebenaran thesis sentence Penulis bahwa hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain itu adalah suatu jenis 60

20 perjanjian kerja yang berdiri sendiri dan dikenal secara tersirat tetapi harus digali dalam UU Ketenagakerjaan adalah, disamping hal-hal yang telah dikemukakan di atas, secara khusus Penulis hendak mengemukakan pula bahwa berdasarkan Pasal 65 Ayat (2) Huruf (b), dipersyaratkan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis tersebut harus memenuhi syarat-syarat antara lain, dilakukan dengan perintah langsung dari perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan tersebut. Hal ini semakin membuktikan lagi bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat dalam rangka menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan lain tersebut adalah sesungguhnya merupakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang berlangsung antara perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan dengan perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan terseut melalui perjanjian pemborongan pekerjaan. UU Ketenagakerjaan mengisyaratkan suatu unsur esensial suatu hubungan kerja; yaitu adanya perintah. (Pasal 1 Ayat (15)), disamping adanya pekerjaan dan upah. Sedangkan pemborongan pekerjaan hanya bersifat sementara atau dikatakan hanya dalam waktu tertentu yang didasarkan pada pekerjaan tersebut atau yang memberikan pekerjaan itu, ketika pekerjaan itu selesai maka berakhir pula pekerjaannya. Soal mendasar yang kedua sehubungan dengan jenis perjanjian kerja Pasal 64 UU Ketenagakerjaan sebagaimana dikemukakan di atas adalah, bagaimana kedudukan perusahaan lain yang menerima pekerjaan melalui jenis perjanjian 61

21 penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang juga harus dibuat secara tertulis itu; apakah perusahaan penerima sebagian pekerjaan dari perusahaan lain tersebut berkedudukan sama dengan Pekerja/Buruh seperti dalam perjanjian pemborongan di atas? Untuk menjawab persoalan kedua seperti telah dikemukakan di atas tersebut, maka Pasal 66 UU Ketenagakerjaan dapat menyediakan jawaban atas pertanyaan tersebut. Berbeda dengan kedudukan atau status perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan, sebagaiman telah dikemukakan di atas adalah sebagai Pekerja PKWT mengingat antara lain ada unsur perintah, maka status atau kedudukan perusahaan yang menerima penyerahan sebagian pekerjaan dari perusahaan lain melalui perjanjian keagenan (penyedia jasa Pekerja/Buruh) yang juga dibuat secara tertulis, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis (Pasal 64 UU No. 13 tahun 2003), relatif lebih sejajar atau koordinatif, dibandingkan dengan sub ordinasif melalui pemborongan pekerjaan. Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagai suatu jenis perjanjian kerja yang sebetulnya ada tertulis dalam UU Ketenagakerjaan namun untuk mengidentifikasi hal itu dibutuhkan suatu penggalian yang mendalam sebagaimana telah Penulis lakukan dan gambarkan hasilnya di atas lebih cocok dipergunakan untuk memahami hakikat dari perjanjian pemborongan kerja antara perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan yang menerima penyerahan sebagian pekerjaan melalui 62

22 perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 64 jo Pasal 65 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hubungan kerja sebagaiman telah dikemukakan di atas tersebut berbeda dengan jenis hubungan kerja PKWT saja, atau jenis hubungan kerja outsourcing saja sebagaimana telah banyak dibahas oleh berbagai Penulis. Hubungan kerja sui generis (hybrid) sebagaiman telah Penulis kemukakan di atas adalah suatu hubungan kerja yang baru yang pernah diungkap oleh suatu penelitian ilmiah, dan hal itulah yang dapat Penulis katakan sebagai temuan yang asli dari penelitian dan karya tulis kesarjanaan Penulis ini Penyelesaian Hubungan Industrial Sehubungan dengan penyelesaian sengketa, misalnya timbul perselisihan antara perusahaan penerima sebagian pekerjaan dari perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan dengan perusahaan yang menerima pekerjaan, maka menurut pendapat Penulis, forum untuk menyelesaikan sengketa, sepanjang menyangkut isi perjanjian pemborongan pekerjaan sebagai hubungan hukum antara perusahaan yang menyerahkan pekerjaan adalah melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang diatur dalam UU No. 2 tahun Arbitrase Hubungan Industrial Meskipun demikian, Penulis berpendapat bahwa sebaiknya dalam hubungan hukum yang terjadi antara perusahaan penerima sebagian pekerjaan diselesaikan 63

23 konsensuilsecara tertulis dahulu oleh kedua belah pihak atau oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini, penyelesaian sengketa secara konsensuil tersebut dapat menempuh Arbitrase Hubungan Industrial. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. 46 Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final Hasil Penelitian Putusan No. 153 Seperti telah dikemukakan di depan, berikut ini Penulis akan memaparkan Hasil Penelitian terhadap putusan pengadilan PHI No. 153 yang melibatkan Serikat Buruh Nestle Panjang versus PT. Nestle Indonesia. Yang berselisih karena tidak 46 Pasal 1 Ayat (15) UU No. 2 tahun Pasal 1 Ayat (16) UU No. 2 tahun

24 tercapaimya kesepakatan antara Serikat Buruh Nestle Panjang versus PT. Nestle Indonesia dan semakin berlarut-larutnya penyelesaian perundingan PKB Pihak-Pihak dalam Hubungan Industrial No. 153 Putusan MA No. 153 K/PDT.SUS/2010 itu melibatkan pihak pemohon kasasi dahulu Tergugat. Serikat Buruh Nestle Panjang tersebut juga mewakili pekerja. Sedangkan di sisi Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Pengusaha adalah PT Nestle Indonesia. Menurut pendapat Penulis, pihak Pekerja yang diwakili oleh serikat Buruh Nestle Panjang dalam perkara No. 153 K/PDT.SUS/2010 itu, juga termasuk di dalamnya adalah pekerja yang terikat dalam PKWT, dan pekerja dalam perikatan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Itulah sebabnya Penulis memandang bahwa kasus itu relevan untuk diamati, berikut ini gambaran hasil penelitian atas Putusan tersebut Dalil-Dalil dalam Persidangan Penggugat mendalilkan bahwa sejak 01 Februari 2008 hingga 24 April 2008, Penggugat dan Tergugat melakukan perundingan perubahan atas Perjanjian Kerja Bersama (PKB) periode 01 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2009 tetapi hingga berakhirnya perundingan PKB pada 24 April 2008 tidak tercapai kata sepakat antara Penggugat dan Tergugat. Untuk mendukung dalil Penggugat tersebut, 65

25 Penggugat melampirkan Risalah Perundingan PKB tertanggal 24 April 2008 antara Penggugat dan Tergugat sebagai Bukti. Menurut dalil Penggugat tidak tercapainya kata sepakat antara Penggugat dan Tergugat karena Tergugat menuntut agar dalam rancangan PKB dicantumkan beberapa hal padahal hal-hal tersebut tidak perlu untuk dicantumkan dalam rancangan PKB 2008 karena merupakan peraturan normatif yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. UU No. 21 tahun 2000 jelas dan tegas telah mengatur kebebasan pekerja untuk berserikat, khusus mengenai pihak soal yang berkaitan dengan masalah penelitian ini, Penggugat mendalilkan bahwa outsourcing juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun Mengenai upah, struktur dan skala upah juga telah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep-49/Men/IV/2004, tanggal 08 April 2004 Kepmen No. Kep-49/Men/IV/2004. Penggugat menjadikan Kepmen No. Kep-49/Men/IV/2004 sebagai dasar kebijakan dalam penentuan upah dan skala upah di perusahaannya. Menyangkut hak pekerja atas istirahat UU No. 13 Tahun 2003 juga juga, telah mengatur mengenai hal ini. Perihal pembayaran dalam hal terjadi PHK, pengunduran diri dan pensiun dini padahal juga telah diatur dalam UU No. 13 Tahun Khusus mengenai PKB, Penggugat mendalilkan bahwa PKB cukuplah memuat/hal yang belum/tidak diatur dalam ketentuan perundang-undangan, mengatur lebih baik dari pada ketentuan perundang-undangan. 66

26 Sebab-Sebab Menuju Kesepakatan Berdasarkan apa yang terjadi selama perundingan perubahan PKB , serta pernyataan-pernyataan Tergugat yang dikutip oleh berbagai surat kabar harian terbukti bahwa tercapainya kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat sebenarnya dapat dilakukan apabila Tergugat tidak menolak besaran kenaikan upah dan tunjangan transportasi yang telah ditawarkan oleh Penggugat kepada seluruh pekerjanya ; dan Tergugat tidak menuntut bahwa kebijakan Penggugat dalam menentukan besaran upah dan tunjangan-tunjangan kepada seluruh pekerjanya harus selalu didasarkan pada kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat. Dalam perundingan PKB Penggugat telah menyetujui untuk menaikkan upah tahun 2008 sebesar 11%, tetapi Tergugat meminta kenaikan upah hingga 18%. Perubahan tunjangan transportasi sejak Juni 2008 sebesar 22%, tetapi Tergugat menuntut kenaikan tunjangan sebesar 33%. Penulis berasumsi bahwa hal ini tentu berlaku untuk semua Pekerja, baik PKWTT maupun PKWT. Persoalan yang patut dianalisis adalah apa dasar pengusaha (Penggugat) menaikkan hak-hak pekerjanya, termasuk Pekerja dalam hubungan hukum PKWT dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain? Menurut pendapat Penulis, memerhatikan Putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 tersebut, dasar perhubungan hukum tersebut adalah hukum, dalam hal ini, lebih khusus adalah asas itikad baik. Dus, meskipun tidak ada kewajiban untuk menaikkan hak, namun 67

27 pengusaha menaikan upah atas dasar itikad baik. Hal ini sejalan dengan kaedah yang mensubkan bahwa setiap perjanjian, perjanjian jelas didasarkan atas itikad baik. Walaupun Pasal 92 Ayat (2) UU No. 13 tahun 2003 tidak mewajibkan pengusaha untuk melakukan peninjauan upah secara berkala, namun keputusan Penggugat menaikkan upah dan tunjangan transportasi tahun 2008 tersebut telah sesuai dengan amanat dalam Pasal 92 Ayat (2) UU No. 13 tahun Sebab selanjutnya adalah Tergugat tidak menghargai iktikad baik Penggugat yang telah memberikan kenaikan upah dan tunjangan transportasi. Tatkala di berbagai daerah banyak pengusaha yang tidak mampu memberikan kenaikan upah bahkan semakin bertambah pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerjanya dikarenakan kesulitan ekonomi akibat terjadinya krisis ekonomi dunia. Sebab lain adalah dalam setiap perundingan PKB dan melalui inter office memo kepada seluruh Pekerja 48, Penggugat berulangkali menyampaikan dasar Penggugat tidak dapat menerima tuntutan Tergugat sebab perusahaan di tempat mana Tergugat bekerja yang hanya memberikan kontribusi kurang dari 10% dari seluruh bisnis Penggugat. Dengan demikian, maka peranan pabrik Penggugat di Lampung sangatlah kecil dilihat dari keseluruhan bisnis Penggugat yang selain di Panjang juga ada di Cikupa Tangerang, Gempol Pasuruan dan Kejayan Jawa Timur. Namun demikian tidak dapat dibantah bahwa upah yang diterima para pekerja 48 Penulis berasumsi bahwa konsep seluruh Pekerja dalam inter office memo tersebut mencakup juga Pekerja dalam PKWT yang langsung memunyai hubungan hukum dengan Penggugat maupun Pekerja PKWT dan PKWTT yang punya hubungan hukum dengan perusahaan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. 68

28 Penggugat di pabrik Penggugat di Lampung termasuk yang terbaik di Lampung sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Apindo Lampung dalam surat kabar harian "Lampung Post" halaman 13 tertanggal 10 November Kemana Menuntut Hak? Pekerja yang sudah barang tentu meliputi Pekerja berdasarkan PKWT maupun PKWTT, baik yang langsung direkrut oleh PT. Nestle maupun yang direkrut oleh Perusahaan yang menerima penyerahan sebagian pekerjaan dari PT. Nestle Indonesia, berdasarkan Pasal 5 UU No. 2/2004, baik itu perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan dari PT. Nestle Panjang melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan melalui perjanjian keagenan (perjanjian penyediaan jasa Pekerja/Buruh) yang dibuat secara tertulis berhak, berdasarkan UU, bukan karena Perjanjian, menuntut hak yang lahir dari hubungan kerja dengan pemberi kerja, setelah menerima Anjuran, ke Pengadilan Hubungan Industrial. Meskipun, tidak ada larangan melakukan unjuk rasa sebagai bentuk perjuangan terhadap kesejahteraan Pekerja. Dalam Putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 upaya penyelesaian melalui Pengadilan justru diambil oleh pihak Penggugat (PT. Nestle) karena tidak tercapainya kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat dan semakin berlarut-larutnya penyelesaian perundingan PKB. Melalui surat tertanggal 05 Mei 2008, No. 172/Panjang-HRD/KU/08, perihal penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi, Penggugat mencatatkan Perselisihan Hubungan Industrial tentang 69

29 kepentingan ke Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Kota Bandar Lampung. Setelah mediasi oleh mediator Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Kota Bandar Lampung gagal mencapai kesepakatan antara Tergugat dan Penggugat langkah selanjutnya adalah melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat". UU No. 2 Tahun 2004, dalam Pasal 1 angka 3 mendefinisikan "Perselisihan kepentingan sebagai perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama". Definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 mengatur hal-hal yang diperselisihkan dalam perselisihan kepentingan yaitu tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan PKB, tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama Pekerjaan yang Sebagian diserahkan Kepada Perusahaan Lain Yang termasuk ke dalam bisnis utama (core business) PT. Nestle Indonesia Panjang Factory adalah seluruh kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan 70

30 langsung dengan produksi mulai dari pengelolaan dan penerimaan bahan mentah kopi hingga pada saat produk siap dipasarkan. Seluruh bagian atau kegiatan dalam bisnis utama perusahaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 23 Ayat (2) harus dikerjakan oleh buruh tetap, yang direkrut langsung oleh PT. Nestle Indonesia Panjang Factory. Hal ini sebaliknya memberi sinyal bahwa pekerjaan yang sebagian diserahkan kepada perusahaan lain adalah pekerjaan yang bukan core business PT. Nestle Indonesia. Menurut pendapat Penulis, argumen Hak Buruh outsourcing minimal harus sama dengan ketentuan terendah yang mengatur kesejahteraan buruh tetap melahirkan asumsi: 1) bahwa Penggugat juga memiliki hubungan hukum dengan pihak pekerja outsourcing atau Pekerja perusahaan yang diserahi sebagian pekerjaan oleh PT. Nestle Indonesia (Penggugat). Baik itu Pekerja PKWT, maupun Pekerja PKWTT dalam perusahaan yang diserahi sebagian pekerjaan oleh PT. Nestle Indonesia atau Penggugat. 2) tidak ada sama sekali tanda-tanda apabila PT. Nestle Indonesia (Penggugat) menolak kewajiban untuk menjadi terikat dengan para Pekerja dalam perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan dari PT. Nestle Indonesia atas dasar asumsi hukum bahwa PT. Nestle Indonesia hanya memunyai hubungan hukum (perjanjian) dengan perusahaan yang menyediakan buruh bagi PT. Nestle Indonesia. 71

31 Bagan 7. Pola Hubungan Kerja kasus PT. Nestle Indonesia versus Serikat Buruhnya PT. Nestle (Penggugat) Perusahaan lain (Pekerja) yang diserahi sebagian pekerjaan oleh PT. Nestle Pekerja PKWTT Buruh PKWT Hanya saja, secara prinsipil adalah bahwa PT. Nestle tidak memunyai hubungan hukum dengan Pekerja, baik Pekerja PKWTT maupun Pekerja PKWT dari perusahaan yang diserahi sebagian pekerjaan oleh PT. Nestle Indonesia (Penggugat) Hak buruh outsourcing minimal harus sama dengan ketentuan terendah yang mengatur kesejahteraan buruh tetap ini terlihat ada pembedaan hak antara buruh tetap yang direkrut langsung oleh PT. Nestle dan Pekerja outsourcing yang tidak direkrut oleh PT. Nestle (Penggugat). Dalam Putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 itu, MA mengatakan Kasasi Serikat Buruh Nestle Panjang yang dalam hal ini juga termasuk mewakili Pekerja di PT. Nestle Panjang tidak dapat diterima. Hal itu berarti bahwa asumsi para Pekerja bahwa ada hubungan hukum yang lahir dari perjanjian (PKB), dalam hal ini termasuk 72

32 hak-hak para Pekerja PKWT yang dapat dituntut langsung dari pemberi kerja (PT. Nestle Panjang), tidak dapat diterima oleh MA. Dari putusan Mahkamah Agung tersebut dapat diketahui bahwa ada hubungan antara pekerja PKWT yang bergabung dalam perusahaan yang merekrut mereka dengan perusahaan yang memberikan atau menyerahkan sebagian pada perusahaan yang merekrut mereka. Dalam putusan tersebut menyangkut tentang hak dan kewajiban Pekerja dalam satu pekerjaan pada perusahaan tersebut. Dan di dalam pekerjaan itu seorang Pekerja sudah seharusnya mendapatkan hak yang diatur dalam perjanjian tersebut. Begitu juga sebaliknya dengan yang pemberi pekerjaan. Berdasar pada putusan Mahkamah Agung, dalam hukum ketenagakerjaan mengatakan bahwa setiap orang (Pekerja) yang bekerja pada orang lain mempunyai hak-hak normatif yang sudah diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Jadi suatu perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain tidak dapat berdalih bahwa perusahaan tersebut tidak mempunyai hubungan hukum 49 dengan pekerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang ditampung oleh perusahaan yang menghimpun mereka hanya karena tidak adanya suatu perjanjian antara perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan dengan para pekerja, tetapi ada kontrak. 49 Asas kepribadian atau privity of contract seperti diuraikan di sub judul Bab II skripsi ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan Pemberi Kerja untuk menolak kewajiban yang harus dipikul olehnya. 73

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB IX HUBUNGAN KERJA Pasal 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 51 1. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Hubungan Kerja Hubungan antara buruh dengan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah

Lebih terperinci

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Hubungan Kerja Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh

Lebih terperinci

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN BAB 1 PERJANJIAN KERJA 1.1. DEFINISI Pasal 1 UU No. 13/2003 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

Lebih terperinci

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA copyright by Elok Hikmawati 1 PENDAHULUAN Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

H U B U N G A N K E R J A

H U B U N G A N K E R J A IX H U B U N G A N K E R J A HUBUNGAN KERJA TERJADI KARENA ADANYA PERJANJIAN KERJA Pengusaha Pekerja/buruh Secara tertulis / lisan ps 51 (1) Untuk waktu tertentu ps 56 (1) Untuk waktu tidak tertentu Perjanjian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG MENTERI KETENAGAKERJAAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA PUBLIKDONESIA PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2099, 2014 KEMENAKER. Peraturan Perusahaan. Pembuatan dan Pendaftaran. Perjanjian Kerja Sama. Pembuatan dan Pengesahan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan atau pemahaman antara dua pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah hukum apabila pertentangan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum 1 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI) Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2. PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Undang-undang Yang Terkait Dengan Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; Undang-Undang

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial Masih ingatkah Anda dengan peristiwa mogok kerja nasional tahun 2012 silam? Aksi tersebut merupakan

Lebih terperinci

Perselisihan Hubungan Industrial

Perselisihan Hubungan Industrial Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 1 angka 22 UU Ketenagakerjaan: Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013 MK. ETIKA PROFESI ETIKA BISNIS Smno.tnh.fpub2013 Pengertian Etika Pengertian; Etika kata Yunani ethos, berarti adat istiadat atau kebiasaan. Etika flsafat moral, ilmu yang membahas nilai dan norma yang

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok.

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok. PENGANTAR Pembahasan MSDM yang lebih menekankan pada unsur manusia sebagai individu tidaklah cukup tanpa dilengkapi pembahasan manusia sebagai kelompok sosial. Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian kerja dalam Bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkomst, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN

BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN 37 BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN A. Pengaturan tentang Hubungan Kerja Pada dasarnya hubungan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang Disebabkan Karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di PT. Planet Electrindo Berdasarkan Putusan Nomor 323K/Pdt.Sus-PHI/2015

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Aspek Ketenagakerjaan Dalam Bisnis

STIE DEWANTARA Aspek Ketenagakerjaan Dalam Bisnis Aspek Ketenagakerjaan Dalam Bisnis Hukum Bisnis, Sesi 4 Hubungan Bisnis Dengan Tenaga Kerja Setiap usaha/bisnis membutuhkan tenaga kerja sebagai mesin penggerak produksi. Tenaga kerja memegang peran vital

Lebih terperinci

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN 1 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 560 2492 TAHUN 2015 TENTANG PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang dibolehkan dan sifat kerja yang dapat dibuat perjanjian kerja waktu tertentu. Faktor pendidikan yang rendah dan kurangnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pekerja/buruh dan Pengusaha Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja/buruh adalah Setiap orang yang bekerja

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelesaikan perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan perlu dilakukan upaya

Lebih terperinci

Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial http://deden08m.com 1 Tujuan Serikat Pekerja (Mondy 2008) Menjamin dan meningkatkan standar hidup dan status ekonomi dari para anggotanya. Meningkatkan

Lebih terperinci

MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial http://deden08m.com 1 Tujuan Serikat Pekerja (Mondy 2008) Menjamin dan meningkatkan standar hidup dan status ekonomi dari para anggotanya. Meningkatkan

Lebih terperinci

KEPMEN NO. 92 TH 2004

KEPMEN NO. 92 TH 2004 KEPMEN NO. 92 TH 2004 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR; KEP.92/MEN /VI/2004 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

Lebih terperinci

Penyimpangan Terhadap Ketentuan PKWT Dan Outsourcing Serta Permasalahannya Dan Kiat Penyelesaian

Penyimpangan Terhadap Ketentuan PKWT Dan Outsourcing Serta Permasalahannya Dan Kiat Penyelesaian 1 Penyimpangan Terhadap Ketentuan PKWT Dan Outsourcing Serta Permasalahannya Dan Kiat Penyelesaian Disampaikan Oleh : Dra. Endang Susilowati, SH., MH. Ketua Bidang Hukum Dan Advokasi DPN APINDO Pada Acara

Lebih terperinci

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Taufiq Yulianto Staf Pengajar Teknik Elektro Politeknik Negeri Semarang ABSTRACT: A work agreement

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN SERTA PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN SERTA PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; 7. Keputusan Menteri

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA Menimbang : Mengingat : MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR; KEP.92/MEN /VI/2004 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

Lebih terperinci

1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada

1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada 1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 2. Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada Perusahaan Lain Pasal 64 UU No.13 Tahun 2003 : Perusahaan

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN - 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS A. Ketentuan-ketentuan Jenis Perjanjian Kerja Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Perburuhan sekarang ini disebut

Lebih terperinci

Miftakhul Huda, S.H., M.H

Miftakhul Huda, S.H., M.H Miftakhul Huda, S.H., M.H Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap Dapat mensyaratkan masa

Lebih terperinci

KOMPETENSI dan INDIKATOR

KOMPETENSI dan INDIKATOR HUBUNGAN KERJA KOMPETENSI dan INDIKATOR KOMPETENSI Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang pengertian dankonsephubungankerjayang diaturdalamuu No. 13 Tahun 2003. INDIKATOR Mahasiswadiharapkanmampu:

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN U M U M

BAB I KETENTUAN U M U M UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG K E T E N A G A K E R J A A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan. Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan. Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan 2.1.1. Pengertian Ketenagakerjaan Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang Ketenagakerjaan menyatakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 30 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBUATAN PERATURAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011 Oleh: Arum Darmawati Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011 Hukum Ketenagakerjaan Seputar Hukum Ketenagakerjaan Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan Hubungan Kerja (Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sudah mulai dikenal dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan

Lebih terperinci

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi Modul ke: Hubungan Industrial Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, M.Si Daftar Pustaka

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 102 1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN

BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN 34 BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN 3.1 Pelaporan Perjanjian Kerja Antara Perusahaan Pemberi Pekerjaan Dengan Perusahaan

Lebih terperinci

*10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 25/1997, KETENAGAKERJAAN *10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja 25 BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING 15 BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN 2.1 Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penyedia Jasa Dengan Pekerja/Buruh Hubungan hukum antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa itu sendiri

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sesuai judul Bab ini yaitu tinjauan pustaka, berikut di bawah ini Penulis mengemukakan bagaimana pustaka atau literatur menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah Penelitian dan

Lebih terperinci

Created by : Ratih dheviana puru hitaningtyas

Created by : Ratih dheviana puru hitaningtyas Created by : Ratih dheviana puru hitaningtyas Pasal 64-66 UU no 13 tahun 2003 Permenakertrans No 19 tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain yang

Lebih terperinci

copyright by Elok Hikmawati 1

copyright by Elok Hikmawati 1 copyright by Elok Hikmawati 1 Peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata-tertib perusahaan. Bagian Keenam Bab XI Undang-Undang No.13 th.2003 tentang Ketenagakerjaan

Lebih terperinci

Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia

Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia Penjelasan mengenai penentuan upah sehari Sesuai ketentuan Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, bahwa waktu kerja adalah: 1. a. 7 (tujuh)

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beragam seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, tenaga kerja, dan lain-lain.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beragam seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, tenaga kerja, dan lain-lain. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Tenaga Kerja Di dalam hukum perburuhan dan ketenagakerjaan terdapat beberapa istilah yang beragam seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, tenaga kerja, dan lain-lain.

Lebih terperinci

Tata Cara Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK

Tata Cara Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK Tata Cara Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK Oleh: Nuardi A. Dito Profil Nuardi A. Dito [nuardi.atidaksa@gmail.com] Pendidikan 1. Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2. Program Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN 2.1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dalam pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Replubik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN

Lebih terperinci

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit Dr. Sri Rahayu, SH, MM Widyaiswara Madya Badan Diklat Kementerian Tenaga Kerja Abstrak: (Diterima 13 November

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa dan negara, Pembangunan Nasional Negara Indonesia. yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa dan negara, Pembangunan Nasional Negara Indonesia. yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai upaya dalam meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, Pembangunan Nasional Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a. bahwa perlindungan terhadap

Lebih terperinci

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id SALINAN BUPATI BULELENG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a. bahwa perlindungan terhadap tenaga

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HALMAHERA TENGAH, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan semangat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan mengapa Penulis memiliki judul; Hubungan Kerja. berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan mengapa Penulis memiliki judul; Hubungan Kerja. berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Adapun alasan mengapa Penulis memiliki judul; Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasioal karena

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Kekuatan Mengikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Yang Dilakukan. Melalui Transaksi Elektronik Ditinjau dari UU Ketenagakerjaan

BAB V PENUTUP. 1. Kekuatan Mengikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Yang Dilakukan. Melalui Transaksi Elektronik Ditinjau dari UU Ketenagakerjaan 93 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kekuatan Mengikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Yang Dilakukan Melalui Transaksi Elektronik Ditinjau dari UU Ketenagakerjaan Dikaitkan Dengan UU ITE Bagi Para Pihak

Lebih terperinci