BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK"

Transkripsi

1 BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK A. KERANGKA TEORITIK PENYELESAIAN PERSELISIHAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 1. Perselisihan Hubungan Industrial 1.1 Hubungan Kerja dan Hubungan Industrial Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan interaksi dengan makhluk lainnya. Tujuan interaksi dengan makhluk lain tentunya untuk memenuhi kebutuhannya, naik jasmani maupun rohani. Namun tidak selamanya interaksi yang terjadi dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sering kali terdapat perbedaan pendapat atau berselisih paham. Hal ini tentu sangat tidak baik dan dapat mengganggu tercapainya tujuan dari interaksi sosial itu sendiri.

2 Seturut kemajuan dan perkembangan zaman, terlebih di era modern seperti sekarang ini interaksi menjadi hal yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Tentu guna mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia harus bekerja untuk mendapatkan upah. Hal ini adalah interaksi yang dialami hampir semua manusia. Disinilah sering terjadi perbedaan pendapat dan berselisih paham. Tidak jarang pula perbedaan pendapat akan berujung pada perselisihan dan konflik. Penyelesaian perselisihan yang sangat rawan terjadi akhirnya menjadi sebuah kebutuhan. Terlebih dalam hubungannya dengan banyak pihak di dunia kerja atau ketenagakerjaan. Jika berbicara ketenagakerjaan khususnya di Indonesia, maka tidak bisa tidak harus melihat kepada UU Ketenagakerjaan. UU sebagai kesepakatan rakyat dengan negara menjadi acuan dalam penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam masyarakat. Sebagaimana telah disebutkan dalam UUD 1945 bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat), yang artinya bahwa warna negara dan aparat negara harus bertindak dan terikat oleh peraturan yang telah dibuat sebelumnya. Maka jika terjadi perselisihan atau konflik, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan maka UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI yang menjadi pedoman penyelesaiannya.

3 Dunia kerja adalah dunia yang tak dapat disangkal oleh kehidupan manusia dewasa masa kini. Bekerja menjadi sebuah sarana dalam memenuhi kebutuhan manusia secara pribadi maupun kebutuhan keluarganya. Maka konsekuensinya adalah setiap orang yang bekerja pasti mengikatkan dirinya pada pihak lain. Interaksi ini terjadi antara orang dengan pemberi kerja. Dalam hal ini pemberi kerja dapat dipisahkan dalam beberapa ketegori, namun pada intinya adalah terjadi hubungan diantara para pihak untuk tujuan tertentu. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Untuk dapat mengetahui bahwa hubungan semacam ini digolongkan sebagai hubungan kerja harus melihat kembali kepada UU Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1 angka 15 diyatakan bahwa ; Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur perkerjaan, upah, dan perintah. Dari bunyi pasal di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua interaksi dalam tujuan memenuhi kebutuhan manusia dengan bekerja dapat dikatakan sebagai hubungan kerja. Dapat dikatakan sebagai hubungan kerja jika hubungan tersebut berdasarkan pada perjanjian kerja, yang di antaranya memuat beberapa unsur yang juga telah disebutkan dalam pasal diatas.

4 Dalam pengertian lain hubungan kerja adalah merupakan hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan perjanjian sebelumnya oleh pihak yang bersangkutan. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja kepada pengusaha dengan menerima upah. Sebaliknya pengusaha menyatakan kesanggupan untuk mempekerjakan pekerja dengan pengusaha membayar upah. Dengan demikian terjadi hubungan yang saling membutuhkan dan menguntungkan antara pekerja dan pengusaha yang merupakan hasil dari perjanjian kerja yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kita telah melihat dan mengetahui apa itu hubungan kerja, maka kita perlu juga mengetahui apa itu hubungan industrial. Menurut UU Ketenagakerjaan pada Pasal 1 angka 16 Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dari bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa hubungan industrial mencakup hubungan yang lebih besar dari hubungan kerja. Hubungan kerja merupakan hubungan diantara para pihak demi keuntungan masing-masing pihak dan demi terpenuhinya kebutuhan masing-masing pihak. Sementara hubungan industrial lebih luas cakupannya, dimana tujuan dari hubungan industrial adalah untuk terjadinya proses produksi barang dan jasa dengan baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan banyak orang. Oleh karenanya pemerintah turut menjadi pihak dalam hubungan industrial sebagai pihak yang turut mengatur proses produksi

5 demi kepentingan orang banyak. Juga sebagai pihak yang menerima pajak dari para pelaku produksi barang/jasa. Hubungan industrial (industrial relations) tidak hanya sekedar manajemen organisasi perusahaan yang dijalankan oleh meneger, yang menempatkan perkerja sebagai pihak yang selalu dapat diatur. Namun, hubungan industrial meliputi fenomena baik di dalam maupun di luar tempat kerja yang berkaitan dengan penempatan dan pengaturan hubungan kerja. Pada negara maju, hubungan industrial mencerminkan sejumlah pekerja, organisasi pekerja, pabrik, pemogokan, penutupan perusahaan, maupun perundingan kolektif (Perjanjian Kerja Bersama). Karena itu sulit merumuskan hubungan industrial secara universal dan diterima semua pihak, hal ini diakui pula oleh Michael Salamon dalam bukunya Industrial Relation; Theory and practice (2000 : 4-5) However, it is difficult to define the term industrial relations in a precise and universally accepted way. Industrial relation for many is perceived to involve male, fulltime, unionized, manual workers in large, manufacturing units imposing restrictive practices, strikes, and collective bergaining. 1 Di Indonesia hubungan industrial merupakan hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2013). Dalam proses produksi di perusahaan pihak-pihak yang terlibat secara langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan pemerintah termasuk sebagai 1 Husni, Lalu, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal

6 para pihak dalam hubungan industrial karena berkepentingan untuk mewujudkan hubungan kerja yang harmonis sebagai syarat keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang pada akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. 2 Meskipun telah ada pengaturan yang jelas dan baik bagi proses produksi barang/jasa, tetap saja perselisihan menjadi hal yang sering terjadi. Maka jawaban pemerintah atas hal ini ialah dengan adanya UU PPHI. UU ini muncul karena di era industrialisasi masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah. Sebagaiman telah dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan salah satu ciri-ciri negara hukum adalah peradilan yang bebas dan tidak memihak. Dalam UU PPHI telah diatur pula mengenai Pengadilan Hubungan Industrial atau PHI, pada Pasal 55 Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Pengadilan ini secara khusus mengadili perkara-perkara terkait dengan hubungan industrial atau biasa disebut dengan perselisihan hubungan industrial. Dalam UU PPHI Pasal 1 angka 1 menyatakan ; Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu 2 Op.Cit., hal. 17.

7 perusahaan. Maka PHI berwenang mengadili perselisihan hubungan industrial yang di antaranya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 1.2 Objek Perselisihan Hubungan Industrial 3 Dari pembahasan di atas sebenarnya kita sudah dapat melihat pertentangan yang digolongkan ke dalam perselisihan hubungan industrial. Ialah pertentangan yang membuat terjadinya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Maka dapat kita katakan bahwa objek dari perselisihan hubungan industrial ialah: 1) Perselisihan Hak 3 Saleh, Muhammad dan Mulyadi, Lilik, Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia (Perspektif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal

8 Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan hak demikian ini sering kali pula disebut sebagai perselisihan normatif, yaitu perselisihan terhadap hal-hal yang telah ada pengaturan atau dasar hukumnya. Mengapa hal demikian terjadi? Karena ternyata terdapat perbedaan penafsiran dan perbedaan kepentingan. Perbedaan penafsiran timbul karena tidak tegasnya batasan/penjelasan dalam peraturan dan atau adanya perbedaan penilaian/penghargaan atas suatu fakta hukum. 2) Perselisihan Kepentingan Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Oleh karena perselisihan kepentingan ini mengenai hal-hal yang tidak (belum) diatur dalam perundang-undangan, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka perselisihan jenis ini sering kali pula disebut sebagai perselisihan tidak normatif. 3) Perselisihan Karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Pada dasarnya perselisihan PHK ini terjadi karena adanya pertentangan pendapat atas dua hal, yaitu

9 tentang sah dan tidaknya PHK dan besarnya pesangon, yang di antara keduanya memiliki hubungan timbal balik. Jika ternyata PHK yang dilakukan oleh pengusaha jelas dan kuat dasar hukumnya, hal ini berarti bahwa beban pengusahan untuk menyediakan pesangon sedikit, bahkan mungkin tidak ada. Sebaliknya, jika ternyata PHK tersebut dilakukan atas dasar tindakan sewenang-wenang pengusaha, ini berarti pengusaha harus menyediakan pesangon yang tinggi kepada pekerja/buruh karena ketentuan UU memang mengatur demikian. 4) Perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. 1.3 Subjek Perselisihan Hubungan Industrial 4 Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai objek dari perselisihan hubungan industrial. Maka sekarang kita beralih kepada subjek perselisihan hubungan industrial. Menurut Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi dalam bukunya yang berjudul Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia (Perspektif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya) mereka menjabarkan subjek perselisihan hubungan industrial ialah: 4 Op.Cit., hal

10 1) Pengusaha atau gabungan pengusaha, yang dimanifestasikan sebagai: a) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan perusahaan milik sendiri. b) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; dan c) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud point pertama dan kedua diatas yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 2) Pekerja/buruh perseorangan ialah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 3) Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. 4) Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

11 2. Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Hubungan Industrial sebagai lembaga yang dibentuk dengan Undang-Undang sebagaimana telah dinyatakan pada sub-bab sebelumnya, merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Terlebih khusus dalam UU PPHI Pasal 1 angka 17 menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Dari pasal ini kita harus melihat kompetensi dan ruang lingkup dari Pengadilan Hubungan Industrial. Sehingga tidak terjadi kesalahan dalam mengadili perkara menurut kewenangan atau kompetensinya Kompetensi dan Ruang Lingkup Pengadilan Hubungan Industrial Tugas pokok dari pengadilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Perkara-perkara tersebut haruslah perkara yang merupakan kewenangannya. 5 Dasar untuk menentukan apakah pengadilan berwenang untuk mengadili suatu perkara haruslah melihat kepada kedua hal ini: 1) Kompetensi Absolut (Absolute Competence) Menurut Sudikno Mertokusumo (1998 : 78) yang dimaksud dengan kompetensi absolut atau wewenang mutlak lembaga peradilan adalah wewenang lembaga pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik 5 Husni, Lalu, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 83.

12 dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung) maupun dalam lingkungan peradilan lain (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama). Misalnya kewenangan pengadilan umum (negeri) adalah memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan pidana (Pasal 50 UU No. 2 Tahun 1986). 6 Dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial memiliki kewenangan mutlak terhadap perkara tentang perselisihan hubungan industrial. Sebagaimana telah pula dinyatakan dalam UU PPHI Pasal 1 angka 1 bahwa: Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 2) Kompetensi Relatif (Relative Competence) Secara sederhana, kompetensi relatif merupakan kompetensi mengadili oleh pengadilan sesuai wilayah kedudukannya. Pengadilan Negeri (selanjutnya disebut dengan PN) berkedudukan di Kotamadya atau Kabupaten maka wilayah hukumnya ialah Kotamadya atau Kabupaten yang bersangkutan. Daerah hukum masing-masing PN hanya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten tempat dia berkedudukan. Tegasnya, daerah hukum yang menjadi kewenangan setiap PN mengadili perkara, 6 Op.cit., hal. 83.

13 sama dengan wilayah Kotamadya atau Kabupaten tempat dimana dia berada atau berkedudukan. 7 7 Harahap M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. X, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 191.

14 B. KERANGKA TEORITIK KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Sebelum melihat subjek dan objek dalam sengketa Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut dengan TUN) dan menganalisis kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut dengan PTUN), baiknya terlebih dahulu mengetahui beberapa hal dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 huruf a UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut dengan UU Peradilan TUN) menyatakan bahwa: Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan utusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.. Pada huruf d dinyatakan bahwa: Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang dan badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat di keluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku.. Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut dengan KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. (Pasal 1 huruf c UU Peradilan TUN). 1. Subjek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara

15 Subjek yang bersengketa atau dalam proses peradilan dapat kita sebut sebagai Penggugat dan Tergugat. Pertama kita akan melihat siapakah Penggugat dalam sebuah sengketa TUN. Pasal 53 Ayat (1) menyatakan: Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dalam sengketa TUN, yang dapat bertindak sebagai Penggugat adalah: a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN; b. Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN. 8 Sedangkan subjek kedua yaitu Tergugat telah diatur melalui Pasal 1 huruf f UU Peradilan TUN yang menyatakan: Tergugat adalah badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata Wiyono, R, Hukum Acara PERADILAN TATA USAHA NEGARA, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, H.

16 2. Objek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara Objek sengketa TUN adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. (Pasal 1 huruf c UU Peradilan TUN). Unsur-unsur pengertian istilah KTUN sebagai objek sengketa TUN menurut UU Peradilan TUN ialah: 1. Penetapan Tertulis 2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN 3. Berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan 4. Bersifat konkrit, individual dan final 5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata 9 3. Kompetensi dan Ruang Lingkup Pengadilan Tata Usaha Negara 3.1 Kompetensi Absolut 9 Tjandra, W. Ridwan, Teori Dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. VI, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011, H

17 Kekuasaan absolut dari peradilan di lingkungan TUN terdapat pada Pasal 47 UU Peradilan TUN yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN. Yang dimaksud dengan sengketa TUN tersebut, menurut Pasal 1 huruf d adalah Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang dan badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat di keluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan undangundang yang berlaku.. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan sengketa TUN terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut: a. Sengketa yang timbul dalam bidang TUN; b. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN; c. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dari dikeluarkannya KTUN Op. Cit., h. 6.

18 3.2 Kompetensi Relatif Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibu kota Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota (Pasal 6 Ayat (1) Peradilan TUN). Sampai saat sekarang di setiap Kota atau Ibu Kota daerah Kabupaten belum seluruhnya dibentuk PTUN. Oleh karena itu, untuk mengetahui daerah hukum suatu PTUN harus dilihat pada Keputusan Presiden tentang Pembentukan PTUN. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi (Pasal 6 Ayat (2) UU Peradilan TUN). C. KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERKARA ANTARA Dr. ENDI HARYONO M.Si., DENGAN YKPP DAN REKTOR UPN VETERAN YOGYAKARTA 1. Kasus Posisi Untuk dapat menganalisis dengan baik suatu perkara yang mana telah diadili dalam suatu pengadilan, tentu perlu mengatahui secara jelas duduk perkara sebagaimana juga telah disertakan dalam putusan. Maka untuk mempermudah proses analisis perkara, penulis kembali menyatakan kasus posisi perkara yang tengah dianalisis. Demikian kasus posisi sebagaimana juga telah disampaikan pada Putusan Nomor 02/Pdt.Sus.PHI/2015/PN/Yyk. Penggugat adalah dosen, yang merupakan Pegawai dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta berdasarkan Surat Keputusan

19 Pengangkatan Pegawai Nomor : Skep / 031 / V / 1997 Tanggal 2 Mei 1997 tentang Pengangkatan Sebagai Pegawai Edukatif Tetap, menggugat Tergugat I dan Tergugat II. Tergugat I adalah Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan dan Tergugat II adalah Rektor Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Gugatan Penggugat berkaitan dengan perselisihan yang terjadi antara Penggugat dengan para Tergugat mengenai hak normatif pekerja yang tidak dibayarkan oleh para Tergugat. Mengingat pada Bulan Mei 2010, Penggugat mengikuti program visiting lecturer di Universitas Utara Malaya Malaysia, yang keturutsertaan Penggugat dalam program tersebut sudah dilaporkan dan atas sepengetahuan Tergugat II. Namun Tergugat II menganggap bahwa keturutsertaan Penggugat dalam program visiting lecturer adalah tanpa izin tertulis dari Tergugat II. Sehingga Tergugat II menerbitkan Surat Perintah Rektor Nomor: Sprint/29-0/III/2011 yang pada pokoknya memerintahkan untuk menghentikan gaji sementara Penggugat terhitung mulai tanggal 01 April 2011 dan menghentikan tunjangan fungsional terhitung mulai tanggal 01 Juni Bahwa pada Februari 2012, Tergugat II meminta Penggugat untuk kembali dari Malaysia dan mengajar lagi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik - Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta. Bahwa selanjutnya pada Bulan Februari 2012 itu pula Penggugat telah memenuhi panggilan dan amanat dari Tergugat II tersebut. Untuk kepentingan administrasi Penggugat untuk mengajar mata kuliah tertentu, beban SKS, honorarium dan sebagainya, Tergugat II menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SKEP/18/II/2012 tanggal 02 Februari 2012 yang pada pokoknya berisi pengangkatan sebagai dosen UPN Veteran Yogyakarta Semester Genap TA 20011/2012.

20 Sejak bulan Februari 2012, Penggugat tersebut telah menjalankan tugas secara aktif kembali sebagai dosen pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta berdasarkan Surat Keputusan Nomor: SKEP/18/II/2012 tanggal 02 Februari 2012, namun Penggugat tetap saja tidak mendapatkan upah dan tidak diperbolehkan mengajukan kenaikan kepangkatan akademik, sehingga hal tersebut dirasa oleh Penggugat bertentangan dengan isi dari Surat Keputusan Tergugat II tersebut yang nyata-nyata memerintahkan Tergugat II sendiri untuk membayar hak-hak Penggugat. Kemudian sejak Februari 2013, tanpa alasan yang jelas dan didasarkan pada suatu keputusan atau dasar hukum tertentu, Penggugat tidak diperbolehkan mengajar lagi namun juga tidak dalam status diberhentikan dan tidak pula memperoleh upah. Pada tanggal 4 September 2013, Penggugat yang merasa status hubungan kerjanya tidak menentu, hingga akhirnya Penggugat menghadap Tergugat I dan disaksikan oleh Ketua BPH UPN Veteran Yogyakarta dalam rangka penyelesaian permasalahan tersebut. Bahwa dalam pertemuan tersebut Tergugat I menawarkan kepada Penggugat tentang adanya 2 (dua) pilihan penyelesaian permasalahan, yakni: Pertama, tetap melanjutkan karir sebagai dosen di bawah Tergugat I dengan pindah tugas sebagai dosen di UPN Jakarta atau Kedua, mengajukan pilihan penyelesaian yang Penggugat inginkan dengan bertumpu pada prinsip win-win solution dan kekeluargaan. Kemudian Penggugat memutuskan untuk mengambil pilihan penyelesaian kedua (win-win solution) yaitu dengan mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja dengan baik dan hormat serta meminta pembayaran upah yang

21 belum dibayarkan dan hak-hak lain yang sah sebagai pegawai seperti pengembalian dana asuransi pensiun dan tabungan hari tua pada Bank Pembangunan Daerah Yogyakarta yang dipotong setiap bulannya dari upah Pekerja, serta hak-hak normatif lainnya akibat putusnya hubungan kerja. Selanjutnya pada tanggal 7 Oktober 2013, Penggugat membuat surat pernyataan kesediaan dan penerimaan untuk mendapatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan hormat sebagai pegawai tetap oleh Tergugat I. Terhadap Surat Pernyataan Penggugat tersebut, kemudian Tergugat I menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SKEP/06/YKPP/II/2014 tanggal 20 Februari 2014 tentang Pemberhentian Pegawai di Lingkungan UPN Veteran Yogyakarta yang pada pokoknya memberhentikan Penggugat sebagai Pegawai Edukatif Tetap UPN Veteran Yogyakarta dan memberikan hak-hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UPN Veteran Yogyakarta antara lain: upah yang belum dibayar, tabungan hari tua, dan dana asuransi pensiun. Dari duduk perkara tersebut, Penggugat dalam petitum gugatannya, mengajukan beberapa permohonan putusan yang di antaranya: 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. 2. Menghukum para Tergugat untuk membeyar hak-hak normatif Penggugat sebesar Rp ,- (seratur tiga puluh juta limaratus ribu rupiah) yang terdiri sebagai berikut: a. Upah + Tunjangan Fungsional sebesar Rp ,- b. Tabungan Hari Tua sebesar Rp ,- Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

22 3. Menghukum Para Tergugat untuk mengembalikan Dana Asuransi Pensiun Penggugat pada PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia Cabang Yogyakartakepada Penggugat selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap. 4. Menghukum Para Tergugat untuk melakukan Perubahan/Pencabutan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) atas nama Dr. Endi Haryono, M.Si. (Penggugat) sebagai dosen UPN Veteran Yogyakarta sebagaimana tercatat pada KOPERTIS wilayah Yogyakarta selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap. 5. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan dokumen-dokumen milik Penggugat dan surat keterangan bekerja selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap. 6. Membebankan biaya perkara kepada Tergugat. yakni: Dari gugatan tersebut Pengadilan pun menjatuhkan putusan sebagai berikut, 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. 2. Menghukum para tergugat untuk membayar hak upah dan tunjangan fungsional sebesar: Rp ,00 x 20 bulan = Rp ,00 (delapan puluh empat juta lima ratus ribu rupiah) selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap. 3. Menghukum Tergugat II untuk memberikan surat keterangan kerja selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap. 4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya. 5. Membebankan biaya perkara ini kepada negara.

23 Berdasarkan kronologi atau kasus posisi dalam perkara ini, penulis akan lebih rinci meneliti mengenai pertimbangan hakim terkait kewenangan mengadili Pengadilan Hubungan Industrial atas perkara tersebut. 2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang dipakai oleh hakim untuk sampai pada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memerhatikan fakta materiel. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiel tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut. 11 Maka setelah dipaparkan mengenai fakta materiel, selanjutnya pembahasan berfokus kepada kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam mengadili perkara berdasar pada fakta-fakta materielnya. 11 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cet. 9, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal. 158.

24 1.1 Objek dan Subjek Perselisihan Sebagaimana telah dinyatakan dalam kasus posisi pada sub-bab sebelumnya, maka penulis akan mengerucutkan lebih khusus kepada objek dan subjek dalam perkara yang sedang diteliti. Objek yang dimaksudkan ialah hal yang dipertentangkan atau yang menjadi isu hukum dalam perkara antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta. Sementara subjek yang dimaksud ialah para pihak dalam perkara tersebut. Untuk melihat dan mengulas jenis perselisihan atau objek dari perkara aquo tentu sangat erat kaitannya dengan hubungan di antara subjek, dalam hal ini dosen (Penggugat) dan yayasan maupun rektor (Para Tergugat). Hubungan yang terjalin antara Penggugat dan Tergugat adalah hubungan kerja, yang berasal dari adanya perjanjian kerja. Hal ini juga telah dengan tegas diatur dalam UU Guru dan Dosen pada Pasal 63 Ayat (3) yang menyatakan: Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.. Maka mengenai pengupahan atau gaji juga turut diatur dalam Pasal 52 Ayat (3) UU Guru dan Dosen yang menyatakan: Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama..

25 Sesuai dengan kasus posisi dalam perkara aquo bahwa Penggugat mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pegawai edukatif tetap atau dosen dan kemudian Tergugat I menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SKEP/06/YKPP/II/2014 tanggal 20 Februari 2014 tentang Pemberhentian Pegawai di Lingkungan UPN Veteran Yogyakarta yang pada pokoknya memberhentikan Penggugat sebagai Pegawai Edukatif Tetap UPN Veteran Yogyakarta dan memberikan hak-hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UPN Veteran Yogyakarta antara lain: upah yang belum dibayar, tabungan hari tua, dan dana asuransi pensiun. Akan tetapi setelah dikeluarkannya SK tersebut hak-hak Penggugat tidak juga segera dipenuhi oleh Para Tergugat. Hal ini menjadi penyebab mengapa Dr. Endi Haryono M.Si (Penggugat) kemudian menggugat Para Tergugat, yakni karena hak dari Penggugat tidak di penuhi oleh Para Tergugat sesuai dengan SK pemberhentian Penggugat sebagai pegawai dari Para Tergugat. Sementara dari segi subjeknya, perlu diketahui terlebih dahulu hubungan hukum antara para pihak dan apakah ada hubungan kerja, sehingga Penggugat mengajukan gugatan di PHI. Dasar dari terjadinya hubungan kerja ialah perjanjian kerja, atau dengan kata lain tidak ada hubungan kerja tanpa adanya perjanjian kerja. Jika kita memperhatikan definisi dari perjanjian kerja dan hubungan kerja, pada UU Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14 Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Pihak dalam perjanjian kerja ialah pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja. Sedangkan pada Pasal 1 angka 15 Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian

26 kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Jelas dikatakan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Dari kedua definisi di atas dapat kita lihat bahwa pihak dalam perkara aquo ialah pihak sebagaimana dimaksud dalam perjanjian kerja dan hubungan kerja menurut UU Ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 63 ayat (3) UU Guru dan Dosen yang menyatakan: Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Jika ada perjanjian kerja, maka ada hubungan kerja, dan jika ada hubungan kerja maka ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan yang terjadi haruslah sesuai dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI. Dalam perjanjian kerja dan hubungan kerja sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 UU Ketenagakerjaan subjeknya ialah pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja. Sementara Pasal 1 angka 6 UU Ketenagakerjaan menyatakan: Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

27 Pasal di atas membuktikan bahwa Yayasan (Tergugat I) maupun Rektor UPN Veteran Yogyakarta (Tergugat II) merupakan subjek hukum dalam hukum ketenagakerjaan. Karena yayasan merupakan suatu bentuk usaha yang berbadan hukum dan yayasan juga merupakan usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian penyelesaian terhadap perselisihan antara para pihak dalam perkara antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta ialah sesuai dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI. Setelah melihat perkara ini dari segi objek dan subjeknya, hal penting yang harus dipecahkan selanjutnya ialah mengenai pandangan hakim yang menyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial memiliki kewenangan mengadili terhadap perkara ini. 1.2 Analisis Parameter Pertimbangan Hakim Maka demikianlah alur berpikir dalam pertimbangan hakim yang kemudian menjadi dasar bahwa perkara antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta dapat diadili oleh Pengadilan Hubungan Industrial: Pertama, hakim melihat bahwa perkara aquo merupakan perselisihan hak. Telah diketahui bahwa perselisihan hak adalah salah satu objek dalam perselisihan hubungan industrial sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 UU PPHI 1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

28 antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Tentu ada dasar perjanjian kerja yang mana mengakibatkan adanya hubungan kerja antara para pihak sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Kedua, yang juga telah disinggung sebelumnya bahwa hakim menganggap ada hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan antara Penggugat dengan Para Tergugat. Penulis mengutip pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 02 /Pdt.Sus.PHI/2015/PN.Yyk yang menyatakan bahwa: Majelis Hakim meneliti, memeriksa alat bukti surat dan keterangan saksi baik dari Penggugat maupun Tergugat II dapat dibuktikan bahwa ada hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat yang dimulai sejak tahun 1995 (vide bukti TII-1) dan menjadi pegawai tetap sejak 1997 (vide bukti P-4) dan keterangan saksi Tergugat II Sukisman, S.Ip,MM. dan Dr. Machya Astuti Dewi,M.Si yang pada intinya menyatakan bahwa benar Penggugat adalah Dosen/Pengajar pada Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta; Bukti yang dinyatakan tersebut ialah Surat Keputusan tentang Pengangkatan Penggugat sebagai pegawai edukatif tetap (dosen tetap) di UPN Veteran Yogyakarta. Mengingat kembali bahwa dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan

29 oleh masyarakat ialah berdasar pada perjanjian kerja berdasarkan Pasal 63 ayat (3) UU Guru dan Dosen. Sehingga pertimbangan hakim mengenai adanya hubungan kerja yang berdasar pada perjanjian kerja sudah tepat. Hakim menolak seluruh eksepsi dari Tergugat I, termasuk eksepsi mengenai kewenangan PTUN terhadap perkara ini. Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa PTUN adalah pengadilan yang memiliki kompetensi absolut terhadap perkara ini. Hal ini menjadi indikasi bahwa hakim sangatlah paham dengan perkara aquo. PTUN tidak berwenang terhadap perkara ini oleh karena: 1. Perkara aquo bukanlah sengketa TUN (objek sengketa) Perkara aquo ialah mengenai perselisihan hak, karena tidak dibayarkannya hak Penggugat oleh Para Tergugat selama beberapa bulan Penggugat bekerja sebagai dosen atau pegawai dari Para Tergugat. 2. Para pihak bukanlah pihak dalam sengketa TUN (subjek sengketa) Bukan sengketa PTUN karena tergugat bukanlah badan atau pejabat TUN dan Yayasan bukanlah badan TUN, begitu pula Rektor UPN Veteran Yogyakarta juga bukanlah pejabat TUN. 3. Habisnya tenggang waktu untuk mengajukan gugatan Seandainya SK Pemberhentrian Penggugat sebagai pegewai dianggap sebagai KTUN dan perkara aquo ialah sengketa TUN, maka KTUN tersebut sudah tidak dapat lagi digugat ke PTUN. Karena telah melebihi batas tenggang waktu untuk dapat diajukan

30 ke PTUN. Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat TUN (Pasal 55 UU Peradilan TUN). 3. Analisis Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial Setelah Adanya Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2014 tentang Pendirian Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta Dalam proses peradilan, terlebih khusus dalam pengajuan suatu perkara perdata ke pengadilan, salah satu hal yang harus ada ialah siapa pihak yang diajukan atau ditarik sebagai tergugat. Dalam kalimat lain dapat dikatakan, bahwa dalam suatu gugatan perdata haruslah disebutkan dengan jelas siapa pihak yang digugat atau tergugat. Namun tidak berhenti sampai pada hal tersebut, karena penggugat dalam gugatannya harus pula menjelaskan hubungan hukum antara para pihak dalam gugatannya. Juga menjelaskan alasan mengapa ia menggugat pihak tersebut dalam gugatanya. Kemudian majelis hakim akan menimbang apakah gugatan tersebut dapat diadili atau tidak. Tentu dengan melihat beberapa hal seperti kompetensi pengadilan juga tentang kapasitas tergugat, yang artinya apakah penggugat tepat meletakkan subjek tergugatnya dalam perkara yang diajukan. Apabila orang yang ditarik sebagai tergugat keliru dan salah, mengakibatkan gugatan cacat formil. Cacat formil yang timbul atas kekeliruan atau kesalahan yang bertindak sebagai penggugat maupun yang ditarik sebagai tergugat, dikualifikasikan mengandung error in persona. 12 Diketahui setidaknya ada tiga 12 Harahap M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. X, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 111.

31 jenis error in persona: Pertama, Diskualifikasi in Person yaitu apabila yang bertindak sebagai penggugat orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi). Kedua, Gemis Aanhoeda Nigheid yaitu keadaan dimana orang yang ditarik sebagai tergugat keliru atau salah. Ketiga, Plurium Litis Consortium atau gugatan kurang pihak. Dalam perselisihan yang terjadi antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta penulis melihat adanya kesalahan dari penggugat dalam meletakkan pihak tergugatnya. Sesuai dengan jenis error in persona yang kedua, Gemis Aanhoeda Nigheid yaitu keadaan dimana orang yang ditarik sebagai tergugat keliru atau salah. Mengingat bahwa dalam perkara keperdataan, seharusnya tergugat ialah pihak yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya di hadapan hukum. Dimana hal tersebut timbul karena adanya hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat. Dalam kasus ini, penggugat tidak menjelaskan hubungan hukum antara dirinya dengan para tergugat. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya bahwa tergugat haruslah pihak yang memiliki kapasitas (berkompetensi) untuk bertanggung jawab atas gugatan yang diajukan oleh pengugat. M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan menyatakan bahwa akibat hukum dari gugatan yang mengandung cacat formil atau error in persona harus dinyatakan tidak dapat diterima (nietontvankelijke verklaard). 13 Keyakinan bahwa perkara ini menjadi kewenangan PHI akan tetapi Penggugat salah dalam meletakkan subjek tergugatnya didasarkan kepada bunyi dari Pasal 4 huruf a Peraturan Presiden No. 121 Tahun 2014 tentang Pendirian 13 Op.Cit., hal. 113.

32 Universitas Nasional Veteran Yogyakarta (yang selanjutnya disebut dengan Perpres No. 121/2014) yang berbunyi: Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku: a. semua kekayaan, pegawai, hak dan kewajiban Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan dalam penyelenggaraan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta dialihkan menjadi kekayaan, pegawai, hak dan kewajiban Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta; Pasal ini dapat diartikan bahwa YKPP sudah tidak lagi memiliki hubungan hukum dengan UPN Veteran Yogyakarta dan juga dengan Penggugat. Selain daripada itu YKPP juga tidak lagi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan UPN Veteran Yogyakarta termasuk kekayaan, pegawai, hak dan kewajiban. Bahwa segala tindakan hukum yang dilakukan oleh YKPP sebelum adanya Perpres tersebut ialah merepresentasikan diri sebagai UPN Veteran Yogyakarta. Termasuk dalam hal mengeluarkan SK pengangkatan dan pemberhentian pegawai di lingkungan UPN Veteran Yogyakarta. Maka Perpres tersebut menjadi titik tolak beralihnya hak dan kewajiban dari YKPP kepada Negara dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selaku penyelenggara dan pengelola UPN Veteran Yogyakarta berdasarkan Perpres No. 121/2014.

33 Berdasarkan kasus posisi yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa SK pemberhentian Dr. Endi Haryono M.Si., dikeluarkan sebelum adanya Perpres No. 121/2014 dan Dr. Endi Haryono M.Si., menggugat YKPP setelah Perpres No. 121/2014, maka menyertakan YKPP sebagai tergugat dalam gugatannya merupakan suatu kesalahan. Oleh karena YKPP tidak memiliki hubungan lagi dengan UPN Veteran Yogyakarta. Maka YKPP juga tidak memiliki hubungan hukum dengan Penggugat, yang artinya YKPP tidak memiliki kapasitas untuk bertanggung jawab atas hak dan kewajiban dari UPN Veteran Yogyakarta. Maka berdasar pada penjelasan di atas, PHI berwenang mengadili perkara antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta. Namun karena kesalahan dalam meletakkan pihak tergugatnya hakim seharusnya menolak gugatan dan Penggugat seharusnya merevisi gugatannya dengan mengganti pihak yang ditarik sebagai tergugat dalam gugatannya.

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebuah deklarasi bahwa negara ini berdiri dan berjalan berdasar pada ketentuan hukum. Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut sekaligus

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pekerja/buruh dan Pengusaha Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja/buruh adalah Setiap orang yang bekerja

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 didefinisikan sebagai Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang. uang yang digunakan untuk memenuhi tuntutan hidup mereka akan

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang. uang yang digunakan untuk memenuhi tuntutan hidup mereka akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Pada dasarnya manusia selalu berjuang dengan

Lebih terperinci

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB

Lebih terperinci

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2)

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan M P U T U S A N Nomor 221 K/Pdt.Sus-PHI/2018 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus perselisihan hubungan industrial

Lebih terperinci

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : SOLECHAN 1. A. PENDAHULUAN Sejak dahulu sampai sekarang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial Masih ingatkah Anda dengan peristiwa mogok kerja nasional tahun 2012 silam? Aksi tersebut merupakan

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum 1 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI) Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan atau pemahaman antara dua pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah hukum apabila pertentangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang Disebabkan Karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di PT. Planet Electrindo Berdasarkan Putusan Nomor 323K/Pdt.Sus-PHI/2015

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

SKRIPSI. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Universitas Kristen Satya Wacana. Matheus Wahyu Aribowo NIM:

SKRIPSI. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Universitas Kristen Satya Wacana. Matheus Wahyu Aribowo NIM: PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERKARA ANTARA DR. ENDI HARYONO, M.Si., DENGAN YKPP DAN REKTOR UPN VETERAN YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HAK ATAS UPAH PEKERJA TERKAIT UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) Oleh :

PERSELISIHAN HAK ATAS UPAH PEKERJA TERKAIT UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) Oleh : 59 PERSELISIHAN HAK ATAS UPAH PEKERJA TERKAIT UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) Oleh : I Nyoman Jaya Kesuma, S.H. Panitera Muda Pengadilan Hubungan Industrial Denpasar Abstract Salary are basic rights

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sudah mulai dikenal dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI BY : ANNEKA SALDIAN MARDHIAH Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN 2.1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dalam pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Replubik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014 PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN SETELAH PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1 Oleh : Moh. Iswanto Sumaga 2 A B S T R A K Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimanakah bentukbentuk sengketa setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), yakni makhluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri. Namun di dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pekerja merupakan aset utama dalam sebuah perusahaan karena tanpa adanya pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam menghasilkan barang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Peraturan Kepala

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA A. Putusan PTUN Tujuan diadakannya suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. 62 Putusan hakim

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.237, 2015 TENAGA KERJA. Pengupahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN

Lebih terperinci

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN BAB 1 PERJANJIAN KERJA 1.1. DEFINISI Pasal 1 UU No. 13/2003 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI LUAR PENGADILAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2004 1 Oleh: Sigit Risfanditama Amin 2 ABSTRAK Hakikat hukum ketenagakerjaan adalah perlindungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000 UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Kenyataan telah membuktikan bahwa faktor ketenagakerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyambung hidupnya.untuk bisa mendapatkan biaya tersebut setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. menyambung hidupnya.untuk bisa mendapatkan biaya tersebut setiap orang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang hidup sudah pasti membutuhkan biaya untuk dapat menyambung hidupnya.untuk bisa mendapatkan biaya tersebut setiap orang harus mencari dan

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

KEPMEN NO. 92 TH 2004

KEPMEN NO. 92 TH 2004 KEPMEN NO. 92 TH 2004 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR; KEP.92/MEN /VI/2004 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA Menimbang : Mengingat : MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR; KEP.92/MEN /VI/2004 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Bipartit Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. A. Pengertian Umum Perselisihan Hubungan Industrial

BAB III TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. A. Pengertian Umum Perselisihan Hubungan Industrial BAB III TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Pengertian Umum Perselisihan Hubungan Industrial Sebelum penulis membahas tentang perselisihan hubungan industrial maka akan dijelaskan terlebih

Lebih terperinci

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM MENGENAI JUAL BELI RUMAH DENGAN OPER KREDIT (Studi Kasus Putusan Nomor : 71/Pdt.G/2012/PN.Skh) Oleh : NOVICHA RAHMAWATI NIM.

TINJAUAN HUKUM MENGENAI JUAL BELI RUMAH DENGAN OPER KREDIT (Studi Kasus Putusan Nomor : 71/Pdt.G/2012/PN.Skh) Oleh : NOVICHA RAHMAWATI NIM. TINJAUAN HUKUM MENGENAI JUAL BELI RUMAH DENGAN OPER KREDIT (Studi Kasus Putusan Nomor : 71/Pdt.G/2012/PN.Skh) Oleh : NOVICHA RAHMAWATI NIM. 12100022 ABSTRAK Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....

Lebih terperinci

P U T U S A N No. 177 K/TUN/2002

P U T U S A N No. 177 K/TUN/2002 P U T U S A N No. 177 K/TUN/2002 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara Tata Usaha Negara dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diundangkan pada tanggal 29 Desember

Lebih terperinci

MENTERI TIDAK BERWENANG UNTUK MEMBERHENTIKAN PEJABAT FUNGSIONAL WIDYAISWARA UTAMA GOLONGAN IV/e DARI DAN DALAM JABATANNYA

MENTERI TIDAK BERWENANG UNTUK MEMBERHENTIKAN PEJABAT FUNGSIONAL WIDYAISWARA UTAMA GOLONGAN IV/e DARI DAN DALAM JABATANNYA MENTERI TIDAK BERWENANG UNTUK MEMBERHENTIKAN PEJABAT FUNGSIONAL WIDYAISWARA UTAMA GOLONGAN IV/e DARI DAN DALAM JABATANNYA 216/K/TUN/2010 KASUS POSISI 1. Bahwa Penggugat adalah pemangku Jabatan Fungsional

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Pengertian Peran Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada kedudukan-kedudukan tertentu dalam masyarakat, kedudukan dimana dapat dimiliki

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KASUS PERKARA. perkara gugatan Perselisihan Hubungan Industrial adapun yang

BAB II GAMBARAN UMUM KASUS PERKARA. perkara gugatan Perselisihan Hubungan Industrial adapun yang BAB II GAMBARAN UMUM KASUS PERKARA A. Kronologi Kasus Sehubungan dengan perkara No. 722/K/Pdt.Sus/2011 tentang perkara gugatan Perselisihan Hubungan Industrial adapun yang mengajukan gugatan adalah Sayed

Lebih terperinci

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Undang-undang Yang Terkait Dengan Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; Undang-Undang

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi antara Serikat Pekerja dengan PT Andalan Fluid di Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi Kota Bogor

Lebih terperinci

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (1)

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (1) HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XIII) PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (1) copyright by Elok Hikmawati 1 Pemutusan Hubungan Kerja Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa P U T U S A N Nomor 1351 K/Pdt.Sus-PHI/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus perselisihan hubungan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh I. PEMOHON M.Komarudin dan Muhammad Hafidz, sebagai perwakilan dari Federasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA UU No 21/2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan UU No 2/2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UNTUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaiannya diperlukan institusi yang mendukung mekanisme penyelesaian

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaiannya diperlukan institusi yang mendukung mekanisme penyelesaian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam era industralisasi di atas kemajuan pengetahuan dan teknologi informasi, perselisihan hubungan industrial menjadi semakin kompleks, untuk penyelesaiannya diperlukan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT KOTA BANDUNG

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT KOTA BANDUNG LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2002 TAHUN : 2002 NOMOR : 28 S E R I : D PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT KOTA BANDUNG DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur

BAB I PENDAHULUAN. atau ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum mengandung pengertian yang luas yang meliputi semua peraturan atau ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN UMK (UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA) TERHADAP KESEJAHTERAAN PEKERJA/BURUH

PEMBERLAKUAN UMK (UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA) TERHADAP KESEJAHTERAAN PEKERJA/BURUH PEMBERLAKUAN UMK (UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA) TERHADAP KESEJAHTERAAN PEKERJA/BURUH oleh Michele Agustine I Gusti Ketut Ariawan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Wages play an important

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBL1K INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat,

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2. PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat bertahan hidup secara utuh tanpa

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dan buruh sebagai tenaga kerja yang menyokong terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dan buruh sebagai tenaga kerja yang menyokong terbentuknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah usaha yang menghasilkan barang dan jasa tidak terlepas antara perusahaan dan buruh sebagai tenaga kerja yang menyokong terbentuknya tujuan yang diinginkan perusaahaan.

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 3/Apr/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 3/Apr/2015 PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 1 Oleh: Anjel Ria Meiliva Kanter 2 ABSTRAK Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian

Lebih terperinci

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok.

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok. PENGANTAR Pembahasan MSDM yang lebih menekankan pada unsur manusia sebagai individu tidaklah cukup tanpa dilengkapi pembahasan manusia sebagai kelompok sosial. Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

NOMOR... TAHUN... TENTANG PROGRAM JAMINAN KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR... TAHUN... TENTANG PROGRAM JAMINAN KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Senin, 29 Oktober 2007 RR. Dirjen PPTKDN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PROGRAM JAMINAN KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci