BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul: Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul: Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul: Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus Obyek Sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, atas alasan yang dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini; Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) hadir dengan mendasarkan diri pada Undang-Undang (UU) No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Adapun wewenang absolut dari PTUN menurut undang-undang adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN. 1 Dalam ilmu hukum ada suatu asas 2 bahwa selama suatu Keputusan TUN tidak digugat oleh pihak yang berkepentingan dan tidak dibatalkan oleh Hakim, maka putusan itu selalu dianggap sah menurut hukum. 3 1 Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.51 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 2 Prof. DR. Sudikno Mertokusumo,SH., memberikan definisi asas yaitu bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan Hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Prof. DR. Sudikno Mertokusumo,SH., Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 34. Pandangan Almarhum Sudikno ini kurang tepat. Sebab, pada dasarnya asas hukum juga mengikat. Perhatikan Buku Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D menemukan bahwa melanggar asas adalah melanggar hukum. Sebab, Mahkamah Agung Republik 1

2 Berdasarkan pemahaman akan asas tersebut tentunya kehadiran PTUN berfungsi judicial review atas tindakan badan atau pejabat TUN, dalam hal ini, secara khusus, judicial review hanya beschikking yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang dinilai bertentangan dengan hukum. Adapun yang dimaksud dengan tindakan Pejabat TUN adalah: 4 (1) tindakan mengeluarkan keputusan, yang disebut ketetapan administrasi atau beschikking; (2) Tindakan mengeluarkan peraturan atau regeling dan; (3) Tindakan melakukan perbuatan materiil atau perbuatan wajar. Ketiga tindakan pejabat TUN tersebut yang dapat menjadi obyek sengketa PTUN, hanyalah tindakan pejabat TUN yang dalam kategori mengeluarkan keputusan (beschikking). Kaedahnya ini terdapat pada Pasal 1 Angka (10) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yang berbunyi: sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Indonesia dalam Putusan sengketa TUN No. 213 K/TUN/2007 mengatakan bahwa pejabat TUN terbukti melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu kecermatan dan kehati-hatian. 3 Indroharto, SH. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm Prof.Soehino, S.H., Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 3. 2

3 Rumusan pengertian mengenai sengketa TUN yang sama dengan di atas kemudian diikuti oleh beberapa penulis, antara lain ada yang mengatakan bahwa sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dibidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, akibat dikeluarkannya suatu keputusan TUN. 5 Sementara itu pengertian mengenai keputusan Badan atau Pejabat TUN adalah: Keputusan atau Penetapan tertulis, atau yang disamakan dengan itu, yang dikeluarkan atau ditolak dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan TUN. 6 Mengacu pada ketiga definisi keputusan TUN di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi absolut PTUN adalah hanya menyangkut mengadili dan memutus keputusan TUN. Sementara itu, para pihak dalam sengketa itu adalah warga negara atau individual atau badan hukum perdata yang selalu hanya dapat menjadi Penggugat melawan Badan atau Pejabat TUN yang selalu menjadi Tergugat. 7 Kemudian, apa yang dimaksud dengan Keputusan TUN oleh undangundang dirumuskan sebagai berikut, yaitu: 5 Rozali Abdullah, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hlm Darwan Prist, S.H., Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm Sehingga, dapat dikatakan bahwa ada suatu asas, yaitu tidak mungkin, atau tidak boleh Badan atau orang perdata menjadi Tergugat. Pelanggaran terhadap hal ini adalah suatu perbuatan melawan hukum yang sangat serius. 3

4 Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 8 Selain pengertian Keputusan TUN sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, ada juga penulis yang mengatakan bahwa, keputusan TUN adalah: merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN berdasarkan atas: peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual, dan final. 9 Akan tetapi di dalam kenyataannya sebagaimana digambarkan dalam skripsi ini, terdapat berbagai fakta, bahwa obyek sengketa pada PTUN adalah keputusan pihak Yayasan Perguruan Tinggi Swasta (privat/partikelir). Demikian pula Tergugat dalam sengketa TUN yang ada, ternyata tidak selalu badan atau pejabat TUN, tetapi justru yang ada adalah Tergugat merupakan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta atau orang perdata/privat/partikelir. Artinya, prinsip bahwa PTUN hanya mengadili obyek sengketa sepanjang keputusan merugikan individu dilakukan oleh pejabat TUN (publik), seolah-olah telah disimpangi, dan ini dapat dilihat sebagai menyimpangi kategorisasi privatpublik dalam ilmu hukum. Sehingga orang dapat saja menyoal, bukankah suatu 8 Pasal 1 Angka (9) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 9 Soegijatno Tjakranegara, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 4. 4

5 Peradilan harus berjalan secara rasional, sejalan dengan logika atau kaedah hukum yang memisahkan antara aspek publik dan aspek privat? Sebagai contoh, sekaligus Putusan 10 yang menjadi obyek studi penelitian ini adalah dua Putusan Pengadilan dalam sengketa TUN yaitu Putusan No: 48/G/2009/PTUN-SMG dan Putusan No:10/G/2010/PTUN-SMD. Dalam kedua Putusan Pengadilan TUN tersebut di atas, keputusan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta ternyata telah menjadi obyek sengketa PTUN. Menurut tafsir para hakim PTUN, keputusan seperti itu ada yang termasuk dalam kategori keputusan pejabat TUN, namun ada juga hakim yang menyatakan sebaliknya, suatu pertentangan di dalam hukum (conflict within the law) yang tidak boleh terjadi. Keputusan Rektor Universitas Swasta sebagai unsur dari Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang menjadi obyek sengketa PTUN, lebih jauh menjadi suatu legal issue dengan munculnya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sebagaimana diketahui bersama bahwa dengan berlakunya UU No.13 Tahun 2003 maka Karyawan atau Dosen suatu Perguruan Tinggi Swasta seharusnya adalah Buruh atau Pekerja. Artinya, unsur dari Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang lain adalah Pengusaha atau Majikan atau, Pemberi Kerja, menurut UU Ketenagakerjaan. 10 Putusan boleh menjadi obyek Penelitian ilmu hukum untuk menemukan kaedah dan prinsip, tetapi hukum tidak boleh diteliti! Pendapat ini tersirat dalam buku Kontrak Sebagi Nama Ilmu Hukum, Loc. Cit., hlm.5. Isi Lengkap kedua Putusan tersebut dapat dilihat dalam LAMPIRAN Skripsi saya ini. 5

6 Dengan demikian, apabila terjadi sengketa di antara kedua unsur itu, maka sengketa itu adalah sengketa industrial di antara kedua belah pihak dalam hal ini Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta dengan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta. Artinya, Pengadilan yang seharusnya berwenang mengadili atau yang memiliki kompetensi absolut atas perselisihan tersebut, sesuai dengan UU No.2 Tahun 2004 adalah PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Dengan perkataan lain, sengketa yang ada itu/dua sengketa yang putusannya menjadi obyek studi penelitian ini seharusnya tunduk pada rezim hukum dan Pengadilan yang sama sekali berbeda dengan rezim hukum PTUN. Permasalahan demikian yang menjadi alasan Penulis untuk meneliti mengenai Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus Obyek Sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, sebagaimana telah di kemukakan di atas, untuk pada akhirnya menyusun skripsi kesarjanaan ini Latar Belakang Masalah Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986, yang sudah digantikan oleh UU No. 51 Tahun 2009, PTUN mulai beroperasi 5 tahun, dihitung sejak tahun Dengan demikian maka kehadiran PTUN dalam sistem hukum positif di Indonesia sudah sejak tahun 1991, dan sudah menghasilkan banyak Putusan. Dalam pengamatan Penulis, Putusan PTUN di daerah-daerah menimbulkan perbedaan. 6

7 Seperti telah Penulis kemukakan di atas, perbedaan itu dalam arti, tidak sesuai kompetensi yang dimiliki PTUN sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, Putusan yang terjadi di PTUN Semarang. Ternyata PTUN Semarang, menerima menyelesaikan sengketa keputusan badan hukum perdata. Beda halnya di PTUN Samarinda, Hakim ternyata sebaliknya menyatakan tidak dapat diterima gugatan untuk menyelesaikan sengketa keputusan badan hukum swasta. Perbedaan Putusan di kedua wilayah kompetensi relatif PTUN tersebut menjadi perbincangan hangat dikalangan sarjana hukum dan akademisi hukum. Bahkan ada yang berpendapat bahwa, hal itu, perbedaan dalam menggunakan kompetensi mengadili tersebut melanggar hukum. Kewenangan PTUN yang hanya ditujukan untuk menyelesaikan sengketa TUN telah diciderai dengan PTUN menerima keputusan badan hukum perdata LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), bagaimana mungkin LSM menjadi Badan Hukum Publik? Misalnya LSM seperti YPTKSW sebagai obyek sengketa PTUN? dan hal itu berarti menempatkan LSM sebagai badan hukum publik. Menurut Penulis obyek sengketa yang ada dalam Putusan No:10/G/2010/PTUN-SMD dan Putusan No: 48/G/2009/PTUN-SMG adalah seharusnya merupakan Putusan-Putusan yang mengadili keputusan dari Badan Hukum Perdata, bukan mengadili dan memutus keputusan Badan atau Pejabat TUN. Artinya dengan dimasukkannya Keputusan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta di dalam satu dari kedua Keputusan Pengadilan di atas dalam kategori 7

8 keputusan Badan atau Pejabat TUN, maka hal itu adalah suatu penyimpangan. Konsekuensi, apabila ternyata kompetensi absolut PTUN itu salah dan keliru, maka Putusan TUN batal demi hukum (null and void). Umum dipahami, wewenang Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan kenegaraan berasal dari peraturan perundang-undangan 11 atau di dalam ilmu hukum sering disebut dengan asas legalitas (Legaliteitsbeginsel). Kewenangan yang diberikan dalam undang-undang itu kemudian dapat dilakukan dengan tiga cara, antara lain melalui: atribusi, delegasi, dan mandat, 12 yang pada dasarnya adalah termasuk kontrak-kontrak (contracts). Sementara itu, ada ahli hukum berpendapat bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam menyelenggarakan pendidikan merupakan suatu delegasi dari Pemerintah. Akibat dari delegasi adalah muncul pemahaman bahwa pendelegasian kewenangan ini berakibat Yayasan Perguruan Tinggi Swasta merupakan Badan atau Pejabat TUN. Konsekuensi selanjutnya adalah keputusan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan demikian juga merupakan Keputusan TUN. Hakim TUN mengikuti logika berpikir yang demikian untuk mengadili sengketa dalam Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang merupakan obyek PTUN. 11 Ridwan, HR, S.H., Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm Ibid., hlm

9 Sehubungan dengan itu, dipahami badan hukum perdata merupakan pendelegasian wewenang dari Pemerintah dan menjalankan tugas sebagian Eksekutif, 13 akibatnya adalah bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta kemudian menjadi tergolong sebagai eksekutif. Pemahaman seperti ini salah. Diketahui bahwa Pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat dalam suatu Negara dengan tugas-tugas yang beragam dan luas yang tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah sendiri tetapi juga dilakukan oleh pihak swasta. Partisipasi swasta dalam melaksanakan tugas Pemerintah (eksekutif) tidak serta merta menjadikan swasta tersebut sebagai Badan atau Pejabat TUN. Pemikiran seperti ini didasari oleh suatu teori yang dikemukakan oleh Indroharto, yang terkenal dengan teori melebur. Dalam teori tersebut dikatakan bahwa setiap perjanjian perdata yang dilakukan oleh Pemerintah, maka tindakan Pemerintah tersebut akan melebur ke dalam tindakan hukum perdata (misalnya tindakan hukum jual-beli yang telah dilakukan). Meleburnya dalam tindakan hukum perdata, karena yang menjadi poin pentingnya adalah tujuan akhir dari rangkaian tindakan-tindakan hukum tersebut Darwan Prist, S.H., Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 27. Pelimpahan wewenang Eksekutif kepada Lembaga Swasta, misalnya di bidang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, bidang kesehatan dengan pemberian izin kepada Lembaga-Lembaga Swasta untuk mengelola Rumah Sakit Swasta. Pikiran seperti ini telah menciptakan suatu asumsi bahwa Badan Hukum Swasta partikelir seperti Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah badan hukum TUN. Juga, Badan Hukum Swasta partikelir seperti Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah eksekutif! Aneh! 14 Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm

10 Berbeda dengan pandangan yang baru saja dikemukakan diatas, sebaliknya ada yang berpendapat bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam melaksanakan pendidikan bukan pelimpahan wewenang dari Pemerintah. Akan tetapi, Yayasan Perguruan Tinggi Swasta hanya memeroleh ijin dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan. Pemerintah melakukan pembentukan, pengawasan, dan memberikan pembiayaan. Hal ini, menurut para penulis tersebut, tidak serta merta menjadikan Badan Hukum Swasta tersebut tergolong sebagai badan atau pejabat TUN. 15 Tepat bahwa konsekuensi dari teori melebur yang dipakai sebagai dasar sebagaimana dijelaskan diatas, maka Pemerintah hanya melakukan pengawasan yaitu dengan mengeluarkan ijin kepada setiap individual. Itu sebabnya, ada pendapat bahwa keputusan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tunduk pada hukum perdata, terlebih lagi dengan kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), maka yurisdiksi untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan majikan adalah di PHI, suatu Badan Peradilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum di Indonesia. Dalam ilmu hukum, Keputusan TUN adalah suatu perbuatan Pemerintah yang bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkrit menurut prosedur dan persyaratan tertentu. 16 Oleh sebab itu sudah kewajiban Pemerintah untuk turut campur tangan dalam setiap instansi yang melakukan aktifitas pendidikan, termasuk juga Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, 15 Ridwan, HR, S.H., Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm Ibid., hlm

11 dengan ketentuan memberikan perijinan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Implikasi dari dikeluarkannya perijinan oleh Pemerintah atau Badan/Pejabat TUN adalah secara tidak langsung Negara harus mengawasi tindakan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dan dapat dipahami juga bahwa perijinan ini merupakan instrumen dari Negara sebagai satu subyek hukum untuk mengendalikan, dalam arti, antara lain, memfasilitasi Warga Negara atau Badan Hukum Perdata yang juga dalam kedudukan yang setara dengan Negara sebagai badan hukum/subyek hukum (parties to contract), supaya tetap dapat melaksanakan aktivitasnya secara berdaya guna dan berhasil guna. Kaitannya dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas itu, dalam Pasal 102 Ayat 1 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa dalam melaksanakan hubungan industrial, Pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan. Bunyi Pasal di atas menjustifikasi bahwa setelah adanya undang-undang Ketenagakerjaan berarti Pemerintah hanya melakukan pembentukan, pengawasan, dan memberikan pembiayaan, dan tidak serta merta menjadikan Badan Hukum Swasta tergolong sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Di manapun di seluruh dunia, privat itu bukan publik dan publik itu pasti bukan privat. 11

12 Memerhatikan uraian di atas, maka tampaknya adanya pemahaman yang berbeda-beda diantara ahli hukum bahkan ditumpang-tindihkan mengenai Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Badan TUN. Padahal, majikan suatu Yayasan Partikelir berbeda dengan majikan para Pejabat TUN. Majikan adalah tiap orang atau badan hukum yang mempekerjakan seorang buruh atau lebih di Perusahaan yang diwajibkan memberikan tunjangan. 17 UU No. 13 tahun 2003 tidak memberikan persamaan antara pemberi kerja (pengusaha) dengan majikan, akan tetapi memberikan persamaan antara pekerja dengan buruh. 18 Hanya saja, di dalam Pasal 1 Angka (4) diuraikan bahwa pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pemahaman di atas menegaskan bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta juga dengan demikian merupakan pemberi kerja dalam istilah Perburuhan disebut majikan kepada buruh, dalam hal ini Dosen 19 dan atau Karyawan. Orang disebut buruh apabila dia telah melakukan hubungan kerja dengan majikan. 20 Sementara itu, Dosen di Yayasan Perguruan Tinggi yang berstatus swasta, 17 Abdul Rachmad Budiono, S.H., Hukum Perburuhan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1975, hlm. 4. Bandingkan dengan rumusan pengusaha dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 18 Pasal 1 Angka (3) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 19 Perlu ditegaskan di sini bahwa secara prinsipil, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia Dosen adalah profesional. 12

13 dimana sistem pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. 21 Maka ketika sudah ada hubungan kerja yang berupa suatu perjanjian antara seseorang (Dosen atau Karyawan) dengan Badan Hukum Perdata (Yayasan Perguruan Tinggi Swasta), apabila ada sengketa, sengketa itu merupakan sengketa hubungan industrial. Menurut UU No.2 Tahun 2004, kompetensi absolut untuk hal itu berada di PHI. Artinya, apabila PTUN masih mengklaim kompetensi absolut untuk mengadili sengketa industrial maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan. 22 Bukankah hukum sebagai suatu sistem yang sangat sempurna tidak membolehkan hal ini, pertentangan dalam sistem itu sendiri? 23 Suatu studi perbandingan antara UU No.2 Tahun 2004 jo. UU No.13 Tahun 2003 dengan Pasal 1 Angka (10) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan 20 Dikutip dari H. Zainal Asikin, SH, S.U., H. Agusfian Wahab, SH., Lalu Husni, SH, M.Hum., Zaeni Asyhadie, SH, M.Hum, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm Sahala Aritonang. S.H., Hak-hak Guru dan Dosen Swasta Jika Diberhentikan. CV. Eko Jaya, Jakarta, 2007, hal. 7. Ia membedakan Guru dan Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan/pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah karena pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian diatur oleh Peraturan Pemerintah dan berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). 22 Sebelum disahkannya UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, setiap perselisihan hubungan industrial diajukan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan putusannya bersifat final. Kemudian ketika ada pihak tidak memerima putusan tersebut, mereka mengajukan ke PTUN. Hanya saja, yang menjadi obyek sengketa adalah keputusan P4P, bukan keputusan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta misalnya. Namun hal ini merupakan alasan PTUN dapat memutus sengketa Yayasan perguruan Tinggi Swasta. Akan tetapi setelah undang-undang PHI berlaku, maka P4P daerah maupun pusat tidak memiliki kewenangan lagi untuk menyelesaikan Perburuhan begitu juga dengan PTUN. Lembaga-lembaga politik tersebut sudah bubar! 23 Mengenai hal ini dapat dibaca dalam Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Buku: Kontrak Sebagai Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. 13

14 Kedua UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, apakah Yayasan suatu Perguruan Tinggi Swasta merupakan Badan atau Pejabat TUN? Adalah masalah yang penting setelah keberadaan UU No.2 Tahun 2004, yang tidak lagi menghendaki sengketa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta masih saja dimasukkan dalam sengketa kewenangan PTUN. Tetapi anehnya mengapa para penegak hukum (seperti pengacara) tidak mau memahami bahwa sesungguhnya dengan berlakunya UU No.2 Tahun 2004 ada konflik jurisdiksi sepanjang apabila penggugat itu adalah Dosen dan Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta melawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang menurut UU No.13 Tahun 2003, Dosen dan Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah buruh atau pekerja. Kemudian di dalam kepustakaan hubungan industrial, Yayasan/juga dapat digolongkan sebagai pengusaha yang bentuk usahanya adalah Yayasan Perguruan Tinggi atau Universitas Swasta. Ada pendapat bahwa adalah salah jika istilah pengusaha hanya dipahami hanya sebatas para pemilik pabrik atau perusahaanperusahaan, sementara pemilik Yayasan, Lembaga Sosial, Lembaga Pendidikan dan Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan lainnya tidak digolongkan sebagai pengusaha. 24 Itulah sebabnya, dengan memerhatikan uraian di atas maka sengketa antara Dosen atau Karyawan dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang terjadi dalam Perguruan Tinggi Swasta, harus dipahami sama halnya dengan sengketa 24 Sahala Aritonang, S.H., Hak-hak Guru dan Dosen Swasta Jika Diberhentikan. CV. Eko Jaya, Jakarta, 2007, hal

15 antara pengusaha/gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh. Artinya kalau ada perselisihan antara buruh dan majikan dalam hal ini Karyawan, Dosen dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta maka yang pertama kali dipertimbangkan adalah Dosen dan Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta itu adalah buruh atau pekerja. Sementara unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah pengusaha atau majikan. Hal ini semakin menjustifikasi kompetensi absolut pada PHI. Dalam kaitan dengan uraian di atas, Pasal 1 Angka (1) jo Pasal 56 UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, menyebutkan empat jenis perselisihan yaitu: (1) Perselisihan Hak; (2) Perselisihan Kepentingan; (3) Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); (4) Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Ada pendapat bahwa, perselisihan Ketenagakerjaan (Perburuhan) dapat dibedakan antara perselisihan hak dengan perselisihan kepentingan, 25 namun demikian, sengketa atau perselisihan antara Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang lain adalah unsur majikan atau pengusaha. Dengan mengacu Pasal tersebut di atas maka Putusan No: 48/G/2009/PTUN-SMG merupakan perselisihan kepentingan dan Putusan Pengadilan 25 Dikutip dari Abdussalam, S.H., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), Restu Agung, Jakarta, 2009, hlm

16 No:10/G/2010/PTUN-SMD yang juga merupakan perselisihan kepentingan antara buruh dan majikan. Ini menandakan bahwa sudah barang tentu sengketa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta itu harus diselesaikan di PHI. Selama ini sebelum adanya UU No.13 Tahun 2003 jo UU No.2 Tahun 2004, apabila ada sengketa antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dan Dosen (sebagai contoh dalam kedua sengketa itu), maka penyelesaian sengketanya adalah di PTUN yang tunduk pada UU No.5 Tahun 1986 dengan perubahan UU No.51 Tahun 2009, tetapi setelah ada undang-undang tersebut sengketa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah merupakan kompetensi absolut PHI. Mencermati juga akan kasus-kasus di atas, yang mana dengan dimasukkan Badan Hukum Swasta sebagai Badan atau Pejabat TUN, yang selalu menjadi Tergugat, sementara, untuk selamanya seharusnya orang atau pihak warga negara/masyarakat/orang akan selalu menjadi pihak Penggugat, ada prinsip yang seolah-olah telah dilanggar. Ada dalil dalam Putusan yang menjadi obyek studi/penelitian ini bahwa keputusan (beschikking) memiliki sifat norma dalam hal konkret, individual dan final. Sementara keputusan misalnya YPTKSW dan Yayasan/Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta (BP-PTS) 17 Agustus 1945 Samarinda, dipertanyakan merupakan keputusan yang final. 16

17 UU No.2 Tahun 2004 didalamnya diatur bahwa, keputusan PHK adalah suatu putusan yang belum bersifat final, sebabnya yaitu sengketa karena PHK yang kemudian menjadi masalah, masih harus diuji di PHI sebagai the last resort. 26 Sehingga dalam hubungan hukum buruh-majikan PKWT misalnya, bukan merupakan suatu beschikking, sebab belum final. Atas dalil di atas kemudian ada pendapat bahwa sengketa yang terjadi yaitu dalam Putusan No:10/G/2010/PTUN-SMD antara Alikuddin Saragih,SH., M.Hum, yang merupakan Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda melawan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda dengan obyek sengketanya adalah Surat Keputusan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda Nomor : 055/UN.17 /KP/II/2011 tanggal 1 Pebruari 2011 perihal Pemberhentian Sementara sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, dan Putusan No: 48/G/2009/PTUN-SMG sengketa yang terjadi antara Dosen Fakultas Psikologi UKSW Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA dengan Rektor UKSW saat itu Prof. Kris Herawan Timotius dengan obyek sengketa adalah SK Rektor UKSW No. 158/Rek/5/2009 tentang Pemberhentian Dosen Tetap tidak dapat menjadi obyek sengketa di dalam PTUN. Sesuai dengan unsur Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yakni Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan 26 Pasal 3 ayat 1 UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 17

18 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka mengacu Pasal tersebut, jabatan Rektor Perguruan Tinggi Swasta bukanlah Pejabat TUN, karena tidak melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PTUN dengan demikian dapat dikatakan tidak memiliki kewenangan (kompetensi absolut) untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan kedua sengketa tersebut di atas. Seharusnya sengketa tersebut masuk dalam kewenangan absolut Pengadilan yang mengadili sengketa hubungan industrial. Bagaimanakah hal ini selanjutnya, perlu ada kepastian. Hal ini menjadi latar belakang penulis memilih menulis permasalahan di atas Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, untuk membatasi agar pembahasan masalah tidak terlalu luas maka Penulis membuat suatu rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah kompetensi absolut PTUN memutus obyek sengketa dalam jurisdiksi absolut sebagaimana diatur dalam rezim UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kompetensi absolut PTUN setelah berlakunya UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003 dalam mengadili sengketa hubungan industrial dimana pihak Yayasan Perguruan 18

19 Tinggi Swasta berkedudukan sebagai pengusaha atau majikan dan Dosen atau Karyawan Yayasan Peguruan Tinggi Swasta berkedudukan sebagai buruh Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah penelitian hukum. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang kompetensi absolut, baik yang dimiliki oleh PTUN maupun PHI. Satuan amatan penelitian ini adalah: (1) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN; (2) UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; (3) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sementara itu ada pula beberapa Putusan Pengadilan yang dicermati misalnya Putusan PTUN No: 48/G/2009/PTUN-SMG dan Putusan PTUN No:10/G/2010/PTUN-SMD berkaitan dengan peraturan perundang-undangan diantaranya UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan satuan analisa penelitian ini adalah bagaimana kompetensi absolut PTUN dalam mengadili dan memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta setelah berlakunya UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Apabila dalam Uraian diatas dalam BAB II Penulis telah melakukan suatu tinjauan pustaka yang tidak lain tujuannya adalah untuk menjawab perumusan masalah: bagaimanakah

Lebih terperinci

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, 95. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 18

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, 95. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 18 KAPABILITAS PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA EKO HIDAYAT Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Raden Intan Lampung Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung Email: eko_hidayat@yahoo.com Abstrak:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA H. Ujang Abdullah, SH., M.Si *

KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA H. Ujang Abdullah, SH., M.Si * KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA H. Ujang Abdullah, SH., M.Si * I. PENDAHULUAN Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dimulai dengan lahirnya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan atau pemahaman antara dua pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah hukum apabila pertentangan

Lebih terperinci

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : SOLECHAN 1. A. PENDAHULUAN Sejak dahulu sampai sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dibuat sendiri maupun berkerja pada orang lain atau perusahaan. Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. yang dibuat sendiri maupun berkerja pada orang lain atau perusahaan. Pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Untuk memenuhi semua kebutuhannya, manusia dituntut untuk memiliki pekerjaan, baik pekerjaan yang dibuat sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Pada dasarnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengketa TUN terjadi karna adanya seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Pada dasarnya menurut ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diundangkan pada tanggal 29 Desember

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebuah deklarasi bahwa negara ini berdiri dan berjalan berdasar pada ketentuan hukum. Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut sekaligus

Lebih terperinci

SILABUS. A. Identitas Mata Kuliah. 1. Nama Mata Kuliah : Perselisihan Hubungan Industrial. 2. Status Mata Kuliah : Wajib Konsentrasi

SILABUS. A. Identitas Mata Kuliah. 1. Nama Mata Kuliah : Perselisihan Hubungan Industrial. 2. Status Mata Kuliah : Wajib Konsentrasi SILABUS A. Identitas Mata Kuliah 1. Nama Mata Kuliah : Perselisihan Hubungan Industrial 2. Status Mata Kuliah : Wajib Konsentrasi 3. Kode Mata kuliah : 4. Jumlah SKS : 2 B. Deskripsi Mata Kuliah Perselisihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang. uang yang digunakan untuk memenuhi tuntutan hidup mereka akan

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang. uang yang digunakan untuk memenuhi tuntutan hidup mereka akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Pada dasarnya manusia selalu berjuang dengan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan mengapa Penulis memiliki judul; Hubungan Kerja. berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan mengapa Penulis memiliki judul; Hubungan Kerja. berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Adapun alasan mengapa Penulis memiliki judul; Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang 11 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang banyak, sehingga membutuhkan lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk menyerap tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gugatan terhadap pejabat atau badan Tata Usaha Negara dapat diajukan apabila terdapat sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul karena dirugikannya

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dari rakyat. Hukum dan kekuasaan itu menjadi nyata jika dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. hukum dari rakyat. Hukum dan kekuasaan itu menjadi nyata jika dilaksanakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat) 1. Dalam suatu Negara Hukum yang baik adalah hukum yang

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Gambaran hasil penelitian dalam Bab mengenai Hasil Penelitian dan Analisis ini akan dimulai dari pemaparan hasil penelitian terhadap peraturan perundangundangan sebagaimana

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MEMPUNYAI IKATAN PERKAWINAN DALAM PERUSAHAAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MEMPUNYAI IKATAN PERKAWINAN DALAM PERUSAHAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MEMPUNYAI IKATAN PERKAWINAN DALAM PERUSAHAAN Oleh I Dewa Ayu Trisna Anggita Pratiwi I Ketut Keneng Bagian Hukum Perdata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian kerja dalam Bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkomst, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to contract) penyelenggara jaringan telekomunikasi diwajibkan untuk memenuhi permohonan pihak

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pekerja merupakan aset utama dalam sebuah perusahaan karena tanpa adanya pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam menghasilkan barang

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pekerja/buruh dan Pengusaha Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja/buruh adalah Setiap orang yang bekerja

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA A. Hasil Penelitian 1. Bentuk atau Struktur Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No.188.44/0135/KUM/2007 Bentuk atau struktur dari Surat Keputusan Gubernur Kalimantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Kenyataan telah membuktikan bahwa faktor ketenagakerjaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP SENGKETA TATA USAHA NEGARA TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI BNI 1946 AKIBAT SKANDAL PEMALSUAN LC FIKTIF

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP SENGKETA TATA USAHA NEGARA TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI BNI 1946 AKIBAT SKANDAL PEMALSUAN LC FIKTIF BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP SENGKETA TATA USAHA NEGARA TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI BNI 1946 AKIBAT SKANDAL PEMALSUAN LC FIKTIF A. ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan berkembangnya kehidupan manusia dalam bermasyarakat, banyak sekali terjadi hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut, baik peristiwa hukum maupun perbuatan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum 1 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI) Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja 1. Pengertian Tenaga Kerja Pengertian Tenaga Kerja dapat di tinjau dari 2 (dua)

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang Disebabkan Karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di PT. Planet Electrindo Berdasarkan Putusan Nomor 323K/Pdt.Sus-PHI/2015

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2 TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 1 Oleh : Ruben L. Situmorang 2 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA Oleh : H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., MH. I. PENDAHULUAN Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengusaha maupun pekerja/buruh. Fakta menunjukkan bahwa PHK seringkali

BAB I PENDAHULUAN. pengusaha maupun pekerja/buruh. Fakta menunjukkan bahwa PHK seringkali BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu mejadi hal yang sulit baik bagi pengusaha maupun pekerja/buruh. Fakta menunjukkan bahwa PHK seringkali menimbulkan ketidakpuasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum Pendahuluan PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum Sebagai seorang mahasiswa yang bercita-cita menjadi advokat maka ketika ada sebuah permasalahan di bidang hukum

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. investor asing yang menjadi pokok kajian skripsi ini. khusus Polisi Resort Demak untuk menyelesaikan sengketa dengan melibatkan

BAB IV PENUTUP. investor asing yang menjadi pokok kajian skripsi ini. khusus Polisi Resort Demak untuk menyelesaikan sengketa dengan melibatkan BAB IV PENUTUP Dalam Bab ini Penulis mengemukakan sejumlah kesimpulan sehubungan dengan penggunaan diskresi sebagai alat penyelesaian sengketa dengan keterlibatan investor asing yang menjadi pokok kajian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum normatif mengkaji data-data sekunder di bidang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. 1. Pengertian hubungan industrial dan kaitannya dengan hubungan industrial

BAB II TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. 1. Pengertian hubungan industrial dan kaitannya dengan hubungan industrial 15 BAB II TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 1. Pengertian hubungan industrial dan kaitannya dengan hubungan industrial Pancasila Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No.13 Tahun 2003

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014 PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN SETELAH PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1 Oleh : Moh. Iswanto Sumaga 2 A B S T R A K Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimanakah bentukbentuk sengketa setelah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XVI/2018 Kewajiban Pencatatan PKWT ke Intansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XVI/2018 Kewajiban Pencatatan PKWT ke Intansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XVI/2018 Kewajiban Pencatatan PKWT ke Intansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan I. PEMOHON Abdul Hakim, Romi Andriyan Hutagaol, Budi Oktariyan, Mardani,

Lebih terperinci

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi Tubagus Haryo Karbyanto, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejatien

Lebih terperinci

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2)

Lebih terperinci

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT Para pihak : Penggugat Tergugat : CV. MUTIARA : Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.

Lebih terperinci

Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara

Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Bagian Pertama : Gugatan Oleh Ayi Solehudin Pendahuluan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu pilar peradilan dari empat peradilan yang

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004

BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 A. Kedudukan dan Tanggung Jawab Hakim Pada pasal 12 ayat 1 undang-undang No 9 tahun 2004 disebutkan bahwa hakim pengadilan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU Oleh Suyanto ABSTRAK Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur tegas di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun penghidupan yang layak bagi kemanusian.

BAB I PENDAHULUAN. diatur tegas di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun penghidupan yang layak bagi kemanusian. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia harus berupaya memperoleh penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Bekerja merupakan salah satu upaya manusia dalam rangka memperoleh

Lebih terperinci

HUKUM KEPEGAWAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

HUKUM KEPEGAWAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL HUKUM KEPEGAWAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara Rombel 05 Semester Genap 2016-2017 Dosen Pengampu : Dr.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh I. PEMOHON M.Komarudin dan Muhammad Hafidz, sebagai perwakilan dari Federasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Tidak dapat kita pungkiri bahwa merek merupakan suatu aset yang sangat berharga dalam dunia perdagangan sehingga memegang peranan yang sangat penting. Oleh

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi antara Serikat Pekerja dengan PT Andalan Fluid di Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi Kota Bogor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit Dr. Sri Rahayu, SH, MM Widyaiswara Madya Badan Diklat Kementerian Tenaga Kerja Abstrak: (Diterima 13 November

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) nagara.

BAB II LANDASAN TEORI. diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) nagara. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Teori 2.1.1 Teori Kepastian Hukum Kepastian hukum menurut Jan Michiel Otto mendefenisikan sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu : 1) Tersedia aturan -aturan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Pengertian Peran Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada kedudukan-kedudukan tertentu dalam masyarakat, kedudukan dimana dapat dimiliki

Lebih terperinci

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 9 (2014) Copyright 2014

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 9 (2014)  Copyright 2014 JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 9 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja Copyright 2014 ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN ALIH DAYA (OUTSOURCING) ANTARA PDAM DENGAN

Lebih terperinci

A.Latar Belakang Masalah

A.Latar Belakang Masalah A.Latar Belakang Masalah Setiap manusia hidup mempunyai kepentingan. Guna terpenuhinya kepentingan tersebut maka diperlukan adanya interaksi sosial. Atas interaksi sosial tersebut akan muncul hak dan kewajiban

Lebih terperinci

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DEFINISI UU PERATUN UU 51/2009 Psl. 1 angka 9. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis

Lebih terperinci

KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN Aju Putrijanti Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jl Prof Soedarto, S.H.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan orang lain dalam hubungan saling bantu membantu dalam

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan orang lain dalam hubungan saling bantu membantu dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan penghasilan agar dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dalam usaha untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK I. PEMOHON Yan Herimen, sebagai Pemohon I; Jhoni Boetja, sebagai Pemohon II; Edy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja. Dalam melakukan pekerjaan harus dibedakan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja. Dalam melakukan pekerjaan harus dibedakan yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya menuntut setiap orang untuk bekerja. Dalam melakukan pekerjaan harus dibedakan yaitu pelaksanaan pekerjaan untuk kepentingan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun antar negara, sudah sedemikian terasa ketatnya. 3

BAB I PENDAHULUAN. maupun antar negara, sudah sedemikian terasa ketatnya. 3 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi dan pasar bebas belum berjalan sepenuhnya. Akan tetapi aroma persaingan antar perusahaan barang maupun jasa, baik di dalam negeri maupun antar negara,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 didefinisikan sebagai Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara perusahaan dengan para pekerja ini saling membutuhkan, di. mengantarkan perusahaan mencapai tujuannya.

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara perusahaan dengan para pekerja ini saling membutuhkan, di. mengantarkan perusahaan mencapai tujuannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan adagium ini nampaknya biasa saja, seperti tidak mempunyai makna. Tetapi kalau dikaji lebih jauh akan kelihatan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIII/2015 Pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIII/2015 Pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUUXIII/2015 Pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) I. PEMOHON 1. Sanusi Afandi, SH., MM, sebagai Pemohon I; 2. Saji, S.Pd,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berkembang yang sedang giat melakukan pembangunan. Pembangunan di Indonesia tidak dapat maksimal jika tidak diiringi dengan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Dalam Bab ini akan diketengahkan gambaran dari suatu hasil penelitian Penulis. Gambaran hasil penelitian dimaksud bukanlah penelitian terhadap studi kepustakaan seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam suatu

BAB I PENGANTAR. Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam suatu 1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Urgensi mengadakan suatu badan peradilan administrasi tidak hanya dimaksudkan sebagai pengawasan ekstern terhadap pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK A. KERANGKA TEORITIK PENYELESAIAN PERSELISIHAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 1. Perselisihan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2

TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2 TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2 ABSTRAK Secara konstitusional UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi, air, ruang angkasa serta

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Hubungan Kerja Hubungan antara buruh dengan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 134/PUU-XII/2014 Status dan Hak Pegawai Negeri Sipil

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 134/PUU-XII/2014 Status dan Hak Pegawai Negeri Sipil I. PEMOHON Ricky Elviandi Afrizal RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 134/PUU-XII/2014 Status dan Hak Pegawai Negeri Sipil II. III. IV. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2. PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI

Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI Peranan Dinas Tenaga Kerja Dalam Penyelesaian Hubungan Industrial Di Kota Pematangsiantar Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI Abstrak Beragam permasalahan melatarbelakangi konflik Hubungan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 27/PUU-XIII/2015 Status Pegawai Honorer dengan Berlakunya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 27/PUU-XIII/2015 Status Pegawai Honorer dengan Berlakunya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 27/PUUXIII/2015 Status Pegawai Honorer dengan Berlakunya UndangUndang Aparatur Sipil Negara I. PEMOHON Rochmadi Sularsono II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil UndangUndang

Lebih terperinci