KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE"

Transkripsi

1 KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE Skripsi PUTU PRIMAWATI I JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2 KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE Skripsi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik PUTU PRIMAWATI I JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

3 LEMBAR PENGESAHAN Judul Tugas Akhir: KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE Ditulis oleh: Putu Primawati I Mengetahui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Ir. Lobes Herdiman, MT NIP Retno Wulan Damayanti, ST, MT NIP Pembantu Dekan I Fakultas Teknik Ketua Jurusan Teknik Industri Ir. Noegroho Djarwanti, MT NIP Ir. Lobes Herdiman, MT NIP LEMBAR VALIDASI 3

4 Judul Tugas Akhir : KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE Ditulis oleh: Putu Primawati I Telah disidangkan pada hari Jum'at tanggal 29 Januari 2010 Di Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta, dengan Dosen Penguji 1. Ir. Munifah, MSIE, MT NIP Ilham Priadythama, ST, MT NIP Dosen Pembimbing 1. Ir. Lobes Herdiman, MT NIP Retno Wulan Damayanti, ST, MT NIP SURAT PERNYATAAN 4

5 ORISINALITAS KARYA ILMIAH Saya mahasiswa Jurusan Teknik Industri UNS yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Putu Primawati Nim : I Judul tugas akhir : Kajian Fisiologi Tiga Desain Prosthetic Kaki Bagian Bawah Lutut pada Amputee Dibanding Orang Normal dengan Mempertimbangkan Nilai Basal Metabolic Rate Menyatakan bahwa Tugas Akhir (TA) atau Skripsi yang saya susun tidak mencontoh atau melakukan plagiat dari karya tulis orang lain. Jika terbukti bahwa Tugas Akhir yang saya susun mencontoh atau melakukan plagiat dapat dinyatakan batal atau gelar Sarjana yang saya peroleh dengan sendirinya dibatalkan atau dicabut. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila dikemudian hari terbukti melakukan kebohongan maka saya sanggup menanggung segala konsekuensinya. Surakarta, Januari 2010 Putu Primawati I SURAT PERNYATAAN 5

6 PUBLIKASI KARYA ILMIAH Saya mahasiswa Jurusan Teknik Industri UNS yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Putu Primawati Nim : I Judul tugas akhir : Kajian Fisiologi Tiga Desain Prosthetic Kaki Bagian Bawah Lutut pada Amputee Dibanding Orang Normal dengan Mempertimbangkan Nilai Basal Metabolic Rate Menyatakan bahwa Tugas Akhir (TA) atau Skripsi yang saya susun sebagai syarat lulus Sarjana S1 disusun secara bersama-sama dengan Pembimbing 1 dan Pembimbing 2. Bersamaan dengan syarat pernyataan ini bahwa hasil penelitian dari Tugas Akhir (TA) atau Skripsi yang saya susun bersedia digunakan untuk publikasi dari proceeding, jurnal, atau media penerbit lainnya baik di tingkat nasional maupun internasional sebagaimana mestinya yang merupakan bagian dari publikasi karya ilmiah Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Surakarta, Januari 2010 Putu Primawati I KATA PENGANTAR 6

7 Segala puji bagi Allah Bapa yang telah memberi anugerah dan karunia-nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan Laporan Tugas Akhir Kajian Fisiologi Tiga Desain Prosthetic Kaki Bagian Bawah Lutut pada Amputee Dibanding Orang Normal dengan Mempertimbangkan Nilai Basal Metabolic Rate ini dengan baik. Dengan segenap ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas segala bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat menyelasaikan Laporan Tugas Akhir ini. Penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Allah Bapa atas anugerah, karunia, dan segalanya yang memampukan penulis menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini. 2. Ibu dan Bapak atas dukungan dan doa yang tak pernah putus sehingga berhasil menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini. Sayang selalu. 3. Bapak Ir. Lobes Herdiman, MT selaku Ketua Jurusan Teknik Industri Universitas Sebelas Maret Surakarta, Pembimbing Akademik, dan Dosen Pembimbing 1. Terima kasih atas bimbingan, bantuan, dan kesabaran bapak selama penyelesaian Laporan Tugas Akhir. 4. Ibu Retno Wulan Damayanti ST, MT selaku Dosen Pembimbing 2, terima kasih atas segala bimbingan, masukan, dan semangat ibu selama penyelesaian Laporan Tugas Akhir. 5. Ibu Ir. Munifah, MSIE, MT dan Bapak Ilham Priadythama, ST, MT selaku Dosen Penguji, terima kasih atas masukan dan perbaikan untuk Laporan Tugas Akhir ini. 6. Bapak Taufik Rohman STP, MT selaku koordinator Tugas Akhir yang telah membantu mempermudah pelaksanaan Tugas Akhir ini. 7. Seluruh dosen Teknik Industri yang telah mewariskan indahnya ilmu Teknik Industri kepada penulis. Serta seluruh Admin TI atas segala bantuannya. 8. Adik terkasih, Titis dan seluruh keluargaku serta Pandu tercinta atas dukungan, semangat, dan doanya dalam penyelesaian laporan Tugas Akhir ini. 9. Bala 2005 TI UNS atas kebersamaan, keceriaan, semangat, dukungan, dan kerjasama kalian semua. Terima kasih telah menjadi mutiara-mutiara dalam rangkaian hidupku. Tetap sehat, tetap semangat, sukses akan kita raih. 10. Teman-teman seperjuangan Agus, Anna, Galih terima kasih atas semangat dan kegilaannya yang membuat tetap bertahan. Merdeka!!! 7

8 11. Sohib-sohib terbaik Dian, Imung, Anna, Endri, Danang, Rony, Adwin untuk bantuan, semangat, keceriaan, dan doanya. Yes we can!!! 12. Sobat D Kanerz, it s a gift being part of you, guys. Terima kasih untuk semangat dan keceriaan yang menulariku. 13. My sisters Rani, Arum, Vanny, Djenk Wied, Tante Yuun, Mba End atas semangat, nasihat, dan doanya. Loph you, sisto. 14. Semua pihak yang belum tertulis di atas, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya. Sebagai akhir dari kata pengantar ini, penulis menyampaikan bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Saran dan kritik diharapkan untuk perbaikan. Semoga laporan ini bermanfaat dan dapat memberikan inspirasi bagi semua, Amiin. Mohon maaf & terima kasih. Surakarta, Januari 2010 Penulis ABSTRAK Putu Primawati, NIM: I KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE. Skripsi. Surakarta : Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Januari

9 Berjalan merupakan salah satu aktivitas dasar yang dilakukan oleh alat gerak bagian bawah, yaitu kaki. Kehilangan pada bagian tersebut, yang disebut amputasi, menimbulkan keterbatasan dalam berjalan. Keterbatasan ini dapat dipenuhi dengan adanya alat bantu gerak (prosthetic). Penggunaan alat ini menyebabkan peningkatan energi sebesar 10-15% untuk berjalan. Padahal besarnya penggunaan energi ini perlu mempertimbangkan nilai Basal Metabolic Rate (BMR). Prosthetic kaki bawah lutut yang dikaji adalah jenis eksoskeletal, endoskeletal Merek Regal, dan endoskeletal Pengembangan. Penelitian ini mengkaji fisiologi terhadap aktivitas berjalan pada amputee dengan menggunakan tiga desain prosthetic tersebut dibandingkan dengan orang normal. Metode pengukuran fisiologi yang digunakan meliputi empat kriteria, yaitu %CVL (Cardiovasculair Load), energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen. Pengukuran dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan mengukur denyut nadi. Responden berjumlah 1 orang amputee dan 10 orang normal. Setiap responden berjalan normal pada lintasan 12 meter dan berjalan pada treadmill sejauh 100 meter dengan tiga kecepatan berbeda. Empat kriteria dihitung berdasarkan nilai denyut nadi. Denyut nadi diukur dengan metode 10 denyut dan menggunakan alat sensor pada treadmill. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan memberikan hasil %CVL sebesar 3.21±0.09% yang lebih rendah dibanding dua desain prosthetic lainnya, sedangkan %CVL responden normal yaitu 3.14±0.57%. Hasil pengukuran energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen menunjukkan kestabilan garis yang mirip dengan responden normal. Dimana nilai BMR amputee yaitu 1372 Kkal/hari, sedangkan nilai BMR responden normal berkisar 1472±8.48 Kkal/hari dan keduanya masuk dalam kategori BMI (Body Mass Index) yaitu langsing. Hal tersebut menunjukkan bahwa desain prosthetic kaki bagian bawah lutut terbaik dalam mengakomodasi aktivitas berjalan yaitu desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan karena memberikan nilai pengukuran fisiologi yang paling mendekati responden normal Kata kunci: fisiologi, prosthetic kaki bagian bawah lutut, BMR xvii halaman; 64 gambar; 38 tabel; 1 lampiran Daftar pustaka: 26 ( ) ABSTRACT Putu Primawati, NIM: I , PHYSIOLOGY STUDY OF THREE BELOW KNEE PROSTHETIC DESIGN ON AMPUTEE COMPARE TO NORMAL PEOPLE CONSIDERING BASAL METABOLIC RATE VALUE. Thesis. Surakarta: Industrial Engineering Department, Faculty of Engineering, Sebelas Maret University, Januari Walking is one of basic activity done by lower part moving device, called leg. Losing at the division, called amputation, generates limitation in walking. 9

10 This limitation can be completed by artificial limbs (prosthetic). Usage of this device causes improvement of energy about 10-15% for walking. Besides the level of improvement energy need to consider Basal Metabolic Rate (BMR) value. Below knee prosthetic designs studied in this experiment are exoskeleton, Regal endoskeleton, and Expansion endoskeleton. This research study physiology to walking activity at amputee by using those three prosthetic designs compared to normal people. Method of physiology applied covers four criterions. They are %CVL (Cardiovasculair Load), energy expenditure, calorie requirement, and oxygen consumption. Measurement is done indirectly with measuring pulse. One amputee and ten normal people selected for this research. Each responder is walking normally 12 meters and in treadmill 100 meters with three different speeds. The criterions are calculated based on pulse value. Pulse is measured with 10 pulses method and applies censor device at treadmill. Result of research indicates that Expansion endoskeleton prosthetic design gives result of %CVL value 3.21±0.09% lower than two other prosthetic designs, while %CVL normal responder is 3.14±0.57%. Result of energy expenditure, calorie requirement, and oxygen consumption shows stability of line looking like normal responder. Amputee s BMR value is 1372 Kkal/hari, while value BMR of normal responder approximately 1472±8.48 Kkal/hari. Both amputee and normal responder categorize BMI (Body Mass Index) that is slim. The conclusion for best below knee prosthetic in accommodating walking activity is Expansion endoskeleton prosthetic design because giving value of nearest physiology of normal people. Keywords: physiology, below knee prosthetic, BMR xvii pages; 64 figures; 38 tables; 1 appendixes References: 26 ( ) 10

11 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR VALIDASI... iii SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA ILMIAH... iv SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... v KATA PENGANTAR... vi ABSTRAK... viii ABSTRACT... ix DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xv BAB I PENDAHULUAN... I Latar Belakang... I Perumusan Masalah... I Tujuan Penelitian... I Manfaat Penelitian... I Batasan Masalah... I Asumsi... I Sistematika Penulisan... I-5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... II Prosthetic... II Definisi prosthetic... II Komponen prosthetic kaki bawah lutut... II Prosthetic bawah lutut yang berkembang di Indonesia.. II Pola Jalan Normal Pada manusia... II Fase berjalan... II Gerakan anggota tubuh saat berjalan... II Body Mass Index (BMI)... II Metabolisme Basal... II Konsep Fisiologi Manusia... II Aktivitas fisik manusia... II-18 11

12 2.5.2 Kelelahan (Fatique)... II Denyut jantung... II Energi ekspenditur... II Aerobic capacity... II Penelitian Sebelumnya... II-33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN... III Identifikasi Masalah... III Pengumpulan Data... III Pengolahan Data... III Analisis Data dan Interpretasi Hasil... III Kesimpulan dan Saran... III-8 BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA... IV Pengumpulan Data... IV Desain prosthetic kaki bawah lutut... IV Pengguna prosthetic kaki bawah lutut... IV Responden normal... IV Pengolahan Data... IV Menentukan nilai BMI... IV Menentukan nilai BMR... IV Menentukan denyut nadi... IV Menentukan tingkat kelelahan... IV Menentukan energi ekspenditur... IV Menentukan kebutuhan kalori... IV Menentukan konsumsi oksigen... IV Perbandingan hasil pengukuran pada pengguna prosthetic dan responden normal... IV-58 BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL... V Analisis Hasil Penelitian... V Analisis Hasil Perhitungan Nilai BMI dan BMR... V Analisis Hasil Perhitungan %CVL... V Analisis Hasil Perhitungan %CVL per Fase... V Analisis Hasil Perhitungan Energi Ekspenditur... V-7 xii

13 5.1.5 Analisis Hasil Perhitungan Kebutuhan Kalori... V Analisis Hasil Perhitungan Konsumsi Oksigen... V Analisis terhadap Faktor yang Perlu Dikontrol... V Interpretasi Hasil... V-16 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... VI Kesimpulan... VI Saran... VI-1 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

14 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15 Tabel 4.16 Tabel 4.17 Tabel 4.18 DAFTAR TABEL Perbandingan nonartikulasi dan artikulasi assembly... Klasifikasi body mass index (BMI) menurut WHO... Klasifikasi body mass index (BMI) orang Asia dewasa... Kebutuhan energi untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan... Kebutuhan energi untuk aktivitas fisik manusia... Klasifikasi kerja berdasarkan % CVL... Data denyut nadi aktivitas berjalan normal pengguna prosthetic... Data denyut nadi aktivitas berjalan di treadmill pengguna prosthetic... Data denyut nadi aktivitas berjalan normal responden normal... Data denyut nadi aktivitas berjalan pada treadmill responden normal... Nilai BMI pada responden normal... Nilai BMR pada responden normal... Hasil perhitungan denyut nadi pengguna prosthetic... Hasil perhitungan denyut nadi responden normal... Hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic... Hasil perhitungan % CVL responden normal... Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada pengguna prosthetic... Distribusi % CVL per siklus pada pengguna prosthetic.. Nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic... Waktu per fase berjalan pada pengguna prosthetic... Distribusi nilai % CVL per fase pada pengguna prosthetic... Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada responden normal... Distribusi % CVL per siklus pada responden normal... Nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal.. Hal. II-4 II-15 II-16 II-20 II-21 II-28 IV-6 IV-7 IV-9 IV-11 IV-14 IV-15 IV-17 IV-19 IV-21 IV-23 IV-25 IV-27 IV-28 IV-29 IV-30 IV-32 IV-33 IV-34 xiv

15 Tabel 4.19 Tabel 4.20 Tabel 4.21 Tabel 4.22 Tabel 4.23 Tabel 4.24 Tabel 4.25 Tabel 4.26 Tabel 4.27 Tabel 4.28 Tabel 4.29 Tabel 4.30 Tabel 4.31 Tabel 5.1 Waktu per fase berjalan pada responden normal... Distribusi nilai % CVL per fase pada responden normal... Hasil perhitungan energi ekspenditur pengguna prosthetic... Hasil perhitungan energi ekspenditur responden normal... Hasil perhitungan kebutuhan kalori pengguna prosthetic.. Hasil perhitungan kebutuhan kalori responden normal... Hasil perhitungan konsumsi oksigen pengguna prosthetic Hasil perhitungan konsumsi oksigen responden normal... Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL... Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL per fase... Rekapitulasi hasil perbandingan energi ekspenditur... Rekapitulasi hasil perbandingan kebutuhan kalori... Rekapitulasi hasil perbandingan konsumsi oksigen... Perbandingan nilai maksimum-minimum %CVL per fase IV-35 IV-37 IV-41 IV-43 IV-47 IV-49 IV-53 IV-55 IV-58 IV-59 IV-60 IV-62 IV-63 V-6 xv

16 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 2.10 Gambar 2.11 Gambar 2.12 Gambar 2.13 Gambar 2.14 Gambar 2.15 Gambar 2.16 Gambar 2.17 Gambar 2.18 Gambar 2.19 Gambar 2.20 Gambar 2.21 Gambar 2.22 Gambar 2.23 Gambar 2.24 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 4.1 Gambar 4.2 DAFTAR GAMBAR Prosthetic bawah lutut... Nonarticulated foot-ankle assembly... Articulated foot-ankle assembly... Jenis shank pada prosthetic... Jenis socket pada prosthetic... Cuff suspension... Waist belt... Thigh corset... Prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB)... Siklus pola jalan (gait cycle)... Fase berdiri (stance phase)... Fase berayun (swing phase)... Gerakan kaki dan sendi pada fase heel contact... Gerakan kaki dan sendi pada fase foot flat dan acceleration... Gerakan kaki dan sendi pada fase point midstance dan midswing... Gerakan kaki dan sendi pada fase heel off... Gerakan kaki dan sendi pada fase toe off dan deceleration... Gerakan pinggul dan bahu pada saat berjalan... Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan... Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan... Hubungan massa tubuh dengan nilai BMR... Hubungan denyut jantung dengan kondisi kerja dan konsumsi energi... Pembagian denyut jantung pada saat beraktivitas... Total energi ekspenditur... Metodologi penelitian... Alat yang digunakan dalam penelitian... Jenis prosthetic yang digunakan... Pengukuran data awal pada pengguna prosthetic... Hal. II-2 II-3 II-4 II-5 II-6 II-7 II-7 II-8 II-9 II-10 II-10 II-11 II-11 II-12 II-12 II-12 II-13 II-13 II-14 II-14 II-17 II-26 II-26 II-30 III-1 III-4 IV-1 IV-5 xvi

17 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 4.16 Gambar 4.17 Gambar 4.18 Gambar 4.19 Gambar 4.20 Gambar 4.21 Gambar 4.22 Gambar 4.23 Gambar 4.24 Gambar 4.25 Gambar 4.26 Gambar 4.27 Fase berjalan pada pengguna prosthetic... Fase berjalan pada responden normal... Grafik hasil pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic Grafik hasil pengukuran denyut nadi responden normal.. Grafik hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic... Grafik hasil perhitungan % CVL responden normal... Siklus pola jalan (gait cycle)... Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan pengguna prosthetic... Grafik distribusi % CVL per siklus pengguna prosthetic.. Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic... Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada pengguna prosthetic... Distribusi % CVL per fase pada pengguna prosthetic... Distribusi % CVL pada gerak per fase pengguna prosthetic... Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan responden normal... Grafik distribusi % CVL per siklus responden normal... Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal... Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada responden normal... Distribusi % CVL per fase pada responden normal... Distribusi % CVL pada gerak per fase responden normal Energi ekspenditur pada pengguna ketiga desain prosthetic... Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,2 km/jam)... Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,6 km/jam)... Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 2 km/jam)... Kebutuhan kalori pada pengguna ketiga desain prosthetic Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,2 km/jam)... IV-6 IV-10 IV-17 IV-20 IV-22 IV-24 IV-24 IV-26 IV-27 IV-28 IV-29 IV-30 IV-31 IV-32 IV-34 IV-35 IV-36 IV-37 IV-38 IV-41 IV-44 IV-44 IV-45 IV-47 IV-50 xvii

18 Gambar 4.28 Gambar 4.29 Gambar 4.30 Gambar 4.31 Gambar 4.32 Gambar 4.33 Gambar 4.34 Gambar 4.35 Gambar 4.36 Gambar 4.37 Gambar 4.38 Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,6 km/jam)... Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 2 km/jam)... Konsumsi oksigen pada pengguna ketiga desain prosthetic... Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,2 km/jam)... Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,6 km/jam)... Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 2 km/jam)... Grafik perbandingan % CVL amputee dan responden normal... Grafik perbandingan % CVL per fase amputee dan responden normal... Grafik perbandingan energi ekspenditur amputee dan responden normal... Grafik perbandingan kebutuhan kalori amputee dan responden normal... Grafik perbandingan konsumsi oksigen amputee dan responden normal... IV-50 IV-51 IV-53 IV-56 IV-57 IV-57 IV-59 IV-60 IV-61 IV-63 IV-64 xviii

19 BAB I PENDAHULUAN Manusia memiliki alat gerak pada tubuhnya, yaitu sepasang tangan sebagai alat gerak atas dan sepasang kaki sebagai alat gerak bawah. Alat gerak tersebut berfungsi dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan sebagai alat penyeimbang tubuh. Ketiadaan salah satu alat gerak tersebut menyebabkan kesulitan dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan fungsi alat gerak serta menimbulkan ketidakseimbangan pada tubuh manusia. 1.1 LATAR BELAKANG Banyak pengukuran dilakukan untuk melihat seberapa jauh tingkat ergonomi suatu alat bantu gerak ketika digunakan. Ergonomi ini didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau dari aspek anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain perancangan (Nurmianto, E., 2004). Ergonomi terkait dengan pengukuran terhadap optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja. Penelitian ini mengukur besar beban kerja fisik khususnya aktivitas berjalan sehingga dipusatkan pada pengukuran ergonomi dari aspek fisiologi. Pengukuran aspek fisiologi merupakan pengukuran terhadap fungsi organorgan manusia dalam melakukan aktivitas untuk mengukur beban kerja fisik. Aktivitas otot pada kerja fisik mengubah beberapa fungsi dalam tubuh yaitu denyut jantung (heart rate), tekanan darah, output jantung, komposisi kimia dalam darah dan urin, temperatur tubuh, perspiration rate, ventilasi paru-paru dan konsumsi oksigen oleh otot (Sulistyadi dan Susanti, 2003). Pengukuran terhadap perubahan tersebut digunakan untuk mengukur konsumsi energi. Pengukuran fisiologi membantu mengetahui besarnya beban kerja fisik dan konsumsi energi serta oksigen dalam melakukan aktivitas, khususnya dalam berjalan, baik pada orang amputee maupun orang normal. Kehilangan suatu bagian tubuh terutama anggota gerak pada amputee mengakibatkan keterbatasan dalam beraktivitas. Aktivitas berjalan pada amputee dengan alat bantu gerak (prosthetic) tentu berbeda dengan orang normal sehingga xix

20 nilai pengukuran fisiologi keduanya pun berbeda. Suatu aktivitas yang dilakukan seorang amputee akan membutuhkan energi dan oksigen dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan orang normal, selain itu tingkat kelelahan pun lebih besar. Verne T. Inman (1968) mengungkapkan bahwa ketiadaan suatu gerakan tubuh karena hilangnya suatu anggota tubuh menyebabkan pemakaian energi meningkat sebesar 10-15%. Pemakaian energi ini dipengaruhi oleh nilai BMR (Basal Metabolic Rate) sebab nilai ini menggambarkan % total energi (Rowett Research Institute, 1992). Metabolisme basal merupakan penggunaan energi oleh tubuh ketika berada dalam kondisi istirahat. Nilainya berbeda pada setiap individu tergantung usia, jenis kelamin, dan berat badan. Nilai ini biasanya disebut BMR. Orang dengan nilai BMR tinggi berarti energi terbakar lebih banyak pada kondisi istirahat. Laki-laki dewasa memerlukan kalori untuk metabolisme basal sekitar Kkal/hari/kg (Grandjean, 1993). Pengukurannya berkaitan dengan nilai energi dan oksigen yang dibutuhkan. Secara tidak langsung diketahui dengan pengukuran denyut jantung. Orang akan mengalami kelelahan jika siklus kerja fisiologi tidak seimbang antara aktivitas dengan istirahat. Pada laki-laki normal dengan umur tahun energi yang dibutuhkan sebesar 2900 Kkal/hari (National Research Council, 1996). Penelitian yang dilakukan Mike Laymon, et al (2008) mengungkapkan bahwa energi yang digunakan untuk laki-laki normal dengan umur tahun dan sehat dalam kondisi istirahat sekitar 654,1 kal/jam dan setelah beraktivitas selama 60 menit berkisar antara 389,2-1027,5 kalori. Konsumsi oksigen sekitar 0,36 liter/menit dan sesaat setelah melakukan aktivitas selama 60 menit meningkat menjadi rata-rata 2,12 liter/menit. Penelitian Robert L. Waters, et al (1976) menyebutkan nilai energy cost relatif untuk orang normal sebesar 38% dengan O 2 uptake sebesar 13 ± 2.7 ml/kg/menit. Penelitian Robert L. Waters, et al (1976) memberikan nilai besarnya energi yang dibutuhkan oleh amputee ketika berjalan. Penelitian dilakukan terhadap 14 orang below-knee amputee dengan umur berkisar 30 tahun. Rata-rata energy cost relatif yang dibutuhkan oleh below-knee amputee sekitar 35%. xx

21 Besarnya oksigen yang dikonsumsi (O 2 uptake) yaitu sebesar 15.5 ml/kg/menit. Nilai maximal aerob capacity sekitar 45 ± 9 ml/kg/menit. Perbedaan konsumsi energi dan oksigen antara amputee dengan orang normal kemungkinan dipengaruhi oleh desain prosthetic yang digunakan amputee. Pada penelitian ini akan dikaji tiga desain below-knee prosthetic (BKP) yang berbeda yaitu eksoskeletal, endoskeletal tiruan Otto Bock merek Regal, dan endoskeletal pengembangan. Fokus perbedaan ketiga desain tersebut terletak pada komponen ankle joint. Pada sebuah penelitian (Herdiman, L., 2009) diungkapkan beberapa perbedaan ketiga desain BKP tersebut. Desain prosthetic eksoskeletal merupakan desain yang berkembang di Indonesia. Desain ini mudah dalam pembuatannya dan harganya terjangkau masyarakat. Kekurangan desain ini yaitu kurang presisi, tidak adanya komponen pengganti pergelangan kaki (ankle joint) dan tidak terdapat penguat (pylon) pada bagian dalam. Ankle joint bersifat kaku (fixed) dan tidak fleksibel (unflexibility). Desain prosthetic endoskeletal impor merupakan desain yang lebih modern dibandingkan desain eksoskeletal. Desain ini lebih modern dengan adanya pylon dan komponen ankle joint. Komponen ankle joint didesain dengan sistem double axis yang memungkinkan gerakan flexion dan extension pada bagian ankle yaitu plantarflexion dan dorsiflexion. Salah satunya diproduksi oleh Taiwan dengan merek Regal yang mengadaptasi prosthetic Otto Bock buatan Jerman. Kualitas kepresisian, kenyamanan, bahkan fleksibilitas lebih baik daripada desain eksoskeletal, namun harganya kurang terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, serta karakteristik fisik tidak sesuai untuk digunakan orang Indonesia. Pada tahun 2009 telah dikembangkan prosthetic endoskeletal oleh Lobes Herdiman yang mengakomodasi kekurangan kedua desain prosthetic sebelumnya. Pada desain ini terdapat pylon dan komponen ankle joint. Komponen ankle joint didesain dengan sistem double axis, sama halnya pada desain endoskeletal merek Regal, namun dengan tingkat fleksibilitas yang berbeda. Jika diterapkan di Indonesia, hasilnya lebih baik dibandingkan desain eksoskeletal dan harganya tetap terjangkau. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji fisiologi pengguna prosthetic menggunakan tiga desain prosthetic yang berbeda saat melakukan aktivitas xxi

22 berjalan terhadap empat kriteria pengukuran fisiologi. Hasil akhirnya yaitu berupa rekomendasi desain prosthetic dengan pengukuran fisiologi paling mendekati kondisi orang normal. 1.2 PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah yang dapat diangkat adalah bagaimana memilih desain prosthetic kaki bawah lutut dalam mengakomodasi aktivitas berjalan. 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu pemilihan desain prosthetic kaki bawah lutut dalam mengakomodasi aktivitas berjalan. Sub tujuan yang harus dicapai, yaitu: 1. Mengukur aspek fisiologi yang meliputi tingkat kelelahan (%CVL), energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen yang dikeluarkan oleh pengguna prosthetic kaki bagian bawah lutut dan responden normal yang telah dihitung nilai BMR keduanya terlebih dahulu. 2. Menentukan desain prosthetic terbaik dengan memperhatikan hasil pengukuran fisiologi yang mendekati kondisi responden normal. 1.4 MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu memberikan rekomendasi pada pengguna prosthetic kaki bawah lutut mengenai desain prosthetic dengan pengukuran fisiologi mendekati responden normal. 1.5 BATASAN MASALAH Batasan masalah dari penelitian pengukuran fisiologi jenis-jenis prosthetic kaki bagian bawah lutut, sebagai berikut: 1. Penelitian dilakukan kepada individu yang hanya kehilangan satu anggota gerak bawah lutut yaitu bagian kanan dan stump (bagian segmen tubuh sisa dari amputasi) masih dapat digerakkan. 2. Responden berjenis kelamin laki-laki. Responden amputee berjumlah satu orang dan responden normal berjumlah sepuluh orang. xxii

23 1.6 ASUMSI Asumsi-asumsi yang digunakan pada penelitian pengukuran fisiologi jenis-jenis prosthetic kaki bagian bawah lutut untuk mendekatkan segi teoritis dengan kondisi sebenarnya, sebagai berikut: 1. Responden amputee dan responden normal tidak mempunyai penyakit kelainan jantung. 2. Aspek psikologis tidak mempengaruhi hasil penelitian. 3. Responden amputee sudah terbiasa menggunakan ketiga desain prosthetic. 1.7 SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan penelitian pengukuran fisiologi prosthetic bawah lutut dapat diuraikan seperti di bawah ini. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi alasan atau latar belakang diadakan penelitian mengenai pemilihan desain prosthetic bawah lutut dengan meninjau metabolisme basal dan pengukuran fisiologi disertai pula perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, asumsi, dan sistematika penulisan dari penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi dasar-dasar teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menunjang pembahasan masalah yaitu mengenai jenis prosthetic, mengenai karakter-karakter pokok prosthetic serta bagian-bagiannya, dan mengenai pengukuran fisiologi serta hal-hal lain yang berkaitan. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini berisi mengenai kerangka pemikiran dari penelitian yang memuat tahap-tahap penelitian mulai dari tahap identifikasi permasalahan awal, tahap pengumpulan dan pengolahan data, tahap pengukuran fisiologi pengguna prosthetic bawah lutut dan orang normal, langkah-langkah pembandingan pengukuran fisiologi, interpretasi hasil, dan penarikan kesimpulan. BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Bab ini berisi data penelitian yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berkenaan dengan hasil eksperimen yang dilakukan terhadap pasien pengguna prosthetic kaki bawah lutut, sedangkan data sekunder merupakan data hasil eksperimen yang dilakukan terhadap sepuluh orang normal xxiii

24 sebagai bahan pembanding. Eksperimen dan pengambilan data dilakukan di Lab. LPSKE Teknik Industri UNS. Pada bab ini dijelaskan pula cara pengolahan datadata tersebut. BAB V ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini berisi interpretasi dari hasil pengolahan data, baik data primer maupun data sekunder serta membandingkan terhadap tujuan penelitian yang ditetapkan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pengolahan data penelitian, dan saran untuk penelitian mengenai pengukuran fisiologi serta masukan untuk pemilihan jenis prosthetic kaki bagian bawah lutut. xxiv

25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prosthetic Prosthetic merupakan alat ganti anggota gerak tubuh yang tidak ada. Penjelasan mendetail mengenai definisi dan indikasi prosthetic, fungsi, komponen-komponen, serta bahan prosthetic kaki bagian bawah lutut diuraikan sebagai berikut Definisi Prosthetic Prosthetic adalah suatu pengganti artifisial untuk bagian tubuh yang hilang. Meski definisi tersebut berhubungan dengan tidak adanya telinga, mata, gigi atau bagian tubuh lain tetapi yang menjadi pembahasan disini adalah bagian tubuh yang berfungsi sebagai alat gerak (Mehrsheed Sinaki, M.D.,M.S, 1993). Prosthetic dibuat untuk memobilisasi penderita amputasi yaitu mengganti bagian atau fungsi alat tubuh yang hilang. Anggota gerak tubuh terdiri dari anggota gerak atas yaitu lengan dan tangan serta anggota gerak bawah yaitu kaki. Kaki merupakan bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai penopang tubuh (weight bearing) dan sebagai alat gerak bawah (locomotion). Kedua fungsi kaki tersebut menunjang manusia untuk beraktivitas sehari-hari. Pergerakan kaki diatur oleh tulang, sendi, otot dan syaraf. Ketiadaan alat gerak bawah ini dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu amputasi dan defisiensi bawaan. Amputasi adalah pemotongan bagian tubuh karena masalah tertentu seperti misalnya penyakit, trauma atau kecelakaan, dan tumor. Defisiensi bawaan adalah ketiadaan bagian tubuh sejak lahir. Pembahasan berikutnya hanya menyangkut permasalahan kaki saja, karena tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengukur tingkat fisiologi kaki tiruan (prosthetic) dengan tiga desain yang berbeda. Ketiadaan kaki (amputasi) dapat dibagi menjadi empat yaitu ketiadaan kaki bagian atas lutut (above-knee) dan ketiadaan kaki bagian bawah lutut (below-knee), ketiadaan bagian tengah lutut (middle-knee) dan ketiadaan telapak kaki (syme). xxv

26 2.1.2 Komponen Prosthetic Kaki Bawah Lutut (Below-Knee Prosthetic) Komponen dasar dari prosthetic bawah lutut (below-knee) terdiri dari foot, ankle, shank, socket, dan sistem suspensi. Bentuk prosthetic bawah lutut ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut. Sistem suspensi Socket Ankle Bagian-bagian prosthetic bawah lutut: 1. Foot ankle, shank Foot Gambar 2.1 Prosthetic bawah lutut (below-knee) Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990 Foot (kaki dasar) dan ankle manusia menyerap daya deselerasi pada saat tumit menapak, memberi dukungan selama posisi setengah berdiri tegak, dan menyesuaikan ayunan untuk membuat tubuh tegak dan bergerak ke depan pada tahap selanjutnya. Karakter yang harus dimiliki oleh foot-ankle, yaitu : a. Mampu menahan bobot (berat) tubuh. b. Mampu meredam getaran saat kontak tumit (heel contact). c. Mampu secara cepat mencapai posisi mendatar (foot-flat). d. Mampu mendukung sendi metatarsophalangeal saat fase berdiri. e. Menyerupai atau mirip dengan kontur kaki yang sebenarnya. Terdapat dua jenis assembly foot-ankle, yaitu assembly tanpa artikulasi (nonarticulated) dan assembly dengan artikulasi (articulated). Pada assembly tanpa artikulasi, foot-ankle terdiri dari sambungan yang tidak fleksibel, sedangkan pada assembly dengan artikulasi, sumbu (axis) yang dipasang bersifat fleksibel sehingga memungkinkan pengguna yang aktif untuk berlari dan melompat. Penjelasan mengenai jenis foot-ankle dijabarkan secara lebih lengkap berikut ini. a. Nonarticulated Foot-Ankle Assembly SACH (solid ankle cushion heel) foot merupakan salah satu assembly non artikulasi. Bahan yang biasa dipakai untuk sumbu (axis) adalah kayu atau xxvi

27 aluminium dengan bagian tumit dilapisi karet spons. Pergerakan yang dapat dilakukan oleh assembly ini sangat minimal. Gambar 2.2 (a) menunjukkan bentuk SACH foot. Single axis foot merupakan assembly non artikulasi yang kedua. Gerakan yang dihasilkan oleh assembly ini lebih meningkat dibandingkan SACH foot, walaupun gerakannya bukan merupakan gerakan mediolateral ataupun rotasi. Bentuk single axis foot dapat dilihat pada gambar 2.2 (b). (a) SACH foot (b) Single axis foot Gambar 2.2 Nonarticulated foot-ankle assembly Sumber: Prosthetic-Orthetic Education, Nortwestern University Medical School, 1969 b. Articulated Foot-Ankle Assembly Assembly ini sering disebut sebagai kaki dinamis karena memungkinkan pergerakan yang lebih banyak dibandingkan assembly non artikulasi. Terdiri dari axis yang fleksibel dimana pengguna dapat berlari dan melompat dengan nyaman, dan daya dukung atau topangan untuk sepatu lebih besar. Seattle foot adalah salah satu jenis kaki dinamis. Kaki tiruan ini lebih meredam getaran dan lebih menyerap energi pada saat kontak tumit, dengan demikian menyediakan dorongan yang lebih baik. STEN (stored energy) foot juga merupakan kaki dinamis. Kaki tiruan ini terdiri dari tiga bagian axis yang terbuat dari kayu yang dikombinasikan dengan tiga penyumbat dari karet. Perpindahan atau transfer bobot badan ke kaki pertamatama menekan penyumbat. Desain ini memungkinkan jumlah energi yang keluar lebih sedikit dibanding assembly non artikulasi. Dibandingkan dengan SACH foot, kaki ini lebih berat dan lebih mahal. Bentuk kaki dari seattle foot dan STEN foot dapat dilihat pada gambar 2.3. xxvii

28 (a) Seattle foot (b) STEN foot Gambar 2.3 Articulated foot-ankle assembly Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990 Perbandingan kelebihan dan kekurangan antara non artikulasi assembly dan artikulasi assembly dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Perbandingan nonartikulasi dan artikulasi assembly Komponen Kelebihan Kekurangan Single axis foot statis 1. Meningkatkan stabilitas lutut. 2. Harganya murah. 3. Perawatan mudah dan murah. 1. Tidak mengakomodasi individu yang aktif. 2. Meningkatkan beban lutut. SACH foot Dynamic foot 1. Harga murah. 2. Perawatan mudah dan murah. 3. Beragam ukuran dan tinggi. 4. Dapat dipakai oleh setiap level amputasi. 5. Paling banyak dipakai untuk prosthetic kaki. 1. Adanya dorongan atau tenaga saat posisi berdiri. 2. Mengakomodasi individu yang aktif, dapat untuk berlari, melompat dan untuk berjalan jauh. 3. Berjalan menjadi lambat. 1. Tidak ada dorongan atau tenaga saat posisi berdiri. 2. Tidak mengakomodasi individu yang ingin melompat. 3. Berjalan menjadi lambat. 1. Harganya mahal. 2. Perawatan susah dan membutuhkan biaya tambahan. 3. Tidak semua kasus amputasi dapat menggunakan. 2. Shank, Shank adalah bagian penghubung antara foot, ankle dan socket. Shank berfungsi untuk memindahkan dan membagi beban dari socket ke bagian foot. Terdapat dua jenis shank, yaitu exoskeletal dan endoskeletal. Exoskeletal shank pada umumnya dibuat dari bahan yang ringan namun kuat dan kokoh. Bahan yang sering dipakai misalnya plastik, aluminium dan kayu. Pada exoskeletal shank, ruang bagian bawah socket dan blok ankle dilubangi untuk mengurangi berat. Pada endoskeletal shank, terdapat tambahan tumpuan yang berupa tonggak untuk lebih memperkokoh dan memudahkan pemindahan beban dari socket ke bagian foot. Tonggak pada endoskeletal shank terbuat dari logam atau pipa plastik. xxviii

29 Bagian luar juga dilapisi dengan bahan yang lembut agar penampilan menyerupai kaki yang sebenarnya. Keuntungan exoskeletal shank yaitu selain murah, pembuatannya mudah, pelapisan bagian luar lebih berdaya tahan. Kekurangan dari shank ini yaitu kemampuan menopang tubuh lebih kecil dibanding endoskeletal shank. Keuntungan endoskeletal shank yaitu lebih modern, lebih mampu menopang beban tubuh, lebih kuat. Kekurangan shank ini yaitu lebih mahal, pembuatan lebih sulit dan rumit, pelapisan bagian luar kurang berdaya tahan. Bentuk kedua jenis shank dapat dilihat pada gambar Socket, (a) Exoskeletal shank (b) Endoskeletal shank Gambar 2.4 Jenis shank pada prosthetic Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990 Socket adalah bagian dari prosthetic sebagai tempat dimasukkannya puntung kaki (stump) yang masih ada. Jadi bagian ini menyambung atau berhubungan langsung dengan puntung kaki, bahkan tak jarang socket ini menempel pas pada bagian puntung. Socket harus mampu menyokong bobot badan dan mendukung sisa puntung secara kuat dan nyaman untuk semua aktivitas pengguna. Socket dibuat menempel pas pada sisa puntung secara kuat untuk mengurangi gerakan atau gesekan antara socket dan kulit. Banyak gesekan antara socket dan kulit menyebabkan pengguna merasa kurang nyaman selama beraktivitas, dan mengakibatkan resiko yang lebih besar pada abrasi kulit. Pembuatan socket didasarkan pada ukuran puntung tiap-tiap pengguna agar socket menempel dengan tepat. Jadi setiap pengguna mempunyai ukuran socket yang berbeda. Pembuat prosthetic mencatat karakter puntung dari masing- xxix

30 masing pengguna, mengukur puntung, mengukur batang kaki yang masih utuh untuk kesimetrisan, kemudian membuat cetakan untuk pengepasan socket. Rancangan yang paling sering dipakai adalah socket PTB (patellartendon-bearing). Socket ini dirancang untuk berbagi berat badan pada tendon patellar. Socket ini dirancang benar-benar menempel total dengan ujung tungkai sehingga edema dan masalah kulit diminimalkan. Pada bagian dalam ditambahkan bahan lembut agar puntung kaki lebih nyaman. Jenis socket yang kedua yaitu socket keras (hard socket). Jenis ini tidak menyertakan bahan lembut di bagian dalam socket. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bagi puntung kaki yang memakai socket ini yaitu puntung kaki harus benar-benar mature yaitu sembuh tanpa ada luka maupun bengkak sedikitpun dan jaringan pada puntung harus bagus. Hard socket tidak cocok bagi individu dengan jaringan bagian puntung yang kurang bagus, yang mengalami masalah pembuluh darah, yang urat puntungnya sensitif, dan yang ukuran puntung senantiasa berubah ukuran. Hasil pengembangan socket adalah ISNY (Icelandic-Swedish-New York University) PTB socket merupakan hasil penelitian gabungan negara-negara tersebut. Bahannya dari karbon fiber ditambah laminasi frame untuk memindahkan bobot. Kelebihannya yaitu lebih ringan, lebih nyaman, fleksibel dan lebih tipis. Kekurangannya antara lain, karena tipis maka kurang berdaya tahan, serta penampilan yang diberi frame tersebut menjadi kurang menarik. Bentuk socket PTB dan bentuk socket ISNY dapat dilihat pada gambar Sistem Suspensi, (a) Socket PTB (b) Socket ISNY Gambar 2.5 Jenis socket pada prosthetic Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990 Sistem suspensi merupakan bagian yang berfungsi untuk mengaitkan keseluruhan prosthetic pada bagian dari tubuh kita. Tujuannya agar prosthetic xxx

31 terpasang sempurna pada tungkai kaki. Sistem suspensi bermacam-macam jenisnya, berikut beberapa jenis suspensi tersebut. a. Cuff Suspension, Menggunakan manset yang terbuat dari kulit atau anyaman dakron yang kuat untuk dipasangkan pada bagian dalam socket yang kemudian diikatkan pada bagian paha. Bentuk suspensi ini dapat dilihat pada gambar 2.6. Cuff Suspension b. Waist belt, Gambar 2.6 Cuff suspension Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990 Menggunakan manset yang terbuat dari kulit atau anyaman dakron yang kuat, namun tidak diikatkan pada paha, melainkan diikatkan mengelilingi pinggang. Ikat pinggang yang dipasangkan di pinggang terbuat dari anyaman katun. Biasanya dipakai pada individu dengan stump yang pendek. Gambar 2.7 menunjukkan bentuk waist belt. Waist belt Gambar 2.7 Waist belt Sumber: Bella J. May, EdD, 1996 c. Thigh corset, Sistem penggantung menggunakan waist belt dengan dililitkan pada pinggang. Terdapat tambahan yaitu pada paha dipasang korset yang berfungsi memperkuat penggantung. Sistem ini merupakan ciri prosthetic bawah lutut konvensional. Gambar 2.8 memperlihatkan bentuk dari thigh corset. xxxi

32 Thigh corset Gambar 2.8 Thigh corset Sumber: Lower-Limb Prosthetics, Prosthetic Bawah Lutut yang Berkembang di Indonesia Terdapat dua jenis prosthetic bawah lutut yang secara resmi berkembang di Indonesia yaitu prosthetic bawah lutut konvensional dan prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB). Prosthetic bawah lutut PTB lebih modern dibanding prosthetic bawah lutut konvensional. Keterangan mengenai masingmasing jenis prosthetic dipaparkan lebih jelas. 1. Prosthetic bawah lutut konvensional. Ciri khas jenis ini adalah sistem suspensi berupa thigh corset. Weight bearing atau penopangan tubuh dibebankan pada paha, maka thigh corset ini sangat berperan. Jenis ini kurang modern dan merepotkan karena sulitnya pemasangan tali pada korset sehingga kurang diminati pasien amputasi. 2. Prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB) Jenis prosthetic ini lebih modern dibandingkan prosthetic konvensional. Weight bearing atau penopangan tubuh dibebankan pada tendon patella lutut. Jenis ini lebih banyak dipesan karena selain lebih modern, prosthetic jenis ini juga lebih praktis dikenakan bagi pengguna. Gambar 2.9 menunjukkan bentuk dari prosthetic jenis patellar tendon bearing (PTB). xxxii

33 Gambar 2.9 Prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB) Sumber: Dokumentasi RSOP Prof.Dr.R. Soeharso Solo, POLA JALAN NORMAL PADA MANUSIA Berjalan merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh manusia untuk berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain. Kegiatan berjalan merupakan kegiatan yang sangat kompleks. Pada saat berjalan hampir semua anggota tubuh manusia ikut bergerak untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Menurut Grandjean (1993), aktivitas berjalan normal dilakukan dengan jumlah langkah tiap menitnya sebesar 75 langkah sampai dengan 110 langkah dengan jarak tiap langkah berkisar antara 50 cm sampai dengan 75 cm. Kecepatan berjalan manusia sangat dipengaruhi oleh jenis alas kaki yang dipakai. Orang normal biasanya berjalan dengan kecepatan antara 4 km/jam sampai dengan 5 km/jam. Pada saat berjalan terjadi beberapa fase yang dialami oleh manusia Fase Berjalan Siklus pola jalan (gait cycle) dimulai saat kaki menyentuh lantai dan berakhir pada kontak kaki yang sama pada lantai. Dua komponen utama siklus pola jalan (gait cycle) manusia adalah fase berdiri (stance phase) dan fase berayun (swing phase). Anggota tubuh berada pada fase berdiri (stance phase) ketika kaki menyentuh lantai dan anggota tubuh berada pada fase berayun (swing phase) ketika salah satu kaki tidak menyentuh lantai. Jumlah relatif waktu yang dipakai tiap fase pada siklus pola jalan untuk kecepatan berjalan pada umumnya, yaitu: 1. Fase berdiri (stance phase) 60% dari siklus, 2. Fase berayun (swing phase) 40% dari siklus. xxxiii

34 Siklus pola jalan manusia dapat dilihat pada gambar Gambar 2.10 Siklus pola jalan (gait cycle) Sumber: Lower-limb prosthetics, 1990 Berdasarkan gambar 2.10, fase-fase berjalan dijelaskan dalam uraian berikut. 1. Fase berdiri (stance phase), Fase berdiri (stance phase) dikelompokkan menjadi lima bagian yaitu kontak dengan tumit (heel contact), kaki datar (foot-flat), titik setengah berdiri (midstance point), tumit terangkat (heel-off) dan jari kaki terangkat (toe-off). Fase berdiri (stance phase) dapat dilihat pada gambar Gambar 2.11 Fase berdiri (stance phase) Sumber: Lower-limb prosthetics, 1990 Dari gambar 2.11 dapat dilihat fase berdiri pada saat berjalan. Kontak dengan tumit (heel-contact) mengacu pada saat tumit menyentuh lantai dalam waktu yang singkat, kaki datar (foot-flat) mengacu pada saat kontak awal kaki depan dengan lantai, titik setengah berdiri (midstance point) terjadi pada saat trochanter berada pada posisi lurus vertikal dengan bisector vertikal terhadap kaki, tumit terangkat (heel-off) terjadi pada saat tumit naik dari lantai dan jari kaki terangkat (toe-off) terjadi ketika jari kaki meninggalkan lantai. 2. Fase berayun (swing phase), Fase berayun (swing phase) dibagi dalam tiga interval yaitu akselerasi (acceleration), setengah berayun (midswing) dan penurunan kecepatan (decelaration). Setiap bagian membentuk sepertiga dari fase berayun (swing phase). Fase berayun (swing phase) dapat dilihat pada gambar xxxiv

35 Gambar 2.12 Fase berayun (swing phase) Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990 Dari gambar 2.12 dapat dilihat fase berayun pada saat berjalan. Bagian pertama adalah periode akselerasi (acceleration) merupakan kecepatan akselerasi anggota tubuh bagian bawah setelah jari kaki meninggalkan lantai. Interval selanjutnya adalah interval setengah berayun (midswing) dimana anggota kaki yang berayun terangkat dan bergerak kedepan menuju bagian tubuh yang berada di fase berdiri (stance phase). Bagian akhir dari fase berayun (swing phase) ditandai dengan penurunan kecepatan dari pergerakan anggota tubuh yang cepat sebagai pendekatan akhir dari interval Gerakan Anggota Tubuh Pada Saat Berjalan Berjalan merupakan kegiatan yang melibatkan gerak dari hampir semua bagian tubuh manusia. Pergerakan bagian-bagian tubuh pada saat berjalan berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan tubuh manusia. Bagian tubuh yang berperan menjaga keseimbangan saat berjalan (Rubberbug, 2008), yaitu: 1. Bagian telapak kaki dan tungkai bawah, Bagian kaki dan tungkai bawah ini merupakan bagian terpenting pada saat berjalan. Kedua bagian ini menggerakkan tubuh ke depan dan bagian sendi harus ditekuk agar kita berjalan secara normal. Berjalan diawali dengan mengayunkan kaki kedepan sehingga beban tubuh berpindah ke kaki bagian depan. Pergerakan inilah yang disebut sebagai heel contact. Pergerakan kaki dan sendi-sendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar Gambar 2.13 Gerakan kaki dan sendi pada fase heel contact Sumber: Rubberbug, 2008 xxxv

36 Saat beban tubuh berada di bagian kaki depan, lutut menekuk untuk menyerap goncangan. Posisi ini disebut foot flat (pada fase berdiri) atau posisi acceleration (pada posisi berayun). Tubuh memiliki titik terendah. Pergerakan kaki dan sendi-sendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar Gambar 2.14 Gerakan kaki dan sendi pada fase foot flat dan acceleration Sumber: Rubberbug, 2008 Saat tubuh bergerak ke depan, lutut menjadi lurus dan mencapai titik tertinggi. Posisi ini disebut sebagai posisi midswing (pada fase berayun) atau posisi point midstance (pada fase berdiri). Pada posisi ini tubuh memiliki titik terendah. Pergerakan kaki dan sendi-sendi tubuhnya dapat dilihat pada gambar Gambar 2.15 Gerakan kaki dan sendi pada fase point midstance dan midswing Sumber: Rubberbug, 2008 Saat tubuh bergerak ke depan, beban tubuh berpindah dari bagian tumit ke bagian jari kaki. Posisi tubuh mulai jatuh ke depan dengan salah satu kaki berayun untuk mencapai tanah. Posisi ini disebut posisi heel off. Pergerakan kaki dan sendi-sendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar Gambar 2.16 Gerakan kaki dan sendi pada fase heel off Sumber: Rubberbug, 2008 xxxvi

37 Pergerakan terakhir dari kaki dan tungkai bawah kaki ini terjadio saat kaki yang bebas berayun tersebut menyentuh tanah dan kaki yang menumpu tubuh meninggalkan tanah. Posisi inilah yang disebut sebagai posisi toe off (pada fase berdiri) dan posisi deceleration (pada fase berayun). Pergerakan kaki dan sendisendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar Gambar 2.17 Gerakan kaki dan sendi pada fase toe off dan deceleration Sumber: Rubberbug, Bagian pinggul, tulang belakang dan bahu, Pinggul merupakan tempat pusat massa (gravitasi) dari tubuh seseorang. Pinggul merupakan awal dari semua keseimbangan pergerakan tubuh. Selama berjalan, pergerakan pinggul dibagi menjadi dua macam. Gerakan pertama, pinggul berputar mengelilingi tulang belakang dengan menggerakkan kaki ke depan dan ke belakang. Jika kaki kanan bergerak ke depan, pinggul juga bergerak ke depan. Gerakan kedua, posisi kaki menarik pinggul melewati poros dan membuat pinggul bergerak ke kiri dan ke kanan. Kedua gerakan ini mempengaruhi tulang belakang dan bahu untuk mempertahankan keseimbangan. Gerakan pinggul dapat dilihat pada gambar Gambar 2.18 Gerakan pinggul dan bahu pada saat berjalan Sumber: Rubberbug, 2008 Dari gambar 2.18 dapat diketahui bahwa pada saat posisi foot flat, pinggul harus berotasi mengelilingi poros tulang belakang. Untuk menjaga keseimbangan, bahu berayun pada arah yang berlawanan. Dari bagian depan, tulang belakang berada pada posisi relatif lurus tapi dari bagian atas, dapat xxxvii

38 dilihat posisi dari bahu dan pinggul yang berputar berlawanan untuk mempertahankan keseimbangan. Gambar 2.19 Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan Sumber: Rubberbug, 2008 Dari gambar 2.19 dapat dilihat bahwa dari pandangan depan, pinggul ditarik oleh beban dari kaki yang bebas berayun. Hal ini menyebabkan perputaran sudut pada bagian bahu. Pada saat dilihat dari atas, dapat dilihat bahwa pinggul dan bahu mempunyai sudut yang sama. Gambar 2.20 Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan Sumber: Rubberbug, 2008 Dari gambar 2.20 dapat dilihat bahwa pada saat kaki kedua ekstensi, pinggul dan bahu keliahatan sama rata jika dilihat dari bagian depan. Dari bagian atas, dapat dilihat bahwa rotasi dari bahu dan pinggul sudah sempurna. 3. Bagian lengan, Pada saat berjalan, bagian lengan tubuh berayun pada kedua sisi tubuh manusia. Lengan tampak seperti pendulum (bandul ayun). Pada saat lengan melakukan ekstensi secara penuh, hal ini menyebabkan proses berjalan tampak lebih alami. 4. Bagian kepala, Pada saat berjalan normal, posisi kepala biasanya berusaha tegak dengan kondisi mata tetap fokus ke depan untuk mengetahui arah tubuh bergerak. Selain itu, kepala juga dapat berputar ke kiri dan ke kanan untuk mengamati keadaan sekeliling pada saat berjalan. xxxviii

39 2.3 BODY MASS INDEX (BMI) Body mass index (BMI) adalah bilangan yang digunakan untuk mengetahui tingkat obesitas seseorang. Body mass index (BMI) disebut juga dengan indeks massa tubuh (BMI). BMI pertama kali diperkenalkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tujuan WHO mengeluarkan BMI ini adalah untuk menetapkan suatu ukuran atau klasifikasi obesitas yang dapat berlaku secara umum dan tidak bergantung pada bias-bias kebudayaan. Nilai BMI tidak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin, namun hanya mempertimbangkan berat badan dan tinggi badan manusia. Keterbatasan BMI adalah tidak dapat digunakan bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, wanita hamil dan orang yang sangat berotot (atlet). BMI ditentukan dengan rumus dibawah ini. W BMI = 2...persamaan 2.1 H dengan; W adalah berat badan dalam kg H adalah tinggi badan dalam m Klasifikasi nilai BMI menurut WHO dalam website Forum Obesitas (2008) dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Klasifikasi body mass index (BMI) menurut WHO Kategori BMI (kg/m 2 ) Resiko terkena penyakit Langsing < 18.5 Rendah Proporsional Rata-rata Gemuk 25 a. Pra obesitas Meningkat b. Obesitas I Sedang c. Obesitas II Berbahaya d. Obesitas III 40 Sangat berbahaya Sumber: WHO dalam Forum Obesitas, 2008 WHO melakukan penelitian mengenai BMI di Singapura pada tahun Hasil penelitian menunjukkan orang Singapura dengan BMI kg/m 2 mempunyai lemak tubuh sama dengan orang kulit putih dengan BMI 30 kg/m 2. Hasil ini membuat WHO mengeluarkan standar BMI yang secara khusus berlaku bagi orang-orang Asia dewasa. Klasifikasi BMI untuk orang Asia dewasa dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Klasifikasi body mass index (BMI) orang Asia dewasa xxxix

40 Kategori BMI (kg/m 2 ) Resiko terkena penyakit Langsing < 18.5 Rendah Proporsional Rata-rata Gemuk 23 a. Pra obesitas Meningkat b. Obesitas I Sedang c. Obesitas II 30 Berbahaya Sumber: WHO dalam Forum Obesitas, 2008 Dari tabel 2.3 dapat dilihat bahwa ukuran BMI untuk orang Asia berbeda dengan BMI orang Eropa. BMI untuk orang Asia tidak ada klasifikasi untuk obesitas III seperti pada BMI orang Eropa. 2.4 METABOLISME BASAL Metabolisme basal adalah istilah untuk menunjukkan jumlah keseluruhan aktivitas metabolisme dengan tubuh dalam keadaan istirahat fisik dan mental. Kecepatan metabolisme basal diukur pada waktu istirahat, di tempat tidur, tidak terganggu oleh apapun dengan pemasukan oksigen dan pengeluaran karbon dioksida diukur. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme basal yaitu ukuran tubuh (luas permukaan atau massa tubuh), umur, jenis kelamin, iklim, jenis pakaian yang dipakai, dan jenis pekerjaan. Hubungan antara kecepatan metabolisme basal beberapa jenis makhluk hidup dengan massa tubuhnya dapat dilihat pada gambar Kebutuhan energi suatu individu tergantung pada kondisi metabolismenya, diwujudkan dalam nilai basal metabolic rate (BMR) dan tingkat keaktifan tubuh. BMR adalah tingkat konsumsi tenaga pada tubuh saat posisi diam. Pentingnya mengetahui nilai BMR yaitu mampu menghitung dengan teliti berkaitan dengan keseimbangan energi dalam tubuh kita. Nilai BMR normal rata-rata 92 Kkal/jam atau Kkal/hari. Nilai BMR berbeda-beda pada setiap orang tergantung usia, jenis kelamin, dan genetika. Pada setiap orang BMR ada kemungkinan nilainya berubah tergantung kondisi yang berbeda. Misalnya, dalam kondisi stres nilai BMR cenderung lebih tinggi. Nilai BMR juga lebih tinggi pada orang aktif (atlet), anak-anak, dan wanita hamil. Saat orang beranjak tua, BMR mereka semakin berkurang yaitu berkurang 2% untuk setiap 10 tahun. xl

41 Gambar 2.21 Hubungan massa tubuh dengan nilai BMR Sumber: School of Health Sciences, Universitas Sains Malaysia, 1995 BMR dapat dijelaskan sebagai jumlah minimum dari kalori-kalori yang diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi dan proses-proses tubuh ketika beristirahat, seperti bernafas dan memompa darah dari dan menuju jantung. Selain BMR, tingkat latihan fisik serta jumlah lemak dan otot pada tubuh mempengaruhi banyaknya kalori yang terbakar pada seseorang dalam satu hari. BMR melambangkan sekitar 60-75% dari total energi pada tubuh. BMR memegang sekitar tiga perempat atas kebutuhan tenaga suatu individu. Determinan utama dari BMR adalah berat badan dan komposisi tubuh. Laki-laki biasanya mempunyai nilai BMR 10-15% lebih tinggi dibandingkan wanita karena mereka cenderung memiliki lebih banyak otot. BMR dapat diartikan sebagai jumlah panas yang diproduksi (heat production) oleh tubuh dalam kondisi basal per satuan luas tubuh per satuan waktu. Murrel (1965) merumuskan persamaan waktu istirahat yang dibutuhkan dalam siklus kerja fisiologi. Dalam rumusan tersebut nilai metabolisme basal ditetapkan senilai 1.5 Kkal/menit. Ada beberapa perumusan untuk menentukan nilai BMR seseorang, salah satunya adalah persamaan menurut Harris dan Benedict yang didapatkan pada tahun 1919, seperti berikut. Untuk laki-laki, sebagai berikut : æ m h a ö P = ç Kkal / hari 1kg 1cm 1tahun...persamaan 2.2 è ø xli

42 Untuk wanita, sebagai berikut : æ m h a ö P = ç Kkal / hari 1kg 1cm 1tahun...persamaan 2.3 è ø dengan ; P : nilai BMR atau heat production (Kkal/hari) m : berat badan (kg) h : tinggi badan (cm) a : usia (tahun) 2.5 KONSEP FISIOLOGI MANUSIA Fisiologi kerja adalah studi tentang fungsi organ-organ manusia yang digunakan untuk melakukan aktivitas. Kemampuan manusia untuk melaksanakan kegiatannya tergantung pada struktur fisik dari tubuhnya. Semua kegiatan tubuh manusia memerlukan tenaga yang diperoleh karena adanya proses metabolisme dalam otot, yaitu berupa kumpulan proses-proses kimia yang mengubah bahan makanan menjadi bentuk kerja mekanis dan panas Aktivitas Fisik Manusia Secara garis besar, kegiatan-kegiatan kerja manusia dapat digolongkan menjadi kerja fisik (otot) dan kerja mental (otak) dengan intensitas yang berbeda. Tingkat intensitas yang terlampau tinggi memungkinkan pemakaian energi yang berlebihan, sebaliknya intensitas yang terlalu rendah menimbulkan rasa bosan dan jenuh. Karena itu perlu diupayakan tingkat intensitas yang optimum yang ada diantara kedua batas ekstrim tadi dan tentunya untuk tiap individu berbeda. Pemisahan antara kerja fisik dan mental tidak dapat dilakukan secara sempurna, karena saling berhubungan erat. Dilihat dari energi yang dikeluarkan, kerja mental murni relatif lebih sedikit mengeluarkan energi dibandingkan dengan kerja fisik. Kerja fisik mengakibatkan pengeluaran energi yang berhubungan erat dengan konsumsi energi. Wignjosoebroto (1991) menyatakan bahwa aktivitas fisik merupakan suatu kegiatan yang memerlukan usaha fisik manusia yang kuat selama periode kerja berlangsung. Menurut Sulistyadi dan Susanti (2003), aktivitas fisik manusia menghasilkan perubahan pada fungsi beberapa alat tubuh yang dapat dideteksi xlii

43 melalui konsumsi oksigen, denyut jantung per detik, peredaran udara dalam paruparu, temperatur tubuh, konsentrasi asam laktat dalam darah, komposisi kimia dalam darah dan air seni, tingkat penguapan dan beberapa faktor lainnya. Pengukuran tersebut dapat digunakan untuk mengukur konsumsi energi. Kerja fisik dikelompokkan oleh Davis dan Miller, yaitu : a. Kerja total seluruh tubuh, yang mempergunakan sebagian besar otot biasanya melibatkan duapertiga atau tiga perempat otot tubuh. b. Kerja sebagian otot, yang membutuhkan lebih sedikit energi ekspenditur karena otot yang digunakan lebih sedikit. c. Kerja otot statis, otot digunakan untuk menghasilkan gaya tetapi tanpa kerja mekanik. Membutuhkan kontraksi sebagian otot. Sampai saat ini metode pengukuran kerja fisik, dilakukan dengan menggunakan beberapa standar, yaitu : 1. Konsep horse-power (foot-pounds of work per minute) oleh Taylor, tetapi tidak memuaskan. 2. Tingkat konsumsi energi untuk mengukur pengeluaran energi. 3. Perubahan tingkat kerja jantung dan konsumsi oksigen (metode terbaru). Tiffin mengemukakan kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh pekerjaan terhadap manusia dalam suatu sistem kerja, yaitu: a. Kriteria faali meliputi : kecepatan denyut jantung, konsumsi oksigen, tekanan darah, tingkat penguapan, temperatur tubuh, komposisi kimia dalam darah dan air seni. Kriteria ini digunakan untuk mengetahui perubahan fungsi alat-alat tubuh selama bekerja. b. Kriteria Kejiwaaan meliputi : pengukuran hasil kerja yang diperoleh dari pekerja. Kriteria ini digunakan untuk mengetahui pengaruh seluruh kondisi kerja dengan meihat hasil kerja yang diperoleh dari pekerja. Aktivitas fisik yang dilakukan secara terus menerus sering disebut dengan aktivitas kardiovaskuler. Aktivitas kardiovaskuler merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang saat beraktivitas dengan pola yang ritmis dan terus menerus pada suatu periode waktu tertentu. Selama aktivitas kardiovaskuler dilakukan, jantung memompa darah ke seluruh otot dalam tubuh manusia. xliii

44 Aktivitas fisik menyebabkan pengeluaran energi yang berhuibungan erat dengan konsumsi energi. Dalam hal penentuan konsumsi energi, biasanya digunakan parameter indeks kenaikan bilangan kecepatan jantung. Indeks ini merupakan perbedaan antara kecepatan denyut jantung pada saat istirahat dengan kecepatan denyut jantung pada waktu bekerja (Sulistya dan Susanti, 2003). Konsumsi energi pada tubuh diukur dengan satuan kilo kalori (Kkal) sehingga dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa konsumsi energi menjadi tolak ukur yang dapat dipakai sebagai penentu berat atau ringannya suatu kerja fisik. Menurut Grandjean (1993), konsumsi energi (kalori) merupakan indikator terhadap beban kerja dan dapat digunakan untuk mengukur waktu istirahat dan membandingkan tingkat efisiensi pekerjaan dari beberapa perbedaan alat dan metode yang digunakan dalam melakukan pekerjaan. Pemakaian energi yang dibutuhkan oleh pria dan wanita untuk melakukan beberapa macam pekerjaan dapat dilihat pada tabel 2.4. Tabel 2.4 Kebutuhan energi untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan Tabel 2.4 Kebutuhan energi untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan (lanjutan) xliv

45 Sumber: Grandjean, 1993 Dari tabel 2.4 dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi energi yang dibutuhkan oleh pria lebih besar daripada wanita. Berbagai macam aktivitas yang dilakukan oleh tubuh juga menunjukkan tingkat konsumsi energi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.5. Tabel 2.5 Kebutuhan energi untuk aktivitas fisik manusia Tabel 2.5 Kebutuhan energi untuk aktivitas fisik manusia (lanjutan) xlv

46 Sumber: Grandjean, 1993 Dari tabel 2.5 dapat dilihat bahwa aktivitas berjalan membutuhkan tingkat konsumsi energi sebesar 2.1 kkal/menit. Menurut Grandjean (1993), kecepatan normal orang saat berjalan adalah sebesar 4 km/jam sampai dengan 5 km/jam Kelelahan (Fatigue) Sutalaksana (2006) menyatakan bahwa kelelahan adalah suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada setiap individu yang sudah tidak sanggup lagi melakukan aktivitasnya. Pada dasarnya pola ini ditimbulkan oleh dua hal yaitu fisiologis (objektif) dan psikologis (subjektif). Faktor fisiologis terjadi karena adanya perubahan-perubahan faali dalam tubuh manusia. Faktor psikologis terjadi karena adanya perasaan tidak senang terhadap suatu aktivitas. Kata kelelahan menunjukkan keadaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya berakibat pada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Kelelahan terjadi pada syaraf dan otot-otot manusia sehingga otot tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik. Makin berat beban yang dikerjakan dan gerakan semakin tidak teratur, maka kemungkinan timbulnya kelelahan sangat cepat. Hal ini perlu dipelajari agar tingkat kekuatan otot manusia dapat ditentukan dan beban kerja yang diberikan dapat disesuaikan dengan kemampuan otot manusia. Ralph M. Barnes menggolongkan kelelahan dalam 3 bagian, yaitu : 1. Perasaan lelah xlvi

47 2. Kelelahan karena perubahan fisiologis dalam tubuh 3. Menurunnya kemampuan kerja. Pada dasarnya kelelahan terjadi jika kemampuan otot telah berkurang dan mengalami puncaknya bila otot tersebut sudah tidak mampu lagi bergerak (kelelahan sempurna). Grandjean (1993) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan, yaitu: 1. Besarnya tenaga yang dikeluarkan, 4. Kebiasaan olahraga dan latihan, 2. Frekuensi dan lama bekerja, 5. Jenis kelamin, 3. Cara dan sikap dalam beraktivitas, 6. umur. Menurut Grandjean (1993), kelelahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Kelelahan otot (muscular fatigue), Kelelahan otot adalah gejala kesakitan yang dirasakan otot akibat otot terlalu tegang. Ketika otot diberi rangsang, ia berkontraksi dan terjadi ketegangan. Jika rangsang diberikan secara terus-menerus, maka performansi otot semakin menurun yang dapat dilihat pada kekuatan otot dan gerakan otot yang semakin lambat. Sutalaksana (2006) menyatakan bahwa pada kondisi tubuh terdapat cukup oksigen, kontraksi otot berlangsung secara aerobik. Sedangkan pada kondisi tubuh tidak terdapat cukup oksigen, kontraksi otot berlangsung secara anaerobik dan menghasilkan asam laktat. Kandungan asam laktat yang tinggi inilah yang menimbulkan rasa lelah. 2. Kelelahan umum (general fatigue) Salah satu gejala kelelahan umum adalah munculnya perasaan letih. Berdasarkan penyebabnya, gejala kelelahan umum dapat dibedakan menjadi enam, yaitu: a. Visual fatigue,akibat ketegangan yang berlebihan pada mata, b. General bodily fatigue,akibat beban fisik yang berlebihan pada seluruh organ tubuh, c. Mental fatigue, akibat kerja mental atau otak yang berlebihan, d. Nervous fatigue, akibat tekanan yang berlebihan pada suatu bagian sistem psikomotor pada pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan, xlvii

48 e. Kelelahan akibat kemonotonan pekerjaan dan kondisi kerja yang menjemukan, f. Kelelahan kronis akibat akumulasi sejumlah faktor yang terus menerus menyebabkan kelelahan, g. Circadian fatigue, bagian dari ritme siklus siang-malam dan awal periode tidur. Suma'mur (1984) menyatakan bahwa gejala-gejala pada tubuh yang mengindikasikan adanya kelelahan, yaitu: 1. Perasaan berat di kepala 16. Cenderung untuk lupa 2. Seluruh tubuh nenjadi lelah 17. Kurang percaya diri 3. Kaki terasa berat 18. Cemas terhadap sesuatu 4. Menguap 19. Tidak dapat mengontrol sikap 5. Merasa kacau pikiran 20. Tidak dapat tekun dalam pekerjaan 6. Mengantuk 21. Sakit kepala 7. Merasakan beban pada mata 22. Kekakuan di bahu 8. Kaku dan canggung dalam gerakan 23. Merasa nyeri di punggung 9. Tidak seimbang dalam berdiri 24. Pernafasan tertekan 10. Keinginan untuk berbaring 25. Haus 11. Merasa susah untuk berpikir 26. Suara serak 12. Lelah bicara 27. Pening 13. Menjadi gugup 28. Spasme dari kelopak mata 14. Tidak dapat berkonsentrasi 29. Tremor pada anggota badan 15. Tidak dapat fokus terhadap sesuatu 30. Merasa kurang sehat Gejala pertama sampai dengan gejala ke sepuluh menunjukkan pelemahan kegiatan, gejala ke sebelas sampai dengan ke dua puluh menunjukkan pelemahan motivasi dan gejala ke dua puluh satu sampai dengan gejala ke tiga puluh menunjukkan kelelahan fisik akibat keadaan umum. Apabila kelelahan tidak dapat disembuhkan, suatu saat terjadi kelelahan kronis yang dapat meningkatnya ketidakstabilan psikis, depresi, tidak semangat dan kecenderungan sakit. Kelelahan pada manusia dapat diukur berdasarkan tiga macam,yaitu : xlviii

49 1. Mengukur kecepatan denyut jantung dan pernafasan 2. Mengukur tekanan darah, peredaran udara dalam paru-paru, jumlah oksigen yang digunakan, jumlah karbondioksida yang dihasilkan, temperatur badan, komposisi kimia dalam urin dan darah. 3. Mengukur variasi perubahan air liur (saliva) karena lelah dengan alat penguji kelelahan Riken Fatigue Indicator dengan ketentuan pengukuran elektroda logam. Metode yang digunakan dalam pengukuran tingkat kelelahan dibagi menjadi enam macam (Grandjean, 1993), yaitu : 1. Pengukuran kualitas dan kuantitas dari performansi kerja, 2. Pengukuran secara subyektif terhadap tingkat kelelahan dengan menggunakan kuesioner, 3. Pengukuran dengan electroencephalography (EEG), 4. Pengujian frekuensi dari Flicker-fusion mata, 5. Pengukuran psikomotorik, 6. Pengukuran kejiwaan atau mental. Kelelahan dapat dikurangi dengan berbagai cara (Sutalaksana, 2006), yaitu : 1. Menyediakan kalori secukupnya sebagai asupan tubuh, 2. Bekerja dengan menggunakan metode kerja yang baik, 3. Memperhatikan kemampuan tubuh, artinya pengeluaran tenaga tidak melebihi pemasukannya dengan memperhatikan batasan-batasannya, 4. Memperhatikan waktu kerja yang teratur, artinya harus dilakukan pengaturan terhadap jam kerja, waktu istirahat dan sarana-sarananya, masa libur dan rekreasi, 5. Mengatur lingkungan fisik sebaik-baiknya seperti suhu, kelembapan, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran, dan bau atau wangi-wangian, 6. Berusaha untuk mengurangi monotoni dan ketegangan akibat kerja, misalnya menyediakan musik dan menggunakan dekorasi ruangan kerja Denyut Jantung Jantung merupakan organ tubuh yang berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Darah yang dipompa membawa makanan yang diperlukan otot. Selain itu adanya sirkulasi darah, zat-zat sampah yang berbahaya bagi tubuh dapat xlix

50 dikeluarkan. Jantung bekerja diluar kemauan dan memiliki kemampuan khusus. Proses keluar masuknya darah ke jantung menghasilkan denyut jantung. Johnson (1991) menyebutkan bahwa denyut jantung adalah banyaknya kontraksi yang dilakukan oleh otot jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh dalam interval waktu tertentu. Denyut jantung pada keadaan normal adalah 70 denyut/menit dengan selang antara denyut/menit. Denyut jantung sangat ditentukan oleh usia dan jenis kelamin. Jantung yang sehat kembali bekerja normal setelah 15 menit sesudah beraktivitas. Denyut jantung manusia dipengaruhi lingkungan fisik tempat beraktivitas. Hubungan tingkat lingkungan fisik, denyut jantung dan konsumsi energi dapat dilihat pada gambar Pembagian denyut jantung pada saat beraktivitas dapat dilihat pada gambar Gambar 2.22 Hubungan denyut jantung dengan kondisi kerja dan konsumsi energi Sumber: Grandjean, 1993 Gambar 2.23 Pembagian denyut jantung pada saat beraktivitas Sumber: Grandjean, 1993 l

51 Dari gambar 2.23 dapat dilihat adanya beberapa tingkat antara denyut jantung sebelum dan sesudah bekerja. Menurut Grandjean (1993), tingkat denyut jantung dibagi menjadi lima definisi, yaitu: 1. Resting pulse adalah jumlah rata-rata denyut jantung sebelum memulai suatu pekerjaan, 2. Working pulse adalah jumlah rata-rata denyut jantung selama melakukan suatu pekerjaan, 3. Work pulse adalah selisih antara jumlah denyut jantung selama bekerja dan sebelum bekerja, 4. Total recovery pulse (recovery cost) adalah jumlah denyut jantung mulai dari berhenti bekerja sampai denyut nadi kembali normal. Menurut E.A Muller dalam Grandjean (1993), total recovery pulse adalah salah satu cara untuk mengukur kelelahan (fatigue) dan pemulihan (recovery), 5. Total work pulse (cardiac cost) adalah jumlah denyut jantung mulai dari memulai pekerjaan sampai dengan tingkat istirahat. Konsumsi energi melalui denyut jantung biasa diukur dengan alat yang disebut Electro Cardio Graph (ECG). Selain itu, konsumsi energi dapat diukur secara manual dengan metode sepuluh denyut jantung (Tarwaka dkk, 2004) sebagai berikut: 10 denyut Denyut Jantung = x 60...persamaan 2.4 waktu perhitungan Setelah didapatkan nilai dari denyut jantung masing-masing aktivitas, tingkat peningkatan denyut jantung akibat aktivitas kardiovaskuler (Tarwaka, 2004) dapat diketahui dengan dengan rumus, yaitu : ( denyut ker ja- denyut istirahat) % CVL = x 100%...persamaan 2.5 ( denyut maksimal- denyut istirahat) Grandjean (1993) mendefinisikan beberapa hal, sebagai berikut: a. Jumlah denyut jantung istirahat merupakan rata-rata denyut jantung sebelum pekerjaan dimulai. b. Jumlah denyut nadi bekerja merupakan rata-rata denyut jantung selama bekerja. c. Denyut jantung maksimal ditentukan dengan rumus berikut : li

52 Denyut jantung maksimal = 220 usia (untuk pria) Denyut jantung maksimal = 200 usia (untuk wanita) Hasil perhitungan % CVL tersebut kemudian dibandingkan dengan % CVL yang telah ditetapkan dalam tabel 2.6. Tabel 2.6 Klasifikasi kerja berdasarkan % CVL % CVL Keterangan < 30 % Tidak terjadi kelelahan 30% - 60% Diperlukan perbaikan 30% - 80% Kerja dalam waktu singkat 80% - 100% Diperlukan tindakan segera > 100% Sumber: Tarwaka dkk, 2004 Tidak diperbolehkan melakukan aktivitas Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa beban kerja yang mempunyai nilai % CVL kurang dari 30 % masih dikategorikan sebagai aktivitas ringan dan belum menunjukkan terjadinya kelelahan. Kelelahan akut terjadi jika nilai % CVL melebihi 100 % dan tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas. Perhitungan tingkat kelelahan (% CVL) per fase gerak berjalan dilakukan dengan menghitung terlebih dulu jumlah siklus yang terjadi sepanjang lintasan berjalan kemudian diambil nilai rata-ratanya. Perhitungan nilai % CVL per siklus didapatkan dari nilai % CVL dibagi rata-rata jumlah siklus yang terjadi, dirumuskan pada persamaan 2.3 berikut. Nilai % CVL per siklus = nilai % CVL jumlah siklus...persamaan 2.6 Dari nilai % CVL per siklus diambil nilai yang terbesar dari beberapa perulangan yang dilakukan, ditentukan pula waktu untuk melakukan setiap fase gerakan. Perhitungan nilai % CVL per fase merupakan hasil pembagian waktu per fase dengan waktu selama satu siklus dikali dengan nilai % CVL per siklus terbesar, dirumuskan pada persamaan 2.4 berikut. waktu per fase Nilai % CVL per fase = x % CVL...persamaan 2.7 waktu 1 siklus lii

53 2.5.4 Energi Ekspenditur Manusia mengoksidasi dengan cara metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan alkohol untuk menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan dibutuhkan untuk : 1. Memelihara fungsi tubuh; untuk bernafas, menjaga denyut jantung, menjaga tubuh tetap hangat dan semua fungsi berjalan normal. 2. Aktivitas fisik; untuk gerak perpindahan dan kontraksi otot. 3. Pertumbuhan dan pembaruan yang membutuhkan pembuatan jaringan baru. Energi diukur dalam satuan joule atau kalori. Satu joule (J) ditetapkan sebagai energi yang digunakan saat memindahkan berat 1 kilogram (kg) sejauh 1 meter (m) dengan kekuatan 1 newton (N). Satu kalori ditetapkan sebagai energi yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur dari 1 gram (gr) air dari 14.5 o C sampai 15.5 o C. Dalam prakteknya, kedua satuan tersebut digunakan secara berbeda dalam pengukuran cairan. Satu kalori setara dengan joule. Manusia menggunakan energi dalam jumlah besar, karena itu para ahli nutrisi menggunakan satuan yang lebih besar, yaitu kilojoule. 1 kilojoule (kj) = 1000 joule 1 megajoule (MJ) = joule 1 kilokalori (Kkal)= 1000 kalori Untuk mengubah menjadi satuan yang lain : 1 kkal = kj 1 MJ = 239 Kkal Terdapat tiga tingkat energi fisiologis yang umum, yaitu istirahat, limit kerja aerobik dan kerja anaerobik. Pada tahap istirahat, pengeluaran energi yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan tubuh disebut Tingkat Metabolisme Basal (Basal Metabolic Rate, BMR). Hal tersebut mengukur perbandingan oksigen yang masuk ke dalam paru-paru dengan karbon dioksida yang keluar. Berat tubuh dan luas permukaan adalah faktor penentu yang dinyatakan dalam kilokalori/area permukaan/jam. Rata-rata manusia yang mempunyai berat 65 kg dan mempunyai area permukaan 1.77 m 2 memerlukan energi sebesar 1 kilokalori per menit. Sedangkan suatu kerja disebut aerobik bila suplai oksigen pada otot sempurna. Jika suplai tidak sempurna, sistem kekurangan oksigen dan kerja liii

54 menjadi anaerob. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas fisiologis yang dapat ditingkatkan melalui latihan. Energi ekspenditur (EE) laki-laki dan wanita selama satu hari penuh dibagi menjadi komponen yang berbeda yang dapat ditentukan masing-masing. Terdiri dari : basal metabolic rate (BMR), diet induced thermogenesis (DIT), dan physical activity (PA). 1. Basal Metabolic Rate (BMR) Gambar 2.24 Total energi ekspenditur Sumber : Rowett Research Institute, 1992 BMR adalah jumlah minimum dari tenaga yang diperlukan oleh tubuh jika dikaitkan dengan ilmu fisiologi dan istirahat secara mental. BMR diukur di dalam kondisi-kondisi yang dibakukan, yang dilakukan dengan subyek pada saat keadaan setelah makan malam (berpuasa untuk sedikitnya 12 jam/postprandial), pada istirahat yang mencukupi di suatu lingkungan thermoneutral (tidak terlalu panas atau dingin). Jika salah satu kondisi tersebut tidak dijumpai (selang waktu untuk berpuasa lebih pendek) pengukuran biasanya disebut resting metabolic rate (RMR). 2. Diet Induced Thermogenesis (DIT) Disebut juga post-prandial thermogenesis (PPT) atau efek termis dari makanan (termic effect of food, TEF). DIT berperan sekitar 10% dari energi total yang dibutuhkan (Energy Intake, EI). Ini adalah jumlah dari tenaga memanfaatkan di dalam pencernaan, absorpsi, dan transportasi nutrisi. 3. Physical Activity (PA) PA merupakan komponen variabel terbanyak dari EE di dalam manusia. Hal ini termasuk tambahan EE selain RMR dan TEF karena aktivitas otot dan liv

55 meliputi aktivitas fisik minor (menggigil dan menggelisahkan). Nilai PA ini berperan sekitar 15-30% dari total kebutuhan EE harian. Bilangan nadi atau denyut jantung merupakan peubah yang penting dan pokok baik dalam penelitian lapangan maupun penelitian laboratorium. Dalam hal penentuan konsumsi energi, biasa digunakan parameter indeks kenaikan bilangan kecepatan denyut jantung. Indeks ini merupakan perbedaan antara kecepatan denyut jantung pada waktu kerja tertentu dengan kecepatan denyut jantung pada waktu istirahat. Jumlah total dari energi yang diperlukan oleh individu bergantung pada tingkat aktivitas dan berat badan mereka. Semakin berat dan aktif maka lebih banyak tenaga yang diperlukan. Untuk merumuskan hubungan antara energi ekspenditur dengan kecepatan denyut jantung, dilakukan pendekatan kuantitatif hubungan antara energi ekspenditur dengan kecepatan denyut jantung dengan menggunakan analisis regresi. Bentuk regresi hubungan energi dengan kecepatan denyut jantung adalah regresi kuadratis dengan persamaan sebagai berikut : Y = ( ) X + ( x 10-4 ) X 2...persamaan 2.8 dengan ; Y : energi ekspenditur (kilokalori/ menit) X : kecepatan denyut jantung (denyut/ menit) Setelah diketahui nilai energi ekspenditurnya, maka dapat diketahui pula kebutuhan kalori dalam melakukan suatu kegiatan kerja tertentu dengan menggunakan perhitungan berikut : Y x 60 Kebutuhan Kalori = per jam / kg berat badan...persamaan 2.9 W dengan ; Y : energi ekspenditur (kilokalori/ menit) W : berat badan (kg) Aerobic Capacity Pengeluaran energi, kerja fisiologis, dan biaya fisiologis berkaitan erat dengan konsumsi oksigen. Hal ini dapat diukur secara langsung dalam liter/menit atau secara tidak langsung dalam detak jantung/menit. Unit satuan dasar yang digunakan adalah pengeluaran kalori dalam gram kalori/ menit. Aerobic capacity adalah level maksimum konsumsi oksigen (oxygen uptake). Aerobic capacity ditunjukkan dengan VO 2 max dan biasanya diungkapkan dalam liter per menit. lv

56 Sinonim aerobic capacity adalah physical work capacity, maximal oxygen uptake, dan maximal aerobic capacity or power. Faktor-faktor yang mempengaruhi aerobic capacity adalah : Faktor somatis : dimensi tubuh, usia, jenis kelamin Faktor fisik : motivasi, sikap Ligkungan : ketinggian, temperatur, kelembaban Karakteristik pekerjaan : beban/intensitas kerja, durasi kerja, ritme kerja, teknik kerja Karakteristik psikologi pekerja yang merupakan turunan secara genetik (inherited at birth) Aerobic capacity dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu direct assessment dan indirect assessment. Direct assessment melibatkan pengujian maksimal dan biasanya dilakukan kepada anak-anak muda, orang yang terlatih seperti atlit dan sebagainya. Indirect assessment merupakan pengujian submaksimal dan biasanya lebih sesuai dilakukan pada pekerja-pekerja industri. Ada tiga metode indirect assessment yang biasa digunakan : 1. Metode Regresi. Metode ini didasarkan pada dua faktor yaitu hubungan linier antara heart rate dan VO 2 pada beban kerja submaksimal yang diharapkan berdasar usia. Metode ini memiliki kelemahan, yaitu adanya variasi heart rate maksimum diantara individu. 2. Metode berdasarkan Astrand Nomogram (Astrand and Rodahl, 1986). Metode ini didasarkan pada pengukuran submaksimal konsumsi oksigen dan heart rate. Nomogram menggunakan faktor koreksi usia. Kelemahan metode ini adalah kesalahan dalam membaca data dari nomogram khususnya bagi mereka yang tidak terlatih. 3. Metode Konvensional Tayyari (Siconolfi et al., 1985; Tayyari, 1995). Metode ini untuk mengestimasi VO 2 didasarkan pada berat badan dan heart rate selama berjalan pada treadmill. Tayyari merumuskan sebuah persamaan utuk menghitung konsumsi oksigen maksimal, yaitu: 0.263( Wb+ 10) V V 0 max = AG...persamaan HR+ G- 72 dengan ; lvi

57 VO 2 max = konsumsi oksigen maksimal (liter/menit) Wb = berat badan (kg) V = kecepatan berjalan pada treadmill (km/jam) HR = heart rate (denyut/menit) selama berjalan pada treadmill G = faktor gender (G=10 untuk laki-laki dan G=0 untuk perempuan) AG = faktor koreksi usia = 1.12 ( x usia) 2.6 PENELITIAN SEBELUMNYA Robert L. Waters, et al (1976) melakukan penelitian mengenai energi yang dibutuhkan para amputee untuk berjalan berkaitan dengan tingkat amputasi bagian kaki. Penelitian ini dilakukan terhadap dua kelompok amputee dengan level amputasi yang berbeda, yaitu vascular dan traumatic. Kelompok vascular terdiri dari 13 above-knee amputee, 13 below-knee amputee, dan 15 Syme amputee. Kelompok traumatic terdiri dari 15 above-knee amputee dan 14 below-knee amputee. Responden berjalan pada lintasan sejauh 60.5 meter. Pernafasan diukur dengan Douglas Bag untuk menganalisis oksigen dan karbon dioksida. Denyut jantung, tingkat pernafasan, serta polanya diamati dengan alat transduser. Setiap percobaan berjalan rata-rata selama lima menit dengan dua kecepatan berbeda, lambat dan cepat. Nilai oksigen yang dikonsumsi dan bilangan denyut jantung digunakan untuk memperkirakan nilai maksimum kapasitas kerja secara aerobik. Hasil dari penelitian ini adalah nilai maksimum kapasitas kerja secara aerobik pada responden above-knee amputee kedua kelompok lebih rendah dibandingkan pada responden below-knee amputee maupun orang normal. Keytel, et al (2005) melakukan penelitian untuk memperkirakan nilai energi ekspenditur dari pengamatan denyut jantung. Tujuan penelitian ini yaitu mengukur faktor komposisi tubuh, jenis latihan, hubungan denyut jantung dengan energi ekspenditur, dan mengembangkan persamaan ramalan energi ekspenditur. Responden berjumlah 115 orang dengan umur tahun. Penelitian dilakukan dengan cara responden beraktivitas menggunakan treadmill dan cycle ergometer pada tiga kondisi berbeda. Denyut jantung dan rasio pernafasan diukur. Suatu analisis mixed-model mengidentifikasi jenis kelamin, denyut jantung, berat badan, konsumsi oksigen, dan umur sebagai faktor untuk memperkirakan nilai energi ekspenditur. Kesimpulan yang diambil yaitu adanya kemungkinan mengetahui lvii

58 nilai energi ekspenditur dari denyut jantung suatu kelompok dengan terlebih dulu menyesuaikan faktor umur, jenis kelamin, massa tubuh, dan kebugaran. Mike Laymon, et al (2008) melakukan penelitian mengenai energi ekspenditur secara aerob dalam latihan selama 60 menit. Penelitian ini dilakukan pada 6 orang wanita dan 7 orang laki-laki dengan umur rata-rata tahun. Responden melakukan aktivitas selama 60 menit. Pengukuran dilakukan terhadap konsumsi oksigen sesaat sebelum beraktivitas, setiap lima menit saat beraktivitas, dan selama 4 jam setelah beraktivitas. Hasil penelitian ini yaitu rata-rata nilai energi ekspenditur yaitu 517,4 ± 231,7 kalori. Rata-rata energi ekspenditur pada laki-laki yaitu 654,1 kalori dan pada wanita yaitu 358 kalori. Lobes Herdiman, dkk (2009) melakukan penelitian mengenai kajian fisiologi pada karakteristik prosthetic kaki endoskeletal jenis Above-Knee Prosthetic (AKP). Tujuannya adalah mengukur tingkat fisiologi pengguna prosthetic endoskeletal hasil perancangan dibandingkan dengan prosthetic eksoskeletal. Penelitian dilakukan dengan cara mengukur tingkat kelelahan, energi ekspenditur, dan getaran mekanik saat berjalan. Amputee berjalan pada treadmill sejauh 100 meter menggunakan kedua prosthetic bergantian dengan tiga kecepatan berbeda (1,2 km/jam; 1,6 km/jam; dan 2 km/jam). Denyut jantung diukur saat sebelum berjalan, saat berjalan pada jarak 50 meter, 60 meter, dan 100 meter. Selain itu diukur denyut jantung setelah berjalan pada menit ke-2, ke-4, dan ke-6. Hasil penelitian ini adalah prosthetic endoskeletal menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkankan prosthetic eksoskeletal dilihat dari peningkatan %CVL lebih kecil. Peningkatan pengeluaran energi ekspenditur menunjukkan lebih stabil, getaran mekanik yang ditimbulkan untuk berjalan normal lebih stabil, dan frekuensi tekanan pada stump yang dilakukan berulang untuk berjalan normal pada frekuensi 100 Hz masih memberikan rasa nyaman bagi pengguna. Kuo-Feng Huang, et al (2001) melakukan penelitian mengenai kajian kinematik dan energi yang dibutuhkan oleh below-knee amputees. Tujuannya mengukur karakteristik berjalan secara dinamis dan energi yang dibutuhkan. Penelitian ini dilakukan terhadap 6 below-knee amputees dengan usia 41,83 ± 6,27 tahun terdiri dari 3 vascular amputees dan 3 traumatic amputees menggunakan foot tipe SACH, single axis, dan multiple axis. Selain itu juga lviii

59 dibandingkan dengan kondisi normal yaitu 5 orang laki-laki yang berusia 33,83 ± 5,15 tahun. Penelitian ini dilakukan dengan cara responden berjalan pada treadmill dengan kecepatan 1 km/jam; 1,5 km/jam; dan 2 km/jam. Hal tersebut dinilai sebagai fase pemanasan dan trial setelah beristirahat selama 20 menit. Setelah denyut jantung mencapai 60 % denyut jantung maksimal, energi yang dibutuhkan diukur selama minimal 2 menit. Metode tersebut dilakukan pada dua kelompok amputees menggunakan tiga jenis foot berbeda. Hasil penelitian ini adalah kelompok vascular amputees membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan kelompok traumatic amputees. Perbedaan energi yang dibutuhkan cukup besar antara ketiga jenis foot prosthetic. lix

60 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai pengukuran fisiologi terhadap tiga desain prosthetic kaki bagian bawah lutut. Langkah-langkah penelitian yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Penetapan Tujuan dan Manfaat Penelitian Studi Pustaka Penentuan Responden Amputee (n = 1 orang) Penentuan Responden Normal (n = 10 orang) Pengecekan Kesesuaian BMI (Body Mass Index) dan BMR (Basal Metabolic Rate) Sesuai? Pengamatan Aktivitas Berjalan pada Pengguna Prosthetic dan 10 Responden Normal Pengumpulan Data Denyut Nadi (berjalan normal) Video Capture 6 Fase Gerakan dan Waktu Tempuh Perhitungan % CVL Pengumpulan Data Denyut Nadi (treadmill) Perhitungan Energi Ekspenditur, Kebutuhan Kalori, dan VO2 maks Distribusi % CVL per fase berjalan A Gambar 3.1 Metodologi penelitian lx

61 A Perbandingan % CVL, Energi Ekspenditur, Kebutuhan Kalori, dan VO2 maks antara Pengguna Prosthetic dengan Responden Normal Rekomendasi Desain Prosthetic Analisis dan Interpretasi Hasil Penelitian Kesimpulan dan Saran Gambar 3.1 Metodologi penelitian (lanjutan) 3.1 IDENTIFIKASI MASALAH Tahap identifikasi permasalahan merupakan tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian. Tahap identifikasi masalah diawali dari menentukan latar belakang dan perumusan masalah, menentukan tujuan dan manfaat penelitian, serta studi pustaka (literatur). Tahap-tahap yang dilakukan dalam tahap identifikasi permasalahan ini dapat dijelaskan, sebagai berikut: 1. Latar belakang. Prosthetic merupakan pengganti alat gerak anggota tubuh sehingga amputee dapat melakukan aktivitas berjalan pada umumnya, namun dalam pemakaiannya pengguna prosthetic memerlukan adaptasi. Di pasaran telah berkembang dua desain prosthetic, yaitu eksoskeletal dan endoskeletal. Pada tahun 2009 juga telah dikembangkan prosthetic endoskeletal yang menjembatani perbedaan kedua prosthetic yang telah ada di pasaran. Dalam aktivitas berjalan tentu dibutuhkan energi dan oksigen. Kelelahan dapat timbul karena tidak seimbangnya aktivitas dengan istirahat. Begitu pula halnya dengan pengguna prosthetic. Permasalahannya terletak pada tingkat keseimbangan fisiologi pengguna prosthetic akankah tetap mampu mendekati kondisi pada orang normal. Karena alasan tersebut di atas, pada penelitian ini dikaji tingkat fisiologi ditinjau dari metabolisme basal. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat lxi

62 kelelahan (% CVL), energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen pada pengguna prosthetic kaki bawah lutut (Below-Knee Prosthetic/BKP). Penelitian dilakukan terhadap tiga desain prosthetic berbeda saat melakukan aktivitas berjalan dibandingkan dengan kondisi normal. 2. Perumusan masalah. Dengan pengukuran fisiologi dapat diketahui besarnya tingkat energi dan tingkat kelelahan yang dihasilkan. Perbedaan desain prosthetic dapat berarti perbedaan hasil pengukuran fisiologi, terlebih dibandingkan dengan orang normal. Karena itu penelitian ini mengukur tiga desain prosthetic yang berbeda dengan membandingkan hasilnya dengan tingkat fisiologi normal. Permasalahan yang dirumuskan adalah bagaimana memilih desain prosthetic kaki bagian bawah lutut terbaik dalam mengakomodasi aktivitas berjalan. 3. Penetapan tujuan dan manfaat penelitian. Maksud adanya tujuan dan manfaat penelitian yaitu untuk menemukan arah serta sasaran yang ingin dicapai dalam suatu penelitian dan ditetapkan berdasarkan permasalahan yang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk memilih desain prosthetic kaki bawah lutut dalam mengakomodasi aktivitas berjalan. Manfaat yang didapat yaitu memberikan rekomendasi pada pengguna prosthetic kaki bagian bawah lutut mengenai jenis prosthetic dengan tingkat fisiologi mendekati orang normal. 4. Studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dengan mencari literatur dan bahan-bahan yang digunakan untuk mendukung penelitian. Informasi yang didapat mampu mendukung perencanaan awal penelitian, pelaksanaan pengumpulan data, bahkan pengolahan data. Informasi dari literatur diperlukan juga agar pengetahuan mengenai prosthetic bawah lutut lebih lengkap. lxii

63 3.2 PENGUMPULAN DATA Pengukuran fisiologi prosthetic bawah lutut dilakukan yaitu untuk mengetahui tingkat fisiologi pengguna prosthetic dibandingkan dengan orang normal. Informasi diperoleh sebagai dasar dalam pengukuran fisiologi dilakukan pengumpulan data. Pengumpulan data yang dilakukan di Laboratorium Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Teknik Industri UNS. Data yang diambil dari responden ada dua yaitu data awal dan data utama penelitian. Data awal meliputi usia, tinggi dan berat badan, baik pengguna prosthetic maupun responden orang normal. Sedangkan data utama terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data denyut nadi hasil pengamatan terhadap pola berjalan pada pengguna prosthetic dan sepuluh responden orang normal. Terdiri dari data denyut nadi pada aktivitas berjalan normal (eksperimen 1) dan pada aktivitas berjalan di treadmill (eksperimen 2). Data sekunder yaitu data berupa rekaman video aktivitas berjalan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain berupa stopwatch, tensimeter, timbangan (pengukur tinggi dan berat badan), dan cyclometer yang dapat dilihat pada gambar 3.2. (a) Stopwatch (b) Tensimeter (c) Timbangan (d) Cyclometer Gambar 3.2 Alat yang digunakan dalam penelitian Sumber: Lab Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Teknik Industri UNS, 2009 lxiii

64 Pengukuran yang pertama kali dilakukan yaitu usia dan pengukuran tinggi badan dan berat badan. Jumlah responden yaitu satu orang amputee (pengguna prosthetic) dan sepuluh orang normal. Pemilihan responden normal disesuaikan dengan nilai BMI (Body Mass Index) dan BMR (Basal Metabolic Rate) amputee sehingga keduanya dapat dibandingkan. Nilai BMI ditentukan dengan persamaan 2.1 dan nilai BMR ditentukan dengan persamaan 2.2. Ketentuan umum dalam pelaksanaan eksperimen meliputi pengamatan terhadap pola berjalan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Lintasan yang dilalui pada aktivitas berjalan normal (eksperimen 1) sepanjang 12 meter. Sedangkan pada aktivitas berjalan di treadmill (eksperimen 2) sepanjang 100 meter. 2. Pada eksperimen 1 dilakukan enam kali perulangan. Pada eksperimen 2 dilakukan tiga kali dengan kecepatan berbeda yaitu 1.2 km/jam, 1.6 km/jam, dan 2 km/jam (Herdiman, L., 2009). 3. Pengukuran denyut nadi dilakukan dengan metode 10 denyut untuk eksperimen 1 dan menggunakan alat ukur untuk eksperimen Responden diberikan waktu istirahat selama 10 menit untuk melakukan setiap perulangan berikutnya. Petunjuk pelaksanaan eksperimen diperlukan sebagai alat untuk menentukan prosedur operasional dalam pengambilan data. Hal ini bertujuan agar eksperimen berjalan sesuai tujuan yang diharapkan. Petunjuk pelaksanaan untuk eksperimen 1, sebagai berikut: 1. Khusus untuk pengguna prosthetic, amputee memakai tiga desain prosthetic yang digunakan dalam eksperimen bergantian, 2. Pengukuran lamanya waktu untuk sepuluh denyut nadi dilakukan sebelum melakukan eksperimen pada percobaan berjalan pertama. Data ini merupakan data denyut nadi sebelum melakukan eksperimen pada percobaan berjalan pertama, 3. Responden melakukan eksperimen dengan berjalan sejauh 12 meter, 4. Pengukuran lamanya waktu sepuluh denyut nadi kembali diukur. Data ini merupakan data denyut nadi setelah melakukan percobaan berjalan pertama, lxiv

65 5. Responden beristirahat selama 10 menit sebelum melakukan percobaan berjalan kedua, 6. Setelah beristirahat, denyut nadi responden kembali diukur sebelum responden melakukan percobaan berjalan kedua. Data ini merupakan data denyut nadi responden sebelum melakukan percobaan berjalan kedua, 7. Responden melakukan percobaan berjalan kedua sepanjang 12 meter, 8. Pengukuran lamanya waktu sepuluh denyut nadi responden kembali di ukur. Data ini merupakan data denyut nadi responden setelah melakukan percobaan berjalan kedua, 9. Pengukuran lamanya waktu sepuluh denyut nadi responden baik sebelum dan setelah percobaan berjalan dilakukan sampai percobaan berjalan keenam, 10. Setelah melakukan keenam perulangan percobaan berjalan, pengguna prosthetic mengganti desain prosthetic yang lain atau beralih pada sepuluh responden orang normal. Sedangkan petunjuk pelaksanaan untuk eksperimen 2, sebagai berikut: 1. Khusus untuk pengguna prosthetic, amputee memakai tiga desain prosthetic yang digunakan dalam eksperimen bergantian, 2. Responden dipersiapkan untuk berjalan di treadmill. Lintasan yang ditempuh sepanjang 100 meter. Kecepatan pertama yang digunakan yaitu 1.2 km/jam, 3. Pengukuran denyut nadi selama berjalan di treadmill dilakukan pada empat titik, yaitu sebelum melakukan eksperimen, saat eksperimen pada jarak 30 meter, jarak 50 meter, dan 100 meter, 4. Setelah selesai berjalan, responden beristirahat selama 10 menit, 5. Eksperimen dilanjutkan kembali dengan penggantian kecepatan yang digunakan yaitu 1.6 km/jam, 6. Pengukuran denyut nadi selama kondisi berjalan sama dengan pengukuran untuk kecepatan sebelumnya, 7. Setelah responden beristirahat selama 10 menit, eksperimen dilanjutkan kembali dengan penggantian kecepatan yang digunakan 2 km/jam, 8. Pengukuran denyut nadi selama kondisi berjalan sama dengan pengukuran untuk kecepatan sebelumnya, lxv

66 9. Setelah melakukan percobaan berjalan dengan tiga kecepatan berbeda, pengguna prosthetic mengganti desain prosthetic yang lain atau beralih pada sepuluh responden orang normal. Setelah semua eksperimen selesai dilakukan, data hasil eksperimen tersebut direkapitulasi agar dapat dilakukan pengolahan data. 3.3 PENGOLAHAN DATA Setelah dilakukan pengumpulan data, langkah berikutnya adalah mengolah data tersebut untuk mendapatkan hasil (output) dari penelitian ini. Pengolahan data dilakukan dengan urutan, sebagai berikut: 1. Perhitungan % CVL untuk pengguna prosthetic dan responden orang normal. Data hasil pengamatan terhadap aktivitas berjalan normal berupa lamanya waktu untuk melakukan 10 denyut sebelum dan setelah berjalan. Data tersebut dikonversi ke dalam bilangan denyut nadi per menit menggunakan persamaan 2.4. Nilai % CVL dihitung dari data hasil konversi denyut nadi dan denyut maksimum responden menggunakan persamaan 2.5. Denyut maksimum didapat dari nilai (220 usia) untuk responden laki-laki. 2. Perhitungan distribusi % CVL per fase berjalan untuk pengguna prosthetic dan responden orang normal. Dalam perhitungan ini dilakukan pengamatan terhadap data berupa video rekaman aktivitas berjalan normal (eksperimen 1). Pertama, pengamatan terhadap jumlah siklus untuk setiap percobaan berjalan kemudian diambil nilai rata-ratanya. Kedua, perhitungan distribusi fatique per siklus dengan cara membagi nilai % CVL dengan jumlah rata-rata siklus menggunakan persamaan 2.6. Ketiga, pemilihan nilai fatique terbesar untuk setiap kelompok percobaan berjalan (enam kali perulangan). Keempat, pengamatan waktu tempuh setiap fase pada video rekaman. Kelima, perhitungan distribusi %CVL untuk setiap fase berjalan menggunakan persamaan Perhitungan energi ekspenditur, kebutuhan kalori, konsumsi energi, dan VO 2maks untuk pengguna prosthetic dan responden orang normal. Perhitungan ini menggunakan hasil pengamatan aktivitas berjalan di treadmill. Perhitungan nilai energi ekspenditur menggunakan persamaan regresi lxvi

67 kuadratis pada persamaan 2.8. Perhitungan kebutuhan kalori per jam per kg berat badan menggunakan rumus pada persamaan 2.9. Data yang diolah yaitu nilai energi ekspenditur. Perhitungan konsumsi oksigen menggunakan data awal pengukuran denyut nadi pada aktivitas berjalan di treadmill. Perhitungan ini menggunakan rumus pada persamaan Perbandingan hasil pada pengguna prosthetic dengan responden orang normal. Perbandingan hasil disajikan dalam bentuk grafik untuk mengetahui desain prosthetic dengan tingkat kedekatan hasil pengukuran fisiologi dengan kondisi normal. Hasil perhitungan yang dibandingkan yaitu nilai %CVL, distribusi %CVL per fase, energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan VO 2 maks. 5. Rekomendasi desain prosthetic terbaik Hasil perbandingan memberikan informasi mengenai desain prosthetic terbaik sesuai responden amputee. Informasi tersebut dapat dijadikan rekomendasi dalam memilih desain prosthetic terbaik untuk aktivitas berjalan. 3.4 ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap hasil perbandingan % CVL, energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan VO 2 maks yang dikeluarkan antara pengguna prosthetic dengan orang normal. Selain itu dianalisis distribusi fatique sesuai fase berjalan. Pada akhirnya diketahui desain prosthetic dengan kualifikasi paling mendekati nilainya dengan orang normal. 3.5 KESIMPULAN DAN SARAN Tahap terakhir penelitian yaitu membuat kesimpulan yang menjawab tujuan akhir dari penelitian berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang telah dilakukan serta saran yang disampaikan untuk dapat semakin memperbaiki kualitas prosthetic yang dihasilkan sesuai dengan kajian fisiologi. lxvii

68 BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Bab ini membahas proses pengumpulan data dan proses pengolahan data sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini. Bagian pertama membahas proses pengumpulan data eksperimen. Bagian kedua membahas proses pengolahan data. Keduanya dilakukan sebagai dasar dalam memberikan analisis terhadap penyelesaian permasalahan yang dihadapi. 4.1 PENGUMPULAN DATA Tahap pengumpulan data ini dilakukan untuk mendapatkan data awal untuk pengukuran fisiologi dari pengguna prosthetic kaki bawah lutut dan orang normal. Pada tahap-tahap pengumpulan data lebih lengkap dapat dilihat pada subbab selanjutnya Desain Prosthetic Kaki Bawah Lutut Desain prosthetic yang diukur dalam penelitian ini ada tiga, yaitu satu desain eksoskeletal dan dua desain endoskeletal yang berbeda. Desain endoskeletal terdiri dari tiruan Otto Bock (Merek Regal) dan pengembangan dengan ankle joint sistem double axis. Desain prosthetic tersebut dapat dilihat pada gambar 4.1. (a) eksoskeletal (b) tiruan Otto Bock (c) pengembangan Gambar 4.1 Jenis prosthetic yang digunakan lxviii

69 1. Desain Prosthetic Eksoskeletal Desain ini menggunakan korset paha dengan check strap (penyangga paha belakang) yang memberikan kekuatan pada anteroposterior stump-socket. Akibatnya pengguna bergantung pada gerakan mekanis check strap dan dapat menahan extensi lutut. Mekanika check strap memberikan ketahanan total pada reaksi lantai dengan penyesuaian stump secara bebas dalam socket. Hal tersebut menunjukkan penyesuaian yang tepat dari korset paha, batang sisi, dan check strap sehingga memungkinkan untuk modifikasi pola tekanan hubungan anteroposterior stump socket. Desain eksoskeletal mendukung permukaan atas dari SACH foot prosthetic yang dihubungkan oleh persendian. Hal ini dilakukan untuk mencegah bagian foam atau rubber pada tumit sepatu dari pengubahan secara proximal pada heel-strike. Pada saat telapak kaki dimasukkan ke dalam sepatu, bagian daerah tumit sepatu dapat dimampatkan dan menyerap goncangan saat berjalan oleh bahan yang dipakai. SACH foot desain ini terbuat dari kayu dan ditempelkan pada material karet. Kepadatan tumit bajinya dapat divariasi antara lembut, medium dan keras disesuaikan menurut karakteristik gaya berjalan, tingkatan aktivitas, umur, berat, dan pilihan orang yang diamputasi. SACH foot dapat digunakan oleh pengguna ±2-3 tahun sebelum diganti, jika tidak rusak sebelum waktunya. Keputusan penggantian ditentukan oleh kondisi kerusakan struktural pada telapak kaki, pecahnya material, pertimbangan warna kosmetik, dan perubahan kondisi kesehatan atau permintaan pasien. Kelemahan dari desain ini yaitu tidak mampu mengakomodasi gerakan pada bidang permukaan yang tidak rata atau bergelombang. Pada prosthetic desain ini tidak terdapat komponen yang disebut dengan ankle joint yang merupakan bagian penghubung SACH foot dengan shank (betis). Bagian ankle joint ini dirancang mempunyai kemampuan melakukan gerakan flexi dan extensi. 2. Desain Prosthetic Endoskeletal Tiruan Otto Bock Desain ini menggunakan komponen ankle joint yang memungkinkan gerakan flexi dan extensi. Desain ankle joint terdiri dari poros pengatur gerakan yang dihubungkan dengan bahan setengah lingkaran yang berfungsi sebagai lxix

70 penahan atau pengendali putaran dari poros pada saat melakukan gerakan flexi dan extensi dari telapak kaki. Komponen ankle joint yang ditempatkan pada SACH foot bagian depan untuk gerakan flexi dan extensi masih mengandalkan kelenturan bahan SACH foot. Bahan yang digunakan untuk menahan getaran ditempatkan di bagian belakang ankle joint dalam menjaga kelenturan bahan karet plastik. Kelebihan desain ankle joint pada komponen ankle adaptor dengan titik pusat massa yaitu berat tubuh pengguna dapat distribusikan ke bagian telapak kaki agar menopang beban ke atas pada bagian ankle joint. Kemampuan ini dibantu dengan adanya komponen 2 as yang terpasang secara vertikal pada bagian SACH foot. Pengguna dapat melakukan aktivitas berjalan lebih mudah tanpa adanya hambatan dari prosthetic kakinya, terutama menggunakan sepatu high-heels. Adanya ankle joint memungkinkan pengguna mengarahkan kaki secara baik. Kelebihan lainnya yaitu berat tubuh pengguna dapat ditopang secara baik dan memberikan keseimbangan pola ayunan jalan antara kedua kaki. Kelemahan desain prosthetic endoskeletal tiruan Otto Bock yang diproduksi oleh Manufaktur Regal buatan Taiwan yaitu posisi gerakan flexi dan extensi pada bidang SACH foot masih terbatas dalam kepekaan pada saat adanya tekanan dari atas. 3. Desain Prosthetic Endoskeletal Pengembangan 2009 Desain komponen ankle joint ini mempertimbangkan beberapa gerakan yang disebabkan tekanan pada bagian kaki dibanding gerakan keseluruhan komponen. Keuntungan ankle joint dengan sistem double axis yang sama dengan desain tiruan Otto Bock, menggunakan sistem hasil dari pengembangan di tahun Beberapa kelebihan hasil ankle joint yang dikembangkan yaitu sifat link dan joint komponen lebih sederhana, adanya bagian yang bergerak, tidak memerlukan pemeliharaan, memberikan penampilan yang lebih menarik, tenang saat digunakan, dan mudah menyesuaikan untuk sepatu high-heels. Setiap bagian komponen prosthetic kaki bawah lutut dirancang dalam satu modular yang lebih sederhana untuk memenuhi aspek kesederhanaan produk (simplicity). Komponen link dan joint pada ankle joint serta stabilizer mata kaki dapat dibuat secara masal dengan aspek keterulangan (reproductability). lxx

71 Keberadaan sistem ankle joint pada SACH adaptor memungkinkan telapak kaki dapat membentuk double axis. Pengembangan prosthetic kaki jenis below knee prosthetic (BKP) diarahkan pada desain endoskeletal dengan mekanisme telapak kaki sistem ankle joint. Pengembangan ini menjadikan pengguna lebih leluasa dalam melakukan aktivitas jalan dengan pengarahan telapak kaki dalam berjalan dapat sesuai kemauan pengguna Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut (Responden Amputee) Data pengguna prosthetic kaki bawah lutut diambil pada bulan September 2009 di Laboratorium Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi (LPSKE) Teknik Industri UNS. Pemakaian prosthetic ini dikarenakan pengguna mengalami kecelakaan yang menyebabkan proses amputasi kaki bagian bawah lutut. Prosthetic yang digunakan yaitu prosthetic bawah lutut desain eksoskeletal. Berikut adalah data pengguna prosthetic. Nama : Ngadirin Jenis kelamin : Laki-laki Tinggi badan : 162 cm Berat prosthetic : 2,212 kg Tempat tanggal lahir : Boyolali, 16 Mei 1976 Riwayat amputasi : Kecelakaan lalu lintas Kaki amputasi : Kaki kanan bawah lutut dengan panjang stump kaki 16 cm Desain prosthetic : Bawah lutut desain eksoskeletal dengan socket quardrilateral Berat badan : 52,2 kg (tanpa prosthetic) lxxi

72 Gambar 4.2 Pengukuran data awal pada pengguna prosthetic Eksperimen untuk pengambilan data pengguna prosthetic dilakukan pada tanggal 15 September 2009 di LPSKE. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap aktivitas berjalan normal dan aktivitas berjalan menggunakan treadmill. Pada aktivitas berjalan normal dilakukan pengambilan data denyut nadi sebelum berjalan (kondisi istirahat) dan sesudah (kondisi berjalan) dengan metode 10 denyut. Denyut nadi dihitung lamanya waktu untuk melakukan 10 denyut menggunakan stopwatch. Jarak yang ditempuh sepanjang 12 meter dan dilakukan sebanyak enam kali perulangan. Perulangan yang dimaksudkan yaitu percobaan berjalan sebanyak enam kali dan diberi notasi P1, P2, P3, P4, P5, dan P6. Sehingga untuk setiap percobaan berjalan (P) dilakukan pengambilan data pada kondisi istirahat dan berjalan. Tujuan dilakukan perulangan yaitu agar didapatkan hasil dengan pola yang hampir sama. Selain diambil data pengukuran denyut nadi, diambil data berupa video aktivitas berjalan normal oleh pengguna prosthetic. Data hasil eksperimen ditabelkan untuk memudahkan dalam pembacaan. Data ini digunakan untuk mengetahui tingkat kelelahan (fatique) dengan menghitung % CVL. Hasil pengambilan data berupa konversi dari waktu 10 denyut menjadi jumlah denyut per menit dapat dilihat pada tabel 4.1. lxxii

73 Tabel 4.1 Data denyut nadi aktivitas berjalan normal pengguna prosthetic Jenis Kondisi Pengukuran Denyut Nadi (detik) Prothese Pengukuran P1 P2 P3 P4 P5 P6 Eksoskeletal istirahat berjalan Endoskeletal istirahat Merek Regal berjalan Endoskeletal istirahat Pengembangan berjalan Data berupa video aktivitas berjalan normal oleh pengguna prosthetic digunakan untuk mengambil data gambar fase berjalan. Hal ini dilakukan dengan meng-capture gambar enam fase dari video yang didapat. Selain itu dihitung pula lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan setiap fase berjalan tersebut. Data hasil perhitungan waktu ini akan disajikan pada bagian pengolahan data. Hasil capture data video untuk fase berjalan dapat dilihat pada gambar 4.3. Gambar 4.3 Fase berjalan pada pengguna prosthetic lxxiii

74 Pada aktivitas berjalan menggunakan treadmill jarak yang ditempuh sepanjang 100 meter masing-masing untuk tiga kecepatan berbeda, yaitu 1.2 km/jam, 1.6 km/jam, dan 2 km/jam. Pengambilan data denyut nadi dilakukan sebelum berjalan (DN0), denyut nadi pada jarak berjalan 30 meter (DN1), denyut nadi pada jarak berjalan 50 meter (DN2), dan denyut nadi pada jarak berjalan 100 meter (DN3). Denyut nadi sebelum dan selama berjalan dihitung menggunakan alat sensor pada treadmill untuk aktivitas berjalan. Data lain yang diambil juga berupa video aktivitas berjalan. Data berikut digunakan untuk menghitung nilai energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen (VO 2 maks ). Hasil pengambilan data denyut nadi dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Data denyut nadi aktivitas berjalan di treadmill pengguna prosthetic Jenis Prothese Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Kecepatan Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) Responden Normal Responden normal ditentukan dengan memilih responden normal dengan nilai BMI (Body Mass Index) dan BMR (Basal Metabolic Rate) yang bersesuaian dengan nilai BMI dan BMR amputee. Perhitungan nilai BMI dan BMR ini akan dibahas pada bagian pengolahan data. Hal ini dilakukan agar responden normal sesuai digunakan sebagai pembanding terhadap amputee. Eksperimen dilakukan terhadap 10 orang responden normal di LPSKE pada tanggal Oktober Responden normal ini merupakan mahasiswa dengan umur rata-rata tahun. Jumlah 10 orang diasumsikan cukup mewakili lxxiv

75 kondisi normal pada umumnya. Pengukuran terhadap responden normal digunakan sebagai acuan untuk mengetahui kedekatan hasil pengukuran pada amputee yang menggunakan prosthetic dengan orang normal. Berikut adalah data 10 orang responden normal. 1. Nama : Agus 6. Nama : Harto Usia : 22 tahun Usia : 20 tahun Tinggi badan : 172 cm Tinggi badan : 168 cm Berat badan : 50 kg Berat badan : 52 kg 2. Nama : Puput 7. Nama : Galih Usia : 22 tahun Usia : 22 tahun Tinggi badan : 170 cm Tinggi badan : 169 cm Berat badan : 51 kg Berat badan : 52 kg 3. Nama : Diesel 8. Nama : Tendy Usia : 22 tahun Usia : 23 tahun Tinggi badan : 169 cm Tinggi badan : 172 cm Berat badan : 52 kg Berat badan : 50 kg 4. Nama : Brian 9. Nama : Muha Usia : 22 tahun Usia : 22 tahun Tinggi badan : 171 cm Tinggi badan : 168 cm Berat badan : 51 kg Berat badan : 52 kg 5. Nama : Denta 10. Nama : Panggih Usia : 22 tahun Usia : 21 tahun Tinggi badan : 174 cm Tinggi badan : 167 cm Berat badan : 50 kg Berat badan : 51 kg Urutan pengambilan data dilakukan sama seperti perlakuan terhadap pengguna prosthetic. Data yang diambil berupa data denyut nadi dan data berupa video. Data hasil pengamatan terhadap aktivitas berjalan normal diambil dengan enam kali perulangan yaitu percobaan berjalan 1 (P1), percobaan berjalan 2 (P2), percobaan berjalan 3 (P3), percobaan berjalan 4 (P4), percobaan berjalan 5 (P5), percobaan berjalan 6 (P6). Data hasil pengamatan denyut nadi untuk aktivitas berjalan pada responden normal dapat dilihat pada tabel 4.3. lxxv

76 Tabel 4.3 Data denyut nadi aktivitas berjalan normal responden normal Responden Kondisi Pengukuran Denyut Nadi (detik) ke- Pengukuran P1 P2 P3 P4 P5 P6 1 istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja Hasil capture data video untuk fase berjalan dapat dilihat pada gambar 4.4 sedangkan data hasil perhitungan lamanya waktu untuk setiap fase disajikan pada bagian pengolahan data. Capture enam fase yang dilakukan yaitu untuk fase heel contact (kontak dengan tumit), fase foot-flat (kaki datar), fase midstance point (titik setengah berdiri), fase heel-off (tumit terangkat), fase toe-off (jari kaki terangkat), dan fase midswing (setengah berayun). lxxvi

77 Gambar 4.4 Fase berjalan pada responden normal lxxvii

78 Gambar 4.4 Fase berjalan pada responden normal (lanjutan) Pengambilan data untuk aktivitas berjalan pada treadmill juga dilakukan sama seperti pada pengguna prosthetic. Hasilnya berupa data denyut nadi yang dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4 Data denyut nadi aktivitas berjalan pada treadmill orang normal Responden ke- Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) Kecepatan (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) lxxviii

79 PENGOLAHAN DATA Pengolahan data dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian-bagiannya yaitu perhitungan denyut nadi, perhitungan aktivitas cardiovaskuler (% CVL), perhitungan distribusi % CVL menurut fase berjalan, perhitungan energi ekspenditur, perhitungan kebutuhan kalori, dan perhitungan konsumsi oksigen. Bagian-bagian pengolahan data ini dijelaskan secara lebih detail pada bagian-bagian berikut ini Menentukan Nilai BMI Perhitungan nilai BMI responden amputee dan normal menggunakan persamaan 2.1. Data yang digunakan adalah data pengukuran tinggi badan dan berat badan. Perhitungan nilai BMI pada pengguna prosthetic maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Pengukuran terhadap amputee menunjukkan bahwa amputee memiliki tinggi badan 1,62 m dan berat badan 52,2 kg. Nilai BMI sebesar 19,89 dan dapat disimpulkan bahwa amputee masuk dalam kategori langsing. 52,2 BMI amputee = 19, ,62 = lxxix

80 2. Responden Normal Pengukuran terhadap responden normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: a. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-2. Pengukuran terhadap responden normal ke-2 menunjukkan bahwa responden memiliki tinggi badan 1,70 m dan berat badan 51 kg. Nilai BMI sebesar 17,65 dan dapat disimpulkan bahwa responden ini masuk dalam kategori langsing. 51 BMI responden normal ke-2 = 17, ,70 = b. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-3. Pengukuran terhadap responden normal ke-3 menunjukkan bahwa responden memiliki tinggi badan 1,69 m dan berat badan 52 kg. Nilai BMI sebesar 18,21 dan dapat disimpulkan bahwa responden ini masuk dalam kategori langsing. 52 BMI responden normal ke-3 = 18, ,69 = c. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-4. Pengukuran terhadap responden normal ke-4 menunjukkan bahwa responden memiliki tinggi badan 1,71 m dan berat badan 51 kg. Nilai BMI sebesar 17,44 dan dapat disimpulkan bahwa responden ini masuk dalam kategori langsing. 51 BMI responden normal ke-4 = 17, ,71 = Penentuan nilai BMI dilakukan terhadap setiap responden normal dan dipilih responden yang memiliki nilai BMI dengan kategori yang sama dengan amputee yaitu kategori langsing. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.5. lxxx

81 Tabel 4.5 Nilai BMI pada responden normal Responden Berat Badan Tinggi Badan ke- (kg) (m) Nilai BMI Kategori langsing langsing langsing langsing langsing langsing langsing langsing langsing langsing Menentukan Nilai BMR Perhitungan nilai BMR responden amputee dan normal menggunakan persamaan 2.2 yaitu untuk laki-laki. Data yang digunakan adalah data usia, pengukuran tinggi badan, dan berat badan. Perhitungan nilai BMR pada pengguna prosthetic maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Pengukuran menunjukkan bahwa amputee berusia 33 tahun, memiliki tinggi badan 162 cm dan berat badan 52,2 kg. Nilai BMR sebesar 1372 Kkal/hari. BMR amputee = æ (52,2) (162) (33) ö ç è 1kg 1cm 1tahun ø = 1372 Kkal/hari 2. Responden Normal Pengukuran responden normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: a. Penentuan nilai BMR pada responden normal ke-2. Pengukuran terhadap responden normal ke-2 menunjukkan bahwa responden berusia 22 tahun, memiliki tinggi badan 170 cm dan berat badan 51 kg. Nilai BMR sebesar 1470 Kkal/hari. BMR = æ (51) (170) (22) ö ç è 1kg 1cm 1tahun ø = 1470 Kkal/hari lxxxi

82 b. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-3. Pengukuran terhadap responden normal ke-3 menunjukkan bahwa responden berusia 22 tahun, memiliki tinggi badan 169 cm dan berat badan 52 kg. Nilai BMR sebesar 1479 Kkal/hari. BMR = æ (52) (169) (22) ö ç è 1kg 1cm 1tahun ø = 1479 Kkal/hari c. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-4. Pengukuran terhadap responden normal ke-4 menunjukkan bahwa responden berusia 22 tahun, memiliki tinggi badan 171 cm dan berat badan 51 kg. Nilai BMR sebesar 1475 Kkal/hari. BMR = æ (51) (171) (22) ö ç è 1kg 1cm 1tahun ø = Kkal/hari Penentuan nilai BMR dilakukan pada setiap responden normal dan dipilih responden dengan nilai BMR mendekati nilai amputee. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.6. Responden ke- Tabel 4.6 Nilai BMR pada responden normal Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm) Umur (tahun) Menentukan Denyut Nadi Nilai BMR (Kkal/hari) Perhitungan denyut nadi responden per menit dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.4. Data yang digunakan adalah data waktu yang diambil dengan metode 10 denyut sebelum (istirahat) dan setelah (berjalan) lxxxii

83 melakukan aktivitas berjalan. Perhitungan denyut nadi pada pengguna prosthetic maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan normal pada tabel 4.1. a. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic eksoskeletal. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada pengguna prosthetic eksoskeletal adalah 6,10 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 5,81 detik. 10 Denyut nadi istirahat = x 60= 98, 36 denyut/menit 6,10 10 Denyut nadi berjalan = x 60= 103, 27 denyut/menit 5,81 b. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal merek Regal. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal adalah 5,48 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 5,32 detik. 10 Denyut nadi istirahat = x 60= 109, 49 denyut/menit 5,48 10 Denyut nadi berjalan = x 60= 112, 78 denyut/menit 5,32 c. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal pengembangan. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan adalah 5,34 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 5,23 detik. 10 Denyut nadi istirahat = x 60= 112, 36 denyut/menit 5,34 10 Denyut nadi berjalan = x 60= 114, 72 denyut/menit 5,23 lxxxiii

84 Setiap hasil pengukuran dihitung dan dikonversi ke dalam bilangan denyut nadi/menit, baik untuk kondisi istirahat maupun kondisi berjalan. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.7. Tabel 4.7 Hasil perhitungan denyut nadi pengguna prosthetic Jenis Kondisi Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) Prothese Pengukuran P1 P2 P3 P4 P5 P6 Eksoskeletal istirahat berjalan Endoskeletal istirahat Merek Regal berjalan Endoskeletal istirahat Pengembangan berjalan Hasil perhitungan denyut nadi pada tabel 4.7 disajikan dalam bentuk grafik. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui tingkat perbedaan denyut kondisi istirahat dan kondisi beraktivitas yaitu berjalan. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.5. Gambar 4.5 Grafik hasil pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic lxxxiv

85 Pada grafik terlihat bahwa denyut nadi pada kondisi istirahat lebih rendah dibandingkan denyut pada kondisi berjalan. Hal ini terjadi pada setiap perulangan percobaan jalan menggunakan ketiga desain prosthetic berbeda. 2. Responden Normal Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi 10 responden orang normal pada aktivitas berjalan normal yaitu tabel 4.3. a. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-1. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada responden ke-1 adalah 7,34 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 7,03 detik. 10 Denyut nadi istirahat = x 60= 81, 74 denyut/menit 7,34 10 Denyut nadi berjalan = x 60= 85, 35 denyut/menit 7,03 b. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-3. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada responden ke-3 adalah 8,06 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 7,65 detik. 10 Denyut nadi istirahat = x 60= 74, 44 denyut/menit 8,06 10 Denyut nadi berjalan = x 60= 78, 43 denyut/menit 7,65 c. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-5. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada responden ke-5 adalah 6,23 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 5,98 detik. 10 Denyut nadi istirahat = x 60= 96, 31 denyut/menit 6,23 10 Denyut nadi berjalan = x 60= 100, 33 denyut/menit 5,98 lxxxv

86 Setiap hasil pengukuran dihitung dan dikonversi ke dalam bilangan denyut nadi/menit, baik untuk kondisi istirahat maupun kondisi berjalan. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Hasil perhitungan denyut responden normal Responden ke Kondisi Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) Pengukuran P1 P2 P3 P4 P5 P6 istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja Hasil perhitungan denyut nadi pada tabel 4.8 disajikan dalam bentuk grafik. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui tingkat perbedaan denyut kondisi istirahat dan kondisi beraktivitas yaitu berjalan. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.6. lxxxvi

87 Gambar 4.6 Grafik hasil pengukuran denyut nadi responden normal Pada grafik terlihat bahwa denyut nadi pada kondisi istirahat lebih rendah dibandingkan denyut pada kondisi berjalan. Hal ini terjadi pada setiap perulangan percobaan jalan pada sepuluh responden normal Menentukan Tingkat Kelelahan (%CVL) Perhitungan nilai tingkat kelelahan (%CVL) dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.5. Data yang digunakan adalah data hasil perhitungan denyut nadi per menit, sebelum (istirahat) dan setelah (berjalan) melakukan aktivitas berjalan, dan denyut maksimum dari pengguna prosthetic juga kondisi normal. Denyut nadi maksimum laki-laki diperoleh dari 220 usia pengguna prosthetic ataupun usia responden orang normal. Perhitungan %CVL pengguna prosthetic maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan adalah hasil perhitungan denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan normal, yaitu pada tabel 4.7. Data denyut nadi maksimum pengguna prosthetic yaitu sebesar 187 denyut/menit. lxxxvii

88 a. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic eksoskeletal. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada pengguna prosthetic eksoskeletal adalah 98,36 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 103,27 denyut/menit. Maka nilai %CVL sebesar 5,54 %. 103,27-98,36 %CVL = x 100% = 5, 54 % ,36 b. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal merek Regal. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal adalah 109,49 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 112,78 denyut/menit. Maka nilai %CVL sebesar 4,25 %. 112,78-109,49 %CVL = x 100% = 4, 25 % ,49 c. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal pengembangan. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan adalah 112,36 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 114,72 denyut/menit. Maka nilai %CVL sebesar 3,17 %. 114,72-112,36 %CVL = x 100% = 3, 17 % ,36 Setiap perulangan dihitung nilai %CVL atau tingkat kelelahan yang dialami. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.7. Tabel 4.9 Hasil perhitungan %CVL pengguna prosthetic Pengukuran %CVL Jenis Prothese P1 P2 P3 P4 P5 P6 Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Hasil perhitungan %CVL dibuat grafik agar dapat dianalisis dengan cara membandingkan performasi ketiga desain prosthetic yang digunakan terhadap kondisi fisiologi dari pengguna. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.7. lxxxviii

89 Gambar 4.7 Grafik hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic Pada grafik di atas dapat dilihat tingkat kelelahan akibat aktivitas berjalan normal dari prosthetic yang digunakan. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai % CVL untuk prosthetic endoskeletal pengembangan lebih kecil dibandingkan dengan prosthetic desain eksoskeletal dan endoskeletal merek Regal. 2. Responden Normal Data yang digunakan adalah hasil perhitungan denyut nadi responden normal pada aktivitas berjalan normal yaitu pada tabel 4.8. a. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-1. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada responden ke-1 adalah 81,74 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 85,35 denyut/menit. Denyut nadi maksimalnya adalah = 198 denyut/menit. Maka nilai % CVL sebesar 3,10 %. 85,35-81,74 % CVL = x 100% = 3, 10 % ,74 b. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-3. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada responden ke-1 adalah 74,44 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 78,43 denyut/menit. Denyut nadi maksimalnya adalah = 198 denyut/menit. Maka nilai % CVL sebesar 3,23 %. lxxxix

90 78,43-74,44 % CVL = x 100% = 3, 23 % ,44 c. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-5. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada responden ke-1 adalah 96,31 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 100,33 denyut/menit. Denyut nadi maksimalnya adalah = 198 denyut/menit. Maka nilai % CVL sebesar 3,96 %. 100,33-96,31 % CVL = x 100% = 3, 96 % ,31 Setiap perulangan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel Tabel 4.10 Hasil perhitungan % CVL responden normal Responden Denyut Pengukuran % CVL ke- Nadi Maks P1 P2 P3 P4 P5 P Hasil perhitungan % CVL selanjutnya dibuat grafik agar dapat dianalisis lebih lanjut dengan cara membandingkan performasi sepuluh orang responden untuk kondisi normal. Grafik hasil perhitungan dapat dilihat pada gambar 4.8. xc

91 Gambar 4.8 Grafik hasil perhitungan % CVL responden normal Pada grafik di atas dapat dilihat tingkat kelelahan akibat aktivitas berjalan normal pada sepuluh responden normal. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai % CVL responden normal berada dalam range rata-rata 2,0-3,5 %. Berikutnya dilakukan perhitungan distribusi nilai tingkat kelelahan (%CVL) pada enam fase berjalan. Fase berjalan dipilih sesuai dengan gambar 4.9. Gambar 4.9 Siklus pola jalan (gait cycle) Sumber: Lower-limb prosthetics, 1990 Pada gambar tersebut terdapat tujuh fase gerakan berjalan yaitu heel contact, foot flat, midstance point, heel off, toe off, midswing, dan kembali pada heel contact. Fase pertama dengan fase ketujuh merupakan gerakan yang sama (heel contact). Kesamaan gerakan tersebut dapat berarti bahwa energi yang dikeluarkan hampir sama dan kelelahan yang ditimbulkan juga hampir sama. Alasan tersebut membuat penelitian ini menggunakan enam fase gerakan dalam berjalan xci

92 Melalui pengamatan data berupa video aktivitas berjalan normal sebanyak enam kali perulangan, terhitung pengguna prosthetic maupun responden orang normal melakukan sekitar 10 siklus berjalan. Setiap aktivitas berjalan sejauh 12 meter didapatkan 10 siklus, setiap siklusnya terdiri dari enam fase. Perhitungan % CVL per fase berjalan dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan adalah hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan normal, yaitu pada tabel 4.9. Selain itu didukung data video rekaman terhadap aktivitas berjalan normal. a. Pengamatan jumlah siklus berjalan, Pengamatan dilakukan terhadap data berupa video rekaman aktivitas berjalan pengguna prosthetic. Setiap percobaan berjalan dihitung jumlah siklus yang dihasilkan. Jumlah siklus rata-rata yang terpilih yaitu 10 siklus. Siklus berjalan sepanjang 12 meter ditempuh selama 15 detik dengan siklus perulangan dalam berjalan sebanyak 10 siklus. Diestimasi bahwa gerakan 1 siklus berjalan dapat ditempuh sejauh 1,2 meter dengan waktu tempuh selama 1,5 detik per siklus. Rekapitulasi hasil penghitungan jumlah siklus dapat dilihat pada tabel Tabel 4.11 Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada pengguna prosthetic Jenis Prothese Percobaan Jalan ke- (jumlah siklus) Rata-rata Jumlah Siklus Siklus Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Hasil pengamatan terhadap jumlah siklus yang terjadi dalam setiap percobaan berjalan pada tabel 4.11 di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui perubahan jumlah siklus dalam setiap perulangan percobaan berjalan. Grafik dapat dilihat pada gambar xcii

93 Gambar 4.10 Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan pengguna prosthetic Pada grafik terlihat bahwa banyaknya siklus yang terjadi pada setiap percobaan berjalan adalah 9-11 siklus. Dalam perhitungan lebih lanjut diambil nilai rata-rata jumlah siklus yang terjadi yaitu 10 siklus. b. Perhitungan distribusi % CVL per siklus untuk setiap aktivitas berjalan, Perhitungan distribusi % CVL per siklus ini dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.6 yaitu membagi nilai % CVL pada tabel 4.9 dengan jumlah siklus pada tabel Berikut adalah beberapa contoh perhitungannya menggunakan persamaan 2.6. Pada prosthetic eksoskeletal percobaan jalan ke-1, 5, 54 = 10 = 0,554 % Pada prosthetic endoskeletal merek Regal percobaan jalan ke-3, = 4,42 10 = 0,442 % Pada prosthetic endoskeletal pengembangan percobaan jalan ke-5. 3, 21 = 10 = 0,321 % Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami pada setiap siklus. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel xciii

94 Tabel 4.12 Distribusi % CVL per siklus pada pengguna prosthetic Distribusi % CVL per Siklus pada Percobaan Jenis Prothese Jalan ke- (dalam %) Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Penentuan distribusi nilai % CVL pada tabel 4.12 di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui nilai distribusi % CVL per siklus untuk setiap percobaan jalan. Grafik dapat dilihat pada gambar Gambar 4.11 Grafik distribusi % CVL per siklus pengguna prosthetic Pada grafik terlihat bahwa distribusi nilai % CVL setiap siklus pada desain prosthetic endoskeletal pengembangan lebih rendah dibandingkan dua desain prosthetic lainnya. Hal ini sementara dapat mengindikasikan bahwa prosthetic dengan distribusi nilai % CVL lebih rendah berarti lebih baik. c. Pemilihan nilai % CVL per siklus terbesar, Pemilihan ini dilakukan terhadap nilai hasil perhitungan distribusi % CVL terbesar dari enam kali percobaan. Nilai yang terpilih tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan % CVL per fase. Hasil pemilihan dapat dilihat pada tabel xciv

95 Tabel 4.13 Nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic Jenis Prothese % CVL per siklus Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Penentuan nilai % CVL per siklus terbesar pada tabel 4.13 di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui perbandingan ketiga desain prosthetic. Grafik dapat dilihat pada gambar Gambar 4.12 Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic Pada grafik terlihat bahwa nilai % CVL per siklus terbesar untuk ketiga desain. Dari ketiga nilai tersebut, nilai untuk desain prosthetic endoskeletal pengembangan lebih rendah dibandingkan dua desain prsosthetic lainnya. d. Pengamatan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap fase berjalan, Pengamatan ini dilakukan secara langsung terhadap data video rekaman. Setiap fase dihitung waktu tempuhnya kemudian dipilih satu siklus dengan rekapitulasi waktu per fasenya. Hasil penghitungan waktu tempuh per fase yang terpilih dapat dilihat pada tabel xcv

96 Tabel 4.14 Waktu per fase berjalan pada pengguna prosthetic Jenis Prothese Waktu pada Fase ke- (detik) Waktu Siklus Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Hasil pengamatan terhadap waktu di atas disajikan dalam bentuk grafik. Grafik dapat dilihat pada gambar Gambar 4.13 Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada pengguna prosthetic Pada grafik terlihat bahwa lamanya waktu per fase pada desain eksoskeletal lebih sedikit dibandingkan kedua desain lainnya. e. Perhitungan distribusi % CVL untuk setiap fase berjalan. Data yang dipakai yaitu data pada tabel 4.13 dan Perhitungan distribusi %CVL untuk setiap fase berjalan menggunakan persamaan 2.7. Contoh perhitungannya dapat dilihat, sebagai berikut: Fase 1 pada prosthetic eksoskeletal, 0,324 = x 0, 571= 0,1605 % 1,152 Fase 1 pada prosthetic endoskeletal merek Regal, xcvi

97 0,335 = x 0, 457 = 0,1063 % 1,439 Fase 1 pada prosthetic endoskeletal pengembangan. 0,413 = x 0, 337 = 0,0937 % 1,485 Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami pada setiap fase berjalan untuk pengguna prosthetic. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel Tabel 4.15 Distribusi nilai % CVL per fase pada pengguna prosthetic Jenis Prothese % CVL per fase Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Hasil tersebut kemudian diplotkan pada grafik berikut, dapat dilihat tingkat kelelahan akibat aktivitas berjalan normal pada pengguna prosthetic. Hasil menunjukkan bahwa nilai %CVL untuk prosthetic endoskeletal pengembangan lebih kecil daripada semua fase jika dibandingkan dengan prosthetic desain eksoskeletal dan endoskeletal merek Regal. Grafiknya dapat dilihat pada gambar Gambar 4.14 Distribusi % CVL per fase pada pengguna prosthetic xcvii

98 Hasil perhitungan distribusi %CVL per fase pada tabel 4.15 dipasangkan dengan hasil capture gambar video rekaman menggunakan ketiga desain prosthetic pada gambar 4.3. Hasilnya dapat dilihat pada gambar Gambar 4.15 Distribusi % CVL pada gerak per fase pengguna prosthetic 2. Responden Normal Data yang digunakan adalah hasil perhitungan % CVL responden normal pada aktivitas berjalan normal, yaitu pada tabel Selain itu didukung data video rekaman terhadap aktivitas berjalan normal. a. Pengamatan jumlah siklus berjalan, Pengamatan dilakukan terhadap data berupa video rekaman aktivitas berjalan responden normal. Pada setiap percobaan berjalan dihitung jumlah siklus yang dihasilkan. Untuk percobaan jalan ke-1 responden ke-1 terhitung xcviii

99 10 siklus. Untuk percobaan jalan ke-3 responden ke-5 terhitung 10,5 siklus. Untuk percobaan jalan ke-4 responden ke-10 terhitung 11 siklus. Siklus berjalan sepanjang 12 meter ditempuh selama 11 detik dengan siklus perulangan dalam berjalan sebanyak 10 siklus. Diestimasi bahwa gerakan 1 siklus berjalan dapat ditempuh sejauh 1,2 meter selama 1,1 detik/siklus. Rekapitulasi hasil penghitungan jumlah siklus dilihat pada tabel Tabel 4.16 Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada responden normal Responden Percobaan Jalan ke- (jumlah siklus) Ratarata Jumlah ke Siklus Hasil pengamatan terhadap jumlah siklus yang terjadi dalam setiap percobaan berjalan pada tabel 4.16 di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui perubahan jumlah siklus dalam setiap perulangan percobaan berjalan. Grafik dapat dilihat pada gambar xcix

100 Gambar 4.16 Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan responden normal Pada grafik terlihat bahwa banyaknya siklus yang terjadi pada setiap percobaan berjalan pada responden normal adalah 8-11 siklus. Dalam perhitungan lebih lanjut diambil nilai rata-rata jumlah siklus yang terjadi pada setiap responden. b. Perhitungan distribusi % CVL per siklus untuk setiap aktivitas berjalan, Perhitungan distribusi % CVL ini dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.6 yaitu membagi nilai % CVL pada tabel 4.10 dengan jumlah siklus yang ditentukan pada tabel Berikut adalah beberapa contoh perhitungannya. % CVL per siklus responden ke-1 percobaan jalan ke-1, 3, 10 = 10 = 0,310 % % CVL per siklus responden ke-3 percobaan jalan ke-3, = 2,84 9 = 0,315 % % CVL per siklus responden ke-5 percobaan jalan ke-5. 3, 69 = 10 = 0,369 % c

101 Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami pada setiap siklus. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel Tabel 4.17 Distribusi % CVL per siklus pada responden normal Distribusi % CVL per Siklus pada Percobaan Responden Jalan ke- (dalam %) ke Penentuan distribusi nilai % CVL pada tabel 4.17 disajikan pada grafik 4.17 sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui nilai distribusi %CVL per siklus untuk setiap percobaan jalan. Gambar 4.17 Grafik distribusi % CVL per siklus responden normal Pada grafik terlihat bahwa distribusi nilai % CVL setiap siklus pada responden normal berbeda-beda. Perbedaan ini dikarenakan setiap responden memiliki cara berjalan dan lebar langkah yang berbeda-beda. ci

102 c. Pemilihan nilai % CVL per siklus terbesar, Pemilihan ini dilakukan terhadap nilai hasil perhitungan distribusi % CVL terbesar dari enam kali percobaan pada tabel Nilai yang terpilih tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan % CVL per fase. Hasil pemilihan dapat dilihat pada tabel Tabel 4.18 Nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal Responden % CVL ke- per siklus Penentuan nilai % CVL per siklus terbesar pada tabel 4.18 di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui kesesuaian hasil pada kesepuluh responden normal. Grafik dapat dilihat pada gambar Gambar 4.18 Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal Pada grafik terlihat bahwa nilai % CVL per siklus terbesar pada kesepuluh responden normal. Setiap pemilihan nilai % CVL terbesar berada dalam rentangan nilai yang hampir sama yaitu sekitar 0,3-0,45 %. cii

103 d. Pengamatan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap fase berjalan, Pengamatan ini dilakukan secara langsung terhadap data video rekaman responden normal. Setiap fase dihitung waktu tempuhnya kemudian dipilih satu siklus dengan rekapitulasi waktu per fasenya. Hasil penghitungan waktu tempuh per fase yang terpilih dapat dilihat pada tabel Tabel 4.19 Waktu per fase berjalan pada responden normal Responden Waktu pada Fase ke- (detik) Waktu ke Siklus Hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada tabel 4.19 di atas disajikan pada grafik 4.19 sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui perbandingan lamanya waktu per fase pada kesepuluh responden normal. Gambar 4.19 Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada responden normal Pada grafik terlihat bahwa fase ke-4 merupakan fase dengan waktu terlama sedangkan fase ke-3 dan ke-6 merupakan fase dengan waktu tersingkat. Hal tersebut terjadi hampir pada hasil pengamatan seluruh responden normal. ciii

104 e. Perhitungan distribusi % CVL untuk setiap fase berjalan, Data yang dipakai yaitu data pada tabel 4.18 dan Perhitungan distribusi % CVL untuk setiap fase berjalan menggunakan persamaan 2.7. Contoh perhitungannya dapat dilihat, sebagai berikut: Fase 1 pada responden ke-1, 0,306 = x 0, 398= 0,0874 % 1,392 Fase 1 pada responden ke-3, 0,236 = x 0, 408= 0,0974 % 0,988 Fase 1 pada responden ke-5. 0,187 = x 0, 451= 0,1042 % 0,809 Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami pada setiap fase berjalan untuk responden normal. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel Tabel 4.20 Distribusi nilai % CVL per fase pada responden normal Responden % CVL per fase ke Hasil tersebut diplotkan pada grafik. Dapat dilihat tingkat kelelahan akibat aktivitas berjalan pada responden normal. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai % CVL untuk tersebar rata untuk keenam fase, mulai dari fase heel contact sampai fase midswing, grafiknya dapat dilihat pada gambar civ

105 Gambar 4.20 Distribusi % CVL per fase pada responden normal Hasil perhitungan pada tabel 4.20 dipasangkan dengan hasil capture gambar dari data video rekaman aktivitas berjalan responden normal pada gambar 4.4. Hasil rekapitulasinya dapat dilihat pada gambar cv

106 cvi

107 Gambar 4.21 Distribusi % CVL pada gerak per fase responden normal cvii

108 Gambar 4.21 Distribusi % CVL pada gerak per fase responden normal (lanjutan) Menentukan Energi Ekspenditur Data yang diolah yaitu data pengukuran denyut nadi aktivitas berjalan pada pengguna prosthetic dan responden normal dengan menggunakan treadmill. Pengukuran denyut nadi diukur sebelum dan saat berjalan sejauh 100 meter untuk tiga kecepatan berbeda (1,2 km/jam; 1,6 km/jam; dan 2 km/jam). Hubungan energi expenditure dan kecepatan denyut nadi berdasarkan pengukuran heart rate (HR) dicari berdasarkan pendekatan kuantitatif dengan regresi kuadratis dengan persamaan 2.5 (Astuti B., 1985). Perhitungan energi ekspenditur dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan di treadmill, yaitu pada tabel 4.2. Berikut adalah beberapa contoh perhitungannya. a. Pada pengguna prosthetic eksoskeletal, Denyut nadi pada pengguna prosthetic eksoskeletal dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah 76 denyut/menit. Nilai energi ekspenditur sebesar 2,788 Kkal/menit. Y = ( ) X + ( x 10-4 ) X 2 Y = ( ) (76) + ( x 10-4 ) (76) 2 Y = Kkal/menit b. Pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal, Denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah 78 denyut/menit. Nilai energi ekspenditur sebesar 2,288 Kkal/menit. Y = ( ) X + ( x 10-4 ) X 2 Y = ( ) (78) + ( x 10-4 ) (78) 2 Y = Kkal/menit c. Pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan. Denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan dengan kecepatan treadmill 2 km/jam yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah 82 denyut/menit. Nilai energi ekspenditur sebesar 3,098 Kkal/menit. cviii

109 Y = ( ) X + ( x 10-4 ) X 2 Y = ( ) (82) + ( x 10-4 ) (82) 2 Y = Kkal/menit Nilai energi ekspenditur dihitung untuk setiap hasil pengukuran denyut nadi, baik untuk pengukuran sebelum dan saat berjalan di treadmill. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel Tabel 4.21 Hasil perhitungan energi ekspenditur pengguna prosthetic Jenis Prothese Kecepatan (km/jam) Energi Ekspenditur (Kkal/menit) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga memudahkan dalam menganalisis garis regresi yang ditunjukkan data. Grafik untuk ketiga desain prosthetic dapat dilihat pada gambar cix

110 Gambar 4.22 Energi ekspenditur pada pengguna ketiga desain prosthetic Hasil pada ketiga desain prosthetic menunjukkan adanya kesamaan yaitu besarnya energi ekspenditur yang semakin meningkat. Pada desain prosthetic endoskeletal pengembangan besarnya peningkatan energi ekspenditur sedikit sehingga dapat dipastikan bahwa besarnya energi yang dikeluarkan lebih stabil. 2. Responden Normal Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi responden orang normal pada aktivitas berjalan di treadmill yaitu pada tabel 4.4. Berikut ini beberapa contoh perhitungannya. a. Pada responden ke-1. Denyut nadi pada responden ke-1 dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah 96 denyut/menit. Sehingga nilai energi ekspenditur sebesar 3,953 Kkal/menit. Y = ( ) X + ( x 10-4 ) X 2 Y = ( ) (96) + ( x 10-4 ) (96) 2 Y = Kkal/menit b. Pada responden ke-3. Denyut nadi pada responden ke-3 dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah 86 denyut/menit. Sehingga nilai energi ekspenditur sebesar 3,323 Kkal/menit. Y = ( ) X + ( x 10-4 ) X 2 Y = ( ) (86) + ( x 10-4 ) (86) 2 Y = Kkal/menit c. Pada responden ke-5. Denyut nadi pada responden ke-5 dengan kecepatan treadmill 2 km/jam yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah 102 denyut/menit. Sehingga nilai energi ekspenditur sebesar 4,376 Kkal/menit. Y = ( ) X + ( x 10-4 ) X 2 Y = ( ) (102) + ( x 10-4 ) (102) 2 Y = Kkal/menit cx

111 Nilai energi ekspenditur dihitung untuk setiap hasil pengukuran denyut nadi, pada responden normal, baik untuk pengukuran sebelum dan saat berjalan di treadmill. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel Tabel 4.22 Hasil perhitungan energi ekspenditur responden normal Responden ke- Kecepatan (km/jam) Energi Ekspenditur (Kkal/menit) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) cxi

112 Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hasil energi ekspenditur pada orang normal untuk ketiga kecepatan yang berbeda ternyata berada dalam range nilai yang hampir sama. Grafik untuk kecepatan 1,2 km/jam dapat dilihat pada gambar Gambar 4.23 Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) Pada grafik di atas dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum berjalan sampai saat berjalan. Energi yang digunakan saat berjalan lebih besar dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan semakin besarnya jarak tempuh berjalan. Grafik untuk kecepatan 1,6 km/jam dapat dilihat pada gambar Gambar 4.24 Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) cxii

113 Pada grafik di atas dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum berjalan sampai saat berjalan. Energi yang digunakan saat berjalan lebih besar dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan semakin besarnya jarak tempuh berjalan. Pada kecepatan 1,6 km/jam ini beberapa responden menunjukkan peningkatan energi ekspenditur yang stabil (responden ke-2 dan ke-4), namun ada beberapa responden yang peningkatannya tidak stabil (responden ke-7 dan ke-10). Grafik untuk kecepatan 2 km/jam dapat dilihat pada gambar Gambar 4.25 Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 2 km/jam) Pada grafik di atas dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum berjalan sampai saat berjalan. Energi yang digunakan saat berjalan lebih besar dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan semakin besarnya jarak tempuh berjalan Menentukan Kebutuhan Kalori Data yang dipakai yaitu data hasil perhitungan energi ekspenditur pada pengguna prosthetic dan responden orang normal dengan menggunakan treadmill. Penghitungan kebutuhan kalori ini dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.9. Perhitungan kebutuhan kalori dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: cxiii

114 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan kalori ini yaitu hasil perhitungan energi ekspenditur pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan di treadmill, yaitu pada tabel Nilai berat badan pengguna prosthetic tanpa prosthetic yaitu 52,2 kg. Berikut ini beberapa contoh perhitungannya. a. Pada pengguna prosthetic eksoskeletal, Nilai kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic eksoskeletal dengan kecepatan treadmill 1,2 km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah sebesar 2,788 Kkal/menit. Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 3,205 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori = 2,788 x 60 52,2 kg = 3,205 Kkal/jam/kg berat badan b. Pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal, Nilai kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal dengan kecepatan treadmill 1,6 km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah sebesar 2,288 Kkal/menit. Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 3,319 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori = 2,288 x 60 52,2 kg = 3,319 Kkal/jam/kg berat badan c. Pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan. Nilai kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan dengan kecepatan treadmill 2 km/jam yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah sebesar 3,098 Kkal/menit. Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 3,561 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori = 3,098 x 60 52,2 kg = 3,561 Kkal/jam/kg berat badan Nilai kebutuhan kalori dihitung untuk setiap hasil perhitungan energi ekspenditur. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel cxiv

115 Tabel 4.23 Hasil perhitungan kebutuhan kalori pengguna prosthetic Jenis Prothese Kecepatan (km/jam) DN0(0) Kebutuhan Kalori (Kkal/jam/kg berat badan) DN1(30) DN2(50) DN3(100) Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga memudahkan dalam menganalisis kecenderungan garis yang ditunjukkan data. Grafik kebutuhan kalori untuk ketiga desain prosthetic dapat dilihat pada gambar Gambar 4.26 Kebutuhan kalori pada pengguna ketiga desain prosthetic Hasil pada ketiga desain prosthetic memiliki kecenderungan yang sama dengan grafik pada energi ekspenditur. Adanya kesamaan besarnya kebutuhan kalori yang semakin meningkat pada setiap desain prosthetic, namun desain endoskeletal pengembangan besarnya peningkatan kebutuhan kalori sedikit cxv

116 sehingga dapat dipastikan bahwa besarnya kalori yang dikeluarkan lebih stabil dibanding dua desain prosthetic lainnya. 2. Responden Normal Data yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan kalori ini yaitu hasil perhitungan energi ekspenditur responden normal pada aktivitas berjalan di treadmill yaitu pada tabel Berikut ini beberapa contoh perhitungannya. a. Pada responden ke-1. Nilai kebutuhan kalori pada responden ke-1 dengan kecepatan treadmill 1,2 km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah sebesar 3,953 Kkal/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 50 kg. Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 4,743 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori = 3,953 x kg = 4,743 Kkal/jam/kg berat badan b. Pada responden ke-3. Nilai kebutuhan kalori pada responden ke-3 dengan kecepatan treadmill 1,6 km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah sebesar 3,323 Kkal/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 55 kg.sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 3,625 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori = 3,323 x kg = 3,625 Kkal/jam/kg berat badan c. Pada responden ke-5. Nilai kebutuhan kalori pada responden ke-5 dengan kecepatan treadmill 2 km/jam yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah sebesar 4,376 Kkal/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 54 kg.sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 4,862 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori = 4,376 x kg = 4,862 Kkal/jam/kg berat badan Nilai kebutuhan kalori dihitung untuk setiap hasil perhitungan energi ekspenditur. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel cxvi

117 Tabel 4.24 Hasil perhitungan kebutuhan kalori responden normal Responden ke- Kecepatan (km/jam) DN0(0) Kebutuhan Kalori (Kkal/jam/kg berat badan) DN1(30) DN2(50) DN3(100) Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hasil kebutuhan kalori pada orang normal untuk ketiga kecepatan yang berbeda ternyata berada dalam range nilai yang hampir sama. Grafik kebutuhan kalori pada kecepatan 1,2 km/jam dapat dilihat pada gambar cxvii

118 Gambar 4.27 Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan kalori mengalami peningkatan dari kondisi sebelum berjalan sampai saat berjalan pada jarak 100 meter. Nilai pada kesepuluh responden berada dalam range yang sama. Grafik kebutuhan kalori pada kecepatan 1,6 km/jam dapat dilihat pada gambar Gambar 4.28 Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan kalori mengalami peningkatan. Beberapa responden berada dalam range yang sama, sedangkan cxviii

119 beberapa tidak (responden ke-2, ke-4, dan ke-5). Grafik kebutuhan kalori pada kecepatan2 km/jam dapat dilihat pada gambar Gambar 4.29 Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 2 km/jam) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan kalori mengalami peningkatan. Beberapa responden berada dalam range yang sama, sedangkan beberapa tidak (responden ke-4 dan ke-5) Menentukan Konsumsi Oksigen (VO 2 maks ) Data yang dipakai yaitu data awal pengukuran denyut nadi pada pengguna prosthetic dan responden orang normal dengan menggunakan treadmill. Penghitungan konsumsi oksigen (VO 2 maks ) ini dilakukan dengan menggunakan persamaan Perhitungan konsumsi oksigen dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan yaitu data pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan di treadmill, yaitu pada tabel Berat badan pengguna prosthetic yaitu 52,2 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna prosthetic yaitu 33 tahun. Berikut adalah beberapa contoh perhitungannya. cxix

120 a. Pada pengguna prosthetic eksoskeletal, Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna prosthetic eksoskeletal dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam misalnya pada jarak ke 30 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 63 denyut/menit. Faktor koreksi usia = 1,12 (0,0073 x usia) = 1,12 (0,0073 x 33) = 0,8791 0,263( Wb+ 10) V + 13,15 VO 2 maks = AG HR+ G- 72 0,263(52,2 + 10)(1,2) + 13,15 = 0, = 2,058 liter b. Pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal, Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna prosthetic Otto Bock dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam misalnya pada jarak ke 50 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 78 denyut/menit. 0,263(52,2 + 10)(1,6) + 13,15 VO 2 maks = 0, = 2,161 liter c. Pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan. Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna prosthetic pengembangan 2009 dengan kecepatan treadmill 2 km/jam misalnya pada jarak ke 100 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 82 denyut/menit. 0,263(52,2+ 10)(2) + 13,15 VO 2 maks = 0, = 2,016 liter Semua hasil pengukuran denyut nadi digunakan untuk menghitung konsumsi oksigen pada pengguna prosthetic. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel cxx

121 Tabel 4.25 Hasil perhitungan konsumsi oksigen pengguna prosthetic Jenis Prothese Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Konsumsi Oksigen VO Kecepatan 2 maks (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga memudahkan dalam menganalisis kecenderungan garis yang ditunjukkan data. Grafik konsumsi oksigen terhadap pengguna ketiga desain prosthetic dapat dilihat pada gambar Gambar 4.30 Konsumsi oksigen pada pengguna ketiga desain prosthetic Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa pada desain prosthetic eksoskeletal menunjukkan konsumsi oksigen yang lebih rendah dibanding kedua desain prosthetic lainnya. Desain prosthetic endoskeletal merek Regal perubahan konsumsi oksigennya tidak stabil dibanding kedua desain prosthetic yang lain. cxxi

122 2. Responden Normal Data yang digunakan dalam perhitungan konsumsi oksigen ini yaitu data awal pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan di treadmill yaitu pada tabel Berikut adalah beberapa contoh perhitungannya. a. Pada responden ke-1. Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna responden ke-1 dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam misalnya pada jarak ke 30 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 96 denyut/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 50 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna prosthetic yaitu 22 tahun. Faktor koreksi usia = 1,12 (0,0073 x 22 ) = 0,9594 0,263(50+ 10)(1,2) + 13,15 VO 2 maks = 0, = 0,905 liter b. Pada responden ke-3. Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna responden ke-3 dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam misalnya pada jarak ke 50 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 86 denyut/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 52 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna prosthetic yaitu 22 tahun. Faktor koreksi usia = 1,12 (0,0073 x 22 ) = 0,9594 0,263(55+ 10)(1,6) + 13,15 VO 2 maks = 0, = 1,619 liter c. Pada responden ke-5. Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna responden ke-5 dengan kecepatan treadmill 2 km/jam misalnya pada jarak ke 100 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 102 denyut/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 50 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna prosthetic yaitu 22 tahun. cxxii

123 Faktor koreksi usia = 1,12 (0,0073 x 22 ) = 0,9594 0,263(54+ 10)(2) + 13,15 VO 2 maks = 0, = 1,123 liter Hasil pengukuran denyut nadi digunakan untuk menghitung konsumsi oksigen responden normal. Hasil perhitungan selengkapnya dilihat pada tabel Tabel 4.26 Hasil perhitungan konsumsi oksigen responden normal Responden ke- Kecepatan (km/jam) Konsumsi Oksigen VO 2 maks DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) cxxiii

124 Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hasil konsumsi oksigen pada orang normal untuk ketiga kecepatan yang berbeda ternyata berada dalam range nilai yang hampir sama. Grafik konsumsi oksigen pada kecepatan 1,2 km/jam dapat dilihat pada gambar Gambar 4.31 Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa konsumsi oksigen mengalami penurunan secara beraturan seiring jauhnya jarak yang ditempuh. Nilai pada kesepuluh responden berada bervariasi. Hal ini disebabkan kondisi fisik setiap responden berbeda-beda. Grafik konsumsi oksigen pada kecepatan 1,6 km/jam dapat dilihat pada gambar cxxiv

125 Gambar 4.32 Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa konsumsi oksigen mengalami perubahan yang tidak beraturan seiring jauhnya jarak yang ditempuh. Nilai pada kesepuluh responden berada bervariasi. Hal ini disebabkan kondisi fisik setiap responden berbeda-beda. Responden ke-1 dan ke-4 bernilai jauh dari responden lainnya. Grafik konsumsi oksigen pada kecepatan 2 km/jam dapat dilihat pada gambar Gambar 4.33 Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 2 km/jam) cxxv

126 Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa konsumsi oksigen mengalami penurunan yang beraturan seiring jauhnya jarak yang ditempuh. Nilai pada kesepuluh responden berada bervariasi. Hal ini disebabkan kondisi fisik setiap responden berbeda-beda Perbandingan Hasil Pengukuran pada Pengguna Prosthetic dan Responden Normal Pada bab ini dibandingkan hasil-hasil pengukuran antara kondisi pengguna prosthetic dan responden normal. Perbandingan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa dekat kondisi fisiologi pengguna prosthetic dengan kondisi normal dilihat dari perbedaan desain prosthetic yang digunakan. Perbandingan disajikan dalam bentuk grafik dan dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengukuran Tingkat Kelelahan (% CVL). Perbandingan tingkat kelelahan pada responden amputee (pengguna prosthetic) dan orang normal direkapitulasi dalam tabel Nilai % CVL pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap perulangan percobaan berjalan. Tabel 4.27 Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL Responden Rata-rata Pengukuran % CVL P1 P2 P3 P4 P5 P6 Responden Amputee Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Responden Normal Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.34 menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut. cxxvi

127 Gambar 4.34 Grafik perbandingan % CVL amputee dan responden normal Pada grafik dapat dilihat bahwa nilai tingkat kelelahan yang dilihat dari %CVL (cardiovaskuler load) desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki nilai %CVL terendah, berarti tingkat kelelahan lebih rendah. Selain itu desain prosthetic endoskeletal pengembangan juga lebih memiliki kedekatan nilai dengan yang responden orang normal. 2. Distribusi % CVL per Fase Berjalan. Perbandingan tingkat kelelahan pada responden amputee (pengguna prosthetic) dan orang normal untuk setiap fase berjalan direkapitulasi dalam tabel Nilai % CVL per fase pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap perulangan percobaan berjalan. Tabel 4.28 Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL per fase Responden Rata-rata Pengukuran % CVL per Fase P1 P2 P3 P4 P5 P6 Responden Amputee Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Responden Normal cxxvii

128 Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.35 menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut. Gambar 4.35 Grafik perbandingan %CVL per fase amputee dan responden normal Dapat dilihat bahwa hampir sama halnya dengan nilai %CVL total, desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki nilai %CVL pada hampir setiap fase memiliki nilai paling rendah dan memiliki kedekatan dengan nilai responden normal. 3. Pengukuran Energi Ekspenditur. Perbandingan energi ekspenditur pada responden amputee dan orang normal untuk setiap pengukuran pada jarak tertentu direkapitulasi dalam tabel Nilai energi ekspenditur pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap hasil pengukuran pada jarak tertentu. Tabel 4.29 Rekapitulasi hasil perbandingan energi ekspenditur Responden Responden Amputee Eksoskeletal Kecepatan (km/jam) Energi Ekspenditur (Kkal/menit) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) cxxviii

129 Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Responden Normal Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.36 menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut. Gambar 4.36 Grafik perbandingan energi ekspenditur amputee dan responden normal Pada empat titik pengukuran denyut nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki perubahan nilai energi ekspenditur yang kecil. Hal tersebut berarti peningkatan energinya lebih cenderung stabil dibanding kedua desain prosthetic lainnya walaupun nilai energinya tidak lebih rendah dari kedua desain. cxxix

130 4. Pengukuran Kebutuhan Kalori. Perbandingan kebutuhan kalori pada responden amputee dan orang normal untuk setiap pengukuran pada jarak tertentu direkapitulasi dalam tabel Nilai kebutuhan kalori pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap hasil pengukuran pada jarak tertentu. Tabel 4.30 Rekapitulasi hasil perbandingan kebutuhan kalori Responden Responden Amputee Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Responden Normal Kecepatan (km/jam) Kebutuhan Kalori (Kkal/jam/kg berat badan) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.37 menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut. cxxx

131 Gambar 4.37 Grafik perbandingan kebutuhan kalori amputee dan responden normal Pada empat titik pengukuran denyut nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki perubahan nilai kebutuhan kalori yang kecil. Hal tersebut berarti besarnya kalori yang digunakan setiap jam untuk setiap kilogram berat badannya lebih cenderung stabil dibanding kedua desain lainnya. 5. Pengukuran Konsumsi Oksigen (VO 2 maks ). Perbandingan konsumsi oksigen pada responden amputee dan orang normal untuk setiap pengukuran pada jarak tertentu direkapitulasi dalam tabel Nilai konsumsi oksigen pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap hasil pengukuran pada jarak tertentu. Tabel 4.31 Rekapitulasi hasil perbandingan konsumsi oksigen Responden Kecepatan Konsumsi Oksigen VO 2 maks (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) Responden Amputee Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal cxxxi

132 Endoskeletal Pengembangan Responden Normal Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.38 menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut. Gambar 4.38 Grafik perbandingan konsumsi oksigen amputee dan responden normal Pada empat titik pengukuran denyut nadi, yaitu pada saat berlangsungnya aktivitas berjalan dapat dilihat bahwa terdapat beberapa perbedaan nilai yang cukup signifikan antara konsumsi oksigen pengguna prosthetic dan responden normal. Salah satunya adalah hasil perhitungan pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal pada titik pengukuran 30 meter. Namun konsumsi oksigen pada ketiga kecepatan yang berbeda memiliki hasil yang hampir sama. Nilai yang terendah antara ketiga prosthetic yaitu pada desain prosthetic eksoskeletal. Jika nilai konsumsi oksigen pengguna prosthetic cxxxii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia, penderita cacat fisik kaki mencapai persentase tertinggi. Setiap tahunnya, jumlah tersebut terus meningkat sejalan dengan angka rata-rata kecelakaan ataupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas hal-hal yang menjadi dasar permasalahan penelitian yang diambil, meliputi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai, manfaat penelitian,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN VO 2Max PADA AMPUTEE MENGGUNAKAN PROSTHETIC TRANSFEMORAL ENERGI STORE MEKANISME 2 BAR DENGAN BUKAN AMPUTEE

PERBANDINGAN VO 2Max PADA AMPUTEE MENGGUNAKAN PROSTHETIC TRANSFEMORAL ENERGI STORE MEKANISME 2 BAR DENGAN BUKAN AMPUTEE PERBANDINGAN VO 2Max PADA AMPUTEE MENGGUNAKAN PROSTHETIC TRANSFEMORAL ENERGI STORE MEKANISME 2 BAR DENGAN BUKAN AMPUTEE Lobes Herdiman 1, Retno Wulan Damayanti 1 dan Rezki Kurnia Santi 2 1 Staf Pengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas hal-hal yang menjadi dasar permasalahan penelitian yang diambil, meliputi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai, manfaat penelitian,

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN MOLD UNTUK PROSES THERMOFORMING PROSTHETIC BELOW KNEE (B/K)

RANCANG BANGUN MOLD UNTUK PROSES THERMOFORMING PROSTHETIC BELOW KNEE (B/K) TUGAS AKHIR RANCANG BANGUN MOLD UNTUK PROSES THERMOFORMING PROSTHETIC BELOW KNEE (B/K) Disusun : ARIS ARYANTO NIM : D 200 040 042 JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

FASE STANCE DAN FASE SWING PADA PENGGUNA KAKI PROSTHETIK BAWAH LUTUT BERDASARKAN ANALISIS GAIT

FASE STANCE DAN FASE SWING PADA PENGGUNA KAKI PROSTHETIK BAWAH LUTUT BERDASARKAN ANALISIS GAIT FASE STANCE DAN FASE SWING PADA PENGGUNA KAKI PROSTHETIK BAWAH LUTUT BERDASARKAN ANALISIS GAIT Lobes Herdiman 1*, Ilham Priadythama 2 1,2 Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

Perancangan dan Pengembangan Prothese Kaki Bagian Bawah Lutut dengan Menggunakan Quality Function Deployment

Perancangan dan Pengembangan Prothese Kaki Bagian Bawah Lutut dengan Menggunakan Quality Function Deployment Performa (2003) Vol. 2, No.2: 40-52 Perancangan dan Pengembangan Prothese Kaki Bagian Bawah Lutut dengan Menggunakan Quality Function Deployment Retno Wulan Damayanti, Susy Susmartini, Lobes Herdiman Jurusan

Lebih terperinci

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN PROTOTYPE SHANK PROSTHESES KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN PROTOTYPE SHANK PROSTHESES KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PERANCANGAN DAN PEMBUATAN PROTOTYPE SHANK PROSTHESES KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT Agung Prakoso Program Studi Aeronautika STT Adisutjipto Jl. Janti Blok R Lanud Adisutjipto Yogyakarta prakosoagung84@gmail.com

Lebih terperinci

KAJIAN FISIOLOGI PADA PENGGUNA PROSTHETIC ENDOSKELETAL SISTEM ENERGY STORING MEKANISME 2-BAR

KAJIAN FISIOLOGI PADA PENGGUNA PROSTHETIC ENDOSKELETAL SISTEM ENERGY STORING MEKANISME 2-BAR KAJIAN FISIOLOGI PADA PENGGUNA PROSTHETIC ENDOSKELETAL SISTEM ENERGY STORING MEKANISME 2-BAR Skripsi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik REZKI KURNIA SANTI I 0306055 JURUSAN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pertumbuhan perekonomian. Setiap pembangunan mall dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pertumbuhan perekonomian. Setiap pembangunan mall dapat meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pusat pertokoan (mall) di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan perekonomian. Setiap pembangunan mall dapat meningkatkan pendapatan negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ergonomi 2.1.1. Pengertian Ergonomi Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam

Lebih terperinci

tenaga kerja yang sesuai dengan jenis pekerjaannya (Suma mur, 2014). organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu.

tenaga kerja yang sesuai dengan jenis pekerjaannya (Suma mur, 2014). organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. 1. Beban Kerja a. Pengertian Beban Kerja Beban kerja adalah keadaan pekerja dimana dihadapkan pada tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu. Beban kerja adalah beban yang ditanggung tenaga kerja

Lebih terperinci

Konsumsi energi berdasarkan kapasitas oksigen terukur

Konsumsi energi berdasarkan kapasitas oksigen terukur Konsumsi energi berdasarkan kapasitas oksigen terukur Konsumsi energi dapat diukur secara tidak langsung dengan mengukur konsumsi oksigen. Jika satu liter oksigen dikonsumsi oleh tubuh, maka tubuh akan

Lebih terperinci

Perbandingan Analisis Biomekanika Gait Cycle pada Postur Mendorong

Perbandingan Analisis Biomekanika Gait Cycle pada Postur Mendorong Petunjuk Sitasi: Hardiningtyas, D., Putri, Y. W., & Efranto, R. Y. (2017). Perbandingan Analisis Biomekanika Gait Cycle pada Postur Mendorong. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B305-311). Malang: Jurusan

Lebih terperinci

KAJIAN DYNAMIC CYCLE GAIT PADA PENGGUNA PROSTHETIC ATAS LUTUT ENDOSKELETAL DENGAN SISTEM ENERGI STORING MEKANISME 2 BAR PADA AKTIVITAS BERJALAN CEPAT

KAJIAN DYNAMIC CYCLE GAIT PADA PENGGUNA PROSTHETIC ATAS LUTUT ENDOSKELETAL DENGAN SISTEM ENERGI STORING MEKANISME 2 BAR PADA AKTIVITAS BERJALAN CEPAT KAJIAN DYNAMIC CYCLE GAIT PADA PENGGUNA PROSTHETIC ATAS LUTUT ENDOSKELETAL DENGAN SISTEM ENERGI STORING MEKANISME 2 BAR PADA AKTIVITAS BERJALAN CEPAT Skripsi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

Analisa Perancangan Pada Produk Kaki Tiruan Atas Lutut tipe four bar linkage

Analisa Perancangan Pada Produk Kaki Tiruan Atas Lutut tipe four bar linkage Available online at Website http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi Analisa Perancangan Pada Produk Kaki Tiruan Atas Lutut tipe four bar linkage Sugiyanto Dosen Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

HUBUNGAN BERAT BADAN BERLEBIH DENGAN PERUBAHAN MEDIAL LONGITUDINAL ARCH DAN FOOT ALIGNMENT DI KECAMATAN KARTASURA

HUBUNGAN BERAT BADAN BERLEBIH DENGAN PERUBAHAN MEDIAL LONGITUDINAL ARCH DAN FOOT ALIGNMENT DI KECAMATAN KARTASURA HUBUNGAN BERAT BADAN BERLEBIH DENGAN PERUBAHAN MEDIAL LONGITUDINAL ARCH DAN FOOT ALIGNMENT DI KECAMATAN KARTASURA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Guna Melengkapi Tugas dan Memenuhi Sebagian Persyaratan Menyelesaikan

Lebih terperinci

PERANCANGAN ALAT BANTU UNTUK MEMPERBAIKI POSTUR KERJA PADA AKTIVITAS PEMELITURAN DALAM PROSES FINISHING (Studi Kasus: Home Industry Waluyo Jati)

PERANCANGAN ALAT BANTU UNTUK MEMPERBAIKI POSTUR KERJA PADA AKTIVITAS PEMELITURAN DALAM PROSES FINISHING (Studi Kasus: Home Industry Waluyo Jati) PERANCANGAN ALAT BANTU UNTUK MEMPERBAIKI POSTUR KERJA PADA AKTIVITAS PEMELITURAN DALAM PROSES FINISHING (Studi Kasus: Home Industry Waluyo Jati) Skripsi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

PERANCANGAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA DENGAN METODE SWOT ANALYSIS DI KOPERASI TIGA JAYA MANDIRI SURAKARTA

PERANCANGAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA DENGAN METODE SWOT ANALYSIS DI KOPERASI TIGA JAYA MANDIRI SURAKARTA PERANCANGAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA DENGAN METODE SWOT ANALYSIS DI KOPERASI TIGA JAYA MANDIRI SURAKARTA Skripsi WIDY PRATAMI 10304074 JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Penelitian merupakan serangkaian aktivitas merumuskan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan menarik suatu kesimpulan dari suatu permasalahan yang dijadikan objek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus anak berkelainan, istilah penyimpangan secara eksplisit ditunjukan kepada anak yang dianggap memiliki kelainan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KONSUMSI ENERGI PADA PROSES PEMINDAHAN BAHAN SECARA MANUAL

PERBANDINGAN KONSUMSI ENERGI PADA PROSES PEMINDAHAN BAHAN SECARA MANUAL PERBANDINGAN KONSUMSI ENERGI PADA PROSES PEMINDAHAN BAHAN SECARA MANUAL Otong Andi Juhandi (30402785) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri Universitas Gunadarma Kontak Person : Otong Andi

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT RISIKO POSTUR KERJA OPERATOR BATIK CAP MENGGUNAKAN QUICK EXPOSURE CHECKLIST DAN RAPID UPPER LIMB ASSESSMENT

ANALISIS TINGKAT RISIKO POSTUR KERJA OPERATOR BATIK CAP MENGGUNAKAN QUICK EXPOSURE CHECKLIST DAN RAPID UPPER LIMB ASSESSMENT ANALISIS TINGKAT RISIKO POSTUR KERJA OPERATOR BATIK CAP MENGGUNAKAN QUICK EXPOSURE CHECKLIST DAN RAPID UPPER LIMB ASSESSMENT (Studi kasus : Batik Vania Solo) Skripsi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

Unisba.Repository.ac.id DAFTAR ISI

Unisba.Repository.ac.id DAFTAR ISI DAFTAR ISI ABSTRAK... i PEDOMAN TUGAS AKHIR... iii KATA PENGANTAR... iv AYAT AL-QURAN... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR SINGKATAN... xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar

Lebih terperinci

Abdul Mahfudin Alim, M.Pd Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

Abdul Mahfudin Alim, M.Pd Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta KETERAMPILAN DASAR ATLETIK Lempar (Throw) Abdul Mahfudin Alim, M.Pd Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta LEMPAR (THROW) Lempar Lembing (Javelin Throw) Tolak Peluru (Shot Put) Lempar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persendian atau artikulasi adalah suatu hubungan antara dua buah tulang atau lebih yang dihubungkan melalui pembungkus jaringan ikat pada bagian luar dan pada bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar Ilustrasi sendi lutut yang sehat (kiri) dan sendi lutut yang telah cedera hingga mengalami osteoarthritis (kanan)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar Ilustrasi sendi lutut yang sehat (kiri) dan sendi lutut yang telah cedera hingga mengalami osteoarthritis (kanan) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persendian adalah suatu hubungan antara dua buah tulang atau lebih yang dihubungkan melalui pembungkus jaringan ikat. Fungsi dari sendi secara umum adalah untuk

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROTOKOL EKSPERIMEN FISIOLOGI UNTUK MENGUKUR KINERJA REHABILITASI AMPUTEE KAKI BERDASARKAN INDIKATOR CARDIOVASCULAR

PERANCANGAN PROTOKOL EKSPERIMEN FISIOLOGI UNTUK MENGUKUR KINERJA REHABILITASI AMPUTEE KAKI BERDASARKAN INDIKATOR CARDIOVASCULAR PERANCANGAN PROTOKOL EKSPERIMEN FISIOLOGI UNTUK MENGUKUR KINERJA REHABILITASI AMPUTEE KAKI BERDASARKAN INDIKATOR CARDIOVASCULAR Studi Kasus: Pengujian Prostetik Endoskeletal Menggunakan Teknologi Multi-Axis

Lebih terperinci

Analisis Kinematis untuk Menentukan Dimensi Transfemoral Prosthetic Tipe Four-Bar Linkage dalam Fase Awal Siklus Gait Cycle

Analisis Kinematis untuk Menentukan Dimensi Transfemoral Prosthetic Tipe Four-Bar Linkage dalam Fase Awal Siklus Gait Cycle Available online at Website http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi Analisis Kinematis untuk Menentukan Dimensi Transfemoral Prosthetic Tipe Four-Bar Linkage dalam Fase Awal Siklus Gait *Sugiyanto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan produksi tidak terlepas dari peran manusia, salah satu hal penting yang masih dilakukan pada industri kecil sampai menengah bahkan industri besar sekalipun.

Lebih terperinci

ANALISIS PENGUKURAN BEBAN KERJA FISIK DENGAN METODE FISIOLOGI

ANALISIS PENGUKURAN BEBAN KERJA FISIK DENGAN METODE FISIOLOGI ANALISIS PENGUKURAN BEBAN KERJA FISIK DENGAN METODE FISIOLOGI A. DESKRIPSI Menurut Tayyari dan Smith (1997) fisiologi kerja sebagai ilmu yang mempelajari tentang fungsi-fungsi organ tubuh manusia yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Atau Rancangan Penelitian dan Metode Pendekatan Jenis penelitian ini adalah explanatory research, yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan antara variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Produktivitas Kerja 1. Pengertian Produktivitas kerja adalah jumlah barang atau jasa yang dihasilkan oleh tenaga kerja yang bersangkutan dalam suatu periode tertentu. (15) Umumnya

Lebih terperinci

ABSTRAK. iv Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. iv Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK CV.Motekar merupakan salah satu perusahaan home industry yang memproduksi berbagai jenis boneka. Perusahaan ingin mengetahui apakah sistem kerja yang diterapkan dalam perusahaan ini sudah baik

Lebih terperinci

DESAIN WEBSITE E-COMMERCE PADA UMKM DENGAN MENGGUNAKAN METODE BENCHMARKING (Studi Kasus: E-Commerce Fashion)

DESAIN WEBSITE E-COMMERCE PADA UMKM DENGAN MENGGUNAKAN METODE BENCHMARKING (Studi Kasus: E-Commerce Fashion) DESAIN WEBSITE E-COMMERCE PADA UMKM DENGAN MENGGUNAKAN METODE BENCHMARKING (Studi Kasus: E-Commerce Fashion) Skripsi SHEILA AMALIA SALMA I0312052 PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: sensitivity, response, brand extension

ABSTRACT. Keywords: sensitivity, response, brand extension ABSTRACT Brand plays a role in a company to run the competition in the business world. Competition situation in the business world in today s changing very drastically that it become increasingly competitive.

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Persaingan di tempat kerja bukan hanya dilihat dari segi keahlian saja namun penampilan pun menjadi prioritas dalam dunia kerja. Pada umumnya di tempat kerja tertentu para pekerja wanita dituntut

Lebih terperinci

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Perusahaan Nai Shoes Collection merupakan home industry yang bergerak di bidang industri sepatu safety dan sepatu boot yang berlokasi di Jl. Cibaduyut Raya Gang Eteh Umi RT. 2 RW 1 kota Bandung.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. baik (Djumidar A. Widya, 2004: 65). kaki untuk mencapai jarak yang sejauh-jauhnya.

BAB II KAJIAN TEORI. baik (Djumidar A. Widya, 2004: 65). kaki untuk mencapai jarak yang sejauh-jauhnya. BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Hakikat Lompat Jauh Gaya Jongkok a. Pengertian Lompat Jauh Lompat adalah suatu gerakan mengangkat tubuh dari suatu titik ke titik yang lain yang lebih jauh atau

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Analisa Postur Kerja Dengan Metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) (Studi Kasus : Pengawas Radiasi Pertama di SDPFPI-DPFRZR-BAPETEN)

TUGAS AKHIR. Analisa Postur Kerja Dengan Metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) (Studi Kasus : Pengawas Radiasi Pertama di SDPFPI-DPFRZR-BAPETEN) TUGAS AKHIR Analisa Postur Kerja Dengan Metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) (Studi Kasus : Pengawas Radiasi Pertama di SDPFPI-DPFRZR-BAPETEN) Diajukan guna melengkapi sebagian syarat Dalam mencapai

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Anatomi sendi lutut normal (Jun, 2011)

Gambar 1.1. Anatomi sendi lutut normal (Jun, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sendi lutut merupakan salah satu sendi paling canggih pada tubuh manusia. Sendi lutut seperti sebuah bantalan besar yang terletak pada tulang kaki bagian bawah yang

Lebih terperinci

Operasional Museum dan Pusat Pelatihan Meditasi Buddha di. Jawa Tengah ini buka setiap hari Selasa-Minggu. Sedangkan hari Senin

Operasional Museum dan Pusat Pelatihan Meditasi Buddha di. Jawa Tengah ini buka setiap hari Selasa-Minggu. Sedangkan hari Senin LAMPIRAN Operasional Museum dan Pusat Pelatihan Meditasi Buddha di Semarang, Jawa Tengah Museum dan Pusat Pelatihan Meditasi Buddha di Semarang, Jawa Tengah ini buka setiap hari Selasa-Minggu. Sedangkan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Toko Sinar Mustika, Bandung berdiri sejak tahun 1990, merupakan toko yang bergerak di bidang jual beli kain. Masalah yang dihadapi oleh toko ini adalah mengenai troli yang tidak ergonomis dan tidak

Lebih terperinci

METODE PENGUKURAN DATA ANTROPOMETRI

METODE PENGUKURAN DATA ANTROPOMETRI METODE PENGUKURAN DATA ANTROPOMETRI Jenis Data 1. Dimensi Linier (jarak) Jarak antara dua titik pada tubuh manusia yang mencakup: panjang, tinggi, dan lebar segmen tubuh, seperti panjang jari, tinggi lutut,

Lebih terperinci

bab 1 gerak dasar kata kunci berjalan memutar melempar berlari mengayun menangkap melompat menekuk menendang

bab 1 gerak dasar kata kunci berjalan memutar melempar berlari mengayun menangkap melompat menekuk menendang bab 1 gerak dasar sumber www.sdialazhar14.wordpress.com tanggal 11 Juni 2009 kata kunci berjalan memutar melempar berlari mengayun menangkap melompat menekuk menendang meloncat menggiring setiap hari kamu

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro H.Prof.Sudharto, Kampus UNDIP Tembalang, Semarang, 50275

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro H.Prof.Sudharto, Kampus UNDIP Tembalang, Semarang, 50275 Analisis Tegangan pada Transfemoral Prosthetic Tipe Four-Bar Linkage dalam Fase Awal Siklus Gait Cycle Sugiyanto 1, a, Biyan B.P 1, Alhakim B.P 1, Dwi Setyawan 2, Nur Rochmat B.Setiana 1 dan R.Ismail 1,b*

Lebih terperinci

ABSTRAK. vii Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. vii Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Kursi roda menjadi alat bantu yang sangat penting bagi penyandang cacat fisik khususnya penyandang cacat bagian kaki dari kalangan anak-anak hingga dewasa. Akan tetapi, kursi roda yang digunakan

Lebih terperinci

PERBAIKAN POLA BERJALANAMPUTEE BAWAH LUTUT DENGAN MENGGUNAKANALIGNMENT ADAPTER FOR PROSTHETIC FOOT BERDASARKANSTATIKA BIOMEKANIKA

PERBAIKAN POLA BERJALANAMPUTEE BAWAH LUTUT DENGAN MENGGUNAKANALIGNMENT ADAPTER FOR PROSTHETIC FOOT BERDASARKANSTATIKA BIOMEKANIKA PERBAIKAN POLA BERJALANAMPUTEE BAWAH LUTUT DENGAN MENGGUNAKANALIGNMENT ADAPTER FOR PROSTHETIC FOOT BERDASARKANSTATIKA BIOMEKANIKA Skripsi SebagaiPersyaratanMendapatGelarSarjanaTeknik MUCHAMMAD WENDY DARMAWAN

Lebih terperinci

II B. Sistem Kerja dan Kontrol pada Manusia

II B. Sistem Kerja dan Kontrol pada Manusia II B. Sistem Kerja dan Kontrol pada Manusia Sistem komunikasi utama dalam tubuh manusia: Sistem Syaraf Perangkat Penunjang: Otot Perangkat sensor tubuh (panca indera) Berfungsi mengontrol keseimbangan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Seiring meningkatnya pertumbuhan perekonomian di Indonesia, membuat pembangunan semakin meningkat pula. Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan tersebut banyak orang membuka usaha di bidang bahan

Lebih terperinci

ANALISIS POSTUR KERJA OPERATOR DI PABRIK

ANALISIS POSTUR KERJA OPERATOR DI PABRIK ANALISIS POSTUR KERJA OPERATOR DI PABRIK GENTING TANAH LIAT MENGGUNAKAN METODE QUICK EXPOSURE CHECKLIST DAN RAPID UPPER LIMB ASSESSMENT (Studi Kasus: Pabrik Genting Super Mantili) Skripsi Nandiwardhana

Lebih terperinci

PENGUJIAN KARAKTERISTIK PEMBAKARAN MODEL BURNER DENGAN DIAMETER 26 MM DENGAN JUMLAH LUBANG 8,11 DAN 16 PADA KOMPOR METANOL

PENGUJIAN KARAKTERISTIK PEMBAKARAN MODEL BURNER DENGAN DIAMETER 26 MM DENGAN JUMLAH LUBANG 8,11 DAN 16 PADA KOMPOR METANOL TUGAS AKHIR PENGUJIAN KARAKTERISTIK PEMBAKARAN MODEL BURNER DENGAN DIAMETER 26 MM DENGAN JUMLAH LUBANG 8,11 DAN 16 PADA KOMPOR METANOL Disusun oleh : ANDI WIBOWO NIM : D 200 060 115 JURUSAN TEKNIK MESIN

Lebih terperinci

PEMILIHAN SUPPLIER BENANG DI PERUSAHAAN TEKSTIL PT.XYZ DENGAN METODE AHP (ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS)

PEMILIHAN SUPPLIER BENANG DI PERUSAHAAN TEKSTIL PT.XYZ DENGAN METODE AHP (ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS) PEMILIHAN SUPPLIER BENANG DI PERUSAHAAN TEKSTIL PT.XYZ DENGAN METODE AHP (ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS) Skripsi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik BRIHASPATI YOGARUDHA I 0308034

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Pada bab ini akan dibahas analisis dan interpretasi hasil yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan pengolahan data. Analisis dan interpretasi hasil bertujuan

Lebih terperinci

Faal Kerja (Fisiologis) Nurjannah

Faal Kerja (Fisiologis) Nurjannah Faal Kerja (Fisiologis) Nurjannah Kerja Bekerja adalah suatu kegiatan manusia merubah keadaan-keadaan tertentu dari alam lingkungan yang ditujukan untuk mempertahankan dan memelihara kelangsungan hidupnya

Lebih terperinci

PERENCANAAN PELAT DATAR TANPA BALOK DENGAN METODE PORTAL EKUIVALEN PADA BANGUNAN GEDUNG PARKIR MALANG TOWN SQUARE TUGAS AKHIR OLEH

PERENCANAAN PELAT DATAR TANPA BALOK DENGAN METODE PORTAL EKUIVALEN PADA BANGUNAN GEDUNG PARKIR MALANG TOWN SQUARE TUGAS AKHIR OLEH PERENCANAAN PELAT DATAR TANPA BALOK DENGAN METODE PORTAL EKUIVALEN PADA BANGUNAN GEDUNG PARKIR MALANG TOWN SQUARE TUGAS AKHIR OLEH ELTY ABBAS 00520066 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG FAKULTAS TEKNIK JURUSAN

Lebih terperinci

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta TUGAS AKHIR RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN ALAT PRODUKSI GAS METANA DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN VARIASI BAHAN SAMPAH BASAH KEBUN, SAMPAH KULIT BAWANG DAN SAMPAH KERING KEBUN Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Lebih terperinci

Didesain agar nyaman dan tahan lama.

Didesain agar nyaman dan tahan lama. Didesain agar nyaman dan tahan lama. Inter IKEA Systems B.V. 2015 Sebagian besar dari kita menghabiskan banyak waktu di meja, baik saat bekerja di kantor maupun di rumah. Itulah mengapa ruang kerja yang

Lebih terperinci

RANCANG ULANG WHEELBARROW YANG ERGONOMIS DAN EKONOMIS

RANCANG ULANG WHEELBARROW YANG ERGONOMIS DAN EKONOMIS PKMT-2-1-1 RANCANG ULANG WHEELBARROW YANG ERGONOMIS DAN EKONOMIS Mirta Widia, Mia Monasari, Vera Methalina Afma, Taufik Azali Jurusan Teknik Industri, Universitas Andalas, Padang ABSTRAK Perancangan wheelbarrow

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gerakan yang dilakukan oleh tangan manusia. Gerakan tangan manusia

BAB I PENDAHULUAN. gerakan yang dilakukan oleh tangan manusia. Gerakan tangan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitas pekerjaan sehari-hari. Adanya massa otot yang bobotnya hampir lebih dari separuh beban tubuh, memungkinkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bahan baku batu bata adalah tanah liat atau tanah lempung yang telah

BAB II LANDASAN TEORI. Bahan baku batu bata adalah tanah liat atau tanah lempung yang telah BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Batu bata Bahan baku batu bata adalah tanah liat atau tanah lempung yang telah dibersihkan dari kerikil dan batu-batu lainnya. Tanah ini banyak ditemui di sekitar kita. Itulah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu pekerjaan yang sering dilakukan oleh tenaga kerja yang bekerja di industri atau pabrik adalah pekerjaan mengangkat beban atau sering disebut dengan manual

Lebih terperinci

Kegiatan Belajar -6. Modul 4: Konsumsi Energi. Ir. MUH. ARIF LATAR, MSc. Modul-4, data M Arief Latar

Kegiatan Belajar -6. Modul 4: Konsumsi Energi. Ir. MUH. ARIF LATAR, MSc. Modul-4, data M Arief Latar Kegiatan Belajar -6 Modul 4: Konsumsi Energi Ir. MUH. ARIF LATAR, MSc Modul-4, data M Arief Latar 1 I. PENDAHULUAN Modul-4, data M Arief Latar 2 Pengantar Jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan otot

Lebih terperinci

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Tahu Sumedang adalah salah satu makanan khas Kota Sumedang. Pabrik Tahu di Sumedang semakin berkembang karena potensi pasar yang tinggi. Salah satu pabrik tahu di Kota Sumedang yaitu pabrik tahu

Lebih terperinci

Angkat kedua dumbbell ke depan dengan memutar pergelangan tangan (twist) hingga bertemu satu sama lain.

Angkat kedua dumbbell ke depan dengan memutar pergelangan tangan (twist) hingga bertemu satu sama lain. DADA 1. Breast Twist Fly 1. Posisikan tubuh bersandar incline pada bench dengan kedua tangan terbuka lebar memegang dumbbell. Busungkan dada untuk gerakan yang optimal. Angkat kedua dumbbell ke depan dengan

Lebih terperinci

MEKANISME GERAK SISTEM MUSKULOSKELETAL. Sasanthy Kusumaningtyas Departemen Anatomi FKUI

MEKANISME GERAK SISTEM MUSKULOSKELETAL. Sasanthy Kusumaningtyas Departemen Anatomi FKUI MEKANISME GERAK SISTEM MUSKULOSKELETAL Sasanthy Kusumaningtyas Departemen Anatomi FKUI 1 ILMU GERAK KINESIOLOGI : Adalah ilmu yang mempelajari tubuh manusia pada waktu melakukan gerakan. Beberapa disiplin

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEKUATAN OTOT TUNGKAI, KEKUATAN OTOT LENGAN DAN KETAHANAN CARDIOVASKULER

PERKEMBANGAN KEKUATAN OTOT TUNGKAI, KEKUATAN OTOT LENGAN DAN KETAHANAN CARDIOVASKULER PERKEMBANGAN KEKUATAN OTOT TUNGKAI, KEKUATAN OTOT LENGAN DAN KETAHANAN CARDIOVASKULER PADA ADOLESENSI USIA 13-18 TAHUN DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN KETINGGIAN WILAYAH TEMPAT TINGGAL (Studi Kros-Seksional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen 19 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen dengan menggunakan desain Single Subject Research (SSR). Sugiyono (2007: 11) mengemukakan bahwa Metode

Lebih terperinci

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Industri Skripsi Sarjana Teknik Industri Semester Ganjil 2006/2007

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Industri Skripsi Sarjana Teknik Industri Semester Ganjil 2006/2007 UNIVERSITAS BINA NUSANTARA Jurusan Teknik Industri Skripsi Sarjana Teknik Industri Semester Ganjil 2006/2007 ANALISA ERGONOMI PADA POSISI TUBUH PEKERJA MENGGUNAKAN ERGOWEB DI PT. PASIFIC ART PANEL INDAH

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM ANALISIS PERANCANGAN KERJA DAN ERGONOMI 2

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM ANALISIS PERANCANGAN KERJA DAN ERGONOMI 2 LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM ANALISIS PERANCANGAN KERJA DAN ERGONOMI 2 Disusun Oleh : Nama / NPM : 1. Ardan Afrianto / 30408140 2. Dedi Fuadman Harita / 30408252 3. Heidy Olivia Thaeras / 30408421 4. Muh. Ridwan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun untuk putri. Unsur fisik yang diperlukan dalam nomor tolak ini adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun untuk putri. Unsur fisik yang diperlukan dalam nomor tolak ini adalah 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Lempar Lembing Lempar lembing merupakan salah satu nomor pada cabang olahraga atletik yang diperlombakan dalam perlombaan nasional maupun internasional, baik untuk putra

Lebih terperinci

Lompat Jauh. A. Pengertian Lompat Jauh

Lompat Jauh. A. Pengertian Lompat Jauh Lompat Jauh A. Pengertian Lompat Jauh Lompat jauh merupakan salah satu nomor lompat dari cabang olahraga atletik yang paling populer dan paling sering dilombakan dalam kompetisi kelas dunia, termasuk Olimpiade.

Lebih terperinci

BAB 1 GERAK DASAR KATA KUNCI BERJALAN MEMUTAR MELEMPAR BERLARI MENGAYUN MENANGKAP MELOMPAT MENEKUK MENENDANG

BAB 1 GERAK DASAR KATA KUNCI BERJALAN MEMUTAR MELEMPAR BERLARI MENGAYUN MENANGKAP MELOMPAT MENEKUK MENENDANG BAB 1 GERAK DASAR KATA KUNCI BERJALAN MEMUTAR MELEMPAR BERLARI MENGAYUN MENANGKAP MELOMPAT MENEKUK MENENDANG bab 1 gerak dasar sumber www.sdialazhar14.wordpress.com tanggal 11 Juni 2009 kata kunci berjalan

Lebih terperinci

HUBUNGAN BERAT BADAN BERLEBIH DENGAN PERUBAHAN MEDIAL LONGITUDINAL ARCH DAN FOOT ALIGNMENT DI KECAMATAN KARTASURA

HUBUNGAN BERAT BADAN BERLEBIH DENGAN PERUBAHAN MEDIAL LONGITUDINAL ARCH DAN FOOT ALIGNMENT DI KECAMATAN KARTASURA HUBUNGAN BERAT BADAN BERLEBIH DENGAN PERUBAHAN MEDIAL LONGITUDINAL ARCH DAN FOOT ALIGNMENT DI KECAMATAN KARTASURA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Akhir Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Fisioterapi

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Bab ini berisi analisis dan interpretasi hasil berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Analisis dan interpretasi hasil bertujuan untuk menjelaskan hasil dari

Lebih terperinci

TES KESEGARAN JASMANI INDONESIA (TKJI)

TES KESEGARAN JASMANI INDONESIA (TKJI) TES KESEGARAN JASMANI INDONESIA (TKJI) Pengantar : Dalam lokakarya kesegaran jasmani yang dilaksanakan pada tahun 1984 Tes Kesegaran Jasmani Indonesia (TKJI) telah disepakati dan ditetapkan menjadi instrumen

Lebih terperinci

TES KESEGARAN JASMANI INDONESIA (TKJI)

TES KESEGARAN JASMANI INDONESIA (TKJI) Lampiran 4. TES KESEGARAN JASMANI INDONESIA (TKJI) Pengantar : Dalam lokakarya kesegaran jasmani yang dilaksanakan pada tahun 1984 Tes Kesegaran Jasmani Indonesia (TKJI) telah disepakati dan ditetapkan

Lebih terperinci

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Perusahaan PT.VIP (Visi Indah Prima) yang bergerak di bidang sarana kebugaran dan pembuatan alat olahraga. Perusahaan tersebut adalah perusahaan yang berkecimpung dalam bidang pembuatan alat olahraga

Lebih terperinci

BAB V KEBUGARAN JASMANI. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 117

BAB V KEBUGARAN JASMANI. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 117 BAB V KEBUGARAN JASMANI Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 117 Kebugaran jasmani merupakan alat pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, juga merupakan upaya untuk meningkatkan dan

Lebih terperinci

ANALISA POSTUR KERJA TERHADAP AKTIVITAS MANUAL MATERIAL HANDLING MENGGUNAKAN METODE OWAS

ANALISA POSTUR KERJA TERHADAP AKTIVITAS MANUAL MATERIAL HANDLING MENGGUNAKAN METODE OWAS ANALISA POSTUR KERJA TERHADAP AKTIVITAS MANUAL MATERIAL HANDLING MENGGUNAKAN METODE OWAS Dian Palupi Restuputri *1, Erry Septya Primadi 2, M. Lukman 3 1,2,3 Universitas Muhammadiyah Malang Kontak person:

Lebih terperinci

ANALISIS AKTIVITAS ANGKAT BEBAN PISAU HAND PRESS

ANALISIS AKTIVITAS ANGKAT BEBAN PISAU HAND PRESS TUGAS AKHIR ANALISIS AKTIVITAS ANGKAT BEBAN PISAU HAND PRESS DITINJAU DARI ASPEK BIOMEKANIKA DAN FISIOLOGI (Studi Kasus di PT. Bahama Lasakka, Batur, Ceper, Klaten) Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS 4.1 Pembahasan Pengambilan data dari pengukuran fisiologis dalam aktivitas dengan menggunakan running belt dilakukan oleh satu orang operator dimana operator tersebut melakukan

Lebih terperinci

: AYU PERDANASARI K

: AYU PERDANASARI K UPAYA PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR AKUNTANSI MELALUI PENGGUNAAN BAHAN AJAR BROSUR PADA SISWA KELAS X AKUNTANSI SMK BATIK 1 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2016/2017 SKRIPSI Oleh : AYU PERDANASARI K7413024

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Tabulasi Data Derajat Kepentingan Kebutuhan Pelanggan. Pengaturan (Alignment)

LAMPIRAN. Tabulasi Data Derajat Kepentingan Kebutuhan Pelanggan. Pengaturan (Alignment) 236 LAMPIRAN Lampiran I Tabulasi Data Derajat Kepentingan Kebutuhan Pelanggan no. Kemudahan Perawatan Fase Mengayun Halus Kemudahan Pengaturan (Alignment) Ruang Gerak Lebih Kenyamanan 1 3.0 4.0 5.0 4.0

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini terfokus pada lingkungan kerja saat ini dan data antropometri yang dibutuhkan untuk perancangan

Lebih terperinci

LOMPAT JANGKIT. Dalam lompat jangkit ada 3 tahapan yang harus dilaksanakan yaitu : 1. Tahapan Hop ( Jingkat ) Design by R2 Bramistra

LOMPAT JANGKIT. Dalam lompat jangkit ada 3 tahapan yang harus dilaksanakan yaitu : 1. Tahapan Hop ( Jingkat ) Design by R2 Bramistra LOMPAT JANGKIT Definisi lompat jangkit : Lompat jangkit disebut juga lompat-lompat tiga, karena dilakukan dengan tiga lompatan yaitu jingkat (hop), langkah (step), lompat (jump) atau jingkat langkah lompat.

Lebih terperinci

-THESIS (TI )- Perancangan Model Penilaian Potensi Personal Protective Clothing (PPC) dalam Mempengaruhi Kinerja Karyawan di Lingkungan Panas

-THESIS (TI )- Perancangan Model Penilaian Potensi Personal Protective Clothing (PPC) dalam Mempengaruhi Kinerja Karyawan di Lingkungan Panas -THESIS (TI - 092327)- Perancangan Model Penilaian Potensi Personal Protective Clothing (PPC) dalam Mempengaruhi Kinerja Karyawan di Lingkungan Panas Oleh : Irma Nur Afiah Dosen Pembimbing : Ir. Sritomo

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta

TUGAS AKHIR. Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta TUGAS AKHIR PERBEDAAN POSISI ANKLE HEIGHT, ARM HEIGHT, KNEE HEIGHT DAN KNUCKLE HEIGHT UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN MENARIK BEBAN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT LIFTING CAPABILITY (Studi Kasus di Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di daerah Surakarta yaitu masyarakat di Kecamatan Jebres, Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Serengan, Kecamatan

Lebih terperinci

DOKUMEN INSTRUMEN PENILAIAN UJIAN KETERAMPILAN

DOKUMEN INSTRUMEN PENILAIAN UJIAN KETERAMPILAN DOKUMEN INSTRUMEN PENILAIAN UJIAN KETERAMPILAN SELEKSI BERSAMA MASUK PERGURUAN TINGGI NEGERI 2015 PROSEDUR PELAKSANAAN DAN RUBRIK PENILAIAN UJIAN KETERAMPILAN BIDANG KEOLAHRAGAAN 1. MATERI UJIAN Uji Keterampilan

Lebih terperinci

PENGUNAAN ALAT BANTU PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BERMAIN BOLAVOLI PADA SISWA KELAS XI PM SMK MURNI 2 SURAKARTA

PENGUNAAN ALAT BANTU PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BERMAIN BOLAVOLI PADA SISWA KELAS XI PM SMK MURNI 2 SURAKARTA PENGUNAAN ALAT BANTU PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BERMAIN BOLAVOLI PADA SISWA KELAS XI PM SMK MURNI 2 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2016/2017 SKRIPSI OLEH: AHMAD MASHURI K4612008 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, bukan hanya pria saja yang dituntut untuk memiliki pekerjaan tetapi para wanita pun dituntut untuk memiliki suatu pekerjaan agar kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 3 FONDASI DALAM MEMANAH

BAB 3 FONDASI DALAM MEMANAH 18 BAB 3 FONDASI DALAM MEMANAH Pengantar Menembak (shooting) dalam olahraga panahan sangat memerlukan konsistensi (keajegan) dan stabilitas yang tinggi, sehingga dengan adanya konsistensi dan stabilitas

Lebih terperinci

ABSTRAK. terdiri dari empat variabel independen yaitu product, price, place, promotion dan satu

ABSTRAK. terdiri dari empat variabel independen yaitu product, price, place, promotion dan satu ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi konsumen terhadap bauran pemasaran produk Chatime di Bandung serta untuk mengetahui besar pengaruh bauran pemasaran terhadap keputusan pembelian

Lebih terperinci

ANALISA RESIKO MANUAL MATERIAL HANDLING PADA PEKERJA PENGGILINGAN PADI DI UD. CITRA TANI

ANALISA RESIKO MANUAL MATERIAL HANDLING PADA PEKERJA PENGGILINGAN PADI DI UD. CITRA TANI ANALISA RESIKO MANUAL MATERIAL HANDLING PADA PEKERJA PENGGILINGAN PADI DI UD. CITRA TANI Ade Putri Kinanthi 1, Nur Azizah Rahmadani 2, Rahmaniyah Dwi Astuti 3 1,2 Program Studi Teknik Industri, Fakultas

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE SNOWBALL THROWING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA TENTANG STRUKTUR BUMI PADA SISWA

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE SNOWBALL THROWING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA TENTANG STRUKTUR BUMI PADA SISWA PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE SNOWBALL THROWING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA TENTANG STRUKTUR BUMI PADA SISWA SDN NGADIROYO 2012/2013 SKRIPSI Oleh: HARYANI K7109090 FAKULTAS KEGURUAN

Lebih terperinci

Dian Kemala Putri Bahan Ajar : Analisis Perancangan Kerja dan Ergonomi Teknik Industri Universitas Gunadarma

Dian Kemala Putri Bahan Ajar : Analisis Perancangan Kerja dan Ergonomi Teknik Industri Universitas Gunadarma ANTROPOMETRI Dian Kemala Putri Bahan Ajar : Analisis Perancangan Kerja dan Ergonomi Teknik Industri Universitas Gunadarma Definisi Antropos = manusia Metrikos = pengukuran Ilmu yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, berbagai macam aktivitas yang dilakukan manusia sangat padat dan beraneka ragam. Di perkotaan manusia menjalani kehidupannya dengan persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB II A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN BAB II A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Saat ini banyak sekali jenis-jenis olahraga yang ada di dunia ini, salah satunya adalah olahraga renang. Seperti yang telah diketahui, renang termasuk salahsatu cabang

Lebih terperinci

SENAM REFLEKSI TAHAP PELEBURAN (terdiri dari tujuh gerakan)

SENAM REFLEKSI TAHAP PELEBURAN (terdiri dari tujuh gerakan) SENAM REFLEKSI Senam refleksi dilakukan dengan menggabungkan gerakan tubuh dan teknik pengaturan pernapasan. Tujuannya adalah memperbaiki fungsi-fungsi otot-otot yang berhubungan dengan alat-alat/organ

Lebih terperinci