III. KERANGKA TEORI DAN PEMIKIRAN KONSEPTUAL Kaitan Desentralisasi Fiskal dengan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. KERANGKA TEORI DAN PEMIKIRAN KONSEPTUAL Kaitan Desentralisasi Fiskal dengan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan"

Transkripsi

1 III. KERANGKA TEORI DAN PEMIKIRAN KONSEPTUAL 3.1. Kerangka Teori Kaitan Desentralisasi Fiskal dengan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Dari penelusuran tinjauan pustaka didapatkan pemahaman tentang konsep desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal memberi eksensi kebebasan berinovasi dan berkreasi kepada pemerintah daerah dalam mengoptimalkan perannya sebagai pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam mengelola anggaran pendapatan belanja daerah baik dari sisi peneriman maupun pengeluaran untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan di daerahnya. Kaitan desentralisasi fiskal dengan ketahanan pangan dan kemiskinan dapat dijelaskan dari beberapa teori sebagaimana yang dikatakan oleh (Pogue and Squant, 1976; Lin and Liu, 2000; Roy, 1999 ; Rao, 2000; Smoke, 2001; Ebel and Yilmaz, 2002) bahwa desentralisasi fiskal membuat pemerintah lebih responsif terhadap aspirasi dan preferensi kebutuhan masyarakat dibanding dengan pemerintah yang terpusat. Hipotesis serupa juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan Tiebout Hypotesis yaitu untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan permintaan antar daerah maka efisiensi alokasi sumber daya akan lebih baik jika produksi barang tersebut dilakukan secara terdesentralistik (Stiglitz, 2000). Selanjutnya dikatakan desentralisasi fiskal berhubungan dengan perumusan kewenangan atas sumber- sumber dana yang ada atau akses terhadap dana transfer dan pembuatan berbagai keputusan baik yang menyangkut pengeluaran rutin maupun pengeluaran investasi/ pembangunan (Braun and Grote, 2002). Transfer fiskal merupakan inti dari suatu hubungan fiskal antar pemerintahan dan memiliki peranan penting dan menentukan dalam mendukung program desentralisasi fiskal, karena pengeluaran pemerintah daerah dua per tiganya merupakan dana transfer dari

2 76 pemerintah pusat. Dana transfer berupa dana block grant akan memberikan pengaruh yang lebih efisien terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dibanding dengan dana transfer berupa spesific grant (Stiglitz, 2000; Simanjuntak, 2001). Pada masa sebelum desentralisasi program bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesific grant, dimana penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan dari pemerintah pusat dengan format yang sangat rigid. Dengan desentralisasi pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berubah menjadi bentuk block grant, bentuk block grant dalam kerangka desentralisasi fiskal berupa Dana Alokasi Umum (DAU)(Departemen Dalam Negeri, 2002b; Simanjuntak, 2001). Dampak desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan dieksensikan pada dampak pola penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk pembelanjaan barang publik dalam upaya peningkatan kesejahteraan, karena dua per tiga dari sumber dana daerah adalah dana transfer dari pemerintah pusat yang pola penyalurannya mengalami perubahan dari pola spesific grant menjadi block grant pada masa desentralisasi fiskal (Simanjuntak, 2001). Diasumsikan ada dua pola penyaluran dana bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yaitu : (1) dalam bentuk spesific grant yang mempresentasikan kondisi sebelum desentralisasi fiskal, dan (2) dalam bentuk block grant yang mempresentasikan kondisi masa desentralisasi fiskal. Dari dua pola penyaluran dana transfer ini akan dianalisis pola penyaluran mana yang paling efisien dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pola penyaluran spesific grant menggeser garis anggaran melalui proses efek substitusi karena bentuk bantuan sudah rigid, sedang pola block grant menggeser garis anggaran melalui proses efek pendapatan.

3 77 Gambar 5. Dampak Pola Penyaluran Dana Bantuan terhadap Tingkat Kesejahteraan Sumber : Stiglitz, Bagaimana dan berapa besar pengaruh desentralisasi fiskal terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat diilustrasikan pada Gambar 5.Garis BB menunjukkan garis anggaran masyarakat sebelum adanya bantuan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal dan keseimbangan terjadi pada titik E dan anggaran pengeluaran kesejahteraan untuk belanja barang publik sebesar W. Adanya penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal dengan pola bantuan spesific grant untuk pembelanjaan barang publik, maka akan menggeser garis anggaran masyarakat menjadi BB. Garis anggaran menjadi lebih landai karena harga barang publik menjadi relatif lebih murah daripada barang privat. Keseimbangan terjadi pada titik E* dan pengeluaran anggaran kesejahteraan untuk belanja barang publik pada titik W*. Tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat yang ditunjukkan oleh pergeseran kurva indiferent dari titik E ke titik E* yang lebih

4 78 tinggi. Pola bantuan spesific grant memberikan pengaruh pada harga barang publik yang relatif lebih murah dan menggeser garis anggaran melalui proses efek substitusi. Apabila pola bantuan dari pemerintah pusat berupa block grant maka akan menggeser garis anggaran melalui proses efek pendapatan, yaitu garis anggaran slopenya bergeser sejajar dengan garis anggaran awal dan bergeser kekanan sampai menyinggung kurva indiferent yang sama dengan kurva indiferen setelah subsidi atau pada tingkat kesejahteraan yang sama. Keseimbangan tercapai pada titik E** dan pengeluaran anggaran kesejahteraan untuk belanja barang publik sebesar W**. Hal ini menunjukkan pada pola bantuan block grant untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang sama dibutuhkan pengeluaran anggaran yang lebih rendah dibandingkan dengan pola bantuan spesific grant. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal memberi dampak yang relatif lebih efisien dalam mencapi kesejahteraan masyarakat yaitu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya menggunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah menurut Ricardson (2001) adalah titik berat dalam analisis perpindahan faktor. Analisis untuk suatu negara dapat diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun untuk daerah asumsi tersebut tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena kemungkinan masuk dan keluarnya arus perpindahan tenaga kerja dan modal sangat besar. Hal ini memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional dan sebaliknya.

5 79 Konsep yang paling sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB) yaitu nilai tambah bruto atau gross value added ( output dikurangi intermediate cost) dari seluruh sektor perekonomian di suatu daerah. Pada tingkat nasional pertumbuhan ekonomi diukur dari laju nilai produk domestik bruto (PDB) dan pada daerah merupakan laju dari nilai produk domestik regional bruto (PDRB) yang merupakan ukuran dasar dari penampilan performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Nilai PDRB suatu daerah merupakan penjumlahan dari PDRB beberapa sektor perekonomian yang ada pada daerah tersebut. Sektor perekonomian tersebut diantaranya adalah sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih, kontruksi dan bangunan, perdagangan hotel dan restoran, pengangkutan dan telekomunikasi, bank dan jasa dan keuangan lainnya, jasa-jasa dan lainnya. Dari sisi penawaran agregat pertumbuhan ekonomi daerah didasarkan pada pendekatan fungsi produksi agregat yang merupakan fungsi dari teknologi, kapital (modal fisik dan finansial) dan tenaga kerja (Dornbusch and Fischer,1989). Berdasarkan teori pertumbuhan baru/ endogenous (Todaro, 2000), pertumbuhan output dipengaruhi oleh teknologi, kapital dan modal manusia yang menyatu dengan ilmu pengetahuannya. Secara matematis dapat dirumuskan yaitu : Y(t) = T(t) K(t) L(t)...(3.1) dimana : Y = tingkat output daerah (PDRB) T = tingkat teknologi K = kapital/ modal fisik dan finansial L = modal manusia beserta ilmu pengetahuan yang dikuasai

6 Teori Distribusi Pendapatan Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan yang keduanya digunakan untuk berbagai keperluan kajian kuantitatif dan analisis kualitatif. Kedua ukuran tersebut adalah : (1) ukuran distribusi, yaitu besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang, dan (2) distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi (Todaro, 2000). Bagian pendapatan masing-masing orang (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa mempersoalkan cara mendapatkan penghasilan tersebut apakah yang satu dengan cara membanting tulang dan yang lain hanya dengan bersantai tidak dipersoalkan. Para ekonom mengelompokkan masing-masing individu tersebut semata berdasarkan pendapatan yang diterima, kemudian membagi total populasi menjadi sejumlah kelompok atau ukuran berdasarkan besaran nominal. Biasanya populasi dibagi lima kelompok yang biasa disebut kuintil atau sepuluh kelompok atau desil sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima masing-masing kelompok. Kemudian menghitung berapa persen dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok. Dari perhitungan tersebut langsung dapat memperkirakan tingkat pemerataan atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat atau negara. Indikator yang memperlihatkan tingkat ketimpangan atau pemerataan distribusi pendapatan diperoleh dari perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh 40 persen anggota kelompok bawah yang mewakili lapisan penduduk

7 81 termiskin dan 20 persen anggota kelompok teratas yaitu yang mewakili lapisan penduduk terkaya. Metoda lain yang dipakai menganalisis pendapatan perorangan adalah dengan menggunakan kurva Lorenz. Jumlah penerimaan pendapatan dinyatakan pada sumbu vertikal, tidak dalam arti yang absolut (satuan numerik), melainkan dalam persentase kumulatif. Sumbu horisontal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk. Kedua sumbu yaitu vertikal dan horisontal sama panjangnya dan secara keseluruhan berbentuk segi empat yang dibelah oleh sebuah diagonal lurus yang ditarik dari titik nol pada sudut kiri bawah menuju ke sudut kanan atas. Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase jumlah penerimanya (persentase penduduk yang menerima pendapatan terhadap total penduduk atau populasi). Persentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik di sepanjang garis diagonal tersebut persis sama dengan persentase penduduk penerimanya terhadap total penduduk. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama waktu tertentu. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal yang merupakan garis pemerataan sempurna, maka semakin timpang distribusi pendapatan yang ada. Kasus ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurna yaitu apabila hanya seorang saja yang menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang-orang lain sama sekali tidak menerima yang dalam hal ini diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berimpit dengan sumbu horisontal sebelah bawah dan sumbu vertikal di sebelah kanan. Semua kurva Lorenz dari setiap negara akan berada di sebelah kanan garis diagonal. Semakin melengkung kurva Lorenz semakin tidak merata distribusi pendapatannya.

8 82 Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal pada korva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang dimana kurva Lorenz itu berada. Rasio inilah yang dikenal sebagai Rasio Kosentrasi Gini (gini cocentration ratio) yang sering disingkat dengan koefisien Gini. Koefisien gini adalah ukuran ketidakmerataan pendapatan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Secara matematika rasio Gini dapat dihitung dengan rumus : n G = 1 - (X i + 1 Xi) ( Yi + Y i+l ) 1 n G = 1 - fi ( Yi + Y i+l ) ; 0 < G < 1 1 dimana : G = Rasio Gini fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas i Xi = Proporsi jumlah kumulatip rumah tangga dalam kelas i Yi = Proporsi jumlah kumulatip pendapatan dalam kelas - i Indikator distribusi pendapatan kedua adalah distribusi fungsional atau distribusi pangsa pendapatan per faktor. Indikator ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja dan modal). Teori distribusi fungsionil ini pada dasarnya mempersoalkan persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual. Dengan membandingkannya dengan persentase total pendapatan yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga dan laba masing-masing merupakan perolehan dari tanah, uang simpanan dan modal fisik.

9 Teori Permintaan Faktor Produksi dan Penawaran Pangan Teori produksi bertumpu pada fungsi produksi, yaitu suatu fungsi yang menggambarkan hubungan teknis antara faktor-faktor produksi (input) dan hasil produksinya (output). Fungsi produksi dapat menggambarkan teknologi yang digunakan oleh suatu perusahaan, suatu industri, atau suatu perekonomian secara keseluruhan. Pada pasar produk dan pasar faktor produksi yang bersaing sempurna, fungsi penawaran merupakan kuantitas produk yang ditawarkan sebagai fungsi dari harga produk dan harga faktor. Suatu fungsi penawaran dapat diturunkan dari fungsi keuntungan yang dimaksimumkan. Fungsi keuntungan akan maksimum jika memenuhi dua syarat yaitu syarat orde satu (first order condition) dan syarat orde dua (second order condition). Menurut syarat orde satu, fungsi keuntungan akan maksimum jika turunan pertama (first partial derivative) dari fungsi tersebut sama dengan nol, berarti nilai produk marjinal masing-masing faktor harus sama dengan harga masing-masing faktor yang digunakan. Sedangkan syarat orde dua terpenuhi jika turunan kedua dari fungsi tersebut lebih kecil dari nol, atau untuk kasus n-faktor adalah matrik Hessian-nya harus bernilai negative semidefinite atau principal minor determinan matrik Hessian-nya mempunyai tanda yang bergantian atau naturally ordered principal minor determinant berganti tanda (Hartono, 1999). Untuk menyederhanakan persoalan, dimisalkan bahwa pada tingkat teknologi tertentu, fungsi produksi pangan (beras) dapat dirumuskan sebagai berikut : Q = q (L,F, Z)....(3.2) dimana : Q = jumlah produksi pangan L = jumlah tenaga kerja F = jumlah pupuk yang digunakan Z = jumlah pemakaian faktor-faktor produksi lainnya

10 84 Jika diketahui bahwa harga faktor produksi tenaga kerja, pupuk dan faktorfaktor produksi lainnya masing-masing adalah P L, P F, P Z, maka persamaan biaya total dapat dirumuskan sebagai berikut : C = P L *L + P F *F + P Z *Z + C 0...(3.3) dimana C adalah biaya total dan C 0 adalah biaya tetap. Keuntungan adalah merupakan selisih antara penerimaan dan biaya-biaya. Dengan denikian fungsi keuntungan produksi pangan dapat dirumuskan sebagai berikut (Herderson dan Quandt, 1980) : π = P Q *Q C atau π = P Q *Q (L,F,Z) (P L *L + P F *F + P Z *Z + C 0 ).(3.4) dimana π adalah keuntungan dan P Q adalah harga pangan. Jika produsen pangan diasumsikan rasional, maka dia akan berproduksi pada tingkat yang memberikan keuntungan maksimum. Fungsi keuntungan (3.4) akan maksimum jika turunan pertama dari fungsi tersebut sama dengan nol dan turunan kedua lebih kecil dari nol. Turunan parsial pertama dari fungsi (3.4) terhadap variabel L, F, dan Z adalah : π / L = P Q *L P L = 0 atau P Q *L = P L (3.5) π / F = P Q *F P F = 0 atau P Q *F = P F.....(3.6) π / Z = P Q *Z P Z = 0 atau P Q *F = P Z....(3.7) dimana L, F, Z masing-masing adalah produk marjinal dari faktor-faktor tenaga kerja (L), pupuk (F), dan faktor-faktor lainnya (Z). Jadi dapat dilihat bahwa menurut syarat orde satu, keuntungan akan maksimum jika pada setiap tingkat produksi pangan, nilai produk marjinal masing-masing faktor sama dengan harga yang harus dibayar untuk memperoleh faktor-faktor tersebut.

11 85 Dari fungsi (3.5), (3.6), dan (3.7) diketahui bahwa faktor-faktor produksi (L,F,Z) merupakan peubah endogen, sedangkan harga pangan (P Q ) dan harga faktorfaktor (P L, P F,P Z ) merupakan peubah eksogen. Oleh karena itu, fungsi permintaan faktor dapat dirumuskan sebagai berikut : L D F D Z D = L (P Q, P L, P F, P Z )...(3.8) = F (P Q, P F, P L, P Z )...(3.9) = L (P Q, P Z, P L, P F )...(3.10) dimana L D, F D, dan Z D masing-masing merupakan permintaan akan faktor tenaga kerja, pupuk dan faktor-faktor lainnya. Dengan mensubstitusikan fungsi permintaan faktor (3.8), (3.9), dan (3.10) ke fungsi produksi (3.2), maka fungsi penawaran pangan dapat dirumuskan sebagai berikut : Q S = f (P Q, P L, P F, P Z )...(3.11) Jadi penawaran pangan merupakan fungsi dari harga pangan (P Q ) dan harga faktorfaktor produksi (P L, P F, P Z ). Akan tetapi penawaran suatu komoditi bukan hanya ditentukan oleh harga komoditi tersebut dan harga-harga faktor produksi. Beberapa peubah penting lain yang mempengaruhi penawaran komoditi adalah harga komoditi lain, kebijakan pemerintah, tingkat teknologi, pajak, subsidi, dan keadaan alam. Teori penawaran bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran. Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa adalah jumlah komoditi yang ditawarkan kepada konsumen pada suatu pasar dan pada tingkat harga serta waktu tertentu. Jumlah yang ditawarkan tidak selalu sama dengan jumlah komoditi yang benar-benar dijual oleh produsen. Jumlah yang ditawarkan menunjuk pada penjualan

12 86 yang terus-menerus yang disebut konsep flow. Jumlah barang yang ditawarkan pada suatu tahun tertentu tidak sama dengan jumlah barang yang diproduksi pada tahun tersebut. Sumber penawaran suatu komoditi terdiri dari stok barang yang disimpan pada waktu sebelumnya dan produksi pada waktu tertentu, yang keduanya mempengaruhi penawaran. Sehingga jumlah produk yang ditawarkan pada tahun tertentu sama dengan jumlah produksi pada tahun tersebut ditambah dengan jumlah stok produk tersebut pada tahun sebelumnya ( Handerson and Quandt, 1980) Teori Permintaan Pangan Permintaan suatu komoditi adalah jumlah komoditi yang dibeli konsumen dengan harga, tempat dan waktu tertentu. Permintaan akan komoditi tertentu dipengaruhi oleh banyak faktor secara simultan (Koutsoyiannis, 1977). Antara harga dan jumlah komoditi yang diminta atau yang ingin dibeli oleh konsumen, terdapat hubungan yang negatif, dalam arti jika harganya semakin tinggi maka jumlah komoditi yang diminta atau yang ingin dibeli akan semakin sedikit, dan demikian pula pada keadaan sebaliknya. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan suatu komoditi antara lain adalah : harga komoditi tersebut, harga komoditi substitusi, pendapatan konsumen, selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, kesejahteraan konsumen, kredit, dan kebijaksanaan pemerintah. Dalam pasar persaingan sempurna, perubahan harga komoditi ceteris paribus akan menyebabkan perubahan jumlah komoditi yang diminta atau terjadinya pergerakan (movement) sepanjang kurva permintaan. Sedangkan perubahan harga yang disebabkan faktor-faktor (selain harga komoditi tersebut) akan mengakibatkan kurva permintaan mengalami pergeseran (shift).

13 87 Pada hakekatnya permintaan konsumen terhadap suatu jenis barang mencerminkan posisi keseimbangan konsumsi yang telah mempertimbangkan berbagai tujuan untuk mencapai utilitas maksimum dengan jumlah anggaran belanja (pendapatan) yang tertentu. Seorang konsumen dikatakan berada dalam posisi keseimbangan apabila pendapatannya telah dialokasikan pada pembelian barangbarang yang memberikan utilitas maksimum. Dengan demikian titik tolak teori permintaan adalah fungsi utilitas dimana fungsi permintaan dapat diturunkan dari fungsi utilitas. Untuk menyederhanakan persoalan, dimisalkan fungsi utilitas seorang konsumen pangan (beras) adalah : U = U ( Q, Qs ).....(3.12) dimana : U Q Qs = total utilitas dari mengkonsumsi pangan (beras) = jumlah konsumsi pangan = jumlah konsumsi barang lain Bila harga beras adalah P Q dan harga barang lainnya adalah P S maka alokasi pendapatan tertentu (I 0 ) dari konsumen untuk kedua jenis barang tersebut adalah : I 0 = P Q * Q + P S * QS (3.13) Berdasarkan aksioma rasionalitas, konsumen akan berusaha untuk memaksimumkan Q dan Qs sedemikian rupa sehingga dengan pendapatan sebesar Io dia memperoleh utilitas maksimum. Dengan demikian pokok persoalannya adalah memaksimumkan fungsi Utilitas (3.12 dengan kendala pada persamaan (3.13). Jadi fungsi yang akan dimaksimumkan adalah : L = U (Q, Qs) + λ (I 0 P Q *Q P S *Qs) (3.14) Dimana λ adalah Lagrange Multiplier.

14 88 Fungsi (3.14) maksimum jika telah memenuhi kondisi syarat pertama untuk maksimum (first order condition for a maximum) yaitu dengan mencari turunan (derivative) pertama dengan menurunkan L terhadap variabel Q, Qs, dan λ. L/ Q = Q - λp*q Q = 0 atau λppq = Q (3.15) L/ Qs = Qs - S λpp = 0 atau λp S P = Qs (3.16) L/ λ = I 0 P Q *Q P S *Qs = 0 (3.17) Dengan menyelesaikan persamaan (3.15 dan (3.16) secara serentak diperoleh : λ = Q /P Q = Qs / P S (3.18) dimana Q dan Qs masing-masing adalah utilitas marjinal dari barang Q dan Qs. Persamaan (3.18) dikenal sebagai Equimarginal Principle dari teori pemaksimuman utilitas yang berarti konsumen akan berada pada posisi keseimbangan jika rasio antara utilitas marjinal dan harga masing-masing barang yang dikonsumsi adalah sama dan harus sama dengan utilitas marjinal pendapatan. Jadi fungsi permintaan terhadap suatu barang konsumsi, dalam hal ini adalah pangan (beras) dapat dirumuskan sebagai berikut : Q = f ( P Q, P S, I )....(3.19) dimana P Q, P S, I masing-masing adalah harga barang tersebut, harga barang substitusi, dan pendapatan konsumen ( Handerson and Quandt, 1980) Indikator Kemiskinan Kriteria kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria kemiskinan menurut BPS yang menggunakan standar kebutuhan dasar, batas kemiskinan adalah besarnya pengeluaran dalam rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan dasar berupa kebutuhan makanan sebesar 2100 kkal/ kapita/ hari dan kebutuhan non makanan lainnya. Indikator yang digunakan dalam mengukur

15 89 kemiskinan adalah jumlah penduduk atau proporsi penduduk yang pengeluaran atau pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan Indikator Ketahanan Pangan Ketahanan pangan dalam penelitian ini direfleksikan pada kondisi tercapainya ketahanan pangan sampai tingkat individu yang tercermin dari status gizi masyarakat yang diukur dengan prevalensi gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Untuk tercapainya ketahanan pangan pada tingkat mikro/ individu tersebut yang merupakan syarat kecukupan dari indikator ketahanan pangan maka perlu diketahui syarat keharusan dari kondisi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan secara agregat daerah yang diukur dengan produksi gabah dan beras daerah, rata-rata tingkat konsumsi beras, energi, protein daerah, juga perlu diketahui faktor daya beli yang dilihat dari pendapatan per kapita daerah, dan pendapatan sektor pertanian yang merupakan daya beli dari kelompok penduduk dengan jumlah penduduk miskin besar yang juga bertindak sebagai kelompok penduduk produsen bahan pangan Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Desentralisasi fiskal memberi implikasi pada pemerintah daerah berupa keleluasaan untuk mengatur penerimaan dan pengeluarannya sesuai dengan prioritas pembangunan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini pemerintah daerah diasumsikan lebih tahu dalam menggali potensi-potensi daerah untuk meningkatkan penerimaannya. Selain itu pemerintah daerah juga diasumsikan lebih bisa secara efisien dan efektif dalam membiayai pengeluarannya sesuai dengan prioritas pembangunan daerah yang telah ditetapkan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakatnya karena pemerintah daerah lebih dekat dengan rakyat.

16 90 Dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan terjadi melalui perubahan penerimaan daerah dan perubahan alokasi anggaran yang berpengaruh pada kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah yang arahnya dipengaruhi oleh prioritas pembangunan daerah melalui alokasi dana pembangunan daerah. Dana alokasi umum yang bersifat block grant akan memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan pengeluaran pembangunan pada sektor- sektor yang menjadi prioritas pembangunan daerah. Desentralisasi fiskal dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai kebebasan berinovasi dan berkreasi dari pemerintah daerah sebagai pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam mengoptimalkan perannya pada lingkup payung UU No 22 dan UU No 25 Tahun 1999 serta UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004 serta UU No 7 Tahun 1976 dalam mengelola anggaran belanja daerah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan di daerahnya. Ketahanan pangan yang merupakan suatu sistem dari beberapa subsistem, maka optimalisasi peran pemerintah sebagai pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam implementasi desentralisasi fiskal dilakukan pada semua subsistem dari sistem ketahanan pangan. Sehingga indikator ketahanan pangan pada penelitian ini diukur dari semua subsistem dari ketahanan pangan, yaitu mulai dari peningkatan produksi gabah dan beras yang memproksi ketersediaan pangan, pendapatan sektor pertanian dan pendapatan per kapita yang memproksi daya beli, rata-rata tingkat konsumsi beras, energi, dan protein yang memproksi tingkat akses pada pangan secara agregat sampai pada indikator akses pangan secara individu dengan melihat status gizi masyarakat yang diukur dengan prevalensi gizi kurang dan buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Kerangka pemikiran konseptual penelitian secara rinci tersaji pada Gambar 6.

17 91 UU No.22Thn 1999 UU No.25Thn 1999 dan UU No 32Th 2004 UU No 33 Th 2004 Fiskal Daerah : -Penerimaan : - PAD - DAU - Lainnya PDRB : -Pertanian -NonPertanian TENAGA KERJA -Pertanian -NonPertanian Produksi Pangan PDRB/KAPIT A PENDAPATAN PERTANIAN Pengeluaran Daerah: -Rutin -Pembangunan -.Pertanian - Infrastruktur - Pendidikan - Kesehatan - Lainnya Harga Pangan Konsumsi Pangan Ketahanan Pangan Kemiskinan Gambar 6. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian 3.3. Hipotesis Hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah desentralisasi fiskal berpengaruh pada kemiskinan dan ketahanan pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Dalam membangun model keterkaitan antar blok di dalam satu sistem persamaan simultan harus didasarkan pada hubungan sebab akibat yang didasarkan pada pemikiran logika dari fenomena yang terjadi dan teori ekonomi. Hipotesis minor yang menghubungkan keterkaitan antar blok dalam sistem persamaan penelitian adalah :

18 92 1. Pajak daerah dipengaruhi oleh kinerja perekonomian daerah dan kondisi kemiskinan daerah, akan berpengaruh pada kinerja fiskal daerah melalui PAD dan penerimaan daerah 2. Kinerja fiskal daerah berpengaruh pada kinerja perekonomian daerah melalui pembiayaan pada pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan ke sektor pertanian berpengaruh pada PDRB sektor pertanian, produksi pangan (beras) dan pendapatan sektor pertanian 3. Kinerja perekonomian daerah berpengaruh pada ketahanan pangan dan kondisi kemiskinan daerah melalui penyerapan tenaga kerja, peningkatan PDRB, produksi pangan (beras) 4. Kemiskinan daerah berpengaruh pada ketahanan pangan melalui daya beli, penduduk miskin adalah penduduk yang mempunyai daya beli rendah sehingga merupakan penduduk mempunyai resiko rawan pangan tinggi. 5. Kondisi kemiskinan dan ketahanan pangan daerah berpengaruh pada kinerja fiskal daerah melalui penerimaan pajak daerah Hipotesis secara keseluruhan dari model sistem persamaan dalam penelitian tercermin dari tanda parameter pada setiap persamaan struktural pada model penelitian.

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi,

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, III. KERANGKA TEORI Pasar jagung, pakan dan daging ayam ras di Indonesia dapat dilihat dari sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, keterkaitan ketiga pasar tersebut dapat

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. fungsi permintaan, persamaan simultan, elastisitas, dan surplus produsen.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. fungsi permintaan, persamaan simultan, elastisitas, dan surplus produsen. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Komponen utama pasar beras mencakup kegiatan produksi dan konsumsi. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan karena memiliki lebih dari satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS III. KERANGKA TEORITIS 3.. Penurunan Fungsi Produksi Pupuk Perilaku produsen pupuk adalah berusaha untuk memaksimumkan keuntungannya. Jika keuntungan produsen dinotasikan dengan π, total biaya (TC) terdiri

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Input-Output Integrasi ekonomi yang menyeluruh dan berkesinambungan di antar semua sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

ekonomi K-13 PENDAPATAN NASIONAL K e l a s A. KONSEP PENDAPATAN NASIONAL Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran

ekonomi K-13 PENDAPATAN NASIONAL K e l a s A. KONSEP PENDAPATAN NASIONAL Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran K-13 ekonomi K e l a s XI PENDAPATAN NASIONAL Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mampu memahami konsep pendapatan nasional, metode penghitungan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014 DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014 ISSN : No. Publikasi : Katalog BPS : Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : iii + 20 halaman Naskah: Penanggung Jawab Umum : Sindai M.O Sea, SE Penulis

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara III. KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas, menganalisis harga dan integrasi pasar spasial tidak terlepas dari kondisi permintaan, penawaran, dan berbagai kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal, merupakan salah satu pengeluaran investasi jangka panjang dalam kegiatan perekonomian.

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui permintaan agregat pada pasar barang, sedangkan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam era otonomi daerah yang sedang berjalan dewasa ini di Indonesia, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menjalankan pemerintahannya secara mandiri. Penyelenggaraan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 KATA PENGANTAR Buku Distribusi Pendapatan Penduduk Kota Palangka Raya Tahun 2013

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik analisis yang

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik analisis yang BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan indeks pembangunan manusia juga telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Permintaan Dan Kurva Permintaan Teori permintaan pada dasarnya merupakan perangkat analisis untuk melihat besaran jumlah barang atau jasa yang diminta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan Ekonomi Regional Pertumbuhan ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan di samping

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat memiliki 25 kabupaten/kota. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 10.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemiskinan Saat ini banyak terdapat cara pengukuran kemiskinan dengan standar yang berbedabeda. Ada dua kategori tingkat kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Lebih terperinci

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing Model Tabel Input-Output (I-O) Regional Tabel Input-Output (Tabel IO) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. banyak belum menjamin bahwa akan tersedia lapangan pekerjaan yang memadai

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. banyak belum menjamin bahwa akan tersedia lapangan pekerjaan yang memadai BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan faktor penting dalam proses pembangunan yakni sebagai penyedia tenaga kerja. Namun dengan kondisi tenaga kerja dalam jumlah banyak belum menjamin bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya pertumbuhan ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah satu usaha daerah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Input dan Output Produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Input dan Output Produksi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dasar 2.1.1 Distribusi Input dan Output Produksi Proses produksi adalah suatu proses yang dilakukan oleh dunia usaha untuk mengubah input menjadi output. Dunia usaha

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi

BAB V PENUTUP. Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi BAB V PENUTUP Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi fiskal secara umum terlihat sangat membebani neraca keuangan dan pembangunan Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii DAFTAR ISI PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... 2 1.3. Hubungan Antar Dokumen...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat, jumlah penduduk menentukan efisiensi perekonomian dan kualitas dari tenaga kerja itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

PERILAKU KONSUMEN. A. Pengertian Konsumen dan Perilaku Konsumen

PERILAKU KONSUMEN. A. Pengertian Konsumen dan Perilaku Konsumen PERILAKU KONSUMEN A. Pengertian Konsumen dan Perilaku Konsumen Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang dimiliki oleh

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 26 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis Penelitian 3.1.1 Model Ekonomi Rumahtangga Pertanian Pada umumnya rumahtangga pertanian di pedesaan mempunyai ciri semi komersial karena penguasaan skala

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah maupun

Lebih terperinci

PENDAPATAN NASIONAL. Model circular flow membagi perekonomian menjadi empat sektor:

PENDAPATAN NASIONAL. Model circular flow membagi perekonomian menjadi empat sektor: PENDAPATAN NASIONAL SIKLUS ALIRAN PENDAPATAN Siklus Aliran Pendapatan (Circular Flow) dan Interaksi Antarpasar 1. Siklus Aliran Pendapatan (Circular Flow) Siklus aliran pendapatan (circular flow) seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi ekonomi dan keberlanjutan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pertanian dan peternakan untuk mendapatkan keanekaragaman dan berkelanjutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pertanian dan peternakan untuk mendapatkan keanekaragaman dan berkelanjutan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Agroforestri adalah sistem manajemen sumberdaya alam yang bersifat dinamik dan berbasis ekologi, dengan upaya mengintegrasikan pepohonan dalam usaha pertanian dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,61 persen.

BAB I PENDAHULUAN. periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,61 persen. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian Indonesia pada tahun 2014 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 10 542,7 triliun dan PDB perkapita

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) LABUHAN BATU

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) LABUHAN BATU SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) LABUHAN BATU GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) Nama Mata Kuliah / Kode Mata Kuliah : PENGANTAR EKONOMI MIKRO / MKKK 203 3 SKS Deskripsi Singkat : Mata Kuliah Keahlian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Kewenangan Pemerintah Daerah menjadi sangat luas dan strategis setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 21 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Otonomi Daerah 2.1.1. Definisi Otonomi Daerah Secara filosofis otonomi daerah maksudnya adalah pemberdayaan dan intensifikasi sumber-sumber daya yang ada di daerah. Berdasarkan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 No. 19/05/31/Th. X, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2008 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sudah jelas bahwa masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang dimiliki

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 31/08/31/Th. X, 14 Agustus 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008 Secara total, perekonomian DKI Jakarta pada triwulan II tahun 2008 yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumber Agung Kecamatan Kemiling. Bandar Lampung pada bulan Januari sampai Februari 2015.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumber Agung Kecamatan Kemiling. Bandar Lampung pada bulan Januari sampai Februari 2015. 19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumber Agung Kecamatan Kemiling Bandar Lampung pada bulan Januari sampai Februari 2015. B. Objek dan Alat

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. materi tersebut disampaikan secara berurutan, sebagai berikut.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. materi tersebut disampaikan secara berurutan, sebagai berikut. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam bab landasan teori ini di bahas tentang teori Produk Domestik Regional Bruto, PDRB per kapita, pengeluaran pemerintah dan inflasi. Penyajian materi tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang terpadu merupakan segala bentuk upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi yang ditunjang oleh kegiatan non ekonomi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Beras sebagai komoditas pokok Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Posisi komoditas beras bagi sebagian besar penduduk Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

Cakupan Teori Ekonomi Makro, Output, Inflasi, Pengangguran, dan Variabel ekonomi Makro lainnya

Cakupan Teori Ekonomi Makro, Output, Inflasi, Pengangguran, dan Variabel ekonomi Makro lainnya Cakupan Teori Ekonomi Makro, Output, Inflasi, Pengangguran, dan Variabel ekonomi Makro lainnya 1. Mikroekonomi vs Makroekonomi Untuk dapat memahami ilmu makro ekonomi, sebaiknya kita mengenali terlebih

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat kepemilikan modal petani untuk

KERANGKA PEMIKIRAN. diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat kepemilikan modal petani untuk 43 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual yang dibangun pada penelitian ini didasari adanya anggapan bahwa rendahnya produktivitas yang dicapai petani tomat dan kentang diduga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti pertumbuhan pendapatan perkapita, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Konsep Dasar Ekonomi Rumahtangga Becker (1976), menganalisis keadaan ekonomi rumahtangga yang dalam penelitiannya tersebut menggunakan analisis simultan untuk melihat rumahtangga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar daerah, dimana perbedaan antar daerah merupakan konsekuensi logis dari perbedaan karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

BAB I PENDAHULUAN. ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional. Proses ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 27 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Kerangka Pemikiran Kebutuhan untuk menggunakan I-O Regional dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTT semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini ditujukkan melalui memperluas

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci