BAB II. Paradigma Sosiologi dan Pendekatan dalam Antropologi Ekologi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. Paradigma Sosiologi dan Pendekatan dalam Antropologi Ekologi"

Transkripsi

1 BAB II. Paradigma Sosiologi dan Pendekatan dalam Antropologi Ekologi Pokok Bahasan a. Paradigma Sosiologi dan Posisi Antropologi Ekologi Ilmu pengetahuan orang mencoba untuk melihat dan menjelaskan suatu fenomena sosial menggunakan alur dan logika berfikir berdasarkan suatu teori tertentu. Oleh karena setiap teori mempunyai asumsi dan pemahaman tertentu terhadap realitas sosial, maka masing-masing akan memberikan penjelasan dan pemahaman yang dapat berbeda terhadap fenomena sosial yang menjadi objek studinya, termasuk fenomena yang disebut masalah sosial. Asumsi, alur dan logika berfikir yang berbeda tersebut yang menyebabkan dalam studi masalah sosial kemudian dikenal ada beberapa perspektif yang bersumber dari teori tertentu (Soetomo, 2008). Dengan memahami berbagai perspektif tersebut, seseorang dapat mengetahui mengapa suatu realitas masalah sosial tertentu, sebut saja masalah kemiskinan sebagai contohnya dapat dijelaskan dengan cara berbeda, termasuk dalam melakukan identifikasi masalah, diagnosa dan treatment. Dalam penerapannya, sangat dimungkinkan seseorang secara konsisten menggunakan alur berfikir berdasarkan perspektif tertentu yang menjadi favoritnya untuk memahami dan menjelaskan masalah sosial. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan seseorang bersikap lentur terhadap berbagai perspektif tersebut. Dia tidak bersikap fanatik terhadap perspektif tertentu, akan tetapi mencoba menggunakan perspektif yang dianggap sesuai dalam memahami dan menjelaskan realita masalah sosial tertentu. Terlepas dari pilihan mana yang digunakan, dengan memehami keseluruhan perspektif tersebut seseorang akan dapat mengetahui alur berfikir dan penalaran orang lain dalam menjelaskan masalahnya, walaupun orang lain tersebut menggunakan perspektif yang berbeda dengan yang dianutnya. Oleh karena itu pemahaman tentang perspektif yang digunakan akan sangat membantu dalam menjalin komunikasi akademik. Seseorang akan sulit memahami penjelasan dan analisis yang dilakukan orang lain yang melakukan studi masalah sosial dengan perspektif tertentu, apabila membacanya dengan menggunakan perspektif yang berbeda. 1

2 Perspektif merupakan gambaran umum dari suatu subjek ilmu pengetahuan yang memberikan arah apa yang harus dikaji, pertanyaan apa yang harus digunakan, aturanaturan yang bagaimana yang harus diikuti untuk menginterpretasikan jawaban -jawaban yang telah diperoleh (Zamroni,.( 1992 Sedangkan paradigma merupakan seperangkat proposisi yang menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan secara umum dipersepsikan. Pengertian paradigma seringkali disetarakan dengan perspektif atau sudut pandang. Paradigma juga dimaknai sebagai ideologi dan praktek suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atau realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan ( 2006 (Salim, metode serupa Paradigma juga dimaknai sebagai ideologi dan praktek suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atau realitas, memiliki seperangkat kriteria yang ( 2006 (Salim, sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa Lebih lanjut, Salim (2006) menjelaskan bahwa sejak abad pencerahan terdapat empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuan yaitu : positivisme, post-positivisme, teori kritis dan konstruktivisme (interpretif). Perbedaan dari keempat perspektif atau paradigma tersebut dapat dilihat dari cara pandang masing-masing terhadap realitas dan cara yang ditempuh untuk mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan terutama dari aspek ontologis, epistemologis dan metodologis. Ada tiga paradigma besar dalam ilmu sosial (sosiologi) yaitu : paradigma fakta sosial.( interpretif ) paradigma definisi sosial,( positivist ) paradigma perilaku sosial,( positivist ) Paradigma fakta sosial berasumsi bahwa sosiologi harus mampu menjawab persoalan kemasyarakatan secara riil di lapangan. Untuk menyusun sebuah pengetahuan diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial harus diteliti dalam dunia nyata sebagaiman orang mencari barang. Sedangkan paradigma perilaku sosial bertumpu pada pandangan tentang perilaku manusia.( behaviour ) Objek sosiologi yang konkret adalah perilaku manusia yang nampak dan kemungkinan perulangannya. Paradigma ini memusatkan perhatian kepada hubungan antara individu dengan lingkungan. 2

3 Yang terakhir yaitu paradigma definisi sosial berasumsi bahwa sosiologi adalah ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretasi) tindakan sosial dan antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang memiliki makna bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain, sedangkan tindakan individu yang diarahkan ke benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan social. Tindakan individu ke benda mati bisa berubah menjadi tindakan sosial jika mendatangkan efek atau ekibat ke manusia lain, misalnya mengeruk tanah sehingga terjadi erosi, merusak hutan sehingga mendatangkan bencana banjir yang merugikan orang lain. Berdasarkan karakteristik dan prinsip dari ketiga paradigma tersebut, maka studi tentang antropologi ekologi lebih tepat jika menggunakan pendekataan kualitatif dengan fokus kajian pada kebudayaan masyarakat suku-suku di berbagai wilayah secara detail dan mendalam. Dalam perkembangannya, antropologi ekologi berupaya menggambarkan dan memahami hubungan antara budaya dan kebudayaan suatu masyarakat dengan berbagai aspek lain seperti ekonomi, politik, kesehatan, sumberdaya alam (hutan, air, tambang), geografi, arkeologi, dll. Antropologi secara umum berusaha melihat hal-hal yang spesifik dan unik di lapangan (mikro) terkait dengan budaya masyarakat untuk memperoleh pengetahuan atau pemahaman secara makro (induktif). Dalam konteks penelitian ilmiah, studi antropologi ekologi cenderung menggunakan kerangka epistemologi interpretif walaupun bisa juga berangkat dari epistemologi positivist. Studi ini lebih tepat menggunakan teori-teori dalam paradigma definisi sosial (interaksionisme simbolik, fenomenologi) seperti teori-teori tentang kebudayaan, perubahan kebudayaan, teori tentang masyarakat dan dinamikanya serta tata nilai yang ada padanya. Ketika studi ini dilakukan oleh para akademisi, maka direkomendasikan penggunaan metode-metode penelitian dalam kerangka pendekatan interpretif seperti studi kasus, fenomenologi, etnometodologi, etnografi, dan lain-lain. Hal ini memberikan implikasi dalam pengumpulan dan penggalian data lapangan yaitu lebih tepat untuk menggunakan cara yang sifatnya partisipatif, baik dalam hal observasi maupun wawancara (indepth interview). 3

4 b. Pendekatan dalam Studi Antropologi Ekologi Awal mula dari berbagai studi antropologi ekologi di masa kini sebenamya telah ditanam sejak tahun 1930-an oleh Julian H. Steward, ketika dia menerbitkan eseinya yang beijudul "The Economic and Social Basis of Primitive Bands'* di tahun Menurut Harris, dalam esei inilah pertama kali Steward membuat pernyataan yang utuh mengenai "bagaimana interaksi antara kebudayaan dan lingkungan dapat dianalisis dalam kerangka sebab-akibat (in causal terms), tanpa harus terpeleset ke dalam partikularisme" (1968 : 666). Posisi teoritis dan metodologis ini pada dasarnya tidak banyak berubah ketika Steward menjelaskan dengan lebih eksplisit soal hubungan antara lingkungan dan kebudayaan ini dalam bukunya Theory of Culture Change (1955). Dalam buku ini Steward menguraikan, mendefinisikan serta mengembangkan apa yang dia sebut sebagai "ekologi budaya" (cultural ecology). Perspektif ini, kata dia "differs from the relativistic and neo-evolutionis conceptions of culture history, in that it introduces the local environment as the extra cultural factor in the fruitless assumption that culture comes from culture" (1955 : 36). Namun, lingkungan lokal itu sendiri bagi Steward bukanlah faktor yang sangat menentukan (Ahimsa Putra, 1994). Lebih lanjut Ahimsa Putra (1994) menjelaskan bahwa menurut perspektif ekologi budaya unsur-unsur pokok adalah "pola-pola perilaku" (behavior patterns), yakni kerja (work) dan teknologi yang dipakai dalam proses pengolahan atau pemanfaatan lingkungan. Dengan demikian studi ekologi budaya pertama-tama adalah mengenai "the process of work, its organization, its cycles and rhythms and its situational modalities " (Murphy, 1970 : 155). Titik perhatiannya adalah pada analisis struktur sosial dan kebudayaan. Perhatian baru diarahkan pada lingkungan bilamana lingkungan mempengaruhi atau menetukan pola-pola tingkah-laku atau organisasi kerja. Tujuan umum ekologi budaya menurut Julian Steward adalah "untuk menjelaskan asalusul, ciri-ciri dan pola-pola budaya tertentu yang tampak di berbagai daerah yang berlainan" (1955 : 36). Lebih khusus lagi, cabang antropologi ini berusaha untuk menentukan apakah penyesuaian diri berbagai masyarakat manusia pada lingkungannya memerlukan bentuk-bentuk perilaku tertentu ataukah penyesuaian diri tersebut bersifat luwes, artinya masih memberikan ruang dan kemungkinan pada berbagai pola perilaku 4

5 lain yang mungkin diwujudkan. Steward yakin bahwa tujuan ini dapat dicapai dengan mempelajari relasi antara kebudayaan dan lingkungannya dalam kurun waktu tertentu. Ada tiga langkah dasar yang perlu diikuti dalam studi ekologi budaya ini, yakni (1) melakukan analisis atas hubungan antara lingkungan dan teknologi pemanfaatan dan produksi; (2) melakukan analisis atas "pola-pola perilaku dalam eksploitasi suatu kawasan tertentu yang menggunakan teknologi tertentu" dan (3) melakukan analisis atas "tingkat pengaruh dari pola-pola perilaku dalam pemanfaatan lingkungan terhadap aspek-aspek lain dari kebudayaan" (Steward, 1955 : 40-41). Selanjutnya Steward juga mengatakan bahwa beberapa sektor kebudayaan lebih erat kaitannya dengan pemanfaatan lingkungan daripada sektor-sektor yang lain. Perhatian utama, menurut dia, perlu diarahkan pada sektor-sektor yang penting ini, yang dia sebut sebagai "inti budaya" (cultural core). Dari sudut pandangan lingkungan hal ini berarti bahwa metodenya menuntut dilakukannya pemfokusan pada aspek-aspek lingkungan yang penting bagi adaptasi tertentu (Vayda and Rappaport, 1968 : 485), dan bukan pada keseluruhan lingkungan. Lewat perspektif ini bisa dikemukakan pertanyaan tentang bagaimana variabel-variabel tertentu, baik budaya maupun lingkungan, berinteraksi; bagaimana kerja mereka diatur dan sampai di mana tingkat kestabilan sistem yang terbentuk. Namun, seperti dikemukakan oleh Vayda dan Rappaport, jawaban atas berbagai per-tanyaan ini memang tidak dapat dikatakan sebagai penjelasan tentang asal-usul gejala sosial-budaya tertentu. Untuk menjawab persoalan ini Steward perlu menoleh ke studi silang-budaya (cross- cultural). Walaupun mengakui pentingnya sumbangan Steward dalam studi ekologi, Vayda dan Rappaport masih mempertanyakan metode dan kesimpulannya sebab Steward tidak mengikuti prosedur studi perbandingan cross-cultural yang ketat untuk menguji tingkat signifikansi korelasi-korelasinya. Prosedur pengambilan samplenya tidak cukup ketat untuk menutup kemungkinan adanya korelasi semu. Bahkan jika memang korelasi antara adaptasi dan unsur-unsur kebudayaan tertentu memang signifikan secara statistik, hal ini masih belum berarti bahwa hubungan sebab-akibat memang ada. Demikian pula, 5

6 jika dapat diperoleh bukti adanya korelasi yang signifikan serta ada hubungan sebabakibat, hal itu juga belum berarti bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam proses adaptasi tersebut, sebagaimana diyakini oleh Steward (Vayda dan Rappaport, 1968 : ). Mengingat berbagai kekurangan dalam teori dan metode Steward tersebut, Vayda dan Rappaport kemudian mengusulkan sebuah pendekatan lain untuk menelaah hubungan manusia dengan lingkungannya, suatu pendekatan yang menurut keyakinan mereka akan membawa kita pada "suatu ilmu ekologi yang memiliki hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku untuk manusia maupun untuk spesies yang lain" (1968 : 492). Bagi dua pakar antropologi ini, fakta bahwa fenomena manusia merupakan fenomena yang kompleks, bervariasi dan bersifat khas pada setiap populasi, tidaklah harus berarti bahwa prinsip- prinsip, konsep-konsep ataupun berbagai pendekatan yang digunakan oleh ilmuwan-ilmuwan lain tidak dapat atau tidak boleh dimanfaatkan oleh ahli antropologi. Jika diperhatikan kenyataan bahwa baik perilaku manusia maupun hewan berfungsi sebagai proses adaptasi mahluk terhadap lingkungannya dan kedua-duanya tunduk pada semacam seleksi, maka terbuka kemungkinan bagi kita untuk mempelajari keduanya dengan menggunakan satu kerangka teori tertentu. Atas dasar keyakinan inilah Vayda dan Rappaport, seperti halnya Simpson (1962), kemudian mengajak kita untuk memandang kebudayaan manusia sebagaimana kita memandang perilaku hewan. Kebudayaan harus diperlakukan dan ditafsirkan in the same way as the behavior or part of the behavior of any other species, for instance, in its adaptive aspects and consequent interaction with natural selection (1968 : 493). Dengan demikian perhatian perlu kita arahkan pada unit-unit analitis seperti misalnya populasi manusia, ekosistem dan komunitas biotik di mana populasi manusia tercakup di dalamnya, dan tidak lagi dipusatkan pada gejala-gejala budaya atau gejala yang bersifat ideologis. Pandangan ini telah memperoleh dukungan dan dipopulerkan oleh banyak ahli antropologi dan arkeologi (Baker, 1962; Helm, 1962). 6

7 Bilamana kita perhatikan berbagai studi antropologi ekologi di tahun 1960' an, yang dibangkitkan oleh ekologi budaya Julian Steward, kita dapat mengklasifikasikan berbagai studi ini paling tidak dalam empat aliran, yakni : pendekatan etnoekologi, pendekatan ekologi silang-budaya {cross-cultural ecological approach), pendekatan ekosistemik kultural, yang diwakili oleh buku Geertz Agricultural Involution (1963), dan pendekatan ekosistemi materialistik, seperti yang tampak dalam berbagai studi yang dilakukan oleh para ahli antropologi seperti Vayda (1961; 1967), Rappaport (1967; 1968; 1971), Harris (1966), Leeds (1965). Dua dari empat aliran ini; yaitu etnoekologi dan ekosistemik materialistik atau ekologi fungsional yang baru dari Vayda dan kawankawannya masih tetap populer hingga kini. Aliran etnoekologi dicetuskan oleh ahli antropologi dengan latar belakang linguistik yang kuat. Tujuan dan metode dari pendekatan ini banyak berasal dari etnosains (Ethnoscience) 0, dan pertama kali diperkenalkan oleh Conklin (1954) serta didukung oleh Frake, yang dalam sebuah simposium yang betjudul "Ecology and Anthropology" pada pertemuan AAAS di tahun 1960, membawakan paper berjudul "Cultural Ecology and Ethnography" (1962). Tujuan etnosains, seperti kita ketahui, adalah melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Asumsi dasarnya adalah bahwa lingkungan atau "lingkungan efektif' (effective environment) bersifat kultural sebab lingkungan "obyektif' yang sama dapat, dan pada umumnya "dilihat" atau "dip ah ami" (perceived) secara berlainan oleh masyarakat yang berbeda latar-belakang kebudayaanya. "Lingkungan budaya" (cultural environment), "ethnoenviron- menf\ atau "cognized environment" ini, dikodefikasi dalam bahasa. Oleh karenanya untuk memahami lingkungan ini kita harus mengungkapkan taksonomitaksonomi, klasifikasi-klasifikasi yang ada dalam istilah-istilah lokal, sebab dalam taksonotni dan klasifikasi inilah terkandung pernyataan-pernyataan atau ide-ide masyarakat yang kita teliti mengenai lingkungannya. Klasifikasi tentang lingkungan ini berisi berbagai informasi yang penting untuk mendapatkan etnoekologi masyarakat yang diteliti. Bilamana berbagai macam taksonomi, klasifikasi serta makna referensialnya ini telah dideskripsikan, langkah selanjutnya adalah memformulasikan 7

8 aturan-aturan perilaku terhadap lingkungan yang dianggap tepat oleh masyarakat yang kita teliti (Franke, 1962). Dengan pendekatan etnoekologi ini diharapkan kita akan mampu menebak perilaku orang dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan. Relevansi informasi semacam ini bagi studi mengenai lingkungan terletak dalam pendapat bahwa pandangan orang {people's cognition) mengenai lingkungan merupakan bagian dari mekanisme yang menghasilkan perilaku fisik yang nyata, lewat man a orang secara langsung menciptakan perubahan dalam lingkungan fisik mereka (Vayda and Rappaport, 1968 : 491). Sayangnya dalam praktek kebanyakan ahli antropologi hanya sampai pada tingkat pendeskripsian hirarki atau taksonomi ber-bagai istilah lokal dan tidak berusaha mengaitkan istilah- istilah ini dengan pola-pola perilaku. Kecenderungan ini juga telah membawa banyak ahli antropologi pada apa yang Vayda dan Rappaport sebut "ethnosystematics" dan bukannya etnoekologi, dan memperkecil arti pendekatan ini bagi studi antropologi ekologi. Selain itu etnoekologi juga tidak memiliki prosedur-prosedur yang dapat diterapkan secara universal pada etnosistematik untuk mendapatkan etnoekologi ataupun relasi-relasi yang nyata dalam suatu sistem ekologi (Vayda and Rappaport, 1968 : 491). Kelemahan lain dari pendekatan ini adalab ketidakmampuannya untuk memberikan berbagai informasi pada peneliti mengenai proses-proses ekologi dan relasi-relasi dalam lingkungan yang secara tidak disadari mempengaruhi manusianya. Dengan kata lain, pendekatan ini tidak memungkinkan seorang peneliti mengetahui "fungsi tersembunyi" (latent function) suatu gejala budaya, yang mungkin penting bagi pemahaman kita mengenai relasi-relasi manusia dengan lingkunganya. Pendekatan Ekologi Silang-Budaya tampak dalam studi yang dilakukan oleh Netting (1968; 1969) dan Goldschmidt et al (1965). Netting melakukan penelitiannya di kalangan orang Kofyar di Nigeria dari tahun 1960 hingga Dipengaruhi oleh ekologi budaya dari Julian Steward, penelitian ini ditujukan untuk melukiskan sistem 8

9 pertanian orang Kofyar yang dianggapnya unik dan sangat terintegrasi. Dia juga menganalisis saling hubungan antara sistem pertanian mereka dan latar-belakang sosialbudaya petaninya. Netting menyebut pendekatannya bersifat 'ekologi budaya", sebab unit yang dipelajarinya adalah "a culturally defined population of human beings" dan perhatiannya lebih diarahkan pada aspek budaya proses adaptasi orang Kofyar daripada terhadap aspek fisiknya. Walaupun Netting mengakui akan pentingnya aspek biologi dalam adaptasi manusia, dia beranggapan bahwa melakukan penalaran lewat analogi dari ilmu biologi merupakan suatu langkah yang berbahaya dalam ilmu sosial. Dalam usahanya untuk mempertajam pendekatan Steward, Netting memusatkan studinya pada satu suku-bangsa dalam suatu wilayah yang kecil dengan lingkungan alam yang relatif stabil, dan berbagai sarana produksi dari suku ini ditelaah dengan teliti. Untuk menunjukkan hubungan fungsional antar variabel digunakan berbagai metode antara lain analisis dan deskripsi sinkronis, per- bandingan silang-budaya, dan analisis sejarah. Sayangnya, dua metode yang terakhir tidak dilakukan dengan ketat, sehingga kita tidak menemukan jejak- jejak penajaman kerangka teori yang telah dikembangkan oleh Steward. Berkenaan dengan perbandingan silang-budaya, hanya data dari suku Ibo saja yang dipakai (1968; 1969). Dalam hal ini, studi yang dilakukan oleh Goldschmidt dan kawan-kawannya (1965) tampak lebih berbobot. Di awal tahun 60-an Walter Goldschmidt mengetuai sebuah proyek bernama "Kebudayaan dan Ekologi di Afrika Timur". Proyek ini disponsori oleh Universitas California, Los Angeles. Tujuannya adalah melakukan studi perbandingan yang terkontrol (controlled comparison) mengenai perbedaan dalam kebudayaan pada kelompok-kelompok dari empat macam suku-bangsa yang masing-masing mempunyai ciri: satu sektor dicurahkan terutama pada aktivitas-aktivitas penggembalaan dan sektor lain dicurahkan pada kegiatan- kegiatan pertanian (1965: 400). Orientasi teoritis proyek ini muncul dari usaha untuk menggabungkan teori struktural-fungsional dengan teori evolusi. Teori evolusi, di mata Goldschmidt, juga merupakan teori fungsional dalam arti bahwa "teori ini mengandung tesis fungsional yang paling dasar yaitu bahwa (1) pranata-pranata (institutions) dalam masyarakat merupakan mekanisme- mekanisme interaksi sosial yang berfungsi untuk berlangsungnya kehidupan masyarakat, dan (2) 9

10 semua bagian dalam sistem sosial harus merupakan suatu keseluruhan yang terintegrasi, sehingga perubahan-perubahan di satu bagian memerlukan penyesuaian-penyesuaian pada unsur-unsur yang lain" (1965: 402). Goldschmidt selanjutnya menambahkan bahwa teori fungsional memberikan prioritas pada aspek-aspek sosial-budaya tertentu di atas aspek-aspek yang lain, hal mana berarti bahwa beberapa unsur memiliki pengaruh-pengaruh yang langsung dan terus-menerus terhadap keseluruhan struktur masyarakat atau kebudayaan, sedang unsur-unsur yang lain bersifat pinggiran {peripheral); "aktivitas-aktivitas dalam bidang tertentu lebih dekat pada faktor-faktor eksternal tertentu seperti lingkungan, atau pada faktor-faktor internal tertentu seperti misalnya perubahan-perubahan teknis, dan karenanya lebih peka dan rapuh terhadap tekanan-tekanannya" (p. 402). Jejak-jejak konsepsi "inti budaya" tampak jelas di sini, dan usaha untuk menggabungkan teori fungsional dan evolusi juga mengingatkan kita pada evolusi multilinear dan ekologi budaya Julian Steward. Kerangka teoritis dan strategis penelitian yang diadopsi dalam penelitian ini tampak masih berada dalam tradisi ekologi budaya Julian Steward. Perbedaannya adalah bahwa proyek ini juga menelaah ciri-ciri sikap dan kepribadian dari masyarakat yang diteliti. Hasil studi yang dilakukan oleh Edgerton dalam proyek ini menunjukkan bahwa penyesuaian-penyesuaian ekonomi yang berlainan antar penggembala dan petani, yang dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang berbeda, memang telah menghasilkan nilainilai, sikap dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda pula (1965: 447). Aliran ketiga dalam antropologi ekologi adalah pendekatan ekosistem. Kerangka teori ekosistem ini mendapatkan modelnya dari ilmu biologi dan ekologi umum. Versi kultural dalam pendekatan ini diwakili oleh studi Clifford Geertz mengenai sistem pertanian dan perubahan ekologi di Indonesia (1963). Geertz meminjam konsep ekosistem dari ahli-ahli ekologi tumbuh-tumbuhan dan binatang, yang menggunakan istilah ekosistem untuk menunjuk setiap sistem yang berfungsi dan berinteraksi, yang terdiri dari satu atau lebih organisme dan lingkungan efektifnya. Dengan menggunakan konsep ini Geertz dapat menempatkan aktivitas manusia, transaksi-transaksi biologis dan proses- proses fisik dalam satu sistem analitik (1963: 3). 10

11 Namun demikian, agar tidak terjebak dalam rangkaian relasi yang tak terhingga, Geertz mendefinisikan ekosistem sebagai suatu sistem di mana variabel-variabel budaya, biologis dan fisik yang sudah dipilih memang betul-betul saling berkaitan. Prosedur ini mirip dengan pembedaan antara "inti budaya" dengan lingkungan yang relevan dalam ekologi budaya Julian Steward. Akan tetapi meskipun Geertz bersandar pada model ekologi, di mana si ahli antropologi menerapkan konsep-konsep ekologi pada masyarakat tersebut secara langsung dan menyeluruh dan masyarakat manusia hanya dilihat sebagai suatu gejala biotis sejajar dengan gejala biotis lainnya (1963: 5). Di sinilah terletak perbedaan pokok antara analisis ekosistemik dari Clifford Geertz dengan pendekatan ekosistem dari Vayda dan beberapa ahli antropologi lain yang oleh Orlove disebut "Aliran Columbia- Michigan" (1980). Aliran keempat dalam antropologi ekologi, yaitu versi yang materialistik dari analisis ekosistemik, adalah antropologi ekologi neo-fiingsional (neo-func- tional ecology). Untuk memahami perkembangan dan berbagai perdebatan dalam aliran ini kita perlu kembali ke sebuah simposium yang berjudul "Role of Animals in Human Ecological Adjustments" yang diselenggarakan dalam pertemuan tahunan AAAS yang ke 128 di Denver, Colorado, dalam bulan December Simposium ini, menurut pencetus idenya, Anthony Leeds dan Andrew P. Vayda, merupakan tindak lanjut dari penelitian mereka tentang peranan babi dalam ekonomi orang Melanesia. Penelitian ini telah membawa mereka pada kesadaran akan perlunya cara analisis baru, data baru serta informasi yang lebih banyak dari berbagai kawasan di dunia, mengenai penelitian-penelitian lain yang sejajar dengan tema simposium tersebut, yakni tentang hubungan manusia dengan binatang. Makalah yang masuk kemudian diseleksi berdasarkan atas beberapa kriteria - yakni pemanfaatan binatang- binatang tertentu serta berbagai produk yang dihasilkannya bagi suatu masyarakat tertentu, ciri-ciri binatang yang menjadi dasar cara pemanfaatan tersebut dan effek dari pemanfaatan tersebut terhadap pola-pola dan organisasi kebudayaan. Hasil dari simposium ini terbit dalam bentuk sebuah buku berjudul Man, Culture and Animals. Redaksi buku ini, yaitu Leeds dan Vayda, merasa yakin bahwa keteraturan-keteraturan yang tampak dalam peranan yang dimainkan oleh binatang dalam proses adaptasi manusia dengan lingungannya, 11

12 seperti ditunjukkan oleh paper-paper yang diterbitkan, dapat membawa para ahli ke perumusan hipotesa-hipotesa baru serta memperlihatkan manfaat analisis fungsional untuk menelaah "the operation of maintaining environmental variables at values conducive to the survival and expansion of human population" (Leeds and Vayda, 1965 : iii - iv). Kerangka teori yang digunakan di sini adalah seperti yang dianjurkan oleh Simpson (1962), yaitu penekanan yang lebih besar pada perilaku fisik yang nyata, lewat mana manusia secara langsung mempengaruhi dan mengubah lingkungannya. Dilihat dari perspektif ini kebudayaan manusia menjadi tidak lebih dari sekedar perilaku atau bagian dari perilaku suatu spesies primat tertentu. Kemampuan beberapa ahli untuk menggunakan pendekatan ini dalam analisis mereka membuat penyunting buku tersebut, terutama Vayda, merasa optimis dan berkata the prospects are promising for further development of a science of ecology with laws and principles that apply to man as they do to other species (1965 : iv). Kelemahan dari pendekatan ini sebenarnya telah dinyatakan oleh salah satu artikel dalam buku itu sendiri. Antikel ini, yang ditulis oleh Collins, adalah mengenai logika analisis fungsional yang digunakan para ahli antropologi dan geografi dalam mempelajari hubungan-hubungan antara manusia, kebudayaan dan binatang. Menurut Collins, logika penjelasan fungsional mereka memang dapat lepas dari kritikan Hempel yang menyatakan bahwa analisis fungsional tidak mampu menjelaskan asal-usul unsur kebudayaan tertentu. Sayangnya, hal ini berarti pula hilangnya dua kelebihan yang ada dalam pendekatan tersebut. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Vayda dan Rappaport, penggunaan pendekatan ekologi umum (general ecology) dalam antropologi akan dapat mengungkapkan tidak hanya cara bekerjanya atau berfungsinya unsur-unsur kebudayaan namun juga asal-usulnya dan kehadirannya (1968 : 496). Dengan hilangnya keuntungan kedua, hal itu berarti bahwa hanya berfungsinya unsur-unsur kebudayaan saja yang dapat disajikan oleh studi fungsional yang baru. Analisis fungsional, kata Collins, memang menjelaskan perilaku atau bekerjanya sistem-sistem tetapi bukan kehadiran atau keberadaan unsur-unsur kebudayaan (1965). Hal ini, bagi sebagian ahli 12

13 antropologi, ternyata bukan sesuatu yang luar biasa atau patut dikagumi, kalau bukan sesuatu yang sepele. Periode tahun 1970-an juga merupakan periode di mana ide mengenai antropologi ekologi baru dilontarkan. Mengingat Vayda adalah pelopor pendekatan ini, tidak ada salahnya untuk mengetahui sekelumit riwayat perkembangan karir dan berbagai karya Vayda setelah penelitiannya di Papua Nugini. Seperti bisa kita lihat pada berbagai tulisaunya di tahun 1960-an, pada masa itu Vayda lebih memperhatikan masalah bagaimana mekanisme-mekanisme budaya memberikan sumbangan pada terciptanya keseimbangan-keseimbangan antara populasi manusia dengan sumber-sumber daya mereka. Kerangka teori yang sesuai dengan minat ini tentu saja pendekatan fungsional atau sistemik, dimana asumsi equilibrium menjadi landasan bagi semua strategi penelitian dan perumusan masalah. Kemudian di tahun 1970-an, Vayda mulai lebih tertarik pada masalah ketimpangan dalam hubungan manusia dengan lingkungannya. Berbagai aktivitasnya sebagai pendiri dan penyunting jumal Human Ecology membawanya pada kontak yang lebih sering dengan para ahli dari berbagai disiplin dan dengan karya yang luas mengenai hubungan manusia dengan lingkungannya, baik dalam masyarakat modern maupun dalam kelompok-kelompok sosial yang lebih kecil, yang masih agak terisolir. Hal ini juga turut membelokkan minat dan isi karya-karyanya di kemudian hari. Didorong oleh keinginan untuk melakukan penelitian mengenai hubungan yang timpang dalam situasi dan suasana yang baru serta kesadaran bahwa program-program ekologi yang bersifat interdisipliner seperti yang ditawarkan oleh Cook College akan memberikan lebih banyak kesempatan untuk melakukan penelitian semacam itu daripada yang ada di universitas Columbia, Vayda kemudian pindah ke Cook College di Universitas Rutgers, New Jersey, pada tahun Tidak lama setelah itu perpindahan ini membuahkan hasilnya. Di tahun 1975, bersama dengan Bonnie McCay, salah seorang mahasiswinya dari universitas Columbia yang turut pindah ke Rutgers, Vayda menulis sebuah artikel mengenai arah-arah baru dalam ekologi dan antropologi ekologi di mana mereka juga memperkenalkan pendekatan antropologi ekologi yang baru. Benih dari pendekatan ini sebenarnya sudah terlihat dalam artikel Vayda mengenai peperangan (1974). Berbeda dengan karya-karya 13

14 sebelumnya (1961; 1968) yang difokuskan pada fungsi peperangan sebagai mekanisme penye- imbang dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya, artikel ini (1974) pertama-tama berusaha merumuskan generalisasi-generalisasi mengenai perang itu sendiri serta dinamika dalam sistem-sistem sosial dan ekologi. Untuk mencapai tujuan ini peperangan dipandang hanya sebagai salah satu dari se- jumlah proses adaptasi manusia terhadap kekacauan (perturbations) yang terjadi dalam lingkungannya. Di tengah-tengah makin gencarnya kritik analisis neo-fungsional dan munculnya kritik terhadap ekologi biologi atau ekologi umum, dari mana antropologi ekologi meminjam landasan-landasan teorinya, serta di tengah munculnya per- kembangan-perkembangan barn dalam berbagai disiplin lain yang dekat dengan antropologi ekologi, diperkenalkanlah antropologi ekologi yang baru oleh Vayda dan McCay. Dua ahli antropologi ekologi ini melihat adanya empat kelemahan dalam pendekatan neofungsional, yakni: (1) penekanan yang berlebihan pada faktor eneiji; (2) ketidakmampuannya menjelaskan gejala-gejala kultural; (3) keasyikannya dengan keseimbangan-keseimbangan yang statis {static equilibria), dan (4) ketidak-jelasannya mengenai unit analisis yang tepat. Dalam analisis biologi penekanan pada efisiensi penangkapan enerji hanya bermanfaat dalam suatu situasi di mana enerji merupakan faktor yang menentukan. Jika tidak, maka penelitian harus diarahkan pada masalah-masalah yang mengancam kehidupan organisme atau pada hal-hal yang dianggap oleh orang yang diteliti sebagai masalah (Vayda dan McCay, 1975 : 296). Para ahli ekologi- pun mulai menyadari bahwa modelmodel dalam analisis sistem tidak dapat menjelaskan proses-proses biologis. Karena kekhususan-kekhususan serta "opportunism" yang ada dalam proses evolusi, modelmodel tersebut tidak dapat misalnya menebak strategi apa yang diambil oleh suatu organisme dalam me- nanggapi masalah-masalah lingkungan yang dihadapi. Pandangan yang berpusat pada soal keseimbangan (equilibrium centered) yang dianut oleh para ahli ekologi juga telah dikritik karena ketidakmampuannya untuk menangani masalahmasalah kontemporer seperti pengotoran, kepunahan berbagai spesies flora dan fauna, pertambahan penduduk. 14

15 Berkenaan dengan unit analisis, beberapa ahli ekologi menolak pandangan bahwa ekosistem merupakan suatu sistem yang mengatur dan menentukan dirinya sendiri dengan tujuan-tujuan seperti meningkatkan efisiensi enerji atau produktivitas, efisiensi daur-ulang bahan gizi, biomas dsb. Oleh karena ekosistem hanyalah suatu unit analisis, dan bukan merupakan suatu jasad biologis yang betul-betul ada (biological entity), para ahli biologi kemudian mulai me- mandang seleksi alam sebagai proses yang bekerja pada individu-individu yang hidup, dan bukan pada suatu ekosistem (Vayda dan McCay, 1975 : 1299). Melihat berbagai kritik dalam biologi dan ekologi, kemiripannya dengan berbagai kecaman terhadap penjelasan neo-fungsional dalam antropologi ekologi, serta perkembangan baru dalam berbagai disiplin yang terkait, seperti geografi dan ilmu kedokteran, Vayda dan McCay kemudian mengusulkan sebuah perspektif baru bagi antropologi ekologi, yang lebih memusatkan perhatian pada masalah-masalah lingkungan dan berbagai tanggapan atau respons yang diwujudkan untuk menghadapi masalah-masalah tersebut. Hasil Pembelajaran Mampu memahami dan menjelaskan : (1) Paradigma definisi sosial dan posisi antropologi ekologi (2) Pendekatan dalam antropologi ekologi dan contoh penerapan pendekatan tersebut dalam membaca kasus di kehutanan Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Diskusi dan menjawab kuis Kuis dan latihan (1) Jelaskan pentingnya paradigma dalam melakukan analisis sosial kehutanan! (2) Terangkan beberapa pendekatan dalam antropologi ekologi dan berikan contoh kasus di kehutanan yang dapat dianalisis dengan pendekatan tersebut! 15

16 DAFTAR PUSTAKA Ahimsa Putra H.S Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Awang S.A Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta Djuwadi Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta Djuwadi & Fanani Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta Dove. M.R Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat. Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta Field, John Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hasbullah, J., Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR- United Press. Jakarta. Leibo J., Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta Kartasasmita, G Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta. Keraf S Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta. Koentjaraningrat Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta Lobja E Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press. Yogyakarta Mubyarto Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Aditya Media. Yogyakarta Nugraha A. & Murtijo Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten Nur A Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat. FKT UGM. Yogyakarta Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development, Volume 29, No. 2, UK Qowi M.R Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM Yogyakarta 16

17 Raharjo Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Salim P., Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta Soekanto S Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers Jakarta Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Soetomo Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan Tipologi. Artikel Wibisono H Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta Widiyanto E Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta Yuntari D Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta 17

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik Pokok Bahasan Pada umumnya, dalam dunia ilmu pengetahuan orang mencoba untuk melihat dan menjelaskan suatu fenomena sosial menggunakan alur dan logika

Lebih terperinci

BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI

BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI TINJAUAN MATA KULIAH Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah Antropologi Ekologi (KTM 3229) merupakan mata kuliah pilihan bebas Minat Manajemen Hutan di Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

BAB III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi

BAB III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi . BAB III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi Pokok Bahasan a. Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi 1. Fase Pertama (Sebelum 1800) Kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia, dan Amerika

Lebih terperinci

BAB X. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

BAB X. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan . BAB X. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pokok Bahasan a. Definisi Kata arif dalam kearifan menurut kamus umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka diartikan sebagai bijaksana atau

Lebih terperinci

BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat

BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat . BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat Pokok Bahasan a. Hak Ulayat Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV. Masyarakat Desa dan Dinamikanya

BAB IV. Masyarakat Desa dan Dinamikanya . BAB IV. Masyarakat Desa dan Dinamikanya Pokok Bahasan Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN SOSIAL TALCOT PARSONS. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti

BAB II PERUBAHAN SOSIAL TALCOT PARSONS. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti BAB II PERUBAHAN SOSIAL TALCOT PARSONS A. Teori Fungsionalisme Struktural AGIL Setiap manusia selama hidup pasti mengalami perubahanperubahan. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti

Lebih terperinci

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN Modul ke: 14Fakultas Dr. PSIKOLOGI SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN BAB XIII Metode Penelitian KUALITATIF Antonius Dieben Robinson Manurung, MSi Program Studi PSIKOLOGI Menurut Banister, dkk (1994) penelitian

Lebih terperinci

Dampak Perubahan Sosial Budaya

Dampak Perubahan Sosial Budaya Dampak Perubahan Sosial Budaya Terhadap Kesehatan dr.taufik Suryadi,SpF (abiforensa@yahoo.com) Ahli Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Lulusan FK USU Lulusan Program Bioetika, Hukum Kedokteran dan HAM

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI 189 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI A. Simpulan Umum Kampung Kuta yang berada di wilayah Kabupaten Ciamis, merupakan komunitas masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisi nenek

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Pola Asuh Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (dalam Isni Agustiawati, 2014), kata pola berarti model,

Lebih terperinci

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana. Ph.D a.wardana@uny.ac.id Overview Perkuliahan Konstruksi Teori Sosiologi Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Pengetahun

Lebih terperinci

Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman.

Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman. Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman. 1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan deep ecology? 2. Bagaimana menerapkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari? 3. Apa peran pemerintah dalam konsep

Lebih terperinci

Fondasi Utama Ilmu Pengetahuan

Fondasi Utama Ilmu Pengetahuan Kuliah 3: Paradigma, Teori & Unsur Penelitian Sosial MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL (KPM 398) Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB XI TEORI-TEORI PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA

BAB XI TEORI-TEORI PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA BAB XI TEORI-TEORI PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA 11.1 Pengantar Pada dasarnya setiap ilmu pngetahuan tediri dari dua bagian penting, yaitu teoritik dan empirik. Teoritik menunjuk pada skema konseptual, seperti

Lebih terperinci

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian Penelitian tentang karakteristik organisasi petani dalam tesis ini sebelumnya telah didahului oleh penelitian untuk menentukan klasifikasi organisasi petani yang ada

Lebih terperinci

Kuliah 3 KPM 398-MPS

Kuliah 3 KPM 398-MPS Kuliah 3 KPM 398-MPS 1 Walter Wallace (1971) The Wheel of Science 2 Paradigma adalah sudut pandang atau cara memandang suatu realita atau fenomena. Sementara teori dimaksudkan untuk menjelaskan sesuatu

Lebih terperinci

TEORI DAN METODOLOGI

TEORI DAN METODOLOGI TEORI DAN METODOLOGI MEMBANGUN PARADIGMA DALAM TEORI SOSIOLOGI 3 PARADIGMA FAKTA SOSIAL DEFINISI SOSIAL PERILAKU SOSIAL Sudut pandang sistem sosial sebagai keseluruhan Sudut pandang struktur sosial Tindakan

Lebih terperinci

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak P A R A D I G M A (Penelitian Sosial) I Paradigma Merton universalisme, komunalisme, pasang jarak/ tanpa keterlibatan emosional, skeptisisme

Lebih terperinci

PERTEMUAN 3 PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI MATA KULIAH ANTROPOLOGI BUDAYA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

PERTEMUAN 3 PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI MATA KULIAH ANTROPOLOGI BUDAYA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA PERTEMUAN 3 PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI MATA KULIAH ANTROPOLOGI BUDAYA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA Perkembangan Antropologi A. Sejarah Antropologi Sebagai Ilmu B. Ruang Lingkup Antropologi:

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

Selayang Pandang Penelitian Kualitatif

Selayang Pandang Penelitian Kualitatif Selayang Pandang Penelitian Kualitatif Mudjia Rahardjo repository.uin-malang.ac.id/2412 Selayang Pandang Penelitian Kualitatif Mudjia Rahardjo Setelah sebelumnya dipaparkan sejarah ringkas penelitian kuantitatif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

Apa itu Penelitian Kualitatif???

Apa itu Penelitian Kualitatif??? Apa itu Penelitian Kualitatif??? Definisi Jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss & Corbin, 1990) Penelitian kualitatif:

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI FEM3313

SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI FEM3313 SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI FEM3313 PENGENALAN TEORI ILMU SOSIAL MODEN KULIAH MINGGU 2 MEMAHAMI MAKSUD TEORI/PERSPEKTIF Kerja-kerja ahli sosiologi dan antropologi sosial adalah diasaskan dan dipandu oleh

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

LANDASAN TEORI KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS LANDASAN TEORI KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN Yang diampu oleh Bpk. Gusnar Mustapa, S.E., M.M. Disusun oleh Kelompok III: EVI ARISTA

Lebih terperinci

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF. By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc.

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF. By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc. PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc. Paradigma dalam Penelitian Kualitatif Paradigma Interpretif Paradigma Konstruktivisme Paradigma Kritis Paradigma Positivis Positivisme dibidani

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Penelitian

A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum,dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian ini dikenal dengan istilah shifting cultivation yang sudah lama dikenal

BAB I PENDAHULUAN. pertanian ini dikenal dengan istilah shifting cultivation yang sudah lama dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perladangan adalah salah satu sistem pertanian lahan kering. Sistem pertanian ini dikenal dengan istilah shifting cultivation yang sudah lama dikenal dalam dunia ilmu

Lebih terperinci

PANDANGAN HIDUP SISTEM

PANDANGAN HIDUP SISTEM PANDANGAN HIDUP SISTEM SEPERTI APA REALITAS YANG EKOLOGIS? Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi FE UPN Veteran Jatim) Pemahaman Hidup Sistem Visi atau pandangan hidup akan realitas

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LINGKUNGAN BINAAN (PS ALB)

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LINGKUNGAN BINAAN (PS ALB) PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LINGKUNGAN BINAAN (PS ALB) VISI Program Magister Arsitektur Lingkungan Binaan adalah menjadikan pusat pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang arsitektur

Lebih terperinci

Paket 1 PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, DAN TUJUAN IPS

Paket 1 PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, DAN TUJUAN IPS Paket 1 PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, DAN TUJUAN IPS Pendahuluan Paket ini difokuskan pada pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), ruang lingkup IPS, dan tujuan pembelajaran IPS. Paket ini merupakan paket

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan usaha sadar untuk membekali warga negara agar menjadi warga negara yang memiliki kecerdasan dan kepribadian yang baik. Hal tersebut sesuai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati

BAB III METODE PENELITIAN. untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam sebuah penelitian ilmiah dikenal dengan istilah metode penelitian. Metode diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

individu masyarakat kebudayaan

individu masyarakat kebudayaan individu masyarakat kebudayaan Manusia (individu-individu) yang hidup bersama Melakukan interaksi sosial dalam waktu yang cukup lama Mereka menyadari sebagai suatu kesatuan Mereka merupakan sustu sistem

Lebih terperinci

TAHAP-TAHAP PENELITIAN

TAHAP-TAHAP PENELITIAN TAHAP-TAHAP PENELITIAN Tiga tahap utama penelitian yaitu: tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap penulisan laporan. A. TAHAP PERENCANAAN 1. Pemilihan masalah, dengan kriteria: Merupakan tajuk penting,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan gambar, kata-kata disusun dalam kalimat, misalnya kalimat hasil

BAB III METODE PENELITIAN. dan gambar, kata-kata disusun dalam kalimat, misalnya kalimat hasil 49 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Dan Pendekatan Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian diskriptitf kualitatif yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan

Lebih terperinci

METODE MENAFSIR DATA KUALITATIF

METODE MENAFSIR DATA KUALITATIF METODE MENAFSIR DATA KUALITATIF Oleh: Mahrus Aryadi Makalah dipresentasikan pada Semiloka Penelitian dan Penulisan Tesis pada Program Magister Sains Administrasi Pembangunan Pascasarjana Universitas Lambung

Lebih terperinci

Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial

Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Filsafat Ilmu Sosial 1 Positivistik (Value free) Fenomenologi (Value Bound) Perbedaan Paradigma dalam Sosiologi 2 3 Ilmu-ilmu sosial (seperti Sosiologi) telah

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

Oleh : Kian Amboro, S.Pd., M.Pd. Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Metro

Oleh : Kian Amboro, S.Pd., M.Pd. Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Metro Oleh : Kian Amboro, S.Pd., M.Pd. Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Metro 0823 7373 8962 PENGENALAN ILMU SOSIAL DASAR Pengantar ISD Sumber dari semua ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR

PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR Oleh: FIERDA FINANCYANA L2D 001 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

Untuk: Istriku Wati J. Iskandar dan Putra-Putraku: Oktarian, Septabian dan Oktabrian tercinta

Untuk: Istriku Wati J. Iskandar dan Putra-Putraku: Oktarian, Septabian dan Oktabrian tercinta Manusia dan Lingkungan dengan Berbagai Perubahannya, oleh Johan Iskandar Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-4462135; 0274-882262; Fax: 0274-4462136 E-mail:

Lebih terperinci

Memahami (Sekali Lagi) Grounded Research

Memahami (Sekali Lagi) Grounded Research Memahami (Sekali Lagi) Grounded Research Makalah disajikan pada Materi Kuliah Metodelogi Penelitian Sekolah Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si Guru Besar Bidang

Lebih terperinci

EVOLUSI, BUDAYA, TINGKAH LAKU, & RESPON SOSIAL. Psikologi Sosial II Budaya (Pertemuan 7)

EVOLUSI, BUDAYA, TINGKAH LAKU, & RESPON SOSIAL. Psikologi Sosial II Budaya (Pertemuan 7) EVOLUSI, BUDAYA, TINGKAH LAKU, & RESPON SOSIAL Psikologi Sosial II Budaya (Pertemuan 7) Evolutionary psychology A theoretical approach to psychology that attempts to explain mental and psychological traits

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Belajar Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Alam adalah suatu dunia yang berbeda terpisah dari dirinya sendiri dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Alam adalah suatu dunia yang berbeda terpisah dari dirinya sendiri dan dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Alam adalah suatu dunia yang berbeda terpisah dari dirinya sendiri dan dapat dipelajari dengan cara yang berjarak dan ilmiah. Keberadaannya mendahului

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seseorang akan mampu menilai banyak hal mengenai budaya seperti gaya hidup,

BAB I PENDAHULUAN. seseorang akan mampu menilai banyak hal mengenai budaya seperti gaya hidup, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arsitektur merupakan produk budaya yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Permukiman, perkotaan dan lansekap suatu daerah terbentuk sebagai hasil dari sistem kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata pelajaran IPA merupakan mata pelajaran yang mengkaji fenomena alam ditinjau dengan berbagai sudut bidang kelimuan yaitu fisika, kimia, biologi, dan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI Oleh NIM : Boni Andika : 10/296364/SP/23830 Tulisan ini berbentuk critical review dari Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi

Lebih terperinci

Tinjauan Ilmu Penyuluhan dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Tinjauan Ilmu Penyuluhan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Tinjauan Ilmu Penyuluhan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Oleh : Agustina Abdullah *) Arti dan Pentingnya Filsafat Ilmu Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara benar dan salah,

Lebih terperinci

MASALAH SOSIAL BUDAYA DITINJAU DALAM BERBAGAI NUR ENDAH JANUARTI, MA

MASALAH SOSIAL BUDAYA DITINJAU DALAM BERBAGAI NUR ENDAH JANUARTI, MA MASALAH SOSIAL BUDAYA DITINJAU DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF NUR ENDAH JANUARTI, MA TUJUAN PEMBELAJARAN : Mahasiswa mampu memahami masalah sosial budaya dalam berbagai perspektif Mahasiswa mampu menganalisa

Lebih terperinci

RESUME KELOMPOK ANTROPOLOGI. Resume ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pengetahuan Sosial 1

RESUME KELOMPOK ANTROPOLOGI. Resume ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pengetahuan Sosial 1 RESUME KELOMPOK ANTROPOLOGI Resume ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pengetahuan Sosial 1 Dosen Pengampu: Ahmad Agung Yuwono Putro, M.Pd. DISUSUN OLEH: NOVI TRISNA ANGGRAYNI (14144600199)

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU Modul ke: PANCASILA PANCASILA SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU Fakultas FEB FASILKOM Matsani, S.E, M.M Program Studi MANAJEMEN SISTEM INFORMASI www.mercubuana.ac.id Pengembangan ilmu selalu dihadapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau the study of the group behavior of human beings (Calhoun dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau the study of the group behavior of human beings (Calhoun dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang bersumber dari kehidupan sosial masyarakat yang diseleksi dengan menggunakan konsepkonsep ilmu sosial yang

Lebih terperinci

PRADIGMA PENELITIAN SOSIAL. Bahan Kuliah 1. Universitas Andalas

PRADIGMA PENELITIAN SOSIAL. Bahan Kuliah 1. Universitas Andalas PRADIGMA PENELITIAN SOSIAL Bahan Kuliah 1 Universitas Andalas Pradigma Penelitian Sosial Pradigma Menurut Thomas Khun merupakan Kerangka referensi yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan teori Menurut

Lebih terperinci

ETNOGRAFI KESEHATAN 1

ETNOGRAFI KESEHATAN 1 ETNOGRAFI KESEHATAN 1 oleh: Nurcahyo Tri Arianto 2 Pengertian Etnografi Etnografi atau ethnography, dalam bahasa Latin: etnos berarti bangsa, dan grafein yang berarti melukis atau menggambar; sehingga

Lebih terperinci

BAB XI. Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan

BAB XI. Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan . BAB XI. Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan Pokok bahasan a. Definisi dan Dimensi Modal Sosial Dimensi modal sosial mencakup kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah

Lebih terperinci

Ringkasan Artikel Social Paradigm and Organizational Analysis Chapter 1-3

Ringkasan Artikel Social Paradigm and Organizational Analysis Chapter 1-3 Ringkasan Artikel Social Paradigm and Organizational Analysis Chapter 1-3 Penulis : Gibson Burrel & Gareth Morgan Heinemann, London, 1979. Peringkas : M. Eka Suryana - 1203000641 Keyword : Assumptions,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Pendekatan dan Tipe Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Pendekatan dan Tipe Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan 44 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Tipe Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Moleong (2009) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur

Lebih terperinci

Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Metro

Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Metro Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Metro Dyson, L. 1999. Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Bina Ilmu. Habib Mustopo, M. 1983. Ilmu Budaya Dasar. Surabaya. Usaha Nasional. Hartoko,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dalam mempertahankan hidupnya. Hal ini terbukti dari salah satu seni di

BAB I PENDAHULUAN. di dalam mempertahankan hidupnya. Hal ini terbukti dari salah satu seni di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam situasi dunia seperti ini dimana banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan pesat membuat masyarakat semakin semangat di dalam melakukan

Lebih terperinci

Penelitian di Bidang Manajemen

Penelitian di Bidang Manajemen Penelitian di Bidang Manajemen Frans Mardi Hartanto Fmhartanto@gmail.com Bandung Manajemen - Ilmu Hibrida yang Multidisipliner 1 Ilmu manajemen adalah hasil perpaduan dari berbagai ilmu yang berbeda namun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Invaliditas aplikasi..., Bio In God Bless, FIB UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Invaliditas aplikasi..., Bio In God Bless, FIB UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sains bersifat naturalistis juga bersifat empiristis. Dikatakan bersifat naturalistis dalam arti penjelasannya terhadap fenomena-fenomena alam selalu berada dalam wilayah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. serta hasil yang akan dicapai berdasarkan pada fenomenologis

III. METODE PENELITIAN. serta hasil yang akan dicapai berdasarkan pada fenomenologis III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, karena ditinjau dari sudut cara dan taraf pembahasan masalahnya serta hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN Kapita Selekta Ilmu Sosial Sistem Sosial

MODUL PERKULIAHAN Kapita Selekta Ilmu Sosial Sistem Sosial MODUL PERKULIAHAN Sistem Sosial FAKULTAS Bidang Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh ILMU KOMUNIKASI Public relations/ Yuni Tresnawati,S.Sos., M.Ikom. Humas 2 Abstract Dalam pokok bahasan ini adalah memperkenalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara pertanian, dimana pertanian memegang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara pertanian, dimana pertanian memegang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara pertanian, dimana pertanian memegang peranan penting bagi keseluruhan perekonomian Nasional. Hal ini, dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bungin menyebutkan sasaran pendekatan kualitatif adalah pola-pola yang berlaku sebagai prinsipprinsip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara. global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara. global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kebudayaan dan Kesenian. 1. Kebudayaan sebagai proses pembangunan Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan mendeskripsikan bahwa

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu benda budaya yang dapat ditinjau dan ditelaah dari berbagai sudut. Teks-teks sastra bersifat multitafsir atau multiinterpretasi. Isi,

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

MATERI 1. Pendahuluan. I. Ruang Lingkup MSDA Kema hubungan antara sistem ekonomi dan sistem lingkungan (Tietenberg, 1992)

MATERI 1. Pendahuluan. I. Ruang Lingkup MSDA Kema hubungan antara sistem ekonomi dan sistem lingkungan (Tietenberg, 1992) MATERI 1 Pendahuluan I. Ruang Lingkup MSDA Kema hubungan antara sistem ekonomi dan sistem lingkungan (Tietenberg, 1992) Sistem Ekonomi Luaran perusahaan Rumahtangga a Masukan Produksi Konsumsi Sistem pendukung

Lebih terperinci

BAB II PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING KAITANYA DENGAN PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA

BAB II PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING KAITANYA DENGAN PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA 7 BAB II PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING KAITANYA DENGAN PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA A. Teori Belajar Dan Prestasi Belajar 1. Teori Belajar Menurut Gagne (Dahar, 1996: 11) Belajar dapat didefinisikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe atau jenis penelitian ini adalah penelitian interpretif dengan pendekatan kualitatif. Paradigma merupakan sebuah konstruksi manusia yaitu gagasan

Lebih terperinci

VII. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN

VII. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN VII. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN Langkah penelitian adalah serangkaian proses penelitian dimana seorang peneliti dari awal yaitu merasa menghadapi masalah, berupaya untuk memecahkan masalah, memecahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi tahun 1980an telah berdampak pada tumbuhnya

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi tahun 1980an telah berdampak pada tumbuhnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi tahun 1980an telah berdampak pada tumbuhnya industri-industri besar maupun kecil di Indonesia. Pembangunan sektor-sektor industri ini muncul sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendididikan dasar dan menengah, Geografi merupakan cabang

Lebih terperinci

BAB III. Metodologi Penelitian

BAB III. Metodologi Penelitian BAB III Metodologi Penelitian 3. 1 Paradigma dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih paradigma konstruktivisme sebagai landasan filosofis untuk memahami realitas sosial di masyarakat.

Lebih terperinci

2.2 Aktivitas Belajar dengan Menggunakan Media Gambar. Aktivitas belajar menggunakan media gambar merupakan kegiatan, kesibukan,

2.2 Aktivitas Belajar dengan Menggunakan Media Gambar. Aktivitas belajar menggunakan media gambar merupakan kegiatan, kesibukan, 6 2.2 Aktivitas Belajar dengan Menggunakan Media Gambar Aktivitas belajar menggunakan media gambar merupakan kegiatan, kesibukan, keaktifan atau suatu kegiatan belajar yang dilaksanakan di tiap bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sains berasal dari natural science atau science saja yang sering disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sains berasal dari natural science atau science saja yang sering disebut 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Generik Sains Sains berasal dari natural science atau science saja yang sering disebut dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Sains meliputi Kimia, Biologi, Fisika, dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Boyolali Provinsi Jawa Tengah. Alasan pemilihan lokasi atau tempat penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Boyolali Provinsi Jawa Tengah. Alasan pemilihan lokasi atau tempat penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tlogolele Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah. Alasan pemilihan lokasi atau tempat penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB I Pengantar PLSBT. Dosen : Elly M. Setiadi

BAB I Pengantar PLSBT. Dosen : Elly M. Setiadi BAB I Pengantar PLSBT Dosen : Elly M. Setiadi BAB I Pengantar Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi (PLSBT) Bab ini memberikan dasar pemahaman tentang latar belakang lahirnya PLSBT, ruang lingkup

Lebih terperinci

Paradigma dalam Penelitian Kualitatif (Pertemuan Ke-7) Oleh : Dr. Heris Hendriana,M.Pd

Paradigma dalam Penelitian Kualitatif (Pertemuan Ke-7) Oleh : Dr. Heris Hendriana,M.Pd Paradigma dalam Penelitian Kualitatif (Pertemuan Ke-7) Oleh : Dr. Heris Hendriana,M.Pd Kesulitan mahasiswa 1. Tidak menguasai (ia baru merasa adanya) persoalan yang akan diteliti 2. Ia tidak mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menurut Huda (2012, hlm.3) merupakan sebuah proses dinamis dan berkelanjutan yang bertugas memenuhi kebutuhan siswa dan guru sesuai dengan minat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal, yaitu Objek Wisata Alam Pemandian Air Panas. Penelitian ini akan dilakukan

Lebih terperinci

Ahmad Fitroh,S.H.I. Bedah Buku The End of Science Karya John Horgan. Hal Ahmad Fitroh, S.H.I

Ahmad Fitroh,S.H.I. Bedah Buku The End of Science Karya John Horgan. Hal Ahmad Fitroh, S.H.I Ahmad Fitroh,S.H.I Bedah Buku The End of Science Karya John Horgan Hal 191-213 SENJAKALA ILMU SOSIAL Sintesa Para Tokoh EDWARD O. WILSON NOAM CHOMSKY CLIFFORD GEERTZ Oleh Ahmad Fitroh,S.H.I Bedah Buku

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 20 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Strategi Strategi merupakan cara-cara yang digunakan oleh organisasi untuk mencapai tujuannya melalui pengintegrasian segala keunggulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesinambungan pelanggan dengan potensi profitable dengan membangun sebuah

BAB I PENDAHULUAN. kesinambungan pelanggan dengan potensi profitable dengan membangun sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pelanggan merupakan kunci keberhasilan bisnis. Oleh sebab itu, perusahaan melakukan berbagai cara untuk membuat pelanggan meningkat dan tetap setia, namun

Lebih terperinci

Modul 2 Permasalahan dan Proposisi Penelitian

Modul 2 Permasalahan dan Proposisi Penelitian Modul 2 Permasalahan dan Proposisi Penelitian 1. PENGERTIAN PERMASALAHAN PENELITIAN Permasalahan penelitian ialah upaya untuk menetapkan batas-batas yang jelas mengenai fokus perhatian yang akan diteliti

Lebih terperinci

Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si.

Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si. Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si. Pertemuan ke-10 (02) Berdasarkan keragka teori dan metode pengkajiannya, teori modernisasi mampu menurunkan berbagai impliaksi kembijakan pembangunan

Lebih terperinci

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada KESIMPULAN UMUM 303 Setelah pembahasan dengan menggunakan metode tiga telaah, deskriptif-konseptual-normatif, pada bagian akhir ini, akan disampaikan kesimpulan akhir. Tujuannya adalah untuk menyajikan

Lebih terperinci

DEFINISI PENELITIAN Soerjono Soekanto Sanapiah Faisal Soetrisno Hadi Donald Ary John Woody

DEFINISI PENELITIAN Soerjono Soekanto Sanapiah Faisal Soetrisno Hadi Donald Ary John Woody DEFINISI PENELITIAN Pengertian mengenai penelitian secara teoritis menurut para ahli, ialah sebagai berikut: Soerjono Soekanto Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada suatu analisis

Lebih terperinci