BAB XI. Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB XI. Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan"

Transkripsi

1 . BAB XI. Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan Pokok bahasan a. Definisi dan Dimensi Modal Sosial Dimensi modal sosial mencakup kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya Negara (bangsa). Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000) dalam Supriono, dkk. (2011). Adapun Cox (1995) dalam Supriono, dkk. (2011) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, normanorma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Senada dengan beberapa pernyataan di atas, Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturanaturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Secara sederhana, modal sosial dapat diartikan sebagai seperangkat nilai atau norma yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerjasama di antara mereka. Jika anggota kelompok itu yakin bahwa anggota yang lain dapat dipercaya dan jujur, mereka akan saling percaya. Kepercayaan itu seperti pelumas yang membuat kelompok atau organisasi dapat dijalankan secara lebih efisien (Fukuyama, 2005). Masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi cenderung bekerja secara gotong royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaanperbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki modal sosial rendah akan 1

2 tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya kelompok kita dan kelompok mereka, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan sosial, serta seringnya muncul kambing hitam (Suharto, 2007). Modal sosial juga menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Sarageldin, 1999) dalam Supriono, dkk. (2011). Dimensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999). Namun demikian Fukuyama (2000) dalam Supriono, dkk. (2011) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada normanorma yang dianut bersama oleh para anggotanya. Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial adalah memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku, serta membangun jaringan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, 2

3 saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahakan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti telaah dari modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Senada dengan itu, Coleman (1999) juga menyatakan adanya tiga elemen penting dalam modal sosial, yaitu: (1) kepercayaan (trust), (2) jejaring sosial (social networking), dan (3) norma-norma sosial (shared norms). Ketiga elemen ini diyakini menentukan corak karakter (physical character) suatu masyarakat. Sejalan dengan definisi dan dimensi modal sosial, maka kajian terkait tipologi modal sosial berkenaan dengan bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan dan pembangunan masyarakat. (a) Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital) Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006). Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, adalah lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenius (cenderung homogen). Hasbullah (2006) menyatakan, pada masyarakat yang bonded atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekedar dalam batas kelompok dalam keadaan tertentu, setruktur hierarki feodal, kohesifitas yang bersifat bonding. 3

4 (b) Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital) Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini ini biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilainilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri). Prinsip persamaan, bahwasanya setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Prinsip kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Prinsip kemajemukan dan humanitarian, bahwasanya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang merupakan prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok, atau suatu masyarakat. Bridging social capital akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan kemampuan menciptakan networking yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif, serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal. Mengikuti Colemen (1999), tipologi masyarakat bridging social capital dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada demensi fight for (berjuang untuk), yang mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok (internal maupun eksternal). Pada keadaan tertentu jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight againts yang bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbolsimbol dan kepercayaankepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada kelompok masyarakat yang demikian ini, perilaku kelompok yang dominan adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making). Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging capital social) umumnya mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat. Menurut Suharto (2011), meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang berinteraksi, berkomunikasi dan kemudian menjalin kerjasama pada dasarnya 4

5 dipengaruhi oleh keinginan untuk berbagai cara mencapai tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri secara pribadi. Keadaan ini terutama terjadi pada interaksi yang berlangsung relatif lama. Interaksi semacam ini melahirkan modal sosial, yaitu ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Modal sosial dapat diinvestasikan bagi kegiatan di masa depan. Lebih lanjut Suharto (2011) menjelaskan bahwa masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi cenderung bekerja secara gotong-royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki modal sosial rendah akan tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya kelompok kita dan kelompok mereka, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan sosial, serta seringnya muncul kambing hitam. Modal sosial bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khusunya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat. Modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya (selfreinforcing) (Putnam, 1993 dalam Suharto, 2011). Modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1988 dalam Suharto, 2011). Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995 dalam Suharto, 2011). Merujuk pada Ridell (1997) (dalam Suharto, 2011), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan (networks). Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995) dalam Suharto (2011), kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan normanorma yang dianut bersama. kepercayaan 5

6 sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. (Cox, 1995 dalam Suharto, 2011), kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal sosial yang baik melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995 dalam Suharto, 2011). Kerusakan modal sosial akan menimbulakn anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995 dalam Suharto, 2011). Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993 dalam Suharto, 2011). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain. Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996 dalam Suharto, 2011). Putnam (1995) dalam Suharto (2011), berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yangg erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu. Bersandar pada parameter di atas, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005) dalam Suharto, 2011): 1. Perasaan identitas 2. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi 3. Sistem kepercayaan dan ideologi 4. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan 5. Ketakutan-ketakutan 6. Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat 7. Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial) 6

7 8. Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu 9. Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya 10. Tingkat kepercayaan 11. Kepuasan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya 12. Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan Partha dan Ismail S. (1999) dalam Supriono (2011), mendefinisikan modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Solow (1999) dalam Supriono (2011), mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau normanorma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas. Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000 dalam Supriono, 2011). Modal sosial dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akusisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum. Bank Dunia (1999) dalam Supriono, meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang di dalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial di dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000 dalam Supriono, 2011). Dimensi sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999 dalam 7

8 Supriono, 2011). Minimal ada 4 kategori mengenai modal sosial yang menjadi aspek pokok, yaitu : (1) relasi kepercayaan, (2) hubungan timbal balik, (3) tata aturan, norma dan sanksi bersama, (4) keterhubungan, jaringan dan organisasi atau kelompok (Pretty & Ward, 2001 dalam Supriono, 2011). Coleman (1990) menjelaskan bahwa modal sosial (social capital) merupakan struktur hubungan atau relasi diantara dua atau banyak aktor yang mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan produktif. Modal sosial memicu munculnya aktifitas bersama dengan biaya yang sangat murah dan memfasilitasi adanya kerjasama antar aktor tersebut. Ada beberapa kategori atau diskripsi mengenai modal sosial, tetapi paling tidak ada 4 hal yang menjadi aspek pokok, yaitu : (1) relasi kepercayaan, (2) hubungan timbal balik dan pertukaran, (3) tata aturan, norma dan sanksi bersama, (4) keterhubungan, jaringan dan organisasi atau kelompok (Pretty & Ward, 2001). Sedangkan menurut Pennington & Rydin (1999), istilah modal sosial mencakup beberapa hal berikut : - tingkat kepercayaan - keluasan jaringan - intensitas hubungan dalam jaringan - pengetahuan dalam melakukan interaksi - kewajiban dan harapan dalam hubungan tersebut serta hubungan timbal balik - bentuk-bentuk pengetahuan lokal - pelaksanaan norma-norma - keberadaan dan konsistensi dalam menerapkan sangsi untuk setiap pelanggaran b. Contoh Wujud Modal Sosial Masyarakat Desa Jono, Bojonegoro Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Jono memunculkan potensi modal sosial yang produktif. Kultur yang dibangun secara kolektif, memberikan warna tersendiri bagi karakter masyarakat Jono. Karakter tersebut merupakan wujud nilai-nilai yang saling berkaitan dengan elemen-elemen dalam modal sosial. Mengutip pernyataan Coleman (1999), bahwasanya modal sosial memiliki tiga elemen penting yang diyakini menentukan corak karakter masyarakat, yaitu: (1) kepercayaan (trust), (2) jejaring sosial (social networking), dan (3) norma-norma sosial (shared norms). Ketiga elemen ini pula yang menjadi wujud modal sosial masyarakat Desa Jono dalam mentransformasikan 8

9 nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliknya. Selanjutnya, di bawah ini akan di bahas lebih jelas terkait elemenelemen modal sosial masyarakat Desa Jono, beserta esensi nilai-nilai modal sosial yang ditransformasikan dalam kehidupan sosial budayanya. 1. Kepercayaan (Trust) Kepercayaan memainkan perannya dalam menciptakan kerukunan hidup masyarakat Jono. Dalam konteks modal sosial, elemen kepercayaan dipahami sebagai ruh yang menghubungkan jaringan-jaringan kerja dalam dimensi nilai dan norma yang saling terintegrasi. Adanya trust (kepercayaan) sebagai bagian elemen utama modal sosial, menjadi atribut kuat untuk membangun solidaritas masyarakat Jono yang disatukan dalam persamaan kultur. Masyarakat Jono menyadari potensi kultur tersebut sebagai kekuatan untuk mempersatukan banyak kepala dengan satu visi yang progresif, yakni terbina kerukunan hidup bersosial dan beragama. Hal ini pun tak dapat dipungkiri juga dipicu oleh kapasitas dan kapabilitas key person atau local strong man di Desa Jono untuk mengorganisir dan mengintegrasikan kepentingan masyarakat. Tumbuhnya sikap saling mempercayai, baik antar anggota masyarakat, antar masyarakat dengan pemimpin desa, atau antara masyarakat dengan pihak luar, memberikan manfaat yang positif untuk menepis kesenjangan sosial di antara anggota masyarakat. Ragam seni budaya yang ada di Jono menjadi salah satu media mempererat tali silaturahim masyarakat. Terlepas dari dominasi agama Islam di Desa Jono, nyatanya mereka mampu membentuk ikatan sosial (social glue), tanpa membedakan latar belakang agama, jabatan, pendidikan, dan status sosial lainnya. Meski demikian, kepercayaan yang dibangun atas dasar religiusitas maupun dalam bentuk trust (rasa saling percaya) yang lebih mengarah pada sisi asosiatif tersebut, berjalan beriringan tanpa ada kendala yang signifikan dalam membina kerukunan hidup bermasyarakat. Relasi yang terbangun berdasarkan kepercayaan di Desa Jono menampakkan asosiasi sosial yang sehat, produktif, berkarakter, dan beretika. Rasa saling percaya semakin menumbuhkan sikap empati, senasib sepenanggungan, dan tepo seliro. Sangat jarang dijumpai konflik di antara masyarakat, apalagi sampai terseskalasi menjadi tindak kekerasan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kelompok tertentu dalam 9

10 skala minoritas yang belum memahami esensi kepercayaan tersebut. Kelompok minoritas itu cenderung kontra terhadap upaya positif masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidup bersama demi kemajuan Desa Jono. Mayoritas masyarakat di Jono guyub rukun, hanya ada kelompok tertentu yg kontra/pasif terhadap dinamika perkembangan desa. Mereka bisanya hanya duduk dan ngrasani (menggunjing), tapi tidak mau berusaha berbuat lebih. Secara umum, masyarakat Jono terbuka dengan perubahan yg positif, sikap gotong-royong dan saling percaya. (wawancara dengan Ketua Desa Wisata Budaya, 25 Maret 2012). Kepercayaan (trust) kian tumbuh seiring upaya kebersamaan masyarakat Jono menciptakan public spaces yang demokratis dan berkeadilan, terutama dalam ranah kehidupan politik. Tumbuhnya kepercayaan tersebut juga didukung oleh kapasitas dan kapabilitas seorang pemimpin. Hal ini ditunjukkan masyarakat Jono terhadap kepemimpinan Kepala Desa atau Lurah yang menjabat pada periode saat ini ( ), yaitu Pak Dasuki. Kepemimpinan beliau yang baik dan dinilai mampu mengayomi kepentingan desa, dirasakan warga sebagai salah satu poin positif terciptanya keharmonisan dalam masyarakat. Gaya kepemimpinan yang srawung lan pangerten dari seorang Lurah Jono direspon positif pula dengan guyubnya warga untuk bergotong-royong membangun desa. Agenda kepengurusan Pak Lurah selama periode berjalan dinilai berhasil dan cukup representatif bagi kepentingan masyarakat dan Desa Jono, terutama dalam merintis identitas Desa Wisata Budaya. Jujur saya katakan program Pak Lurah itu kalau raport saya menilai lebih dari 10, kalau angka mungkin boleh 20 bisa sampai 20, jadi melebihi target, melebihi program apa yang dikerjakan. (wawancara dengan Ketua Desa Wisata Budaya, 25 Maret 2012). Di sinilah tercermin nilai-nilai modal sosial yang terbangun dalam jati diri masyarakat Jono, seperti sikap saling percaya mempercayai, sikap partisipatif, sikap memperhatikan, serta saling memberi dan menerima. 2. Norma-Norma Sosial (Shared Norms) Nilai dan norma terintegrasi dalam sebuah konstruksi tata aturan yang berlaku umum dalam sistem kehidupan masyarakat Jono. Norma-norma tersebut dibuat oleh masyarakat Jono sebagai sebuah aturan hidup yang ditaati bersama, dan tentunya ada 10

11 mekanisme sanksi yang mengikutinya. Dinamika masyarakat Jono selalu terikat pada nilai dan norma sebagai acuan dalam bersikap, bertindak, dan bertingkah laku, terutama dalam konteks tradisi budaya lokal. Fukuyama (2000) menyatakan bahwa norma-norma sosial menopang kepercayaan yang berupa harapan terhadap kejujuran, keteraturan, dan perilaku kooperatif dalam sebuah masyarakat. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan-pernyataan yang mengarah pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan. Berlakunya norma juga mendukung kesetaraan hak dan kewajiban dalam masyarakat, di mana akses terhadap suatu sumberdaya memang dibutuhkan kontrol sosial yang berkeadilan, terutama di era desentralisasi semacam ini. Sistem kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jono mengandung nilai dan norma sebagai pandangan hidup bersama. Nilai-nilai budaya tersebut berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar berlaku sesuai hakikatnya sebagai makhluk sosial yang hidup selaras dengan alam, layaknya ajaran masyarakat Samin dahulu. Sebagai contoh adalah tradisi kemisan (kerja bakti massal setiap hari kamis), di mana masyarakat bergotong-royong membersihkan lingkungan Desa Jono. Adat ini bukan hanya sebatas prosesi kultural semata, tapi di balik itu mengajarkan masyarakat Jono untuk lebih menghargai lingkungan dengan cara menjaga kebersihannya, termasuk melestarikan fungsi hutan. Ragam budaya religi di Desa Jono, seperti manganan, tahlilan, sedekah bumi, nyadran dan lain sebagainya, sejatinya juga mengandung ajaran hidup yang positif, yakni bentuk rasa syukur, sikap empati, kebersamaan, kekeluargaan, dan solidaritas. Bukan lantas mengesampingkan hukum agama, namun masyarakat Jono memahami akulturasi budaya Islam-Jawa tersebut sebagai bagian sistem kehidupan yang saling menguatkan. Semarak modal sosial yang tercermin dalam sikap-sikap demokratis, partisipatif, serta berkeadilan, menjadikan masyarakat Jono lebih bijak dalam mengambil segala keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Contohnya dalam ranah politik lokal, di Desa Jono terdapat tradisi pulung (secara harfiah berarti keisteimewaan) untuk mekanisme pemilihan kepala desa. Tradisi ini merupakan terapan tradisi Jawa kuno yang mengatur norma-norma kehidupan politik desa dalam menentukan calon pemimpin di wilayahnya. Seperti pada prosesi pemilihan Lurah Jono tahun 2008 silam, 11

12 masyarakat secara partisipatif menggunakan hak pilihnya dengan menunjuk calon Lurah yang mempunyai etos kerja, kejujuran, kecerdasan, dedikasi, hubungan elit dengan Lurah sebelumnya, serta kedekatannya dengan warga. Jadi tidak semata-mata garis keturunan Lurah yang boleh menjabat sebagai penggantinya, tetapi personal yang dipandang secara obyektif berkapasitas untuk menyandang jabatan tersebut. Jika terbukti ada pelanggaran terhadap peraturan dan norma yang berlaku, maka masyarakat tidak segan-segan untuk mengganti pemimpinnya. Dimensi norma sosial berupa aturan formal tertulis maupun aturan non formal yang melekat dalam tradisi budaya sebagai suatu lembaga (sistem tata aturan). Wujud lembaga formal seperti ini biasanya tertulis pada tata aturan institusi atau kelembagaan formal. Sebagai contoh adalah Pemerintahan Desa Jono yang mempunyai aturan-aturan formal dalam menjalankan mekanisme tata kelola rumah tangga desa. Selain itu, di Desa Jono juga terdapat banyak kelembagaan formal lainnya seperti Desa wisata Budaya, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), PKK, Posyandu, Karang Taruna, Paguyuban Seni, LMDH, Koperasi LMDH, home industry (industri lokal), dan lain sebagainya. Tiap lembaga tersebut memiliki peraturan-peraturan (baik formal maupun non formal) yang berfungsi mengatur jalannya roda kelembagaan, menjembatani konflik dalam dinamika kelembagaan, serta menciptakan ketertiban dalam kelembagaan. Tujuannya tak lain adalah untuk menjaga stabilitas lembaga dalam mewujudkan visi dan misinya masing-masing demi mendukung kemajuan desa. 3. Jaringan Sosial (Social Networking) Jaringan sosial memudahkan masyarakat Jono dalam mencapai tujuan bersama, serta memberikan manfaat secara personal maupun komunal. Idealnya, ketika modal sosial bekerja, maka aktivitas kolektif masyarakat tidak berjalan searah, tetapi menciptakan jaringan kerja yang produktif dan mendukung tujuan bersama. Putnam (1998) dalam Eko (2004), juga menjelaskan bahwa modal sosial mengacu pada norma dan jaringan kerja masyarakat sipil yang melicinkan tindakan kerja sama di antara warga negara dan institusi mereka. Dalam analogi yang sederhana, Putnam (1993 b) dalam Eko (2004) menyatakan bahwa bekerja bersama-sama adalah lebih mudah dalam sebuah komunitas yang diberkahi dengan persediaan (stock) modal sosial yang banyak. 12

13 Jejaring tersebut merupakan sumber daya dan bagian dari hubungan kepercayaan dan norma yang lebih luas, serta memungkinkan suatu komunitas masyarakat untuk mencapai tujuan mereka lebih mudah. Jaringan sosial masyarakat Desa Jono memiliki dimensi yang luas, baik jaringan secara personal (antar individu), maupun jaringan secara komunal dalam wujud relasi antar institusi atau organisasi. Hubungan yang dibangun antar individu berdasarkan kepercayaan dan norma, menciptakan jaringan sosial yang mengarah pada pola simbiosis mutualisme. Misalnya dalam hal ini, ketika salah satu warga mempunyai hajat keluarga seperti nikahan, khitanan, atau membangun rumah, maka secara serentak masyarakat Jono akan bergotong-royong untuk saling sengkuyungan (tolongmenolong). Hal ini berlaku pula untuk kegiatan kolektif desa seperti pemavingan jalan, pembuatan kandang kelompok, perbaikan saluran irigasi, penghijauan hutan, dan lain sebagainya. Jaringan kerja semacam itu dapat meringankan pekerjaan berat dan mengurangi anggaran berlebih. Nek kerja bekti niku wis umum, jamane pake mbahe wis ana (kalau kerja bakti itu sudah umum, jaman nenek moyang sudah ada). Alhamdulillah masyarakat mriki taksih remen (sini masih suka) gotong-royong kangge (untuk) kemajuan desa. (wawancara dengan Lurah Jono, 16 Juni 2012). a. Relasi antara Modal Sosial dengan Pengelolaan SDH (Kasus di BKPH Ngliron, KPH Randublatung) Berdasarkan definisi di atas, adanya perbedaan tata nilai yang dijumpai oleh peneliti di Desa Ngliron dan Desa Semanggi akan menimbulkan interaksi masyarakat yang berbeda terhadap sumberdaya hutan. Tata nilai yang terdapat di Desa Ngliron seperti kebersamaan masyarakat dalam gotong royong ataupun sambatan kini sudah mulai bergeser untuk ditinggalkan masyarakat. Adanya tata nilai yang baik ini luntur dari seharusnya tata nilai yang ada di dalam masyarakat pedesaan akan mempersulit pihak pengelola hutan yaitu Perhutani untuk mengajak masyarakat Ngliron dalam membangun hutan di KPH Randublatung ini dengan basis pengelolaan hutan lestari yang salah satunya harus mempertimbangkan aspek sosial. Dampak yang kurang bagus akibat lunturnya tata nilai gotong royong yang ada di Desa Ngliron ini akan mempersulit pihak Perhutani untuk mengajak mengadakan pertemuan demi membahas kemajuan hutan dan 13

14 untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan di Desa Ngliron. Demikian adalah salah satu contoh dampak dari lunturnya tata nilai terhadap interaksi tidak langsung, yaitu interaksi masyarakat Desa Ngliron terhadap pihak Perhutani. Etos kerja yang dimiliki pesanggem dari Desa Ngliron menurut informan kurang telaten dalam merawat tanaman tumpangsari dan tanaman hutan milik Perhutani. Padahal Perhutani sangat membutuhkan tangan-tangan pesanggem untuk merawat dan memelihara tanaman jati mereka agar persentase keberhasilan tanaman jati tinggi. Apalagi tanaman jati KU muda yang masih butuh perhatian lebih untuk mereka hidup. Menurut informan dengan adanya tata nilai yang kurang baik yang terdapat di pesanggem Desa Ngliron ini persentase keberhasilan dari tanaman hutannya kurang berhasil. Ini dampak yang akibat tata nilai yang kurang baik yang terdapat di pesanggem Desa Ngliron. Hal ini berkait dengan adanya masyarakat yang mayoritas memiliki lahan sawah milik individu, sehingga secara psikologis masyarakat Ngliron merasa tidak terlalu bergantung dengan tumpangsari yang diberikan oleh Perhutani. Masyarakat masih merasa tercukupi kebutuhannya dengan hasil sawah yang dimiliki sendiri sehingga masyarakat kurang telaten untuk mengurus tanaman hutan. Tata nilai peradaban yang sudah maju dipengaruhi oleh lebih tingginya tingkat pendidikan masyarakat di Desa Ngliron ini membawa dampak baik untuk hutan. Dengan semakin banyaknya masyarakat Ngliron yang mengeyam di bangku pendidikan berarti semakin banyak orang pintar karena sekolah sehingga pengetahuan dan daya serap terhadap pentingnya ketersediaan sumberdaya hutan yang ada di sekitar mereka lebih tinggi daripada masyarakat yang tingkat pendidikannya lebih rendah secara kualitas dan kuantitas. Menurut informan, masyarakat di Desa Ngliron memiliki rasa kesadaran akan pentingnya keberadaan hutan untuk hidup masyarakat sekitar dan masyarakat di luar hutan. Masyarakat Desa Ngliron memiliki jiwa melindungi hutan dari gangguan pencurian atau kehilangan pohon. Kondisi hutan di Desa Ngliron lebih kondusif dari segi keamanan hutan. Demikian tata nilai yang baik yang perlu dipertahankan oleh masyarakat Desa Ngliron untuk menjaga hutan dari pencurian dan kehilangan pohon. 14

15 Masyarakat Desa Semanggi yang sekitar 75% menggantungkan hidupnya pada tumpangsari di lahan Perhutani secara psikologis rasa kebergantungan terhadap hutan menjadi lebih tinggi. Kondisi geografis yang ada di Desa Semanggi dengan sempitnya lahan sawah yang dimiliki masyarakat sehingga masyarakat tidak bisa menggarap di lahan sawah dan dengan intensitas yang sering dan banyak yang mendapatkan jatah tumpangsari atau tahunan membuat masyarakat Desa Semanggi memiliki keuletan dan ketelatenan dalam merawat dan memelihara tanaman musimannya dan tanaman hutan milik Perhutani. Tata nilai yang dimiliki masyarakat Desa Semanggi ini merupakan tata nilai yang perlu dipertahankan oleh masyarakat untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan hutan yang lestari dan kesejahteraan masyarakat Desa Semanggi. Dengan tata nilai baik yang dimiliki oleh masyarakat Desa Semanggi ini dapat menimbulkan interaksi masyarakat terhadap hutan yang bagus untuk bersama membangun hutan. Gotong royong atau sambatan yang masih kental terdapat di Desa Semanggi, akan lebih mempermudah masyarakat Desa Semanggi untuk menggarap lahan tumpangsari sehingga juga dapat berdampak pada keberhasilan tanaman hutan. Selain interaksi secara langsung, dengan masih guyub dan patuhnya masyarakat Desa Semanggi terhadap perintah perangkat desa atau dari Perhutani ini akan mempermudah menggerakkan masyarakat Desa Semanggi untuk diajak berdiskusi atau membahasa kepentingan keberhasilan pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat Desa Semanggi. Agar lebih mudah dipahami, berikut tabel relasi tata nilai yang ada di kedua desa tersebut dengan interaksi masyarakat yang terjadi pada hutan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pihak Perhutani. Tingginya kerjasama Perhutani dengan masyarakat dalam bersama-sama membangun hutan tidak bisa dipungkiri karena Perhutani juga bisa mengikuti tata nilai yang mendarah daging di masyarakat. Adanya suatu peningkatan terhadap rendahnya pencurian kayu di Ngliron dan Desa Semanggi juga tidak luput dari tata nilai dan interaksi masyarakat yang ada di kedua desa tersebut. Sikap disiplin dan kesadaran terhadap pentingnya hutan sehingga akan lebih mudah bagi pihak Perhutani untuk mengajak bersama-sama mengamankan hutan yang berada di Desa Ngliron. 15

16 Hasil Pembelajaran Mampu memahami, menjelaskan dan memberikan contoh modal sosial dalam sebuah masyarakat yang berhubungan dengan pengelolaan dan kelestarian sumberdaya hutan Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Mencari kasus yang menunjukkan adanya relasi antara kearifan lokal dengan pengelolaan hutan (4) Diskusi dan menjawab kuis Kuis dan latihan - Terangkan yang dimaksud dengan modal sosial dan berikan contohnya terutama yang berhubungan dengan pengelolaan hutan! - Jelaskan strategi pengelolaan hutan yang sebaiknya diterapkan pada sebuah wilayah ketika masyarakat di sekitarnya telah memiliki dan belum memiliki modal sosial serta berikan contoh kasusnya! 16

17 DAFTAR PUSTAKA Ahimsa Putra H.S Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Awang S.A Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta Djuwadi Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta Djuwadi & Fanani Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta Dove. M.R Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat. Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta Field, John Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hasbullah, J., Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR- United Press. Jakarta. Leibo J., Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta Kartasasmita, G Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta. Keraf S Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta. Koentjaraningrat Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta Lobja E Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press. Yogyakarta Mubyarto Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Aditya Media. Yogyakarta Nugraha A. & Murtijo Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten Nur A Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat. FKT UGM. Yogyakarta Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development, Volume 29, No. 2, UK Qowi M.R Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM Yogyakarta 17

18 Raharjo Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Salim P., Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta Soekanto S Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers Jakarta Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Soetomo Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan Tipologi. Artikel Wibisono H Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta Widiyanto E Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta Yuntari D Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta 18

BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI

BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI TINJAUAN MATA KULIAH Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah Antropologi Ekologi (KTM 3229) merupakan mata kuliah pilihan bebas Minat Manajemen Hutan di Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

BAB III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi

BAB III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi . BAB III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi Pokok Bahasan a. Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi 1. Fase Pertama (Sebelum 1800) Kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia, dan Amerika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Modal Sosial Konsep modal sosial menawarkan betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Struktural Fungsional Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan menggunakan defenisi ini,

Lebih terperinci

BAB X. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

BAB X. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan . BAB X. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pokok Bahasan a. Definisi Kata arif dalam kearifan menurut kamus umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka diartikan sebagai bijaksana atau

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori Modal Sosial Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khusunya relasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori Modal Sosial Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khusunya relasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1 Modal Sosial Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khusunya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial merujuk pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial Modal sosial adalah hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal sosial Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosial untuk memperkaya pemahaman kita tentang masyarakat dan komunitas.

Lebih terperinci

BAB IV. Masyarakat Desa dan Dinamikanya

BAB IV. Masyarakat Desa dan Dinamikanya . BAB IV. Masyarakat Desa dan Dinamikanya Pokok Bahasan Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial 2.1.1 Pengertian Modal Sosial Modal sosial adalah suatu keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial

Lebih terperinci

BAB VI PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP TAHAPAN PEROLEHAN KREDIT MIKRO. 6.1 Pengaruh Modal Sosial terhadap Perolehan Kredit Mikro

BAB VI PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP TAHAPAN PEROLEHAN KREDIT MIKRO. 6.1 Pengaruh Modal Sosial terhadap Perolehan Kredit Mikro 46 BAB VI PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP TAHAPAN PEROLEHAN KREDIT MIKRO 6.1 Pengaruh Modal Sosial terhadap Perolehan Kredit Mikro Modal sosial merupakan hal yang penting dalam membentuk suatu kerjasama,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Modal sosial Menurut Hasbullah (dalam Handoyo,2012:89-90) ada dua tipe modal sosial yaitu modal sosial terikat (bonding social capital) dan modal sosial yang menjembatani (bridging

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah suatu program pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan bersama dengan jiwa berbagi

Lebih terperinci

BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat

BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat . BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat Pokok Bahasan a. Hak Ulayat Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran otentik Kabupaten Rejang Labong dalam 5 (lima) tahun mendatang pada kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati terpilih untuk periode RPJMD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa tujuan, kebutuhan dan cita-cita yang ingin dicapai, dimana masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. beberapa tujuan, kebutuhan dan cita-cita yang ingin dicapai, dimana masing-masing BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam hidup yaitu sebagai seorang individu dan mahluk sosial. Sebagai seorang individu manusia mempunyai beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelembagaan 2.1.1 Pengertian Kelembagaan Suatu kelembagaan merupakan suatu sistem kompleks yang sengaja dibuat manusia untuk mengatur cara, aturan, proses, dan peran masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etos Kerja Etos Kerja merupakan perilaku sikap khas suatu komunitas atau organisasi mencakup sisi spiritual, motivasi, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI 189 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI A. Simpulan Umum Kampung Kuta yang berada di wilayah Kabupaten Ciamis, merupakan komunitas masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisi nenek

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Lahirnya Kelembagaan Lahirnya kelembagaan diawali dari kesamaan karakteristik dan tujuan masing-masing orang dalam kelompok tersebut. Kesamaan kepentingan menyebabkan adanya

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah mengungkapkan Pancasila sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, memberi kekuatan hidup serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN Ir. Sunarsih, MSi Pendahuluan 1. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL. Modal Sosial (Social Capital)

PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL. Modal Sosial (Social Capital) PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL Modal Sosial (Social Capital) Apa yang dimaksud dengan Modal Sosial dan apa relevansinya dengan Pembangunan? Modal yang dibutuhkan dalam proses pembangunan: Modal Sumber

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. disekelilingnya. Ini merupakan salah satu pertanda bahwa manusia itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. disekelilingnya. Ini merupakan salah satu pertanda bahwa manusia itu 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Kelompok Sosial Manusia pada dasarnya dilahirkan seorang diri namun di dalam proses kehidupan selanjutnya, manusia membutuhkan manusia

Lebih terperinci

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang. 1. Untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan maka elit harus jeli

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang. 1. Untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan maka elit harus jeli BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dibangun dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan maka elit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan secara tepat, modal sosial akan melahirkan serangkaian nilai-nilai atau

BAB I PENDAHULUAN. digunakan secara tepat, modal sosial akan melahirkan serangkaian nilai-nilai atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Modal sosial merupakan fasilitator penting dalam pembangunan ekonomi. Modal sosial yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan sosial dipandang sebagai faktor yang

Lebih terperinci

Sosiologi. Kelompok & Organisasi Sosial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 07

Sosiologi. Kelompok & Organisasi Sosial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 07 MODUL PERKULIAHAN Kelompok & Organisasi Sosial Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 07 MK61004 Nurwidiana, SKM MPH Abstract Mata kuliah ini merupakan pengantar bagi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial (social capital) yang mampu membuat individu individu yang ada didalam komunitas tersebut berbagi

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,

Lebih terperinci

Oleh: Agus Supriono 2, Dance J. Flassy 3, Sasli Rais 4 ABSTRAK PENDAHULUAN

Oleh: Agus Supriono 2, Dance J. Flassy 3, Sasli Rais 4 ABSTRAK PENDAHULUAN MODAL SOSIAL 1 : DEFINISI, DEMENSI, DAN TIPOLOGI Oleh: Agus Supriono 2, Dance J. Flassy 3, Sasli Rais 4 ABSTRAK Semakin mengemukanya pencermatan terhadap keberadaan potensi dan peran penting modal sosial

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berbagai macam karakter masyarakat di Yogyakarta mampu memecah jaringan sosial yang dimiliki oleh kelompok masyarakat termasuk kelompok pengusaha asal Kuningan

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. modal yang dimiliki melalui kegiatan tertentu yang dipilih. Suharto (2009:29)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. modal yang dimiliki melalui kegiatan tertentu yang dipilih. Suharto (2009:29) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Strategi Bertahan Strategi bertahan hidup menarik untuk diteliti sebagai suatu pemahaman bagaimana rumah tangga mengelola dan memanfaatkan aset sumber daya dan modal yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melihat tentang penguatan modal sosial untuk pengembangan mafkah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melihat tentang penguatan modal sosial untuk pengembangan mafkah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan berhubungan dengan modal sosial antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Slamet Widodo (2012) yang melihat tentang penguatan modal

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN 2.1 Kajian Pustaka HIPOTESIS 2.1.1 Modal Sosial Modal sosial (social capital) dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Modal Social (Social Capital) Menurut para ahli modal sosial dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelembagaan 2.1.1 Pengertian Kelembagaan Kelembagaan merupakan suatu sistem yang sengaja dibuat manusia untuk mengatur cara, aturan, proses dan peran masing-masing komponen

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS 53 EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat baik perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat dalam

Lebih terperinci

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang Bab Dua Kajian Pustaka Pengantar Pada bab ini akan dibicarakan beberapa konsep teoritis yang berhubungan dengan persoalan penelitian tentang fenomena kegiatan ekonomi pedagang mama-mama asli Papua pada

Lebih terperinci

adalah bagian dari komitmen seorang kepala sekolah.

adalah bagian dari komitmen seorang kepala sekolah. BAB V KESIMPULAN, ILPIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari hasil perhitungan pada Bab IV penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Kepemimpinan kepala sekolah harus didukung oleh nilai-nilai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB VI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN MODAL SOSIAL

BAB VI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN MODAL SOSIAL BAB VI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN MODAL SOSIAL 6.1. Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Kendel Kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam kepada kehidupan sosial serta tidak bisa dipahami terpisah

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat. Perilaku ini tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber daya alam. Sub sistem ekologi,

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR. tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran

BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR. tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Bank Plecit Bank plecit merupakan koperasi simpan pinjam yang memberikan tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran

Lebih terperinci

Pengaruh Modal Sosial Terhadap Pertalian Usaha Klaster Pariwisata Borobudur

Pengaruh Modal Sosial Terhadap Pertalian Usaha Klaster Pariwisata Borobudur Pengaruh Modal Sosial Terhadap Pertalian Usaha Klaster Pariwisata Borobudur TUGAS AKHIR Oleh: Rudiansyah L2D 004 348 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan, perlu perubahan secara mendasar, terencana dan terukur. Upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Simon Kemoni yang dikutip oleh Esten (2001: 22) globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Globalisasi

Lebih terperinci

BAB III VISI MISI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB III VISI MISI PEMBANGUNAN DAERAH BAB III VISI MISI PEMBANGUNAN DAERAH 3.1. Visi Pembangunan B erdasarkan kondisi masyarakat Kabupaten Kolaka saat ini, permasalahan dan tantangan yang dihadapi kedepan serta dengan memperhitungkan faktor

Lebih terperinci

Pembangunan di pedesaan adalah bagian dari proses pembangunan. nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian

Pembangunan di pedesaan adalah bagian dari proses pembangunan. nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di pedesaan adalah bagian dari proses pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah, sekaligus mengidentifikasikan perubahan

Lebih terperinci

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar Kompetensi Inti 2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukan sikap sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berbagai konsep tentang modal sosial telah banyak dikemukakan., perbedaannya terletak pada penekanan terhadap unsur-unsur yang membentuknya dan pendekatan analisisnya.

Lebih terperinci

TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021

TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021 VISI TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021 MISI 1 Menigkatkan kerukunan keharmonisan kehidupan masyarakan dalam melaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Desa Hutan Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Konflik sosial cenderung dinilai banyak orang sebagai sesuatu yang buruk.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Konflik sosial cenderung dinilai banyak orang sebagai sesuatu yang buruk. 236 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. Kesimpulan Umum. Konflik sosial cenderung dinilai banyak orang sebagai sesuatu yang buruk. Pandangan seperti ini ada benarnya walaupun tidak seluruhnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbentuk Republik. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

BAB I PENDAHULUAN. yang berbentuk Republik. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia lahir pada 17 Agustus 1945 adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Indonesia terdiri atas beberapa

Lebih terperinci

RINGKASAN DOKUMEN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KABUPATEN PASURUAN TAHUN

RINGKASAN DOKUMEN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KABUPATEN PASURUAN TAHUN RINGKASAN DOKUMEN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2005-2025 VISI : Kabupaten Pasuruan yang Agamis, Berdaya Saing, Mandiri, dan Sejahtera MISI : 1. Penerapan nilai-nilai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA. 1. Komunikasi Organisasi Top Down Antara Pengurus Dan Anggota. Karang Taruna Setya Bhakti Dalam Membangun Solidaritas

BAB IV ANALISA DATA. 1. Komunikasi Organisasi Top Down Antara Pengurus Dan Anggota. Karang Taruna Setya Bhakti Dalam Membangun Solidaritas BAB IV ANALISA DATA A. Temuan Penelitian 1. Komunikasi Organisasi Top Down Antara Pengurus Dan Anggota Karang Taruna Setya Bhakti Dalam Membangun Solidaritas Dalam penelitian kualitatif, analisis data

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB XII. Konflik dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

BAB XII. Konflik dalam Pengelolaan Hutan Rakyat BAB XII. Konflik dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Pokok bahasan Dalam bab ini akan disajikan hasil penelitian dalam kasus konflik pengelolaan hutan rakyat di Blitar, Jawa Timur. Judul Penelitian Konflik

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Mandiri Pedesaan itulah proses hegemoni terjadi, pelibatan masyarakat dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Mandiri Pedesaan itulah proses hegemoni terjadi, pelibatan masyarakat dalam BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan serangkain kegiatan analisis data dari temuan di lapangan yang diperoleh melalui tahap observasi dan wawancara yang peneliti lakukan dapat ditarik beberapa

Lebih terperinci

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SPIRIT KONSTITUSI Pasal 36A UUD 1945 menyatakan

Lebih terperinci

BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI

BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan,

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan

BAB II. Kajian Pustaka. Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan BAB II Kajian Pustaka 2.1. Kelompok Sosial Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut

Lebih terperinci

Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia kaya ragam budaya, adat istiadat, suku bangsa, bahasa, agama

Lebih terperinci

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai pancasila sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 113 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan 5.1.1 Simpulan Umum Berdasarkan hasil penelitian, Karang Taruna RW 10 yang berada di Cireundeu, tidak menjalankan organisasi sesuai dengan fungsinya.

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dari hasil analisis terhadap keberlanjutan komunitas Kampung Adat Cireundeu dapat disimpulkan beberapa hal sebagai akhir kajian : Kelembagaan adat sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergiat dalam melakukan pembangunan di segala bidang. Pembangunan dilakukan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. bergiat dalam melakukan pembangunan di segala bidang. Pembangunan dilakukan di bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai salah satu provinsi yang besar, Sumatera Utara dengan ibukota Medan sedang bergiat dalam melakukan pembangunan di segala bidang. Pembangunan dilakukan di bidang

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut:

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut: BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data, temuan dan pembahasan penelitian maka dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Budaya orgnanisasi berpengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan lembaga pendidikan sebagai wahana yang digunakan untuk mencerdaskan dan memberikan perubahan kehidupan bagi siswa yang bersifat progresif,

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Bappeda Kota Bogor Berdasarkan tugas dan fungsi pelayanan yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yuyun Yuniati, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yuyun Yuniati, 2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan tidak akan tercipta jika tidak ada manusia yang melestarikanya, karena manusia

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 VISI DAN MISI 1. Visi Penetapan visi sebagai bagian dari perencanaan strategi merupakan satu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi

Lebih terperinci

RPJMD Kota Pekanbaru Tahun

RPJMD Kota Pekanbaru Tahun RPJMD Kota Pekanbaru Tahun 2012-2017 BAB V VISI, MISI, DAN V - 1 Revisi RPJMD Kota Pekanbaru Tahun 2012-2017 5.1. VISI Dalam rangka mewujudkan pembangunan jangka panjang sebagaimana tercantum di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum tipologi masyarakat dikategorikan menjadi dua,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum tipologi masyarakat dikategorikan menjadi dua, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum tipologi masyarakat dikategorikan menjadi dua, masyarakat tradisional dan masyarakat yang sudah modern. Masyarakat tradisional adalah masyarakat

Lebih terperinci

KORPORASI USAHA PERDESAAN SALAH SATU ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKONOMI DESA SESUAI NAFAS PANCASILA

KORPORASI USAHA PERDESAAN SALAH SATU ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKONOMI DESA SESUAI NAFAS PANCASILA KORPORASI USAHA PERDESAAN SALAH SATU ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKONOMI DESA SESUAI NAFAS PANCASILA Ascosenda Ika Rizqi Dosen, Universitas Merdeka Pasuruan, Jl. H. Juanda 68, Kota Pasuruan Abstrak Desa merupakan

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut para ahli, kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan, karena kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penataan SDM perlu terus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan

BAB I PENDAHULUAN. Penataan SDM perlu terus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional. Penataan SDM

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ikatan-ikatan sosial. Selain itu keberadaan masyarakat sipil juga berpengaruh

BAB V PENUTUP. ikatan-ikatan sosial. Selain itu keberadaan masyarakat sipil juga berpengaruh BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Masyarakat sipil lahir dari interaksi sosial masyarakat yang terbina berkat ikatan-ikatan sosial. Selain itu keberadaan masyarakat sipil juga berpengaruh sebagai penyeimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 NEQUALITY DAN MUNCULNYA PERILAKU ANOMI Beberapa konsep yang digunakan pada kajian ini ialah, komunitas, inequality, konflik, dan pola perilaku. Komunitas yang dimaksud disini

Lebih terperinci

PERAN HUKUM TUA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DI BIDANG PEMBANGUNAN (Suatu Studi Di Desa Pakuure Kecamatan Tenga Kabupaten Minahasa Selatan)

PERAN HUKUM TUA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DI BIDANG PEMBANGUNAN (Suatu Studi Di Desa Pakuure Kecamatan Tenga Kabupaten Minahasa Selatan) PERAN HUKUM TUA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DI BIDANG PEMBANGUNAN (Suatu Studi Di Desa Pakuure Kecamatan Tenga Kabupaten Minahasa Selatan) Oleh : Meyer Kenedi Egeten ABSTRAKSI Pembangunan desa merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 12, 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap individu terkait dengan persoalan politik dalam arti luas. Masyarakat sebagai kumpulan individu-individu

Lebih terperinci