BAB II KAJIAN PUSTAKA. multiple trauma adalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. multiple trauma adalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Multiple Trauma Multiple trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara lebih khusus, multiple trauma adalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan yang cukup tinggi (ISS >16) yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang letaknya jauh dan sistem organ yang vital yang tidak mengalami cedera akibat trauma secara langsung (Trentz O L, 2000) Epidemiologi Trauma merupakan masalah kesehatan yang cukup serius dan merupakan salah satu penyebab utama dari kematian terutama pada usia remaja dan usia dewasa muda. Pada tahun 1998, diperkirakan 5,8 juta orang meninggal dunia oleh karena trauma. Di Amerika Serikat, diperkirakan orang meninggal dunia setiap bulannya oleh karena trauma. Disebutkan bahwa rerata umur pasien trauma adalah antara umur 29-6

2 7 34 tahun dan disebutkan pula bahwa pria lebih banyak yang mengalami trauma (60-80% dari kasus yang terjadi) daripada wanita (Barkin et al., 1998). Insiden terjadinya trauma meningkat secara signifikan di negara miskin dan negara berkembang. Fenomena ini disebabkan oleh karena meningkatnya mobilisasi di negara negara tersebut, yang kemudian tergantung pada kendaraan transportasi untuk melakukan kegiatan ekonomi. Peningkatan penggunaan kendaraan bermotor di negara-negara tersebut sering tidak disertai dengan peningkatan kuantitas serta kualitas infrastruktur penunjang, misalnya ketersediaan jalan, regulasi transportasi yang baik, fasilitas keamanan suatu kendaraan, serta sistem edukasi mengenai tata cara berlalu lintas yang baik dan benar. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan tingginya angka kejadian trauma di negara-negara miskin dan berkembang (Barkin et al., 1998). Multiple trauma mempunyai konseskuensi yang serius terhadap pasien dan apabila pasien terselamatkan maka akan disertai dengan disability yang cukup serius dan akan menghambat pasien tersebut dalam beraktivitas sehari-hari di rumah, tempat pekerjaan, dan masyarakat. 2.3 Mekanisme Trauma Pengetahuan mengenai mekanisme trauma akan dapat membantu dokter bedah dalam memperkirakan masalah dan cedera khusus yang dapat terjadi pada pasien

3 8 multiple trauma sehingga diagnsosis dan tindakan dapat dilakukan dengan lebih efektif (Barkin et al., 1998). Tabel 1 menunjukkan beberapa mekanisme trauma dengan cedera yang memungkinkan pada mekanisme trauma tersebut. Tabel 2.1. Mekanisme Trauma dan Cedera yang Diantisipasi (Barkin et al., 1998). Mekanisme Cedera yang Diantisipasi Kecelakaan mobil Benturan pada jendela mobil Cedera kepala, fraktur tulang wajah, fraktur tulang tengkorak, fraktur tulang leher Benturan pada kemudi mobil Cedera deselerasi pada thorak, termasuk kontusio otot jantung, rupture aorta, kontusi paru, fraktur tulang sternum, flail chest dan hemopneumothorax Cedera abdomen bagian atas termasuk liver dan lien, rupture diafragma, serta cedera pancreaticoduodenal Benturan pada dashboard Dislokasi hip, fraktur hip, fraktur femur, fraktur acetabulum Sabuk pengaman yang tidak sesuai Fraktur tulang midlumbar, cedera organ

4 9 berongga Tahanan oleh 3 point seatbelt Fraktur costa, clavicula, sternum; kontusio paru Terjepitnya bagian bawah tubuh oleh kendaraan Crush injury, fraktur pelvis, fraktur ekstremitas bawah, compartment syndrome Tabrakan dari belakang Cedera hiperekstensi dari tulang cervical, termasuk fraktur dan central cord syndrome Jatuh Jatuh dalam posisi supine Secara umum berpotensi untuk menyebabkan axial dan appendicular skeletal injury Trombosis arteri renal akibat dari robekan pada lapisan tunika intima Jatuh dalam posisi prone Cedera deselerasi pada thorak dan abdomen Jatuh dengan kepala di bawah Jatuh dalam keadaan berdiri Cedera kepala dan cedera cervical Fraktur calcaneus, fraktur thoracolumbar, fraktur pelvis, fraktur pada ekstremitas bawah

5 10 Kecelakaan pada pejalan kaki Kecepatan rendah, dewasa Kecepatan rendah anak-anak Kecepatan tinggi Fraktur tibial plateau, cedera ligamen lutut Cedera kepala, thorak, dan abdomen Cedera multiorgan yang mengancam jiwa Trauma tajam Periorbital Leher bagian anterior Penetrasi intracranial Hematom retrofaring yang berpotensi menyumbat airway Cedera esophagus Thorak Pantat Senapan Cedera jantung dan pembuluh darah besar Cedera rectum dan peritoneum Cedera pada area di sekitar luka masuk Lain-lain Strangulasi Cedera laring, fraktur hyoid, cedera arteri carotid Cedera pada area lokal epigastric atau Hematom dudodenal abdomen kuadran kanan atas (misalnya bicycle handlebar)

6 Patofisiologi Trauma Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan serta infeksi pada tubuh penderita. Adanya kerusakan jaringan dan infeksi tersebut menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang merupakan respon adaptif tubuh untuk mengeliminasi jaringan yang rusak serta untuk mengeliminasi jaringan yang terinfeksi (Gerard M D, 2006) Respon inflamasi tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1. Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling berkoordinasi untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin (tumor necrosis faktor-α), interleukins, interferons, leukotrienes, prostaglandins, nitric oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway (complement, histamine, bradykin). Ketika mediator-mediator tersebut berkumpul di jaringan yang rusak maka mediator-mediator tersebut akan melakukan rekrutmen selsel sistem imun innate dan adaptive untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginvasi serta untuk melakukan proses perbaikan di jaringan yang terluka. Bila derajat infeksi serta trauma melampaui kemampuan tubuh untuk beradaptasi maka respon inflamasi yang awalnya bersifat lokal menjadi sistemik yang kemudian disebut dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome atau SIRS (Craig S R et., 2005). SIRS berhubungan dengan kebocoran kapiler dan kebutuhan energi yang tinggi sehingga memerlukan keadaan hemodinamik yang hiperdinamik dan meningkatkan

7 12 kebutuhan akan oksigen. Keadaan hemodinamik yang hiperdinamik akan menyebabkan peningkatan beban metabolik yang disertai dengan muscle wasting, kehilangan nitrogen, dan pemecahan protein. Keadaan hipermetabolik ini akan disertai dengan peningkatan suhu tubuh inti dan disregulasi suhu tubuh. Bila kondisi tersebut tidak diikuti dengan resusitasi yang adekuat maka konsumsi energi yang tinggi akan menyebabkan terjadinya burn out (Gerard M D, 2006). Gambar 2.1. Respon Inflamasi Pasca Trauma (Gerard M D, 2006)

8 13 SIRS kemudian akan menyebabkan gangguan terhadap metabolisme sel dan microcirculatory perfusion. Bila respon inflamasi yang terjadi cukup berat maka akan menyebabkan perburukan klinis pada pasien dengan manifestasi berupa disfungsi beberapa organ tubuh, yaitu : 1. Disfungsi otak : delirium 2. Disfungsi paru-paru : hipoksia 3. Disfungsi jantung dan pembuluh darah : syok dan edema 4. Disfungsi ginjal : oligouria 5. Disfungsi saluran pencernaan : ileus 6. Disfungsi liver : hiperbilirubinemia 7. Disfungsi hematologi : koagulopati dan anemia (Gerard M D, 2006) Selain disfungsi beberapa organ tubuh, juga terjadi gangguan terhadap sistem imunitas tubuh pasien berupa supresi imun. Sindrom tersebut dikenal dengan multiple organ dysfunction syndrome (MODS). MODS kemudian akan menyebabkan terjadinya multiple organ failure (MOF) yang kemudian berakhir dengan kematian (Gerard M D, 2006). Selain MODS, respon inflamasi yang berlebihan juga dapat meyebabkan terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Hal tersebut disebabkan oleh karena pada respon inflamasi yang berlebihan akan terjadi kerusakan pada permukaan

9 14 alveolar-capillary sehingga menyebabkan kebocoran cairan kaya protein ke rongga alveoli yang akan menimbulkan manifestasi klinis ARDS (Gerard M D, 2006). 2.5 Aspek Molekular pada Trauma Pasca trauma, dalam tubuh pasien akan terjadi perubahan yang dinamis pada respon hemodinamik, metabolik, dan imun yang dipengaruhi oleh mediator endogen atau yang disebut dengan sitokin. Proses inflamasi tersebut merupakan bagian dari respon fisiologis tubuh terhadap suatu trauma. Respon tubuh tersebut akan menimbulkan SIRS yang kemudian akan diikuti dengan compensatory antiinflammatory response syndrome (CARS). Pada proses inflamasi, terjadi keseimbangan antara efek positif dari inflamasi dengan potensi dari proses tersebut untuk menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan. Bila proses inflamasi tersebut berlebihan maka pasien akan memasuki malignant systemic inflammation (moderate atau severe SIRS) yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya ARDS dan MODS (Gerard M D, 2006). Terdapat beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya MODS, antara lain adalah sebagai berikut : 1. Macrophage theory: adanya peningkatan produksi sitokin dan mediator lain oleh activated macrophage.

10 15 2. Microcirculatory theory: adanya syok hipovolemik yang berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen ke jaringan dan fenomena reperfusi yang kemudian dapat menyebabkan MODS. 3. One and two hit theories: cedera awal yang berat dan syok dikatakan sebagai first hit, yang akan menyebabkan terjadinya SIRS yang cukup berat yang kemudian mengaktivasi sistem imun innate, termasuk makrofag, leukosit, natural killer cell, serta migrasi sel inflamasi yang diperkuat oleh interleukin-8 (IL-8) dan komponen komplemen (C5a dan C3a). Ketika stimulus menjadi berkurang dan pasien seharusnya mengalami resolusi, adanya secondary insult atau second hit akan menyebabkan reaktivasi SIRS yang kemudian akan menimbulkan late MODS. Secondary insult yang dimaksud misalnya adalah pembedahan dan sepsis (Craig S R et al., 2005). Bagan one and two hit theory dapat dilihat pada gambar 2.2. Gambar 2.2. One and Two Hit Theory (Craig S R et al., 2005)

11 16 Dampak Sistemik dari Trauma (First Hit) Terjadinya respon inflamasi pasca trauma merupakan bagian dari reaksi fisiologis terhadap suatu trauma. Derajat dari inflamasi tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal (derajat trauma) serta faktor internal (predisposisi genetik seseorang) (Craig S R et al., 2005). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa stimulasi beberapa mediator inflamasi terjadi segera setelah terjadinya trauma. Terdapat beberapa sitokin yang berperan penting dalam proses inflamasi pasca trauma, jenis sitokin tersebut dapat dilihat pada tabel 2. Disebutkan juga bahwa terdapat hubungan antara derajat suatu trauma dengan kadar inflammatory markers, contohnya adalah terjadi peningkatan kadar IL-6 dan IL-8 dalam plasma pasien dengan injury severity score 25 (Craig S R et al., 2005). Tabel 2.2 Sitokin yang Berperan dalam Inflamasi Pasca Trauma (Craig S R et al., 2005) Pengukuran sitokin proinflamasi sangat beramanfaat dalam penggunaan klinis. Awalnya dikatakan bahwa kadar sitokin primary inflammatory, yaitu tumor necrosis

12 17 faktor α (TNF-α) dan Interleukin 12 (IL-12), mempunyai korelasi dengan derajat perdarahan awal serta keadaan nonsurvival setelah mengalami ARDS dan MODS. Kemudian terdapat beberapa penelitian yang bertentangan dengan hal tersebut, dikatakan bahwa IL-6 merupakan marker yang lebih dapat dipercaya (Giannouids P V et al., 2004). Selain terjadi imunostimulasi yang bersifat selektif, pada tubuh pasien pasca trauma juga terjadi imunosupresi. Setelah trauma, produksi immunoglobulin dan interferon berkurang sehingga meningkatkan risiko pasien tersebut untuk terinfeksi yang kemudian nantinya dapat berkembang menjadi sepsis. Selain itu, pada tubuh pasien juga terjadi gangguan pada kemotaksis neutrofil, fagositosis, dan kandungan enzim lisosom (Giannouids P V et al., 2004). Beberapa trauma tertentu disebutkan lebih sering meyebabkan MODS. Diantara trauma ekstremitas, fraktur femur dikatakan berhubungan dengan meningkatnya risiko untuk outcome yang buruk. Hal tersebut dikarenakan fraktur femur berkaitan dengan kerusakan jaringan lunak serta perdarahan yang cukup signifikan (Rockwood, 2006). Dampak Sistemik dari Prosedur Pembedahan (Second Hit) Seorang pasien multiple trauma yang awalnya dalam kondisi moderat kemudian akibat dari second hit, kondisi pasien tersebut dapat memburuk. Yang termasuk

13 18 second hit, antara lain infeksi, transfusi darah, serta intervensi pembedahan. Dengan adanya pemahaman tersebut, maka diciptakan suatu konsep damage control surgery yang bertujuan untuk meminimalisir stress terhadap unstable patient yang berisiko tinggi untuk mengalami komplikasi pascatrauma (Craig S R et al., 2005). Second hit merupakan additive terhadap first hit dan bila kombinasi kedua hal tersebut cukup parah maka akan mengganggu keseimbangan fisiologis pada tubuh pasien serta akan meningkatkan risiko untuk terjadinya MODS dan ARDS (Craig S R et al., 2005). 2.6 Hubungan Sitokin IL-6 dengan Trauma IL-6 merupakan suatu glycoprotein dengan berat molekul kd dan diproduksi oleh beberapa jenis sel, antara lain sel T, sel B dan sel endotel. Produksi IL-6 diinduksi oleh virus, LPS, IL-1 dan TNF. IL 6 kemudian menginduksi proliferasi limfosit B untuk meningkatkan sintesis immunoglobulin serta menginduksi proliferasi limfosit T. IL-6 juga meningkatkan diferensiasi sel T dan aktivitas sel NK (Natural Killer). IL-6 merupakan salah satu marker prognosis terbaik untuk mengetahui outcome pasien dengan SIRS, sepsis, atau MODS (Giannouids P V et al., 2004). Beberapa penelitian mengkonfirmasi peningkatan segera dari kadar IL-6 pasca trauma, dimana pasien dengan derajat trauma yang terberat mempunyai kadar IL-6

14 19 tertinggi. Disebutkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan awal kadar sitokin IL-6, nilai Injury Severity Score yang tinggi serta late adverse outcome. Pada penelitian Gebhard F et al tahun 2000 yang memaparkan perubahan kadar sitokin IL- 6 pasca trauma. Pada penelitian tersebut didapatkan suatu korelasi antara kadar sitokin Il-6 pada 6 jam pertama pasca trauma dengan derajat suatu trauma. Pasien dengan cedera terparah memiliki kadar sitokin IL-6 tertinggi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kadar sitokin IL-6 dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak suatu trauma terhadap tubuh pasien (Gebhard F et al., 2000). Pada penelitian Giannoudis et al tahun 2008 didapatkan bahwa kadar sitokin IL-6 dapat memprediksi terjadinya komplikasi pada pasien multiple trauma, salah satunya adalah terjadinya komplikasi MODS, pada cut off point 300 pg/ml dengan akurasi 78%, sensitivitas 72% dan spesifisitas 78% (Giannoudis et al, 2008). Pada penelitian Stensballe et al tahun 2009 didapatkan bahwa pada hari pertama pasien yang mempunyai kadar sitokin IL-6 lebih dari 300 pg/ml akan mengalami kematian dalam 30 hari (Stensballe et al., 2009). 2.7 Trauma Scoring System Pengukuran mengenai derajat keparahan suatu trauma sudah dimulai pada tahun Diawali dengan pengukuran dengan Abbreviated Injury Scale (AIS) untuk menilai derajat keparahan suatu trauma. AIS merupakan dasar dari penghitungan

15 20 Injury Severity Score yang kemudian banyak diaplikasikan untuk menilai derajat keparahan suatu trauma. Usaha untuk menyimpulkan derajat keparahan suatu trauma pada pasien multiple trauma merupakan hal yang sulit sehingga terdapat beberapa scoring system alternatif yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan (Chawda M N et al., 2004). Metode yang akurat untuk menilai derajat trauma secara kuantitatif mempunyai beberapa manfaat yang potensial, salah satunya adalah untuk memprediksi outcome dari suatu trauma atau prognosis dari pasien trauma. Selain hal tersebut skor trauma juga dapat menjadi bahan pertimbangan dari klinisi untuk menentukan terapi yang akan dilakukan pada pasien trauma dan skor trauma berperan penting di dalam penelitian mengenai trauma (Chawda M N et al., 2004). Terdapat beberapa scoring system untuk trauma dan secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan komponen-komponen yang digunakan, yaitu skor anatomis, skor fisiologis, dan skor kombinasi (Chawda M N et al., 2004). Untuk skor fisiologis, Revised Trauma Score (RTS) merupakan skor yang paling sering digunakan. RTS terdiri dari tiga komponen yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), systolic blood pressure (SBP), dan respiratory rate (RR). RTS mempunyai dua bentuk tergantung dari penggunaannya. Ketika digunakan di triase lapangan, RTS ditentukan

16 21 dengan menambahkan nilai dari masing-masing indikator, sehingga RTS mempunyai rentang (Chawda M N et al., 2004). RTS dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Tabel RTS (Chawda M N et al., 2004). Coded Value GCS SBP (mmhg) RR (breaths/min) <50 < > > Untuk bentuk kedua, yaitu coded RTS (RTSc) digunakan untuk memprediksi outcome pasien trauma. Perhitungan RTSc adalah sebagai berikut dengan SBPc, RRc, dan GCSc merupakan coded value dari masing-masing variabel. RTSc = GCSc SBPc RRc Perhitungan dari RTSc adalah rumit yang menyebakan keterbatasan dari penggunaan skor tersebut di lapangan. Kelebihan dari RTSc adalah menekankan

17 22 dampak cedera kepala yang signifikan terhadap outcome dari pasien trauma. Kelemahan dari RTSc adalah ketidakmampuan untuk menilai secara akurat pasien trauma yang terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik, serta pasien trauma yang sedang dalam pengaruh obat-obatan dan alkohol (Chawda M N et al., 2004). Untuk skor anatomis, terdapat beberapa scoring system, antara lain Abbreviated Injury Score (AIS), Injury Severity Score (ISS), New Injury Severity Score (NISS) (Chawda M N et al., 2004). Abbreviated Injury Scale (AIS) AIS bertujuan untuk mendeskripsikan suatu cedera dan tidak didesain untuk memprediksi outcome. AIS merupakan dasar dari ISS. Pada AIS suatu cedera diranking pada skala 1-6 seperti pada tabel 2.4. Setiap cedera pada tubuh pasien diberi AIS grade (Chawda M N et al., 2004). Tabel 2.4 AIS score (Chawda M N et al., 2004)

18 23 Injury Severity Score (ISS) ISS merupakan suatu anatomical scoring system yang dapat memberikan skor pada pasien dengan multiple trauma. Setiap cedera diberi AIS score dan dialokasikan ke salah satu dari enam regio pada tubuh pasien (kepala, wajah, thorak, abdomen, ekstremitas (termasuk pelvis), serta struktur eksternal). Hanya AIS score yang tertinggi di masing-masing regio tubuh yang digunakan. Kemudian dari AIS score tiga regio tubuh yang memiliki cedera terparah dikuadratkan dan dijumlahkan sehingga menghasilkan ISS. Dengan kata lain ISS adalah jumlah kuadrat dari AIS score tertinggi pada tiga regio tubuh yang mengalami cedera terparah (Chawda M N et al., 2004). ISS mempunyai rentang antara Seseorang dikatakan mengalami multiple trauma bila ISS lebih dari atau sama dengan 16. Contoh penghitungan ISS dapat dilihat pada tabel 2.5 (Chawda M N et al., 2004). ISS mempunyai keterbatasan, yaitu jumlah dari cedera yang diperhitungkan hanya berjumlah tiga, yang masig-masing berasal dari tiga regio tubuh yang memiliki cedera terparah, sehingga akan terjadi underscoring bila pada pasien tersebut terdapat lebih dari satu cedera yang signifikan pada satu regio tubuh dan atau lebih dari tiga regio tubuh. ISS hanya memperhitungkan satu cedera per regio tubuh sehingga tidak mampu untuk mengevaluasi cedera multipel yang terjadi pada regio tubuh yang sama sehingga derajat keparahan suatu trauma sering salah diperkirakan. Selain itu ISS

19 24 hanya memperhitungkan data anatomis dan tidak memperhitungkan data fisiologis. ISS juga memerlukan perawat khusus trauma atau dokter bedah trauma untuk menilai secara akurat dari AIS score (Chawda M N et al., 2004). Tabel 2.5 Contoh Penghitungan ISS (Chawda M N et al., 2004) New Injury Severity Score (NISS) Untuk mengatasi keterbatasan pada ISS maka diciptakanlah New Injury Severity Score (NISS) oleh Osler et al. NISS merupakan jumlah kuadrat dari nilai AIS score dari tiga cedera terparah pada pasien tanpa mempertimbangkan regio tubuh lokasi cedera tersebut (Chawda M N et al., 2004). Disebutkan bahwa NISS lebih akurat dalam memprediksi mortalitas trauma dibandingkan dengan ISS, terutama pada trauma tajam. Disebutkan juga bahwa NISS lebih baik daripada ISS untuk memprediksi terjadinya MOF pasca trauma (Chawda M N et al., 2004).

20 25 Sebuah contoh akan lebih dapat menjelaskan perbedaan antara ISS dan NISS. Misalnya seseorang mengalami kecelakaan sepeda motor dan mengalami cedera steering-wheel compression pada regio abdomen. Pada saat operasi laparotomi, awalnya ditemukan small-bowel perforation (AIS score 3, ISS 9, NISS 9), kemudian ditemukan juga adanya moderate liver laceration (AIS score 3, ISS 9, NISS 18). Kemudian ditemukan moderate pancreatic laceration dengan duct involvement (AIS score 3, ISS 9, NISS 27) serta ditemukan adanya bladder perforation (AIS score 4, ISS 16, NISS 34). Pada ekstremitas bawah pasien tersebut didapatkan bimalleolar fibular fracture (AIS score 2, ISS meningkat menjadi 20, tetapi NISS tetap 34). Hal tersebut menunjukkan bahwa NISS lebih konsisten dengan naluri dokter bedah trauma daripada ISS, dimana bila jumlah cedera bertambah maka seseorang lebih berisiko mengalami kematian, bahkan bila cedera-cedera tersebut hanya terakumulasi pada satu regio tubuh. Selain itu adanya cedera yang tidak terlalu parah di regio tubuh yang lain (dalam kasus ini adalah fibular fracture) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap risiko untuk mengalami kematian (Chawda M N et al., 2004). NISS dikatakan lebih superior daripada ISS pada kasus trauma tajam, sedangkan belum terdapat penelitian mengenai perbandingan antara NISS dengan ISS dalam memprediksi outcome pada pasien yang mengalami trauma tumpul (Chawda M N et al., 2004). NISS mempunyai beberapa keterbatasan. Pada NISS, begitu juga dengan ISS, hanya memperhitungkan data anatomis dan tidak memperhitungkan data fisiologis,

21 26 untuk memprediksi outcome pada pasien. NISS juga memerlukan memerlukan perawat khusus trauma atau dokter bedah trauma untuk menilai secara akurat dari AIS score (Chawda M N et al., 2004). Skor Kombinasi Salah satu contoh skor kombinasi adalah Trauma Injury Severity Score (TRISS), yang mengkombinasikan faktor anatomi (ISS) dan fisiologis (RTS) untuk mengukur derajat keparahan suatu trauma serta memasukkan faktor usia untuk memprediksi prognosis pasien trauma (Chawda M N et al., 2004). Untuk memprediksi prognosis pasien trauma, formula TRISS adalah sebagai berikut : Ps : Probabilitas hidup b : b0 + b1(rts) + b2(iss) + b3(age Index) Koefisien b0-b3 terdapat pada tabel 2.6

22 27 Tabel 2.6 Koefisien TRISS (Chawda M N et al., 2004) Age Index adalah 0 bila pasien berumur kurang dari 54 tahun atau 1 bila pasien berumur 55 tahun atau lebih (Chawda M N et al., 2004). TRISS mempunyai beberapa kelemahan, antara lain akurasi yang moderat untuk memprediksi prognosis pasien trauma dan tidak mempertimbangkan faktor komorbid seperti penyakit jantung, penyakit paru, serta penyakit lainnya (Chawda M N et al., 2004) Mechanism, Glasgow Coma Scale, Age, and Arterial Pressure (MGAP) Score MGAP score diciptakan oleh Sarorius et al pada tahun 2010 dan merupakan improvisasi dari skor-skor trauma yang sudah ada sebelumnya. Skor tersebut dapat memprediksi terjadinya mortalitas pada pasien trauma (Hasler R M et al., 2012). Sistem MGAP score dapat dilihat pada tabel 2.7

23 28 Tabel 2.7 MGAP score (Hasler R M et al., 2012) MGAP score (3-29 poin) Umur < 60 tahun 5 Tekanan darah sistolik >120 mmhg 5 Tekanan darah sistolik mmhg 3 Tekanan darah sistolik <60 mmhg 0 Skor GCS (3-15) Skor GCS Mekanisme trauma tusuk 4 Dari skor tersebut kemudian pasien trauma dikategorikan menjadi tiga berdasarkan risiko mortalitas, yaitu: Kategori low (mortalitas <5%) : Skor Kategori medium (mortalitas 5-50%) : Skor Kategori high (mortalitas >50%) : Skor 3-17 MGAP score mempunyai keterbatasan yaitu skor yang lebih tinggi pada trauma tusuk dibandingkan dengan trauma tumpul, meskipun trauma tusuk tidak selalu lebih parah daripada trauma tumpul dan trauma tusuk secara epidemiologi terjadi pada 10% pasien trauma (Hasler R M et al., 2012).

24 Glasgow Coma Scale, Age, and Arterial Pressure (GAP) Score Untuk mengatasi keterbatasan pada MGAP score maka Yutaka et al pada tahun 2011 menciptakan GAP score. GAP score tidak memasukkan mekanisme trauma sebagai bagian skor. Skor tersebut juga dapat memprediksi terjadinya mortalitas pada pasien trauma (Hasler R M et al., 2012). Sistem GAP score dapat dilihat pada tabel 2.8 Tabel 2.8 GAP score (Hasler R M et al., 2012) GAP score (3-24 poin) Umur 60 tahun 0 Umur < 60 tahun 3 Tekanan darah sistolik >120 mmhg 6 Tekanan darah sistolik mmhg 4 Tekanan darah sistolik <60 mmhg 0 Skor GCS (3-15) Skor GCS GAP score mempunyai kelebihan dibandingkan sistem trauma score yang lain karena lebih sederhana serta dapat memprediksi terjadinya mortalitas pada pasien trauma (Hasler R M et al., 2012).

25 Klasifikasi Kondisi Pasien Multiple Trauma Setelah dilakukan assessment dan intervensi awal maka kondisi pasien sebaiknya diklasifikasikan diantara empat kategori dengan tujuan untuk memandu langkah perawatan berikutnya. Keempat kategori tersebut adalah stable, borderline, unstable, dan in extremis. Kategori ini berdasarkan atas derajat keparahan trauma, adanya cedera spesifik, dan keadaan hemodinamik. Sebelum pasien dimasukkan dalam salah satu kategori, terlebih dahulu harus dicapai end points of resuscitation. Yang termasuk end points of resuscitation adalah hemodinamik yang stabil, saturasi oksigen yang stabil, kadar laktat di bawah 2 mmol/l, tidak ada gangguan koagulasi, temperatur yang normal, urine output di atas 1 ml/kg/jam, dan tidak diperlukannya dukungan inotropic (Trentz O L, 2000). Pasien dikatakan stable bila pasien tidak memiliki cedera yang mengancam jiwa dengan segera, berespon terhadap terapi awal, dan memiliki hemodinamik stabil tanpa dukungan inotropik. Pada pasien juga tidak terdapat gangguan fisiologis, seperti koagulopati, respiratory distress, atau ongoing occult hypoperfusion yang bermanifestasi sebagai gangguan keseimbangan asam basa, serta pada pasien tidak terdapat hipotermia. Pasien dalam kondisi stable memiliki physiologic reserve untuk mampu bertahan menghadapi tindakan pembedahan yang panjang (Rockwood, 2006).

26 31 Pasien dikatakan borderline bila pasien telah distabilkan dan berespon terhadap resusitasi awal tetapi memiliki beberapa manifestasi klinis atau cedera sebagai berikut: ISS <40 Hipotermia dengan temperatur <35 C Mean pulmonary arterial pressure awal >24 mm Hg atau peningkatan >6 mm Hg pada pulmonary artery pressure selama dilakukannya intramedullary nailing atau tindakan operasi lainnya Multiple injuries (ISS >20) yang disertai dengan trauma thorak (AIS >2) Multiple injuries yang disertai dengan cedera abdomen dan pelvis yang parah serta mengalami syok hipovolemik pada awal datangnya pasien tersebut (systolic BP <90 mm Hg) Adanya kontusio paru pada pemeriksaan radiologis Pasien dengan fraktur femur bilateral Pasien dengan cedera kepala sedang atau berat (AIS >3) Faktor-faktor di atas berkaitan dengan outcome yang buruk dan berisiko menyebabkan kondisi pasien memburuk. Pada pasien tersebut harus tetap dilakukan pengawasan dan dapat pula digunakan invasive monitoring (Rockwood, 2006). Pasien dikatakan unstable bila kondisi hemodinamik pasien masih unstable walaupun telah dilakukan resusitasi awal. Pada pasien tersebut berisiko tinggi untuk

27 32 mengalami perburukan secara cepat, yang kemudian diikuti dengan multiple organ failure dan kematian. Pada kategori ini maka penatalaksanaan menggunakan damage control approach, dimana pendekatan tersebut menekankan rapid life saving surgery hanya bila diperlukan secara absolut serta diikuti dengan mentransfer pasien ke Intensive Care Unit / ICU untuk stabilisasi dan monitoring lebih lanjut. Disarankan untuk dilakukan temporay stabilization dari fraktur dengan menggunakan external fixation dan juga dilakukan hemorrhage control. Tindakan pembedahan yang kompleks sebaiknya ditunda hingga tercapainya kondisi pasien yang stabil serta respon inflamasi telah berkurang. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak second hit dari suatu tindakan pembedahan (Rockwood, 2006). Pasien yang termasuk kategori in extremis adalah pasien yang akan meninggal akibat cedera yang terlalu parah dan sering didapatkan adanya ongoing uncontrolled blood loss. Pasien tersebut tetap severely unstable walaupun telah dilakukan usaha resusitasi yang agresif. Pada pasien tersebut juga ditemukan triad of death, yaitu hipotermia, asidosis, dan koagulopati. Sebaiknya tetap dilakukan damage control approach yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa kemudian setelah tindakan tersebut pasien ditransfer ke ICU untuk invasive monitoring dan advanced hematological, pulmonary, dan cardiocvascular support. Cedera orthopaedi dapat distabilkan dengan cepat dengan menggunakan external fixation. Tindakan pembedahan yang bersifat rekonstruktif sebaiknya ditunda dan dapat dikerjakan bila nyawa pasien terselamatkan (Rockwood, 2006).

28 Penatalaksanaan pada Pasien Multiple Trauma Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple trauma adalah untuk membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasi untuk memastikan perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. Hal tersebut dapat dicapai dengan cara konservatif seperti intubasi, ventilasi, dan volume replacement sesuai dengan protokol Advanced Trauma and Life Support / ATLS. Bila dengan cara konservatif tidak bisa memberikan respon yang positif maka dapat dilakukan immediate life-saving surgery (Solomon, 2001; Rockwood, 2006). Untuk penanganan awal digunakan konsep damage control, yaitu kontrol terhadap perdarahan dan kontaminasi, irigasi, packing, serta penutupan luka atau rongga abdomen. Selanjutnya dilakukan stabilisasi fungsi fisiologis pasien di ICU, yang kemudian diikuti dengan pembedahan definitif bila kondisi pasien memungkinkan (Trentz O L, 2000). Untuk algoritma penanganan pasien multiple trauma dapat dilihat pada gambar 2.3

29 34 Primary Survey Basic imaging Resusitasi Evaluasi + respon? - Life-saving surgery? Damage control ICU Secondary Survey Scoring Delayed primary surgery Gambar 2.3. Initial Assesment dan Penatalaksanaan pada Pasien Multiple Trauma (Trentz O L, 2000) Prioritas dan Timing Pembedahan pada Pasien Multiple Trauma Pada pasien multiple trauma, keputusan untuk memilih cedera yang akan ditangani terlebih dahulu dapat menjadi sulit, terutama bila cedera tersebut berbahaya dan dapat menyebabkam gangguan hemodinamik. Ketika cedera yang berbeda memerlukan tindakan spesialisasi yang berbeda maka dapat menimbulkan perbedaan pendapat mengenai prioritas tindakan yang akan dilakukan. Penelitian mengenai epidemiologi mortalitas pada pasien trauma serta pengalaman klinis yang dimiliki

30 35 dapat memilah cedera tertentu yang sangat fatal dan harus menjadi prioritas untuk ditangani dibandingkan cedera lainnya. Terkadang pada cedera tertentu dapat dilakukan tindakan pembedahan dini tanpa dilakukannya prosedur diagnostik yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa. Cedera-cedera yang dimaksud adalah penetrating thoracic injury yang mengakibatkan cardiac tamponade, open arterial injury, dan trauma pelvis. Adanya perdarahan yang terus-menerus disertai syok yang resisten terhadap resusitasi pada area thorak, abdomen, atau pelvis merupakan indikasi untuk dilakukannya tindakan pembedahan (Pape et al, 2002; Rockwood, 2006). Timing untuk melakukan pembedahan harus mempertimbangkan kondisi pasien serta respon pasien terhadap resusitasi awal (Trentz O L, 2000). Timing untuk pembedahan dapat dilihat pada tabel Rehabilitasi Rehabilitasi pada pasien multiple trauma harus dimulai sedini mungkin. Pada pasien multiple trauma dengan cedera kepala, rehabilitasi bertujuan untuk memfasilitasi stimulasi terhadap fungsi kognitif dari pasien. Sebelum dilakukan rehabilitasi sebaiknya dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien tersebut sudah tidak dalam pengaruh dari obat sedatif (Rockwood, 2006).

31 36 Tabel 2.9. Timing untuk Pembedahan (Trentz O L, 2000). Status Fisiologis Intervensi Pembedahan Timing Respon terhadap resusitasi awal (-) Life-saving surgery (?) Damage control (+) Delayed primary surgery Hari I Hyper-inflammation Second look, only Hari II-III Window of opportunity Scheduled definitive Hari V-X surgery Immunosuppression Recovery No surgery Secondary reconstructive surgery Minggu III Pada rehabilitasi pasien multiple trauma yang disertai dengan cedera pada sistem muskuloskeletal maka rehabilitasi bertujuan untuk melatih mobilisasi dari ekstremitas yang mengalami cedera. Saat perawatan di bangsal, rehabilitasi dilakukan dengan latihan aktif oleh pasien tersebut serta diawasi oleh trained physiotherapist. Sering terjadi ketakutan pada pasien saat melakukan mobilisasi, hal tersebut memerlukan penjelasan yang baik dari dokter bedah maupun physiotherapist mengenai tujuan dari mobilisasi tersebut yaitu untuk mempertahankan mobilitas sendi serta untuk

32 37 mencegah terjadinya osteoporosis yang disebabkan oleh imobilisasi (Rockwood, 2006) Outcome Outcome pada pasien multiple trauma dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain lain derajat trauma, lokasi cedera, umur pasien, adanya kondisi penyerta pada pasien, serta penatalaksanaan pada pasien tersebut (Rockwood, 2006). Kematian karena trauma terjadi pada salah satu dari tiga periode waktu (Trimodal Death Distribution). Puncak pertama dari kematian adalah kematian yang terjadi beberapa detik atau menit setelah kejadian yang biasanya disebabkan oleh laserasi otak, cedera batang otak, cedera spinal cord level tinggi, serta cedera jantung dan aorta. Kematian puncak kedua terjadi beberapa menit sampai beberapa jam setelah trauma yang disebabkan oleh perdarahan subdural dan epidural, hemopneumothoraks, rupture limpa, laserasi hati, cedera pelvis, serta cedera lainnya dengan perdarahan yang masif. Kematian puncak ketiga terjadi beberapa hari atau minggu setelah trauma yang disebabkan oleh sepsis dan MOF (ATLS 2004). Pada pasien multiple trauma tanpa cedera kepala dan dilakukan perawatan di rumah sakit yang memadai, mortalitasnya adalah kurang lebih 10%, sedangkan pada pasien multiple trauma yang disertai dengan cedera kepala mortalitasnya adalah kurang lebih 30%. Trauma thorak, cedera solid abdominal organ serta fraktur lebih

33 38 dari satu long bone disebutkan juga meningkatkan risiko kematian pada pasien multiple trauma. Pada pasien trauma, MOF dapat terjadi pada 5% pasien. Mortalitas pada pasien dengan MOF adalah antara 20% - 100% (Chawda MN et al, 2005; Hietbrink F et al., 2006). Mortalitas pada pasien berumur tua lebih tinggi daripada pasien berumur muda. Tingkat mortalitas pada pasien berumur tua adalah 42,3%. Adanya penurunan fungsi fisiologik, berkurangnya physiologic reserve, serta adanya kondisi penyerta merupakan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap lebih tingginya mortalitas pada pasien berumur tua dibandingkan dengan pasien berumur muda (Rockwood, 2006). Selain masalah gangguan fisik, pada pasien yang mengalami trauma juga dapat mengalami gangguan psikis pasca trauma, yaitu post traumatic stress disorder (PTSD) serta depresi. Pada penelitian oleh Suliman et al disebutkan bahwa keluhan dan gejala PTSD dan depresi pada pasien multiple trauma lebih berat daripada pasien yang mengalami single trauma (Suliman S et al., 2009).

CUT OFF POINT GAP SCORE

CUT OFF POINT GAP SCORE TESIS CUT OFF POINT GAP SCORE SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN MULTIPLE ORGAN DYSFUNCTION SYNDROME BERDASARKAN KADAR SITOKIN INTERLEUKIN-6 PADA PASIEN CEDERA MUSKULOSKELETAL MAYOR DENGAN MULTIPLE TRAUMA NYOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya trias kematian (hipotermia, asidosis dan koagulopati) yang kini

BAB I PENDAHULUAN. khususnya trias kematian (hipotermia, asidosis dan koagulopati) yang kini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma merupakan permasalahan utama yang dihadapi pada kehidupan moderen saat ini. Secara global, 10% dari seluruh jumlah kematian disebabkan oleh trauma. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai trauma mayor karena tulang femur merupakan tulang yang sangat kuat, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. sebagai trauma mayor karena tulang femur merupakan tulang yang sangat kuat, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Fraktur femur merupakan salah satu trauma mayor di bidang Orthopaedi. Dikatakan sebagai trauma mayor karena tulang femur merupakan tulang yang sangat kuat, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Trauma pembedahan menyebabkan perubahan hemodinamik, metabolisme, dan respon imun pada periode pasca operasi. Seperti respon fisiologis pada umumnya, respon

Lebih terperinci

Rescucitation in Trauma Patient REZA WIDIANTO SUDJUD,DR.,SPAN.,KAKV.,KIC.,M.KES

Rescucitation in Trauma Patient REZA WIDIANTO SUDJUD,DR.,SPAN.,KAKV.,KIC.,M.KES Rescucitation in Trauma Patient REZA WIDIANTO SUDJUD,DR.,SPAN.,KAKV.,KIC.,M.KES Latar Belakang Trauma masih merupakan penyebab kematian ke-7 di Indonesia yaitu sekitar 3% (CDC,2012) Trauma juga masih merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks atau

BAB I PENDAHULUAN. Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks atau organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam. Trauma tumpul toraks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera otak traumatik (traumatic brain injury) masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Cedera otak traumatik (traumatic brain injury) masih merupakan masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera otak traumatik (traumatic brain injury) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar. Diperkirakan insidensinya lebih dari 500 per 100.000 populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis menimbulkan suatu respon imun yang berlebihan oleh tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis menimbulkan suatu respon imun yang berlebihan oleh tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis menimbulkan suatu respon imun yang berlebihan oleh tubuh terhadap suatu infeksi. 1 Ini terjadi ketika tubuh kita memberi respon imun yang berlebihan untuk infeksi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA STATUS GLASSGOW COMA SCALE DENGAN ANGKA LEUKOSIT PADA PASIEN TRAUMA KEPALA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA STATUS GLASSGOW COMA SCALE DENGAN ANGKA LEUKOSIT PADA PASIEN TRAUMA KEPALA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA STATUS GLASSGOW COMA SCALE DENGAN ANGKA LEUKOSIT PADA PASIEN TRAUMA KEPALA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Oleh: ADE SOFIYAN J500050044 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sepsis adalah suatu kumpulan gejala inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sepsis adalah suatu kumpulan gejala inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis dan Gagal Sistem Organ Multipel Sepsis adalah suatu kumpulan gejala inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome / SIRS) yang disebabkan oleh infeksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper & BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam bidang neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multiorgan, ini disebut septic shock. Sepsis merupakan SIRS (Systemic. tempat infeksi, maka ini disebut dengan sepsis berat.

BAB I PENDAHULUAN. multiorgan, ini disebut septic shock. Sepsis merupakan SIRS (Systemic. tempat infeksi, maka ini disebut dengan sepsis berat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Infeksi serius dan kelainan lain yang bukan infeksi seperti pankreatitis, trauma dan pembedahan mayor pada abdomen dan kardiovaskular memicu terjadinya SIRS atau sepsis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Tingginya biaya perawatan,

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rumah sakit di Indonesia dengan angka kematian 5,7%-50% dalam tahun

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rumah sakit di Indonesia dengan angka kematian 5,7%-50% dalam tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sindrom syok dengue (SSD) adalah manifestasi demam berdarah dengue (DBD) paling serius. Angka morbiditas infeksi virus dengue mencapai hampir 50 juta kasus per tahun

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. klinis cedera kepala akibat trauma adalah Glasgow Coma Scale (GCS), skala klinis yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. klinis cedera kepala akibat trauma adalah Glasgow Coma Scale (GCS), skala klinis yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala Akibat Trauma Cedera kepala umumnya diklasifikasikan atas satu dari tiga sistem utama, yaitu: keparahan klinis, tipe patoanatomi dan mekanisme fisik.

Lebih terperinci

EARLY DETECTION AND TREATMENT OF SEPSIS. dr. Eko Setijanto, Sp.An,KIC Intensive Care Unit, DR Moewardi Hospital

EARLY DETECTION AND TREATMENT OF SEPSIS. dr. Eko Setijanto, Sp.An,KIC Intensive Care Unit, DR Moewardi Hospital EARLY DETECTION AND TREATMENT OF SEPSIS dr. Eko Setijanto, Sp.An,KIC Intensive Care Unit, DR Moewardi Hospital BACKGROUND Prevalensi SIRS mencakup 1/3 total pasien rawat inap di RS dan > 50 % dari seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Sepsis merupakan suatu sindrom klinis infeksi yang berat dan ditandai dengan tanda kardinal inflamasi seperti vasodilatasi, akumulasi leukosit, dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada sepsis terjadi proses inflamasi sistemik atau systemic inflammatory

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada sepsis terjadi proses inflamasi sistemik atau systemic inflammatory BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pada sepsis terjadi proses inflamasi sistemik atau systemic inflammatory response syndrome (SIRS) sebagai respons klinis terhadap adanya infeksi. SIRS akan melibatkan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. Sampai saat ini sepsis masih merupakan masalah utama kesehatan dan

B A B I PENDAHULUAN. Sampai saat ini sepsis masih merupakan masalah utama kesehatan dan B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini sepsis masih merupakan masalah utama kesehatan dan penyebab kematian utama di dunia. Jumlah penderita sepsis di Amerika Serikat pada tahun 2000 mencapai

Lebih terperinci

Primary Survey a) General Impressions b) Pengkajian Airway

Primary Survey a) General Impressions b) Pengkajian Airway Primary Survey Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah

Lebih terperinci

MONITORING HEMODINAMIK TIM ICU INTERMEDIATE ANGKATAN I

MONITORING HEMODINAMIK TIM ICU INTERMEDIATE ANGKATAN I MONITORING HEMODINAMIK TIM ICU INTERMEDIATE ANGKATAN I Hemodinamik Aliran darah dalam sistem peredaran tubuh kita baik sirkulasi magna/ besar maupun sirkulasi parva/ sirkulasi dalam paru paru. Monitoring

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan di ruang perawatan anak RSUD Dr Moewardi Surakarta. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret- September 2015 dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, sepsis didefinisikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, sepsis didefinisikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sepsis 2.1.1 Definisi Menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, sepsis didefinisikan sebagai munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan. penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat,

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan. penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi dan sepsis termasuk salah satu dari penyebab kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intelektual serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. intelektual serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan teknologi terutama dalam bidang transportasi mengakibatkan meningkatnya jumlah dan jenis kendaraan bermotor dan hal ini berdampak pada meningkatnya kasus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Cedera atau trauma adalah permasalahan yang berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Cedera atau trauma adalah permasalahan yang berkembang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Cedera atau trauma adalah permasalahan yang berkembang dengan tiga penyebab utama kematian secara global. Tiga hal tersebut adalah kecelakaan lalu lintas, pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial, yang insidensi, morbiditas, dan mortalitasnya sedang meningkat di seluruh belahan dunia. 1 Sindrom klinik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI PENDAHULUAN Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Normalnya, rongga pleura hanya

Lebih terperinci

B. Kriteria Sepsis ( ada 2 atau lebih ):

B. Kriteria Sepsis ( ada 2 atau lebih ): SEPSIS I. PENGERTIAN Deskripsi: Sepsis terjadi mikroorganisme memasuki tubuh dan menginisiasi respon sistem inflamasi, pada sepsis berat terjadi perfusi jaringan abnormal disertai disfungsi organ. Sepsis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 45% dari kematian anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia (WHO, 2016). Dari

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 45% dari kematian anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia (WHO, 2016). Dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Periode neonatus merupakan waktu yang paling rawan untuk kelangsungan hidup anak. Pada tahun 2015, 2,7 juta neonatus meninggal, merepresentasikan 45% dari kematian anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit hati dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal pada dekade

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. juta dolar Amerika setiap tahunnya (Angus et al., 2001). Di Indonesia masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. juta dolar Amerika setiap tahunnya (Angus et al., 2001). Di Indonesia masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepsis merupakan satu dari sepuluh penyebab kematian di Amerika Serikat (AS). Diperkirakan terdapat 751.000 kasus sepsis berat setiap tahunnya di AS dengan

Lebih terperinci

TRAUMA KEPALA. Doni Aprialdi C Lusi Sandra H C Cynthia Dyliza C

TRAUMA KEPALA. Doni Aprialdi C Lusi Sandra H C Cynthia Dyliza C TRAUMA KEPALA Doni Aprialdi C11050165 Lusi Sandra H C11050171 Cynthia Dyliza C11050173 PENDAHULUAN Insidensi trauma kepala di USA sekitar 180-220 kasus/100.000 populasi (600.000/tahunnya) 10 % dari kasus-kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan sindroma klinik akibat respon yang berlebihan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan sindroma klinik akibat respon yang berlebihan dari sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sepsis merupakan sindroma klinik akibat respon yang berlebihan dari sistem imun yang distimulasi oleh mikroba atau bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi. 1. mematikan namun dapat dihindari. Berdasarkan laporan World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi. 1. mematikan namun dapat dihindari. Berdasarkan laporan World Health 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok merupakan problem kesehatan yang serius yang menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi. 1 Merokok adalah penyebab kematian satu dari sepuluh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasien kritis adalah pasien dengan penyakit atau kondisi yang mengancam jiwa pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive Care

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Dari 2 artikel tentang syok traumatik diatas membahas tentang syok traumatik yaitu syok

BAB III PEMBAHASAN. Dari 2 artikel tentang syok traumatik diatas membahas tentang syok traumatik yaitu syok BAB III PEMBAHASAN Dari 2 artikel tentang syok traumatik diatas membahas tentang syok traumatik yaitu syok karena trauma tidak dikatakan sebagai syok hipovolemik, selain itu juga dalam penatalaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya komplikasi yang lebih berbahaya. diakibatkan oleh sepsis > jiwa pertahun. Hal ini tentu menjadi

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya komplikasi yang lebih berbahaya. diakibatkan oleh sepsis > jiwa pertahun. Hal ini tentu menjadi BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Sepsis merupakan suatu respon sistemik yang dilakukan oleh tubuh ketika menerima sebuah serangan infeksi yang kemudian bisa berlanjut menjadi sepsis berat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Selama penelitian didapatkan subjek penelitian sebesar 37 penderita kritis yang mengalami hiperbilirubinemia terkonjugasi pada hari ketiga atau lebih (kasus) dan 37 penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengguna kendaraan bermotor di masyarakat, tingkat kecelakaan di dunia

BAB I PENDAHULUAN. pengguna kendaraan bermotor di masyarakat, tingkat kecelakaan di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dewasa ini dengan kemajuan teknologi automotif dan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor di masyarakat, tingkat kecelakaan di dunia semakin hari semakin meningkat.

Lebih terperinci

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan HEAD INJURY Pendahuluan Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan peralatan keselamatan sabuk pengaman, airbag, penggunaan helm batas kadar alkohol dalam

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. A. Latar Belakang Masalah. Analisis Gas Darah merupakan salah satu alat. diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk

BAB I LATAR BELAKANG. A. Latar Belakang Masalah. Analisis Gas Darah merupakan salah satu alat. diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk BAB I LATAR BELAKANG A. Latar Belakang Masalah Analisis Gas Darah merupakan salah satu alat diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam basa.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. umur dibawah 45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. umur dibawah 45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Penyebab 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur dibawah 45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Penyebab paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. cedera kepala murni akan tetapi juga disertai cedera di regio lain. Trauma yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. cedera kepala murni akan tetapi juga disertai cedera di regio lain. Trauma yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Cedera kepala merupakan kasus trauma yang sering ditemui oleh para ahli bedah dan ahli bedah saraf. Umumnya ahli bedah tidak hanya dihadapkan pada cedera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemantauan intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial

BAB I PENDAHULUAN. pemantauan intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ICU atau Intensive Care Unit merupakan pelayanan keperawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis, cidera dengan penyulit yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons inflamasi tubuh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. denyut/menit; 3. Respirasi >20/menit atau pa CO 2 <32 mmhg; 4. Hitung leukosit

BAB I PENDAHULUAN. denyut/menit; 3. Respirasi >20/menit atau pa CO 2 <32 mmhg; 4. Hitung leukosit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sepsis adalah SIRS (Systemic Inflamatory Respons Syndrome) ditambah tempat infeksi yang diketahui atau ditentukan dengan biakan positif dari organisme dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas. Di Inggris misalnya, setiap tahun sekitar 100.000 kunjungan pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya dimana kerusakan disebabkan gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya dimana kerusakan disebabkan gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis crania serta organ didalamnya dimana kerusakan disebabkan gaya mekanik dari luar sehingga timbul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya malnutrisi pada pasien dan meningkatkan angka infeksi, atrofi otot,

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya malnutrisi pada pasien dan meningkatkan angka infeksi, atrofi otot, 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status nutrisi pasien sakit kritis merupakan faktor utama untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Rendahnya terapi nutrisi akan menyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis, alokasi sumber daya dan

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis, alokasi sumber daya dan A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Traumatic Brain Injury (TBI) merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di kalangan anak muda di seluruh dunia, prediksi hasil saat masuk RS sangat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma /ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperglikemia sering terjadi pada pasien kritis dari semua usia, baik pada dewasa maupun anak, baik pada pasien diabetes maupun bukan diabetes. Faustino dan Apkon (2005)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LATAR BELAKANG Kejadian mengancam nyawa sering disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LATAR BELAKANG Kejadian mengancam nyawa sering disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kejadian mengancam nyawa sering disebabkan oleh perdarahan. 1,2,3 Menurut data di Inggris (2010) sebanyak 80% kematian diakibatkan perdarahan yang menyebabkan syok

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi sistemik dikarenakan adanya infeksi. 1 Sepsis merupakan masalah kesehatan dunia karena patogenesisnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Air merupakan komponen terbesar dari tubuh sekitar 60% dari berat badan

I. PENDAHULUAN. Air merupakan komponen terbesar dari tubuh sekitar 60% dari berat badan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen terbesar dari tubuh sekitar 60% dari berat badan rata-rata orang dewasa (70 kg). Total air tubuh dibagi menjadi dua kompartemen cairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peritonitis Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tekanan Intra Abdomen Rongga abdomen dapat dianggap sebagai kotak tertutup dengan dinding yang keras (iga, tulang belakang, dan pelvis) serta dinding yang fleksibel (dinding

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen..

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen.. BAB VI PEMBAHASAN Pembentukan adhesi intraperitoneum secara eksperimental dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu model iskemia, model perlukaan peritoneum, model cedera termal, dengan benda asing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk Indonesia sampai tahun ini mencapai 237,56 juta orang (Badan

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk Indonesia sampai tahun ini mencapai 237,56 juta orang (Badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Jumlah penduduk di Indonesia setiap tahunya mengalami peningkatan, total jumlah penduduk Indonesia sampai tahun ini mencapai 237,56 juta orang (Badan pusat statistik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang timbul karena kelainan metabolisme yang disebabkan oleh tidak bekerjanya

BAB I PENDAHULUAN. yang timbul karena kelainan metabolisme yang disebabkan oleh tidak bekerjanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit diabetes melitus (DM) adalah masalah kesehatan utama di dunia yang timbul karena kelainan metabolisme yang disebabkan oleh tidak bekerjanya hormon insulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner & Suddarth,

BAB I PENDAHULUAN. tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner & Suddarth, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang dilakukan di RSO Prof.Dr. dr. R.Soeharso Surakarta, antara tanggal 1 Januari 2012 sampai 30 Juni 2015 didapatkan hasil penelitian 102 pasien. 4.1.1 Distribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit tentunya

BAB I PENDAHULUAN. Pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit tentunya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat, untuk itu perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang. Setiap tahun sekitar 500.000 penderita kanker serviks baru di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di masyarakat. Sepsis menjadi salah satu dari sepuluh penyebab kematian terbesar di dunia. Diagnosis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Efusi pleura merupakan suatu keadaan yang cukup sering dijumpai. Angka kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta populasi

Lebih terperinci

PATIENT ASSESSMENT [ Primary-Secondary ass.] Dr. Ugi Sugiri,Sp.EM

PATIENT ASSESSMENT [ Primary-Secondary ass.] Dr. Ugi Sugiri,Sp.EM PATIENT ASSESSMENT [ Primary-Secondary ass.] Dr. Ugi Sugiri,Sp.EM 1 Pendahuluan Apakah yang dimaksud dengan Penilaian pasien? Mengapa Penilaian Pasien harus dilakukan? Mengapa diperlukan metoda Penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Dengue telah menjadi masalah kesehatan masyarakat tidak hanya di Indonesia namun juga di dunia internasional. Infeksi Dengue terutama Dengue Haemorrhagic

Lebih terperinci

BAB 3 SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

BAB 3 SUBJEK DAN METODE PENELITIAN BAB 3 SUBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1. Subjek Penelitian 3.1.1. Kriteria Subjek Penelitian Subjek penelitian ini ialah pasien yang mengalami fraktur femur di Rumah Sakit Haji Adam Malik pada tahun Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Gangguan Ginjal Akut pada Pasien Kritis Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan kadar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dari sekian banyak kasus penyakit jantung, Congestive Heart Failure

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dari sekian banyak kasus penyakit jantung, Congestive Heart Failure BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari sekian banyak kasus penyakit jantung, Congestive Heart Failure (CHF) menjadi yang terbesar. Bahkan dimasa yang akan datang penyakit ini diprediksi akan terus bertambah

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN. ALI/ARDS adalah suatu keadaan yang menggambarkan reaksi inflamasi

BAB 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN. ALI/ARDS adalah suatu keadaan yang menggambarkan reaksi inflamasi 5 BAB 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Definisi ALI ALI/ARDS adalah suatu keadaan yang menggambarkan reaksi inflamasi yang luas dan parah dari parenkim paru. 10 ALI/ARDS merupakan kumpulan gejala akibat inflamasi

Lebih terperinci

RESPIRATORY FAILURE. PRESENTATION by Dr. Fachrul Jamal Sp.An(KIC)

RESPIRATORY FAILURE. PRESENTATION by Dr. Fachrul Jamal Sp.An(KIC) RESPIRATORY FAILURE PRESENTATION by Dr. Fachrul Jamal Sp.An(KIC) 1 DEFINIS I Gagal napas adalah ketidakmampuan paru-paru memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Hal ini dapat terjadi akibat kegagalan oksigenasi

Lebih terperinci

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi Syok Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi akibat akumulasi bakteri plak. Gingivitis dan periodontitis merupakan dua jenis

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi akibat akumulasi bakteri plak. Gingivitis dan periodontitis merupakan dua jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal adalah peradangan yang terjadi pada jaringan pendukung gigi akibat akumulasi bakteri plak. Gingivitis dan periodontitis merupakan dua jenis penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. KHS terjadi di negara berkembang. Karsinoma hepatoseluler merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. KHS terjadi di negara berkembang. Karsinoma hepatoseluler merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan Masalah Karsinoma hepatoseluler (KHS) merupakan kanker terbanyak kelima pada laki-laki (7,9%) dan ketujuh pada wanita 6,5%) di dunia, sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK)mempunyai risiko lebih besar

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK)mempunyai risiko lebih besar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, dimana pada suatu derajat sehingga memerlukan terapi pengganti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sepsis adalah penyakit sistemik disebabkan penyebaran mikroba atau toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti disfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

Kesetimbangan asam basa tubuh

Kesetimbangan asam basa tubuh Kesetimbangan asam basa tubuh dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ph normal darah Dipertahankan oleh sistem pernafasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak (Junaidi, 2011). Menurut Organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema batas tegas ditutupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons tubuh terhadap invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan endotoksin

Lebih terperinci