ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI"

Transkripsi

1 ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI CITRA LEONATARIS A PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 RINGKASAN CITRA LEONATARIS. Analisis Pola Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU. Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi meningkatnya standar kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup. Dampak dari peningkatan standar kualitas dan kuantitas hidup tersebut mengakibatkan peningkatan kebutuhan ketersediaan fasilitas. Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas tersebut terjadi proses perubahan penggunaan lahan yang merubah tata guna lahan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pola perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2010, (2) mengidentifikasi dan membandingkan pemanfaatan ruang saat ini dan alokasi ruang menurut RTRW Kota Bekasi periode , (3) mengkaji tingkat perkembangan wilayah Kota Bekasi tahun 2003 dan 2006, serta (4) mengetahui faktor-faktor perubahan penggunaan lahan. Analisis yang digunakan adalah analisis spasial pada citra untuk menentukan kelas penggunaan lahan dan menghitung luas perubahan penggunaan lahan, analisis skalogram untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah dengan menggunakan variabel jumlah fasilitas pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sosial, analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang untuk mengetahui penyimpangan penggunaan lahan dengan alokasi ruang yang telah ditetapkan oleh RTRW serta analisis regresi berganda (multiple regression) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi. Penggunaan lahan terbangun di Kota Bekasi dari tahun 2003 sampai 2010 mengalami peningkatan cukup signifikan terkait dengan pembangunan fasilitas pendidikan, kawasan industri, permukiman tidak teratur, dan permukiman teratur dari semula sebesar ,71 ha (47,15%) menjadi ha (55,83%). Kondisi eksisting penggunaan lahan di Kota Bekasi tahun 2003 menunjukkan inkonsistensi dengan alokasi ruang dalam rencana tata ruang sebesar 301,35 ha dan tahun 2010 sebesar 377,41 ha. Proporsi penyimpangan terbesar dari luas pada RTRW pada tahun 2003 dan 2010 terjadi pada lahan yang dialokasikan sebagai taman/hutan kota menjadi ruang terbangun, lahan kosong, dan lahan pertanian. Tingkat perkembangan wilayah pada tahun 2003, didominasi oleh kelurahan yang memiliki tingkatan hirarki III sebesar 48% dan pada tahun 2006 meningkat dengan kelurahan yang berhirarki II sebesar 46%. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi secara signifikan adalah alokasi RTRW untuk lahan terbangun, alokasi RTRW untuk pertanian, luas TPLB tahun 2003, luas kebun campuran tahun 2003, luas TPLK tahun 2003, luas lahan kosong tahun 2003, jarak ke kota atau kabupaten lain, alokasi RTRW untuk taman/hutan kota, pertambahan fasilitas pendidikan, pertambahan fasilitas kesehatan, pertambahan fasilitas sosial, jarak menuju pusat fasilitas sosial, jarak menuju kecamatan, jarak menuju pusat fasilitas ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk.

3 SUMMARY CITRA LEONATARIS. An Analysis of Land Use Change Pattern and Regional Development in Bekasi City. Under supervision of SANTUN R.P. SITORUS and DYAH RETNO PANUJU. Development is necessary for human life. As a region is developed, the population along with standard of quality and quantity of life are also increasing. The influence of those increasings are lifting up facilities availability requiered. To fulfill the needs of development, land use change will be taken place. The objectives of the study are: (1) to observe changing pattern of land use of Bekasi city in 2003 and 2010, (2) to identify land use inconsistencies based on allocation space of Regional Spatial Plan (RTRW) period of , (3) to identify regional development of Bekasi city in 2003 and 2006, and (4) to determine the factors influence of land use change. Methods used include spatial, inconcistency, skalogram, and multiple regression analyses. Spatial analysis is used on the image to determine land use classification and calculate the hectarage of land use change, skalogram analysis to determine the level of regional development by using variables including number of educational, economic, health, and social facilities. Inconsistency analysis was to determine deviations of land use by spatial, and multiple regression analysis was to determine the factors influencing land use change in Bekasi City. Built up area of Bekasi in had increased significantly. It correlated to development of education facilities, industrial area, disordered and ordered settlements from ,71 ha (47.5%) became ha (55.83%). Inconsistence of allocation and empirical land use of Bekasi was 301,35 ha in 2003 increased to 377,41 ha in Greatest proportion of inconsistence of empirical land uses compare to Regional Spatial Plan in 2003 and 2010 occurred on allocation for garden city became built up area, open space, and agricultural land. Level of Regional development in 2003 was dominated by villages with 3 rd hierarchy (48% ), and in 2006 by 2 nd hierarchy (46%). Factors that significantly influencing land use change in Bekasi were allocation for built up area, allocation for agriculture, hectarage paddy field in 2003, hectarage mixed garden in 2003, hectarage of dryland agriculture in 2003, hectarage of open space in 2003, distance to another town or suburban, allocation for park/forest city, number of additional of educational facilities, health facilities, social facilities, distance to the center of social facilities, distance to the civic, distance to the center of economic facilities and population growth.

4 ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI CITRA LEONATARIS A SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

5 Judul Skripsi : Analisis Pola Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi Nama Mahasiswa : Citra Leonataris Nomor Pokok : A Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dyah Retno Panuju,SP. MSi NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP Tanggal lulus:

6 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Citra Leonataris ini dilahirkan di Muara Bungo pada tanggal 1 Agustus 1989, sebagai putri pertama dari pasangan Sandi Endang Nata dan Eko Ristuti. Penulis mengawali pendidikan formal di TK Pertiwi Narogong Bekasi Timur, SD Islam An-Nur Narogong pada tahun 1995, kemudian pada tahun 2000 pindah di SD Negeri 101 Muara Bungo dan menyelesaikan pendidikan pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP Negeri 1 Muara Bungo hingga lulus pada tahun 2004, dan pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Muara Bungo. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif menjadi pengurus pada Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) mulai tahun 2008 hingga 2010 sebagai staf divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) dan staf divisi Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun yang sama penulis juga tergabung ke dalam Biro Lingkungan Hidup Azimuth dan aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah HIMAJA (Himpunan Mahasiswa Jambi). Penulis juga aktif didalam berbagai kepanitiaan antara lain Kejuaraan Tenis Meja Nasional Bogor City Series V IPB sebagai bendahara umum, Seminar Nasional HMIT Soil, Disaster, and Remote Sensing dan Soilidarity Dalam kegiatan akademik, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Sistem Informasi Geografis, dan Pengantar Ilmu Tanah. Selain itu penulis juga berkesempatan mengikuti Program Kreatif Mahasiswa yang lolos mendapatkan dana dari DIKTI dalam bidang penelitian dan pengabdian masyarakat pada tahun 2011.

7 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah AWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Pola Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus dan Ibu Dyah Retno Panuju, SP, M.Si selaku pembimbing skripsi yang senantiasa mengarahkan, memberikan bimbingan, saran, kritik, nasihat, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Tak lupa juga kepada Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam perbaikan skripsi ini. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua penulis papa Nata dan mama Eko, adik-adikku (Cakra, Chandra, Chatur), dan seluruh keluarga besar atas segala doa yang tulus, kasih sayang dan dukungannya yang tiada pernah henti. 2. BAPPEDA, Dinas Tata Ruang, dan Badan Kesatuan Bangsa Kota Bekasi yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data penelitian. 3. Seluruh dosen dan staff di Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian. 4. Teman-teman seperjuangan di Bagian Perencanaan Dan Pengembangan Wilayah, Febriana, Lili, Siti, Astria, Anindita, Sisharyanto, dan Ufi. Terima kasih atas bantuan dan motivasinya. 5. Saudara-saudara Soil 44 yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas kebersamaan dan kenangan-kenangan indah yang diberikan. 6. Teman-teman terbaik Rini D.K, Ika P.S, Adiz Ed-har, Ana, Zuzu, Nia, Risty, Irin, dan seluruh penghuni Wisma Nabila-Dahlia. Terima kasih atas waktu kebersamaan dan canda tawa saat suka dan duka. 7. Mahmud Aditya Rifki atas perhatian, kesabaran, dan semangatnya.

8 1 8. Farid Ridwan, Angga, dan Rahmat Hadi. Terima kasih telah membantu penulis dalam pengecekan lapang. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Bogor, Maret 2012 Penulis

9 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... vi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah Kota Lahan dan Penggunaan Lahan Perubahan Penggunaan Lahan Tata Ruang, Penataan Ruang, dan Pengendalian Ruang Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Tinjauan Studi-studi Terdahulu III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis Data dan Sumber Data Metode Penelitian Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Tahap Analisis Data Peta dan Citra Tahap Pengecekan Lapang Tahap Analisis Statistika Analisis Skalogram Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression) IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Geografi Administrasi Pemerintahan Kependudukan... 26

10 ii 4.4 Perekonomian Penggunaan Lahan Kawasan Tidak Terbangun/Ruang Hijau Kota Perdagangan dan Jasa Industri Permukiman Struktur Tata Ruang V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan di Kota Bekasi Perubahan dan Pola Penggunaan Lahan di Kota Bekasi Perubahan Penggunaan Lahan Kota Bekasi Pola Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB) Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK) Perubahan Penggunaan Lahan Kosong Perubahan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kota Bekasi Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi Keterkaitan Perubahan Luas Penggunaan Lahan dengan Perkembangan Wilayah Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 71

11 iii DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Jenis Data Penelitian dan Sumbernya Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis Data, dan Keluaran Paket Program untuk Analisis Data Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Kenampakan Obyek Pada Citra Variabel Fasilitas yang Digunakan dalam Analisis Skalogram Variabel Untuk Analisis Regresi Kecamatan dan Kelurahan di Kota Bekasi Jumlah Penduduk Menurut kecamatan dan Jenis Kelamin di Kota Bekasi Luas Penggunaan Lahan Tahun 2003, 2010, dan Perubahannya Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun Luas Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur menjadi... Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah Menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering Menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kosong menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun Luas Perubahan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau Tahun Alokasi Rencana Tata Ruang Kota Bekasi Tahun Luas dan Proporsi Total Inkonsistensi Kota Bekasi Tahun 2003 dan Persentase Kelurahan Berdasarkan Hirarki Wilayah di Setiap Kecamatan Nilai Parameter Hasil Analisis Regresi Perubahan Penggunaan Lahan

12 iv DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian Titik Pengambilan Contoh Penggunaan Lahan Diagram Alir Penelitian Peta Administrasi Kota Bekasi Dinamika Pertumbuhan Penduduk Tiap Kecamatan di Kota Bekasi Grafik PDRB berdasarkan Harga Konstan Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Perumahan Teratur Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Kawasan Industri Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPLB Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPLK Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Kebun Campuran Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Kosong Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Fasilitas Pendidikan Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPA Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Badan Air Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPU Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Rumput/Semak/Ilalang Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Peta Penggunaan Lahan Tahun Peta Penggunaan Lahan Tahun Peta RTRW Kota Bekasi Periode

13 25. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bekasi Tahun Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bekasi Tahun Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun Laju Pertumbuhan Fasilitas di Kota Bekasi Tahun 2003 dan Tahun Perubahan Luas Penggunaan Lahan Terhadap Hirarki Wilayah v

14 vi DAFTAR LAMPIRAN Nomor Teks Halaman 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun Hasil Analisis Skalogram Tahun Matriks Logika Indikasi Konsistensi/Inkonsistensi Antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) Kota Bekasi dengan Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2003 dan Tahun Titik Pengecekan Lapang Hasil Analisis Regresi Berganda Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan TPLB Menjadi Lahan Terbangun Hasil Analisis Regresi Berganda Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan TPLK Menjadi Lahan Terbangun Hasil Analisis Regresi Berganda Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran Menjadi Lahan Terbangun Hasil Analisis Regresi Berganda Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Kosong Menjadi Lahan Terbangun... 83

15 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi meningkatnya standar kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup. Dampak dari peningkatan standar kualitas dan kuantitas hidup tersebut mengakibatkan peningkatan kebutuhan ketersediaan fasilitas. Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas tersebut terjadi proses perubahan penggunaan lahan yang merubah tata guna lahan. Penggunaan lahan akan mengarah pada jenis penggunaan yang memberikan keuntungan paling tinggi. Pertumbuhan sektor pertanian di wilayah Jabodetabek terus mengalami penurunan. Sektor pertanian merupakan sektor yang tidak diminati untuk dijadikan sebagai aktivitas ekonomi bagi masyarakat di Jabodetabek. Lahan-lahan pertanian banyak mengalami konversi akibat proses suburbanisasi. Suburbanisasi yang diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan akibat perpindahan penduduk kota terindikasi telah terjadi di Jakarta sejak awal tahun 1980 (Rustiadi dan Panuju, 1999). Secara alami, dinamika perekonomian merangsang perkembangan wilayah, salah satunya didorong oleh perkembangan industri. Alokasi ruang untuk industri ditetapkan oleh pemerintah, baik lokasi maupun luasan areanya. Aktivitas industri tersebut harus memiliki aksesibilitas yang mudah ditempuh misalnya berdekatan dengan jalan tol dan jalan umum lainnya (Abbas, 2004). Kota Bekasi merupakan salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok, dan Tangerang. Wilayah ini telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan. Menurut Maulida (2002), pada periode , laju perubahan penggunaan lahan di Bekasi lebih tinggi dibandingkan dua suburban Jakarta lainnya, yaitu Bogor dan Tangerang. Pertumbuhan penggunaan lahan untuk bangunan semakin lama semakin bertambah yang disebabkan karena perkembangan perumahan, industri, dan perkantoran.

16 2 Perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi merupakan dampak dari pertumbuhan perekonomian yang pesat di Kota Jakarta. Pertumbuhan yang pesat tersebut menyebabkan kebutuhan lahan untuk aktivitas ekonomi semakin meningkat. Ketersediaan lahan yang terbatas di Kota Jakarta berdampak pada perkembangan lahan terbangun yang meluas ke wilayah-wilayah hinterland. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan bertambahnya kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas lahan di suatu wilayah tidak akan pernah bertambah. Perkembangan penduduk dan peningkatan perekonomian kota mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk penggunaan lahan perkotaan yang akan merubah tata ruang kota. Menurut Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tata guna lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu, misalnya fungsi pemukiman, perdagangan, industri, dan lain-lain. Penggunaan lahan di suatu wilayah sudah diatur pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi/Kabupaten/Kota. Di RTRW disajikan rencana-rencana tentang pemanfaatan ruang. Akan tetapi, kondisi eksisting penggunaan lahan di suatu wilayah sering kali tidak sesuai dengan rencana-rencana yang telah ditetapkan di dalam RTRW oleh Pemerintah daerah setempat. Hal ini dinamakan dengan inkonsistensi pemanfaatan ruang. Penyimpangan penataan ruang di Kota Bekasi dapat diidentifikasi dari terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan pada kondisi eksisting terhadap kebijakan yang telah ditetapkan pada RTRW. Untuk itu diperlukan evaluasi konsistensi tata ruang dan sistem monitoring penggunaan lahan lebih dari satu titik tahun yang digunakan sebagai landasan dalam pengendalian tata ruang wilayah. 1.2 Perumusan Masalah Peningkatan jumlah penduduk serta peningkatan standar kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup manusia menyebabkan peningkatan terhadap kebutuhan ketersediaan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut. Pembangunan kebutuhan fasilitas memerlukan lahan yang tidak sedikit,

17 3 sedangkan lahan di Kota Bekasi terbatas. Hal ini menyebabkan perubahan penggunaan lahan non terbangun menjadi lahan terbangun. Pemerintah Kota Bekasi telah menetapkan alokasi ruang yang terdapat pada RTRW, namun sering kali penggunaan lahan di lapang tidak mengikuti alokasi yang telah ditetapkan. Hal ini dinamakan dengan penyimpangan atau inkonsistensi pemanfaatan ruang. Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana persebaran perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun 2003 dan 2010? 2. Apakah kondisi eksisting penggunaan lahan pada tahun 2003 dan 2010 sudah sesuai dengan kebijakan RTRW yang ditetapkan oleh pemerintah? 3. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah tahun 2003 dan 2006? 4. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi. 2. Mengidentifikasi dan membandingkan pemanfaatan ruang saat ini dengan alokasi tata ruang Kota Bekasi. 3. Mengkaji tingkat perkembangan wilayah Kota Bekasi. 4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan penggunaan lahan. 1.4 Manfaat Penelitian Memberikan informasi kepada pemerintah mengenai pola perubahan penggunaan lahan dan inkonsistensi pemanfaatan ruang sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan evaluasi rencana tata ruang yang sudah dibuat agar dapat menjadi lebih relevan terhadap kondisi yang telah berkembang.

18 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al. (2009), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu di mana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Suatu wilayah yang luas dapat mempunyai beberapa inti dengan hirarki (orde) tertentu. Sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih tinggi merupakan pusat bagi beberapa sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih rendah. Secara teoritis, hirarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas-kapasitas perekonomiannya (Rustiadi et al., 2009). Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari jumlah sarana pelayanan, jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta kualitas sarana pelayanan. Semakin banyak jumlah dan jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi aktivitas sosial ekonomi mencerminkan kapasitas pusat wilayah yang tinggi yang berarti juga menunjukkan hirarki pusat yang tinggi (Rustiadi et al., 2009). Banyaknya jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana pelayanan berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah. Pusat-pusat yang berhirarki tinggi melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah di samping juga melayani hinterland di sekitarnya. Kegiatan yang sederhana dapat

19 5 dilayani oleh pusat yang berhirarki rendah sedangkan kegiatan-kegiatan yang semakin kompleks dilayani oleh wilayah yang berhirarki tinggi Kota Kota adalah tempat dengan konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya karena terjadi pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas penduduknya (Pontoh dan Kustiawan, 2009). Kota sebagai pusat pelayanan selalu berinteraksi dengan wilayah sekitarnya. Dalam konteks hubungan antara kota sebagai pusat pelayanan dan wilayah sekitarnya sebagai hinterland maka terdapat empat kemungkinan sifat interaksi (Sadyohutomo, 2008). Sifat hubungan yang pertama adalah hubungan saling menguntungkan. Kota berfungsi sebagai pasar dan rantai produk perdagangan dari pedesaan. Hal ini berdampak positif bagi penduduk sekitar kota dalam memperoleh pekerjaan. Migrasi penduduk desa bagi kota juga memberi manfaat, yaitu penduduk desa ikut andil dalam menggerakan perekonomian kota. Selain memberikan dampak positif (lapangan kerja dan pendapatan), pembangunan di kota juga dapat merugikan ekonomi wilayah sekitar. Hal ini menunjukkan sifat hubungan yang kedua yaitu hubungan yang merugikan desa. Kondisi ini ditimbulkan akibat adanya ketimpangan dalam sistem ekonomi desakota, yaitu nilai tukar yang tidak seimbang antara produk pedesaan dengan produk perkotaan, surplus dari wilayah pedesaan banyak diserap ke kota, dan alokasi dana pembangunan yang tidak seimbang antara desa dan kota. Sifat hubungan desa-kota yang ketiga yaitu hubungan tidak menguntungkan untuk pemerintah kota, tetapi menguntungkan desa. Pertumbuhan penduduk kota dikarenakan pertumbuhan penduduk alami (kelahiran dikurangi kematian) dan ditambah adanya migrasi penduduk desa-kota. Migrasi masuk kota mengakibatkan beban kota meningkat dalam hal penyediaan prasarana dan utilitas penduduk kota. Sementara itu, penduduk migrant tidak banyak menyumbangkan pendapatan bagi pemerintah kota, karena sebagian besar mereka bekerja di sektor informal yang luput dari pajak. Hal ini menimbulkan masalah perkotaan, antara lain munculnya pemukiman kumuh, pendudukan liar, beban prasarana kota yang melebihi kapasitas, dan kemacetan lalu lintas.

20 6 Sifat hubungan yang keempat yaitu interaksi yang saling merugikan kedua belah pihak. Misalnya migrasi para petani muda ke kota karena tertarik gaya hidup kota, tetapi tidak mempunyai keahlian di sektor perkotaan. Di kota merek menjadi pengangguran atau pelaku tindak kriminal. Akibatnya desa kehilangan tenaga produktif, sedangkan kota menanggung beban sosial pengangguran Lahan dan Penggunaan Lahan Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibatakibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep ini. Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil dan spiritual (Arsyad, 2006). Barlowe (1978) membagi penggunaan lahan menjadi 10 jenis, yaitu : (1) lahan pemukiman; (2) lahan industri dan perdagangan; (3) lahan bercocok tanam; (4) lahan peternakan dan penggembalaan; (5) lahan hutan ; (6) lahan mineral atau pertambangan; (7) lahan rekreasi; (8) lahan pelayanan jasa; (9) lahan transportasi; dan (10) lahan tempat pembuangan. Menurut Arsyad (2006) penggunaan lahan dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan seperti penggunaan lahan tegalan, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, sawah, hutan lindung, hutan produksi, padang alang-alang, dan lain sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian dibagi berdasarkan atas penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan pertambangan. Hampir setiap aktivitas manusia melibatkan penggunaan lahan dan karena jumlah aktivitas manusia bertambah dengan cepat, maka lahan menjadi sumber yang langka. Keputusan untuk mengubah pola penggunaan lahan mungkin memberikan keuntungan atau kerugian yang besar, baik ditinjau dari pengertian

21 7 ekonomis, maupun terhadap perubahan lingkungan. Dengan demikian, membuat keputusan tentang penggunaan lahan merupakan aktivitas politik, dan sangat dipengaruhi keadaan sosial dan ekonomi (Sitorus, 2004) Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. (Wahyunto et al., 2001), dalam Wirustyastuko D (2010). Perubahan penggunaan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan pada titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam periode waktu tertentu dapat dibangun model perubahan penggunaan lahan yang mampu memprediksi penggunaan lahan yang akan terjadi (Munibah, et al., 2006). Hal ini telah dilakukan oleh Munibah (2008) dengan membangun model perubahan penggunaan lahan dengan pendekatan Cellular Automata (CA). Model ini menghasilkan peta prediksi penggunaan lahan di tahun 2018 dan Kemudian dilanjutkan dengan melihat hubungan antara jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian dan luas lahan pemukiman, baik berdasarkan peta penggunaan lahan aktual (2006) maupun prediksi (2018 dan 2030). Proses perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat irreversible (tidak dapat diubah). Contohnya, lahan sawah yang dikonversikan menjadi pemukiman atau berbagai aktivitas urban sangat mempunyai kemungkinan yang kecil untuk dikembalikan lagi menjadi lahan sawah. Perubahan penggunaan lahan yang paling intensif adalah lahan sawah dan hutan yang dikonversi menjadi pemukiman sebagai akibat dari pertambahan penduduk (Bappeda Kota Bogor, 2006). Secara umum, struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (a) Struktur permintaan atau kebutuhan lahan; (b) Struktur penawaran atau ketersediaan lahan; (c) Struktur penguasaan

22 8 teknologi yang berdampak pada produktifitas sumberdaya alam (Saefulhakim, 1999). Menurut Kaiser dan Weiss, dalam Pontoh dan Sudrajat (2005) secara konsepsional proses perubahan penggunaan lahan di pinggir kota dipengaruhi oleh : (1) Urban Interest, yaitu meningkatnya kebutuhan lahan kota, sehingga kawasan pinggir kota menjadi potensial dan guna lahan yang ada mulai bergeser; (2) Posisi strategis dan dinamika kota menjadi bahan pertimbangan bagi pengusaha untuk membeli dan mengembangkan lahan di perkotaan; (3) Mulai diprogram untuk pembangunan, dibangun dan dihuni oleh penduduk Tata Ruang, Penataan Ruang, dan Pengendalian Ruang Menurut UU No. 26 Tahun 2007, tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 pasal 3 dikemukakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2007 menjelaskan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang

23 9 tidak memiliki izin, dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda. Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif tersebut, antara lain berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, atau pemberian penghargaan. Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, antara lain berupa pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan kompensasi atau penalti. Pengenaan sanksi merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Dalam undang-undang ini pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dilakukan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang sudah sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar atau pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang. Bentuk realisasi dari RTRW adalah pemanfaatan ruang yang terjadi di suatu wilayah. Kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari RTRW. Dirjen Penataan Ruang (2003) menyatakan, bahwa inkonsistensi tata ruang dapat disebabkan oleh permasalahan lain, yaitu : 1. Adanya ketidakseragaman standar peta (skala, legenda, notasi, sumber) yang dapat menyebabkan kesulitan dalam pemberian perizinan dan evaluasi pemanfaatan ruang.

24 10 2. Lemahnya fungsi otoritas, perangkat yang kurang memadai, dan sistem kelembagaan yang memiliki wewenang dalam pengawasan dan pengendalian pembangunan. 3. Belum efektifnya pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan pemanfaatan ruang. Hal ini disebabkan antara lain karena belum adanya petunjuk teknis, operasional, dan peran serta masyarakat dalam penataan ruang sebagai penjabaran dari PP No. 69/ Tinjauan Studi-studi Terdahulu Anjani (2010) dalam penelitiannya mengenai dinamika penggunaan lahan dan penataan ruang di Kabupaten Bekasi mengemukakan bahwa pola konversi terbesar terjadi pada peningkatan lahan terbangun (8790,24 ha) dan penurunan TPLK (5457,9 ha). Dalam rencana tata ruang Kabupaten Bekasi banyak terjadi perubahan yang dilatarbelakangi oleh adanya pemekaran wilayah. Penyimpangan penggunaan lahan Kabupaten Bekasi terhadap alokasi ruang pada kurun waktu terjadi pada kawasan pemukiman sebesar 13056,97 ha dan umumnya terletak di bagian Utara Kabupaten Bekasi. Penyimpangan penggunaan lahan pada kurun waktu bervariasi hampir di seluruh bagian Kabupaten Bekasi. Hasil penelitian dari Ruswandi et al. (2007) mendeskripsikan bahwa selama kurun waktu 10 tahun ( ) telah terjadi konversi lahan pertanian di Kabupaten Bandung Utara yang memiliki pola konsentris. Dalam hal ini konversi terjadi mulai dari pusat kota kecamatan (sentral), kemudian bergerak ke arah luar menjauh dari pusat kota. Mulyani (2010) melakukan penelitian di lokasi yang sama mengenai penggunaan lahan dan pola perubahan penggunaan lahan pada tahun Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan telah terjadi peningkatan jenis penggunaan lahan terbangun sebesar 264 ha per tahun. Hal ini mengindikasikan adanya penambahan pembangunan baik berupa fasilitas-fasilitas umum maupun pemukiman penduduk. Hasil penelitian dari Putri (2009) mengenai perubahan penggunaan lahan pada tahun 1997 dan tahun 2007 di Kabupaten Tangerang, menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan didominasi oleh konversi lahan pertanian (TPLB dan TPLK) menjadi lahan terbangun. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten

25 11 Tangerang menunjukkan adanya pola konsentris yang dipengaruhi oleh jarak terhadap pusat kegiatan, yaitu DKI Jakarta dan Kota Tangerang. Selain jarak terhadap pusat kegiatan, jaringan jalan diduga juga mempengaruhi pola perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tanggerang. Hal ini terlihat pada pola memanjang perubahan penggunaan lahan dari arah Timur ke Barat di bagian tengah Kabupaten Tangerang yang dilalui jalan Tol Nasional Jakarta-Merak.

26 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Februari 2011 sampai Desember Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

27 Jenis Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian dan sumbernya disajikan pada Tabel 1. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder dari dua periode waktu yang berbeda, yaitu tahun 2003 dan Data primer terdiri dari citra Quickbird tahun 2003 dan 2010 dan data survei lapang. Data sekunder terdiri dari data PDRB, data Potensi Desa tahun 2003 dan 2006 yang meliputi data jumlah fasilitas, aksesibilitas, dan data jumlah penduduk, peta batas administrasi Kota Bekasi, peta RTRW Kota Bekasi tahun , serta beberapa peta penunjang lainnya yang diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bekasi dan Dinas Tata Ruang Kota Bekasi. Tabel 1. Jenis Data Penelitian dan Sumbernya No Data Sumber Data Keterangan 1. Peta RTRW Dinas Tata Ruang Kota Bekasi Untuk mengetahui alokasi ruang menurut Rencana Tata Ruang. 2. Peta Administrasi Kota Bekasi BAPPEDA Kota Bekasi Untuk mengetahui batas wilayah administrasi Kota Bekasi (kecamatan). 3. Citra Quickbird Kota Bekasi Tahun 2003 dan Data jumlah dan jenis fasilitas (pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi), data jarak kelurahan ke pusat fasilitas, data jumlah penduduk Google Earth Untuk membuat peta penggunaan lahan berdasarkan eksisting tahun 2003 dan Data Potensi Desa BAPPEDA Kota Bekasi Untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah di Kota Bekasi dan faktorfaktor yang menyebabkan perubahan lahan. penggunaan 3. 3 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap-tahapan penelitian secara umum terdiri dari (1) Tahap persiapan dan pengumpulan data, (2) Tahap analisis citra, (3) Tahap pengecekan lapang, (4) Tahap analisis data, (5) Tahap penyusunan skripsi. Tahapan-tahapan penelitian berdasarkan tujuan, jenis data, teknik analisis data, dan keluaran disajikan pada Tabel 2. Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah teridentifikasinya pola perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun , inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bekasi tahun 2003 dan 2010, tingkat perkembangan wilayah Kota Bekasi, faktor-faktor penyebab perubahan penggunaan lahan di

28 14 Kota Bekasi. Program yang digunakan pada penelitian disajikan pada Tabel 3. Program yang digunakan untuk mengolah data spasial adalah Arcview GIS 3.3 dan ArcGIS 9.3, sedangkan untuk mengolah data atribut menggunakan Statistica 8.0 dan Ms. Office Excel Tabel 2. Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis Data, dan Keluaran No Tujuan Penelitian Jenis Data Teknik Analisis Keluaran 1 Mengidentifikasi dan menganalisis pola perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi tahun Mengidentifikasi dan menganalisis inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Bekasi. 3 Mengkaji perkembangan wilayah di Kota Bekasi 4 Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan penggunaan lahan - Citra Quickbird Citra Quickbird Peta RTRW Peta Penggunaan Lahan Peta Penggunaan Lahan Data fasilitas pendidikan - Data fasilitas kesehatan - Data fasilitas ekonomi - Data fasilitas sosial - Data atribut peta perubahan penggunaan lahan - Laju pertumbuhan penduduk - Laju pertumbuhan fasilitas - Rata-rata jarak kelurahan ke pusat fasilitas dan ibu kota kecamatan - Digitasi Citra - Tabulasi data luas perubahan penggunaan lahan - Digitasi peta - Overlay Peta Land Use dengan peta RTRW - Deskripsi tabel dan grafik - Analisis Skalogram - Analisis Multiple Regression ( Regresi Berganda ) dengan metode Forward Stepwise Regression Pola perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun Teridentifikasinya inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bekasi Teridentifikasinya tingkat perkembangan wilayah Kota Bekasi Teridentifikasinya faktor-faktor penyebab perubahan penggunaan lahan Tabel 3. Paket Program untuk Analisis Data No Perangkat Lunak Keterangan 1 Arcview GIS 3.3 Mengolah data spasial (Peta dan Citra) 2 Arc GIS 9.3 Mengolah data spasial (Peta dan Citra) 3 Statistica 8.0 Mengolah data statistika 4 M. Office Excel 2007 Tabulasi data Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Pada tahap ini dilakukan pemilihan topik penelitian, studi pustaka, pembuatan proposal, serta pencarian data-data yang diperlukan dalam penelitian

29 15 serta pemilihan metode yang digunakan untuk analisis data. Data yang dikumpulkan berupa data spasial dan data statistik. Unit terkecil wilayah yang digunakan dalam analisis adalah desa/kelurahan. Data dikumpulkan dari berbagai sumber terkait Tahap Analisis Data Peta dan Citra Analisis citra dilakukan melalui interpretasi visual. Identifikasi obyek merupakan bagian pokok dalam interpretasi citra yang mendasarkan pada karakteristik citra. Karakteristik obyek yang tergambar pada citra digunakan untuk mengenali obyek yang disebut interpretasi citra (Sutanto, 1994). Terdapat delapan unsur interpretasi, yaitu : 1. Rona. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra. Rona dapat pula diartikan sebagai tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya (Sutanto, 1994). 2. Bentuk. Bentuk adalah kofigurasi atau kerangka suatu obyek (Lillesand dan Kiefer, 1997). 3. Ukuran. Ukuran suatu obyek meliputi dimensi jarak, luas, tinggi, dan volume (Sutanto, 1994). 4. Tekstur. Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra fotografi (Lillesand dan Kiefer, 1979). Tekstur merupakan gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan ronanya. 5. Pola. Pola adalah hubungan spasial obyek (Lillesand dan Kiefer, 1979). Pengulangan bentuk umum tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak obyek alamiah dan akan memberikan suatu pola yang dapat membantu interpreter untuk mengenali obyek tertentu. 6. Bayangan. Obyek yang tidak tertembus cahaya terpresentasikan sebagai suatu daerah yang tidak terkena sinar secara langsung yang disebut dengan bayangan. Bayangan bersifat menyembunyikan obyek yang terdapat di daerah bayangan (Sutanto, 1994). 7. Situs. Situs adalah lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek lain, yang dapat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek (Lillesand dan Kiefer, 1979).

30 16 8. Asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek satu dengan obyek yang lain (Sutanto, 1994) Berdasarkan hasil interpretasi yang dilakukan dengan digitasi on screen dan pengamatan lapang, didapatkan beberapa penggunaan lahan, yaitu perumahan teratur, pemukiman tidak teratur, kebun campuran, TPLB (Tanaman Pertanian Lahan Basah), TPLK (Tanaman Pertanian Lahan Kering), kawasan industri, RTH (Ruang Terbuka Hijau), fasilitas pendidikan, lahan kosong, TPU (Tempat Pemakaman Umum), TPA (Tempat Pembuangan Akhir), badan air, dan rumput,semak, ilalang. Uraian dari masing-masing ciri penggunaan lahan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Kenampakan Obyek Pada Citra Penggunaan Lahan Kenampakan Obyek Pada Citra Perumahan Teratur Permukiman Tidak Teratur Rumput, Semak, dan Ilalang Kawasan industri Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB) Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK) Rona cerah, pola teratur, bentuk dan ukuran seragam. Rumah-rumah menghadap jalan sehingga dapat dilihat jaringan jalan yang sejajar dan teratur. Kenampakan yang bergerombol dengan vegetasi yang berada di sekitarnya, bentuk, ukuran, dan jarak antar rumah tidak seragam. Memiliki rona yang cerah dan berwarna hijau muda dengan tekstur agak kasar sampai kasar dan pola yang tidak teratur. Berbentuk persegi memanjang dengan ukuran yang besar, serta memiliki rona cerah dan pola yang teratur. Penggunaan lahan ini dikhususkan untuk jalur hijau jalan dan sempadan sungai. Memiliki tekstur yang agak kasar dengan pola yang teratur dan berasosiasi dengan jalan. Obyek ini memiliki bentuk petak-petak segi empat dan setiap petaknya dipisah oleh kenampakan garis pematang yang polanya teratur. Warna sawah terlihat hijau tua (untuk sawah yang berair atau baru tanam), hijau muda, hijau kebabu-abuan, serta coklat dengan tekstur halus hingga agak halus. Tanaman Pertanian Lahan Kering biasanya terdiri dari ladang dan tegalan. Pada citra quickbird terlihat berwarna hijau dan coklat dengan tekstur agak halus sampai kasar. Kebun Campuran Kenampakannya dapat dilihat dari bentuknya yang bergerombol dengan pola yang tidak teratur dan memiliki warna hijau tua dengan tekstur yang agak kasar sampai kasar. Biasanya kebun berasosiasi dengan pemukiman tidak teratur. Sumber : Sarbini (2008)

31 17 Tabel 4. (Lanjutan) Fasilitas Pendidikan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Badan Air Tempat Pemakaman Umum (TPU) Lahan Kosong Sumber : Sarbini (2008) Fasilitas pendidikan merupakan bangunan yang dapat dikenali berdasarkan bentuk, ukuran, dan asosiasi. Sebagai contoh sekolah yang biasanya berbentuk memanjang, menyiku atau membentuk huruf U. Sekolah berasosiasi dengan adanya lapangan olahraga dan apabila berada di daerah pemukiman ukurannya lebih besar dibandingkan dengan ukuran bangunan yang ada sekitarnya. Tempat pembuangan akhir biasanya jauh dari pusat kota. Terlihat dari bentuk dan ukuran yang besar untuk menampung sampah-sampah dari perkotaan Badan air memiliki rona yang gelap, berwarna hitam, dan memiliki tekstur yang halus. Makam dikenali berdasarkan ukuran, tekstur dan situs. Ukuran kuburan pada citra quickbird terlihat kecil dengan jumlah yang banyak, serta papan nama berwarna putih. Obyek ini mempunyai tekstur kasar dan disekitarnya terlihat tumbuhan dengan pola tidak teratur. Pada citra quickbird lahan kosong tampak dari pantulan tanahnya yang berwarna coklat. Lahan kosong ini biasanya adalah hasil dari konversi lahan non terbangun yang akan digunakan untuk perumahan, perdagangan dan jasa, serta industri. Hasil yang diperoleh dari analisis citra adalah peta penggunaan lahan pada tahun 2003 dan Kedua peta penggunaan lahan tersebut dioverlay dengan peta RTRW periode dan peta administrasi Kota Bekasi sehingga diperoleh peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bekasi Tahap Pengecekan Lapang Tahap pengecekan lapang dilakukan sebanyak 4 kali pada bulan Januari dan Februari Pengecekan lapang dilakukan untuk memperkuat hasil analisis data dan interpretasi terutama dalam kaitannya dengan pengkoreksian peta penggunaan lahan sementara, sehingga hasil akhir data yang diperoleh memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang dibutuhkan pada proses analisis data penelitian. Alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System) untuk mengambil data-data penggunaan lahan aktual serta mengetahui kesesuaian antara koordinat di peta dengan koordinat yang sebenarnya. Peta lokasi contoh pengamatan lapang disajikan pada Gambar 2.

32 Gambar 2. Titik Pengambilan Contoh Penggunaan Lahan 18

33 Tahap Analisis Data Atribut Analisis data atribut yang dilakukan adalah analisis skalogram dan analisis regresi berganda. Analisis skalogram dilakukan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah. Analisis regresi berganda dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Unit analisis terkecil untuk proses analisis ini adalah kelurahan Analisis Skalogram Metode ini digunakan untuk menentukan hirarki pusat-pusat wilayah penopang yang mendukung wilayah sebagai pusat pelayanan aktivitas. Perkembangan suatu wilayah dapat dianalisis dengan mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri, dan jumlah penduduknya. Analisis skalogram digunakan untuk menentukan tingkat perkembangan wilayah. Hirarki ditentukan berdasarkan jumlah unit dan jenis fasilitas. Unit wilayah yang memiliki fasilitas dengan kuantitas yang lebih banyak dan jenis yang lebih kompleks memiliki tingkat hirarki yang lebih tinggi. Hirarki tinggi adalah wilayah yang memiliki jumlah unit dan jenis fasilitas yang paling banyak dan beragam. Beberapa asumsi yang berlaku dalam analisis skalogram adalah bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di suatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial, dan ekonomi yang secara relatif terbaik untuk komunitasnya. Pada Tabel 5 disajikan variabel data yang digunakan dalam analisis skalogram. Penentuan tingkat perkembangan wilayah di bagi menjadi tiga yaitu : Hirarki I : Jika nilai Indeks Perkembangan Desa lebih besar dari nilai Stdev dan Rata-rata ( IPD> ( Stdev+Average)) Hirarki II : Jika nilai Indeks Perkembangan Desa lebih besar sama dengan rata-rata ( IPD>=Average ) Hirarki III : Jika nilai Indeks Perkembangan Desa lebih besar kecil dengan rata-rata ( IPD<Average )

34 20 Tabel. 5 Variabel Fasilitas yang Digunakan dalam Analisis Skalogram Kelompok Indeks Variabel yang digunakan Jumlah variabel Fasilitas Ekonomi Jumlah Wartel/Kiospon/Warpostel/Warparpostel 9 Jumlah Warung Internet Jumlah Toko/Warung/Kios Jumlah Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba Jumlah Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan Minuman Jumlah Hotel/Penginapan Jumlah Industri Kerajinan Jumlah Bank Umum Jumlah Koperasi Fasilitas Pendidikan Jumlah TK Negeri dan Swasta 5 Jumlah SD Negeri dan Swasta Jumlah SLTP Negeri dan Swasta Jumlah SMU dan SMK Negeri dan Swasta Jumlah Akademi/PT Negeri dan yang sederajat Fasilitas Kesehatan Jumlah Rumah Sakit 8 Jumlah Rumah Sakit Bersalin Jumlah Poliklinik/Balai Pengobatan Jumlah Puskesmas Jumlah Puskesmas Pembantu Jumlah Apotik Jumlah Tempat Praktek Dokter Jumlah Tempat Praktek Bidan Fasilitas Sosial Jumlah Tempat Peribadatan 1 Jumlah Variabel Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang dilakukan melalui overlay peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2003 dan 2010 dengan peta RTRW Kota Bekasi dan peta administrasi Kota Bekasi. Hasil overlay tersebut adalah peta inkonsistensi tata ruang Kota Bekasi. Kriteria inkonsistensi didasarkan pada matriks logik inkonsistensi yang tertera pada Lampiran 3 yang merupakan modifikasi dari matriks logik Listiawan (2010). Matriks logik ini terdiri dari tabulasi silang klasifikasi kelas peruntukan lahan pada RTRW Kota Bekasi dan klasifikasi penggunaan lahan pada hasil digitasi citra berdasarkan penyempurnaan dan penyesuaian dari matriks logik yang telah dikembangkan oleh penelitian sebelumnya. Indikasi konsistensi dan inkonsistensi matriks logik antara arahan pemanfaatan ruang dengan kondisi eksisting penggunaan lahan saat ini dilakukan dengan melihat penyimpangan terhadap wilayah yang dialokasikan sebagai kawasan lindung, tetapi kondisi eksistingnya adalah lahan terbangun. Hal tersebut dinamakan dengan inkonsistensi pemanfaatan ruang. Jika suatu wilayah

35 21 dialokasikan sebagai lahan terbangun, tetapi kondisi eksistingnya masih merupakan kawasan lindung, maka masih dianggap konsisten. Hal ini dikarenakan program pemerintah setempat belum terlaksana untuk mendirikan lahan terbangun di wilayah tersebut Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression) Analisis regresi digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap nilai suatu parameter, dari parameter-parameter (peubah-penjelas) lain yang diamati. Proses analisis regresi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Statistica 8.0. Metode analisis yang digunakan adalah stepwise regression. Prinsip dasar stepwise regression adalah mengurangi banyaknya peubah di dalam persamaan dengan cara menyusupkan peubah satu demi satu sampai diperoleh persamaan regresi yang paling baik. dimana : Persamaan (model) yang akan dihasilkan adalah : Y=A 1 X 1 +A 2 X 2 + AnXn+ε Y= Dependent variable (peubah penjelas) X i = Independent variable (peubah penduga) ke-i, dengan i=1,2, A i = Koefisien regresi peubah ke-i ε = Galat model Variabel-variabel respon yang digunakan dalam analisis regresi berganda adalah perubahan luas dari TPLB ke lahan terbangun, perubahan luas TPLK menjadi lahan terbangun, lahan kosong berubah ke lahan terbangun, kebun campuran menjadi lahan terbangun sebagai peubah tujuan (variabel dependent) dari tutupan lahan tahun 2003 dan 2010 dalam satuan hektar. Pemilihan peubah tujuan ini berdasarkan perubahan penggunaan lahan lain menjadi lahan terbangun dengan luasan terbesar. Peubah penduga (variabel independent) terdiri dari laju pertambahan jumlah penduduk, laju pertambahan jumlah fasilitas (pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan), rata-rata jarak aksesibilitas ke pusat fasilitas, luas penggunaan lahan tahun Variabel untuk analisis regresi disajikan pada Tabel 6.

36 22 Tabel 6. Variabel Untuk Analisis Regresi. Peubah Tujuan (Y) Perubahan luas TPLB-lahan terbangun (Y1) Perubahan luas TPLK-lahan terbangun (Y2) Perubahan luas kebun campuran-lahan terbangun (Y3) Perubahan luas lahan kosong-lahan terbangun (Y4) Peubah Penduga (X) Pertambahan penduduk (X1) Pertambahan fasilitas ekonomi (X2) Pertambahan fasilitas kesehatan (X3) Pertambahan fasilitas pendidikan (X4) Pertambahan fasilitas sosial (X5) Rata-rata jarak aksesibilitas ke fasilitas pendidikan (X6) Rata-rata jarak aksesibilitas ke fasilitas kesehatan (X7) Rata-rata jarak aksesibilitas ke fasilitas ekonomi (X8) Rata-rata jarak askesibilitas ke fasilitas sosial (X9) Jarak desa ke ibu kota kecamatan (X10) Jarak desa ke ibu kota kabupaten/kota (X11) Jarak desa ke desa terdekat (X12) Alokasi RTRW untuk pertanian (X13) Alokasi RTRW untuk hutan kota (X14) Alokasi RTRW untuk lahan terbangun (X15) Luas lahan terbangun tahun 2003 (X16) Luas TPLB 2003 (X17) Luas TPLK 2003 (X18) Luas kebun campuran 2003 (X19) Luas lahan kosong 2003 (X20)

37 Gambar 3. Diagram Alir Penelitian 23

38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografi Secara geografis Kota Bekasi berada pada posisi 106 o o Bujur Timur dan 6 o o 30 6 Lintang Selatan. Letak Kota Bekasi yang sangat strategis merupakan keuntungan bagi Kota Bekasi terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kemudahan dan kelengkapan sarana dan prasarana transportasi di Kota Bekasi menjadikan Kota Bekasi salah satu daerah penyeimbang DKI Jakarta. Kota Bekasi memiliki luas wilayah sekitar 210,49 km 2, dengan Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah yang terluas (24,73 km 2 ) sedangkan Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49 km 2 ). Batas batas wilayah administrasi yang mengelilingi wilayah Kota Bekasi adalah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bekasi Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Jakarta Timur Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi Wilayah Kota Bekasi dialiri 3 (tiga) sungai utama yaitu Sungai Cakung, Sungai Bekasi dan Sungai Sunter, beserta anak-anak sungainya. Sungai Bekasi mempunyai hulu di Sungai Cikeas yang berasal dari gunung pada ketinggian kurang lebih meter dari permukaan air. Secara umum Kota Bekasi mempunyai iklim yang tergolong pada iklim kering dengan tingkat kelembaban yang rendah. Kondisi lingkungan sehari-hari sangat panas. Hal ini terlebih dipengaruhi oleh tata guna lahan yang meningkat terutama industri/perdagangan dan permukiman. Temperatur harian berkisar antara C. 4.2 Administrasi Pemerintahan Pada tahun 2001, wilayah administrasi Kota Bekasi terbagi menjadi 10 kecamatan dengan 52 kelurahan. Sesuai dengan Perda Kota Bekasi No. 04 tahun 2004 tentang Pembentukan Wilayah Administrasi, Kota Bekasi mengalami pemekaran menjadi 12 kecamatan terdiri dari 56 kelurahan. Gambar 4 menyajikan peta administrasi wilayah studi.

39 25 Gambar 4. Peta Administrasi Kota Bekasi Setiap kecamatan memiliki jumlah kelurahan yang berbeda-beda. Kecamatan Jati Asih dan Bekasi Utara masing-masing memiliki 6 kelurahan. Kecamatan Pondok Gede, Jati Sampurna, Bekasi Selatan, dan Bekasi Barat memiliki masing-masing 5 kelurahan. Kecamatan Pondok Melati, Bantar Gebang, Mustika Jaya, Bekasi Timur, Rawalumbu, dan Medan Satria masing-masing memiliki 4 kelurahan. Tabel 7 menunjukkan kecamatan dan kelurahan di Kota Bekasi. Tabel 7. Kecamatan dan Kelurahan di Kota Bekasi No Kecamatan Kelurahan No Kecamatan Kelurahan 1 Pondok Gede Jati Bening Baru 7 Bekasi Selatan Jaka Mulya Jati Cempaka Jati Waringin Jati Makmur Jaka Setia Pekayon Jaya Marga Jaya Jati Bening Kayuringin Jaya 2 Jati Sampurna Jati Karya 8 Bekasi Barat Bintara Jaya Jati Sampurna Jati Rangga Jati Ranggon Jati Raden Jaka Sampurna Kranji Bintara Kota Baru

40 26 Tabel 7. (Lanjutan) No Kecamatan Kelurahan No Kecamatan Kelurahan 3 Jati Asih Jati Sari 9 Bekasi Utara Marga Mulya Jati Luhur Jati Rasa Jati Asih Jati Mekar Harapan Baru Teluk Pucung Perwira Harapan Jaya Jati Kramat Kaliabang Tengah 4 Bantar Gebang Ciketing Udik 10 Medan Satria Harapan Mulya Sumur Batu Kali Baru Cikiwul Medan Satria Bantar Gebang Pejuang 5 Bekasi Timur Margahayu 11 Rawa Lumbu Bojong Menteng Bekasi Jaya Duren Jaya Bojong Rawalumbu Pengasinan Aren Jaya Sepanjang Jaya 6 Mustika Jaya Padurenan 12 Pondok Melati Jati Murni Cimuning Mustika Jaya Mustika Sari Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bekasi (2010) 4.3 Kependudukan Jati Melati Jati Warna Jati Rahayu Sejak awal tahun 2000-an pertumbuhan penduduk Kota Bekasi mengalami sedikit penurunan dibandingkan periode tahun 1990-an. Pada awal tahun 1990-an laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi sekitar 6,29% sedangkan pada awal tahun 2000 menjadi 5,19%. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk dari tahun 1999 sampai 2009 adalah 4,08%. Penduduk Kota Bekasi Tahun 2009 sebanyak jiwa terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan perempuan jiwa. Jumlah penduduk ini tersebar di 12 kecamatan. Penyebaran tertinggi di Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 14,67% ( jiwa), Bekasi Barat 12,69% ( jiwa), Bekasi Timur 11,48% ( jiwa), dan penyebaran terendah pada kecamatan Jati Sampurna sebesar 3,75% ( jiwa). Tabel 8 menunjukkan jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin. Dinamika pertumbuhan penduduk tiap kecamatan dari tahun 2005 sampai 2009 disajikan pada Gambar 5.

41 27 Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut kecamatan dan Jenis Kelamin di Kota Bekasi Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Pondok Gede 115, , ,389 Jati Sampurna 42,445 44,491 86,936 Pondok Melati 44,492 56, ,621 Jati Asih 98,573 84, ,461 Bantar Gebang 51,562 51, ,563 Mustika Jaya 68,771 71, ,051 Bekasi Timur 136, , ,277 Rawa Lumbu 121, , ,326 Bekasi Selatan 83,499 91, ,231 Bekasi Barat 143, , ,342 Medan Satria 79,413 89, ,097 Bekasi Utara 173, , ,224 Kota Bekasi 1,157,418 1,162,100 2,319,518 Sumber : BPS Kota Bekasi (2009) Gambar 5. Dinamika Pertumbuhan Penduduk Tiap Kecamatan di Kota Bekasi Pertumbuhan penduduk semua kecamatan di Kota Bekasi dari tahun 2005 sampai 2009 bersifat fluktuatif seperti terlihat pada Gambar 5. Kecamatan Pondok Gede, Jati Sampurna, Bantar Gebang, Bekasi Barat, dan Medan Satria mengalami peningkatan jumlah penduduk dari tahun 2005 sampai Kecamatan Pondok Melati, Bekasi Timur, dan Bekasi Selatan mengalami peningkatan jumlah penduduk dari tahun 2005 ke 2007 dan penurunan jumlah penduduk pada tahun

42 Kecamatan Jati Asih, Mustika Jaya, Rawa Lumbu, dan Bekasi Utara mengalami penurunan jumlah penduduk pada tahun 2007 dan meningkat kembali pada tahun Perekonomian Kota Bekasi yang dibentuk tahun 1997 sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bekasi, dimana masing-masing wilayah tersebut memiliki potensi perekonomian yang berbeda. Awalnya, kedua daerah tersebut memiliki karakteristik perekonomian pada sektor industri. Namun dalam perkembangannya, Kota Bekasi mengalami perubahan potensi perekonomian menjadi sektor perdagangan dan jasa. Untuk mengetahui perkembangan ekonomi di suatu daerah diperlukan suatu indikator ekonomi yaitu Produk Domestik Regional Bruto. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi dari tahun 2003 sampai 2009 adalah 4.5%. Dari data PDRB 2009, dua sektor dominan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Kota Bekasi yaitu sektor industri pengolahan sebesar 43.39% dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 28.37%. Pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi dari berbagai sektor pada periode 2003 hingga 2009 disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Grafik PDRB berdasarkan Harga Konstan

43 Penggunaan Lahan Kawasan Tidak Terbangun/Ruang Hijau Kota Kawasan atau ruang terbuka hijau adalah ruang dalam wilayah kota dalam bentuk areas atau jalur dimana dalam pemanfaatannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan (taman kota, lapangan olahraga, jalur hijau, TPU, pertanian, situ). Pemanfaatan ruang kawasan tidak terbangun/ruang hijau di Kota Bekasi ditujukan untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai fasilitas pengaman lingkungan perkotaaan; serta menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat Pusat Pemerintahan Kota Bekasi dan Bangunan Umum Fungsi utama kawasan pemerintahan adalah sebagai pusat pelayanan pemerintahan kota dengan skala pelayanan kota/regional. Pengembangan kawasan pusat pelayanan pemerintahan Kota Bekasi sebaiknya dilakukan dalam satu lokasi yang saling berdekatan. Adapun lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan pusat pelayanan pemerintahan Kota Bekasi, adalah di Komplek Kantor Walikota yang ada saat ini di JL. Kartini Jl. Juanda dan di Komplek Perkantoran lama di Jl. Ahmad Yani, serta dikawasan lain yang sudah ada kegiatan pelayanan pemerintahan kota. Keberadaan kompleks perkantoran lama di Jl. Ahmad Yani perlu dibenahi dan ditata kembali (revitalisasi) untuk mengoptimalkan ruang yang ada, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pusat perkantoran dinas-dinas pemerintahan Kota Bekasi Perdagangan dan Jasa Secara umum, kegiatan perdagangan dan jasa yang berkembang di Kota Bekasi menempati lokasi di sepanjang jalan utama, baik itu jalan arteri maupun jalan kolektor. Untuk kegiatan perdagangan dan jasa yang berkembang di pusat kota, umumnya terpusat di sepanjang Jalan Juanda Jalan Cut Mutia dan di koridor sepanjang Jalan A. Yani, serta di pusat perdagangan Pondok Gede dengan skala pelayanan kota/regional.

44 Industri Alokasi lahan yang diperuntukkan bagi zona industri adalah di sebelah Utara dan Selatan Kota Bekasi, yang sebagian besar berada di Kecamatan Medan Satria, Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Rawalumbu dan di Kecamatan Bantargebang. Lokasi industri yang berada di zona industri ini umumnya tersebar merata tidak terpusat di satu lokasi. Dengan demikian umumnya keberadaan kegiatan industri bercampur dengan kegiatan lainnya, seperti permukiman atau perdagangan dan jasa, sehingga apabila tidak ditangani dan dikontrol dengan benar dapat mencemari lingkungan sekitarnya, baik berupa pencemaran suara, udara (bau), ataupun limbah yang dihasilkan Permukiman Tingginya tingkat investasi untuk pengembangan kegiatan permukiman skala besar di wilayah Kota Bekasi, terutama di sebelah Utara dan Selatan, akan merubah fungsi peruntukan dari kegiatan non terbangun menjadi daerah terbangun. Selain itu, adanya kecenderungan perubahan fungsi kegiatan permukiman di sepanjang jalan utama menjadi kegiatan bisnis akibat perkembangan dan permintaan pasar menyebabkan pola pengembangan permukiman di Kota Bekasi diarahkan pada kawasan-kawasan yang sesuai peruntukannya dan diminati oleh investor. Pola pengembangan kawasan permukiman skala besar di Kota Bekasi sesuai RTRW Kota Bekasi masih dilakukan dengan pola lingkungan hunian berimbang (1:3:6). Pada kenyataannya pola ini seringkali tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena jenis/tipe permukiman yang dikembangkan sebagian besar tidak berada dalam satu lokasi kawasan yang sama, tetapi dilakukan berpencar di beberapa lokasi. Untuk itu di masa mendatang sebaiknya pola pengembangan permukiman lebih diarahkan pada pola neighborhood unit. Pengembangan permukiman dengan konsep neighborhood unit ini diintegrasikan oleh sistem jaringan transportasi yang memadai, sehingga membentuk satu kesatuan yang saling terintegrasi dan saling mendukung antar lingkungan permukiman, dan diharapkan para penghuninya dapat saling

45 31 bersosialisasi dan berinteraksi satu dengan yang lainnya (Bappeda Kota Bekasi, 2009) Struktur Tata Ruang Rencana struktur ruang Kota Bekasi disusun untuk mewujudkan keserasian dan keseimbangan pusat-pusat pelayanan serta mengefektifkan kinerja sistem pusat-pusat tersebut agar dapat berkembang sesuai dengan peran dan fungsinya dalam mendukung perkembangan Kota Bekasi dalam konteks yang lebih luas. Rencana struktur ruang Kota Bekasi meliputi rencana pengembangan sistem pusat pelayanan dan rencana sistem jaringan prasarana kota. Sistem pusat pelayanan yang dikembangkan di Kota Bekasi merupakan sistem hirarki pusat dengan spesialisasi kegiatan tertentu. Konsep ini diterapkan dengan maksud untuk mempertegas fungsi dan peran masing-masing pusat kegiatan yang saat ini telah berkembang akibat tuntutan posisi Kota Bekasi dalam konteks regional. Dalam perkembangannya seperti halnya sistem perkotaan di Bodetabek, sistem perkotaan di Kota Bekasi tidak semuanya memiliki hirarki pelayanan yang sama, tetapi terdapat perbedaan skala pelayanan sehingga sistem pusat pelayanan Kota Bekasi direncanakan terdiri dari 1 (satu) Pusat Pelayanan Kota, 4 (empat) Sub Pusat Pelayanan Kota dan 7 (tujuh) Pusat Pelayanan Lingkungan. Penetapan Pusat Pelayanan Kota, yang berada di sebagian wilayah Kecamatan Medan Satria, Bekasi Utara, Bekasi Timur, Rawalumbu, Bekasi Selatan, yang meliputi kawasan Jalan Sudirman Juanda - Cut Meutia - Achmad Yani dengan fungsi pusat pelayanan pemerintahan, kesehatan, pendidikan tinggi, pusat perdagangan, pusat hiburan dan rekreasi. Penetapan sub pusat pelayanan kota, sebagai pusat pelayanan ekonomi, sosial, dan administrasi yang melayani sub wilayah kota, terdiri atas: 1. Sub-pusat pelayanan kota Pondokgede berada di sekitar Kelurahan Jatiwaringin mencakup wilayah pelayanan Kelurahan Jati Cempaka, Jatibening Baru, Jatibening, Jatiwaringin, Jatimakmur dengan fungsi pusat pemerintahan, perdagangan skala grosir dan retail berkelompok, pusat jasa dan pusat pendidikan;

46 32 2. Sub-pusat pelayanan kota Bekasi Utara berada di sekitar di Kelurahan Perwira mencakup wilayah pelayanan Kelurahan Kaliabang Tengah, Harapan Jaya, Perwira, Teluk Pucung, Harapan Baru, Margamulya dengan fungsi pusat pemerintahan, pusat permukiman, pusat perdagangan; 3. Sub-pusat pelayanan kota Jatisampurna berada di sekitar Kelurahan Jatikarya mencakup wilayah pelayanan Kelurahan Jatisampurna, Jatirangga, Jatiraden, Jatikarya, Jatiranggon, dengan fungsi pelayanan utama sebagai pusat permukiman skala besar, pusat perdagangan; 4. Sub-pusat pelayanan kota Mustikajaya berada di sekitar Kelurahan Pedurenan mencakup wilayah pelayanan Kelurahan Mustikajaya, Mustikasari, Pedurenan, Cimuning. dengan fungsi pusat pemerintahan, pusat industri dan jasa pergudangan, pusat permukiman skala besar, pusat prasarana persampahan (TPPAS Bantargebang), dengan penyediaan pembangunan buffer zone yang dapat berupa taman kota, tempat pemakaman umum, dan lain-lain.

47 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan di Kota Bekasi Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird adalah permukiman teratur, permukiman tidak teratur, kebun campuran, TPLB (Tanaman Pertanian Lahan Basah), TPLK (Tanaman Pertanian Lahan Kering), kawasan industri, RTH (Ruang Terbuka Hijau), fasilitas pendidikan, lahan kosong, TPU (Tempat Pemakaman Umum), TPA (Tempat Pembuangan Akhir), badan air, dan rumput,semak, ilalang. Pada uraian berikut akan dijabarkan berbagai jenis penggunaan lahan dan penyebarannya di Kota Bekasi. Permukiman Teratur. Permukiman Teratur adalah sekumpulan bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal dengan bentuk, ukuran dan jarak rumah satu dengan yang lain seragam. Dalam penggunaan lahan ini juga termasuk bangunan perdagangan, jasa, dan perkantoran. Permukiman teratur tersebar di seluruh kecamatan. Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, dan Rawalumbu memiliki luasan sebaran permukiman teratur terbesar. Gambar 7. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Permukiman Teratur Permukiman Tidak Teratur. Permukiman tidak teratur adalah sekumpulan bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal dengan bentuk, ukuran, dan jarak antar rumah yang tidak seragam, memiliki pola tidak teratur, dan berasosiasi dengan kebun campuran. Dalam penggunaan lahan ini juga termasuk bangunan perdagangan, jasa, dan perkantoran. Penyebaran permukiman tidak teratur dengan luasan terbesar terdapat pada Kecamatan Pondok Gede, Bekasi Barat, dan Jati Asih.

48 34 Gambar 8. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur Kawasan Industri. Kawasan industri umumnya memiliki luasan yang besar. Kawasan industri hanya terdapat di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan Bantar Gebang, Mustika Jaya, Bekasi Barat, Bekasi Utara, Medan Satria, dan Rawalumbu. Kota Bekasi bagian Utara dan Selatan memiliki luasan sebaran kawasan industri terbesar. Gambar 9. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Kawasan Industri Ruang Terbuka Hijau. Penggunaan lahan ini dikhususkan untuk jalur hijau jalan, pulau jalan dan sempadan sungai. Seluruh Kecamatan di Kota Bekasi memiliki RTH. Kecamatan Rawalumbu dan Bekasi Selatan adalah kecamatan yang memiliki sebaran RTH terluas.

49 35 Gambar 10. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau Tanaman Pertanian Lahan Basah. TPLB adalah lahan pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utamanya. Penggunaan lahan TPLB merupakan gabungan dari berbagai fase berdasarkan faktor usia tanaman. Persebaran luas TPLB di Kota Bekasi terbesar terdapat pada bagian Selatan Kota Bekasi, yaitu Kecamatan Bantar Gebang dan Kecamatan Mustika Jaya. Gambar 11. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPLB. Tanaman Pertanian Lahan Kering. Tanaman Pertanian Lahan Kering biasanya terdiri dari ladang dan tegalan, yang ditanami dengan tanaman semusim. Persebaran TPLK merata hampir di seluruh kecamatan, kecuali pada Kecamatan Pondok Gede. Luasan TPLK terbesar yaitu pada Kecamatan Mustika Jaya.

50 36 Gambar 12. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPLK. Kebun Campuran. Kebun campuran adalah tanah pertanian yang ditanami tanaman tahunan seperti melinjo, nangka, kelapa, pisang, dan lain-lain. Biasanya, kebun campuran berada di sekitar permukiman tidak teratur. Penggunaan lahan kebun campuran menyebar merata di seluruh kecamatan di Kota Bekasi. Kecamatan Mustika Jaya dan Kecamatan Jati Asih memiliki sebaran luas kebun campuran terbesar. Gambar 13. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Kebun Campuran Lahan Kosong. Lahan kosong adalah lahan terbuka yang diatasnya tidak terdapat bangunan. Biasanya lahan kosong dulunya adalah lahan sawah yang akan dijadikan perumahan teratur oleh pihak-pihak swasta. Kecamatan Mustika Jaya dan Bekasi Utara adalah kecamatan yang memiliki luasan lahan kosong terbesar.

51 37 Gambar 14. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Kosong Fasilitas Pendidikan. Fasilitas pendidikan merupakan bangunan yang digunakan untuk sarana pendidikan. Setiap kecamatan memiliki fasilitas pendidikan. Kecamatan Bekasi Timur dan Rawalumbu memiliki luasan terbesar untuk fasilitas pendidikan. Gambar 15. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Fasilitas Pendidikan Tempat Pembuangan Akhir. Tempat pembuangan akhir biasanya jauh dari pusat kota. TPA hanya terdapat pada Kecamatan Bantar Gebang. Hal ini terkait dengan alokasi untuk TPA yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Gambar 16. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPA

52 38 Badan Air. Persebaran badan air tidak merata di seluruh kecamatan. Kecamatankecamatan yang tidak memiliki badan air yaitu Kecamatan Pondok Gede, Bekasi Barat, Medan Satria, dan Kecamatan Pondok Melati. Gambar 17. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Badan Air Tempat Pemakaman Umum. TPU biasanya terletak jauh dan agak terpisah dari permukiman penduduk. Persebaran TPU hampir merata di seluruh kecamatan kecuali di Kecamatan Medan Satria. Gambar 18. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPU Rumput, Semak, Ilalang. Persebaran penggunaan lahan rumput/semak/ilalang terbesar yaitu terdapat pada Kecamatan Jati Sampurna. Gambar 19. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Rumput/Semak/Ilalang

53 Perubahan dan Pola Penggunaan Lahan di Kota Bekasi Perubahan Penggunaan Lahan Kota Bekasi Penggunaan lahan di Kota Bekasi cenderung mengalami perubahan luas setiap tahunnya. Luas tiap penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun 2003 dan tahun 2010 disajikan pada Tabel 9. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luas terbesar adalah kelompok penggunaan lahan terbangun, seperti permukiman tidak teratur, permukiman teratur, fasilitas pendidikan, dan kawasan industri. Sementara itu penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas mengarah ke penggunaan lahan non terbangun, seperti badan air, kebun campuran, lahan kosong, TPLB (Tanaman Pertanian Lahan Basah), dan TPLK (Tanaman Pertanian Lahan Kering). Selain itu terdapat juga penggunaan lahan yang tidak mengalami perubahan yaitu TPU (Tempat Pemakaman Umum). Peta perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi disajikan pada Gambar 20. Gambar 20. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun

54 40 Tabel 9. Luas Penggunaan Lahan Tahun 2003, 2010, dan Perubahannya Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2003 ( ha ) Tahun 2010 ( ha ) Perubahan ( ha ) Perubahan ( % ) Badan Air % Fasilitas Pendidikan % Kawasan Industri % Kebun Campuran % Lahan Kosong % Permukiman Tidak Teratur % Permukiman Teratur % Ruang Terbuka Hijau % Rumput,semak,ilalang % Tempat Pembuangan Akhir % Tanaman Pertanian Lahan Basah % Tanaman Pertanian Lahan Kering % Tempat Pemakaman Umum % Penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun 2003 didominasi oleh permukiman baik permukiman teratur sebesar 18,5 % (3994,00 ha) maupun permukiman tidak teratur sebesar 25,51 % (5511,09 ha). Proporsi penggunaan lahan oleh permukiman yang paling besar terdapat di Kecamatan Pondok Gede untuk permukiman tidak teratur sebesar 715, 85 ha dan Kecamatan Bekasi Utara untuk permukiman teratur sebesar 551,28 ha. Hal ini dikarenakan kedua kecamatan tersebut memiliki jumlah penduduk tertinggi di Kota Bekasi pada tahun 2003, yaitu sebanyak jiwa di Kecamatan Pondok Gede dan jiwa di Kecamatan Bekasi Utara. Penggunaan lahan pada tahun 2010 yang mengalami penurunan luas terbesar adalah kebun campuran. Penggunaan lahan ini mengalami penurunan menjadi 14,22 % (3071,84 ha), diikuti dengan lahan kosong menjadi 8,78 % (1897,72 ha) dan TPLB mengalami penurunan menjadi 8,40 % (1815,76 ha). Penurunan luas kebun campuran terbesar terjadi di Kecamatan Pondok Gede, yang sejalan dengan peningkatan luas untuk penggunaan lahan pemukiman tidak teratur.

55 41 Gambar 21. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Pada Gambar 21 dapat dilihat peningkatan permukiman tidak teratur sebesar 19% (1.074,19 ha), permukiman teratur sebesar 19% (727,73 ha), Kawasan Industri 4% (26.45 ha), fasilitas pendidikan dan TPA 1% (0,74 ha) dan (1,45 ha ), RTH sebesar 10% (74,33 ha). Hal ini diikuti dengan penurunan kebun campuran sebesar 20% (748,90 ha), lahan kosong 16% (357,86 ha), penggunaan lahan rumput, semak, ilalang sebesar 17% (227,27 ha), TPLB dan TPLK sebesar 25% dan 22% (597,60 ha dan 80,87 ha). Kecamatan Bekasi Utara adalah kecamatan yang memiliki proporsi ruang terbangun (permukiman tidak teratur, permukiman teratur, kawasan industri, fasilitas pendidikan) terbesar yaitu sebesar 1.138,93 ha dan meningkat pada tahun 2010 menjadi ha. Penggunaan lahan Kota Bekasi secara spasial disajikan pada Peta Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2003 (Gambar 22) dan Peta Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2010 (Gambar 23).

56 42 Gambar 22. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2003 Gambar 23. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010

57 43 Gambar 22 dan Gambar 23 menunjukkan penggunaan lahan Kota Bekasi bagian Barat yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta dan Kota Bekasi bagian Timur yang dekat dengan pusat Kota Bekasi didominasi oleh ruang terbangun. Pola ini terbentuk karena dipengaruhi oleh aksesibilitas, yaitu jarak terhadap pusat kegiatan dan jaringan jalan yang memadai. Sementara itu bagian Selatan Kota Bekasi yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan bagian Utara yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi pada tahun 2003 masih didominasi oleh penggunaan lahan non terbangun. Pada tahun 2010 penurunan luas penggunaan lahan terbesar terjadi di bagian Selatan Kota Bekasi yaitu Kecamatan Jati Asih dan Kecamatan Mustika Jaya. Terbentuknya jalan tol baru di sepanjang Kecamatan Jati Asih menyebabkan banyak penggunaan lahan yang terkonversi, salah satu yang terbesar adalah kebun campuran. Pada Kecamatan Mustika Jaya, penurunan luas terbesar TPLB dikarenakan dikonversi menjadi perumahan teratur. Di dalam konteks pengembangan sumberdaya, konversi lahan pertanian ke non pertanian adalah suatu proses yang bersifat irreversible atau tidak dapat balik. Hal ini berimplikasi bahwa konversi lahan pertanian akan dibarengi dengan perubahan-perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat yang juga umumnya bersifat irreversible (Winoto et al., 1996) Pola Perubahan Penggunaan Lahan Dalam mengamati pola perubahan penggunaan lahan, hal yang perlu dicermati adalah arah perubahan menjadi penggunaan lahan apa dan penggunaan lahan sebelumnya. Perubahan penggunaan lahan pada Kota Bekasi tahun disajikan pada Tabel 10. Perubahan penggunaan lahan terbesar yaitu terjadi pada penggunaan lahan kebun campuran menjadi permukiman tidak teratur, lahan kosong menjadi permukiman teratur, dan TPLB menjadi lahan kosong dengan luas perubahan berturut-turut sebesar 649,88 ha, 493,09 ha, dan 365,09 ha. Berikut ini akan diuraikan jenis perubahan penggunaan lahan dari tahun secara rinci per kecamatan di Kota Bekasi.

58 44 Tabel 10. Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun Penggunaan Lahan 2010 ( Ha ) Penggunaan Lahan 2003 Badan Air Fasilitas Pendidikan Jalan Arteri Jalan TOL Kawasan Industri Kebun Campuran Lahan Kosong Permukiman Tidak Teratur Permukiman Teratur RTH Rumput,Semak,Ilalang TPA TPLB TPLK TPU Badan Air Fasilitas Pendidikan Jalan Arteri Jalan TOL Kawasan Industri Kebun Campuran Lahan Kosong Permukiman Tidak Teratur Permukiman Teratur RTH Rumput,semak,ilalang TPA TPLB TPLK TPU

59 Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur Dalam selang waktu 7 tahun telah terjadi perubahan penggunaan lahan permukiman tidak teratur menjadi jalan arteri, jalan tol, dan RTH. Perubahan ini terjadi di sebagian kecamatan di Kota Bekasi, antara lain Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Jati Asih, dan Kecamatan Pondok Melati. Luas perubahan permukiman tidak teratur menjadi penggunaan lahan lain dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun Kecamatan Luas (ha) Perubahan Permukiman Tidak Teratur Menjadi Jalan Arteri Jalan tol RTH Luas Perubahan Per Kecamatan Bantar Gebang 0.00 Bekasi Barat Bekasi Selatan Bekasi Timur 0.00 Bekasi Utara 0.00 Jati Asih Jati Sampurna 0.00 Medan Satria 0.00 Mustika Jaya 0.00 Pondok Gede 0.00 Pondok Melati Rawalumbu 0.00 Jumlah Perubahan terbesar terjadi pada permukiman tidak teratur menjadi jalan tol sebesar 2,42 ha. Permukiman tidak teratur merupakan salah satu penggunaan lahan yang sulit untuk dirubah menjadi penggunaan lahan lain. Tetapi, perubahan ini dapat terjadi karena kebijakan dari pemerintah Kota Bekasi untuk meminimalisasi kemacetan di Kota Bekasi dengan membuat jalan tol baru yang mulai beroperasi pada tahun Kecamatan Bekasi Selatan mengalami perubahan permukiman tidak teratur sebesar 3,16 ha. Permukiman tidak teratur di wilayah tersebut mengalami penggusuran untuk pembuatan jalan tol dan RTH.

60 Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran Perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi penggunaan lahan lain per kecamatan disajikan pada Tabel 12. Pada tahun penggunaan lahan kebun campuran telah banyak mengalami konversi lahan menjadi jalan arteri, jalan tol, lahan kosong, permukiman tidak teratur, permukiman teratur, RTH, dan TPA. Tabel 12. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun Kecamatan Jalan Arteri Luas (ha) Perubahan Kebun Campuran Menjadi Permukiman Jalan Lahan Permukiman Tidak TOL Kosong Teratur Teratur RTH TPA Luas Perubahan Per Kecamatan Bantar Gebang Bekasi Barat Bekasi Selatan Bekasi Timur Bekasi Utara Jati Asih Jati Sampurna Medan Satria Mustika Jaya Pondok Gede Pondok Melati Rawalumbu Jumlah Tabel 12 menunjukkan perubahan terbesar terjadi pada penggunaan lahan kebun campuran menjadi permukiman tidak teratur sebesar 649,88 ha. Sementara itu, perubahan terkecil yaitu menjadi jalan arteri terjadi di Kecamatan Bekasi Barat sebesar 0,56 ha. Kecamatan Jati Asih adalah kecamatan yang mengalami perubahan luas kebun campuran menjadi permukiman tidak teratur terbesar yaitu 131,66 ha. Perubahan kebun campuran menjadi penggunaan lahan lainnya terjadi di seluruh kecamatan di Kota Bekasi. Luas kebun campuran terbesar yang mengalami konversi lahan terdapat pada Kecamatan Jati Asih sebesar 158,72 ha.

61 Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB) adalah penggunaan lahan yang memiliki nilai land rent yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun. Hal ini yang memacu konversi lahan terbesar terjadi pada TPLB. Perubahan penggunaan TPLB menjadi penggunaan lain di setiap kecamatan disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah Menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun Kecamatan Jalan Arteri Luas (ha) Perubahan Penggunaan Lahan TPLB Menjadi Jalan TOL Kawasan Industri Lahan Kosong Permukiman Tidak Teratur Permukiman Teratur RTH Luas Perubahan Per Kecamatan Bantar Gebang Bekasi Barat Bekasi Selatan Bekasi Timur Bekasi Utara Jati Asih Jati Sampurna Medan Satria Mustika Jaya Pondok Gede Pondok Melati Rawalumbu Jumlah Tabel 13 menunjukkan konversi TPLB terbesar yaitu menjadi lahan kosong sebesar 365,09 ha. Lahan kosong ini nantinya akan dibangun menjadi permukiman teratur. Hal ini dapat dilihat dari lingkungan sekitar yang sudah menjadi permukiman teratur. Perubahan TPLB menjadi penggunaan lahan lainnya terjadi di seluruh kecamatan dengan konversi TPLB terbesar terjadi pada Kecamatan Mustika Jaya sebesar 179,05 ha konversi TPLB terkecil terjadi di Kecamatan Pondok Gede yaitu seluas 4,36 ha. Kecamatan Mustika Jaya adalah kecamatan yang memiliki luas TPLB terbesar, sehingga berpeluang besar untuk mengalami konversi lahan. Sementara itu, untuk Kecamatan Pondok Gede

62 48 berbanding terbalik dengan Kecamatan Mustika Jaya. Kecamatan ini memiliki luas TPLB yang relatif kecil, sehingga konversi terhadap TPLB juga rendah. Konversi lahan pertanian merupakan salah satu konsekuensi dari perluasan kota yang membutuhkan lahan untuk pertumbuhan kota. Hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan permintaan terhadap lahan untuk aktivitas ekonomi, permukiman dan infrastruktur yang menyebabkan terjadinya peningkatan konversi lahan pertanian Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK) Pada tahun telah banyak terjadi perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi penggunaan lahan lain, yaitu jalan arteri, jalan tol, lahan kosong, permukiman tidak teratur, permukiman teratur, dan RTH. Luas perubahan yang terjadi selama 7 tahun disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering Menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun Kecamatan Luas (ha) Perubahan Penggunaan Lahan TPLK Menjadi Jalan Arteri Jalan tol Lahan Kosong Permukiman Tidak Teratur Permukiman Teratur RTH Luas Perubahan Per Kecamatan Bantar Gebang 0.00 Bekasi Barat 0.00 Bekasi Selatan Bekasi Timur Bekasi Utara Jati Asih Jati Sampurna Medan Satria Mustika Jaya Pondok Gede Pondok Melati Rawalumbu Jumlah Tabel 14 menunjukkan luas perubahan penggunaan lahan TPLK terbesar yaitu menjadi permukiman teratur sebesar 24,34 ha, yang diikuti dengan permukiman tidak teratur sebesar 24,14 ha. Perubahan penggunaan lahan TPLK

63 49 cenderung mengarah ke lahan terbangun yang umumnya digunakan sebagai tempat tinggal. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah penduduk, sehingga permintaan lahan untuk permukiman juga semakin meningkat. Perubahan TPLK menjadi penggunaan lahan lain terjadi hampir di seluruh kecamatan kecuali Kecamatan Bantar Gebang dan Bekasi Barat, dikarenakan kecamatan ini tidak memiliki TPLK. Konversi TPLK terbesar terdapat di Kecamatan Bekasi Utara yaitu dengan luas konversi terbesar menjadi permukiman tidak teratur sebesar 10,08 ha Perubahan Penggunaan Lahan Kosong Selama waktu 7 tahun, penggunaan lahan kosong mengalami perubahan menjadi penggunaan lahan lain, yaitu fasilitas pendidikan, jalan arteri, jalan tol, kawasan industri, permukiman tidak teratur, permukiman teratur, dan RTH. Luas perubahan lahan kosong menjadi penggunaan lahan lain disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kosong menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun Kecamatan Fasilitas Pendidikan Luas (ha) Perubahan Lahan Kosong Menjadi Jalan Arteri Jalan tol Kawasan Industri Permukiman Tidak Teratur Permukiman Teratur RTH Luas Perubahan Per Kecamatan Bantar Gebang Bekasi Barat Bekasi Selatan Bekasi Timur Bekasi Utara Jati Asih Jati Sampurna Medan Satria Mustika Jaya Pondok Gede Pondok Melati Rawalumbu Jumlah Tabel 15 menunjukkan perubahan lahan kosong terbesar yaitu menjadi permukiman teratur seluas 493,09 ha dan diikuti dengan perubahan menjadi

64 50 permukiman tidak teratur seluas 195,47 ha. Perubahan lahan kosong menjadi penggunaan lahan lain terjadi di seluruh kecamatan. Kecamatan yang mengalami perubahan lahan kosong terbesar adalah Kecamatan Jati Sampurna sebesar 113,43 ha dengan perubahan yang mendominasi yaitu perubahan menjadi permukiman teratur sebesar 82,40 ha. Perubahan lahan kosong menjadi permukiman teratur terjadi akibat peningkatan jumlah penduduk yang meningkatkan permintaan lahan untuk dijadikan sebagai tempat hunian. Kecamatan yang mengalami perubahan luas lahan kosong terkecil adalah Kecamatan Bekasi Timur sebesar 21,88 ha. Kecamatan Bekasi Timur memiliki luas lahan terbangun yang tinggi sehingga sangat jarang ditemui lahan kosong yang dapat dikonversi menjadi penggunaan lahan lain Perubahan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Selama selang waktu 7 tahun dari tahun , penggunaan lahan RTH mengalami perubahan menjadi lahan kosong. Luas perubahan penggunaan lahan RTH disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau Tahun Kecamatan Luas (ha) Perubahan RTH menjadi Lahan Kosong Bantar Gebang 0.70 Bekasi Barat 0.86 Bekasi Selatan 2.20 Bekasi Timur 4.55 Bekasi Utara 0.19 Jati Asih 0.41 Jati Sampurna Medan Satria 0.14 Mustika Jaya Pondok Gede 0.63 Pondok Melati 0.03 Rawalumbu 2.96 Jumlah Tabel 16 menunjukkan total luas perubahan RTH menjadi lahan kosong sebesar 12,66 ha. Perubahan ini terjadi hampir di semua kecamatan, kecuali kecamatan Jati Sampurna dan Mustika Jaya. Perubahan terbesar terjadi pada

65 51 Kecamatan Bekasi Timur sebesar 4,55 ha. Umumnya perubahan RTH menjadi lahan kosong terjadi pada jalur hijau. 5.3 Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kota Bekasi Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dilakukan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sudah sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar atau pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang. Analisis inkonsistensi dilakukan dengan mengoverlaykan peta RTRW Kota Bekasi (Gambar 24) dengan peta penggunaan lahan tahun 2003 dan Hasil overlay tersebut menghasilkan peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bekasi Tahun 2003 (Gambar 25) dan Tahun 2010 (Gambar 26). Bentuk realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah adalah pemanfaatan ruang yang terjadi di suatu wilayah. Gambar 24. Peta RTRW Kota Bekasi Periode Gambar 24 menunjukkan sebaran spasial alokasi RTRW Kota Bekasi. Alokasi RTRW lebih mengarah pada penggunaan lahan terbangun, antara lain alokasi untuk pemerintahan dan bangunan umum, pendidikan, perdagangan dan jasa, perumahan kepadatan rendah, perumahan kepadatan sedang, perumahan

66 52 kepadatan rendah. Alokasi untuk lahan terbangun menyebar di seluruh kecamatan. Alokasi untuk industri terletak di bagian Utara yaitu di Kecamatan Medan Satria. Sementara itu alokasi untuk pertanian terletak di Kecamatan Bantar Gebang. Luas alokasi rencana tata ruang Kota Bekasi tahun disajikan pada Tabel 17 dan proporsi total inkonsistensi Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2010 disajikan pada Tabel 18. Alokasi RTRW Kota Bekasi terbesar adalah alokasi untuk kawasan permukiman, yaitu perumahan kepadatan rendah sebesar 710,24 ha, perumahan kepadatan sedang sebesar 9.195,72 ha, dan perumahan kepadatan tinggi sebesar 7.162,46 ha. Dampak dari proses suburbanisasi pada Kota Bekasi, mengharuskan pemerintah Kota Bekasi membuat alokasi khusus untuk kawasan permukiman. Tabel 17. Alokasi Rencana Tata Ruang Kota Bekasi Tahun Alokasi RTRW Luas (ha) Industri 1.369,73 Pemerintahan dan Bangunan Umum 81,93 Pendidikan 18,47 Perdagangan dan Jasa 1.744,16 Pertanian 775,55 Perumahan Kepadatan Rendah 710,24 Perumahan Kepadatan Sedang 9.195,72 Perumahan Kepadatan Tinggi 7.162,46 Rekreasi / Olah Raga 26,82 Sempadan Sungai 289,.32 Situ 5,39 Stasiun Kereta 3,97 T P A Sampah 13,38 T P U 13,80 Taman / Hutan Kota 193,97 Hasil analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang tahun 2003 terhadap RTRW periode , menunjukkan proporsi persentase jenis inkonsistensi terbesar terhadap luas peruntukan terjadi pada jenis peruntukan taman/hutan kota menjadi ruang terbangun, lahan kosong, dan lahan pertanian, yaitu sebesar 40,88% (79,31 ha) dari luas peruntukan sebesar 193,97 ha. Kemudian diikuti dengan jenis peruntukan rekreasi/olahraga menjadi ruang terbangun sebesar

67 53 23,27% (6,24 ha) dari luas peruntukan sebesar 26,82 ha, jenis peruntukan pertanian menjadi ruang terbangun sebesar 22,29% (172,88 ha) dari luas peruntukan sebesar 775,55 ha. Luas inkonsistensi paling besar terdapat pada Kecamatan Bantar Gebang yaitu sebesar 197,29 ha atau 4,31% dari luas wilayah Kecamatan Bantar Gebang. Tabel 18. Luas dan Proporsi Total Inkonsistensi Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2010 Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Tahun 2003 Tahun 2010 Kota Bekasi Peruntukan RTRW Kondisi Eksisting ha % ha % Pertanian Ruang Terbangun Sempadan Sungai Ruang Terbangun Taman/Hutan Kota Ruang Terbangun Taman / Hutan Kota Lahan Kosong Taman / Hutan Kota Pertanian Rekreasi/Olahraga Ruang Terbangun Jumlah , Pada tahun 2010, proporsi persentase jenis inkonsistensi terbesar terhadap luas peruntukkan terjadi pada jenis peruntukan taman/hutan kota menjadi ruang terbangun, lahan kosong, dan lahan pertanian, yaitu meningkat menjadi 43,98% (85,32 ha) dari luas peruntukan sebesar 193,97 ha, diikuti dengan jenis peruntukan pertanian menjadi ruang terbangun meningkat menjadi 29,27% (227,03 ha) dari luas peruntukkan sebesar 775,55 ha. Jenis peruntukan rekreasi/olahraga menjadi ruang terbangun tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 23,27% (6,24 ha) dari luas peruntukan sebesar 26,82 ha. Total luas inkonsistensi paling besar terdapat pada Kecamatan Mustika Jaya yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Bantar Gebang yaitu sebesar 145, 92 ha atau 5,66% dari total luas wilayah Kecamatan Mustika Jaya 2577,12 ha. Besarnya inkonsistensi pemanfaatan ruang pada Kecamatan Bantar Gebang pada tahun 2003 dan Kecamatan Mustika Jaya pada tahun 2010 yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Bantar Gebang, dikarenakan luas penggunaan lahan di Kecamatan ini masih didominasi oleh penggunaan lahan non terbangun atau penggunaan lahan yang memiliki nilai land rent yang rendah. Hal ini memacu masyarakat untuk melakukan konversi lahan menjadi penggunaan

68 54 lahan yang memiliki nilai land rent lebih tinggi. Jarak kecamatan yang jauh dari pusat kota juga menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang ( Listiawan, 2010). Gambar 25. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bekasi Tahun 2003

69 Gambar 26. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bekasi Tahun

70 Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi Perkembangan suatu wilayah yang sejalan dengan meningkatnya jumlah perumbuhan penduduk menuntut adanya peningkatan kualitas dan kuantitas dalam kebutuhan hidup diantaranya sarana dan prasarana. Tingkat perkembangan wilayah Kota Bekasi dapat dianalisis dengan menggunakan analisis skalogram yang menggunakan jumlah fasilitas dan jumlah jenis fasilitas yang ada di 10 kecamatan dengan 52 desa pada tahun 2003 dan dimekarkan menjadi 12 kecamatan dengan 56 desa pada tahun Sarana prasarana yang digunakan sebagai variabel dalam analisis antara lain fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi, fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial. Analisis skalogram mengelompokkan setiap desa ke dalam hirarki wilayah dengan kriteria tertentu. Hirarki wilayah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Hirarki I, Hirarki II, dan Hirarki III. Hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi, hirarki II wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, hirarki III wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Pengelompokkan wilayah berdasarkan hirarki pada tahun 2003 dan 2006 disajikan pada Gambar 27 dan Gambar 28. Gambar 27. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003

71 57 Gambar 28. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2006 Secara spasial terlihat bahwa hirarki-hirarki tersebut tersebar tidak merata atau mengelompok di wilayah-wilayah tertentu. Kecamatan-kecamatan di bagian Utara, Barat, dan Timur Kota Bekasi cenderung memiliki hirarki lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan di bagian selatan. Hal ini karena wilayah-wilayah yang berhirarki lebih tinggi tersebut berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta sehingga perkembangannya lebih pesat dibandingkan dengan wilayah bagian selatan yang berbatasan dengan wilayah kabupaten. Menurut Rustiadi et al., (2009) aspek spasial merupakan fenomena alami, sehingga jika perkembangan suatu wilayah dipengaruhi oleh wilayah sebelahnya atau lebih dekat adalah hal yang wajar. Hal ini dikarenakan telah terjadinya interaksi sosial ekonomi dari dua wilayah tersebut. Berdasarkan hasil analisis skalogram pada tahun 2003, jumlah kelurahan yang berhirarki I adalah 7, kelurahan yang berhirarki II berjumlah 20, dan kelurahan yang berhirarki III berjumlah 25 kelurahan. Hasil analisis skalogram pada tahun 2006 menunjukkan jumlah kelurahan yang berhirarki I adalah 7, kelurahan yang berhirarki II berjumlah 26, dan kelurahan berhirarki III berjumlah 23 kelurahan. Penyebaran hirarki di Kota Bekasi tidak merata, seperti tidak semua kecamatan memiliki hirarki I, dimana tempat terjadinya pusat-pusat aktivitas.

72 58 Tabel 19 menyajikan persentase jumlah kelurahan berdasarkan hirarki di setiap kecamatan pada Kota Bekasi. Dari Tabel 19 tersebut dapat dilihat bahwa terjadi penurunan dan penambahan tingkatan hirarki. Pada tahun 2003 jumlah kelurahan yang paling banyak adalah kelurahan yang memiliki tingkatan hirarki III sebesar 48%, sedangkan pada tahun 2006 jumlah kelurahan yang paling banyak adalah kelurahan yang berhirarki II sebesar 46 %. Tabel 19. Persentase Kelurahan Berdasarkan Hirarki Wilayah di Setiap Kecamatan. Nama Kecamatan Hirarki 2003 Hirarki 2006 I II III I II III Pondok Gede 20% 80% 0% 20% 60% 20% Bekasi Timur 75% 25% 0% 75% 25% 0% Bekasi selatan 20% 40% 40% 40% 60% 0% Bantargebang 0% 25% 75% 0% 25% 75% Medan Satria 25% 75% 0% 0% 100% 0% Bekasi Barat 20% 20% 60% 0% 100% 0% Rawalumbu 0% 25% 75% 0% 75% 25% Jatiasih 0% 33% 67% 0% 33% 67% Jatisampurna 0% 0% 100% 0% 20% 80% Bekasi Utara 0% 67% 33% 0% 50% 50% Kota Bekasi 13% 38% 48% 13% 46% 41% Hirarki I adalah wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi yang berfungsi sebagai pusat aktivitas, seperti pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, pasar yang potensial, serta memiliki fasilitas yang beragam dan lengkap. Dari hasil analisis tahun 2003 terdapat 5 kecamatan dari 10 kecamatan di Kota Bekasi yang memiliki hirarki I, diantaranya Kecamatan Bekasi Timur, Pondok Gede, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Medan Satria. Pada tahun 2006 terjadi penurunan kecamatan yang memiliki kelurahan berhirarki I yaitu 4 kecamatan dari 12 kecamatan setelah pemekaran pada tahun 2004, yaitu Kecamatan Bekasi Timur, Pondok Gede, Bekasi Selatan, dan Pondok Melati. Pada tahun 2003, Kecamatan Bekasi Timur merupakan kecamatan yang memiliki kelurahan berhirarki I paling banyak sebesar 43%, yaitu Kelurahan Margahayu, Bekasi Jaya, dan Duren Jaya, sedangkan pada tahun 2006, Kecamatan Bekasi Timur tidak mengalami perubahan hirarki pada kelurahannya, meskipun terjadi penambahan jumlah dan jenis fasilitas. Kecamatan Bekasi Timur

73 59 memiliki letak yang strategis, aksesibilitas yang baik, dan penduduk yang padat sehingga diperlukan peningkatan terhadap fasilitas yang lengkap dan beragam. Kecamatan Pondok Gede tidak mengalami penambahan kelurahan yang berhirarki I, tetapi terjadi perubahan kelurahan yang berhiraki I setelah pemekaran. Kelurahan yang berhirarki I di Kecamatan Pondok Gede pada tahun 2003 adalah Kelurahan Jatirahayu. Setelah pemekaran, Kelurahan Jatirahayu masuk ke dalam kecamatan baru yaitu Kecamatan Pondok Melati. Hal ini memacu kelurahankelurahan lain di Kecamatan Pondok Gede untuk meningkatkan tingkatan hirarki, sehingga pada tahun 2006 Kelurahan Jatiwaringin yang sebelumnya berhirarki II mengalami peningkatan hirarki menjadi Hirarki I. Kecamatan Medan Satria dan Bekasi Barat pada tahun 2006 mengalami penurunan dari tahun 2003 karena terdapat kelurahan yang berhirarki I berubah menjadi hirarki II, yaitu Kelurahan Kranji dan Kelurahan Medan Satria. Pada Kecamatan Bekasi Selatan terjadi penambahan jumlah dan jenis fasilitas sehingga kelurahan yang berhirarki I bertambah, yaitu Kelurahan Kayuringin Jaya dan Jaka Setia Hirarki II merupakan wilayah yang sedang berkembang, biasanya dicirikan dengan pertumbuhan yang cepat dan merupakan wilayah penyangga dari wilayah yang berhirarki I. Jumlah kelurahan yang berhirarki II pada tahun 2006 mengalami peningkatan dari tahun 2003, yaitu 38% menjadi 46 %. Wilayah yang berhirarki II tersebar merata hampir di seluruh kecamatan. Kecamatan Jatisampurna tidak memiliki kelurahan yang berhirarki II pada tahun 2003, sedangkan Kecamatan Pondok Melati dan Kecamatan Mustika Jaya yang merupakan kecamatan hasil pemekaran juga tidak memiliki kelurahan yang berhirarki II di tahun Hirarki III adalah wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Di Kota Bekasi, wilayah yang berhirarki III mengalami penurunan dari 48% menjadi 41% di tahun 2003 dan Pada tahun 2003, semua kelurahan di Kecamatan Jatisampurna masuk ke dalam tingkatan hirarki III, sedangkan pada tahun 2006 Kecamatan Mustika Jaya yang merupakan kecamatan baru, seluruh kelurahannya masuk ke dalam tingkatan hirarki III. Kecamatan Pondok Gede, Medan Satria, dan Bekasi Timur merupakan kecamatan yang tidak memiliki hirarki III di tahun 2003 dan pada tahun 2006, Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Medan

74 60 Satria, dan Bekasi Barat tidak memiliki kelurahan berhirarki III. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran fasilitas-fasilitas cenderung memusat dan tidak merata. Wilayah yang berkembang ditandai dengan adanya penambahan fasilitas atau perkembangan sarana prasarana di wilayah tersebut. Pada Gambar 29 akan disajikan laju pertumbuhan setiap fasilitas di Kota Bekasi. Gambar 29. Laju Pertumbuhan Fasilitas di Kota Bekasi Tahun 2003 dan Tahun 2006 Gambar 29 menunjukkan perkembangan fasilitas di Kota Bekasi. Dari Gambar 29 tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan pada fasilitas sosial, fasilitas kesehatan, dan fasilitas pendidikan. Sedangkan fasilitas ekonomi mengalami penurunan. Laju pertumbuhan fasilitas sosial, fasilitas kesehatan, dan fasilitas pendidikan berturut-turut sebesar 13,2%, 24,4%, dan 12,8%. Fasilitas ekonomi mengalami penurunan sebesar 37,4%. Penurunan ini dikarenakan oleh berkurangnya toko atau warung kelontong akibat dari menurunnya intensitas masyarakat untuk berbelanja di warung-warung kecil. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh banyaknya supermarket,minimarket, ataupun pasar swalayan yang memiliki daya saing tinggi berdiri di sekitar lingkungan masyarakat yang menyebabkan warung-warung kecil gulung tikar. Kecamatan Bekasi Utara merupakan kecamatan yang mengalami peningkatan paling tinggi pada fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG An Analysis of Land Use Change and Regional Land Use Planning in Bandung Regency Rani Nuraeni 1), Santun Risma

Lebih terperinci

ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT

ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT J. Tanah Lingk., 14 (1) April 2012: 21-28 ISSN 1410-7333 ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT Analysis of Land Use Change Pattern and Regional

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

DINAMIKA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH PINGGIRAN DKI JAKARTA (Studi Kasus Kecamatan Ciracas, Kota Jakarta Timur) Oleh: Okta Marliza A

DINAMIKA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH PINGGIRAN DKI JAKARTA (Studi Kasus Kecamatan Ciracas, Kota Jakarta Timur) Oleh: Okta Marliza A DINAMIKA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH PINGGIRAN DKI JAKARTA (Studi Kasus Kecamatan Ciracas, Kota Jakarta Timur) Oleh: Okta Marliza A24104069 PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Laju dan Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang 5.1.1. Laju Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang dikelompokkan menjadi

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN LUAS RUANG TERBUKA HIJAU DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI JAKARTA SELATAN. Oleh : WIDYA AURELIA A

ANALISIS PERUBAHAN LUAS RUANG TERBUKA HIJAU DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI JAKARTA SELATAN. Oleh : WIDYA AURELIA A ANALISIS PERUBAHAN LUAS RUANG TERBUKA HIJAU DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI JAKARTA SELATAN Oleh : WIDYA AURELIA A14050615 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi dan kegiatan analisis data dilakukan di studio bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat yang merupakan kabupaten baru di Provinsi Jawa Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 sampai bulan November 2009. Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi Kota Jakarta Timur.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan November 2009, bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di lapangan ( pengecekan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG RANI NURAENI

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG RANI NURAENI ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG RANI NURAENI DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN TEGALREJO DAN KECAMATAN WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA TAHUN

ANALISIS PERUBAHAN LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN TEGALREJO DAN KECAMATAN WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA TAHUN ANALISIS PERUBAHAN LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN TEGALREJO DAN KECAMATAN WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2007 2017 Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN KECUKUPANNYA DI KOTA DEPOK. An analysis of Greenery Open Space and Its Adequacy in Depok City ABSTRACT ABSTRAK

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN KECUKUPANNYA DI KOTA DEPOK. An analysis of Greenery Open Space and Its Adequacy in Depok City ABSTRACT ABSTRAK ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN KECUKUPANNYA DI KOTA DEPOK An analysis of Greenery Open Space and Its Adequacy in Depok City Wuri Setyani 1), Santun Risma Pandapotan Sitorus 2), dan Dyah Retno Panuju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah atau lahan memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Manusia membutuhkan lahan untuk mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal serta melakukan aktivitasnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Jakarta Timur, dengan fokus pada Kecamatan Jatinegara. Kecamatan ini memiliki 8 Kelurahan yaitu Cipinang Cempedak, Cipinang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2015 dan Perda No 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau 5.1.1. Identifikasi Perubahan Luas RTH di Jakarta Timur Identifikasi penyebaran dan analisis perubahan Ruang Terbuka Hijau di kawasan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN Publikasi Ilmiah. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN Publikasi Ilmiah. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN 2010-2014 Publikasi Ilmiah Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi Oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik antara lain (1) luasan relatif tetap, dan (2) memiliki sifat fisik yang bersifat spesifik

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI JAKARTA TIMUR

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI JAKARTA TIMUR ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI JAKARTA TIMUR Land use change Analysis of Green Open Space in East Jakarta Santun R.P. Sitorus Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA DATARAN RENDAH DI INDONESIA (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan)

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA DATARAN RENDAH DI INDONESIA (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan) IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA DATARAN RENDAH DI INDONESIA (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan) YUNI PUJIRAHAYU DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Saat ini penggunaan lahan permukiman sangat meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang ada pada suatu wilayah. Hal ini karena manusia membutuhkan lahan untuk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Galuga dan sekitarnya, Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT NINA RESTINA 1i SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pola pertumbuhan kota dan tingkat urbanisasi yang terjadi di Indonesia sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia

Lebih terperinci

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung Reka Geomatika No.1 Vol. 2016 14-20 ISSN 2338-350X Maret 2016 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Geodesi Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau FERI NALDI, INDRIANAWATI Jurusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Lampung yang selalu bertambah pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan otonomi daerah, serta pertambahan

Lebih terperinci

Interpretasi Citra dan Foto Udara

Interpretasi Citra dan Foto Udara Interpretasi Citra dan Foto Udara Untuk melakukan interpretasi citra maupun foto udara digunakan kreteria/unsur interpretasi yaitu terdiri atas rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan,

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMEKARAN KOTA BOGOR DAN EVALUASINYA TERHADAP POLA RUANG SKRIPSI

KARAKTERISTIK PEMEKARAN KOTA BOGOR DAN EVALUASINYA TERHADAP POLA RUANG SKRIPSI KARAKTERISTIK PEMEKARAN KOTA BOGOR DAN EVALUASINYA TERHADAP POLA RUANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh: Muhammad Azzam NIM : E 100 14 0001

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH PENGEMBANGAN IV KABUPATEN BEKASI ABSTRAK

ARAHAN PENGEMBANGAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH PENGEMBANGAN IV KABUPATEN BEKASI ABSTRAK ARAHAN PENGEMBANGAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH PENGEMBANGAN IV KABUPATEN BEKASI Yunan Maulana 1, Janthy T. Hidajat. 2, Noordin Fadholie. 3 ABSTRAK Wilayah pengembangan merupakan bagian-bagian wilayah yang

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

Aplikasi Citra Satelit QuickBird Untuk Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar

Aplikasi Citra Satelit QuickBird Untuk Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar Aplikasi Citra Satelit QuickBird Untuk Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar RUNIA CHRISTINA GULTOM INDAYATI LANYA*) I WAYAN NUARSA Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN GUNUNG DEPOK SINDUR PARUNG RUMPIN CISEENG CIBINONG BOJONG GEDE KEMANG RANCA BUNGUR KOTA BOGOR CIBUNGBULANG CIAMPEA DRAMAGA

III. METODOLOGI PENELITIAN GUNUNG DEPOK SINDUR PARUNG RUMPIN CISEENG CIBINONG BOJONG GEDE KEMANG RANCA BUNGUR KOTA BOGOR CIBUNGBULANG CIAMPEA DRAMAGA 13 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Cendawasari yang terletak di, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Sedangkan, analisis spasial

Lebih terperinci

ANALISIS KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA CIMAHI, PROVINSI JAWA BARAT

ANALISIS KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA CIMAHI, PROVINSI JAWA BARAT J. Tanah Lingk., 15 (2) Oktober 2013: 66-75 ISSN 1410-7333 ANALISIS KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA CIMAHI, PROVINSI JAWA BARAT The Analysis of Greenery Open Space

Lebih terperinci

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA)

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA) PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA) SRI WAHYUNI WERO G 621 08 264 Skripsi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H14052333 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi terutama infrastruktur jaringan jalan merupakan salah satu modal utama dalam perkembangan suatu wilayah. Pada daerah perkotaan, terutama, dibutuhkan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Definisi lahan menurut Sitorus (2004) merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR Yuniar Irkham Fadlli, Soedwiwahjono, Ana Hardiana Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pengalihan fungsi lahan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota semakin banyak terjadi pada saat sekarang. Hal ini seiring dengan permintaan pembangunan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 1990 jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun 2000-2016 di Kota Tangerang Selatan Aisyah Desinah 1, Mangapul P. Tambunan 2, Supriatna 3 1 Departemen Geografi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan penggunaan lahan merupakan obyek kajian yang dinilai penting untuk diteliti karena dapat berkaitan dengan masalah global maupun lokal. Masalah dari perubahan

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN SIANTAR SITALASARI TAHUN 2010 DAN TAHUN 2015 DENGAN MENGGUNAKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN SIANTAR SITALASARI TAHUN 2010 DAN TAHUN 2015 DENGAN MENGGUNAKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN SIANTAR SITALASARI TAHUN 2010 DAN TAHUN 2015 DENGAN MENGGUNAKAN CITRA QUICKBIRD Ahmad Fadli Siregar Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON Christy C.V. Suhendy Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon e-mail: cherrzie@yahoo.com ABSTRACT Changes in land use affects water availability

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Aplikasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis semakin meluas sejak dikembangkan di era tahun 1960-an. Sejak itu teknologi penginderaan jauh dan

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN KOTA SALATIGA TAHUN TERHADAP RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN

EVALUASI KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN KOTA SALATIGA TAHUN TERHADAP RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN EVALUASI KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2014 TERHADAP RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2030 PUBLIKASI KARYA ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A34203009 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH ELEMEN LANSKAP TERHADAP KUALITAS ESTETIKA LANSKAP KOTA DEPOK. Oleh: Medyuni Ruswan A

ANALISIS PENGARUH ELEMEN LANSKAP TERHADAP KUALITAS ESTETIKA LANSKAP KOTA DEPOK. Oleh: Medyuni Ruswan A ANALISIS PENGARUH ELEMEN LANSKAP TERHADAP KUALITAS ESTETIKA LANSKAP KOTA DEPOK Oleh: Medyuni Ruswan A34201045 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Pembangunan daerah seyogyanya dilakukan melalui penataan ruang secara lebih terpadu dan terarah, agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Lebih terperinci

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta)

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Hapsari Wahyuningsih, S.T, M.Sc Universitas Aisyiyah Yogyakarta Email: hapsariw@unisayogya.ac.id Abstract: This research

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Depok 5.1.1. Interpretasi Penggunaan Lahan dari Citra Quickbird Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird Kecamatan Depok adalah

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS: KOTA SUKABUMI, JAWA BARAT) ANNISA TIARA

PERUBAHAN PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS: KOTA SUKABUMI, JAWA BARAT) ANNISA TIARA PERUBAHAN PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS: KOTA SUKABUMI, JAWA BARAT) ANNISA TIARA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci