5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG"

Transkripsi

1 5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG Pendahuluan Resiliensi suatu ekosistem merupakan ukuran besarnya potensi pemulihan ekosistem tersebut setelah terjadi gangguan. Pemulihan ekosistem terumbu karang setelah terjadinya gangguan belum mempunyai ukuran yang baku (standar). Ukuran yang paling banyak digunakan adalah kembalinya tutupan karang (Dollar & Tribble 1993; Tomascik et al. 1996; Lourey et al. 2000; Berumen & Pratchet 2006; Golbuu et al. 2007). Ukuran pemulihan yang lainnya meliputi pertumbuhan karang (Shinn 1975), struktur populasi atau ukuran koloni karang (Done 1988), tutupan dan struktur komunitas karang (Done et al. 1991; Smith et al. 2006), tutupan dan kekayaan spesies karang (Brown & Suharsono 1990). Pearson (1981) dalam kajiannya tentang pemulihan terumbu karang dari gangguan menginginkan adanya indeks pemulihan yang menggabungkan tutupan karang, indeks permukaan, rata-rata tinggi koloni, kekayaan spesies, dan indeks kesamaan. Sampai saat ini belum ada yang melakukan saran Pearson tersebut. Cara pengukuran pemulihan terumbu karang yang paling baru, yang diusulkan sebagai pengganti tutupan karang, adalah SARCC (size-adjusted rate of change of cover) yang diperkenalkan oleh Mumby dan Harborne (2010). Penghitungan SARCC menggunakan ukuran koloni disamping tutupan karang yang kemudian dianalisis dengan pendekatan simulasi Monte Carlo. Walaupun kesimpulan yang diambil tetap sama, dibandingkan dengan tutupan karang pada terumbu karang di perairan Caribbean, perbedaan antara di dalam dan di luar kawasan konservasi lebih jelas dengan menggunakan SARCC daripada tutupan karang. Pengunaan SARCC jauh lebih rumit daripada transek garis biasa, karena data diambil dengan video transect dan dianalisis dengan statistik multifaktor. Karena itu aplikasinya diperkirakan terbatas pada peneliti terumbu karang, bukan pengelola terumbu karang biasa. Jika persen tutupan karang hidup yang digunakan sebagai ukurannya, maka pemulihan terumbu karang dapat terjadi dalam skala kurang dari 10 tahun (Tomascik et al. 1996; Lovell & Sykes 2008). Tetapi jika pemulihan tersebut

2 82 diukur dari komposisi komunitas yang menyerupai kondisi sebelum gangguan, maka waktu pemulihan dapat lebih dari 25 tahun (Berumen & Pratchett 2006) atau bahkan ratusan tahun (Done 1995). Untuk mengganti koloni karang Porites yang berukuran diameter satu meter, misalnya, membutuhkan waktu sekitar 100 tahun. Di dalam penelitian ini, pemulihan terumbu karang akan dinilai berdasarkan indeks resiliensinya, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke indeks resiliensi sebelum gangguan. Dengan demikian, karang Porites yang mati dapat digantikan peran ekologisnya oleh karang dengan bentuk tumbuh yang sama (karang masif), misalnya Favia, Goniastrea, Goniopora dan sebagainya, yang fungsi ekologisnya sama tetapi pertumbuhannya lebih cepat. Penelitian di dalam bab ini dimaksudkan untuk menilai pemulihan terumbu karang dengan menggunakan indeks resiliensi. Peningkatan indeks resiliensi terumbu karang terjadi jika ada peningkatan pada tutupan karang (COC), jumlah kelompok fungsional (CFG), jumlah koloni ukuran kecil (CSN), atau perimbangan tutupan karang Acroporidae dengan karang masif dan submasif (CHQ). Pemulihan indeks juga dapat terjadi jika ada penurunan tutupan algae dan fauna lain (AOF) atau pengurangan tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva (USS). Walaupun cara ini berbeda dari yang disarankan Pearson (1981), pengukuran pemulihan dengan indeks resiliensi merupakan alternatif yang potensial digunakan oleh pengelola terumbu karang. 5.2 Metode Penelitian Pengambilan data Data terumbu karang berasal dari data pemantauan lingkungan yang tersedia di sebuah perusahaan tambang tembaga-emas di Kabupaten Sumbawa Barat. Pemantauan tersebut dilakukan pada 6 (enam) transek permanen, yang tersebar di Teluk Benete (3 transek), Maluk (1 transek), dan Tanjung Amat (2 transek) (Gambar 21). Data runut waktu selama 13 tahun merupakan data yang sulit ditemukan di Indonesia. Data terumbu karang tersebut diduga merupakan satusatunya data runut waktu yang masih dapat diakses dengan kurun waktu lebih dari 10 tahun.

3 83 Gambar 21 Peta lokasi pengambilan data terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat. BN= Benete, TA= Tanjung Amat, MA= Maluk. Sebagai data sekunder yang tidak diambil sendiri oleh peneliti, data di dalam penelitian ini juga rentan terhadap tuntutan kualitas, sehingga informasi tentang data itu sendiri menjadi sangat penting. Data pemantauan terumbu karang tersebut diambil oleh peneliti (konsultan) yang berbeda-beda, sehingga memberi peluang terjadinya ketidak-konsistenan di dalam pencatatan (perekaman) kategori benthos. Sebagian besar data secara jelas membedakan antara kategori S (pasir), Si (lumpur) dan R (pecahan karang). Sebagian kecil lainnya, mencatat secara bersama-sama dua atau tiga kategori tersebut di dalam satu potongan transek sehingga masing-masing kategori tidak dapat dihitung secara tepat. Jika kategori S dicatat lebih awal, misalnya: S, R, dan Si, maka data akan dimasukkan ke dalam kategori S. Sebaliknya jika tercatat sebagai R, Si, dan S, maka data akan diolah sebagai kategori R.

4 84 Di dalam pemantauan tersebut, panjang transek permanen baku yang digunakan adalah 30 meter. Walaupun demikian, sebagian pengambilan data di transek permanen menggunakan panjang 20 meter atau 25 meter. Pengambilan data di bawah air memang tidak selalu dalam kondisi optimal. Dalam kondisi cuaca yang buruk yang mengakibatkan peneliti dalam kondisi yang kurang baik, maka pengambilan data dapat menjadi kurang cermat dan kurang akurat. Pada pemantauan September 2007, di Tanjung Amat 2, misalnya, pengambilan data dilakukan hanya dalam waktu 20 menit, sedangkan pengambilan data dari transek yang sama biasanya membutuhkan waktu menit. Data yang dihasilkan dari pengambilan data 20 menit tersebut juga tidak konsisten dengan data sebelum dan sesudahnya. Data tersebut tidak digunakan di dalam analisis. Data runut waktu ini sebenarnya merupakan data yang ideal untuk penelitian ini, karena dalam kurun waktu pengambilan data terjadi gangguan yang besar, yaitu pemutihan karang yang berdampak pada kematian masal karang. Pemutihan karang tersebut terjadi pada akhir tahun 1997 hingga pertengahan pertama tahun 1998, di Indonesia. Akan tetapi, data dua pengamatan penting ketika terjadi gangguan, yaitu September 1997 dan April 1998, tidak tersedia sehingga tidak dapat secara pasti ditentukan kapan gangguan memiliki dampak perubahan pada indeks. Kelemahan lainnya adalah jumlah replikasi yang kurang untuk kebutuhan penelitian ini. Pemantauan pada transek permanen di Sumbawa Barat dilaksanakan dua kali setahun, setiap bulan Maret/April dan September/Oktober. Walaupun pengambilan data di transek permanen lebih sering dilakukan daripada di lokasi COREMAP, kasus peneliti tidak dapat menemukan kembali transek permanen karena hilang tanda-tandanya juga terjadi. Jika konsultan peneliti terumbu karang ditemani oleh staff perusahaan, maka transek yang baru dapat dibuat di lokasi yang hampir sama dengan transek permanen sebelumnya. Data primer terumbu karang diambil pada transek permanen yang sama di Sumbawa Barat, pada bulan April Data ini sebagai pelengkap dari data runut waktu yang telah tersedia sebelumnya. Hampir semua transek permanen tersebut dibuat pada kedalaman sekitar 5 (lima) meter. Transek permanen ditandai

5 85 dengan tonggak besi sepanjang satu meter, setiap 10 meter, dengan panjang transek 30 meter. Data suhu air laut juga merupakan data sekunder yang diperoleh dari dokumen pemantauan kondisi lingkungan di Teluk Benete. Data suhu air laut tersebut diambil menggunakan temperature data logger Starmon Mini (Star-Oddi Ltd), dengan akurasi 0.05 O C, dari Oktober 1999-Oktober Data logger diletakkan di Teluk Benete pada kedalaman 5 meter. Pencatatan suhu oleh data logger dilakukan dengan frekuensi setiap 10 menit Analisis data Pemulihan terumbu karang dapat dilihat dari berbagai skala spasial, puluhan meter hingga ribuan kilometer. Semakin besar skala yang digunakan semakin besar ragam yang dijumpai. Kondisi terumbu karang umumnya memiliki ragam yang besar baik secara spasial maupun temporal. Interaksi antara kedua ragam tersebut menghasilkan ragam yang lebih besar, dengan bertambahnya skala yang digunakan. Somerfield et al. (2008) meneliti perubahan komunitas karang dari tahun di Florida Keys. Dengan skala spasial ratusan kilometer dan skala temporal tujuh tahun, sulit menemukan pola umum pemulihan terumbu karang setelah kematian masal tahun Terumbu karang yang dikenal memiliki kondisi stabil ganda (multiple stable states), dapat mengalami pemulihan dengan arah ganda sehingga kondisi stabil baru dapat berbeda banyak dari kondisi awal, walaupun tutupan karang sebagai indikatornya. Di dalam penelitian ini, analisis data dilakukan pada dua skala, skala puluhan meter (transek) dan skala puluhan kilometer (kabupaten). Pemulihan terumbu karang didefinisikan sebagai kembalinya peubah terumbu karang (indeks resiliensi, tutupan karang) setelah gangguan kematian masal tahun Tingginya ragam antar transek di tingkat kabupaten mempersulit perbandingan antar waktu, sehingga definisi pulih dari gangguan menjadi tidak jelas. Pemulihan terumbu karang kemudian didefinisikan sebagai perubahan peubah terumbu karang mendekati kondisi sebelum gangguan. Kedekatan kondisi tersebut ditetapkan dengan statistik multifaktor non-metric Multi Dimensional Scalling (MDS) berdasarkan indeks kesamaan Bray Curtis. Analisis MDS dilaksanakan

6 86 dengan perangkat lunak Primer 6 versi (Primer-E Ltd. 2009). Data runut waktu dari Kabupaten Sumbawa Barat ini tidak didesain untuk perbandingan antar lokasi, melainkan antar waktu, sebagaimana data COREMAP pada bab 4. Ketiga lokasi yang dipantau tidak memiliki jumlah sampel yang sama, sehingga pemulihan terumbu karang di tingkat transek tidak dapat dianalisis secara statistik. Analisis regresi linier sederhana dilakukan untuk memprediksi pemulihan terumbu karang, baik yang dinilai berdasarkan kembalinya indeks maupun tutupan karang. Analisis regresi dilakukan untuk melihat keterkaitan antara kondisi awal dengan dampak gangguan dan kondisi awal dengan laju pemulihan. Kedua macam regresi tersebut dilakukan pada 4 (empat) transek karena dua transek, yaitu Tanjung Amat 2 dan Maluk, menunjukkan perilaku yang jauh berbeda dari empat trasnek lainnya. Di Tanjung Amat 2 dan Maluk tidak terjadi penurunan tutupan karang ketika terjadi gangguan tahun 1998, yang menyebabkan kematian masal di kawasan lain. Hasil analisis statistik secara lengkap disajikan pada Lampiran 6, halaman Hasil-hasil Penelitian Pemulihan terumbu karang dalam skala puluhan meter Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan indeks resiliensi yang sangat besar di antara pemantauan April 1997 dan September 1999 (Gambar 22). Data pemantauan September1997 dan April 1998 tidak tersedia lengkap sehingga bulan terjadinya penurunan indeks tidak dapat diperkirakan secara tepat. Peristiwa kematian masal karang akibat pemutihan karang pada tahun 1998 dianggap sebagai penyebab penurunan indeks tersebut. Penurunan indeks terjadi secara serentak di Teluk Benete (Benete 1, Benete 2, Benete 3), Tanjung Amat 1 dan Maluk. Di kedua lokasi terakhir, penurunan serentak terjadi lagi pada tahun Tanjung Amat 2 dan Maluk memiliki pola yang berbeda dari transek di lokasi lainnya. Penurunan drastis indeks tidak terjadi pada tahun 1998, tetapi terjadi pada tahun 2000.

7 87 Pada tahun 1998, penurunan indeks resiliensi paling besar terjadi di transek Benete 2, yaitu sebesar 0.535; sedangkan penurunan terkecil terjadi di Tanjung Amat 1 sebesar Di Benete 2, setelah mengalami penurunan yang sangat tajam, indeks resiliensi dapat pulih kembali dalam waktu yang relatif singkat. Indeks resiliensi yang telah turun menjadi (September 1998) dapat kembali lagi ke 0.931, pada bulan September 2001, atau dalam waktu tiga tahun. Gambar 22 Dinamika indeks resiliensi terumbu karang pada 6 transek di perairan Sumbawa Barat, kurun waktu April 1997 sampai April Di Tanjung Amat 2 dan Maluk, indeks resiliensi terumbu karang memiliki dinamika yang berbeda dari lokasi lainnya. Dampak gangguan pada tahun 1998 sangat kecil, bahkan lebih kecil dari fluktuasi indeks setelah gangguan di transek tersebut. Di Tanjung Amat 2 dan Maluk, indeks resiliensi menurun tajam dari bulan April ke September tahun Perubahan drastis tersebut bersamaan dengan perubahan tutupan karang walaupun tidak ada data lain yang dapat menjelaskan faktor penyebabnya. Perubahan lokal seperti ini dapat terjadi akibat gangguan lokal, yang hanya dijumpai di Tanjung Amat 2 dan Maluk. Kedua lokasi tersebut berpotensi terpapar pada hempasan gelombang dari Samudra Hindia. Ketika terjadi gangguan yang menurunkan indeks resiliensi di semua lokasi pada tahun 1998, terumbu karang di Tanjung Amat 2 sedang mempunyai indeks

8 88 resiliensi yang rendah yaitu 0.288, atau dalam kategori kurang. Gangguan yang terjadi pada saat yang kritis dapat menyebabkan turunnya resiliensi sampai di bawah ambang tertentu sehingga ekosistem tidak mampu pulih kembali dan terjadilah pergantian fase. Di Tanjung Amat 2, indeks resiliensi hanya mengalami penurunan Indeks tersebut kemudian meningkat menjadi atau menjadi kategori sedang dalam enam bulan berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi sebesar bukan termasuk nilai yang kritis, atau masih di atas ambang indeks untuk terjadinya pergantian fase. Tingginya indeks resiliensi awal berkaitan dengan besarnya dampak gangguan (Tabel 11). Gangguan yang sama memberikan dampak yang berbeda pada terumbu karang dengan indeks yang berbeda. Semakin tinggi indeks resiliensi semakin besar pula dampak penurunan indeks (R 2 = 0.994, F = , P < 0.01). Hubungan kedua peubah tersebut menghasilkan persamaan regresi yang dapat digunakan untuk membuat prediksi dampak gangguan, Ŷ = X, dimana Ŷ=dampak gangguan atau besar penurunan indeks dan X=indeks resiliensi awal (sebelum gangguan). Tabel 11 Indeks resiliensi dan pemulihan terumbu karang. Dampak gangguan diukur sebagai besarnya penurunan indeks. Laju pemulihan relatif dihitung berdasarkan besar indeks awal. Keterangan: *sebagai pencilan. Transek Indeks resiliensi awal Dampak gangguan Waktu pulih (tahun) Laju pemulihan per tahun Indeks Relatif (%) resiliensi Benete Benete Benete Tanjung Amat Tanjung Amat 2* Maluk* Pemulihan terumbu karang pasca gangguan dapat diukur dari pemulihan indeks resiliensi. Dengan menentukan kondisi awal adalah data pengamatan bulan April 1997 dan kondisi setelah gangguan adalah data bulan September 1998, maka waktu pemulihan ke kondisi indeks sebelum gangguan bervariasi antara 3.0 sampai 5.5 tahun (Tabel 11). Pemulihan indeks juga dapat dihitung sebagai

9 89 pemulihan relatif, yang dibandingkan dengan nilai awal indeks sebelum gangguan, dan pemulihan absolut, yaitu pertambahan nilai indeks dalam waktu tertentu. Di antara kedua macam pemulihan indeks, nilai pemulihan absolut lebih mudah digunakan di dalam pengelolaan. Pada terumbu karang dengan indeks resiliensi sangat baik (Benete 2) pemulihan dapat terjadi pada laju per tahun. Pada terumbu karang dengan indeks kategori baik (Benete 1, Benete 3, Tanjung Amat 1) mempunyai laju pemulihan per tahun. Secara umum, laju pemulihan indeks absolut berkaitan dengan besar indeks resiliensi awal, kecuali di Maluk dan Tanjung Amat 2 yang menunjukkan dampak gangguan yang kecil (Gambar 22). Terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi terbesar mengalami laju pemulihan paling cepat. Terdapat hubungan regresi yang signifikan antara indeks resiliensi awal dengan laju pemulihan indeks (R 2 = 0.959, F = , P < 0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi awal dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan (indeks per tahun), dengan model persamaan regresi Ŷ = X, dimana Ŷ=laju pemulihan indeks dan X=indeks resiliensi awal (sebelum gangguan). Penurunan drastis indeks resiliensi yang terjadi pada tahun 1998 juga bersamaan dengan penurunan tutupan karang (Gambar 23). Di transek Benete 1, Benete 2, Benete 3, dan Tanjung Amat 1, tutupan karang mengalami penurunan yang besar dalam kurun waktu April 1997 sampai September Hal ini memperkuat keterkaitan antara penurunan indeks dengan kematian masal karang akibat pemutihan karang. Rekaman suhu air laut yang tersedia, sayangnya, tidak meliputi kurun waktu tersebut sehingga tidak ada data suhu air laut di Selat Alas yang mendukung dugaan terjadinya peristiwa pemutihan karang akibat suhu tinggi yang ekstrim, yang menyebabkan kematian karang secara masal. Rekaman suhu air laut yang tersedia dalam kurun waktu September 1999-September 2007 menunjukkan tidak adanya suhu air laut yang ekstrim tinggi (Gambar 24). Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi tutupan karang sebesar >10% di Benete 1 dan Benete 2 (Gambar 23) dalam kurun waktu delapan tahun ( ) tidak berhubungan dengan kematian karang yang berkaitan dengan bencana pemutihan karang.

10 90 Gambar 23 Dinamika tutupan karang pada 6 transek di lokasi penelitian, dalam kurun waktu April 1997 sampai April Pengambilan data dilakukan setiap enam bulan sekali. Gambar 24 Rekaman suhu air laut bulanan di Teluk Benete, dalam periode September 1999-September Sebagaimana indeks resiliensi, tutupan karang awal juga berkaitan dengan besarnya dampak gangguan. Terumbu karang yang mempunyai tutupan karang lebih tinggi cenderung mengalami dampak yang lebih besar dari gangguan yang besarnya sama (Tabel 12). Hubungan regresi kedua peubah tersebut signifikan (R 2 = 0.930, F = , P < 0.05). Model persamaan regresi yang dapat memprediksi dampak gangguan dari tutupan karang adalah Ŷ = X, dimana

11 91 Ŷ=dampak gangguan atau penurunan tutupan karang dan X=tutupan karang awal (sebelum gangguan). Dua transek, yaitu Tanjung Amat 2 dan Maluk, tidak mengalami dampak gangguan, karena tidak mengalami penurunan tutupan karang. Berbeda dengan indeks resiliensi, tutupan karang awal tidak mempunyai hubungan regresi yang signifikan dengan laju pemulihan tutupan karang (R 2 = 0.572, F = 2.678, P > 0.05). Terumbu karang di Benete 3 dan Tanjung Amat 1 yang mempunyai tutupan karang hampir sama mengalami pemulihan dengan laju yang sangat berbeda (Tabel 12). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tutupan karang tidak dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang. Tabel 12 Tutupan karang dan pemulihan terumbu karang di Sumbawa Barat. Dampak gangguan diukur sebagai besarnya penurunan tutupan karang. Laju pemulihan relatif dihitung berdasarkan besar tutupan awal. Transek Tutupan karang awal (%) Dampak gangguan (%) Waktu pulih (tahun) Laju pemulihan per tahun Tutupan Relatif (%) karang (%) Benete Benete Benete Tanjung Amat Tanjung Amat 2* 1.48 Ta** Ta Ta Ta Maluk Ta Ta Ta Ta * Sebagai data pencilan. **Ta= tidak ada dampak, karena selisih antara kedua pengamatan negatif atau tutupan karang bertambah. Pemulihan tutupan karang dapat berlangsung sangat cepat di Sumbawa Barat. Laju pemulihan absolut atau pertambahan tutupan karang berkisar antara % per tahun. Kecepatan pemulihan dalam bentuk pertambahan tutupan karang tertinggi terjadi di Benete 2 (Tabel 12). Laju terrendah terjadi di Tanjung Amat 1, yang disebabkan oleh gangguan lokal. Di lokasi tersebut, dampak gangguan tahun 1998 kecil, tutupan karang turun 3.87%. Setahun kemudian, tutupan karang sudah hampir pulih, yaitu 28.75%. Tutupan karang kemudian secara kontinyu turun 1.5 tahun sesudahnya sehingga pemulihan dari dampak gangguan tahun 1998 tertunda lama.

12 Pemulihan dalam skala puluhan kilometer Hasil analisis MDS pada indeks resiliensi menunjukkan bahwa terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat mempunyai perbedaan yang sangat besar antara April 1997 dan September 1998, yang menunjukkan adanya dampak gangguan (Gambar 25). Pemulihan terumbu karang dinilai berdasarkan kondisi sebelum gangguan, yaitu April Gambar 25 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu September 1998 sampai September 2000, indeks resiliensi terumbu karang berbeda jauh dari indeks resiliensi pada waktu pengamatan yang lainnya. Gambar 25 Hasil analisis MDS terhadap indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat. Dengan mengacu pada kondisi sebelum gangguan adalah April 1997, maka kondisi indeks resiliensi yang paling dekat dengan kondisi sebelum gangguan adalah September Jika dampak gangguan pada indeks resiliensi terjadi pada pengamatan September 1998, dan kondisi pada bulan September 2003 dianggap sebagai pulihnya terumbu karang di Sumbawa Barat, maka waktu yang diperlukan adalah 5.0 tahun.

13 93 Dinamika rata-rata indeks resiliensi menunjukkan pola yang sama dengan hasil MDS. Pada bulan September 1998 terumbu karang mengalami penurunan rata-rata indeks (±SE) menjadi 0.426±0.038 dari sebelumnya 0.598±0.086 pada bulan April 1997 (Gambar 26). Di Kabupaten Sumbawa Barat rata-rata indeks memiliki ragam yang sangat besar sehingga sulit mengukur laju pemulihan dengan ketepatan (presisi) yang sedang. Jika ragam tersebut diabaikan, maka pemulihan indeks resiliesi terjadi pada bulan September 2003, ketika rata-rata indeks mencapai 0.649± Pemulihan rata-rata indeks tersebut membutuhkan waktu 5.0 tahun. Dengan galat baku yang sangat besar, laju pemulihan indeks rata-rata ini sekitar per tahun. Gambar 26 Dinamika rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat, April 1997 sampai April Analisis MDS pada tutupan karang menunjukkan pola yang serupa dengan indeks resiliensi. Tutupan karang pada kurun waktu September 1998 sampai April 2000 berada dalam kelompok yang sama, sebagai petunjuk bahwa pada kurun waktu tersebut terumbu karang sedang mengalami proses pemulihan akibat gangguan yang besar (Gambar 27). Kedekatan posisi titik April 1997 dengan September 2002 menunjukkan dekatnya persamaan tutupan karang di keenam transek antara sebelum dan sesudah gangguan, yang dapat diinterpretasikan

14 94 sebagai telah terjadinya pemulihan terumbu karang, dalam waktu 4 (empat) tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan tutupan karang sebagai ukuran pemulihan terumbu karang memberikan hasil yang lebih cepat daripada pemulihan indeks resiliensi. Gambar 27 Hasil analisis MDS terhadap tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat. Dinamika rata-rata tutupan karang menunjukkan secara jelas adanya penurunan tutupan karang yang besar pada waktu antara tahun 1997 sampai 1998 (Gambar 28). Dampak dari gangguan tahun 1998 adalah terjadinya penurunan rata-rata (±SE) tutupan karang 12.72%, dari 31.65±9.38% (April 1997) menjadi 16.12±3.15% (September 1998). Proses pemulihan tutupan karang sudah terlihat enam bulan berikutnya. Tingginya ragam membuat definisi pemulihan tutupan karang menjadi kurang jelas. Secara umum, pemulihan tutupan karang berlangsung lebih cepat daripada pemulihan indeks resiliensi terumbu karang. Rata-rata tutupan karang tersebut telah kembali mencapai 28.84±4.37%, atau 91% dari tutupan karang sebelum

15 95 gangguan, pada bulan April Pada kondisi ini, laju pemulihan rata-rata tutupan karang 8.48% per tahun. Jika pemulihan tutupan karang didefinisikan mencapai kondisi yang sama atau melewati tutupan sebelum gangguan, maka pemulihan tutupan karang baru terjadi pada bulan September 2002, ketika ratarata tutupan karang mencapai 35.06±9.83%. Pemulihan tutupan karang terjadi dalam 4 (empat) tahun, dengan laju rata-rata 4.73% per tahun. Gambar 28 Dinamika rata-rata (±1SE) tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat, tahun Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi dapat digunakan untuk menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang juga dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan dan laju pemulihan terumbu karang, dalam skala puluhan meter. Sebagai pembanding, tutupan karang dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan, tetapi tidak dapat untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi merupakan alternatif penilaian pemulihan terumbu karang, yang lebih lengkap daripada tutupan karang. Pemulihan terumbu karang tercatat lebih lama jika dinilai dari indeks resiliensi dibandingkan dengan tutupan karang. Di Kabupaten Sumbawa Barat

16 96 pemulihan terumbu karang antara keduanya berbeda satu tahun. Penggunaan peubah tutupan karang sebagai indikator pemulihan terumbu karang dianggap tidak lagi memuaskan tujuan pengelolaan (Mumby & Harborne 2010; Graham et al. 2011). Hasil penelitian ini menyediakan alternatif untuk menggunakan indeks resiliensi sebagai acuan dalam menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang telah mengandung sejumlah peubah-peubah yang penting dalam resiliensi terumbu karang, sebagaimana yang diharapkan oleh Graham et al. dan juga peneliti lainnya. Gangguan pemutihan karang tahun 1998 membawa dampak penurunan indeks yang bervariasi sebesar Tingkat penurunan indeks ini dapat menjadi acuan dampak dari suatu gangguan pemutihan karang yang sangat besar, karena terjadi secara global. Penggunaan indeks dalam pengukuran dampak gangguan belum pernah dilakukan sehingga tidak ada pembanding dari hasil penelitian lainnya. Indeks resiliensi yang digunakan di dalam penelitian ini terbukti tidak berselingkupan dengan resistensi, yaitu kemampuan ekosistem untuk mempertahankan strukturnya dari gangguan. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa semakin tinggi indeks semakin besar pula kecenderungannya mengalami dampak yang lebih besar dari gangguan yang sama. Holling (1973) memberikan contoh populasi yang resiliensinya tinggi adalah hama tanaman pertanian. Ketika terjadi gangguan, populasi tersebut berkurang sangat cepat, demikian pula laju pemulihannya. Menguji kemampuan indeks resiliensi untuk memprediksi pemulihan ekosistem dari gangguan tunggal tidak mudah dilakukan di alam terbuka. Secara alami terumbu karang mengalami banyak gangguan dengan berbagai skala (Adjeroud et al. 2009), sehingga pemulihan setelah gangguan yang diteliti mendapat tambahan beban dari gangguan sesudahnya. Dengan demikian pemulihan ekosistem yang diteliti tidak hanya dari satu gangguan melainkan multi-gangguan yang sulit diprediksi. Fluktuasi indeks setelah tahun 1998 dapat dianggap sebagai indikasi terjadinya gangguan-gangguan kecil dalam kurun waktu tersebut, disamping faktor-faktor lainnya, misalnya perbedaan pengambil data.

17 97 Kedekatan hubungan antara indeks resiliensi dengan laju pemulihan ekosistem dapat diteliti secara eksperimental. Peristiwa pemutihan karang yang terjadi pada tahun 2010, merupakan awal yang baik untuk melakukan eksperimen alami dan mendapatkan hubungan regresi antara keduanya. Penggunaan data sekunder sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini merupakan langkah awal untuk membuat indeks resiliensi dan melihat hubungannya dengan pemulihan terumbu karang. Indeks yang dihasilkan telah terbukti dapat digunakan untuk mengukur pemulihan terumbu karang. Berdasarkan data yang tersedia kita dapat membuat ramalan secara kasar lama pemulihan terumbu karang. Dengan menggunakan nilai laju pemulihan rata-rata tersebut, kita dapat memperkirakan waktu yang diperlukan oleh terumbu karang untuk mencapai nilai indeks resiliensi yang sama dengan sebelum gangguan. Laju pemulihan indeks yang dihitung di dalam penelitian ini adalah laju pertambahan nilai indeks ketika terumbu karang baru saja mengalami gangguan. Laju pertambahan indeks tersebut dapat berbeda dengan perubahan indeks yang merupakan fluktuasi musiman atau tahunan. Dibandingkan dengan perubahan rata-rata indeks temporal di lokasi COREMAP yang dibahas pada bab 4, rata-rata laju peningkatan indeks resiliensi yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat (0.051 per tahun) masih dalam kisaran rata-rata laju pertambahan indeks di Kabupaten Nias Selatan, yang merupakan laju tertinggi di wilayah COREMAP. Di Nias Selatan laju pemulihan rata-rata indeks resiliensi dan per tahun. Baik di Sumbawa Barat maupun Nias, keduanya adalah terumbu karang yang sedang mengalami proses pemulihan. Dengan demikian nilai pertambahan indeks sampai dapat dijadikan sebagai acuan laju pemulihan terumbu karang setelah mengalami gangguan. Di dalam proses pemulihan, rekolonisasi suatu ekosistem dapat terjadi dengan cepat pada ruang kosong yang terbuka akibat dampak gangguan. Di the Great Barrier Reef (GBR), Australia, pertambahan tutupan karang lebih cepat pada terumbu yang mengalami gangguan pemangsaan bintang laut duri seribu (COT, crown of thorns) daripada yang tidak terganggu (Lourey et al. 2000). Pada terumbu karang yang terserang COT, di GBR selatan, pertambahan tutupan karang 4% per tahun, dan hanya 2% pada terumbu yang tidak terserang COT.

18 98 Pertambahan tutupan karang (COC) yang terjadi lewat rekruitmen secara teoritis juga akan diikuti dengan jumlah koloni kecil (CSN), dan mungkin sekali juga oleh pertambahan jumlah kelompok fungsional CFG. Ketiga peubah tersebut akan meningkatkan nilai indeks resiliensi terumbu karang. Jika kolonisasi terumbu tersebut memiliki perimbangan yang baik antara karang massif dan submasif dengan karang Acropora, maka peningkatan indeks akan lebih cepat lagi karena terjadi peningkatan nilai CHQ. Pemulihan tutupan karang di Sumbawa Barat dapat berjalan dengan laju yang sangat cepat. Kecepatan pertambahan tutupan karang pada transek tunggal di Benete 2 mencapai 14.56% per tahun. Laju pemulihan rata-rata tutupan karang adalah 4.73 % per tahun di Sumbawa Barat. Laju rata-rata tersebut relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Tomascik et al. (1996) di bagian utara Pulau Gunung Api, Kepulauan Banda, yang mempunyai tutupan ratarata 61.6% dalam lima tahun. Laju peningkatan tutupan karang rata-rata di Banda tersebut merupakan laju pada masa pemulihan. Di Banda pemulihan karang terjadi di atas batu bekuan lava dari letusan Gunung Api. Kecepatan pertambahan tutupan karang tersebut sekitar 12.21% per tahun. Di Sumbawa Barat, laju pemulihan tutupan karang hampir sama dengan laju pemulihan di GBR yang dilaporkan Lourey et al. (2000), yaitu sekitar 4% pada terumbu karang yang telah mengalami gangguan. Pertambahan tutupan karang yang tinggi biasanya berkaitan dengan karang Acroporidae. Di GBR, median pertambahan tutupan karang famili Acroporidae 11% per tahun, sedangkan famili lainnya 2-3% per tahun (Thompson & Dolman 2010). Waktu pemulihan tutupan karang setelah kematian masal akibat pemutihan (bleaching) juga termasuk sangat cepat di Sumbawa Barat, dengan rentang waktu tahun, dengan waktu pemulihan rata-rata 4.0 tahun. Pemulihan tutupan karang yang dilaporkan sangat cepat di Fiji dalam waktu 5 (lima) tahun, setelah kematian masal tahun 2000 (Lovell & Sykes 2008), dan di Ishigaki Island, Jepang, dalam waktu 4-6 tahun, setelah kematian masal karang tahun 1998 (Ohba et al. 2008). Ketiga kematian masal tersebut akibat dari pemutihan karang terkait peningkatan suhu yang ekstrim tinggi. Di GBR Australia, pemulihan tutupan karang dari gangguan pemangsaan COT berkisar antara tahun (Lourey et al.

19 ), sedangkan di Moorea, Society Islands pemulihannya 21 tahun (Berumen & Pratchet 2006). Pemulihan terumbu karang sangat tergantung pada dampak gangguan pada terumbu tersebut. Pembandingan waktu pemulihan saja tidak cukup untuk membuat kesimpulan tanpa melihat dampak gangguan. Keempat penelitian tersebut tidak mencantumkan data dampak gangguan dalam bentuk angka persentase penurunan tutupan karang. Dampak gangguan seringkali didiskripsikan dalam bentuk persentase karang yang mati atau yang memutih. Di terumbu karang Indonesia, pemulihan tutupan karang dapat lebih lambat daripada yang ditemukan di Sumbawa Barat. Di Kepulauan Seribu, pemulihan tutupan karang baru mencapai 50% dalam waktu lima tahun, dari gangguan pemutihan karang tahun 1983 (Brown & Suharsono 1990). Brown dan Suharsono menyajikan data tutupan karang awal sehingga dampak gangguan berupa penurunan tutupan karang dapat dihitung, yaitu 18-25%. Pemulihan tutupan karang di Kepulauan Seribu juga sulit dibandingkan dengan di Sumbawa Barat, karena proses pemulihan belum mencapai tingkat tutupan yang sama dengan sebelum gangguan. Secara teoritis, tingkat resiliensi suatu ekosistem berkurang dengan adanya tekanan dan gangguan. Jika tekanan dan gangguan tersebut demikian besar sehingga melewati nilai kritis (ambang) perubahan ekosistem, maka terjadilah pergantian fase atau rejim (Scheffer et al. 2002). Di dalam penelitian ini, nilai indeks resiliensi sebesar 0.288, misalnya di Tanjung Amat 2, masih belum merupakan titik kritis pergantian fase. Jika nilai kritis pergantian fase terlewati, indeks resiliensi terumbu karang tersebut tidak dapat kembali lagi ke arah yang lebih baik. Pergantian fase dari dominansi karang ke dominansi makroalgae merupakan sesuatu yang langka pada terumbu karang di Indonesia. Kejadian pergantian fase yang dilaporkan oleh Hughes (1994) memang banyak dianggap sebagai kejadian yang khusus (Bruno et al. 2009; Mumby 2009; Adjeroud et al. 2009), yang sulit ditemukan di lokasi lain. Sampai sekarang, definisi dari komunitas yang didominasi makroalgae juga masih belum jelas (Mumby 2009). Jika pergantian fase didefinisikan sebagai terumbu karang yang memiliki tutupan makroalgae di

20 100 atas 50% (Bruno et al. 2009), maka hanya 0.008% peluangnya terjadi di Indonesia (bab 4). Secara umum dapat dilaporkan bahwa dengan menggunakan indeks resiliensi terumbu karang kita dapat mengukur laju pemulihan terumbu karang. Pengukuran pemulihan dengan SARCC (Mumby & Harborne 2010) tidak dapat diperbandingkan karena perbedaan data, metode, dan tujuan penelitian. Penelitian lebih lanjut untuk membandingkan keduanya sangat penting dalam pencarian metode penilaian terumbu karang yang lebih praktis dan akurat. Di Sumbawa Barat, kurangnya replikasi atau cuplikan dapat membuat nilai perubahan indeks atau laju pemulihan terumbu karang menjadi berlebihan (overestimate) atau kekurangan (underestimate). Laju pemulihan indeks resiliensi yang sangat cepat dapat terjadi pada individu transek yang memiliki kondisi ideal. Jika pengamatan dilakukan dengan replikasi yang lebih banyak maka laju pemulihan yang ekstrim tinggi akan tereduksi di dalam laju pemulihan rata-rata, sehingga akan menjadi lebih meyakinkan. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menggunakan indeks resiliensi untuk menilai dan memprediksi pemulihan terumbu karang. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi secara umum waktu pemulihan terumbu karang yang dapat diharapkan ketika pengelolaan berjalan efektif. Metode penilaian resiliensi dari Obura dan Grimsditch (2009) dan Maynard et al. (2010) belum digunakan sampai sejauh indeks resiliensi di dalam penelitian ini. 5.5 Kesimpulan Indeks resiliensi terumbu karang yang dikembangkan di dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menilai pemulihan terumbu karang, serta memprediksi besarnya dampak gangguan dan laju pemulihan terumbu karang. Di Sumbawa Barat kematian masal akibat pemutihan karang pada tahun 1998 membawa dampak pada penurunan indeks sebesar Pemulihan indeks resiliensi terumbu karang dari gangguan tersebut membutuhkan waktu 5.0 tahun. Laju pemulihan indeks per tahun dapat menjadi acuan prakiraan pada terumbu karang yang baru mengalami gangguan kematian karang secara masal.

21 101 Di Kabupaten Sumbawa Barat, dampak gangguan akut langsung terhadap indeks resiliensi terumbu karang dapat diprediksi dengan model persamaan regresi Ŷ = X, dimana X adalah indeks resiliensi awal (sebelum gangguan). Indeks resiliensi ini juga dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang (indeks per tahun), dengan menggunakan model persamaan regresi Ŷ = X, dengan X adalah indeks resiliensi awal. Ketepatan prediksi dari indeks resiliensi ini sangat penting diuji di dalam kondisi yang berbeda dari kondisi di bagian timur Selat Alas (Kabupaten Sumbawa Barat), agar dapat digeneralisasikan pada wilayah yang lebih luas.

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 61 4.1 Pendahuluan Indeks resiliensi yang diformulasikan di dalam bab 2 merupakan penilaian tingkat resiliensi terumbu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim global telah menempatkan terumbu karang berhadapan dengan sederet gangguan besar yang tidak dapat dihindari. Pemutihan karang karena suhu air laut yang

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: coral reef, resilience, recovery, index, management

ABSTRACT. Keywords: coral reef, resilience, recovery, index, management ABSTRACT IMAM BACHTIAR. Development of Ecosystem Resilience Index in Coral Reef Management. Under supervision of ARIO DAMAR, SUHARSONO, and NEVIATY P. ZAMANI. Global climate change is predicted to increasingly

Lebih terperinci

2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI

2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI 15 2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI 2.1. Pendahuluan Pengukuran kualitas suatu ekosistem merupakan tahapan yang sangat penting di dalam pengelolaan. Mengenali karakteristik dari suatu ekosistem merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

G.2.7. Wilayah Takad Saru. G.2.8. Wilayah Kotal. Fluktuasi anomali dan persentase karang di Takad Saru StatSoft-7 1,4 42,10 1,2 39,43 1,0 36,75 0,8

G.2.7. Wilayah Takad Saru. G.2.8. Wilayah Kotal. Fluktuasi anomali dan persentase karang di Takad Saru StatSoft-7 1,4 42,10 1,2 39,43 1,0 36,75 0,8 G.2.7. Wilayah Takad Saru Fluktuasi anomali dan persentase karang di Takad Saru Takad Saru(R) (L) 42,10 39,43 36,75 34,08 30 28,72 26,05 23,23 20,54 17,83 15,12 12,37 9,63 G.2.8. Wilayah Kotal Fluktu asi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG IMAM BACHTIAR

PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG IMAM BACHTIAR PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG IMAM BACHTIAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG Oleh : Amrullah Saleh, S.Si I. PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber

Lebih terperinci

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang mempakan habitat laut yang penting di perairan tropis yang berfungsi sebagai tempat hidup dan berlindung, mencari makan, memijah dan berkembang biak serta sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

PETUNJUK MONITORING LAMUN DI KABETE

PETUNJUK MONITORING LAMUN DI KABETE PETUNJUK MONITORING LAMUN DI KABETE Tim Penyusun: Komunitas Penjaga Pulau Desain Sampul: Eni Hidayati Foto Sampul: Sampul depan: Lukisan lamun oleh Angela Rosen (www.angelarosen.com) Scuba di lamun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO Pendahuluan Perkembangan perekonomian NTT tidak dapat hanya digerakkan oleh kegiatan perekonomian di Kota Kupang saja. Hal tersebut mengindikasikan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG IV. DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG 4.1. Provinsi Lampung 4.1.1. Gambaran Umum Provinsi Lampung meliputi wilayah seluas 35.288,35 kilometer persegi, membentang di ujung selatan pulau Sumatera, termasuk pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Hutan merupakan bagian penting di negara Indonesia. Menurut angka resmi luas kawasan hutan di Indonesia adalah sekitar 120 juta hektar yang tersebar pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI KETERKAITAN KEANEKARAGAMAN BENTUK PERTUMBUHAN TERUMBU KARANG DENGAN IKAN KARANG DI SEKITAR KAWASAN PERAIRAN PULAU RU DAN PULAU KERINGAN WILAYAH BARAT KEPULAUAN BELITUNG Oleh : ASEP SOFIAN COG498084

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi lamun dan teripang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

CORAL BLEACHING DI TWP PULAU PIEH DAN LAUT DI SEKITARNYA TAHUN 2016

CORAL BLEACHING DI TWP PULAU PIEH DAN LAUT DI SEKITARNYA TAHUN 2016 CORAL BLEACHING DI TWP PULAU PIEH DAN LAUT DI SEKITARNYA TAHUN 2016 Perairan Sumbar Mencermati Coral Bleaching Alert Area yang dikeluarkan oleh NOAA mulai dari awal tahun hingga April ini, khusus di wilayah

Lebih terperinci

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA Mei 2018 Pendahuluan Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama pesisir dan laut yang dibangun terutama oleh biota laut

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air 7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air Berdasarkan uraian pada Bab 4 tentang kajian perbandingan antara metode Transek Sabuk (BT = Belt transect), Transek

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia termasuk Negara Kepulauan yang memiliki rangkaian pegunungan dengan jumlah gunung berapi yang cukup tinggi, yaitu sekitar 240 gunung. Diantaranya, sekitar 70

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

Sebuah Temuan Awal dari XPDC Alor Flotim Penulis: Amkieltiela Marine Science and Knowledge Management Officer, WWF-Indonesia

Sebuah Temuan Awal dari XPDC Alor Flotim Penulis: Amkieltiela Marine Science and Knowledge Management Officer, WWF-Indonesia Status Ekosistem Terumbu Karang Perairan Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan Laut Sekitarnya, Suaka Alam Perairan (SAP) Flores Timur, dan Perairan Sekitarnya Tahun 2017 Sebuah Temuan Awal dari XPDC

Lebih terperinci

6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR

6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR 6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR 6.1 Pendahuluan Tahapan selanjutnya dari penggunaan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) adalah menemukan

Lebih terperinci

1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan,

1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan, SUMBER DAYA AIR Perubahan iklim akibat pemanasan global bukan lagi dalam tataran wacana, namun secara nyata telah menjadi tantangan paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Pada dasarnya perubahan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

Pemasangan Tag Satelit pada Manta di Nusa Penida (Manta Tagging)

Pemasangan Tag Satelit pada Manta di Nusa Penida (Manta Tagging) Pemasangan Tag Satelit pada Manta di Nusa Penida (Manta Tagging) PENDAHULUAN Pada bulan Februari 2014, KEPMEN- KP No. 4/2014 tentang penetapan status perlindungan ikan pari manta ditandatangai oleh Menteri,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia

PENDAHULUAN. Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia PENDAHULUAN Latar belakang Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Kepulauan Seribu, Jakarta (Burke et al. 2002; Erdmann 1998). Hal ini terlihat dari hasil

Lebih terperinci

PREFERENSI DAN DAYA PREDASI Acanthaster planci TERHADAP KARANG KERAS

PREFERENSI DAN DAYA PREDASI Acanthaster planci TERHADAP KARANG KERAS PREFERENSI DAN DAYA PREDASI Acanthaster planci TERHADAP KARANG KERAS Oleh: Chair Rani 1) Syafiudin Yusuf 1) & Florentina DS.Benedikta 1) 1) Jurusan Ilmu Kelautan, Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Luas terumbu karang Indonesia

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kecamatan Pulau Tiga Kabupaten Natuna Propinsi Kepulauan Riau. Lokasi ini sengaja dipilih dengan pertimbangan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta IV. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 4.1. Kondisi Geografis Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6 12' Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian. 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Bahodopi, Teluk Tolo Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan September 2007 dan Juni 2008. Stasiun

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG 1. TINJAUAN UMUM 1.1.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan di wilayah perairan Pulau Bira Besar TNKpS. Pulau Bira Besar terbagi menjadi 2 Zona, yaitu Zona Inti III pada bagian utara dan Zona

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2008 di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 8). Kepulauan Seribu merupakan gugus pulau-pulau yang terletak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Ada beberapa data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data angin serta

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, Penyerapan Tenaga Kerja, dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Aceh 5.1.1. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, dan Penyerapan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung. 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November 2014 di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung. B. Alat dan Bahan 1. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN RUMUS: MENGHITUNG FAKTOR KOREKSI (CF)

PENYUSUNAN RUMUS: MENGHITUNG FAKTOR KOREKSI (CF) 129 LAMPIRAN 1 PENYUSUNAN RUMUS: MENGHITUNG FAKTOR KOREKSI (CF) Rumus indeks didasarkan pada tiga kelompok tutupan terumbu di dalam transek garis, yaitu COC, AOF, dan USS; dengan ketentuan bahwa: COC+USS+AOF

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di wilayah Kepulauan Weh Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang terletak pada koordinat 95 13' 02" BT - 95 22' 36" BT dan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/KEPMEN-KP/2013 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/KEPMEN-KP/2013 TENTANG KEPUTUSAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PESISIR TIMUR PULAU WEH KOTA SABANG DI PROVINSI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan kelestarian,

Lebih terperinci

KONDISI DAN STRUKTUR KOMUNITAS REKRUITMEN KARANG BATU (SCLERACTINIA) DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) PULAU PIEH

KONDISI DAN STRUKTUR KOMUNITAS REKRUITMEN KARANG BATU (SCLERACTINIA) DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) PULAU PIEH KONDISI DAN STRUKTUR KOMUNITAS REKRUITMEN KARANG BATU (SCLERACTINIA) DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) PULAU PIEH Toufan Phardana, Suparno, Yempita Efendi Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO Mangrove REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO TERUMBU KARANG OLEH DANIEL D. PELASULA Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI pelasuladaniel@gmail.com PADANG LAMUN

Lebih terperinci

KAJIAN RESILIENSI PASCA PEMUTIHAN KARANG SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERKELANJUTAN (Studi Kasus Pesisir Amed Bali) OMEGA RAYA SIMARANGKIR

KAJIAN RESILIENSI PASCA PEMUTIHAN KARANG SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERKELANJUTAN (Studi Kasus Pesisir Amed Bali) OMEGA RAYA SIMARANGKIR KAJIAN RESILIENSI PASCA PEMUTIHAN KARANG SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERKELANJUTAN (Studi Kasus Pesisir Amed Bali) OMEGA RAYA SIMARANGKIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian 3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng tektonik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan BAB III METODE PENELITIAN Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung mulai Oktober 2012 sampai dengan Desember 2012 bertempat di Desa Ponelo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi, termasuk keanekaragaman hayati lautnya. Salah satu organisme laut yang banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah khatulistiwa termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya 5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya Terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif dan mempunyai keankearagaman hayati yang tinggi dibandingkan ekosistem

Lebih terperinci

KELIMPAHAN SERTA PREDASI Acanthaster planci di PERAIRAN TANJUNG KELAYANG KABUPATEN BELITUNG. Anugrah Dwi Fahreza, Pujiono Wahyu P., Boedi Hendrarto*)

KELIMPAHAN SERTA PREDASI Acanthaster planci di PERAIRAN TANJUNG KELAYANG KABUPATEN BELITUNG. Anugrah Dwi Fahreza, Pujiono Wahyu P., Boedi Hendrarto*) KELIMPAHAN SERTA PREDASI Acanthaster planci di PERAIRAN TANJUNG KELAYANG KABUPATEN BELITUNG Anugrah Dwi Fahreza, Pujiono Wahyu P., Boedi Hendrarto*) Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci