1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim global telah menempatkan terumbu karang berhadapan dengan sederet gangguan besar yang tidak dapat dihindari. Pemutihan karang karena suhu air laut yang meningkat diperkirakan akan semakin pendek siklusnya, dan akan menjadi peristiwa tahunan di kawasan Phuket dan the Great Barrier Reef (GBR) pada tahun 2030 (Hoegh-Guldberg 1999). Dengan frekuensi pemutihan karang secepat itu, sebagian besar populasi karang tidak cukup waktu untuk pulih kembali. Karang yang mampu berevolusi dengan cepat akan segera berhadapan dengan air laut yang suhunya tinggi dan semakin asam (Kleypas et al. 1999; Hoegh-Guldberg et al. 2007). Perubahan iklim global yang terjadi sekarang ini dikhawatirkan akan menjadi peristiwa kepunahan masal atau kiamat yang keenam di muka bumi (Veron 2010). Peningkatan dan pemeliharaan resiliensi ekosistem terumbu karang (ecosystem resilience), yaitu kemampuan ekosistem terumbu karang untuk menghadapi (mengabsorpsi) gangguan dan membangun kembali sistem yang didominasi karang (Hughes et al. 2007), merupakan satu-satunya upaya dalam pengelolaan terumbu karang untuk menghadapi gangguan yang terkait perubahan iklim global (Bellwood et al. 2004; Hoegh-Guldberg et al. 2007; Nystrom et al. 2008). Pengelolaan terumbu karang dapat mengurangi gangguan insani, sehingga resiliensi terumbu karang dapat ditingkatkan dan dijaga untuk menghadapi gangguan alami. Sebagai ekosistem alami, gangguan (disturbance, perturbation) merupakan bagian dari faktor yang telah membentuk dan meningkatkan ketahanan terumbu karang, sehingga pengelolaan terumbu karang perlu memahami tanggapan terumbu karang terhadap gangguan. Secara alami, terumbu karang memiliki resiliensi yang tinggi terhadap semua gangguan yang ada (Done 1992; Connell 1997), sehingga telah mampu bertahan selama ratusan juta tahun (Grig 1994). Tetapi dampak negatif kehadiran manusia di bumi dalam dua abad terakhir telah menyebabkan resiliensi terumbu karang terhadap gangguan yang ada semakin kecil (Jackson 1997; Jackson et al. 2001). Secara umum gangguan yang berskala kecil, yang lebih jarang terjadi dan bersifat akut akan lebih mudah diatasi oleh

2 2 ekosistem. Sebaliknya, gangguan yang skalanya besar, dengan frekuensi kejadian yang tinggi, atau yang bersifat kronis akan lebih sulit untuk dihadapi oleh ekosistem terumbu karang (Connell 1997). Jika gangguan insani yang kronis bersinergi dengan gangguan alami dengan frekuensi dan skala yang besar, maka dapat menyebabkan ekosistem kehilangan resiliensinya dan mengalami pergantian fase atau phase shift (sensu Done 1992; Hughes 1994), yaitu terumbu karang yang secara alami didominasi oleh komunitas karang berubah menjadi didominasi oleh komunitas makroalgae. Definisi resiliensi pertama kali dinyatakan oleh Holling (1973) sebagai ukuran ketahanan sistem dan kemampuannya mengabsorbsi perubahan dan gangguan dengan tetap menjaga hubungan antar populasi atau antar peubah pada kondisi yang sama. Holling dan Gunderson (2002) memberikan definisi resiliensi ekosistem sebagai besarnya gangguan yang dapat diterima sebelum sistem berubah strukturnya dengan berubahnya variabel dan proses yang mengendalikan perilakunya. Dengan mengadopsi definisi Holling, Folke et al. (2004) memberikan definisi umum resiliensi ekosistem sebagai ukuran besarnya gangguan yang dapat diterima oleh suatu sistem sebelum terjadi perubahan menjadi suatu kondisi (kestabilan) baru yang berbeda pengendalian struktur dan fungsinya. Holing juga membedakan antara resiliensi ekologis dengan resiliensi rekayasa (engineering). Definisi yang tersebut sebelumnya adalah resiliensi ekologis. Resiliensi rekayasa merupakan ukuran laju suatu sistem mencapai keseimbangan setelah gangguan berlalu. Resiliensi rekayasa ini dianggap tidak tepat untuk ekosistem yang memiliki kondisi keseimbangan yang banyak. Hughes et al. (2007) memberikan definisi yang khusus untuk resiliensi terumbu karang, yaitu kemampuan terumbu karang untuk menghadapi (mengabsorpsi) gangguan dan membangun kembali sistem yang didominasi karang. Walaupun semua definisi tersebut dapat menjelaskan arti dari resiliensi, teori resiliensi yang sudah terakumulasi belum dapat digunakan di dalam pengelolaan terumbu karang (Nystrom et al. 2008). Banyak penelitian mengungkapkan bahwa resiliensi ekosistem sangat berkaitan dengan kenakeragaman hayati. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan ekosistem lebih resisten terhadap gangguan. Resistensi adalah

3 3 ketahanan suatu ekosistem terhadap gangguan, dan sulit dipisahkan dari resiliensi. Keanekaragaman hayati di tingkat genetik memberikan variasi tanggapan dari spesies yang sama terhadap gangguan yang sama. Karang yang bersimbiosis dengan zooxanthellae galur D dilaporkan lebih resisten terhadap pemutihan karang daripada yang bersimbiosis dengan galur A, B dan C (Glyn et al. 2001). Keanekaragaman hayati di tingkat spesies memberikan kekuatan kepada komunitas karang terhadap gangguan pemutihan karang dan pemangsaan oleh Achanthaster plancii atau Drupella. Kedua pemangsa karang tersebut memiliki preferensi terhadap karang jenis Acroporidae and Pocilloporidae (Moran 1990; Cumming 1999), sehingga dalam intensitas gangguan yang sedang anggota komunitas karang lainnya tidak terganggu oleh pemangsa karang tersebut. Karang Acroporidae dan Pocilloporidae juga mempunyai resistensi yang lebih rendah terhadap pemutihan karang dibandingkan karang dari famili yang lainnya (Brown & Suharsono 1990; Feingold et al. 2001; dan yang lainnya). Jika resistensi komunitas karang tinggi maka keanekaragaman dan kelimpahan karang yang tersisa setelah gangguan juga tinggi, sehingga pemulihan komunitas menyerupai kondisi sebelumnya juga lebih cepat. Keanekaragaman yang tinggi diperlukan untuk berlangsungnya prosesproses ekologis, tetapi resiliensi ekosistem tidak ditentukan oleh keanekaragaman spesies melainkan keanekaragaman fungsional (Peterson et al. 1998). Peran ekologis setiap anggota komunitas di dalam ekosistem dapat dikelompokkan ke dalam sejumlah kelompok fungsional. Kelompok fungsional komunitas karang dapat ditunjukkan oleh bentuk tumbuh koloninya. Secara konvensional, bentuk tumbuh karang dikelompokkan ke dalam 13 macam (English et al. 1994, 39). Walaupun masing-masing bentuk tumbuh dapat menyediakan fasilitas yang sama sebagai habitat, bentuk tumbuh tersebut mencerminkan derajat kompleksitas habitat yang berbeda-beda, sehingga merupakan kelompok fungsional yang berbeda. Suatu ekosistem dapat memiliki keanekaragaman spesies tinggi, tetapi jika ada satu kelompok fungsional penting yang tidak dapat berjalan fungsinya akan menyebabkan fungsi ekosistem terganggu. Dampak positif dari keanekaragaman di dalam fungsi ekologis terhadap fungsi ekosistem adalah dimungkinkannya terjadi penurunan keanekaragaman spesies oleh suatu gangguan

4 4 tanpa diikuti penurunan pada fungsi ekosistem (review in Srivastava & Vellend 2004). Di dalam kasus terumbu karang di Jamaica, misalnya, menghilangnya populasi penyu dan duyung tidak menyebabkan terjadinya pergantian fase, karena fungsi ekologisnya dapat digantikan oleh ikan herbivora (Jackson 1997). Resiliensi ekologis juga sangat ditentukan oleh keselingkupan atau redundansi spesies dalam suatu skala dan redundansi fungsi ekologis antar skala (Peterson et al. 1998). Redundansi di dalam (intra) skala ditunjukkan oleh banyaknya spesies yang menjalankan fungsi ekologis yang sama, misalnya karang berbentuk massif. Koloni karang berbentuk masif menyediakan habitat yang dapat dihuni oleh ikan-ikan Serannidae dan Lutjanidae yang berukuran besar. Karang masif tersebut dapat berasal dari Faviidae, Poritidae, atau yang lainnya. Sedangkan masing-masing famili karang tersebut terdiri atas banyak spesies. Redundansi antar skala ditunjukkan oleh adanya sejumlah spesies dengan ukuran koloni yang berbeda tetapi menjalankan fungsi yang hampir sama. Karang masif kecil dan karang masif besar berfungsi sama sebagai tempat sembunyi ikan-ikan dari pemangsanya dengan skala yang berbeda. Pemulihan ekosistem terumbu karang setelah berlalunya gangguan sangat tergantung pada memori ekologis ekosistem tersebut. Memori ekologis adalah komposisi dan distribusi organisme serta interaksinya dalam ruang dan waktu, termasuk pengalaman life history dengan fluktuasi lingkungan (Nystrom & Folke 2001). Memori ekologis tersebut terdiri atas tiga komponen, yaitu warisan biologis dan struktural yang selamat dari gangguan (biological and structural legacy), organisme penghubung bergerak (mobile link), dan daerah pendukung (support area). Komponen pertama berfungsi sebagai memori internal, sedangkan komponen kedua dan ketiga berfungsi sebagai memori eksternal di dalam proses reorganisasi dan rekonstruksi ekosistem tersebut setelah gangguan. Komponen biologis dan struktural yang selamat dapat menjadi komponen yang paling penting dalam reorganisasi ekosistem terumbu karang. Ketika suatu ekosistem mengalami gangguan, maka kemampuan reorganisasi dan rekonstruksi sistem tersebut sangat tergantung pada keanekaragaman spesies yang masih tersisa. Komunitas yang tersisa menentukan arah suksesi komunitas baru yang terbentuk setelah gangguan berlalu, baik komunitas karang, komunitas ikan,

5 5 maupun komunitas biota lainnya. Semakin tinggi keanekaragaman komunitas yang tersisa akan semakin mirip struktur dan komposisi komunitas baru tersebut dengan komunitas sebelumnya. Struktur yang selamat dari terumbu karang memberikan dua fasilitas dalam suksesi terumbu karang. Pertama, struktur karang mati dapat menjadi tempat penempelan larva karang atau benthos yang lainnya. Jika struktur tersebut stabil, maka kolonisasi karang dan benthos lainnya dapat berjalan lebih cepat dan komunitas karang yang baru lebih cepat terbentuk. Kedua, struktur terumbu karang menyediakan habitat bagi ikan-ikan karang. Ikanikan herbivora dan invertivora merupakan komponen ekosistem yang penting dalam menentukan arah suksesi terumbu karang (Bellwood et al. 2004). Memori eksternal ekosistem, yaitu organisme penghubung yang bergerak (mobile link), dapat dibedakan sebagai kelompok yang bergerak pasif dan yang bergerak aktif (Nystrom & Folke 2001). Larva-larva karang, ikan, atau biota lainnya yang bergerak secara pasif dari satu terumbu ke terumbu lainnya merupakan komponen penghubung yang pasif. Komponen ini menyediakan suplai larva yang akan mengkolonisasi ruang terbuka akibat gangguan. Rekolonisasi terumbu karang melalui proses penyebaran larva ini sangat penting (Pearson 1981), karena ekosistem terumbu karang bersifat terbuka. Rekolonisasi akan memperkaya keanekaragaman hayati dan meningkatkan kelimpahan populasi. Pemulihan suatu terumbu karang sangat tergantung pada terumbu karang di sekitarnya, terutama bagi terumbu karang hilir (sink reef). Di dalam ekosistem yang bersifat terbuka, seperti terumbu karang, peranan organisme penghubung sangatlah besar. Hanya sebagian kecil larva karang yang diproduksi di suatu terumbu karang akan hidup menetap di habitat induknya. Larva karang mempunyai umur hari (Graham et al. 2008), sehingga sebagian besar dari larva tersebut berpotensi hanyut oleh arus air laut dan kemudian hidup menetap di suatu terumbu karang yang lain. Penelitian genetika pada karang Goniastrea aspera menunjukkan bahwa karang di Okinawa Islands menerima larva dari karang di Kerama Islands, yang berjarak sekitar 50 km (Nishikawa & Sakai 2005). Kehadiran ikan herbivora dari terumbu lain juga sangat penting dalam proses suksesi terumbu karang. Intensitas herbivori yang rendah menyebabkan dominansi makroalgae atas komunitas karang (Hughes et al. 2007).

6 6 Ikan-ikan herbivora di terumbu karang terdiri atas empat famili, yaitu Achanthuridae, Scaridae, Siganidae dan Kyphosidae. Dari keempat famili tersebut, tiga famili yang pertama merupakan ikan herbivora utama. Russ (1984) yang melakukan survei herbivori pada sembilan terumbu karang di GBR, Australia, membatasi ikan herbivora pada famili Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Lizard Island, GBR, dan sekitarnya, kelimpahan ketiga ikan herbivora utama masing-masing adalah Achanthuridae (54%), Scaridae (31%) dan Siganidae (14%) (Meekan & Choat 1997). Di San Blas Islands, Panama, Meekan & Choat juga melaporkan pola yang serupa, walaupun ada satu lokasi dimana Kyphosidae menunjukkan proporsi kelimpahan yang sebanding dengan Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Ambergris Caye, Belize, komposisi biomassa ikan herbivora berbeda dari Lizard Island dan San Blas Islands tersebut dengan Scaridae (65,4%) paling dominan diikuti oleh Acanthuridae (30,1%) dan Pomacentridae (4,5%) (Williams et al. 2001). Dalam skala puluhan atau ratusan kilometer, hewan herbivora yang berperan penting dalam herbivori dapat berbeda. Pada terumbu karang di Nymph Island dan Turtle Group, GBR, ikan Scarus rivulatus dilaporkan merupakan herbivora yang paling penting (Hoey and Bellwood 2008), sedangkan ikan Siganus canaliculatus dilaporkan merupakan ikan herbivora penting pada terumbu karang di Pioneer Bay, Orphues Island (Fox and Bellwood 2008). Jarak antara kedua lokasi tersebut ratusan kilometer. Sudah lama peneliti terumbu karang mencoba memahami resiliensi ekosistem terumbu karang. Pada saat ini pengetahuan tentang resiliensi terumbu karang seharusnya sudah cukup untuk melakukan sesuatu (Nystrom et al. 2008), sehingga teori resiliensi dapat segera digunakan di dalam praktek pengelolan terumbu karang. Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan tingkat resiliensi terumbu karang tersebut dibutuhkan kemampuan untuk mengenali lebih awal tingkat resiliensi terumbu karang. Pengukuran resiliensi terumbu karang merupakan langkah awal dalam penggunaan teori resiliensi di dalam pengelolaan terumbu karang. Metode untuk mengukur tingkat resiliensi terumbu karang, sayangnya, masih dalam tahap awal pengembangannya. Pada saat ini, tersedia dua metode untuk menilai resiliensi terumbu karang, Obura dan Grimsditch (2009) telah

7 7 membuat panduan penilaian resiliensi terumbu karang, yang dipublikasikan oleh IUCN (the International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources). Maynard et al. (2010) juga mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang. Kedua metode tersebut masih sulit diterapkan dalam skala besar di Indonesia, karena kurangnya dukungan financial dan kepakaran. Metode penilaian lain yang lebih mudah (praktis) dan murah sangat dibutuhkan agar dapat dilakukan oleh sebagian besar kabupaten di Indonesia. Di Indonesia, sebagian besar penilaian kondisi terumbu karang dilakukan dengan metode transek garis, atau line intercept transect (LIT). Metode ini dikembangkan oleh Loya (1972, 1978) dan dibakukan oleh para peneliti terumbu karang ASEAN dan Australia sejak awal dekade 1990-an, misalnya P2O (Pusat Penelitian Oseanografi) LIPI di Indonesia dan PMBC (Phuket Marine Biological Center) di Thailand. Di Australia, metode LIT sudah diganti dengan metode transek video, video transect (VT). Metode LIT juga menjadi metode standar pada Proyek COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). Ribuan orang telah dilatih untuk menggunakan metode LIT tersebut, karena dapat digunakan baik untuk tujuan yang bersifat praktis (manajemen) maupun untuk tujuan publikasi ilmiah. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang dengan menggunakan LIT. Banyak data yang sebenarnya dapat diinterpretasikan dari metode LIT (Marsh et al. 1984) bahkan dalam bentuknya yang paling sederhana, tetapi jarang dilakukan oleh peneliti terumbu karang. Pada saat ini, data yang diinterpretasikan dari metode LIT pada umumnya hanya tutupan karang, tutupan makroalgae, dan kekayaan spesies karang. Tutupan karang yang tinggi menunjukkan kondisi terumbu karang yang baik. Kondisi sebaliknya diinterpretasikan pada tutupan makroalgae yang tinggi. Di dalam penelitian ini, data yang dikoleksi dari metode LIT dimanfaatkan secara maksimal untuk menilai resiliensi terumbu karang. Data tentang jumlah bentuktumbuh (life form) dan ukuran koloni karang, misalnya, selama ini sulit diinterpretasikan untuk keperluan pengelolaan terumbu karang. Demikian juga dengan data tentang tutupan karang massif dan submasif serta tutupan karang

8 8 Acroporidae. Keempat data tersebut akan terintegrasikan di dalam sebuah indeks untuk menilai resiliensi terumbu karang. Penelitian ini menjadi yang pertama mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang dengan data dari transek garis. Belum ada penilaian resiliensi terumbu karang yang menggunakan data dari transek garis, suatu metode penilaian terumbu karang yang paling umum digunakan di Indonesia dan kawasan negara-negara ASEAN (Association of South East Asian Nations). 1.2 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan indeks resiliensi ekosistem dalam pengelolaan terumbu karang. Tujuan umum tersebut dicapai melalui 4 (empat) tahap penelitian, yaitu: a) Penyusunan rumus (formulasi) indeks resiliensi ekosistem terumbu karang dengan menggunakan data dari transek garis (LIT). b) Uji coba penggunaan indeks untuk menilai resiliensi terumbu karang di Indonesia c) Uji coba penggunaan indeks untuk mengukur laju perubahan temporal indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia. d) Uji coba penggunaan indeks resiliensi untuk menilai dan memprediksi pemulihan terumbu karang dari gangguan yang bersifat akut dan berdampak langsung Manfaat Penelitian Penilaian resiliensi terumbu karang merupakan langkah penting dalam pengelolaan pesisir terpadu (ICZM, Integrated Coastal Zone Management; atau ICM, Integrated Coastal Management). Pengukuran resiliensi terumbu karang menjadi salah satu alat dalam analisis resiko lingkungan (ERA, Environmental Risk Analysis) untuk implementasi pengelolaan yang berbasis ekosistem (EBM, Ecosystem-Based Management). Pendekatan EBM merupakan salah satu prinsip dasar di dalam penerapan ICM (Chua 2006, 94). Penelitian ini memiliki posisi yang sangat penting karena sudah waktunya teori resiliensi digunakan dalam implementasi pengelolaan terumbu karang (Nystrom et al. 2008).

9 9 Perencanaan pengelolaan terumbu karang seharusnya didasarkan pada 3 (tiga) kriteria (Done 1995), yaitu: 1) penilaian kawasan yang memiliki resiko tinggi, 2) penilaian resiko kehilangan (kerugian) secara kuantitatif, dan 3) penilaian kemampuan terumbu untuk pulih dalam arti suksesi dan biokonstruksi. Terumbu karang yang mempunyai nilai tinggi dan resiko tinggi mendapatkan prioritas yang tinggi dalam pengelolaan. Terumbu karang yang kerusakannya sulit tergantikan juga lebih diprioritaskan. Terumbu karang yang peluang pemulihannya tinggi akan mendapat prioritas yang tinggi pula dalam pengelolaan. Jika terumbu karang memiliki peluang pemulihan rendah, maka sulit untuk memberikan jaminan bahwa upaya dan biaya yang dicurahkan di dalam pengelolaan akan membuahkan hasil yang sepadan. Penilaian tingkat resiliensi terumbu karang merupakan kriteria ketiga dari perencanaan pengelolaan terumbu karang, yaitu penilaian peluang pemulihan terumbu karang. Tingkat resiliensi terumbu karang hendaknya merupakan salah satu komponen yang penting dalam pemilihan kawasan konservasi terumbu karang. Terumbu karang yang memiliki tingkat resiliensi lebih tinggi lebih berharga untuk dikonservasi daripada yang resiliensinya rendah. Sayangnya hingga saat ini belum ditemukan bagaimana resiliensi ekologis terumbu karang dapat dikenali atau diukur secara praktis. Pemilihan kawasan konservasi terumbu karang sebagian besar masih dilakukan secara konvensional didasarkan pada kelimpahan dan keanekaragaman komunitas karang dan komunitas ikan. Tetapi terumbu karang yang tutupannya baik dan jumlah spesies karang tinggi belum tentu mencerminkan resiliensi yang tinggi. Manfaat dari penelitian ini secara umum sebagai berikut: a) Indeks resiliensi terumbu karang sangat bermanfaat dalam pemilihan lokasi kawasan konservasi terumbu karang, dan penentuan zonasi dalam pengelolaan terumbu karang. Indeks resiliensi yang didapatkan dari penelitian ini akan menjadi salah satu indikator penentu di dalam perencanaan zonasi. b) Indeks resiliensi terumbu karang juga bermanfaat di dalam memilih pendekatan pengelolaan yang diperlukan untuk memelihara atau meningkatkan resiliensi terumbu karang. Komponen-komponen ekosistem

10 10 yang memiliki kontribusi besar terhadap indeks merupakan faktor yang harus ditingkatkan dalam memelihara atau meningkatkan resiliensi terumbu karang. c) Indeks resiliensi terumbu karang sangat penting untuk melakukan ERA (Environmental Risk Assessment) dalam kerangka ICM. Terumbu karang yang indeks resiliensinya rendah memiliki resiko yang lebih besar daripada yang resiliensinya tinggi. Terumbu karang di kawasan Asia Tenggara memiliki ancaman gangguan insani dan alami yang sangat besar (Burke et al. 2002). 1.4 Hipotesis Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan metode penilaian terumbu karang, khususnya indeks resiliensi terumbu karang. Tidak ada hipotesis yang akan diuji secara khusus. Penggunaan sejumlah statistik dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengkonfirmasi adanya perbedaan antara dua atau lebih kondisi dari penerapan indeks resiliensi (Tabel 1). 1.5 Kebaruan (Novelty) a) Rumus indeks resiliensi yang dikembangkan di dalam penelitian ini merupakan rumus yang baru untuk menilai resiliensi terumbu karang. Rumus yang dimodifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle (2004) tersebut memiliki karakteristik yang jauh berbeda dari rumus awalnya, misalnya perubahan nilai acuan peubah indikator indeks dari komunitas kontrol dengan komunitas super dan ditambahkannya faktor koreksi. b) Penggunaan indeks resiliensi ekosistem untuk menilai dan memprediksi pemulihan terumbu karang juga belum pernah dilakukan sebelumnya. Baik Obura dan Grimsditch (2009) maupun Maynard et al. (2010) keduanya tidak merumuskan model persamaan regresi untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang.

11 11 Tabel 1 Daftar pengujian hipotesis nol dan satistik yang digunakan. Hipotesis nol yang diuji Statistik Bab 1) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi Uji t 3 antara kawasan Indonesia Barat dan Indonesia Timur. 2) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi Anova 3 antar-fisiografi laut. satu faktor 3) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi Anova 3 antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. satu faktor 4) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi Anova 3 antar-kabupaten di kawasan Indonesia Barat. satu faktor 5) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator Anosim 3 indeks resiliensi antar-fisiografi laut. 6) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator Anosim 3 indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. 7) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator Anosim 3 indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Barat. 8) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks antar-waktu Anova 4 dan antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. dua faktor 9) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks antar-waktu dan antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. Anova dua faktor 4 10) Tidak ada hubungan regresi antara nilai awal Anova 5 indeks dengan dampak gangguan. satu faktor 11) Tidak ada hubungan regresi antara nilai awal Anova 5 indeks dengan pemulihan indeks. satu faktor 12) Tidak ada hubungan regresi antara tutupan karang Anova 5 awal dengan dampak gangguan. satu faktor 13) Tidak ada hubungan regresi antara tutupan karang awal indeks dengan pemulihan tutupan karang. Anova satu faktor 5 c) Peubah CHQ, USS, dan AOF yang digunakan di dalam indeks juga merupakan peubah baru yang belum pernah digunakan peneliti lain untuk tujuan penilaian indeks resiliensi maupun untuk tujuan penilaian kondisi terumbu karang lainnya. d) Penggunaan data dari transek garis di dalam penilaian resiliensi terumbu karang juga belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian lain menggunakan penilaian pakar dan praktisi (Maynard et al. 2010), atau menggabungkan metode foto kuadrat dan transek titik dengan lima metode lainnya (Obura & Grimsditch 2009).

12 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyusun indeks resiliensi terumbu karang yang menggunakan data transek garis. Penggunaan transek garis dalam penilaian resiliensi terumbu karang sangat penting karena metode transek garis merupakan metode penilaian kondisi terumbu karang yang paling populer di Indonesia dan Asia Tenggara. Untuk memvalidasi kegunaan indeks, tiga uji coba indeks dilakukan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial dan temporal. Hasil utama yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Rumus penilaian indeks resiliensi terumbu karang. (2) Protokol penilaian indeks resiliensi terumbu karang. (3) Persamaan regresi untuk memprediksi pemulihan terumbu karang Rancangan Penelitian Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) tahapan, yang masing-masing dibahas di dalam bab yang terpisah. Tahapan yang paling lama waktunya adalah tahapan pertama, yang dapat dibagi lagi dalam lima sub-tahapan, yaitu: (a) penyaringan data, (b) modifikasi rumus indeks, (c) penentuan calon peubah indikator, (d) pemilihan peubah indikator, serta (e) pembobotan peubah indikator dan (f) penentuan faktor koreksi dan konstanta. Tahapan kedua hingga keempat merupakan validasi dari kegunaan indeks di dalam pengelolaan terumbu karang. Secara umum rancangan penelitian ini disajikan dalam Gambar 1. Tahapan pertama adalah penyusunan rumus atau formulasi indeks resiliensi, yang akan disajikan pada bab 2. Di dalam formulasi indeks tersebut digunakan data yang telah dikoleksi sebelumnya oleh P2O LIPI. Dalam tahapan ini digunakan data 1240 transek, yang berasal dari 540 transek di luar COREMAP dan 700 transek COREMAP tahun 2009.

13 Gambar 1. Bagan alir rancangan penelitian. IR=indeks resiliensi. 13

14 14 Tahapan kedua adalah uji coba penggunaan rumus indeks untuk membandingkan resiliensi terumbu karang di 15 kabupaten, yang menjadi lokasi proyek COREMAP. Penelitian ini merupakan validasi kegunaan indeks untuk membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial. Penelitian tahap kedua ini juga menggunakan data dari P2O LIPI yang dikoleksi untuk proyek COREMAP pada tahun 2009, yang berjumlah 649 transek. Penelitian tahap kedua ini ditulis di dalam bab 3. Tahapan ketiga yang disajikan pada bab 4 menggunakan sumber data yang sama dengan penelitian tahap kedua. Karena pada tahap ketiga ini bertujuan untuk melihat perubahan indeks resiliensi secara temporal, maka selain digunakan data COREMAP tahun 2009 juga digunakan data tahun 2008, 2007, dan Sebenarnya COREMAP pernah mengambil data pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi yang tersedia dalam bentuk LFT (life form table) dan TLT (taxon length table) paling awal adalah tahun Pada penelitian tahap keempat bertujuan mengkaji perilaku indeks dalam proses pemulihan terumbu karang. Kebutuhan akan data terumbu karang runut waktu dari transek permanen dengan kurun waktu lama, lebih dari 10 tahun, merupakan hal yang sulit dipenuhi oleh lembaga penelitian dan universitas di Indonesia. Kegiatan seperti itu mungkin pernah dilakukan oleh lembaga penelitian dan universitas, tetapi penyimpanan data yang baik masih menjadi masalah utama. Data dengan sifat demikian hanya dapat dipenuhi oleh perusahaan multinasional PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Penelitian tahap keempat disajikan dalam bab 5.

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 61 4.1 Pendahuluan Indeks resiliensi yang diformulasikan di dalam bab 2 merupakan penilaian tingkat resiliensi terumbu

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG IMAM BACHTIAR

PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG IMAM BACHTIAR PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG IMAM BACHTIAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG

5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG 5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG 81 5.1 Pendahuluan Resiliensi suatu ekosistem merupakan ukuran besarnya potensi pemulihan ekosistem tersebut setelah terjadi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI

2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI 15 2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI 2.1. Pendahuluan Pengukuran kualitas suatu ekosistem merupakan tahapan yang sangat penting di dalam pengelolaan. Mengenali karakteristik dari suatu ekosistem merupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

KONDISI IKAN HERBIVORA DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERAIRAN TELUK BAKAU, PULAU BINTAN

KONDISI IKAN HERBIVORA DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERAIRAN TELUK BAKAU, PULAU BINTAN KONDISI IKAN HERBIVORA DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERAIRAN TELUK BAKAU, PULAU BINTAN Oleh Arief Pratomo, Dony Apdillah, Falmy Yandri dan Lily Viruly ABSTRAK Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui kondisi

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: coral reef, resilience, recovery, index, management

ABSTRACT. Keywords: coral reef, resilience, recovery, index, management ABSTRACT IMAM BACHTIAR. Development of Ecosystem Resilience Index in Coral Reef Management. Under supervision of ARIO DAMAR, SUHARSONO, and NEVIATY P. ZAMANI. Global climate change is predicted to increasingly

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir memiliki karakteristik, stabilitas dan resiliensi yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lainnya, namun demikian selama ini pengetahuan mengenai karakteristik

Lebih terperinci

Sebuah Temuan Awal dari XPDC Alor Flotim Penulis: Amkieltiela Marine Science and Knowledge Management Officer, WWF-Indonesia

Sebuah Temuan Awal dari XPDC Alor Flotim Penulis: Amkieltiela Marine Science and Knowledge Management Officer, WWF-Indonesia Status Ekosistem Terumbu Karang Perairan Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan Laut Sekitarnya, Suaka Alam Perairan (SAP) Flores Timur, dan Perairan Sekitarnya Tahun 2017 Sebuah Temuan Awal dari XPDC

Lebih terperinci

Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi

Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi Fikri Firmansyah, Adib Mustofa, Estradivari, Adrian Damora, Christian Handayani, Gabby Ahmadia,

Lebih terperinci

2.1. Resiliensi Eko-Sosio Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

2.1. Resiliensi Eko-Sosio Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 17 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Resiliensi Eko-Sosio Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pemahaman bahwa kapasitas ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil untuk beregenerasi setelah bencana dan terus menghasilkan

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya 5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya Terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif dan mempunyai keankearagaman hayati yang tinggi dibandingkan ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kecamatan Pulau Tiga Kabupaten Natuna Propinsi Kepulauan Riau. Lokasi ini sengaja dipilih dengan pertimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

KELIMPAHAN IKAN HERBIVORA SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT PEMULIHAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERAIRAN TELUK BAKAU

KELIMPAHAN IKAN HERBIVORA SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT PEMULIHAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERAIRAN TELUK BAKAU KELIMPAHAN IKAN HERBIVORA SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT PEMULIHAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERAIRAN TELUK BAKAU Oleh Arief Pratomo, Falmi Yandri, Dony Apdillah, dan Lily Viruly ABSTRAK Penelitian ini ingin

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

BIODIVERSITAS 3/31/2014. Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) "Ragam spesies yang berbeda (species diversity),

BIODIVERSITAS 3/31/2014. Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) Ragam spesies yang berbeda (species diversity), BIODIVERSITAS (Biodiversity) Biodiversity: "variasi kehidupan di semua tingkat organisasi biologis" Biodiversity (yang digunakan oleh ahli ekologi): "totalitas gen, spesies, dan ekosistem suatu daerah".

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI KETERKAITAN KEANEKARAGAMAN BENTUK PERTUMBUHAN TERUMBU KARANG DENGAN IKAN KARANG DI SEKITAR KAWASAN PERAIRAN PULAU RU DAN PULAU KERINGAN WILAYAH BARAT KEPULAUAN BELITUNG Oleh : ASEP SOFIAN COG498084

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

Tutupan Terumbu Karang dan Kelimpahan Ikan Terumbu di Pulau Nyamuk, Karimunjawa

Tutupan Terumbu Karang dan Kelimpahan Ikan Terumbu di Pulau Nyamuk, Karimunjawa Tutupan Terumbu Karang dan Kelimpahan Ikan Terumbu di Pulau Nyamuk, Karimunjawa F2 06 M Danie Al Malik* Marine Diving Club, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

PENDAHULUAN GLOBAL WARMING - BIODIVERSITAS MAF - BIOLOGI UNAIR 1 DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP BIODIVERSITAS DAN EKOSISTEM

PENDAHULUAN GLOBAL WARMING - BIODIVERSITAS MAF - BIOLOGI UNAIR 1 DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP BIODIVERSITAS DAN EKOSISTEM GLOBAL WARMING - BIODIVERSITAS PENDAHULUAN DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP BIODIVERSITAS DAN EKOSISTEM Drs. MOCH. AFFANDI, M.Si. FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA - SURABAYA Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

KONDISI KESEHATAN TERUMBU KARANG BERDASARKAN KELIMPAHAN IKAN HERBIVORA DI KECAMATAN PULAU TIGA KABUPATEN NATUNA 1

KONDISI KESEHATAN TERUMBU KARANG BERDASARKAN KELIMPAHAN IKAN HERBIVORA DI KECAMATAN PULAU TIGA KABUPATEN NATUNA 1 KONDISI KESEHATAN TERUMBU KARANG BERDASARKAN KELIMPAHAN IKAN HERBIVORA DI KECAMATAN PULAU TIGA KABUPATEN NATUNA 1 (Coral reef health condition based on herbivorous fish density in Pulau Tiga Subdistrict,

Lebih terperinci

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA Mei 2018 Pendahuluan Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama pesisir dan laut yang dibangun terutama oleh biota laut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

III. METODE KERJA. A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan bulan

III. METODE KERJA. A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan bulan 20 III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2013. Lokasi penelitian berada di Teluk Hurun dan Pulau Tegal, Lampung.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati merupakan kehadiran berbagai macam variasi bentuk penampilan, jumlah, dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan jenis, dan tingkat genetika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

Korelasi Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo

Korelasi Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo Korelasi Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo Indrawan Mifta Prasetyanda 1505 100 029 Tugas Akhir (SB 091358) Pembimbing:

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Luas terumbu karang Indonesia

Lebih terperinci

Pemutihan Karang di Perairan Laut Natuna Bagian Selatan tahun (Coral Bleaching at Southern Natuna Sea in 2010) Edi RUDI 1 )

Pemutihan Karang di Perairan Laut Natuna Bagian Selatan tahun (Coral Bleaching at Southern Natuna Sea in 2010) Edi RUDI 1 ) Pemutihan Karang di Perairan Laut Natuna Bagian Selatan tahun 2010 (Coral Bleaching at Southern Natuna Sea in 2010) Edi RUDI 1 ) Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala, Jl Syech Abdur Ra

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. KAWASAN TITIK STASIUN SPOT PENYELAMAN 1 Deudap * 2 Lamteng * 3 Lapeng 4 Leun Balee 1* PULAU ACEH

3 BAHAN DAN METODE. KAWASAN TITIK STASIUN SPOT PENYELAMAN 1 Deudap * 2 Lamteng * 3 Lapeng 4 Leun Balee 1* PULAU ACEH 19 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian di laksanakan pada bulan Februari Maret 2011 yang berlokasi di perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh. Survei kondisi terumbu karang dan ikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan di wilayah perairan Pulau Bira Besar TNKpS. Pulau Bira Besar terbagi menjadi 2 Zona, yaitu Zona Inti III pada bagian utara dan Zona

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh perairan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh perairan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh perairan, sehingga Indonesia memiliki keanekaragaman biota laut yang tinggi. Biota laut yang tinggi

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Penelitian ini diawali dengan persiapan yang mencakup penentuan aspek yang akan diteliti. Kegiatan ini dilakukan melalui penelusuran berbagai informasi yang terkait

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

KAJIAN RESILIENSI PASCA PEMUTIHAN KARANG SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERKELANJUTAN (Studi Kasus Pesisir Amed Bali) OMEGA RAYA SIMARANGKIR

KAJIAN RESILIENSI PASCA PEMUTIHAN KARANG SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERKELANJUTAN (Studi Kasus Pesisir Amed Bali) OMEGA RAYA SIMARANGKIR KAJIAN RESILIENSI PASCA PEMUTIHAN KARANG SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERKELANJUTAN (Studi Kasus Pesisir Amed Bali) OMEGA RAYA SIMARANGKIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki luas wilayah lebih dari 7,2 juta km 2 yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki luas wilayah lebih dari 7,2 juta km 2 yang merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki luas wilayah lebih dari 7,2 juta km 2 yang merupakan negara kepulauan dengan hamparan pulau-pulau dan garis pantai yang sepanjang 81.000 km.

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang merupakan organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO 3 ). Terumbu karang terdiri atas binatang karang (coral) sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia

PENDAHULUAN. Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia PENDAHULUAN Latar belakang Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Kepulauan Seribu, Jakarta (Burke et al. 2002; Erdmann 1998). Hal ini terlihat dari hasil

Lebih terperinci

2) faktor-faktor yang terkait dengan peranan Indonesia di dalam kerjasama multilateral CTI-CFF adalah faktor geografis dan ketahanan pangan. Jadi sela

2) faktor-faktor yang terkait dengan peranan Indonesia di dalam kerjasama multilateral CTI-CFF adalah faktor geografis dan ketahanan pangan. Jadi sela BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dari analisis pada bab empat terkait pembahasan terhadap peran Indonesia dalam kerjasama multilateral CTI-CFF untuk upaya menjaga keanekaragaman hayati laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Biologi Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Biologi Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2.1.1 Biologi Karang Karang adalah hewan yang hidup dalam Filum Coelenterata (Goreau et al. 1982). Karang terdiri atas polip-polip yang dapat hidup berkoloni maupun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati *

Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati * Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 19 Januari 2016; disetujui: 26 Januari 2016 Indonesia merupakan negara yang kaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesiamemiliki hutan mangrove terluas di dunia dan juga memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesiamemiliki hutan mangrove terluas di dunia dan juga memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesiamemiliki hutan mangrove terluas di dunia dan juga memiliki keragaman mangrove terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

Modul Pelatihan Teknik Analisis Kuantitatif Data *

Modul Pelatihan Teknik Analisis Kuantitatif Data * Modul Pelatihan Teknik Analisis Kuantitatif Data * Hawis H. Madduppa, S.Pi., M.Si. Bagian Hidrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Negara Indonesia mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 81.791

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung. 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November 2014 di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung. B. Alat dan Bahan 1. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KESEHATAN TERUMBU KARANG UNTUK MELIHAT EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS ZONASI

PEMANTAUAN KESEHATAN TERUMBU KARANG UNTUK MELIHAT EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS ZONASI PEMANTAUAN KESEHATAN TERUMBU KARANG UNTUK MELIHAT EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS ZONASI Evi Nurul Ihsan, Estradivari, Amkieltiela, La Hamid, Mulyadi, Purwanto, Dedi Parenden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air 7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air Berdasarkan uraian pada Bab 4 tentang kajian perbandingan antara metode Transek Sabuk (BT = Belt transect), Transek

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 5 TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km 2 dan 75 persen

Lebih terperinci

Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia. Wawan Ridwan

Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia. Wawan Ridwan Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia Wawan Ridwan Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 9 10 Mei 2017 (c) Nara

Lebih terperinci

Pencacahan Langsung (Visual Census Method) dimana lokasi transek ikan karang

Pencacahan Langsung (Visual Census Method) dimana lokasi transek ikan karang Usep Sopandi. C06495080. Asosiasi Keanekaragaman Spesies Ikan Karang dengan Persentase Penutupan Karang (Life Form) di Perairan Pantai Pesisir Tengah dan Pesisir Utara, Lampung Barat. Dibawah Bimbingan

Lebih terperinci