PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI"

Transkripsi

1 PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, 12 Agustus 2009 SANTI OKTAVIA C

3 RINGKASAN SANTI OKTAVIA. Perbedaan Ketebalan Integrasi Dasar Perairan dengan Instrumen Hidroakustik Simrad EY60 Di Perairan Kepulauan Pari. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI dan WIJOPRIONO Kegunaan data akustik salah satunya untuk menyediakan informasi mengenai dasar perairan. Backscatter merupakan suara yang diterima oleh transmitter yang berasal dari sedimenpermukaan perairan ataupun dari lapisan sedimen. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perbedaan ketebalan integrasi dasar perairan sebesar 0,20 meter dan 0,40 meter dengan menggunakan instrumen hidroakustik SIMRAD EY60 berdasarkan nilai acoustic backscattering volume (SV) dasar perairan. Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 18 dan 19 Nopember 2008 di perairan Kepulauan Pari. Letak geografis lokasi penelitian berada pada LS hingga LS dan BT sampai BT. Lokasi berada pada perairan yang relatif dangkal yaitu dengan kedalaman berkisar 1090 meter. Pengolahan dan analisis data mulai dilakukan pada bulan Desember 2008 dan berakhir hingga bulan April Pengambilan data akustik menggunakan perangkat SIMRAD EY60 scientific echosounder system, dengan frekuensi operasi 120 khz. Pengolahan data Perairan Kepulauan Pari dilakukan dengan menggunakan Echoview4.0. Klasifikasi dasar perairan pada 6 stasiun grab dilakukan berdasarkan nilai backscattering volume (E1 dan E2) dari dasar perairan. Gambaran umum dari seluruh perairan menggunakan nilai E1 (karena banyak file yang tidak memiliki pantulan E2). Analisis data substrat dengan menggunakan metode ayakan sedimen bertingkat dengan menggunakan tujuh fraksi (0,053 µm 1mm). Berdasarkan hasil analisis sedimen dari 6 stasiun pengamatan diketahui bahwa 1 stasiun bersubstrat pasir berlumpur dan 5 stasiun lainnya bersubstrat pasir sangat halus. Nilai SV pada ketebalan integrasi 0,2 meter memiliki nilai maksimum sebesar 10,36 db, nilai minimum sebesar 43,33 db, dan ratarata sebesar 13,64 db. Nilai SV pada saat ketebalan integrasi 0,4 meter memiliki nilai maksimum sebesar 10,34 db, nilai minimum sebesar 43,33 db, dan ratarata sebesar 11,69 db. Nilai SVE1 dasar perairan baik pada ketebalan integrasi 0,40 m memberikan nilai yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai SVE1 pada ketebalan integrasi 0,20 m. Hal ini menandakan bahwa sedimen yang terkandung pada setiap ketebalan memiliki sifat yang berbeda. Perbedaan nilai integrasi ini diduga dengan ketebalan 0,20 m umumnya sedimen lebih bersifat unconsolidated dibandingkan ketebalan 0,40 m.

4 PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

5 Hak cipta milik Santi Oktavia, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institusi Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya

6 Judul Nama NRP : PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI : Santi Oktavia : C Menyetujui Dosen Pembimbing 1, Pembimbing 2, (Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si) (Dr. Wijopriono, M.Sc.) NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen, (Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc) NIP Tanggal Lulus : 12 Agustus 2009

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus karena kasih dan karunia yang Dia berikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi yang berjudul PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Papa, Mama, bang Rudy, kakak Dessy dan Nancy yang telah memberikan dukungan dalam bentuk apapun yang positif demi terselesaikannya tugas akhir.tuhan memberkati. 2. Dr.Ir.Sri Pujiyati, M.Si dan Dr.Wijopriyono, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan semangat kepada penulis dalam proses penyelesaian tugas akhir. 3. Dr.Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan, saran, nasihat, dan motivasi selama penulis menjalankan studi di Departemen ITK. 4. Dr.Ir.Totok Hestirianoto,M.Sc. yang telah bersedia menjadi dosen penguji tamu juga untuk sarannya supaya skripsi ini menjadi lebih baik. 5. Dr.Ir.Henry M Manik,MT. selaku Ketua Program Studi ITK atas sarannya supaya skripsi menjadi lebih baik. 6. Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang Departemen ITK atas bantuannya selama penulis menjalankan studi di IPB. 7. Ir. Sri Hartati, M.Si selaku kepala proyek dalam pengambilan data penelitian yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti proyek dalam rangka pengambilan data hidroakustik di lapangan. 8. Bang Asep (BRPL) dan bang Rodo (BRPL) atas bantuan dan bimbingannya selama mulai dari pengambilan data di lapangan sampai pengolahan data hidroakustik.

8 9. Seluruh pihak yang terdapat di lingkup BRPL atas partisipasinya yang sangat membantu penulis dalam melakukan penelitian. 10. Semua rekan ITK dan temanteman di IPB yang tidak dapat disebutkan satupersatu atas partisipasinya dalam menyelesaikan skripsi. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, oleh Karen itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini berguna bagi penulis maupun orang lain. Tuhan Memberkati. Bogor, 12 Agustus 2009 Santi Oktavia

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii DAFTAR ISTILAH... xiv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Metode Hidroakustik Sedimen Dasar Laut Acoustic Backscattering Volume Strength (SV) Klasifikasi Dasar Perairan SIMRAD EY Keadaan Umum Lokasi Penelitian METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Pengambilan Data Akustik Pengambilan Contoh Sedimen Analisis Data Analisis Data Akustik Analisis Sedimen Analisis Batimetri Analisis Statistika HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Batimetri Perairan Kepulauan Pari Substrat Dasar Perairan Hubungan Nilai SV dan Substrat di Setiap... Stasiun Grab... 32

10 4.4 Sebaran Nilai SV Sepanjang Lintasan Penelitian Perbedaan Ketebalan Integrasi Dasar Perairan Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 47

11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Ukuran besar butir untuk sedimen menurut skala Wentworth Perangkat Keras dan Perangkat Lunak Ukuran butiran dan fraksi sedimen dalam pengukuran sifat fisik sedimen Persentase Berat Fraksi Sedimen dan Tipe Substrat RataRata Nilai SV Dasar Perairan Pada Stasiun Grab Kisaran Nilai SV terhadap Frekuensi Kemunculan... 41

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pembentukan Pada E1 dan E2 Dasar Perairan Klasifikasi Dasar Perairan dalam Bentuk Kekasaran/Kekerasan Tipe partikel dasar perairan berdasarkan pantulan E1 dan E Lokasi Penelitian Diagram Alir Pengolahan dan Analisis Data Akustik Lokasi 6 Stasiun Grab Tipe Partikel Dasar Perairan 6 Stasiun Grab Berdasarkan E1 dan E Sebaran Nilai Backscattering Volume E1 Pada Ketebalan Integrasi 0,20 m Sebaran Nilai Backscattering Volume E1 Pada Ketebalan Integrasi 0.40 m Grafik Kisaran Nilai Backscattering Volume E1 dengan Frekuensi Pada Integrasi 0,2 m Grafik Kisaran Nilai Backscattering Volume E1 dengan Frekuensi Pada Integrasi 0,4 m... 42

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. SIMRAD EY GPS Kapal Penelitian Van veen Grab Integrasi E1 dan E Saringan bertingkat Pengujian Statististika (Uji t) E1 seluruh data dengan selang kepercayaan 95% Pengujian Statististika (Uji t) E1 pada enam stasiun grab dengan selang kepercayaan 70% Pengujian Statististika (Uji t) E1 pada enam stasiun grab dengan selang kepercayaan 70% Contoh hasil analisis sedimen pada stasiun grab Contoh data hasil integrasi echogram pada Echoview Nilai backscattering volume (db) E1 dan E2 sepanjang track penelitian...62

14 DAFTAR ISTILAH Backscattering Deepsea sediments Echogram Echo/Gema Echosounder E1 : Jumlah energi persatuan waktu yang dihamburkan oleh target selama transmisi suara dari transducer. : Sedimen laut yang berada jauh dari daratan dan berada pada kedalaman >500 meter. : Rekaman dari rangkaian gema. : Gelombang suara yang dipantulkan oleh target. : Perangkat akustik yang digunakan untuk menampilkan data echogram dari transducer. : Nilai hambur balik pertama dari dasar perairan (Energy of the first bottom echo). E2 : Nilai hambur balik kedua dari dasar perairan (Energy of the second bottom echo). Nearshore sediments : Sedimen laut yang dipengaruhi oleh masukan dari daratan. Ping : Sebutan untuk setiap pulsa yang dipancarkan oleh Transducer. Transducer : Perangkat akustik yang digunakan sebagai transmitter (pemancar) dan receiver (penerima) gelombang suara.

15 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penelitianpenelitian mengenai sumberdaya hayati di dasar perairan belum terlalu banyak dilakukan. Hal tersebut dikarenakan adanya kesulitan dalam pengambilan contoh pada kedalaman perairan yang bervariasi dan permukaan dasar perairan yang tidak teratur. Teknologi akustik adalah salah satu metode alternatif untuk mengetahui tipe substrat dasar perairan. Pemanfaatan teknologi akustik tersebut telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain oleh Siwabessy et al. (2000) di Perairan Barat Laut dan Timur Laut Australia yang menggunakan SIMRAD EK 500 scientific echosounder yang dioperasikan dengan menggunakan tiga frekuensi yang berbeda, yaitu 12, 38, dan 120 khz untuk mengklasifikasikan gambaran dasar perairan. Selain itu, adanya analisis echosounder dengan RoxAnn yang menggunakan energi pantulan dasar pertama dan kedua untuk mengetahui klasifikasi sedimen dasar perairan (Burns et al., 1989 in Clarke dan Hamilton, 1999) dan QTCView menggunakan sejumlah besar bentuk parameter echo dari pantulan pertama untuk mengetahui jenis sedimen (Prager et al., 1995 in Clarke dan Hamilton, 1999). Berdasarkan percobaan akustik yang telah dilakukan sebelumnya pada klasifikasi sedimen melibatkan variabel yang berasal dari analisis spektral dari sinyal akustik backscatter untuk mengidentifikasi tipe sedimen (Pace dan Gao, 1988 in Ferrini dan Flood, 2006) dan perbandingan analisis tekstur (Reed dan Hussong, 1989 in Ferrini dan Flood, 2006). Akhirakhir ini, para peneliti telah

16 mencoba untuk menghubungkan intensitas backscatter pada akustik dengan sedimen berpasir (Ryan dan Flood, 1996 in Ferrini dan Flood, 2006). Hal tersebut dikarenakan tidak hanya sedimen berpasir yang mudah diukur tetapi juga berhubungan dengan impedansi (Hamilton et al., 1956 in Ferrini dan Flood, 2006) sehingga merupakan prediksi intensitas backscatter yang sangat kuat. Penelitian mengenai perbandingan sedimen berpasir dengan intensitas backscatter dari dua frekuensi sidescan sonar (100 dan 500 khz, memiliki hubungan yang sangat kuat antara ratarata ukuran sedimen berpasir dan nilai ratarata backscatter dari perbandingan sonar yang memiliki frekuensi sebesar 500 khz (Ferrini dan Flood, 2006). Penelitian lain mengenai karakteristik dasar perairan juga telah dilakukan dengan menggunakan sistem sonar multibeam (SIMRAD EM 3000) dengan frekuensi tinggi (300 khz) oleh Ferrini dan Flood (2006) yang menunjukkan adanya hubungan kuantitatif antara data akustik dengan lingkungan fisik dalam proses pembentukan dasar perairan yang juga penting terhadap transport sedimen dan habitat bentik. Penelitian mengenai perbedaan nilai SV berdasarkan perbedaan ketebalan integrasi dasar perairan belum banyak dilakukan. Oleh sebab itu penulis mencoba untuk melakukan penelitian untuk dapat menganalisis tipe substrat dasar perairan berupa pasir dan pasir berlumpur dengan menggunakan peralatan Simrad EY60 (120kHz), pada ketebalan integrasi yang berbeda yaitu 0,20 dan 0,40 meter, serta diverifikasi dengan data hasil pengambilan contoh dengan grab.

17 1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perbedaan ketebalan integrasi dasar perairan sebesar 0,20 meter dan 0,40 meter dengan menggunakan instrumen hidroakustik SIMRAD EY60 berdasarkan nilai acoustic backscattering volume (SV) dasar perairan.

18 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metode Hidroakustik Akustik adalah teori tentang gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium. Metode hidroakustik yang digunakan untuk meneliti dasar perairan mampu melakukan pengukuran terhadap kuat atau lemahnya pantulan dasar perairan dari berbagai tipe partikel. Tipe partikel penyusun dasar perairan memberikan besar pantulan yang berbedabeda baik itu partikel penyusun lumpur maupun batubatuan. Pada saat gelombang hidroakustik mengenai permukaan dasar perairan, sebagian energi akan menembus dasar perairan dan sebagian kembali ke transduser. Dasar perairan yang keras memiliki pantulan yang lebih besar dari dasar perairan yang halus dan seterusnya (Pujiyati, 2008). Menurut Siwabessy (2001) bahwa ada sinyal noise yang berasal dari pulsa akustik, karena dalam prosesnya terdapat beberapa kendala yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu kemiringan dasar laut, penyerapan akustik air laut, penetrasi sinyal akustik pada dasar laut yang menyebabkan pembauran pada pulsa utama, parameter akustik dari instrumen, dan arah pemantulan pada interface air lautdasar laut akibat dari kekasaran air laut. Noise atau sinyal yang tidak diinginkan dalam sistem hidroakustik dapat terjadi karena angin, pecahan ombak, turbulensi, suara dan pergerakan binatang di bawah air, suara mesin kapal, dan aliran air di badan kapal (Allo, 2008).

19 2.2. Sedimen Dasar Laut Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi, yang masuk ke badan air akibat erosi atau banjir pada dasarnya tidaklah bersifat toksik. Sedimen di dalam air berupa bahanbahan tersuspensi. Keberadaan sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan kekeruhan perairan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya dan transfer oksigen dari atmosfer ke perairan, juga menghambat daya lihat (visibilitas) organisme akuatik. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya kerja organ pernafasan seperti insang pada organisme akuatik yang mengakibatkan asphyxiation pada ikan. Sedimen juga dapat menyebabkan hilangnya tempat memijah (spawning sites) yang sesuai bagi ikan. Sedimen dapat menutupi substrat sehingga organisme yang membutuhkan substrat sebagai tempat hidupnya (seperti perifiton) dan sebagai tempat berlindung (shelter) seperti beberapa jenis avertebrata air menjadi terganggu kelangsungan hidupnya (Effendi, 2000). Sedimensedimen laut mewakili kandungan utama material yang terdapat di dalam air laut. Chester (1990) membedakan sedimen laut menjadi dua, yaitu nearshore sediments dan deepsea sediments. Nearshore sediments memiliki kandungan kimia, fisika, dan biologi yang sangat bervarisai dibandingkan dengan kandungan pada deepsea sediments. Hal tersebut dikarenakan keberadaanya yang sangat dipengaruhi oleh masukanmasukan yang berasal dari daratan. Pengaruh lingkungan yang terkandung pada nearshore sediments berasal dari estuari, teluk, lagun, delta, dan daerah pasang surut. Deepsea sediments terkandung di dalam air pada kedalaman > 500 meter. Sifat deepsea sediments yang jauh dari daratan, sangat reaktif antara partikel yang terdapat di dalamnya

20 dengan komponen terlarut yang terdapat di kolom perairan, dan adanya biomassa khusus yang menjadikan lingkungan di laut dalam menjadi unik di planet, sehingga deepsea sediments menutupi lebih dari 50% permukaan bumi, yang sangat berbeda karakteristik dengan sedimen yang ditemukan di daerah dekat dengan daratan. Karakteristik yang sangat membedakan pada sedimen laut dalam dengan sedimen yang terdapat di daerah nearshore adalah ukuran partikel dan tingkat akumulasi pada komponenkomponen yang dimiliki yang berasal dari daratan. Garrison (2006) membagi sedimen berdasarkan asal mereka yaitu : 1) Sedimen Terriganeous Jenis sedimen ini berasal dari erosi yang berasal dari benua atau pulau, letusan gunung berapi dan segumpalan debu. Sedimen ini lebih dikenal dengan batuan yang berasal dari gunung berapi seperti granit yang bersumber dari tanah liat dan batuan kwarsa yang menjadi dua komposisi penyusun sedimen terrigenous. 2) Sedimen Lithogenous Sedimen ini berasal dari sisa pengikisan batubatuan di darat. Ini diakibatkan karena adanya suatu kondisi fisik yang ekstrim, seperti adanya pemanasan dan pendinginan terhadap batubatuan yang terjadi secara terusmenerus. Partikelpartikel ini diangkut dari daratan ke laut oleh sungaisungai. Begitu sedimen mencapai lautan, partikelpartikel yang berukuran besar cenderung untuk lebih tenggelam dan menetap dari yang berukuran kecil. Kecepatan tenggelamnya partikelpartikel ini telah dihitung, dimana jenis partikel pasir hanya membutuhkan waktu kirakira 1,8 hari untuk tenggelam dan menetap di atas lapisan dasar laut yang mempunyai kedalaman 4000 meter, sedangkan jenis

21 partikel lumpur yang berukuran lebih kecil membutuhkan waktu kirakira 185 hari dan jenis partikel tanah liat membutuhkan waktu kirakira 51 tahun pada kedalaman kolom air yang sama. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jikalau pasir akan segera diendapkan begitu sampai di laut dan cenderung untuk mengumpul di daerah pantai (Hutabarat dan Stewart, 2000). 3) Sedimen Biogenous Sedimen ini berasal dari sisasisa rangka dari organisme hidup. Jenis sedimen ini digolongkan ke dalam dua tipe utama yaitu calcareous dan siliceous ooze. Material calcareous dan siliceous pada waktu itu di extrak dari laut dengan aktivitas normal dari tanaman dan hewan untuk membangun rangka dan cangkang. Kebanyakan organisme yang menghasilkan sedimen biogenous mengapung bebas di perairan seperti plankton. Sedimen biogenous paling berlimpah dimana cukup nutrien yang mendorong produktivitas biologi yang tinggi, selalu terjadi pada dekat wilayah continental margin dan area upwelling. Thurman dan Alan (2004) disebutkan bahwa dua campuran kimiawi yang paling umum terdapat dalam sedimen biogenous adalah calcium carbonat (CaCO 3, dimana tersusun dari mineral calcite) dan silica (SiO 2 ). Seringkali silica secara kimiawi dikombinasikan dengan air untuk menghasilkan SiO 2.nH 2 O 4) Sedimen Hydrogenous Sedimen hydrogenous terdiri dari mineral yang mempercepat proses presipitasi dari laut. Jenis partikel ini dibentuk sebagai hasil reaksi kimia dalam air laut. Reaksi kimia yang terjadi disini bersifat sangat lambat, dimana untuk membentuk sebuah nodule yang besar diperlukan waktu selama berjuta tahuntahun dan proses ini kemudian akan terhenti sama sekali jika nodule telah terkubur di dalam

22 sedimen. Di pusat perputaran, jauh dari benua, partikel sedimen terakumulasi sangat lambat. 5) Sedimen Cosmogenous Sedimen ini bersumber dari wilayah extraterrestrial dan yang paling sedikit kelimpahannya. Sedimen cosmogenous terdiri dari dua jenis utama : microscopis spherules, dan peninggalan meteor makroskopik. Diperkirakan ton per tahun debu masuk ke samudera dan kebanyakan diperoleh dari meteor yang terbakar habis atmosfer. Tipe substrat dasar perairan pesisir ditentukan oleh arus dan gelombang. Disamping itu juga oleh kelandaian (slope) pantai. Menurut Nybakken (1992) substrat daerah pesisir terdiri dari bermacammacam tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir, dan berbatu. Pada daerah pesisir dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, subtrat cenderung berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara sungai, teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah. Pada daerah pesisir yang mempunyai arus dan gelombang yang kuat disertai dengan pantai yang curam, maka substrat cenderung berpasir sampai berbatu. Substrat lumpur, merupakan ciri dari estuaria dan rawa asin. Perbedaan utama dengan wilayah pesisir dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu, daerah pesisir dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benarbenar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai ini.

23 Nybakken (1992) menyatakan bahwa keberadaan lumpur di dasar perairan sangat dipengaruhi oleh banyaknya partikel tersuspensi yang dibawa oleh air tawar dan air laut serta faktorfaktor yang mempengaruhi penggumpalan, pengendapan bahan tersuspensi tersebut, seperti arus dari laut. Odum (1971) menyatakan bahwa kecepatan arus secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan. Nybakken (1992) menyatakan bahwa perairan yang arusnya kuat akan banyak ditemukan substrat berpasir. Adapun substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat. Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun kadangkadang dijumpai populasi diatom yang hidup di pasir intertidal. Hampir seluruh materi organik diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau partikel (POM). Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel substrat. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 110 cm) yang mampu menggali liang di dalam pasir, dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1 1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi (Ardi, 2002). Daerah pesisir dengan substrat berbatu merupakan daerah yang paling padat makroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan. Komunitas biota di daerah pantai berbatu jauh lebih kompleks dari daerah lain karena bervariasinya relung (niche) ekologis yang disediakan oleh genangan air, celahcelah dan permukaan batu serta hubungan

24 yang bervariasi terhadap cahaya, gerakan air, perubahan suhu dan faktor lainnya (Ardi, 2002). Substrat daerah pesisir terdiri dari bermacammacam tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir, dan berbatu. Tipe substrat dasar perairan pesisir ditentukan oleh arus, gelombang, dan juga kelandaian (slope) pantai. Pada daerah pesisir dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, substrat cenderung berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara sungai, teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah. Sedangkan pada daerah pesisir yang mempunyai arus dan gelombang yang kuat disertai dengan pantai yang curam, maka substrat cenderung berpasir sampai berbatu. Daerah pesisir dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benarbenar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai ini. Substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat. Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel substrat (Ardi, 2002). Sedimen dapat digolongkan seperti menjadi empat jenis, yaitu batu (stone), pasir (sand), lumpur (silt), dan lempung (clay). Setiap jenis sedimen tersebut digolongkan kembali berdasarkan ukuran besar butir partikel. Berdasarkan ukuran/besar butir partikel, maka sedimen dapat digolongkan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

25 Tabel 1. Ukuran besar butir untuk sedimen menurut skala Wentworth (Wibisono, 2005) Nama Partikel Ukuran (mm) Batu (stone) Bongkah (Boulder) >256 Krakal (Coble) Kerikil (Peble) 464 Butiran (Granule) 24 Pasir (sand) Pasir sangat kasar (v.coarse 12 sand) Pasir kasar (coarse sand) ½1 Pasir sedang (medium sand) ¼½ Pasir halus (fine sand) ⅛¼ Pasir sangat halus (very fine sand) Lumpur (silt) Lumpur kasar (coarse silt) Lumpur sedang (medium silt) Lumpur halus (fine silt) Lumpur sangat halus (v. fine silt) Lempung (clay) Lempung kasar (coarse clay) Lempung sedang (menium clay) Lempung halus (fine clay) Lempung sangat halus (v. fine clay) 2.3. Acoustic Backscattering Volume Strength (SV) Metodemetode akustik untuk mengetahui nilai SV dan biomassa telah banyak diketahui, namun teknik tersebut tidak dapat meminimalisasi kesalahan dalam mengkalibrasi beberapa parameter pada sebuah sistem echo sounding. Nilai SV yang diperoleh dapat dikonversi dengan akurasi yang baik untuk mengetahui kepadatan biomassa ikan dengan menggunakan nilai target strength (TS) (DO, 1986).

26 SV adalah rasio antara intensitas yang direfleksikan oleh suatu kelompok target, dimana target berada pada suatu volume air tertentu (1m³) yang diukur pada jarak 1 meter dari target yang bersangkutan dengan intensitas suara yang mengenai target. SV ini memiliki pengertian yang sama dengan target strength, hanya TS untuk target tunggal, sedangkan SV untuk kelompok ikan ( Syafitra, 2006). Nainggolan (1993) in Syafitra (2006) menyatakan beberapa asumsi yang digunakan dalam SV antara lain : 1. Ikan bersifat homogen dan terdistribusi merata dalam volume perairan; 2. Perambatan gelombang suara pada garis lurus dimana tidak ada refleksi oleh medium (hanya ada spreading loss saja); 3. Densitas ikan yang cukup dalam satuan volume; 4. Tidak ada multiple scattering Klasifikasi Dasar Perairan Klasifikasi tipe substrat dasar perairan biasanya dianalisis dari echogram. Klasifikasi dengan tipe substrat dasar perairan dapat menggunakan program pengolahan data yang dapat menunjukkan kedalaman dan dengan kekuatan relatif sinyal akustik dari dasar perairan yang dapat diindikasikan dengan perbedaan warna (Pujiyati, 2008). Menurut Chivers (1990) in Collins dan McConnaughey (1996) bahwa pantulan dasar perairan menandakan kekerasan dan kekasaran dasar perairan dan dengan mengestimasi nilai kekasaran (first bottom echo) dan kekerasan (second bottom echo) maka akan dapat mengklasifikasikan tipe dasar perairan.

27 Bagian yang menandakan first bottom echo (E1) disebabkan oleh pantulan pertama sebuah permukaan yang tegak lurus dengan sumbu transduser. Sinyal echo pada E1 sangat sensitif terhadap pitch and roll kapal dan transduser (Burczynski, 2002). Energi pantulan pada second bottom (E2) dihasilkan oleh pantulan ganda dari dasar perairan dan pantulan tunggal dari permukaan. Pada dasar perairan yang kasar, pantulan tersebut akan berelasi secara langsung dengan sifat kekerasan pada dasar perairan. Jika dasar perairannya adalah kasar, kemudian kekasaran akan berkurang pada second bottom echo (Burczynski, 2002). Prinsip sederhana dalam pembentukan E1 dan E2 dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. (KEKASARAN) (KEKERASAN) Gambar 1. Pembentukan Pada E1 dan E2 Dasar Perairan. Sumber : Siwabessy, 2000 Penggolongan dasar perairan tentunya akan selalu berkaitan dengan bagaimana cara menentukan fraksi sedimen dari dasar perairan. Perbandingan nilai E1 dan E2 dalam metode akustik tentunya akan memberikan gambaran yang

28 jelas dari dasar perairan. E1 (kekasaran) dan E2 (kekerasan) akan merepresentasikan partikel dasar perairan (Allo, 2008). Dasar perairan yang kasar merupakan variabel yang penting untuk mempertimbangkan intensitas backscatter akustik yang memiliki frekuensi tinggi dan telah dibuktikan oleh sejumlah peneliti seperti yang dilakukan oleh Stewart et al., (1994); Richardson et al., (2001) in Ferrini dan Flood (2006). Dampak dari kekasaran pada intensitas backscatter berbeda tergantung dari tipe, besarnya dan orientasi kasar, juga frekuensi dari sinyal akustik (Ferrini dan Flood, 2006). Klasifikasi dasar perairan dapat juga dilihat dalam variabel yang secara signifikan mempengaruhi intensitas backscatter, dimana backscatter dasar perairan sangat tergantung pada frekuensi dan resolusi akustik dari sinyal suara serta memiliki hubungan dengan panjang pulsa dan lebar beam yang kemudian berinteraksi dengan dasar perairan. Penyebaran berdasarkan kekasaran pada dasar perairan, dipengaruhi oleh frekuensi suara tinggi sedangkan penyebaran partikel dibawah sedimenpermukaan air lebih sesuai dengan frekuensi rendah dimana sinyal akustik menembus lebih dalam ke sedimen (Jackson et al., 1986 in Ferrini dan Flood, 2006). Sinyal Frekuensi dari suara dan besarnya partikel sangat sensitif terhadap kekasaran, dimana dengan frekuensi yang lebih tinggi dan partikel yang lebih kecil lebih sensitif terhadap kekasaran (Urick, 1983). Informasi mengenai tipe dasar, sedimen, dan vegetasi dasar perairan dapat dikodekan dengan sinyal echo. Sinyal echo tersebut dapat disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan data GPS. Sinyal echo yang mengkodekan mengenai dasar perairan dapat diproyeksikan pada suatu data digital. Verifikasi hasil dapat dilakukan dengan melakukan sampling fisik dasar perairan melalui penyelaman

29 atau dengan kamera bawah air yang harus direkam sebagai data akustik yang diperoleh. Pada saat verifikasi pertama, hasil harus disimpan agar tipe dasar perairan yang tidak diketahui dapat dibandingkan dengan yang sudah diketahui dan dapat melakukan verifikasi data (Burczynski, 2002). Perbedaan tipe dasar perairan dapat didiskriminasi dengan mengekstrak data pada kekasaran dasar sehingga dapat dibuat topografi dan kekerasan dasar untuk mengetahui tipe substrat misalnya batu, pasir, lumpur dan lainlain. Kekasaran (roughness) dan kekerasan (hardness) suatu dasar perairan dapat dilihat berdasarkan sinyal yang dipantulkan. Kekasaran (roughness) dasar perairan diestimasi dari integrasi pada pantulan pertama dan kekerasan (hardness) dasar perairan diestimasi dari integrasi pada pantulan kedua (Caruthers dan Fisher, 2002). Tipe dasar perairan yang diidentifikasi dengan menggunakan hardness/roughness dengan menggunakan sistem ECHOplus dualchanel yang dapat digunakan dari frekuensi 20 khz sampai 230 khz, dimana data yang ada berasal dari dua frekuensi yang berbeda yaitu frekuensi 20kHz dan 30 khz dapat dilihat pada Gambar 2. Verifikasi hasil akan menjadi valid hanya untuk sistem akustik spesifik yang digunakan untuk proses verifikasi. Metodemetode dalam mengklasifikasikan dasar perairan diimplementasikan dalam Biosonics Bottom Classifier VBT (Burczynski, 2002). Kloser et al. (2001) dan Schlaignet (1993) mengamati klasifikasi dasar laut dari frekuensi akustik.

30 Gambar 2. Klasifikasi Dasar Perairan dalam Bentuk Kekasaran/Kekerasan. Sumber : Caruthers dan Fisher, 2002 Dasar perairan yang memiliki ciriciri yang sama, perbedaan indeks kekasaran diamati berdasarkan perbedaan dua frekuensi yang mereka gunakan. Selanjutnya Schlaignet (1993) menemukan bahwa perbedaan timbul dari frekuensi 40 dan 208 khz yang disebabkan oleh perbedaan penetrasi dasar laut berdasarkan frekuensi kedalaman pada berbagai tipe dasar perairan. Tipe partikel dasar perairan berdasarkan pantulan E1 (Roughness) dan E2 (Hardness) dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Tipe partikel dasar perairan berdasarkan pantulan E1 dan E2. Sumber : Clarke dan Hamilton, 1999

31 2.5. SIMRAD EY60 SIMRAD EY60 scientific echosounder split beam yang secara spesifik dirancang untuk digunakan di sungai dan di danau. SIMRAD EY60 scientific echosounder split beam mudah dibawa dan diangkut, serta dihubungkan dengan transceiver (GPT), note book/laptop, dan GPS, serta hanya berkoneksi dengan power source dan transduser ( Pemantulan dari sidelobes pada sistem SIMRAD EY60 scientific echosounder berasal dari permukaan dan dasar perairan. Rancangan seri transduser yang baru pada SIMRAD EY60 scientific echosounder (70, 120, 200, 400 khz) yang secara khusus sangat menguntungkan pemakaiannya pada lingkungan perairan yang dangkal ( SIMRAD EY60 scientific echosounder memiliki echogram yang memberikan informasi untuk menganalisis biomassa dan target strength, informasi mengenai sekelompok atau satu jenis ikan yang berada pada dasar perairan, informasi mengenai distribusi ikan, informasi mengenai posisi satu jenis ikan dan pergerakannya di dalam beam, serta informasi umum lainnya seperti penggunaan frekuensi, durasi pulsa, power yang dihasilkan, nilai integrator, pengaturan lapisan yang digunakan dalam analisis, dan threshold ( Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Pari dan adalah suatu wilayah yang secara geomorfologi dibentuk oleh prosesproses marin pada batuan induk sedimen dan batu gamping koral. Secara geografis Kepulauan Pari terletak antara hingga 05 52

32 Lintang Selatan dan sampai Bujur Timur. Daerah ini terletak di Laut Jawa, tepatnya di sebelah Utara DKI Jakarta dan Tangerang. Secara administrasi Kepulauan Pari termasuk Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta (Wikanti, 2004). Unit gugusan Kepulauan Pari terdiri atas 6 pulau kecil yaitu Pulaupulau Pari, Burung, Kongsi Timur, Kongsi Tengah, Kongsi Barat, dan Tikus. Gugusan pulaupulau ini menjadi satu kesatuan oleh adanya pertumbuhan terumbu karang. Dalam kesatuan kepulauan ini, terumbu karang membentuk lagun di tengahnya sehingga kepulauan ini dapat dikatakan sebagai Pulau Atol dalam bentuk mini. Pulau Atol (Atolls), adalah pulau (pulau karang) yang berbentuk cincin. Pada umumnya pulau atol ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang membentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef, dan akhirnya berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari dari pulau vulkanik semula, dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang (Wikanti, 2004).

33 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan berupa data akustik dan sedimen dilakukan pada tanggal 18 sampai 19 Nopember 2008 di perairan Kepulauan Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Letak geografis lokasi penelitian berada pada LS hingga LS dan BT sampai BT. Lokasi berada pada perairan yang relatif dangkal yaitu dengan kedalaman berkisar 2091 meter. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil enam titik sampel sedimen dan merupakan salah satu rangkaian kegiatan proyek Balai Riset Perikanan Laut (BRPL)Jakarta dalam memperoleh data oseanografi di Kepulauan Pari. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Proses pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan Kapal Baruna milik nelayan setempat (5 GT) dan menggunakan desain survei jalur/track berpola zigzag atau systematic triangular transec. Profil lintasan ini diperoleh dengan menggabungkan semua file echogram hasil deteksi hidroakustik yang dilakukan dan kemudian ditampilkan dengan menggunakan software Echoview 4,0 melalui menu cruise track. Pengolahan data dilakukan dilakukan di Laboratorium Akustik, BRPL dan analisis contoh dilakukan di Laboratorium Biologi, BRPLJakarta.

34 Legenda Lintang Selatan (derajat) Stasiun 6 P.Tikus P.Kongsi Barat Stasiun 1 P.Kongsi Tengah P.Tengah Stasiun 5 P.Kongsi Timur P.Pari Stasiun 4 Laut Track Kapal Stasiun Grab 5.87 P.Burung Inset 5.88 Stasiun 2 Stasiun Bujur Timur (derajat) 0 km km km km km Oleh: Santi Oktavia C Gambar 4. Lokasi Penelitian

35 3.2. Alat dan Bahan Penelitian Pengambilan data hidroakustik di lapangan menggunakan perangkat SIMRAD EY 60 scientific echosounder system dengan frekuensi sebesar 120 khz (Lampiran 1). Selain itu juga menggunakan GPS (Garmin) (Lampiran 2) untuk menentukan posisi lintang dan bujur serta laptop untuk pemrosesan dan penyimpanan data akustik. Kapal yang digunakan dalam penelitian sebagai tempat pemasangan alat akustik adalah kapal nelayan Pulau Pari (5 GT) (Lampiran 3). Pengambilan contoh sedimen dasar laut menggunakan Van veen grab (Lampiran 4), kantong plastik sebagai tempat sedimen yang diambil, dan alatalat tulis. Alat yang digunakan di laboratorium yaitu ayakan sedimen bertingkat dengan menggunakan tujuh fraksi (0.053µm1mm), timbangan digital untuk mengukur berat fraksifraksi sedimen, oven untuk mengeringkan contoh sedimen, serta cawan dan kertas saring (11,5cm x 11,5 cm) yang digunakan untuk wadah sedimen saat ditimbang. Alat yang digunakan untuk pemrosesan pengolahan data pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Perangkat Keras dan Perangkat Lunak Perangkat Keras (Hardware) Perangkat Lunak (Software) Laptop Echoview 4 Golden Sofware Surfer 8.0 Microsoft Office 2007 Arcview GIS 3.2 SIMRAD EY60 Simrad ER60

36 3.3. Pengambilan Data Akustik Pengambilan data akustik dalam penelitian ini menggunakan peralatan hidroakustik echosounder SIMRAD EY60. Transduser dipasang di bagian sisi kiri luar kapal pada kedalaman 1 meter dari permukaan air laut. Transduser EY 60 yang digunakan pada penelitian ini merupakan jenis beam terbagi (split beam) dengan frekuensi 120 khz, lebar beam 7, pulse duration 0,256 mdt, dan transmit power 50 watt. Data hidroakustik yang diperoleh dalam bentuk tiga file yaitu dengan extension raw, idx, dan bot. Proses perekaman data akustik yaitu dengan proses sounding saat di lapangan dilakukan pada setiap titik stasiun. Data yang diperoleh disimpan dalam format raw data di hard disc dan kemudian dicatat posisi pengambilannya Pengambilan Contoh Sedimen Pengambilan contoh sedimen dasar laut saat di lapangan dilakukan sebagai data in situ yang diperoleh dengan menggunakan Van veen grab dengan luas bukaan sebesar 20 x 20 cm 2. Setelah contoh sedimen diambil dengan menggunakan grab maka langsung dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi keterangan nama stasiun grab dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode ayakan bertingkat untuk mengetahui jenis substrat serta ukuran fraksifraksi sedimen tiap stasiun Analisis Data Analisis Data Akustik Data akustik yang berasal dari proses perekaman, diolah dan dianalisa dengan menggunakan program Echoview 4.0 dengan ketebalan 0,20 m dan 0,40 m. Perbedaan ini dikarenakan besarnya ½ pulse length (cτ/2) adalah 0,20 m dan

37 ukuran grab 20x20 cm. Ketebalan integrasi 0,40 m diambil berdasarkan nilai 1 pulse length (cτ/2). Diagram alir proses pengolahan dan analisis data akustik dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini: Gambar 5. Diagram Alir Pengolahan dan Analisis Data Akustik Data akustik yang terekam dalam bentuk raw data dapat diolah dan dianalisis dalam program Echoview 4.0. Data tersebut dapat dilakukan proses integrasi dengan mengatur variable properties di dalam menu echogram. Variabelvariabel yang diamati kemudian dimasukkan nilainilainya sesuai dengan pengamatan. Integrasi hambur balik pertama (E1) pada echogram yang

38 menggambarkan kekasaran dasar laut (Lampiran 5) dapat dilakukan dengan mengatur display pada echogram menggunakan color display minimum sebesar 50,00 db dan maksimum 0 db, dengan range sebesar 50,00. Pada integrasi hambur balik kedua (E2) pada echogram yang menggambarkan kekerasan dasar laut menggunakan color display minimum sebesar 70,00 db dan maksimum sebesar 0 db, dengan range sebesar 70 db. Pembagian jumlah ping pada menu grid sebesar 100 ping dengan range grid sebesar 50,00 m. Pembentukan garis untuk E2 (Lampiran 5) dibuat dengan menggunakan new virtual line yang dibuat secara manual dengan mengikuti kontur dasar perairan. Integrasi pada E1 dan E2 adalah sebesar 0,20 m dan 0,40 m. Pembentukan garis dibuat melalui new line yang akan membentuk line 1 yang merupakan garis dasar perairan, kemudian dibentuk garis kedua yang jaraknya 0,20 m (line 2) dari garis pertama yaitu ke arah dalam dasar perairan serta garis ketiga (line 3) yang jaraknya 0,40 m dari garis pertama. Hal tersebut juga dilakukan pada pembentukan garis integrasi pada E2, tetapi pembuatan garis pertama dibuat dengan cara manual mengikuti kontur dasar perairan dan demikian juga dalam pembentukan garis kedua dan ketiga sebesar 0,20 m dan 0,40 m ke arah dalam dasar perairan. Garis integrasi pada E1 dan E2 yang telah terbentuk kemudian disimpan dan nilainilainya dapat diekstrak dengan menggunakan dongle. Nilainilai hasil integrasi, seperti SV maksimum (db), kedalaman ratarata (m), lintang, dan bujur digunakan untuk diolah dan dianalisis, serta kemudian ditabulasikan ke dalam Microsoft excel. Nilai integrasi pada E1 untuk seluruh perairan akan dipetakan untuk mendapatkan gambaran sebaran E1 di seluruh perairan yang

39 terdeteksi. Selanjutnya nilai E1 pada integrasi 0,20 m dan 0,40 m akan dibandingkan untuk mendapatkan informasi kondisi substrat yang terintegrasi Analisis Sedimen Analisis sedimen untuk mengetahui besar butiran fraksi sedimen diklasifikasikan dengan menggunakan metode ayakan bertingkat (Lampiran 6) dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Sedimen yang diambil dari lapangan diambil 50 gram (berat basah sedimen) dan diletakkan diatas cawan yang sebelumnya telah ditimbang. 2. Sedimen tersebut ditimbang sebanyak dua kali dalam dua cawan yang berbeda, dimana sedimen pada cawan pertama akan disaring dengan saringan bertingkat yang kemudian hasil dari setiap saringan di keringkan dalam oven. Sedangkan sedimen pada cawan yang lainnya langsung dimasukkan ke dalam oven untuk dikeringkan. Jadi setiap stasiun pengamatan mempunyai dua sampel sedimen. 3. Berat basah total adalah berat cawan ditambah dengan berat basah sedimen. 4. Saringan bertingkat yang digunakan terdiri dari tujuh saringan dengan ukuran 1mm; 0,80mm; 0,50mm; 0,25mm; 0,15mm; 0,075mm; dan 0,053µm. 5. Setelah sedimen pada cawan pertama disaring, maka hasil dari setiap fraksi saringan diletakkan di atas cawan yang telah dilapisi dengan kertas saring yang berukuran 11,5cm x 11,5cm dan berat kertas saring sebesar 0,7696 gr. 6. Sedimen yang telah disaring maupun yang tidak disaring kemudian dimasukkan ke dalam oven untuk dikeringkan. Suhu yang digunakan sebesar 100 C. Sedimen dikeringkan di dalam oven selama ±24 jam.

40 7. Sedimen yang telah dikeringkan kemudian ditimbang lagi untuk mengetahui berat keringnya. Berat kering butir fraksi sedimen hasil saringan yang selanjutnya digunakan untuk dianalisis jenis substratnya. Ukuran butiran ditentukan dari besarnya pori ayakan, dimana dalam pengukuran ini dibagi menjadi sepuluh fraksi. Kesepuluh fraksi butiran tersebut disajikan pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Ukuran butiran dan fraksi sedimen dalam pengukuran sifat fisik sedimen Fraksi Sedimen Ukuran Butiran (mm) Kerakal Kerikil ,51 0,250,5 0,1250,25 Pasir 0,0650,125 Lanau 0,0040,063 Lempung < Analisis Batimetri Profil batimetri yang dihasilkan dari penelitian ini diperoleh dengan menggunakan data lintang, bujur, dan kedalaman yang dimiliki setiap file sepanjang lintasan penelitian. Berdasarkan datadata tersebut dapat dianalisis dan dideskripsikan mengenai profil batimetri sepanjang lintasan penelitian Analisis Statistika Statistika parametris yang digunakan untuk menguji hipotesis deskriptif pada perbedaan data E1 dan E2 di stasiun grab dan perbedaan data E1 di seluruh file sepanjang lintasan penelitian pada masingmasing integrasi menggunakan

41 ttest. Pengujian dilakukan dengan uji dua pihak (two tail test). Rumus yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah sebagai berikut:... (1) Dimana: t = Nilai t yang dihitung, selanjutnya disebut t hitung = Ratarata x = Nilai yang dihipotesakan s n = Simpangan Baku = Jumlah anggota sampel Hipotesis dalam pengujian data terdiri dari hipotesis nol (H 0 ) berbunyi sama dengan dan hipotesis alternatifnya (H 1 ) berbunyi tidak sama dengan (H 0 =; H 1 ), dimana pada analisis data jika ttabel > thitung maka H 0 ditolak yang artinya berbeda nyata, dan jika ttabel < thitung maka H 0 diterima yang artinya tidak berbeda nyata (Sugiyono, 2006).

42 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Batimetri Perairan Kepulauan Pari Hasil yang didapat dari pengolahan data kedalaman sepanjang track survei diketahui bahwa kedalaman minimum yang terdapat pada data hasil rekaman echogram adalah 24,99 meter yang terletak pada posisi LS dan BT dan kedalaman maksimum 90,19 meter yang terletak pada LS dan BT. Berdasarkan pengamatan pada wilayah survei, diperoleh gambaran mengenai Perairan Kepulauan Pari yang memiliki bentuk dasar perairan relative tidak merata dan pada posisiposisi tertentu terdapat kedalaman yang sangat signifikan perbedaannya dan menyebabkan pola batimetri yang terbentuk menjadi curam yaitu pada posisi yang semakin jauh dari daratan dengan kisaran kedalaman 6092 meter. Gambaran mengenai batimetri perairan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan gambar peta batimetri tersebut juga dapat dilihat terdapat kontur yang menonjol dimana letaknya dekat dengan daratan. Pada posisi ,12 LS5 51 7,13 LS dan ,1 BT ,2 BT terdapat strata kedalaman yang hampir sama dimana kedalamannya ratarata berkisar antara 2930 meter, tetapi pada posisi ,3 LS dan ,1 BT kedalaman menjadi berubah hingga mencapai 75 meter dan kembali lagi dengan kedalaman 29 meter, sehingga menyebabkan kontur perairan menjadi menonjol. Batimetri perairan sepanjang lintasan memiliki kedalaman yang bervariasi dengan kisaran 24 meter hingga 90 meter.

43 4.2. Substrat Dasar Perairan Berdasarkan hasil analisis sedimen yang diambil saat penelitian dapat diketahui bahwa jenis sedimen pada stasiun pengamatan adalah pasir, baik itu yang terdapat pada Stasiun 2, Stasiun 3, Stasiun 4, Stasiun 5, dan Stasiun 6. Pada Stasiun 1, sedimen yang diketahui adalah sedimen pasir berlumpur yang berbeda dengan stasiunstasiun lainnya. Hasil analisis sedimen dari setiap stasiun dapat dilihat dari Tabel 4 berikut ini: Tabel 4. Persentase Berat Fraksi Sedimen dan Tipe Substrat Stasiun Persentase Berat Fraksi Sedimen Pasir Lumpur Tipe Substrat 1 86,39 13,61 Pasir Berlumpur 2 96,95 3,05 Pasir Sangat Halus 3 96,11 3,89 Pasir Sangat Halus 4 93,17 6,83 Pasir Sangat Halus 5 96,62 3,38 Pasir Sangat Halus 6 97,05 2,95 Pasir Sangat Halus Hasil analisis sedimen pada stasiun pengamatan menunjukkan bahwa ukuran butiran pasir ratarata berkisar antara 0,065mm2mm dan beragam yang dihitung dari bobot kering contoh pada tiap fraksi. Sedimen yang ditemukan pada lokasi penelitian juga ada yang mengandung pecahan karang dan cangkang kerang. Lokasi dari 6 stasiun grab bila di petakan maka akan diperoleh Gambar 6.

44 5.83 Lintang Selatan (derajat) Pasir sangat halus Stasiun 6 P.Tikus P.Kongsi Barat Pasir sangat halus Stasiun 5 Pasir berlumpur Stasiun 1 P.Kongsi Timur P.Kongsi Tengah P.Pari Pasir sangat halus P.Tengah Stasiun 4 Legenda Laut Track Kapal Stasiun Grab 5.87 P.Burung Inset 5.88 Stasiun 2 Pasir sangat halus Stasiun 3 Pasir sangat halus Bujur Timur (derajat) 0 km km km km km Oleh: Santi Oktavia C Gambar 6. Lokasi Pada 6 Stasiun Grab

45 Berdasarkan hasil analisis bobot kering sedimen diketahui bahwa lima stasiun yaitu Stasiun 1, Stasiun 2, Stasiun 3, Stasiun 4, dan Stasiun 5 ukuran partikel fraksi pasirnya secara dominan termasuk ke dalam pasir sangat halus (very fine sand) dengan ukuran partikel 0,065 mm0,125 mm dan mengandung sedikit lumpur sangat halus (very fine silt ) dengan ukuran parikel lumpurnya sebesar 0,004 mm0,063mm. Berbeda dengan Stasiun 6 bahwa hasil analisis berat kering sedimen diketahui bahwa secara dominan ukuran partikel butir pasirnya termasuk ke dalam pasir halus dengan ukuran partikel sebesar 0,125 mm0,25 mm dan lumpur sangat halus. Pada Stasiun 6 dapat diketahui bahwa memiliki persentase fraksi pasir sangat halus terbesar daripada stasiun pengamatan lainnya yaitu sebesar 97,05%, dengan posisi stasiun pada ,04 LS dan ,10 BT. Selain itu, Stasiun 6 juga memiliki nilai persentase fraksi lumpur yang paling kecil daripada kelima stasiun pengamatan lainnya yaitu sebesar 2,95%. Pasir memiliki ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran partikel pada lumpur ataupun lempung, sehingga siap terurai dan dengan kekuatan arus yang lemah sekalipun partikel mudah lepas dan terjadi erosi (Wibisono, 2005). Besar persentase berat sedimen pada kelima stasiun pengamatan lainnya yang bersubstrat pasir sangat halus nilainya tidak berbeda jauh satu sama lainnya. Hal tersebut menandakan bahwa Stasiun 6, Stasiun 2, Stasiun 3, Stasiun 4, dan Stasiun 5 memiliki sedimen dengan partikel yang seragam berkumpul menjadi satu kesatuan akibat pengaruh energi ombak dan arus bila dibandingkan Stasiun 1 yang bersubstrat pasir berlumpur. Distribusi fraksi pasir sangat dipengaruhi oleh energi ombak dan arus.

46 Persentase fraksi pasir yang terendah dimiliki oleh Stasiun 1 dengan nilai sebesar 86,39%, tetapi memiliki persentase fraksi lumpur terbesar bila dibandingkan dengan nilai pada stasiun pengamatan lainnya yaitu sebesar 13,61%. Hal ini yang menandakan bahwa substrat dasar perairan yang terdapat pada Stasiun 1 dengan posisi ,88 LS dan ,9 BT adalah pasir berlumpur Hubungan Nilai SV dan Substrat di Setiap Stasiun Grab Hasil pengolahan data hambur balik volume dasar perairan dengan menggunakan program Echoview 4 menunjukkan bahwa ratarata nilai hambur balik volum dasar perairan yang berasal dari pantulan pertama (E1) dan pantulan kedua (E2) memiliki nilai yang berbeda, baik itu dengan menggunakan ketebalan integrasi 0,20 m dan 0,40 m. Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa nilai SV pada E1 pada umumnya lebih besar daripada nilai SV pada E2, baik itu pada ketebalan integrasi 0,20 m dan 0,40 m. Nilai ratarata SV E1 dan E2 pada Stasiun 1 dengan substrat pasir berlumpur pada ketebalan integrasi 0,20 m dan 0,40 m memiliki nilai yang paling kecil bila dibandingkan dengan nilai SV pada stasiun pengamatan lainnya. Hal ini dikarenakan pada Stasiun 1 bersubstrat pasir berlumpur dimana mengandung fraksi lumpur yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya dan dasar perairan yang berada pada stasiun ini lebih halus dibandingkan dengan stasiun lainnya yang menyebabkan nilai SV dasar perairan pada E1 dan E2 bernilai lebih kecil dengan lima stasiun pengamatan lainnya. Hasil integrasi nilainilai SV dasar perairan pada stasiun grab dapat dilihat pada Tabel 5.

47 Tabel 5. RataRata Nilai SV Dasar Perairan Perairan Pada Stasiun Grab Integrasi 0,20 m Integrasi 0,40 m E1 (db) E2 (db) E1 (db) E2 (db) Stasiun Substrat 17,30 34,48 15,88 34,48 1 Pasir Berlumpur 10,39 27,76 8,23 27,67 2 Pasir Sangat Halus 11,19 32,92 9,54 32,49 3 Pasir Sangat Halus 15,13 29,48 13,39 29,44 4 Pasir Sangat Halus 13,29 25,85 12,00 25,77 5 Pasir Sangat Halus 12,53 27,93 10,33 27,79 6 Pasir Sangat Halus Nilainilai hambur balik volum dasar perairan pada stasiun grab digambarkan berdasarkan nilai ratarata SV max. Besar nilai SV pada E1 dan E2 digunakan untuk mengetahui tipe substrat perairan yang terdapat pada lintasan penelitian dan dari nilai yang diketahui bahwa substrat perairan berupa pasir sangat halus dan sedikit pasir berlumpur. Pujiyati (2008) mengatakan bahwa nilai hambur balik dasar perairan yang dimiliki oleh karang, pasir, dan lumpur sangat berbeda dan nilai hambur balik tersebut dipengaruhi oleh besarnya butiran partikel dari substrat dasar perairan itu sendiri. Stasiun 1 memiliki nilai SVE1 dan kedua (E2) paling kecil, baik pada integrasi 0,2 m (E1= 17,3 db; E2= 34,48 db) dan 0,4 m (E1= 15,88 db; E2= 34,48 db) yang terletak pada posisi 5 51,102 LS dan ,4 BT, serta kedalamannya sebesar 30 m. Kedalaman yang dimiliki oleh Stasiun 1 merupakan kedalaman paling rendah dibandingkan dengan kedalaman 5 stasiun grab lainnya. Nilai SV dapat dikaitkan untuk mengetahui jenis substrat dasar perairan. Jenis substrat dasar perairan pada Stasiun 1 adalah pasir berlumpur, sehingga nilai

48 SV pada Stasiun 1 paling kecil karena mengandung lumpur. Nilai pantulan dasar perairan bersubstrat pasir memiliki nilai lebih besar daripada dasar perairan bersubstrat pasir berlumpur, karena semakin keras dan kasar suatu dasar perairan maka semakin besar nilai SV yang diberikan. Hasil klasifikasi dari nilai SVE1 baik pada ketebalan integrasi 0,2 m dan 0,4 m diketahui bahwa Stasiun 2 memiliki nilai SV yang terbesar yang benilai 10,39 db dan 8,29 db, kemudian diikuti dengan Stasiun 3 dengan nilai 11,19 db dan 9,54 db, Stasiun 6 dengan nilai 12,53 db dan 10,33 db, Stasiun 5 dengan nilai 13,29 db dan 12,00 db, dan Stasiun 4 dengan nilai 15,13 db dan 13,39 db. Nilai SVE2 pada ketebalan integrasi 0,2 m dan 0,4 m diketahui bahwa pada Stasiun 5 memiliki nilai terbesar yaitu 25,85 db dan 25,77 db, kemudian diikuti oleh Stasiun 2 dengan nilai 27,76 db dan 27,67 db, Stasiun 6 dengan nilai 27,93 db dan 27,79 db, Stasiun 4 dengan nilai 29,48 db dan 29, 94 db, dan Stasiun 3 dengan nilai 32,92 db dan 32,49 db. Nilai SVE1 dan kedua (E2) dasar perairan pada keenam stasiun grab dapat dilihat bahwa substrat dasar perairan pada Stasiun 1 adalah pasir berlumpur dan lima stasiun grab lainnya adalah bersubstrat pasir. Pujiyati (2008) menyatakan bahwa nilai hambur balik dipengaruhi oleh komposisi partikel dan kemungkinan beberapa faktor lain seperti porositas serta kandungan bahan organik. Berdasarkan nilai SV yang berasal dari 6 stasiun grab dapat dibuat grafik dimana grafik tersebut dapat menyerupai grafik dari Clarke dan Hamilton (1999) yang menggambarkan tipe partikel dasar perairan nilai E1 (Rougness) dan E2 (Hardness). Grafik tersebut dapat dilihat pada Gambar 7 yang memperlihatkan bahwa substrat pasir berlumpur terpisah dengan substrat pasir sangat halus.

49 Gambar 7. Tipe Partikel Dasar Perairan 6 Stasiun Grab Berdasarkan E1 dan E Sebaran Nilai SV Sepanjang Lintasan Penelitian Sebaran nilai yang dimaksud adalah sebaran nilai SVE1. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak file yang tidak memiliki pantulan E2. Sebaran nilai hambur balik volum dasar perairan (SV) sepanjang lintasan penelitian dapat dilihat dalam dua perbedaan, yaitu pada saat menggunakan ketebalan integrasi 0,20 meter dan 0,40 meter. Gambar 8 dan Gambar 9 memperlihatkan sebaran nilai SV saat integrasi 0,20 m dan 0,40 m pada setiap lintang dan bujur sepanjang lintasan penelitian. Sebaran nilai SV pada setiap integrasi dibagi dalam 11 kelas. Perbedaan dalam setiap selang kelas sebesar 3 db untuk lebih mempermudah dalam melihat pola sebaran yang dihasilkan. Berdasarkan Gambar 8 dan Gambar 9 dapat diperoleh keterangan bahwa nilai hambur balik volum dasar perairan dengan menggunakan data Sv maksimum pada ketebalan integrasi 0,20 m dan 0,40 m mempunyai selang nilai yang sama, tetapi memiliki jumlah frekuensi yang berbeda pada selang nilai yang sama. Nilai SV pada saat ketebalan integrasi 0,20 meter memiliki nilai maksimum sebesar

50 10,36 db, nilai minimum sebesar 43,33 db, dan ratarata sebesar 13,64 db. Nilai SV pada saat ketebalan integrasi 0,4 meter memiliki nilai maksimum sebesar 10,34 db, nilai minimum sebesar 43,33 db, dan ratarata sebesar 11,69 db. Adapun perbedaan nilai hambur balik volum dasar perairan di sepanjang lintasan penelitian diduga dipengaruhi oleh berbagai tipe substrat. Pulau Pari berdasarkan hasil analisis citra dengan Citra Landsat ETM + oleh Wikanti (2004) diketahui bahwa material penyusun lahannya merupakan sedimentasi pasir, sedangkan kelima pulau lainnya adalah karang bercampur dengan pasir. Berdasarkan hasil studi Pujiyati (2008) menyatakan bahwa nilai hambur balik dasar perairan dari pantulan E1 di setiap substrat di Kepulauan Seribu menunjukkan hambur balik dasar perairan dari substrat karang memiliki nilai yang paling besar diikuti hambur balik dari substrat pasir, pasir berliat, pasir berlumpur, dan lumpur berpasir. Data hasil pengukuran berdasarkan studi Purnawan (2009) menyatakan bahwa kisaran nilai bottom backscattering strength dasar laut bersubstrat pasir di gugusan Pulau Pari sebesar 16,35 db hingga 9,74 db. Nilai tersebut diperoleh dengan menggunakan dua variabel akustik yang didapatkan dari hasil pengukuran yaitu bottom volume backscattering strength (SV b ) dan bottom surface backscattering strength (SS b ), dimana keduanya diperoleh dari nilai maksimum SV raw data. Nilai hasil studi Purnawan (2009) tidak jauh berbeda dengan nilai SV pada penelitian ini, yaitu memiliki nilai ratarata pada integrasi 0,2 m sebesar 13,64 db, dan nilai ratarata pada integrasi 0,40 m sebesar 11,69 db.

51 Lintang Selatan (derajat) P.Tikus P.Kongsi Tengah P.Kongsi Barat P.Tengah P.Pari P.Burung P.Kongsi Timur Bujur Timur (derajat) Keterangan : 43,33 db s.d 40,33 db 40,33 db s.d 37,33 db 37,33 db s.d 34,33 db 34,33 db s.d 31,33 db 31,33 db s.d 28,33 db 28,33 db s.d 25,33 db 25,33 db s.d 22,33 db 22,33 db s.d 19,33 db 19,33 db s.d 16,33 db 16,33 db s.d 13,33 db 13,33 db s.d 10,33 db Gambar 8. Sebaran Nilai Backscattering Volume (Sv) E1 Pada Ketebalan Integrasi 0,2 m

52 Lintang Selatan (derajat) P.Tikus P.Kongsi Tengah P.Kongsi Barat P.Tengah P.Pari P.Burung P.Kongsi Timur Bujur Timur (derajat) Keterangan : 43,33 db s.d 40,33 db 40,33 db s.d 37,33 db 37,33 db s.d 34,33 db 34,33 db s.d 31,33 db 31,33 db s.d 28,33 db 28,33 db s.d 25,33 db 25,33 db s.d 22,33 db 22,33 db s.d 19,33 db 19,33 db s.d 16,33 db 16,33 db s.d 13,33 db 13,33 db s.d 10,33 db Gambar 9. Sebaran Nilai Backscattering Volume (Sv) E1 Pada Ketebalan Integrasi 0.4 m

53 Pada Tabel 5 disajikan sebaran nilai berupa selang kelas dan frekuensi kemunculan nilai SV pada integrasi 0,20 m dan 0,40 m berdasarkan nilai E1. Hubungan antara antara jumlah frekuensi yang bervariasi dengan besarnya kisaran nilai SV pada integrasi 0,20 m dan 0,40 m juga disajikan pada bentuk grafik, yaitu pada Gambar 10 dan Gambar 11. Sebaran nilai SV pada ketebalan integrasi 0,20 m dan integrasi 0,40 m dapat dilihat dari perbedaan warna yang menandakan pada selang kelas berapa lingkaran berwarna tersebut mendominasi lintasan lintasan penelitian. Nilai SV pada integrasi 0,20 m lebih kecil daripada nilai SV pada integrasi 0,40 m. Peta sebaran nilai SV pada integrasi 0,20 m terlihat bahwa warna lingkaran yang mendominasi adalah warna merah bata yaitu pada selang 16,33 db sampai 13,33 db dan dengan ratarata nilai sebesar 14,81 db. Sebaran nilai SV pada selang kelas 16,33 db sampai 13,33 db terdapat pada posisi dari pantai hingga ke laut dengan frekuensi kemunculan sebesar 331. Berdasarkan hasil yang di dapat nilai SV pada selang 16,33 db sampai 13,33 menyatakan bahwa substrat pasir mendominasi dasar perairan pada posisi tersebut, dimana distribusi pasir terjadi hingga ke laut yang terbawa oleh arus yang kuat dan pada posisi yang dekat dengan pantai dikarenakan pasir di daerah pantai mudah sekali mengendap. Arus di pantai lebih kecil daripada arus di laut, sehingga pasir yang berukuran megaskopis menyebabkan pasir sangat mudah mengendap di daerah pantai. Sebaran nilai SV memiliki frekuensi minimum pada selang 37,33 db sampai 34,33 db dan ratarata nilai sebesar 35,73 db, dengan jumlah frekuensi kemunculan sebesar 5.

54 Berdasarkan hasil integrasi perairan sebesar 0,40 m dapat diketahui bahwa sebaran nilai SV memiliki jumlah maksimum sebesar 386 yaitu pada selang 13,33 db sampai 10,33 db dan dengan ratarata nilai sebesar 11,84 db. Sebaran nilai SV ini berada pada posisi dari pantai hingga ke laut, yang menandakan bahwa substrat pasir yang terdapat di sepanjang lintasan penelitian tidak hanya mengendap di sekitar pantai, namun adanya arus yang besar mampu membawa distribusi pasir ke laut yang menyebabkan substrat pasir mengendap di laut karena ukurannya yang megaskopis. Sebaran nilai SV memiliki frekuensi minimum pada selang 37,33 db sampai 34,33 db dan pada selang 34,33 db sampai 31,33 db, dengan frekuensi masingmasing sebesar 5. Ratarata nilai SV pada selang kelas yang berfrekuensi minimum sebesar 35,73 db dan 32,87 db. Secara keseluruhan didapatkan bahwa nilai SV pada E1 menggambarkan kekasaran dasar perairan. Berdasarkan nilai pantulan hamburan balik dasar perairan yang terdapat pada ketebalan integrasi 0,20 meter dan 0,40 meter dapat diketahui bahwa nilai pantulan pada integrasi 0,20 m lebih kecil daripada integrasi 0,40 meter. Hal ini terjadi karena setiap lapisan substrat perairan memiliki kepadatan yang berbeda. Semakin ke dalam dasar perairan maka sedimen akan semakin padat. Pada hasil yang telah diperoleh diduga bahwa pada lapisan 0,20 m memiliki sedimen yang bersifat tidak kompak (uncosolidated) yaitu sedimen yang selalu siap terurai sehingga dengan kekuatan arus yang lemah sekalipun berakibat partikel mudah lepas. Sedimen pada lapisan 0,40 m akan semakin kompak (consolidated) dibandingkan dengan sedimen pada lapisan 0,20 m. Hal ini menjelaskan bahwa nilai SV pada lapisan 0,20 m lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai pantulan pada lapisan 0,40 m. Berdasarkan hasil studi Pujiyati (2008) menunjukkan bahwa pada lapisan1 nilai

55 hambur balik dasar perairan sangat kecil dan semakin menuju lapisan4 nilai hambur balik dasar perairan semakin besar. Tabel 6. Kisaran Nilai SV terhadap Frekuensi Kemunculan Selang Kelas Nilai SV Frekuensi Kemunculan (db) Integrasi 0,20 m Integrasi 0,40 m 43,33 s.d 40, ,33 s.d 37, ,33 s.d 34, ,33 s.d 31, ,33 s.d 28, ,33 s.d 25, ,33 s.d 22, ,33 s.d 19, ,33 s.d 16, ,33 s.d 13, ,33 s.d 10, Gambar 10. Grafik Kisaran Nilai SV pada E1 dengan Frekuensi Pada Integrasi 0,20 m

56 Gambar 11. Grafik Kisaran Nilai SV pada E1 dengan Frekuensi Pada Integrasi 0,40 m 4.5. Perbedaan Ketebalan Integrasi Dasar Perairan Perbedaan ketebalan integrasi dasar perairan pada 0,20 m dan 0,40 m sepanjang lintasan penelitian secara keseluruhan dapat dilihat berdasarkan nilai SVE1. Berdasarkan nilai SVE1 pada ketebalan integrasi 0,20 m memiliki nilai berbeda nyata daripada SVE1 pada integrasi 0,40 m. Hal ini dibuktikan hasil dari ujit pada selang kepercayaan 95%, dimana hasil analisis dari ujit menunjukkan bahwa thitung bernilai 11, 69 > ttabel bernilai 2,05 yang artinya bahwa H 0 ditolak atau data berbeda nyata. Perbedaan nilai SV pada data enam stasiun grab juga menunjukkan adanya perbedaan dengan melakukan ujit. Hasil analisis ujit pada enam stasiun grab menunjukkan bahwa hasil integrasi pada ketebalan 0,20 m berbeda nyata dengan hasil integrasi pada ketebalan 0,40 m dengan selang kepercayaan 70%, dimana hasil analisis dari ujitt menunjukkan bahwa thitung bernilai 11, 69 > t tabel bernilai 1,06 yang artinya bahwa H 0 ditolak atau data berbeda nyata (Lampiran 8). Hal ini dapat diduga bahwa substrat pada lapisan lebih dalam

57 bersifat tidak kompak (unconsolidated) bila dibandingkan substrat pada lapisan atas, meskipun memiliki jenis substrat yang sama, selain itu juga dapat dilihat bahwa substrat permukaan lebih beragam sehingga menghasilkan nilai SV yang lebih bervariasi. Perbedaan absorbsi yang berbeda di lapisan atas dan lapisan bawah juga turut mempengaruhi nilai SV. Dimana absorbsi di lapisan atas lebih kecil dibandingkan absorpsi lapisan bawah.

58 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa hasil dari enam stasiun grab dimana satu stasiun bersubstrat pasir berlumpur dan lima stasiun lainnya bersubstrat pasir. Nilai SV pertama (E1) dan kedua (E2) pada substrat pasir berlumpur memiliki nilai lebih kecil dibandingkan dengan nilai SV pada substrat pasir. Nilai SV E1 pada integrasi 0,20 meter lebih kecil dibandingkan dengan nilai SV pada integrasi 0,40 meter Saran Diperlukan data stasiunstasiun grab yang lebih banyak, sehingga dapat mempresentasikan sebaran sedimen di seluruh perairan Kepulauan Pari.

59 DAFTAR PUSTAKA Allo,O. A Klasifikasi Habitat Dasar Perairan dengan Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 di Perairan Sumur, Pandeglang Banten. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. (Skripsi). Ardi, S Pemanfaatan Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir. Makalah. Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor. (7 Agustus 2008). Burczynski, J Bottom Classification. BioSonics, Inc. (25 Agustus 2008). Caruthers, J. W. dan Fisher, C. A Remote Sediment Classification Using Acoustical Techniques. Final Report for Task 5, FY 01. The University of Southern Mississippi. Department of Marine Science. America. Chester, R Marine Geochemistry. Department of Earth Sciences, University of Liverpool. London. hal 448. Clarke, P. A. dan Hamilton, L. J The ABCS Program for the Analysis of Echo Sounder Returns for Acoustic Bottom Classification. DSTOGD Aeronautical and Maritime Research Laboratory. DSTODepartment of Defence. Australia. Collins, W. T. dan McConnaughey, R. A Acoustic Classification of the Sea Floor to Address Essential Fish Habitat and Marine Protected Area Requirements. Quester Tangent Corporation. Sidney, British Columbia. DO Minimising errors in estimating fish population and biomass densities using the 'acoustic volume backscattering strength' method. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research, 1987, Vol. 21: (27 Agustus 2008). Effendi, H Telaah Kualitas Air Bagi: Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK, IPB, Bogor. Ferrini, V. L. dan Flood, R. D The Effects of FineScale Surface Roughness and Grain Size on 300 khz Multibeam Backscatter Intensity in Sandy Marine Sedimentary Environments. Journal of Marine Geology, 2006, Vol. 228: Garrison, T Essentials of Oceanography. 4 th edition. Thomson Learning, Inc. USA.

60 Hutabarat, S. dan M. E. Stewart Pengantar Oseanografi. IUPress. Jakarta. Kloser, R. J., N. J. Bax, T. Ryan, A. Williams dan B. A. Baker Remote sensing of seabed types in the Australian South East Fishery development and application of normal incident acoustic techniques and associated ground truthing. Journal of Marine and Freshwater Research 552: Nybakken, J. W Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Odum, E Dasardasar Ekologi. Gajah Mada Iniversity Press. Yogyakarta. Pujiyati, S Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Pendugaan Klasifikasi Tipe Substrat Dasar Perairan dan Hubungannya dengan Komunitas Ikan Demersal. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. (Disertasi). Purnawan, S Analisis model Jackson pada Sedimen Berpasir Menggunakan Metode Hidroakustik di Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. (Tesis). Schlagintweit, G. E. O Realtime acoustic bottom classification: a field evaluation of RoxAnn. Proceedings of Ocean 93: Siwabessy, P. J. W, Penrose, J. D, Fox, D. R dan Kloser, R. J Bottom Classification in the Continental Shelf: A Case Study for the NorthWest and SouthEast Shelf of Australia. Australian Acoustical Society Conference. Joondalup, Australia. Siwabessy, P. J. W An investigation of the relationship between seabed type and benthic and benthopelagic biota using acoustic techniques. The Curtin University of Technology. Australia. (Tesis) Siwabessy, P. J. W An Investigation of The Relationship between Seabed Type and Benthic and BenthoPelagic Biota Using Acoustic Tecniques. School of Applied Science. The Curtin University of Technology. Australia. (Disertasi). Sugiyono Statistika untuk Penelitian. Alfabeta, Bandung. Syafitra, R Pemanfaatan Instrumen Akustik Furuno dalam Mengestimasi Sumberdaya Hayati di Perairan Laut Cina Selatan. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. (SkripsiTidak Dipubikasikan). Thurman, H. V. dan Alan, P. T Introductory Oceanography. 10 th edition. Pearson Education, Inc. New Jersey. Odum, E. P Fundamentals of Ecology. 3ed. W. B. Squnders Company, Tokyo.Japan.

61 Urick, R. J Principles of Underwater Sound, 3rd ed. McGrawHill. New York. Wibisono, M. S Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta. Wikanti Studi Identifikasi Karakteristik Pulau Kecil Menggunakan Data LANDSAT dengan Pendekatan Geomorfologi dan Penutup Lahan: Studi Kasus Kepulauan Pari dan Kepulauan Belakangsedih. Makalah. Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor. ipb/07314/wikanti_a.pdf (7 Agustus 2008). (25 Agustus 2008).

62 L A M P I R A N

63 Lampiran 1. SIMRAD EY 60 Frekuensi Pulse duration Lebar beam Transmitt power Panjang Lebar : 120 khz : 0,256 ms : 7 : 50 watt : 30 cm : 40 cm Lampiran 2. GPS Merk : GARMIN Panjang : 15 cm Lebar : 6,5 cm

64 Lampiran 3. Kapal Penelitian Nama Kapal : BARUNA (5GT) Lampiran 4. Van veen grab (Ponar Grab) Ukuran : 20 cm x 20 cm

65 Lampiran 5. Integrasi E1 dan E2 E1 E2 Lampiran 6. Saringan Bertingkat

66 Lampiran 7. Pengujian Statististika (Uji t) E1 seluruh data dengan selang kepercayaan 95% Nilai backscattering volume E1 pada integrasi 0,2 meter dan 0,4 meter Pengujian dengan menggunakan dua arah Hipotesis: H 0 : µ 0,2 = µ 0,4 H 1 : µ 0,2 µ 0,4 Mean Variable 1 Variable Variance Observations Pooled Variance 8 Hypothesized Mean Difference 0 df t Stat 9 P(T<=t) onetail 1.37E t Critical onetail 1 P(T<=t) twotail 2.74E12 t Critical twotail t Stat adalah t hitung dan t critical adalah t tabel t Stat > t critical; 11,69>2,05 berada di daerah tolakan Jadi nilai backscaterring volume E1 sepanjang lintasan penelitian pada integrasi 0,2 meter dan 0,4 meter berbeda nyata secara signifikan pada selang kepercayaan 95%.

67 Lampiran 8. Pengujian Statististika (Uji t) E1 pada enam stasiun grab dengan selang kepercayaan 70% Nilai backscattering volume E1 pada integrasi 0,2 meter dan 0,4 meter Pengujian dengan menggunakan dua arah Hipotesis: H 0 : µ 0,2 = µ 0,4 H 1 : µ 0,2 µ 0,4 Variable Variable 1 2 Mean Variance Observations 6 6 Pooled Variance Hypothesized Mean Difference 0 df 10 t Stat P(T<=t) onetail t Critical onetail P(T<=t) twotail t Critical twotail t Stat adalah t hitung dan t critical adalah t tabel t Stat < t critical; 1,13<1,09 berada di daerah tolakan Jadi nilai backscaterring volume E1 pada integrasi 0,2 meter dan 0,4 meter berbeda nyata secara signifikan pada selang kepercayaan 70%.

68 Lampiran 9. Pengujian Statististika (Uji t) E2 pada enam stasiun grab dengan selang kepercayaan 70% Nilai backscattering volume E2 pada integrasi 0,2 meter dan 0,4 meter Pengujian dengan menggunakan dua arah Hipotesis: H 0 : µ 0,2 = µ 0,4 H 1 : µ 0,2 µ 0,4 Vari able 1 Variable 2 Mean Variance Observations 6 6 Pooled Variance Hypothesized Mean Difference 0 df 10 t Stat P(T<=t) onetail t Critical onetail P(T<=t) twotail t Critical twotail t Stat adalah t hitung dan t critical adalah t tabel t Stat < t critical; 0,07<1,09 berada di daerah tolakan

69 Jadi nilai backscaterring volume E2 pada integrasi 0,2 meter dan 0,4 meter berbeda nyata secara signifikan pada selang kepercayaan 70%. Fraksi sedime n Lampiran 10. Contoh hasil analisis sedimen pada stasiun grab Stasiun 1 Ukuran butiran (mm) Berat (gram) Presentase Fraksi % berat Jenis Sedim en Berat Kumulatif Pasir Pasir 12 0,9969 5, , Pasir 86, Berlum pur 0,51 0,796 4, , ,25 0,8768 5, ,6237 0,5 36 0,125 4, ,775 42, , ,065 7, ,986 86, , Lanau 0,004 0,063 2, , Lumpur 13, Lempu ng <0, Total 17,0875 Fraksi sedime n Stasiun 2 Ukuran butiran (mm) Berat (gram) Presentase ksi Fra berat % Jenis Sedime n Berat Kumulatif Pasir Pasir 12 9, , ,48975 Pasir 96,95171 Sangat Halus 35, ,51 2,0105 6,

70 0,25 3, ,856 46, ,5 18 0,125 14,122 43,940 46, , ,065 2,0601 6, , , Lanau 0,004 0,9797 3, Lumpur 3, , Lempu ng <0, Total Fraksi sedim en Stasiun 3 Ukuran butiran (mm) Berat (gram) Presentase Fraksi % berat Jenis Sedi men Berat 17, ,87295 Kumulatif 17, ,45296 Pasir 96,11394 Pasir Sanga t Halus Pasir 12 4,6738 0,51 1,8152 6, , ,25 0,5 3,1344 0,125 54, ,7371 0,25 14,274 0, , , ,125 1,4759 Lanau 0,004 3, Lumpur 3, ,063 1,0259 Lemp <0, ung Total 26,399 5 Stasiun 4 Fraksi sedimen Ukuran butiran (mm) Berat (gram) Presentase Fraksi % berat Jenis Sedimen Berat Kumulatif Pasir Sangat Halus Pasir 12 3, , ,13301 Pasir 93, ,51 1,2287 5, , ,25 2,1441 9, , ,5 0,125 0,25 9, , ,12359

71 0,065 4, , , ,125 Lanau 0,004 0,063 1,4934 6, Lumpur 6, Lempung <0, Total 21,878 Fraksi sedim en Stasiun 5 Ukuran butiran (mm) Berat (gram) Presentase Fraksi % berat J enis Sedime n Berat Kumulatif Pasir Sangat Halus Pasir 12 7, , ,74873 Pasir 96, ,51 2,2903 7, , ,25 3, , , ,5 0,125 11,999 38, , ,25 3 0,065 4, , , ,125 Lanau 0,004 1,0458 3, Lumpur 3, ,063 Lemp ung <0, Total 30,922 6 Fraksi sedim en Stasiun 6 Ukuran butiran (mm) Berat (gram) Pasir 12 6,559 0,51 0,25 1,677 3,1169 5, , , ,46584 Presentase Fraksi % berat Jenis Sedi men Berat 21,64544 Kumulatif 21,64544 Pasir 97,05102 Pasir Sanga t Halus

72 0,5 0,125 0,25 0,065 15, ,2126 0,125 Lanau 0,004 0,8936 0,063 Lemp ung <0,004 Total 30,302 52, ,291 7, , , Lumpur 2,

73 Lampiran 11. Contoh data hasil integrasi echogram pada Echoview 4.0 No File N o ESDU Posisi E1 E2 Lint ang Buju r Integrasi 0.2 Integrasi 0.4 Integrasi 0.2 Integrasi 0.4 SV Max Dep th Mean SV Max Dep th Mean S v Max Dep th Mean S v Max Dep th Mean T

74

75

76

77

78

79 Lampiran 12. Nilai SV (db) E1 dan E2 sepanjang lintasan penelitian E1 (db) E2 (db) No File Integrasi 0,2 m Integrasi 0,4 m Integrasi 0,2 m Integrasi 0,4 m 1 T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T

80 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, 28 Oktober 1987 dari ayah yang bernama R.Sinambela dan ibu bernama N.Hutajulu. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 90 Jakarta. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai anggota di Departemen Hubungan Luar dan Komunikasi (HUBLUKOM) periode dan asisten mata kuliah Akustik Kelautan periode Penulis aktif dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dalam komunikasi Komisi Pendidikan. Dalam rangka penyelesaian studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakasanakan penelitian dengan judul Perbedaan Ketebalan Integrasi Dasar Perairan Dengan Instrumen Hidroakustik Di Perairan Kepulauan Pari.

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji (1987), paparan Arafura (diberi nama oleh Krummel, 1897) ini terdiri dari tiga

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Arief Wijaksana C64102055 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 Juli 2011 yang meliputi tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari sampai 3 Februari 2011 di perairan Kepulauan Seribu. Wilayah penelitian mencakup di

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian dasar perairan dapat digunakan secara luas, dimana para ahli sumberdaya kelautan membutuhkannya sebagai kajian terhadap habitat bagi hewan bentik (Friedlander et

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakukan mulai

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 1 Mei 2013: 31-39 ISSNN 2087-4871 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 (THE RELATION

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT P P Staf P P Peneliti E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 1, Hal. 59-67, Juni 2010 EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI

Lebih terperinci

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU Oleh: Munawir C64102020 PR AN TEKNOLOGI KELAUTAN AN DAN I Lm KELAUTAN INSTITUT PERTANLAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret September 2011 dengan menggunakan data berupa data echogram dimana pengambilan data secara in situ dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama dua hari, yaitu pada 19-20 November 2008 di perairan Aceh, Lhokseumawe (Gambar 3). Sesuai

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan lanjutan yang dilakukan dari bulan Juli sampai bulan Agustus menggunakan data hasil olahan dalam bentuk format *raw.dg yang

Lebih terperinci

UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK MULYANI

UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK MULYANI UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK MULYANI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG Pendugaan Kelimpahan dan Sebaran Ikan... Metode Akustik di Perairan Belitung (Fahmi, Z.) PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG ABSTRAK Zulkarnaen

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut Seluruh permukaan dasar laut ditutupi oleh partikel-partikel sedimen yang telah diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun. Sedimen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian. 30 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data hasil survei akustik yang dilaksanakan oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen Perikanan Tangkap, KKP RI pada bulan Juni

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Profil Kecepatan Suara Profil kecepatan suara (SVP) di lokasi penelitian diukur secara detail untuk mengurangi pengaruh kesalahan terhadap data multibeam pada

Lebih terperinci

PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER

PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER KORSUES LUMBAN GAOL SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING

KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING SISTEM SONAR KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA 2012-64-0 MILYAN U. LATUE 2013-64-0 DICKY 2013-64-0 STELLA L. TOBING 2013-64-047 KARAKTERISASI PANTULAN AKUSTIK KARANG MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER SINGLE BEAM Baigo Hamuna,

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH P. Ika Wahyuningrum AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH Suatu teknologi pendeteksian obyek dibawah air dengan menggunakan instrumen akustik yang memanfaatkan suara dengan gelombang tertentu Secara

Lebih terperinci

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI PENGUKURAN NILAI DAN SEBARAN TARGET STRENGTH IKAN PELAGIS DAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM ACOUSTIC SYSTEM) DI LAUT A MFUM PADA BULAN OKTOBER-NOPEMBER 2003 Oleh :

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Bentuk Pertumbuhan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Bentuk Pertumbuhan Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang merupakan satu kesatuan dari berbagai jenis karang. Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

KOMPOSISI BUTIRAN PASIR SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU

KOMPOSISI BUTIRAN PASIR SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU KOMPOSISI BUTIRAN PASIR SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU 1) oleh: Devy Yolanda Putri 1), Rifardi 2) Alumni Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru 2) Dosen Fakultas

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 HIDAYANTO AKBAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lamun Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup di perairan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 12 m dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Praktikum m.k Sedimentologi Hari / Tanggal : PRAKTIKUM-3 ANALISIS SAMPEL SEDIMEN. Oleh

Praktikum m.k Sedimentologi Hari / Tanggal : PRAKTIKUM-3 ANALISIS SAMPEL SEDIMEN. Oleh Praktikum m.k Sedimentologi Hari / Tanggal : Nilai PRAKTIKUM-3 ANALISIS SAMPEL SEDIMEN Oleh Nama : NIM : PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Lebih terperinci

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN Oleh : Ahmad Parwis Nasution PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pasang Surut Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik

Lebih terperinci

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sedimen dasar permukaan Hasil analisis sedimen permukaan dari 30 stasiun diringkas dalam parameter statistika sedimen yaitu Mean Size (Mz Ø), Skewness (Sk

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA

HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA Oleh: Syahrul Purnawan C64101022 PROGRAM STUD1 ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. (http://id.wikipedia.org/wiki/sonar, 2 April 2009). Berdasarkan sistemnya, ada

2. TINJAUAN PUSTAKA. (http://id.wikipedia.org/wiki/sonar, 2 April 2009). Berdasarkan sistemnya, ada 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sonar Sonar merupakan alat pendeteksian bawah air yang menggunakan gelombang suara untuk mendeteksi kedalaman serta benda-benda di dasar laut (http://id.wikipedia.org/wiki/sonar,

Lebih terperinci

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Oleh : Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Prof. Dr. Indra Jaya, M.Sc Ir. Indarto H.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak kurang dari 70% dari permukaan bumi adalah laut. Atau dengan kata lain ekosistem laut merupakan lingkungan hidup manusia yang terluas. Dikatakan bahwa laut merupakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Gangguan Pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Audio Yang Dipancarkan Pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat audio generator

Lebih terperinci

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN 3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN Pendahuluan Keberadaan sumberdaya ikan, baik ikan pelagis maupun demersal dapat diduga dengan menggunakan metode hidroakustik (Mitson 1983). Beberapa keuntungan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan. Scientific Echosounder Simrad EY 60

Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan. Scientific Echosounder Simrad EY 60 56 Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan Scientific Echosounder Simrad EY 60 Kapal Survei Pipa Paralon berdiameter 7,6 cm (3 inch) dan Sekop Dongle Echoview 57 Lampiran 2. Foto Tipe Substrat

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda dan Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Kegiatan penelitian ini terbagi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK

MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK MUHAMMAD FAHRUL RIZA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf PENGARUH FREKUENSI GELOMBANG TERHADAP RESOLUSI DAN DELINEASI PERLAPISAN SEDIMEN BAWAH PERMUKAAN DARI DUA INSTRUMEN AKUSTIK YANG BERBEDA DI SUNGAI SAGULING Subarsyah dan M. Yusuf Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA Oleh : Eko Minarto* 1) Heron Surbakti 2) Elizabeth Vorandra 3) Tjiong Giok Pin 4) Muzilman Musli 5) Eka

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

4. BAHAN DAN METODA. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4. BAHAN DAN METODA. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 41 4. BAHAN DAN METODA 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan dua data yaitu (1) data primer yang diperoleh saat penulis mengikuti riset pada tahun 2002, yang merupakan bagian dari

Lebih terperinci

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1 3 METODOLOGI Secara garis besar metode penelitian dalam disertasi ini berkaitan dengan permasalahan identifikasi kawanan ikan secara hidroakustik yang berkaitan dengan pengukuran dan pemrosesan data hidroakustik,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc Oleh Satria Yudha Asmara Perdana 1105 100 047 Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Bawean memiliki atraksi pariwisata pantai yang cukup menawan, dan sumber

Lebih terperinci

6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri

6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri 6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian 6.1.1 Batimetri Hasil pemetaan batimetri dari data echogram maupun data topex di seluruh perairan Laut Jawa (termasuk perairan Belitung) menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hidroakustik 4.1.1. Profil Batimetri Laut Selatan Jawa Pada Gambar 10. terlihat profil batimetri Laut Selatan Jawa yang diperoleh dari hasil pemetaan batimetri, dimana dari

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG RIYAN HADINAFTA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM Pengukuran dan Analisis Nilai Hambur. Klasifikasi Dasar Perairan Delta Mahakam (Ningsih E.N., et al) PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM ACOUSTIC

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defmisi Sedimen Sedimen adalah partikel organik dan anorganik yang terakumulasi secara bebas (Duxbury et al, 1991). Sedimen didefinisikan secara luas sebagai material yang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN.

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN. as-' PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN Oleh : Natalia Trita Agnilta C64102012 PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

II BAHAN DAN METODE. II.1 Faktor yang Mengontrol Pergerakan Sedimen

II BAHAN DAN METODE. II.1 Faktor yang Mengontrol Pergerakan Sedimen II BAHAN DAN METODE Sedimen merupakan fragmentasi material yang berasal dari pemecahan batuan akibat proses fisis dan kimiawi (van Rijn, 1993). Di kawasan pesisir, pasokan sedimen terutama berasal dari

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai 27 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai dengan Juli 2012. Data yang digunakan merupakan data mentah (raw data) dari

Lebih terperinci

DASAR LAUT 1. Bentukan-bentukan dasar laut

DASAR LAUT 1. Bentukan-bentukan dasar laut DASAR LAUT Pengetahuan kita mengenai topografi dasar laut bermula dari pemetaan-pemetaan yang sudah sejak lama dilakukan orang. Pada mulanya pengetahuan ini diperoleh dengan cara mengukur kedalaman laut

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan data side scan sonar yang berasal dari survei lapang untuk kegiatan pemasangan kabel PLN yang telah dilakukan oleh Pusat

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci