Bab III Teori Dasar III.1 Kekayaan Material Organik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab III Teori Dasar III.1 Kekayaan Material Organik"

Transkripsi

1 Bab III Teori Dasar III.1 Kekayaan Material Organik Jumlah material organik yang ada pada batuan dinyatakan sebagai nilai karbon organik total (TOC/Total Organic Carbon) dalam satuan persen dari batuan dalam keadaan kering. Nilai TOC digunakan sebagai salah satu parameter untuk tahap seleksi awal terhadap batuan sehingga dapat dipisahkan antara batuan yang tidak menarik dan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Menurut Waples (1985) batuan yang mengandung TOC kurang dari 0,5% dipertimbangkan sebagai batuan yang memiliki potensi sebagai batuan induk hidrokarbon yang dapat diabaikan, hal ini karena jumlah dari hidrokarbon yang dapat dihasilkan dari batuan tersebut sangat kecil sehingga tidak memungkinkan terjadinya ekspulsi (Tabel III.1). Tabel III.1 Indikasi batuan yang berpotensi sebagai batuan induk berdasarkan nilai TOC (Waples, 1985). Nilai TOC (%) Implikasi sebagai batuan induk < 0,5% Kapasitas sebagai batuan induk dapat diabaikan 0,5% - 1,0% Kapasitas sebagai batuan induk terbatas 1,0% - 2,0% Kapasitas sebagai batuan induk sedang > 2,0% Kapasitas sebagai batuan induk baik Batuan yang mengandung TOC antara 0,5% - 1,0% memiliki kemampuan yang terbatas. Batuan tersebut tidak akan berfungsi sebagai batuan induk yang efektif, akan tetapi masih dapat mengekspulsi sejumlah kecil hidrokarbon. Batuan yang mengandung TOC lebih dari 1% merupakan batuan induk yang penting. Batuan yang mengandung TOC antara 1% - 2% berasosiasi dengan lingkungan pengendapan transisi antara oksidasi dan reduksi sedangkan batuan yang mengandung TOC di atas 2% berasosiasi dengan lingkungan pengendapan reduksi tingkat tinggi sehingga batuan tersebut memiliki potensi terbaik sebagai batuan induk. 18

2 III.2 Tipe Material Organik Jumlah dan komposisi maseral dari kerogen menentukan potensi minyak dan dapat berbeda secara lateral atau vertikal dalam batuan induk (Peters dan Cassa, 1994). Interpretasi dari observasi yang dilakukan pada umumnya membagi maseral-maseral menjadi maseral yang menghasilkan minyak, gas dan tidak menghasilkan apa-apa. Kelompok maseral liptinit, seperti alginit, eksinit, resinit, kutinit dan sporinit, yang menghasilkan minyak merupakan kerogen Tipe I dan kerogen Tipe II, sedangkan kelompok maseral vitrinit yang menghasilkan gas merupakan kerogen Tipe III (Gambar III.1 dan Tabel III.2). Gambar III.1 Diagram hubungan antara kelompok maseral dengan tipe kerogen yang terbentuk, terlihat kelompok maseral liptinit (sporinit, kutinit, alginit dan resinit membentuk kerogen Tipe I dan II, sedangkan kelompok maseral vitrinit membentuk kerogen tipe III (Peters dan Cassa, 1994). 19

3 Tabel III.2 Tipe kerogen, maseral penyusunnya dan material organik asalnya (Waples, 1985). Maseral Tipe Material organik asal Kerogen Alginit Eksinit Kutinit Resinit I II II II Alga air tawar Polen, spora Lapisan lilin tanaman Resin tanaman Liptinit II Lemak tanaman, alga laut Vitrinit Inertinit III IV Material tumbuhan tinggi (kayu, selulosa) Arang, material tersusunulang yang teroksidasi Berdasarkan hasil analisis pirolisis Rock-Eval dapat diketahui nilai S1, S2 dan S3 dinyatakan dalam satuan miligram hidrokarbon. Parameter S1 menunjukkan jumlah hidrokarbon yang sudah ada di dalam batuan semenjak pengendapan ditambah dengan hidrokarbon yang terbentuk di bawah permukaan, S2 mencerminkan sisa kapasitas pembentukan hidrokarbon, S3 adalah jumlah kandungan oksigen di dalam kerogen (Waples, 1985). Data mentah S1, S2 dan S3 selanjutnya dinormalisasi dengan kandungan karbon organik dari sampel, menghasilkan harga dalam satuan miligram per gram dari TOC. Nilai S2 dan S3 yang telah dinormalisasi selanjutnya disebut sebagai indeks hidrogen dan indeks oksigen, karena beberapa variasi dari TOC telah dihilangkan pada saat perhitungan normalisasi, maka indeks hidrogen berfungsi sebagai indikator dari tipe kerogen. Indeks hidrogen harus dikoreksi sehubungan dengan efek maturasi dengan menggunakan diagram van Krevelen yang telah dimodifikasi (Gambar III.1). Interpretasi indeks hidrogen untuk kekurangmatangan ditunjukkan dalam Tabel III.3. 20

4 Tabel III.3 Potensi kerogen kurang matang berdasarkan indeks hidrogen (Waples, 1985). Indeks hidrogen Produk utama Jumlah relatif (mg HC/g TOC) < 150 Gas Sedikit Minyak dan gas Sedikit Minyak Sedang Minyak Banyak > 600 Minyak Sangat banyak Menurut Waples (1985) bahwa indeks hidrogen di bawah 150 miligram hidrokarbon/gram TOC mengindikasikan ketidakhadiran sejumlah material lemak yang menghasilkan minyak dan mencerminkan kerogen sebagai tipe III dan IV. Indeks hidrogen di atas 150 miligram hidrokarbon/gram TOC menunjukkan peningkatan material kaya lemak, yang dapat berasal dari maseral darat (kutinit, resinit, eksinit) atau dari material alga laut. Karena itu kerogen dengan indeks hidrogen di antara 150 dan 300 miligram hidrokarbon/gram TOC mengandung lebih banyak kerogen tipe III daripada kerogen tipe II sehingga memiliki kemampuan terbatas hingga cukup untuk berpotensi menghasilkan minyak. Kerogen dengan indeks hidrogen di atas 300 miligram hidrokarbon/gram TOC pada umumnya mengandung maseral tipe II sehingga dipertimbangkan sebagai sumber yang berpotensi menghasilkan hidrokarbon cair. Kerogen dengan indeks hidrogen di atas 600 miligram hidrokarbon/gram TOC pada umumnya murni terdiri dari kerogen tipe I atau tipe II sehingga merupakan sumber yang berpotensi menghasilkan hidrokarbon cair. III.3 Kematangan Batuan Induk III.3.1 Reflektansi vitrinit Pengukuran reflektansi vitrinit dimulai dengan cara mengisolasi kerogen dengan menggunakan HCl dan HF, kemudian menempelkan partikel kerogen pada epoxy plug. Setelah plug digosok, dengan menggunakan mikroskop khusus, partikel vitrinit disinari dengan cahaya. Fraksi dari sorotan yang direfleksikan secara koheren diukur dengan alat photomultiplier dan direkam untuk selanjutnya 21

5 disimpan secara otomatis di dalam komputer. Jika partikel vitrinit ditemukan dalam jumlah yang banyak maka pengukuran akan diambil sebanyak 50 kali. Pada akhir analisis, akan dihasilkan sebuah histogram dari data yang telah diambil. Hasil pengukuran akan ditampilkan dalam bentuk nilai R o, o mengindikasikan bahwa pengukuran dibuat dengan plug yang dicelupkan ke dalam minyak. Harga reflektansi biasanya diplot dengan kedalaman pada suatu sumur. Jika reflektansi linear, maka profil kurvanya adalah garis lengkung. Jika digunakan skala semilog maka plotnya akan berupa garis lurus (Gambar III.2) Menurut Waples (1985) bahwa kerogen pada umumnya akan mulai menghasilkan minyak pada saat nilai R o sekitar 0,6%. Hasil puncak akan didapat pada saat sekitar nilai R o sekitar 0,9% sedangkan akhir dari proses menghasilkan minyak diperkirakan pada saat nilai R o sekitar 1,35%. Gambar III.2 Dua cara mengeplot reflektansi vitrinit versus kedalaman. Plot pada semilog menghasilkan garis lurus jika tidak ada ketidakselarasan atau peristiwa termal (diambil dari Waples, 1985). 22

6 III.3.2 Temperatur pirolisis (T maks ) Temperatur pada saat laju maksimum pirolisis tercapai (puncak S2) dapat digunakan sebagai indikator kematangan. Dengan bertambahnya kematangan, bertambah pula T maks (Gambar III.3). T maks diperoleh secara otomatis bersama dengan data pirolisis lain pada waktu analisis Rock-Eval. Gambar III.3 Karakterisasi kematangan batuan induk dengan metode pirolisis. Rasio transformasi dan/atau puncak temperatur T maks dapat digunakan untuk indikator evolusi termal (diambil dari Tissot dan Welte, 1984). III.3.3 Analisis Bitumen Perkiraan kematangan dari fraksi bitumen dapat dibuat menggunakan data dari normal alkana, sterana, triterpana dan porfirin yang diperoleh dari gas kromatografi, GC-MS-MS. Menurut Waples dan Machihara (1991) salah satu perbedaan penting antara kematangan batuan induk yang ditentukan dari biomarker dan kematangan yang ditentukan dari analisis kerogen (reflektansi vitrinit, Indeks Alterasi Termal, pirolisis T maks dan lain-lain) adalah bahwa kerogen sifatnya tidak bergerak 23

7 (immobile). Oleh karena itu kematangannya sama sebagai kematangan batuan atau sedimen pada saat ditemukan. Biomarker dalam fraksi bitumen yang bergerak dari batuan dan sedimen, sebaliknya, dapat digunakan sebagai indikator kematangan untuk batuan atau sedimen hanya jika bitumen tersebut pribumi (indigenous) Biomarker dalam minyak adalah berharga untuk menilai tingkat kematangan minyak pada waktu terbentuk, dengan syarat bahwa minyak telah tersimpan pada suhu cukup rendah untuk memperkecil kematangan di dalam reservoar. III.4 Atribut Organofasies (Biomarker) Kebanyakan senyawa-senyawa dan kelas senyawa yang ditemukan dalam minyak dan bitumen disebut sebagai biomarker yang merupakan kependekan dari biological marker. Senyawa ini, yang berasal dari molekul perintis biogenik, pada dasarnya merupakan fosil molekul. Kegunaan terpenting dari biomarker adalah sebagai indikator dari organisme tempat bitumen atau minyak berasal, atau sebagai indikator kondisi diagenetik pada saat material organik terpendam. Pada beberapa keadaan tertentu, prazat tertentu atau molekul dapat diidentifikasi, sedangkan pada keadaan lain kita hanya dapat membatasi kemungkinan prazatnya menjadi beberapa jenis saja (Tabel III.4). Pada kebanyakan keadaan, bagaimana pun juga, walaupun kita mengetahui secara pasti bahwa molekul biomarker adalah biogenik, kita tidak dapat menggunakannya sebagai fosil indeks untuk organisme tertentu. Tabel III.4 Kelas penting dari biomarker dan prazatnya (Waples, 1985). Biomarker Prazat alkana normal ( > C 22 ) alkana normal ( < C 22 ) isoprenoid ( < C 20 ) isoprenoid ( > C 20 ) triterpana sterana lilin tumbuhan darat lemak alga berbagai macam klorofil lemak atau klorofil dari alga hipersalin triterpenoid bakteri steroid 24

8 III.5 Alkana Normal Alkana normal merupakan salah satu biomarker pertama yang dipelajari secara luas. Adanya konsentrasi tinggi dari alkana normal pada bitumen dan minyak diakibatkan oleh keberadaannya pada tumbuhan dan lemak alga serta formasi katagenik dari senyawa rantai panjang seperti asam lemak dan alkohol. Indikasi penting lain mengenai asal dari alkana normal adalah distribusi dari homolog, atau anggota dari seri alkana normal. Menurut Waples (1985) bahwa untuk sebagian besar alkana normal yang ada pada tumbuhan tingkat tinggi memiliki nomor ganjil dari atom karbon, terutama atom karbon 23, 25, 27, 29 dan 31 sedangkan secara kontras, alga laut memproduksi alkana normal yang memiliki distribusi maksimum pada atom karbon 17 atau 22, tergantung dari spesiesnya saat ini, sehingga bentuk distribusinya sangat tajam, dan tidak ada kecenderungan memiliki nomor ganjil atau genap dari atom karbon (Gambar III.4). Kebanyakan sedimen, tentunya, menerima kontribusi dari alkana normal baik dari arah darat maupun laut, sehingga bentuk distribusi alkana normal merefleksikan campuran antara keduanya. A C B D Gambar III.4 Berbagai macam bentuk distribusi alkana normal akibat adanya perbedaan asal material alkana normal. A. Distribusi alkana normal asal material darat, B. Distribusi alkana normal asal material darat dan alga laut, C dan D. Distribusi alkana normal asal material alga laut (Waples, 1985). 25

9 III.6 Isoprenoid Klorofil a merupakan sumber untuk sebagian besar molekul pristana dan fitana, yang merupakan dua dari isoprenoid yang umum digunakan (Gambar III.5). Isoprenoid C 16 sampai dengan C 18 pada dasarnya kemungkinan berasal dari klorofil a. Isoprenoid yang memiliki atom karbon 15 atau kurang, dapat berasal dari klorofil a atau klorofil bakteri yang memiliki isoprenoid C 15 yang menggantikan C 20 sebagai rantai sisi. Asal mula isoprenoid memiliki atom karbon dari 21 sampai dengan 25 tidak dapat dimengerti dengan baik, walaupun hal ini sepertinya terjadi pada sedimen evaporitik, sedangkan isoprenoid C 30 dan C 40 kemungkinan merupakan kontribusi dari beberapa spesies alga. struktur nama jumlah atom karbon pristana 19 fitana 20 Gambar III.5 Struktur dari isoprenoid pristana dan fitana (Waples, 1985). Menurut Illich (1983) bahwa rasio pristana terhadap fitana dapat digunakan sebagai indikator taraf oksigen selama proses diagenesis. Rasio yang tinggi dari perbandingan tersebut dianggap beasosiasi dengan sedimen yang dipengaruhi lingkungan darat (Tabel III.5). Tabel III.5 Perbandingan pistana dan fitana sebagai penunjuk lingkungan pengendapan (Waples, 1985). Tipe sedimen Pristana/fitana Sedimen laut anoksik <1 Sedimen laut oksik 1-3 batubara >3 III.7 Triterpana Sumber organisme untuk biomarker triterpana dipercaya berasal dari bakteri. Berbagai macam triterpenoid mengandung beberapa hal seperti grup OH dan 26

10 ikatan ganda yang telah dikarakterisasi sebagai unsur pokok yang penting dari membran sel pada bakteri. Suatu triterpenoid yang luas kemungkinan dihasilkan oleh di antara banyak tipe dari mikro organisme saat ini dalam lingkungan pengendapan yang berbeda, walaupun banyak hal-hal detail yang belum diketahui hingga saat ini. Secara khusus, terdapat perbedaan yang signifikan antara bakteri aerobik dan bakteri anaerobik, terutama metanogen. Transformasi dari triterpenoid menjadi triterpana kemungkinan terjadi bersamaan dengan transformasi dari sterol menjadi sterana. Arsitektur molekul umum dari triterpana pada umumnya sedikit dipengaruhi oleh proses diagenesis. Transformasi stereokimia pertama yang perlu diperhatikan adalah pembentukan pada saat awal diagenesis dari isomer 17α(H),21β(H). Geometri ini, yang stabil pada keadaan tertentu, memiliki hidrogen yang menyisip pada C-17 di konfigurasi alfa dan hidrogen pada C-21 di konfigurasi beta. Hopana dengan konfigurasi 17β(H),21β(H) (hopana ββ) hanya hadir pada conto yang kurang matang, dan seperti sterana yang kurang matang, menjadi kurang penting di dalam dunia geokimia minyak. Triterpana dapat dibagi menjadi tiga famili yang berbeda berdasarkan jumlah cincinnya. Triterpana yang dipelajari secara lebih mendalam memiliki lima cincin, dan oleh karena itu disebut sebagai pentasiklik. Senyawa ini terdiri dari atom karbon 27 sampai dengan 35, walaupun kadang-kadang dilaporkan memiliki atom karbon hingga 40. Triterpana lain yang juga dipelajari memiliki tiga cincin, dan oleh karena itu disebut sebagai trisiklik. Senyawa ini terdiri dari atom karbon 21 sampai dengan 40, akan tetapi lebih didominasi oleh atom karbon kurang dari 25. Famili yang ketiga adalah tetrasiklik, paling sedikit dipelajari dan sangat jelek dipahami (Waples dan Machihara, 1991) III.7.1 Triterpana Trisiklik Triterpana trisiklik bukan merupakan turunan dari triterpana pentasiklik, akan tetapi merupakan anggota dari famili genetik yang terpisah. Triterpana trisiklik mempunyai nomor atom karbon dari C 19 sampai dengan C 45 dan kemungkinan 27

11 terbentuk pada jumlah kecil dari bakteri yang sama yang menghasilkan triterpana pentasiklik, atau dari spesies mikro organisme lainnya yang menyintesisnya. Menurut Aquino Neto et al. (1983) bahwa pada triterpana trisiklik, kehadiran C 23 selalu mendominasi pada berbagai macam lingkungan pengendapan. Pada batuan karbonat, C 26 dan nomor atom karbon yang lebih besar secara relatif lebih lemah, sedangkan pada lingkungan pengendapan lainnya, kehadiran C 26 sampai dengan C 30 relatif sama dengan kehadiran C 29 sampai dengan C 25. Menurut Zumberge (1987) bahwa terdapat beberapa pola yang dapat dibedakan pada triterpana trisiklik mulai C 19 sampai dengan C 26 (Gambar III.6). Minyak yang berasal dari lingkungan pengedapan laut dikarakterisasikan antara lain dengan adanya dominasi ekstrim dari C 23, kehadiran dari C 26 atau nomor atom karbon yang lebih besar, C 21 yang lebih besar daripada C 20 dan C 20 lebih besar daripada C 19. Minyak yang berasal dari lingkungan pengendapan darat dikarakterisasikan antara lain dengan kehadiran C 23 yang tidak dominan, C 19 yang lebih dominan terhadap C 21, dan ketidakhadiran C 26 atau nomor atom karbon yang lebih besar. darat campuran darat dan alga alga terestial campuran laut lakustrin C19 C20 C21 C21 C23 C24 C25 C19 C20 C21 C21 C23 C24 C25 C19 C20 C21 C21 C23 C24 C25 Gambar III.6 Berbagai macam pola pada triterpana trisiklik yang dapat digunakan sebagai petunjuk lingkungan pengendapan (Price et al., 1987). III.7.2 Triterpana Pentasiklik Triterpana pentasiklik pada umumnya dibagi menjadi hopanoid dan nonhopanoid (Gambar III.7). Di dalam hopanoid terdapat hopana 17α(H),21β(H) yang sering disebut sebagai hopana dan hopana 17β(H),21α(H) yang sering disebut sebagai 28

12 moretana. Triterpana pentasiklik yang paling umum adalah hopana. Analisis terhadap hopana menunjukkan bahwa hopana mengandung atom karbon 27 sampai dengan 35 dan berbentuk seri homolog dengan konfigurasi 17α(H),21β(H). Menurut Seifert dan Moldowan (1980) bahwa rasio moretana terhadap hopana berfungsi sebagai indikator kematangan. Rasio yang rendah dari perbandingan tersebut dianggap berasosiasi dengan minyak yang sudah matang. Gambar III.7 Struktur dari triterpana pentasiklik yang menunjukkan adanya lima cincin pada rantai karbon (Waples dan Machihara, 1991). Setiap homolog berbeda dengan selanjutnya akibat adanya sisipan grup tunggal -CH 2 - pada sisi rantai dari cincin E. C 29 dan C 30 hopana 17α(H) tidak memiliki atom karbon kiral pada rantai sisinya. C 31 -C 40 hopana 17α(H) yang sering disebut sebagai homohopana, bagaimanapun juga, seluruhnya memiliki atom karbon kiral tunggal (C-22) pada rantai sisinya, dan karena itu hadir pada epimer 22R dan 22S. Karena perintis hopana yang dihasilkan secara biologis hanya terdapat dalam bentuk R, perpanjangan hopana yang baru terbentuk pada sedimen seluruhnya memiliki konfigurasi 22R. Sepasang hopana C 27 (trisnorhopana 17α(H)-22,29-30 dan trisnorneohopana 18α(H)-22,29-30), yang biasa disebut sebagai Tm dan Ts, sebenarnya juga hadir pada seluruh conto (Gambar III.8). Tm dipercaya mewakili struktur yang dihasilkan secara biologis. Menurut Jones dan Philp (1990) bahwa rasio Tm terhadap Ts dapat digunakan sebagai indikator kematangan relatif pada seri batuan atau minyak yang mewakili fasies yang sama. Bertambahnya kematangan, 17α(H)-trisnoropana, Tm secara berangsur-angsur menghilang dan 18α(H)- trisnorneohopana, Ts bertambah (Waples dan Machihara, 1991) 29

13 Tm Ts Gambar III.8 Struktur dari Tm dan Ts (Waples dan Machihara, 1991). Struktur lain dari molekul yang dapat diidentifikasi dari triterpana pentasiklik adalah dua hopana yaitu bisnorhopana 28,30 dan trisnorhopana 25,28,30 dan beberapa nonhopanoid seperti gammaserana dan senyawa familinya yang disebut sebagai oleanana (Gambar III.9). Menurut Ekweozor dan Udo (1988) bahwa oleanana dipercaya berasal dari angiosperma atau tumbuhan darat yang menghasilkan resin dalam jumlah banyak. Kehadiran oleanana pada lingkungan laut kemungkinan akibat proses transportasi dari sumber darat. bisnorhopana gammaserana trisnorhopana oleanana Gambar III.9 Struktur dari bisnorhopana, trisnorhopana, gammaserana dan oleanana (Waples dan Machihara, 1991). 30

14 III.8 Sterana Sterana berasal dari sterol yang ditemukan pada sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi dan alga serta jarang atau tidak ditemukan pada organisme prokariotik. Empat perintis sterol utama yang mengandung atom karbon 27, 28, 29 dan 30 telah diidentifikasi pada organisme fotosintetik. Sterol ini memberikan kenaikan jumlah pada keempat sterana umum yang berbeda selama proses diagenesis. Keempat sterana ini dapat disebut sebagai homolog atau anggota dari seri homolog karena mereka hanya dibedakan oleh tambahan berupa sekuen dari -CH 2 - pada tempat tertentu di molekul. Penggunaan kata umum mengindikasikan rangka karbon yang sama dengan prazat biologisnya. Terdapat beberapa macam penamaan terhadap sterana C 27 -C 29 (Gambar III.10). Pada sistem penamaan yang pertama, setiap sterana mempunyai nama yang berbeda berdasarkan asal dari sterol umum dengan jumlah atom karbon yang sama. Secara berurutan nama untuk C 27 sampai dengan C 29 adalah kolestana, ergostana dan sitostana. Pada sistem penamaan lainnya, setiap sterana dinamakan sebagai homolog dari kolestana yaitu kolestana, metilkolestana 24 dan etilkolestana 24. Gambar III.10 Struktur dari sterana C 27 -C 30 yang berasal dari sterol. C 27 adalah kolestana, C 28 adalah ergostana atau metilkolestana 24, C 29 adalah sitostana atau etilkolestana 24, C 30 adalah propilkolestana 24 (Waples dan Machihara 1991). 31

15 Struktur detail dari sterana yang baru terbentuk dan perintis sterolnya pada umumnya dianggap identik kecuali adanya sejumlah kekurangan oksigen dan proses hidrogenasi dari ikatan ganda. Pada keadaan tertentu, seluruh sterana yang baru terbentuk dipercaya hanya hadir pada epimer 20R karena bentuk tersebut hanya dihasilkan secara biologis. Bukti terakhir, bagaimanapun juga, menyarankan bahwa perubahan stereokimia terjadi pada C-14 dan C-17 selama proses diagenesis. Molekul yang terjadi pada sterol memiliki atom hidrogen pada konfigurasi alfa di kedua posisinya. Bentuk ini dikenal luas sebagai 5α(H),14α(H),17α(H) atau 14α(H),17α(H) atau secara lebih sederhana disebut sebagai ααα atau αα. Walaupun sebagian besar proses diagenesis yang menghasilkan sterana didominasi oleh bentuk αα akan tetapi bentuk αββ atau ββ juga dapat dihasilkan selama proses diagenesis, seperti pada lingkungan hipersalin. Menurut Huang dan Meinschein (1979) dikutip dari Waples dan Machihara (1991) bahwa proporsi relatif dari C 27 -C 29 pada sterol biasa yang berasal dari organisme hidup berhubungan dengan lingkungan tertentu sehingga sterana pada sedimen kemungkinan menyediakan informasi lingkungan purba yang berharga (Gambar III.11). Jumlah yang lebih besar dari sterol C 29 mengindikasikan kontribusi yang kuat dari darat sedangkan dominasi dari C 27 mengindikasikan kontribusi yang kuat dari fitoplankton laut. C 28 memiliki jumlah yang pada umumnya lebih rendah jika dibandingkan dengan kedua sterol lainnya, akan tetapi jumlah yang relatif besar dari biasanya mengindikasikan kontribusi yang kuat dari alga lakustrin. 32

16 lakustrin plankton laut terbuka estuarin darat tumbuhan tingkat tinggi Gambar III.11 Diagram segitiga yang menunjukkan ketergantungan lingkungan dari komposisi sterol pada organisme. Diambil dari Waples dan Machihara (1991). Sterana bisa juga dipakai untuk menentukan kematangan suatu batuan induk yaitu dengan menggunakan perbandingan antara dua bentuk epimer (20R dan 20S) dari αα sterana, yang populer digunakan adalah 20S/(20R+20S) dengan bertambahnya kematangan perbandingan 20S bertambah sebagai suatu dari perubahan konfigurasi molekul 20R (Gambar III.12). Pada akhir kesetimbangan dua bentuk tercapai, tersusun kira-kira 55% 20S dan 45% 20R. Gambar III.12 Perubahan yang dapat dibalik dari epimer 20R dan 20S akibat bertambahnya kematangan. Diambil dari Waples dan Machihara (1991). 33

17 III.9 Isotop Karbon Nilai isotop karbon diaplikasikan pada dua pembahasan utama dari geokimia minyak yaitu sebagai indikator dari lingkungan pengendapan dan sebagai alat di dalam korelasi minyak-minyak dan minyak-batuan induk. Nilai ini didapat dari ekstrak batuan atau fraksi saturasi dan aromatik C 15+ dari minyak. Korelasi positif didapatkan jika fraksi yang sama dari minyak yang berbeda hanya dipisahkan oleh nilai kurang dari 1. Komposisi isotopik dari minyak dapat berubah karena kematangan dan kemungkinan efek migrasi dan karena ketidakseragaman organik minor pada material sumber. Menurut Sofer (1984) bahwa isotop karbon dapat digunakan untuk membedakan antara minyak yang berasal dari lingkungan pengendapan laut dan minyak yang berasal dari lingkungan pengendapan darat. Nilai tersebut disebut sebagai Cv yang merupakan singkatan dari Canonical value, yang didapat dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut: Cv = 2.53 δ 13 C sat δ 13 C aro Nilai Cv lebih besar dari 0,47 mengindikasikan minyak yang didominasi oleh sumber yang berasal dari material organik darat sedangkan nilai Cv lebih kecil dari 0,47 mengindikasikan minyak yang didominasi oleh sumber yang berasal dari material organik laut. 34

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Batuan Induk Batuan induk merupakan batuan sedimen berbutir halus yang mampu menghasilkan hidrokarbon. Batuan induk dapat dibagi menjadi tiga kategori (Waples, 1985), di antaranya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Korelasi geokimia petroleum merupakan salah satu pendekatan untuk pemodelan geologi, khususnya dalam memodelkan sistem petroleum. Oleh karena itu, studi ini selalu dilakukan dalam

Lebih terperinci

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM 4.1 Analisis Sampel Sampel yang dianalisis dalam studi ini berupa sampel ekstrak dari batuan sedimen dan sampel minyak (Tabel 4.1). Sampel-sampel ini diambil dari beberapa sumur

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi

Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi IV.1 Kekayaan dan Kematangan Batuan Induk IV.1.1 Kekayaan Kekayaan batuan induk pada daerah penelitian dinilai berdasarkan kandungan material organik yang ada pada batuan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Peta lokasi daerah penelitian yang berada di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Satyana, 2005). Lokasi daerah penelitian

Bab I Pendahuluan. Peta lokasi daerah penelitian yang berada di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Satyana, 2005). Lokasi daerah penelitian Bab I Pendahuluan I.1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian adalah studi batuan induk hidrokarbon di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Gambar I.1), sedangkan objek penelitian meliputi data geokimia

Lebih terperinci

Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi X Cekungan Y. Proposal Tugas Akhir. Oleh: Vera Christanti Agusta

Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi X Cekungan Y. Proposal Tugas Akhir. Oleh: Vera Christanti Agusta Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi X Cekungan Y Proposal Tugas Akhir Oleh: Ditujukan kepada: FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2014 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Bab III Interpretasi Data Geokimia

Bab III Interpretasi Data Geokimia Bab III Interpretasi Data Geokimia III.1. Umum Data yang diperlukan dalam pembuktian hipotesis ini terdiri atas dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data sumur serta data

Lebih terperinci

STUDI BATUAN INDUK HIDROKARBON DI CEKUNGAN JAWA TIMUR BAGIAN BARAT TESIS

STUDI BATUAN INDUK HIDROKARBON DI CEKUNGAN JAWA TIMUR BAGIAN BARAT TESIS STUDI BATUAN INDUK HIDROKARBON DI CEKUNGAN JAWA TIMUR BAGIAN BARAT TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh DANIS AGOES WILOSO NIM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan penggerak di seluruh aspek kehidupan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Energi diartikan sebagai daya (kekuatan) yang dapat digunakan untuk melakukan

Lebih terperinci

Geokimia Minyak & Gas Bumi

Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi merupakan aplikasi dari ilmu kimia yang mempelajari tentang asal, migrasi, akumulasi serta alterasi minyak bumi (John M. Hunt, 1979). Petroleum biasanya

Lebih terperinci

BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM

BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM 4.1 PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai Prospect Generation pada interval Anggota Main, Formasi Cibulakan Atas di Daerah Osram yang merupakan

Lebih terperinci

Geokimia Organik 5. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi - Pembentukan Minyak Bumi - Pentingnya Waktu dan Suhu dalam Pembentukan Minyak Bumi

Geokimia Organik 5. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi - Pembentukan Minyak Bumi - Pentingnya Waktu dan Suhu dalam Pembentukan Minyak Bumi Geokimia Organik 5. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi - Pembentukan Minyak Bumi - Pentingnya Waktu dan Suhu dalam Pembentukan Minyak Bumi - Migrasi Hidrokarbon - Komposisi Minyak Bumi - Terbentuknya

Lebih terperinci

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis Geokimia Organik Diagenesis Proses yang mempengaruhi produk dari produksi primer yang terjadi selama pengendapan dan tahap awal pembusukan di bawah kondisi temperatur dan tekanan yang relatif rendah Transformasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam melakukan eksplorasi hingga pengembangan lanjut di daerah suatu lapangan, diperlukan pemahaman akan sistem petroleum yang ada. Sistem petroleum mencakup batuan

Lebih terperinci

BIOMARKER SEBAGAI INDEKS KEMATANGAN TERMAL MINYAK BUMI LAPANGAN TARAKAN

BIOMARKER SEBAGAI INDEKS KEMATANGAN TERMAL MINYAK BUMI LAPANGAN TARAKAN BIOMARKER SEBAGAI INDEKS KEMATANGAN TERMAL MINYAK BUMI LAPANGAN TARAKAN Ine Mustikasari Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta, Jln Pemuda 10 Rawamangun,

Lebih terperinci

KARAKTERISASI DAN KORELASI GEOKIMIA BATUAN INDUK DAN MINYAK DI BLOK JABUNG, SUB-CEKUNGAN JAMBI, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR

KARAKTERISASI DAN KORELASI GEOKIMIA BATUAN INDUK DAN MINYAK DI BLOK JABUNG, SUB-CEKUNGAN JAMBI, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR KARAKTERISASI DAN KORELASI GEOKIMIA BATUAN INDUK DAN MINYAK DI BLOK JABUNG, SUB-CEKUNGAN JAMBI, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi syarat menyelesaikan sarjana S1 Program Studi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hidrokarbon Alifatik (n-alkana) 4.1.1. Identifikasi hidrokarbon alifatik Identifikasi hidrokarbon alifatik (n-alkana) dilakukan dengan melihat kromatogram senyawa alifatik

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO

UNIVERSITAS DIPONEGORO UNIVERSITAS DIPONEGORO EVALUASI BATUAN INDUK FORMASI TANJUNG BERDASARKAN DATA GEOKIMIA HIDROKARBON PADA LAPANGAN ROSSA DI CEKUNGAN MAKASSAR SELATAN, INDONESIA TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN MAKSUD

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN MAKSUD BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Hidrokarbon masih menjadi sumber energi utama di dunia yang digunakan baik di industri maupun di masyarakat. Bertolak belakang dengan meningkatnya permintaan, hidrokarbon

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISASI MINYAK BUMI BERDASARKAN SIDIKJARI BIOMARKER DI INDONESIA BAGIAN BARAT ANGGI YUSRIANI

STUDI KARAKTERISASI MINYAK BUMI BERDASARKAN SIDIKJARI BIOMARKER DI INDONESIA BAGIAN BARAT ANGGI YUSRIANI STUDI KARAKTERISASI MINYAK BUMI BERDASARKAN SIDIKJARI BIOMARKER DI INDONESIA BAGIAN BARAT ANGGI YUSRIANI 0305030077 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN KIMIA

Lebih terperinci

OLEH : Ayu Puji Budiarti ( ) Pembimbing : Prof. Dr. R. Y. Perry Burhan

OLEH : Ayu Puji Budiarti ( ) Pembimbing : Prof. Dr. R. Y. Perry Burhan OLEH : Ayu Puji Budiarti (1405 100 050) Pembimbing : Prof. Dr. R. Y. Perry Burhan Kelangkaan minyak bumi batubara cukup banyak bentuk batubara kurang efektif analisa senyawa biomarka pencairan batubara

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO

UNIVERSITAS DIPONEGORO UNIVERSITAS DIPONEGORO Evaluasi Batuan Induk dan Studi Karakterisasi untuk Korelasi Minyak Bumi-Batuan Induk Berdasarkan Analisis Geokimia Biomarker dan Isotop Karbon Stabil pada Sumur Bayan-2, Cekungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Karbon organik merupakan unsur yang penting selain hidrogen, oksigen serta nitrogen dan dalam bentuk senyawa merupakan dasar bagi semua kehidupan. Sumber bahan organik pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lapangan Devon merupakan salah satu lapangan migas yang sudah berproduksi, dimana lapangan tersebut adalah bagian dari Blok Jabung yang dikelola oleh Petrochina Indonesia.

Lebih terperinci

Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan Kematangan

Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan Kematangan Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan Kematangan Reza Mohammad Ganjar Gani, Yusi Firmansyah, Nisa Nurul Ilmi Abstrak Fokus

Lebih terperinci

STUDI GEOKIMIA DAN PEMODELAN KEMATANGAN BATUAN INDUK FORMASI TALANGAKAR PADA BLOK TUNGKAL, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STUDI GEOKIMIA DAN PEMODELAN KEMATANGAN BATUAN INDUK FORMASI TALANGAKAR PADA BLOK TUNGKAL, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN BULLETIN OF GEOLOGY Scientific Group of Geology, Faculty of Earth Sciences and Technology Institut Teknologi Bandung (ITB) STUDI GEOKIMIA DAN PEMODELAN KEMATANGAN BATUAN INDUK FORMASI TALANGAKAR PADA BLOK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO STUDI FAMILI MINYAK DI LAPANGAN EDELWEISS DAN CRISAN SERTA KORELASI TERHADAP KEMUNGKINAN BATUAN INDUK, CEKUNGAN JAWA TIMUR

UNIVERSITAS DIPONEGORO STUDI FAMILI MINYAK DI LAPANGAN EDELWEISS DAN CRISAN SERTA KORELASI TERHADAP KEMUNGKINAN BATUAN INDUK, CEKUNGAN JAWA TIMUR UNIVERSITAS DIPONEGORO STUDI FAMILI MINYAK DI LAPANGAN EDELWEISS DAN CRISAN SERTA KORELASI TERHADAP KEMUNGKINAN BATUAN INDUK, CEKUNGAN JAWA TIMUR TUGAS AKHIR ELOK ANNISA DEVI 21100113120033 FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Cekungan Jawa Timur merupakan salah satu cekungan minyak yang produktif di Indonesia. Dari berbagai penelitian sebelumnya, diketahui melalui studi geokimia minyak

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan 1. Kandungan air bawaan batubara relatif menjadi turun pada setiap penurunan kedalaman dari lapisan bagian atas (roof) menuju lapisan bagian bawah (floor)

Lebih terperinci

JURNAL TEKNOLOGI TECHNOSCIENTIA ISSN: Vol. 9 No. 2 Februari 2017

JURNAL TEKNOLOGI TECHNOSCIENTIA ISSN: Vol. 9 No. 2 Februari 2017 PENGGUNAAN STERANA DAN ISOTOP KARBON UNTUK MENENTUKAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN ASAL MATERIAL ORGANIK PADA CEKUNGAN JAWA TIMUR BAGIAN BARAT Danis Agoes Wiloso 1 1 Jurusan Teknik Geologi, Institut Sains &

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GEOKIMIA MINYAK BUMI DAN BATUAN INDUK DI SUB-CEKUNGAN ARDJUNA TENGAH, CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA

HUBUNGAN ANTARA GEOKIMIA MINYAK BUMI DAN BATUAN INDUK DI SUB-CEKUNGAN ARDJUNA TENGAH, CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA HUBUNGAN ANTARA GEOKIMIA MINYAK BUMI DAN BATUAN INDUK DI SUB-CEKUNGAN ARDJUNA TENGAH, CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA Yusron Yazid, Dr. Eng. Ir. Agus Didit Haryanto MT., Dr. Ir. Johanes Hutabarat M.Si Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus

BAB I PENDAHULUAN. Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus didiskusikan para ahli. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan pada zona ini diawali dengan

Lebih terperinci

Minyak dan gas bumi merupakan sumber energi yang. tidak dapat diperbaharui. Kebutuhan minyak bumi tidak hanya

Minyak dan gas bumi merupakan sumber energi yang. tidak dapat diperbaharui. Kebutuhan minyak bumi tidak hanya BAB PENDAHULUAN Minyak dan gas bumi merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui. Kebutuhan minyak bumi tidak hanya sebagai sumber energi saja, tetapi juga sebagai bahan baku plastik, pupuk, pestisida

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan minyak baru di Indonesia diyakini masih tinggi walaupun semakin sulit

BAB I PENDAHULUAN. lapangan minyak baru di Indonesia diyakini masih tinggi walaupun semakin sulit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan eksplorasi minyak dan gas bumi menjadikan penelitian dan pengoptimalan studi cekungan lebih berkembang sehingga potensi untuk mencari lapangan

Lebih terperinci

KANDUNGAN MATERIAL ORGANIK DAN SIFAT GEOKIMIA BATULEMPUNG PALEOGEN DAN NEOGEN DI CEKUNGAN SERAYU: Suatu Analisis Potensi Batuan Induk Hidrokarbon

KANDUNGAN MATERIAL ORGANIK DAN SIFAT GEOKIMIA BATULEMPUNG PALEOGEN DAN NEOGEN DI CEKUNGAN SERAYU: Suatu Analisis Potensi Batuan Induk Hidrokarbon KANDUNGAN MATERIAL ORGANIK DAN SIFAT GEOKIMIA BATULEMPUNG PALEOGEN DAN NEOGEN DI CEKUNGAN SERAYU: Suatu Analisis Potensi Batuan Induk Hidrokarbon E. Slameto, H. Panggabean dan S. Bachri Pusat Survei Geologi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Asam Lemak a. Asam lemak saturasi Identifikasi asam lemak dilakukan berdasarkan hasil kromatogram senyawa asam lemak yang telah direkam selama 5 menit. Karakteristik asam lemak

Lebih terperinci

ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON LAPANGAN X CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON LAPANGAN X CEKUNGAN SUMATERA SELATAN ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON LAPANGAN X CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Budi Muljana Laboratorium Stratigarfi, FMIPA, Universitas Padjadjaran ABSTRACT South Sumatra Basin belong to back-arc basin that is one

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerogen tipe III. - H/C < 1,0 dan O/C > 0,3 - Menghasikan minyak. Kerogen tipe IV

BAB I PENDAHULUAN. Kerogen tipe III. - H/C < 1,0 dan O/C > 0,3 - Menghasikan minyak. Kerogen tipe IV BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuan Induk (Source Rock) adalah batuan karbonat yang berasal dari zat-zat organic yang terendapkan oleh batuan sedimen. Sehingga tidak terjadi siklus carbon seperti

Lebih terperinci

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT Praptisih 1, Kamtono 1, dan M. Hendrizan 1 1 Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Jl. Sangkuriang Bandung 40135 E-mail: praptisih@geotek.lipi.go.id

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON DAN ESTIMASI PERHITUNGAN VOLUME HIDROKARBON PADA BATUAN INDUK AKTIF, CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA

UNIVERSITAS DIPONEGORO ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON DAN ESTIMASI PERHITUNGAN VOLUME HIDROKARBON PADA BATUAN INDUK AKTIF, CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA UNIVERSITAS DIPONEGORO ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON DAN ESTIMASI PERHITUNGAN VOLUME HIDROKARBON PADA BATUAN INDUK AKTIF, CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA TUGAS AKHIR SYAHRONIDAVI AL GHIFARI 21100113120019 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV ESTIMASI SUMBER DAYA HIDROKARBON PADA FORMASI PARIGI

BAB IV ESTIMASI SUMBER DAYA HIDROKARBON PADA FORMASI PARIGI BAB IV ESTIMASI SUMBER DAYA HIDROKARBON PADA FORMASI PARIGI 4.1 Pendahuluan Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan analisis untuk memperkirakan sumber daya hidrokarbon di daerah penelitian.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CONTO BATUAN SERPIH MINYAK FORMASI SANGKAREWANG, DI DAERAH SAWAHLUNTO - SUMATERA BARAT, BERDASARKAN GEOKIMIA ORGANIK

KARAKTERISTIK CONTO BATUAN SERPIH MINYAK FORMASI SANGKAREWANG, DI DAERAH SAWAHLUNTO - SUMATERA BARAT, BERDASARKAN GEOKIMIA ORGANIK KARAKTERISTIK CONTO BATUAN SERPIH MINYAK FORMASI SANGKAREWANG, DI DAERAH SAWAHLUNTO - SUMATERA BARAT, BERDASARKAN GEOKIMIA ORGANIK Oleh: Robet Lumban Tobing Pusat Sumber Daya Geologi Jln. Soekarno - Hatta

Lebih terperinci

STUDI GEOKIMIA HUBUNGAN BATUAN INDUK CINTAMANI DAN JANTUNG DENGAN MINYAK BUMI BLOK OK, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STUDI GEOKIMIA HUBUNGAN BATUAN INDUK CINTAMANI DAN JANTUNG DENGAN MINYAK BUMI BLOK OK, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STUDI GEOKIMIA HUBUNGAN BATUAN INDUK CINTAMANI DAN JANTUNG DENGAN MINYAK BUMI BLOK OK, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Muhammad Arief Lagoina 1*, Ildrem Syafri 2, Yoga Andriana S. 3, Bayu Sapta F. 4. 1, 2, 3

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Lempeng mikro Sunda. Pada awalnya Cekungan Asri merupakan satu bagian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Lempeng mikro Sunda. Pada awalnya Cekungan Asri merupakan satu bagian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Asri Berdasarkan tinjauan geologi regional, Cekungan Asri terletak di bagian ujung tenggara dari Lempeng Eurasia dan secara lebih spesifik merupakan

Lebih terperinci

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau Kampus Binawidya, Pekanbaru, 28293, Indonesia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau Kampus Binawidya, Pekanbaru, 28293, Indonesia KAJIAN BIOMARKER MINYAK BUMI KULIM KM 7, DURI-BENGKALIS, RIAU DENGAN MINYAK BUMI BANGKO-ROHIL DALAM MENENTUKAN KORELASI, KEMATANGAN DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN Orititovya 1, Emrizal Mahidin Tamboesai 2,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR...... iv SARI...... v DAFTAR ISI...... vi DAFTAR GAMBAR...... x DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH GEOLOGI MINYAK TAHUN AJARAN 2011 / 2012

TUGAS MATA KULIAH GEOLOGI MINYAK TAHUN AJARAN 2011 / 2012 TUGAS MATA KULIAH GEOLOGI MINYAK TAHUN AJARAN 2011 / 2012 Dibuat Oleh : Maizar yudha putra NPM : 09.11.108.700602. 000590 PROGRAM STUDI GEOLOGI PERTAMBANGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Katalis CaO Terhadap Kuantitas Bio Oil

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Katalis CaO Terhadap Kuantitas Bio Oil BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Katalis CaO Terhadap Kuantitas Bio Oil Kuantitas bio oil ini menunjukkan bahwa banyaknya dari massa bio oil, massa arang dan massa gas yang dihasilkan dari proses pirolisis

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... DAFTAR ISI Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract...... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... i iii iv v viii xi xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai gabungan antara senyawa hidrokarbon (unsur karbon dan hidrogen) dan nonhidrokarbon (unsur oksigen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang berada di belakang busur dan terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Cekungan Sumatera

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Analisa Data Litologi dan Stratigrafi Pada sumur Terbanggi 001, data litologi (Tabel 4.1) dan stratigrafi (Tabel 4.2) yang digunakan untuk melakukan pemodelan diperoleh

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

GEOKIMIA MINYAK BUMI

GEOKIMIA MINYAK BUMI GEOKIMIA MINYAK BUMI Tugas Mata Kuliah Geokimia Oleh : Dwi Indriyati H1F007005 KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK JURUSAN TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi di dunia, dibutuhkan pengembangan dalam mengeksplorasi dan memproduksi minyak dan gas bumi tersebut. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksplorasi hidrokarbon memerlukan pemahaman mengenai cekungan tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses terbentuknya cekungan, konfigurasi

Lebih terperinci

FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO UNIVERSITAS DIPONEGORO KORELASI ANTARA BATUAN INDUK DAN MINYAK BUMI BERDASARKAN ANALISIS GEOKIMIA HIDROKARBON PADA SUMUR LUK-2, SUB-CEKUNGAN JAMBI, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR LUKLUK MAHYA RAHMAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang terbentuk di permukaan bumi dari akumulasi sisa-sisa material organik dan anorganik. Material organik tumbuhan merupakan unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara merupakan endapan sedimen yang terdiri dari komponen organik dan anorganik, bagian organik disebut maseral sedangkan bagian anorganik disebut mineral. Karakteristik

Lebih terperinci

Atom unsur karbon dengan nomor atom Z = 6 terletak pada golongan IVA dan periode-2 konfigurasi elektronnya 1s 2 2s 2 2p 2.

Atom unsur karbon dengan nomor atom Z = 6 terletak pada golongan IVA dan periode-2 konfigurasi elektronnya 1s 2 2s 2 2p 2. SENYAWA ORGANIK A. Sifat khas atom karbon Atom unsur karbon dengan nomor atom Z = 6 terletak pada golongan IVA dan periode-2 konfigurasi elektronnya 1s 2 2s 2 2p 2. Atom karbon mempunyai 4 elektron valensi,

Lebih terperinci

II Kerogen II Kematangan II.2.2 Basin Modeling (Pemodelan Cekungan) II.3 Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN...

II Kerogen II Kematangan II.2.2 Basin Modeling (Pemodelan Cekungan) II.3 Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii IZIN PENGGUNAAN DATA... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR

Lebih terperinci

GENESIS DAN KARAKTERISASI GEOKIMIA DI LAPANGAN SUBAN, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN TESIS MAGISTER OLEH MOHAMMAD KUSUMA UTAMA NIM:

GENESIS DAN KARAKTERISASI GEOKIMIA DI LAPANGAN SUBAN, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN TESIS MAGISTER OLEH MOHAMMAD KUSUMA UTAMA NIM: GENESIS DAN KARAKTERISASI GEOKIMIA DI LAPANGAN SUBAN, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN TESIS MAGISTER OLEH MOHAMMAD KUSUMA UTAMA NIM: 22006022 BIDANG KHUSUS MIGAS PROGRAM STUDI MAGISTER GEOLOGI PROGRAM PASCA

Lebih terperinci

Addres: Fb: Khayasar ALKANA. Rumus umum alkana: C n H 2n + 2. R (alkil) = C n H 2n + 1

Addres: Fb: Khayasar ALKANA. Rumus umum alkana: C n H 2n + 2. R (alkil) = C n H 2n + 1 ALKANA Rumus umum alkana: C n H 2n + 2 R (alkil) = C n H 2n + 1 Alkana Adalah rantai karbon yang memiliki ikatan tunggal (jenuh) A. Alkana 1. Alkana disebut juga senyawa hidrokarbon jenuh (senyawa parafin).

Lebih terperinci

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya Bab V Pembahasan V.1 Peringkat Batubara Peringkat batubara merupakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara dalam proses pembatubaraan. Tahapan ini sangat dipengaruhi oleh proses diagenesa yang melibatkan

Lebih terperinci

KAJIAN BIOMARKER STEARANA UNTUK MENUNJUKKAN HUBUNGAN GENETIK MINYAK BUMI DURI RIAU, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

KAJIAN BIOMARKER STEARANA UNTUK MENUNJUKKAN HUBUNGAN GENETIK MINYAK BUMI DURI RIAU, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH SNHKI 2011 KAJIAN BIOMARKER STEARANA UNTUK MENUNJUKKAN HUBUNGAN GENETIK MINYAK BUMI DURI RIAU, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH Emrizal Mahidin Tamboesai Jurusan Sain Kimia Universitas Riau Kampus Bina Widya Km

Lebih terperinci

Qi Adlan Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

Qi Adlan Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran GENESIS DAN KORELASI HIDROKARBON MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA BATUAN INDUK DAN MINYAK BUMI, DI LAPANGAN LEPAS PANTAI BARAT MADURA, CEKUNGAN LAUT JAWA TIMUR UTARA NORTHEAST JAVA SEA BASIN SOURCEROCK AND

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu cekungan Tersier yang mempunyai prospek hidrokarbon yang baik adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat atau sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi yang cukup besar, baik dari jumlah minyak dan gas yang telah diproduksi maupun dari perkiraan perhitungan

Lebih terperinci

kimia MINYAK BUMI Tujuan Pembelajaran

kimia MINYAK BUMI Tujuan Pembelajaran K-13 kimia K e l a s XI MINYAK BUMI Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami definisi dan pembentukan minyak bumi. 2. Memahami fraksi-fraksi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BATUAN INDUK HIDROKARBON DAN HUBUNGANNYA DENGAN REMBESAN MINYAK DI LAPANGAN MINYAK CIPLUK, KABUPATEN KENDAL, PROVINSI JAWA TENGAH

KARAKTERISTIK BATUAN INDUK HIDROKARBON DAN HUBUNGANNYA DENGAN REMBESAN MINYAK DI LAPANGAN MINYAK CIPLUK, KABUPATEN KENDAL, PROVINSI JAWA TENGAH KARAKTERISTIK BATUAN INDUK HIDROKARBON DAN HUBUNGANNYA DENGAN REMBESAN MINYAK DI LAPANGAN MINYAK CIPLUK, KABUPATEN KENDAL, PROVINSI JAWA TENGAH THE CHARACTERISTIC OF HYDROCARBON SOURCE ROCK AND ITS RELATIONSHIP

Lebih terperinci

STUDI SIDIKJARI BIOMARKER HIDROKARBON: PENENTUAN SUMBER PENCEMARAN MINYAK BUMI DI SEKITAR LAUT JAWA GAYATRI MEGA WARDHANI

STUDI SIDIKJARI BIOMARKER HIDROKARBON: PENENTUAN SUMBER PENCEMARAN MINYAK BUMI DI SEKITAR LAUT JAWA GAYATRI MEGA WARDHANI STUDI SIDIKJARI BIOMARKER HIDROKARBON: PENENTUAN SUMBER PENCEMARAN MINYAK BUMI DI SEKITAR LAUT JAWA GAYATRI MEGA WARDHANI 0305030239 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan.

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan. PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan. B. Pelaksanaan Kegiatan Praktikum Hari : Senin, 13 April 2009 Waktu : 10.20 12.00 Tempat : Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I. Pasific Indonesia (CPI) dan merupakan lapangan yang belum dikembangkan.

BAB I. Pasific Indonesia (CPI) dan merupakan lapangan yang belum dikembangkan. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Lapangan Sukowati terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara yang merupakan salah satu lapangan yang menghasilkan minyak bumi. Daerah ini termasuk

Lebih terperinci

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal.

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu penghuni jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal. Pengertian Aspal Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal. Pengertian Aspal adalah bahan yang bersifat

Lebih terperinci

PREDIKSI TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) MENGGUNAKAN REGRESI MULTILINEAR DENGAN PENDEKATAN DATA WELL LOG

PREDIKSI TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) MENGGUNAKAN REGRESI MULTILINEAR DENGAN PENDEKATAN DATA WELL LOG ISSN : 2579-5821 (Cetak) ISSN : 2579-5546 (Online) Alamat URL : http://journal.unhas.ac.id/index.php/geocelebes Jurnal Geocelebes Vol. 2 No. 1, April 2018, 1-5 PREDIKSI TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan

Lebih terperinci

Alkena dan Alkuna. Pertemuan 4

Alkena dan Alkuna. Pertemuan 4 Alkena dan Alkuna Pertemuan 4 Alkena/Olefin hidrokarbon alifatik tak jenuh yang memiliki satu ikatan rangkap (C = C) Senyawa yang mempunyai dua ikatan rangkap: alkadiena tiga ikatan rangkap: alkatriena,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar yang berasal dari fosil dari tahun ke tahun semakin meningkat, sedangkan ketersediaannya semakin berkurang

Lebih terperinci

Prediksi Log TOC dan S2 dengan Menggunakan Teknik Log Resistivity

Prediksi Log TOC dan S2 dengan Menggunakan Teknik Log Resistivity B-20 JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5 No. 2 (2016) 2337-3520 (2301-928X Print) Prediksi Log TOC dan S2 dengan Menggunakan Teknik Log Resistivity Dwi Ayu Karlina, Bagus Jaya Santosa Jurusan Fisika, Fakultas

Lebih terperinci

berupa ikatan tunggal, rangkap dua atau rangkap tiga. o Atom karbon mempunyai kemampuan membentuk rantai (ikatan yang panjang).

berupa ikatan tunggal, rangkap dua atau rangkap tiga. o Atom karbon mempunyai kemampuan membentuk rantai (ikatan yang panjang). HIDROKARBON Senyawa hidrokarbon merupakan senyawa karbon yang paling sederhana. Dari namanya, senyawa hidrokarbon adalah senyawa karbon yang hanya tersusun dari atom hidrogen dan atom karbon. Dalam kehidupan

Lebih terperinci

TRY OUT SELEKSI OLIMPIADE TINGKAT KABUPATEN/KOTA 2010 TIM OLIMPIADE KIMIA INDONESIA 2011 Waktu: 150 Menit PUSAT KLINIK PENDIDIKAN INDONESIA (PKPI) bekerjasama dengan LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR SSCIntersolusi

Lebih terperinci

KAJIAN KORELASI GENETIKA GEOKIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI CEKUNGAN SUMATRA TENGAH, RIAU

KAJIAN KORELASI GENETIKA GEOKIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI CEKUNGAN SUMATRA TENGAH, RIAU ISSN 2085-0050 KAJIAN KORELASI GENETIKA GEOKIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI CEKUNGAN SUMATRA TENGAH, RIAU Emrizal Mahidin Tamboesai Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau

Lebih terperinci

BAB 7 HIDROKARBON DAN MINYAK BUMI

BAB 7 HIDROKARBON DAN MINYAK BUMI BAB 7 HIDROKARBON DAN MINYAK BUMI A. Kekhasan / Keunikan Atom Karbon o Terletak pada golongan IVA dengan Z = 6 dan mempunyai 4 elektron valensi. o Untuk mencapai konfigurasi oktet maka atom karbon mempunyai

Lebih terperinci

Penggunaan Parameter Geokimia Isoprenoid untuk Menentukan Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Crude Oil) Sumur Minyak Langgak Riau

Penggunaan Parameter Geokimia Isoprenoid untuk Menentukan Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Crude Oil) Sumur Minyak Langgak Riau Penggunaan Parameter Geokimia Isoprenoid untuk Menentukan Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Crude Oil) Sumur Minyak Langgak Riau Emrizal Mahidin Tamboesai Jurusan Kimia FMIPA,Universitas Riau, Pekanbaru,

Lebih terperinci

SAINS II (KIMIA) LEMAK OLEH : KADEK DEDI SANTA PUTRA

SAINS II (KIMIA) LEMAK OLEH : KADEK DEDI SANTA PUTRA SAINS II (KIMIA) LEMAK OLEH : KADEK DEDI SANTA PUTRA 1629061030 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA PROGRAM PASCASARAJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA 2017 SOAL: Soal Pilihan Ganda 1. Angka yang menunjukkan

Lebih terperinci

PENENTUAN KEMATANGAN MINYAK BUMI (CEUDE OIL) SUMUR MINYAK PETAPAHAN-KAMPAR, RIAU DENGAN MENGGUNAKAN PARAMETER ISOPRENOID

PENENTUAN KEMATANGAN MINYAK BUMI (CEUDE OIL) SUMUR MINYAK PETAPAHAN-KAMPAR, RIAU DENGAN MENGGUNAKAN PARAMETER ISOPRENOID PENENTUAN KEMATANGAN MINYAK BUMI (CEUDE OIL) SUMUR MINYAK PETAPAHAN-KAMPAR, RIAU DENGAN MENGGUNAKAN PARAMETER ISOPRENOID Fazlin 1, Emrizal M. Tamboesai 2, Halida Sophia 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Kimia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Temperatur Pirolisis Terhadap Waktu Pirolisis dilakukan dengan variasi tiga temperatur yaitu 400 C, 450 C, dan 500 C pada variasi campuran batubara dan plastik

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran bilangan peroksida sampel minyak kelapa sawit dan minyak kelapa yang telah dipanaskan dalam oven dan diukur pada selang waktu tertentu sampai 96 jam

Lebih terperinci

KEMATANGAN MOLEKULER FRAKSI HIDROKARBON AROMATIK CORE BADAK 1/208 MUARA BADAK, KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR: SUATU TINJAUAN KUALITATIF

KEMATANGAN MOLEKULER FRAKSI HIDROKARBON AROMATIK CORE BADAK 1/208 MUARA BADAK, KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR: SUATU TINJAUAN KUALITATIF KEMATANGAN MOLEKULER FRAKSI HIDROKARBON AROMATIK CORE BADAK 1/208 MUARA BADAK, KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR: SUATU TINJAUAN KUALITATIF R. Arizal Firmansyah 1 dan R.Y. Perry Burhan 2 ABSTRAK Kajian

Lebih terperinci

ALKANA 04/03/2013. Sifat-sifat fisik alkana. Alkana : 1. Oksidasi dan pembakaran

ALKANA 04/03/2013. Sifat-sifat fisik alkana. Alkana : 1. Oksidasi dan pembakaran ALKANA Sifat-sifat fisik alkana Alkana : senyawa hidrokarbon jenuh (ikatan tunggal), atom C : hibridisasi sp 3 rumus molekul : C n H 2n+2 struktur : alifatik (rantai lurus) dan siklik (sikloalkana) Tidak

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara di Pit J daerah Pinang dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Sampel batubara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN Data seismik dan log sumur merupakan bagian dari data yang diambil di bawah permukaan dan tentunya membawa informasi cukup banyak mengenai kondisi geologi

Lebih terperinci

Kelompok 2: Kromatografi Kolom

Kelompok 2: Kromatografi Kolom Kelompok 2: Kromatografi Kolom Arti Kata Kromatografi PENDAHULUAN chroma berarti warna dan graphien berarti menulis Sejarah Kromatografi Sejarah kromatografi dimulai sejak pertengahan abad ke 19 ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh tumpahan minyak bumi akibat. kecerobohan manusia telah mengalami peningkatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh tumpahan minyak bumi akibat. kecerobohan manusia telah mengalami peningkatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh tumpahan minyak bumi akibat kecerobohan manusia telah mengalami peningkatan dan mengganggu kehidupan organisme di

Lebih terperinci

Kimia Dasar II / Kimia Organik. Shinta Rosalia D. (SRD) Angga Dheta S. (ADS) Sudarma Dita W. (SDW) Nur Lailatul R. (NLR) Feronika Heppy S (FHS)

Kimia Dasar II / Kimia Organik. Shinta Rosalia D. (SRD) Angga Dheta S. (ADS) Sudarma Dita W. (SDW) Nur Lailatul R. (NLR) Feronika Heppy S (FHS) Kimia Dasar II / Kimia Organik Shinta Rosalia D. (SRD) Angga Dheta S. (ADS) Sudarma Dita W. (SDW) Nur Lailatul R. (NLR) Feronika Heppy S (FHS) Kontrak perkuliahan : 1. Ujian : 50% 2. Tugas : 10% 3. Kuis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam satu atau dua dekade terakhir, banyak penelitian diarahkan untuk produksi bahan bakar kendaraan bermotor dari bahan alam yang terbarukan, khususnya minyak nabati.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA 4.1 KOMPOSISI MASERAL BATUBARA Komposisi maseral batubara ditentukan dengan melakukan analisis petrografi sayatan sampel batubara di laboratorium (dilakukan oleh PT

Lebih terperinci

BIOMARKER SEBAGAI INDIKATOR PARAMETER BATUAN SUMBER DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUAN SUMBER MINYAK BUMI LAPANGAN TARAKAN KALIMANTAN TIMUR - INDONESIA

BIOMARKER SEBAGAI INDIKATOR PARAMETER BATUAN SUMBER DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUAN SUMBER MINYAK BUMI LAPANGAN TARAKAN KALIMANTAN TIMUR - INDONESIA BIOMARKER SEBAGAI INDIKATOR PARAMETER BATUAN SUMBER DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUAN SUMBER MINYAK BUMI LAPANGAN TARAKAN KALIMANTAN TIMUR - INDONESIA Ine Mustikasari Jurusan Kimia, Fakultas Matematika

Lebih terperinci

D. 4,50 x 10-8 E. 1,35 x 10-8

D. 4,50 x 10-8 E. 1,35 x 10-8 1. Pada suatu suhu tertentu, kelarutan PbI 2 dalam air adalah 1,5 x 10-3 mol/liter. Berdasarkan itu maka Kp PbI 2 adalah... A. 4,50 x 10-9 B. 3,37 x 10-9 C. 6,75 x 10-8 S : PbI 2 = 1,5. 10-3 mol/liter

Lebih terperinci