Bab III Interpretasi Data Geokimia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab III Interpretasi Data Geokimia"

Transkripsi

1 Bab III Interpretasi Data Geokimia III.1. Umum Data yang diperlukan dalam pembuktian hipotesis ini terdiri atas dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data sumur serta data seismik yang melalui sumur-sumur tersebut, baik yang berarah relatif utara-selatan, maupun yang berarah timur-barat. Data primer terdiri atas: Data karbon organik total dan data pirolisis Rock-Eval Komposisi gas Isotop Data sekunder yang dipakai merupakan data regional yang berasal dari publikasi ilmiah dan yang tidak dipublikasikan, meliputi: Penampang geologi Stratigrafi regional Kerangka tektonik regional Paleogeografi Cekungan Sumatera Selatan Semua data digital dan analisis laboratorium yang menunjang analisis dan interpretasi didapatkan dari pusat data beberapa perusahaan minyak yang beroperasi di sekitar Wilayah Kerja Pertambangan Sumatera Selatan terutama daerah Suban, sedangkan data pustaka dan ilmiah lainnya didapatkan dari sejumlah publikasi nasional. Data yang diperoleh dari pengamatan data bawah-permukaan dan analisis laboratorium diproses dalam bentuk tabel dan grafik sehingga memperlihatkan suatu pola tertentu agar dapat dianalisis, antara lain: Data geokimia berupa konsentrasi dan molekul gas (dalam satuan mol atau % volume) merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi gas. Konsentrasi gas terdiri atas gas hidrokarbon (metana, etana, propana, butana, isobutana, normal butana, pentana) dan gas non-hidrokarbon 16

2 (CO 2, H 2 S, nitrogen). Rasio komposisi molekul (normalisasi gas hidrokarbon) merupakan perbandingan C 1 /ΣCn, ΣC 2+ dan C 1 /(C 2 +C 3 ) (parameter Bernard) dan ratio kebasahan gas (ΣC 2 sampai C 5 / ΣC 1 sampai C 5 ) x 100%). Data isotop digunakan untuk mendapatkan rasio antara isotop karbon dan hidrogen dari hidrokarbon ringan dan karbon dioksida (δ 13 C CH4, δ 13 C C2H6, δ 13 C C3H8, δ 13 C CO2, δd CH4 ). Data isotop ini akan memberikan informasi detail mengenai batuan induknya serta identifikasi tambahan tentang pembentukan gas tersebut. III.2. Kuantitas Material Organik Karbon organik total (total organic carbon, TOC) didefinisikan sebagai jumlah material organik yang terdapat dalam batuan sedimen. Analisis TOC merupakan analisis pendahuluan yang sangat penting dan banyak dilakukan karena murah, sederhana, dan cepat. Analisis ini biasanya hanya memerlukan satu gram batuan, tetapi jika contoh batuannya banyak mengandung material organik maka jumlah yang lebih kecil dari satu gram sudah cukup. Analisis TOC biasanya dilakukan dengan suatu alat penganalisis karbon atau yang biasa dikenal sebagai Leco. Tekniknya cukup sederhana, yaitu dengan membakar contoh batuan yang berbentuk bubuk, bebas dari mineral karbonat pada temperatur tinggi dengan bantuan oksigen. Contoh dengan kandungan TOC yang rendah biasanya dianggap tidak mampu untuk membentuk hidrokarbon yang komersial sehingga contoh ini biasanya tidak dianalisis lebih lanjut. Contoh yang dianalisis biasanya berupa serbuk bor yang terdiri atas bermacam litologi, termasuk material jatuhan dan kontaminasi dari bermacam sumber sehingga sebelum melakukan penentuan TOC, teknisi harus membuang material jatuhan dan kontaminan tersebut. Pengamatan jumlah material organik yang hadir di suatu batuan dinyatakan dalam TOC dengan satuan persen berat dari batuan kering. Suatu skala standar yang umum untuk penggunaan TOC diberikan dalam Tabel III.1. 17

3 TOC (% berat) Implikasi batuan induk <0,5% Potensinya rendah 0,5-1% Kemungkinan sedikit berpotensi 1-2% Kemungkinan cukup berpotensi >2% Kemungkinan berpotensi baik sampai sangat baik Tabel III.1. Indikasi potensi batuan induk berdasarkan TOC (Waples, 1985). Analisis TOC di daerah penelitian dilakukan di tiga formasi batuan, yaitu Formasi Telisa, Formasi (equivalen) Baturaja, dan Formasi Talangakar. Jumlah contoh yang dianalisis adalah sebanyak 36 contoh batuan yang berasal dari serbuk bor, yang terdiri atas 20 contoh batuan dari Formasi Telisa, 13 contoh batuan dari Formasi (equivalen) Baturaja, dan tiga contoh batuan dari Formasi Talangakar (Lampiran C). Formasi Talangakar menutupi Formasi Lemat dan batuan dasar. Susunan lapisannya terdiri terutama dari endapan fluvial dan delta. Bagian bawah dari formasi ini terletak tidak selaras diatas Formasi Lahat dan terdiri dari batupasir kasar hingga sedang yang disisipi oleh lapisan tipis batubara. Adapun bagian atasnya terdiri dari serpih, lempung, pasir dan sisipan-sisipan batubara yang kaya pirit, glaukonit dan foraminifera. Nilai kandungan material organik di Formasi Talangakar berkisar antara 1,23 1,66 %. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi Formasi Talangakar sebagai batuan induk adalah cukup berpotensi untuk menghasilkan hidrokarbon. Pada fasa akhir pengendapan Formasi Talangakar, sebagai akibat dari periode pengikisan yang berlangsung cukup lama, permukaan dasar cekungan Sumatera Selatan menjadi hampir rata. Hanya pada beberapa tempat saja dijumpai tinggiantinggian dan permukaan yang menonjol. Akibat kondisi lingkungan laut yang berlanjut, maka kadang-kadang dijumpai adanya palamparan endapan karbonat (carbonate banks). Setempat-setempat dari endapan karbonat ini berkembang sebagai terumbu dan gundukan (mounds). Terumbu juga dapat berkembang pada 18

4 batuan dasar yang terangkat dan membentuk tinggianformasi Equivalent Baturaja memiliki ciri litologi yang mirip dengan Formasi Telisa. Nilai kandungan material organik di Formasi Equivalent Baturaja berkisar antara 0,44 1,36 %. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi Formasi Telisa sebagai batuan induk berkisar antara berpotensi rendah sampai cukup berpotensi. Pengendapan Formasi Telisa berlangsung sepanjang episoda transgresi Tersier yang kemudian menenggelamkan Formasi Batu Raja dan menghasilkan lapisan penutup yang tebal berupa serpih marin diseluruh bagian cekungan. Formasi ini terdiri dari serpih berfosil dengan sisipan-sisipan tipis batugamping mengandung glaukonit, yang merupakan fasies marin dangkal yang terdapat pada bagian tepi cekungan. Nilai kandungan material organik terkecil di Formasi Telisa adalah 0,75 % sedangkan nilai terbesarnya adalah sebesar 1,28 %. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi Formasi Telisa sebagai batuan induk berkisar antara sedikit berpotensi sampai cukup berpotensi (Tabel III.1). Jumlah contoh batuan di Formasi Telisa yang memiliki nilai kandungan material organik lebih kecil dari 1 % adalah sebanyak 10 contoh sedangkan 10 contoh lainnya memiliki nilai kandungan material organik antara 1 2 %. Stratigrafi korelasi korelasi smunur dapat dilihat pada Lampiran G. Batuan yang mengandung TOC antara 0,5 1% tidak akan menjadi batuan induk yang sangat efektif, tetapi mungkin saja mengeluarkan sejumlah kecil hidrokarbon sehingga tidak boleh diabaikan. Kerogen di dalam batuannya biasanya teroksidasi sehingga potensi untuk membentuk hidrokarbon menjadi terbatas. Pada beberapa batuan yang mengandung TOC antara 1 2% diasosiasikan dengan lingkungan pengendapan antara oksidasi dan reduksi dengan terjadinya pengawetan material organik yang kaya lemak dan berpotensi membentuk minyak bumi. TOC lebih besar dari 2% menunjukkan lingkungan reduksi yang tinggi dan memiliki potensi untuk menghasilkan hidrokarbon yang sangat baik. Banyak batuan yang memiliki nilai TOC tinggi tetapi tidak dapat membentuk minyak karena kandungan kerogennya berupa material kekayuan atau telah 19

5 teroksidasi. TOC tinggi memang diperlukan tetapi bukan merupakan kriteria yang mutlak untuk menentukan kualitas batuan induk sehingga kualitas kerogen menjadi penting untuk ditentukan. III.3. Tipe Kerogen Kerogen didefinisikan sebagai bagian material organik yang terdapat dalam batuan sedimen dan tidak dapat larut dalam pelarut organik biasa karena kerogen mempunyai ukuran molekul yang besar. Karakteristik kimia dan fisika kerogen sangat dipengaruhi oleh macam molekul biogenik material asal dan transformasi akibat diagenesis molekul organik tersebut. Komposisi kerogen juga dipengaruhi oleh proses pematangan termal, yaitu katagenesis dan metagenesis, yang mengubah kerogen tersebut. Pemanasan bawah permukaan menyebabkan reaksi-reaksi kimia yang memecah fragmen kecil kerogen menjadi minyak. Kerogen sisa juga mengalami perubahan yang tercermin dalam kondisi kimia dan fisikanya. Sejarah diagenesis dan katagenesis kerogen serta kondisi alamiah material organik penyusunnya sangat mempengaruhi kemampuan kerogen memproduksi minyak dan gas bumi (Gambar III.1). Lembaga Minyak Prancis (IFP) mengembangkan skema yang berguna untuk mendeskripsikan kerogen dan masih dijadikan standar acuan sampai sekarang. Kerogen dikelompokkan menjadi tiga tipe utama yang disebut Tipe I, Tipe II, dan Tipe III. Penelitian lanjutan menemukan adanya tipe lain yaitu Tipe IV. Lembaga ini juga mempelajari karakteristik kimia dan organisme asal yang membentuk setiap tipe kerogen tersebut (Tabel III.2). Kerogen Tipe I sangat jarang karena berasal dari alga danau dan terbatas pada lingkungan anoksik sehingga jarang didapatkan di lingkungan laut. Kerogen Tipe I ini memiliki kapasitas tinggi menghasilkan hidrokarbon cair. Kerogen Tipe II dapat berasal dari beberapa sumber yaitu alga laut, polen dan spora, lapisan lilin tanaman, fosil resin, dan lemak tanaman. Kerogen Tipe II sering ditemukan dalam 20

6 sedimen laut dengan kondisi reduksi. Kerogen Tipe III terdiri atas material organik darat yang hanya sedikit mengandung lemak atau zat lilin. Selulosa dan lignin adalah penyumbang terbesar kerogen Tipe III. Tipe kerogen ini mempunyai kapasitas produksi hidrokarbon cair lebih rendah daripada kerogen Tipe II, dan jika tanpa campuran kerogen Tipe II biasanya kerogen Tipe III ini menghasilkan terutama gas alam. Kerogen Tipe IV terdiri pengerjaan-ulang (reworked) kepingan organik dan material teroksidasi yang berasal dari berbagai sumber. Kerogen Tipe IV ini tidak memiliki potensi menghasilkan hidrokarbon. Gambar III.1 Transformasi material organik dalam sedimen dan batuan sedimen (diterjemahkan dari Waples, 1985). 21

7 Tabel III.2 Komposisi kerogen (diterjemahkan dari Waples, 1985). Maseral Tipe Kerogen Material Organik Asal Alginit I Alga air tawar Eksinit II Polen, spora Kutinit II Lapisan lilin tanaman Resinit II Resin tanaman Liptinit II Lemak tanaman, alga laut Vitrinit III Material tanaman keras (kayu, selulosa) Inertinit IV Arang, material tersusun-ulang yang teroksidasi Hasil analisis Rock-Eval seringkali diplot di dalam suatu diagram van Krevelen yang dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan adalah dengan menggantikan plot rasio H/C dengan indeks hidrogen (HI) sedangkan plot O/C digantikan oleh indeks oksigen (OI). Perhitungan HI didapatkan dengan cara membandingkan S2 terhadap TOC, sedangkan OI didapatkan dengan cara membandingkan S3 terhadap TOC. Nilai HI ketiga formasi di daerah penelitian relatif kecil - sedang. Formasi Telisa mempunyai nilai HI berkisar antara , Formasi (equivalen) Baturaja berkisar antara 4 55, dan Formasi Talangakar berkisar antara Hasil plot data Rock-Eval ini pada diagram modifikasi van Krevelen memperlihatkan bahwa mayoritas contoh batuan yang dianalisis merupakan kerogen Tipe III (gas prone) (Gambar III.2). Peters dan Cassa (1994) membuat suatu tabel yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan tipe kerogen berdasarkan nilai HI (Tabel III.3). Tipe kerogen di Formasi Telisa diinterpretasikan sebagai kerogen Tipe II dan Tipe III, dan pada formasi ini terdapat dua contoh batuan yang memiliki nilai HI yang lebih besar dari 200 sebagai ambang batas Tipe II, dan mempunyai potensi untuk menghasilkan minyak dan gas bumi. Tipe kerogen di Formasi (equivalen) Baruraja diinterpretasikan sebagai Tipe III dan Tipe IV sedangkan Formasi 22

8 Talangakar diinterpretasikan sebagai kerogen Tipe IV. Kerogen Tipe III mempunyai potensi untuk menghasilkan gas sedangkan Tipe IV tidak mempunyai potensi untuk menghasilkan hidrokarbon. 23

9 Gambar III.2 Pengeplotan nilai indeks hidrogen (HI) terhadap indeks oksigen (OI) dengan menggunakan modifikasi diagram van Krevelen untuk menunjukkan jalur evolusi kerogen. Tabel III.3 Tipe kerogen yang dapat menghasilkan bermacam produk hidrokarbon pada puncak kematangannya (Peters dan Cassa, 1994). Kerogen* Produk HI S2/S3 Atom H/C (Quality) Hidrokarbon I >600 > 15 >1,5 Minyak II ,2 1,5 Minyak II/III ,0 1,2 Minyak/Gas III ,7 1,0 Gas IV < 50 <1 <0,7 None * berdasarkan batuan induk belum matang Penentuan tipe material organik di dalam batuan sedimen dapat didekati dengan dua cara, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung yang dimaksud adalah menggunakan metode pirolisis terhadap kerogen atau contoh batuan dan mengukur kuantitas dan tipe hidrokarbon yang digunakan. Metode tidak langsung adalah cara yang digunakan untuk mengamati karakteristik kimia dan fisika kerogen atau biasa kita kenal dengan istilah analisis mikroskopis dan analisis unsur. Penulis dalam penyusunan tesis ini akan lebih menekankan pada cara langsung, yaitu menganalisis tipe kerogen berdasarkan data pirolisis. Metode langsung dengan menggunakan pirolisis Rock-Eval, akan memberikan nilai S1, S2, dan S3. S1 menunjukkan jumlah hidrokarbon yang sudah ada di dalam batuan semenjak pengendapan ditambah dengan hidrokarbon yang terbentuk di bawah permukaan atau biasa dikenal juga dengan istilah jumlah hidrokarbon bebas. S2 mencermikan G, sisa kapasitas pembentukan hidrokarbon atau jumlah hidrokarbon yang dilepaskan dari kerogen. S3 adalah jumlah kandungan oksigen di dalam kerogen. 24

10 Data pirolisis di daerah penelitian mengindikasikan bahwa hanya contoh batuan dari kedalaman 2000 m saja yang mempunyai potensi komersial sebagai batuan induk. Hal ini bisa diinterpretasikan karena nilai S2 di kedalaman ini, yaitu sebesar 2,59 mg/g, telah melampai batas standar yaitu sebesar S2>2,5 mg/g serta kandungan HI contoh batuan ini sebesar 212 termasuk kelompok kerogen Tipe II/III yang mempunyai potensi untuk menghasilkan minyak dan gas bumi (Gambar III.3 dan Tabel III.4). Tiga belas contoh batuan dari Formasi (equivalen) Baturaja memperlihatkan nilai kandungan material organik buruk sedang dengan nilai antara 0,44 1,35%, S2 di formasi ini mempunyai nilai yang lebih kecil dari 1 mg/g, serta HI lebih kecil dari 100. Penulis dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun contoh batuan dari Formasi (equivalen) Baturaja ini yang bisa diharapkan sebagai batuan induk (Gambar III.4). 25

11 Gambar III.3 Pengeplotan nilai S2 terhadap TOC. 26

12 Batuan induk potensial Gambar III.4. Pengeplotan nilai HI terhadap TOC. 27

13 Formasi Talangakar mempunyai kandungan material organik yang cukup bagus dengan nilai TOC berkisar antara 1,23 1,66%, namun mempunyai nilai S2 < 1 serta HI < 100 sehingga potensi untuk menghasilkan hidrokarbon menjadi tidak signifikan untuk saat ini. Jika batuan Formasi Talangakar ini mengalami pemendaman sehingga mengalami pematangan yang cukup, bukan tidak mungkin nantinya batuan ini akan menjadi batuan induk yang baik. Tabel III.4. Parameter sederhana yang digunakan untuk menentukan potensi hidrokarbon dari batuan induk yang belum matang (Peters dan Cassa, 1994). Potential (Quality) TOC (%) Rock-Eval S1 Rock-Eval S2 Bitumen (ppm) HC (ppm) Poor <0,5 <0,5 <2,5 <500 <300 Fair 0,5-1 0,5-1 2, Good Very Good Excellent > 4 > 4 >20 > 4000 > 2400 III.4. Kematangan Material Organik Penentuan kematangan material organik di dalam batuan induk dapat menggunakan beberapa metode, antara lain: 1. Reflektansi vitrinit (Ro). Metode reflektansi vitrinit dikembangkan untuk mengukur peringkat batubara yang banyak mengandung maseral vitrinit. Metode ini berdasarkan fakta bahwa kenaikan temperatur berbanding lurus dengan reflektansi vitrinitnya. Harga Ro biasanya diplot dengan kedalaman suatu sumur, jika skala reflektansi linear, maka profil kurvanya adalah garis lengkung. Jika digunakan skala semi-log untuk reflektansi vitrinitnya maka plotnya akan berupa garis lurus. Secara umum, awal pembentukan minyak terjadi pada Ro = 0,6 %, puncak pembentukannya terjadi pada Ro = 0,9% dan 28

14 akhir pembentukan hidrogen cair diperkirakan pada Ro = 1,35%. Pada banyak kasus, batas kestabilan minyak diperkirakan sekitar 1,35% Ro. 2. Warna spora (indeks alterasi termal, TAI). Pertambahan gelap partikel kerogen dengan bertambahnya kematangan termal dapat digunakan sebagai indikator kematangan. Butiran polen dapat digunakan untuk pengukuran TAI dengan tujuan untuk mengurangi perbedaan warna akibat perubahan tipe atau perbedaan tebal partikel kerogen. Jika tidak terdapat polen, maka harga TAI diestimasi berdasarkan kerogen amorf. Penelitian fluoresen sering dilakukan untuk membedakan kerogen amorf yang berpotensial membentuk minyak (berfluoresen) dari kerogen amorf yang berpotensial membentuk gas (tidak berfluoresen). 3. Temperatur pirolisis (Tmax). Temperatur pada saat laju maksimum pirolisis tercapai (puncak S2) dapat dipergunakan sebagai indikator kematangan. Semakin matang batuan induk maka semakin tinggi nilai Tmax. Tingkat kematangan batuan sedimen dapat dievaluasi dengan menggunakan nilai Ro dan Tmax dari analisis Rock-Eval. Data kematangan di daerah penelitian dapat dilihat pada ( Lampiran D). Pengukuran Ro, yang didapat dari konsentrat kerogen sisa, hanya sedikit jumlahnya. Hal ini mungkin disebabkan karena rendahnya kandungan phytoclast. Ro pada Formasi Telisa (kedalaman m), terlihat bahwa zona ini masih berada pada tahap awal pembentukan minyak (Ro<0,6%) bahkan pada contoh di Formasi (equivalen) Baturaja tidak didapatkan data Ro. Selanjutnya, pada Formasi Talangakar terlihat bahwa data Ro > 0,6%. Interpretasi kematangan, yang diperoleh dari perhitungan regresi linear data Ro, mengindikasikan bahwa tingkat kematangan awal (early mature) terjadi sampai dengan kedalaman 2600 m dan mulai menghasilkan hidrokarbon pada kedalaman setelah ini (Gambar III.5). Pembacaan Tmax pun memberikan hasil yang kurang memadai dan hanya pada sebagian Formasi Telisa menunjukkan tingkat kematangan yang memadai (Tmax > C), sedangkan pada Formasi (equivalen) Baturaja dan Formasi Talangakar nilai Tmax-nya masih di bawah C (Tabel III.5). 29

15 Tabel III.5 Parameter sederhana untuk menentukan kematangan bahang dalam kaitannya untuk pembentukan minyak (Peters dan Cassa, 1991). Maturity Maturation Generation Immature Mature Early Peak Late Post-mature Ro (%) Tmax TAI Bit/TOC < Bitumen (mg/g) PI <0.05 <50 < >0.40 >1.35 >470 >

16 Gambar III.5 Pengeplotan nilai Ro terhadap kedalaman. 31

17 III.5. Interpretasi Komposisi Gas Gas dalam jumlah besar telah berhasil ditemukan di Cekungan Sumatera Selatan sejak awal tahun Penemuan lapangan gas yang signifikan antara lain Gelam, Dayung, Sumpal, Betara, North Betara, NE Betara, Gemah, Geragai, North Geragai, Rayun, Singa, Suban, Pulau Gading, and Sungai Kenawang. Gas ini ditemukan pada berbagai reservoir antara lain Batupasir Gumai, Batuan Karbonat Baturaja, Batupasir Talangakar, rekahan batuan beku, dan batuan dasar. Batuan induk dari gas ini diperkirakan berasal dari serpih Formasi Lemat dan serpih Formasi Talangakar (Chalik et al., 2004; Marpaung et al., 2005, 2006). Tipe genesis dari gas dapat dibedakan berdasarkan konsentrasi, molekul dan data isotop. Tipe gas yang diketahui saat ini ada 2 (dua) yaitu termogenik dan biogenik. Campuran antara kedua gas di atas, sering juga ditemukan. Gas termogenik dicirikan oleh kandungan gas metana (CH 4 ) yang kurang dari 95% atau komponen gas basahnya melebihi 5% setelah dinormalisasi serta nilai rasio 13-isotop karbon terhadap 12-karbon (δ 13 C CH4 ) adalah lebih berat (lebih positif) dari -45. Gas biogenik dicirikan oleh kandungan gas metana (CH 4 ) yang lebih besar dari 98% atau komponen gas basahnya kurang dari 2% setelah dinormalisasi serta nilai rasio 13-isotop karbon terhadap 12-karbon (δ 13 C CH4 ) adalah lebih ringan (lebih negatif) dari -60. Gas campuran mempunyai kandungan gas metana (CH 4 ) antara 95% - 98% serta nilai rasio 13-isotop karbon terhadap 12- karbon (δ 13 C CH4 ) berkisar pada -50 (Satyana et al., 2007). Analisis komposisi gas secara terperinci telah dilakukan atas 7 (tujuh) contoh gas yang diambil dari sumur Durian Mabok-2, Suban-3, Suban-4, Suban-5, Suban-6, Suban-7, Suban-9, SBB-1, SBB-2 dan SBU-1. Komposisi gas-gas ini umumnya serupa dan hanya didominasi oleh komponen-komponen hidrokarbon dengan nilai antara 84,56% mol sampai 98,13% mol. Gas metana (CH 4 ) merupakan komponen yang paling melimpah dengan nilai antara 75,98% mol sampai 89,83% mol, sedangkan kandungan gas basah (C 2 -C 5 ) yang cukup tinggi (5,88-22,57%), mengindikasikan bahwa gas-gas murni ini kemungkinan termogenik pada awalnya ( Lampiran E dan Lampiran F) 32

18 Kandungan gas karbondioksida (CO 2 ) dan nitrogen (N 2 ), yang merupakan gas nonhidrokarbon yang terdeteksi, hadir dengan konsentrasi yang rendah di semua sampel. Gas karbondioksida berkisar antara 1,81% sampai 15,15% mol, gas nitrogen berkisar antara 0% sampai 0,53% mol sedangkan hidrogen sulfida (H 2 S) tidak ditemukan pada sampel mana pun. Oleh karena itu, gas-gas ini diklasifikasikan sebagai sweet gas. III.6. Interpretasi Data Isotop Gas alam dapat terbentuk di berbagai lingkungan pengendapan. Aktivitas bakteri dapat membentuk gas di rawa-rawa atau sedimen laut. Gas hasil aktivitas bakteri dapat ditemukan di cekungan yang memiliki batuan sedimen yang kurang matang (immature), contohnya gas yang kaya kandungan metananya namun tidak berasosiasi dengan pembentukan minyak bumi. Pada strata yang lebih dalam, pembentukan gas terutama berasosiasi dengan sistem petroleum. Gas-gas ini merupakan hasil dari proses alterasi bahang sistem petroleum dan kandungan organik pada batuan induknya. Pada daerah yang lebih matang, gas kering (dry gas) dapat terbentuk sebagai hasil dari dekomposisi minyak dan kandungan organik batuan induknya. Gas yang telah terbentuk akan mengalami migrasi ke reservoir. Reservoir ini merupakan lingkungan yang baru bagi gas tersebut. Lingkungan baru ini akan memiliki tingkat kematangan yang berbeda dengan lingkungan tempat asal gas terbentuk. Gas-gas yang berbeda asalnya ini dapat bercampur selama proses migrasi dari batuan induk ke reservoir. Proses primer pembentukan gas dan perubahan-perubahan yang terjadi tadi (lebih dikenal sebagai proses sekunder) harus dipertimbangan sebagai variasi gas alam. Schoell (1983) berpendapat bahwa proses primer pembentukan gas alam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hasil aktivitas bakteri (gas biogenik) dan alterasi bahang dari material organik (gas termogenik). 33

19 Gas biogenik didefiniskan sebagai gas yang terbentuk pada suhu rendah (T < 80 0 C) dan melalui reaksi biokimia pada material organik di batuan sedimen, sedangkan gas termogenik merupakan gas yang terbentuk sebagai hasil pemecahan kerogen (cracking kerogen) pada suhu tinggi atau hasil pemecahan minyak (cracking oil). Penggunaan isotop dalam menentukan tipe genesis gas sering dilakukan oleh para peneliti maupun praktisi. Isotop suatu unsur berbeda dalam jumlah neutron di dalam inti atom sedangkan jumlah proton dan elektronnya sama. Mayoritas dari isotop mempunyai sifat tidak stabil. Isotop jenis ini sering dipergunakan dalam penentuan umur geologi. Isotop yang sering dipergunakan dalam analisis geokimia adalah isotop stabil, antara lain karbon, hidrogen, sulfur dan nitrogen. Isotop stbil sangat berguna karena proporsi dua isotop untuk suatu unsur bervariasi dari contoh ke contoh sebagai akibat efek isotop tersebut. Pada umumnya, gas biogenik dicirikan oleh kandungan metana lebih besar 98% (normalisasi), kandungan isotop metana δ 13 C CH4 lebih kecil dari -60. Pembentukan gas biogenik (metanogenesis) mempunyai dua mekanisme utama yaitu reduksi CO 2 dan fermentasi. Kedua mekanisme ini dapat dibedakan berdasarkan kandungan isotop metana deuterium (δd CH4 ). Fermentasi mempunyai kandungan δd CH4 yang lebih ringan dari -200, sedangkan reduksi CO 2 mempunyai kandungan δd CH4 lebih besar dari Fermentasi umumnya berada pada lingkungan atau sistem air tawar sedangkan reduksi CO 2 berada pada lingkungan laut. Gas termogenik umumnya mempunyai kandungan metana lebih kecil 98%, kandungan isotop metana δ 13 C CH4 lebih besar dari -55. Nilai isotop ini akan bertambah besar seiring dengan bertambahnya tingkat kematangan bahang. Termogenik gas dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu gas basah (nilai C 2+ > 5%) dan gas kering (nilai C 2+ < 5%), hal ini tergantung dari tingkat kematangan termalnya. 34

20 Analisis isotop karbon stabil dilakukan atas metana, etana, propana, n-butana, dan karbondioksida dari sebelas contoh gas sedangkan analisis isotop deuterium dilakukan pada empat contoh gas di daerah penelitian. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel III.6. Tabel III.6 Hasil analisis isotop karbon stabil dan deuterium di Lapangan Suban. ISOTOPE RATIO No. Lapangan/Sumur Formasi δ 13 C1 δ 13 C2 δ 13 C3 δ 13 C4 δ 13 C (CO 2 ) δd CH4 Suban 1 Suban-4 BRF,TAF & Pre-Tertiary Suban-6 BRF,TAF & Pre-Tertiary Suban-9 BRF,TAF & Pre-Tertiary Durian Mabok-2 BRF,TAF & Pre-Tertiary Suban Baru A-1 BRF,TAF & Pre-Tertiary SBB-1DST#1 Basement NA NA NA 7 SBB-1DST#2 Baturaja NA NA NA 8 SBB-1DST#3 TAF NA NA NA 9 SBU-1TW DST# NA 10 SBU-1TW DST#2 Basement NA 11 SBU-1TW DST#3 TAF NA Data komposisi yang didiskusikan sebelumnya, dan pendeteksian gas basah telah menyatakan bahwa gas-gas ini asalnya adalah termogenik. Penafsiran ini didukung oleh interpretasi data isotop. Nilai isotop karbon stabil yang terekam untuk metana relatif ringan sampai berat dengan nilai maksimum -30,77 dan nilai minimum -62,52. Metode plot-silang geokimia antara methane δ 13 C CH4 terhadap pembentukan hidrokarbon menunjukkan bahwa gas yang berada di Lapangan Suban terbagi menjadi dua tipe gas yaitu gas termogenik dan gas biogenik. Hal ini diperkuat oleh hasil plot-silang antara δ 13 C CH4 terhadap konsentrasi C 2+ yang menunjukkan bahwa di daerah penelitian terdapat dua tipe gas yang berbeda asalnya. (Gambar III.6). Kombinasi data isotop metana δ 13 C dan etana δ 13 C dilakukan untuk mengevaluasi hubungan ko-genetik antara komponen-komponen tertentu ini dalam gas-gas murni. Etana adalah gas yang memungkinkan untuk ditambah hingga mendekati 10 (nilai δ 13 C yang kurang negatif) jika dibandingkan dengan fraksi metana 35

21 (Silverman, 1971). Contoh gas dari sumur Durian Mabok-2, Suban-4, Suban-6, and Suban-9, pasangan metana-etana menunjukkan perbedaan 7,7 sampai dengan 10,1 sedangkan untuk sumur Suban Baru A-1, SBB-1 dan SBU-1TW menunjukkan perbedaan 15,8 sampai dengan 25,37 (Gambar III.7). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian pasangan metana-etana dari contoh sumur di Lapangan Suban ini mewakili pasangan ko-genetik, sedangkan sebagian lain menunjukkan bahwa telah terjadi proses pencampuran sehingga pasangan metanaetana ini memiliki nilai di luar batas toleransi kemurniannya. Hubungan antara metana δ 13 D dan metana δ 13 C menunjukkan kehadiran gas termogenik yang matang (Gambar III.8). Plot-silang yang dilakukan hanya terbatas pada lima sumur, yaitu Suban-4, Suban-6, Suban-9, Durian Mabok-2 dan Suban Baru A-1 karena keterbatasan data yang tersedia. Sumur SBB-1 dan SBU-1 TW tidak dilakukan analisis metana δ 13 D, sehingga pola distribusi kedua sumur ini tidak bisa dilihat. Hubungan antara pemecahan etana dan propana menunjukkan bahwa sampelsampel itu adalah gas-gas termogenik matang dan campuran gas biogenik dengan tingkat kematangan di bawah 1,2% Ro (Gambar III.9). Campuran gas didefinisikan sebagai proses fisik sederhana pencampuran gas dari berbagai sumber yang berbeda. Campuran gas yang berada di daerah penelitian menunjukkan bahwa terjadi pencampuran antara gas biogenik dan gas termogenik. Campuran gas ini mengindikasikan proses pembentukan gas yang berbeda dan sumber (origin) yang berbeda juga. Schoell (1983) menjelaskan tentang konsep ko-genetik (co-source) pada gas, hal ini bisa diaplikasikan pada gas yang berasal dari proses aktivitas bakteri dan termokimia pada tingkat alterasi termal yang sama. Hal ini berbeda dengan gas yang berasal dari proses pembentukan gas dan sumber yang berbeda atau lebih dikenal sebagai campuran gas non-genetik. Schoell (1983) berpendapat bahwa perubahan nilai isotop dan konsentrasi C 2+ dapat dipengaruhi oleh dua proses yaitu proses primer dan proses sekunder. 36

22 Proses primer terdiri atas kematangan dan efek kinetik sedangkan proses sekunder terdiri atas migrasi, pencampuran (mixing) dan oksidasi metana. Gambar III.6 memperlihatkan bahwa pada area biogenik terdapat anomali dari nilai C 2+. Umumnya, gas biogenik memiliki nilai δ 13 C CH4 yang ringan (lebih kecil dari -60 ) dan konsentrasi C 2+ yang sangat rendah, namun hasil plot-silang menunjukkan bahwa nilai C 2+ pada daerah ini cukup tinggi atau lebih besar 5%. Penambahan nilai C 2+ ini disebabkan karena adanya proses migrasi gas termogenik ke reservoir kemudian bercampur dengan gas biogenik yang sudah terdapat di reservoir tersebut. Pembentukan minyak bumi (oil generation) di cekungan Sumatera Selatan diperkirakan berhubungan dengan tektonik miosen. Formasi Lahat / Formasi Lemat dan Formasi Talang Akar merupakan batuan induk yang sangat berpotensi untuk menghasilkan minyak bumi, karena memenuhi persyaratan kedalaman yang cukup ( kaki). Batuan induk berumur Oligosen Miosen berada pada sayap lipatan dengan kedalaman dan kemiringan yang besar dari Struktur Suban. Batuan induk ini sedang atau telah melewati tahap jendela pembentukan gaskondensat. Proses migrasi hidrokarbon di cekungan Sumatera Selatan diperkirakan berhubungan dengan tektonik Plio-Pleistosen. Migrasi vertikal dan lateral terjadi pada waktu yang sama. Migrasi vertikal dari batuan induk kearah batuan reservoir yang dangkal dikontrol oleh sesar-sesar. Migrasi lateral dikontrol oleh kemiringan lapisan. 37

23 Klasifikasi Genesis Gas menurut Schoell (1983) LAPANGAN SUBAN Suban 4 Durian Mabok 2 SBB 1 DST#2 Suban 6 Suban Baru A 1 SBB 1 DST#3 Suban 9 SBB 1 DST#1 SBU 1 TW DST#1 SBU 1 TW DST#2 SBU 1 TW DST#3 Gambar III.6 Hasil plot-silang geokimia antara isotop karbon (metana) δ 13 C CH4 terhadap konsentrasi C

24 Gambar III.7. Kombinasi data isotop metana δ 13 C dan etana δ 13 C dilakukan untuk mengevaluasi hubungan ko-genetik antara komponen-komponen tertentu ini dalam gas-gas murni. 39

25 Gambar III.8. Hubungan antara metana δ 13 D dan metana δ 13 C menunjukkan kehadiran gas termogenik yang matang. 40

26 Gambar III.9. Hubungan antara etana δ 13 C dan propana δ 13 C menunjukkan kehadiran gas termogenik yang matang dan campuran gas biogenik. 41

27 III.7. Interpretasi asal mula karbon dioksida (CO 2 ) Penentuan asal mula CO 2 merupakan salah satu objektif dalam karakterisasi geokimia. Hunt (1995) menjelaskan bahwa asal mula CO 2 dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu mantel, metamorfik organik dan biogenetik. CO 2 termogenik yang berasal dari material organik mempunyai nilai δ 13 C CH4 yang lebih negatif daripada CO 2 yang berasal dari penyusunan ulang karbonat. Suklis et al. (2004) meneliti asal mula dan distribusi CO 2 di Blok Koridor Cekungan Sumatera Selatan. Lapangan-lapangan gas dikelompokkan menjadi 3 (tiga) grup berdasarkan kandungan CO 2, antara lain: 1. Group A mempunyai kandungan CO 2 lebih kecil 20% mol (Lapangan Suban, Gelam). 2. Group B mempunyai kandungan CO 2 berkisar antara 20-40% mol (Lapangan Dayung, Sambar, Sumpal, Rebonjaro) 3. Group C mempunyai kandungan CO 2 lebih besar 40% mol (Lapangan Bungkal, Bungin, Rayun, Bentayan, Puyuh) Suklis et al. (2004) memperkirakan bahwa sumber CO 2 ini berasal dari aktivitas mantel dan dekomposisi karbonat. Hal ini didasarkan pada hasil interpretasi nilai δ 13 C CO2 yang diperoleh di Blok Koridor. Komposisi isotop karbon yang stabil dari komponen CO 2 yang ditemukan di daerah penelitian menunjukkan nilai yang bervariasi antara -0,28% hingga -14,15%. Hasil plot-silang menunjukkan bahwa CO 2 berasal dari dua sumber yaitu sebagai aktivitas mantel atau volkanik untuk sumur-sumur SBB-1, SBU-1TW serta sumber biogenetik untuk sumur-sumur Suban-4, Suban-6, Suban-9, dan Durian Mabok-2 (Gambar III.10). 42

28 Gambar III.10. Hubungan antara δ 13 C CH4 dan δ 13 C CO2 menunjukkan asal mula gas CO 2 di daerah penelitian (Studi Internal ConocoPhillips, 2003 dan Studi Internal Pertamina, 2004). 43

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Korelasi geokimia petroleum merupakan salah satu pendekatan untuk pemodelan geologi, khususnya dalam memodelkan sistem petroleum. Oleh karena itu, studi ini selalu dilakukan dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Batuan Induk Batuan induk merupakan batuan sedimen berbutir halus yang mampu menghasilkan hidrokarbon. Batuan induk dapat dibagi menjadi tiga kategori (Waples, 1985), di antaranya

Lebih terperinci

Geokimia Minyak & Gas Bumi

Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi merupakan aplikasi dari ilmu kimia yang mempelajari tentang asal, migrasi, akumulasi serta alterasi minyak bumi (John M. Hunt, 1979). Petroleum biasanya

Lebih terperinci

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM 4.1 Analisis Sampel Sampel yang dianalisis dalam studi ini berupa sampel ekstrak dari batuan sedimen dan sampel minyak (Tabel 4.1). Sampel-sampel ini diambil dari beberapa sumur

Lebih terperinci

BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM

BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM 4.1 PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai Prospect Generation pada interval Anggota Main, Formasi Cibulakan Atas di Daerah Osram yang merupakan

Lebih terperinci

GENESIS DAN KARAKTERISASI GEOKIMIA DI LAPANGAN SUBAN, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN TESIS MAGISTER OLEH MOHAMMAD KUSUMA UTAMA NIM:

GENESIS DAN KARAKTERISASI GEOKIMIA DI LAPANGAN SUBAN, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN TESIS MAGISTER OLEH MOHAMMAD KUSUMA UTAMA NIM: GENESIS DAN KARAKTERISASI GEOKIMIA DI LAPANGAN SUBAN, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN TESIS MAGISTER OLEH MOHAMMAD KUSUMA UTAMA NIM: 22006022 BIDANG KHUSUS MIGAS PROGRAM STUDI MAGISTER GEOLOGI PROGRAM PASCA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi yang cukup besar, baik dari jumlah minyak dan gas yang telah diproduksi maupun dari perkiraan perhitungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang berada di belakang busur dan terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Cekungan Sumatera

Lebih terperinci

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN MAKSUD

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN MAKSUD BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Hidrokarbon masih menjadi sumber energi utama di dunia yang digunakan baik di industri maupun di masyarakat. Bertolak belakang dengan meningkatnya permintaan, hidrokarbon

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Analisa Data Litologi dan Stratigrafi Pada sumur Terbanggi 001, data litologi (Tabel 4.1) dan stratigrafi (Tabel 4.2) yang digunakan untuk melakukan pemodelan diperoleh

Lebih terperinci

II Kerogen II Kematangan II.2.2 Basin Modeling (Pemodelan Cekungan) II.3 Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN...

II Kerogen II Kematangan II.2.2 Basin Modeling (Pemodelan Cekungan) II.3 Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii IZIN PENGGUNAAN DATA... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... DAFTAR ISI Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract...... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... i iii iv v viii xi xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Cekungan Jawa Timur merupakan salah satu cekungan minyak yang produktif di Indonesia. Dari berbagai penelitian sebelumnya, diketahui melalui studi geokimia minyak

Lebih terperinci

Geokimia Organik 5. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi - Pembentukan Minyak Bumi - Pentingnya Waktu dan Suhu dalam Pembentukan Minyak Bumi

Geokimia Organik 5. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi - Pembentukan Minyak Bumi - Pentingnya Waktu dan Suhu dalam Pembentukan Minyak Bumi Geokimia Organik 5. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi - Pembentukan Minyak Bumi - Pentingnya Waktu dan Suhu dalam Pembentukan Minyak Bumi - Migrasi Hidrokarbon - Komposisi Minyak Bumi - Terbentuknya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan. Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan. Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera Selatan diantaranya: 1. Komplek Batuan Pra -Tersier Komplek

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Peta lokasi daerah penelitian yang berada di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Satyana, 2005). Lokasi daerah penelitian

Bab I Pendahuluan. Peta lokasi daerah penelitian yang berada di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Satyana, 2005). Lokasi daerah penelitian Bab I Pendahuluan I.1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian adalah studi batuan induk hidrokarbon di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Gambar I.1), sedangkan objek penelitian meliputi data geokimia

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu cekungan Tersier yang mempunyai prospek hidrokarbon yang baik adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat atau sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori 1 BAB I PENDAHALUAN I.1. Latar Belakang Kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencari lapangan-lapangan baru yang dapat berpotensi menghasilkan minyak dan atau

Lebih terperinci

Bab III Teori Dasar III.1 Kekayaan Material Organik

Bab III Teori Dasar III.1 Kekayaan Material Organik Bab III Teori Dasar III.1 Kekayaan Material Organik Jumlah material organik yang ada pada batuan dinyatakan sebagai nilai karbon organik total (TOC/Total Organic Carbon) dalam satuan persen dari batuan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR...... iv SARI...... v DAFTAR ISI...... vi DAFTAR GAMBAR...... x DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii

Lebih terperinci

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT Praptisih 1, Kamtono 1, dan M. Hendrizan 1 1 Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Jl. Sangkuriang Bandung 40135 E-mail: praptisih@geotek.lipi.go.id

Lebih terperinci

STUDI GEOKIMIA DAN PEMODELAN KEMATANGAN BATUAN INDUK FORMASI TALANGAKAR PADA BLOK TUNGKAL, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STUDI GEOKIMIA DAN PEMODELAN KEMATANGAN BATUAN INDUK FORMASI TALANGAKAR PADA BLOK TUNGKAL, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN BULLETIN OF GEOLOGY Scientific Group of Geology, Faculty of Earth Sciences and Technology Institut Teknologi Bandung (ITB) STUDI GEOKIMIA DAN PEMODELAN KEMATANGAN BATUAN INDUK FORMASI TALANGAKAR PADA BLOK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi sifat-sifat litologi dan fisika dari batuan reservoar, sehingga dapat dikarakterisasi dan kemudian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lapangan Devon merupakan salah satu lapangan migas yang sudah berproduksi, dimana lapangan tersebut adalah bagian dari Blok Jabung yang dikelola oleh Petrochina Indonesia.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM Cekungan Asri merupakan bagian dari daerah operasi China National Offshore Oil Company (CNOOC) blok South East Sumatera (SES). Blok Sumatera Tenggara terletak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerogen tipe III. - H/C < 1,0 dan O/C > 0,3 - Menghasikan minyak. Kerogen tipe IV

BAB I PENDAHULUAN. Kerogen tipe III. - H/C < 1,0 dan O/C > 0,3 - Menghasikan minyak. Kerogen tipe IV BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuan Induk (Source Rock) adalah batuan karbonat yang berasal dari zat-zat organic yang terendapkan oleh batuan sedimen. Sehingga tidak terjadi siklus carbon seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kebutuhan energi terutama energi fosil yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kebutuhan energi terutama energi fosil yang semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejalan dengan kebutuhan energi terutama energi fosil yang semakin meningkat sementara produksi minyak akan semakin berkurang, perusahaanperusahaan minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan penggerak di seluruh aspek kehidupan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Energi diartikan sebagai daya (kekuatan) yang dapat digunakan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang terbentuk di permukaan bumi dari akumulasi sisa-sisa material organik dan anorganik. Material organik tumbuhan merupakan unsur

Lebih terperinci

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian Bab I Pendahuluan I.1 Topik Kajian Topik yang dikaji yaitu evolusi struktur daerah Betara untuk melakukan evaluasi struktur yang telah terjadi dengan mengunakan restorasi palinspatik untuk mengetahui mekanismenya

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA 2.1. Kerangka Geologi Regional Cekungan Sumatera Utara sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1 di bawah ini, terletak di ujung utara Pulau Sumatera, bentuknya

Lebih terperinci

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh : Edlin Shia Tjandra (07211033) Fanny Kartika (07211038) Theodora Epyphania (07211115) TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan Kematangan

Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan Kematangan Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan Kematangan Reza Mohammad Ganjar Gani, Yusi Firmansyah, Nisa Nurul Ilmi Abstrak Fokus

Lebih terperinci

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis Geokimia Organik Diagenesis Proses yang mempengaruhi produk dari produksi primer yang terjadi selama pengendapan dan tahap awal pembusukan di bawah kondisi temperatur dan tekanan yang relatif rendah Transformasi

Lebih terperinci

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Cekungan Busur Belakang Sumatera terbentuk pada fase pertama tektonik regangan pada masa awal Tersier. Sedimentasi awal

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Letak Geografis Daerah Penelitian Daerah penelitian, yaitu daerah Cekungan Sunda, secara umum terletak di Laut Jawa dan berada di sebelah Timur Pulau Sumatera bagian Selatan

Lebih terperinci

BAB IV ESTIMASI SUMBER DAYA HIDROKARBON PADA FORMASI PARIGI

BAB IV ESTIMASI SUMBER DAYA HIDROKARBON PADA FORMASI PARIGI BAB IV ESTIMASI SUMBER DAYA HIDROKARBON PADA FORMASI PARIGI 4.1 Pendahuluan Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan analisis untuk memperkirakan sumber daya hidrokarbon di daerah penelitian.

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

PEMODELAN KEMATANGAN HIDROKARBON DAERAH KOTABUMI, KABUPATEN LAMPUNG UTARA, PROPINSI LAMPUNG

PEMODELAN KEMATANGAN HIDROKARBON DAERAH KOTABUMI, KABUPATEN LAMPUNG UTARA, PROPINSI LAMPUNG PEMODELAN KEMATANGAN HIDROKARBON DAERAH KOTABUMI, KABUPATEN LAMPUNG UTARA, PROPINSI LAMPUNG TUGAS AKHIR B Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Teknik Geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cekungan Tarakan terbagi menjadi empat Sub-Cekungan berdasarkan Pertamina BPPKA (1996), yaitu Sub-Cekungan Muara, Sub-Cekungan Berau, Sub-Cekungan Tarakan, dan Sub-Cekungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Blok Mambruk merupakan salah satu blok eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi yang terdapat pada Cekungan Salawati yang pada saat ini dikelola oleh PT. PetroChina

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi

Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi IV.1 Kekayaan dan Kematangan Batuan Induk IV.1.1 Kekayaan Kekayaan batuan induk pada daerah penelitian dinilai berdasarkan kandungan material organik yang ada pada batuan

Lebih terperinci

Analisis Persebaran Total Organic Carbon (TOC) pada Lapangan X Formasi Talang Akar Cekungan Sumatera Selatan menggunakan Atribut Impedansi Akustik

Analisis Persebaran Total Organic Carbon (TOC) pada Lapangan X Formasi Talang Akar Cekungan Sumatera Selatan menggunakan Atribut Impedansi Akustik Analisis Persebaran Total Organic Carbon (TOC) pada Lapangan X Formasi Talang Akar Cekungan Sumatera Selatan menggunakan Atribut Impedansi Akustik PRIMA ERFIDO MANAF1), SUPRIYANTO2,*), ALFIAN USMAN2) Fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus

BAB I PENDAHULUAN. Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus didiskusikan para ahli. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan pada zona ini diawali dengan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera Selatan diantara : 1. Komplek Batuan Pra-Tersier Kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemodelan geologi atau lebih dikenal dengan nama geomodeling adalah peta

BAB I PENDAHULUAN. Pemodelan geologi atau lebih dikenal dengan nama geomodeling adalah peta BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemodelan geologi atau lebih dikenal dengan nama geomodeling adalah peta geologi tiga dimensi yang ditampilkan secara numerik, yang dilengkapi dengan deskripsi kuantitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksplorasi hidrokarbon memerlukan pemahaman mengenai cekungan tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses terbentuknya cekungan, konfigurasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Gambaran Umum Daerah penelitian secara regional terletak di Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan ini dibatasi Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah

Lebih terperinci

Bab III Gas Metana Batubara

Bab III Gas Metana Batubara BAB III GAS METANA BATUBARA 3.1. Gas Metana Batubara Gas metana batubara adalah gas metana (CH 4 ) yang terbentuk secara alami pada lapisan batubara sebagai hasil dari proses kimia dan fisika yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara yang terletak di sebelah baratlaut Pulau Jawa secara geografis merupakan salah satu Cekungan Busur Belakang (Back-Arc Basin) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya (International Energy Agency, 2004). Menurut laporan dari British

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya (International Energy Agency, 2004). Menurut laporan dari British 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Konsumsi energi dunia selalu mengalami peningkatan dengan laju 1,6 % di setiap tahunnya (International Energy Agency, 2004). Menurut laporan dari British Petroleum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi permintaan akan energi yang terus meningkat, maka

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi permintaan akan energi yang terus meningkat, maka BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Untuk memenuhi permintaan akan energi yang terus meningkat, maka perusahaan penyedia energi melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya energi yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam melakukan eksplorasi hingga pengembangan lanjut di daerah suatu lapangan, diperlukan pemahaman akan sistem petroleum yang ada. Sistem petroleum mencakup batuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai 60.000 km 2 dan

Lebih terperinci

PREDIKSI TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) MENGGUNAKAN REGRESI MULTILINEAR DENGAN PENDEKATAN DATA WELL LOG

PREDIKSI TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) MENGGUNAKAN REGRESI MULTILINEAR DENGAN PENDEKATAN DATA WELL LOG ISSN : 2579-5821 (Cetak) ISSN : 2579-5546 (Online) Alamat URL : http://journal.unhas.ac.id/index.php/geocelebes Jurnal Geocelebes Vol. 2 No. 1, April 2018, 1-5 PREDIKSI TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan industri baik lokal maupun global yang membutuhkan minyak bumi sebagai sumber energi mengakibatkan semakin tingginya tuntutan dalam meningkatkan kegiatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan eksplorasi migas untuk mengetahui potensi sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan eksplorasi migas untuk mengetahui potensi sumber daya BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kegiatan eksplorasi migas untuk mengetahui potensi sumber daya energi di Indonesia terus dilakukan seiring bertambahnya kebutuhan energi yang semakin meningkat. Berbagai

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara di Pit J daerah Pinang dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Sampel batubara

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional Bab II Geologi Regional II.1 Struktur dan Tektonik Cekungan Sumatera Selatan merupakan tipe cekungan belakang busur (back-arc basin) yang berumur Tersier dan diperkirakan mempunyai ukuran panjang sekitar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi X Cekungan Y. Proposal Tugas Akhir. Oleh: Vera Christanti Agusta

Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi X Cekungan Y. Proposal Tugas Akhir. Oleh: Vera Christanti Agusta Analisis Geokimia Minyak dan Gas Bumi pada Batuan Induk Formasi X Cekungan Y Proposal Tugas Akhir Oleh: Ditujukan kepada: FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2014 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN Data seismik dan log sumur merupakan bagian dari data yang diambil di bawah permukaan dan tentunya membawa informasi cukup banyak mengenai kondisi geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu kegiatan pengumpulan data bawah permukaan pada kegiatan pengeboran sumur minyak dan atau gas bumi baik untuk sumur eksplorasi maupun untuk sumur

Lebih terperinci

II. GEOLOGI REGIONAL

II. GEOLOGI REGIONAL 5 II. GEOLOGI REGIONAL A. Struktur Regional dan Tektonik Cekungan Jawa Timur Lapangan KHARIZMA berada di lepas pantai bagian selatan pulau Madura. Lapangan ini termasuk ke dalam Cekungan Jawa Timur. Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah OCO terdapat pada Sub-Cekungan Jatibarang yang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara yang sudah terbukti menghasilkan hidrokarbon di Indonesia. Formasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Kerangka Tektonik (a) 5 (b) Gambar 1. Posisi tektonik Cekungan Sumatera Selatan dan pembagian subcekungan di Cekungan Sumatera Selatan (Laporan Internal PT. PERTAMINA EP Asset

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan minyak baru di Indonesia diyakini masih tinggi walaupun semakin sulit

BAB I PENDAHULUAN. lapangan minyak baru di Indonesia diyakini masih tinggi walaupun semakin sulit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan eksplorasi minyak dan gas bumi menjadikan penelitian dan pengoptimalan studi cekungan lebih berkembang sehingga potensi untuk mencari lapangan

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan 1. Kandungan air bawaan batubara relatif menjadi turun pada setiap penurunan kedalaman dari lapisan bagian atas (roof) menuju lapisan bagian bawah (floor)

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO STUDI FAMILI MINYAK DI LAPANGAN EDELWEISS DAN CRISAN SERTA KORELASI TERHADAP KEMUNGKINAN BATUAN INDUK, CEKUNGAN JAWA TIMUR

UNIVERSITAS DIPONEGORO STUDI FAMILI MINYAK DI LAPANGAN EDELWEISS DAN CRISAN SERTA KORELASI TERHADAP KEMUNGKINAN BATUAN INDUK, CEKUNGAN JAWA TIMUR UNIVERSITAS DIPONEGORO STUDI FAMILI MINYAK DI LAPANGAN EDELWEISS DAN CRISAN SERTA KORELASI TERHADAP KEMUNGKINAN BATUAN INDUK, CEKUNGAN JAWA TIMUR TUGAS AKHIR ELOK ANNISA DEVI 21100113120033 FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku berumur Paleozoic-Mesozoic

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1. Geologi Regional. Pulau Tarakan, secara geografis terletak sekitar 240 km arah Utara Timur Laut dari Balikpapan. Secara geologis pulau ini terletak di bagian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI UMUM

BAB III GEOLOGI UMUM BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 Geologi Regional Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan yang berbentuk asimetris, dibatasi oleh sesar dan singkapan batuan Pra-Tersier yang mengalami pengangkatan di bagian

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berjalannya waktu jumlah cadangan migas yang ada tentu akan semakin berkurang, oleh sebab itu metoda eksplorasi yang efisien dan efektif perlu dilakukan guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belakang di Indonesia yang terbukti mampu menghasilkan hidrokarbon (minyak

BAB I PENDAHULUAN. belakang di Indonesia yang terbukti mampu menghasilkan hidrokarbon (minyak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan salah satu cekungan busur belakang di Indonesia yang terbukti mampu menghasilkan hidrokarbon (minyak dan gas). Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan R merupakan bagian dari kompleks gas bagian Selatan Natuna yang terbentuk akibat proses inversi yang terjadi pada Miosen Akhir hingga Pliosen Awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dewasa ini kebutuhan akan minyak dan gas bumi adalah vital bagi hampir seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi komoditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi di dunia, dibutuhkan pengembangan dalam mengeksplorasi dan memproduksi minyak dan gas bumi tersebut. Oleh karena

Lebih terperinci

EVALUASI BATUAN INDUK SAMPLE BATUAN SEDIMEN FORMASI TALANG AKAR DI DAERAH LENGKITI, OGAN KOMERING ULU, SUMATERA SELATAN

EVALUASI BATUAN INDUK SAMPLE BATUAN SEDIMEN FORMASI TALANG AKAR DI DAERAH LENGKITI, OGAN KOMERING ULU, SUMATERA SELATAN EVALUASI BATUAN INDUK SAMPLE BATUAN SEDIMEN FORMASI TALANG AKAR DI DAERAH LENGKITI, OGAN KOMERING ULU, SUMATERA SELATAN Budhi Kuswan Susilo *, Edy Sutriyono, Idarwati, Elisabet Dwi Mayasari Teknik Geologi,

Lebih terperinci

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

Bab III Pengolahan dan Analisis Data Bab III Pengolahan dan Analisis Data Dalam bab pengolahan dan analisis data akan diuraikan berbagai hal yang dilakukan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan. Data yang diolah dan dianalisis

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Proses Pembentukan Batubara

Gambar 1.1 Proses Pembentukan Batubara 1. Bagaimana terbentuknya? Gas metana batubara terbentuk selama proses coalification, yaitu proses perubahan material tumbuhan menjadi batubara. Bahan organik menumpuk di rawa-rawa sebagai tumbuhan mati

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR BAB IV UNIT RESERVOIR 4.1. Batasan Zona Reservoir Dengan Non-Reservoir Batasan yang dipakai untuk menentukan zona reservoir adalah perpotongan (cross over) antara kurva Log Bulk Density (RHOB) dengan Log

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Pertamina BPPKA (1996), Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah Cekungan

Lebih terperinci

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya energi yang melimpah dan beraneka ragam, diantaranya minyak bumi, gas bumi, batubara, gas alam, geotermal, dll.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Daerah Sumatera Barat South West Bukit Barisan merupakan nama blok konsesi minyak dan gas bumi yang terletak di daerah onshore di bagian tengah Sumatera Barat.

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional Cekungan Natuna Barat berada pada kerak kontinen yang tersusun oleh batuan beku dan metamorf yang berumur Kapur Awal Kapur Akhir. Cekungan ini dibatasi oleh

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN BITUMEN PADAT DAERAH WINDESI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TELUK WONDAMA, PROVINSI PAPUA BARAT

PENYELIDIKAN BITUMEN PADAT DAERAH WINDESI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TELUK WONDAMA, PROVINSI PAPUA BARAT PENYELIDIKAN BITUMEN PADAT DAERAH WINDESI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TELUK WONDAMA, PROVINSI PAPUA BARAT Dede I. Suhada, Rahmat Hidayat, Sandy Rukhimat, Asep Suryana Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan Bab I Pendahuluan I.1 Maksud dan Tujuan Pemboran pertama kali di lapangan RantauBais di lakukan pada tahun 1940, akan tetapi tidak ditemukan potensi hidrokarbon pada sumur RantauBais#1 ini. Pada perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini di Indonesia semakin banyak ditemukan minyak dan gas yang terdapat pada reservoir karbonat, mulai dari ukuran kecil hingga besar. Penemuan hidrokarbon dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM Tujuan utama analisis variogram yang merupakan salah satu metode geostatistik dalam penentuan hubungan spasial terutama pada pemodelan karakterisasi

Lebih terperinci