3. METODOLOGI PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3. METODOLOGI PENELITIAN"

Transkripsi

1 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Wilayah Studi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Tapak PLTN Ujung Lemah Abang (ULA) Muria Jateng dengan radius 35 km dari pusat PLTN tersebut. Lokasi PLTN berada pada koordinat 6 o Lintang Selatan serta 110 o Bujur Timur yang meliputi Wilayah kabupaten Jepara, sebagian Pati, sebagian Demak, dan sebagian Kudus Jawa Tengah. Daerah sekitar lokasi ke sebelah Utara merupakan lautan dan kesebelah selatan merupakan Daratan. Waktu penelitian dilaksanakan mulai pada bulan Maret 2008 dan berakhir tahun Gambar 19 menunjukkan lokasi wilayah studi penelitian. Gambar 1 Foto udara wilayah studi ( 2009) 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Dalam penelitian ini digunakan bahan berupa: a. Peta rupa bumi kabupaten Jepara, Pati, Kudus dan Demak a. Perangkat Lunak Arcview, ArcGis, SPSS, Minitab, MS-Excel b. Peralatan Laboratorium untuk analisis tanah (Atomic Absorption Spectofotometer, peralatan gelas, dan lain-lain.) c. Data BMG, BPS, BATAN 3.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur dan observasi baik data primer maupun data sekunder. Jenis data yang dikumpulkan berupa data

2 kuantitatif dan kualitatif dan materi kajian pendukung dari berbagai data kajian terdahulu yang berkaitan dengan PLTN ULA Muria. Data primer yang diolah meliputi data analisis tanah wilayah studi untuk mengetahui kandungan unsur utamanya pada radius wilayah studi dan data observasi geografis kondisi real terkini di wilayah studi. Data sekunder meliputi data curah hujan, arah angin, tata guna lahan yang diperoleh dari lembaga-lembaga terpercaya seperti BMG, BATAN dan BPS yang diproses dan diolah kembali sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan meliputi 1) Data yang berkaitan dengan sekenario kecelakaan PLTN dan eksplorasi data berkenaan dengan peluang terjadinya kerusakan reaktor yang akan dibangun di PLTN Muria; 2) Data jenis dan karakter radionuklida yang berkaitan dengan inventory reaktor yang berpeluang akan ke luar lingkungan pada saat terjadinya kecelakaan; 3) Data karakteristik wilayah studi meliputi data atmosfir wilayah studi, data curah hujan dan cuaca tahunan wilayah studi, data karakteristik tanah, vegetasi di wilayah studi kaitannya dengan radionuklida; 4) Data peta wilayah studi yang meliputi batas wilayah administrasi tiap desa, tiap kecamatan dan kabupaten; 5) Konsentrasi radionuklida di dalam inventory dan konsentrasi radionuklida hasil perhitungan yang akan memasuki wilayah studi 6) Perhitungan konsentrasi radionuklida yang terdeposisi disebabkan pengaruh hujan serta perhitungan konsentrasi radionuklida disebabkan serapan tanah dan vegetasi ; 7) Data referensi kecelakaan nuklir berkenaaan dengan distribusi radionuklida ke lingkungan serta referensi hasil perhitungan sesuai dengan fakta kecelakaan yang pernah terjadi. 3.4 Metode Analisis Analisis penelitian menggunakan rujukan yang berasal dari International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam Regulatory Control of Radioactive Discharges to the Environment, Safety Standards No. WS-G-2.3, (2000), bahwa di dalam pengembangan model distribusi radionuklida di suatu fasilitas nuklir mengikuti langkah-langkah berikut: a) penentuan asumsi-asumsi dasar kecelakaan dan jumlah paparan yang akan mencapai jarak tertentu yang diawali dari kajian sebelumnya berkenaan dengan jumlah inventory dan dosis dalam inventory reaktor, b) perhitungan jumlah radionuklida yang akan sampai pada jarak tertentu

3 menggunakan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan lingkungan studi dan beberapa asumsi standar berkaitan dengan kondisi-kondisi distribusi, c) dosis hasil perhitungan dikonfirmasi dengan data kejadian serupa pada literatur untuk melihat penyimpangan yang ada, d) diperlukan perbandingan dengan referensi yang ada untuk memutuskan bahwa peta spasial tersebut dapat direkomendasikan. Dengan merujuk pada Safety Standards No. WS-G-2.3, IAEA (2000), maka untuk pengembangan model distribusi spasial radionuklida di wilayah studi dengan mengumpulkan data dengan rancangan kerja dapat digambarkan dengan flowchart rancangan kerja penelitian seperti pada Gambar 20 yang dimulai dengan asumsi kecelakaan, seleksi radionuklida penting yang berpeluang memasuki lingkungan, selanjutnya penentuan densitas radionuklida di udara, dilanjutkan dengan penentuan densitas radionuklida di darat dengan menghitung faktor deposisi, faktor serapan tanah dan akar, selanjutnya dilakukan pemodelan menggunakan software aplikasi AcGis 9.3 agar diperoleh model distribusi spasial radionuklida di wilayah studi. ASUMSI KECELAKAAN Seleksi RADIONUKLIDA CEMARAN PENENTUAN DENSITAS CEMARAN (UDARA) PENENTUAN FAKTOR DEPOSISI Wil Studi Pemodelan dengan ArcGIS 9.3 VALIDASI Tidak Ya PENENTUAN Kecepatan degradasi cemaran PENENTUAN DENSITAS CEMARAN (Tanah) Model Distribusi spasial Radionuklida di Wilayah studi PENENTUAN DENSITAS CEMARAN (Tumbuhan) KESIMPULAN Gambar 2 Flowchart rancangan kerja penelitian. Penentuan model distribusi spasial radionuklida di masa depan dimulai dengan pemodelan distribusi spasial radionuklida untuk kondisi nyata ketika

4 dilakukan penelitian dengan memperhitungkan faktor perubahan luasan tata guna lahan di wilayah studi untuk tahun t, maka dapat ditentukan luasan distribusi radionuklida pada tahun-tahun mendatang seperti flowchart perkiraan luasan pada Gambar 21. Start Luasan cemaran tanah Luasan cemaran vegetasi Perubahan vegetasi pertahun wil studi Perubahan tanah pertahun wil studi Luasan cemaran tanah tahun t Luasan cemaran vegetasi tahun t Analisis spasial (merge) Validasi model (statistik) Gambar 3 Flowchart perkiraan luasan pada kecelakaan PLTN di masa depan.. Model luasan cemaran Perkiraan di darat tahun t1,.tx. Tujuan penelitian, jenis data yang dikumpulan, cara pengumpulan data serta analisis data untuk memperoleh model distribusi spasial radionuklida di lingkungan udara, lingkungan tanah dan lingkungan vegetasi untuk setiap radionuklida yang berpotensi mencemari lingkungan pada saat terjadinya kecelakaan disajikan pada Tabel 9 berikut ini.

5 Tabel 1 Tujuan, jenis, pengumpulan dan analisis data No Tujuan Jenis data yang diperlukan Pengumpulan Teknik Analisis Harapan out put 1. Untuk mengetahui faktor Asumsi-asumsi kecelakaan PLTN Data pekunder Analisis Gambar dan Tabel kondisi, jarak dan waktu Jenis radionuklida inventory reaktor Studi pustaka Statistika faktor-faktor yang yang berpengaruh Karakteristik distribusi tiap radionuklida kecelakaan (SPSS,Minitab, berpengaruh terhadap distibusi setiap PLTN Excel) terhadap distribusi jenis radionuklida pada Kondisi iklim wilayah studi radionuklida kecelakaan PLTN; Jenis dan kecepatan angin wilayah studi Koefisien Dinamika Radionuklida di udara Densitas paparan ke udara Faktor dinamika radionuklida di tanah dan vegetasi 2. Untuk mengetahui pola distribusi radionuklida di lingkungan pada kecelakaan PLTN dan dapat menentukan laju degradasi di lingkungan darat dengan GIS dari waktu ke waktu; 3 Untuk dapat menentukan zonasi kedaruratan apabila kecelakan nuklir terjadi di wilayah studi. 4 Untuk dapat memperkirakan luasan distribusi radionuklida dari kecelakaan PLTN di masa depan. Rekomendasi Sifat Kimia-Fisika Tanah Data distribusi radionuklida di udara, vegetasi, tanah Teknik-teknik pemodelan Sifat Kimia-Fisika vegetasi Peta Rupa Bumi 4 kabupaten Waktu degradasi radionuklida Faktor deposisi Densitas paparan ke darat Peta luasan wilayah studi dalam satuan desa Luasan vegetasi Luasan Tanah Data zonasi kedaruratan Model distribusi spasial radionuklida Tataguna lahan dan luasan wilayah studi Data Statistika penggunaan lahan Data primer Data pekunder Studi pustaka kecelakaan PLTN Data pekunder Studi pustaka kecelakaan PLTN Data primer Data pekunder Analisis Laboratorium Analisis Spacial (Arcview GIS) Analisis Statistika (SPSS,Minitab, Excel) Analisis Spacial (Arcview GIS) Analisis Statistika (SPSS,Minitab, Excel) Analisis Spacial (Arcview GIS) Gambar Peta zonasi radionuklida di wilayah studi Peta pola distribusi radionuklida di udara, dan darat Laju degradsi radionuklida Luasan dengan tingkat kedaruratan cemaran radionuklida Gambar peta zona kedaruratan Gambar Peta zona distribusi pada kejadian di masa depan MODEL DISTRIBUSI SPASIAL RADIONUKLIDA PADA KECELAKAAN PLTN MURIA

6 3.4.1 Asumsi Kecelakaan Asumsi awal adalah bahwa semua penghalang di dalam reaktor maupun pengungkung tidak dapat menahan keluarnya radionuklida diperoleh dari referensi kecelakaan yang pernah terjadi, peluang terjadinya kerusakan reaktor, sebab-sebab terjadinya kerusakan, konsentrasi inventory reaktor yang akan terdistribusikan ke lingkungan. Kecelakaan tejadi karena berbagai kemungkinan kegagalan yang menyebabkan bocornya teras reaktor PLTN berjenis PWR (Pressurized Water Reactor). Kecelakaan diasumsikan melebihi batasan konsekwensi lokal Level 4 INES (The International nuclear and radiological event). Oleh karena itu, asumsi kecelakaan yang diperhitungkan dalam distribusi radionuklida adalah dengan Level 5 sampai dengan 7 skala INES yang memiliki konsekwensi luas. Asumsi berikutnya berkenaan dengan waktu penanganan sumber pada saat kecelakaan PLTN. Dalam penelitian ini sumber pencemar yang keluar dari reaktor dapat diatasi segera sehingga radionuklida tidak terus menerus keluar mencemari lingkungan, batasan maksimum waktu yang diperlukan untuk menutup sumber agar radionuklida tidak terus menerus menuju lingkungan adalah selama 7 hari. Sebab-sebab radionuklida ke ingkungan adalah karena adanya kegagalan reaktor oleh suatu sebab di luar perkiraan sebelumnya. Kejadian tersebut menyebabkan bocornya teras reaktor PLTN Jenis PWR. Kegagalan yang menyebabkan kecelakaan disajikan dalam Tabel 10. Tabel 2 Sekenario kondisi kecelakaan Kegagalan Sebab Penghalang Dampak Lingkungan Gagal-1 Kisi kristal Pecah akibat Kelongsong Radionuklida temperatur terlalu tinggi tidak keluar Gagal-2 Kisi Kristal dan Sistem Radionuklida Kelongsong pecah Pendingin tidak keluar Gagal-3 Gagal 4 Kisi Kristal dan Kelongsong pecah, Sistem Pendingin primer bocor Kisi Kristal dan Kelongsong pecah, Sistem Pendingin primer bocor, tabung pengungkung bocor primer Tabung Pengungkung (containment) Cerobong Radionuklida keluar dalam media air dalam tabung pengungkung Radionuklida keluar melewati cerobong ke udara. Penggolongan Kejadian Kejadian Kecelakaan Kecelakaan parah

7 Penyebaran cemaran radionuklida akibat kecelakaan nuklir yang parah akan menuju ke semua arah mata angin dan memiliki pola sebaran mengikuti karakter iklim wilayah studi. Penelitian diasumsikan bahwa sebaran cemaran radionuklida akan bergerak menuju 16 grid arah mata angin seperti dalam Gambar 22 berikut. Gambar 4 Grid arah mata angin Keterangan : S = Arah Selatan S-BD = Arah antara Selatan dan Barat Daya BD = Arah bar Daya BD-B = Arah antara Barat Daya dan barat B = Arah Barat B-BL = Arah barat dan Barat Laut BL = Arah Barat laut BL-U = Arah antara Barat Laut dan Utara U = Arah Utara U-TL = Arah Antara Utara dan Timur Laut TL = Arah Timur Laut T = Arah Timur TG = Arah Tenggara TG-S = Arah antara Tenggara dan Selatan T-TG = Arah antara Timur dan Tenggara Seleksi Karakteristik Radionuklida Radionuklida diseleksi berdasarkan daya jangkau sebaran dengan kriteria jangkauan terjauh dan kriteria sifat fisika kimia yang paling mengganggu lingkungan studi, serta faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kemudahan dalam analisisnya, serta perbandingan dengan fakta-fakta kecelakaan nuklir yang telah terjadi. NRPB (1995) dan IAEA (1997) melaporkan bahwa radionuklida inventory reaktor PWR 1000Mwe yang sudah beroprasi 18 bulan pada 30 menit setelah shutdown terdapat 55 radionuklida hasil belah; 20 radionuklida diantaranya dapat berpotensi keluar reaktor pada saat kecelakaan. Pada fakta

8 kecelakaan PLTN yang pernah terjadi, tidak semua radionuklida keluar menuju lingkungan. Jangkaun dan distribusi radionuklida akan bergantung karakteristik fisika kimia setiap radionuklida dan berkaitan dengan iklim wilayah saat kecelakaan. Potensi radionuklida yang berpeluang menjadi pencemar lingkungan disajikan dalam Tabel 11 berikut. Tabel 3 Inventory radionuklida reaktor jenis PWR 1000 Mwe (30 menit setelah reaktor padam dan reaktor telah beroprasi 1 siklus (18 bulan)). Kr-85 Kr-85m Kr-87 Kr-88 Rb-86 Sr-89 Sr-90 2,0700E+13 8,0800E+14 1,7400E+15 2,0700E+15 9,6200E+11 3,4800E+15 1,3700E+14 Sr-91 Y-90 Y-91 Zr-95 Zr-97 Nb-95 Mo-99 4,0700E+15 1,4400E+15 4,4400E+15 5,5500E+15 5,5500E+15 5,5500E+15 5,9200E+15 Tc-99m Ru-103 Ru-105 Ru-106 Rh-105 Te-127 Te-127m 5,1800E+15 4,0700E+15 2,6600E+15 9,2500E+14 1,8100E+14 2,1800E+14 4,0700E+13 Te-129 Te-129m Te-131m Te-132 Sb-127 Sb-129 I-131 1,1500E+15 1,9600E+14 4,8100E+14 4,4400E+15 2,2600E+14 1,2200E+15 3,1500E+15 I-132 I-133 I-134 I-135 Xe-131m Xe-133 Xe-133m 4,4400E+15 6,2900E+15 7,0300E+15 5,5500E+15 3,7000E+13 6,2900E+14 2,2200E+14 Xe-135 Xe-138 Cs-134 Cs-136 Cs-137 Ba-140 La-140 1,2200E+15 6,2900E+15 2,7800E+14 1,1100E+14 1,7400E+14 5,9200E+15 5,9200E+15 Ce-141 Ce-143 Ce-144 Pr-143 Nd-137 Np-239 Pu-238 5,5500E+15 4,8100E+15 3,1500E+15 4,8100E+15 2,2200E+15 5,9200E+18 2,1100E+12 Pu-239 Pu-240 Pu-241 Am-241 Cm-242 Cm-244 7,7700E+11 7,7700E+11 1,2600E+14 6,2900E+10 1,8500E+16 8,5100E+14 Sumber: NRPB (1995), IAEA (1997) Radionuklida memiliki sifat kimia fisika yang berbeda-beda dengan Jangkaun dan distribusi radionuklida akan bergantung pada berat jenis dan waktu paruh yang dimilikinya serta berkaitan dengan pergerakan angin dan iklim wilayah pada saat kejadian kecelakaan. Radionuklida diseleksi berdasarkan daya jangkau sebaran terhadap jarak di wilayah studi dengan kriteria jangkauan terjauh dan kriteria sifat fisika kimia yang paling mengganggu lingkungan studi, serta faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kemudahan dalam analisisnya, serta perbandingan dengan fakta-fakta kecelakaan PLTN yang telah terjadi.

9 3.4.3 Penentuan Densitas Radionuklida ke Lingkungan Udara Radionuklida yang terdistribusi ke udara sampai pada titik tertentu di lingkungan bergantung pada konsentrasi inventory reator. Bila terjadi kecelakaan parah pada inti reaktor maka radionuklida inventory akan terkumpul pada pengungkung (containment) yang dirancang untuk menahan semua radionuklida agar tidak ke luar lingkungan. Tetapi jika pertahanan ini tidak berfungsi, selanjutnya radionuklida terlepas ke atmosfir. Setelah pelepasan radionuklida ke atmospir, maka selanjutnya akan mengalami pergerakan akibat dorongan angin (adveksi) dan proses pencampuran (difusi bergolak). Bahan radioaktif akan juga dipindahkan dari atmospir ke atas permukaan tanah dengan deposisi basah atau deposisi kering atau keduanya. Mekanisme penting adalah distribusi disebabkan oleh dorongan angin sebagai dasar pelepasan radionuklida ke udara. Dorongan angin akan menempatkan konsentrasi radionuklida, dan data dorongan angin diperlukan dalam data rata-rata tahunan yang akan menjadi dasar perkiraan konsentrasi radionuklida di udara pada lokasi wilayah studi (Till 1983). Satuan radionuklida di udara adalah dalam satuan konsentrasi Bq/m3 (C A ). Ilustrasi pergerakan radionuklida seperti digambarkan pada Gambar 23 Hujan Adveksi Difusi Angin h cerobong Pencucian Pengendapan Basah Difusi Bergolak Pengendapan Kering Sumber: Safety Reports Series No.19, IAEA ( 2001 ); Till, J.E. & Meyer, H.R.( 1983). Gambar 5 Ilustrasi mekanisme radionuklida di udara. Perhitungan Dispersi Radionuklida Analisis konsentrasi distribusi radionuklida dengan asumsi bahwa telah terjadi lepasnya radionuklida inventory reaktor menyebar melewati cerobong atau

10 σσσσcelah akibat kecelakaan. Distribusi radionuklida di atmosfir digambarkan dengan model penyebaran asap gaussian yang telah diterima secara luas dalam kaitannya dengan radiologi (IAEA 1980). Fraksi pelepasan dihitung dengan asumsi bahwa stabilitas atmosfir konstan, pelepasannya secara kontinyu (IAEA 2001; Umbara 2001). Distribusi radionuklida digambarkan dengan model penyebaran asap gaussian. Model ini dipergunakan dalam menghitung dispersi radioaktif dalam waktu yang lama di atmosfir, model ini telah diterima secara luas dalam kaitannya dengan radiologi. ( IAEA 1980). Model ini dapat mewakili distribusi pelepasan radionuklida dalam jangka pendek dalam hari maupun jangka panjang pada jarak beberapa kilometres dari sumber radiasi (Heinemann 1980a). Radionuklida disebarkan dari ketinggian cerobong dengan tinggi efektif h oleh angin yang berkecepatan µ disebarkan radionuklida ke arah sumbu x dan secara vertikal - horisontal ke arah sumbu z dan sumbu y. Luas penyebaran radionuklida didistribusikan sangat tergantung pada cuaca dan stabilitas atmosfer di wilayah studi. (Till 1983, Gifford 1968, NCRP 1984) C A Atau Q G y i z = X (x,y,z) = exp 2π y z Q ( ) ( ) i C = X (x,y,z; H) = exp ê y ú - z- h - z+ h A exp + exp p ê y z 2 σσ2μyσ σ2 é é ù - ù ì ü ì ü ï ï ï ï 2 í ý í ý ê úê 2 2 μy ë û y z ïî ïþ ïî ïþ ú ë û (2) Keterangan C A = X (x,y,z) = Konsentrasi campuran cemaran di udara pada koordinat x, y dan z (Bq/m 3 ) X = Jarak searah angin (m) Y = Jarak tegak lurus dengan searah angin (m) z = Jarak ketinggian dari atas tanah (m) Q = laju pelepasan campuran (Bq/detik) µ = Kecepatan angin rata-rata ( m/detik) σ y σ z = standar deviasi lebar beluk arah horisontal y, arah vertikal z h = Tinggi pelepasan efektif (m) λ = tetapan waktu paruh t = Waktu peluruhan (detik) Tahap awal perhitungan sebagai teknik skrining yang paling umum dan paling pesimis untuk menghitung jumlah radionuklida yang sampai pada suatu titik, menggunakan persamaan yang dirumuskan dalam IAEA Safety Report Series No.19 (2001) dengan sketsa gambar aliran udara dalam zona perpindahan (1)

11 dengan asumsi kepulan asam cemaran radionuklida berada pada ketinggian lebih dari 2,5 kali ketinggian bangunan seperti terlihat pada Gambar 24. Penyederhanaan dalam cara perhitungan radionuklida adalah dengan mengasumsikan bahwa konsentrasi radionuklida berada dalam satu titik tertentu yang berada di udara digambarkan dan dirumuskan seperti persamaan 3 berikut. Sumber: Safety Reports Series No.19, IAEA ( 2001 ); Gambar 6 Aliran udara dalam zona perpindahan (H >2.5 H B ). Efek tinggi bangunan tidak dipertimbangkan. Asumsi bahwa tinggi kepulan asap H lebih besar dari 2,5 kali tinggi bangunan yang ada di sekitarnya, akan mengikuti persamaan berikut ((IAEA 2001). (3) Keterangan C A = Rata-rara konsentrasi distribusi di udara pada dorongan angina pada sector p (Bq/m3), P p = Fraksi angin selama satu tahun yang mendorongan terhadap penerima di sector p u a = Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian terjadinya penyebaran per tahun (m/s), F = Faktor difusi gaussian pada ketinggian h terjadinya penyebaran dan pada jarak dorongan angin x dalam satuan (m 2 ), Q i = Laju rata-rata radionuklida i yang terdistribusikan (Bq/s). Nilai Q i diperoleh dari inventory reaktor yang disajikan dalam Tabel 11 halaman 82 yaitu berbagai unsur radionuklida yang berpeluang memasuki lingkungan akibat kecelakaan reaktor.

12 σσμ Penentuan Faktor Dispersi oleh Dorongan Angin (Nilai P p ) Nilai P p merupakan praksi angin selama selang waktu rata-rata yang mendorong radionuklida menjauhi titik sumber, dan nilai ini spesifik berdasarkan kondisi wilayah. Untuk mendapatkan nilai P p, maka penelitian ini menggunakan luasan udara dibagai ke dalam 16 arah mata angin untuk menentuakan fraksi berdasarkan dorongan angin pada masing-masing mata arah angin. Persamaan yang digunakan untuk menghitung faktor dispersi (X/Q) tahunan setiap sektor digunakan persamaan: æ 2 exp ( h) ö - M 2 æ 2 2 k Xö N çèç ø P P p = =.. ç Q å å çè ø p 2p x = = p j 1 zj k 1 Keterangan: N = jumlah arah mata angin P p,jk = frekwensi arah angin p, kategori atmosfir f dan kelas kecepatan angin k M = jumlah kategori atmosfir x = jarak searah angin (m) µ jk = kecepatan angin rata-rata pada kategori atmosfir f dan kelas kecepatan angin k ( m/detik) σ zj = standar deviasi lebar beluk arah vertikal z h = tinggi pelepasan efektif (m) Apabila mengabaikan pengaruh wilayah studi untuk tujuan pengujian awal dalam menghitung radionuklida yang jatuh di permukaan tanah nilai P p dapat diusulkan menggunakan nilai P p = 0.25 (NCRP 1989 & 1996). zjσp, jk jk (4) Penentuan Standar Deviasi Lebar Beluk (Nilai σ y dan σ z ) Nilai Parameter σy dan σy atau standar deviasi lebar beluk arah horisontal y (Nilai σ y ) dan arah vertikal z (σ z ) dari pergerakan angin di atmosfir dari jarak titik sumber diperoleh dari parameter lingkungan studi dengan persamaan σ y = 0, Ө. (5 -log x)x dan persamaan σ z = σ. x (a 1 + a 2 Log x + (log x)^2) (IAEA 1980; Umbara 2001) Penentuan Faktor Difusi Gaussian (F) Faktor difusi gaussian (F) pada ketinggian h adalah faktor penyebaran pada jarak x oleh dorongan angin dapat dihitung dari persamaan berikut. é ì ` (5) ( z h) 2 ü ì ( z h) 2 üù F = G z = expï- - ï - + expï ï í + 2 ý í 2 ý ê 2 2 y z ïî ïþ ïî ïþ ú σë û

13 Penentuan Laju Pelepasan (Faktor Fraksi Hasil Belah) Hasil belah inti dengan sinar radiasi yang terus menerus terpancar sampai fraksi belahnya habis dipengaruhi oleh sifat fisika kimia masing-masing radionuklida. Laju pelepasan radionuklida dari kebocoran reaktor menurut Pane (2006) ekivalen dengan laju kebocoran yang diasumsikan dengan X % per hari atau: X Q(t) = Qo (t), maka fraksi belah yang terus menerus keluar selama waktu t 2400 dapat ditulis menjadi: Q (t) X 1 i X =. 1-Exp - + t X λ Qio λ + Keterangan: 2400 Q io = kuat sumber awal radionuklida (Bq/t) Q i (t) = konsetrasi sumber akhir setelah waktu t (Bq/t) X = persentasi kebocoran per satuan waktu λ = perioda waktu paruh (1/t 1/2 ) (det -1 ) (6) Penentuan Faktor Peluruhan Radionuklida Radionuklida sebagai cemaran berbahaya adalah jumlah radionuklida yang sedang meluruh menuju kestabilan. Banyaknya bagian radionuklida yang meluruh terus menerus yang merupakan bagian sisa yang akan menjadi sumber pencemar yang akan bergerak terdorong angin dapat diperoleh dari persamaan berikut. t C Keterangan: At = CAoe - l λ = konstanta peluruhan (1/t 1/2 ) (det -1 ) C At = rata-rara konsentrasi radionuklida pada waktu t (Bq/m 3 ) C Ao = rata-rara konsentrasi radionuklida awal (Bq/m 3 ) t = waktu peluruhan (detik) (7) Penentuan Densitas Radionuklida di Lingkungan Darat Radionuklida yang sampai lingkungan darat, baik yang berada di tanah non-vegetasi ataupun yang berada di vegetasi ditentukan oleh densitas radionuklida yang datang dari udara. Oleh karena itu, penentuan radionuklida di darat adalah hasil dari densitas dari udara yang dipengaruhi oleh faktor deposisi pengaruh hujan, yang selanjutnya dipengaruhi oleh serapan tanah maupun serapan vegetasi yang ada di wilayah studi..

14 Iklim wilayah studi Iklim wilayah studi mempengaruhi jumlah radionuklida yang memasuki wilayah darat. Penentuan iiklim wilayah studi diamati berdasarkan stasiun pengamatan Daerah Ujung Lemah Abang Jepara serta stasiun-stasiun pengamatan yang dimiliki BMG. Kemudian diproses menjadi karakteristik udara wilayah studi berdasarkan jam pengamatan yang meliputi arah angin, kategori angin dan kecepatan angin. Dari stasiun pengamatan BMG (2009), data Penelitian BMG 30 tahun ( ), Laporan NEWJEC (1996) diperoleh data prakiraan curah hujan dalam mm yang merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar sehingga dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu millimeter. Wilayah studi ditentukan curah hujan bulanannya dan dikategorikan termasuk memiliki curah hujan rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi dengan ketentuan curah hujan mm dengan kategori rendah, curah hujan kategori sedang, kategori curah hujan tinggi dan >400 dikategorikan curah hujan sangat tinggi. Pola musim dari Data tersebut, maka wilayah studi dapat dikelompokkan menjadi data kondisi curah hujan normal atau di atas/di bawah normal. Jika memiliki nilai 0-84% dari rata-rata tahunan dikategorikan di bawah normal, jika memiliki nilai % dikategorikan normal, dan nilai > 115% dapat dikategorikan di atas normal Penentuan Faktor Deposisi Aktivitas radionuklida di tanah dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan jumlah aktivitas terdeposit di tanah per satuan waktu dengan konsentrasi udara di tingkat bawah. Perbandingan disebut koefisien deposisi (Gifford 1968 ; Pasquill 1983). Total laju deposisi di tanah dengan konsentrasi radionuklida di udara disajikan dapat ditulis. d i = (V d + V w ) C A (8) Keterangan: d i = total laju deposisi rata-rata harian di tanah yang diberikan oleh radionuklida i dari deposisi basah dan kering dipermukaan tanah dan vegetasi ((Bq.m 2.d 1 ) V d = koefisien deposisi kering radionuklida (m/d); V w = koefisien deposisi basah radionuklida (m/d). Nilai deposisi total adalah gabungan dari deposisi basah dan kering (Brenk 1981). Kecepatan pengendapan telah direkomendasikan sebagai koefisien deposit

15 total (V T ) yaitu nilai (V d + V w ) oleh NCRP (1998) yang dapat digunakan dalam perhitungan konservatif untuk menghitung jumlah cemaran radionuklida di permukaan tanah sebesar 1000 m/hari (Kohler 1991). Di lingkungan udara, awan radiasi akan mengalami deposisi karena cuaca atau karena curah hujan yang tinggi yang dikenal dengan pengendapan basah. Pengendapan basah radionuklida sangat bergantung pada besarnya curah hujan. Semakin tinggi curah hujan semakin besar radionuklida yang akan terendapkan pada permukaan tanah. Perhitungan intensitas pengendapan radionuklida akibat curah hujan dapat dihitung dengan persamaan Vinther (1984) L g = c x p a (9) Keterangan: L g = koefisien pengendapan (1/det) c =tetapan (1/mm) untuk Radionuklida bentuk gas atau aerosol p = intensitas pengendapan basah (mm/det) a = tetapan (0,6 untuk gas, 0,5 untuk aerosol) Nilai deposisi total adalah gabungan dari deposisi basah dan kering (Brenk 1981). Kecepatan pengendapan telah direkomendasikan sebagai koefisien deposit total (V T ) yaitu nilai (V d + V w ) direkomendasikan oleh NCRP (1998) sebesar 1000 m/hari dapat digunakan dalam perhitungan konservatif jumlah cemaran radionuklida di permukaan tanah (Kohler 1991). Di lingkungan atmosfir udara, awan radiasi akan mengalami deposisi karena cuaca atau karena curah hujan yang tinggi yang dikenal dengan pengendapan basah. Pengendapan basah radionuklida sangat bergantung pada pada besarnya curah hujan. Semakin tinggi curah hujan semakin besar radionuklida yang akan terendapkan pada permukaan tanah. Perhitungan intensitas pengendapan radionuklida akibat curah hujan dapat dihitung dengan persamaan Vinther (1984) serta menggunakan Tabel 12. L g = c x p a (10) Keterangan: L g = koefisien pengendapan (1/det) c =tetapan (1/mm) untuk Radionuklida bentuk gas atau aerosol p = intensitas pengendapan basah (mm/det) a = tetapan (0,6 untuk gas, 0,5 untuk aerosol)

16 Tabel 4 Hubungan koefisien pengendapan dan curah hujan No Curah hujan (mm/jam) L g (1/det) 1 0, ,10 1,3 x ,50 3,0 x ,00 4,0 x , ,00 2,0 x , Sumber: F Vinther (1984); Kartodiwirio (1995) Penentuan Densitas Radionuklida di Tanah Non-Vegetasi Wilayah studi merupakan wilayah dengan cakupan luas dalam radius 35 km. Sifat tanah dengan komposisi kandungan unsur berbeda memiliki kemampuan serapan radionuklida akan berbeda, untuk itu perlu dilakukan analisis unsur penting di tanah wilayah studi dan dilakukan uji statistika terhadap keberagaman unsur-unsur dalam tanah di berbagai titik koordinat yang mewakili. Kandungan unsur penting tanah wilayah studi di berbagai titik koordinat yang mewakili dilakukan analisis tanah untuk dapat mengetahui kandungan mineral penting anorganik Si, Al dan Fe,. Adanya kandungan mineral ini dalam wilayah studi dapat berperan di dalam kapasitas serapan radionuklida. Analsis mineral dilakukan dengan menggunakan peralatan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS). Penentuan faktor serapan tanah terhadap radionuklida dipengaruhi oleh faktor kinetika sorpsi dan disorpsi karakteristik tanah wilayah studi dan telah dilakukan oleh Setiawan (1999) yang telah melakukan uji kinetika radionuklida pada tapak PLTN Muria. Jumlah radionuklida yang terserap tanah dan terlepas kembali dari tanah dapat diekspresikan sebagai persentase reversibilitas: % Reversibiltas desorpsi = (C s - C s *)/C s (11) Keterangan: C s : kuantitas Cesium pada tanah sebelum desorpsi; C s *: kuantitas Cesium pada tanah setelah desorpsi Penentuan Densitas Radionuklida di Vegetasi Densitas radionuklida yang ada di permukaan vegetasi ditentukan oleh radionuklida yang memasuki darat dari udara serta ditentukan oleh kemampuan akar dalam menyerap radionuklida yang ada dipermukaan tanah. Radionuklida yang terserap tanah akan diikat akar tanaman, sehingga terjadi pengurangan

17 aktivitas radionuklida pada tanah. Untuk menentukan jumlah radionuklida yang terserap tanaman, menurut Sukmabuana (2005) dapat digambarkan seperti Gambar 25 berikut: k12 A1 (tanah) A2 (tanaman) k21 Gambar 7 Model serapan radionuklida dari tanah ke tanaman Keterangan: Perpindahan radionuklida dari tanah ke tanaman dapat dirumuskan dq dt dc d t 1 = k Q - ( k + l ) Q k Y = l Q ( k ) C (12) (13) Q 1 = konsentrasi radionuklida dalam tanah (MBq/satuan berat) Q 2 = konsentrasi radionuklida dalam tanaman (MBq/satuan berat) C = konsentrasi radionuklida dalam tanaman (MBq/satuan berat) Y = Produksi tanaman ג λ = konstanta peluruhan (1/hari) k 12 = Koefisien laju perpindahan dari tanah ke tanaman (1/hari) k 21 = Koefisien laju perpindahan dari tanaman ke tanah(1/hari) Karena penyerapan umumnya terjadi oleh tanaman terhadap tanah, maka persamaannya menjadi: dq1 =- ( k12 + l ) Q1 ; dc =- ( k21 + l ) C dt dt Dengan mengalikan konsentrasi Q 1 tanah dengan berat tanah serta mengalikan konsentrasi C pada tanaman dengan berat kering tanaman, maka diperoleh persamaan: Persamaan diatas dapat diselesaikan menjadi: Keterangan: A 1 = Aktivitas dalam tanah (MBq) A 2 = Aktivitas dalam tanaman (MBq) da1 da2 =- ( k12 + l ) A1 ; =- ( k21 + l ) A2 d d t - ( k12 +l ) A1 = A1(0) e A = A e - e ( - l t - ( k12 +l ) t 2 1(0) t t (14) (15)

18 Serapan radionuklida oleh tanaman dapat dihitung dengan percobaan dan membuat grafik ln ( A 1(0) / A 1) terhadap waktu (t) Distribusi Spasial Radionuklida di Darat Model distribusi spasial radionuklida di darat dibuat dengan langkahlangkah teknisnya sebagai berikut: 1) Penyiapan peta 260 luasan wilayah studi melalui digitasi peta rujukan; 2) Titik sampel disebarkan pada radisus 200 m m untuk setiap arah angin untuk 16 arah mata angin sesuai koordinat titik peta wilayah studi; 3) Pembuatan gambar model dengan nilai error sekecil mungkin; 4) Analisa output data hasil perhitungan untuk setiap wilayah (260 desa) melalui pendekatan model; 5) Validasi model Pembuatan 260 Peta Wilayah Desa Dgitasi peta dengan software ArcView 3.3 dan ArcGis 9.3 dilakukan untuk membuat peta wilayah studi, peta tata guna lahan, batas administrasi kabupaten, kecamatan dan wilayah-wilayah yang berada di kabupaten Jepara, Demak, Kudus dan Pati. Selain itu, dibuat peta wilayah darat bervegetasi dan peta wilayah luasan tanah yang ditutup bangunan/tanah kosong. Untuk keperluan tersebut diperlukan peta rupa bumi beberapa kabupaten dari Bakosurtanal antra lain: peta kabupaten Jepara, kabupaten Pati, kabupaten Kudus dan kabupaten Demak dengan skala 1: Data yang diperlukan untuk keperluan tersebut antara lain: Peta rupa Bumi lembar , , , , , , , , , , , , , , , dan RBU Peta rupa bumi tersebut selanjutnya di-digitasi kembali dengan ArcView 3.2 untuk membuat 260 peta wilayah desa. Data berupa angka-angka berkaitan dengan penggunaan lahan di kabupaten tersebut diperolah dari hasil pengolahan data BPS yang diolah lanjutan menjadi data yang diperlukan untuk keperluan wilayah studi. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memperkirakan jumlah radionuklida yang akan mencemari permukaan tanah wilayah studi.

19 Metoda Spasial dengan Software ArcGIS 9.3 Pusat cemaran merupakan lokasi PLTN pada ketinggian cerobong 49 m sesaui data dokumen teknis rancangan reaktor PWR IAEA No.955 (1977), dengan koordinat 6 o LS, 110 o BT. Selanjutnya dilakukan inputinput titik cemaran hasil perhitungan distribusi radionuklida di udara pada peta yang telah dibuat dengan jarak 0.2 km, 0.5 km, 1 km, 2 km, 3 km, 4 km, 5 km, km untuk masing-masing arah angin untuk masing-masing arah angin dari 16 arah mata angin. Terdapat 13 titik untuk setiap arah mata angin yang selanjutnya titik-titik tersebut digabungkan dalam 360 derajat. Dilakukan pembuatan peta spasial daerah studi terhadap (13 x 16 x 2 = 416 data) pada ArcGis untuk satu waktu setelah kejadian kecelakaan. Dilakukan pemodelan spasial untuk urutan kejadian meliputi: 7 hari setelah kejadian, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, 300, 330 sampai dengan 360 hari setelah kejadian kecelakaan. Berdasarkan penjelasan BAPETEN (2003) dan IAEA (1997) bahwa dalam tindakan penaanggulangan kedaruratan nuklir wilayah cemaran akibat kecelakaan fasilitas nuklir diklasifikasikan sebagai berikut: a) Precautionary Action Zone (PAZ) yaitu wilayah di sekitar PLTN dimana tindakan penanggulangan direncanakan dan ditetapkan sesegera mungkin setelah pernyataan terjadinya kecelakaan; b) Urgent Protective Action Planning Zone (UPZ) yaitu wilayah di sekitar PLTN yang disiapkan dan sesegera akan ditetapkan tindakan penanggulangan berdasarkan hasil pemantauan lingkungan; c) Longer Term Protective Action Planning Zone (LPZ) yaitu wilayah sampai dengan jarak yang relatif jauh dari UPZ, dimana tindakan penanggulangan dilaksanakan dalam jangka waktu panjang. dilaksanakan dalam jangka waktu panjang. Klasifikasi cemaran pada model distribusi spasial sesuai dengan Tabel 13 di atas luasan dibuat dalam 5 zona: (1) Dikategorikan aman apabila cemaran 0-50 msv ( kbq/m 3 ) dengan istilah A atau LPZ; (2) Zona relokasi lingkar 2 dengan cemaran msv ( kbq/m 3 ) dengan kode UPZ-2; (3) Zona relokasi lingkar 1 cemaran msv ( kbq/m 3 ) dengan kode UPZ-1; (4) Zona darurat lingkar 2 cemaran msv ( kbq/m 3 ) dengan kode PAZ-2 dan (5) Zona darurat lingkar 1 untuk cemaran > msv

20 (> kbq/m 3 ) dengan kode PAZ-1.( ARPNSA 2000 ; ICRP 1990; BAPETEN 2003; IAEA 1997) Tabel 5 Klasifikasi cemaran pada wilayah studi NO Cemaran (Penyesuaian Konversi) Keterangan** Zona Kedaruratan* msv kbq/m 3 Aman LPZ msv kbq/m 3 Relokasi 2 UPZ msv kbq/m 3 Sakit (hitungan Bulan) bila UPZ-1 terus menerus kbq/m 3 Sakit Parah (hitungan PAZ-2 msv Bulan) bila terus menerus 5 > msv > kbq/m 3 Meninggal (hitungan minggu) bila terus menerus. PAZ-1 Sumber :** ARPNSA 2000 ; ICRP 1990; * BAPETEN, 2003 dan IAEA Tecdoc-955, Rancangan Model Spasial dan Validasi Model Langkah awal sebelum model spasial diputuskan sebagai model, maka dilakukan beberapa tahapan terlebih dahulu: a) evaluasi data untuk menghindari data yang keliru serta posisi koordinat yang salah penempatan; b) membuat percobaan model dengan beberapa fungsi di dalam Arcgis 9.3 geostatistik diantaranya menggunakan kriging, IDW maupun radial basis fungsi; evaluasi model menggunakan data statistik dan data geostatistik; c) pembuatan peta secara spasial; d) validasi hasil peta pasial; e) keputusan pendekatan metoda yang digunakan. Memodelkan data secara spasial dengan cara interpolation spasial dari titik-titik sampel pada ruang wilayah studi dengan asumsi bahwa karakteristik lokasi yang diramalkan memiliki kemiripan kondisi dengan lokasi sampel yang diukur. Unsur-unsur yang dijadikan dasar intrapolasi adalah: titik kontrol ditambah metoda intrapolasi dengan beberapa asumsi: a) data adalah kontinyu, b) hipotesis permukaan, c) terdapat hubungan spasial dengan melakukan autocorrelation ruang dengan melakukan penilaian bahwa titik-titik yang berada dalam lokasi secara bersama-sama diyakini memiliki kemiripan dengan titik-titik lain berikutnya. Metoda pemodelan menggunakan model lokal dengan dengan pilihan metoda: inverse distance weighting (IDW), krigging dan radial basis fungsi (RBF). Langkah-langkah teknis pemodelan adalah: 1. Penyiapan peta wilayah studi sebanyak 260 luasan wilayah melalui digitasi dari data gambar foto udara.

21 2. Titik sampel disebarkan pada radisus arah 200 m, 500 m, m, m, m, m, m, m, m, m, m, m dan m untuk masing-masing arah angin sebanyak 16 arah mata angin pada wilayah studi dengan memassukan koorbinat titik pada peta wilayah studi. Nilai cemaran radionuklida pada titik-titik tersebut di gabungkan dengan dalam cakupan koordinat wilayah studi seperti digambarkan pada Gambar Pembuatan gambar model dengan memperhatikan nilai error sekecil mungkin. 4. Analisa output data dari perhitungan data cemaran yang akan diperoleh oleh masing-masing wilayah dari 260 wilayah desa melalui pendekatan model tersebut. 5. Validasi model perhitungan yang dihasilkan program. Data nilai cemaran radionuklida yang dihasilkan pada suatu wilayah hasil dari pemodelan, diuji signifikansi secara statistika untuk membedakan berbeda nyata atau tidak beda nyata antara nilai perkiraan model dengan nilai perhitungan teoritis. Gambar 8 Sebaran titik sampel pada koordinat wilayah studi Keluaran model spasial berupa luasan zona cemaran radionuklida yang akan diterima oleh setiap wilayah dan akan diperoleh luasan (zona) dengan

22 dampak besar dan luasan (zona) dengan dampak kecil pada urutan waktu setelah kejadian kecelakaan. Pembuatan distribusi radionuklida secara spasial dengan cara interpolation dari titik-titik sampel pada ruang wilayah studi dengan asumsi bahwa karakteristik lokasi yang diramalkan memiliki kemiripan kondisi dengan lokasi sampel yang diukur. Metoda pemodelan menggunakan pilihan metoda: inverse distance weighting (IDW), krigging dan radial basis fungsi (RBF), selanjutnya dilakukan uji validasi dari data hasil yang ada (Lukaszyk 2004; Lloyd 2007) serta membandingkan hasil model dengan kejadian kecelakaan nuklir yang pernah terjadi. Metoda spasial digunakan dalam penelitian untuk memperkirakan nilai berdasarkan variasi ruang, dimana nilai yang ingin diketahui tersebut berada dalam lokasi yang tidak terobservasi, menggunakan input data sampel yang terdistribusi Analisis Statistika Identifikasi dan klarifikasi data hasil dari percobaan dilakukan uji-uji statistik diantaranya untuk melihat sebaran data, rata-tata maupun variansinya. Diuji data hasil dan dibandingkan dengan data pengukuran, mengamati perbedannaya serta melihat error yang dihasilkan dari model. Analisis statistik dalam pemilihan model, pengujian model dan pengambil keputusan model melalui pengujian data dengan staristika software SPSS 13.0 /Minitab Penentuan Laju Degradasi Radionuklida di Darat Laju degradasi radionuklida di permukaan tanah ditentukan dengan ekperimen terhadap data hasil dengan melakukan pengujian terhadap orde satu atau orde dua. Degradasi order satu ditentukan oleh satu konsentrasi radionuklida yang terdegradasi. Untuk order reaksi satu, laju degradasi ditentukan oleh satu konsentrasi unsur yang mengalami degradasi. Hukum laju reaksi dapat ditulis sebagai berikut. dc = kc (16) dt Dimana k adalah konstanta laju degradasi yang sangat tergantung dengan pengaruh perubahan waktu. Secara eksperimen laju reaksi dapat ditentukan dengan menentukan hubungan antara konsentarasi yang ada dalam reaksi terhadap

23 waktu reaksi. Pada t=0 yaitu pada konsentrasi awalnya sama dengan c 0, dan persamaan di atas jika diintegrasikan menghasilkan persamaan berikut. c dc = k dt dt c0 0 t c ln c kt c = c = atau 0 dan ln 0 c0 log c k = t, bentuk persamaan ini dapat diubah menjadi 2,303 k log c= t+ log c0 (17) 2,303 Oleh karena itu, tetapan laju reaksi degradasi dapat ditentukan dengan membuat 0 plot grafik antara log c c dengan t, atau membuat plot grafik antara log c dengan t. Slope yang dihasilkan dapat menentukan nilai tetapan laju reaksi degradasi k order pertama. Jenis reaksi order satu ini dapat digunakan untuk menentukan karakteristik waktu paruh dari suatu unsur kimia yaitu dengan memisalkan konsentrasi setelah degradasi sebanyak setengah dari konsentrasi awalnya, 1 c= c0. Persamaan di atas dapat diubah menjadi 2 c 0 log t 1 1 2,303 2 c 2 0 k 0,693 = sehingga t 1 = (18) 2 k Laju degradai order reaksi kedua, ditentukan oleh satu reaktan dan satu produknya atau oleh dua reaktannya. Hukum laju reaksi kedua dapat ditulis seperti berikut ini, dc dt menghasilkan persamaan berikut. 2 = kc, dan persamaan di atas jika diintegrasikan c t dc k dt 2 c dan c0 0 = 1 1 c = kt atau 0 c = kt (19) c c cc 0 0 Nilai tetapan laju order kedua dapat ditentukan dengan memplot 1/c dengan t, slope yang dihasilkan merupakan laju reaksi order kedua. Waktu paruh reaksi order kedua dapat dirumuskan menjadi persamaan berikut. t 1 = (20) 1 2 kc0

24 3.4.7 Penentuan Perkiraan Luasan Radionuklida pada Kecelakaan PLTN Luasan tanah bervegetasi dan luasan tanah non-vegetasi akan mengalami perubahan dan komposisi sesuai dengan perubahan waktu dan sesuai dengan rancangan tata wilayah. Oleh karena itu, perkiraan perubahan luasan di tahun mendatang dibuat untuk dapat meramalkan luasan cemaran yang akan terjadi akibat kecelakaan PLTN di masa depan. Prosedurnya adalah peta spasial cemaran di tanah dan divegetasi dikonversi dengan faktor perubahan lahan dari waktu ke waktu sehingga dapat menghasilkan perkiraan luasan cemaran pada kecelakaan di waktu yang akan datang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecelakaan Nuklir dan Kelistrikan Indonesia

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecelakaan Nuklir dan Kelistrikan Indonesia 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecelakaan Nuklir dan Kelistrikan Indonesia Kecelakaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Fukhusima Jepang tanggal 11 Maret 2011 adalah kecelakaan nuklir terparah

Lebih terperinci

ABSTRACT RACHMAT SAHPUTRA

ABSTRACT RACHMAT SAHPUTRA ABSTRACT RACHMAT SAHPUTRA. Model of Spacial Distribution of Radionuclide on an Accident at PLTN (Accident Simulation of PLTN Muria). Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, ALINDA FITRIANY M ZAIN and PURWANTININGSIH

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis yang akan diuraikan meliputi hasil studi berkenaan dengan kecelakaan PLTN terdiri dari sekenario dan asumsi kecelakaan pada reaktor yang akan dibangun di PLTN Muria

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi, sosial maupun peningkatan kualitas hidup. Oleh karena itu kecukupan persediaan energi secara berkelanjutan

Lebih terperinci

KAJIAN BAKU TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI LINGKUNGAN UNTUK CALON PLTN AP1000

KAJIAN BAKU TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI LINGKUNGAN UNTUK CALON PLTN AP1000 KAJIAN BAKU TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI LINGKUNGAN UNTUK CALON PLTN AP1000 Moch Romli, M.Muhyidin Farid, Syahrir Pusat Teknologi Limbah Radioaktif BATAN Gedung 50 Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang 15310

Lebih terperinci

NILAI BATAS LEPASAN RADIOAKTIVITAS KE LINGKUNGAN

NILAI BATAS LEPASAN RADIOAKTIVITAS KE LINGKUNGAN 9 LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN NILAI BATAS LEPASAN RADIOAKTIVITAS KE LINGKUNGAN Nilai Batas Lepasan Radioaktivitas

Lebih terperinci

PENGARUH TINGGI LEPASAN EFEKTIF TERHADAP DISPERSI ATMOSFERIK ZAT RADIOAKTIF (STUDI KASUS: CALON TAPAK PLTN BANGKA BELITUNG)

PENGARUH TINGGI LEPASAN EFEKTIF TERHADAP DISPERSI ATMOSFERIK ZAT RADIOAKTIF (STUDI KASUS: CALON TAPAK PLTN BANGKA BELITUNG) PENGARUH TINGGI LEPASAN EFEKTIF TERHADAP DISPERSI ATMOSFERIK ZAT RADIOAKTIF (STUDI KASUS: CALON TAPAK PLTN BANGKA BELITUNG) Arif Yuniarto 1, Gabriel Soedarmini Boedi Andari 2, Syahrir 1 1. Pusat Pendayagunaan

Lebih terperinci

CONTOH TAHAPAN PERHITUNGAN NILAI BATAS LEPASAN RADIOAKTIVITAS KE LINGKUNGAN SPESIFIK TAPAK

CONTOH TAHAPAN PERHITUNGAN NILAI BATAS LEPASAN RADIOAKTIVITAS KE LINGKUNGAN SPESIFIK TAPAK KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN II PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN CONTOH TAHAPAN PERHITUNGAN

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN 20 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN 20 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN 20 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG SEKITAR CALON TAPAK PLTN UJUNG LEMAHABANG BERDASARKAN PRAKIRAAN DAMPAK RADIOLOGI

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG SEKITAR CALON TAPAK PLTN UJUNG LEMAHABANG BERDASARKAN PRAKIRAAN DAMPAK RADIOLOGI ANALISIS PEMANFAATAN RUANG SEKITAR CALON TAPAK PLTN UJUNG LEMAHABANG BERDASARKAN PRAKIRAAN DAMPAK RADIOLOGI Jupiter Sitorus Pane 1, Muhammad Sri Saeni 2, Bunasor Sanim 2, Ernan Rustiadi 2 Hudi Hastowo

Lebih terperinci

Badan Tenaga Nuklir Nasional 2012

Badan Tenaga Nuklir Nasional 2012 BATAN B.38 ANALISIS KONSEKUENSI KECELAKAAN PARAH PRESSURIZED WATER REACTOR DENGAN BACKWARDS METHOD Dr. Ir. Pande Made Udiyani Dr. Jupiter Sitorus Pane, M.Sc Drs. Sri Kuntjoro Ir. Sugiyanto Ir. Suharno,

Lebih terperinci

ANALISIS KONSEKUENSI RADIOLOGIS PADA KONDISI ABNORMAL PLTN 1000 MWe MENGGUNAKAN PROGRAM RADCON

ANALISIS KONSEKUENSI RADIOLOGIS PADA KONDISI ABNORMAL PLTN 1000 MWe MENGGUNAKAN PROGRAM RADCON 78 ISSN 0216-3128 Pande Made U., dkk. ANALISIS KONSEKUENSI RADIOLOGIS PADA KONDISI ABNORMAL PLTN 1000 MWe MENGGUNAKAN PROGRAM RADCON Pande Made Udiyani dan Sri Kuntjoro PTRKN-BATAN ABSTRAK ANALISIS KONSEKUENSI

Lebih terperinci

Wisnu Wisi N. Abdu Fadli Assomadi, S.Si., M.T.

Wisnu Wisi N. Abdu Fadli Assomadi, S.Si., M.T. PEMODELAN DISPERSI SULFUR DIOKSIDA (SO ) DARI SUMBER GARIS MAJEMUK (MULTIPLE LINE SOURCES) DENGAN MODIFIKASI MODEL GAUSS DI KAWASAN SURABAYA SELATAN Oleh: Wisnu Wisi N. 3308100050 Dosen Pembimbing: Abdu

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH KENAIKAN KERAPATAN ELEMEN BAKAR TERHADAP KESELAMATAN RADIOLOGI REAKTOR RSG-GAS

ANALISIS PENGARUH KENAIKAN KERAPATAN ELEMEN BAKAR TERHADAP KESELAMATAN RADIOLOGI REAKTOR RSG-GAS ANALISIS PENGARUH KENAIKAN KERAPATAN ELEMEN BAKAR TERHADAP KESELAMATAN RADIOLOGI REAKTOR RSG-GAS Pande Made Udiyani, Puradwi dan Lily Suparlina Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir, BATAN Kawasan

Lebih terperinci

PERHITUNGAN PARAMETER DEPOSISI LEPASAN PRODUK FISI DI PERMUKAAN TANAH TAPAK PLTN

PERHITUNGAN PARAMETER DEPOSISI LEPASAN PRODUK FISI DI PERMUKAAN TANAH TAPAK PLTN PERHITUNGAN PARAMETER DEPOSISI LEPASAN PRODUK FISI DI PERMUKAAN TANAH TAPAK PLTN Pande Made Udiyani Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir-BATAN Puspiptek Gd-80, Email: pmade-u@batan.go.id Masuk:

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PRODUK FISI SAAT TERJADI KECELAKAAN PARAH DAN EVALUASI SOURCE TERM

KARAKTERISTIK PRODUK FISI SAAT TERJADI KECELAKAAN PARAH DAN EVALUASI SOURCE TERM KARAKTERISTIK PRODUK FISI SAAT TERJADI KECELAKAAN PARAH DAN EVALUASI SOURCE TERM RINGKASAN Penelitian karakterisitk produk fisi pada saat terjadi kecelakaan parah pada reaktor air ringan, dan evaluasi

Lebih terperinci

ANALISIS DETERMINISTIK DAMPAK KECELAKAAN REAKTOR KARTINI TERHADAP KONSENTRASI RADIONUKLIDA DI TANAH MENGGUNAKAN SOFTWARE PC-COSYMA

ANALISIS DETERMINISTIK DAMPAK KECELAKAAN REAKTOR KARTINI TERHADAP KONSENTRASI RADIONUKLIDA DI TANAH MENGGUNAKAN SOFTWARE PC-COSYMA ANALISIS DETERMINISTIK DAMPAK KECELAKAAN REAKTOR KARTINI TERHADAP KONSENTRASI RADIONUKLIDA DI TANAH MENGGUNAKAN SOFTWARE PC-COSYMA Desintha Fachrunnisa, Diah Hidayanti 2, Suharyana Universitas Sebelas

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Asap atau polutan yang dibuang melalui cerobong asap pabrik akan menyebar atau berdispersi di udara, kemudian bergerak terbawa angin sampai mengenai pemukiman penduduk yang berada

Lebih terperinci

(Kurnia Anzhar dan Yarianto SBS)'

(Kurnia Anzhar dan Yarianto SBS)' Po/a Angin Laut dan Angin Darat di Daerah Ujung Lemah Abang, Semenanjung Muria (Kumia Anzhar dan Yarianto SBS.) POLA ANGIN LAUT DAN AN GIN DARAT DI DAERAH UJUNG LEMAHABANG, SEMENANJUNG MURIA (Kurnia Anzhar

Lebih terperinci

KAJI NUMERIK DAMPAK RADIOLOGIS LINGKUNGAN JANGKA PENDEK AKIBAT KECELAKAAN REAKTOR NUKLIR DENGAN PROGRAM PC COSYMA

KAJI NUMERIK DAMPAK RADIOLOGIS LINGKUNGAN JANGKA PENDEK AKIBAT KECELAKAAN REAKTOR NUKLIR DENGAN PROGRAM PC COSYMA KAJI NUMERIK DAMPAK RADIOLOGIS LINGKUNGAN JANGKA PENDEK AKIBAT KECELAKAAN REAKTOR NUKLIR DENGAN PROGRAM PC COSYMA Diah Hidayanti, Budi Rohman P2STPIBN-Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Jl. Gajah Mada 8 Jakarta

Lebih terperinci

RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK

RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK RINGKASAN Apabila ada sistem perpipaan reaktor pecah, sehingga pendingin reaktor mengalir keluar, maka kondisi ini disebut kecelakaan

Lebih terperinci

Diterima editor 16 September 2010 Disetujui untuk dipublikasi 12 Oktober 2010

Diterima editor 16 September 2010 Disetujui untuk dipublikasi 12 Oktober 2010 ISSN 1411 240X Pemodelan Dan Analisis Sebaran... (Sri Kuntjoro) PEMODELAN DAN ANALISIS SEBARAN RADIONUKLIDA DARI PWR PADA KONDISI ABNORMAL DI TAPAK BOJANEGARA-SERANG Sri Kuntjoro Pusat Teknologi Reaktor

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT i ii iii iv v vii ix x xi xii xiii

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 02/Ka-BAPETEN/V-99 TENTANG BAKU TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI LINGKUNGAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

Lebih terperinci

PERHITUNGAN NILAI SETTING ALARM ALPHA BETA AEROSOL MONITOR DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL

PERHITUNGAN NILAI SETTING ALARM ALPHA BETA AEROSOL MONITOR DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL Yogyakarta, 6 September 01 PERHITUNGAN NILAI SETTING ALARM ALPHA BETA AEROSOL MONITOR DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL Budi Prayitno, Muradi, Endang Sukesi Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir BATAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama dipenuhi dengan mengembangkan suplai batu bara, minyak dan gas alam.

BAB I PENDAHULUAN. terutama dipenuhi dengan mengembangkan suplai batu bara, minyak dan gas alam. BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Konsumsi energi dunia tumbuh dua puluh kali lipat sejak tahun 850 sementara populasi dunia tumbuh hanya empat kali lipat. Pada pertumbuhan awal terutama dipenuhi dengan

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN DISPERSI POLUTAN

BAB III PEMODELAN DISPERSI POLUTAN BAB III PEMODELAN DISPERSI POLUTAN Salah satu faktor utama ang mempengaruhi dispersi polutan adalah kecenderungan molekul-molekul polutan untuk berdifusi. Pada Bab II telah dijelaskan bahwa proses difusi

Lebih terperinci

PERKIRAAN DOSIS IMERSI TERHADAP PENAMBANG TIMAH DI LAUT PESISIR PULAU BANGKA DARI PENGOPERASIAN PLTN

PERKIRAAN DOSIS IMERSI TERHADAP PENAMBANG TIMAH DI LAUT PESISIR PULAU BANGKA DARI PENGOPERASIAN PLTN 64 ISSN 0216-3128 Nurokhim, dkk. PERKIRAAN DOSIS IMERSI TERHADAP PENAMBANG TIMAH DI LAUT PESISIR PULAU BANGKA DARI PENGOPERASIAN PLTN Nurokhim, Erwansyah Lubis Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP MODEL LEPASAN RADIOAKTIF DAN TINDAKAN PROTEKTIF UNTUK KECELAKAAN POTENSIAL PLTN

ANALISIS TERHADAP MODEL LEPASAN RADIOAKTIF DAN TINDAKAN PROTEKTIF UNTUK KECELAKAAN POTENSIAL PLTN Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 15 Nomor 1, Juli 2012 (Volume 15, Number 1, July, 2012) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive

Lebih terperinci

PREDIKSI DOSIS PEMBATAS UNTUK PEKERJA RADIASI DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL

PREDIKSI DOSIS PEMBATAS UNTUK PEKERJA RADIASI DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL No.05 / Tahun III April 2010 ISSN 1979-2409 PREDIKSI DOSIS PEMBATAS UNTUK PEKERJA RADIASI DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL Suliyanto, Budi Prayitno Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir BATAN ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infiltrasi Menurut Munaljid dkk. (2015) infiltrasi adalah proses masuknya air dari atas (surface) kedalam tanah. Gerak air di dalam tanah melalui pori pori tanah dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penciptaan energi nuklir menarik untuk dikaji karena dalam setiap pembelahan inti akan terjadi pelepasan energi yang besar. Contohnya, pada pembelahan satu inti uranium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenaga nuklir merupakan salah satu jenis energi yang saat ini menjadi alternatif energi potensial. Pemanfaatan teknologi nuklir saat ini telah berkembang di berbagai

Lebih terperinci

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Pemantauan kualitas udara Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Keabsahan dan keterpercayaannya ditentukan oleh metode dan analisis yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Parameter Infiltrasi Metode Horton Tabel hasil pengukuran laju infiltrasi double ring infiltrometer pada masingmasing lokasi dapat dilihat pada Lampiran A. Grafik

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 8 3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lahan kebun pala milik pengurus Forum Pala Aceh di Kecamatan Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, Indonesia.

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PE EMPATA KEMASA LIMBAH RADIOAKTIF AKTIVITAS RE DAH DA SEDA G DALAM REPOSITORI

OPTIMALISASI PE EMPATA KEMASA LIMBAH RADIOAKTIF AKTIVITAS RE DAH DA SEDA G DALAM REPOSITORI ABSTRAK OPTIMALISASI PE EMPATA KEMASA LIMBAH RADIOAKTIF AKTIVITAS RE DAH DA SEDA G DALAM REPOSITORI Kuat Heriyanto, Sucipta, Untara. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN OPTIMALISASI PE EMPATA KEMASA

Lebih terperinci

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Karakteristik Air Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Fakta Tentang Air Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi dengan volume sekitar 1.368 juta km

Lebih terperinci

REAKTOR GRAFIT BERPENDINGIN GAS (GAS COOLED REACTOR)

REAKTOR GRAFIT BERPENDINGIN GAS (GAS COOLED REACTOR) REAKTOR GRAFIT BERPENDINGIN GAS (GAS COOLED REACTOR) RINGKASAN Reaktor Grafit Berpendingin Gas (Gas Cooled Reactor, GCR) adalah reaktor berbahan bakar uranium alam dengan moderator grafit dan berpendingin

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN

Lebih terperinci

KEDARURATAN NUKLIR DI INDONESIA DAN PENANGGULANGANNYA

KEDARURATAN NUKLIR DI INDONESIA DAN PENANGGULANGANNYA ISSN 1979-2409 Kedaruratan Nuklir di Indonesia dan Penanggulangannya (Budi Prayitno) KEDARURATAN NUKLIR DI INDONESIA DAN PENANGGULANGANNYA Budi Prayitno Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir-BATAN ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

PERHITUNGAN NILAI SETTING ALARM ALAT ALPHA BETA AEROSOL MONITOR DI INSTALASI RADIOMETALURGI

PERHITUNGAN NILAI SETTING ALARM ALAT ALPHA BETA AEROSOL MONITOR DI INSTALASI RADIOMETALURGI YOGYAKARTA, 31OKTOBER 01 PERHITUNGAN NILAI SETTING ALARM ALAT ALPHA BETA AEROSOL MONITOR DI INSTALASI RADIOMETALURGI Suliyanto, Endang Sukesi, Budi Prayitno Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir - BATAN ABSTRAK

Lebih terperinci

2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET

2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET 2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET KRITERIA DAN TANGGUNG-JAWAB PENGKAJIAN 201. Untuk suatu reaktor riset yang akan dibangun (atau mengalami suatu modifikasi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Program Model Simulasi Program penyebaran polutan dari sumber garis telah dibuat dan dijalankan dengan data masukan konsentrasi awal CO, arah dan kecepatan angin sebagaimana

Lebih terperinci

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 107) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pembangkitan Gelombang Angin yang berhembus di atas permukaan air akan memindahkan energinya ke air. Kecepatan angin tersebut akan menimbulkan tegangan pada permukaan laut, sehingga

Lebih terperinci

PENGARUH KONDISI TAPAK REAKTOR TERHADAP AKTIVITAS DAN DOSIS RADIASI LINGKUNGAN

PENGARUH KONDISI TAPAK REAKTOR TERHADAP AKTIVITAS DAN DOSIS RADIASI LINGKUNGAN 74 ISSN 016-318 Pudjijanto MS, dkk. PENGARUH KONDISI TAPAK REAKTOR TERHADAP AKTIVITAS DAN DOSIS RADIASI LINGKUNGAN Pudjijanto MS& Pande Made Udiyani Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir BATAN

Lebih terperinci

Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio)

Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio) Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio) Abdu Fadli Assomadi Laboratorium Pengelolaan Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim karakteristik tinggi skala (scale height) Dalam mempelajari

Lebih terperinci

PENGUKURAN KONSENTRASI RADON DALAM TEMPAT PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF. Untara, M. Cecep CH, Mahmudin, Sudiyati Pusat Teknologi Limbah Radioaktif

PENGUKURAN KONSENTRASI RADON DALAM TEMPAT PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF. Untara, M. Cecep CH, Mahmudin, Sudiyati Pusat Teknologi Limbah Radioaktif PENGUKURAN KONSENTRASI RADON DALAM TEMPAT PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF Untara, M. Cecep CH, Mahmudin, Sudiyati Pusat Teknologi Limbah Radioaktif ABSTRAK PENGUKURAN KONSENTRASI RADON DALAM TEMPAT PENYIMPANAN

Lebih terperinci

PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL

PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Bumi terdiri dari air, 97,5% adalah air laut, 1,75% adalah berbentuk es, 0,73% berada didaratan sebagai air sungai, air danau, air tanah, dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI Oleh NAUSA NUGRAHA SP. 04 02 02 0471 DEPARTEMEN TEKNIK MESIN PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

Lebih terperinci

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar STRUKTUR BUMI 1. Skalu 1978 Jika bumi tidak mempunyai atmosfir, maka warna langit adalah A. hitam C. kuning E. putih B. biru D. merah Jawab : A Warna biru langit terjadi karena sinar matahari yang menuju

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi 2.1. Alur Studi Alur studi kegiatan Kajian Tingkat Kerentanan Penyediaan Air Bersih Tirta Albantani Kabupaten Serang, Provinsi Banten terlihat dalam Gambar 2.1. Gambar 2.1. Diagram Alir Studi II - 1 2.2.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 digilib.uns.ac.id ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Pengolahan data curah hujan dalam penelitian ini menggunakan data curah hujan harian maksimum tahun 2002-2014 di stasiun curah hujan Eromoko,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi baru yang potensial adalah energi nuklir. Energi nuklir saat ini di dunia

BAB I PENDAHULUAN. energi baru yang potensial adalah energi nuklir. Energi nuklir saat ini di dunia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin berkurangnya sumber energi minyak bumi memaksa kita untuk mencari dan mengembangkan sumber energi baru. Salah satu alternatif sumber energi baru yang potensial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Reaktor nuklir membutuhkan suatu sistem pendingin yang sangat penting dalam aspek keselamatan pada saat pengoperasian reaktor. Pada umumnya suatu reaktor menggunakan

Lebih terperinci

PERHITUNGAN RADIOAKTIF ALPHA YANG TERDEPOSISI DI PERMUKAAN TANAH DARI UDARA BUANG INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL

PERHITUNGAN RADIOAKTIF ALPHA YANG TERDEPOSISI DI PERMUKAAN TANAH DARI UDARA BUANG INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL YOGYAKARTA, 5-6 AGUSTUS 008 PERHITUNGAN RADIOAKTIF ALPHA YANG TERDEPOSISI DI PERMUKAAN TANAH DARI UDARA BUANG INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL BUDI PRAYITNO Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir-BATAN

Lebih terperinci

Pemodelan Sistem Sirkulasi Alami pada Reaktor nuklir dengan Variasi Ketinggian Alat yang Berbeda

Pemodelan Sistem Sirkulasi Alami pada Reaktor nuklir dengan Variasi Ketinggian Alat yang Berbeda Pemodelan Sistem Sirkulasi Alami pada Reaktor nuklir dengan Variasi Ketinggian Alat yang Berbeda Geby Saputra 1,a), Habibi Abdillah 2,b), Sidik Permana 2,c) dan Novitrian 2,d) 1 Laboratorium Fisika Nuklir

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di perkebunan rakyat Desa Huta II Tumorang, kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

PERANCANGAN MODEL ADAPTIVE NEURO FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK MEMPREDIKSI CUACA MARITIM

PERANCANGAN MODEL ADAPTIVE NEURO FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK MEMPREDIKSI CUACA MARITIM PERANCANGAN MODEL ADAPTIVE NEURO FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK MEMPREDIKSI CUACA MARITIM Oleh : Ardian Candra Pratama 2406 100 021 Dosen Pembimbing : Ir. Syamsul Arifin, MT. Dr. Ir. Aulia Siti Aisyah, MT.

Lebih terperinci

PEMANTAUAN LINGKUNGAN DI SEKITAR PUSAT PENELITIAN TENAGA NUKLIR SERPONG DALAM RADIUS 5 KM TAHUN 2005

PEMANTAUAN LINGKUNGAN DI SEKITAR PUSAT PENELITIAN TENAGA NUKLIR SERPONG DALAM RADIUS 5 KM TAHUN 2005 PEMANTAUAN LINGKUNGAN DI SEKITAR PUSAT PENELITIAN TENAGA NUKLIR SERPONG DALAM RADIUS 5 KM TAHUN 005 Agus Gindo S., Syahrir, Sudiyati, Sri Susilah, T. Ginting, Budi Hari H., Ritayanti Pusat Teknologi Limbah

Lebih terperinci

PE E TUA SOURCE-TERM TAHU A DI REAKTOR GA. SIWABESSY

PE E TUA SOURCE-TERM TAHU A DI REAKTOR GA. SIWABESSY PE E TUA SOURCE-TERM TAHU A DI REAKTOR GA. SIWABESSY Sudiyati*, Unggul Hartoyo**, ugraha Luhur**, Syahrir* *Pusat Teknologi Limbah Radioaktif- BATAN ** Pusat Reaktor Serba Guna-BATAN ABSTRAK PE E TUA SOURCE-TERM

Lebih terperinci

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali 7 Lambang p menyatakan produktivitas (ton/ha), Δp persentase penurunan produktivitas (%). Penggunaan formula linest dengan menggunakan excel diatas akan menghasilkan nilai m yang dapat diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana. BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH A. Intensitas Curah Hujan Menurut Joesron (1987: IV-4), Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu. Analisa intensitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Radiasi merupakan suatu bentuk energi. Ada dua tipe radiasi yaitu radiasi partikulasi dan radiasi elektromagnetik. Radiasi partikulasi adalah radiasi yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. Data yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah data eksplorasi

BAB IV ANALISIS DATA. Data yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah data eksplorasi BAB IV ANALISIS DATA 4. DATA Data yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah data eksplorasi kandungan cadangan bauksit di daerah penambangan bauksit di Mempawah pada blok AIII-h5 sebanyak 8 titik eksplorasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Hujan / Presipitasi Hujan merupakan satu bentuk presipitasi, atau turunan cairan dari angkasa, seperti salju, hujan es, embun dan kabut. Hujan terbentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kota Metropolitan Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan pusat pemerintahan dengan berbagai kegiatan sosial, politik, kebudayaan maupun pembangunan.

Lebih terperinci

Pembahasan Simak UI Fisika 2012

Pembahasan Simak UI Fisika 2012 Pembahasan Simak UI Fisika 202 PETUNJUK UMUM. Sebelum mengerjakan ujian, periksalah terlebih dulu, jumlah soal dan nomor halaman yang terdapat pada naskah soal. Naskah soal ini terdiri dari 0 halaman.

Lebih terperinci

Kecepatan angin meningkat pada rasio H/W kecil dan sebaliknya Jarak >, rasio H/W < Kecepatan angin tinggi pada rongga yang dipengaruhi elevasi

Kecepatan angin meningkat pada rasio H/W kecil dan sebaliknya Jarak >, rasio H/W < Kecepatan angin tinggi pada rongga yang dipengaruhi elevasi Kecepatan angin meningkat pada rasio H/W kecil dan sebaliknya Jarak >, rasio H/W < Kecepatan angin tinggi pada rongga yang dipengaruhi elevasi Kecepatan angin tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan

Lebih terperinci

INFO TEKNIK Volume 9 No. 1, Juli 2008 (36-42)

INFO TEKNIK Volume 9 No. 1, Juli 2008 (36-42) INFO TEKNIK Volume 9 No. 1, Juli 2008 (36-42) ANALISIS TINGKAT KENYAMANAN THERMAL WEBB DI RUMAH TINGGAL T-45 PADA MUSIM KEMARAU Studi Kasus: Rumah Tinggal di Komplek HKSN Permai Banjarmasin M. Tharziansyah

Lebih terperinci

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 27/2002, PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF *39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, bumi tempat tinggal manusia telah tercemar oleh polutan. Polutan adalah segala sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungan. Udara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

Iklim, karakternya dan Energi. Dian P.E. Laksmiyanti, S.T, M.T

Iklim, karakternya dan Energi. Dian P.E. Laksmiyanti, S.T, M.T Iklim, karakternya dan Energi Dian P.E. Laksmiyanti, S.T, M.T Cuaca Cuaca terdiri dari seluruh fenomena yang terjadi di atmosfer atau planet lainnya. Cuaca biasanya merupakan sebuah aktivitas fenomena

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

REAKTOR PEMBIAK CEPAT

REAKTOR PEMBIAK CEPAT REAKTOR PEMBIAK CEPAT RINGKASAN Elemen bakar yang telah digunakan pada reaktor termal masih dapat digunakan lagi di reaktor pembiak cepat, dan oleh karenanya reaktor ini dikembangkan untuk menaikkan rasio

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL & ANALISIS

BAB 4 HASIL & ANALISIS BAB 4 HASIL & ANALISIS 4.1 PENGUJIAN KARAKTERISTIK WATER MIST UNTUK PEMADAMAN DARI SISI SAMPING BAWAH (CO-FLOW) Untuk mengetahui kemampuan pemadaman api menggunakan sistem water mist terlebih dahulu perlu

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA - 2 - KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI (PIE) 1.1. Lampiran ini menjelaskan definisi

Lebih terperinci

LAMPIRAN I METODE DAN PENDEKATAN ANALISIS KESELAMATAN

LAMPIRAN I METODE DAN PENDEKATAN ANALISIS KESELAMATAN LAMPIRAN I METODE DAN PENDEKATAN ANALISIS KESELAMATAN I-101. Lampiran I berisi beberapa pertimbangan yang mungkin bermanfaat dalam melakukan analisis keselamatan untuk suatu reaktor penelitian. Pendekatan

Lebih terperinci

B.74 SEBARAN UNSUR RADIOAKTIF DI UDARA SEKITAR TAPAK POTENSIAL KRAMATWATU SEBAGAI PERTIMBANGAN DALAM EVALUASI TAPAK PLTN BANTEN TIM PENELITI: Dr.

B.74 SEBARAN UNSUR RADIOAKTIF DI UDARA SEKITAR TAPAK POTENSIAL KRAMATWATU SEBAGAI PERTIMBANGAN DALAM EVALUASI TAPAK PLTN BANTEN TIM PENELITI: Dr. B.74 SEBARAN UNSUR RADIOAKTIF DI UDARA SEKITAR TAPAK POTENSIAL KRAMATWATU SEBAGAI PERTIMBANGAN DALAM EVALUASI TAPAK PLTN BANTEN TIM PENELITI: Dr. June Mellawati, M.Si Dra. Heni Susiati, M.Si Ir. Hadi Suntoko

Lebih terperinci

Pengaruh Faktor Iklim Terhadap Pola Sebaran Integral.. (Mondjo & Sudibiyakto) 169

Pengaruh Faktor Iklim Terhadap Pola Sebaran Integral.. (Mondjo & Sudibiyakto) 169 Pengaruh Faktor Iklim Terhadap Pola Sebaran Integral.. (Mondjo & Sudibiyakto) 169 PENGARUH FAKTOR IKLIM TERHADAP POLA SEBARAN INTEGRAL KONSENTRASI KONTAMINAN RADIOAKTIF TAHUNAN DARI CEROBONG REAKTOR KARTINI

Lebih terperinci

KONDISI CUACA KAWASAN NUKLIR SERPONG

KONDISI CUACA KAWASAN NUKLIR SERPONG KONDISI CUACA KAWASAN NUKLIR SERPONG Agus Gindo S. *) ABSTRAK KONDISI CUACA KAWASAN NUKLIR SERPONG. Telah diamati kondisi cuaca Kawasan Nuklir Serpong (KNS). Pengamatan dilakukan mulai bulan Oktober 2009

Lebih terperinci

Spesifikasi Teknis Teras Reaktor Nuklir Kartini dan Eksperimental Setup Fasilitas Uji In-vitro dan In-vivo Metode BNCT

Spesifikasi Teknis Teras Reaktor Nuklir Kartini dan Eksperimental Setup Fasilitas Uji In-vitro dan In-vivo Metode BNCT Spesifikasi Teknis Teras Reaktor Nuklir Kartini dan Eksperimental Setup Fasilitas Uji In-vitro dan In-vivo Metode BNCT Drs. Widarto Peneliti Madya Reaktor Riset Kartini Tipe TRIGA (Training Riset Isotop

Lebih terperinci

PENENTUAN ZONA KEDARURATAN NUKLIR LUAR TAPAK (OFF-SITE) DI INDONESIA

PENENTUAN ZONA KEDARURATAN NUKLIR LUAR TAPAK (OFF-SITE) DI INDONESIA PENENTUAN ZONA KEDARURATAN NUKLIR LUAR TAPAK (OFF-SITE) DI INDONESIA Pande Made Udiyani, Sri Kuntjoro Pusat Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir - BATAN Gd.80 Puspiptek Serpong email: pmade-u@batan.go.id

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Februari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undangundang

Lebih terperinci

Diterima editor 29 Maret 2012 Disetujui untuk publikasi 22 Mei 2012

Diterima editor 29 Maret 2012 Disetujui untuk publikasi 22 Mei 2012 ISSN 1411 240X Penentuan Koefisien Dispersi Atomsferik Untuk... (Pande Made Udayani) PENENTUAN KOEFISIEN DISPERSI ATMOSFERIK UNTUK ANALISIS KECELAKAAN REAKTOR PWR DI INDONESIA Pande Made Udiyani, Surip

Lebih terperinci

Cara Mengukur dan Menghitung Debit Saluran

Cara Mengukur dan Menghitung Debit Saluran Cara Mengukur dan Menghitung Debit Saluran Beberapa waktu lalu sudah dibahas mengenai cara menghitung debit rencana untuk kepentingan perencanaan saluran drainase. Hasil perhitungan debit rencana bukan

Lebih terperinci

PENGARUH KONDISI ATMOSFERIK TERHADAP PERHITUNGAN PROBABILISTIK DAMPAK RADIOLOGI KECELAKAAN PWR 1000-MWe

PENGARUH KONDISI ATMOSFERIK TERHADAP PERHITUNGAN PROBABILISTIK DAMPAK RADIOLOGI KECELAKAAN PWR 1000-MWe ISSN 1411 240X Pengaruh Kondisi Atmosferik Terhadap Perhitungan... (Pande Made Udiyani) PENGARUH KONDISI ATMOSFERIK TERHADAP PERHITUNGAN PROBABILISTIK DAMPAK RADIOLOGI KECELAKAAN PWR 1000-MWe Pande Made

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari yang sampai di bumi merupakan sumber utama energi yang menimbulkan segala macam kegiatan atmosfer seperti hujan, angin, siklon tropis, musim panas, musim

Lebih terperinci