KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ISOPROPANOL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ISOPROPANOL"

Transkripsi

1 KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ISOPROPANOL Oleh ERVINA YULIARTI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ISOPROPANOL Ringkasan Perkembangan industri minyak goreng sawit selama dasawarsa terakhir ini mengalami peningkatan seiring dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat, yakni dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit. Ini tercermin dari pertumbuhan volume produksi CPO dan minyak goreng sawit. Perkembangan produksi CPO dunia mengalami peningkatan hingga tahun 2005 mencapai 30 juta ton. Sekitar 80 persen produksi CPO dunia diekspor ke beberapa negara. Pada tahun 2005 volume produksi CPO Indonesia meningkat mencapai 13,62 juta ton. Peningkatan tersebut seiring dengan peningkatan volume produksi minyak goreng sawit yang cukup signifikan dalam waktu tujuh tahun mulai tahun 1998 sebesar 2,07 juta ton menjadi 5,39 juta ton. Proses bleaching pada industri pemurnian minyak goreng merupakan suatu tahap proses pemucatan untuk menghilangkan zat-zat warna pada minyak goreng yang tidak disukai oleh konsumen. Proses pemucatan secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan komponen-komponen aktif yang terkandung dalam minyak seperti ß-karoten. Sebagai sumber provitamin A yang tinggi, ß- karoten sangat potensial digunakan sebagai antioksidan yang murah dan efektif. Pemisahan ß-karoten dilakukan secara adsorpsi dan desorpsi. Pada proses adsorpsi digunakan atapulgit sebagai adsorben. Desorpsi merupakan peristiwa pelepasan kembali bahan yang telah diserap oleh adsorben. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses desorpsi antara lain suhu, jenis eluen, lama proses dan jenis adsorben yang digunakan. Pada proses pelepasan kembali ß-karoten dari atapulgit dilakukan percobaan dengan perlakuan suhu berbeda dan digunakan isopropanol sebagai eluen. Penggunaan isopropanol perlu dilakukan untuk menggantikan heksan yang umumnya digunakan dalam proses ekstraksi karoten yang dinilai kurang aman jika dikonsumsi dan banyak dihindari oleh industri. Isopropanol merupakan jenis eluen semi polar yang dapat dikonsumsi dan dinilai berpotensi mendesorpsi β- karoten olein sawit kasar dari atapulgit. Kemampuan isopropanol melarutkan CPO cukup baik. Pada penelitian ini heksan digunakan sebagai eluen pembanding. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan lama tercapainya kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal ß-karoten dari atapulgit dengan menggunakan isopropanol dan heksan sebagai pembanding. Selain itu juga untuk menentukan nilai parameter kinetika desorpsi isotermal ß-karoten dari atapulgit dengan menggunakan isopropanol dan heksan sebagai pembanding, yaitu konstanta laju desorpsi (k des ) dan energi aktivasi (E a ). Penelitian ini terdiri atas lima tahap, yaitu (a) Karakterisasi adsorpsi atapulgit, (b) Penentuan kondisi kesetimbangan, (c) Penentuan nilai konstanta laju desorpsi isotermal (k des ), (d) Penentuan nilai energi aktivasi (E a ) dan (e) Selektivitas desorpsi. Kondisi kesetimbangan ditentukan oleh hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi ß-karoten dalam larutan. Semakin lama desorpsi, maka konsentrasi ß-karoten dalam larutan meningkat. Kondisi kesetimbangan dicapai pada saat tidak lagi terjadi peningkatan konsentrasi ß-karoten dalam larutan. Semakin tinggi suhu,

3 kondisi kesetimbangan semakin cepat. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) diperoleh dari kemiringan regresi linier hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β- karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ). Energi aktivasi (E a ) diperoleh dari kemiringan regresi linier hubungan antara kebalikan suhu desorpsi (1/T) dengan ln konstanta laju desorpsi (ln k des ). Model kinetika desorpsi yang sesuai ditentukan dengan menggunakan persamaan Wankasi. Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40ºC, 50ºC, dan 60ºC. Peningkatan suhu menyebabkan kondisi kesetimbangan yang dicapai semakin cepat dan nilai konsentrasi ß-karoten semakin rendah. Nilai konsentrasi ß-karoten pada kondisi kesetimbangan untuk masing-masing suhu desorpsi 40ºC, 50ºC dan 60ºC pada isopropanol adalah 1,121 [µg/ml]; 0,988 [µg/ml]; dan 0,815 [µg/ml]; dan pada heksan adalah 0,608 [µg/ml]; 0,396 [µg/ml]; dan 0,228 [µg/ml]; sedangkan waktu dicapainya nilai konsentrasi ß-karoten tersebut adalah 26 menit, 19 menit, dan 17,5 menit pada isopropanol; dan 21,5 menit, 12,5 menit, dan 10,5 menit pada heksan. Bentuk persamaan laju desorpsi ß-karoten memiliki tingkat kesesuaian cukup baik dengan data percobaan. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) ß-karoten yang diperoleh pada penggunaan eluen isopropanol masing-masing suhu desorpsi 40ºC, 50ºC dan 60ºC adalah 4,7 x 10-3 (menit) -1 ; 6,2 x 10-3 (menit) -1 ; dan 5,8 x 10-3 (menit) -1. Nilai energi aktivasi (E a ) pada kondisi tersebut adalah 2,216 kcal/mol. Sedangkan pada eluen heksan adalah 2,2 x 10-3 (menit) -1 ; 2,6 x 10-3 (menit) -1 ; dan 2,3 x 10-3 (menit) -1. Nilai energi aktivasi (E a ) pada kondisi tersebut adalah 0,492 kcal/mol.

4 ISOTHERMAL DESORPTION KINETICS OF ß-CAROTENE CRUDE PALM OLEIN FROM ATTAPULGITE USING ISOPROPANOL Summary The growth of palm oil industry within the last decade was escalating, due to the change of people s consumption behavior from coconut oil to palm oil. The world CPO production until the year 2005 was increasing, reach the number of 30 million tons. Eighty percent of world CPO's production is an export commodity. In Indonesia, by the year 2005, the CPO production volume was increasing reach the number of million tons. The increasing was happened due to the significant escalation of palm oil production volume from the year 1998 for about 2.07 million tons to 5.39 million tons in Bleaching process in frying oil purification industry is a process of material bleaching to remove some pigments in the frying oil, which the consumers don t like. The bleaching process was indirectly able to breakdown some active components which is contained by the oil, such as ß-carotene. As a source of pro-vitamin A, ß-carotene is a highly potential material to use as a cheap and effective anti-oxidant. Adsorption and desorption is two from various ways to separate ß-carotene. Desorption is a process of releasing materials from adsorbent. There are some factors that influencing the desorption process, they are temperature, eluent, the length of the process, and kind of adsorbent used to adsorb. In desorption process of ß-carotene from attapulgite, a different temperature treatment was tried, and isopropanol was used as an eluent. The use of isopropanol is needed to replace hexane, a common eluent in carotene extraction process, which is not safe enough to consumed and avoided by a lot of industry. Isopropanol it self is a consumable semi polar eluent and has a good potential of desorpting crude palm olein β-carotene from attapulgite. Isopropanol ability to dissolve CPO is quite good. As a comparison, hexane was used as an eluent during the study. The objective of this study is, to determine the time length of reaching the steady state conditions isothermal desorption of ß-carotene from attapulgite using isopropanol and hexane was used as an eluent during the study. Apart from that, the objective of the study is to determine the parameter kinetic value isothermal desorption of ß-carotene from attapulgite using isopropanol and hexane was used as an eluent during the study, which is desorption rate constant (k des ) and activating energy (E a ). This study consist of five phase, which is (a) adsorption characterization of attapulgite, (b) the determination of the steady state condition, (c) the determination of value isothermal desorption rate constant (k des ), (d) the determination of value activating energy (E a ) and (e) desorption selectivity. The steady state condition established by the correlation between ß-carotene concentrations and desorption time length. The longer desorption is, then the activity of ß-carotene inside the solute is escalating. The steady state condition is reached when there's no ß-carotene concentration escalation. The higher temperature is the steady state condition will reach faster. The value of desorption rate constant (k des ) is obtained by the slope of linier regression correlation between the time length of desorption and the ln value of ß-carotene ratio concentrations in

5 attapulgite after desorption and after the adsorption (ln q t /q e ). Activating energy (E a ) is obtained by the slope of linier regression correlation between desorption temperature reverse (1/T) and the ln desorption rate constant (ln k des ). The appropriate kinetics model is obtained using the Wankasi equation. There were three temperature treatments used in this study, 40ºC, 50ºC dan 60ºC. The escalation of temperature causing the steady state reach faster and the concentration of ß-carotene decreased. The ß-carotene concentration at the steady state condition for each desorption temperature treatment using isopropanol as an eluent was [µg/ml]; [µg/ml]; and [µg/ml]; and if hexane used as an eluent the value was [µg/ml]; [µg/ml]; and [µg/ml]; while the time length to reach the concentration was 26 minute, 19 minute, and 17.5 minute for isopropanol; and 21.5 minute, 12.5 minute, and 10.5 minute for hexane. The form of ß-carotene rate equation was having a good conformity with the experiment data. The value of ß-carotene desorption rate constant (k des ) obtained by using isopropanol as an eluent on three temperature treatments, 40ºC, 50ºC dan 60ºC, was 4.7 x 10-3 (minutes) -1 ; 6.2 x 10-3 (minutes) -1 ; and 5.8 x 10-3 (minutes) -1. The activating energy at the same condition was kcal/mol. If hexane was used, the value was 2.2 x 10-3 (minutes) -1 ; 2.6 x 10-3 (minutes) -1 ; and 2.3 x 10-3 (minutes) -1. The activating energy at the same condition was kcal/mol.

6 KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ISOPROPANOL SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh ERVINA YULIARTI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

7 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ISOPROPANOL SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh ERVINA YULIARTI F Dilahirkan pada tanggal 4 Juli 1984 Di Kulon Progo Tanggal Lulus: 19 Januari 2007 Menyetujui, Bogor, 31 Januari 2007 Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi Pembimbing Akademik I Prayoga Suryadarma, S.TP, MT Pembimbing Akademik II

8 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kinetika Desorpsi Isotermal β-karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan Isopropanol adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Bogor, 31 Januari 2007 Yang membuat pernyataan, Ervina Yuliarti F

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kulon Progo, D.I. Yogyakarta pada tanggal 4 Juli Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Bapak Panut Suparto dan Ibu Suminah. Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Jageran II Sewon Bantul. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SLTPN 10 Yogyakarta pada tahun Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMU Muhammadiyah 2 Yogyakarta dan lulus pada tahun Pada tahun 2002, penulis diterima pada program sarjana Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Semasa kuliah penulis pernah aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti Olimpiade Fateta 2003 sebagai anggota divisi acara, Lepas Landas Sarjana 2004 sebagai anggota divisi konsumsi dan Hari Warga Industri (HAGATRI) 2004 sebagai anggota divisi acara. Penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Analisis Bahan dan Produk Agroindustri periode 2006/2007. Penulis mengikuti pendidikan non formal English Conversation di Lembaga Bahasa & Pendidikan Profesional LIA Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2005 dengan topik Mempelajari Aspek Teknologi Produksi dan Pengendalian Mutu Gula di Pabrik Gula Madukismo PT Madu Baru, Yogyakarta. Untuk menyelesaikan studi pada departemen Teknologi Industri Pertanian penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul Kinetika Desorpsi Isotermal β-karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan Isopropanol. Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan pendidikan strata-1 dengan gelar Sarjana Teknologi Pertanian.

10 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr. wb. Dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga dengan segala keterbatasan yang ada pada penulis, skripsi yang berjudul Kinetika Desorpsi Isotermal β- karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan Isopropanol dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tak lupa penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita ke pintu yang terang dan jalan yang lurus. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Salah satu peristiwa teragung dalam hidup adalah kala hati kita membungkuk, mengucapkan terima kasih. Dengan hati yang tulus, membuat skripsi ini berhutang budi pada banyak pihak. Untuk itu terima kasih setulusnya saya ucapkan kepada : 1. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi dan Prayoga Suryadarma, S.TP, MT selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan, pada saat penelitian dan dalam penyusunan skripsi ini.. 2. Dr. Ir. Endang Warsiki, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Pimpinan PT. Sari Dumai Sejati, Riau. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional melalui Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID). Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan, khususnya bagi yang ingin mengetahui dan mempelajari proses pemisahan vitamin dari minyak sawit kasar. Semoga segala usaha yang dijalani adalah yang terbaik bagi kita semua dan selalu diridhai Allah SWT. Wassalamu alaikum wr. wb. Bogor, Januari 2007 Penulis

11 UCAPAN TERIMA KASIH Salah satu peristiwa teragung dalam hidup adalah kala hati kita membungkuk, mengucapkan terima kasih. Dengan hati yang tulus, membuat skripsi ini berhutang budi pada banyak orang. Untuk itu terima kasih setulusnya saya ucapkan kepada : 1. Ibu, Bapak, Mba Lisferi, dan De Iyas serta keluarga besar yang begitu setia dan sabar memberi dukungan doa, materi, semangat, dan perhatian. 2. Para laboran yang telah membantu penulis selama menjalankan penelitian di Departemen Teknologi Industri Pertanian, atas bantuan dan perhatian. 3. Teman-teman satu team vitamin: Indri, Oki dan Kristin, terima kasih atas kebersamaannya. 4. Sahabat-sahabat terbaikku: Bana Pisangkuw Khoiri, Rian, Bagus Sparks Wicaksena, Afni Ami Lubis, InoT, Firda Ducks, Hera, Euis, dan Asti. Puji syukur alhamdulillah Allah telah mempertemukan kita dan mengijinkan aku untuk mengenal kalian. Terima kasih atas nasehat, persahabatan, pengertian, keceriaan dan kebersamaan yang selalu kalian hadirkan. All of you are my best friends, hope this friendship never gone. Thanks for everything, Thanks for the best time, Thanks for the best memory, Thanks for loving me...aku takkan pernah menyesal menjadi bagian dari hidup kalian. 5. Yaya, Isna Mbokdhe, Astek Papahkuw, Wilin ndut, Icha Ichut, Agung Simbah, Hawi, Yoga Sephiakuw, Hendro Babe, Sigit Arfian, Arum dan Aura-nya. Thanks for always giving me support and being an important piece of my life. 6. Keluarga besar IKAMADITA: Linakuw, Rinakuw, Nanin Papua, Dewi Iwul, Mas Tessa, Mba Wara, Karin, Jeng Tuti, Wawa, Badut, Chandra, Wahyu, Ajeng atas kebersamaannya. Friendship should not be forgotten. Thanks for being my family in Bogor. 7. Teman-teman TINERS 39: Indra Mnyk Laksmana, Evi, Yuli, Eva, Tia, MU, Arin, Tiunk, Dossi, Rheni, Hendro, Ikhlas, Hari, Faris, Makki, Adrin, Harti, Fifi, Juwi dan temen-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

12 Empat setengah tahun hidup bersama kalian, banyak kejutan yang bikin aku berkesan. 8. Mba Yeni, Mba Oryza dan Mbak Ritna, begitu berharga bantuan yang kalian berikan. 9. Kardhita Crew: Mba Zainab, Aga Fathir, Abdy, Rucitra, Ocha dan kurcacikurcaci kardhita, atas semangat, doa dan keceriaannya. Bogor, Januari 2007 Penulis

13 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... x UCAPAN TERIMA KASIH...xi DAFTAR ISI... xiii DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan Penelitian... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. Minyak Sawit Kasar... 4 B. β-karoten... 5 C. Atapulgit... 7 D. Isopropanol... 9 E. Kinetika Desorpsi...11 III. METODOLOGI...15 A. Bahan dan Alat...15 B. Metode Penelitian Tahapan Penelitian Prosedur Percobaan...18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...20 A. Karakteristik Adsorpsi Atapulgit...20 B. Kondisi Kesetimbangan...21 C. Kinetika Desorpsi Penentuan Konstanta Laju Desorpsi (k des ) Penentuan Energi Aktivasi (E a )...31 D. Selektivitas Desorpsi...34 V. KESIMPULAN DAN SARAN...36 A. Kesimpulan...36 B. Saran...37 DAFTAR PUSTAKA...38 LAMPIRAN...42

14 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komponen minor dalam minyak sawit kasar... 4 Tabel 2. Kandungan karoten dan tokoferol dalam minyak sawit... 5 Tabel 3. Komposisi karotenoid dalam minyak sawit... 6 Tabel 4. Komposisi bahan dalam atapulgit... 8 Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut...10 Tabel 6. Pelarut untuk solvent extraction dan titik didihnya...11 Tabel 7. Kondisi percobaan untuk nilai konstanta laju desorpsi (k des ), nilai faktor terdesorpsi (θ) dan nilai koefisien determinasi (r 2 ) desorpsi isotermal...17 Tabel 8. Kondisi percobaan untuk energi aktivasi (E a ) desorpsi isotermal...18 Tabel 9. Kondisi percobaan untuk selektivitas desorpsi isotermal...18 Tabel 10. Hasil karakterisasi adsorpsi atapulgit...20 Tabel 11. Nilai kesetimbangan desorpsi isotermal β-karoten...22 Tabel 12. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ), nilai faktor terdesorpsi (θ) dan nilai koefisien determinasi (r 2 )...30 Tabel 13. Energi aktivasi desorpsi isotermal β-karoten dengan eluen isopropanol dan heksan...33 Tabel 14. Selektivitas desorpsi dilihat dari perolehan β-karoten dan α-tokoferol 34

15 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur β-karoten... 6 Gambar 2. Struktur atapulgit (Mg 5 Si 8 O 20 (HO) 2 (OH 2 ) 4 4H 2 O)... 9 Gambar 3. Diagram alir tahapan penelitian...16 Gambar 4. Diagram alir proses desorpsi isotermal β-karoten dan α-tokoferol olein sawit kasar dari atapulgit...19 Gambar 5. Perubahan karakteristik warna visual atapulgit...21 Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan peningkatan konsentrasi β-karoten dalam larutan...22 Gambar 7. Ikatan van der Waals antara β-karoten dan atapulgit...26 Gambar 8. Ikatan hidrogen antara β-karoten dalam atapulgit dengan isopropanol...26 Gambar 9. Hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ) pada isopropanol...28 Gambar 10. Hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ) pada heksan...29 Gambar 11. Hubungan antara 1/T dengan ln k des pada eluen isopropanol...32 Gambar 12. Hubungan antara 1/T dengan ln k des pada eluen heksan...32

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Perkembangan produksi CPO dunia Lampiran 2. Gambar shaker waterbath Lampiran 3. Kurva standard konsentrasi β-karoten dalam berbagai pelarut Lampiran 4. Prosedur pengukuran β-karoten dan α-tokoferol Lampiran 5. Data perhitungan konsentrasi β-karoten dalam isopropanol Lampiran 6. Data perhitungan konsentrasi β-karoten dalam heksan Lampiran 7. Penentuan lama tercapainya kesetimbangan Lampiran 8. Perhitungan fraksi terdesorpsi (θ) dengan menggunakan program Mathematica 5.2 for Students Lampiran 9. Perhitungan energi aktivasi (Ea) Lampiran 10. Hasil pengukuran konsentrasi α-tokoferol pada eluen isopropanol dan heksan, baik untuk larutan standard (murni) dan sampel... 55

17 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak nabati bermanfaat luas dan memiliki keunggulan dibandingkan minyak nabati lainnya. Kelapa sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber pendapatan non-migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak sawit sebagai bahan baku pada pembuatan minyak goreng sawit telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit yang luas. Pada tahun 2004 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 5,4 juta Ha dengan produksi CPO (crude palm oil) sebesar 12,11 juta ton (BPS, 2004), dimana sebagian besar dari CPO tersebut digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan minyak goreng sawit. Perkembangan industri minyak goreng sawit selama dasawarsa terakhir cukup menggembirakan seiring dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat, yakni dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit. Ini tercermin dari pertumbuhan volume produksi CPO dan minyak goreng sawit. Perkembangan produksi CPO dunia mengalami peningkatan hingga tahun 2005 mencapai 30 juta ton. Sekitar 80 persen produksi CPO dunia ini diekspor ke beberapa negara pengimpor CPO. Perkembangan produksi CPO dunia dapat dilihat pada Lampiran 1. Di lain pihak, pada tahun 2005 volume produksi CPO Indonesia meningkat mencapai 13,62 juta ton. Peningkatan tersebut seiring dengan peningkatan volume produksi minyak goreng sawit yang cukup signifikan dalam waktu tujuh tahun dari tahun 1998 sebesar 2,07 juta ton menjadi 5,39 juta ton (Anonim c, 2006). Proses bleaching pada industri pemurnian minyak goreng sawit merupakan suatu tahap proses pemucatan untuk menghilangkan zat-zat warna pada minyak goreng sawit yang tidak disukai oleh konsumen. Proses pemucatan secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan komponenkomponen aktif yang terkandung dalam minyak sawit seperti ß-karoten. Sebagai sumber provitamin A yang tinggi, ß-karoten sangat potensial

18 digunakan sebagai antioksidan yang murah dan efektif. Ini mengingat kandungan karotenoid yang cukup tinggi dalam olein sawit kasar sebesar ppm (Choo, 1994). Untuk itu perlu dilakukan proses pemisahan komponen-komponen aktif dalam minyak sawit seperti ß-karoten di industri pemurnian minyak goreng sawit untuk meningkatkan nilai tambah minyak sawit. Selain itu, industri dapat mengurangi penggunaan bleaching earth sehingga diharapkan akan memberikan keuntungan bagi industri pemurnian minyak goreng sawit. Pemisahan ß-karoten dilakukan secara adsorpsi dan desorpsi. Pada proses adsorpsi digunakan atapulgit sebagai adsorben. Atapulgit merupakan adsorben yang unggul dan selektif dibandingkan adsorben lain (Lansbarkis, 2000). Desorpsi adalah peristiwa pelepasan kembali bahan yang telah diserap oleh adsorben. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses desorpsi antara lain suhu, jenis eluen, lama proses dan jenis adsorben yang digunakan. Banyaknya karoten yang terkonsentrasi dan dapat diperoleh kembali tergantung dari kondisi proses, baik lamanya proses, suhu, maupun jenis adsorben yang digunakan (Latip et al., 2001), serta jenis eluen yang digunakan (Adnan, 1997). Selain itu, keberhasilan proses desorpsi tergantung pada metode adsorpsi yang digunakan untuk proses pemisahan (Chu et al., 2004). Pada proses pelepasan kembali ß-karoten dari atapulgit dilakukan percobaan dengan perlakuan suhu berbeda dan digunakan isopropanol sebagai eluen. Penggunaan isopropanol perlu dilakukan untuk menggantikan heksan yang umumnya digunakan dalam proses ekstraksi karoten yang dinilai kurang aman jika dikonsumsi dan banyak dihindari oleh industri. Isopropanol merupakan jenis eluen semi polar yang dapat dikonsumsi dan dinilai berpotensi mendesorpsi β-karoten olein sawit kasar dari atapulgit. Kemampuan isopropanol melarutkan CPO cukup baik (Baharin et al., 1998). Pada penelitian ini heksan digunakan sebagai eluen pembanding. Kinetika desorpsi dan kondisi kesetimbangan sangat penting dalam memahami karakteristik pelepasan ß-karoten dari atapulgit, kemungkinan mendapatkan kembali ß-karoten akan tercapai. Penelitian yang membahas kinetika desorpsi

19 dan kondisi kesetimbangan proses desorpsi diperlukan sebagai dasar untuk penggandaan skala dalam perancangan rekayasa proses industri. Kinetika desorpsi ditunjukkan oleh nilai konstanta laju pelepasan (k des ) (Wankasi et al., 2005). Nilai k des dipengaruhi oleh suhu dan kecepatan pengadukan. Peningkatan nilai k des seiring dengan meningkatnya suhu dan kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004). Energi aktivasi adalah energi yang dibutuhkan oleh molekul untuk bereaksi. Parameter kinetika k des dan energi aktivasi menunjukkan kinerja eluen yang digunakan dalam proses desorpsi. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lama tercapainya kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal β-karoten dari atapulgit dengan menggunakan isopropanol dan heksan sebagai pembanding. Selain itu juga untuk menentukan nilai parameter kinetika desorpsi isotermal β-karoten dari atapulgit dengan menggunakan isopropanol dan heksan sebagai pembanding, yaitu konstanta laju desorpsi (k des ) dan energi aktivasi (E a ).

20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil) Minyak sawit kasar atau CPO (crude palm oil) adalah minyak sawit yang diperoleh dari bagian mesokarp buah sawit dengan cara ekstraksi. CPO memiliki ciri berwarna kuning kemerahan. Tingkat efisiensi minyak sawit tinggi sehingga mampu menempatkan CPO menjadi sumber minyak nabati termurah. Produksi CPO Indonesia sebagian besar difraksinasi sehingga dihasilkan fraksi olein cair dan fraksi stearin padat (Fauzi et al., 2005). Minyak fraksi cair lebih mudah diubah menjadi produk pangan dan nonpangan (Salunkhe et al., 1991). Fraksi olein cair disebut juga olein sawit kasar (crude palm olein). Crude palm olein merupakan minyak fraksi cair berwarna kuning kemerahan yang diperoleh dengan cara fraksinasi crude palm oil dan belum mengalami proses pemurnian (SNI, 1998). Minyak sawit mengandung komponen utama trigliserida (94%), asam lemak (3-5%) dan komponen minor (1%) (Muhilal, 1991). Komponen minor sebesar 1% tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen minor dalam minyak sawit kasar Komponen Karotenoid Tokoferol dan tokotrienol Sterol Fosfolipid * Alkohol triterpen * Sterol metil Squalene Alkohol alifatik Alkohol hidrokarbon 50 Sumber: Choo (1994) ppm * perkiraan Minyak sawit mempunyai kandungan karoten yang berfungsi sebagai antikanker dan tokoferol sebagai sumber vitamin E, sehingga banyak digunakan sebagai bahan baku untuk minyak goreng, margarin, shortening, butter dan minyak makan. Selain bermanfaat untuk industri pangan, minyak sawit juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk digunakan di industriindustri nonpangan, seperti industri farmasi dan industri oleokimia (Fauzi et al., 2005). Industri oleokimia menghasilkan produk pangan dan lemak, sabun

21 dan deterjen, kosmetik dan produk perawatan pribadi, oli dan pelumas, minyak pengering, polimer dan pelapis permukaan (coating) serta biofuel (Van Gelder, 2004). Kandungan β-karoten dalam minyak sawit dapat digunakan untuk menanggulangi defisiensi vitamin A (Muhilal, 1991). Selain itu juga dapat digunakan untuk mencegah penyakit jantung koroner dan kanker, serta mengganti sel-sel yang telah rusak (Iwasaki dan Murakoshi, 1992). Kandungan karoten dan tokoferol dalam minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan karoten dan tokoferol dalam minyak sawit Fraksi minyak sawit Karoten * (ppm) Tokoferol ** (ppm) Minyak sawit kasar Olein sawit kasar Stearin sawit kasar Sumber: * Zeb dan Mehmood (2004); ** Fauzi et al. (2005) B. β-karoten Karoten merupakan zat gizi yang penting yang terdapat dalam minyak sawit. Menurut Winarno (2002), karoten merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning kemerahan dan sangat larut dalam minyak. Perlakuan panas akan menyebabkan warna pigmen karoten berkurang, karena karoten tidak stabil pada suhu tinggi. Pigmen karoten mudah teroksidasi sehingga minyak akan mudah tengik. Karoten pada minyak sawit umumnya tidak disenangi konsumen karena memberikan penampakan yang jelek, oleh karena itu dalam prosesnya dilakukan pemurnian dengan cara pemisahan karoten, yang berarti membuang komponen penting dari minyak sawit tersebut. Komposisi karotenoid dalam minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi karotenoid dalam minyak sawit α-karoten ß-karoten Karotenoid Jumlah (%) 36,2 54,4

22 γ-karoten likopen xantofil Sumber: (Loncin et al.., 1970) 3,3 3,8 2,2 Husaini (1982) menyatakan bahwa karotenoid yang paling umum dijumpai sebagai pigmen dan sumber vitamin A adalah ß-karoten. Hal ini disebabkan oleh aktivitas provitamin A yang sangat tinggi dalam ß-karoten, yakni 100%. Aktivitas provitamin A dalam α-karoten dan γ-karoten masingmasing sebesar 50 54% dan 42 50% (Iwasaki dan Murokoshi, 1992). Bentuk provitamin A yang paling aktif adalah ß-karoten (Husaini, 1982; Iwasaki dan Murokoshi, 1992), yang terdiri atas dua molekul retinol yang saling berkaitan (Almatsier, 2002). Bentuk trans dari karoten memiliki derajat aktivitas ß-karoten yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk cis (Iwasaki dan Murakoshi, 1992). Struktur ß-karoten dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur ß-karoten (Almatsier, 2002) Bagian tengah struktur kimia ß-karoten berupa rantai alifatik simetris yang terdiri dari 18 atom karbon dan memiliki ikatan rangkap secara kontinu, sehingga ß-karoten digolongkan senyawa non polar. Pada kedua sisi rantai karbon alifatik, β-karoten memiliki dua struktur cincin yang sama, yaitu berupa cincin β-ionon (Andarwulan dan Koswara, 1992). Faktor utama yang menyebabkan turunnya aktivitas ß-karoten adalah oksidasi oleh udara dan perubahan struktur oleh panas. Panas juga dapat menyebabkan isomerisasi dari bentuk ß-karoten trans menjadi bentuk ß- karoten cis. Adanya ikatan ganda pada ß-karoten menyebabkan ß-karoten peka terhadap cahaya, oksigen, panas dan degradasi asam (Chen et al., 1994). Menurut Iwasaki dan Murakoshi (1992), oksidasi karotenoid akan lebih cepat

23 dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda. Peristiwa oksidasi akan membuka gugus cincin ß-karoten sehingga merusak aktivitas ß-karoten (Bauernfeind, 1981). Winarno (2002) menambahkan umumnya karoten sebagai sumber vitamin A stabil terhadap panas, asam dan alkali. Namun sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi. Sedangkan menurut Walfford (1980), karotenoid belum mengalami kerusakan oleh pemanasan pada suhu 60 o C. C. Atapulgit Atapulgit merupakan bahan yang terdiri dari silika, aluminum, magnesium dan lain-lain. Atapulgit memiliki struktur molekul Mg 5 Si 8 O 20 (HO) 2 (OH 2 ) 4 4H 2 O (Grim, 1989). Silika mengandung gugus air dalam strukturnya yang berfungsi sebagai adsorben dan agen peningkat viskositas. Aluminum pada atapulgit berfungsi untuk mencegah polimerisasi, sedangkan komponen magnesium berfungsi menjaga kestabilan warna minyak (Kirk dan Othmer, 1964). Menurut Adnan (1997) silika mampu menyerap hampir semua zat, magnesium mempunyai aktivitas yang lemah di dalam menyerap komponen karotenoid dan tokoferol. Komposisi bahanbahan yang terkandung dalam atapulgit dapat dilihat pada Tabel 4.

24 Tabel 4. Komposisi bahan dalam atapulgit Komponen Persentase (%) SiO 2 66,1 Al 2 O 3 12,6 MgO 9,8 Fe 2 O 3 5,1 CaO 1,4 K 2 O 1,3 TiO 2 1,0 Bahan lain 2,7 Sumber: Anonim b (2006) Atapulgit adalah salah satu adsorben yang bersifat semi polar. Atapulgit merupakan adsorben yang selektif dan unggul dibandingkan adsorben lain (Lansbarkis, 2000). Atapulgit banyak dianjurkan untuk berbagai penggunaan karena sifat dasar yang dimilikinya yaitu kemampuan penyerapan yang sangat baik. Atapulgit memiliki beberapa kelebihan, yaitu kekhasan pada saat terdispersi, tahan terhadap suhu tinggi, memiliki ketahanan terhadap garam dan alkali, memiliki kemampuan absorpsi yang besar dan memiliki kemampuan mempertahankan warna (Anonim a, 2006). Atapulgit terlihat seperti tanah dan berwarna putih keabu-abuan. Pemanasan atapulgit sebelum digunakan merupakan reaktifasi yang diperlukan untuk mengembangkan struktur pori (Roy, 1995). Struktur atapulgit terdiri dari rantai silika ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminum dan magnesium berikatan dengan oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang merupakan gugus polar (Grim, 1989). Struktur atapulgit dapat dilihat pada Gambar 2. Permukaan silika terdiri dari dua tipe, yaitu silika yang berikatan dengan gugus hidroksil memiliki energi yang tinggi dan silika yang berikatan dengan oksigen memiliki energi yang rendah (Chu et al., 2004)

25 Gambar 2. Struktur atapulgit (Mg 5 Si 8 O 20 (HO) 2 (OH 2 ) 4 4H 2 O) (Grim, 1989) D. Isopropanol Isopropanol merupakan jenis eluen yang halal sehingga dapat dikonsumsi (food grade). Isopropanol bersifat semi polar, karena terdiri dari gugus hidrokarbon dan hidroksil. Chu et al. (2004) menyatakan bahwa isopropanol memiliki daya larut yang cukup baik terhadap minyak sawit kasar dan larutan hampir mencapai homogen pada suhu 50 o C. Pelarut (eluen) mempunyai peranan yang penting dalam elusi, yang dapat menentukan baik buruknya pemisahan. Pelarut yang mampu menjalankan elusi terlalu cepat tidak akan mampu melakukan pemisahan yang sempurna (Adnan, 1997). Jenis kepolaran pelarut dan adsorben menentukan berhasil tidaknya proses desorpsi. Jenis kepolaran pelarut ditunjukkan dengan nilai konstanta dielektrik yang dimiliki pelarut. Konstanta dielektrik dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada Tabel 5.

26 Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut Konstanta dielektrik 1,890 2,023 2,238 2,284 4,806 4,340 6,020 20,700 24,300 33,620 80,370 Sumber: Adnan (1997) Nama zat pelarut Petroleum ringan (petroleum eter, heksan, heptan) Sikloheksan Karbon tetraklorida Trikloroetilen Toluen Benzen Diklorometan Kloroform Etil eter Etil asetat Aseton n. propanol Etanol Metanol Air Menurut Guenther (1952), faktor-faktor yang menentukan berhasilnya proses ekstraksi adalah mutu pelarut yang digunakan. Pelarut yang ideal harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Harus dapat melarutkan semua zat volatil dengan cepat dan sempurna 2. Harus memiliki titik didih yang cukup rendah, agar supaya pelarut mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi 3. Tidak boleh larut dalam air 4. Harus bersifat inert, sehingga tidak bereaksi dengan komponen yang diekstraksi 5. Harus mempunyai titik didih yang seragam, dan jika diuapkan tidak tertinggal dalam bahan 6. Harga pelarut harus serendah mungkin dan tidak mudah terbakar Kirk dan Othmer (1954) menambahkan pemilihan pelarut juga harus mempertimbangkan titik didihnya, dimana pelarut bertitik didih rendah menyebabkan kehilangan (loss) banyak pelarut ketika pengambilan pelarut kembali dan pelarut dengan titik didih tinggi akan lebih sulit dipisahkan dan kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan minyak pada saat pemanasan. Menurut Perry dan Green (1984), beberapa jenis pelarut yang biasa digunakan beserta titik didihnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pelarut untuk proses solvent extraction dan titik didihnya Jenis Pelarut Titik Didih ( C)

27 Aseton 56,20-56,50 Ethilen dikhlorida 83,50 Etil alkohol (etanol) 78,30-78,40 Heksan 68,64-69,00 Isopropil alkohol 82,30 Metanol 64,70-65,00 E. Kinetika Desorpsi Desorpsi adalah peristiwa pelepasan kembali bahan yang telah diserap oleh adsorben (Kirk dan Othmer, 1963). Keberhasilan proses desorpsi sangat tergantung dari kondisi proses, baik lamanya proses, suhu, maupun jenis adsorben yang digunakan (Latip, et al., 2001), jenis eluen yang digunakan (Adnan, 1997) serta metode adsorpsi yang digunakan untuk proses pemisahan (Chu et al., 2003). Bahan yang telah teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi, pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut (Bernasconi et al., 1995). Fenomena terlepasnya solut dari adsorben oleh pelarut karena tendensi kelarutannya disebut elusi (non protonic solvent). Selain itu terjadi juga fenomena displacement (penggeseran tempat), karena adanya kompetisi adsorben solut dan pelarut terhadap adsorben (protonic solvent, seperti alkohol) (Adnan, 1997). Kinetika desorpsi ditunjukkan oleh nilai konstanta laju pelepasan (k des ) (Wankasi et al., 2005). Nilai k des dipengaruhi oleh suhu dan kecepatan pengadukan. Peningkatan nilai k des seiring dengan meningkatnya suhu dan kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004). Nilai k des dan energi aktivasi menunjukkan parameter kinetika desorpsi. Penentuan konstanta laju desorpsi (k des ) diperoleh dari hubungan antara lama desorpsi (t) dengan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ).

28 Banyaknya β-karoten yang teradsorp dihitung menggunakan persamaan berikut: q e v = m ( Co Ce )... (1) q e = konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (µg/g saat kesetimbangan) C e = konsentrasi β-karoten dalam olein (µg/ml saat kesetimbangan) C o = konsentrasi β-karoten dalam olein pada saat awal adsorpsi (µg/ml) v = volume olein (ml) m = massa atapulgit (g) Nilai konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi digunakan sebagai nilai konsentrasi β-karoten pada saat awal desorpsi. Banyaknya β- karoten yang tersisa pada atapulgit setelah desorpsi sebagai fungsi waktu dihitung menggunakan persamaan keseimbangan massa ditunjukkan pada persamaan (2) sebagai berikut: q t = q e C ( v / m) t... (2) q t = konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi (µg/g) setiap lama desorpsi (menit) tertentu C t = konsentrasi β-karoten dalam larutan (µg/ml) setiap lama desorpsi (menit) tertentu v = volume eluen (ml) m = massa atapulgit yang telah menyerap β-karoten (g) Kinetika desorpsi digambarkan oleh orde semi pertama persamaan yang digunakan oleh Chu dan Hashim (2001) dan dinyatakan dalam persamaan (3) sebagai berikut: qt q e = exp( k des t)......(3)

29 k des = konstanta laju desorpsi orde semi pertama (menit -1 ) Persamaan (3) dimodifikasi dengan faktor terdesorpsi (θ) dan fraksi tidak terdesorpsi (1-θ) menjadi persamaan (4) sebagai berikut: q q t e = θ exp( k t) + (1 θ )......(4) des Persamaan (4) merupakan persamaan laju desorpsi orde semi pertama. Persamaan tersebut dilogaritmakan natural (ln) menghasilkan persamaan garis lurus (5) (Wankasi et al., 2005) sebagai berikut : qt ln = lnθ q e k des t + ( 1 θ )... (5) Pendugaan tingkat kesesuaian model Wankasi dengan data percobaan ditentukan berdasarkan persamaan garis lurus yaitu regresi linier, dengan mempertimbangkan koefisien determinasi (r 2 ). Regresi linier merupakan persamaan matematika yang menduga hubungan antara satu peubah bebas (X) dengan satu peubah tak bebas (Y), dimana hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai suatu garis lurus (Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Untuk kasus desorpsi, X adalah lama desorpsi, sedangkan Y adalah ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β- karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi. Koefisien determinasi (r 2 ) adalah ukuran kesesuaian model (persamaan regresi linier yang dihasilkan), yaitu kemampuan model menerangkan keragaman nilai peubah Y. Semakin besar nilai koefisien determinasi berarti model semakin mampu menerangkan perilaku peubah Y. Nilai koefisien determinasi tersebut berkisar mulai dari 0 sampai 1 (Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Laju desorpsi berkaitan erat dengan terjadinya proses desorpsi. Peningkatan laju desorpsi dapat dilakukan dengan mendapatkan jalannya desorpsi dengan energi aktivasi yang rendah. Hubungan antara konsentrasi β- karoten, suhu desorpsi, dan energi aktivasi dengan laju desorpsi, kemudian secara kuantitatif dirumuskan oleh Svante Arrhenius (1889) menjadi sebuah

30 persamaan yang dikenal dengan persamaan Arrhenius. Persamaan Arrhenius tersebut adalah sebagai berikut: k = A exp( Ea / RT)...(6) k adalah konstanta laju, E a adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas dan T adalah suhu mutlak. Faktor A merupakan sebuah konstanta proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan orientasi molekul selama tumbukan. Persamaan Arrhenius ini bermanfaat untuk menentukan nilai energi aktivasi dari pengukuran konstanta laju pada berbagai kondisi suhu (Petrucci, 1992; Saeni, 1989). Berdasarkan uraian mengenai kinetika desorpsi ini, maka diketahui pentingnya penentuan kinetika desorpsi, yaitu untuk mengetahui lamanya dan mekanisme desorpsi. Selain itu, penentuan kinetika desorpsi dengan menggunakan bentuk persamaan model Wankasi bertujuan untuk memperoleh nilai konstanta laju desorpsi (k des ) dan energi aktivasi (E a ) dari suatu proses desorpsi. Hasil kinetika desorpsi tersebut selanjutnya berguna untuk menetapkan kondisi proses, metoda pengendalian, dan kebutuhan peralatan dan teknologi suatu proses desorpsi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk merancang proses yang sesuai.

31 III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah atapulgit yang telah menyerap ß-karoten yang diperoleh dari hasil proses adsorpsi ß- karoten dari olein sawit kasar pada suhu 60ºC dan kecepatan pengadukan 120 rpm selama ± 2-4 jam. Atapulgit diperoleh dari Engelhard Corporation Iselin, New Jersey. Olein sawit kasar diperoleh dari PT. Asianagro Agungjaya, Jakarta. Eluen yang digunakan adalah isopropanol dan heksan pro analys. Heksan digunakan sebagai eluen pembanding. Standard ß-karoten dan α- tokoferol diperoleh dari Sigma-Aldrich. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan gelas (erlenmeyer, pipet tetes, tabung ulir, botol gelap); peralatan ukur (pipet mohr, gelas ukur, filter injector, spektrofotometer, High Performance Liquid Chromatrography (HPLC) kolom Zorbax Sil (0,46 x 25 cm) dengan fase gerak isopropanol dalam heksan (0,5:99,5 v/v) dengan laju alir 1 ml/menit dan nilai absorbansi α-tokoferol adalah 292 nm (AOCS, 1997), stopwatch dan timbangan); peralatan pendukung (shaker waterbath). Gambar shaker waterbath dapat dilihat pada Lampiran 2. B. Metode Penelitian Metode penelitian ini dibagi menjadi tahapan penelitian dan prosedur percobaan. Tahapan penelitian menjelaskan tentang langkah-langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan penelitian. Prosedur percobaan merupakan tatacara secara teknis tentang percobaan yang akan dikerjakan. 1. Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri atas lima tahap, yaitu (a) Karakterisasi adsorpsi atapulgit, (b) Penentuan kondisi kesetimbangan, (c) Penentuan nilai konstanta laju desorpsi isotermal (k des ), (d) Penentuan nilai energi aktivasi (E a ) dan (e) Selektivitas desorpsi. Diagram alir tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

32 Mulai Karakterisasi adsorpsi atapulgit Penentuan kondisi kesetimbangan Penentuan konstanta laju desorpsi (k des ) Penentuan energi aktivasi (E a ) Selektivitas desorpsi Selesai Gambar 3. Diagram alir tahapan penelitian (a) Karakterisasi Adsorpsi Atapulgit Karakterisasi adsorpsi atapulgit dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik adsorpsi atapulgit yang digunakan. Kondisi atapulgit yang digunakan adalah kondisi optimum proses adsorpsi ß-karoten, yaitu pada suhu 60ºC selama ± 2-4 jam dengan kecepatan pengadukan 120 rpm, dengan rasio atapulgit dengan olein adalah 1:3. Karakteristik yang dikaji adalah warna visual atapulgit dan kapasitas adsorpsi ß-karoten oleh atapulgit. (b) Penentuan Kondisi Kesetimbangan Kondisi kesetimbangan adalah kondisi dimana semakin lama desorpsi tidak lagi berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi ß- karoten dalam larutan. Pengukuran konsentrasi ß-karoten menggunakan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 446 nm untuk menentukan nilai absorbansi (Zeb dan Mehmood, 2004), kemudian nilai

33 absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standard ß-karoten. Kurva standard ß-karoten dapat dilihat pada Lampiran 3. (c) Penentuan Konstanta Laju Desorpsi (k des ) Penentuan konstanta laju desorpsi (k des ) menggunakan persamaan model Wankasi dengan regresi linier. Nilai k des diperoleh dari kemiringan regresi linier hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ). Kondisi percobaan untuk konstanta laju (k des ), nilai faktor terdesorpsi (θ) dan nilai koefisien determinasi (r 2 ) desorpsi isotermal disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kondisi percobaan untuk nilai konstanta laju desorpsi (k des ), nilai faktor terdesorpsi (θ) dan nilai koefisien determinasi (r 2 ) desorpsi isotermal Eluen Isopropanol Heksan Suhu desorpsi (ºC) Konstanta laju desorpsi [(menit) -1 ] Faktor terdesorpsi [θ] Koefisien determinasi (r 2 ) 40 k 1 θ 1 r k 2 θ 2 r k 3 θ 3 r k 4 θ 4 r k 5 θ 5 r k 6 θ 6 r 2 6 (d) Penentuan energi aktivasi (E a ) Penentuan energi aktivasi (E a ) menggunakan persamaan Arrhenius. Persamaan Arrhenius merupakan persamaan yang dirumuskan Svante Arrhenius (1889), yang mengkuantifikasi hubungan antara suhu (T) dan energi aktivasi (E a ) dengan konstanta laju (k). Persamaan Arrhenius ini kemudian dimodifikasi menjadi bentuk persamaan garis lurus (regresi linier). Nilai E a diperoleh dari kemiringan regresi linier hubungan antara kebalikan suhu desorpsi (1/T) dengan ln konstanta laju desorpsi (ln k des ). Kondisi percobaan untuk energi aktivasi (E a ) desorpsi isotermal disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kondisi percobaan untuk energi aktivasi (E a ) desorpsi isotermal

34 Eluen Isopropanol Heksan Konstanta laju desorpsi [(menit) -1 ] k 1 k 2 Energi aktivasi [kcal/mol] Koefisien determinasi (r 2 ) E a1 r 2 1 k 4 k 5 k 6 E a2 r 2 2 (e) Selektivitas desorpsi Selektivitas desorpsi dilakukan untuk seleksi terhadap adsorbat dengan parameter yang dapat menunjukkan kualitas dari eluen yang digunakan. Kualitas eluen yang digunakan dapat diketahui berdasarkan selektivitas eluen dalam melepaskan komponen β-karoten dan α- tokoferol selama proses desorpsi berlangsung. Kondisi percobaan untuk selektivitas desorpsi isotermal disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kondisi percobaan untuk selektivitas desorpsi isotermal Pelarut Perlakuan Suhu [ºC] Perolehan β-karoten [µg] [t = 18 menit] Perolehan α-tokoferol [µg] [t = 18 menit] IPA Heksan 40 β 1 α 1 50 β 2 α 2 60 β 3 α 3 40 β 4 α 4 50 β 5 α 5 60 β 6 α 6 2. Prosedur Percobaan Tujuh gram atapulgit yang telah mengadsorp ß-karoten dan 350 ml eluen (isopropanol dan atau heksan) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml kemudian diinkubasi di dalam shaker waterbath dengan suhu desorpsi 40ºC, 50ºC dan 60ºC selama ± 2-4 jam. Larutan desorpsi diagitasi dengan kecepatan 180 rpm. Diagram alir proses desorpsi isotermal ß-karoten dan α- tokoferol olein sawit kasar dari atapulgit dapat dilihat pada Gambar 4. Pengambilan sampel dilakukan setiap lama desorpsi (menit) tertentu. Hasil sampling disaring dengan menggunakan filter injector, kemudian contoh

35 didinginkan untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 446 nm dan nilai absorbansi diplotkan pada kurva standard untuk mengetahui besarnya konsentrasi ß-karoten. Prosedur pengukuran konsentrasi ß-karoten dan α-tokoferol dapat dilihat pada Lampiran 4. Atapulgit (7gram) Mulai Pencampuran atapulgit dan pelarut Pelarut (350 ml) diinkubasi dalam shaker waterbath pada kecepatan pengadukan 180 rpm dan suhu tertentu Pengambilan sampel pada lama desorpsi (menit) tertentu Atapulgit Penyaringan dengan filter injector Analisa konsentrasi ß-karoten dan α-tokoferol Selesai Gambar 4. Diagram alir proses desorpsi isotermal ß-karoten dan α-tokoferol olein sawit kasar dari atapulgit.

36 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Adsorpsi Atapulgit Atapulgit yang digunakan dalam penelitian ini adalah atapulgit yang telah mengadsorp β-karoten yang merupakan hasil penyaringan vakum dengan menggunakan kertas saring setelah proses adsorpsi pada suhu 60ºC dengan kecepatan pengadukan 120 rpm selama ± 2-4 jam. Karakterisasi adsorpsi atapulgit dilakukan untuk mengetahui warna visual atapulgit setelah mengadsorp β-karoten dan kapasitas β-karoten yang berhasil diserap. Kapasitas adsorpsi β-karoten adalah banyaknya β-karoten (µg) yang mampu diserap oleh 1 gram atapulgit pada setiap lama desorpsi (menit) tertentu. Hasil karakterisasi adsorpsi atapulgit disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil karakterisasi adsorpsi atapulgit Karakteristik Nilai Bentuk atapulgit sebelum adsorpsi serbuk Ukuran partikel sebelum adsorpsi [mesh] 150 Warna visual atapulgit setelah adsorpsi coklat gelap Kapasitas adsorpsi β-karoten [q o ], [µg/g] 482,122 Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa atapulgit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kapasitas adsorpsi β-karoten sebesar 482,122 µg/g atapulgit. Nilai kapasitas adsorpsi β-karoten yang cukup besar ini menunjukkan kemampuan atapulgit sebagai adsorben pada proses adsorpsi β- karoten cukup baik. Perubahan warna visual atapulgit sebelum adsorpsi dari putih keabu-abuan menjadi coklat gelap setelah adsorpsi juga menunjukkan karakteristik adsorpsi atapulgit. Perubahan karakteristik warna visual atapulgit sebelum dan sesudah adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 5.

37 (a) (b) Gambar 5. Perubahan karakteristik warna visual atapulgit, (a) sebelum adsorpsi dan (b) sesudah adsorpsi Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa terjadinya perubahan warna atapulgit menunjukkan bahwa atapulgit mampu menyerap β-karoten secara fisik. Nilai kapasitas adsorpsi β-karoten sebesar 482,122 µg/g atapulgit selanjutnya digunakan sebagai nilai konsentrasi β-karoten dalam atapulgit pada lama desorpsi nol menit untuk percobaan penentuan kinetika desorpsi isotermal β-karoten. B. Kondisi Kesetimbangan Konsentrasi β-karoten dalam atapulgit mengalami penurunan seiring dengan lamanya desorpsi sehingga menyebabkan β-karoten yang berhasil dilepaskan oleh eluen dalam larutan meningkat, untuk masing-masing suhu desorpsi. Peningkatan konsentrasi β-karoten dalam larutan menunjukkan bahwa eluen telah mampu melepaskan β-karoten dari atapulgit. Namun setelah lama desorpsi tertentu eluen mengalami kondisi yang menyebabkan tidak mampu lagi melepaskan β-karoten sehingga konsentrasi β-karoten dalam larutan tidak lagi mengalami peningkatan (konstan). Kondisi tersebut merupakan kondisi setimbang dimana larutan mengalami kapasitas jenuh pelepasan. Hubungan antara lama desorpsi dengan peningkatan konsentrasi β- karoten dalam larutan dapat dilihat pada Gambar 6.

38 Konsentrasi β-karoten [µg/ml] 1,400 1,300 1,200 1,100 1,000 0,900 0,800 0,700 0,600 0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0, Lama desorpsi [menit] Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan peningkatan konsentrasi β- karoten dalam larutan (, Isopropanol 40ºC;, Isopropanol 50ºC;, Isopropanol 60ºC;, heksan 40ºC;, heksan 50ºC;, heksan 60ºC) Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa pada masing-masing suhu desorpsi dan jenis eluen diperoleh kondisi kesetimbangan. Kondisi kesetimbangan pada masing-masing suhu desorpsi dan jenis eluen berbeda. Nilai kesetimbangan desorpsi isotermal β-karoten disajikan pada Tabel 11. Perhitungan konsentrasi β-karoten dalam larutan disajikan pada Lampiran 5 dan 6. Penentuan lama tercapainya kesetimbangan dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 11. Nilai kesetimbangan desorpsi isotermal β-karoten Eluen Isopropanol Heksan Perlakuan Suhu [ºC] Konsentrasi β-karoten [µg/ml] Lama tercapainya kesetimbangan [menit] 40 1, , ,815 17,5 40 0,608 21,5 50 0,396 12,5 60 0,228 10,5 Berdasarkan Tabel 11 dapat dibuktikan bahwa semakin tinggi suhu desorpsi maka kondisi kesetimbangan semakin cepat dan nilai konsentrasi β- karoten pada kondisi kesetimbangan semakin rendah. Hal tersebut terjadi

39 karena peningkatan suhu desorpsi dapat meningkatkan fraksi molekul dari β- karoten dalam atapulgit dan eluen yang teraktifkan yaitu fraksi molekul yang menghasilkan tumbukan yang efektif, sehingga mempercepat proses pelepasan β-karoten dari atapulgit oleh eluen. Peningkatan proses desorpsi tersebut mengakibatkan nilai konsentrasi β-karoten semakin rendah dan tercapainya kondisi kesetimbangan semakin cepat. Sementara itu, waktu dicapainya kondisi kesetimbangan untuk masingmasing suhu desorpsi β-karoten berbeda, dimana waktu dicapainya kondisi kesetimbangan lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Hal tersebut memberikan pengaruh terhadap nilai konsentrasi β-karoten semakin rendah dengan peningkatan suhu desorpsi. Hal ini terjadi karena peningkatan fraksi molekul dari β-karoten dalam atapulgit dan eluen yang teraktifkan sebagai akibat meningkatnya suhu desorpsi yang kemudian juga mempersingkat terjadinya proses pelepasan β-karoten dari atapulgit oleh eluen. Pada isopropanol, penurunan suhu menyebabkan peningkatan nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan. Pada suhu 40ºC, proses pelepasan β- karoten dari atapulgit oleh isopropanol berjalan lebih lambat. Akan tetapi nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan lebih tinggi dibandingkan pada suhu 50ºC dan 60ºC. Pada heksan, semakin rendah suhu maka nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan semakin tinggi. Sementara itu, waktu dicapainya kondisi kesetimbangan pada heksan lebih cepat dibandingkan pada isopropanol. Hal tersebut karena heksan memiliki titik didih yang lebih rendah dibandingkan isopropanol sehingga larutan heksan lebih cepat mengalami kejenuhan. Namun sebaliknya, nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan heksan lebih rendah dibandingkan dalam larutan isopropanol. Hal tersebut diduga bahwa heksan lebih banyak mengelusi bahan-bahan lain terlebih dahulu dalam atapulgit seperti asam lemak, trigliserida, kotoran, zat warna lain yang terbentuk saat proses adsorpsi maupun bahan-bahan lainnya, sehingga sebelum mengelusi β-karoten larutan heksan sudah jenuh terlebih dahulu. Hal ini didukung oleh heksan yang bersifat non polar dan trigliserida bersifat lebih non polar daripada komponen karoten (Hasanah, 2006). Selain itu eluen yang

40 mampu menjalankan elusi terlalu cepat tidak akan mampu melakukan pemisahan yang sempurna (Adnan, 1997). Secara keseluruhan, pada lama desorpsi yang sama, dengan semakin meningkatnya suhu desorpsi, maka nilai konsentrasi β-karoten semakin rendah. Adanya ikatan rangkap pada β-karoten menyebabkan β-karoten mudah teroksidasi. Penurunan nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan disebabkan oleh peningkatan proses oksidasi β-karoten yang terjadi sebagai akibat adanya peningkatan suhu desorpsi. Peningkatan proses oksidasi tersebut mengakibatkan terjadinya degradasi β-karoten sehingga nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan semakin rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses desorpsi β-karoten dari atapulgit lebih baik dilakukan pada suhu yang rendah. Kemungkinan lain yang menyebabkan penurunan nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan sebagai akibat peningkatan suhu desorpsi adalah ikatan yang terbentuk antara atapulgit dan β-karoten pada saat proses desorpsi semakin kuat sehingga β-karoten sulit untuk dilepaskan dari atapulgit. Hal tersebut didukung oleh adanya kemiripan sifat kepolaran antara atapulgit dan β-karoten. Atapulgit merupakan senyawa semi polar, sedangkan β-karoten merupakan senyawa non polar. Nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan isopropanol menunjukkan nilai yang lebih tinggi untuk ketiga suhu desorpsi dibandingkan nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan heksan. Hal tersebut menunjukkan bahwa isopropanol lebih banyak melepaskan β-karoten dari atapulgit karena isopropanol memiliki sifat kepolaran yang sama dengan atapulgit, yaitu bersifat semi polar. Tingkat kepolaran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses desorpsi. Isopropanol terdiri dari gugus metil, hidrokarbon dan hidroksil. Gugus metil dan hidrokarbon merupakan gugus non polar. Gugus hidroksil merupakan gugus polar. Oleh karena itu isopropanol sering disebut senyawa semi polar. Isopropanol larut 100 persen dalam air, sedangkan heksan 0,001 persen larut dalam air. Ini menunjukkan isopropanol memiliki tingkat kepolaran lebih tinggi dibandingkan heksan. Hal tersebut dilihat juga dari besarnya nilai konstanta dielektriknya. Semakin besar nilai konstanta dielektrik semakin besar pula momen dipol, maka tingkat kepolaran akan

41 semakin tinggi. Isopropanol memiliki konstanta dielektrik sebesar 20,7 dan heksan memiliki konstanta dielektrik sebesar 1,89 (Adnan, 1997). Selain itu juga disebabkan oleh perbedaan tingkat kelarutan eluen yang digunakan terhadap β-karoten dalam atapulgit. Isopropanol memiliki kelarutan yang cukup baik untuk minyak sawit kasar (Baharin et al., 1998). Pada penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben yang menyerap β-karoten. Atapulgit mengandung 66,1% SiO 2, 12,6% MgO, dan 9,8% Al 2 O 2. Silika mengandung bahan yang homogen. Permukaan silika tersusun atas dua tipe ikatan, yaitu ikatan polar yang memiliki energi tinggi dan ikatan kurang polar yang memiliki energi rendah. Ikatan polar merupakan ikatan antara silika dengan gugus hidroksil (Si-OH) yang disebut silanol, sedangkan ikatan kurang polar merupakan ikatan antara silika dengan oksigen (Si-O-Si) yang disebut siloksan (Chu et al., 2004). Struktur atapulgit terdiri dari rantai silika ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminum dan magnesium berikatan dengan oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang merupakan gugus polar (Grim, 1989). Adanya gugus polar dan kurang polar pada atapulgit menyebabkan adsorben ini tergolong ke dalam adsorben semi polar. Gugus kurang polar yang terdapat dalam atapulgit inilah yang berfungsi di dalam proses adsorpsi secara fisik pada pengikatan β-karoten. Jenis ikatan yang diduga terjadi antara atapulgit dan β-karoten adalah ikatan van der Waals, dimana ikatan ini relatif lemah sehingga lebih mudah dilepas saat dielusi oleh eluen. Ikatan van der walls antara β-karoten dan atapulgit dapat dilihat pada Gambar 7. Gaya van der Waals merupakan gaya terlemah walaupun merupakan gaya yang paling universal. Energinya sekitar 0,4 sampai 40 kj/mol (Companion, 1991). δ+ H Si O Si δ+ δ- tarikan

42 CH 3 C δ- C CH 3 CH 3 Gambar 7. Ikatan van der Waals antara β-karoten dan atapulgit (Sirait, 2007) Berdasarkan pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa gugus siloksan berinteraksi dengan awan elektron yang banyak terdapat pada ikatan ganda terkonjugasi dari molekul β-karoten melalui ikatan dipol-dipol. Mekanisme pelepasan β-karoten dari atapulgit dengan menggunakan isopropanol yang diduga terjadi ditunjukkan dengan adanya ikatan hidrogen antara molekul β-karoten dengan molekul isopropanol. Ikatan hidrogen adalah ikatan lemah yang menghubungkan atom hidrogen pada satu molekul dengan atom elektronegatif pada molekul lain (Companion, 1991). Menurut Petrucci (1992), ikatan hidrogen cenderung terjadi jika atom H dalam suatu molekul dapat secara serentak tertarik oleh atom yang sangat elektronegatif yaitu atom F, O atau N dari molekul yang berdekatan. Molekul β-karoten memiliki atom H yang merupakan daerah dimana terdapat gaya-gaya tarik yang kuat untuk molekul isopropanol. Ikatan hidrogen yang terjadi antara molekul β-karoten dengan molekul isopropanol bersifat lebih kuat daripada ikatan van der Waals antara molekul β-karoten dengan molekul atapulgit, sehingga ikatan van der Waals tersebut mudah terputus. Pemutusan ikatan van der Waals tersebut didukung oleh adanya proses shaking selama desorpsi berlangsung. Ikatan hidrogen antara β-karoten dalam atapulgit dengan isopropanol dapat dilihat pada Gambar 8. tarik menarik δ +.. δ - C H :O C 3 H 7 Gambar 8. Ikatan hidrogen antara β-karoten dalam atapulgit dengan isopropanol H Hui (1996) membuktikan fakta bahwa zat warna yang telah diserap melalui proses adsorpsi dapat dengan mudah dipisahkan dengan ekstraksi menggunakan isopropil alkohol pada suhu ruang. Hal tersebut disebabkan

43 jenis ikatan yang terbentuk antara adsorben dan zat warna adalah ikatan van der Waals yang relatif lemah. C. Kinetika Desorpsi Kinetika desorpsi merupakan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ) pada suatu periode lama desorpsi tertentu. Parameter kinetika desorpsi meliputi konstanta laju desorpsi (k des ) dan energi aktivasi (E a ). Konstanta laju desorpsi (k des ) merupakan kemiringan hasil regresi linier hubungan antara lama desorpsi (menit) dengan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ). Energi aktivasi (E a ) merupakan energi yang harus dimiliki oleh molekul untuk bereaksi yang diperoleh dari kemiringan hasil regresi linier hubungan antara kebalikan suhu desorpsi (1/T) dan ln konstanta laju desorpsi (ln k des ). Parameter kinetika desorpsi tersebut menunjukkan kinerja eluen dalam melepaskan β-karoten dari atapulgit. 1. Penentuan Konstanta Laju Desorpsi (k des ) Konstanta laju desorpsi (k des ) β-karoten ditentukan berdasarkan data percobaan hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β- karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ). Bentuk persamaaan laju desorpsi β- karoten dari data percobaan hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β- karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ) menggunakan metoda kesesuaian data percobaan yaitu regresi. Regresi merupakan persamaan matematika yang menduga hubungan antara satu peubah bebas (dalam hal ini lama desorpsi) dengan satu peubah tak bebas (dalam hal ini ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e )). Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit

44 setelah adsorpsi (ln q t /q e ) ditransformasikan mengikuti bentuk persamaan garis lurus (linier). Ukuran untuk melihat tingkat kesesuaian dengan data percobaan ditentukan berdasarkan koefisien determinasi (r 2 ) terbesar. Hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ) dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. 0,02-0, ln qt/qo -0,04-0,06-0,08-0,1-0,12 Lama desorpsi [menit] Gambar 9. Hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β- karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β- karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ) pada isopropanol (, isopropanol 40ºC, ln q t /q e = -0,0047t 0,005, r 2 =0,9657;, isopropanol 50ºC, ln q t /q e = -0,0062t 0,00005, r 2 =0,9933;, isopropanol 60ºC, ln q t /q e = -0,0058t + 0,0032, r 2 =0,993). 0,020 0, ,020 ln qt/qo -0,040-0,060-0,080-0,100-0,120 Lama desorpsi [menit]

45 Gambar 10. Hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β- karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β- karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ) pada heksan (, heksan 40ºC, ln q t /q e = -0,0022t 0,0183, r 2 =0,8114;, heksan 50ºC, ln q t /q e = -0,0026t 0,0091, r 2 =0,857;, heksan 60ºC, ln q t /q e = -0,0023t + 0,0005, r 2 =0,9153). Berdasarkan hasil regresi pada Gambar 9 dan 10 diperoleh kemiringan (slope), nilai fraksi terdesorpsi (θ) dan nilai koefisien determinasi (r 2 ) dari masing-masing persamaan laju desorpsi. Nilai θ menunjukkan nilai fraksi yang dapat didesorpsi dalam proses desorpsi. Nilai θ diperoleh dari nilai intershape pada regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β- karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ) dengan menggunakan program Mathematica 5.2 for Students. Perhitungan fraksi terdesorpsi dengan menggunakan program Mathematica 5.2 for Students dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ), nilai faktor terdesorpsi (θ) dan nilai koefisien determinasi (r 2 ) dapat dilihat pada Tabel 12.

46 Tabel 12. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ), nilai faktor terdesorpsi (θ) dan nilai koefisien determinasi (r 2 ) Eluen Isopropanol Heksan Perlakuan Suhu [ºC] k des [menit -1 ] Faktor terdesorpsi [θ] 40 4,7 x ,903 0, ,2 x ,990 0, ,8 x ,998 0, ,2 x ,821 0, ,6 x ,871 0, ,3 x ,999 0,9153 r 2 Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa perbedaan suhu sebesar 10ºC telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan nilai konstanta laju desorpsi (k des ) yang dihasilkan. Perbedaan nilai konstanta laju desorpsi (k des ) tersebut menunjukkan perbedaan laju desorpsi untuk masingmasing suhu desorpsi. Peningkatan suhu desorpsi berpengaruh untuk meningkatkan nilai konstanta laju desorpsi (k des ). Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) yang diperoleh memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan peningkatan suhu desorpsi. Hal ini terjadi karena peningkatan suhu desorpsi menyebabkan meningkatnya laju pelepasan β-karoten dari atapulgit. Peningkatan laju pelepasan β-karoten dari atapulgit berarti seiring dengan peningkatan energi kinetik yang terjadi pada β-karoten. β-karoten yang energi kinetiknya meningkat ini menyebabkan meningkatnya laju desorpsi, sehingga kemudian meningkatkan nilai konstanta laju desorpsi (k des ). Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) pada setiap perlakuan suhu desorpsi dan jenis eluen mengalami kecenderungan sesuai dengan data percobaan yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (r 2 ) yang cenderung besar. Nilai koefisien determinasi (r 2 ) yang besar ini menunjukkan bahwa keragaman nilai ln rasio konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi β-karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi (ln q t /q e ) sebagai peubah tak bebas mampu diterangkan oleh persamaan laju desorpsi pada setiap perlakuan suhu desorpsi dan jenis eluen. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) juga dipengaruhi oleh nilai faktor terdesorpsi (θ). Kecenderungan nilai konstanta laju desorpsi

47 (k des ) yang semakin meningkat diikuti dengan kecenderungan nilai faktor terdesorpsi (θ) yang meningkat pula. Hal tersebut menunjukkan bahwa laju desorpsi yang terjadi semakin cepat. Semakin tinggi nilai konstanta laju desorpsi maka semakin tinggi pula nilai faktor terdesorpsi (Wankasi et al., 2005). 2. Penentuan Energi Aktivasi (E a ) Energi aktivasi merupakan energi yang harus dimiliki oleh molekul sehingga mampu bereaksi. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) pada ketiga suhu desorpsi, yaitu 40ºC, 50ºC dan 60ºC yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menentukan energi aktivasi (E a ). Penentuan nilai energi aktivasi (E a ) desorpsi isotermal β-karoten dilakukan dengan persamaan Arrhenius. Perhitungan energi aktivasi (E a ) dapat dilihat pada Lampiran 9. Persamaan Arrhenius merupakan persamaan yang dirumuskan oleh Svante Arrhenius, yang mengkuantifikasi hubungan antara suhu (T) dan energi aktivasi (E a ) dengan konstanta laju (k). Persamaan Arrhenius ini kemudian dimodifikasi menjadi bentuk persamaan garis lurus (regresi linier). Regresi linier merupakan persamaan matematika yang menduga hubungan antara satu peubah bebas (dalam hal ini kebalikan suhu desorpsi) dengan satu peubah tak bebas (dalam hal ini ln konstanta laju desorpsi), yang digambarkan dalam hubungan garis lurus. Hubungan antara kebalikan suhu desorpsi (1/T) dengan ln konstanta laju desorpsi (ln k des ) dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.

48 -5,05 0, ,1 0,003 0, ,0031 0, ,0032 0, ,15 ln k des -5,2-5,25-5,3-5,35-5,4 1/T Gambar 11. Hubungan antara 1/T dengan ln k des pada eluen isopropanol (ln k des = -1115,1 1/T 1,7448; r 2 = 0,5468) ln k des -5,94-5,96 0, ,003 0, ,0031 0, ,0032 0, , ,02-6,04-6,06-6,08-6,1-6,12-6,14 1/T Gambar 12. Hubungan antara 1/T dengan ln k des pada eluen heksan (ln k des = - 247,38 1/T 5,2828; r 2 = 0,0751) Berdasarkan kemiringan (slope) dari persamaan hasil regresi linier pada Gambar 11 dan 12 diperoleh energi aktivasi yang merupakan kemiringan (slope) dikali dengan konstanta gas (R). Nilai koefisien determinasi (r 2 ) yang kecil ini menunjukkan bahwa keragaman nilai konstanta laju desorpsi sebagai peubah tak bebas kurang mampu diterangkan oleh persamaan Arrhenius. Nilai energi aktivasi desorpsi isotermal β-karoten yang dihasilkan pada ketiga suhu desorpsi masing-masing untuk setiap jenis eluen disajikan pada Tabel 13.

49 Tabel 13. Energi aktivasi desorpsi isotermal β-karoten dengan eluen isopropanol dan heksan Eluen Perlakuan Suhu [ºC] k des [menit -1 ] Energi Aktivasi [kcal/mol] r 2 Isopropanol 40 4,7 x ,2 x ,216 0, ,8 x 10-3 Heksan 40 2,2 x ,6 x ,492 0, ,3 x 10-3 Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa peningkatan suhu desorpsi menyebabkan meningkatnya pelepasan β-karoten dari atapulgit yang selanjutnya meningkatkan laju desorpsi. Selain dengan peningkatan suhu desorpsi, peningkatan laju desorpsi juga dapat dilakukan dengan mendapatkan jalan proses desorpsi dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Semakin rendah nilai energi aktivasi, semakin besar fraksi molekul β-karoten yang teraktifkan dan semakin cepat proses desorpsi berlangsung. Dalam penelitian ini digunakan eluen isopropanol untuk desorpsi β-karoten dan eluen heksan sebagai pembandingnya. Penggunaan eluen berfungsi untuk mendapatkan jalan proses desorpsi alternatif tersebut. Eluen akan mengarahkan reaksi menuju jalan reaksi dengan nilai energi aktivasi yang rendah. Oleh karena itu, jenis eluen dapat meningkatkan laju desorpsi. Hal ini tergantung dari jenis kepolaran eluen yang digunakan. Dalam proses desorpsi β-karoten ini tingkat kepolaran eluen yang semakin rendah akan menghasilkan energi aktivasi yang rendah. Dalam hal ini, heksan menunjukkan nilai energi aktivasi yang rendah, berarti heksan mampu melepaskan β-karoten dari atapulgit dengan cepat. Sementara itu, isopropanol memiliki nilai energi aktivasi yang cukup besar, bahkan hampir 4 kali lipat dari nilai energi aktivasi heksan. Cepatnya laju desorpsi dipengaruhi oleh viskositas eluen. Viskositas eluen yang rendah

50 dengan kondisi proses yang menggunakan shaker akan lebih cepat berikatan dengan β-karoten dalam atapulgit sehingga proses pelepasan β-karoten lebih cepat terjadi. Viskositas isopropanol lebih tinggi dibandingkan heksan sehingga proses pelepasan β-karoten dengan menggunakan isopropanol berjalan sedikit lebih lambat. D. SELEKTIVITAS DESORPSI Pemisahan β-karoten dan α-tokoferol dilakukan dengan cara adsorpsi dan desorpsi. Proses desorpsi akan melepaskan β-karoten dan α-tokoferol dari adsorben dengan cara mengelusi adsorben dengan eluen. Eluen yang digunakan jumlahnya sama, hanya saja masing-masing eluen yang digunakan mempunyai karakteristik yang berbeda dalam kemampuannya untuk melepaskan β-karoten dan α-tokoferol. Eluen yang memiliki kemampuan cepat melepas adsorbat belum tentu dapat melepaskan adsorbat yang diharapkan dengan konsentrasi yang baik. Eluen yang mampu menjalankan elusi terlalu cepat tidak akan mampu melakukan pemisahan yang sempurna (Adnan, 1997). Kemungkinan yang terjadi adalah eluen melepaskan bahanbahan lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan seleksi terhadap adsorbat dengan parameter yang dapat menunjukkan kualitas dari eluen yang digunakan. Selektivitas desorpsi dilihat dari perolehan β-karoten dan α-tokoferol dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Selektivitas desorpsi dilihat dari perolehan β-karoten dan α- tokoferol Pelarut IPA Heksan a : tidak terdeteksi Perlakuan Perolehan β-karoten [µg] Suhu [ºC] [t = 18 menit] ,666 a ,535 a Perolehan α-tokoferol [µg] [t = 18 menit] ,612 a , , , , , ,430

51 Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa semakin tinggi suhu, perolehan β-karoten dengan menggunakan eluen isopropanol cenderung semakin meningkat. Lain halnya pada eluen heksan, semakin tinggi suhu, perolehan β- karoten semakin menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh titik didih yang dimiliki heksan. Semakin rendah titik didih, semakin cepat eluen tersebut untuk menguap. Sementara itu, perolehan α-tokoferol dengan eluen heksan meningkat pada suhu 50 o C dan menurun pada suhu 60 o C. Sedangkan pada eluen isopropanol, perolehan α-tokoferol tidak terdeteksi. Hal tersebut diduga bahwa α-tokoferol rusak saat dilarutkan dalam isopropanol. Secara keseluruhan dari proses desorpsi diperoleh α-tokoferol lebih banyak dibandingkan β-karoten. Hasil pengukuran konsentrasi α-tokoferol pada eluen isopropanol dan heksan, baik untuk larutan standard (murni) dan sampel dapat dilihat pada Lampiran 10.

52 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kondisi kesetimbangan dan kinetika desorpsi sangat penting dalam memahami karakteristik pelepasan β-karoten dari atapulgit. Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal β-karoten diperoleh berdasarkan peningkatan konsentrasi β-karoten selama proses desorpsi untuk ketiga suhu desorpsi. Semakin tinggi suhu desorpsi., maka konsentrasi β-karoten semakin rendah dan kondisi kesetimbangan semakin meningkat dengan peningkatan suhu 10ºC. Nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan isopropanol pada kondisi kesetimbangan untuk masing-masing suhu desorpsi 40ºC, 50ºC dan 60ºC adalah 1,121 [µg/ml]; 0,988 [µg/ml]; dan 0,815 [µg/ml]. Waktu dicapainya nilai konsentrasi β-karoten tersebut pada kondisi kesetimbangan berbeda pada masing-masing suhu desorpsi 40ºC, 50ºC dan 60ºC yaitu 26 menit, 19 menit dan 17,5 menit. Nilai konsentrasi β-karoten dalam larutan heksan pada kondisi kesetimbangan untuk masing-masing suhu desorpsi 40ºC, 50ºC dan 60ºC adalah 0,608 [µg/ml]; 0,396 [µg/ml]; dan 0,228 [µg/ml]. Waktu dicapainya nilai konsentrasi β-karoten tersebut pada kondisi kesetimbangan berbeda pada masing-masing suhu desorpsi 40ºC, 50ºC dan 60ºC yaitu 21,5 menit, 12,5 menit dan 10,5 menit. Bentuk persamaan laju desorpsi β-karoten memiliki tingkat kesesuaian terbaik dengan data percobaan untuk ketiga suhu desorpsi. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) β-karoten oleh eluen isopropanol yang diperoleh pada masingmasing suhu desorpsi 40ºC, 50ºC dan 60ºC adalah 4,7 x 10-3 (menit) -1, 6,2 x 10-3 (menit )-1 dan 5,8 x 10-3 (menit) -1. Nilai energi aktivasi (E a ) pada kondisi tersebut adalah 2,216 kcal/mol. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) β-karoten oleh eluen heksan yang diperoleh pada masing-masing suhu desorpsi 40ºC, 50ºC dan 60ºC adalah 2,2 x 10-3 (menit) -1, 2,6 x 10-3 (menit )-1 dan 2,3 x 10-3 (menit) -1. Nilai energi aktivasi (E a ) pada kondisi tersebut adalah 0,492 kcal/mol.

53 B. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pemisahan dan pemurnian β- karoten dari larutan isopropanol. 2. Selama proses, kondisi alat yang digunakan memudahkan bahan untuk teroksidasi. Untuk itu perlu diupayakan modifikasi alat yang dapat meminimalkan terjadinya proses oksidasi. 3. Persamaan Arrhenius kurang mampu menerangkan keragaman nilai konstanta laju desorpsi sebagai peubah tak bebas dalam menentukan nilai energi aktivasi, sehingga perlu dicari persamaan lain yang bisa menjelaskan energi aktivasi pada proses desorpsi.

54 DAFTAR PUSTAKA Adnan, M Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Almatsier, S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Andarwulan, N. dan S. Koswara Kimia Vitamin. Rajawali Pers. Jakarta. Anonim a Attapulgite Clay. http: (8 Juli 2006) Anonim b Activated Fullers Earth. http: (16 November 2006). Anonim c Industri Minyak Goreng: Persaingannya Kian Seru. http: (16 November 2006). AOCS Determination of Tocopherols and Tocotrienols in Vegetable Oils and Fats by HPLC. Official Method Ce 8-89 reapproved 1997 in Sampling and Analysis of Commercial Fats and Oils. Baharin, B.S. et al Separation of Palm Carotene from Crude Palm Oil by Adsorption Chromatography with a Synthetic Polymer Adsorbent. JAOCS, Vol 75, No. 3. Bauernfeind, J.C., Carotenoids as Colorants and Vitamin A Precursor. Technological and Nutritional Application, Academic Press, New York, London, Toronto, Sidney, San Francisco. Bernasconi, G., H. Gerster, H. Hauser, H. Stauble, dan E. Schneiter Teknologi Kimia Bagian 2. Terjemahan Lienda Handojo. Pradnya Paramita. Jakarta. Badan Pusat Statistik [BPS] Statistik Kelapa Sawit Indonesia. BPS. Jakarta. Choo, Y.M Palm Oil Carotenoids. Food and Nutrition Bulletin, Vol. 15, No. 2.

55 Chu, B.S., B.S. Baharin, Y.B. Che Man, dan S.Y. Quek Separation of Vitamin E from Palm Fatty Acid Distillate Using Silica. III. Batch Desorption Study. Journal of Food Engineering. 64 (2004) Chu, K.H. dan M.A. Hashim Desorption of Copper from Polyvinyl Alcohol-Immobilized Seaweed Biomass. Acta Biotechnol. 21 (2001) 4, Companion, A.L Ikatan Kimia. Penerbit ITB. Bandung. Fauzi, Y., Y.E. Widyastuti, I. Satyawibawa, dan R. Hartono Kelapa Sawit: Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta. Guenther, E The Essential Oils, Vol II. Van Nostrand Reinhold Comp., New York. Grim, R.E Clay Mineralogy.2nd Edition. McGraw-Hill Book Company, New York. USA. Hasanah, U Proses Produksi Konsentrat Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Kromatografi Kolom Adsorpsi. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.Bogor. Hui, Y.H Bailey s Industrial Oil and Fat Products 5 th Edition Volume 4 Edible Oil and Fat Product: Processing Technology. John Wiley & Sons. Amerika Serikat. Husaini Penggunaan Garam Fortifikasi untuk Menanggulangi Masalah KVA. Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB.Bogor. Iwasaki, R. dan Murakoshi, Palm Oil Yields Carotene for World Markets. Oleochemicals, INFORM, Vol. 3, No. 2, p Kirk, R.E. dan D.F. Othmer Encyclopedia of Chemical Technology. Vol. 12. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York. London. Kirk, R.E. dan D.F. Othmer Encyclopedia of Chemical Technology Second Edition. Vol. 1. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York. London.

56 Kirk, R.E. dan D.F. Othmer Encyclopedia of Chemical Technology Second Edition. Vol. 4. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York. London. Lansbarkis, J.R Analysis of Volatile Organic Compounds in Water and Air Using Attapulgite Clays. United States Patent Latip, R.A., B.S. Baharin, Y.B. Che Man, dan R.A. Rahman Effect of Adsorption and Solvent Extraction Process on the Percentage of Carotene Extracted from Crude Palm Oil. JAOCS, Vol. 78, No. 1. Mattjik, A.A., dan M. Sumertajaya Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab, Jilid I. IPB Press, Bogor. Muhilal, Minyak Sawit Suatu Produk Nabati untuk Penanggulangan Acherosclerosis dan Penundaan Proses Penuaan. Prosiding Seminar Nilai Tambah Minyak Kelapa Sawit untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan. Jakarta. Perry, R.H., dan D.W. Green Perry s Chemical Engineer Handbook, 6 th ed. Mc Graw-Hill, New York. Petrucci, R.H Kimia Dasar, Prinsip dan Terapan Modern. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Roy, G.M Activated carbon Applications in the Food and Paharmaceutical Industries. Technomic Publishing Co.Inc, Pennsylvania. Saeni, M.S Kimia Fisik I. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor. Salunkhe, D.K., J.K. Chayan, R.N. Adsude, S.S. Kadam World Oil Seeds. Chemistry, Technology and Utilization. An AVI Book. Published by Van Nostrad Reinhold. New York. Sirait, K.E.E Kinetika Adsorpsi Isotermal β-karoten Olein Sawit Kasar dengan Menggunakan Atapulgit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. SNI Crude Palm Olein ( ). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

57 Van Gelder, J.W Greasy Palms: European Buyers of Indonesian Palm Oil. Friends of Earth Ltd. London. Walfford, J Development in Food Colours-1 Applied Science Publishers Ltd. London. Wankasi, D., M. Horsfall Jnr dan A.I. Spiff Desorption of Pb 2+ and Cu 2+ from Nipa Palm (Nypa fructicans Wurmb) Biomass. African Journal of Biotechnology Vol. 4 (9), pp Winarno, F.G Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Zeb, A. dan S. Mehmood Carotenoids Contents from Various Sources and Their Potential Health Applications. Pakistan Journal of Nutrition 3 (3):

58 LAMPIRAN

59 Lampiran 1. Perkembangan produksi CPO dunia Perkembangan Produksi CPO Dunia (juta ton)

60 Lampiran 2. Gambar shaker waterbath

61 Lampiran 3. Kurva standard konsentrasi β-karoten dalam berbagai pelarut Prosedur pembuatan kurva standard Kurva standard yang digunakan adalah kurva standard β-karoten dalam isopropanol dan heksan. Standard β-karoten (Sigma Aldrich) masing-masing 0,0005 g dicampur dan dilarutkan ke dalam isopropanol dan heksan, ditera dalam labu takar 100 ml. Selanjutnya dibuat beberapa konsentrasi larutan β-karoten dalam isopropanol dan heksan, diukur dengan menggunakan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 446 nm. Kurva standard betakaroten dalam heksan 1,6000 1,4000 nilai absorbansi 1,2000 1,0000 0,8000 y = 0,3129x 0,6000 R 2 = 0,9938 0,4000 0,2000 0,0000 0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 Konsentrasi betakaroten [ppm] Kurva standard betakaroten dalam isopropanol 2,5000 nilai absorbansi 2,0000 1,5000 1,0000 0,5000 y = 0,4796x R 2 = 0,9831 0,0000 0,000 0,500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000 Konsentrasi betakaroten [ppm]

62 Lampiran 4. Prosedur pengukuran β-karoten dan α-tokoferol A. Modifikasi pengukuran β-karoten menggunakan spektrofotometer (Apriyantono et al., 1989) Ukur absorbansi larutan contoh dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm. Blanko yang digunakan adalah larutan atapulgit yang telah menyerap β-karoten dengan heksan/isopropanol. Perbandingan contoh uji dengan pelarut heksan atau isopropanol 1 : 50. Buat kurva standard, nilai absorbansi versus konsentrasi β-karoten. Hitung konsentrasi β-karoten dalam contoh dengan memplotkan nilai absorbansi contoh dengan kurva standard yang telah dibuat. B. Modifikasi metode pengukuran α-tokoferol pada larutan isopropanol dan heksan menggunakan HPLC (AOCS, 1997) 1. Perlengkapan a) Sistem HPLC Sistem HPLC yang dilengkapi dengan pompa tekanan tinggi, alat penginjeksi contoh (injektor), detektor dan alat perekam grafik (integrator recorder). Detektor yang digunakan adalah Ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang 292 nm. b) Kolom analisis HPLC Kolom yang digunakan untuk analisa α-tokoferol adalah Zorbax Sil dengan ukuran 250 x 4.6 mm dengan saringan membran 0,5 μm. 2. Bahan Kimia a) Larutan standard α-tokoferol b) Heksan HPLC grade c) Isopropanol HPLC grade d) Mobile Phase HPLC isopropanol dalam heksan (0.5 : 99.5, v/v) 3. Prosedur Contoh sebanyak 7 gr dilarutkan dalam 350 ml heksan/isopropanol. Contoh diinjeksikan sebanyak 20 μl ke dalam injektor. Laju alir yang digunakan pada kolom HPLC adalah 1 ml/menit selama 30 menit.

63 4. Perhitungan CxaxDx350 A Dimana : C A a Perhitungan jumlah α-tokoferol dalam contoh (μg) adalah sebagai berikut : = Konsentrasi standard α-tokoferol (μg/ml) = Rata-rata luas area puncak dari standard α-tokoferol = Rata-rata luas area puncak α-tokoferol dari contoh D = Faktor pengenceran (D = 1)

64 Lampiran 5. Data perhitungan konsentrasi β-karoten dalam isopropanol Isopropanol 40ºC t Ct y=0,4796x Co Ce [Co-Ce] V ads m ads Qe = Qo V m Ct*(V/m) Qt = Qe - Ct (V/m) A1 A2 absorbansi Qt/Qo ln Qt/Qo [menit] [µg/ml] [ppm] [µg/ml] [µg/ml] [µg/ml] [ml] [gr] [µg/g] [ml] [gr] [µg/g] [µg/g] 0 0,000 0,000 0,0000 0,000 0, , , , , , ,122 1,000 0, ,269 0,270 0,2695 0,562 0, , , , , , ,025 0,942-0, ,298 0,297 0,2975 0,620 0, , , , , , ,106 0,936-0, ,311 0,313 0,3120 0,651 0, , , , , , ,595 0,933-0, ,338 0,340 0,3390 0,707 0, , , , , , ,780 0,927-0, ,374 0,376 0,3750 0,782 0, , , , , , ,027 0,919-0, ,412 0,412 0,4120 0,859 0, , , , , , ,169 0, ,520 0,520 0,5200 1,084 0, , , , , , ,910 0, ,554 0,556 0,5550 1,157 0, , , , , , ,261 0,880 anol Isopropanol 50ºC t Ct y=0,4796x Co Ce [Co-Ce] V ads m ads Qe = Qo V m Ct*(V/m) Qt = Qe - Ct (V/m) A1 A2 absorbansi Qt/Qo ln Qt/Qo [menit] [µg/ml] [ppm] [µg/ml] [µg/ml] [µg/ml] [ml] [gr] [µg/g] [ml] [gr] [µg/g] [µg/g] 0 0,000 0,000 0,0000 0,000 0, , , , , , ,122 1,000 0, ,040 0,040 0,0400 0,083 0, , , , , , ,952 0,991-0, ,105 0,105 0,1050 0,219 0, , , , , , ,175 0,977-0, ,185 0,185 0,1850 0,386 0, , , , , , ,835 0,960-0, ,239 0,239 0,2390 0,498 0, , , , , , ,205 0,948-0, ,448 0,448 0,4480 0,934 0, , , , , , ,416 0, ,468 0,468 0,4680 0,976 0, , , , , , ,331 0, ,474 0,474 0,4740 0,988 0, , , , , , ,706 0, ,484 0,484 0,4840 1,009 0, , , , , , ,663 0,

65 Isopropanol 60ºC t [menit] A1 A2 absorbansi Ct [µg/ml] 0,000 0,000 0,0000 0,000 0,044 0,044 0,0440 0,092 0,066 0,066 0,0660 0,138 0,240 0,239 0,2395 0,499 0,304 0,303 0,3035 0,633 0,359 0,359 0,3590 0,749 0,394 0,394 0,3940 0,822 0,390 0,390 0,3900 0,813 0,392 0,392 0,3920 0,817 y=0,4796x [ppm] Co [µg/ml] Ce [µg/ml] [Co-Ce] [µg/ml] V ads [ml] m ads [gr] Qe = Qo [µg/g] V [ml] m [gr] 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Ct*(V/m) [µg/g] Qt = Qe - Ct (V/m) [µg/g] Qt/Qo ln Qt/Qo 0, ,122 1,000 0,000 4, ,535 0,990-0,010 6, ,241 0,986-0,014 24, ,153 0,948-0,053 31, ,481 0,934-0,068 37, ,695 0,922-0,081 41, ,046 0,915-0,089 40, ,463 0,916 40, ,254 0,915

66 Lampiran 6. Data perhitungan konsentrasi β-karoten dalam heksan Heksan 40ºC t [menit] A1 A2 absorbansi Ct [µg/ml] y=0,3129x [ppm] 0 0,000 0,000 0,0000 0,000 0, ,097 0,098 0,0975 0,312 0, ,106 0,105 0,1055 0,337 0, ,129 0,129 0,1290 0,412 0, ,137 0,136 0,1365 0,436 0, ,140 0,141 0,1405 0,449 0, ,159 0,158 0,1585 0,507 0, ,155 0,154 0,1545 0,494 0, ,203 0,202 0,2025 0,647 0, ,178 0,178 0,1780 0,569 0,3129 Co [µg/ml] Ce [µg/ml] [Co-Ce] [µg/ml] V ads [ml] m ads [gr] Qe = Qo [µg/g] V [ml] m [gr] 409, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Ct*(V/m) [µg/g] Qt = Qe - Ct (V/m) [µg/g] Qt/Qo ln Qt/Qo 0, ,122 1,000 0,000 15, ,542 0,968-0,033 16, ,263 0, , ,508 0,957-0,044 21, ,310 0,955-0,046 22, ,670 0,953-0,048 25, ,794 0,947-0,054 24, ,433 0, , ,763 0,933-0,069 28, ,678 0,941 t [menit] Heksan 50ºC A1 A2 absorbansi Heksan Ct [µg/ml] y=0,3129x [ppm] 0 0,000 0,000 0,000 0,000 0, ,053 0,053 0,0530 0,169 0, ,075 0,073 0,0740 0,236 0, ,086 0,086 0,0860 0,275 0, ,130 0,128 0,1290 0,412 0, ,119 0,118 0,1185 0,379 0, ,103 0,103 0,1030 0,329 0, ,105 0,105 0,1050 0,336 0,3129 Co [µg/ml] Ce [µg/ml] [Co-Ce] [µg/ml] V ads [ml] m ads [gr] Qe = Qo [µg/g] V [ml] m [gr] 409, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Ct*(V/m) [µg/g] Qt = Qe - Ct (V/m) [µg/g] Qt/Qo ln Qt/Qo 0, ,122 1,000 0,000 8, ,653 0,982-0,018 11, ,297 0,975-0,025 13, ,379 0,971-0,029 20, ,508 0,957-0,044 18, ,186 0, , ,663 0,966 16, ,343 0,965

67 Heksan 60ºC t [menit] A1 A2 absorbansi Ct [µg/ml] y=0,3129x [ppm] 0 0,000 0,000 0,000 0,000 0, ,016 0,015 0,0155 0,050 0, ,028 0,027 0,0275 0,088 0, ,026 0,026 0,0260 0,083 0, ,064 0,064 0,0640 0,205 0, ,069 0,069 0,0690 0,221 0, ,088 0,089 0,0885 0,283 0, ,073 0,074 0,0735 0,235 0,3129 Co [µg/ml] Ce [µg/ml] [Co-Ce] [µg/ml] V ads [ml] m ads [gr] Qe = Qo [µg/g] V [ml] m [gr] 409, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Ct*(V/m) [µg/g] Qt = Qe - Ct (V/m) [µg/g] Qt/Qo ln Qt/Qo 0, ,122 1,000 0,000 2, ,645 0,995-0,005 4, ,727 0,991-0,009 4, ,967 0,991-0,009 10, ,895 0,979-0,021 11, ,096 0,977-0,023 14, ,980 0,971 11, ,377 0,976

68 Lampiran 7. Penentuan lama tercapainya kesetimbangan Konsentrasi β-karoten [µg/ml] Lama desorpsi [menit]

69 Lampiran 8. Perhitungan fraksi terdesorpsi (θ) dengan menggunakan program Mathematica 5.2 for Students Contoh perhitungan nilai pada heksan suhu 40ºC: ln qt/qe = -0,0022t 0,0183 Solve[Log[θ]-θ = ,θ] InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used. Values may be lost for multivalued inverses. More Solve :: ifun : Inverse functions are being used by Solve, so some solutions may not be found ; use Reduce for complete solution information. More {{θ },{θ }}

70 Lampiran 9. Perhitungan energi aktivasi (Ea) Regresi linier untuk menentukan Ea: K = A exp (Ea/RT) Ln k = -(Ea/RT) + ln A Ln k = -((1/T)*(Ea/R)) + ln A Kurva hubungan 1/T dengan ln k des disajikan pada gambar 1. ln k des ln A Slope = -Ea/R 1/T Gambar 1. Hubungan 1/T dengan ln k des

71 Lampiran 10. Hasil pengukuran konsentrasi α-tokoferol pada eluen isopropanol dan heksan, baik untuk larutan standard (murni) dan sampel

72

73

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL Oleh OKIANA WINARNI F34102019 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Wahai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK KELAPA SAWIT Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi dari mesocarp tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Minyak kelapa sawit kasar mengandung komponen utama

Lebih terperinci

KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN ATAPULGIT

KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN ATAPULGIT KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN ATAPULGIT Oleh KRISTIN EVA ELISABETH SIRAIT F34102119 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Skripsi

Lebih terperinci

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL Oleh OKIANA WINARNI F34102019 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Wahai

Lebih terperinci

KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten DARI OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN BENTONIT

KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten DARI OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN BENTONIT Kinetika Adsorpsi Isotermal β -Karoten dari Olein Sawit Kasar... KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten DARI OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN BENTONIT KINETICS OF ISOTHERMAL ADSORPTION OF β-carotene

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Ketersediaan sumber energi khususnya energi fosil semakin mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi dunia (Arisurya, 2009). Indonesia yang dahulu

Lebih terperinci

ANALISA TEKNO-EKONOMI UNIT PEMISAHAN DAN PEMURNIAN VITAMIN PADA INDUSTRI MINYAK SAWIT KASAR

ANALISA TEKNO-EKONOMI UNIT PEMISAHAN DAN PEMURNIAN VITAMIN PADA INDUSTRI MINYAK SAWIT KASAR ANALISA TEKNO-EKONOMI UNIT PEMISAHAN DAN PEMURNIAN VITAMIN PADA INDUSTRI MINYAK SAWIT KASAR Oleh BUDI HERMAWAN F34103100 2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Malaysia dalam produksi minyak sawit. Pada tahun 2004, produksi dan ekspor negara Malaysia mencapai masing-masing

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform, BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN 1. Standar DHA murni (Sigma-Aldrich) 2. Standar DHA oil (Tama Biochemical Co., Ltd.) 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform, metanol,

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka A. Minyak Sawit Bab II Tinjauan Pustaka Minyak sawit berasal dari mesokarp kelapa sawit. Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DALAM KAJIAN ASPEK PASAR BETAKAROTEN DAN TOKOFEROL UNTUK PRODUK FORTIFIKASI

PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DALAM KAJIAN ASPEK PASAR BETAKAROTEN DAN TOKOFEROL UNTUK PRODUK FORTIFIKASI PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DALAM KAJIAN ASPEK PASAR BETAKAROTEN DAN TOKOFEROL UNTUK PRODUK FORTIFIKASI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah paling potensial untuk menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal perkebunan kelapa

Lebih terperinci

OPTIMASI UKURAN PARTIKEL, MASSA DAN WAKTU KONTAK KARBON AKTIF BERDASARKAN EFEKTIVITAS ADSORPSI β-karoten PADA CPO

OPTIMASI UKURAN PARTIKEL, MASSA DAN WAKTU KONTAK KARBON AKTIF BERDASARKAN EFEKTIVITAS ADSORPSI β-karoten PADA CPO OPTIMASI UKURAN PARTIKEL, MASSA DAN WAKTU KONTAK KARBON AKTIF BERDASARKAN EFEKTIVITAS ADSORPSI β-karoten PADA CPO Juli Elmariza 1*, Titin Anita Zaharah 1, Savante Arreneuz 1 1 Program Studi Kimia Fakultas

Lebih terperinci

Lembaran Pengesahan KINETIKA ADSORBSI OLEH: KELOMPOK II. Darussalam, 03 Desember 2015 Mengetahui Asisten. (Asisten)

Lembaran Pengesahan KINETIKA ADSORBSI OLEH: KELOMPOK II. Darussalam, 03 Desember 2015 Mengetahui Asisten. (Asisten) Lembaran Pengesahan KINETIKA ADSORBSI OLEH: KELOMPOK II Darussalam, 03 Desember 2015 Mengetahui Asisten (Asisten) ABSTRAK Telah dilakukan percobaan dengan judul Kinetika Adsorbsi yang bertujuan untuk mempelajari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN y = x R 2 = Absorban

HASIL DAN PEMBAHASAN y = x R 2 = Absorban 5 Kulit kacang tanah yang telah dihaluskan ditambahkan asam sulfat pekat 97%, lalu dipanaskan pada suhu 16 C selama 36 jam. Setelah itu, dibilas dengan air destilata untuk menghilangkan kelebihan asam.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan metode purposive sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan metode purposive sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Preparasi Sampel Sampel telur ayam yang digunakan berasal dari swalayan di daerah Surakarta diambil sebanyak 6 jenis sampel. Metode pengambilan sampel yaitu dengan metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair pada suhu kamar (25 C) dan lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga

Lebih terperinci

Gambar I.1. Pertumbuhan Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia [1]

Gambar I.1. Pertumbuhan Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia [1] BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Minyak kelapa sawit adalah salah satu minyak yang diproduksi dalam jumlah yang cukup besar di dunia. Hingga tahun 2005, Indonesia merupakan negara pengekspor minyak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tumbuhan Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung untuk mengetahui dan memastikan famili dan spesies tumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya. 5 E. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (25 : 75), F. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (50 : 50), G. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (75 :

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS Zul Alfian Departemen Kimia FMIPA Universitas Sumatera

Lebih terperinci

ISOLASI SENYAWA β-karoten DARI MINYAK KELAPA SAWIT MENTAH (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM TERBUKA TUGAS AKHIR

ISOLASI SENYAWA β-karoten DARI MINYAK KELAPA SAWIT MENTAH (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM TERBUKA TUGAS AKHIR ISOLASI SENYAWA β-karoten DARI MINYAK KELAPA SAWIT MENTAH (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM TERBUKA TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan

Lebih terperinci

SKRIPSI OPTIMASI PEMEKATAN KAROTENOID PADA METIL ESTER KASAR (CRUDE METHYL ESTER) MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI

SKRIPSI OPTIMASI PEMEKATAN KAROTENOID PADA METIL ESTER KASAR (CRUDE METHYL ESTER) MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI SKRIPSI OPTIMASI PEMEKATAN KAROTENOID PADA METIL ESTER KASAR (CRUDE METHYL ESTER) MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI Oleh EKO WIDAYANTO F24102049 2007 DEPARTEMEN ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

Gambar 6. Kerangka penelitian

Gambar 6. Kerangka penelitian III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic

Lebih terperinci

ADSORPSI β-karoten YANG TERKANDUNG DALAM MINYAK KELAPA SAWIT (CRUDE PALM OIL) MENGGUNAKAN ADSORBEN KARBON AKTIF SKRIPSI

ADSORPSI β-karoten YANG TERKANDUNG DALAM MINYAK KELAPA SAWIT (CRUDE PALM OIL) MENGGUNAKAN ADSORBEN KARBON AKTIF SKRIPSI ADSORPSI β-karoten YANG TERKANDUNG DALAM MINYAK KELAPA SAWIT (CRUDE PALM OIL) MENGGUNAKAN ADSORBEN KARBON AKTIF SKRIPSI Oleh OLYVIA PUTRI WARDHANI 110405006 DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

JURNAL REKAYASA PROSES. Kinetika Adsorpsi Nikel (II) dalam Larutan Aqueous dengan Karbon Aktif Arang Tempurung Kelapa

JURNAL REKAYASA PROSES. Kinetika Adsorpsi Nikel (II) dalam Larutan Aqueous dengan Karbon Aktif Arang Tempurung Kelapa 36 JURNAL REKAYASA PROSES Volume 10 No.2, 2016, hal.36-42 Journal homepage: http://journal.ugm.ac.id/jrekpros Kinetika Adsorpsi Nikel (II) dalam Larutan Aqueous dengan Karbon Aktif Arang Tempurung Kelapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

KROMATOGRAFI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

KROMATOGRAFI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. KROMATOGRAFI Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Tujuan Pembelajaran 1. Mahasiswa memahami pengertian dari kromatografi dan prinsip kerjanya 2. Mahasiswa mengetahui jenis-jenis kromatografi dan pemanfaatannya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara

I. PENDAHULUAN. untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketertarikan dunia industri terhadap bahan baku proses yang bersifat biobased mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat ini merujuk kepada karakteristik bahan

Lebih terperinci

KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten DARI OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN BENTONIT. Oleh: R. INDRI RESPATI HAYUNINGTYAS F

KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten DARI OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN BENTONIT. Oleh: R. INDRI RESPATI HAYUNINGTYAS F KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten DARI OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN BENTONIT Oleh: R. INDRI RESPATI HAYUNINGTYAS F34102087 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR R.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap diazinon, terlebih dahulu disintesis adsorben kitosan-bentonit mengikuti prosedur yang telah teruji (Dimas,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok, pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elais guinensis jacq) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam family Palmae. Tanaman genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion

Lebih terperinci

Gambar 7 Desain peralatan penelitian

Gambar 7 Desain peralatan penelitian 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah pemucat bekas yang diperoleh dari Asian Agri Group Jakarta. Bahan bahan kimia yang digunakan adalah

Lebih terperinci

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I Pengantar Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit (Elaeis guineensis) terbesar di dunia. Produksinya pada tahun 2010 mencapai 21.534 juta ton dan dengan nilai pemasukan

Lebih terperinci

PERMUKAAN RESPON PENGARUH SUHU, LAJU ALIR CAIRAN DAN TEKANAN TERHADAP PENGHILANGAN ASAM AKONITAT PADA KARBONATASI RAW SUGAR

PERMUKAAN RESPON PENGARUH SUHU, LAJU ALIR CAIRAN DAN TEKANAN TERHADAP PENGHILANGAN ASAM AKONITAT PADA KARBONATASI RAW SUGAR PERMUKAAN RESPON PENGARUH SUHU, LAJU ALIR CAIRAN DAN TEKANAN TERHADAP PENGHILANGAN ASAM AKONITAT PADA KARBONATASI RAW SUGAR MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI Oleh Rizki Lianti F34103064 2007 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyiapan Sampel Sampel daging buah sirsak (Anonna Muricata Linn) yang diambil didesa Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, terlebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 MINYAK KELAPA SAWIT Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia [11]. Produksi CPO Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya, seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber bahan bakar semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Akan tetapi cadangan sumber bahan bakar justru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan penghasil minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia dengan produksi sebesar 25,4 juta metrik ton pada tahun 2012, yang sebagian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

PENGAMBILAN AIR DARI SISTEM ISOPROPIL ALKOHOL AIR DENGAN DISTILASI ADSORPTIF MENGGUNAKAN ZEOLIT ALAM DAN SILIKA GEL

PENGAMBILAN AIR DARI SISTEM ISOPROPIL ALKOHOL AIR DENGAN DISTILASI ADSORPTIF MENGGUNAKAN ZEOLIT ALAM DAN SILIKA GEL 1 PENGAMBILAN AIR DARI SISTEM ISOPROPIL ALKOHOL AIR DENGAN DISTILASI ADSORPTIF MENGGUNAKAN ZEOLIT ALAM DAN SILIKA GEL Mona Silvia (L2C004248) dan Ragil Darmawan SAC (L2C004264) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

ETIL ASETAT DAN EKSTRAK METANOL

ETIL ASETAT DAN EKSTRAK METANOL AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK n-heksan, EKSTRAK ETIL ASETAT DAN EKSTRAK METANOL Sargassum echinocarpum DENGAN METODE DPPH DAN IDENTIFIKASI KANDUNGAN FUKOSANTIN SKRIPSI Oleh : Kunni Aliyah 105010583 FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROFIL MUTU MINYAK SAWIT KASAR Minyak sawit kasar (CPO) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Jakarta, PTPN VIII Banten, PT Wilmar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Tahap Sintesis Biodiesel Pada tahap sintesis biodiesel, telah dibuat biodiesel dari minyak sawit, melalui reaksi transesterifikasi. Jenis alkohol yang digunakan adalah metanol,

Lebih terperinci

c. Suhu atau Temperatur

c. Suhu atau Temperatur Pada laju reaksi terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laju reaksi. Selain bergantung pada jenis zat yang beraksi laju reaksi dipengaruhi oleh : a. Konsentrasi Pereaksi Pada umumnya jika konsentrasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Sawit Mentah / Crude Palm Oil (CPO) Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya sangat penting dalam penerimaan devisa negara, penyerapan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN

KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Kimia Oleh : ENY PURWATI

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak, tersusun atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa pengotor (di-gliserida dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Adsorpsi Zat Warna

HASIL DAN PEMBAHASAN. Adsorpsi Zat Warna Adsorpsi Zat Warna Pembuatan Larutan Zat Warna Larutan stok zat warna mg/l dibuat dengan melarutkan mg serbuk Cibacron Red dalam air suling dan diencerkan hingga liter. Kemudian dibuat kurva standar dari

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Secara Keseluruhan

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Secara Keseluruhan 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Secara umum penelitian akan dilakukan dengan pemanfaatan limbah media Bambu yang akan digunakan sebagai adsorben dengan diagram alir keseluruhan

Lebih terperinci

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 LEMAK DAN MINYAK Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 kkal sedangkan karbohidrat dan protein

Lebih terperinci

OLIMPIADE SAINS NASIONAL Medan, 1-7 Agustus 2010 BIDANG KIMIA. Ujian Praktikum KIMIA ORGANIK. Waktu 150 menit. Kementerian Pendidikan Nasional

OLIMPIADE SAINS NASIONAL Medan, 1-7 Agustus 2010 BIDANG KIMIA. Ujian Praktikum KIMIA ORGANIK. Waktu 150 menit. Kementerian Pendidikan Nasional OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2010 Medan, 1-7 Agustus 2010 BIDANG KIMIA Ujian Praktikum KIMIA ORGANIK Waktu 150 menit Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan preparasi sampel, bahan, alat dan prosedur kerja yang dilakukan, yaitu : A. Sampel Uji Penelitian Tanaman Ara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGEMBANGAN PRODUK MINYAK SAWIT MERAH (MSM) DAN INTRODUKSI PEMASARANNYA

SKRIPSI PENGEMBANGAN PRODUK MINYAK SAWIT MERAH (MSM) DAN INTRODUKSI PEMASARANNYA SKRIPSI PENGEMBANGAN PRODUK MINYAK SAWIT MERAH (MSM) DAN INTRODUKSI PEMASARANNYA 2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Wardi, F24104038.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, telah beredar asumsi di masyarakat bahwa minyak goreng yang lebih bening adalah yang lebih sehat. Didukung oleh hasil survey yang telah dilakukan untuk mengetahui

Lebih terperinci

Gambar sekam padi setelah dihaluskan

Gambar sekam padi setelah dihaluskan Lampiran 1. Gambar sekam padi Gambar sekam padi Gambar sekam padi setelah dihaluskan Lampiran. Adsorben sekam padi yang diabukan pada suhu suhu 500 0 C selama 5 jam dan 15 jam Gambar Sekam Padi Setelah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, negara yang sangat subur tanahnya. Pohon sawit dan kelapa tumbuh subur di tanah Indonesia. Indonesia merupakan negara penghasil

Lebih terperinci

Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962).

Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962). Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962). Diambil sampel dua telur pada setiap ulangan. Delapan belas sampel dianalisis kolesterolnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek dalam penelitian ini adalah nata de ipomoea. Objek penelitian ini adalah daya adsorpsi direct red Teknis.

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek dalam penelitian ini adalah nata de ipomoea. Objek penelitian ini adalah daya adsorpsi direct red Teknis. BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah nata de ipomoea. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah daya adsorpsi direct red

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian konversi lignoselulosa jerami jagung (corn stover) menjadi 5- hidroksimetil-2-furfural (HMF) dalam media ZnCl 2 dengan co-catalyst zeolit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Fraksinasi Sampel buah mahkota dewa yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor dalam bentuk

Lebih terperinci

Bab II. Tinjauan Pustaka

Bab II. Tinjauan Pustaka Bab II. Tinjauan Pustaka A. Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380 nm)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kelapa (Cocos Nucifera Linn.) merupakan tanaman yang tumbuh di negara yang beriklim tropis. Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN SPEKTROFOTOMETER GUNA MENENTUKAN KADAR β-karoten PADA DAUN SINGKONG

PENGGUNAAN SPEKTROFOTOMETER GUNA MENENTUKAN KADAR β-karoten PADA DAUN SINGKONG TUGAS AKHIR PENGGUNAAN SPEKTROFOTOMETER GUNA MENENTUKAN KADAR β-karoten PADA DAUN SINGKONG (The use of spectrophotometer to determine the levels of β-karoten on cassava leaves) Diajukan sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tropis seperti di pesisir pantai dan dataran tinggi seperti lereng gunung.

BAB I PENDAHULUAN. tropis seperti di pesisir pantai dan dataran tinggi seperti lereng gunung. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kelapa merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Pada umumnya tanaman kelapa dibudidayakan di daerah tropis seperti di pesisir pantai dan dataran

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENINGKATAN LAJU ALIR CAIRAN DAN GAS TERHADAP UKURAN GELEMBUNG PADA KARBONATASI RAW SUGAR DENGAN MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI

HUBUNGAN PENINGKATAN LAJU ALIR CAIRAN DAN GAS TERHADAP UKURAN GELEMBUNG PADA KARBONATASI RAW SUGAR DENGAN MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI HUBUNGAN PENINGKATAN LAJU ALIR CAIRAN DAN GAS TERHADAP UKURAN GELEMBUNG PADA KARBONATASI RAW SUGAR DENGAN MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI Oleh Ratih Anggraini F34103046 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

SKRIPSI NABILA KARINA PUTRI

SKRIPSI NABILA KARINA PUTRI PERBANDINGAN PENGGUNAAN ISOPROPIL ALKOHOL (IPA) DAN TOLUENA SEBAGAI KOLEKTOR KAROTENOIDA DARI MINYAK KELAPA SAWIT MUTU RENDAH MEMAKAI ADSORBEN POLAR PADA SOKLETASI SKRIPSI NABILA KARINA PUTRI 100802054

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Minyak Kelapa Sawit Kasar Karakteristik awal minyak kelapa sawit kasar yang diukur adalah warna, kadar air dan kotoran, asam lemak bebas, bilangan yodium, kandungan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai Agustus 2013 di Laboratorium Riset dan Kimia Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

SEJARAH. Pertama kali digunakan untuk memisahkan zat warna (chroma) tanaman

SEJARAH. Pertama kali digunakan untuk memisahkan zat warna (chroma) tanaman KROMATOGRAFI PENDAHULUAN Analisis komponen penyusun bahan pangan penting, tidak hanya mencakup makronutrien Analisis konvensional: lama, tenaga beasar, sering tidak akurat, tidak dapat mendeteksi pada

Lebih terperinci

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif Departemen Farmasi FMIPA UI, dalam kurun waktu Februari 2008 hingga Mei 2008. A. ALAT 1. Kromatografi

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat-alat 1. Alat Destilasi 2. Batang Pengaduk 3. Beaker Glass Pyrex 4. Botol Vial 5. Chamber 6. Corong Kaca 7. Corong Pisah 500 ml Pyrex 8. Ekstraktor 5000 ml Schoot/ Duran

Lebih terperinci

ABSTRAK. POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL

ABSTRAK. POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL ABSTRAK POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL Produksi minyak bumi mengalami penurunan berbanding terbalik dengan penggunaannya yang semakin meningkat setiap

Lebih terperinci

BIOAVAILABILITAS BETA KAROTEN DARI HASIL PEMURNIAN CPO (CRUDE PALM OIL) DALAM BENTUK RPO (RED PALM OIL) DAN ISOLAT SECARA IN VIVO

BIOAVAILABILITAS BETA KAROTEN DARI HASIL PEMURNIAN CPO (CRUDE PALM OIL) DALAM BENTUK RPO (RED PALM OIL) DAN ISOLAT SECARA IN VIVO BIOAVAILABILITAS BETA KAROTEN DARI HASIL PEMURNIAN CPO (CRUDE PALM OIL) DALAM BENTUK RPO (RED PALM OIL) DAN ISOLAT SECARA IN VIVO Oleh: DARMANING BEKTI NOVIANTO A54103078 PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Optimasi esterifikasi DHA Dilakukan dua metode esterifikasi DHA yakni prosedur Lepage dan Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir DHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pada umumnya hasil proses hidrogenasi parsial akan terbentuk trans fatty acid (TFA) yang tidak diinginkan. Asam lemak trans cenderung meningkatkan kadar kolesterol

Lebih terperinci