KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL"

Transkripsi

1 KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL Oleh OKIANA WINARNI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Mujadilah (58) : 11) Kupersembahkan karya ini untuk Ibu, Bapak (Alm), Kakakku yang tercinta, dan semua keluarga yang kusayangi.

3 KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL Ringkasan Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10 tahun dan 20 tahun mendatang volume perdagangan komoditas ini masih akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini adalah minyak sawit. Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94 persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen minor lainnya. Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng, beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar tersebut dihilangkan bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten yang merupakan provitamin A sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit. Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben. Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses. Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup, tidak mudah terbakar, dan dapat melarutkan karoten. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (k des ) dan energi aktivasi (Ea). Kondisi kesetimbangan diperoleh berdasarkan hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol sehingga lama desorpsi tidak lagi meningkatkan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kinetika desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit ditentukan berdasarkan peningkatan konsentrasi beta karoten di dalam etanol selama berlangsungnya desorpsi isotermal mengikuti persamaan Chu dan Hashim (2001). Kesesuaian antara data percobaan dengan model ditentukan berdasarkan nilai koefisien

4 determinasi (r 2 ). Penentuan energi aktivasi mengikuti persamaan Arrhenius. Percobaan desorpsi isotermal dilakukan pada tiga suhu yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C dengan heksan sebagai pembanding. Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol dicapai pada konsentrasi beta karoten 0,77 µg/ml pada lama desorpsi 70 menit, pada suhu desorpsi 40 C, 0,61 µg/ml pada lama desorpsi 40 menit, pada suhu desorpsi 50 C, dan 0,33 µg/ml pada lama desorpsi 16 menit, pada suhu desorpsi 60 C. Pada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan kondisi kesetimbangan dicapai pada konsentrasi beta karoten 0,61 µg/ml pada lama desorpsi 21,5 menit, pada suhu desorpsi 40 C, 0,40 µg/ml pada lama desorpsi 12,5 menit, pada suhu desorpsi 50 C, dan 0,23 µg/ml pada lama desorpsi 10,5 menit, pada suhu desorpsi 60 C. Kondisi kesetimbangan dipengaruhi oleh jenis pelarut dan suhu desorpsi. Semakin rendah suhu desorpsi, semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh etanol dan semakin lama kondisi kesetimbangan dicapai. Kondisi kesetimbangan pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih lama dicapai daripada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan. Konsentrasi beta karoten di dalam etanol lebih tinggi daripada konsentrasi beta karoten di dalam heksan setelah kondisi kesetimbangan dicapai. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40 C sebesar 1,0 x 10-3 menit -1, 1,6 x 10-3 menit -1 pada suhu 50 C, dan 2,2 x 10-3 menit -1 pada suhu 60 C. Pada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan nilai konstanta laju desorpsi (k des ) 2,2 x 10-3 menit -1 pada suhu 40 C, 2,6 x 10-3 menit -1 pada suhu 50 C, dan 2,3 x 10-3 menit -1 pada suhu 60 C. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih rendah daripada nilai konstanta laju desorpsi (k des ) dengan menggunakan heksan. Energi aktivasi (Ea) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol sebesar 81,86 x 10-1 kkal/mol dan dengan menggunakan heksan 4,91 x 10-1 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasinya yang lebih tinggi, kinerja etanol lebih rendah dibandingkan heksan dalam mendesorpsi beta karoten.

5 ISOTHERM DESORPTION KINETICS OF CRUDE PALM OIL BETA CAROTENE FROM ATTAPULGITE BY USING ETHANOL Summary In the year 2010, palm oil is estimated to become the major vegetable oil in the world. The world trade volume of fat and oil in the recent year is increasing and in the next year it will still be increasing. In 2000, the trade volume of oil and fat reached 36 millions ton for vegetable oil and 14 millions ton for fat. About 39 percent (19.5 tonnes) of traded oil was palm oil. The largest component of palm oil is triglyserid (94 percents). It also contains fatty acid (3-5 percents), carotenoid, tocopherol, tocotrienol, sterol, alcohol triterpen, phospolipid, glikolipid, and other various minor components in small amount. In the process of changing crude palm oil into cooking oil, the beta carotene in the palm oil is eliminated simultaneously with the process of cooking oil purification so that the colour of cooking oil is cleaner. Beta carotene is eliminated because consumers prefer clear colour. Actually, beta carotene that a provitamin A is important for health. Beta carotene that is wasted during the purification process of cooking oil could be isolated before the crude palm oil is purified. This could be an added value for the palm oil industry. The adsorptiondesorption process of isolation crude palm olein beta carotene is a good process because the crude palm oil that will be processed to become cooking oil is not damaged. This research use attapulgite as adsorbent. Desorption kinetics is an important study to determine process the design. Ethanol was used in this research because ethanol is safe for the industry. Besides, ethanol is not dangerous compare to hexane, this eluent is often used in palm oil extraction. The other characteristics of ethanol are not harmful if inhaled, not flammable, and can eluate carotene. The objective of this research is to determine equilibrium condition (beta carotene concentration in ethanol and desorption time) of isotherm desorption of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. This research is also aiming to determine kinetics parameter of isotherm desorption, desorption rate constant (k des ) and activation energy (Ea) of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. The equilibrium conditions were obtained from the relation between the desorption time and the beta carotene concentration in ethanol so that desorption time will not increase the beta carotene concentration in the ethanol. Isotherm desorption kinetics of beta karoten from attapulgite by using ethanol was determined from the increase of beta carotene concentration in ethanol during the desorption process using the Chu and Hashim model (2001). The conformity between data and model was determined from coefficient determination (r 2 ). Determination of activation energy followed Arrhenius equation. Isotherm desorption experiment conducted at three temperature, that were 40 C, 50 C, and 60 C with hexane as comparator. Equilibrium conditions of isotherm desorption beta carotene from attapulgite by using ethanol were achieved at beta carotene concentration of 0.77 µg/ml in 70 minutes and at desorption temperature of 40 C, 0.61 µg/ml in 40 minutes at the desorption temperature of 50 C, and 0.33 µg/ml in 16 minutes at

6 the desorption temperature of 60 C. Moreover, equilibrium conditions of desorption experiment by using hexane were achieved at beta carotene concentration 0.61 µg/ml in 21.5 minutes, at the desorption temperature of 40 C, 0.40 µg/ml in 12.5 minutes at the desorption temperature of 50 C, and 0.23 µg/ml in 10.5 minutes at the desorption temperature of 60 C. Equilibrium conditions were influenced by temperature desorption and eluent. It was studied that the lower the desorption temperature, the higher the beta carotene concentration desorpted by ethanol, and the longer the time needed to reach equilibrium conditions. Reaching the equilibrium of isotherm desorption using ethanol was longer than reaching the equilibrium of isotherm desorption using hexane. Beta carotene concentration in ethanol is higher than beta carotene concentration in hexane at the equilibrium conditions. Desorption rate constant (k des ) of isotherm desorption of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol at desorption temperature 40 C was 1.0 x 10-3 minutes -1, 1,6 x 10-3 minutes -1 at desorption temperature of 50 C, and 2.2 x 10-3 minutes -1 at the desorption temperature of 60 C. Desorption rate constant (k des ) of isotherm desorption crude palm olein beta carotene from attapulgite by using hexane at the desorption temperature of 40 C, 2.2 x 10-3 minutes -1, 2.6 x 10-3 minutes -1 at the desorption temperature of 50 C, and 2.3 x 10-3 minutes -1 at the desorption temperature of 60 C. The activation energy of isotherm desorption of crude palm olein beta karoten from attapulgite by using ethanol was x 10-1 kcal/mol and by using hexane was 4.91 x 10-1 kcal/mol. It was studied that the performance of ethanol was lower compare to hexane in beta carotene desorption from attapulgite.

7 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kinetika Desorpsi Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan Etanol adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Bogor, 30 Januari 2007 Yang membuat pernyataan, Okiana Winarni F

8 KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh OKIANA WINARNI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

9 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Tatit K. Bunasor, MSc selaku dosen pembimbing akademik I dan Prayoga Suryadarma, S.TP, MT selaku dosen pembimbing akademik II yang selalu memberikan arahan, bimbingan dan dukungan. 2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen penguji atas masukannya untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Bapak Edi Lukas selaku pimpinan PT. Asianagro Agungjaya. 4. Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID), Direktorat Jenderal Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional. 5. Teman sebimbingan (Fitri dan Mia) dan tim vitamin (Indri, Kristin, dan Vina), atas bantuan dan kebersamannya. 6. Sahabatku (Inda, Fery, Iffa, Rheni, Evy, Nurul, Mbak Yeni, Mbak Oryza, dan Mbak Ritna) atas semangat, dukungan dan kebersamannya. 7. TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan skripsi dan menjadi mahasiswa TIN yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian. Bogor, Januari 2007 Penulis i

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA... 5 A. MINYAK KELAPA SAWIT... 5 B. KAROTENOID... 7 C. BETA KAROTEN... 9 D. ADSORPSI-DESORPSI E. PELARUT F. ETANOL G. ADSORBEN H. KINETIKA DESORPSI III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN Tahapan Penelitian Prosedur Percobaan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT B. KONDISI KESETIMBANGAN C. KINETIKA DESORPSI Konstanta Laju Desorpsi ii

11 2. Energi Aktivasi D. SELEKTIVITAS DESORPSI V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iii

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perkembangan produksi kelapa sawit dunia tahun (Basiron, 2002)... 1 Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit (IUPAC, 2001)... 5 Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit (PORIM, 1989) di dalam Muchtadi, 1992)... 6 Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit (Zeb dan Mehmood, 2004)... 7 Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut (Adnan, 1997) Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit ( 2003) Tabel 7. Karakteristik atapulgit (Lansbarkis, 2000) Tabel 8. Kondisi percobaan penentuan parameter kinetika desorpsi Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit Tabel 10. Konsentrasi beta karoten di dalam eluen dan lama tercapainya kesetimbangan Tabel 11. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ), fraksi terdesorpsi (θ), dan koefisien determinasi (r 2 ) desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan Tabel 12. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan heksan Tabel 13. Perbandingan jumlah antara beta karoten dengan alfa tokoferol pada lama desorpsi 18 menit iv

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002)... 9 Gambar 2. Struktur molekul etanol ( 2006) Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989) Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian Gambar 5. Diagram alir percobaan desorpsi Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan Gambar 8. Ikatan van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit (Sirait, 2007) Gambar 9. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol (Keenan et al., 1984) Gambar 10. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol Gambar 11. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan Gambar 12. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln k des pada desorpsi dengan menggunakan etanol Gambar 13. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln k des pada desorpsi dengan menggunakan heksan v

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur penelitian Lampiran 2. Data hasil perhitungan persamaan Chu dan Hashim (2001) Lampiran 3. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi dengan menggunakan program Mathematica 5.2 for Students Lampiran 4. Penentuan energi aktivasi (Ea) Lampiran 5. Atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten Lampiran 6. Dokumentasi penelitian vi

15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 26 Oktober Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Supanto (Alm) dan Sri Rahayu. Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Karanggeneng II. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SLTPN 1 Karanggeneng pada tahun Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 2 Lamongan dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut Pertanian Bogor tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Analisis Bahan dan Produk Agroindustri (ABPA) periode 2006/2007. Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2005 dengan topik Mempelajari Sistem Pengawasan Mutu Full Cream Milk Powder (FCMP) di PT. Sari Husada, Yogyakarta. Untuk menyelesaikan tugas akhir ini, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul Kinetika Desorpsi Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan Etanol.

16 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10 tahun dan 20 tahun mendatang, volume perdagangan komoditas ini masih akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini adalah minyak sawit (Oil World, 2000 di dalam Suryadarma et al., 2006). Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat pesat. Indonesia merupakan penghasil kelapa sawit terbesar kedua setelah Malaysia dan diprediksi menjadi penghasil minyak sawit utama dunia pada tahun Perkembangan produksi minyak sawit dunia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan produksi kelapa sawit dunia tahun Negara Pantai Gading Tahun (juta ton) Rata-rata laju pertumbuhan per tahun (%) ( ) ,1 Nigeria ,5 Kolombia ,8 Ekuador ,6 Indonesia ,2 Malaysia ,9 Thailand ,2 Papua Nugini Negara lainnya , ,9 Total ,1 Sumber: Basiron (2002) 1

17 Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94 persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen minor lainnya. Olein sawit kasar (crude palm olein) adalah minyak fraksi cair berwarna kuning kemerahan yang diperoleh dengan cara fraksinasi minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan belum mengalami proses pemurnian (SNI, 1998). Olein sawit kasar mengandung µg/g karoten, lebih besar dibandingkan dengan kandungan karoten dalam minyak sawit kasar, yaitu µg/ml (Zeb dan Mehmood, 2004). Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng, beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar dihilangkan bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten merupakan bahan yang terkandung di dalam minyak sawit yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit. Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben. Penelitian yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa karotenoid memiliki aktivitas anti kanker. Desorpsi merupakan salah satu tahapan proses yang sangat penting untuk dikaji dalam proses pemanfaatan beta karoten yang terkandung pada olein sawit kasar. Desorpsi adalah proses pengambilan kembali suatu bahan yang telah diserap oleh adsorben. Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol relatif aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak 2

18 sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup dan tidak mudah terbakar. Selain itu, etanol merupakan jenis eluen yang dapat melarutkan karoten (Goodwin, 1976). Karoten juga larut dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena, kloroform, aseton, metanol, eter, dan petroleum eter. Pada penelitian ini, heksan digunakan sebagai pembanding. Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses. Minyak kelapa sawit memiliki kandungan karotenoid terbesar bila dibandingkan dengan jenis minyak nabati yang lain. Beberapa jenis metode perolehan kembali karotenoid berbasis minyak kelapa sawit telah dikembangkan, antara lain saponifikasi, adsorbsi, ekstraksi pelarut efektif, dan transesterifikasi, meliputi fase separasi dan distilasi ester. Transesterifikasi hanya dapat digunakan dalam proses komersil (Baharin et al., 1998). Pemisahan karoten sawit dari Crude Palm Oil (CPO) dengan sistem kromatografi adsorpsi dilakukan dengan menggunakan adsorben polimer sintetik. Perolehan kembali karoten bervariasi dari persen tergantung pada kondisi kromatografi (Baharin et al., 1998). Pemisahan karoten dengan adsorben sintetik diikuti ekstraksi pelarut dipengaruhi jenis adsorben, kombinasi adsorben, rasio pelarut dan Crude Palm Oil (CPO) (Latip et al., 2000). Perolehan kembali karoten 16 sampai 74 persen tergantung pada kondisi proses, antara lain waktu adsorpsi, waktu ekstraksi isopropanol, suhu proses adsorpsi dan ekstraksi pelarut, serta umur pakai adsorben (Latip et al., 2001). Desorpsi dipengaruhi oleh ph eluen (Chu dan Hashim, 2001). Faktor lain yang mempengaruhi desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004), dan waktu kontak antara adsorben dan eluen (Wankasi et al., 2005). Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi dan laju pengadukan. Pada penelitian ini, parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (k des ) dan energi aktivasi (Ea) menunjukkan kinerja etanol dalam mendesorpsi beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit sebagai adsorben. Penelitian yang dilakukan merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan beta karoten yang terkandung di dalam olein sawit kasar yang 3

19 selama ini dihilangkan dalam proses pemurnian minyak sawit kasar. Desorpsi beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol tersebut akan meningkatkan nilai tambah minyak sawit yang akan menguntungkan bagi industri minyak sawit. B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan parameter kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol, yaitu konstanta laju desorpsi (k des ) dan energi aktivasi (Ea) sebagai dasar untuk desain proses. Heksan digunakan sebagai eluen pembanding. 4

20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK KELAPA SAWIT Minyak sawit kasar (Crude Palm Oil) atau CPO adalah minyak yang diperoleh dari ekstraksi bagian mesokarp buah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) yang tidak mengalami pengolahan lebih lanjut (Muchtadi, 1992). Minyak sawit mengandung komponen trigliserida, mono dan digliserida. Trigliserida dapat berwujud padat atau cair. Hal ini bergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Minyak nabati yang berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, linoleat atau asam linolenat dengan titik cair rendah. Sedangkan minyak yang berbentuk padat pada suhu kamar dikarenakan banyak mengandung asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair lebih tinggi (Ketaren, 1986). Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit Asam Lemak Atom C- Komposisi (%) Laurat C12:0 0,1 0,5 Miristat C14:0 0,9 1,4 Palmitat C16:0 38,2 42,9 Stearat C18:0 3,7 4,8 Oleat C18:1 39,8 43,9 Linoleat C18:2 10,4 13,4 Komponen lain - 0,1 0,6 Sumber : IUPAC (2001) Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap. Kandungan karoten dalam minyak sawit dapat mencapai 1000 µg/ml atau lebih, sedangkan kandungan tokoferol bervariasi dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi (Ketaren, 1986). Beberapa karakteristik komponen lemak dan asam lemak dalam minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Minyak kelapa sawit terdiri dari minyak sawit kasar (CPO), olein, stearin, dan minyak inti sawit (PKO). 5

21 Stearin sawit mempunyai titik cair yang tertinggi, berat jenis dan indeks refraksi tidak banyak berbeda, bilangan iod yang tertinggi ditemukan pada olein dan bilangan penyabunan tertinggi pada minyak inti sawit. Asam lemak dengan C 6 dan C 8 hanya ada pada minyak inti sawit (PORIM, 1989 di dalam Muchtadi, 1992). Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit Sifat Titik cair ( C) Berat jenis (50 C /air 25 C ) Indeks refraksi (nd, 50 C ) Bilangan iod (Wijs) Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak) Bahan tak tersabunkan (%) Asam lemak (%) : C 6 C 8 C 10 C 12 C 14 C 16 C 16=1 C 18 C18=1 C18=2 C18=3 C 20 Minyak sawit (CPO) 34,2 0,892 1,455 53,3 195,7 0,5 0,2 1,1 44,0 0,1 4,5 39,2 10,1 0,4 0,4 Sumber: PORIM (1989) di dalam Muchtadi (1992) Jenis Olein Stearin Minyak inti sawit (PKO) 21,6 44,5 27,3 0,902 0,882 0,902 1,459 1,477 1,451 58,0 21,6 17,1 198,0 193,0 145,0 0,3 0,5 0,2 0,2 1,0 39,8 0,2 4,4 42,5 11,2 0,4 0,4 0,3 1,5 65,0 0,2 5,0 21,3 6,5 0,4 0,4 0,3 4,4 3,7 38,3 15,6 7,8 2,0 15,1 2,7 Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan bahan pangan, industri kosmetik, industri kimia dan industri pakan ternak. Kebutuhan minyak sawit sebesar 90 persen digunakan untuk bahan pangan seperti minyak goreng, margarin, shortening, pengganti lemak kokoa dan untuk kebutuhan industri roti, cokelat, es krim, biskuit dan makanan ringan. Kebutuhan 10 persen dari minyak sawit lainnya digunakan untuk industri oleokimia yang menghasilkan asam lemak, fatty alcohol, gliserin dan metil ester. Oleokimia digunakan pada industri yang menghasilkan produk pangan dan lemak, sabun dan deterjen, 6

22 kosmetik dan produk perawatan pribadi, oli dan pelumas, minyak pengering, polimer dan pelapis permukaan (coating) dan biofuel (Gelder, 2004). B. KAROTENOID Karotenoid termasuk golongan hidrokarbon, tersebar luas di alam dan merupakan pigmen penting dalam kehidupan organisme. Karotenoid terkandung di dalam wortel, labu, kentang manis, tomat, buah-buahan yang berwarna hijau gelap, kuning, oranye, dan merah, sayuran dan beberapa minyak sayur, dimana minyak sawit dan produk-produk minyak sawit diketahui mengandung konsentrasi karotenoid paling tinggi (Zeb dan Mehmood, 2004). Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit Fraksi minyak sawit Kandungan karoten (µg/ml) Minyak sawit kasar (CPO) Olein sawit kasar Stearin sawit kasar Residual oil from fibre Pengepresan kedua minyak sawit Minyak sawit merah Sumber: Zeb dan Mehmood (2004) Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber karotenoid nabati alami yang terkaya di dunia dalam bentuk ekuivalen retinol (provitamin A). Crude Palm Oil (CPO) mengandung 15 sampai 300 kali ekuivalen retinol lebih besar daripada wortel, sayuran berdaun hijau, dan tomat (Latip et al., 2000). Saat ini dikenal sekitar 600 jenis karotenoid di luar isomer cis-trans. Dari jumlah ini kurang dari 10 persen merupakan hidrokarbon (Goodwin, 1976). Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena, khloroform, aseton, metanol, etanol, eter dan petroleum eter, tetapi tidak larut 7

23 dalam air. Sifat ini penting terutama dalam pemisahan karotenoid dari bahan lain (ekstraksi) (Goodwin, 1976). Faktor utama yang mempengaruhi karoten selama pengolahan pangan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara dan perubahan struktur oleh panas. Pemanasan sampai dengan suhu 60 C tidak mengakibatkan dekomposisi karoten tetapi dapat terjadi perubahan stereoisomer. Selama pengolahan pangan, bentuk trans pada karotenoida yang terdapat dalam bahan pangan tersebut dapat mengalami isomerisasi menjadi bentuk cis karoten yang menyebabkan turunnya aktifitas provitamin A, karena aktifitasnya dari cis karotenoida lebih rendah dari bentuk trans karotenoida. Aktivitas karoten akan menurun secara drastis pada suhu sekitar C (Klaui dan Bauernfeind, 1981 di dalam Saputra, 1996). Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid peka terhadap oksidasi. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997). Karotenoid lebih tahan tersimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh. Hal ini disebabkan asam lemak lebih mudah menerima radikal bebas apabila dibandingkan dengan karotenoid, sehingga oksidasi yang pertama kali akan terjadi pada asam lemak dan akibatnya karotenoid terlindung dari oksidasi. Pada suasana asam karotenoid mengalami isomerisasi dan akan membentuk poli cis-isomer (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997). Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam makanan vitamin A biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk asam) (Almatsier, 2002). Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Suhu tinggi dapat merusak vitamin A, begitu juga oksidasi yang terjadi pada minyak yang tengik. Karotenoid merupakan 8

24 prekursor (provitamin) vitamin A. Di antara ratusan karotenoid yang terdapat di alam, hanya alfa, beta, dan gamma serta kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. Beta karoten adalah bentuk provitamin A paling aktif, yang terdiri atas dua molekul retinol yang saling berkaitan (Almatsier, 2002). Identifikasi pigmen karotenoid, baik jenis maupun kemurniannya, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik kromatografi lapis tipis (TLC), HPLC atau cara spektrofotometri. Penentuan menggunakan HPLC didasarkan pada bentuk spektrumnya dalam suatu pelarut. Bentuk spektrum yang sama menyatakan zat yang sama (Goodwin, 1976). C. BETA KAROTEN Jenis karotenoid yang paling penting adalah alfa karoten, beta karoten, beta kriptoxantin, lutein, violaxantin, neoxantin, dan likopen. Beta karoten, alfa karoten, beta kriptoxantin adalah jenis karoten yang dikonversi menjadi vitamin A atau retinol di dalam tubuh (Zeb dan Mehmood, 2004). Struktur kimia beta karoten dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002) Βeta karoten dan tokoferol dikenal sebagai senyawa antioksidan yang ampuh mencegah penyakit. Di dalam tubuh, kedua senyawa itu mampu menetralisir zat-zat radikal bebas pemicu beragam penyakit, termasuk kanker dan tumor. Senyawa tersebut menangkal dan memutus rantai radikal bebas yang menyebabkan sel mengalami mutasi genetis hingga berkembang secara liar tanpa terkendali. Imbasnya, massa sel alias tumor gagal terbentuk ( 2006). Βeta karoten juga diketahui berfungsi memperlambat berlangsungnya penumpukan flek pada arteri sehingga aliran darah, baik ke jantung maupun 9

25 ke otak, bisa berlangsung lancar, tanpa sumbatan. Senyawa ini juga mampu meningkatkan kekebalan tubuh karena interaksi vitamin A dengan protein (asam amino) yang berperan dalam pembentukan antibodi. Dalam sistem metabolisme, setiap molekul beta karoten akan menghasilkan dua molekul vitamin A. Dengan tersedianya vitamin A dalam jumlah cukup, penyerapan protein yang mendukung sistem kekebalan tubuh dapat ditingkatkan ( 2006). Suatu studi membuktikan, konsumsi beta karoten mg per hari selama dua bulan akan meningkatkan jumlah sel-sel pembunuh alami dalam tubuh. Senyawa ini juga merangsang sel-sel T helpers dan limposit lebih aktif. Bertambahnya sel-sel pembunuh alami sangat penting untuk melawan sel-sel kanker dan mengendalikan radikal bebas yang mengganggu kesehatan ( 2006). D. ADSORPSI-DESORPSI Adsorpsi adalah suatu istilah teknik yang digunakan untuk menandakan suatu peristiwa pengambilan (Latin, sorbere, menghisap naik) dari gas, uap air, atau cairan (bahan terserap) oleh suatu permukaan atau penghubung antar muka (adsorben). Sedangkan desorpsi merupakan peristiwa pengambilan kembali bahan yang diserap oleh adsorben (Kirk dan Othmer, 1963). Bahan yang telah teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi, pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut (desorpsi) (Bernasconi et al., 1995). Terlepasnya solut dari adsorben oleh pelarut, disebabkan oleh tendensi kelarutannya. Fenomenanya disebut elusi (non protonic solvent). Selain itu terjadi juga fenomena displacement (penggeseran tempat), karena adanya kompetisi antara solut dan eluen terhadap adsorben (protonic solvent, seperti alkohol) (Adnan, 1997). E. PELARUT Pelarut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu kelompok polar dan kelompok non polar. Perbedaan dari kedua golongan tersebut adalah potensial 10

26 dielektrik, dimana golongan non polar tidak mempunyai potensial dielektrik pada molekulnya, sedangkan pada golongan polar memiliki potensial dielektrik pada molekulnya (Mellan, 1950 di dalam Novinda, 1995). Air, yang termasuk zat pelarut, konfigurasi elektronnya dan geometri molekulnya dapat menghasilkan dipol permanen yang sangat kuat. Senyawa-senyawa organik yang mempunyai atom oksigen (oxygenated) seperti alkohol, keton, ester, dan eter mempunyai dipol yang lebih lemah daripada air, oleh karenanya polaritasnya juga lebih kecil. Namun demikian, benzen yang mempunyai struktur simetris dan tidak mempunyai dipol, mempunyai awan elektron yang dapat terpolarisasi apabila ada senyawa polar yang mendekatinya. Oleh karena itu, senyawa hidrokarbon siklis, seperti benzen mempunyai polaritas yang lebih besar daripada senyawa hidrokarbon alifatis yang serupa (Adnan, 1997). Pelarut dengan tetapan dielektrik tinggi, ion-ionnya mampu mengurai secara sempurna, contohnya adalah air. Sedangkan pelarut yang memiliki tetapan dielektrik rendah, ion-ionnya tidak mampu mengurai secara sempurna, tetapi pasangan ion terjadi (Day Jr. dan Underwood, 2002). Besarnya polaritas dari zat pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya seperti yang digambarkan pada Tabel 5. Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut Konstanta dielektrik 1,890 2,023 2,238 2,284 4,340 4,806 6,020 20,700 24,300 33,620 80,370 Sumber: Adnan (1997) Nama zat pelarut Petroleum ringan (petroleum eter, heksan, heptan) Sikloheksan Karbon tetraklorida Trikloroetilen Toluen Benzen Diklorometan Etil eter Kloroform Etil asetat Aseton n. propanol Etanol Metanol Air 11

27 Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut non polar. Pelarut yang bersifat non polar, misalnya hidrokarbon hanya dapat melarutkan senyawa yang bersifat non polar. Sedangkan senyawa polar hanya dapat larut dalam pelarut polar misalnya air. Pada suhu di atas titik cair, lemak dan asam lemak bersifat larut dalam pelarut organik. Kelarutan lemak dan turunannya pada pelarut organik akan menurun dengan penurunan suhu (Swern, 1982). Secara umum, kelarutan lemak dan turunannya dalam pelarut organik dipengaruhi oleh jumlah ikatan rangkap dan panjang rantai karbon. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap, maka kelarutan semakin tinggi. Sebaliknya, makin panjang rantai, maka semakin rendah kelarutan lemak dan turunannya. Zat pelarut mempunyai peranan yang penting dalam elusi, yang dapat menentukan baik-buruknya pemisahan. Zat pelarut yang mampu menjalankan elusi terlalu cepat tidak akan mampu mengadakan pemisahan yang sempurna. Sebaliknya elusi yang terlalu lambat akan menyebabkan waktu retensi yang terlalu lama (Adnan, 1997). F. ETANOL Etanol atau etil alkohol ialah bahan kimia yang ditemui di dalam minuman beralkohol atau arak. Selain terdapat di dalam arak, etanol juga digunakan sebagai bahan api menggantikan gasolin (ms.wikipedia.org, 2006). H H H - C - C - O - H H H Gambar 2. Struktur molekul etanol (ms.wikipedia.org, 2006) Etanol murni ialah cairan jernih yang mudah terbakar pada titik didih pada 78,5 C dan titik beku pada -114,5 C. Etanol digunakan sebagai bahan anti-beku dan mempunyai bau vodka. Etanol dapat digunakan sebagai desinfektan (etanol persen). Larutan tersebut dapat membunuh 12

28 organisme dengan cara mengubah protein dan melarutkan lipid, menghalangi pertumbuhan bakteri, fungi, dan beberapa virus. Namun, etanol tidak efektif terhadap spora bakteri. Karena sifat ini, etanol dapat disimpan dalam jangka waktu yang sangat lama (sebagai minuman alkohol) (ms.wikipedia.org, 2006). Etanol memiliki sifat-sifat unik, antara lain dapat digunakan sebagai pelarut, pembasmi kuman penyakit, minuman, agen anti beku, cairan mudah terbakar, depressant, dan memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks dengan bahan kimia organik lainnya. Etanol dalam kondisi normal bersifat volatil, mudah terbakar, dan merupakan cairan tidak berwarna (Kirk dan Othmer, 1965). G. ADSORBEN Adsorben (untuk adsorpsi fisik) adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang halus pada padatan tersebut. Biasanya luasnya berada dalam ukuran m 2 /g adsorben. Diameter pori sebesar 0,0003 0,02 µm (Bernasconi et al., 1995). Selain luas spesifik dan diameter pori, kerapatan unggun, distribusi ukuran partikel maupun kekerasannya merupakan data karakteristik yang penting dari suatu adsorben. Tergantung pada tujuan penggunaannya, adsorben dapat berupa granular (dengan ukuran butir sebesar beberapa mm) atau serbuk (khusus untuk adsorpsi campuran cair). Regenerasi dilakukan untuk memperbaiki kembali daya adsorpsi dari adsorben yang telah dipakai maupun untuk memperoleh kembali bahan yang telah teradsorpsi. Dalam hal ini bahan yang teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi, pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut (Bernasconi et al., 1995). Adsorben dapat bersifat polar atau non polar. Silika gel dan alumina adalah contoh adsorben yang bersifat polar. Kedua adsorben tersebut akan mengadsorpsi solut yang bersifat lebih polar daripada solut yang bersifat non polar. Proses adsorpsi yang dipengaruhi oleh sifat polaritas dari adsorben dan 13

29 solut berlaku juga dalam fenomena kelarutan. Dalam hal ini zat pelarut yang bersifat polar mempunyai tendensi lebih mudah melarutkan solut yang bersifat polar juga, dan demikian sebaliknya. Dengan adanya sifat atau gejala seperti itu timbulah slogan : like dissolves like (Adnan, 1997). Urutan adsorben dari yang mempunyai kemampuan adsorpsi besar ke yang kecil adalah sebagai berikut. 1. Alumina 2. Charcoal (arang) 3. Silika gel 4. Magnesia 5. Kalium karbonat 6. Sukrosa 7. Serbuk pati 8. Serbuk selulosa Aktivitas permukaan dari setiap adsorben berbeda pada sisi yang satu ke sisi yang lain dan dari batch yang satu ke batch yang lain. Perlakuan pendahuluan menurut cara-cara yang ditentukan dapat menghilangkan perbedaan aktivitas tersebut (Adnan, 1997). Atapulgit banyak digunakan di bidang kesehatan, obat-obatan, dan kosmetik. Jenis lempung ini dipercaya dapat menyerap racun dan bakteri. Atapulgit juga digunakan sebagai bahan baku pasta, salep, dan losion untuk untuk obat luar. Kegunaan lain dari atapulgit adalah sebagai bahan baku dalam industri kertas NCR (No Carbon Required), yaitu sebagai bahan pelapis permukaan pada lembaran kertas dan bahan pestisida (Kirk dan Othmer, 1964). Atapulgit merupakan bahan yang terdiri dari silika, alumunium, magnesium dan lain-lain. Komponen silika berfungsi sebagai katalis sehingga dapat melepas gugus hidroksil dan atom hidrogen yang menyebabkan terjadi ikatan rangkap baru (Mani dan Shitole, 1997 di dalam Zuna, 2004). Aluminium dan magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti polimerisasi (Swern, 1982), dan bahan penstabil warna (Michael dan Irene, 14

30 1977 di dalam Maulana, 2004). Komponen-komponen yang terkandung dalam atapulgit disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit Oksida Persentase (%) SiO 2 55,6-60,5 MgO 2 10,7-11,35 Al 2 O 2 9,0-10,1 Fe 2 O 2 5,7-6,7 K 2 O 2 0,96-1,30 MnO 2 0,61 CaO 2 0,42-1,95 TiO 2 0,32-0,63 Na 2 O 2 0,03-0,11 Komponen lain 10,53-11,80 Sumber : (2003) Atapulgit mempunyai rumus molekul Mg 5 Si 8 O 20 (HO) 2 (OH 2 ) 4. 4H 2 O. Struktur molekul atapulgit dapat dilihat pada Gambar 3. Struktur atapulgit terdiri dari rantai silika ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium berikatan dengan oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang merupakan gugus polar (Grim, 1989). Atapulgit memiliki sifat antara lain memiliki dispersi permukaan yang spesifik, tahan terhadap suhu tinggi, alkali dan garam, serta daya serap dan decoloring tinggi. Selain itu, atapulgit tidak mengandung logam berat sehingga aman digunakan dalam industri pangan (Lansbarkis, 2000). Karakteristik atapulgit dapat dilihat pada Tabel 7. 15

31 Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989) Tabel 7. Karakteristik atapulgit Nilai koloid (ml/15 g) Volume ekspansi (ml/g) 4-6 Luas permukaan spesifik (m 2 /g) Jumlah total pertukaran ion (mg ekuivalen/100 g) Kapasitas decoloring (setelah perlakuan) >170 ph 7,5-8,5 Warna Abu-abu Specific gravity Sumber: Lansbarkis (2000) H. KINETIKA DESORPSI Desorpsi dipengaruhi oleh ph eluen (Chu dan Hashim, 2001). Dalam hal ini Chu dan Hashim (2001) mendesorpsi tembaga dari rumpul laut yang diimobilisasi dengan polivinil alkohol (PVA). Laju desorpsi meningkat dengan menurunnya ph. Tingginya konsentrasi proton di dalam eluen dapat menggantikan tembaga yang terikat pada sisi aktif rumput laut. Kemungkinan 16

32 terjadi pertukaran ion pada peristiwa tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004), dan waktu kontak antara adsorben dan eluen (Wankasi et al., 2005). Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi dan laju pengadukan. Model kinetika desorpsi Chu dan Hashim (2001) adalah : qe = v 1 /m 1 (Co-Ce) qt = qe v 2 /m 2 x Ct qt/qe = exp (-k des t) qt/qe = θ exp (-k des t) + (1- θ) ln qt/qe = -k des t + ln θ + (1-θ) (Wankasi et al., 2005) Keterangan : qe = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben (µg/g) qt = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben pada lama desorpsi tertentu (µg/g) v 1 m 1 = volume olein (ml) = massa adsorben (g) Co = konsentrasi beta karoten di dalam olein (µg/ml) Ce = konsentrasi beta karoten di dalam olein saat adsorben jenuh (µg/ml) v 2 m 2 = volume eluen (ml) = massa adsorben setelah mengadsorpsi beta karoten (g) Ct = konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada lama desorpsi tertentu (µg/ml) θ = fraksi terdesorpsi Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan untuk terjadinya tumbukan yang efektif (Nur et al., 2000). Dalam hal ini terjadi tumbukan antara molekul beta karoten dengan molekul eluen pada proses desorpsi. Persamaan Arrhenius untuk pengukuran energi aktivasi adalah : k = Ae -Ea/RT dimana R adalah konstanta gas, T adalah suhu mutlak, k adalah konstanta kecepatan dan Ea adalah energi aktivasi. Faktor A adalah sebuah konstanta 17

33 proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan juga orientasi molekuler selama tumbukan. 18

34 III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain olein sawit kasar yang diperoleh dari PT. Asianagro Agungjaya Jakarta, atapulgit yang diperoleh dari Engelhard Corporation Iselin, New Jersey, etanol dan heksan pro analys, beta karoten standar (Sigma-Aldrich C , Type I, Synthetic, 95% UV, 1,6 juta IU vitamin A/g), dan alfa tokoferol standar (Sigma-Aldrich T , Synthetic, 95% HPLC). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan gelas (erlenmeyer, tabung reaksi, dan corong); peralatan ukur (pipet mikro, pipet volumetrik, gelas ukur, termometer, spektrofotometer, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), kolom Zorbax Sil (0,46 x 25 cm), fase gerak isopropanol dalam heksan (0,5:99,5 v/v), laju alir 1 ml/menit dan nilai absorbansi tokoferol adalah 292 nm, stopwatch dan timbangan); serta peralatan pendukung (kertas saring, corong buchner, pompa vakum, filter inlet dan shaker yang dilengkapi dengan waterbath dengan kecepatan 180 rpm dan tiga kondisi suhu, yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C). B. METODE PENELITIAN Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu tahapan penelitian dan prosedur percobaan. Tahapan penelitian menjelaskan tentang langkahlangkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan penelitian, sedangkan prosedur percobaan merupakan urutan kegiatan dan tatacara yang secara teknis dikerjakan dalam setiap tahapan penelitian. 1. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) Karakterisasi adsorpsi atapulgit, (2) Penentuan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi), dan (3) Penentuan parameter kinetika desorpsi (konstanta laju desorpsi (k des ) dan energi aktivasi (Ea)) 19

35 beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Mulai Karakterisasi adsorpsi atapulgit Penentuan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) Penentuan parameter kinetika desorpsi isotermal, yaitu konstanta laju desorpsi (k des ) dan energi aktivasi (Ea) Selektivitas desorpsi Selesai Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian a. Karakterisasi Adsorpsi Atapulgit Karakterisasi adsorpsi atapulgit yang dilakukan meliputi bentuk, ukuran, warna visual atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten dan kapasitas adsorpsi atapulgit. Penentuan kapasitas adsorpsi (qe) atapulgit dilakukan untuk menentukan jumlah beta karoten yang dapat diadsorpsi oleh atapulgit secara optimal yang dinyatakan dalam µg/ml (1 IU = 0,6 µg beta karoten). Kondisi yang digunakan adalah kondisi adsorpsi optimum beta karoten yaitu dengan kecepatan pengadukan 120 rpm pada suhu 60 C selama ± 3 jam. Atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten pada kondisi optimum ini digunakan 20

36 sebagai bahan untuk percobaan desorpsi. Penentuan kapasitas adsorpsi atapulgit dapat dilihat pada Lampiran 1. b. Penentuan Kondisi Kesetimbangan Kondisi kesetimbangan diperoleh berdasarkan hubungan antara lama desorpsi (menit) dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol (µg/ml) sehingga lama desorpsi tidak lagi meningkatkan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Penentuan kondisi kesetimbangan dilakukan pada tiga suhu desorpsi, yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C dengan heksan sebagai eluen pembanding. c. Penentuan Parameter Kinetika Desorpsi Penentuan parameter kinetika dilakukan pada tiga suhu yang berbeda seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Model kinetika desorpsi diidentifikasi berdasarkan jenis perubahan nilai parameter kinetika, yaitu konstanta laju desorpsi (k des ) yang diperoleh dari persamaan Chu dan Hashim (2001). Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) diperoleh dari perpotongan garis linier dengan sumbu x yang merupakan kemiringan dari hasil regresi linier dari persamaan Wankasi et al., (2005). Nilai θ diperoleh menggunakan alat bantu program Mathematica 5.2 for Students. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi (θ) dapat dilihat pada Lampiran Prosedur Percobaan Atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten sebanyak 7 g dan 350 ml etanol (1:50) disiapkan di dalam erlenmeyer berukuran 500 ml. Perbandingan atapulgit:etanol (1:50) mengacu pada penelitian Chu dan Hashim (2001) yang mendesorpsi vitamin E dari Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) dengan menggunakan silika. Selanjutnya, campuran tersebut dimasukkan ke dalam waterbath dengan kecepatan shaker 180 rpm. Percobaan tersebut dilakukan dalam tiga suhu yang berbeda yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Reaksi dihentikan pada masing-masing waktu yang diujikan yaitu 2, 4, 6, 8, 10, 12, 16, 18, 24, 40, 80, dan 140 menit. Sampel 21

37 yang telah diambil disaring untuk memisahkan antara atapulgit dengan etanol, yang selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 446 nm. Data hasil perhitungan percobaan desorpsi dapat dilihat pada Lampiran 2. Diagram alir percobaan desorpsi dapat dilihat pada Gambar 5. Kondisi percobaan untuk penentuan parameter kinetika desorpsi disajikan pada Tabel 8. Mulai Pencampuran 7 gram atapulgit dengan 350 ml etanol, kecepatan shaker 180 rpm (40 C, 50 C, dan 60 C) Pengambilan sampel pada lama desorpsi tertentu (2-300 menit) Analisis sampel Selesai Gambar 5. Diagram alir percobaan desorpsi Tabel 8. Kondisi percobaan penentuan parameter kinetika desorpsi Eluen Perlakuan Suhu desorpsi Konstanta laju desorpsi (menit -1 ) Energi aktivasi (kkal/mol) Etanol 50 C k des 2 Ea 1 40 C k des 1 60 C k des 3 Heksan 50 C k des 5 Ea 2 40 C k des 4 60 C k des 6 22

38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT Karakterisasi terhadap atapulgit dilakukan untuk mengetahui sifat fisikokimianya. Hasil karakterisasi adsorpsi atapulgit disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit Sifat Karakteristik Sebelum Setelah mengadsorpsi mengadsorpsi beta karoten beta karoten Bentuk Serbuk Gumpalan Ukuran (mesh) Warna visual Abu-abu Coklat gelap qe (µg beta karoten/g atapulgit) 0 482,12 Atapulgit yang digunakan dalam percobaan desorpsi adalah hasil dari percobaan adsorpsi yang diperoleh dari ampas hasil saringan campuran atapulgit dengan olein (1:3). Campuran antara atapulgit dengan olein tersebut disaring dengan kertas saring dengan menggunakan pompa vakum. Bentuk atapulgit sebelum mengadsorpsi beta karoten adalah serbuk menjadi berbentuk gumpalan setelah mengadsorpsi beta karoten. Ukuran atapulgit sebelum dan sesudah mengasorpsi beta karoten diasumsikan sama, yaitu 150 mesh. Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa atapulgit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna coklat gelap yang sebelumnya berwarna abuabu. Warna gelap menunjukkan bahwa atapulgit yang semula berwarna abuabu telah mengadsorpsi beta karoten dari olein sawit kasar. Perbedaan warna atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten dapat dilihat pada Lampiran 5. Sementara itu, berdasarkan data karakterisasi adsorpsi atapulgit pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa nilai qe atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten sebesar 482,12 µg/g. Nilai qe tersebut menunjukkan kapasitas 23

39 adsorpsi atapulgit terhadap beta karoten. Nilai qe sebesar 482,12 µg/g selanjutnya digunakan sebagai nilai kapasitas pada titik nol waktu reaksi untuk percobaan penentuan kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. B. KONDISI KESETIMBANGAN Kondisi kesetimbangan diperoleh dari hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Hubungan antara lama desorpsi (menit) dengan konsentrasi beta karoten di dalam eluen (µg/ml) selama proses desorpsi ditunjukkan Gambar 6 dan 7. Seiring dengan lamanya desorpsi, maka semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh etanol karena semakin lamanya waktu kontak antara atapulgit dengan etanol. Hal tersebut terjadi sampai lama desorpsi tidak lagi menyebabkan peningkatan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kondisi tersebut disebut sebagai kondisi kesetimbangan. Menurut Keenan et al. (1984), suatu keadaan kesetimbangan kimia terjadi dalam suatu sistem reversibel bila reaksi maju dan balik berlangsung pada laju yang sama Konsentrasi beta karoten [µg/ml] Lama desorpsi [menit] Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol (, suhu 40 C;, suhu 50 C;, suhu 60 C) 24

40 0.6 Konsentrasi beta karoten [µg/ml] Lama desorpsi [menit] Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan (, suhu 40 C;, suhu 50 C;, suhu 60 C) Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui kondisi kesetimbangan pada masing-masing suhu desorpsi, yaitu kondisi dimana laju pereaksi menjadi hasil reaksi sama dengan laju kebalikannya. Kondisi kesetimbangan yang diperoleh berbeda pada masing-masing suhu desorpsi. Semakin tinggi suhu desorpsi, konsentrasi beta karoten di dalam etanol semakin menurun dan lama untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin lama. Hal tersebut juga terjadi pada desorpsi dengan menggunakan heksan yang dapat dilihat pada Gambar 7. Dengan demikian, berdasarkan Gambar 6 dan 7 dapat diketahui bahwa suhu dan jenis eluen mempengaruhi kondisi kesetimbangan. Pengaruh suhu dan jenis eluen terhadap kondisi kesetimbangan dapat dilihat pada Tabel

41 Tabel 10. Konsentrasi beta karoten di dalam eluen dan lama tercapainya kesetimbangan Eluen Etanol Heksan Perlakuan Suhu desorpsi Konsentrasi beta karoten pada kondisi kesetimbangan (µg/ml) Lama tercapainya kesetimbangan (menit) 40 C 0, C 0, C 0, C 0,61 21,5 50 C 0,40 12,5 60 C 0,23 10,5 Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa semakin rendah suhu desorpsi menyebabkan semakin meningkatnya konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi oleh etanol. Kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40 C paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50 C dan desorpsi pada suhu 60 C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam etanol 0,77 µg/ml pada lama desorpsi 70 menit, 0,61 µg/ml pada lama desorpsi 40 menit, dan 0,33 µg/ml pada lama desorpsi 16 menit. Hal tersebut terjadi karena semakin tinggi suhu, semakin kuat ikatan antara beta karoten dengan atapulgit sehingga semakin sulit didesorpsi oleh etanol. Kuatnya ikatan antara beta karoten dengan atapulgit didukung oleh adanya kemiripan sifat kepolaran. Beta karoten merupakan senyawa non polar, sedangkan atapulgit merupakan senyawa semi polar. Struktur atapulgit terdiri dari rantai silika ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium berikatan dengan oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang merupakan gugus polar (Grim, 1989). Berdasarkan sifat ikatan-ikatan tersebut, atapulgit dapat digolongkan sebagai senyawa semi polar. Faktor lain yang menyebabkan semakin meningkatnya suhu, konsentrasi beta karoten di dalam etanol semakin rendah yaitu oksidasi. Semakin tinggi suhu desorpsi, semakin banyak beta karoten yang mengalami oksidasi sehingga semakin rendah jumlah beta 26

42 karoten yang dapat didesorpsi oleh etanol dari atapulgit selama reaksi berlangsung. Proses oksidasi beta karoten didukung oleh struktur molekulnya yang memiliki ikatan ganda sehingga mudah teroksidasi. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Muchtadi, 1992). Oksidasi akan membuka cincin β-ionon pada ujung molekul karoten sehingga menyebabkan kerusakan aktifitas karoten tersebut sebagai provitamin A. Selain itu, berdasarkan Tabel 10 juga dapat diketahui bahwa konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan menggunakan heksan mengalami kecenderungan yang sama dengan proses desorpsi beta karoten dengan menggunakan etanol. Semakin rendah suhu desorpsi menyebabkan semakin meningkatnya konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi oleh heksan. Kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40 C paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50 C dan desorpsi pada suhu 60 C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam etanol 0,61 µg/ml pada lama desorpsi 21,5 menit, 0,40 µg/ml pada lama desorpsi 12,5 menit, dan 0,23 µg/ml pada lama desorpsi 10,5 menit. Sebagaimana pada desorpsi beta karoten dengan menggunakan etanol, semakin tinggi suhu, semakin kuat ikatan antara beta karoten dengan atapulgit sehingga semakin sulit untuk didesorpsi oleh heksan. Kuatnya ikatan antara beta karoten dengan atapulgit didukung oleh adanya persamaan sifat kepolaran. Beta karoten merupakan senyawa non polar, sedangkan atapulgit merupakan senyawa semi polar. Faktor lain yang menyebabkan semakin meningkatnya suhu, konsentrasi beta karoten di dalam heksan semakin rendah yaitu oksidasi. Semakin tinggi suhu desorpsi, semakin banyak beta karoten yang mengalami oksidasi sehingga semakin rendah jumlah beta karoten yang dapat didesorpsi oleh heksan dari atapulgit selama reaksi berlangsung. Tabel 10 juga menunjukkan bahwa pada suhu desorpsi yang sama, kondisi kesetimbangan desorpsi beta karoten dengan menggunakan etanol dicapai pada lama desorpsi yang relatif lama dan konsentrasi beta karoten di dalam etanol relatif tinggi. Di lain pihak, kondisi kesetimbangan desorpsi beta karoten dengan menggunakan heksan dicapai pada lama desorpsi yang lebih 27

43 cepat dan konsentrasi beta karoten di dalam heksan lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa etanol merupakan eluen yang lebih baik daripada heksan dalam mendesorpsi beta karoten dari atapulgit. Kondisi kesetimbangan pada desorpsi dengan menggunakan heksan lebih cepat dicapai disebabkan oleh sifat heksan yang lebih cepat jenuh daripada etanol. Kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam heksan lebih cepat tercapai daripada kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam etanol. Kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam eluen tercapai bila laju penguraiannya sama dengan laju pembentukan kembali dari ion-ionnya (sama dengan Ksp). Dalam keadaan kesetimbangan tersebut, konsentrasi ionion beta karoten di dalam eluen tetap (larutan jenuh). Kejenuhan heksan yang relatif cepat tersebut dapat pula disebabkan oleh heksan tidak hanya mendesorpsi beta karoten tetapi bahan lain seperti asam lemak, kotoran, zat warna bukan beta karoten, atau bahan-bahan lainnya. Dalam proses desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol diperoleh konsentrasi beta karoten lebih besar daripada dengan menggunakan heksan. Hal tersebut disebabkan oleh sifat heksan yang lebih cepat jenuh, sehingga kondisi kesetimbangan lebih cepat dicapai. Faktor lain yang menyebabkan tingginya konsentrasi beta karoten di dalam etanol yaitu adanya perbedaan waktu kereaktifan antara etanol dan heksan dalam mendesorpsi beta karoten dari atapulgit. Heksan lebih cepat reaktif sehingga kondisi kesetimbangan lebih cepat dicapai. Sedangkan etanol membutuhkan waktu relatif lama untuk reaktif sehingga kondisi kesetimbangan lebih lama dicapai. Selain itu, kondisi kesetimbangan juga dipengaruhi oleh jenis adsorben. Dalam hal ini atapulgit bersifat semi polar, beta karoten bersifat non polar, dan etanol bersifat polar. Karena sifat etanol yang polar dan sifat atapulgit yang semi polar, maka etanol dapat berinteraksi dengan atapulgit sehingga lebih mudah melepaskan ikatan antara atapulgit dengan beta karoten. Pada desorpsi dengan menggunakan etanol maupun heksan, semakin tinggi suhu desorpsi, semakin rendah konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi. Hal tersebut terjadi karena peningkatan suhu reaksi menyebabkan 28

44 meningkatnya fraksi molekul dari beta karoten yang teraktifkan, yaitu fraksi molekul yang menghasilkan tumbukan yang efektif, sehingga meningkatkan terjadinya reaksi. Peningkatan terjadinya proses reaksi desorpsi ini selanjutnya mengakibatkan waktu untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin cepat. Semakin cepatnya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi kesetimbangan, menyebabkan konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi oleh eluen semakin rendah pada kondisi kesetimbangan. Semakin rendah suhu desorpsi, semakin meningkat konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada kondisi kesetimbangan, mengindikasikan bahwa proses desorpsi tersebut termasuk reaksi endoterm. Faktor penyebab yang lain yaitu meningkatnya kecepatan difusi dengan meningkatnya suhu desorpsi, sehingga beta karoten lebih cepat larut di dalam eluen. Difusi merupakan hasil gerakan tetap molekul-molekul yang terjadi pada sembarang temperatur di atas nol mutlak (Keenan et al.,1984). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuliarti (2007), kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan isopropanol pada suhu 40 C paling lama dicapai, yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50 C dan desorpsi pada suhu 60 C. Masingmasing pada konsentrasi beta karoten di dalam isopropanol 1,12 µg/ml pada lama desorpsi 26 menit, 0,99 µg/ml pada lama desorpsi 19 menit, dan 0,82 µg/ml pada lama desorpsi 17,5 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi beta karoten di dalam isopropanol paling tinggi dibandingkan dengan etanol dan heksan. Di lain pihak, proses desorpsi beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol paling lama mencapai kondisi kesetimbangan dibandingkan dengan menggunakan isopropanol dan heksan. Atapulgit merupakan salah satu jenis lempung yang mengandung silika, aluminium, dan magnesium. Atapulgit mengandung 55,6-60,5 persen SiO 2, 10,7-13,35 persen MgO 2, dan 9,0-10,1 persen Al 2 O 2. Silika berfungsi sebagai agen pencegah terjadinya ikatan rangkap baru. Aluminium dan magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti polimerisasi dan bahan penstabil warna. Sifat tersebut sangat menguntungkan dalam proses desorpsi beta karoten karena akan mencegah kerusakan struktur molekul beta 29

45 karoten sehingga tidak menurunkan aktivitas beta karoten sebagai provitamin A. Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup dan tidak mudah terbakar. Selain itu, etanol merupakan jenis eluen yang dapat melarutkan karoten. Pada proses sebelumnya, yaitu adsorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dengan menggunakan atapulgit, beta karoten teradsorpsi secara fisik dengan molekul atapulgit. Teori tentang pemucatan minyak secara adsorpsi, bahwa proses adsorpsi pada suhu yang rendah, seperti pemucatan (bleaching), lebih disebabkan oleh ikatan intermolekuler daripada pembentukan ikatan kimia baru. Molekul yang terfisisorpsi tetap mempertahankan identitasnya dan tidak menghasilkan pemutusan ikatan (Hui, 1996). Ikatan yang terjadi antara beta karoten dengan atapulgit merupakan ikatan van der Waals yang bersifat lemah sehingga ikatan tersebut mudah diputuskan. Menurut Companion (1991), gaya van der Waals merupakan gaya terlemah walaupun mungkin merupakan gaya yang paling universal. Energinya sekitar 0,4 sampai 40 kj/mol. Gaya tarik van der Walls adalah gaya tarik yang lemah yang disebabkan oleh dipol imbasan sekejap, yang terjadi antara semua molekul, bahkan juga molekul yang tak polar sekalipun (Keenan et al., 1984). Menurut Chu et al. (2004), silika yang terkandung di dalam atapulgit mengandung material homogen. Silika dapat berikatan melalui dua tipe ikatan, yaitu secara polar (energi tinggi) dan kurang polar (energi rendah). Ikatan polar merupakan ikatan antara silika dengan gugus hidroksil (Si-OH) yang disebut silanol, sedangkan ikatan kurang polar merupakan ikatan antara silika dengan oksigen (Si-O-Si) yang disebut siloksan. Beta karoten yang merupakan molekul non polar diduga akan berikatan dengan gugus siloksan. Mekanisme 30

46 adsorpsi ini terjadi akibat beta karoten memiliki sifat sebagai proton aseptor, sehingga cenderung menarik kation dari luar (Naibaho, 1983). Ikatan van der Walls antara beta karoten dengan atapulgit ditunjukkan pada Gambar 8. δ + Si O Si δ - δ + H C C C δ - CH 3 tarik menarik Gambar 8. Ikatan van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit (Sirait, 2007) Pada proses desorpsi beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol, mekanisme reaksi yang diduga terjadi yaitu adanya ikatan hidrogen antara molekul beta karoten dengan molekul etanol. Ikatan hidrogen adalah ikatan lemah yang menghubungkan atom hidrogen pada satu molekul dengan atom elektronegatif pada molekul lain (Companion, 1991). Beta karoten memiliki atom H yang merupakan daerah dimana terdapat gaya-gaya tarik yang kuat untuk molekul etanol. Ikatan hidrogen yang terjadi antara molekul beta karoten dengan molekul etanol bersifat lebih kuat daripada ikatan van der Waals antara molekul beta karoten dengan molekul atapulgit, sehingga ikatan van der Waals tersebut mudah terputus. Pemutusan ikatan van der Waals tersebut didukung oleh adanya proses shaking selama desorpsi berlangsung. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol dapat dilihat pada Gambar 9. tarik menarik δ +.. δ - C H :O C 2 H 5 H Gambar 9. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol (Keenan et al., 1984) Adanya interaksi hidrofobik juga dapat menjelaskan mekanisme proses desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan 31

47 menggunakan etanol. Interaksi hidrofobik merupakan interaksi antara molekul-molekul non polar. Dalam hal ini beta karoten bersifat non polar dan etanol memiliki gugus non polar yaitu gugus metil. Sifat yang dimiliki oleh kedua molekul tersebut memungkinkan terjadinya interaksi hidrofobik. C. KINETIKA DESORPSI Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses desorpsi karena penting untuk menentukan desain proses. Konstanta laju desorpsi (k des ) merupakan paramater kinetika desorpsi yang menunjukkan laju desorpsi. Energi aktivasi (Ea) merupakan parameter kinetika yang menunjukkan jumlah energi yang dibutuhkan molekul-molekul untuk bereaksi. 1. Konstanta Laju Desorpsi Penentuan laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol mengikuti laju perubahan konsentrasi pereaksi, sehingga laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol ditentukan berdasarkan peningkatan konsentrasi beta karoten di dalam etanol selama berlangsungnya desorpsi isotermal. Kurva hubungan antara peningkatan konsentrasi beta karoten di dalam etanol dengan lamanya desorpsi pada Gambar 6 merupakan data percobaan yang digunakan untuk penentuan laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe ditransformasikan menjadi bentuk persamaan garis lurus (linier) sehingga diperoleh persamaan laju desorpsi. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) merupakan kemiringan dari regresi linier tersebut. Untuk menduga bentuk persamaan desorpsi beta karoten dari data percobaan yang menunjukkan hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe digunakan metoda kesesuaian dengan data percobaan, yaitu regresi. Regresi merupakan persamaan matematik yang menduga hubungan antara satu peubah bebas (dalam hal ini lama desorpsi) dengan satu peubah tak 32

48 bebas (dalam hal ini ln qt/qe). Ukuran untuk melihat tingkat kesesuaian dengan data percobaan ditentukan berdasarkan koefisien determinasi (r 2 ). Kurva regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe untuk persamaan desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan pada ketiga suhu dapat dilihat pada Gambar 10 dan ln qt/qe Lama desorpsi [menit] Gambar 10. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol (, suhu 40 C, ln qt/qe = -0,0010t 0,0129, r 2 = 0,9480;, suhu 50 C, ln qt/qe = -0,0016t 0,0044, r 2 = 0,9736;, suhu 60 C, ln qt/qe = - 0,0022t + 0,0009, r 2 = 0,9805) 33

49 0,00-0, ,02-0,03 ln qt/qe -0,04-0,05-0,06-0,07-0,08 Lama desorpsi [menit] Gambar 11. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan (, suhu 40 C, ln qt/qe = -0,0022t 0,0183, r 2 = 0,8114;, suhu 50 C, ln qt/qe = -0,0026t 0,0091, r 2 = 0,8570;, suhu 60 C, ln qt/qe = - 0,0023t + 0,0005, r 2 = 0,9153) Berdasarkan hasil regresi pada Gambar 10 dan 11 diperoleh kemiringan dan nilai fraksi terdesorpsi (θ) dari masing-masing persamaan desorpsi. Nilai kemiringan tersebut merupakan nilai konstanta laju desorpsi (k des ). Semakin tinggi suhu desorpsi, maka nilai konstanta laju desorpsi semakin tinggi pula. Nilai konstanta laju desorpsi yang semakin tinggi ini menunjukkan adanya peningkatan laju desorpsi. Persamaan desorpsi dan nilai koefisien determinasi pada desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan pada ketiga suhu disajikan pada Tabel

50 Tabel 11. Nilai konstanta laju laju desorpsi (k des ), fraksi terdesorpsi (θ), dan koefisien determinasi desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan Perlakuan Konstanta Fraksi Koefisien Suhu laju desorpsi terdesorpsi determinasi Eluen desorpsi (menit -1 ) (θ) (r 2 ) 40 C 1,0 x ,8479 0,9480 Etanol Heksan 50 C 1,6 x ,9091 0, C 2,2 x ,9994 0, C 2,2 x ,8207 0, C 2,6 x ,8711 0, C 2,3 x ,9997 0,9153 Penentuan parameter kinetika desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol dilakukan pada tiga suhu yaitu suhu 40 C, 50 C, dan 60 C dengan heksan sebagai pembanding. Kinetika desorpsi isotermal beta karoten pada ketiga suhu tersebut memberikan persamaan linier yang berbeda. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (r 2 ) pada persamaan desorpsi cenderung tinggi pada desorpsi isotermal beta karoten dengan menggunakan etanol maupun heksan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian antara data percobaan dengan persamaan desorpsi tinggi. Nilai konstanta laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40 C sebesar 1,0 x 10-3 menit -1 meningkat menjadi 1,6 x 10-3 menit -1 pada suhu 50 C. Nilai konstanta laju desorpsi ini kembali meningkat pada suhu 60 C menjadi 2,2 x 10-3 menit -1. Peningkatan suhu desorpsi berarti akan menyebabkan meningkatnya laju desorpsi. Hal tersebut terjadi karena peningkatan suhu desorpsi menyebabkan meningkatnya fraksi molekul dari beta karoten dan etanol yang teraktifkan. Selain fraksi molekul yang menghasilkan tumbukan yang efektif, fraksi molekul dari beta karoten dan etanol yang teraktifkan juga berarti fraksi molekul yang energi kinetiknya meningkat. Fraksi molekul beta karoten dan etanol yang energi kinetiknya meningkat menyebabkan 35

51 meningkatnya laju desorpsi, yang kemudian berarti meningkatkan konstanta laju desorpsi. Nilai konstanta laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan heksan pada suhu 40 C sebesar 2,2 x 10-3 menit -1 meningkat menjadi 2,6 x 10-3 menit -1 pada suhu 50 C. Kenaikan konstanta laju desorpsi tersebut menunjukkan laju reaksi yang meningkat dengan meningkatnya suhu reaksi. Konstanta laju desorpsi menurun pada suhu 60 C menjadi 2,3 x 10-3 menit -1. Hal tersebut menunjukkan laju desorpsi menurun yang kemungkinan disebabkan oleh etanol tidak hanya mendesorpsi beta karoten tetapi juga senyawa lain seperti kotoran dan zat warna lain. Kemungkinan lain yaitu adanya kerusakan beta karoten karena oksidasi. Proses oksidasi beta karoten didukung oleh struktur molekulnya yang memiliki struktur ikatan ganda sehingga mudah teroksidasi. Walaupun demikian, nilai konstanta laju desorpsi beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan heksan tetap menunjukkan kecenderungan meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi. Berdasarkan Tabel 11 juga dapat diketahui nilai konstanta laju desorpsi (k des ). Semakin meningkat suhu desorpsi, nilai konstanta laju desorpsi (k des ) cenderung meningkat. Hal tersebut sesuai dengan tercapainya kondisi kesetimbangan. Semakin tinggi konstanta laju desorpsi (k des ), maka kondisi kesetimbangan semakin cepat tercapai. Begitu pula sebaliknya. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) dengan menggunakan heksan lebih tinggi daripada nilai konstanta laju desorpsi (k des ) dengan menggunakan etanol. Tingginya nilai konstanta laju desorpsi (k des ) dengan menggunakan heksan tersebut sesuai dengan tercapainya kondisi kesetimbangan pada desorpsi dengan menggunakan heksan yang lebih cepat daripada desorpsi dengan menggunakan etanol. Nilai θ menunjukkan nilai fraksi yang dapat didesorpsi dalam reaksi tersebut. Nilai θ diperoleh dari nilai intershape menggunakan program Mathematica 5.2 for Students. Berdasarkan Tabel 11 juga dapat dilihat bahwa nilai konstanta laju desorpsi (k des ) yang cenderung meningkat diikuti oleh peningkatan nilai fraksi terdesorpsi (θ). Hal 36

52 tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wankasi et al. (2005), semakin cepat laju desorpsi, maka semakin tinggi nilai fraksi terdesorpsi karena laju desorpsi semakin cepat pula. Nilai fraksi terdesorpsi pada desorpsi isotermal dengan menggunakan etanol cenderung lebih besar dari pada nilai fraksi terdesorpsi dengan menggunakan heksan pada masing-masing suhu. Hal tersebut sesuai dengan konsentrasi beta karoten di dalam eluen yang dapat didesorpsi, dimana konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dari atapulgit dengan menggunakan etanol lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dari atapulgit dengan menggunakan heksan. Pada masing-masing eluen yang digunakan nilai fraksi terdesorpsi meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi. Hal tersebut karena peningkatan suhu desorpsi menyebabkan meningkatnya fraksi molekul dari beta karoten yang teraktifkan. Fraksi molekul yang menghasilkan tumbukan yang efektif tersebut menyebabkan meningkatnya konsentrasi beta karoten yang terdesorpsi oleh eluen sehingga meningkatkan nilai fraksi terdesorpsi. 2. Energi Aktivasi Penentuan nilai konstanta laju desorpsi yang dilakukan pada kondisi tiga suhu desorpsi yang berbeda selanjutnya digunakan untuk mendapatkan energi aktivasi (Ea) reaksi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Untuk mendapatkan energi aktivasi dari nilai konstanta laju desorpsi pada tiga suhu desorpsi tersebut digunakan persamaan Arrhenius. Persamaan Arrhenius merupakan persamaan yang dirumuskan Svante Arrhenius (1889) yang mengkuantitatifkan hubungan antara suhu reaksi dan energi aktivasi dengan konstanta laju reaksi. Persamaan Arrhenius tersebut kemudian dimodifikasi, sehingga menghasilkan bentuk persamaan garis lurus (linier). Oleh karena itu, untuk menduga persamaan dari konstanta laju desorpsi pada tiga suhu desorpsi digunakan regresi linier. Regresi linier merupakan persamaan persamaan matematik yang menduga 37

53 hubungan antara satu peubah bebas (dalam hal ini suhu desorpsi) dengan satu peubah tak bebas (dalam hal ini konstanta laju desorpsi), dimana hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai garis lurus. Kurva regresi linier hubungan antara suhu desorpsi (T) dengan konstanta laju desorpsi (k des ) dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13. ln kdes -6,00 0, ,10 0, , , , , , ,20-6,30-6,40-6,50-6,60-6,70-6,80-6,90-7,00 1/T Gambar 12. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln k des pada desorpsi dengan menggunakan etanol (r 2 = 0,9914; kemiringan = 4119,67) -5,94 0, ,96 0, , , , , , ,98-6,00-6,02 ln kdes -6,04-6,06-6,08-6,10-6,12-6,14 1/T Gambar 13. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln k des pada desorpsi dengan menggunakan heksan (r 2 = 0,0751; kemiringan = 247,38) 38

54 Berdasarkan kemiringan dari persamaan hasil regresi linier pada Gambar 12 dan 13 diperoleh energi aktivasi yang merupakan kemiringan dikalikan dengan konstanta gas (R). Nilai koefisien determinasi (r 2 ) pada desorpsi dengan menggunakan heksan relatif kecil, sehingga nilai kesalahan (error) relatif tinggi. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan heksan pada tiga kondisi suhu desorpsi disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan heksan Eluen Energi aktivasi (kkal/mol) Etanol 81,86 x 10-1 Heksan 4,91 x 10-1 Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan untuk terjadinya tumbukan yang efektif (Nur et al., 2000). Energi aktivasi tersebut harus dimiliki oleh molekul sehingga mampu bereaksi. Energi aktivasi juga kemudian berarti energi yang harus disimpan dalam spesies antara (intermediate species), yaitu kompleks teraktifkan yang terbentuk selama tumbukan molekul. Spesies antara ada dalam waktu singkat, dan kemudian terurai, dapat menjadi pereaksi-pereaksi awal (tidak terjadi reaksi), atau menjadi molekul-molekul hasil reaksi. Dalam hal ini, ikatan van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit pada proses adsorpsi meregang mendekati putus. Hanya molekul-molekul beta karoten dan etanol yang memiliki energi kinetik yang melebihi energi aktivasi yang kemudian mampu bereaksi. Molekul-molekul tersebut yang disebut sebagai fraksi yang teraktifkan, yang kemudian berikatan hidrogen pada proses desorpsi. Semakin meningkat suhu desorpsi yang digunakan, maka laju desorpsi juga semakin meningkat karena jumlah fraksi molekul yang teraktifkan meningkat. Peningkatan laju reaksi juga dapat dilakukan dengan menurunkan energi aktivasi. Semakin rendah energi aktivasi, 39

55 semakin besar fraksi molekul yang teraktifkan dan semakin cepat reaksi berlangsung. Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol lebih besar (81,86 x 10-1 menit -1 ) daripada desorpsi beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan (4,91 x 10-1 menit -1 ). Hal tersebut berarti heksan lebih mudah bereaksi dengan beta karoten daripada etanol. Selain itu, jumlah fraksi molekul yang teraktifkan pada desorpsi menggunakan etanol lebih sedikit dibandingkan dengan desorpsi menggunakan heksan. Rendahnya jumlah fraksi molekul yang teraktifkan pada desorpsi menggunakan etanol tersebut menyebabkan rendahnya laju desorpsi yang dapat dilihat pada nilai konstanta laju desorpsi yang relatif rendah jika dibandingkan dengan desorpsi menggunakan heksan. Selanjutnya, berdasarkan Tabel 12 dapat dikatakan bahwa desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol berjalan lebih lambat dibandingkan dengan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan. D. SELEKTIVITAS DESORPSI Desorpsi isotermal alfa tokoferol olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan dilakukan dalam penelitian ini sebagai pembanding. Heksan dipilih sebagai eluen dalam proses desorpsi karena hanya dengan menggunakan heksan, alfa tokoferol terdeteksi pada High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Sedangkan alfa tokoferol pada percobaan desorpsi isotermal dengan menggunakan etanol dan isopropanol tidak terdeteksi pada High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Desorpsi isotermal alfa tokoferol olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan tersebut dilakukan pada tiga suhu yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Perbandingan jumlah perolehan (recovery) beta karoten dengan alfa tokoferol pada lama desorpsi 18 menit disajikan pada Tabel

56 Tabel 13. Perbandingan jumlah antara beta karoten dengan alfa tokoferol pada lama desorpsi 18 menit Perlakuan Suhu desorpsi 40 C 50 C 60 C a: tidak terdeteksi Eluen Perolehan beta karoten (recovery)(µg) Perolehan alfa tokoferol (recovery) (µg) Etanol 140 a Heksan 171,5 793,38 Etanol 101,5 a Heksan ,57 Etanol 112 a Heksan ,43 Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa pada lama desorpsi yang sama, yaitu 18 menit, konsentrasi alfa tokoferol yang dapat didesorpsi jauh lebih besar daripada beta karoten. Hal tersebut menunjukkan bahwa heksan lebih bagus dalam mendesorpsi alfa tokoferol dibandingkan beta karoten. 41

57 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dengan menggunakan eluen etanol pada suhu 40 C paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50 C dan desorpsi pada suhu 60 C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten 0,77 µg/ml pada lama desorpsi 70 menit, 0,61 µg/ml pada lama desorpsi 40 menit, dan 0,33 µg/ml pada lama desorpsi 16 menit. Pada desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan eluen heksan, kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40 C paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50 C dan desorpsi pada suhu 60 C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten 0,61 µg/ml pada lama desorpsi 21,5 menit, 0,40 µg/ml pada lama desorpsi 12,5 menit, dan 0,23 µg/ml pada lama desorpsi 10,5 menit. Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dipengaruhi oleh suhu desorpsi dan jenis eluen yang digunakan. Konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan menggunakan etanol meningkat cepat dan kondisi kesetimbangan tercapai dalam waktu yang relatif lama, sedangkan konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan menggunakan heksan meningkat relatif lambat dan kondisi kesetimbangan tercapai dalam waktu yang relatif lebih cepat. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40 C sebesar 1,0 x 10-3 menit -1 meningkat menjadi 1,6 x 10-3 menit -1 pada suhu 50 C. Nilai konstanta laju desorpsi ini kembali meningkat pada suhu 60 C menjadi 2,2 x 10-3 menit -1. Nilai konstanta laju desorpsi (k des ) isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan pada suhu 40 C sebesar 2,2 x 10-3 menit -1 meningkat menjadi 2,6 x 10-3 menit -1 pada suhu 50 C, dan pada suhu 60 C menurun menjadi 2,5 x 10-3 menit

58 Energi aktivasi (Ea) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol sebesar 81,86 x 10-1 kkal/mol. Nilai tersebut lebih besar daripada energi aktivasi (Ea) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan yaitu 4,91 x 10-1 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasinya yang lebih tinggi, kinerja etanol lebih rendah dibandingkan heksan dalam mendesorpsi beta karoten. Pada lama dan suhu desorpsi yang sama, konsentrasi alfa tokoferol yang dapat didesorpsi oleh eluen heksan lebih besar daripada beta karoten. Hal tersebut menunjukkan bahwa heksan lebih bagus dalam mendesorpsi alfa tokoferol. B. SARAN Beta karoten merupakan bahan yang mudah rusak oleh cahaya dan oksigen. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi kondisi percobaan agar bahan tidak mengalami kontak dengan cahaya dan oksigen. Selain itu, perbandingan antara atapulgit dengan etanol perlu ditingkatkan agar diperoleh konsentrasi beta karoten yang lebih besar. Penelitian lanjutan tentang pemekatan larutan beta karoten dalam etanol juga perlu dilakukan sehingga diperoleh konsentrat beta karoten yang hanya mengandung sedikit residu etanol. 43

59 DAFTAR PUSTAKA Adnan, M Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Almatsier, S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Baharin, B. S., K. A. Rahman, M. I. A. Karim, T. Oyaizu, K. Tanaka, Y. Tanaka dan S. Takagi Separation of Palm Carotene from Crude Palm Oil by Adsorbtion Chromatography with A Synthetic Polymer Adsorbent. Vol 75, No. 3. Basiron, Y Palm Oil and Its Global Supply and Demand Prospects. Oil Palm Industry Economic Journal. Vol. 2, No. 1. Malaysian Palm Oil Board. Bernasconi, G., H. Gerster, H. Hauser, H. Stauble, dan E. Schneiter Teknologi Kimia Bagian 2. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Chu, B. S., B. S. Baharin, Y. B. C. Man, dan S. Y. Quek Separation of Vitamin E from Palm Fatty Acid Distillate Using Silica. III. Batch Desorption Study. Journal of Food Engineering Chu, K. H. dan M. A. Hashim Desorption of Copper from Polyvinyl Alcohol-Immobilized Seaweed Biomass. Acta Biotechnol. 21 (2001) 4, Companion, A. L Ikatan Kimia. Penerbit ITB. Bandung. Day Jr., R. A. dan A. L. Underwood Analisis Kimia Kuantitatif. Penerbit Erlangga. Jakarta. Gelder, V. J. W Greasy Palms: European Buyers of Indonesian Palm Oil. Friends of Earth Ltd. London. Goodwin, T. W Chemistry & Biochemistry of Plant Pigments. II, Second Edition. Academic Press. New York. Grim, R. E Clay Minerology. McGraw-Hill Inc. Amerikat Serikat. Hugo, M Meningkatkan Konsentrasi Beta Karoten Minyak Kelapa Sawit Kasar dengan Teknik Saponifikasi dan Diversifikasi Tingkat Polaritas Pelarut. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. 44

60 Hui, Y.H Bailey s Industrial Oil and Fat Products 5 th Edition Volume 4 Edible Oil and Fat Product: Processing Technology. John Wiley & Sons. Amerika Serikat. IUPAC Lexicon of Lipid Nutrition (IUPAC Technical Report). Pure Appl. Chem., Vol. 73, No. 4, pp Keenan, C. W., D. C. Kleinfelter, dan J. H. Wood Kimia untuk Universitas. Penerbit Erlangga. Jakarta. Ketaren, S Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta. Kirk, R. E. dan D. F. Othmer Encyclopedia of Chemical Technology Second Edition. Vol. 1. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York. Kirk, R. E. dan D. F. Othmer Encyclopedia of Chemical Technology Second Edition. Vol. 5. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York. Kirk, R. E. dan D. F. Othmer Encyclopedia of Chemical Technology Second Edition. Vol. 8. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York. Lansbarkis Attapulgite Clay. (18 Agustus 2006). Latip, R. A., B. S. Baharin, Y. B. Che Man dan R. A. Rahman Evaluation of Different Types of Synthetic Adsorbents for Carotene Extraction from Crude Palm Oil. JAOCS, Vol. 77, No. 12. Latip, R. A., B. S. Baharin, Y. B. Che Man, dan R. A. Rahman Effect of Adsorption and Solvent Extraction Process on the Percentage of Carotene Extracted from Crude Palm Oil. JAOCS, Vol. 78, No. 1. Maulana, F Model Persamaan Matematika Parameter Kualitas Produk Dehidrasi Minyak Jarak dengan Katalis Campuran Atapulgit dan Natrium Bisulfat. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. Muchtadi, T. R Karakterisasi Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit (Elaeis gieneensis jacca) dalam Rangka Optimalisasi Proses Ekstraksi Minyak dan Pemanfaatan Pro Vitamin A. Disertasi. Direktorat Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Naibaho, P. M Pemisahan Karotena (provitamin A) Minyak Sawit dengan Metoda Adsorbsi, Disertasi, FPS, IPB. Bogor. 45

61 Novinda Studi Penentuan Formulasi Pelarut Kimia untuk Pemekatan Beta Karoten Minyak Sawit. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. Nur, H. M. A., M. S. Saeni, Z. A. Mas ud, L. K. Darusman, S. S. Achmadi, Purwantiningsih, Z. Fatma, G. Syahbirin, D. Saprudin, Risnayeti, A. Sjachriza, D. Sajuthi, L. Ambarsari, B. Marita, Aryeti, M. Sjachri, Djarot S. H., dan K. Sutriah Kimia Dasar II. Jurusan Kimia. FMIPA-IPB. Bogor. Saputra, V Formulasi Produk Emulsi Kaya Beta Karoten dari Minyak Sawit Merah. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. Sirait, K. E. E Kinetika Adsorpsi Isotermal β-karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. SNI Crude Palm Olein ( ). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Suryadarma P., S. Raharja, dan I. A. Kartika Rekayasa Proses Pemisahan dan Pemurnian Vitamin A dan E dari Minyak Kelapa Sawit Kasar (CPO) di Industri Pemurnian Minyak Goreng Sawit. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan IPB. Bogor. Swern, D Bailey s Industrial Oil and Fat Products 4 th Edition Volume 2. John Wiley & Sons. Amerika Serikat. Wankasi, D., M. Horsfall Jnr dan A. I. Spiff Desorption of Pb 2+ and Cu 2+ from Nipa Palm (Nypa fructicans Wurmb) Biomass. African Journal of Biotechnology Vol. 4 (9), pp (16 Agustus 2006) (18 Agustus 2006). Yuliarti, E Kinetika Desorpsi Isotermal β-karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan Isopropanol. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. Zeb, A. dan S. Mehmood Carotenoids Contents from Various Sources and Their Potential Health Applications. Pakistan Journal of Nutrition 3 (3): Zuna, S. U Dehidrasi Minyak Jarak dengan Katalis Atapulgit untuk Menghasilkan Pelumas Dasar Rolling Oil. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. 46

62 LAMPIRAN 47

63 Lampiran 1. Prosedur penelitian a. Pembuatan kurva standar Kurva standar yang digunakan adalah kurva standar beta karoten dalam etanol dan heksan. Beta karoten standar dan alfa tokoferol standar masing-masing 0,0005 g dicampur dan dilarutkan ke dalam etanol dan heksan, kemudian ditera dalam labu takar 100 ml. Selanjutnya dibuat beberapa konsentrasi larutan beta karoten dalam etanol dan heksan, dan diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 446 nm. Nilai absorbansi Konsentrasi beta karoten [µg/ml] Gambar kurva standar beta karoten dalam etanol (y = 0,1558x, r 2 = 0,9961) 48

64 Nilai absorbansi Konsentrasi beta karoten [µg/ml] Gambar kurva standar beta karoten dalam heksan (y = 0,3129x, r 2 = 0,9938) b. Penentuan kapasitas adsorpsi atapulgit Penentuan kapasitas adsorpsi atapulgit merupakan penelitian terdahulu sebelum percobaan desorpsi dilakukan. Atapulgit sebanyak 300 g dan 900 ml olein (1:3) disiapkan di dalam suatu reaktor berpengaduk dengan kapasitas 2 L. Reaksi dilakukan dengan kecepatan pengadukan 120 rpm dan suhu 60 C. Pengambilan sampel dilakukan pada masing-masing waktu yang diujikan yaitu 1, 3, 5, 7, 9, 12, 15, 18, 21, 26, 36, 51, 71, 101, 131, dan 171 menit. Selanjutnya sampel disaring dengan kertas saring dengan menggunakan pompa vakum untuk memisahkan antara atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten dengan olein. Olein yang telah diadsorpsi beta karotennya diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm. 49

65 Tabel data hasil perhitungan Co-Ce t [menit] absorbansi spektrofotometer Ce (µg/ml) Co-Ce (µg/ml) 0 1, ,0764 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,4254 Keterangan : v 1 = 900 ml m 1 = 300 g Co = 409,0764 µg/ml Persamaan kurva standar x = y/0,3129 Data hasil perhitungan Co Ce di atas dirata-rata sehingga diperoleh nilai ratarata Co-Ce = 160,707 µg/ml qe = v 1 /m 1 (Co-Ce) qe = 900/300 (160,707) qe = 482,12 µg/g Contoh perhitungan qt pada lama desorpsi 2 menit (eluen etanol, suhu 40 C) : qe = 482,12 µg/g v 2 = 350 ml m 2 = 7 g Ct = 0,1123 µg/ml 50

66 qt = qe v 2 /m 2 x Ct qt = 482,12 350/7 x 0,1123 qt = 476,51 µg/g 51

67 Lampiran 2. Data hasil perhitungan persamaan Chu dan Hashim (2001) a. Eluen etanol Keterangan : qe = 482,12 µg/g v 2 = 350 ml m 2 = 7 g Persamaan kurva standar x = y/0, Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol pada suhu 40 C t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/ml] qt=qe-ct(v 2/m 2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0, ,12 1,000 0, ,0175 0, ,51 0,988-0, ,0220 0, ,06 0,985-0, ,0295 0, ,65 0,980-0, ,0380 0, ,93 0,975-0, ,0380 0, ,93 0,975-0, ,0485 0, ,56 0,968-0, ,0655 0, ,10 0,956-0, ,0620 0, ,22 0,959-0, ,0630 0, ,90 0,958-0, ,0640 0, ,58 0,957-0, ,0825 0, ,65 0,945-0, ,1310 0, ,08 0,913-0, ,1100 0, ,82 0,927-0,076 52

68 2. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol pada suhu 50 C t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/ml] qt=qe-ct(v 2/m 2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0, ,12 1,000 0, ,0160 0, ,99 0,989-0, ,0175 0, ,51 0,988-0, ,0190 0, ,02 0,987-0, ,0265 0, ,62 0,982-0, ,0260 0, ,78 0,983-0, ,0365 0, ,41 0,976-0, ,0480 0, ,72 0,968-0, ,0400 0, ,28 0,973-0, ,0455 0, ,52 0,970-0, ,0630 0, ,90 0,958-0, ,0965 0, ,15 0,936-0, ,0940 0, ,95 0,937-0, ,0990 0, ,35 0,934-0,068 53

69 3. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol pada suhu 60 C t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/ml] qt=qe-ct(v 2/m 2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0, ,12 1,000 0, ,0080 0, ,55 0,995-0, ,0100 0, ,91 0,993-0, ,0200 0, ,70 0,987-0, ,0210 0, ,38 0,986-0, ,0290 0, ,81 0,981-0, ,0410 0, ,96 0,973-0, ,0450 0, ,68 0,970-0, ,0535 0, ,95 0,964-0, ,0500 0, ,08 0,967-0, ,0505 0, ,92 0,966-0, ,0545 0, ,63 0,964-0, ,0605 0, ,71 0,960-0,041 54

70 b. Eluen heksan Keterangan : qe = 482,12 µg/g v 2 = 350 ml m 2 = 7 g Persamaan kurva standar x = y/0, Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 40 C t [menit] absorbansi spektrofotometer Konsentrasi (Ct) [µg/ml] qt=qe-ct(v 2/m 2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0, ,12 1,000 0, ,0975 0, ,54 0,968-0, ,1055 0, ,26 0,965-0, ,1175 0, ,35 0,961-0, ,1325 0, ,95 0,956-0, ,1290 0, ,51 0,957-0, ,1365 0, ,31 0,955-0, ,1405 0, ,67 0,953-0, ,1585 0, ,79 0,947-0, ,1545 0, ,43 0,949-0, ,2025 0, ,76 0,933-0, ,1780 0, ,68 0,941-0,061 55

71 2. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 50 C t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/ml] qt=qe-ct(v 2/m 2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0, ,12 1,000 0, ,0530 0, ,65 0,982-0, ,0740 0, ,30 0,975-0, ,0860 0, ,38 0,971-0, ,1200 0, ,95 0,960-0, ,1375 0, ,15 0,954-0, ,1290 0, ,51 0,957-0, ,1185 0, ,19 0,961-0, Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 60 C t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/ml] qt=qe-ct(v 2/m 2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0, ,12 1,000 0, ,0155 0, ,64 0,995-0, ,0275 0, ,73 0,991-0, ,0260 0, ,97 0,991-0, ,0640 0, ,89 0,979-0, ,0690 0, ,10 0,977-0, ,0885 0, ,98 0,971-0, ,0735 0, ,38 0,976-0,025 56

72 Lampiran 3. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi dengan menggunakan program Mathematica 5.2 for Students a. Eluen etanol 1. Suhu 40 C ln qt/qe = -0,0010t 0,0129 Solve[Log[θ]-θ ,θ] InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used. Values may be lost for multivalued inverses. More Solve :: ifun : Inverse functions are being used by Solve, so some solutions may not be found ; use Reduce for complete solution information. More {{θ },{θ }} 2. Suhu 50 C ln qt/qe = -0,0016t 0,0044 Solve[Log[θ]-θ ,θ] InverseFunction :: ifun : Inverse functions are being used. Values may be lost for multivalued inverses. More Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve, so some solutions may not be found ; use Reduce for complete solution information. More {{θ },{θ }} 3. Suhu 60 C ln qt/qe = -0,0022t + 0,0009 Solve[Log[θ]-θ ,θ] InverseFunction :: ifun : Inverse functions are being used. Values may be lost for multivalued inverses. More Solve :: ifun : Inverse functions are being used by Solve, so some solutions may not be found ; use Reduce for complete solution information. More {{θ }} 57

73 b. Eluen heksan 1. Suhu 40 C ln qt/qe = -0,0022t 0,0183 Solve[Log[θ]-θ ,θ] InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used. Values may be lost for multivalued inverses. More Solve :: ifun : Inverse functions are being used by Solve, so some solutions may not be found ; use Reduce for complete solution information. More {{θ },{θ }} 2. Suhu 50 C ln qt/qe = -0,0026t 0,0091 Solve[Log[θ]-θ ,θ] InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used. Values may be lost for multivalued inverses. More Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve, so some solutions may not be found ; use Reduce for complete solution information. More {{θ },{θ }} 3. Suhu 60 C ln qt/qe = -0,0023t + 0,0005 Solve[Log[θ]-θ ,θ] InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used. Values may be lost for multivalued inverses. More Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve, so some solutions may not be found ; use Reduce for complete solution information. More {{θ }} 58

74 Lampiran 4. Penentuan energi aktivasi (Ea) Regresi linier untuk menentukan Ea: k des = Ae -Ea/RT ln k des = -(Ea/RT) + ln A ln k des = -(1/T)(Ea/R) + ln A Kurva hubungan antara 1/T dengan ln k disajikan pada gambar berikut ln k des Kemiringan = -Ea/R 1/T Gambar regresi linier hubungan 1/T dengan ln k des Contoh perhitungan energi aktivasi pada eluen etanol : Ea/R = 4119,6665 R = 1,987 kal/mol K Ea = 4119,6665 x 1,987 Ea = 8,186 kkal/mol 59

75 Lampiran 5. Atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten Gambar atapulgit sebelum (kiri) dan setelah (kanan) mengadsorpsi beta karoten Lampiran 6. Dokumentasi penelitian Gambar spektrofotometer 20D+ 60

76 Gambar High Performance Liquid Chromatography (HPLC), detektor ultraviolet (UV), kolom Zorbax Sil dengan ukuran 250 x 4,6 mm. Gambar shaker yang dilengkapi dengan waterbath 61

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL Oleh OKIANA WINARNI F34102019 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Wahai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketertarikan dunia industri terhadap bahan baku proses yang bersifat biobased mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat ini merujuk kepada karakteristik bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kelapa (Cocos Nucifera Linn.) merupakan tanaman yang tumbuh di negara yang beriklim tropis. Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Ketersediaan sumber energi khususnya energi fosil semakin mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi dunia (Arisurya, 2009). Indonesia yang dahulu

Lebih terperinci

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F )

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F ) SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER Hendrix Yulis Setyawan (F351050091) Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pasca Sarjana Institut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah paling potensial untuk menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal perkebunan kelapa

Lebih terperinci

KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN ATAPULGIT

KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN ATAPULGIT KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN ATAPULGIT Oleh KRISTIN EVA ELISABETH SIRAIT F34102119 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Skripsi

Lebih terperinci

KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten DARI OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN BENTONIT

KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten DARI OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN BENTONIT Kinetika Adsorpsi Isotermal β -Karoten dari Olein Sawit Kasar... KINETIKA ADSORPSI ISOTERMAL β-karoten DARI OLEIN SAWIT KASAR DENGAN MENGGUNAKAN BENTONIT KINETICS OF ISOTHERMAL ADSORPTION OF β-carotene

Lebih terperinci

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia PENGARUH PEMANASAN TERHADAP PROFIL ASAM LEMAK TAK JENUH MINYAK BEKATUL Oleh: Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia Email:

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform, BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN 1. Standar DHA murni (Sigma-Aldrich) 2. Standar DHA oil (Tama Biochemical Co., Ltd.) 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform, metanol,

Lebih terperinci

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ISOPROPANOL

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ISOPROPANOL KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL β-karoten OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ISOPROPANOL Oleh ERVINA YULIARTI F 34102049 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KINETIKA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka A. Minyak Sawit Bab II Tinjauan Pustaka Minyak sawit berasal dari mesokarp kelapa sawit. Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai

Lebih terperinci

KROMATOGRAFI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

KROMATOGRAFI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. KROMATOGRAFI Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Tujuan Pembelajaran 1. Mahasiswa memahami pengertian dari kromatografi dan prinsip kerjanya 2. Mahasiswa mengetahui jenis-jenis kromatografi dan pemanfaatannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Malaysia dalam produksi minyak sawit. Pada tahun 2004, produksi dan ekspor negara Malaysia mencapai masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam Palmitat Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati maupun minyak hewani disamping juga asam lemak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK KELAPA SAWIT Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi dari mesocarp tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Minyak kelapa sawit kasar mengandung komponen utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair pada suhu kamar (25 C) dan lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS Zul Alfian Departemen Kimia FMIPA Universitas Sumatera

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201 PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201 Disusun Ulang Oleh: Dr. Deana Wahyuningrum Dr. Ihsanawati Dr. Irma Mulyani Dr. Mia Ledyastuti Dr. Rusnadi LABORATORIUM KIMIA DASAR PROGRAM TAHAP PERSIAPAN BERSAMA

Lebih terperinci

Bab II. Tinjauan Pustaka

Bab II. Tinjauan Pustaka Bab II. Tinjauan Pustaka A. Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380 nm)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Tahap Sintesis Biodiesel Pada tahap sintesis biodiesel, telah dibuat biodiesel dari minyak sawit, melalui reaksi transesterifikasi. Jenis alkohol yang digunakan adalah metanol,

Lebih terperinci

ABSTRAK. POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL

ABSTRAK. POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL ABSTRAK POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL Produksi minyak bumi mengalami penurunan berbanding terbalik dengan penggunaannya yang semakin meningkat setiap

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

OPTIMASI UKURAN PARTIKEL, MASSA DAN WAKTU KONTAK KARBON AKTIF BERDASARKAN EFEKTIVITAS ADSORPSI β-karoten PADA CPO

OPTIMASI UKURAN PARTIKEL, MASSA DAN WAKTU KONTAK KARBON AKTIF BERDASARKAN EFEKTIVITAS ADSORPSI β-karoten PADA CPO OPTIMASI UKURAN PARTIKEL, MASSA DAN WAKTU KONTAK KARBON AKTIF BERDASARKAN EFEKTIVITAS ADSORPSI β-karoten PADA CPO Juli Elmariza 1*, Titin Anita Zaharah 1, Savante Arreneuz 1 1 Program Studi Kimia Fakultas

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran bilangan peroksida sampel minyak kelapa sawit dan minyak kelapa yang telah dipanaskan dalam oven dan diukur pada selang waktu tertentu sampai 96 jam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Goreng Kelapa Sawit Minyak sawit terutama dikenal sebagai bahan mentah minyak dan lemak pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening, margarin,

Lebih terperinci

SEJARAH. Pertama kali digunakan untuk memisahkan zat warna (chroma) tanaman

SEJARAH. Pertama kali digunakan untuk memisahkan zat warna (chroma) tanaman KROMATOGRAFI PENDAHULUAN Analisis komponen penyusun bahan pangan penting, tidak hanya mencakup makronutrien Analisis konvensional: lama, tenaga beasar, sering tidak akurat, tidak dapat mendeteksi pada

Lebih terperinci

4001 Transesterifikasi minyak jarak menjadi metil risinoleat

4001 Transesterifikasi minyak jarak menjadi metil risinoleat 4001 Transesterifikasi minyak jarak menjadi metil risinoleat castor oil + MeH Na-methylate H Me CH 4 (32.0) C 19 H 36 3 (312.5) Klasifikasi Tipe reaksi dan penggolongan bahan Reaksi pada gugus karbonil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lemak dan Minyak Minyak dan lemak tidak berbeda dalam bentuk umum trigliseridanya, tetapi hanya berbeda dalam bentuk (wujud). Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan titik lelehnya.

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MINYAK SAWIT 2.1.1. Komposisi Minyak Sawit Crude Palm Oil yang dihasilkan dari ekstraksi tandan buah segar kelapa sawit dengan komposisi produk 66% minyak (range 40-75%), 24%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

I. ISOLASI EUGENOL DARI BUNGA CENGKEH

I. ISOLASI EUGENOL DARI BUNGA CENGKEH Petunjuk Paktikum I. ISLASI EUGENL DARI BUNGA CENGKEH A. TUJUAN PERCBAAN Mengisolasi eugenol dari bunga cengkeh B. DASAR TERI Komponen utama minyak cengkeh adalah senyawa aromatik yang disebut eugenol.

Lebih terperinci

4028 Sintesis 1-bromododekana dari 1-dodekanol

4028 Sintesis 1-bromododekana dari 1-dodekanol 4028 Sintesis 1-bromododekana dari 1-dodekanol C 12 H 26 O (186.3) OH H 2 SO 4 konz. (98.1) + HBr (80.9) C 12 H 25 Br (249.2) Br + H 2 O (18.0) Klasifikasi Tipe reaksi dan penggolongan bahan Substitusi

Lebih terperinci

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 LEMAK DAN MINYAK Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 kkal sedangkan karbohidrat dan protein

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari x BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Lipid Pengertian lipid secara umum adalah kelompok zat atau senyawa organik yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari zat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara

I. PENDAHULUAN. untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok

Lebih terperinci

COLUMN CHROMATHOGRAPHY

COLUMN CHROMATHOGRAPHY COLUMN CHROMATHOGRAPHY ENDRIKA WIDYASTUTI FOOD AND SCIENCE TECHNOLOGY UNIVERSITY OF BRAWIJAYA 2014 JENIS KROMATOGRAFI Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi kolom : Kromatografi adsorbsi Kromatografi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan metode purposive sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan metode purposive sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Preparasi Sampel Sampel telur ayam yang digunakan berasal dari swalayan di daerah Surakarta diambil sebanyak 6 jenis sampel. Metode pengambilan sampel yaitu dengan metode

Lebih terperinci

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I Pengantar Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit (Elaeis guineensis) terbesar di dunia. Produksinya pada tahun 2010 mencapai 21.534 juta ton dan dengan nilai pemasukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Ketaren, 1986). Minyak goreng diekstraksi

Lebih terperinci

Lembaran Pengesahan KINETIKA ADSORBSI OLEH: KELOMPOK II. Darussalam, 03 Desember 2015 Mengetahui Asisten. (Asisten)

Lembaran Pengesahan KINETIKA ADSORBSI OLEH: KELOMPOK II. Darussalam, 03 Desember 2015 Mengetahui Asisten. (Asisten) Lembaran Pengesahan KINETIKA ADSORBSI OLEH: KELOMPOK II Darussalam, 03 Desember 2015 Mengetahui Asisten (Asisten) ABSTRAK Telah dilakukan percobaan dengan judul Kinetika Adsorbsi yang bertujuan untuk mempelajari

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan 19 Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Biodiesel Minyak jelantah semula bewarna coklat pekat, berbau amis dan bercampur dengan partikel sisa penggorengan. Sebanyak empat liter minyak jelantah mula-mula

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, negara yang sangat subur tanahnya. Pohon sawit dan kelapa tumbuh subur di tanah Indonesia. Indonesia merupakan negara penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan penghasil minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia dengan produksi sebesar 25,4 juta metrik ton pada tahun 2012, yang sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Minyak goreng adalah salah satu unsur penting dalam industri pengolahan makanan. Dari tahun ke tahun industri pengolahan makanan semakin meningkat sehingga mengakibatkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

4006 Sintesis etil 2-(3-oksobutil)siklopentanon-2-karboksilat

4006 Sintesis etil 2-(3-oksobutil)siklopentanon-2-karboksilat NP 4006 Sintesis etil 2-(3-oksobutil)siklopentanon-2-karboksilat CEt + FeCl 3 x 6 H 2 CEt C 8 H 12 3 C 4 H 6 C 12 H 18 4 (156.2) (70.2) (270.3) (226.3) Klasifikasi Tipe reaksi dan penggolongan bahan Adisi

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES

II. DESKRIPSI PROSES II. DESKRIPSI PROSES Usaha produksi dalam pabrik kimia membutuhkan berbagai sistem proses dan sistem pemroses yang dirangkai dalam suatu sistem proses produksi yang disebut teknologi proses. Secara garis

Lebih terperinci

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif Departemen Farmasi FMIPA UI, dalam kurun waktu Februari 2008 hingga Mei 2008. A. ALAT 1. Kromatografi

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962).

Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962). Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962). Diambil sampel dua telur pada setiap ulangan. Delapan belas sampel dianalisis kolesterolnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu dari beberapa tanaman golongan Palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis Guinensis JACQ). kelapa sawit (Elaeis Guinensis JACQ), merupakan komoditas

Lebih terperinci

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Penggolongan minyak Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Definisi Lemak adalah campuran trigliserida yang terdiri atas satu molekul gliserol yang berkaitan dengan tiga molekul asam lemak.

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gorengan adalah produk makanan yang diolah dengan cara menggoreng

BAB I PENDAHULUAN. Gorengan adalah produk makanan yang diolah dengan cara menggoreng BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gorengan adalah produk makanan yang diolah dengan cara menggoreng dalam minyak. Masyarakat Indonesia sebagian besar menggunakan minyak goreng untuk mengolah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan volume ekspor minyak kelapa sawit mencapai16,436 juta ton pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elais guinensis jacq) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam family Palmae. Tanaman genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. M yang berupa cairan berwarna hijau jernih (Gambar 4.1.(a)) ke permukaan Al 2 O 3

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. M yang berupa cairan berwarna hijau jernih (Gambar 4.1.(a)) ke permukaan Al 2 O 3 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sintesis Katalis Katalis Ni/Al 2 3 diperoleh setelah mengimpregnasikan Ni(N 3 ) 2.6H 2 0,2 M yang berupa cairan berwarna hijau jernih (Gambar 4.1.(a)) ke permukaan Al 2

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber bahan bakar semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Akan tetapi cadangan sumber bahan bakar justru

Lebih terperinci

Gambar I.1. Pertumbuhan Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia [1]

Gambar I.1. Pertumbuhan Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia [1] BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Minyak kelapa sawit adalah salah satu minyak yang diproduksi dalam jumlah yang cukup besar di dunia. Hingga tahun 2005, Indonesia merupakan negara pengekspor minyak

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kimia memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat dikarenakan industri kimia banyak memproduksi barang mentah maupun barang jadi untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyiapan Sampel Sampel daging buah sirsak (Anonna Muricata Linn) yang diambil didesa Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, terlebih

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, telah beredar asumsi di masyarakat bahwa minyak goreng yang lebih bening adalah yang lebih sehat. Didukung oleh hasil survey yang telah dilakukan untuk mengetahui

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di 30 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 - Januari 2013, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Sampel Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar Bringharjo Yogyakarta, dibersihkan dan dikeringkan untuk menghilangkan kandungan air yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung.

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung. 16 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2012 sampai dengan bulan Maret 2013 di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya. 5 E. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (25 : 75), F. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (50 : 50), G. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (75 :

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant

Lebih terperinci

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan.

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan. PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan. B. Pelaksanaan Kegiatan Praktikum Hari : Senin, 13 April 2009 Waktu : 10.20 12.00 Tempat : Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tumbuhan Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung untuk mengetahui dan memastikan famili dan spesies tumbuhan

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak goreng merupakan kebutuhan masyarakat yang saat ini harganya masih cukup mahal, akibatnya minyak goreng digunakan berkali-kali untuk menggoreng, terutama dilakukan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

ANALISA TEKNO-EKONOMI UNIT PEMISAHAN DAN PEMURNIAN VITAMIN PADA INDUSTRI MINYAK SAWIT KASAR

ANALISA TEKNO-EKONOMI UNIT PEMISAHAN DAN PEMURNIAN VITAMIN PADA INDUSTRI MINYAK SAWIT KASAR ANALISA TEKNO-EKONOMI UNIT PEMISAHAN DAN PEMURNIAN VITAMIN PADA INDUSTRI MINYAK SAWIT KASAR Oleh BUDI HERMAWAN F34103100 2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 ASIL PECBAAN DAN PEMBAASAN Transesterifikasi, suatu reaksi kesetimbangan, sehingga hasil reaksi dapat ditingkatkan dengan menghilangkan salah satu produk yang terbentuk. Penggunaan metil laurat dalam

Lebih terperinci

Molekul, Vol. 2. No. 1. Mei, 2007 : REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KACANG TANAH (Arahis hypogea. L) DAN METANOL DENGAN KATALIS KOH

Molekul, Vol. 2. No. 1. Mei, 2007 : REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KACANG TANAH (Arahis hypogea. L) DAN METANOL DENGAN KATALIS KOH REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KACANG TANAH (Arahis hypogea. L) DAN METANOL DENGAN KATALIS KOH Purwati, Hartiwi Diastuti Program Studi Kimia, Jurusan MIPA Unsoed Purwokerto ABSTRACT Oil and fat as part

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 MINYAK KELAPA SAWIT Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia [11]. Produksi CPO Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya, seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan di Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit

Lebih terperinci

4002 Sintesis benzil dari benzoin

4002 Sintesis benzil dari benzoin 4002 Sintesis benzil dari benzoin H VCl 3 + 1 / 2 2 + 1 / 2 H 2 C 14 H 12 2 C 14 H 10 2 (212.3) 173.3 (210.2) Klasifikasi Tipe reaksi dan penggolongan bahan ksidasi alkohol, keton, katalis logam transisi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Molekul-molekul pada permukaan zat padat atau zat cair mempunyai gaya tarik kearah dalam, karena tidak ada gaya-gaya lain yang mengimbangi. Adanya gayagaya ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIDIESEL Biodiesel merupakan sumber bahan bakar alternatif pengganti solar yang terbuat dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Biodiesel bersifat ramah terhadap lingkungan karena

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan. Pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Sawit Mentah / Crude Palm Oil (CPO) Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya sangat penting dalam penerimaan devisa negara, penyerapan

Lebih terperinci

4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng

4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng 4. PEMBAHASAN 4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng Berdasarkan survey yang telah dilaksanakan, sebanyak 75% responden berasumsi bahwa minyak goreng yang warnanya lebih bening berarti

Lebih terperinci